seri analisis makroekonomi quarterly economic outlook€¦ · gambar 2: realisasi pengeluaran...

13
SERI ANALISIS MAKROEKONOMI Quarterly Economic Outlook Triwulan III-2019 Angka-Angka Penting Pertumbuhan PDB* (Q2 ’19) 5,1% Pertumbuhan PDB* (FY 2019) 5,1-5,2% Inflasi (yoy. Jun ’19) 3,28% Pertumbuhan Kredit (yoy. Apr ‘19) 11,05% Neraca Perdagangan (Q2 2019) USD -1,87 miliar Neraca Transaksi Berjalan* (Q2 ‘19) -3,25% _________ *) Proyeksi Macroeconomic & Financial Sector Policy Research Febrio N. Kacaribu, Ph.D. (Head of Research) [email protected] Syahda Sabrina [email protected] Nauli A. Desdiani [email protected] Nisrina Qurratu’Ain [email protected] Teuku Riefky [email protected] 1 Laporan bulanan dan kuartalan kami distribusikan secara gratis. Untuk berlangganan, silahkan pindai QR code di bawah ini atau ikuti tautan http://bit.ly/LPEMComment arySubscription Pertumbuhan Ekonomi Belum Bergerak Lebih Cepat Ringkasan Pertumbuhan PDB pada Triwulan II-2019 diperkirakan sebesar 5,1%. Prediksi pertumbuhan PDB 2019 sebesar 5,1%-5,2%; lebih rendah dari estimasi kami sebelumnya di 5,2%-5,3%. Selama 20 tahun terakhir, ekonomi Indonesia masih terus terpusat di Jawa (59% dari total PDB). Pemerintah harus melakukan lebih banyak inisiatif baru, baik investasi infrastruktur maupun mendorong investasi swasta, di luar Jawa. Pertumbuhan sektor manufaktur melambat hanya di 3,95% pada Triwulan I-2019 dibandingkan dengan 4,30% pada kuartal sebelumnya; belum ada perubahan signifikan. Pertumbuhan konsumsi turun sedikit menjadi 5,01% di Triwulan I-2019 dari Triwulan 4- 2018; akan membaik di Triwulan II-2019 karena momentum Ramadhan dan Idul Fitri. Terdapat kemungkinan pertumbuhan kredit yang lebih tinggi untuk 2H 2019 yang didukung oleh iklim investasi yang lebih jelas. Kembalinya defisit migas di Triwulan II-2019 menghasilkan tantangan yang lebih tinggi untuk perbaikan CAD sepanjang 2019. Rupiah yang lebih kuat akan didukung oleh pengembalian investasi portofolio yang relatif menarik karena membaiknya kondisi eksternal dan domestik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan I-2019 tercatat sebesar 5,07% (yoy), lebih rendah dari 5,17% (yoy) pada kuartal sebelumnya. Terlepas dari siklus musiman, tensi global atas perlambatan ekonomi dan sikap menunggu investor menjelang Pemilu 2019 diperkirakan sebagai faktor yang menghambat konsumsi dan investasi rumah tangga secara keseluruhan. Sektor manufaktur, yang merupakan sektor paling berkontribusi, hanya tumbuh 3,95% (yoy) pada Triwulan I-2019. Di tengah ketidakpastian global, hasil Pemilu akan membawa pemerintahan baru ke kantor. Pemerintah baru harus segera membuat agenda reformasi struktural dengan langkah-langkah berani dan signifikan untuk menghidupkan kembali daya saing industri manufaktur Indonesia. Tabel 1: Proyeksi Tingkat Pertumbuhan PDB LPEM FEB UI Q2 2019 FY 2019 5.1% 5.1-5.2% Lebih dari itu, kekhawatiran terhadap neraca transaksi berjalan Indonesia meningkat setelah data perdagangan April-Juni menunjukkan bahwa defisit perdagangan melebar tiga kali lebih tinggi dari nilainya di Triwulan I-2019. Defisit perdagangan yang memburuk terutama didorong oleh kembalinya impor minyak ditambah dengan ekspor komoditas yang menurun. Momentum ini diprediksi menurunkan CAD pada Triwulan II-2019 sehingga membebani potensi surplus di tahun 2019. Untuk dapat meningkatkan persaingan, pemerintah perlu memperbaiki struktur perdagangan kita yang masih sangat bergantung pada komoditas; hal ini membutuhkan reformasi struktural yang lebih gigih dan tidak mungkin dicapai dalam waktu dekat. Dalam jangka pendek, pemerintah perlu segera mengejar lebih banyak perjanjian perdagangan dan investasi bilateral dengan mitra dagang saat ini dan yang potensial.

Upload: others

Post on 19-Oct-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SERI ANALISIS MAKROEKONOMI Quarterly Economic Outlook€¦ · Gambar 2: Realisasi Pengeluaran Pemerintah Tahun 2011-2014 dan 2015-2018 Sumber: Realisasi APBN, Kementerian Keuangan

SERI ANALISIS MAKROEKONOMI

Quarterly Economic Outlook Triwulan III-2019

Angka-Angka Penting • Pertumbuhan PDB* (Q2 ’19)

5,1% • Pertumbuhan PDB* (FY 2019)

5,1-5,2% • Inflasi (yoy. Jun ’19)

3,28% • Pertumbuhan Kredit (yoy.

Apr ‘19) 11,05%

• Neraca Perdagangan (Q2 2019) USD -1,87 miliar

• Neraca Transaksi Berjalan* (Q2 ‘19) -3,25%

_________ *) Proyeksi

Macroeconomic & Financial Sector Policy Research

Febrio N. Kacaribu, Ph.D. (Head of Research) [email protected]

Syahda Sabrina [email protected]

Nauli A. Desdiani [email protected]

Nisrina Qurratu’Ain [email protected] Teuku Riefky [email protected]

1

Laporan bulanan dan kuartalan kami distribusikan secara gratis. Untuk berlangganan, silahkan pindai QR code di bawah ini

atau ikuti tautan http://bit.ly/LPEMCommentarySubscription

Pertumbuhan Ekonomi Belum Bergerak Lebih Cepat Ringkasan

• Pertumbuhan PDB pada Triwulan II-2019 diperkirakan sebesar 5,1%. Prediksi pertumbuhan PDB 2019 sebesar 5,1%-5,2%; lebih rendah dari estimasi kami sebelumnya di 5,2%-5,3%.

• Selama 20 tahun terakhir, ekonomi Indonesia masih terus terpusat di Jawa (59% dari total PDB). Pemerintah harus melakukan lebih banyak inisiatif baru, baik investasi infrastruktur maupun mendorong investasi swasta, di luar Jawa.

• Pertumbuhan sektor manufaktur melambat hanya di 3,95% pada Triwulan I-2019 dibandingkan dengan 4,30% pada kuartal sebelumnya; belum ada perubahan signifikan.

• Pertumbuhan konsumsi turun sedikit menjadi 5,01% di Triwulan I-2019 dari Triwulan 4-2018; akan membaik di Triwulan II-2019 karena momentum Ramadhan dan Idul Fitri.

• Terdapat kemungkinan pertumbuhan kredit yang lebih tinggi untuk 2H 2019 yang didukung oleh iklim investasi yang lebih jelas.

• Kembalinya defisit migas di Triwulan II-2019 menghasilkan tantangan yang lebih tinggi untuk perbaikan CAD sepanjang 2019.

• Rupiah yang lebih kuat akan didukung oleh pengembalian investasi portofolio yang relatif menarik karena membaiknya kondisi eksternal dan domestik.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan I-2019 tercatat sebesar 5,07% (yoy), lebih rendah dari 5,17% (yoy) pada kuartal sebelumnya. Terlepas dari siklus musiman, tensi global atas perlambatan ekonomi dan sikap menunggu investor menjelang Pemilu 2019 diperkirakan sebagai faktor yang menghambat konsumsi dan investasi rumah tangga secara keseluruhan. Sektor manufaktur, yang merupakan sektor paling berkontribusi, hanya tumbuh 3,95% (yoy) pada Triwulan I-2019. Di tengah ketidakpastian global, hasil Pemilu akan membawa pemerintahan baru ke kantor. Pemerintah baru harus segera membuat agenda reformasi struktural dengan langkah-langkah berani dan signifikan untuk menghidupkan kembali daya saing industri manufaktur Indonesia.

Tabel 1: Proyeksi Tingkat Pertumbuhan PDB LPEM FEB UI

Q2 2019 FY 2019 5.1% 5.1-5.2%

Lebih dari itu, kekhawatiran terhadap neraca transaksi berjalan Indonesia meningkat setelah data perdagangan April-Juni menunjukkan bahwa defisit perdagangan melebar tiga kali lebih tinggi dari nilainya di Triwulan I-2019. Defisit perdagangan yang memburuk terutama didorong oleh kembalinya impor minyak ditambah dengan ekspor komoditas yang menurun. Momentum ini diprediksi menurunkan CAD pada Triwulan II-2019 sehingga membebani potensi surplus di tahun 2019. Untuk dapat meningkatkan persaingan, pemerintah perlu memperbaiki struktur perdagangan kita yang masih sangat bergantung pada komoditas; hal ini membutuhkan reformasi struktural yang lebih gigih dan tidak mungkin dicapai dalam waktu dekat. Dalam jangka pendek, pemerintah perlu segera mengejar lebih banyak perjanjian perdagangan dan investasi bilateral dengan mitra dagang saat ini dan yang potensial.

Page 2: SERI ANALISIS MAKROEKONOMI Quarterly Economic Outlook€¦ · Gambar 2: Realisasi Pengeluaran Pemerintah Tahun 2011-2014 dan 2015-2018 Sumber: Realisasi APBN, Kementerian Keuangan

SERI ANALISIS MAKROEKONOMI

Quarterly Economic Outlook Triwulan III-2019

2

Mencermati Ketimpangan Ekonomi Indonesia

Setelah pulih dari krisis moneter 1998, Indonesia saat ini menikmati pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil, di mana PDB tumbuh sekitar 5% meskipun terjadi perlambatan ekonomi global. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini mungkin tidak sepenuhnya diartikan sebagai peningkatan kesejahteraan semua kelompok masyarakat karena tercatat peningkatan ketimpangan yang ditandai dengan tren kenaikan Rasio Gini.

Melebarnya Ketimpangan Ekonomi: Sebuah Warisan di Era Commodity Boom

Lonjakan ketimpangan yang tinggi sudah berlangsung di Indonesia selama 15 tahun terakhir, terutama saat commodity boom berlangsung. Harga komoditas yang tinggi pada tahun 2010 berimbas positif terhadap dunia usaha di Indonesia, di mana kontribusi sumber daya mencapai 37,3% terhadap PDB di tahun 2012. Meski demikian, pertumbuhan yang tinggi disertai juga dengan melebarnya tingkat ketimpangan. Kenaikan harga komoditas telah menurunkan minat investor untuk memasuki sektor lain daripada sektor berbasis komoditas; semakin mempercepat pertumbuhan industri pertambangan. Sebagai hasilnya, peningkatan harga yang terjadi hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat; ketimpangan ekonomi semakin melebar. Hal ini menyebabkan kesenjangan yang signifikan dari 2010 hingga 2012, seperti yang ditunjukkan oleh kenaikan Koefisien Gini menjadi 0,41 dari 0,38. Rasio Gini merupakan indikator untuk mengukur ketimpangan di antara masyarakat. Rasio didefinisikan dengan nilai 0 hingga 1 di mana semakin tinggi nilainya maka lebih timpang pendapatan yang dihasilkan antara satu orang dan lainnya.

Gambar 1. Ketimpangan dan Pertumbuhan Ekonomi

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), diolah

Pertumbuhan ekonomi di era commodity boom disertai dengan melebarnya jurang kesenjangan antar masyarakat. Sayangnya, pemerintah terlambat dalam memitigasi pelebaran tingkat kesenjangan ekonomi ini. Pendapatan dari commodity boom mayoritas digunakan hanya untuk pemberian subsidi kepada masyarakat miskin dibandingkan untuk melakukan investasi produktif seperti pembangunan infrastruktur dan ekspansi. Mekanisme penetapan subsidi, khususnya Bahan Bakar Minyak (BBM) telah salah sasaran karena sebenarnya dinikmati oleh masyarakat golongan atas. Di sisi lain, kesenjangan ekonomi mulai membaik bersamaan dengan berakhirnya era commodity boom di tahun 2012. Menurunnya harga komoditas membuat golongan masyarakat berpendapatan tinggi tidak lagi mengalami lonjakan pendapatan yang terlalu tinggi.

3.5

4

4.5

5

5.5

6

6.5

0.33

0.35

0.37

0.39

0.41

0.43

2002 2005 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

Commodity Boom berakhir

Pertumbuhan Ekonomi

Commodity boom

Pertumbuhan Ekonomi (Kanan) Rasio Gini (Kiri)

Rasio Gini

Page 3: SERI ANALISIS MAKROEKONOMI Quarterly Economic Outlook€¦ · Gambar 2: Realisasi Pengeluaran Pemerintah Tahun 2011-2014 dan 2015-2018 Sumber: Realisasi APBN, Kementerian Keuangan

SERI ANALISIS MAKROEKONOMI

Quarterly Economic Outlook Triwulan III-2019

3

Akhir Commodity Boom: Tren Perlambatan Menunda Ketimpangan Ekonomi

Setelah menikmati manfaat ekonomi sesaat yang dibawa oleh era commodity boom, perekonomian secara bertahap tumbuh melambat seiring dengan penurunan harga komoditas. Namun, distribusinya semakin merata karena Rasio Gini terus menurun sejak akhir 2013. Beberapa faktor mungkin dapat menjelaskan fenomena ini. Penurunan harga komoditas telah memperlambat sektor berbasis komoditas; dengan demikian mengurangi kontribusinya terhadap ekonomi sementara pada saat yang sama kontribusi sektor non-komoditas relatif meningkat.

Gambar 2: Realisasi Pengeluaran Pemerintah Tahun 2011-2014 dan 2015-2018

Sumber: Realisasi APBN, Kementerian Keuangan

Gambar 3: Indeks Rasio Gini Terakhir Indonesia dan Beberapa Negara Lainnya

Sumber: Estimasi Gini Index, World Bank (2018)

Faktor lainnya yang berkontribusi terhadap pemerataan ialah penerapan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berfokus pada pengembangan sumber daya manusia, seperti mengalokasikan dana yang lebih besar bagi kesejahteraan masyarakat dalam hal pendidikan, perlindungan sosial, dan kesehatan. Realisasi pengeluaran pemerintah dalam rangka mendukung peningkatan kualitas indikator-indikator ini tumbuh lebih dari 100% bahkan hingga 1160% pada perlindungan sosial sepanjang tahun 2015 hingga 2018. Tingginya pengeluaran ini terlihat dari gencarnya program sosial dalam tiga tahun terakhir melalui penerapan Dana Desa, Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Terlepas dari proses pelaksanaan program yang tidak selalu berjalan lancar, keberhasilan pemerintah dalam menekan ketimpangan di tengah pertumbuhan ekonomi yang kembali pesat perlu mendapatkan apresiasi. Sebagai tambahan, apabila dibandingkan dengan beberapa negara berkembang lainnya (lihat Gambar 3), ketimpangan di Indonesia tidak terlalu buruk meskipun masih lebih rendah dibandingkan Thailand (36), Vietnam (35,3), dan India (35,1). Keberhasilan dalam Menekan Angka Kemiskinan

Angka kemiskinan nasional sepanjang sepuluh tahun terakhir mengalami penurunan signifikan meskipun dengan laju penurunan yang relatif lambat. Berdasarkan data dari BPS dengan garis kemiskinan pada September 2018 sebesar Rp410.670 per kapita per bulan, jumlah penduduk miskin Indonesia tercatat satu digit yakni sebesar 9,7% atau sekitar 25,6 juta jiwa; terdapat pengurangan 909 ribu jiwa dari tahun 2017 (Lihat Gambar 4). Ini pertama kalinya dalam sepanjang sejarah tingkat kemiskinan Indonesia berada dibawah 10 persen.

185 40

113

1.250

374 462 436

1.689

0

400

800

1.200

1.600

Health Social Security Special Allocationand Village Fund

Education

2011-2014 2015-2018

63

51

47

43

42

42

41

39

36

35

35

0 10 20 30 40 50 60 70

South Africa

Brazil

China

Mexico

Argentina

Turkey

Malaysia

Indonesia

Thailand

Vietnam

India

2014

2015

2016

2016

2016

2016

2015

2017

2015

2016

2011

Page 4: SERI ANALISIS MAKROEKONOMI Quarterly Economic Outlook€¦ · Gambar 2: Realisasi Pengeluaran Pemerintah Tahun 2011-2014 dan 2015-2018 Sumber: Realisasi APBN, Kementerian Keuangan

SERI ANALISIS MAKROEKONOMI

Quarterly Economic Outlook Triwulan III-2019

4

Gambar 4: Jumlah Penduduk Miskin dan Tingkat Kemiskinan, 2007-2018

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), berdasarkan standar garis kemiskinan sebesar Rp 410.670 per kapita per bulan

Gambar 5: Laju Pertumbuhan Riil Pengeluaran Per Kapita Tahunan Berdasarkan Desil,

2013-2017

Sumber: Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), diolah

Peningkatan angka kemiskinan konsisten dengan peningkatan kesetaraan. Hal ini dapat ditinjau lebih jauh dengan mengamati data pengeluaran per kapita tahunan berdasarkan desil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Dapat dicermati bahwa konsumsi masyarakat berpenghasilan rendah (desil 1-4) pada 2017 tumbuh lebih cepat dari empat tahun sebelumnya. Ini menggambarkan perbaikan dalam pola konsumsi kebutuhan dasar masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, kondisi ini juga didukung oleh berbagai kebijakan belanja sosial pemerintah yang juga berkontribusi dalam menjaga konsumsi masyarakat.

Di sisi lain, masyarakat berpenghasilan menengah (desil 5-9) di tahun 2017 cenderung memiliki pola pertumbuhan konsumsi yang stagnan apabila dibandingkan dengan tahun 2016, di mana masyarakat sedang menikmati pengeluaran konsumsi yang tinggi. Sementara untuk masyarakat berpenghasilan tinggi (desil 10), terjadi penurunan terus-menerus pada konsumsi per kapita dari 2013 hingga 2017, kecuali tahun 2015. Kami menilai penurunan pola konsumsi kebutuhan dasar masyarakat berpendapatan menengah dan tinggi terjadi akibat meningkatnya kecenderungan masyarakat untuk mengalihkan konsumsi ke tabungan dan investasi.

Tantangan Besar: Tingginya Disparitas Antar Wilayah

Gambar 8: Distribusi PDB Per Wilayah (%), 2000-2018

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

16,5815,42

14,1513,33

12,4911,66 11,47 10,96 11,13 10,7

10,12 9,66

0

5

10

15

20

25

30

35

40

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

(Juta

Jiw

a)

(%)

Jumlah Penduduk Miskin Tingkat Kemiskinan (P0)

-4

-2

0

2

4

6

8

10

12

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

%, y.o.y

Decile

2013 2014 2015 2016 2017

21 20 20 22 22 22 22 23 23 23 23 24 24 24 23 22 22 22 22

59 59 60 60 60 59 60 59 58 59 58 58 58 58 57 58 59 58 58

3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 310 9 9 9 9 10 9 9 10 9 9 10 9 9 9 8 8 8 8

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 5 5 5 6 6 6 6 62 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2

20002001

20022003

20042005

20062007

20082009

2010

2011

20122013

20142015

20162017

2018

Sumatera Jawa Bali dan Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua

Page 5: SERI ANALISIS MAKROEKONOMI Quarterly Economic Outlook€¦ · Gambar 2: Realisasi Pengeluaran Pemerintah Tahun 2011-2014 dan 2015-2018 Sumber: Realisasi APBN, Kementerian Keuangan

SERI ANALISIS MAKROEKONOMI

Quarterly Economic Outlook Triwulan III-2019

5

Selama 18 tahun terakhir, aktivitas ekonomi Indonesia masih terpusat di Jawa, yang memberikan kontribusi rata-rata 59% terhadap total PDB, diikuti oleh Sumatra sebesar 22% (Gambar 6); sementara wilayah lain di luar Jawa dan Sumatra hanya berkontribusi 19% dari PDB. Ini menggambarkan kurangnya perbaikan yang signifikan desentralisasi kegiatan ekonomi antar daerah. Kurangnya implementasi desentralisasi yang kuat dalam pembangunan ekonomi hanya menguntungkan perekonomian Jawa dan mempertahankan kesenjangan antara Jawa dan pulau-pulau lainnya. Inisiatif yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi untuk memperluas proyek infrastruktur di luar Jawa merupakan awal yang baik untuk mendistribusikan kegiatan ekonomi di antara wilayah-wilayah di Indonesia. Manfaatnya tidak akan terealisasi dalam jangka pendek tetapi diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Dalam 5 tahun terakhir, kita dapat melihat bahwa Sulawesi memperoleh bagian dari kegiatan ekonomi; pembukaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan salah satu alasan dari perbaikan ini. Pemerintah perlu melakukan lebih banyak inisiatif seperti ini di luar Jawa.

Tantangan Besar Lainnya: Kesiapan Tenaga Kerja dalam Menghadapi Industri 4.0

Pasar tenaga kerja di Indonesia telah banyak berkembang. Dampak reformasi struktural terhadap pasar tenaga kerja telah menggeser kegiatan tenaga kerja dari sektor primer, seperti pertanian, ke sektor-sektor yang menciptakan nilai tambah lebih besar. Fakta ini diilustrasikan oleh Gambar 8, di mana kontribusi sektor pertanian menurun sedangkan kontribusi sektor jasa mengalami kenaikan. Selanjutnya, pola yang sama juga diamati dalam penyerapan tenaga kerja oleh masing-masing sektor (Gambar 7). Sejak 2010, tercatat terjadi penurunan tenaga kerja di sektor pertanian dari 43 juta menjadi 37 juta, sementara sektor jasa mengalami tren peningkatan tenaga kerja dari 52 juta menjadi 69 juta. Sementara itu, tenaga kerja di sektor sekunder, industri manufaktur, memiliki tren yang relatif stagnan seiring dengan perlambatan pertumbuhan manufaktur akhir-akhir ini.

Hadirnya revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan kemajuan teknologi diyakini dapat semakin merubah struktur tenaga kerja Indonesia. Ini dapat menjadi peluang karena perubahan teknologi dapat meningkatkan daya saing perekonomian seiring dengan peningkatan efisiensi dan produktivitas. Namun, apabila Indonesia tidak siap dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dan berdaya saing, maka industri 4.0 akan menjadi ancaman besar; memperlebar ketimpangan yang terjadi saat ini.

Gambar 9: Jumlah Tenaga Kerja per Sektor (Juta Jiwa)

Sumber: CEIC

Gambar 10: Kontribusi Masing-Masing Sektor terhadap PDB

Sumber: CEIC

Ketimpangan ekonomi Indonesia saat ini belum dalam kondisi ideal, mengingat Rasio Gini dalam 15 tahun terakhir, ditambah kesenjangan yang semakin lebar antara Jawa dan non-Jawa. Periode commodity boom secara signifikan menjadi penyebab curamnya kenaikan ketimpangan antar masyarakat. Meski demikian, tren dari ketimpangan ekonomi mengalami penurunan secara berkala khususnya dalam 4 tahun terakhir,

43

14

52

37

18

69

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Primary Secondary Tertiary

Million Employment by Sector (million people)

201020112012201320142015201620172018

Page 6: SERI ANALISIS MAKROEKONOMI Quarterly Economic Outlook€¦ · Gambar 2: Realisasi Pengeluaran Pemerintah Tahun 2011-2014 dan 2015-2018 Sumber: Realisasi APBN, Kementerian Keuangan

SERI ANALISIS MAKROEKONOMI

Quarterly Economic Outlook Triwulan III-2019

6

“…Ketergantungan Indonesia pada komoditas mentah rentan terhadap fluktuasi harga pasar. Oleh karena itu, sangat penting untuk menyoroti penciptaan nilai tambah dalam perekonomian, khususnya di sektor manufaktur.”

Manufaktur Melambat, Berbagai Faktor Lain Dapat Mendorong Pertumbuhan 2019 Rilis data perekonomian terbaru menunjukkan perlambatan ekonomi pada kuartal pertama 2019 di mana pertumbuhan PDB tercatat hanya sebesar 5,07%, lebih rendah dibandingkan dengan Q4 2018 sebesar 5,17%. Faktor-faktor eksternal seperti eskalasi dari perang dagang antara AS dan Tiongkok sertas prospek no-deal Brexit berperan besar dalam perlambatan ekonomi Indonesia. Sedangkan beberapa faktor domestik yang memiliki andil dalam perlambatan ekonomi yaitu termasuk datangnya bulan ramadan dan pemilu menimbulkan dampak yang beragam terhadap perekonomian di awal tahun. Industri manufaktur, sebagai industri yang memiliki peranan paling besar dalam perekonomian Indonesia, memulai tahun dengan performa yang cenderung lamban. Pertumbuhan industri manufaktur secara keseluruhan tumbuh lebih lamban yaitu hanya sebesar 3,95% pada Q1 2019 dibandingkan dengan Q4 2018 yang mencapai 4,30%. Namun, ditengah perlambatan sektor manufaktur, subsektor makanan dan minuman, tekstil, bahan kimia dan farmasi menunjukkan pertumbuhan yang cenderung kuat, didorong olah peningkatan permintaan domestik menjelang pemilu 2019 dan datangnya bulan ramadan yang lebih cepat dibandingkan tahun sebelumnya.

Grafik 1: Pertumbuhan PDB dan Industri Utama 2014-2018Q4

Sumber: CEIC

Grafik 2: Pertumbuhan Industri Pengolahan dan Subsektor, 2014-2018Q4

Sumber: CEIC

Mengingat sektor manufaktur memiliki peran yang krusial dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia, perlambatan sektor manufaktur dalam tiga kuartal belakangan dinilai mengkhawatirkan. Rendahnya pertumbuhan sektor manufaktur, yaitu dibawah pertumbuhan PDB sebesar 5,07% dan pertumbuhan konsumsi sebesar 5,01%, bisa jadi indikasi awal dari penurunan daya saing Indonesia. Seiring berakhirnya pemillu 2019, jajaran pemerintahan dan kabinet baru semestinya memprioritaskan agenda reformasi struktural dan segera

5,17

4,24

4,97

3,88

6,11

2,05

7,52

7,07

4,28

-4 -2 0 2 4 6 8 10

Gross Domestic Product

Manufacturing Industry

Wholesales and Retail Trade, Repairs

Agriculture, Forestry and Fisheries

Construction

Mining & Quarrying

Information & Communication

Transportation & Storage

Financial & Insurance Activity

2014

2015

2016

2017

2018

Weight in

2018Q4

100.0

21.0

13.1

10.7

10.5

7.6

5.2

4.2

4.0

%

4,26

8,05

-0,19

4,38

-0,73

-1,29

8,77

8,98

-10 -5 0 5 10 15

Manufacturing Industry

Food & Beverages

Coal; Oil & Gas Refinery

Transport Equipment

Metal Prod, Comp, Elect, Optic & Electricity Equip

Chemicals, Pharmaceutical & Tradit'l Medicine

Textile & Wearing Apparel

Basic Metals

20142015201620172018

Weight in2018Q4

100

31.1

9.7

9.5

9.3

8.3

6.0

4.3

%

sekaligus diiringi dengan penurunan tingkat kemiskinan dan kenaikan pertumbuhan ekonomi. Ini menunjukkan bahwa pemerintah telah mencapai beberapa peningkatan dalam menetapkan strategi yang efisien untuk mengurangi kesenjangan dengan tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi di saat yang bersamaan. Namun kita butuh kebijakan seperti ini yang lebih banyak. Efektivitas kebijakan pemerintah baik yang sedang berjalan (infrastruktur fisik maupun sosial) maupun kebijakan yang akan datang (pemindahan ibukota dan pembangunan beberapa pusat pertumbuhan ekonomi) dapat mengurangi tingkat ketimpangan serta turut berimplikasi dalam menekan angka kemiskinan.

Page 7: SERI ANALISIS MAKROEKONOMI Quarterly Economic Outlook€¦ · Gambar 2: Realisasi Pengeluaran Pemerintah Tahun 2011-2014 dan 2015-2018 Sumber: Realisasi APBN, Kementerian Keuangan

SERI ANALISIS MAKROEKONOMI

Quarterly Economic Outlook Triwulan III-2019

7

“…reformasi struktural untuk kembali meningkatkan daya saing Indonesia bisa jadi bukan perkara mudah, mengingat adanya beberapa hal besar lainnya seperti era digitalisasi dan bonus demografi yang akan memberi tantangan terhadap perkembangan perekonomian Indonesia di masa mendatan.”

diimplementasikan dalam langkah-langkah kebijakan yang konkret untuk dapat kembali meningkatkan daya saing Indonesia.

Dalam industri manufaktur sendiri, subsektor makanan minuman merupakan subsektor dengan pertumbuhan tertinggi yaitu mencapai 6,84% (y.o.y). Pertumbuhan ini cukup signifikan dibandingkan dengan kuartal sebelumnya (Q4 2018) yang hanya sebesar 2,74%. Pertumbuhan permintaan terhadap subsektor makanan dan minuman diprediksi akan terus berlanjut hingga Q2 2019 seiring degan datangnya bulan ramadan. Sementara itu, tekstil dan bahan kimia mecapai pertumbuhan dua digit yaitu masing-masing sebesar 18,9% dan 11,6% di kuartal pertama 2019, melanjutkan tren pertumbuhan positif dari kuartal sebelumnya, di mana subsektor logam dasar memiliki pertumbuhan yang terhahmbat yaitu hanya sebesar 8,63% pada Q1 2019, lebih rendah disbanding kuartal sebelumnya yang mencapai 15,52%. Subsektor tekstil menjadi subsektor dengan pertumbuhan tercepat pada kuartal pertama tahun ini, terutama didorong oleh peningkatan permintaan atribut politik selama masa kampanye pemilu 2019.

Namun, pertumbuhan yang dialami sektor manufaktur tidak tersebar secara merata pada subsektor di sektor tersebut. Produk Subsektor produk logam, komputer, dan barang elektronik, yaitu subsektor yang relatif berbasis teknologi, mengalami pertumbuhan yang cenderung lambat pada kuartal pertama, yaitu sebesar 0,95% (y.o.y), melanjutkan tren pertumbuhan yang relatif lambat. Lebih jauh, subsektor batu bara dan pengilangan migas mencata pertumbuhan negatif yaitu -3,70% (y.o.y). Pertumbuhan negatif ini lebih buruk ketimbang kuartal sebelumnya, yang masih memiliki pertumbuhan positif sebesar 0,31%, di mana sebagian dipengaruhi oleh produksi migas yang tidak mencapai target. Subsektor peralatan transportasi mencatat pertumbuhan negatif pertama sejak Q4 2015, yaitu sebesatr -7,09% pada Q1 2019, yang juga pertumbuhan paling buruk subsektor tersebut dalam 10 tahun terakhir.

Grafik 3: Pertumbuhan Perdagangan Besar dan Eceran serta Subsektornya, 2014-2018Q4

Sumber: CEIC

Grafik 4: Pertumbuhan Transportasi serta Subsektornya, 2014-2018Q4

Sumber: CEIC

Pertumbuhan sektor perdagangan besar dan eceran tumbuh sebesar 5,29% pada Q1 2019, didorong oleh peningkatan yang lebih besar di subsektor perdagangan eceran selain kendaran bermotor yang tumbuh sebesar 5,77% pada Q1 2019. Pertumbuhan ini didukung oleh pertumbuhan ecerang yang kuat sebesat 8,8% pada Q 2019, dibandingkan dengan Q4 2018 yang hanya sebesar 4,7% didorong oleh perdagangan pakaian sebagai mesin pertumbuhan perdagangan ecera. Lebih jauh, pertumbuhan sektor perdagangan besar dan eceran disebabkan oleh program bantuan social oleh pertahana seiring dengan mendekatnya pemilu, dan donasi dari kandidat pemilu legislatif dan eksekutif terhadap para pendukungnya yang mengakibatkan pertumbuhan konsumsi kalangan menengah kebawah. Di sisi lain, subsektor perdagangan kendaraan bermotoh tumbuh lebih lambat dibandingkan keseluruhan sektor, yaitu hanya

4,99

4,99

5,00

0 2 4 6 8

Wholesale and Retail Trade, Repairs

Non-Motor Vehicles and Motorcycle Trade

Motor Vehicles and Motorcycle Trade and Repairs

%

2014 2015 2016 2017 2018

Weight in 2018Q4

100

80.7

19.3

10,8

5,5

7,4

8,0

6,0

7,2

7,1

0 5 10 15 20

Railways

Inland Water

Sea

Storage & Support Activities for

Transportation, Postal & Courier

Air

Road

Transportation & Storage

2014

2015

2016

2017

2018

SectorWeight in

2018Q4

18.2

54.4

100

16.1

7.8

2.6

0.9

%

Page 8: SERI ANALISIS MAKROEKONOMI Quarterly Economic Outlook€¦ · Gambar 2: Realisasi Pengeluaran Pemerintah Tahun 2011-2014 dan 2015-2018 Sumber: Realisasi APBN, Kementerian Keuangan

SERI ANALISIS MAKROEKONOMI

Quarterly Economic Outlook Triwulan III-2019

8

“Alokasi bantuan sosial untuk pendapatan menengah ke bawah berkontribusi pada stabilnya pertumbuhan konsumsi kali ini.”

tumbuh 3,29% pada Q1 2019, didorong oleh turunnya penjualan kendaraan bermotor sebesar 13% pada kuartal pertama 2019 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Pertumbuhan sektor transportasi dan pergudangan menurun cukup tajam menjadi 5,23% di kuartal pertama 2019, dibandingkan dengan pertumbuhan 7,07% di periode sebelumnya, disebabkan oleh pertumbuhan negatif dari jasa transportasi udara akibat naiknya harga tiket pesawat yang signifikan, menurunkan jumlah penumpang pesawat secara drastis. Sebaliknya, pertumbuhan subsektor jalan meningkat sebesar 8,98% pada Q1 2019, tercata sebagai pertumbuhan kuartalan terbesar subsektor tersebut sejak 2011 akibat kontribusi dari pembangunan infrastuktur skala massif oleh pemerintah. Subsektor transportasi laut dan kereta juga termasuk subsektor yang diuntungkan oleh proyek infrastruktur pemerintah di mana keduanya bertumbuh masing-masing sebesar 7,32% (y.o.y) dan 7,88% (y.o.y), walaupun lebih rendah ketimbang kuartal sebelumnya. Sementara masih belum adanya klasifikasi khusus untuk e-commerce pada data statistik industri oleh BPS, pertumbuhan oleh subsektor pergudangan dan pendukungnya dapat digunakan sebagai proxy untuk mengukur aktivitas ekonomi e-commerce. Subsektor pergudangan dan aktivitas pendukungnya tumbuh sebesar 8,26% (y.o.y) pada kuartal pertama 2019, sejalan dengan cepatnya pertumbuhan e-commerce di Indonesia.

Berdasarkan prediksi kami untuk Q3 2019, aktivitas ekonomi domestic akan pulih seiring mulai stabilnya kondisi politik di Indonesia pasca usainya pemilu 2019 dan meredanya tensi perang dagang. Dengan pemilu 2019 telah mencapai hasilnya, Presiden Jokowi akan menjalankan periode kedua masa kepemimpinannya di mana beliau akan memiliki posisi strategis untuk memimpin jajaran kabinetnya untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang mungkin kurang populis, namun tepat sasaran dan manjur untuk pertumbuhan ekonomi tidak hanya jangka pendek, namun juga untuk jangka menengah dan jangka panjang. Lebih besarnya ruang bagi pemerintahan Jokowi paruh kedua disebabkan oleh lebih rendahnya ongkos politik yang beliau emban, berkat tidak memungkinkannya Jokowi maju lagi sebagai kandidat presiden di masa mendatang. Namun, sisi lain dari mata koin tersebut adalah Jokowi dan jajaran kabinet yang dipimpinnya juga memiliki ruang yang lebih besar untuk melakukan tindak kecurangan dan berburu rente. Oleh sebab itu, reformasi struktural untuk kembali meningkatkan daya saing Indonesia bisa jadi bukan perkara mudah, mengingat adanya beberapa hal besar lainnya seperti era digitalisasi dan bonus demografi yang akan memberi tantangan terhadap perkembangan perekonomian Indonesia di masa mendatang.

Konsumsi Rumah Tangga Diperkirakan Meningkat di Triwulan-II 2019

Tingkat pertumbuhan konsumsi sedikit mengalami perubahan; turun menjadi 5,01% di Q1 2019 dari 5.07% pada kuartal sebelumnya. Komposisi komponen konsumsi rumah tangga sedikit berubah dibandingkan dengan Triwulan-IV, ketika perayaan Natal dan tahun baru terjadi. Peranan konsumsi makanan dan minuman meningkat menjadi 36,8% dari 36,5%, mengurangi peranan konsumsi rumah tangga untuk transportasi dan komunikasi menjadi sekitar 24,7% dari sebelumnya sebesar 25%. Walaupun tingkat pertumbuhan konsumsi pada Q1 lebih rendah, hal tersebut bersifat wajar, di mana penurunan pertumbuhan disebabkan oleh faktor musiman yang terjadi pada awal tahun. Pertumbuhan yang stabil didukung oleh peningkatan konsumsi untuk makanan dan minuman (naik menjadi 5,32% di Q1 2019 dari 4,79% di Q4 2018), restoran dan hotel (naik menjadi 5,5% di Q1 2019 dari 5,79% di Q4 2018), dan kesehatan dan pendidikan (naik menjadi 5,71% di Q1 2019 dari 4,79 di Q4 2018). Kami memperkirakan pertumbuhan konsumsi secara keseluruhan akan meningkat di Triwulan-II bertepatan dengan berlangsungnya Ramadhan dan Idul Fitri.

Page 9: SERI ANALISIS MAKROEKONOMI Quarterly Economic Outlook€¦ · Gambar 2: Realisasi Pengeluaran Pemerintah Tahun 2011-2014 dan 2015-2018 Sumber: Realisasi APBN, Kementerian Keuangan

SERI ANALISIS MAKROEKONOMI

Quarterly Economic Outlook Triwulan III-2019

9

“hasil pemilu serentak yang diadakan diperkirakan mampu meningkatkan pertumbuhan kredit pada Triwulan-II 2019, terutama pada kredit investasi seiring dengan kebijakan yang lebih solid untuk 5 tahun kedepan.”

Pertumbuhan bantuan sosial yang signifikan dalam bentuk Program Keluarga Harapan (PKH) turut memberikan kontribusi bagi pertumbuhan konsumsi yang stabil di Q1, di mana alokasi bantuan sosial di Triwulan-II saja adalah sekitar Rp30 triliun, atau saat ini telah mencapai sekitar 73 persen dari target pada 2019. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Triwulan-II 2019 meningkat menjadi 127,6 dari 125 pada triwulan sebelumnya, mengindikasikan sikap optimisme konsumen yang lebih terjaga dan terkelola di masa mendatang. Pada bulan April, pertumbuhan kredit (yoy) meningkat secara signifikan, lebih tinggi dari kuartal sebelumnya. Kami memprediksi adanya pertumbuhan kredit yang lebih tinggi untuk Triwulan-II, sejalan dengan konsumsi rumah tangga yang menguat yang disebabkan oleh adanya lonjakan pencairan pinjaman dari investasi, modal kerja, serta konsumsi. Lebih lanjut, efek pasca pemilihan umum presiden dan legislative masih akan terasa pada Triwulan-III, mempengaruhi iklim investasi pasar.

Grafik 5: Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga dan Komponennya, 2014-2019Q1

Sumber: CEIC

Grafik 6: Tingkat Pertumbuhan Investasi dan Komponen Utamanya, 2014-2019Q1

Sumber: CEIC

Melihat lebih dalam pada komponen pembentuk PDB, konsumsi rumah tangga tetap stabil sepanjang periode. Di sisi lain, terdapat penurunan nilai ekspor dan impor di Triwulan-I. Sementara investasi mencatat pertumbuhan yang lebih lambat menjadi 5,03% dari 6,01% pada kuartal sebelumnya, hal ini disebabkan oleh adanya perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian politik hasil pemilu, membuat investor lebih enggan dan memilih untuk menunggu dan melihat perkembangan pasar.

Grafik 7: Komposisi PDB, 2015Q1-2019Q1 (persen)

Sumber: CEIC

Grafik 8: Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Penggunaan, 2016Q1-Apr 2019 (YoY, %)

Sumber: CEIC

Inflasi umum pada bulan Juni turun sebesar 0,04%, sehingga berada pada angka 3,28%. Indeks Harga Konsumen tetap stabil di koridor sekitar 3%, menunjukkan adanya tren stabilisasi terhadap ekspektasi inflasi dalam jangka menengah. Inflasi makanan yang bergejolak berada pada angka 1,70% (mtm), menurun dari inflasi bulan sebelumnya sebesar 2,18% (mtm). Penurunan tersebut

5.01

5.32

4.91

4.70

5.50

5.71

2.17

4.85

0 2 4 6

Consumption: Household

F&B, Other than Restaurant

Transportation & Communication

Equipments

Restaurant & Hotel

Health & Education

Others

Apparel, Footwear & Maintenance

2015 2016 2017 2018 2019Q1

Weight in 2019Q1 Sectors

36.8

100

24.7

13.5

9.4

7.0

4.7

3.9

%

5.03

5.48

8.41

-7.37

9.28

-10 -5 0 5 10 15 20 25

Gross Fixed Capital Formation

Buildings & Structures

Machine & Equipment

Vehicles

Cultivated Resources

%

2015 2016 2017 2018 2019Q1

Weight in 2019Q1

Sector

100

74.9

10.6

5.5

5.0

55 54 54 55 55 54 54 55 55 54 54 55 55 54 54 55 55

6 8 8 12 6 8 8 11 6 7 8 11 6 7 8 11 6

32 32 32 34 32 32 32 34 32 32 32 34 33 32 33 35 33

23 23 22 2221 21 20 22 22 21 22 22 22 21 22 22 21

-22 -21 -19 -21 -20 -19 -18 -20 -20 -18 -20 -22 -21 -20 -21 -22 -18

-30

-10

10

30

50

70

90

110

130

Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q12015 2016 2017 2018 2019

Household Consumption Government ConsumptionGross Fixed Capital Formation ExportImport

10.48

14.34

9.06

3

5

7

9

11

13

15

Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Apr

2016 2017 2018 2019Working Capital Investments Consumption Total

Page 10: SERI ANALISIS MAKROEKONOMI Quarterly Economic Outlook€¦ · Gambar 2: Realisasi Pengeluaran Pemerintah Tahun 2011-2014 dan 2015-2018 Sumber: Realisasi APBN, Kementerian Keuangan

SERI ANALISIS MAKROEKONOMI

Quarterly Economic Outlook Triwulan III-2019

10

dipengaruhi oleh deflasi harga bawang putih, ayam, dan telur. Hal ini disebabkan oleh berakhirnya faktor musiman terkait kenaikan harga pangan selama perayaan Ramadhan dan Idul Fitri. Di sisi lain, intervensi pemerintah terhadap harga tiket pesawat berkontribusi terhadap deflasi pada harga yang diatur pemerintah, yaitu sebesar -0,09% (mtm), turun secara signifikan dari inflasi bulan Mei sebesar 0,48% (mtm). Inflasi umum bulanan turun dari 0,68% menjadi 0,55% dari Mei hingga Juni.

Grafik 9: Tingkat Inflasi (%, yoy)

Sumber: CEIC

Grafik 10: Tingkat Inflasi (%, mtm)

Sumber: CEIC

Pada waktu yang sama, inflasi inti meningkat menjadi 3,25% di bulan Juni, tertinggi sejak April 2017. Sementara secara bulanan, inflasi inti tercatat di angka 0,38%, lebih tinggi dari 0,27% di bulan sebelumnya. Akan tetapi, tren peningkatan inflasi inti dalam beberapa bulan terakhir tidak dapat diartikan sebagai peningkatan permintaan rumah tangga, karena hanya mencerminkan pola musiman.

Celah Antara PMA dan PMDN Turun pada Triwulan I-2019; Investasi Lebih Baik di Semester II-2019

Nilai investasi selama Triwulan I-2019 tumbuh sekitar 2% (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Peningkatan ini terutama disumbang oleh peningkatan DDI sebesar 15% (yoy) dibarengi dengan realisasi PMA yang lebih lambat (-7,4%). Selain meningkatnya ketidakpastian global, realisasi PMA yang lebih rendah dapat dijelaskan dengan sikap menunggu para investor menjelang Pemilu 2019. Berdasarkan sektornya, perlambatan investasi asing terjadi di sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa), sementara sektor primer tumbuh positif.

Di sisi lain, investasi domestik masih didominasi oleh sektor konstruksi, transportasi, penyimpanan, dan telekomunikasi dengan kontribusi total sektor industri sebesar 18,5% dari DDI; lebih rendah dari proporsi serupa di Triwulan IV-2018 (23,5%). Karena realisasi investasi penting untuk memastikan pertumbuhan ekonomi, investasi yang lebih rendah pada industri dapat menjadi salah satu faktor perlambatan pertumbuhan sektor manufaktur pada 2019. Namun, penyerapan signifikan investasi bidang konstruksi dapat diterjemahkan dalam pertumbuhan ekonomi sektor yang tumbuh lebih tinggi dari pertumbuhan PDB keseluruhan yakni sebesar 5,91% pada Triwulan I-2019.

-2

0

2

4

6

8

10

12

J A S O N D J F M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N D J F M A M J

2016 2017 2018 2019

Headline Core Administered Volatile

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

JASONDJ FMAMJ JASONDJ FMAMJ JASONDJ FMAMJ2016 2017 2018 2019

Headline Core

Page 11: SERI ANALISIS MAKROEKONOMI Quarterly Economic Outlook€¦ · Gambar 2: Realisasi Pengeluaran Pemerintah Tahun 2011-2014 dan 2015-2018 Sumber: Realisasi APBN, Kementerian Keuangan

SERI ANALISIS MAKROEKONOMI

Quarterly Economic Outlook Triwulan III-2019

11

“…kesenjangan antara jumlah PMA dan DDI terus menyempit dari jumlah PMA yang berlipat ganda pada 2015 menjadi celah yang relatif sedikit. Tren ini mencerminkan perlambatan investasi asing seiring meningkatnya kepercayaan investor domestik pada Triwulan I-2019.”

Grafik 11: Investasi Asing dan Domestik (Nominal)

Source: CEIC

Grafik 12: Realisasi Penanaman Modal Asing (Nominal)

Source: CEIC

Investasi pada Triwulan I-2019 baru mencapai 24% dari target investasi sepanjang 2019. Yang perlu dicatat adalah bahwa kesenjangan antara jumlah PMA dan PMDN terus menyempit dari jumlah PMA yang berlipat ganda pada 2015 menjadi celah yang relatif sedikit. Tren ini mencerminkan perlambatan investasi asing seiring meningkatnya kepercayaan investor domestik pada Triwulan I-2019. Kami melihat bahwa tren penurunan PMA tidak akan berlanjut pada 2019 setidaknya di Triwulan II-2019 saat sudah berakhirnya Pemilu. Untuk mempercepat realisasi investasi secara keseluruhan, pemerintah perlu secara ketat mempertahankan iklim investasi dengan melanjutkan reformasi ekonomi seperti paket kebijakan ekonomi ke-16, pelonggaran pembatasan kepemilikan asing, implementasi Online Single Submission (OSS) yang lebih baik, dan intensifikasi fasilitas investasi yang lebih dalam oleh lembaga pemerintah terkait baik di tingkat pusat maupun daerah.

Peningkatan Signifikan Defisit Neraca Berjalan Tahun 2019 Masih Tetap Menjadi Tantangan

Peningkatan defisit transaksi berjalan di 2,6% pada kuartal pertama 2019 dibandingkan dengan 3,6% CAD pada Q4 2018 disebabkan oleh dua surplus berturut-turut pada perdagangan Februari dan Maret. Namun demikian, data April-Juni menunjukkan tren pembalikan neraca perdagangan karena jumlah defisitnya telah melonjak menjadi USD1,87 miliar dari USD0,6 miliar pada Q1 2019. Hal ini terutama didorong oleh peningkatan 28% dalam impor minyak dan gas ditambah dengan penurunan 22% dalam ekspornya. Meskipun ada faktor pengaruh harga minyak mentah, defisit perdagangan minyak dan gas di Q2 secara signifikan menyimpang dari tren di bulan Februari dan Maret. Namun, hal ini menunjukkan kepada kita bahwa angka yang lebih baik untuk CAD pada Q1 2019, pada umumnya, adalah anomali. Defisit perdagangan yang lebih tinggi di Q2 membawa jumlah defisit keseluruhan untuk 1H 2019 mencapai USD1,93 miliar, lebih dalam dari total defisit perdagangan pada periode yang sama tahun lalu (USD1,06 miliar). Selain pembalikan keseimbangan minyak dan gas, gangguan perdagangan internasional dan melemahnya harga komoditas global juga merupakan kontributor terhadap memburuknya neraca perdagangan pada Q2 2019. Selain itu, kami mempertahankan pandangan kami bahwa mencapai peningkatan substansial pada CAD 2019 akan tetap menjadi tantangan.

10287

189

0306090

120150180210

Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q12015 2016 2017 2018 2019

IDR Trillion

Foreign Domestic Total

102

1227

64

0

20

40

60

80

100

120

Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q12015 2016 2017 2018 2019

IDR Trillion

Total Primary Secondary Tertiary

Page 12: SERI ANALISIS MAKROEKONOMI Quarterly Economic Outlook€¦ · Gambar 2: Realisasi Pengeluaran Pemerintah Tahun 2011-2014 dan 2015-2018 Sumber: Realisasi APBN, Kementerian Keuangan

SERI ANALISIS MAKROEKONOMI

Quarterly Economic Outlook Triwulan III-2019

12

Grafik 13: Neraca Perdagangan Bulanan (Nominal) (Sept2013-Mei2019)

Sumber: CEIC

Grafik 14: Kurs dan Akumulasi Arus Modal Jangka Pendek (Des ‘17-Jul ‘19)

Sumber: CEIC

Defisit perdagangan pada Q2 2019 tercatat sekitar tiga kali lebih tinggi dari kuartal sebelumnya. Impor migas yang lebih tinggi, ditambah dengan penurunan ekspor migas, bukan satu-satunya alasan memburuknya neraca perdagangan. Ekspor nonmigas juga berkurang 2% (yoy) pada 1H 2019 karena penurunan harga komoditas global; tren tersebut terutama terlihat pada defisit nonmigas pada April 2019. Namun, pembalikan keseimbangan nonmigas menjadi surplus pada Mei dan Juni didorong secara signifikan oleh impor yang lebih rendah pada mesin dan peralatan listrik. Tren perlambatan ekspansi bisnis berorientasi ekspor karena harga komoditas yang lebih rendah telah menghambat permintaan barang modal impor. Selain itu, perdagangan kami tetap rentan terhadap ayunan harga global karena ekspor dan impor kami sangat bergantung pada komoditas.

Grafik 15: Profil Ekspor Indonesia (April-Mei 2019)

Sumber: CEIC

Grafik 16: Profil Impor Indonesia (April-Mei 2019)

Sumber: CEIC

Melihat lebih rinci, ekspor masih sangat bergantung pada ekspor bahan baku, terutama sumber daya mineral, lemak nabati, dan logam mulia dengan tiga kategori ini menyumbang 40,4% dari total ekspor. Meskipun sektor elektronik dan mesin merupakan penyumbang impor tertinggi (25,8%), impor juga didominasi oleh sumber daya mineral (16,5%), khususnya minyak, setidaknya sejak 2013. Peningkatan impor minyak sejak April 2019 telah membalikkan kontribusi impor sumber daya mineral dari April hingga Mei menjadi 16,5% dari 13,4% pada Februari. Kami dapat

-2.5

-1.5

-0.5

0.5

1.5

2.5

Mar-14 Sep-14 Mar-15 Sep-15 Mar-16 Sep-16 Mar-17 Sep-17 Mar-18 Sep-18 Mar-19

USD bn

TB: Oil and Gas TB: Non-Oil and Gas Trade Balance (TB)

13,000

13,500

14,000

14,500

15,000

15,500

-70

-30

10

50

90

130

170

210

Dec-17

Jan-18

Feb-18

Mar-18

Apr-18

May-18

Jun-18

Jul-1

8

Aug-18

Sep-18

Oct-18

Nov-18

Dec-18

Jan-19

Feb-19

Mar-19

Apr-19

May-19

Jun-19

IDR Trillion

Total Portfolio Bonds Stocks USD/IDR (RHS)

Mineral Resources

23.1%

Vegetable & Animal Fat

9.1%

Base Metals 8.2%

Textile Goods8.1%Electronics, Electric Eqp,

and Machineries7.9%

Industrial Chemicals

7.6%

Plastic, Rubber, and Derivatives

5.7%

Vehicles4.9%

Pulp and Paper4.8%

Processed Food and Beverages

4.5%

Pearl, Diamond, Precious Metals

2.6%

Others13.5%

Electronics, Electric Eqp,

and Machineries

25.7%

Mineral Resources

16.5%

Base Metals10.4%

Industrial Chemicals

10.1%

Plastic, Rubber, and Derivatives

6.0%

Textile Goods5.6%

Vehicles5.1%

Plant-Based Product

4.9%

Processed Food and Beverages

4.6%

Pulp and Paper2.0%

Others9.1%

Page 13: SERI ANALISIS MAKROEKONOMI Quarterly Economic Outlook€¦ · Gambar 2: Realisasi Pengeluaran Pemerintah Tahun 2011-2014 dan 2015-2018 Sumber: Realisasi APBN, Kementerian Keuangan

SERI ANALISIS MAKROEKONOMI

Quarterly Economic Outlook Triwulan III-2019

13

“Dapat kami katakan bahwa neraca perdagangan minyak dan gas yang lebih baik pada Triwulan I-2019 melampaui ekspektasi karena saat ini kondisi sudah berbalik ke kecepatan yang biasa.”

mengatakan bahwa neraca perdagangan minyak dan gas yang lebih baik pada Triwulan I-2019 melampaui ekspektasi karena saat ini kondisi sudah berbalik ke kecepatan yang biasa.

Jumlah impor minyak yang sangat rendah sepanjang Triwulan I-2019 telah menghasilkan posisi CAD yang lebih baik dari yang diharapkan untuk periode tersebut. Kekhawatiran tentang neraca transaksi berjalan Indonesia meningkat setelah data perdagangan April-Juni menunjukkan bahwa defisit perdagangan melebar tiga kali lebih tinggi dari jumlah pada Triwulan I-2019. Kembalinya impor minyak ditambah dengan ekspor yang lebih rendah karena penurunan harga global merupakan faktor signifikan dari memburuknya neraca perdagangan. Kami melihat bahwa CAD akan memburuk setidaknya pada Triwulan II-2019 terlebih karena kuartal kedua secara pola musiman merupakan siklus bagi perusahaan untuk menyelesaikan utang luar negeri dan membayar dividen.

Namun, potensi kenaikan CAD tidak akan diterjemahkan dalam peningkatan kegiatan ekonomi karena belum ada sinyal peningkatan investasi; impor barang modal menurun 25,5% di bulan Juni. Ketidakpastian harga komoditas global akan selalu menjadi tekanan pada neraca transaksi berjalan karena ekspor kita sangat bergantung pada komoditas. Perbaikan dari ini akan membutuhkan reformasi struktural yang lebih gigih; tidak mungkin dicapai dalam waktu dekat. Dalam jangka pendek, pemerintah perlu segera mengejar lebih banyak perjanjian perdagangan dan investasi bilateral dengan mitra dagang saat ini dan yang potensial.

Setelah mengalami depresiasi Rupiah hingga pertengahan Mei dengan mata uang menyentuh Rp14.400, Indonesia sekarang menikmati mata uang kuat di sekitar Rp14.000. Penguatan Rupiah terutama didorong oleh pengembalian investasi portofolio yang menarik yang membawa arus masuk bersih dalam aset keuangan domestik. Selain itu, persepsi positif tentang perekonomian negara telah menguat baru-baru ini, didukung oleh peningkatan peringkat kredit Indonesia ke BBB. Perkembangan tersebut, ditambah dengan sikap moneter dovish the Fed yang berkelanjutan, diperkirakan dapat mempertahankan arus masuk bersih modal asing ke Indonesia. Sedikit mencairnya tensi perdagangan AS-Tiongkok baru-baru ini juga akan ikut mendorong investor untuk memindahkan kembali aset mereka ke negara-negara berkembang, termasuk pasar keuangan dalam negeri. Di sisi domestik, keputusan BI untuk memotong suku bunga kebijakan dua minggu lalu akan semakin meningkatkan arus masuk dan memperkuat rupiah. Akumulasi aliran modal asing yang besar akan sedikit meningkatkan surplus neraca pembayaran ssehingga mendukung kondisi eksternal di tengah penurunan global setidaknya di paruh kedua 2019.