selasa,6 november 1990 halaman ii p politik ekonomi … · film di negeri ini bukan ekspresi...

1
P erbincangan tentang kualitas film kita selama ini hampir selalu padat keluhan, keprihati- nan dan cacian. Tapi tak cuma itu. Khasanah kajian tentang film kita juga melestarikan sosok pro- duser dan pedagang film sebagai " kambing hitam yang legam. Penjelasan paling baku dan po- puler mengenai rendahnya kua- litas film-film kita ialah: karena film di negeri ini bukan ekspresi seni-budaya yang kultural eduka- tif, tapi barang dagangan. Seja- rah film kita digambarkan seba- gai sejarah pertentangan antara , kepentingan pedagang dan krea- I tivitas seniman. Ulasan di bawah ini mempertanyakan pandangan baku demikian dan mengundang penjelajahan kajian yang lebih kritis dan memadai. Seni Versus Dagang? Salah satu kesalahan parah da- lam ilmu pengetahuan akademik maupun non-akademik kita se- lama ini ialah kebiasaan mem- pertentangkan apa yang disebut sebagai nilai seni dan nilai eko- nomi. Secara lebih makro, ini da- , pat dijumpai pada kebiasaan mempertentangkan idea, bati- niah, atau mental versus benda- benda konkret, material, jasma- niah. Walau keduanya memang dapat dibedakan, tapi bukan ber- arti keduanya secara prinsip sa- ling bertentangan. Walau dalam praktek keduanya sering diper- tentangkan, bukannya berarti praktek itu didasarkan pemaha- man yang benar. Ada kajian-kajian teoretik ten- tang hal itu yang akan mubazir jika dipaparkan di sini. Pokok perbincangan di sini ialah ten- tang film, yang kebetulan me- nyajikan contoh bahwa nilai seni bisa, walau tidak harus, bertenta- ngan dengan nilai dagang. Sudah terlalu lama dan terlalu banyak orang yang terlanjur per- caya bahwa penyebab rendahnya kualitas film-film kita ialah pro- ses produksinya didikte ke- mauan pedagang film. Kemauan kaum pedagang ini dikatakan menindas kreativitas para artis dan sineas. Pandangan ini disu- sun dengan dua buah asumsi SELASA,6 NOVEMBER 1990 Politik Ekonomi Film Kita yang sangat rapuh. Pertama, ada asumsi film-film kita akan sangat bagus seandainya dibuat sebe- bas-bebasnya oleh para arti, dan sine as sesuai kreativitas dan se- lera mereka. Kedua, ada asumsi kaum pedagang film itu anti film bernilai seni tinggi. Pedagang film, seperti peda- gang apa pun, pad a prinsipnya bekerja untuk mengejar laba. Pengertian "pada prinsipnya" ti- dak sarna dengan "hanya". Dia bukan lagi pedagang, jika pad a prinsipnya bukan lab a yang men- jadi tujuan dan sasaran kerjanya. Pedagang film pada prinsipnya tidak akan berusaha keras mene- kan kualitas film yang diproduksi agar bernilai serendah mlingkin. Dia juga tidak akan berusaha supaya film yang diproduksi ber- nilai setinggi-tingginya. Pada prinsipnya dia tidak terlalu memperdulikan apakah nilai seni film itu tinggi, sedang, atau rendah. Yang penting baginya pertama-tama dan utama ialah laba maksimal yang dapat dike- ruk dari hasil produksi film itu. Apakah laba maksimal dari perdagangan film hanya dapat dikeruk dengan menekan mutu film serendah mungkin? Pada prinsipnya tidak harus. Pada prakteknya, mungkin dan ka- dang-kadang memang demikian. Jadi masih harus dibedakan an- tara apa yang disebut "prinsip" dari apa yang dibilang "praktek". Mutu yang tinggi pad& sebuah barang dagangan, termasuk ko- moditi seni, seringkali menuntut ongkos produksi tinggi dan aki- batnya mengurangi laba. Tapi'ko- moditi bermutu tinggi juga dapat membuahkan laba besar, bila ko- moditi demikian diperebutkan konsumen. Singkatnya, tidak ber- alasan untuk berkata bahwa mutu tinggi tidak dapat dijajakan sebagai nilai-jua!. Apalagi bila ada permintaan yang tinggi dan penawaran sedang langka. Kesimpulannya, rendahnya mutu film kita tidak semata-mata karena film adalah barang daga- Oleh: Ariel Heryanto ngan. Nilai seni tidak dengan sendirinya harus bertentangan dengan kepentingan perdaga- ngan. Perdagangan fHm memang bisa jadi salah satu laktor terte- kannya pengembangan kualitas film. Tapi bukan satu-satunya atau yang terutama. Beberapa film asing telah dipuji oleh pen- caci film nasiona!. Padahal film asing itu juga pertama-tama dan terutama diproduksikan sebagai barang dagangall di negerinya. Dalam berbagai bidang lain, perdagangan industrial terbukti telah menjadi salah satu pelldo- rong meningkatnya kualitas ka- rya budi daya man usia. Tengok- lah dunia ilmu dan teknologi yang dirancang oleh perdaga- ngan. Perhatikan perkembangan tata bus ana atau kosmetika. Juga medika. Yang lebih dekat dengan film dan menjadi contoh gamb- lang di Indonesia ialah produksi kaset rekaman musik dan gejala boom seni lukis. Mengapa film Indonesia tidak disayangi dan dibanggakan orang Indonesia se- bagaimana mereka menyayangi dan membanggakan seni lukis dan musik lndonesia? Sclera Rerkelas Film Indonesia terbuktl herha- sil menjadi barang dagangan yang menguntungkan para pem- bikinnya. Artinya, cUkup banyak orang Indonesia yang tidak mem- benci film Indonesia. Tanpa di- paksa, mereka mau membeli kar- cis bioskop sekitar 100 jllta ru- piah untuk setiap judul mm. Dc- ngan demikian mereka telah membiayai ongkos produksi film dan memberikan laba kepada para prod user film yang sudah kaya-raya, sehingga menjadi le- bih mahakaya-raya. , Jadi'! Mengapa hampir semua Qrang yang birara tentang mm Indonesia selalu mencaci dan menghina? Bukankah lancarnya perdagangan film itu menunjuk- kan bahwa mutu fUm kita tidak mengecewakan atau minimal da- lam batas toleransi konsu- mennya') Jawaban paling mudah untuk ini ialah membayangkan adanya ?neka kelompok-kelompok da- lam masyarakat. Ada sebagian yang menjadi konsumen setia film nasional dan sumber ke- kayaan pedagang film. Ada pula golongan masyarakat yang senan- tiasa dikecewakan oleh mutu film-film kita, dan rajin memaki. Beberapa sarjana menyatakan bahwa fUm-film kita memang di- maksudkan untuk masyarakat kelas bawah. Para pencaci film kita pad a umumnya tidak tergo- long kelas ini. Mereka adalah kelompok atau kelas sosial yang selera seni-budayanya diabai- kan. Layaklah jika mereka rnen- derita "kecemburuan sosial" dan protes. Karena mereka mengua- sai berbagai mimbar dan forum berpendapat di depan khalayak, maka wajarlah pandangan nega- tif mereka terhadap film nasio- nal menjadi pandangan yang pa- ling dominan dalam P.1asyarakat. Tapi harap diingat, larisnya tUm kit.'1 di kalangan bawahan tidak dengan sendirinya mem- buktikan bahwa produser film kita adalah pecinta rakyat jelata dan mengabdi pada selera rakyat jelata. Tidak ada bukti bahwa golongan bawahan itu mem- benarkan, menikmati atau puas dengan nisi" atau "mutu" film- film tersehut. Sulit untuk dipasti- kan. Banyak spekulasi yang bisa dibuat untuk menjelaskan hal itu. Sarna halnya ketika kita ha- rus menjelaskan larisnya SDSB di kalangan bawahan. Seperti SOSB, film-film kita memberikan fantasi dan obat pe- nenang scjenak bagi rakyat kelas bawah yang sehari-harinya di- hantam aneka beban hidup yang sc.lit dicerna dengan akal-sehat. Persis sebagaimana masyarakat kelas tengah dan atasnya mem- butuhkan fantasi dan obat pene- nang yang dijumpai pada tonto- nan seperti Teater Koma, atau pentas musik bersinar laser. O- rang yang sering membeli obat pusing, tidak dapat dikatakan suka atau menikmati obat itu. Persoalannya kini, mengapa produksi film kita hanya menjual fantasi untuk mereka yang di kelas sosial bawahan? Mengapa tak menjuaI fantasi dengan se- lera tengah dan atas? Mengapa produksi film kita tidak bera- neka ragam? Tidak seperti hal- nya produksi obat-obatan, kos- metika, atau kaset rekaman mu- sik yang melayani konsumen dari berbagai kelas dan selera: dang- dut, pop, keroncong, jazz, lagu daerah, klasik, rock, lagu anak- anak atau lagu rohani. Dimensi Politik Langkanya film yang ditujukan khusus untuk selera kelas te- ngah-atas mungkin dapat dijelas- kan secara teknis atau ekonomis. Barangkali peralatan teknologi maupun tenaga profesional un- tuk itu di Indonesia masih belum memadai. Kekurangan ini sen- diri berkait dengan hambatan ekonomis. Kalau pun kekura- ngan teknologi dan sumber daya manusia itu dapat dilunasi de- ngan modal besar dan impor, labanya belum tentu akan ter- jangkau oleh ongkos Produksi yang terlalu tinggi ini masih per- lu diuji. Benarkah Indonesia pada masa ini tak punya penonton film yang berani membayar mahal untuk memuaskan seleranya yang tinggi? Benarkah mereka hanya mencaci film yang diang- gapnya berselera rendah dan menuntut film berselera tengah- atas t3llitf>a mau atau mampu membelinya jika tersedia? Paket wisata, kursus komputer dan ma- najemen, berbagai seminar di HALAMAN II _ hotel berbintang, produk&i kaset produksi teater dan konser sik yang semuanya super padat. modal dan dijual dengan harga tinggi ternyata bisa laris di kala- ngan tengah-atas masyarakat kita. Masa film tidak? Pertimbangan politis jarang se- kali dikemukakan dalam pemba- hasan tentang film kita. Ini wajar. Justru pertimbangan politis itu sendiri tidak memungkinkan sembarang orang berbicara sem- barangan tentang dimensi ini. Produksi film yang memuaskan selera kelas tengah-atas akan cenderung bertabrakan dengan rambu-rambu sensor yang baku. Kelas tengah-atas bukan kelom- pok masyarakat yang paling men- derita. Justru sebaliimya, mereka termasuk penikmat hasil pemba- ngunan. Tapi pada kenyataannya merekalah yang paling cerewet dan paling nyaring menyuarakan aneka protes tentang tata sosial, ekonomi, atau politik dalam ma- syarakal Lihat isi koran yang mereka terbitkan dan baca. De- ngarlah ucapan mereka dalam seminar. Apalagi jika kaum muda mereka berbaris di jalan, membawa poster, dan met'iga- cungkan kepalan tangan. Film berbeda dari koran"'dan buku yang sehari-hari digeluti kelas tengah-atas kita. Film me- rupakan media massa elektronik, seperti halnya radio dan televisi, yang paling diawasi dan disensor petugas keamanan. Mungkin karena daya jangkau dan daya pukaunya maha kuat di kalangan masyarakat luas, sehingga me- reka diawasi lebih ketat ketim-· bang media massa cetak KareiUl itu, sensor terhadap mereka ber- lapis-lapis banyaknya. Para artis dan sineas kita me- mang punya banyak penghambat dan kanibing hitam. Mereka tak bertanggung jawab penuh atas mutu film. Semua hal ini juga bukan jaminan bahwa kuaUtas film-film kita akan dengan sendl- rinya melonjak seandainya ham- batan teknis c ekonomis-politis di- kurangi. Perlu diuji ...... Penulls adalah StafPeDgIQar U- niversitas Kristen Satya Waca- ' na Salatiga. Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Upload: truongbao

Post on 12-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

P erbincangan tentang kualitas film kita selama ini hampir

selalu padat keluhan, keprihati­nan dan cacian. Tapi tak cuma itu. Khasanah kajian tentang film kita juga melestarikan sosok pro­duser dan pedagang film sebagai

" kambing hitam yang legam. Penjelasan paling baku dan po­

puler mengenai rendahnya kua­litas film-film kita ialah: karena film di negeri ini bukan ekspresi seni-budaya yang kultural eduka­tif, tapi barang dagangan. Seja-

~ rah film kita digambarkan seba­gai sejarah pertentangan antara

, kepentingan pedagang dan krea­I tivitas seniman. Ulasan di bawah

ini mempertanyakan pandangan baku demikian dan mengundang penjelajahan kajian yang lebih kritis dan memadai.

Seni Versus Dagang? Salah satu kesalahan parah da­

lam ilmu pengetahuan akademik maupun non-akademik kita se­lama ini ialah kebiasaan mem­pertentangkan apa yang disebut sebagai nilai seni dan nilai eko­nomi. Secara lebih makro, ini da-

, pat dijumpai pada kebiasaan mempertentangkan idea, bati­niah, atau mental versus benda­benda konkret, material, jasma­niah. Walau keduanya memang dapat dibedakan, tapi bukan ber­arti keduanya secara prinsip sa­ling bertentangan. Walau dalam praktek keduanya sering diper­tentangkan, bukannya berarti praktek itu didasarkan pemaha­man yang benar.

Ada kajian-kajian teoretik ten­tang hal itu yang akan mubazir jika dipaparkan di sini. Pokok perbincangan di sini ialah ten­tang film, yang kebetulan me­nyajikan contoh bahwa nilai seni bisa, walau tidak harus, bertenta­ngan dengan nilai dagang.

Sudah terlalu lama dan terlalu banyak orang yang terlanjur per­caya bahwa penyebab rendahnya kualitas film-film kita ialah pro­ses produksinya didikte ke­mauan pedagang film. Kemauan kaum pedagang ini dikatakan menindas kreativitas para artis dan sineas. Pandangan ini disu­sun dengan dua buah asumsi

SELASA,6 NOVEMBER 1990

Politik Ekonomi Film Kita yang sangat rapuh. Pertama, ada asumsi film-film kita akan sangat bagus seandainya dibuat sebe­bas-bebasnya oleh para arti, dan sine as sesuai kreativitas dan se­lera mereka. Kedua, ada asumsi kaum pedagang film itu anti film bernilai seni tinggi.

Pedagang film, seperti peda­gang apa pun, pad a prinsipnya bekerja untuk mengejar laba. Pengertian "pada prinsipnya" ti­dak sarna dengan "hanya". Dia bukan lagi pedagang, jika pad a prinsipnya bukan lab a yang men­jadi tujuan dan sasaran kerjanya.

Pedagang film pada prinsipnya tidak akan berusaha keras mene­kan kualitas film yang diproduksi agar bernilai serendah mlingkin. Dia juga tidak akan berusaha supaya film yang diproduksi ber­nilai setinggi-tingginya. Pada prinsipnya dia tidak terlalu memperdulikan apakah nilai seni film itu tinggi, sedang, atau rendah. Yang penting baginya pertama-tama dan utama ialah laba maksimal yang dapat dike­ruk dari hasil produksi film itu.

Apakah laba maksimal dari perdagangan film hanya dapat dikeruk dengan menekan mutu film serendah mungkin? Pada prinsipnya tidak harus. Pada prakteknya, mungkin dan ka­dang-kadang memang demikian. Jadi masih harus dibedakan an­tara apa yang disebut "prinsip" dari apa yang dibilang "praktek".

Mutu yang tinggi pad& sebuah barang dagangan, termasuk ko­moditi seni, seringkali menuntut ongkos produksi tinggi dan aki­batnya mengurangi laba. Tapi'ko­moditi bermutu tinggi juga dapat membuahkan laba besar, bila ko­moditi demikian diperebutkan konsumen. Singkatnya, tidak ber­alasan untuk berkata bahwa mutu tinggi tidak dapat dijajakan sebagai nilai-jua!. Apalagi bila ada permintaan yang tinggi dan penawaran sedang langka.

Kesimpulannya, rendahnya mutu film kita tidak semata-mata karena film adalah barang daga-

Oleh: Ariel Heryanto

ngan. Nilai seni tidak dengan sendirinya harus bertentangan dengan kepentingan perdaga­ngan.

Perdagangan fHm memang bisa jadi salah satu laktor terte­kannya pengembangan kualitas film. Tapi bukan satu-satunya atau yang terutama. Beberapa film asing telah dipuji oleh pen­caci film nasiona!. Padahal film asing itu juga pertama-tama dan terutama diproduksikan sebagai barang dagangall di negerinya.

Dalam berbagai bidang lain, perdagangan industrial terbukti telah menjadi salah satu pelldo­rong meningkatnya kualitas ka­rya budi daya man usia. Tengok­lah dunia ilmu dan teknologi yang dirancang oleh perdaga­ngan. Perhatikan perkembangan tata bus ana atau kosmetika. Juga medika. Yang lebih dekat dengan film dan menjadi contoh gamb­lang di Indonesia ialah produksi kaset rekaman musik dan gejala boom seni lukis. Mengapa film Indonesia tidak disayangi dan dibanggakan orang Indonesia se­bagaimana mereka menyayangi dan membanggakan seni lukis dan musik lndonesia?

Sclera Rerkelas Film Indonesia terbuktl herha­

sil menjadi barang dagangan yang menguntungkan para pem­bikinnya. Artinya, cUkup banyak orang Indonesia yang tidak mem­benci film Indonesia. Tanpa di­paksa, mereka mau membeli kar­cis bioskop sekitar 100 jllta ru­piah untuk setiap judul mm. Dc­ngan demikian mereka telah membiayai ongkos produksi film dan memberikan laba kepada para prod user film yang sudah kaya-raya, sehingga menjadi le­bih mahakaya-raya. , Jadi'! Mengapa hampir semua

Qrang yang birara tentang mm Indonesia selalu mencaci dan

menghina? Bukankah lancarnya perdagangan film itu menunjuk­kan bahwa mutu fUm kita tidak mengecewakan atau minimal da­lam batas toleransi konsu­mennya')

Jawaban paling mudah untuk ini ialah membayangkan adanya ?neka kelompok-kelompok da­lam masyarakat. Ada sebagian yang menjadi konsumen setia film nasional dan sumber ke­kayaan pedagang film. Ada pula golongan masyarakat yang senan­tiasa dikecewakan oleh mutu film-film kita, dan rajin memaki.

Beberapa sarjana menyatakan bahwa fUm-film kita memang di­maksudkan untuk masyarakat kelas bawah. Para pencaci film kita pad a umumnya tidak tergo­long kelas ini. Mereka adalah kelompok atau kelas sosial yang selera seni-budayanya diabai­kan. Layaklah jika mereka rnen­derita "kecemburuan sosial" dan protes. Karena mereka mengua­sai berbagai mimbar dan forum berpendapat di depan khalayak, maka wajarlah pandangan nega­tif mereka terhadap film nasio­nal menjadi pandangan yang pa­ling dominan dalam P.1asyarakat.

Tapi harap diingat, larisnya tUm kit.'1 di kalangan bawahan tidak dengan sendirinya mem­buktikan bahwa produser film kita adalah pecinta rakyat jelata dan mengabdi pada selera rakyat jelata. Tidak ada bukti bahwa golongan bawahan itu mem­benarkan, menikmati atau puas dengan nisi" atau "mutu" film­film tersehut. Sulit untuk dipasti­kan. Banyak spekulasi yang bisa dibuat untuk menjelaskan hal itu. Sarna halnya ketika kita ha­rus menjelaskan larisnya SDSB di kalangan bawahan.

Seperti SOSB, film-film kita memberikan fantasi dan obat pe­nenang scjenak bagi rakyat kelas bawah yang sehari-harinya di-

hantam aneka beban hidup yang sc.lit dicerna dengan akal-sehat. Persis sebagaimana masyarakat kelas tengah dan atasnya mem­butuhkan fantasi dan obat pene­nang yang dijumpai pada tonto­nan seperti Teater Koma, atau pentas musik bersinar laser. O­rang yang sering membeli obat pusing, tidak dapat dikatakan suka atau menikmati obat itu.

Persoalannya kini, mengapa produksi film kita hanya menjual fantasi untuk mereka yang di kelas sosial bawahan? Mengapa tak menjuaI fantasi dengan se­lera tengah dan atas? Mengapa produksi film kita tidak bera­neka ragam? Tidak seperti hal­nya produksi obat-obatan, kos­metika, atau kaset rekaman mu­sik yang melayani konsumen dari berbagai kelas dan selera: dang­dut, pop, keroncong, jazz, lagu daerah, klasik, rock, lagu anak­anak atau lagu rohani.

Dimensi Politik Langkanya film yang ditujukan

khusus untuk selera kelas te­ngah-atas mungkin dapat dijelas­kan secara teknis atau ekonomis.

Barangkali peralatan teknologi maupun tenaga profesional un­tuk itu di Indonesia masih belum memadai. Kekurangan ini sen­diri berkait dengan hambatan ekonomis. Kalau pun kekura­ngan teknologi dan sumber daya manusia itu dapat dilunasi de­ngan modal besar dan impor, labanya belum tentu akan ter­jangkau oleh ongkos Produksi yang terlalu tinggi ini masih per­lu diuji.

Benarkah Indonesia pada masa ini tak punya penonton film yang berani membayar mahal untuk memuaskan seleranya yang tinggi? Benarkah mereka hanya mencaci film yang diang­gapnya berselera rendah dan menuntut film berselera tengah­atas t3llitf>a mau atau mampu membelinya jika tersedia? Paket wisata, kursus komputer dan ma­najemen, berbagai seminar di

HALAMAN II _

hotel berbintang, produk&i kaset produksi teater dan konser mu~ sik yang semuanya super padat. modal dan dijual dengan harga tinggi ternyata bisa laris di kala­ngan tengah-atas masyarakat kita. Masa film tidak?

Pertimbangan politis jarang se­kali dikemukakan dalam pemba­hasan tentang film kita. Ini wajar. Justru pertimbangan politis itu sendiri tidak memungkinkan sembarang orang berbicara sem­barangan tentang dimensi ini.

Produksi film yang memuaskan selera kelas tengah-atas akan cenderung bertabrakan dengan rambu-rambu sensor yang baku. Kelas tengah-atas bukan kelom­pok masyarakat yang paling men­derita. Justru sebaliimya, mereka termasuk penikmat hasil pemba­ngunan. Tapi pada kenyataannya merekalah yang paling cerewet dan paling nyaring menyuarakan aneka protes tentang tata sosial, ekonomi, atau politik dalam ma­syarakal Lihat isi koran yang mereka terbitkan dan baca. De­ngarlah ucapan mereka dalam seminar. Apalagi jika kaum muda mereka berbaris di jalan, membawa poster, dan met'iga­cungkan kepalan tangan.

Film berbeda dari koran"'dan buku yang sehari-hari digeluti kelas tengah-atas kita. Film me­rupakan media massa elektronik, seperti halnya radio dan televisi, yang paling diawasi dan disensor petugas keamanan. Mungkin karena daya jangkau dan daya pukaunya maha kuat di kalangan masyarakat luas, sehingga me­reka diawasi lebih ketat ketim-· bang media massa cetak KareiUl itu, sensor terhadap mereka ber­lapis-lapis banyaknya.

Para artis dan sineas kita me­mang punya banyak penghambat dan kanibing hitam. Mereka tak bertanggung jawab penuh atas mutu film. Semua hal ini juga bukan jaminan bahwa kuaUtas film-film kita akan dengan sendl­rinya melonjak seandainya ham­batan teknisc ekonomis-politis di­kurangi. Perlu diuji ......

• Penulls adalah StafPeDgIQar U­niversitas Kristen Satya Waca- ' na Salatiga.

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>