senin, 12 desember 2011 fakta dan logika kependudukan ... · tar 1,2% dan rata-rata laju...

1
K OLOM PAKAR 17 D ALAM suatu ke- sempatan diskusi dengan seorang kepala daerah, saya bertanya apa saja yang ada di pikirannya tentang pembangunan. Selama kurang lebih 1 jam berdiskusi, sang ke- pala daerah tidak pernah me- nyebutkan isu kependudukan. Mungkin hal ini juga lazim bagi sebagian pembuat kebi- jakan di negeri ini. Politik dan ekonomi menjadi ‘panglima’ pembangunan. Padahal, as- pek kependudukan harusnya justru menjadi pijakan dasar pembangunan. Pembangunan seharusnya berwawasan kependudukan, dengan mengintegrasikan ber- bagai variabel kependuduk- an ke dalam perencanaan pembangunan. Apa pun sek- tor pembangunan, pasti ter- kait dengan penduduk. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa indikator-indikator kependudukan seharusnya tidak hanya menjadi target pembangunan saja, tetapi juga sebagai asumsi dalam perencanaan pembangunan, termasuk penyusunan ang- garan. Perencanaan dan ang- garan pembangunan perlu di- dasarkan pada asumsi situasi kependudukan, mencakup jumlah, struktur, maupun persebaran. Tantangan pem- bangunan Indonesia dengan struktur penduduk yang saat ini didominasi usia produktif (15-64 tahun), tentu berbeda dengan 30 tahun yang lalu (didominasi penduduk usia muda, di bawah 15 tahun). Persebaran penduduk yang berbeda antardaerah tentunya juga akan berdampak pada indeks kemahalan pemba- ngunan daerah. Situasi kependudukan Indonesia Dalam tiga abad, jumlah penduduk Indonesia naik empat kali lipat. Pada abad ke-17 (tahun 1600-an), jumlah penduduk yang tinggal di In- donesia diperkirakan hanya sekitar 10 juta jiwa. Pada awal abad ke-20, naik menjadi 40 juta jiwa. Dengan penduduk tahun 2010 sebanyak 237,6 juta jiwa (Sensus Penduduk 2010, BPS), Indonesia berada di posisi keempat dunia da- lam hal jumlah penduduk. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk per tahun selama periode 2000-2010 mencapai angka 1,49%. Apakah angka ini tinggi? Jawabannya jelas tinggi. Karena, pada saat yang bersamaan, laju pertumbuhan penduduk dunia hanya seki- tar 1,2% dan rata-rata laju pertumbuhan penduduk ne- gara berkembang hanya 1,4%. Tingginya angka kelahiran juga tecermin dari jumlah bayi yang lahir setiap hari secara rata-rata mencapai sekitar 12 ribu. Mungkin di antara kita per- nah terpikir bahwa Indonesia masih luas wilayahnya, dan daya tampung lingkungan masih sangat memadai, se- hingga lonjakan penduduk tidak perlu dikhawatirkan. Namun faktanya, kepadatan penduduk Indonesia per ki- lometer persegi justru jauh lebih tinggi daripada tingkat kepadatan penduduk dunia. Data Badan Kependudukan Dunia (UNFPA) tahun 2010 mencatat bahwa rata-rata kepadatan penduduk dunia hanya 51 jiwa per km2, pada- hal Indonesia sudah menca- pai angka 122 jiwa per km2. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara-negara ber- kembang pun (sebesar 68 jiwa per km2), Indonesia masih jauh lebih tinggi. Hal lain yang menarik un- tuk dicermati ialah adanya kaitan antara persebaran pen- duduk antarpulau dan pe- ranan ekonomi. Hampir 58% penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa, dan kontribusi Jawa terhadap perekonomian nasional juga sekitar 60%. Su- matra yang dihuni sekitar 21% penduduk Indonesia mem- berikan kontribusi ekonomi sekitar 21% juga terhadap perekonomian nasional. Begitu pula kontribusi Papua terhadap perekonomian nasional sekitar 1,28%. Terdapat 1,24% penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah tersebut. Ini men- jadi sinyal bahwa persebaran penduduk antar- pulau terkait dengan distri- busi ekonomi. Penduduk dan teknologi Fakta laju pertumbuhan penduduk yang tinggi ternyata dianggap tidak terlalu mengkhawatirkan bagi sebagian kalangan. Ketika Thomas Robert Malthus me- ngungkapkan kemungkinan bahaya kelaparan akibat pen- duduk tumbuh menurut deret ukur dan pangan hanya tum- buh menurut deret hitung, ra- malan tersebut tidak terbukti. Ini ditengarai sebagai bukti bahwa teknologi akan mampu mengatasi pesatnya pertam- bahan penduduk. Tetapi, hal ini belum tentu berlaku. Apa alasannya? Pertama, pada saat itu teknologi belum berkembang dan dunia baru mulai me- masuki masa industrialisasi (awal abad ke-19). Perubahan kondisi dari tanpa teknolo- gi modern, beralih ke kehi- dupan dengan teknologi mo- dern, menciptakan tambahan produktivitas yang sangat signifikan pada saat itu. Dengan level teknologi yang saat ini sudah tinggi, tambahan produktivitas yang dihasilkan oleh teknologi dapat menjadi lebih rendah. Kedua, perkembangan teknologi justru dapat men- ciptakan ‘hantaman baru’ bagi planet bumi, jika tidak diantisipasi dengan baik. Setiap konsumsi teknologi oleh penduduk, tidak ha- nya menghasilkan manfaat bagi kehidupan, tetapi juga menimbulkan be- ban bagi bumi. Sampah produk teknologi telah membanjiri bumi. Bayang- kan saja dengan jumlah 7 mi- liar penduduk dunia, betapa besar dampak sampah dari produk teknologi, tanpa antisipasi daur ulang. Be- lum lagi penggunaan la- han, air, mineral, minyak dan gas bumi, serta sumber daya alam lainnya secara masif un- tuk pemenuhan kebutuhan penduduk yang jumlahnya besar. Ketiga, inovasi dan ka- pabilitas teknologi di se- tiap negara tidak sama. Hal ini terkait erat de- ngan perbedaan kualitas penduduk antarnegara. Penemuan dan hak paten teknologi didominasi hanya beberapa negara maju. Ada ketergantungan yang besar dari negara ber- kembang terhadap negara maju. Dalam hal teknologi, negara berkembang baru sekadar memanfaatkannya dan bukan menjadi penemu teknologi. Harga yang harus dibayar untuk teknologi begitu mahal, dan menciptakan pertukaran yang tidak seimbang antarnegara. Negara berkembang menghasilkan bahan baku dengan nilai tam- bah rendah, sedangkan negara maju menghasil- kan produk berteknologi dengan nilai tambah yang tinggi. Melemahnya program KB Masih rendahnya kualitas penduduk Indonesia, yang tecermin dari rendahnya pe- ringkat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (pering- kat 124 dari 187 negara) tidak terlepas dari lemahnya pem- bangunan kependudukan, terutama keluarga berencana (KB). Program KB tidak lagi menjadi prioritas. Persepsi setiap kepala daerah terha- dap program KB beragam. Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa rata-rata usia kawin pertama justru cen- derung menurun (lebih muda) menjadi sekitar 19 tahun. Putus sekolah mendorong orang untuk menikah muda. Semakin muda menikah, se- makin besar peluang memiliki banyak anak. Hal ini akan diperparah oleh kondisi tanpa pelayanan KB. Dampaknya, risiko kematian ibu, bayi, dan anak juga akan meningkat. Ini dapat berpengaruh terhadap pencapaian IPM dan Millen- nium Development Goals (MDGs). Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan bahwa di tahun 2012 akan dialokasikan anggaran sebesar Rp600 miliar untuk penyediaan alat dan obat kontrasepsi. Jumlah pasangan usia subur di Indonesia saat ini diperkirakan seki- tar 45 juta pasangan. Berarti, jika dirata-rata, setiap pasangan hanya dianggarkan sekitar Rp13 ribu saja dalam setahun. Tentunya ini belum memadai. Hal ini semakin diper- parah dengan ren- dahnya alokasi anggaran KB di tingkat kabupa- ten/kota. Komit- men pem- bangunan kependudukan harus tecermin dari komitmen ang- garan. Komitmen pem- bangunan kependudukan harus ada di setiap jenjang pe- merintahan, mulai pemerintah pusat hingga daerah. Namun perlu disadari, lemahnya implementasi pro- gram KB di daerah akibat tidak sinkronnya peraturan perundang-undangan yang ada. Undang-Undang No 52 Tahun 2009 tentang per- kembangan kependudukan dan pembangunan keluarga mengamanatkan terbentuknya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Na- mun, ini tidak sinkron dengan Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam PP ini diatur bahwa kependuduk- an serumpun dengan pencatat- an sipil, dan KB serumpun dengan pemberdayaan perem- puan. Kependudukan dan KB dianggap 2 urusan yang tidak serumpun. Dampak- nya hingga hari ini belum ada daerah yang membentuk BKKBD setelah dua tahun UU No 52 Tahun 2009 diterbitkan. Ini memperlemah im- plementasi program KB dan kependudukan di daerah. Antisipasi kependudukan ke depan Ada tiga jenis revolusi yang terkait penduduk dan perlu diantisipasi se- cara saksama. Revolusi pertama ialah revolusi fertilitas. Keberhasilan program KB mengubah struktur penduduk Indone- sia menurut umur, sekitar 67% penduduk Indonesia berada dalam kelom- pok usia kerja. Se- lain itu, jumlah anak yang dimiliki setiap keluarga turun dras- tis, dari 5 hingga 6 anak di tahun 1971 menjadi 2 hingga 3 anak saja di tahun 2010. Perempuan memi- liki waktu luang lebih banyak. Dampaknya, banyak perem- puan masuk ke pasar kerja. Angka partisipasi angkatan kerja perempuan meningkat. Namun, diskriminasi di pasar kerja masih terjadi. Pekerja laki-laki lebih disukai ketim- bang pekerja perempuan. Akhirnya, banyak pekerja perempuan yang tidak dapat terserap di pasar kerja. Tidak mengherankan, akan terjadi aliran pekerja perempuan ke luar negeri dalam jumlah yang besar. TKI akan semakin didominasi oleh perempuan. Tentunya harus ada antisipasi yang memadai dari pemerin- tah terhadap fenomena ini. Revolusi kedua ialah revo- lusi mortalitas. Keberhasilan pembangunan kesehatan me- nyebabkan angka kematian berhasil ditekan, khususnya kematian bayi dan anak. Hal ini berdampak pada mening- katnya usia harapan hidup. Namun, di saat yang ber- samaan, berbagai penyakit degeneratif, termasuk pe- nyakit tidak menular, mulai bermunculan. Penyakit se- perti jantung, stroke, diabetes dan sebagainya membutuh- kan biaya pengobatan yang mahal. Hidup lebih lama, namun dengan risiko biaya kesehatan yang lebih mahal. Tanpa sistem jaminan sosial yang memadai, hal ini da- pat menyebabkan penduduk menjadi rentan dan mudah miskin. Revolusi ketiga ialah revo- lusi mobilitas. Banyaknya low cost carrier (angkutan murah) dan berkembangnya teknologi informasi serta komunikasi menyebabkan keputusan orang untuk ber- migrasi menjadi cepat dan mudah. Orang tidak lagi ber- pikir lama hanya sekadar untuk ‘merantau’. Mobilitas penduduk menjadi sangat cepat, terutama antardaerah. Di satu sisi, hal ini positif jika dilihat dari sudut pandang manfaat knowledge spillover dan brain drain. Penduduk lokal akan memperoleh man- faat dari keberadaan para migran. Namun di sisi lain, migrasi juga menciptakan potensi benturan sosial, yang jika tidak diantisipasi dapat merugikan pembangunan di masa depan. Bagaimanapun juga, fenomena migrasi tidak bisa dibendung, namun dapat diarahkan agar memberikan manfaat dalam mengatasi ketimpangan pembangunan antardaerah. Dari sudut pandang ad- ministrasi kependudukan, penduduk usia 17 tahun ke atas atau yang sudah menikah memang memiliki kartu iden- titas berupa kartu tanda pe- ngenal (KTP). Namun, perlu dipikirkan bagaimana dengan penduduk bukan wajib KTP? Mereka tidak memiliki iden- titas diri yang dapat dibawa dan dipergunakan sehari-hari. Bagaimana pula dengan pen- duduk yang tidak memiliki tempat tinggal agar memper- oleh KTP? Perlu terobosan kebijakan administrasi pen- duduk untuk hal ini. Dalam Rencana Pemba- ngunan Jangka Panjang Na- sional 2005-2025 jelas tertu- lis bahwa ‘Kemajuan suatu bangsa juga diukur berdasar- kan indikator kependudukan. Ada kaitan yang erat antara kemajuan suatu bangsa dan laju pertumbuhan pendu- duk…’. Ini menunjukkan bahwa pemerintah menyadari pentingnya kependudukan da- lam pembangunan Indonesia. Namun, mengetahui dan ber- sikap positif terhadap kepen- dudukan saja tidaklah cukup. Harus ada upaya dan tindakan nyata terkait kependudukan. Bukan sekadar pernyataan ke- berpihakan, melainkan lang- kah konkret untuk memba- ngun kependudukan. SENIN, 12 DESEMBER 2011 Fakta dan Logika Kependudukan Indonesia Sonny Harry B Harmadi Kepala Lembaga Demografi FEUI dan Ketua Umum Koalisi Kependudukan

Upload: nguyennhan

Post on 03-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SENIN, 12 DESEMBER 2011 Fakta dan Logika Kependudukan ... · tar 1,2% dan rata-rata laju pertumbuhan penduduk ne-gara berkembang hanya 1,4%. ... alasannya? Pertama, pada saat itu

KOLOM PAKAR 17

DALAM suatu ke-sempatan diskusi dengan seorang kepa la daerah ,

saya bertanya apa saja yang ada di pikirannya tentang pembangunan. Selama kurang lebih 1 jam berdiskusi, sang ke-pala daerah tidak pernah me-nyebutkan isu kependuduk an. Mungkin hal ini juga lazim bagi sebagian pembuat kebi-jakan di negeri ini. Politik dan ekonomi menjadi ‘panglima’ pembangunan. Padahal, as-pek kependudukan harusnya justru menjadi pijakan dasar pembangunan.

Pembangunan seharusnya berwawasan kependudukan, dengan mengintegrasikan ber-bagai variabel kependuduk-an ke dalam perencanaan pembangunan. Apa pun sek-tor pembangunan, pasti ter-kait dengan penduduk. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa indikator-indikator kependudukan seharusnya tidak hanya menjadi target pembangunan saja, tetapi juga sebagai asumsi dalam perencanaan pembangunan, termasuk penyusunan ang-garan. Perencanaan dan ang-garan pembangunan perlu di-dasarkan pada asumsi situasi kependudukan, mencakup jumlah, struktur, maupun persebaran. Tantangan pem-bangunan Indonesia dengan struktur penduduk yang saat ini didominasi usia produktif (15-64 tahun), tentu berbeda dengan 30 tahun yang lalu (didominasi penduduk usia muda, di bawah 15 tahun). Persebaran penduduk yang berbeda antardaerah tentunya juga akan berdampak pada indeks kemahalan pemba-ngunan daerah.

Situasi kependudukan Indonesia

Dalam tiga abad, jumlah penduduk Indonesia naik empat kali lipat. Pada abad ke-17 (tahun 1600-an), jumlah penduduk yang tinggal di In-donesia diperkirakan hanya sekitar 10 juta jiwa. Pada awal abad ke-20, naik menjadi 40 juta jiwa. Dengan penduduk tahun 2010 sebanyak 237,6 juta jiwa (Sensus Penduduk 2010, BPS), Indonesia berada di posisi keempat dunia da-lam hal jumlah penduduk. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk per tahun selama periode 2000-2010 mencapai angka 1,49%. Apakah angka ini tinggi? Jawabannya jelas tinggi. Karena, pada saat yang bersamaan, laju pertumbuhan penduduk dunia hanya seki-tar 1,2% dan rata-rata laju pertumbuhan penduduk ne-gara berkembang hanya 1,4%. Tingginya angka kelahiran juga tecermin dari jumlah bayi yang lahir setiap hari secara rata-rata mencapai sekitar 12 ribu.

Mungkin di antara kita per-nah terpikir bahwa Indonesia masih luas wilayahnya, dan daya tampung lingkungan masih sangat memadai, se-hingga lonjakan penduduk tidak perlu dikhawatirkan. Namun faktanya, kepadatan penduduk Indonesia per ki-lometer persegi justru jauh lebih tinggi daripada tingkat kepadatan penduduk dunia. Data Badan Kependudukan Dunia (UNFPA) tahun 2010 mencatat bahwa rata-rata kepadatan penduduk dunia hanya 51 jiwa per km2, pada-hal Indonesia sudah menca-pai angka 122 jiwa per km2. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara-negara ber-kembang pun (sebesar 68 jiwa per km2), Indonesia masih jauh lebih tinggi.

Hal lain yang menarik un-tuk dicermati ialah adanya kaitan antara persebaran pen-duduk antarpulau dan pe-ranan ekonomi. Hampir 58% penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa, dan kontribusi Jawa terhadap perekonomian

nasional juga sekitar 60%. Su-matra yang dihuni sekitar 21% penduduk Indonesia mem-berikan kontribusi ekonomi sekitar 21% juga terhadap perekonomian nasional. Begitu pula kontribusi Papua terhadap perekonomian nasional sekitar 1,28%. Terdapat 1,24% penduduk Indones ia yang tinggal di wilayah tersebut. Ini men-jadi sinyal bahwa persebaran penduduk antar-pulau terkait dengan distri-busi ekonomi.

Penduduk dan teknologiFakta laju pertumbuhan

penduduk yang t inggi ternyata dianggap tidak terlalu mengkhawatirkan bagi sebagian kalangan. Ketika Thomas Robert Malthus me-ngungkapkan kemungkinan bahaya kelaparan akibat pen-duduk tumbuh menurut deret ukur dan pangan hanya tum-buh menurut deret hitung, ra-malan tersebut tidak terbukti. Ini ditengarai sebagai bukti bahwa teknologi akan mampu mengatasi pesatnya pertam-bahan penduduk. Tetapi, hal ini belum tentu berlaku. Apa alasannya?

Pertama, pada saat i tu teknologi belum berkembang dan dunia baru mulai me-masuki masa industriali sasi (awal abad ke-19). Peru bahan kondisi dari tanpa teknolo-gi modern, beralih ke kehi-dupan dengan teknologi mo-dern, menciptakan tambahan produktivitas yang sangat s ignif ikan pada saat itu. Dengan level teknologi yang saat ini sudah t inggi , tambahan produktivitas yang dihasilkan oleh teknologi dapat menjadi lebih rendah.

Kedua , perkembangan teknologi justru dapat men-ciptakan ‘hantaman baru’ bagi planet bumi, jika tidak diantisipasi dengan baik. Setiap konsumsi teknologi oleh penduduk, tidak ha-nya menghasilkan manfaat bagi kehidupan, tetapi juga menimbulkan be-ban bagi bumi. Sampah produk teknologi telah membanjiri bumi. Bayang-kan saja dengan jumlah 7 mi-liar penduduk dunia, betapa besar dampak sampah dari produk teknologi, tanpa antisipasi daur ulang. Be-lum lagi penggunaan la-han, air, mineral, minyak dan gas bumi, serta sumber daya alam lainnya secara masif un-tuk pemenuhan kebutuhan penduduk yang jumlahnya besar.

Ketiga, inovasi dan ka-pabilitas teknologi di se-tiap negara tidak sama. Hal ini terkait erat de-ngan perbedaan kualitas penduduk antarnegara. Penemuan dan hak paten teknologi didominasi hanya beberapa negara maju. Ada ketergantungan yang besar dari negara ber-kembang terhadap negara maju. Dalam hal teknologi, negara berkembang baru sekadar memanfaatkannya dan bukan menjadi penemu teknologi. Harga yang harus dibayar untuk teknologi begitu mahal, dan menciptakan pertukaran yang tidak seimbang antarnegara. Negara berkembang menghasi lkan bahan baku dengan nilai tam-bah rendah, sedangkan negara maju menghasil-kan produk berteknologi dengan nilai tambah yang tinggi.

Melemahnya program KBMasih rendahnya kualitas

penduduk Indonesia, yang

tecermin dari rendahnya pe-ringkat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (pering-kat 124 dari 187 negara) tidak terlepas dari lemahnya pem-bangunan kependudukan, terutama keluarga berencana (KB). Program KB tidak lagi menjadi prioritas. Persepsi setiap kepala daerah terha-dap program KB beragam. Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa rata-rata usia kawin pertama justru cen-derung menurun (lebih muda) menjadi sekitar 19 tahun. Putus sekolah mendorong orang untuk menikah muda. Semakin muda menikah, se-makin besar peluang memiliki banyak anak. Hal ini akan diperparah oleh kondisi tanpa pelayanan KB. Dampaknya, risiko kematian ibu, bayi, dan anak juga akan meningkat. Ini dapat berpengaruh terhadap pencapaian IPM dan Millen-nium Development Goals (MDGs).

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan bahwa di tahun 2012 akan dialokasikan anggaran sebesar Rp600 miliar untuk penyedia an

alat dan obat kontrasepsi. Jumlah pasangan usia subur di Indonesia saat ini diperkirakan seki-

tar 45 juta pasangan. Berarti, jika dirata-rata, setiap pasangan hanya

dianggarkan sekitar Rp13 ribu saja dalam setahun. Tentunya ini belum memadai. Hal

ini semakin diper-parah dengan ren-

dahnya alokasi anggaran KB

di tingkat k a b u p a -ten/kota. K o m i t -men pem-

b a n g u n a n kependuduk an

harus tecermin dari komitmen ang-

garan. Komitmen pem-bangunan kependudukan

harus ada di setiap jenjang pe-merintahan, mulai pemerintah pusat hingga daerah.

Namun perlu disadari , lemahnya implementasi pro-gram KB di daerah akibat tidak sinkronnya peraturan perundang-undangan yang ada. Undang-Undang No 52 Tahun 2009 tentang per-kembangan kependudukan dan pembangunan keluarga mengamanatkan terbentuknya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Na-mun, ini tidak sinkron dengan Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam PP ini diatur bahwa kependuduk-an serumpun dengan pencatat-an sipil, dan KB serumpun dengan pemberdayaan perem-puan. Kependudukan dan

KB dianggap 2 urusan yang tidak serumpun. Dampak-

nya hingga hari ini belum ada daerah yang membentuk BKKBD setelah dua tahun UU

No 52 Tahun 2009 diterbitkan. Ini memperlemah im-plementasi program KB dan kependudukan

di daerah.

Antisipasi kependuduk an ke depan

Ada tiga jenis revolusi yang terkait penduduk dan perlu diantisipasi se-cara saksama. Revolusi pertama ialah revolusi fertilitas. Keberhasilan program KB mengubah struktur penduduk Indone-sia menurut umur, sekitar 67% penduduk Indonesia

berada dalam kelom-pok usia kerja. Se-lain itu, jumlah anak yang dimiliki setiap keluarga turun dras-

tis, dari 5 hingga 6 anak di tahun 1971

menjadi 2 hingga 3 anak saja di tahun 2010. Perempuan memi-liki waktu luang lebih banyak. Dampaknya, banyak perem-puan masuk ke pasar kerja. Angka partisipasi angkatan kerja perempuan meningkat. Namun, diskriminasi di pasar kerja masih terjadi. Pekerja laki-laki lebih disukai ketim-bang pekerja perempuan. Akhirnya, banyak pekerja perempuan yang tidak dapat terserap di pasar kerja. Tidak mengherankan, akan terjadi aliran pekerja perempuan ke luar negeri dalam jumlah yang besar. TKI akan semakin didominasi oleh perempuan. Tentunya harus ada antisipasi yang memadai dari pemerin-tah terhadap fenomena ini.

Revolusi kedua ialah revo-lusi mortalitas. Keberhasilan pembangunan kesehatan me-nyebabkan angka kematian berhasil ditekan, khususnya kematian bayi dan anak. Hal ini berdampak pada mening-katnya usia harapan hidup. Namun, di saat yang ber-samaan, berbagai penyakit degeneratif, termasuk pe-nyakit tidak menular, mulai bermunculan. Penyakit se-perti jantung, stroke, diabetes dan sebagainya membutuh-kan biaya pengobatan yang mahal. Hidup lebih lama, namun dengan risiko biaya kesehatan yang lebih mahal. Tanpa sistem jaminan sosial yang memadai, hal ini da-pat menyebabkan penduduk menjadi rentan dan mudah miskin.

Revolusi ketiga ialah revo-lusi mobilitas. Banyaknya low cost carrier (angkutan murah) dan berkembangnya teknologi informasi serta komunikasi menyebabkan keputusan orang untuk ber-migrasi menjadi cepat dan mudah. Orang tidak lagi ber-pikir lama hanya sekadar untuk ‘merantau’. Mobilitas penduduk menjadi sangat cepat, terutama antardaerah. Di satu sisi, hal ini positif jika dilihat dari sudut pandang manfaat knowledge spillover dan brain drain. Penduduk lokal akan memperoleh man-faat dari keberadaan para migran. Namun di sisi lain, migrasi juga menciptakan potensi benturan sosial, yang jika tidak diantisipasi dapat merugikan pembangunan di masa depan. Bagaimanapun juga, fenomena migrasi tidak bisa dibendung, namun dapat diarahkan agar memberikan manfaat dalam mengatasi ketimpangan pembangunan antardaerah.

Dari sudut pandang ad-ministrasi kependudukan, penduduk usia 17 tahun ke atas atau yang sudah menikah memang memiliki kartu iden-titas berupa kartu tanda pe-ngenal (KTP). Namun, perlu dipikirkan bagaimana dengan penduduk bukan wajib KTP? Mereka tidak memiliki iden-titas diri yang dapat dibawa dan dipergunakan sehari-hari. Bagaimana pula dengan pen-duduk yang tidak memiliki tempat tinggal agar memper-oleh KTP? Perlu terobosan kebijakan administrasi pen-duduk untuk hal ini.

Dalam Rencana Pemba-ngunan Jangka Panjang Na-sional 2005-2025 jelas tertu-lis bahwa ‘Kemajuan suatu bangsa juga diukur berdasar-kan indikator kependuduk an. Ada kaitan yang erat antara kemajuan suatu bangsa dan laju pertumbuhan pendu-duk…’. Ini menunjukkan bahwa pemerintah menyadari pentingnya kependudukan da-lam pembangunan Indonesia. Namun, mengetahui dan ber-sikap positif terhadap kepen-dudukan saja tidaklah cukup. Harus ada upaya dan tindakan nyata terkait kependudukan. Bukan sekadar pernyataan ke-berpihakan, melainkan lang-kah konkret untuk memba-ngun kependudukan.

SENIN, 12 DESEMBER 2011

Fakta dan Logika Kependudukan Indonesia

Sonny Harry B HarmadiKepala Lembaga Demografi FEUI dan Ketua Umum Koalisi Kependudukan