sering disingkat dengan “gepeng”. ii.pdfdigunakan di amerika serikat untuk menyebutkan...

33
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS 2.1 Pengertian Gelandangan dan Pengemis Kata gelandangan dan pengemis sering disingkat dengan “gepeng”. Masyarakat Indonesia secara umum sudah sangat akrab dengan akronim/singkatan gepeng(gelandangan dan pengemis) tersebut yang mana tidak hanya menjadi kosakata umum dalam percakapan sehari-hari dan topik pemberitaan media massa, tetapi juga sudah menjadi istilah dalam kebijakan pemerintah merujuk pada sekelompok orang tertentu yang lazim ditemui di kota-kota besar. Kosakata lain yang juga sering digunakan untuk menyebutkan keberadaan gelandangan dan pengemis tersebut di masyarakat Indonesia adalah tunawisma. 48 Apabila kita lihat dan bandingkan dengan fenomena gelandangan dan pengemis yang terjadi di luar negeri seperti Amerika Serikat, maka istilah yang populer digunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah homeless. 49 Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis yang dimaksud dengan gelandangan dan pengemis tersebut adalah sebagai berikut: 48 Maghfur Ahmad, 2010, Strategi Kelangsungan Hidup Gelandangan dan Pengemis (Gepeng), Jurnal Penelitian STAIN Pekalongan: Vol. 7. No. 2, Pekalongan, h. 2. 49 Engkus Kuswarno, 2008, Metode Penelitian Komunikasi Contoh-Contoh Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis: “Manajemen Komunikasi Pengemis”, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, h. 88. 38

Upload: duongxuyen

Post on 18-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

38

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENANGGULANGAN

GELANDANGAN DAN PENGEMIS

2.1 Pengertian Gelandangan dan Pengemis

Kata gelandangan dan pengemis sering disingkat dengan “gepeng”.

Masyarakat Indonesia secara umum sudah sangat akrab dengan akronim/singkatan

“gepeng” (gelandangan dan pengemis) tersebut yang mana tidak hanya menjadi

kosakata umum dalam percakapan sehari-hari dan topik pemberitaan media

massa, tetapi juga sudah menjadi istilah dalam kebijakan pemerintah merujuk

pada sekelompok orang tertentu yang lazim ditemui di kota-kota besar.

Kosakata lain yang juga sering digunakan untuk menyebutkan keberadaan

gelandangan dan pengemis tersebut di masyarakat Indonesia adalah tunawisma.48

Apabila kita lihat dan bandingkan dengan fenomena gelandangan dan pengemis

yang terjadi di luar negeri seperti Amerika Serikat, maka istilah yang populer

digunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis

adalah homeless.49

Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang

Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis yang dimaksud dengan gelandangan

dan pengemis tersebut adalah sebagai berikut:

48Maghfur Ahmad, 2010, Strategi Kelangsungan Hidup Gelandangan dan Pengemis (Gepeng),Jurnal Penelitian STAIN Pekalongan: Vol. 7. No. 2, Pekalongan, h. 2.

49Engkus Kuswarno, 2008, Metode Penelitian Komunikasi Contoh-Contoh PenelitianKualitatif Dengan Pendekatan Praktis: “Manajemen Komunikasi Pengemis”, PT RemajaRosdakarya, Bandung, h. 88.

38

Page 2: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

39

- Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai

dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak

mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan

hidup mengembara di tempat umum;

- Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan

meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk

mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

Departemen Sosial Republik Indonesia juga memberikan rumusan yang sama

dengan Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan

Gelandangan dan Pengemis mengenai pengertian gelandangan dan pengemis

tersebut sebagai berikut:

Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuaidengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat sertatidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentudan hidup mengembara di tempat umum. Pengemis adalah orang-orang yangmendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagaialasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang.50

Selanjutnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa

pengertian gelandangan adalah “orang yang tidak punya tempat tinggal tetap,

tidak tentu pekerjaannya, berkeliaran, mondar-mandir kesana-sini tidak tentu

tujuannya, bertualang”.51 Berikutnya, pengertian pengemis adalah “orang yang

meminta-minta”.52

50Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, 2005, Standar Pelayanan MinimalPelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis, Depsos RI, Jakarta, h. 2.

51Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisike-3, Balai Pustaka, Jakarta, h. 281.

52Ibid, h. 532.

Page 3: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

40

Menurut Parsudi Suparlan, gelandangan berasal dari kata gelandang dan

mendapat akhiran “an”, yang berarti selalu bergerak, tidak tetap dan berpindah-

pindah. Beliau juga mengemukakan pendapatnya tentang apa yang dimaksud

dengan masyarakat gelandangan adalah sejumlah orang yang bersama-sama

mempunyai tempat tinggal yang relatif tidak tetap dan mata pencaharian yang

relatif tidak tetap serta dianggap rendah dan hina oleh orang-orang diluar

masyarakat kecil itu yang merupakan suatu masyarakat yang lebih luas. Tindakan-

tindakan yang dilakukan oleh anggota-anggotanya serta norma-norma yang ada

pada masyarakat gelandangan tersebut dianggap tidak pantas dan tidak dibenarkan

oleh golongan-golongan lainnya dalam masyarakat yang lebih luas yang

mencakup masyarakat kecil itu.53

Berikutnya, khusus untuk kata pengemis lazim digunakan untuk sebutan bagi

orang yang membutuhkan uang, makanan, tempat tinggal, atau hal lainnya dari

orang yang ditemuinya dengan cara meminta. Berbagai atribut mereka gunakan,

seperti pakaian compang-camping dan lusuh, topi, gelas plastik atau bungkus

permen, atau kotak kecil untuk menempatkan uang yang mereka dapatkan dari

meminta-minta. Mereka menjadikan mengemis sebagai pekerjaan mereka dengan

berbagai macam alasan, seperti kemiskinan dan ketidakberdayaan mereka karena

lapangan kerja yang sempit.54

Gorris Keeraf mencatat bahwa secara historis asal usul kata pengemis tersebut

tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta Hadiningrat dan kebiasaan

53Parsudi Suparlan, 1978, Gambaran Tentang Suatu Masyarakat Gelandangan Yang SudahMenetap, FSUI, h. 1

54Dimas Dwi Irawan, 2013, Pengemis Undercover Rahasia Seputar Kehidupan Pengemis,Titik Media Publisher, Jakarta, h. 1.

Page 4: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

41

orang jawa yang memiliki kecenderungan menamakan sesuatu berdasarkan

kejadian atau waktu-waktu tertentu. Cerita yang berkembang di daerah Kesunanan

Surakarta Hadiningrat tersebut mengisahkan bahwa dahulu pada suatu hari,

penguasa Kerajaan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh seorang raja

bernama Pakubuwono X yang pada masa itu memang dikenal sangat dermawan

serta gemar membagi-bagikan sedekah untuk kaum tak mampu terutama

dilakukan menjelang hari Jumat khususnya pada hari Kamis sore.

Pada hari Kamis tersebut diatas, Raja Pakubuwono keluar dari istananya untuk

melihat-lihat keadaan rakyatnya, dari istana menuju Masjid Agung. Perjalanan

dari gerbang istana menuju Masjid Agung ditempuh dengan berjalan kaki dari

istana menuju Masjid Agung. Perjalanan dari gerbang istana menuju Masjid

Agung ditempuh dengan berjalan kaki yang tentunya melewati alun-alun lor

(alun-alun utara), rupanya di sepanjang jalan rakyatnya berjejer rapi di kanan dan

kiri jalan. Mereka memberikan salam dan menundukkan kepala sebagai tanda

penghormatan kepada pemimpinnya. Pada saat itu sang raja tidak menyia-nyiakan

kesempatan untuk bersedekah dan langsung diberikan kepada rakyatnya. Kegiatan

yang dilakukan sang raja merupakan warisan yang dilakukan oleh pendahulunya

yang juga seorang penguasa. Ternyata kebiasaan tersebut yang dilakukan setiap

kamis tersebut berlangsung terus menerus, dan dalam bahasa Jawa Kamis dibaca

kemis, maka lahirlah sebutan untuk orang yang mengharapkan berkah di hari

Kemis. Istilah ngemis (kata ganti untuk sebutan pengharap berkah di hari Kemis)

Page 5: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

42

dan orang yang melakukannya disebut dengan nama pengemis (pengharap berkah

pada hari Kemis).55

Kata pengemis rupanya telah masuk salah satu kosakata bahasa Indonesia

yang tentunya memiliki kata dasar Kemis (Kamis) bukan emis. Sebutan pengemis

pun lebih sering digunakan daripada kata peminta-minta. Padahal jika diuraikan

dan diambil kata dasarnya kata kemis atau emis tidak dikenal dalam kosakata

bahasa Indonesia kecuali jika ada tambahan awalan pe- sehingga membentuk kata

pengemis. Lain halnya dengan kata peminta-minta yang memiliki kata dasar

minta yang artinya sudah jelas bahkan bisa berdiri sendiri.

2.2 Peraturan Perundang-Undangan Terkait Penanggulangan Gelandangan

dan Pengemis

Dalam penanggulangan atau penanganan masalah gelandangan dan pengemis

di Indonesia, khususnya yang terjadi pula di Kota Denpasar, maka terdapat

beberapa aturan hukum yang relevan dan dapat dijadikan pedoman/landasan

sebagai berikut:

1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2009 tentang

Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No.

12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4967);

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 39 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia

55Ibid, h. 4.

Page 6: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

43

Tahun 2012 No. 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.

5294);

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1980 tentang

Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1980 No. 51, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia No. 3177);

4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

5. Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000

tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum (Lembaran Daerah Kota Daerah

Tingkat II Denpasar No. 1 Tahun 1994 Seri D No. 1; Lembaran Daerah Kota

Denpasar No. 4 Tahun 2000).

1. Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

Menurut Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

ini gelandangan dan pengemis dikategorikan sebagai kelompok masyarakat yang

mengalami disfungsi sosial atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

(PMKS). Sebagai aturan hukum tentang kesejahteraan sosial di Indonesia, maka

Undang-Undang ini menekankan kegiatan pokok yaitu penyelenggaraan

kesejahteraan sosial bagi masyarakat yaitu yang diprioritaskan kepada mereka

yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki

kriteria masalah sosial: kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan,

keturunan sosial dan penyimpangan pelaku, korban bencana, dan atau korban

tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi (Pasal 2 dan 5 UU RI No. 11 Tahun

2009). Dalam lingkup ini gelandangan dan pengemis jelas sebagai kelompok

Page 7: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

44

masyarakat yang mengalami masalah kemiskinan sehingga kegiatan

penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut haruslah menyentuh gelandangan

dan pengemis.

Dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 ditegaskan

bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:

a. Rehabilitasi sosial yaitu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk

memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar

dalam kehidupan masyarakat;

b. Jaminan sosial yaitu skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat

agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak;

c. Pemberdayaan sosial yaitu semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan

warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga

mampu memenuhi kebutuhan dasarnya;

d. Perlindungan sosial yaitu semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan

menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial.

Salah satu lingkup kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut diatas

yang relevan dan penting diperhatikan dalam rangka penanggulangan

gelandangan dan pengemis adalah rehabilitasi sosial, apalagi diperuntukkan

kepada gelandangan dan pengemis yang terjaring razia oleh petugas/instansi

terkait sehingga upaya rehabilitasi sosial tersebut nantinya diharapkan dapat

memulihkan dan mengembangkan kemampuan gelandangan dan pengemis yang

mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara

wajar. Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang RI No. 11

Page 8: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

45

Tahun 2009 ditegaskan pula bahwa rehabilitasi sosial tersebut dapat dilaksanakan

secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun

panti sosial. Kegiatan rehabilitasi sosial tersebut diberikan dalam bentuk:

a. Motivasi dan diagnosis psikososial;

b. Perawatan dan pengasuhan;

c. Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;

d. Bimbingan mental spiritual;

e. Bimbingan fisik;

f. Bimbingan sosial dan konseling psikososial;

g. Pelayanan aksesibilitas;

h. Bantuan dan asistensi sosial;

i. Bimbingan resosianlisasi;

j. Bimbingan lanjut; dan atau

k. Rujukan.

2. Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial

Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial adalah merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang

RI No. 11 Tahun 2009 yang mana dalam ketentuan Pasal 6 huruf (e) dan (f)

Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tersebut ditegaskan bahwa terhadap

gelandangan dan pengemis patut mendapatkan rehabilitasi sosial dalam rangka

kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia.

Rehabilitasi sosial ini ditujukan untuk mengembalikan keberfungsian secara fisik,

Page 9: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

46

mental, dan sosial, serta memberikan dan meningkatkan keterampilan bagi

gelandangan pengemis.

Dalam ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tersebut

ditegaskan pula bahwa rehabilitasi sosial dapat dilaksanakan secara persuasif,

motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial.

Rehabilitasi sosial yang dilakukan secara persuasif adalah berupa ajakan, anjuran,

dan bujukan dengan maksud untuk meyakinkan seseorang agar bersedia

direhabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial secara motivatif adalah berupa dorongan,

pemberian semangat, pujian, dan atau penghargaan agar seseorang tergerak secara

sadar untuk direhabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial secara koersif adalah berupa

tindakan pemaksaan terhadap seseorang dalam proses rehabilitasi sosial.

Berikutnya, dalam ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012

dijelaskan bahwa kegiatan rehabilitasi sosial tersebut dapat diberikan dalam

bentuk: motivasi dan diagnosis psikosional; perawatan dan pengasuhan; pelatihan

vokasional dan pembinaan kewirausahaan; bimbingan mental spiritual; bimbingan

fisik; bimbingan sosial dan konseling psikosional; pelayanan aksesibilitas;

bantuan dan asistensi sosial; bimbingan resosialisasi; bimbingan lanjut; dan atau

rujukan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tersebut diatas,

maka kegiatan rehabilitasi sosial yang ditujukan kepada gelandangan dan

pengemis dapat diupayakan melalui upaya-upaya anjuran maupun ajakan sampai

yang sifatnya dipaksakan agar gelandangan dan pengemis tersebut bersedia

melakukan rehabilitasi sosial. Melalui kegiatan rehabilitasi sosial tentu diharapkan

Page 10: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

47

gelandangan dan pengemis dapat segera melaksanakan fungsi sosialnya secara

wajar dan tidak mengulangi kegiatan menggelandang dan mengemis tersebut.

3. Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan

Gelandangan dan Pengemis

Pasal 58 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

menegaskan bahwa peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun

1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3039) yang ada pada saat diundangkannya UU No. 11

Tahun 2009 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti

berdasarkan Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 ini. Berdasarkan ketentuan

pasal ini, maka Peraturan Pemerintah RI No. 31 tahun 1980 tentang

Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis tetap berlaku dan dapat dijadikan

dasar atau pedoman dalam rangka penanggulangan atau penanganan masalah

gelandangan dan pengemis karena belum diganti dan tidak bertentangan dengan

Undang-Undang RI No. 11 tahun 2009 tersebut diatas.

Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980, gelandangan dan

pengemis tersebut tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, karena itu perlu diadakan

usaha-usaha penanggulangan yaitu dilakukan dengan upaya preventif, represif dan

rehabilitasi.

a. Upaya preventif adalah usaha secara terorganisir yang dimaksudkan untuk

mencegah timbulnya gelandangan dan pengemis di dalam masyarakat, yang

Page 11: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

48

ditujukan baik kepada perorangan maupun kelompok masyarakat yang

diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan dan pengemis, yang

mana berdasarkan Pasal 6 upaya tersebut meliputi: penyuluhan dan bimbingan

sosial, latihan, pendidikan, pemberian bantuan, perluasan kesempatan kerja,

pemukiman lokal, peningkatan derajat kesehatan, pengawasan serta

pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan

pergelandangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya:

- Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga

terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya;

- Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan

di dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan

pada umumnya;

- Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan

pengemis yang telah direhabilitasi dan telah ditransmigrasikan ke daerah

pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.

b. Upaya represif adalah usaha-usaha yang terorganisir yang dimaksudkan untuk

mengurangi dan/atau meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan

baik kepada seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan

pergelandangan dan pengemisan. Dalam Pasal 9 diuraikan mengenai upaya

represif tersebut meliputi: razia, penampungan sementara untuk diseleksi, dan

pelimpahan.

Dalam ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980

diuraikan bahwa gelandangan dan pengemis yang terkena razia ditampung

Page 12: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

49

dalam penampungan sementara untuk diseleksi. Seleksi dimaksudkan untuk

menetapkan kualifikasi para gelandangan dan pengemis dan sebagai dasar

untuk menetapkan tindakan selanjutnya yang terdiri dari:

- Dilepaskan dengan syarat;

- Dimasukkan dalam Panti Sosial;

- Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya;

- Diserahkan ke Pengadilan;

- Diberikan pelayanan kesehatan.

c. Upaya rehabilitasi adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha

penampungan, seleksi, penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut, sehingga

dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki

kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai

Warga Negara Republik Indonesia. Upaya rehabilitatif ini dilaksanakan

melalui Panti Sosial.

Usaha penampungan tersebut diatas ditujukan untuk meneliti/menyeleksi

gelandangan dan pengemis yang dimaksukkan dalam Panti Sosial. Seleksi

dimaksud bertujuan untuk menentukan kualifikasi pelayanan sosial yang akan

diberikan. Selanjutnya, usaha penyantunan ditujukan untuk mengubah sikap

mental gelandangan dan pengemis dari keadaan yang non produktif menjadi

keadaan yang produktif. Dalam melaksanakan usaha penyantunan tersebut

diatas para gelandangan dan pengemis diberikan bimbingan, pendidikan dan

latihan baik fisik, mental maupun sosial serta keterampilan kerja sesuai

dengan bakat dan kemampuannya. Berikutnya adalah usaha-usaha tindak

Page 13: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

50

lanjut yang bertujuan agar mereka tidak kembali menjadi gelandangan dan

pengemis. Usaha tindak lanjut tersebut diatas dilakukan dengan:

- Meningkatkan kesadaran berswadaya;

- Memelihara, menetapkan dan meningkatkan kemampuan sosial ekonomi;

- Menumbuhkan kesadaran hidup bermasyarakat.

4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Bahwa disamping upaya-upaya penanggulangan sebagaimana ditegaskan UU

No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Peraturan Pemerintah RI No.

39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, dan Peraturan

Pemerintah No. 31 tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan

Pengemis tersebut diatas, maka dalam rangka penanggulangan atau penanganan

masalah gelandangan dan pengemis juga dapat diterapkan upaya-upaya

penanggulangan melalui penerapan hukum pidana (upaya penal) yaitu berupa

pemberian sanksi pidana terhadap gelandangan dan pengemis.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana

dibedakan menjadi tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran.

Tindak pidana kejahatan dirumuskan dalam buku kedua KUHP, dan tindak pidana

pelanggaran dirumuskan dalam buku ketiga KUHP.

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana terdapat dua pandangan mengenai

kriteria perbedaan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, yaitu

pandangan yang bersifat kualitatif dan pandangan yang bersifat kuantitatif.56

56Wirjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Eresco,Bandung, h. 26.

Page 14: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

51

1. Pandangan yang bersifat kualitatif menyatakan bahwa:

Kejahatan adalah rechtsdelict yaitu perbuatan yang bertentangan dengan

keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu Undang-

undang atau tidak, jika benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai

bertentangan dengan keadilan, misalnya: pembunuhan, pencurian.

Pelanggaran adalah wetsdelict yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari

sebagai suatu tindak pidana, karena undang-undang menyebutkan sebagai

tindak pidana, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan

hukuman pidana.

2. Pandangan yang bersifat kuantitatif, yaitu hanya meletakkan kriteria pada

perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah pelanggaran itu lebih

ringan dari pada kejahatan.

Larangan untuk mengemis atau menggelandang diatur secara jelas dalam

KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Kegiatan pergelandangan dan

pengemisan tersebut dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yaitu sebagai

pelanggaran (overtredingen) di bidang ketertiban umum sebagaimana diatur

dalam ketentuan Pasal 504 dan 505 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana).

Pasal 504 KUHP menegaskan sebagai berikut:

1. Barang siapa mengemis ditempat umum, diancam, karena melakukan

pengemisan, dengan pidana kurungan selama-lamanya enam minggu;

2. Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas

enam belas tahun, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan.

Page 15: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

52

Selanjutnya, ketentuan Pasal 505 KUHP menegaskan sebagai berikut:

1. Barang siapa bergelandangan tanpa pencaharian, diancam, karena melakukan

pergelandangan, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan;

2. Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di

atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam

bulan.

Ketentuan KUHP tersebut diatas menegaskan kegiatan pergelandangan dan

pengemisan yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah hanya pergelandangan

dan pengemisan yang dilakukan di tempat-tempat umum yang mana dapat

menimbulkan gangguan ketertiban umum. Ini berarti tidak semua gelandangan

dan pengemis dapat dikenakan sanksi pidana, melainkan hanya gelandangan dan

pengemis yang terbukti atau tertangkap basah melakukan kegiatan

menggelandang dan mengemis di tempat-tempat umum.

5. Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000

tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum

Khusus untuk wilayah Kota Denpasar, larangan dan saksi pidana bagi

kegiatan pergelandangan dan pengemisan tersebut juga diatur di dalam Pasal 35

ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993

jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum yang

menegaskan sebagai berikut:

- Pasal 35 ayat (4): “Dilarang melakukan usaha/kegiatan meminta-

minta/mengemis, mengamen atau usaha lain yang sejenis”;

Page 16: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

53

- Pasal 37 ayat (1): “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam pasal-pasal dari Bab II sampai dengan Bab X, dipidana

dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp.

5.000.000,- (lima juta rupiah)”.

Ini berarti kegiatan mengemis dan menggelandang khususnya di wilayah Kota

Denpasar tersebut menurut hukum adalah dilarang dan merupakan suatu tindak

pidana yang patut dihukum. Sanksi pidana secara umum untuk kegiatan

pergelandangan dan pengemisan diatur dalam KUHP, namun Pemerintah Daerah

Kota Denpasar melalui Peraturan Daerah (Perda) dapat pula menetapkan

peraturan soal larangan tersebut. Sama halnya dengan sanksi pidana bagi

gelandangan dan pengemis yang diatur KUHP, kegiatan pergelandangan dan

pengemisan di wilayah Kota Denpasar yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah

hanya pergelandangan dan pengemisan yang dilakukan di tempat-tempat umum.

Bertitik tolak dari uraian-uraian mengenai Peraturan Perundang-undangan

terkait penanggulangan gelandangan dan pengemis tersebut diatas, maka dapat

dilihat bahwa secara garis besar ada 2 (dua) cara/upaya yang dapat dilakukan

dalam rangka menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis tersebut

yaitu melalui cara penal (hukum pidana) dan cara non-penal (bukan/diluar hukum

pidana). Upaya-upaya penanggulangan melalui cara non-penal tersebut dapat kita

lihat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial,

Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial, dan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1980 tentang

Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis yang menegaskan adanya upaya-

Page 17: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

54

upaya penanggulangan berupa preventif, persuasif, dan rehabilitasi. Berikutnya,

cara penal yaitu upaya penanggulangan yang sifatnya represif berupa penerapan

sanksi pidana terhadap gelandangan dan pengemis sebagaimana ditegaskan dalam

Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan khusus di wilayah Kota Denpasar diatur

dalam Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No.

15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum.

2.3 Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Gelandangan dan Pengemis di

Indonesia

Gelandangan dan pengemis disebut sebagai salah satu penyakit sosial atau

penyakit masyarakat (patologi sosial). Segala bentuk tingkah laku dan gejala-

gejala sosial yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat

istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku

umum dikategorikan sebagai penyakit sosial atau penyakit masyarakat.57

Gelandangan dan pengemis hidup dengan serba keterbatasan, cenderung

bergantung pada belas kasihan atau pemberian orang lain, berkeliaran di tempat-

tempat umum seperti pasar, terminal, stasiun, traffic light, dan perempatan jalan,

yang mana keberadaannya dalam kehidupan masyarakat dirasa sangatlah

mengganggu dan meresahkan.

Pada dasarnya melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis tersebut

tidaklah mudah. Sepanjang hari para gelandangan dan pengemis harus berjalan

menelusuri sudut-sudut kota dan keramaian, berdiri dibawah panas sinar matahari,

57Kartini Kartono, 2003, Patologi Sosial II Kenakalan Remaja, Ed. 1, Cet. 5, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 4.

Page 18: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

55

kehujanan ataupun bersentuhan langsung dengan lingkungan yang kotor.

Terkadang mereka juga harus mempertaruhkan nyawa ketika menggelandang dan

mengemis di jalanan yang ramai bahkan yang paling berat adalah menghilangkan

rasa malu atau menjatuhkan harga diri sendiri dengan menggelandang dan

mengemis karena kegiatan tersebut selama ini dianggap masyarakat sebagai

kegiatan yang memalukan dan tidak memiliki harga diri bagi yang

melakukannya.58

Dalam perkembangan masyarakat Indonesia, kegiatan menggelandang dan

mengemis ini ternyata masih menjadi primadona tersendiri bagi orang-orang yang

malas apalagi bagi orang-orang yang tinggal di desa dan berencana mengadu

nasib ke kota tanpa dibekali dengan keterampilan ataupun kemampuan yang

cukup. Hal tersebut membuktikan bahwa menggelandang dan mengemis tersebut

tidaklah mudah dan memerlukan kemampuan serta jiwa yang berani untuk

menggelandang dan mengemis, akan tetapi bagi sebagian orang yang tidak

memiliki rasa malu, maka kegiatan menggelandang dan mengemis merupakan hal

yang mudah dan paling enak untuk dijalani.

Secara umum ada beberapa faktor yang mempengaruhi atau menyebabkan

seseorang menjadi gelandangan dan pengemis, yaitu:

1. Tingginya tingkat kemiskinan yang menyebabkan seseorang tidak mampu

memenuhi kebutuhan dasar minimal dan menjangkau pelayanan umum

sehingga tidak dapat mengembangkan kehidupan pribadi maupun keluarga

secara layak.

58Feni Sudilarsih, 2012, Kisah Suksesnya Seorang Pengemis, Penerbit Sabil, Jakarta, h. 9.

Page 19: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

56

2. Rendahnya tingkat pendidikan dapat menjadi kendala seseorang untuk

memperoleh pekerjaan yang layak.

3. Kurangnya keterampilan kerja menyebabkan seseorang tidak dapat memenuhi

tuntutan pasar kerja.

4. Faktor sosial budaya, hal ini didukung oleh lingkungan sekitar dan para

pemberi sedekah. Terdapat beberapa faktor sosial budaya yang mempengaruhi

seseorang menjadi gelandangan dan pengemis, yaitu:

a. Rendahnya harga diri pada sekelompok orang, mengakibatkan tidak

dimilikinya rasa malu untuk meminta-minta.

b. Sikap pasrah pada nasib, menganggap bahwa kemiskinan dan kondisi

mereka sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak

ada kemauan untuk melakukan perubahan.

c. Kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang, ada kenikmatan

tersendiri bagi sebagian besar gelandangan dan pengemis yang hidup

menggelandang, karena mereka merasa tidak terikat oleh aturan atau

norma yang kadang-kadang membebani mereka, sehingga mengemis

menjadi salah satu mata pencaharian.59

Uraian diatas menunjukkan adanya beberapa faktor sosial budaya yang juga

menjadi penyebab munculnya gelandangan dan pengemis dalam kehidupan

masyarakat Indonesia.

Sementara itu, Artidjo Alkostar dalam penelitiannya tentang kehidupan

gelandangan menguraikan bahwa terjadinya gelandangan dan pengemis dapat

59Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Op.cit, h 7-8.

Page 20: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

57

dibedakan menjadi dua faktor penyebab yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak

kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi

faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak

geografis.60

Berikutnya, menurut Dimas Dwi Irawan ada beberapa faktor yang

menyebabkan orang-orang melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis

tersebut yaitu merantau dengan modal nekad, malas berusaha, disabilitas

fisik/cacat fisik, tidak adanya lapangan kerja, tradisi yang turun temurun,

mengemis daripada menganggu, harga kebutuhan pokok yang mahal, kemiskinan

dan terlilit masalah ekonomi yang akut, ikut-ikutan saja, disuruh orang tua, dan

menjadi korban penipuan.61

1. Merantau dengan modal nekad

Dari gelandangan dan pengemis yang berkeliaran dalam kehidupan

masyarakat khususnya di kota-kota besar, banyak dari mereka yang

merupakan orang desa yang ingin sukses di kota tanpa memiliki kemampuan

ataupun modal yang kuat. Sesampainya di kota, mereka mencoba dan

berusaha meskipun hanya dengan kenekatan untuk bertahan menghadapi

kerasnya hidup di kota. Belum terlatihnya mental ataupun kemampuan yang

terbatas, modal nekad, dan tidak adanya jaminan tempat tinggal membuat ia

tidak bisa berbuat apa-apa di kota sehingga mereka memilih untuk menjadi

gelandangan dan pengemis;

60Artidjo Alkotsar, 1984, Advokasi Anak Jalanan, Rajawali, Jakarta, h. 14.

61Dimas Dwi Irawan, Op.cit, h. 6.

Page 21: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

58

2. Malas berusaha

Perilaku dan kebiasaan meminta-minta agar mendapatkan uang tanpa susah

payah cenderung membuat sebagian masyarakat menjadi malas dan ingin

enaknya saja tanpa berusaha terlebih dahulu;

3. Disabilitas fisik/cacat fisik

Adanya keterbatasan kemampuan fisik dapat juga mendorong seseorang untuk

memilih menjadi gelandangan dan pengemis dibanding bekerja. Sulitnya

lapangan kerja dan kesempatan bagi penyandang cacat fisik untuk

mendapatkan pekerjaan yang layak membuat mereka pasrah dan bertahan

hidup dengan cara menjadi gelandangan dan pengemis;

4. Tidak adanya lapangan kerja

Akibat sulit mencari kerja, apalagi yang tidak bersekolah atau memiliki

keterbatasan kemampuan akademis akhirnya membuat langkah mereka

seringkali salah yaitu menjadikan meminta-minta sebagai satu-satunya

pekerjaan yang bisa dilakukan;

5. Tradisi yang turun temurun

Mengemis dan menggelandang merupakan sebuah tradisi yang sudah ada dari

zaman kerajaan dahulu bahkan berlangsung turun temurun kepada anak

cucunya;

6. Mengemis daripada menganggur

Akibat kondisi kehidupan yang serba sulit dan didukung oleh keadaan yang

sulit untuk mendapatkan pekerjaan menbuat beberapa orang mempuyai mental

Page 22: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

59

dan pemikiran daripada menggangur maka lebih baik mengemis dan

menggelandang;

7. Harga kebutuhan pokok yang mahal

Bagi sebagian orang, dalam menghadapi tingginya harga kebutuhan pokok

dan memenuhi kebutuhannya adalah dengan giat nekerja tanpa

mengesampingkan harga diri, namun ada sebagian yang lainnya lebih

memutuskan untuk mengemis karena berpikir tidak ada cara lagi untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya;

8. Kemiskinan dan terlilit masalah ekonomi yang akut

Kebanyakan gelandangan dan pengemis adalah orang tidak mampu yang tidak

berdaya dalam menghadapi masalah ekonomi yang berkelanjutan.

Permasalahan ekonomi yang sudah akut mengakibatkan orang-orang hidup

dalam krisis ekonomi dihidupnya sehingga menjadi gelandangan dan

pengemis adalah sebagai jalan bagi mereka untuk bertahan hidup;

9. Ikut-ikutan saja

Kehadiran pendatang baru sebagai gelandangan dan pengemis sangat sulit

dihindari, apalagi didukung oleh adanya pemberitaan tentang pengemis dan

gelandangan yang begitu mudahnya mendapatkan uang di kota yang akhirnya

membuat mereka yang melihat fenomena tersebut ikut-ikutan dan mengikuti

jejak teman-temannya yang sudah lebih dahulu menjadi gelandangan dan

pengemis;

Page 23: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

60

10. Disuruh orang tua

Biasanya alasan seperti ini ditemukan pada pengemis yang masih anak-anak.

Mereka bekerja karena diperintahkan oleh orang tuanya dan dalam kasus

seperti inilah terjadi eksploitasi anak;

11. Menjadi korban penipuan

Penyebab seseorang menjadi gelandangan dan pengemis tidak tertutup

kemungkinan dapat disebabkan oleh karena kondisi mereka yang menjadi

korban penipuan. Hal ini biasanya dapat terjadi di kota besar yang memang

rentan terhadap tindak kejahatan apalagi bagi pendatang baru yang baru

sampai di kota. Pendatang baru ini sering mengalami penipuan seperti yang

disebabkan oleh hipnotis dan obat bius. Peristiwa seperti itu dapat membuat

trauma bagi yang mengalaminya dan akibat tidak adanya pilihan lain akhirnya

mereka pun memutuskan untuk menjadi peminta-minta untuk bisa pulang atau

bertahan hidup di kota.

Berdasarkan uraian mengenai faktor-faktor penyebab tersebut diatas, maka tidak

dapat dipungkiri bahwa faktor kemiskinan adalah menjadi faktor yang dominan

menyebabkan munculnya gelandangan dan pengemis dalam kehidupan

masyarakat Indonesia.

Tidak hanya di Indonesia, fenomena gelandangan dan pengemis ini juga

terjadi dan dapat ditemukan di luar negeri. Terdapat banyak faktor penyebab

timbulnya permasalahan gelandangan dan pengemis tersebut. Sama halnya

dengan di Indonesia, faktor kemiskinan ini ternyata juga menjadi penyebab utama

Page 24: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

61

munculnya fenomena gelandangan dan pengemis di negara-negara maju seperti

Amerika Serikat.

Faktor kemiskinan tersebut diatas yang juga dipengaruhi oleh faktor-faktor

politik dan sosial dapat menyebabkan munculnya permasalahan gelandangan dan

pengemis di kalangan masyarakat Amerika Serikat. Seperti yang dikemukakan

oleh Judith Goode dan Jeff Maskovsky sebagai berikut: “People become homeless

for a variety of reasons. Homelessness is primarily an economic problem, and is

also affected by a number of social and political factors”62 (terjemahan peneliti:

Masyarakat menjadi tunawisma karena beragam alasan. Alasan utama adalah

kesulitan ekonomi, yang bisa juga dipengaruhi berbagai permasalahan politik dan

sosial).

Disamping itu, faktor kemiskinan yang disebabkan oleh menurunnya kondisi

dunia industri di Amerika Serikat juga dapat mempengaruhi perkembangan

gelandangan dan pengemis di Amerika Serikat. Vincent Lyon-Callo

mengemukakan adanya korelasi hal tersebut sebagai berikut “Poverty caused by

the bad situation of industry in United States has a high potentiality to increase

homelessness in United States”63 (terjemahan peneliti: faktor kemiskinan yang

disebabkan oleh situasi dunia industri di Amerika Serikat yang terpuruk

berpotensi besar menyebabkan meningkatnya tunawisma di Amerika Serikat).

62Judith Goode and Jeff Maskovsky, 2007, The New Poverty Studies: The Ethnography ofPower, Polities and impoverished People in The United States, New York University Press, NewYork, page 210.

63Vincent Lyon-Callo, 2004, Inequality, Poverty, and Neoliberal Governance: ActivistEthnography in the Homeless Sheltering Industry, University of Toronto Press, Ontario-Canada,page 2-3.

Page 25: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

62

Perhatian tentang permasalahan gelandangan dan pengemis secara umum

dapat dilihat pula dari pendapat atau pandangan yang disampaikan oleh Teresa

Gowan yang pada pokoknya menegaskan:

There are many different causes of homelessness. Poverty and the inability toafford adequate housing are central to the causes of homelessness. Thesecircumstances may result from a number of different experiences, includinglong-term or short-term unemployment, debt and other financial pressures,and housing market pressures, such as rising rental and house prices and thelack of public housing. Financial difficulty is often accompanied by otherpersonal or family problems, such as family breakdown, domestic violence,poor physical and mental health, substance and other addictions. The inabilityto cope with combinations of these problems can push individuals and familieseven closer to the edge.64

(terjemahan peneliti: Terdapat banyak sekali penyebab adanya tunawisma.Salah satu penyebab utamanya adalah kemiskinan dan ketidakmampuanmasyarakat untuk membeli tempat tinggal yang layak. Keadaan ini disebabkanoleh banyak hal, antara lain penggangguran dalam jangka waktu pendek danpanjang, hutang dan tekanan finansial yang lain, tekanan dari pasar perumahanseperti biaya sewa dan harga rumah yang terus meninggi dan sedikitnyajumlah rumah susun atau rumah untuk publik lain yang bisa disewa.Kesulitan finansial seringkali disertai oleh masalah peribadi dan keluarga,seperti kehancuran rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga, kesehatanjiwa dan raga yang buruk, ketergantungan atau kecanduan zat-zat adiktif.Ketidakmampuan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut akanmenyebabkan orang-orang dan keluarga-keluarga semakin terpuruk danrumah tangga mereka mendekati kehancuran)

Selanjutnya, Zimmerman, Larry J. dan Jessica Welch menguraikan pendapatnya

sebagai berikut: “Homelessness affects a wide range of people from different

regions, of different ages and different cultural backgrounds. Some groups,

however, are particularly at risk of becoming homeless”65 (terjemahan peneliti:

Masyarakat dari daerah-daerah yang berbeda-beda, dengan usia dan latar belakang

64Teresa Gowan, 2010, Hobos, Hustlers, and Backsliders: Homeless In San Francisco,University Minnesota Press, Minneapolis, page 18.

65Zimmerman, Larry J. and Jessica Welch, 2011, Displaced and Barely Visible: Archaeologyand Material Culture of Homelessness, Historical Archaeologies of Engagement, Representation,and Identity: Vol. 45. No. 1, New York, page. 67.

Page 26: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

63

budaya berbeda bisa saja menjadi tunawisma. Beberapa kelompok masyarakat

bahkan sangat beresiko menjadi tunawisma).

Secara garis besar gelandangan dan pengemis tersebut terbagi menjadi dua

tipe yaitu gelandangan pengemis miskin materi dan gelandangan pengemis miskin

mental. Gepeng yang miskin materi adalah mereka yang tidak mempunyai uang

atau harta sehingga memutuskan untuk melakukan kegiatan menggelandang dan

mengemis. Berbeda jauh dengan gepeng miskin materi, dalam hal ini gepeng

miskin mental masih mungkin memiliki harta benda namun mental yang dimiliki

membuat atau mendorong mereka menggelandang dan mengemis. Maksud dari

mental disini adalah mental malas untuk melakukan sesuatu. Malas adalah sebuah

sikap dan sifat apabila lama dipendam dan diikuti akan mempengaruhi mental,

karena terbiasa malas atau mendapat kemudahan secara instan membuat

seseorang bermental seperti ini.66

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga membagi tipe atau kategori

gelandangan dan pengemis tersebut menjadi dua kelompok utama yaitu primer

dan sekunder sebagaimana dikemukakan oleh P. Lynch sebagai berikut:

The United Nations identifies homeless people under two broad groups:- Primary homelessness (or rooflessness). This category includes persons

living in the streets without a shelter that would fall within the scope ofliving quarters;

- Secondary homelessness. This category may include persons with no placeof usual residence who move frequently between various types ofaccommodations (including dwellings, shelters and institutions for thehomeless or other living quarters).This category includes persons living inprivate dwellings but reporting ‘no usual address’ on their census form.67

66Engkus Kuswarno, Op.cit, h. 91.

67P. Lynch, 2004, Begging for Change: Homelessness and the Law, Melbourne University LawReview: Vol 26, Melbourne, page 694.

Page 27: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

64

(terjemahan peneliti: Perserikatan Bangsa Bangsa/PBB mengidentifikasi tunawisma dalam dua kelompok utama:- Tuna wisma primer: yang termasuk dalam kategori ini adalah orang-orang

yang hidup di jalanan tanpa memiliki tempat penampungan atau tempatlain yang bisa ditinggali;

- Tuna wisma sekunder: yang termasuk dalam kategori ini adalah orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal tetap namun secaraberkelanjutan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat ke tempat yanglain (bisa berupa penampungan tuna wisma atau tempat lain yangtergolong tempat yang bisa ditinggali). Kategori ini juga mencakup orangyang tinggal di tempat tinggal sendiri namun tidak memiliki tempat tinggaltetap yang tertulis dalam form sensus.)

Uraian-uraian diatas jelas menunjukkan adanya hubungan erat antara

permasalahan gelandangan dan pengemis dengan faktor kemiskinan karenanya hal

tersebut tentu harus menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk melakukan

upaya-upaya peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat agar dapat menekan laju

perkembangan gelandangan dan pengemis tersebut di Indonesia. Kemiskinan di

Indonesia telah terjadi sejak dahulu dan terus mewarnai kehidupan masyarakat

Indonesia sampai dengan sekarang.

Secara historis masalah kemiskinan di Indonesia telah berlangsung sejak

zaman kerajaan-kerajaan, kemudian berlanjut semakin kompleks pada masa

penjajahan kolonial Belanda yang mana politik tanam paksa dan eksploitasi

komoditas perkebunan, pertanian telah menimbulkan penurunan

kemakmuran/kesejahteraan rakyat. Kebijakan ini telah menjadikan masyarakat

dipekerjakan secara paksa (kerja rodi) bahkan penangkapan masyarakat yang

melawan terhadap kebijakan yang ditetapkan pemerintah Hindia Belanda untuk

dijadikan pekerja. Pada masa inilah Indonesia mengalami kemiskinan bukan

sekedar sebagai gejala nasional, tetapi sudah terintegrasi ke dalam sistem dunia

yang sedang bergerak cepat, yakni kapitalisme yang diikuti kolonialisme dan

Page 28: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

65

imperialisme. Kemiskinan di sekitar perkebunan tersebut bukan sekedar

manifestasi lebih lanjut dari lapisan dan formasi sosial yang tidak adil, melainkan

juga akibat kebijakan penjajah Belanda yang dipengaruhi oleh sistem kapitalisme

global yang sedang ganas-ganasnya berkembang.68

Menurut para ahli, kemiskinan tidaklah semata-mata diartikan sebagai

kekurangan secara ekonomi saja. Kemiskinan juga dianggap meliputi aspek-aspek

non-ekonomi, seperti kesehatan, keamanan/kerentanan, penghargaan

diri/identitas, keadilan, akses terhadap layanan masyarakat, hak suara secara

politik, kebebasan, hubungan sosial dan lain sebagainya.69

Terdapat banyak orang dan organisasi yang memandang kemiskinan

berdasarkan ukuran-ukuran ekonomi, seperti yang ditegaskan oleh Bank Dunia

sebagai berikut “Poverty as lack of prosperity that is conspicuous”70 (terjemahan

peneliti: kemiskinan adalah kekurangan kesejahteraan yang mencolok). Menurut

J. Haughton dan S. Khandker pandangan seperti tersebut diatas adalah sangat

konvensional, hal itu dapat dilihat dari pendapat mereka yang menegaskan

“Conventional view is essentially connecting welfare with the ability to have

something. Therefore, the poor are definied as those who do not have enough

68Soetandyo Wignjosoebroto, 1995, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional (DinamikaSosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,h. 5.

69Scott Todd, 2010, Kemiskinan Seri Filosofi Pelayanan Compassion, CompassionInternational, Jakarta, h. 10.

70The World Bank, 2004, Voice of the poor: Can anyone hear us?, Oxford University Press,New York, page 32.

Page 29: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

66

income to be in possession of something”71 (terjemahan peneliti: Pandangan

konvensional pada dasarnya menghubungkan kesejahteraan dengan kemampuan

untuk memiliki sesuatu. Oleh sebab itu, orang miskin diartikan sebagai mereka

yang tidak memiliki cukup pendapatan untuk dapat memiliki sesuatu).

Pengetahuan tentang faktor-faktor penyebab munculkan gelandangan dan

pengemis di masyarakat seperti faktor kemiskinan tersebut diatas adalah sangat

penting dalam rangka upaya penanggulangan terhadap gelandangan dan pengemis

di Indonesia khususnya di kota-kota besar. Pemikiran tersebut sangat sejalan

dengan apa yang ditegaskan oleh ilmu Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan

yang mempelajari kejahatan dari berbagai aspek dan salah satu obyek kajiannya

adalah tentang faktor-faktor yang menjadi sebab musabab terjadinya kejahatan

ataupun perbuatan yang menyimpang.

Menurut Edwin H. Sutherland, “Criminology is the body of knowledge

regarding crime and delinquency as social phenomena. It includes within its

scope the processes of making laws, breaking laws, and reacting to the breaking

of laws”72 (terjemahan peneliti: Kriminologi adalah keseluruhan ilmu

pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan kejahatan sebagai gejala sosial dan

mencakup proses-proses perbuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas

pelanggaran hukum). Sebagaimana yang telah peneliti uraikan sebelumnya bahwa

kegiatan menggelandang dan mengemis tersebut adalah merupakan tindak pidana

71J. Haughton and S. Khandker, 2009, Handbook on Poverty and Inequality, The World Bank,Washington, D.C., page 12.

72Edwin H. Sutherland, Donald Ray Cressey and David F. Luckenbill, 1992, Principles ofCriminology, Eleventh Edition, Rowman & Littlefield Publishers, Boston, United States ofAmerica, page 3.

Page 30: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

67

atau pelanggaran hukum atau perbuatan yang menyimpang karenanya dengan

mengetahui apa yang menjadi faktor-faktor penyebab munculkan gelandangan

dan pengemis di masyarakat, maka tentu akan dapat dilakukan upaya-upaya

penanggulangan yang lebih tepat dan terarah.

2.4 Upaya Penanggulangan Tindak Pidana

Dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari rasa takut

terhadap gangguan tindak pidana atau kejahatan, maka untuk itu sangat

diperlukan adanya upaya-upaya penanggulangan dari pemerintah dan aparat

penegak hukum terkait. Upaya penanggulangan tindak pidana adalah masuk

dalam lingkup kebijakan kriminal (penal policy/criminal policy) yaitu suatu usaha

untuk menanggulangi tindak pidana atau kejahatan melalui penegakan hukum

pidana yang rasional. Secara garis besar, upaya penanggulangan tindak pidana

atau kejahatan ataupun pelanggaran hukum di masyarakat tersebut dapat ditempuh

melalui 2 (dua) cara yaitu lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur non-

penal (bukan/diluar hukum pidana).73

Agar supaya penanggulangan tindak pidana di masyarakat dapat berlangsung

dengan lebih efektif dan maksimal, maka sangat diperlukan adanya keseimbangan

penerapan upaya melalui jalur penal maupun non-penal tersebut. Upaya

penanggulangan dengan menggunakan jalur penal ini lebih menitikberatkan pada

sifat represif (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi,

sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif

73Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra AdityaBakti, Badung (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II), h. 42.

Page 31: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

68

(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.74 Upaya-

upaya tersebut diatas tentu dapat diterapkan pula dalam rangka penanggulangan

masalah tindak pidana pergelandangan dan pengemisan di masyarakat Indonesia,

termasuk yang terjadi di Kota Denpasar.

Berikutnya, G.P. Hoefnagels menggambarkan ruang lingkup upaya

penanggulangan kejahatan (criminal policy) tersebut sebagai berikut:

a. penerapan hukum pidana (criminal law application);

b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), dan;

c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan

lewat media massa (influencing view society on crime and punishment by

mass media).75

Ruang lingkup kebijakan kriminal diatas menegaskan bahwa penerapan hukum

pidana (criminal law application) adalah merupakan salah satu upaya yang dapat

dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana atau kejahatan. Penerapan hukum

pidana ini merupakan bentuk implementasi upaya penanggulangan melalui jalur

penal (hukum pidana) dan pada proses inilah berlangsung penegakan hukum

pidana in concreto di masyarakat.

Upaya penegakan hukum pidana yang dapat berupa pemberian hukuman atau

sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana atau kejahatan tersebut diatas

ternyata perlu ditunjang atau didukung pula oleh upaya-upaya yang sifatnya

preventif/pencegahan dalam rangka menanggulangi tindak pidana atau kejahatan

74Mohammad Kemal Dermawan, 1994, Strategi Pencegahan Kejahatan, PT. Citra AdityaBakti, Bandung, h. 7.

75Barda Nawawi Arief II, Op.cit, h. 41.

Page 32: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

69

tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat dapat terhindar dari

merajalelanya kejahatan atau sekurang-kurangnya dapat membatasi

perkembangan kejahatan. Menurut Sutherland, bahwasanya usaha

penanggulangan kejahatan yang sebaik-baiknya harus meliputi reformasi bagi

perbaikan narapidana dan pencegahan terhadap kejahatan yang pertama kali akan

dilakukan seseorang (pencegahan adanya penjahat baru).76

Selanjutnya menurut Kaiser, strategi pencegahan kejahatan adalah suatu usaha

yang meliputi segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk

memperkecil lingkup dari kekerasan suatu pelanggaran, baik melalui pengurangan

kesempatan-kesempatan untuk melakukan kejahatan, ataupun melalui usaha-

usaha pemberian pengaruh-pengaruh kepada orang-orang yang secara potensial

dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum. Terdapat pembagian

strategi pencegahan kejahatan menurut Kaiser yaitu meliputi:

1. Pencegahan primer, merupakan strategi pencegahan kejahatan melalui bidang

sosial, ekonomi, dan bidang-bidang lain dari kebijakan umum sebagai usaha

mempengaruhi faktor-faktor kriminogen. Tujuan pencegahan primer yaitu

untuk menciptakan kondisi sosial yang baik bagi setiap anggota masyarakat

sehingga masyarakat merasa aman dan tentram;

2. Pencegahan sekunder, hal yang mendasar dari pencegahan sekunder dapat

ditemui dalam kebijakan peradilan pidana dan pelaksanaannya. Sasaran dari

kejahatan ini ialah orang-orang yang sangat mungkin melakukan pelanggaran;

76Soedjono Dirdjosiswono, 1970, Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha PenanggulanganKedjahatan (Crime Prevention), Alumni, Bandung, h. 55.

Page 33: sering disingkat dengan “gepeng”. II.pdfdigunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah ... tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta

70

3. Pencegahan tersier, yaitu memberikan perhatian pada pencegahan terhadap

residivisme, dengan orientasi pada pembinaan. Sasaran utamanya ialah pada

orang-orang yang telah melanggar hukum.77

Soedjono Dirdjosiswono juga mengemukakan pendapatnya mengenai upaya

penanggulangan tindak pidana atau kejahatan tersebut yaitu dapat dilakukan

dengan cara:

1. Cara moralistik, dilaksanakan dengan penyebar luaskan ajaran-ajaranagama dan moral, perundang-undangan yang baik dan sarana-sarana lainyang dapat mengekang nafsu untuk berbuat kejahatan;

2. Cara abolionistik, berusaha memberantas; menanggulangi kejahatandengan memberantas sebab-musababnya umpamanya kita ketahui bahwafaktor tekanan ekonomi (kemelaratan) merupakan salah satu faktorpenyebab kejahatan maka usaha mencapai kesejahteraan untukmengurangi kejahatan yang disebabkan oleh faktor ekonomi merupakanCara Abolisionistik.78

Kedua cara diatas juga dapat dijadikan acuan dan diterapkan oleh pemerintah dan

aparat penegak hukum secara langsung apabila tingkat kriminalitas atau

pelanggaran hukum di masyarakat tinggi.

77Mohammad Kemal Dermawan, Op.cit., h. 12.

78Soedjono Dirdjosiswono, Op.cit, h. 15.