setjen-08-b004831-339725052015101635-jurnal_(trisna_hidayat).pdf

13
1 AKSESIBILITAS BAGI DIFABEL PADA FASILITAS PEJALAN KAKI Trisna Hidayat 1 1 Magister Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Jl. Merdeka No. 30 Bandung Email: [email protected] ABSTRAK Untuk menghasilkan suatu fasilitas pelayanan publik yang memenuhi kriteria aksesibilitas yang berkelanjutan bagi difabel diperlukan pengukuran aksesibilitas untuk mengetahui tingkat pelayanan fasilitas jalan berdasarkan persyaratan geometrik dan pemilihan bahan yang sesuai dengan ketentuan teknik yang besifat kuantitatif, selain itu dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja dari program dan layanan yang sudah ada dan membuat perubahan untuk meningkatkan cakupan aksesibilitas, efektivitas, dan efisiensi terhadap difabel. Penelitian ini menemukan bahwa seluruh ruas jalan yang di survei tidak aksesibel bagi difabel berdasarkan tiga standar. Sebagai rekomendasi, standar dari UN ESCWA dapat diadopsi ke dalam standar yang ada di Indonesia. Kata kunci: Difabel, Aksesibilitas, Fasilitas Jalan. ABSTRACT To produce a public service facilities that meet the criteria of sustainable accessibility for disability, accessibility measurement required to determine the level of service roads based on the geometric requirements and selection of materials in accordance with the provisions of quantitative techniques, in addition it can be used to evaluate the performance of programs and services that already exist and make changes to improve the coverage of accessibility, effectiveness, and efficiency of the disabled. This study found that all the roads in the survey are not accessible for the disabled based on three standards. As the recommendations of the UN ESCWA standards can be adopted into existing standards in Indonesia. Keywords: Disability, Accessibility, Road Facility PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam skala internasional, dinyatakan oleh United Nations (1993) bahwa negara harus mengakui dan menjamin aksesibilitas para penyandang cacat melalui penetapan program- program aksi untuk mewujudkan aksesibilitas fisik penyandang cacat dan memberikan akses terhadap informasi dan komunikasi. Jadi, dalam perencanaan suatu fasilitas publik sudah mempertimbangkan aksesibilitas penyandang cacat (difabel) dan manusia usia lanjut (elderly) untuk memberikan jaminan dan melindungi hak-hak mereka dalam mendapatkan kesempatan yang sama guna meningkatkan kehidupan dan penghidupannya (Setyaningsih 2005). World Health Organization (WHO) (2001) mendefiniskan difabel sebagai ketidakmampuan atau keterbatasan seseorang akibat adanya ketidaknormalan atau hilangnya struktur, fungsi psikologis, dan anatomis untuk melakukan aktivitas yang dianggap normal bagi manusia, Sedangkan elderly adalah manusia yang mempunyai usia antara 60 74 tahun yang ditandai dengan penurunan fungsi biologis dan psikis. Dari pengertian dapat disimpulkan bahwa difabel sangat memerlukan penyediaan fasilitas publik yang memenuhi kriteria asas aksesibilitas yaitu asas prioritas, integrasi, dan berkesinambungan (Pemerintah RI 1997).

Upload: mugy

Post on 08-Dec-2015

223 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

1

AKSESIBILITAS BAGI DIFABEL

PADA FASILITAS PEJALAN KAKI Trisna Hidayat

1

1Magister Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Jl. Merdeka No. 30 Bandung

Email: [email protected]

ABSTRAK

Untuk menghasilkan suatu fasilitas pelayanan publik yang memenuhi kriteria

aksesibilitas yang berkelanjutan bagi difabel diperlukan pengukuran aksesibilitas

untuk mengetahui tingkat pelayanan fasilitas jalan berdasarkan persyaratan geometrik

dan pemilihan bahan yang sesuai dengan ketentuan teknik yang besifat kuantitatif,

selain itu dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja dari program dan layanan

yang sudah ada dan membuat perubahan untuk meningkatkan cakupan aksesibilitas,

efektivitas, dan efisiensi terhadap difabel. Penelitian ini menemukan bahwa seluruh

ruas jalan yang di survei tidak aksesibel bagi difabel berdasarkan tiga standar.

Sebagai rekomendasi, standar dari UN ESCWA dapat diadopsi ke dalam standar

yang ada di Indonesia.

Kata kunci: Difabel, Aksesibilitas, Fasilitas Jalan.

ABSTRACT

To produce a public service facilities that meet the criteria of sustainable accessibility for

disability, accessibility measurement required to determine the level of service

roads based on the geometric requirements and selection of materials in accordance with

the provisions of quantitative techniques, in addition it can be used to evaluate the

performance of programs and services that already exist and make changes to improve

the coverage of accessibility, effectiveness, and efficiency of the disabled. This study

found that all the roads in the survey are not accessible for the disabled based on three

standards. As the recommendations of the UN ESCWA standards can be adopted into

existing standards in Indonesia.

Keywords: Disability, Accessibility, Road Facility

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam skala internasional, dinyatakan oleh United Nations (1993) bahwa negara harus

mengakui dan menjamin aksesibilitas para penyandang cacat melalui penetapan program-

program aksi untuk mewujudkan aksesibilitas fisik penyandang cacat dan memberikan akses

terhadap informasi dan komunikasi. Jadi, dalam perencanaan suatu fasilitas publik sudah

mempertimbangkan aksesibilitas penyandang cacat (difabel) dan manusia usia lanjut (elderly)

untuk memberikan jaminan dan melindungi hak-hak mereka dalam mendapatkan kesempatan

yang sama guna meningkatkan kehidupan dan penghidupannya (Setyaningsih 2005).

World Health Organization (WHO) (2001) mendefiniskan difabel sebagai

ketidakmampuan atau keterbatasan seseorang akibat adanya ketidaknormalan atau hilangnya

struktur, fungsi psikologis, dan anatomis untuk melakukan aktivitas yang dianggap normal

bagi manusia, Sedangkan elderly adalah manusia yang mempunyai usia antara 60 – 74 tahun

yang ditandai dengan penurunan fungsi biologis dan psikis. Dari pengertian dapat disimpulkan

bahwa difabel sangat memerlukan penyediaan fasilitas publik yang memenuhi kriteria asas

aksesibilitas yaitu asas prioritas, integrasi, dan berkesinambungan (Pemerintah RI 1997).

2

UUD 1945 pasal 34 ayat 3 menyatakan bahwa “Negara bertanggungjawab atas

penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Hal ini berarti

pemerintah berkewajiban untuk meyediakan aksesibilitas pelayanan umum yang memadai

untuk seluruh warga negara tanpa kecuali, dan Pemerintah berkewajiban untuk menjamin

perencanaan dan penyediaan fasilitas publik sudah mempertimbangkan aksesibilitas bagi

difabel tanpa mengabaikan faktor kenyamanan, keamanan, dan keselamatan.

Australian Capital Territory (2013) menyatakan tren di 2012 hasil survei pelanggan

terhadap aksesibilitas berfokus lebih banyak pada kualitas layanan, fasilitas, keamanan dan

penyediaan informulirasi bukan pada penilaian aksesibilitas secara terukur. Aksesibilitas sering

dimasukkan sebagai tujuan dalam perencanaan transportasi, perencanaan tata guna lahan, dan

desain bangunan tetapi jarang diterjemahkan ke dalam ukuran kinerja dimana kebijakan

dievaluasi, sehingga sangat sulit untuk membandingkan alternatif solusi dengan cara rasional

sehubungan dengan perubahan aksesibilitas (Handy dan Niemeier, 1997).

Sebagai contoh standar aksesibilitas yang dikeluarkan oleh The American with Disabilities

Act (ADA) telah mengakomodir bagi difabel , tetapi hanya dianggap untuk memastikan bahwa

aksesibilitas untuk mereka sudah disediakan. Standar tersebut belum memiliki kepekaan bahwa

langkah-langkah lain untuk pengembangan aksesibilitas mungkin tersedia, karena standar ini

tidak memberikan perhatian khusus untuk penilaian atau kualitas akses yang sudah tersedia

(Church dan Marston 2002).

Maria C. Makri dan Caroline F. (1999) melakukan penelitian ini aksesibilitas diukur

dengan indikator jarak dan waktu tempuh perjalanan berdasarkan variabel tata guna lahan (land

use) dan sistem informasi geografis (GIS). Ukuran aksesibilitas yang dipilih untuk studi kasus ini

adalah ukuran jarak zone-to-point yang dihitung secara terpisah untuk berbagai tipe perjalanan

dan jenis pengguna jalan, yang menggunakan data asal-tujuan sebagai jarak terpendek dan waktu

tempuh perjalanan.

Richard L. Church dan James R. Marston melakukan pengukuran aksesibilitas dengan

mengukur aksesibilitas relatif yaitu kemudahan untuk mencapai suatu tempat atau lokasi yang

sama dengan cara yang berbeda tergantung jenis difabel. Indikator yang dipakai adalah jarak,

waktu tempuh, dan variabel yang digunakan berupa pemilihan rute yang dilalui dan jenis difabel.

Laura Ferrari, Michele Berlingerio, Franscesco Calabrese, Bill Curtis Davidson (2012)

mengukur aksesibilitas bagi penyandang cacat khususnya pengguna kursi roda pada jaringan

transportasi publik mereka menggunakan waktu tempuh asal-tujuan sebagai indikator dengan

variabel jenis kendaraan yang digunakan, akses ke halte bis dan rute terpendek. Dengan

menggunakan data origins-destination mereka mensimulasikan permintaan perjalanan, dan

mengevaluasi rute yang disediakan oleh perencana perjalanan jika perjalanan dilakukan oleh

pengguna kursi roda, dan ditemukan bahwa waktu tempuh yang digunakan 50% lebih lama dari

yang tidak menggunakan kursi roda.

Penelitian Sony Sulaksono Wibowo dan Farainy Adinda Gitawardhani (2011), mengukur

aksesibilitas bagi pejalan kaki dengan indikator nyaman atau tidak nyaman berdasarkan

karakteristik pejalan kaki seperti jenis kelamin, kepemilikan kendaraan bermotor, pendidikan,

pekerjaan, penghasilan, dan usia terhadap fasilitas jalur pejalan kaki. Penelitian ini dilakukan

untuk mengetahui ruang minimum yang dibutuhkan para pejalan kaki terhadap pemanfaatan

jalur trotoar jalan yang memenuhi rasa nyaman yang lebih baik sehingga orang akan

menggunakan moda berjalan lebih sering dibandingkan moda kendaraan bermotor untuk jarak

perjalanan yang pendek.

Slamet Thohari (2014) mengukur aksesibilitas dengan 3(tiga) indikator yaitu aksesibel,

kurang aksesibel, dan tidak aksesibel berdasarkan pada variabel fasilitas untuk disabilitas, yaitu

Ramp untuk pengguna kursi roda, guiding block bagi tuna netra, toilet khusus penyandang

disabilitas, dan parkir khusus bagi penyandang disabilitas di kota Malang. Penelitian ini

menghasilkan fasilitas umum di Kota Malang 72% tidak aksesibel, 24% kurang aksesibel, dan

0% aksesibel sesuai dengan standar peraturan yang ada.

3

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, untuk menghasilkan suatu fasilitas pelayanan

publik yang memenuhi kriteria aksesibilitas yang berkelanjutan bagi difabel diperlukan

pengukuran aksesibilitas untuk mengetahui tingkat pelayanan fasilitas jalan berdasarkan

persyaratan geometrik dan pemilihan bahan yang sesuai dengan ketentuan teknik yang besifat

kuantitatif (Kementerian PU 1999). Selain itu, pengukuran aksesibilitas bagi difabel dapat

digunakan untuk mengevaluasi kinerja dari program dan layanan yang sudah ada dan membuat

perubahan untuk meningkatkan cakupan aksesibilitas, efektivitas, dan efisiensi terhadap difabel

(WHO, 2011).

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan permasalahan dalam kajian ini

adalah;

a. Variabel apa saja yang harus ada dan menjadi tolak ukur dalam standar aksesibilitas

bagi difabel pada fasilitas jalan.

b. Kondisi eksisting yang ada apakah sudah memenuhi kriteria aksesibilitas bagi

difabel

c. Membandingkan standar Aksesibilitas difabel pada fasilitas jalan sudah terpenuhi

atau belum.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:

a. Mengindentifikasi dan memetakan status atau kondisi eksisting berdasarkan observasi

lapangan.

b. Membandingkan standar aksesibilitas bagi difabel yang ada di Indonesia dan luar negeri

pada fasilitas jalan, dan membandingkan dengan hasil observasi lapangan

c. Memberikan masukan komponen atau variabel yang harus terdapat di dalam standar

aksesibilitas bagi difabel yang ada di Indonesia.

Ruang Lingkup Analisis

Ruang lingkup analisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Memetakan ukuran dimensi komponen-komponen aksesibilitas bagi difabel pada fasilitas

jalan berdasarkan peraturan-peraturan dan persyaratan yang ada di dalam dan di luar negeri.

b. Melakukan survey atau observasi lapangan dalam memperoleh data untuk mengindentifikasi dan

mengevaluasi kondisi eksisting.

c. Menyusun usulan kerangka pendekatan standarisasi ukuran komponen-komponen aksesibilitas

bagi difabel pada fasilitas jalan berdasarkan pemetaan dari berbagai standar yang ada.

d. Menyusun rekomendasi sebagai alternatif solusi dalam upaya meningkatkan aksesibilitas

para difabel terhadap fasilitas jalan.

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Difabel

World Health Organization (WHO) (2001) mendefinisikan kecacatan dalam 3 kategori,

yaitu:

1. Impairment , adalah hilangnya atau ketidaknormalan struktur atau fungsi psikologis, fisik

atau anatomi.

2. Disability, mengacu kepada keterbatasan kemampuan untuk melakukan aktivitas secara

“normal” yang disebabkan oleh impairment .

3. Handicap, merupakan keadaan yang merugikan bagi seseorang yang diakibatkan oleh

impairment dan disability yang mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal dalam

konteks usia, jenis kelamin, social budaya maupun ekonomi

WHO merevisi konsep ini menjadi International Classification of Functioning Disability

and Health (ICF). Pada konsep ini, impairment bukanlah satu-satunya faktor yang menjadi

4

fokus dalam menilai keberfungsian kemampuan seseorang. Ada dua komponen utama yang

perlu dipelajari dalam memahami masalah difabel, yaitu:

1. Functioning (keberfungsian), meliputi keberfungsian badan/anatomi dan struktur serta

aktivitas dan partisipasi.

2. Disability (ketidakmampuan), bagian pertama meliputi keberfungsian

badan/anatomi dan struktur serta aktivitas dan partisipasi, sedangkan bagian kedua terdiri

dari faktor-faktor kontekstual, seperti faktor lingkungan dan faktor –faktor yang sifatnya

personal.

Menurut konsep ini, masalah difabel timbul sebagai interaksi dari berbagai komponen-

komponen tersebut. Keberfungsian secara fisik dan mental seseorang merupakan prasyarat

baginya untuk dapat berpartisipasi dalam berbagai aktivitas. Namun cara ini juga direfleksikan

dalam kehidupan sosial yang menyebabkan terhambatnya kaum difabel mendapatkan

kesempatan berpartisipasi secara sama dalam berbagai aktivitas dalam kehidupan masyarakat

(Eva Kasim, 2004).

Difabel merupakan istilah yang diindonesiakan dari diffable (people with different

abilities) yang berarti ketidakmampuan atau keterbatasan seseorang akibat adanya

ketidaknormalan atau hilangnya struktur, fungsi psikologis, dan anatomis untuk melakukan

aktivitas yang dianggap normal bagi manusia. Difabel bukan disable yang tidak memiliki

kemampuan, mereka memiliki kekurangan dan kelebihan sebagaimana manusia lain yang

mempunyai tugas dan kewajiban dalam penghidupannya (Sitorus 2012).

Jumlah difabel yang terdata di Indonesia adalah tuna netra ±1.749.981 jiwa, tuna rungu

wicara ± 602.784 jiwa, tuna daksa ± 1.652.741 jiwa, dan tuna grahita ± 777.761 Jiwa

(Departemen Sosial 2011). Jumlah tersebut terbilang tinggi, bahkan belum termasuk penyandang

cacat yang belum terdata. Berdasarkan angka yang ditetapkan oleh WHO (World Health

Organization) terdapat 15% penyandang disabilitas di Indonesia, dengan demikian terdapat

populasi mencapai 36 juta lebih dari populasi penduduk Indonesia ± 245 juta (WHO 2012).

Gambaran umum mengenai peraturan bagi difabel di negara lain diantaranya sebagai berikut:

a. Inggris memiliki tiga landasan hokum untuk difabel antara lain Disability Discrimination

Act 1995, Special Education Needs and Disability Act 2001, dan Disability Discrimination

Act 2005. Inggris juga memiliki kementerian khusus difabel (Ministry of Disability

People).

b. Di Kanada peraturan yang dimiliki dikenal dengan Ontarians with Disability Act 2002,

selain lebih lengkap dibandingkan Inggris pemerintah Kanada juga sangat ketat dalam

implementasinya.

c. Di Singapura Undang undang Difabel mengacu pada hukum Inggris.

d. Jepang tidak memiliki undang-undang khusus tentang difabel karena UUD Jepang sudah

menjamin hak-hak difabel.

Aksesibilitas

Pengertian aksesibilitas menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung

Negara adalah kemudahan yang disediakan bagi semua orang termasuk penyandang cacat dan

lansia guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.

Aksesibilitas dalam bangunan gedung dan lingkungan harus dilengkapi dengan penyediaan

fasilitas dan aksesibilitas, dan setiap orang atau badan termasuk instansi pemerintah dalam

penyelenggaraan pembangunan wajib memenuhi persyaratan teknis fasilitas dan aksesibilitas.

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 aksesibilitas merupakan kemudahan yang

disediakan bagi difabel guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan

dan penghidupan. Sedangkan yang dimaksud dengan kesamaan kesempatan adalah keadaan yang

memberikan peluang kepada difabel untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala

aspek kehidupan dan penghidupan.

5

Hak aksesibiltas difabel juga ditegaskan pada bagian lain dari Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1997 ini pada pasal 9 bahwa setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan

dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Kemudian dijelaskan dalam pasal 10 tentang

kesamaan hak para difabel, yaitu meliputi kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam

segala aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas.

Dalam Pedoman Teknik Persyaratan Aksesibilitas pada Jalan Umum No. 022/T/BM/199

dijelaskan tentang Prinsip asas aksesibilitas sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang

Nomor 4 tahun 1997 adalah sebagai berikut:

1. Asas Prioritas, yaitu asas yang memprioritaskan kawasan tertentu untuk menyediakan

prasarana aksesibilitas pada jalan umum, khususnya bagi para pejalan kaki termasuk

penyandang cacat.

2. Asas Integrasi, yaitu asas yang menyediakan prasarana aksesibilitas pada jalan umum yang

terintegrasi dengan prasarana aksesibilitas pada bangunan umum dan lingkungan, sehingga

para pemakai prasarana in menjadi mandiri tanpa merasa menjadi “objek belas kasihan”

(object of charity).

3. Asas Kesinambungan, yaitu asas yang memperhatikan prasarana aksesibilitas secara terus

menerus tanpa terputus dari asal sampai ke tujuan bagi para pemakai prasarana ini

sehingga semua orang dapat memasuki dan menikmati prasarana aksesibilitas pada jalan

umum dengan baik.

Dan persyaratan yang paling penting dalam menyediakan prasarana aksesibilitas pada jalan

umum adalah memenuhi persyaratan dan ketentuan teknik dari geometrik jalan , yaitu:

1. Aman, yaitu dengan memperhatikan permukaannya yang harus stabil, kuat dan tahan

cuaca, dan bertekstur halus tetapi tidak licin.

2. Nyaman, yaitu dengan memperhatikan keleluasaan bergerak bagi pemakai prasarana

aksesibilitas.

3. Legal, yaitu dengan pemasangan rambu lalu lintas dan marka jalan, sehingga pengguna

jalan memberikan perhatian dan mentaatinya secara hukum.

METODOLOGI PENELITIAN

Tahapan Penelitian

Untuk tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1, dan secara umum pelaksanaan

penelitian ini akan terdiri dari 3 tahapan utama, yakni:

1. Tahap persiapan, yang dimulai dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian,

dan batasan ruang lingkup analisis. Pada tahap ini digambarkan tentang kondisi sekarang

tentang aksesibilitas difabel, dan mengapa perlu adanya pengukuran terhadap kinerja

aksesibilitas difabel tersebut pada latar belakang dan perumusan masalah. Pada tujuan

penelitian disebutkan tujuan yang ingin dicapai dengan disertai oleh pembatasan pada

ruang lingkup analisis.

2. Tahap Design, yang berisi tinjauan pustakadari berbagai sumber yang dianggap relevan

dengan penelitian ini. Untuk tahapan ini akan menghasilkan suatu design instrumen

penelitian. Dalam penelitian ini instrumen penelitian yang dihasilkan dalam bentuk

Formulir survei. Formulir survei tersebut akan digunakan untuk pengumpulan data primer

dari observasi lapangan.

3. Tahap Pelaksanaan, tahap pelaksanaan terdiri dari pengumpulan dan pengolahan data,

analisis dan pembahasan, penarikan kesimpulan berdasarkan hasil penelitian, serta saran

untuk pengembangan penelitian selanjutnya.

Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data terbagi dua cara, yaitu :

1. Observasi, dengan pengamatan langsung yang dilakukan pada lokasi penelitian. Lokasi

yang diambil dalam penelitian ini adalah beberapa ruas jalan di Kota Bandung.

6

2. Studi Pustaka, dengan maksud untuk memperoleh berbagai informasi konsep dan teoritis

untuk memenuhi kebutuhan secara faktual dilapangan melalui pencarian pada dokumen,

peraturan, jurnal dan melalui internet.

Gambar 1 Bagan Alir

PEMBAHASAN

PELAKSANAAN SURVEI LAPANGAN

Sebelum dilakukan survei pada penelitian ini, terlebih dahulu harus diketahui kondisi

eksisting lokasi survei. Kondisi eksisting pada lokasi survei dibahas menurut dua hal, yaitu:

1. Fungsi dan Status Jalan

2. Geometrik Jalan

Fungsi dan Status Jalan

Lokasi survei diambil hanya beberapa ruas jalan dalam kewenangan Pemerintah Kota

Bandung. Panjang jalan masing-masing ruas jalan juga berdasarkan panjang jalan di observasi

yang akan dibagi dalam beberapa segmen, jadi bukan merupakan panjang jalan secara

keseluruhan. Nama jalan, fungsi, dan statusnya ditampilkan pada Tabel 1.

7

Tabel 1 Fungsi dan Status Jalan Lokasi Survei

No. Ruas Jalan Fungsi Tipe

Panjang

Observasi

(m)

Status

1 Jl. Diponegoro Arteri Sekunder 4/2 D dan UD 1200 Kota Bandung

2 Jl. WR Supratman Arteri Sekunder 4/2 D 1160 Kota Bandung

3 Jl. Ir Juanda Kolektor Sekunder 4/2 D 1400 Kota Bandung

4 Jl. Merdeka Kolektor Sekunder 4/2 UD 800 Kota Bandung

5 Jl. Banda Lokal 2/2 UD 350 Kota Bandung

6 Jl. Belitung Lokal 2/2 UD 300 Kota Bandung

7 Jl. Gudang Utara Lokal 2/2 UD 800 Kota Bandung

8 Jl. Gandapura Lokal 2/2 UD 700 Kota Bandung

Geometrik Jalan

Dari 8 (delapan) ruas jalan yang diambil sebagai sampel penelitian ini, masing-masing ruas

jalan tersebut akan dibagi ke dalam beberapa segmen yang berguna untuk memudahkan

pelaksanaan survei. Panjang segmen pada tiap ruas jalan tidak sama. Sebagai acuan, panjang

observasi adalah adanya persimpangan, keseragaman geometrik jalan, dan kondisi variabel

aksesibilitas yang ditemukan pada eksisting. Kondisi Geometrik dan pembagian segmen ruas

jalan yang di survei terdapat pada Tabel 1.

HASIL SURVEI AKSESIBILITAS BAGI DIFABEL PADA FASILITAS JALAN

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa standar yang digunakan dalam penelitian

ini hanya mengambil 3(tiga) standar, yang terdiri dari 1 (satu) standar dari dalam negeri dan

2(dua) standar dari luar negeri, yaitu:

1. Pedoman Teknik Persyaratan Aksesibilitas pada Jalan Umum No. 022/T/BM/1999 Dept.

Pekerjaan Umum

2. Federal Highway Administration (FHWA)

3. United Nations Economic and Social Commission for Western Asia (UN ESCWA)

Trotoar

Kesimpulan dari matriks standar tentang trotoar terhadap hasil survei sebagai berikut:

1. Lebar trotoar yang terdapat semua ruas jalan tidak sama dan bervariasi dengan lebar antara

1- 2,5 m (sebagian) dengan kondisi seragam dan stabil. Dari sisi lebar trotoar hanya

sedikit segmen yang telah memenuhi lebar yang disyaratkan oleh Pedoman Teknik Dept.

PU dan UN ESCWA,sedangkan sebagian besar segmen memiliki lebar trotoar dibawah 1,5

m, dan menurut standar FHWA seluruh segmen jalan diponegoro tidak memenuhi

persyaratan yang ditentukan yaitu 1,8 m – 3 m.

2. Jalur pemandu yang berupa ubin pemandu dan ubin peringatan tidak terdapat pada hampir

seluruh jalan yang di survei, jalur pemandu hanya terdapat pada sebagian jalan Gudang

Utara, Jalan Merdeka, dan Jalan Gandapura , yang penempatan posisinya tidak

mempertimbangkan seperti yang disyaratkan seperti pada setiap perubahan ketinggian

trotoar, perubahan arah, disekitar perabot jalan yang menjadi penghalang atau pada tempat

penyeberangan. Dari dimensi hanya memenuhi persyaratan dari Standar Pedoman Teknik

Dept. PU, tetapi untuk penempatan posisi tidak memenuhi syarat dari ketiga standar.

8

Rintangan/Penghalang (Obstructions)

Kesimpulan hasil survei apabila dibandingkan dengan 3 standar:

1. Dari 31 segmen terdapat 22 segmen yang masih aksesibel dan memenuhi standar UN

ESCWA lebar trotoar bebas minimal 0,9 meter dan FHWA dengan lebar trotoar bebas

minimal 0,69 meter.

2. Untuk syarat tinggi area bebas minimal 2 meter (UN ESCWA) dan 2,03 meter (FHWA)

terpenuhi pada seluruh segmen jalan.

3. Penghalang paling dominan yaitu tiang listrik dan pohon yang penempatan posisinya

berada di tengah trotoar.

4. Ubin peringatan tidak terdapat pada sekitar objek penghalang, hanya ada ubin pemandu

pada beberapa segmen Jalan Merdeka, Jalan Gudang Utara, Jalan Banda, dan Jalan

Belitung.

Rambu-rambu (Signage)

Kesimpulan 3 standar bila dibandingkan dengan hasil survei dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1. Dua standar yaitu Pedoman Teknik Dept. PU dan UN ESCWA mensyaratkan bahwa harus

dipasang rambu petunjuk khusus bagi difabel dengan simbol internasional yang tidak

ditemukan pada seluruh segmen ruas jalan yang disurvei.

2. Rambu petunjuk hanya berupa rambu lalu lintas dan rambu petunjuk jalan standar Dept.

Perhubungan, yang penempatan posisinya pada beberapa segmen jalan menjadi

penghalang, seperti pada Jalan Banda, Jalan Belitung, Jalan Merdeka, dan Jalan

Gandapura.

Perabot Jalan (Street Furniture)

Dari ketiga standar terhadap hasil survei didapatkan kesimpulan antara lain:

1. Standar Pedoman Teknik Dept. PU dan UN ESCWA mensyaratkan penyediaan rest area

pada trotoar setiap jarak 90 m yang tidak terpenuhi pada seluruh segmen jalan yang di

survei, dan standar FHWA menentukan ruang khusus perabot jalan dengan lebar 1,2 meter-

1,8 meter yang tidak mengganngu jalur pejalan kaki yang juga tidak terpenuhi pada seluruh

segmen ruas jalan.

2. Perabot jalan yang terdapat pada seluruh ruas jalan sebagian besar hanya menjadi

penghalang bagi difabel, penempatan posisi yang tidak tepat (UN ESCWA dan FHWA)

dan tanpa dilengkapi dengan ubin peringatan (UN ESCWA) mengurangi lebar minimum

bebas trotoar.

3. Halte bis dan Bus Stop yang terdapat pada sebagian ruas jalan yang disurvei dari desain

yang dibangun tidak mengakomodasi bagi para difabel karena tidak terdapat ramp acces

dan lebar minimal juga tidak memenuhi dibawah 1,5 m. Dari 3(tiga) standar yang ada

secara keseluruhan tidak memenuhi.

Kerb dan Pinggiran Kelandaian (Curb Ramps)

Dari hasil survei jika dibandingkan dengan 3 standar sebagai berikut:

1. Curb ramp tampaknya belum familiar untuk dimasukkan dalam setiap perencanaan

penyeberangan pejalan kaki walaupun didalam Pedoman Teknik Dept. PU sudah diatur

standar dan penempatannya.

2. Satu-satunya jalan yang mempunyai curb ramp pada lokasi survei adalah penyeberangan

pejalan kaki pada Jalan Ir. Juanda dan Jalan Surapati dengan kondisi curb ramp yang tidak

dapat di akses bagi difabel karena hanya tersedia pada satu sisi saja, dan terdapat

perbedaan tinggi dengan badan jalan , serta tidak didukung oleh lapak tunggu yang

terdapat pada median.

9

Penyeberangan Pejalan Kaki (Pedestrian Crossing)

Perbandingan matriks dari ketiga standar tentang penyeberangan pejalan kaki terhadap

hasil survei:

1. Dari hasil survei 31 segmen terdapat 20 penyeberangan sebidang dan 3 penyeberangan

tidak sebidang. Penyeberangan sebidang semuanya tidak tersedia pelikan seperti yang

disyaratkan 3 standar.

2. Kelengkapan pendukung seperti curb ramp tidak tersedia pada 19 tempat penyeberangan

pejalan kaki yang disurvei, dan pada 1 tempat penyeberangan hanya tersedia pada satu sisi

saja.

3. Ubin pemandu/peringatan tidak tersedia pada seluruh persimpangan yang di survei,

sedangkan lapak tunggu terdapat pada 3 penyeberangan di jalan Ir Juanda dengan lebar <

1 meter tanpa ramp acces.

Parkir (Parking)

Kesimpulan standar terhadap hasil survei adalah pada seluruh segmen ruas jalan yang di

survei tidak ditemukan area parkir yang diperuntukkan khusus untuk difabel, baik di dalam

maupun diluar gedung

Kesimpulan dari masing-masing variabel penelitian berdasarkan pemetaan 3(tiga) standar

terhadap hasil observasi lapangan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Pemetaan Hasil Survei terhadap 3(tiga) standar

No Variabel Indikator Dept.

PU

UN

ESCWA FHWA

1 Koridor/trotoar - Lebar (m)

- Kelandaian (%)

- Permukaan (Material,

kondisi)

- Ubin Pemandu (Dimensi,

Posisi, kondisi)

- Ubin Peringatan (Dimensi,

Posisi, kondisi)

×

×

×

×

×

-

×

2 Rintangan/Penghalang

(Obstructions)

- Bentuk

- Syarat

- Penempatan Posisi

- Ubin Peringatan (posisi)

-

-

-

-

×

×

×

×

×

×

×

-

3 Rambu Petunjuk

(Signage)

- Ketentuan (Warna, simbol)

- Penempatan Posisi

- Dimensi

×

×

×

×

×

×

-

×

-

4 Perabot Jalan (Street

Furniture)

- Jenis/Bentuk

- Syarat

- Ubin Peringatan

- Penempatan Posisi

-

×

-

-

-

×

×

×

-

×

-

×

5 Kerb dan Pinggiran

Kelandaian (Curb

Ramps)

- Dimensi

- Penempatan Posisi

- Ubin Pemandu/peringatan

- Kelandaian

×

×

×

×

×

×

×

×

×

×

×

×

6 Penyeberangan

Pejalan Kaki

(Pedestrian Crossings)

- Jenis (Bersinyal/tidak

bersinyal atau

sebidang/tidak sebidang)

- Curb Ramps (ada/tidak ada)

- Pelikan

-

×

×

×

-

×

×

×

-

×

×

×

10

- Ubin Pemandu/peringatan

- Lapak tunggu (Ada/tidak

ada, dimensi)

-

×

×

×

×

×

7 Parkir (Parking) - Lokasi

- Dimensi

- Ubin Pemandu/peringatan

- Curb Ramps (Lebar,

kelandaian)

- Rambu Petunjuk

-

×

-

-

-

×

×

×

×

×

-

-

-

-

-

Keterangan :

√ = Standar Terpenuhi

× = Standar Tidak Terpenuhi

DISKUSI TENTANG STANDAR DAN VARIABEL AKSESIBILITAS DIFABEL PADA

FASILITAS JALAN

Dari hasil observasi pada ruas jalan di kota bandung didapatkan temuan lapangan bahwa

pada perencanaan awal pemilihan ruas jalan yang dipilih berdasarkan fungsi jalan diperkirakan

akan didapatkan hasil temuan yang berbeda untuk hasil aksesibilitas bagi difabel pada jalan

tersebut. Setelah dilakukan observasi lapangan, penulis memutuskan bahwa pembahasan variabel

pada hasil observasi lapangan dilakukan tanpa membedakan fungsi jalan karena hal-hal sebagai

berikut:

1. Dari 7 variabel yang disurvei pada ruas jalan, temuan mengenai masalah relatif sama dan

seragam pada seluruh ruas jalan dan fungsi jalan.

2. Tidak ditemukan banyak perbedaan fasilitas jalan berdasarkan fungsi jalan pada ruas-ruas

jalan di Kota Bandung, perbedaan hanya pada lebar badan jalan pada jalan lokal.

3. Fungsi jalan pada ruas-ruas jalan yang diobservasi di Kota Bandung tidak dapat dijadikan

tolak ukur bahwa semakin tinggi tingkatan fungsi jalan maka variabel aksesibilitas yang

tercapai juga semakin banyak, karena perencanaan dan pembangunan jalan tidak sesuai

dengan ketentuan teknis yang berlaku.

4. Fungsi jalan pada ruas-ruas jalan di Kota Bandung belum memenuhi persyaratan sesuai

dengan PP No.34 tahun 2006 tentang jalan.

Untuk standar dan variabel yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada Peraturan

Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang

cacat, bahwa perencanaan dan pembangunan prasarana aksesibilitas fisik harus memberikan

kemudahan pencapaian, prasarana aksesibilitas yang dimaksud dapat berupa akses ke dan dari

jalan umum, akses ke tempat pemberhentian bis/kendaraan, jembatan atau jalur penyeberangan

bagi pejalan kaki, tempat parkir dan naik/turun penumpang, tanda/rambu-rambu lalu lintas dan

atau marka jalan, dan trotoar bagi pejalan kaki/pemakai kursi roda.

Ketentuan yang terdapat pada PP tersebut harus dijadikan pedoman untuk menyusun

standar aksesibilitas bagi difabel pada fasilitas jalan. Selanjutnya, dari penelitian ini dapat

disimpulkan dua hal penting yang tidak boleh dilupakan pada penyusunan standar aksesibilitas

bagi difabel adalah jalur sirkulasi pejalan kaki dan akses rute pejalan kaki.

Jalur sirkulasi pejalan kaki bagi difabel merupakan jalur yang disusun sedemikian rupa

pada ruang manfaat jalan (RUMAJA) sehingga penempatan posisi penghalang baik secara

vertikal maupun horizontal tidak mengganggu jalur pejalan kaki. Jalur sirkulasi ini dapat

langsung berbatasan dengan jalan berupa atau dapat dibelakang pagar pembatas, Atau dengan

kata lain jalur sirkulasi pejalan kaki harus mempertimbangkan perletakan perabot jalan dan

pelengkap jalan.

Rute akses pejalan kaki merupakan bagian jalur sirkulasi pejalan kaki yang

menghubungkan ke semua fasilitas pejalan kaki dan ruang yang berdekatan yang diperlukan

11

untuk diakses, rute akses pejalan kaki bagi difabel ini harus bebas dari penghalang vertikal

maupun horizontal, dilengkapi dengan ramp acces dan curb ramp apabila terjadi perbedaan

ketinggian, dan memenuhi syarat lebar minimum yang diperlukan oleh difabel sesuai dengan

anthropometri (pengukuran dimensi tubuh manusia) difabel. Rute akses pejalan kaki juga harus

didukung oleh kelandaian tidak melebihi ketentuan dan jenis permukaan yang kuat, stabil, dan

anti slip.

Dari pemetaan hasil survei terhadap 3 standar pada tabel 2 dapat diketahui bahwa hasil

observasi lapangan hanya 3 indikator dari variabel trotoar yang memenuhi standar, sedangkan

untuk variabel yang lainnya tidak memenuhi standar. Dan untuk mengambil kesimpulan apakah

ruas jalan yang disurvei tersebut aksesibel atau tidak aksesibel perlu juga dipertimbangkan

apakah derajat kepentingan masing-masing indikator dari variabel juga perlu diperhitungkan.

Dari hasil observasi lapangan dan studi literatur penulis dapat mengambil kesimpulan masing-

masing indikator memiliki derajat kepentingan yang sama dan sangat sulit untuk diperhitungkan

variable yang menjadi prioritas karena:

1. Aksesibilitas bagi difabel secara logika merupakan suatu link aktivitas yang terhubung satu

sama lain sehingga menjadi suatu “rantai perjalanan” yang apabila salah satu link tersebut

tidak dapat diakses maka perjalanan menjadi tidak mungkin.

2. Aksesibilitas yang dijadikan penelitian ini bersifat khusus yaitu bagi difabel yang memiliki

keterbatasan, sehingga bila salah satu indikator dari variabel tidak terpenuhi akan

menyulitkan aksesibilitas difabel.

3. Derajat kepentingan indikator dari variabel aksesibilitas dapat diperhitungkan apabila yang

menjadi objek adalah manusia normal yang tidak memiliki keterbatasan, dan tidak

mempengaruhi aksesibilitas mereka apabila salah satu variabel atau indikator tersebut

dihilangkan.

4. Ruas jalan tersebut tetap dikatagorikan tidak aksesibel bagi difabel, karena ruas – ruas

jalan yang disurvei tidak berdiri sendiri dan tetap sebagai suatu jaringan, walaupun pada

saat survei ruas jalan tersebut dibagi menjadi beberapa segmen, dan terdapat segmen yang

memenuhi beberapa indikator dari standar.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian mengenai aksesibilitas dapat diambil kesimpulan:

1. Berdasarkan hasil observasi lapangan terhadap 7 variabel pada 8 ruas jalan didapatkan

bahwa seluruh ruas jalan yang di survei tidak aksesibel bagi difabel, karena untuk aksesibel

seluruh indikator harus terpenuhi karena indikator dari variabel memiliki derajat

kepentingan yang sama.

2. Dari perbandingan dan pemetaan 3(tiga) standar terhadap hasil survei lapangan didapati

bahwa:

a. Standar aksesibilitas bagi difabel berdasarkan Pedoman Teknik No. 022/T/BM/1999

Dept. Pekerjaan Umum dan Standar UN ESCWA hanya terpenuhi 3 indikator dari

variabel trotoar, sedangkan untuk variabel yang lainnya secara keseluruhan semua

indikator tidak terpenuhi.

b. Standar Federal Highway Administration (FHWA) memenuhi 2 indikator dari variabel

trotoar, sedangkan variabel yang lain sama dengan 2 standar yang lain tidak memenuhi.

3. Sebagai rekomendasi, dari hasil penelitian ini adalah:

a. Standar dari UN ESCWA mengenai trotoar, rintangan/penghalang, signage, perabot

jalan, curb ramp, penyeberangan pejalan kaki dapat diadopsi dan dimasukkan ke dalam

standar yang ada di Indonesia.

b. Untuk standar mengenai parkir khusus difabel kurang cocok untuk diaplikasikan di

Indonesia karena membutuhkan ruang dan dimensi yang lebih luas yang susah untuk

diakomodir disebabkan keterbatasan lahan.

12

SARAN

Beberapa saran untuk penelitian selanjutnya sebagai berikut :

1. Penelitian ini dilakukan dengan batasan ruang lingkup beberapa ruas jalan di Kota

Bandung. Dapat dilakukan penelitian serupa dengan batasan ruang lingkup nasional atau

dapat juga dilakukan secara bertahap pada wilayah-wilayah tertentu sehingga pada

akhirnya dapat digeneralisasi secara nasional. Untuk melakukan penelitian dengan ruang

lingkup wilayah yang luas harus dipertimbangkan mengenai ketersediaan dana dan waktu

penelitian.

2. Pada penelitian ini usulan pendekatan standardisasi mengadopsi 3(tiga) standar yaitu

Pedoman Teknik Persyaratan Aksesibilitas pada Jalan Umum No. 022/T/BM/1999 Dept.

Pekerjaan Umum, Standar Federal Highway Administration (FHWA), dan Standar United

Nations Economic and Social Commission for Western Asia (UN ESCWA), dapat

dilakukan penelitian serupa dengan tambahan referensi standar yang berasal dari negara

lain.

UCAPAN TERIMAKASIH

1. Tri Basuki Joewono, Ph.D., selaku Dosen Pembimbing pada penelitian ini

2. Bapak Santoso Urip Gunawan, Ir., MT., dan Bapak Dr. Ir. Hikmat Iskandar, M.Sc., yang

telah banyak memberikan masukan dalam penyelesaian penelitian ini.

3. Universitas Katolik Parahyangan untuk memfasilitasi penelitian ini.

4. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang telah berkenan untuk menerima tulisan ini

pada Jurnal Kokoh.

DAFTAR PUSTAKA

Australian Capital Territory. (2013), Action Plan for Accessible Public Transport in the ACT

2013 – 2018, Justice and Community Safety Directorate, Canberra.

Boodlal, L. (2001), Accessible Sidewalks and Street Crossings-an Informational Guide, Federal

Highway Administration, U.S. Department of Transportation, Virginia.

Church, R. L., dan Marston, J. R. (2003), Measuring Accessibility for People with a Disability,

Geographical Analysis Vol. 35 No.1, The Ohio State University, Ohio USA.

United States Department of Justice Civil Rights Division. (1996), The Americans with

Disabilities Act (ADA) Accessibility Guidelines for Buildings and Facilities, Washington.

D.C.

Ferari, L., Berlingerio, M., Calabrese, F., Davidson, B.C. (2012), Measuring The Accessibility of

a Public Transportation Metwork for People with Disabilities, IBM Research, Dublin.

Handy, S. L., dan Niemeier, D.A. (1997). Measuring Accesibility , An Exploration of Issues and

Alternatives . Environment and Planning A 29, 1175-1194, USA.

Makri, M.C., dan Folkesson. C. (1998), Accessibility Measures for Analyses of Land Use and

Travelling with Geographical Information Systems, Sweden.

Medisa, PT. (1999), Persyaratan Aksesibilitas Pada Jalan Umum N0.022/T/BM/1999,

Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.

13

Pemerintah Republik Indonesia. (1945), Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik

Indonesia 1945, Jakarta.

Pemerintah Republik Indonesia. (1997), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang

Penyandang Cacat, Jakarta.

Pemerintah Republik Indonesia. (1998), Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang

upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat, Jakarta.

Pemerintah Republik Indonesia. (2011), Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor Pm 13

Tahun 2014 tentang Rambu Lalu Lintas, Jakarta.

Setyaningsi, W. (2005), Policy and regulation supporting inclusion in Indonesia. Perwujudan

Elemen Aksesibilitas Bangunan Gedung dan Lingkungan, UNS, Unit Kajian Aksesibilitas

Arsitektur, Solo.

Solidere. (2001), Accessibility for The Disabled A Design Manual For Barrier Free

Environment, UN ESCWA, New York.

Thohari, S. (2014), Pandangan Disabilitas dan Aksesibilitas Fasilitas Publik bagi Penyandang

Disabilitas di Kota Malang, Universitas Brawijaya, Malang.

United Nation. (1993), Standard Rules on the Equalization of Oppurtunities for Person With

Disabilities, New York

Wibowo, S.S. dan Gitawardhani, F.A. (2011), Ruang Pejalan Kaki Yang Nyaman Untuk

Kawasan Perkotaan, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

World Health Organization. (2011), World Report on Disability 2011, Geneva.