senyawa antimikroba dari rumput laut

Upload: ray-subandriya

Post on 31-Oct-2015

45 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jbj

TRANSCRIPT

Senyawa Antimikroba dari Rumput LautOleh : MARUNI WIWIN DIARTISeperti halnya makhluk hidup lain di jagat raya ini, sifat antagonismenya beragam spesies bakteri juga sebuah keniscayaan. Namun bagaimana sifat penentangan maupun perlawanan antar bakteri itu didamaikan agar bermanfaat bagi orang banyak. Khususnya bagi dunia kedokteran, bukan hal mudah untuk diwujudkan. Namun, Maruni Wiwin Diarti (Wiwin) justru tertantang oleh kesulitan itu. Lewat kajiannya, warga Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), ini berhasil menemukan obat anti mikroba dari bakteri rumput laut, kemudian mendapat Anugerah Teknologi Terapan dari Pemerintah Provinsi NTB, Desember 2003 di Mataram.Menurut staf pengajar Akademi Analis Kesehatan (AAK) Mataram ini, adanya antagonisme di antara bakteri laut sudah diketahui. Namun, sangat sedikit penelitian yang mengeksplorasi keragaman bakteri laut di Indonesia untuk penemuan bahan baku obat anti mikroba baru. Salah satu penyebabnya keterbatasan dana untuk kegiatan penelitian itu. Penelitian awal sudah saya lakukan pada tahun 1999, namun sempat terhenti karena tidak cukup biaya. Saya kirim proposal penelitian ke Bappeda NTB, tetapi tidak ada jawaban sebab saat itu sedang terjadi krisis moneter. Penelitian berjalan lagi pada tahun 2001 dan selesai dua tahun tahun kemudian, kata Wiwin menyebut lembaga penyandang dana penelitiannya.Dia juga dibantu oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Riset Pembinaan Iptek Kedokteran Departemen Kesehatan. Belum tergalinya potensi laut Indonesia yang luar biasa banyaknya itu menjadi alasan lain Wiwin melakukan riset. Selain itu, banyak bakteri klinis yang resistan terhadap beberapa produk anti biotik sehingga perlu dicari sumber anti biotik baru yang secara finansial dapat dijangkau rakyat kecil. Dari telusur pustaka, lulusan Fakultas Biologi Universitas Islam Al-Azhar, Mataram, tahun 1996 ini memilih rumput laut Thalassia hemprichii yang kemudian diketahui memproduksi senyawa anti bakteri. Lokasi penelitiannya di Pantai Gerupuk, kawasan wisata Kute, Lombok Tengah, dimana masyarakat pesisir membudidayakan rumput laut sebagai sumber penghasilan alternatif.Di tempat ini terdapat 11 jenis bakteri aerob, dan dia memilih meneliti Thalassia hemprichii. Rumput laut itu diambil bagian akar, batang, dan daunnya, lalu di masukkan ke dalam kantong plastik steril berisi air laut, lalu disimpan dalam kotak pendingin untuk uji laboratorium. Kultur primer rumput laut itu ditanam bagian akar, batang, dan daunnya pada permukaan lempeng NASW (Nutrient Agar Sea Water) bertemperatur 20 derajat selama 48 jam. Tiap koloni yang muncul dimurnikan, diidentifikasi secara konvensional berdasarkan karakteristik morfologi, biakan, biokimia, dan resistansi antibiotik. Setelah dilakukan pemurnian, rumput laut yang sudah jadi ekstrak itu diteteskan pada kertas filter steril dan di lakukan proses uji kadar hambatan minimal. Pada tahap ini diketahui senyawa hasil pemurnian memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan bakteri isolat klinis oleh senyawa bio-aktif dengan zona penghambatan 12 mm 18 mm, tidak bersifat racun karena sampai dosis mikrogram per miligram tidak menyebabkan matinya hewan coba, dan potensinya 100 persen bisa menyembuhkan infeksi bakteri. Obat antimikroba dari bahan baku rumput laut itu bukan penelitian pertama perempuan kelahiran tanggal 15 Januari 1974 di Selong, ibu kota Lombok Timur. Sebelumnya Wiwin meneliti efek Helicobacter pylori (H pylori), penyebab penyakit lambung gastritis kronis aktif, dan pengaruh telur ayam terhadap H pylori.Obat alternatif ini mungkin lebih murah mengingat obat infeksi lambung yang relatif mahal, kemudian banyak produk obat antibiotik berbahan kimia resistan terhadap H pylori. Jika bahan baku obat senyawa aktif biofisik bisa dimanfaatkan, dampak positifnya, antara lain, pada dunia farmasi dan mengangkat posisi tawar dan nilai jual sumber daya alam (SDA) Indonesia, seperti rumput laut dan telur ayam, menjadikan pendapatan petani terdongkrak. Itu memang cita-cita, tetapi yang lebih penting adalah menggali potensi SDA di Nusantara yang masih tersembunyi itu untuk diteliti bagi kepentingan orang banyak. Wiwin punya bekal untuk itu. Saya suka meneliti yang mikro-mikro sebab selain tertarik, juga basis saya adalah analis kesehatan, ujar istri Yunan Jiwintarum yang juga karyawan di AAK Mataram itu.Ini bidang penelitian potensial, namun amat sedikit orang mau menekuninya, malah yang mengincar potensi darat dan laut Indonesia adalah pihak asing. Kalau tidak proaktif dan berinisiatif, ya kita cuma jadi penonton. tambahnya. Komitmen dan kesukaan seperti itu ditopang pula oleh lingkungan Wiwin sebab, kecuali mengajar, dia juga menjadi peneliti pada Unit Riset Biomedik (URB) Rumah Sakit Umum Mataram. Di sini ada peneliti senior Prof Dr dr Soewignjo Sumohardjo, pakar gastroentero hepatologi, yang membimbing, memberi dukungan moral dan material bagi ibu seorang anak itu.Karena kemudahan yang disediakan itu maka setiap kali melakukan kegiatan penelitian, Wiwin turun membawa bendera URB Rumah Sakit Umum Mataram tadi. Wiwin agaknya belum puas dengan hasil yang diraihnya selama ini. Malah berbagai hal yang acapkali mengganggu kesehatan alat reproduksi perempuan tidak luput dari perhatiannya. Untuk itu, direncanakan pada bulan Mei ini dia bersama timnya mulai turun ke lapangan. Dia akan meneliti pemanfaatan alga untuk uji penapisan anti jamur infeksi kandida yang menyebabkan kanker mulut rahim pada perempuan. Biaya penelitian itu disponsori Kementerian Riset dan Teknologi Indonesia yang membantu pendanaan kegiatan sebesar Rp 40 juta.

Reaktor BiogasOleh : ANDRIAS WIJI SETIO PAMUJIDi kalangan peternak sapi perah, terutama di Jawa Barat, membuat biogas dari kotoran sapi tengah menjadi kesenangan baru. Apalagi dalam kondisi persediaan bahan bakar minyak yang tidak menentu dan harganya terus melaju seperti sekarang.Untuk itu, menghasilkan dan memanfaatkan gas hasil kerja sendiri merupakan kebanggaan tersendiri sehingga para peternak tidak perlu lagi membeli minyak tanah, gas elpiji, atau kayu bakar.Jangan heran kalau mendatangi peternakan di daerah Lembang dan Cisarua, Kabupaten Bandung, Anda akan menemukan kantong plastik ukuran 5.000 liter dalam sebuah lubang dan kantong lainnya ukuran satu meter kubik mengapung di bawah atap yang disambungkan dengan pipa-pipa plastik.Perlengkapan sederhana yang biasa terdapat dekat kandang sapi itu sebetulnya reaktor dan penampung biogas. Kotoran sapi yang sudah dicampur air dengan ukuran satu banding satu itu diubah menjadi gas. Gas itu dialirkan pada reaktor. Setelah menjadi gas kemudian dialirkan pada penampung gas. Melalui selang plastik, gas dialirkan lagi ke kompor gas di dapur untuk memasak.Percobaan membuat reaktor sederhana dari plastik ini sudah dilakukan oleh Andrias Wiji Setio Pamuji (27) pada tahun 2000, saat ia masih kuliah tingkat III di Jurusan Teknik Kimia Departemen Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB).Namun, Andrias baru memasarkannya pada 9 April 2005 setelah menyempurnakan percobaan-percobaannya. Reaktor biogas dari plastik ini sebelumnya pernah menang dalam Lomba Kreativitas Mahasiswa tahun 2002 yang diadakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.Andrias sudah lama mengetahui bahwa kotoran sapi bisa dijadikan gas. Namun, kesempatan membuktikan hal tersebut baru kesampaian saat ia kuliah. Saking penasaran, ia membawa kotoran sapi yang sudah dicampur air dari sebuah peternakan. Kotoran sapi itu ia bawa dengan jeriken ukuran lima liter.Sampai di rumah indekos, jeriken tetap ditutup agar terjadi fermentasi pada kotoran sapi. Setelah sebulan, jeriken dibuka dan di atas lubang jeriken dipasang plastik. Plastik langsung mengembang.Andrias yang berasal dari Desa Ngrendeng, Kecamatan Sine, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, itu segera mencari pucuk bolpoin yang terbuat dari logam. Pucuk pulpen ini ditusukkan pada plastik dan keluarlah gas. Ia menyulutnya dengan korek api. Ternyata betul, kotoran sapi bisa jadi gas dan bisa dibakar, ujarnya.Andrias terus memodifikasi peralatan dengan menggunakan uang bantuan dari teman- temannya. Percobaan demi percobaan ia lakukan untuk bisa menghasilkan reaktor dan penampung gas berharga murah dan berkapasitas mencukupi untuk kebutuhan rumah tangga.Sampai akhirnya, dari percobaan demi percobaan, ia menghasilkan reaktor dari plastik dengan tebal 250 mikron serta menciptakan kompor untuk jenis gas metana.Ia baru memasarkan reaktor tersebut pada April 2005. Saat itu dirasa tepat sebab harga bahan bakar minyak (BBM) terus naik. Saya sudah memprediksi bahwa BBM akan mahal. Tapi kalau dulu, harga BBM alternatif masih lebih mahal dari BBM yang ada. Sulit bagi masyarakat untuk berpaling, kata Andrias.Kini reaktor biogas buatannya sudah digunakan oleh 66 peternak sapi perah di Subang, Bandung, Garut, Tasikmalaya, dan Padang, Sumatera Barat, menyusul Bali, Jawa Tengah, dan Lampung. Sebetulnya, segala kotoran binatang bisa digunakan, termasuk kotoran manusia. Hanya saja teknologi terbentur oleh asas kepantasan dalam masyarakat. Sampah organik juga bisa dipakai sebagai bahan pokok pembuatan gas. Reaktor bisa ditempatkan di tempat penampungan akhir (TPA) sampah. Pada TPA yang mendapat kiriman sampah sebanyak 5.000 meter kubik per hari bisa dihasilkan gas sebanyak 25.000 meter kubik per hari atau setara dengan 31,25 juta watt listrik. Itu juga bisa mengalirkan listrik bagi sekitar 2.500 rumah tangga. Andrias menjual reaktornya dengan harga Rp 1,5 juta, termasuk pemasangan.Keseriusan dalam kerja sama penting karena penjualan reaktor biogas harus diikuti dengan layanan purnajual yang memuaskan agar masyarakat tidak merasa tertipu. Kalau pemakai merasa banyak keluhan dalam menggunakan reaktor biogas, mereka tidak akan percaya bahwa kotoran sapi betul-betul bermanfaat, ujar Andrias. Ia mengatakan, sampai kini gas yang dihasilkan belum dapat dikemas dalam tabung karena gas dari kotoran sapi adalah jenis metana (CH4). Sementara gas yang dikemas dalam tabung merupakan gas yang bisa dicairkan, yang berasal dari jenis butana (C4 H10) dan pentana (C5 H12). Gas yang bisa dicairkan bisa masuk dalam tabung dengan volume jauh lebih banyak. Namun, metana tidak bisa demikian.Tapi biasanya dalam dunia teknologi, segala sesuatu akan terus berkembang. Mudah-mudahan ada dana untuk meriset lagi agar tidak hanya peternak sapi yang bisa merasakan manfaat biogas ini, kata Andrias.Sejauh ini, bagi masyarakat yang ingin menikmati biogas dari kotoran sapi dan bagi peternak yang ingin menjual biogasnya kepada tetangga baru bisa dilakukan dengan sistem jaringan gas yang dihubungkan dengan selang-selang, seperti penggunaan gas pada zaman dahulu. Untuk menghitung pemakaian, digunakan meteran.Andrias adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Anak petani ini sering penasaran dan ingin membuktikan teori-teori yang didengarnya dengan cara melakukan percobaan. Waktu kecil ia pernah membuat listrik dan perahu motor mainan dengan penggerak kincir angin. Kincir angin dibuat dari pemutar kaset dalam tape. Andrias juga senang bertani dan beternak. Tanaman dan hewan ia rawat dengan kasih sayang. Ini adalah ajaran dari ibunya. Sejak kecil Andrias sering membantu orangtuanya bekerja di sawah. Ibunya sering menunjukkan kepadanya sawah-sawah yang subur dan kering. Sawah yang hijau dan subur itu setiap hari ditengok petani. Kalau yang coklat itu jarang ditengoki petaninya, kenang Andrias menirukan kalimat ibunya. Perkataan itu mengartikan, sawah yang sering ditengok akan lebih terawat. Perawatan itu adalah cermin dari ketekunan. Tekun, itulah yang menjadi prinsip hidup Andrias.Suami dari Mila Juliani Perangin-angin (24) dan ayah dari Aldo Adicipta Yanuar (7 bulan) ini pun membuat dan memasarkan reaktor dengan ketekunannya. Meskipun sudah 66 orang menggunakan reaktornya, keuntungan materi belum ia rasakan. Yang penting masyarakat bisa menerimanya dulu, kata Andrias menekankan. (Yenti Aprianti)Sumber: Harian Kompas, 15 Agustus 2005.

Formula Kimia Pemadam Api Ramah LingkunganOleh : RANDALL HARTOLAKSONOSiapa yang peduli kulit singkong. Jangankan kulit, dagingnya pun tak banyak mendapat perhatian kaum ilmiawan. Tapi di tangan Randall Hartolaksono, kulit singkong bisa menjadi bahan anti api kelas dunia. Temuan revolusioner arek Suroboyo kelahiran 16 Maret 1956 itu terjadi secara tak sengaja.Itu terjadi saat ia kuliah di jurusan Teknik Mesin Universitas London (ia masuk tahun 1977, karena para dosennya sulit mengeja Hartolaksono maka kemudian namanya sering dipanggil Hart). Kala meneliti saripati kulit singkong untuk bahan pelumas engsel robot, tak sengaja ia menumpahkan bahan itu di atas nyala api. Ternyata api padam. Randall takjub. Di bawah bimbingan Profesor Evans, ia meneliti keampuhan kulit singkong.Saripati singkong, menurutnya, terbukti memutus reaksi kimia berantai dalam proses kebakaran. Zat aktif itu bisa mencegah lompatan energi elektron melewati titik kritis di lapisan terluar atom saat pembakaran, katanya. Randall menjuluki teorinya free radical atau radikal bebas. Teori ini sempat ditolak pakar Inggris dalam pertemuan tahunan di Edinburgh University, Skotlandia, 1982.Baru setelah uji coba laboratorium selama lima tahun, teori Randall diakui. Mereka menyebutnya teori pemutusan rantai kimia, katanya. Dalam penelitian lanjutan, zat aktif dari kulit singkong, seperti tripotasium sitrat, itu bisa dikembangkannya menjadi aneka produk anti api. Ada yang seperti cat, dioleskan pada kayu, membuat tahan api selama 200 tahun! Ada juga yang dimasukkan pada tabung semprot untuk memadamkan nyala api.Kini tiga produk temuan Randall telah mendapat sertifikat uji standar dari beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Produknya bisa menembus banyak tempat elit, seperti Istana Buckingham Inggris. Perusahaan Malaysia seperti Petronas, Proton dan Telecom mengganti produk halon dengan produk Randall yang ramah lingkungan. Beberapa hotel berbintang pun mulai disusupi produk Randall.Pemegang status permanent residence di Inggris dan Singapura ini membangun kerajaan bisnisnya yang dinamai Hartindo Chemicatama Industri. Selain di Jakarta dan Surabaya, Randall juga membangun pabrik perakitan di Malaysia, Singapura, Taiwan, Inggris dan Thailand.Tapi sukses tidak diraih Randall dengan gampang. Sebelum mendapat banyak lisensi, ia harus keluar masuk laboratorium di mancanegara. Ia memberi contoh, AF11E yang ditemukan pada 1983 baru mendapat sertifikat uji standar dari Amerika pada tahun 2000. Randall membuktikan, jadi inovator tak cukup hanya kreatif, melainkan juga harus ulet dan sabar. (G.A Guritno, Hendri Firzani)Sumber: Majalah Gatra Ed. Khusus, Agustus 2004.

Bakteri Kompos OrganikOleh : AYUB S. PARNATAWalau usia sudah mencapai 72 tahun, Ayub S. Parnata seakan tak pernah kehilangan semangat. Di tengah kesibukannya mengurus anggrek, setiap bulannya ia rutin mengirim minimal 2 kontainer pupuk organik ke Cina. Jumlah itu masih ditambah dengan kontainer untuk melayani permintaan dalam negri. Kalau dihitung-hitung, sekitar 64 ton pupuk cair disalurkan tiap bulan. Bersama mitra kerja asal Hongkong, Ayub mempunyai pabrik peracikan pupuk di Cina Selatan. Di sana, biang pupuk organik yang dibuat di Indonesia diubah menjadi pupuk siap pakai. Lalu dieskpor kembali ke beberapa negara di Asia, Australia dan Amerika Serikat. Di Asia, pelanggannya datang dari Filipina, Thailand, Malaysia, Vietnam dan Mongolia. Permintaan konsumen terus meningkat. Peningkatan 100% per tahun untuk pasaran luar negri dan 20% dalam negri.Keberhasilan itu bukan datang sendiri layaknya bintang jatuh. Kisahnya dimulai 1960. Saat itu, Ayub mencoba bercocok tanam jagung. Sayang produksinya amat minim, tidak sampai 750 kg/ha. Kenyataan ini menggelitik lulusan Hogere Burgerschool itu untuk meneliti penyebabnya. Hasil pengamatannya menunjukkan, penyebab produksi minim karena efek samping penggunaan kimia dari pupuk yang tidak terserap efektif oleh tanaman sehingga hanya tersimpan di dalam tanah. Untuk menguraikan lagi, harus dengan bantuan jasad renik. Dari hasil analisis, diketahui pada tanah subur selalu ditemukan Pseudomonas putida dan Pseudomonas fluorescens. Dua jasad renik itulah yang harus didapatkan untuk dimasukkan ke tanah yang rusak. Pencarian jenis jasad renik itulah yang memakan waktu lama. Mencari di alam hingga membiakkan dengan media agar (jel) bukanlah proses mudah. Seperti orang buta yang mencari-cari, tanpa ada satu buku pun yang menuntun, ujar Ayub melukiskan betapa sulitnya pencarian itu.Setelah jasad renik berhasil dibiakkan, menentukan formulasi pupuk yang tepat tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai komposisi dicoba dan hasilnya kebanyakan gagal. Misal ketika diujicobakan ke suatu lahan padi, bukannya menjadi subur, tanaman malah hangus terbakar. Begitu pun ketika diuji pada bunga kesayangan, anggrek. Si cantik eksklusif itu daunnya berguguran satu-per satu.Mirip Thomas Alva Edison yang tak pernah berhenti meneliti sampai berhasil, Ayub tidak berputus asa terhadap kegagalan yang ditemui. Penyilang 10.100 anggrek itu terus mencari jalan untuk memperbaiki penemuannya. Kerja kerasnya baru terbayar setelah berkutat 17 tahun. Ayub menemukan campuran pupuk yang tepat. Ramuan terbuat dari bahan-bahan organik dan mikroba-mikroba menguntungkan. Pertama kali dicobakan pada lahan jagung, hasilnya menakjubkan. Produksi yang semula hanya 600 kg/ha, meningkat pesat menjadi 8,5 ton. Tak heran jika Menteri Pertanian waktu itu tertarik berkunjung ke perkebunannya.Ayub pun kian semangat meracik pupuk dari bahan-bahan organik yang mudah didapat dan berharga murah. Ikan laut, daging apkir atau limbah hewan digunakan. Bahan baku itu diperoleh dari daerah pesisir. Bila kekurangan, ia mengimpor dari Cili dan Denmark. Investasi yang dikeluarkan tidak main-main. Empat rumah miliknya direlakan dijual untuk melengkapi sarana produksi.Namun rupanya perjuangan belum usai. Memasuki awal 90-an, Ayub mencoba untuk memasarkan produk bermerk Top Soil Fertilizer di Jawa Barat. Diharapkan pupuk itu bisa membantu para pekebun di sana untuk meningkatkan produksi. Namun pil pahit harus ditelan ketika niatan itu terbentur urusan perizinan. Maklum, waktu itu pupuk organik memang belum populer. Pupuk kimia yang jadi primadona. Ia pun urung memasarkan di dalam negri.Kegagalannya tak membuatnya berhenti berkarya. Berbekal keyakinan bahwa pupuk organik memiliki keistimewaan, pasar luar negri pun dijajaki. Bersama rekan kerja di Hongkong, ia memilih Cina sebagai sasaran pertama. Pertimbangannya, sebagai negara berpenduduk terbesar di dunia, peluang pasar terbuka lebar. Izin peredaran diperoleh dari Beijing University.Ternyata sambutan penduduk di negri tirai bambu itu luar biasa. Malah pria yang gemar berkemeja batik ini mendapat tawaran maha berat. Ia diminta bekerja sama dengan para pakar di Universitas Beijing untuk mengembangkan formula. Bila diterima, rakyat Cina-lah yang menikmati penemuannya. Rasa nasionalismenya menuntun Ayub menolak tawaran itu.Tahun pertama sejak mendapat izin ekspor pada 1991, ia mengirim 10 kontainer biang pupuk ke pabrik perakitan di Cina. Di sana biang itu diencerkan sampai 5% sebelum dipasarkan. Volume pengiriman terus meningkat dari waktu ke waktu hingga 100% pada 2003.Pertengahan 1995, pabrik perakitan itu kedatangan tamu kehormatan, Menteri Pertanian Thailand. Rupanya pupuk organik karya Ayub berhasil mengatasi penyakit busuk buah dan busuk akar pada durian akibat pengaruh kimia. Setahun berikutnya, giliran Menteri Pertanian Malaysia datang. Lagi-lagi berkat hasil spektakuler pemanfaatan pupuk organik itu di perkebunan karet di Malaysia. Karet terus menghasilkan getah meski telah 20 tahun berproduksi.Kegagalan memperoleh perizinan usaha di dalam negri 8 tahun silam tak membuatnya jera. Uji coba yang dilakukan selama 2 bulan oleh Balai Penelitian Sayuran (Balitsa) di Lembang, Bandung, menunjukkan hasil memuaskan. Perjuangan itu akhirnya berbuah dikeluarkannya izin dari pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian pada 1999.Pasa di dalam negri mulai dirambah. Melalui agen di Yogyakarta dan Sumedang, pupuknya menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Di antaranya, Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Kerjasama dengan Pusat Koperasi Veteran (Puskoveri) Jawa Barat dalam memasarkan pun terus dibina.Untuk memenuhi permintaan dalam dan luar negri, rumah sang kakek yang berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman, Bandung, dijadikan pabrik. Semua bahan baku dan alat-alat produksi menempati belasan ruangan di dalamnya. Di situlah Ayub membuat formula pupuk pesanan para relasi dibantu tiga orang rekannya. Pupuk berbentuk cair lebih dipilih Ayub karena dalam bentuk itu jasad renik mampu bertahan hidup hingga ratusan tahun. Sebaliknya, dalam bentuk padat, fungsi jasad renik berkurang, bahkan mati.Pupuk organik Ayub tidak hanya meningkatkan produksi tumbuhan. Tanpa mengubah komposisinya, ia bisa diterapkan pada ternak, ikan atau udang. Penelitian di Universitas Gadjah Mada pada 2002 menunjukkan, pupuk itu efektif memberantas newcastle disease (ND) pada ayam. Penelitian ini juga mengungkapkan peningkatan keuntungan peternak dari Rp 400.000,- / ekor menjadi Rp 1.750.000,- / ekor.Kontribusinya di dunia anggrek yang lama Ayub geluti pun tak kalah besar. Phalaenopsis miliknya bisa menghasilkan 17 tangkai bunga per satu tanaman. Buah dari semua itu, penghargaan sebagai mitra kerja berprestasi Dinas Pertanian Jawa Barat dari Menteri Pertanian RI diterimanya pada 2002. Meski demikian, bukan itu semata yang ia kejar. Dampak positif pemanfaatan pupuk organik dalam dunia pertanian Indonesia menjadi terminalnya. Bagi Ayub, prospek cerah pupuk organik membentang di masa mendatang. (Prita Windyastuti)Sumber: Majalah Trubus, Februari 2004.