seminar untuk dokter manajemen asma pada anak

Upload: fitri-dian-kurniati

Post on 08-Jan-2016

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untukdigunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.

    Tim Peneliti : Dr. Anang Endaryanto,dr. Sp. A ( K )

    Seminar untuk Dokter: Manajemen Asma pada AnakAbstrak :

    Seminar & Worshop Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak untuk DokterSepesialis Anak dan Dokter Umum di Makassar tanggal 15 April 2010

    Manajemen Asma pada Anak

    Anang EndaryantoDivisi Alergi dan Imunologi Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UniversitasAirlangga/RSUD Dr.Soetomo. Email: [email protected] Asma

    Asma adalah penyakit dengan dasar inflamasi kronik saluran napas dan hipereaktivitas bronkus.Pengobatan asma selain menghilangkan atau mengurangi obstruksi saluran napas, hendaklah ditujukanpula untuk mengurangi inflamasi kronik yang ada pada penderita asma stabil. Penatalaksanaan yangpaling efektif adalah mencegah atau mengurangi inflamasi kronik dan menghilangkan faktor penyebab. Pencegahan mencakup 3 tahap: 1) pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi, 2) pencegahansekunder untuk mencegah manifestasi klinis, 3) pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis danderajat serangan asma yang lebih berat (Broide, 2002). Penatalaksanaan asma jangka panjang perlu dirancang sedemikian rupa agar penyakitdapat dikontrol dengan pemberian obat-obatan seminimal mungkin. Terapi asma jangka panjang meliputipenghindaran faktor pencetus, farmakoterapi, imunoterapi, serta edukasi terhadap pasien dan ataukeluarganya. Pengobatan diberikan berdasarkan tahap beratnya penyakit (Sundaru, 2005). Tatalaksana asma dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu saat serangan asma dan diluar serangan asma.Pada saat serangan dilakukan prediksi derajat serangan kemudian diberikan tatalaksana sesuai denganderajatnya. Tujuan tatalaksana serangan asma akut adalah untuk mengurangi atau menghilangkanhipoksemia dan gejala secepatnya. Sedangkan tatalaksana asma jangka panjang bertujuan untukmencegah terjadinya serangan asma dan mengendalikan asma secara menyeluruh. Medikamentosa yangdigunakan dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu obat yang diberikan pada saat serangan disebut sebagaipereda (reliever) sedangkan terapi untuk penanganan jangka panjang disebut pengendali (controller)(Rahajoe, 2004). Obat yang digunakan sebagai pereda umumnya bekerja sebagai bronkodilator adalah b-agonis kerjapendek (terbutalin, salbutamol, orsiprenalin, fenoterol), golongan santin (teofilin, aminofilin),antikolinergik (ipratoprium bromide), dan anti inflamasi steroid (metilprednisolon, budesonid, flutikason).Obat ini diberikan pada saat terjadi serangan asma, tergantung dari beratnya serangan obat dapatdiberikan dalam bentuk tunggal atau kombinasi. Pemberian dalam bentuk inhalasi lebih dianjurkan,karena pemberian secara inhalasi mempunyai beberapa keuntungan yaitu dosis rendah, efek sampingminimal, bekerja terbatas pada saluran napas, efek terapeutik cepat, dapat memobilisasi sekret di salurannapas. Tetapi obat ini juga mempunyai kelemahan yaitu, cara pemberian yang kadang-kadang sulit danharga obat yang relatif mahal (OByrne, 2006).Golongan obat kedua adalah obat yang dapat mengontrol asma disebut sebagai controller. Obat ini

    Page 1

  • Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untukdigunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.

    Tim Peneliti : Dr. Anang Endaryanto,dr. Sp. A ( K )

    diberikan setiap hari untuk jangka waktu yang lama. Jenis yang digunakan sebagai pengendali adalah antiinflamasi non steroid (sodium kromoglikat, sodidum nedokromil), anti inflamasi steroid (budesonid,flutikason, eklometason), b-agonis kerja panjang (prokaterol, bambuterol, salmeterol, klenbuterol) ataulepas lambat/terkendali (terbutalin, salbutamol, teofilin), golongan antileukotrien (zafirlukas, montelukas),ketotifen dan obat anti alergi lain. Di luar serangan, pemberian obat controller tergantung pada derajatasma. Pada asma episodik jarang, tidak diperlukan controller, sedangkan pada asma episodik sering danasma persisten memerlukan obat controller (Rahajoe, 2004; OByrne, 2006).Dari segi mekanisme penyakit dan pengobatan, perlu dibedakan faktor-faktor yang menginduksi inflamasidan menimbulkan penyempitan saluran napas dan hiperreaktivitas (inducers) dengan faktor-faktor yangdapat mencetuskan konstriksi akut pada penderita yang sensitif (inciters). Komorbiditas asma yang seringmenyebabkan sulitnya pengobatan antara lain adanya rinosinusitis, penyakit refluks gastro-esofageal(GERD), dan sebagainya (Muller, 2000).Oleh karena penyebab asma belum diketahui sehingga pengobatan asma sampai sejauh ini baru padatahap meminimalisasi frekuensi dan intensitas serangan, serta menyingkirkan penyebab (Rahajoe, 2004;OByrne, 2006). Penggunaan terapi alternatif seperti homeopati, herbalisme, akupuntur belum didukungoleh fakta ilmiah dan klinis. Pengobatan asma yang dibakukan dalam PNAA-pun memiliki banyak kendala,antara lain : eliminasi alergen cukup sulit dikendalikan secara konstan, obat-obatan terutama golongancontroller realtif mahal ditambah metode inhalasi belum dikuasai oleh semua provider kesehatan,imunoterapi masih terbatas penggunaannya, dan masalah rendahnya tingkat pengetahuan dan kepedulianmasyarakat untuk menjalankan pola hidup sehat yang disesuaikan dengan kondisi atopi. (Sundaru, 2005).Dengan kendali yang baik diharapkan dapat mencegah eksaserbasi, menormalkan fungsi paru,memperoleh aktivitas sosial yang baik dan meningkatkan kualitas hidup anak. Faktanya, denganmanipulasi lingkungan dan tatalaksana asma efektif tetap didapatkan 5-10 persen pasien yang tidak dapatditanggulangi dengan baik (Sterk, 2006).

    Imunoterapi pada asma

    Telah dibuktikan imunoterapi efektif untuk pasien asma, tetapi pemilihan pasien dengan hati-hati untukmemulai imunoterapi sangat penting. Imunoterapi untuk bisa ular dan serangga memberikan efektivitaslebih dari 95%. Tetapi pada anak, imunoterapi terhadap gigitan serangga tidak begitu penting, karenareaksi sistemik yang terjadi biasanya tidak begitu berat. Oleh karena itu untuk anak dengan alergi gigitanserangga, imunoterapi hanya diberikan pada anak dengan riwayat terjadi reaksi yang mengancamkehidupan bila digigit serangga. Imunoterapi pada asma telah terbukti sangat efektif.

    Page 2

  • Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untukdigunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.

    Tim Peneliti : Dr. Anang Endaryanto,dr. Sp. A ( K )

    Lamanya imunoterapi biasanya antara 3-5 tahun, dan biasanya gejala tetap membaik walaupun pengobatan telah dihentikan. Pada asma alergi banyakpenelitian yang telah membuktikan manfaatnya. Tetapi karena pada asma anak reaksi alergi tipe I hanyamerupakan sebagian dari patofisiologinya, imunoterapi harus dipertimbangkan dengan hati-hati, terutamasetelah dilakukan penghindaran alergen dan terapi medikamentosa secara maksimal.

    Kunci keberhasilan imunoterapi pada pasien asma anak adalah kehati-hatian memilih pasien.Imunoterapi hanya dilakukan terhadap alergen yang bila terpapar jelas menimbulkan serangan, dan jugadiperkuat dengan hasil pemeriksaan IgE spesifik. Walaupun imunoterapi tidak di rekomendasikan padaalergi makanan, pilihan imunoterapi terhadap alergi makanan sedang banyak diteliti (Suyoko, 2009).Penelitian oleh Harsono (2004) pada penderita asma anak yang memakai pengendali kortikosteroidhirupan terdapat kegagalan perbaikan reversibilitas FEV1 sebesar 29%, sedangkan pasien yang menjalaniimunoterapi (SIT) masih mengalami kegagalan sebesar 24%.

    Penggunaan probiotik pada asma

    Uji klinik tentang penggunaan probiotik untuk pencegahan sekunder dengan outcome gejala saluran nafasyang telah dilakukan:1.

    Uji klinik acak buta ganda (randomized, double blind, placebo controlled clinical trial) pada subyek anak di bawah usia 18 tahun (n=80, n kelompok intervensi 60 dan n kelompok kontrol 20) yang menderitarinitis alergi (debu rumah, makanan dan binatang), yang mendapatkan intervensi Lactobacillusparacasei-33 2 x 109 CFU selama 30 hari, didapatkan penurunan gejala alergi pada mata, gejala hidung,gejala alergi lainnya (batuk kronik, dan sebagainya), serta peningkatan kualitas hidup yang bermaknapada kelompok intervensi dibandingkan pada kelompok plasebo (Wang dkk, 2004).

    Page 3

  • Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untukdigunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.

    Tim Peneliti : Dr. Anang Endaryanto,dr. Sp. A ( K )

    2.

    Review sistematik dari uji klinik acak buta ganda (randomized, double blind, placebo controlled clinicaltrial) pada subyek anak rinitis alergi dan asma, didapatkan hasil-hasil sebagai berikut (Vliagoftis dkk,2008):a.

    Dari 12 uji klinik acak buta ganda (randomized, double blind, placebo controlled clinical trial) padasubyek rinitis alergi, 9 uji klinik melaporkan perbaikan gejala klinik (batuk kronik dan pilek) danpenurunan penggunaan obat simptomatik karena pemberian probiotik b.

    Dari 4 uji klinik acak buta ganda (randomized, double blind, placebo controlled clinical trial) pada subyekasma, semuanya melaporkan gejala klinik (batuk kronik, pilek dan sesak) dan penggunaan obatsimptomatik yang tidak berbeda bermakna antara kelompok probiotik dengan kontrol.3.

    Uji klinik acak buta ganda (randomized, double blind, placebo controlled clinical trial) di Surabaya.Karena keterbatasan bukti klinik mengenai efektivitas penggunaan probiotik untuk pencegahan sekunderuntuk batuk kronik alergi dan asma alergi, maka Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu KesehatanAnak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSU Dr. Soetomo melakukan uji klinik acak buta ganda(randomized, double blind, clinical trial) pada subyek penderita asma karena alergi debu rumah, makanandan binatang yang berusia di bawah usia 18 tahun (n=31, n kelompok intervensi 21 dan n kelompok kontrol 10) dengan intervensiLactobacillus GG 2 x 109 CFU dengan kontrol imunoterapi debu rumah sublingual (SLIT) selama 3 bulandengan outcome skor gejala, skor obat dan profil keseimbangan sistem imun. Dari penelitian inididapatkan informasi bahwa probiotik mampu menurunkan skor gejala asma dan skor pengobatan yangsebanding dengan SLIT. Probiotik mampu meningkatkan kadar sitokin Treg yang semula rendah dandisertai oleh profil imunitas yang mengarah pada dominasi TH2 atas TH1 (TH2>TH1), menjadi Tregyang lebih tinggi yang disertai oleh profil imunitas yang mengarah pada dominasi TH1 atas TH2 (TH1>TH2) (Endaryanto, dkk, 2006).Dari berbagai bukti uji klinik di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan probiotik untuk tatalaksanabatuk kronik akan efektif bila:1.

    Probiotik digunakan untuk mencegah kekambuhan batuk kronik alergi yang sudah manifes (pencegahansekunder). Uji klinik pada pencegahan kekambuhan asma pada 4 RCT di atas gagal, karena pemilihanSubyek penelitian tidak dibatasi pada subyek asma yang disebabkan oleh alergi saja tetapi juga non alergi.2.

    Page 4

  • Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untukdigunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.

    Tim Peneliti : Dr. Anang Endaryanto,dr. Sp. A ( K )

    Probiotik dikonsumsi terus menerus. Uji klinik pada pencegahan primer sebagaimana dilaporkan padaberbagai publikasi RCT maupun metaanalisis melaporkan kegagalan dalam penurunan gejala danpenurunan penggunaan obat simptomatik karena probiotik tidak diberikan terus menerus, tetapi hanyadalam periode tertentu dan dihentikan dalam waktu yang jauh sebelum outcome dinilai.

    DAFTAR PUSTAKA

    Barreiro TJ, Perillo I. (2004). An approach to interpreting spirometri. Am Fam Physician 69:1107-14.Broide DH. (2000). Current research into the pathogenesis of asthma highlights several possibleapproaches to treatment. Disitasi melalui http:// www.medscape.com/ viewarticle/412730 tanggal 14 Maret2007.Broide DH. (2002). Additional mechanism of asthma patophysiology targeted in search of new treatments.Disitasi melalui http://www.medscape. com/viewarticle/ 437257 tanggal 16 Mei 2007.Busse WW, Lemanske RF. (2001). Asthma. N eng J Med 344:350-60.Busse WW, Rosenwasser LJ. (2003). Mechanism of asthma. J Allergy Clin Immunol 111:799-804.Castro-Rodriguez JA, Holberg CJ, Wright AL, Martinez FD. (2000). A clinical index to difine risk ofasthma in young children with recurent wheezing. Am J Respir Crit Care Med 62:1403-6.Clough JB, Keeping KA, Edwards LC, Freeman WM, Warner JA, Warner JO. (1999). Can we predictwhich infants will continue to wheeze ? Am J Respir Crit Care Med 160:1473-80.Cookson WOC, Moffatt MF. (2000). Genetics of asthma and allergic disease. Hum Mol Genet 9:2359-64.Elias JA, Lee CG, Zheng T, Ma B, Homer RJ, Zhu Z. (2005). New insights into the pathogenesis of asthma.J Clin Invest 111:291-7.Endaryanto A, Harsono A, Irmawati M, Subrata LA. The clinical parameter and cytokine expression ofasthmatic children with house dust-mite allergy who were treated with Probiotics and SLIT alone or with acombine of Probiotics and SLIT Disampaikan pada: Final report to Indonesian College of PediatricJakarta, 2006Guilbert T, Krawec M. (2003). Natural history of asthma. Ped Clin North Am 50:957-63.Guyatt G, Vist G, Falck-Ytter Y, Kunz R, Magrini N, Schunemann H. An emerging consensus on gradingrecommendations. Disitasi melalui http://www. evidence-basedmedicine.com tanggal 16 Mei 2007.Harsono A. (2004). Modulasi respons imun pada pemberian kortikosteroid hirupan jangka panjang padapenderita asma anak yang mendapat imunoterapi. Disertasi Paska Sarjana Universitas Airlangga.Kaplan AP. (2005). A new mechanism for immunologic initiation of asthma. Proc Natl Acad Sci,102:126768. Laurikainen K. (2002). Asthma and oral health: a clinical and epidemiological study. Academicdissertation. Tampere: Tampere University Press. Lemanske RF, Busse WW. (2003). Alergic disorder: asthma. J Allergy Clin Immunol 111:502-19.Liu AH, Murphy JR. (2003b). Hygiene hypothesis: fact or fiction? J Allergy Clin Immunol 111:471-8.Liu AH, Szefler S. (2003a). Advances in childhood asthma: hygiene hypothesis, natural history, andmanagement. J Allergy Clin Immunol 111:785-92.Miller MR, Hankinson J, Brusasco V, Burgos F, Casaburi R, Coates A, dkk. (2005). Standardization ofspirometry. Eur Respir J 26:31938.

    Page 5

  • Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untukdigunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.

    Tim Peneliti : Dr. Anang Endaryanto,dr. Sp. A ( K )

    Morris A. (2006). Is allergy testing cost effective ? Curr Allergy Clin Immunol 19:9-12.Muller BA. (2000). Sinusitis and its relationship to asthma: can treating one airway disease ameliorateanother? Postgrad medicine 108:55-61.OByrne. (2006). Global Initiative for Asthma: Global Strategy for Asthma Management and Prevention,edisi revisi 2006. National Heart, Lung, and Blood Institue; National Institute of Health; World HealthOrganization publ. NHLBI-NIH/WHO Report. Disitasi melalui http://www.ginasthma.org tanggal 14Desember 2006.Pellegrino R, Viegi G, Brusasco V, Crapo RO, Burgos F, Casaburi R, dkk. (2005). Interpretative strategiesfor lung function tests. Eur Respir J 26:94868.Pierce RJ, Hillman D, Young IH, ODonoghue F, Zimmerman PV, West S, dkk. (2005). Respiratory functiontests and their application. Respirology 10:119.Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. (2004). Pedoman nasional asma anak. Edisi 1. Jakarta: UKK PulmonologiHALIDAI, hal 1-51.Samet JM, Wiesch DG, Ahmed IH. (2001). Pediatric asthma: epidemiology and natural history. Dalam:Naspitz CK, Szefler SJ, Tinkelman DG, Warner JO: Textbook of pediatric asthma. London: Martin DunitzLtd, hal35-66.

    Sly. (2004). Asthma. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelsons Textbook of Pediatrics.Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders Co, hal 760-3.Sundaru. (2005). Apa yang perlu diketahui tentang asma. Disitasi melalui http://www.depkes.go.id/popups/articlewindow.php.id tanggal 16 Mei 2006.Suyoko EMD. Imunoterapi. Dalam Akib AA, Munasir Z, Kurniati N, eds: Buku Ajar Alergi Imunologi Anak.Edisi 2.Taussig LM, Wright AL, Holberg CJ, Halonen M, Morgan WJ, Martinez FD. (2003). Tucson ChildrensRespiratory Study: 1980-present. J Allergy Clin Immnumol 111:661-75. Vliagoftis H, Kouranos VD, Betsi GL, Falagas ME. Probiotics for the treatment of allergic rinitis danasma: systematic review of randomized controlled trials. Ann Allegy Asthma Immunol 2008; 101: 570-579.Walsh LJ. (2003). Mast cells and oral inflammation. Crit Rev Oral Biol Med 14:188-9.Walter MJ, Holtzman MJ. (2005). A centenial history of research on asthma pethogenesis. Am Respir CellMol Biol 33:483-4.Wang MF, Lin HC, Hsu CH. Treatment of perennial allergic rinitis with lactic acid bacteria. PediatrAllergy Immunol 2004; 15; 152-158.Wanger J, Clausen JL, Coates A, Pedersen OF, Brusasco V, Burgos F, dkk. (2005). Standardisation of themeasurement of lung volumes Eur Respir J 26:51122.Wantania JM. (1993). Tinjauan hasil penelitian multisenter mengenai prevalensi asma pada anak sekolahdasar di Indonesia. Disampaikan pada KONIKA IX, Semarang, 13-17 Juni 1993.Warner JO. (2004). The early life origins of asthma and related allergic disorders: a focus on the way thedisease evolve in early life. Arch Dis Child 89:97-102.Widdicome JG. (2003). Overview of neural pathway in allergy and asthma. Pulm Phar Ther 16:23-30.

    Keyword :

    Asma, Manajemen

    Page 6