film sebagai media propaganda politik di jawa pada masa .../film... · film di jawa pada masa...
TRANSCRIPT
i
Film sebagai media
propaganda politik di Jawa
pada masa pendudukan Jepang 1942-1945
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh:
Widiatmoko C.0502055
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
ii
FILM SEBAGAI MEDIA
PROPAGANDA POLITIK DI JAWA
PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG 1942-1945
Disusun oleh:
WIDIATMOKO C0502055
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing
Drs. Andreas Susanto, M.Hum. NIP 19591129 198803 1001
Mengetahui Ketua Jurusan Sastra Sejarah
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum. NIP 19540223 198601 2001
iii
FILM SEBAGAI MEDIA
PROPAGANDA POLITIK DI JAWA
PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG 1942-1945
Disusun oleh:
WIDIATMOKO
C0502055
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Pada Tanggal……………..
Jabatan Nama Tanda Tangan Ketua : Dra. Sri Wahyuningsih, M. Hum …………………….. NIP 19540223 198601 2001
Seketaris : Insiwi Febriary Setiasih, SS, MA …………………….. 19800227 200501 2001 Penguji I : Drs. Andreas Susanto, M.Hum …………………….. NIP 19591129 198803 1001 Penguji II : Drs. Suharyana, M.Pd .................................. NIP 1958011 198603 1002
Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Drs. Sudarno, M.A. NIP 19530317 198506 1001
iv
PERNYATAAN
Nama : Widiatmoko NIM : C0502055
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Film Sebagai Media Propaganda Politik Di Jawa Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945 adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari sanksi tersebut.
Surakarta, April 2010 Yang membuat pernyataan,
Widiatmoko
v
MOTTO
Dua Hal Yang Di sia-sia kan Manusia
Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra. : Rasulullah Saw pernah bersabda, "ada dua
anugerah yang disia-siakan manusia: kesehatan dan waktu luang".
(Sahih Bukhari)
Ketahuilah, bahwa hati itu bagaikan cermin, memantulkan bayangan dari semua
yang ada di hadapannya. Karena itu manusia harus menjaga hatinya, sebagaimana
ia menjaga kedua bola matanya
(Al Habib Muhammad bin Abdullah Al-Idrus)
Apakah anda takut dengan masa depan? “Saya ragu Pak” jawab Ku
Sedangkan dengan Bapak sendiri, Apakah Bapak takut dengan masa depan?
“Tidak” jawabnya. “Karena didalam diri Saya ada banyak Sejarah” ia meneruskan
jawabannya
(Dialog si penakut)
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan pada :
Ø Ayah dan Ibu tercinta kesabaran dan ke ikhlasan mu Membuat Ku selalu menangis
Ø Kakak dan Adik-adik tercinta Tawa keceriaan yang tak akan habis
Ø Keluarga Besar ku di situlah
surga kecil ku
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah dan karuniaNya sehingga penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan. Selama proses penyususnan skripsi ini penulis banyak mendapat
bantuan dari berbagai pihak baik dalam bentuk materi maupun dorongan moral
yang besar artinya. Oleh karena itu, merupakan kewajiban penulis untuk
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Drs. Sudarno, M.A. selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa.
2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, serta selaku
pembimbing akademik yang telah memberikan saran, pengarahan,
motivasi dari awal perkuliahan sampai akhir studi dan yang telah
memberikan izin dan kemudahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Dra. Sawitri P.P, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas
Sastra dan Seni Rupa.
4. Drs. Andreas Susanto, M.Hum, selaku Pembimbing Skripsi, yang
memberikan banyak dorongan, masukan, dan kritik yang membangun
dalam proses penulisan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang
telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa
perkuliahan.
6. Seluruh staf Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS,
Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan Monumen Pres, Perpustakaan
Rekso Pustoko Mangkunegaran yang telah memberikan kemudahan bagi
penulis untuk memanfaatkan fasilitas yang tersedia.
7. Staf bagian Arsip Nasional Republik Indonesia Jakarta, Staf Perpustakaan
Nasional, Staf Japan Foundation, Staf Pusat Perfilman Nasional, dan Pusat
Perfilman, Dokumentasi Usmar Ismail, dan Perum Pusat Film Nasional
yang telah memberikan ijin dan kemudahan dalam melakukan penelitian.
8. Palm Camp. Cramat.
viii
9. Forum Lenteng Budi Wahyono, Nurul Hidayat, Winanto, Hendra.
10. Teman-teman Angkatan 2002. Empat Serangkai Oriza Vilosa, Ponco
Suseno, Stevanus Yugo H (Crew Toko Buku dan Rumah Baca Bumi
Manusia).
11. Asrama ceria.
12. LPM Kalpadruma.
13. Garba Wira Bhuana.
14. Jong Grha Dede, Widita, Panji.
15. Delapan Penjuru Muni Roh, Pras, Dharma, Iwan T.
16. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu
persatu. Semoga amal kebaikan yang telah diberikan kepada penulisan
mendapat imbalan setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Segala saran dan kritik yang bersifat membangun penulis terima dengan tangan
terbuka. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pembaca.
Surakarta, April 2010
Penulis
ix
DAFTAR ISI
JUDUL ........................................................................................................ i
HALAMANPERSETUJUAN....................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN...................................................................... iv
HALAMAN MOTTO ................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
DAFTAR DAFTAR KOSAKATA DAN NAMA ORANG JEPANG......... xii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xvi
ABSTRAK ................................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………............... 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………. . 12
C. Tujuan Penelitian …………………………………………………. 12
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………… 13
E. Tinjauan Pustaka ………………………………………………….. 13
F. Metode Penelitian …………………………………………………. 18
G. Sistematika Penulisan ……………………………………………... 23
BAB II KEDATANGAN TENTARA PENDUDUKAN
JEPANG………………………………………………………………. 24
A. Emigran Jepang ke Hindia Belanda ……………………………… 24
B. Masa Akhir Pemerintahan Hindia Belanda ……………………….. 29
C. Bergantinya Penguasa …………………………………………….. 35
D. Motif Pendudukan Jepang dan Mengambil Simpati………………. 45
E. Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Pendudukan Jepang Terhadap
Indonesia…………………………………………………………… 49
x
BAB III MEDIA-MEDIA PROPAGANDA JEPANG …………………… 56
A. Sendenhan di Jawa ………………………………………………... 57
1. Ke Selatan……………………………………………………… 57
2. Lahirnya Sendenhan..........…………………………………….. 67
3. Pembentukan Departemen Propaganda (Sendenbu)…………… 74
4. Sendenhan Mulai Beroperasi…………………………………… 82
B. Propaganda Jepang di Jawa 1942-1945…………………………….. 85
1. Propaganda Jepang Sebelum Invansi ke Indonesia……………. 85
2. Alat Perang Propaganda Jepang……………………………….. 89
a. Dari Pasukan Pena ke Barisan Propaganda…………………. 89
b. Almanak Asia-Raya 2603…………………………………… 92
c. Kebijakan Jepang Dalam Puisi Indonesia…………………… 95
d. Foto di Surat kabar…………………………………………… 99
e. Lagu Jaesjio………………………………………………….. 106
f. Siaran yang Berperang………………………………………. 108
g. Film Bercerita Merupakan Raja Propaganda.......................... 112
BAB IV MEDIA PROPAGANDA JEPANG MELALUI FILM…………. 116
A. Film Sebagai Alat Perang Tanpa Senjata……………………………. 116
1. Kebijakan Jepang Mengenai Perfilman………………………….. 116
2. Munculnya Lembaga Film Buatan Jepang………………………. 119
B. Para Propagandis di Balik Layar…………………………………….. 122
1. Rancangan Propaganda Media Film…………………………….. 122
2. Propagandis di Balik Layar……………………………………… 123
C. Tema-Tema Film Propaganda……………………………………….. 126
xi
D. Metode Penyebar Luasan Pemutaran Film………………………….. 143
1. Pemutaran di Bioskop…………………………………………… 145
2. Layar Putih itu Bernama Layar Tancap…………………………. 150
3. Boui Engo Kai (Badan Pembantu Prajurit)……………………… 153
a. Kebijakan Pembentukan Boui Engo Kai (Badan Pembantu
Prajurit)………………………………………………………. 153
b. Pemutaran Film di Boui Engo Kai…………………………… 155
E. Promosi Film Bagian dari Seni Iklan………………………………… 158
1. Iklan Surat Kabar………………………………………………… 158
2. Peran “Pasukan Kuas” di Sendenhan…………………………….. 163
F. Seni Sebagai Media Perlawanan Terhadap Propaganda Jepang……... 165
1. Keimin Bunka Shidosho…………………………………………… 166
2. Seni Sebagai Wahana Penyampaian Aspirasi Bangsa Indonesia… 170
G. Perselisihan Sendenhan dengan Gunseikanbu………………………… 185
H. Respon Masyarakat Terhadap Aksi Propaganda Jepang Melalui Media
Film……………………………………………………………………. 200
BAB V KESIMPULAN……………………………………………………… 207
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 211
LAMPIRAN …………………………………………………………………. 221
xii
DAFTAR KOSAKATA DAN NAMA ORANG JEPANG
Nama Arti
Doméi Nama kantor berita Jepang
Éiga Haikyû Sha Perusahaan Distribusi Film; disingkat menjadi Eiha
Éiga Hô Undang-Undang Film
Éihai lihat Eiga Haikyu Sha
Gunséibu Badan Pemerintahan Militer
Gunséikan Kepala Markas Besar Pemerintahan Militer di Jawa
Gunséikanbu Markas Besar Pemerintahan di Jawa
Gunshiréibu Komandan Militer
Hôkokukai lihat Nihon Bungaku Hokokukai
Hôsô Kanrikyoku Biro Pengawas Penyiaran di Jawa
Jawa Éiga Kôsha Korporasi Umum Film di Jawa
Jawa Hôkôkai Himpoenan Kebaktian Rakjat di Djawa
Jawa Shinbunkai Gaboengan Persoeratkabaran di Djawa
Jawa Shinbunsha Perusahaan Surat Kabar di Jawa
kamishibai Pergelaran cerita bergambar yang teksnya
dibacakan oleh seorang tukang
Kéimin Bunka Shidôsho Poesat Keboedajaan; disingkat menjadi Keimin
Kén’étsuhan Barisan Sensor Militer
Naikaku Jôhôbu Bagian Penerangan Kabinet
Naikaku Jôhôkyoku Dinas Penerangan Kabinet; disingkat menjadi
Johokyoku
Nichiéi lihat Nihon Eiga Sha
Nihon Bun’gaku Hôkokukai Perhimpunan Sastrawan untuk Pengabdian pada
Negara; disingkat menjadi Hokokukai
Nihon Bun’géika Kyôkai Lembaga Sastrawan Jepang
Nihon Éiga Sha Perusahaan Film Jepang; disingkat menjadi Nichiei
Pén Butai “Pasukan Pena”
Séndénbu Bagian Propaganda di Jawa
xiii
Séndénhan Barisan Propaganda di Jawa
Taiséi Yokusan Kai Persatuan Pembantu Pemerintahan Kekais
Daftar Nama Orang Jepang
Nama Peran
Abé, Tomoji Novelis Anggota Sendehan
Adachi, Hisayoshi Pimpinan Sendenbu
Asano, Akira Kritikus; Anggota Sendenhan
Békki, Atsuhiko Geolog; Kepala Kantor Riset Budaya Daerah Selatan
Nanpo Bunka Kenkyushitsu di Jawa
Gunji, Jirômasa Novelis; Anggota Sendenhan
Hirano, Kén Kritikus Tenaga Honorer di Johokyoku
Ichiki, Tatsuo Penerjemah; Anggota Sendehan; Anggota Komisi
Penyempurnaan Bahasa Indonesia
Iida, Nobuo Penggubah lagu; Anggota Sendehan
Imamura, Hitoshi Komando Pasukan ke-16
Inoué, Shirô Kepala Seksi Ketiga Bagian Kelima Johokyoku
Ishimoto, Tôkichi Kepala Cabang Eihai di Jawa
Kikuchi, Kan Novelis/Penulis Naskah Drama; Ketua Nihon
Bungeika Kyokai; Pengurus Hokokukai
Kitahara, Takéo Novelis; Anggota Sendenhan
Koiso, Kuniaki Perdana Menteri
Kôno, Takashi Pelukis; Pembimbing Bagian Seni Rupa Keimin
Konoé, Fumimaro Perdana Menteri
Kumé, Masao Novelis; Pengurus utama rangkap Direktur
Administrasi Hokokukai
Machida, Kéiji Pemimpin Sendenhan
Mitsuhashi, Tésséi Kepala Cabang Nichie di Jawa
Miyamoto, Shizuo Staf Strategi Pasukan Ke-16
Nakatani, Yoshio Penerjemah; Anggota Sendenhan
xiv
Ôé, Kénji Novelis; Anggota Sendehan
Okazaki, Séizaburô Kepala Staf Pasukan ke-16 Rangkap
Gunseikan Jawa
Ôki, Atsuo Penyair; Anggota Sendenhan
Ono, Saséo Komikus; Anggota Sendenhan
Ôya, Sôichi Jurnalis; Anggota Sendehan; Pemimpin Pengurus Jawa Eiga
Kosha; Kepala Kantor Besar Keimin rangkap
Pembimbing Bagian Film Keimin
Ozaki, Shirô Novelis; Pengurus tetap Hokokukai
Shimizu, Hitoshi Propagandis Professional; Kepala Seksi
Propaganda di Sendehan/Sendenbu
Shimizu, Norio Filsuf; Anggota Sendenhan
Takéda, Rintarô Novelis; Anggota Sendehan; Pembimbing Bagian
Kesusastraan Keimin
Taniguchi, Gorô Kepala Kantor Besar Jawa Shinbunkai
Térauchi, Toshikazu Komando Tertinggi Pasukan Selatan
Tôjô, Hidéki Perdana Menteri
Tomisawa, Uio Novelis; Anggota Sendenhan
Yasuda, Kiyoo Dramawan; pembimbing Bagian Seni Sandiwara
dan Seni Tari Keimin
Yokoyama, Ryûichi Komikus; Anggota Sendenhan
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Perbandingan Jumlah Bioskop Th 1937 dan Th 1943 di Jawa……….147
Tabel 2 Pembagian Bioskop Dalam 4 Tingkat di Masa Pendudukan Jepang....148
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Oendang-Oendang No. 28........................................................ 221
Lampiran 2 Pendjelasan Oendang-Oendang No.27 dan 28.......................... 223
Lampiran 3 Kan Po (Berita Pemerintah) Pemerintah Agoeng…...................225
Lampiran 4 Sedikit Tentang Film “Pak Kromo”……………………………233
Lampiran 5 Studio Film Djawa……………………………………………..235
Lampiran 6 Para Pekerja Film……………………………………………….236
Lampiran 7 Para Penduduk Menonton Petunjukan Film……………………237
Lampiran 8 Barisan gambar Hidup………………………………………….238
Lampiran 9 Eiga Ho (Undang-undang Film)………………………………..239
Lampiran 10 Surat Perjanjian penyerahan Nippon Eiga sha………………...240
Lampiran 11 Gedung PPFN………………………………………………….241
Lampiran 12 Lirik lagu mari Menabung……………………………………...242
Lampiran 13 Lirik lagu Asia berpadoe………………………………………..243
Lampiran 14 Oendang-Oendang No. 8………………………………………244
Lampiran 15 Asia Raya………………………………………………………245
Lampiran 16 Oendang-oendang No. 2……………………………………….246
Lampiran 17 Oendang-oendang No. 1………………………………………247
Lampiran 18 Oendang-oendang No. 21…………………………………… ..248
Lampiran 19 Oendang-Oendang No. 16……………………………………..249
Lampiran 20 Oendang-oendang No. 6………………………………………...250
Lampiran 21 Oendang-oendang No. 29……………………………………….251
xvii
ABSTRAK
Widiatmoko. C0502055. 2010. Media Film Sebagai Alat Propaganda Film Di Jawa Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945. Skripsi Jurusan Sastra Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Perumusan masalah dalam penelitian ini meliputi (1) Mengapa Jepang
menggunakan media film sebagai alat propaganda politik, (2) Bagaimana pelaksanaan propaganda Jepang melalui media film di Jawa, (3) Bagaimana respon masyarakat terhadap aksi propaganda Jepang melalui media film.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui penyebab Jepang menggunakan media film sebagai alat propaganda politik, (2) Untuk mengetahui pelaksanaan propaganda Jepang melalui media film diJawa, (3) Untuk mengetahui respon masyarakat terhadap aksi propaganda Jepang melalui media film. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis, sehingga langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber baik intern maupun ekstern, interprestasi, dan historiografi. Adapun data primer yang diperoleh melalui studi dokumen yang berupa arsip dari Arsip Nasional Republik Indonesia dan Japan Foundation. Data primer itu ditunjang dengan wawancara dengan beberapa orang yang berhubungan dengan tema ini. Adapun data sekunder didapat dari buku, artikel dan makalah.
Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa Propaganda merupakan salah satu strategi jitu yang dipilih dan dijalankan oleh pemerintah Jepang di Jawa untuk menumbuhkan perasaan dan sikap antisipasi terhadap bangsa Barat. Propaganda juga dimaksudkan untuk membangun simpati masyarakat Indonesia terhadap Jepang. Salah satu ciri utama propaganda Jepang di masa perang ialah penggunaan berbagai media tersebut secara positif, terutama ditekankan kepada media yang mengusik “pendengaran dan penglihatan” (audio visual) seseorang. Media audio visual ini dianggap paling efektif untuk mempengaruhi penduduk yang tidak berpendidikan dan buta huruf serta haus hiburan. Film mempunyai keunggulan dalam mengekpresikan gambar bergerak yang dapat dengan mudah dimengerti oleh penonton. Sedangkan untuk kalangan terpelajar hal ini tidak berpengaruh karena sudah terbiasa akrab dengan berbagai jenis hiburan dan kaum terpelajar umumnya lebih mengenal peristiwa dunia dan memiliki rentang pengetahuan yang luas karena akses informasi dan bisa memberikan landasan penilaian lebih rasional dan akurat mengenai isi pesan film.
xviii
ABSTRAK
Widiatmoko. C0502055. 2010. Film Sebagai Media Propaganda Politik
Di Jawa Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945. Thesis Of History Department Of Fine Arts And Literature Faculty. Sebelas Maret University. Problem statements of this research consist of (1) Why does Japan employ movies as a means of political propaganda. (2) How is its implementation of Japan’s propaganda by making use movies in Java, (3) How are Javanese’s responses toward Japan’s propaganda through movies. Objectives of this research are (1) To reveal Japan’s reasons why movies are employed as a means of political propaganda, (2) To reveal its implementation of Japan’s propaganda by making use movies as their medium in Java, (3) To reveal Javanese’s responses toward Japan’s propaganda by making use movies as their medium. Research method employed is an historical approach, so that procedures applied in this research include heuristically approach, resource’s critic both internal and external, interpretation, and historiography. In addition, primary data obtained are through documentary study which is in form of archives from Arsip Nasional Republik Indonesia and Japan Foundation. Some persons which are relevant to this topic support the primary data as well. Besides, secondary data are obtained from books, articles, papers, etc. Based on analysis, it is concluded that propaganda is one of proper strategies chosen and applied by Japan’s government in Java to raise anticipation’s actions and feelings toward Western. Propaganda is aimed at building sympathy among Indonesians to Japan. Mainly, Japan’s propaganda during war era is characterized by the use of such medium in positive ways, to be the most effective way to influence uneducated and illiteracy society, which are passionate to entertainment. Movies are believed to express motion pictures which are easy and understandable to the viewers so well. In other side, for educated persons, it is not influential way since they are accustomed to sorts of entertainment, while, they own broader knowledge than the uneducated one. It is because they have an easy information access and are able to interpret more rationally and accurately concerning to messages of the movies.
xix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setelah berakhirnya pemerintahan Belanda di Indonesia, maka dimulailah
kekuasaan baru yang dipegang oleh Jepang.1 Dengan
kekuasaan kependudukan Jepang ini, mereka segera
menyusun pemerintahan di daerah yang harus membantu
keinginan dan misi Jepang, yakni tercapainya kemenangan
perang bagi Jepang. Sifat pemerintahan ini lebih tepat
dikatakan sebagai pemerintahan pendudukan dari pada
pemerintahan jajahan, sebab perang masih berlangsung
dengan sengitnya. Adapun bentuk pemerintahannya adalah
pemerintahan militer.2
Pada masa pemerintahan militer ini, kebijakan demi kebijakan yang diambil
senantiasa didasarkan atas perkembangan perang yang
sedang terjadi. Secara garis besar, kebijakan yang dibuat
pemerintahan militer Jepang meliputi tiga tahap, yaitu:
tahap pertama (1942-1943) adalah tahap persuasif, pada
tahap ini jepang membuat dan memberikan janji-janji yang
samar-samar mengenai konsesi-konsesi politik agar bangsa
1 Onghokham, 1989, Runtuhnya kekuasaan Di Hindia Belanda, Jakarta: PT.Gramedia,
hlm 220. 2 Bayu Suryaningrat, 1981, Sejarah Pemerintahan Di Indonesia, Jakarta: Dewaruci Press,
hlm 68.
xx
Indonesia bersedia bekerja sama dengan pemerintah
pendudukan Jepang. Tahap kedua (1943-1944) adalah
tahap partisipasi dan mobilisasi, pada tahap ini orang-
orang Indonesia dilibatkan dalam jabatan-jabatan pada
kantor-kantor pemerintahan sebagai pendamping atau
penasehat pejabat bagi kepentingan pemerintahan
pendudukan Jepang. Tahap ketiga (1944-1945) adalah
tahap peningkatan mobilisasi dengan memberikan suatu
janji-janji politik tentang kemerdekaan bagi bangsa
Indonesia.3
Secara operasional pemerintahan pendudukan Jepang dilaksanakan oleh kepala
staf yang disebut Guenseikan. Guenseikan ini membawahi
departemen-departemen (bu) yang terdiri atas somubu
(Departemen Urusan Umum), Naimubu (Departemen
Dalam Negeri), Sangyobu (Departemen Perekonomian),
Zaimubu (Departemen Keuangan), Shidobu (Departemen
Kehakiman), Keimubu (Departemen Kepolisian), Kotsubu
(Departemen Lalu Lintas), Sendenbu (Departemen
Propaganda).4
Dalam rangka memperlancar pelaksanaan kebijakan mereka di wilayah
pendudukan Jawa, Pemerintahan militer memerlukan alat
untuk mengambil hati rakyat, dan alat inilah yang
3 Pemda Kotamadya TK. II, 1981, Sejarah Kota Bandung Periode Revolusi Kemerdekaan
1945-1950, Bandung, hlm 57. 4 Nugroho Notosusanto, dkk., 1984, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, Jakarta:Balai
Pustaka, hlm 7.
xxi
digunakan sebagai alat propaganda. Alat ini disalurkan ke
lapangan- lapangan yang jauh lebih luas dari pada
lapangan kemiliteran, oleh karena itu organisasi
propaganda-propaganda yang dibentuk jepang mempunyai
tugas menyalurkan pesan ke lapangan masyarakat umum,
sampai ke lapangan penghiburan dan kebudayaan.
Propaganda adalah penyiaran penerangan yang disiarkan dengan maksud mencari
pengikut atau bantuan. Propaganda merupakan kata yang
tidak asing lagi di kalangan orang Indonesia, terutama
yang terlibat langsung dalam masa pendudukan Jepang.
Perkataan ini memang sangat populer pada waktu Jepang
menduduki Indonesia, dan merasuki hampir di segala
aspek kehidupan.
Propaganda Jepang dilakukan seiring dengan penaklukan terhadap negeri-
negeri yang didudukinya. Keinginan yang besar dalam penaklukan ini bukanlah
suatu hal yang baru timbul di dalam sejarah Jepang. Anggapan sebagai “bangsa
terpilih” menguatkan kepercayaan bangsa ini akan tugas suci Jepang untuk
menaklukan dan menguasai negeri orang. Dua ribu enam ratus tahun yang lalu
Djinanmu Tennc, kaisar Jepang yang pertama, disebut-sebut sebagai raja pemberi
“sabda suci” Hakko Ichiu, yang bertujuan menaruh ke delapan penjuru arah mata
angin di bawah panji-panji dari Nippon.5 Bahkan rencana tertentu di dalam politik
penaklukan Jepang, seperti rencana “Lingkungan Kesemakmuran Asia Timur
Raya”, dapat dicari kembali pada akhir abad-16. Jika Toyomi Hideyoshi, si
5 M.A. Aziz, 1995, Japan’s Colonialism and Indonesia, The Hague: M. Nijhoff, hlm 3.
xxii
Napoleon negeri Jepang itu, menyerang Korea dalam tahun 1592 sebagai batu
loncatan untuk menguasai Tiongkok, tidak hanya bertujuan di situ saja. Politik
Toyotomi Hideyoshi ialah suatu rencana kerajaan Asia yang besar dengan
Tiongkok, Jepang dan Korea sebagai kelompok kesatuan yang pertama dan
kemudian diperluas dengan wilayah-wilayah Asia lainnya, sampai-sampai
kedaerah Nanyo atau daerah lautan selatan.6
Dalam melakukan ekspansi dan imperialisnya, Jepang tidak hanya
menjalankannya secara membabi buta tanpa diiringi sikap moral dan maksud baik
dari Jepang. Mereka selalu mengatakan hal-hal seperti: “ingin membebaskan
bangsa asia dari penjajahan barat” atau yang lainnya seperti “menciptakan
Lingkungan Kesemakmuran Asia Timur Raya terhadap negara-negara yang
ditaklukannya”. Hal ini dilakukan untuk menciptakan citra dikalangan rakyat
jajahan, bahwa sebenarnya Jepang mempunyai maksud yang baik dan cita-cita
yang besar untuk kebesaran bangsa Asia.
Dengan bantuan para propagandis yang bersama-sama datang dengan
tentara Jepang, mereka terus giat dengan berbagai semboyan yang muluk-muluk.
Semboyan-semboyan ini umumnya berdasarkan pada politik rasial. Kita masih
ingat propaganda mereka di Indonesia yang berbunyi “Nippon-Indonesia sama-
sama” dan “Asia untuk Orang Asia”. Semboyan ini sangat mempengaruhi orang-
orang Indonesia, baik tua maupun muda di kala itu, karena tidak banyak orang
Indonesia yang mengenal dan mengetahui seluk beluk pemerintah pendudukan
Jepang mendarat di pulau Jawa, mereka juga sering menyebut persamaan Nippon
6 Ibid., hlm 6.
xxiii
dan Indonesia. Tentu saja hal tersebut sangatlah berkesan di hati orang-orang
Indonesia pada mulanya.
Hal yang paling utama dan paling giat yang dilakukan Jepang selama
mereka menduduki apa yang mereka namakan daerah selatan, ialah
men”Jepang”kan penduduk, terutama angkatan mudanya. Men”Jepang”kan
penduduk berarti melakukan penjajahan politik, ekonomi, dan budaya, sistem ini
sudah terbukti bagi Jepang di negeri-negeri yang sudah jauh lebih dahulu
dikuasainya seperti: Taiwan, Korea, dan Mancuria. Sistem penjajahan yang
demikian membuktikan bahwa penduduk yang sudah diJepangkan lebih dahulu,
mudah dikerahkan untuk berbagai macam usaha peperangan guna kebesaran
negeri Matahari Terbit.
Sebelum Jepang datang ke Indonesia usaha-usaha untuk menarik simpati
orang Indonesia sudah pernah dilakukan. Seperti, diundangnya para tokoh
pergerakan, baik pergerakan nasional maupun pergerakan Islam ke Jepang, untuk
melihat-lihat keberhasilan yang telah dicapai Jepang. Kepada kaum pelajar,
Jepang memberikan beasiswa bagi mereka yang ingin menuntut ilmu di sana.
Pada masa pergerakan nasional banyak orang Jepang yang mencari nafkah
di Hindia Belanda sebagai pedagang, Mereka dikenal sebagai tuan-tuan toko.
Sikap mereka terhadap orang-orang Indonesia yang sangat ramah, menjadikan
mereka mendapat simpati dari masyarakat. Maka tak heran ketika Jepang datang,
sambutan yang hangat pun diberikan penduduk begitu antusias.
Propaganda terus dilakukan. Untuk lebih memudahkan infiltrasi terhadap mereka
dan untuk melaksanakan skema propaganda itu ke dalam
operasi dilakukan dengan berbagai bantuan alat-alat
xxiv
media. Penggunaan media melalui surat kabar, poster,
foto, siaran radio, pameran, pamflet, seni pertunjukan
tradisional, pertunjukan gambar kertas, musik, sandiwara,
drama, dan film. Di antara media tersebut penggunaan film
merupakan alat propaganda yang paling efektif.
Salah satu ciri utama propaganda Jepang di masa perang ialah penggunaan
berbagai media tersebut secara positif, terutama
ditekankan kepada media yang mengusik “pendengaran
dan penglihatan” (audio visual) seseorang.7 Media audio
visual ini dianggap paling efektif untuk mempengaruhi
penduduk yang tidak berpendidikan dan buta huruf serta
haus hiburan.
Pada masa Jepang sendiri, film digunakan sebagai alat propaganda politik.
Film mempunyai keunggulan dalam mengekpresikan gambar bergerak yang dapat
dengan mudah dimengerti oleh penonton. Hal ini menyebabkan film dengan
mudah mendapatkan banyak penggemar. Film merupakan salah satu media
propaganda penting pada masa perang. Sebelum Perang Dunia Kedua, media ini
tidak pernah digunakan sebagai alat indoktrinasi pilitik di Indonesia. Jepang
merupakan satu-satunya negara yang memanfaatkan media film sebagai alat
propaganda di dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Kebijaksanaan-
kebijaksanaan yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan pemutaran film di
7 Aiko Kurasawa, 1993, Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di
Pedesaan di Jawa 1942-1945, Jakarta: PT. Gramedia, hlm 237.
xxv
Jawa masa pendudukan merupakan tiruan yang digunakan di Jepang masa perang
melawan Cina tahun 1930-an.8
Segera setelah Angkatan Darat Ke-16 mengambil alih Jawa, staf Sendenbu
bersama-sama pihak militer menyita semua perusahaan film, kemudian pada
bulan Oktober 1942, mereka membentuk suatu organisasi sementara untuk
menjalankan kebijakan film. Organisasi ini disebut Djawa Eiga Kosha (Korporasi
Film Djawa) dan dikepalai oleh Oya Saichi, seorang penulis terkenal Jepang yang
dipekerjakan sebagai anggota staf Sendenbu.
Di Jawa, secara khusus dikembangkan produksi film yang bermula pada
bulan September 1942, setelah korporasi film Jawa membuka studio mereka di
Jatinegara, dan setelah bulan April 1943 dilanjutkan oleh Nicchi-ei (perusahaan
film Jepang). Pada tahun 1943 perusahaan film Jepang memutar film-film
produksinya sendiri. Film-film yang diputar biasanya berjangka waktu pendek,
dan menggunakan kata-kata Indonesia serta bertema propaganda seperti film
“Torpedo Tempaan Djiwa” yang bercerita tentang kejadiaan sebelum pecahnya
perang asia timur raya.9 Film-film yang dibuat di Jawa, disesuaikan dengan situasi
dan kebutuhan lokal. Film-film ini merupakan propaganda dan bersifat instruktif.
Salah satu contohnya adalah film “Neppu” yang berisi tentang anjuran agar giat
bekerja di pabrik untuk dapat menghancurkan Amerika dan Inggris guna
kemenangan tanah air.10 Hal ini sesuai dengan tujuan pemerintah pendudukan di
mana penduduk Jawa akan dikerahkan untuk turut serta dalam peperangan. Untuk
8 Grant K. Goodman (edit), 1992, Japanese Cultural Policies in Southeast Asia during
world War 2, New York: St. Martins Press, hlm 44. 9 Djawa Baroe, no. 24, 15 Desember 1944, hlm 31. 10 Djawa Baroe, no. 22, 1 agustus 1944, hlm 32.
xxvi
itu, maka langkah awalnya adalah mengindoktrinasi mereka akan pentingnya
perang bagi penduduk Jawa.
Instruksi-instruksi yang terkandung dalam film tidak terbatas pada suasana
politik dan spiritual tetapi juga termasuk ajaran-ajaran praktis dan teknis. Sebagai
contoh film-film “Pemakaran Tombak Bamboe” dan “Indonesia Raja”
mengajarkan ilmu militer dan lagu kebangsaan. Adapula film-film yang memberi
pelajaran teknik pertanian dan kerajinan tangan seperti menenun, membajak
tanah,menanam padi, dan membuat tambang. Film tentang Tanarigumi (rukun
tetangga) menggambarkan kegiatan sehari-hari dari rukun tetangga dan untuk
mengembangkan pemahaman peran dan sifatnya. Film Taiteki Kanshi
(mewaspadai musuh) menginstruksikan bangsa Indonesia agar bersikap waspada
terhadap musuh. Penggunaan film-film semacam ini sebagai sarana instruksi
teknis secara keseluruhan merupakan suatu yang baru bagi orang Jepang maupun
orang Jawa. Kenyataannya film-film masa perang ini dapat dianggap sebagai
perintis pendidikan audio visual kontemporer.11 Topik film berita pada umumnya
berhubungan dengan perkembangan politik dan gerakan massa. Kemudian disusul
dengan topik film berita yang menyangkut masalah pertahanan dan ekonomi.
Produksi film-film cerita dimulai beberapa waktu kemudian. Pertama,
adalah “Kemakmoeran” yang diputar pada bulan Januari 1944. Kedua
“Berdjoeang” yang diputar pada bulan Maret 1944. Tema-tema film ini didikte
oleh Sendenbu. Staf Jepang dari perusahaan film Jepang membuat garis besar
kisahnya, yang kemudian ditulis dalam bahasa Indonesia dan para pemerannya
dipilih di antara penduduk Indonesia.
11 Aiku Kurasawa, “Film as Propaganda Media on Java Under the Japanese”, dalam
Grant K Goodman (editor), hlm 52.
xxvii
Beberapa
kategori film yang telah diproduksi dapat digolongkan
pada empat bagian, yakini 1) film-film yang
menggambarkan kekuatan militer Jepang mengalahkan
pasukan Inggris dan Amerika 2) film yang dibuat setelah
awal 1943 yang memakai konsep religius dari Hakko Ichi-
u (delapan penjuru dunia di bawah satu atap) untuk
memperkuat politik ekspansionis Jepang 3) film yang
dibuat setelah akhir 1943 yang memberi tekanan pada
peran yang dimainkan oleh masyarakat Indonesia di
lingkungan kemakmuran Asia Raya dan 4) film yang
dibuat setelah bulan November 1944 berisikan sekedar
menyokong nasionalisme dan kesadaran bangsa Indonesia
dalam mempertahankan dirinya.12
Untuk keperluan hiburan dan sekalipun alat
propaganda dalam pemutaran film, Jepang menggunakan
bioskop-bioskop yang awalnya milik orang Cina. Namun
karena kekuasaan jepang, diambil alih kepemilikannya.
Setiap pemutaran film dikenakan Harga Tiket Masuk
(HTM ). Harga itu sudah ditetapkan Jepang. Tiket untuk
pribumi HTM-nya 10 sen, orang cina 25 sen, sedangkan
kelas terhormat 50 sen dan satu gulden.13
12 Ibid, hlm 60. 13 Dr. Taufik Abdullah,1993, Film Indonesia, Jakarta: Dewan Film Nasional, hlm 294.
xxviii
Jepang dengan bantuan orang-orangnya, membuat
jaringan propaganda disetiap sudut dan pelosok desa (desa
mempunyai arti penting sebagai sumber bahan baku dan
sumber tenaga manusia). Untuk Jawa dibentuk Chiho
Kosakutai (Unit Operasi Distrik) yang meliputi kota-kota
besar yakni: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang,
Surabaya, dan Malang.14
Untuk menyebarluaskan film-film propaganda tersebut kepada
masyarakat, di samping diputar di bioskop-bioskop, Jepang juga
menyelenggarakan pemutaran film secara keliling yang kemudian dikenal dengan
sebutan “layer tancep” (bioskop keliling)15 yang dimulai pada bulan Agustus
1942, khususnya untuk di Jawa. Kantor pusat Eihai (perusahaan distribusi film
Jepang) mengirim 48 ahli proyeksi film disertai dengan fasilitas yang diperlukan
untuk mempromosikan bioskop keliling di daerah-daerah pendudukan di Asia
Tenggara. Enam antara para ahli ini dikirim ke Jawa.
Pada bulan Desember 1945 lima basis operasional untuk bioskop keliling
telah didirikan di Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta dan Malang dengan
15 tim proyeksi. Beberapa diantaranya dikepalai oleh orang Jepang dan yang
lainnya oleh orang Indonesia. Kelompok ini berkeliling dari desa yang satu kedesa
yang lainnya dengan membawa proyektor film, generator dan film yang diangkut
oleh sebuah truk.16 Biasanya hanya satu atau dua desa yang dipilih dari masing-
14 Asia Raya, 16 Mei 1944. 15 Ibid., hlm 295. 16 Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan
di Jawa 1942-1945, Op. Cit., hlm 243.
xxix
masing Son (sub-distrik) dan Gun (distrik) sebagai tempat pemutaran dan rakyat
dari desa-desa tetangga diundang untuk menontonnya. Film-film dipertontonkan
di alam terbuka bagi siapa saja tanpa dipungut bayaran. Sedangkan penduduk dari
semua desa tetangga, sebelumnya diberitahu lewat para pejabat desa dan kepala
tonarigumi.
Karena terbatasnya produksi film-film lokal, maka pemerintah
mengimpor film-film Jepang yang dipilih secara hati-hati dan hanya yang
dianggap berguna bagi propaganda. Di Jawa beberapa dari film-film Jepang itu
diputar dengan subjudul Indonesia. Terjemahannya dibuat oleh staf Eihai lokal
yang mengerti bahasa Jepang dan Indonesia. Karena di Jawa tingkat buta huruf
sangat tinggi, maka biasanya ada seorang penerjemah berdiri di samping layar,
dan ia menjelaskan apa yang tengah diproyeksikan dengan bahasa apapun yang
digunakan di daerah itu. Seorang penerjemah terkadang dipakai karena di Jawa
sebagian besar penduduknya berbicara dalam bahasa-bahasa lokal seperti Jawa
dan Sunda dan tidak fasih berbahasa Indonesia. Sebaliknya sedikit di antara
penerjemah itu mengerti bahasa Jepang, dan tidak memungkinkan bagi mereka
untuk membuat terjemahan kata demi kata. Maka langkah selanjutnya adalah para
penerjemah itu sebelumnya mendapat penjelasan tentang isi film dan kemudian
mereka menjelaskannya kembali secara umum kepada para penonton.
Dampak dari pemutaran film tersebut adalah sangat sedikit untuk mendidik dan
membentuk rakyat sesuai keinginan pemerintah, meskipun
beberapa film militer mungkin berguna di dalam
memberikan kesan kepada rakyat akan kekuatan militer
Jepang. Film-film yang dibuat di Jawa jauh lebih efektif
xxx
bagi tujuan-tujuan propaganda, terutama film yang
ditujukan pada pengajaran praktis dan teknis.17
Mengenai film-film yang di putar sebagai propaganda hanyalah film yang
dinggap berguna bagi kepentingan Jepang. Jenis-jenis film yang dipertontonkan
adalah film-film yang mengandung ajaran-ajaran moral dan indoktrinasi politik,
seperti “Ke Seberang” yang diputar pada tahun 1944, atau film “12 Djam Sebelum
Berangkat ke Medan Perang” yang dikehendaki pemerintah untuk ditransmisikan
kepada penduduk Jawa.18 Film-film itu dikategorikan sebagai film “kokusaku
eiga” (film-film kebijakan nasional), film-film kebijakan nasional itu bila ditinjau
dari segi isinya dapat dibagi ke dalam enam kategori sebagai berikut:
1. Film yang isinya menekankan persahabatan antara bangsa Jepang dengan bangsa-bangsa asia serta pengajaran Jepang.
2. Film yang isinya mendorong pemujaan patriotisme dan pengabdian terhadap bangsa.
3. Film yang isinya melukiskan operasi militer dan menekankan kekuatan militer Jepang.
4. Film yang isinya menggambarkan kejahatan bangsa Barat. 5. Film yang isinya menekankan moral berdasarkan nilai-nilai Jepang. 6. Film yang isinya menekankan peningkatan produksi dan kampanye
perang lainnya.19
Dengan pemutaran film yang dilakukan Jepang
berpengaruh terhadap rakyat. Namun dalam menerima
pesan Jepang tersebut terdapat keanekaragaman. Kaum
terpelajar umumnya lebih mengenal peristiwa dunia dan
memiliki rentang pengetahuan yang luas, yang memberi
landasan rasional dan akurat mengenai isi pesan
17 Aiko Kurasawa, dalam grant K. Goodman, Op. cit, hlm 60. 18 Djawa Baroe, 1 Oktober 1944, hlm 32. 19 Aiko Kurasawa, dalam grant K. Goodman, Op. cit, hlm 239.
xxxi
propaganda. Tetapi kalangan tidak terpelajar, yang kurang
akrab dengan informasi, cenderung menerima propaganda
sebagaimana adanya.20
Sejak diperkenalkan “gambar hidup”, dunia telah mengakui keunggulan film
sebagai media komunikasi dan sekaligus sebagai media
propaganda. Film tidak hanya merupakan media
komunikasi massa, tetapi sudah lebih dari itu, bahkan telah
menjadi instrumen yang dapat disesuaikan dengan
maksud-maksud tertentu. misalnya saja sebagai instrumen
politik.
Penulis sendiri tertarik untuk meneliti masalah penggunaan film oleh Jepang
sebagai sebuah instrumen politik, sehingga penulis
berusaha untuk memperoleh gambaran seberapa besar
efektif peranan film sebagai alat propaganda politik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Mengapa Jepang menggunakan media film sebagai alat propaganda politik?
2. Bagaimana pelaksanaan propaganda Jepang melalui media film di Jawa?
3. Bagaimana respon masyarakat terhadap aksi propaganda Jepang melalui
media film?
20 Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan
di Jawa 1942-1945, Op.Cit, hlm 265.
xxxii
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini, sesuai dengan masalah tersebut di atas adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui penyebab Jepang menggunakan media film sebagai alat
propaganda politik.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan propaganda Jepang melalui media film
diJawa.
3. Untuk mengetahui respon masyarakat terhadap aksi propaganda Jepang
melalui media film.
D. Manfaat Penelitian
Dengan rumusan masalah seperti tersebut diatas, maka manfaat yang hendak
dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Secara Subjektif manfaat penulisan ini adalah Tugas akhir untuk mendapatkan
gelar Sarjana, di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas
sebelas Maret, surakarta.
2. Secara Objektif penulisan ini bermanfaat untuk pemgembangan ilmu sejarah
dalam bidang kebudayaan khususnya sejarah perfilman yang selama ini
kurang mendapat perhatian.
3. Memberikan masukan bagi pemerintah untuk digunakan sebagai acuan dalam
mebuat kebijakan tentang film nasional dan juga menjadi masukan yang
berharga bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
xxxiii
E. Tinjauan Pustaka
Peristiwa yang terjadi pada kurun waktu 1942-1945 sangat menarik untuk dikaji
dan ditulis. Dalam penulisan sejarah ini menggunakan
beberapa literatur yang digunakan sebagai acuan.
Diantaranya berupa buku yang tentunya ada relevansinya
dengan topik pembahasan.
Aiko Kurasawa dalam sebuah buku yang berjudul Mobilisasi dan Kontrol: Studi
Tentang Perubahan di Pedesaan di Jawa 1942-1945
membahas mengenai kebijakan-kebijakan Jepang dan
perubahan dibidang sosialo-ekonomi serta dampak
psikologi yang terjadi dalam masyarakat di wilayah
pedesaan Jawa. Untuk bisa memahami kebijakan-
kebijakan Jepang terhadap massa, diperlukan
akses/pendekatan dari berbagai aspek. Pendekatan tersebut
memerlukan perangkat yang akan digunakan Jepang untuk
menarik kerja sama umum, seperti Propaganda,
pendidikan, serta mobilisasi politik.
Dalam rangka
untuk tercapainya kebijakan-kebijakan yang dipakai
Jepang sebagai jurus dan usaha-usaha dengan membuat
skema propaganda yang semenarik mungkin, sehingga
masyarakat akan bersimpati dan ingin bekerja sama
dengan pemerintahan Jepang.
xxxiv
Dalam kaitannya dengan propaganda, Aiko Kurasawa membahasnya dalam bab
tersendiri. Salah satu media yang dipakai Jepang adalah
film. Film sebagai media yang sangat efektif untuk alat
propaganda. Dengan media tersebut Jepang memakainya
sebagai penarik dan mempengaruhi jiwa kolektif
masyarakat.
Koichi Otani dalam bukunya yang berjudul Takeda Rintaro Biografi
Kritis: Rintaro Takeda bagaimana bukunya menjelaskan perjuangan-perjuangan
Sendenhan (barisan propaganda) yang dipimpin oleh Rintaro Takeda menyiapkan
bahan propaganda sampai survey keliling jawa untuk mengumpulkan bahan-
bahan yang akan menjadi tema propaganda. Sampai akhirnya Takeda dan para
barisan propaganda mengadakan pertunjukan film untuk penduduk setempat
maupun prajurit Jepang di samping mementaskan pertunjukan sandiwara, tarian,
dan musik. Dalam pementasan sandiwara, Takeda menjadi sutradara. Dalam buku
biografi Hyoden: Takeda Rintaro yang berbahasa Jepang ini juga menggambarkan
bagaimana Rintaro Takeda mempunyai rasa bertolak belakang terhadap sikap
pendudukan Jepang di Jawa.
Buku dengan penyunting utama A. B. Alpian dan J. R. Chaniago yang berjudul Di
bawah Pendudukan Jepang: Kenangan 42 Orang yang
Mengalaminya menjelaskan tentang bagaimana awal mula
kedatangan Jepang ke Indonesia. Dimana pada tanggal 4
Maret tentara Belanda meninggalkan kota Batavia dan
keesokan harinya 5 Maret 1942 ibukota Hindia –Belanda
jatuh ketangan tentara pendudukan Jepang
xxxv
Wilayah Hindia-Belanda yang pertama-tama jatuh kekuasaan Jepang adalah
kepulauan Tambelan di Laut Cina Selatan yang diduduki
pada tanggal 27 Desember 1941 dan tidak lama kemudian,
tanggal 11 Januari 1942, Jepang mendarat di Tarakan
(Kalimantan-Timur) dan Manado(Sulawesi Utara).
Kemudian menyusul Balikpapan 24 Januari, Ambon 2
Februari, dan Makasar (Ujung Pandang) 9 Februari.
Pendaratan di Sumatera Utara sendiri (termasuk pulau
Sabang) dan timur dimulai tanggal 12 Maret dan 17 Maret
1942 Padang jatuh ketangan Jepang. Di Nusantara sebelah
Timur Jepang melanjutkan pendaratan di Fakfak 1 April
dan sorong 4 April, serta Ternate 19 April. Banda Neira,
Buru, kepulauan Sula, Lombok, dan Flores diduduki dalam
bulan Mei.
Kronologi perluasan wilayah Jepang di Nusantara yang diuraikan di atas ini
menujukan bahwa masa pendudukan Jepang tidak serentak
dialami oleh bangsa Indonesia bersama-sama. Demikian
pula berakhirnya masa pendudukan tidak sama.
Buku ini juga menjelaskan usaha-usaha Jepang dengan badan-badan
propagandanya untuk mendapatkan dukungan dan simpati
rakyat Indonesia dengan melancarkan kampanye
propaganda. Salah satu usaha tersebut adalah dengan
media film sebagai alat propaganda.
xxxvi
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI yang ditulis oleh Marwati
Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto.
Dijelaskan mengenai perubahan sosial dan mobilisasi
sosial masyarakat pada masa Pendudukan Jepang. Selama
tiga setengah tahun Pendudukan Jepang telah
mengguncang bukan hanya sendi-sendi Pemerintahan
Hindia Belanda tetapi struktur masyarakat Indonesia
sendiri. Kependudukan Jepang dengan militernya ke
Indonesia dimulai tanggal 11 Januari 1942 di Tarakan
Kalimantan Timur. Untuk bisa membuka Jawa, Jepang
harus menguasai Palembang terlebih dahulu. Pada tanggal
16 Februari 1942 Palembang berhasil ditaklukan sehingga
Jawa pun sudah berada dalam genggaman. Tentara Militer
Jepang kemudian menguasai Jawa dan akhirnya pada
tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat pada
Jepang.
Dr. Taufik Abdullah dalam bukunya Film Indonesia, menguraikan mengenai
sejarah film yang ada di Indonesia bagaimana pengaruh
dan perkembangannya serta dampak yang terjadi dalam
masyarakat dan sosial-politik Indonesia. Dalam menyebar
luaskan propaganda politiknya, Jepang memanfaatkan film
yang dianggap ampuh mencapai penduduk, yang
umumnya masih buta huruf, dan film adalah alat yang
sangat efektif untuk mempengaruhi jiwa masyarakat agar
xxxvii
terpengaruhi sehingga menimbulkan sikap dan opini
publik terhadap Jepang.
Jepang mempunyai badan dan pembantu-pembantu tersendiri dalam penanganan
film yang akan dijadikan sebagai media propaganda.
Dengan badan tersebut akan mempermudah,
memperlancar Jepang melakukan pengedaran, penyebaran,
dan pendistribusian film yang berisikan tema propaganda.
Berdasarkan keyakinan bahwa bangsa Indonesia harus dibawa kepada pola
tingkah laku dan berfikir Jepang, propaganda ditujukan untuk mengindoktinasi
bangsa ini agar dapat menjadi mitra yang dapat dipercaya dalam Lingkunagn
Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Betapa propaganda memiliki arti
penting bagi Jepang untuk menguasai wilayah dan rakyat Indonesia, sehingga
bangsa itu pun telah mempersiapkan sistem propagandanya secara sistematis dan
intensif sejak sebelum pelaksanaan invansi ke negeri ini. Melalu media film
Jepang menerapkan propaganda-propagandanya seperti dijelaskan Kurasawa Aiko
dalam bukunya Propaganda Media on Java Under Japanese 1942-1945”.
Perkembangan Perfilman di Indonesia sendiri telah di sejak tahun 1926 ketika
seorang porduser film bernama David membuat film bisu
berjudul Lely Van Java di Bandung. Kemudian disusul
film berjudul Eulis Atjih oleh produser Kruger Co
1927/1928 dan selanjutnya diproduksi film berjudul
Lutung kasarung oleh Produser film Carli. Tahun 1936
dalam perkembangannya (ANIF) Algemen Nederlands
Indische Film berdiri studio film yang didirikan oleh
xxxviii
Albert Balink bergerak dalam film-film berita dan film
cerita. Film pertama yang dibuat studio itu adalah dengan
judul Terang Bulan.
Pada tahun 1941 pecah perang Asia Timur Raya dan awal tahun 1942 pemerintah
Hindia Belanda menyerah kepada Jepang maka seluruh
kekayaan diambil alih termasuk studio-studio film
dibawah pengawasan Sendenbu (Barisan Propaganda)
seperti ditulis dalam sebuah karya Buku 50 Tahun Perum
Produksi Film Negara yang diterbitkan oleh Direktorat
Pemasaran PFN.
F. Metode Penelitian
Untuk meneliti peranan film sebagai Media propaganda politik Jepang Yang
terjadi pada tahun 1942-1945 penulis menggunakan
metode historis. Menurut Louis Gottschalk, yang
dimaksudkan dengan metode historis adalah proses
menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dari
pengalaman masa lampau.21
Berbeda dengan ilmu sosial lain yang menekankan pada pengulangan dan objek
yang bersifat general, sejarah justru meneliti sesuatu yang
unik. Hal ini karena peristiwa sejarah adalah einmalegh.
Artinya, peristiwa yang menjadi kajian sejarah tidak akan
21 Louis Gottschalk, 1986, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, hlm 18.
xxxix
pernah mengalami pengulangan yang sama persis dalam
konstruksi peristiwanya.22 Metode sejarah digunakan
karena penggunaan metode harus disesuaikan dengan
objek yang dikaji. Hal tersebut menurut Koentjoroningrat,
metode yang merupakan cara kerja untuk dapat memahami
objek harus sesuai dengan ilmu yang bersangkutan.23
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan dengan
menggunakan ilmu komunikasi. Khususnya komunikasi
politik. Dalam memahami komunikasi politik ini
kemudian digunakan teori tentang propaganda. Hal ini
karena propaganda merupakan salah satu cara dalam
komunikasi politik yang sangat efektif dan sesuai dengan
background yang akan diteliti. Pendekatan ini kemudian
dijalankan dengan metode historis yang terdiri dari empat
tahap. Tahapan dalam metode sejarah saling berkaitan
antara tahap satu dengan tahap yang lainnya karena tahap
yang dilakukan akan berurutan dalam cara kerjanya.
Tahapan itu adalah Heuristik, Kritik Sumber, Inteprestasi,
dan Historiografi.24
22 Peter Burke, 2003, Sejarah dan Teori Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm
32. 23Koentjaraningrat, 1983, Metode-Metode Penelitian Masyarakat , Jakarta: P.T.
Gramedia, hlm 7. 24 Nugroho Notosusanto, 1988, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta:
Yayasan Idayu, hlm 36.
xl
Tahap pertama adalah Heuristik, yaitu cara mengumpulkan
bahan atau sumber-sumber sejarah dengan mengumpulkan jejak-jejak
sejarah. Sumber-sumber sejarah tersebut tentunya yang sejaman dan
dalam bentuk tercetak, tertulis maupun lisan. Dalam penulisan ini
tehnik yang digunakan untuk mendapatkan sumber adalah dengan
Studi Dokumen dan Studi Pustaka.
Studi Dokumen dalam hal ini adalah suatu cara untuk
mendapatkan data primer atau data sejaman atau sumber utama dari
tangan pertama yang bisa digunakan untuk menceritakan peristiwa
tersebut. Hal ini karena dalam ilmu sejarah tidak akan ada fakta “no
fact no history”. Fakta dalam sejarah diartikan sebagai pernyataan atas
kenyataan.
Dokumen sendiri dibedakan menjadi dua yaitu dokumen dalam
arti sempit dan dokumen dalam arti luas.25 Dokumen dalam arti sempit
adalah kumpulan data verbal dalam bentuk tulisan seperti surat kabar,
catatan harian, laporan dan lain-lain. Dokumen dalam arti luas adalah
termasuk didalamnya foto-foto, artefact, film dan lain sebagainya.
Dokumen mempunyai arti yang sangat besar dalam metode
penelitian Historis. Dalam dokumen, terkandung banyak data primer
25 Sartono Kartodirjo, 1992, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta:
P.T. Gramedia, hlm. 98.
xli
yang akan bisa menjelaskan peristiwa yang telah terjadi, semakin
banyak data primer akan mendapatkan hasil sejumlah besar fakta. Hal
ini karena dokumen dapat digunakan untuk menjawab 5W+1H (apa,
siapa, kapan, dimana, mengapa dan bagaimana).26
Dokumen-dokumen yang diperlukan dalam penelitian ini
diantaranya adalah arsip-arsip berupa surat resmi maupun tidak resmi,
selebaran, foto, film, dan lain-lain. Arsip Adachi, Osahi, Yoshikawa,
dan tsuda “Replies Of Questionaire Concerning Sendenbu” dalam
arsip Kementerian pertahanan Belanda dengan No. GG-21-1947.
Surat resmi yang dikelurkan oleh pemerintahan Jepang berkaitan
dengan kondisi dan situasi sekitar keadaan politik pada masa itu yang
diperoleh di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di antaranya:
Undang-undang No. 1 Dari Pembesar Balatentara Dai Nippon (7
Maret 1942), Undang-undang No. 2 Tentang Keamanan Masyarakat
(Maret 1942), Undang-undang No. 6 tentang memakai waktu Nippon
dan mengubah batasan berjalan diwaktu malam (27 Maret 1942),
Undang-undang No. 8 tentang mengibarkan bendera “Kokki” (11
April 1942),Undang-undang No. 27 tentang perubahan tata
pemerintahan daerah (5 Agustus 1942), Undang-undang No. 21
tentang pembatasan gelombang pesawat radio (16 juni 1942), Undang-
26 Sartono Kartodirjo, 1998, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia,
Suatu Alternatif, Jakarta: P.T. Gramedia, hlm. 97.
xlii
undang No. 16 tentang pengawasan baan-badan pengumuman
penerangan dan pemilikan pengumuman dan penerangan (25 Mei
1942), Eiga Ho (Undang-undang Film Juli 1938, Eiga Ho petunjuk
tambahan oktober 1939.
Sumber lain tak kalah pentingnya adalah surat Pembentukan
Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayaan) pada bulan April 1943,
pembentukan Nihon Eigasha\Nichi’e (Perusahaan film Jepang) pada
bulan April 1943 sebagai produksi film, Eiga haikyusha\Eihai
(Perusahaan Pendistribusian Film) pada bulan April 1943 sebagai
distribusi film, surat Perjanjian antara Nippon Eiga Sha Production,
cabang Jakarta dan Berita Film Indonesia Jakarta (6 Oktober 1945). Di
Pusat Perfilman Sinematek Usmar Ismail ada juga koleksi film-film
bertemakan propaganda-propaganda Jepang seperti film berjudul
Hawai-Marei Oki Kaisen (perang Laut dari Hawaii sampai Malaya),
kris Pusaka, Gelombang dll. Juga dipakai sumber berupa surat kabar
dan majalah yang memuat berita atau artikel mengenai propaganda
Jepang serta hal-hal yang berkaitan dengan film yang bertemakan
propaganda jepang. Mayoritas surat kabar yang diambil sebagai
sumber adalah surat kabar nasional, dan hanya sedikit yang bersekala
daerah, diantaranya Almanak Asia-Raya 2603: Tahoen I, Asia Raya,
Djawa Baroe, Jawa Nenkan, Jawa Shinbun, Kan Po, Nihon Gakugei
xliii
Shinbun , Pandji Poestaka, Sande Mainichi , Serebes Shinbun ,Shin
Jawa, Star News, Tjahaya, Tokyo Asahi Shinbun, Unabara, dan
Wawasan Kepulauan yang kesemuanya itu berada dan diperoleh di
perpustakaan nasional, monumen pers nasional, perpustakaan
mangkunegaran, Arsip Nasional dan Japan Foudation.
Studi pustaka adalah metode pengumpulan data dengan
mempelajari literatur serta buku yang relevan dengan pokok
permasalahan. Data yang didapatkan dari studi ini adalah berupa data
sekunder. Studi pustaka ini dimaksudkan untuk memperkuat dan
menambah data untuk mendukung kelengkapan penulisan.
Studi pustaka dilakukan diberbagai perpustakaan yang ada di
Surakarta, Jakarta. Selain itu juga di perpustakaan lain yang
menyimpan koleksi-koleksi buku berkaitan dengan pokok
permasalahan dalam penelitian ini seperti perpustakaan Sinematek.
Selain studi dokumen dan pustaka juga dipakai wawancara.
Teknik pengumpulan data ini dilakukan untuk mendapatkan informasi
dan pendukung data yang ada. Agar lebih kredibel dan valid maka
wawancara dilakukan terhadap para pelaku sebagai cara untuk
menginformasikan fakta yang telah ditemukan sebelumnya dan
tentunya mengklarifikasi serta mencari informasi baru yang
sebelumnya tampak bias pada penulisan sejarah.
xliv
Tahap kedua adalah Kritik terhadap bahan atau sumber yang
telah ditemukan. Hal ini untuk mendapatkan keabsahan
(trustworthies) sumber. Dalam kritik ini terdapat dua jenis kritik yaitu
pertama kritik ekstern untuk memastikan otensitas dan orisinalitas
sumber, dan kedua kritik intern untuk memastikan kapabilitas dan
validitas isi sumber.
Tahap ketiga adalah intepretasi yaitu penafsiran terhadap
sumber yang telah terseleksi, dimana tahap ini adalah pernyataan atas
kenyataan berdasarkan sumber yang ditemukan. Intepretasi dalam hal
ini adalah analisis terhadap sumber untuk menggambarkan fenomena
yang diteliti.
Pada tahap ini data-data dikerjakan dan diolah sedemikian rupa
sampai berhasil menemukan kebenaran yang dipakai untuk menjawab
permasalahan yang diajukan.
Tahap Keempat adalah historiografi, yaitu penyusunan
sumber-sumber data yang telah di seleksi ke otentikannya
tersebut menjadi suatu kisah atau penyajian yang saling
berhubungan dengan tetap mengutamakan aspek kronologis.
G. Sistematika Penulisan
xlv
Dalam penulisannya, seperti layaknya suatu karya ilimiah,
maka penelitian ini mengandung maksud, agar memudahkan pembaca
dalam memahami permasalahan yang disjikan. Untuk memenuhi hal
tersebut maka skripsi ini dibagi menjadi lima bab.
Bab I: Pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode. Bab ini
merupakan suatu gambaran penelitian secara umum.
Bab II: Kedatangan Tentara Pendudukan Jepang. Bab ini
memberikan gambaran mengenai bergantinya penguasa pemerintahan
di Indonesia yaitu kedatangan tentara Jepang.
Bab III: Media-Media Propaganda Jepang. Bab ini
menggambarkan tentang media-media yang dipakai oleh Jepang pada
awal pendudukan Jepang dan menjadikannya sebagai media
propaganda politik.
Bab IV: Media Propaganda Jepang Melalui Film. Bab ini
memberikan gambaran pengaruh dan respon masyarakat terhadap
media film yang dipakai Jepang sebagai alat propaganda.
Bab V: Kesimpulan. Bab ini merupakan rangkuman atau hasil
akhir. Bab ini berisi jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam
penelitian.
xlvi
BAB II
KEDATANGAN TENTARA PENDUDUKAN JEPANG
A. Emigran Jepang ke Hindia Belanda
Kedatangan orang-orang Jepang ke Hindia Belanda sebenarnya sudah
berlangsung sebelum depresi ekonomi tahun 1929. Pada abad ke-17 di Batavia
sudah terdapat 30 orang Jepang yang terlibat dalam perniagaan bahari.27
Kelompok ini semakin menjadi khusus dengan adanya kebijakan politik pintu
tertutup28 Jepang dari hubungan luar negerinya yang dilakukan oleh Shogun
Tokugawa pada tahun 1632 yang berakibat bahwa komunitas Jepang tersebut
tidak lagi mempunyai kaitan dengan tanah airnya. Selain itu, tidak banyak yang
diketahui tentang komunitas Jepang di Batavia dan Jawa pada abad ke-18 sampai
paruh kedua abad ke-19.
Emigran29 Jepang ke Hindia Belanda sendiri mulai kembali marak pada
awal Restorasi Meiji sampai akhir tahun 1930-an. Perubahan yang dialami Jepang
setelah Restorasi Meiji yang didasarkan oleh kebijakan nasional yang kuat dengan
27Mona Lohanda, “Penetrasi Jepang di Perairan Hindia Belanda” prasarana yang
disampaikan dalam seminar sehari Membangun Kembali Peradaban Bahari di Jurusan Sejarah FSUI, Depok, 24 April 1997.
28Politik Pintu Tertutup (Sakoku) Jepang ini sudah berlangsung pada masa pemerintahan
Shogun Tokugawa mulai tahun 1603 sampai tahun 1862. Politik Pintu Tertutup ini pada awalnya dilaksanakan hanyalah berisi peraturan yang melarang orang asing dating ke Jepang, akan tetapi, pada tahun 1632, aturannya menjadi lebih ketat, melarang juga orang-orang Jepang berada di luar negeri untuk kembali ke Jepang.
29Emigran adalah orang yang meninggalkan tanah tumpah darahnya dan pergi ke negeri
lain untuk tinggal menetap disana. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud (Jakarta, Balai Pustaka, 1990), hlm 227.
xlvii
bertumpu pada slogan Fukoku Kyohei (Negara Kaya,militer kuat)30 yang untuk
mewujudkan cita-cita itu diperlukan adanya tatanan politik, sosial, ekonomi, dan
industri yang mendukung kebijakan tersebut. Jepang menginginkan agar mereka
sejajar dan dapat diterima sebagai Negara modern, berdiri sama tinggi dan duduk
sama rendah dengan bangsa Barat yang sudah maju.
Salah satu dampak dari Restorasi Meiji ini adalah terjadinya kemiskinan
keluarga petani Jepang. Hal ini disebabkan industrialisasi merupakan kebijakan
utama Jepang pada masa itu. Untuk mempertahankan hidup mereka, banyak di
antara anak laki-laki Jepang dari keluarga petani tersebut mencari daerah baru
guna memperbaiki kehidupan perekonomian keluarganya. Dalam tradisi budaya
Jepang, anak laki-laki mempunyai tanggung jawab terhadap keluarganya.
Tanggung jawab ini sudah dipikul anak laki-laki Jepang sejak usia sangat muda
yang bukan merupakan pewaris keluarga.31 Maka tidaklah mengherankan bila
pada masa awal pemerintahan Meiji banyak emigran Jepang berasal dari keluarga
miskin di daerah Selatan Jepang. Hal ini diungkapkan oleh pemilik toko Jepang di
Jawa:
Saya lahir sebagai anak kelima dari keluarga petani miskin di desa pegunungan Kyushu yang terpencil, dan tidak hentinya mendengar orang tua saya mengatakan “Alangkah sulitnya mencari nafkah”, mengalami kemiskinan dan ketidakberda-yaan hidup di pedesaan yang tidak pernah maju dari priode Meiji hingga Taisho. Akibatnya, saya memutuskan untuk berangkat ke negeri seberang dan mulai suatu hidup baru……32
30Ken Ichi Goto, Sejarah Hubungan Antara Jepang dan Indonesia pada zaman Pra-
perang, Japan Review, Maret 1987, hlm 20. 31Ruth Benedict,1967, Pedang Samurai dan Bunga Seruni: Pola-pola Kebudayaan
Jepang, Jakarta: Sinar Harapan, hlm 59. 32Ken Ichi Goto, “Kehidupan dan Kematian Abdul Rachman”: (1906-1949) Satu Aspek
dari Hubungan Jepang-Indonesia” dalam Pemberontakan Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Penyunting Akira Nagazumi, ( Jakarta: Obor Indonesia, 1988), hlm118.
xlviii
Selain sulitnya perekonomian Jepang, motivasi emigran Jepang ke Hindia
Belanda juga didasari oleh berita keberhasilan orang-orang Jepang yang berniaga
di Jawa yang dimuat dalam majalah Shin Sheinen (Pemuda Baru) dan lagu-lagu
seperti “Bandit Berkuda” dan “Perantau” yang sangat menarik perhatian dan
simpati terutama pemuda Jepang yang belum dapat menikmati hasil modernisasi
di Jepang.33
Emigran Jepang di Hindia Belanda pada awalnya adalah Kimin, yaitu
orang-orang yang ditelantarkan oleh Negara yang diselundupkan ke luart Jepang
tanpa paspor untuk mencari pekerjaan di luar negerinya dan sering ditipu atau
diculik, yang akhirnya membawa mereka ke Asia Tenggara.34
Emigran Jepang ke Hindia Belanda meningkat pada awal abad ke-20.
gelombang kedatangan orang-orang Jepang terbagi dalam dua fase yaitu:
1. Awalnya tahun pemerintahan Meiji (tahun 1880-an) sampai akhir tahun
1910-an porstitusi merupakan mayoritas kegiatan orang Jepang terutama
di Jawa.35
2. Awal tahun 1910-an sampai akhir tahun 1930-an. Pemilik toko bebas dan
pegawai merupakan mayoritas kegiatan orang Jepang pertama di Jawa.36
Jumlah emigran yang meningkat terutama sesudah tahun 1920 lalu
menimbulkan perdebatan di kalangan pejabat Hindia Belanda jika melihat pada
33Goto, “Sejarah Hubungan Jepang dengan Indonesia”, op.cit., hlm 21.
34Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi, Orang Jepang di Kota Koloni Asia Tenggara,
(Jakarta: Obor Indonesia, 1998), hlm 4.
35Hal ini dapat dilihat dari catatan pekerjaan para emigrant Jepang tersebut pada tahun 1910-an yang berjumlah 463 orang, 48% diantaranya atau 219 adalah karayukisan (wanita yang pergi ke Cina tetapi kemudian berkonotasi dengan pekerjaan sebagai prostitusi). Lihat Mona Lohanda, op.cit., hlm 2.
36Saya Shiraishi, op.cit., hlm 12.
xlix
catatan kependudukan bulan November 1920, jumlah emigran Jepang di Hindia
Belanda seluruhnya berjumlah 4.148 orang, termasuk di Jawa 1.734 orang belum
dianggap sebagai unsur yang berbahaya.37 Akhir Juni 1922 jumlah ini meningkat
menjadi 4.496 orang tetapi pada bulan yang sama tahun 1923 jumlahnya menurun
menjadi 4.233. Pada bulan Juni 1926 pemukiman Jepang di seluruh Hindia
Belanda baru berjumlah 4.351.38
Jumlah emigran Jepang ke Hindia Belanda setelah Perang Dunia I juga
menarik perhatian Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Dapat diperoleh
gambaran menarik mengenai kepentingan Jepang di Jawa Timur dan Jawa Tengah
pada tahun 1924 dari laporan konsul Amerika di Surabaya, Rollin R. Winslow,
yang dikirim ke Washington D. C. Menurut laporan ini, populasi Jepang sebanyak
627 orang di Surabaya, 135 orang di Keresidenan Pasuruan, dan 23 orang di
Malang. Ini merupakan perkembangan terakhir karena sudah terdapat arus masuk
orang Jepang ke Hindia selama tahun perang. Mereka membuka toko-toko kecil
dan tinggal di sana, dan pada tahun 1920-an tampak peningkatan perhatian pada
karet dan perkebunan tebu.39
Menurut perkiraan sampai tahun 1939 jumlah emigran Jepang di Hindia
Belanda berjumlah kira-kira 6.600 orang, sementara 4.000 orang Jepang
bermukim di Jawa.40 Dari yang bermukim di Jawa ini, konsentrasi terbesar ada di
37Mona Lohanda,op.cit., hlm 3.
38 Ibid.
39Saya Shiraishi,op.cit., hlm 12. 40‘Verslag van den Adjunct-Refrendaris ter beschikking vanm den Adviseur, Hoofd van
den Dienst der Oost-Aziatische Zaken, H. Hagenaar, Omtrent een diienstreis naar de Provinciale Oost-Java, van 29 Oktober-11 november 1939”, dalam Binnenlands Bestuur no. 141 Arsip Nasional.
l
Surabaya yaitu berjumlah 1.371 orang. Namun jika melihat pada ketimpangan
dibidang perdagangan ekspor impor kekuatan ekonomi Jepang di Hindia Belanda
mulai memiliki dominasi di dalam perekonomian Hindia Belanda.
Dibukanya konsulat Jepang di Batavia dan di Surabaya tahun 191941
merupakan institusi perwakilan resmi pemerintah Jepang di Hindia Belanda
terutama di Jawa. Tugas pertamanya adalah pendataan terhadap orang-orang
Jepang yang berada di daerah konsulatnya.
Perhimpunan orang Jepang (Nihonjinkai) didirikan di Batavia tahun 1913
dan Surabaya tahun 1921. Tujuan perhimpunan ini adalah untuk menggalang
“saling persahabatan dan informasi” diantara penduduk Jepang. Pimpinannya
biasanya adalah orang-orang terkemuka Jepang diwilayahnya dan biasanya
pendatang perintis.
Dengan didirikannya perhimpunan orang Jepang paling tidak orang-orang
Jepang yang dating ke Hindia Belanda terutama di Jawa mulai ada ikatan dengan
Negara induk mereka. Hal ini dapat dipahami bahwa kehadiran mereka di sini
seperti dijelaskan sebelumnya adalah orang-orang yang tidak terkordinasi oleh
Negara dan pada umumnya mencari nafkah untuk memperbaiki perekonomian
mereka. Perhatian yang diberikan oleh pemerintah Jepang terhadap
masyarakatnya di luar negeri dirasakan sangat membantu kegiatan orang Jepang
di Jawa. Sebagai contoh ketika konsulat dan Nihonjinkai belum terbentuk banyak
di antara pedagang Jepang melindungi kegiatan dagang mereka sendiri padahal
41Saya Shiraishi, op.cit., hlm 23.
li
ketika itu (pada awal abad ke-20 trutama sebelum tahun 1912) status social
Jepang sudah disamakan dengan orang Jepang.42
B. Masa Akhir Pemerintahan Hindia Belanda
Sejak 12 September 1931 Jhr. B. C. de Jonge, pengganti Jhr. Mr. A. C. D.
de Graeff, telah menduduki jabatannya sebagai Gubernur Jenderal yang baru di
Hindia Belanda. Ia dihadapkan pada situasi ekonomi dunia yang buruk. Untuk itu
ia berusaha untuk tidak akan mempermudah segala tindakan para agitator politik
Indonesia43 dimana dalam keadaan seperti itu yang lebih dipentingkannya adalah
memelihara ketenangan dan ketertiban.44
Pada bulan September 1932, de Jonge menerapkan peraturan dalam bidang
pendidikan yang dikenal dengan nama Organisasi Sekolah Liar (Wild Schoolen
Ordonantie). Ordonansi ini pada pokoknya berisi tentang peraturan yng
menetapkan bahwa semua guru sekolah swasta harus mempunyai izin khusus dari
pemerintah setempat sebelum mereka diperbolehkan mengajar.
Peraturan ini secara sekilas nampaknya memang sederhana. Tetapi yang
memberatkan para guru sekolah swasta adalah untuk mendapatkan surat izin itu
mereka terlebih dahulu harus mempunyai sertifikat dari sekolah negeri atau dari
sekolah yang bersubsidi. Kecuali itu surat izin akan diberikan apabila dalam
pandangan pemerintah setempat guru yang bersangkutan tidak membayangkan
ketenangan dan ketertiban. Keadaan ini merupakan pukulan berat bagi sekolah-
42Peter Post,1994, “characteristics Of Japanese Enterpreneurship in the Pre-war Indonesia
Economy” dalam Historical Foundation of a National Economy in Indonesia, 1890’s-1990, J. Th. Lindblad (ed.), Amsterdam, hlm 299.
43John Ingleson, 1983, Jalan Ke Pengasingan, Jakarta: LPES, hlm 176. 44Ibid, hlm 197.
lii
sekolah pribumi yang kebanyakan guru-gurunya lulusan sekolah tak bersubsidi,
yang berarti tidak berhak mendapatkan sertifikat. Lebih menyulitkan lagi ijazah
sekolah-sekolah swasta itu tidak diakui oleh pemerintah, sehingga para lulusan
kemungkinan kehilangan untuk bekerja pada pemerintah.
Ki Hajar Dewantara, seorang pendiri sekolah swasta Taman Siswa,
menentang dengan keras atas diberlakukannya ordonasi itu. Melalui sepucuk
suratnya yang ditujukan kepada de Jonge, ia menyatakan kekecewaannya atas
keputusan pemerintah itu dan ia akan menentang dengan cara mengorganisir
“perlawanan Pasif” terhadap ordonasi itu. Sikapnya ini memperoleh dukungan
luas baik dari partai-partai politik maupun yang bukan, termasuk Indonesia Muda.
Di dalam Volksraad, pemerintah mendapatkan protes keras dari Fraksi
Nasional. M. H. Thamrin, yang menjadi ketuanya, menuntut agar pemerintah
mencabut peraturan tersebut. Ia bersama dengan anggotanya yang lain
mengancam akan mengundurkan diri dari dewan apabila tuntutannya tidak
dikabulkan.45 Luasnya dukungan yang diberikan kepada Ki Hajar Dewantara,
menimbulkan kekawatiran di kalangan pemerintah, sehingga pada bulan Februari
1933 ordonansi itu secara resmi dicabut.46
Pencabutan ordonansi ini merupakan kemenangan bagi kaum nasional
yang harus dibayar cukup mahal. Bagi Indonesia Muda, dukungannya terhadap
penentangan Ordonansi berakibat serius. Pada bulan Agustus 1933, pemerintah
melarang para pelajar yang bersekolah disekolah negeri untuk menjadi anggota
Indonesia Muda . Berbagai tekanan dilakukan pemerintah terhadap orang tua
45Nugroho Notosusanto, dkk., 1984, Sejarah Nasional Indonesia Jilid V, Jakarta:Balai
Pustaka, hlm 222-225. 46John Ingleson, op.cit, hlm 226-230.
liii
murid agar mengeluarkan anak-anaknya dari anggota Indonesia Muda, karena
organisasi ini dianggap telah menyimpang dari tujuan semula.47 Tindakan
pemerintah tidak hanya itu. Pada bulan Mei 1936, majalah Indonesia Muda
dilarang terbit. Begitu pula dengan Kongres Indonesia Muda yang akan
berlangsung pada bulan Juli tahun itu dilarang.48 Tindakan pemerintah yang
menekan ini memaksa IM dalam konghresnya yang ke-6 pada akhir tahun itu di
Surabaya, memutuskan untuk memperlunak sikapnya dimasa mendatang.
Tindakan pemerintah terhadap partai yang berhaluan non-kooperatif lebih
keras lagi. Pada tanggal 1 Agustus 1933, sehari sebelum diadakannya rencana
rapat-rapat Partindo (Partai Indonesia)49 di Jakarta dan Bandung, Soekarno
sebagai pemimpin partai ini ditangkap. H. Colijn, yang menjabat Perdana Menteri
Belanda merangkap Menteri Urusan Jajahan, menjelaskan kepada Parlemen
Belanda bahwa penangkapan itu disebabkan Soekarno telah menyebarkan
gagasan-gagasan revolusioner sehingga membuat sebagian besar orang terdidik
memusatkan perhatiannya pada kegiatan politik. Oleh sebab itu tindakan ini perlu
diambil untuk melindungi ketertiban umum.50
Nasib yang serupa juga dialami oleh Mohammad Hatta dan St. Syahrir
pemimpin PNI-Baru. Keyakinannya bahwa dengan kegiatannya yang lebih tertuju
pada pembentukan kader daripada agitasi politik dapat menghindarkan
4745 Tahun sumpah Pemuda,1974, Jakarta, Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta,
hlm 96. 48 A. K. Pringgodigdo, 1984, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia,Jakarta: Dian Rakyat. 49Partindo berdiri tanggal 1 Mei 1931. Partai ini dan juga PNI-Baru (Pendidikan Nasional
Baru) merupakan pecahan dari PNI (Partai Nasional Indonesia) yang dibentuk tahun 1927 dan dibubarkan bulan April 1931. Ibid, hlm 111-116.
50John Ingleson, op.cit,hlm 240.
liv
campurtangan pemerintah ternyata keliru. Pada tanggal 26 Februari 1934 mereka
ditangkap. De Jonge menganggap kegiatan PNI-Baru lebih berbahaya dari pada
Partindo. Alasan inilah yang menyebabkan mereka mendapat hukuman yang lebih
berat dari Soekarno. Hatta dan Syahrir dibuang ke Boven Digul, Irian Jaya,
sedangkan Soekarno dibuang ke Flores.51
Tindakan menekan yang diambil pemerintah, serta penangkapannya
terhadap para pemimpin nasionalis melumpuhkan gerakan non-kooperatif di
Indonesia. Pada tanggal 18 November 1936, Partindo terpaksa membubarkan diri.
Tidak lama lagi kemudian, pada bulan Mei 1937 sebagian besar anggota ini
mendirikan Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) tetapi telah meninggalkan azas
non-kooperatif. Sedangkan PNI-Baru meskipun tidak pernah dibubarkan, secara
praktis tidak ada lagi setelah kedua pemimpinnya ditangkap.52
Pada tahun 1935, PBI (Persatuan Bangsa Indonesia)53 bersama Budi
Utomo membentuk Parindra (Partai Indonesia Raya) di bawah pimpinan Sutomo.
Parindra merupakan gabungan dari beberapa partai seperti : Budi Utomo, PBI,
dan Sarekat Sumatera. Sama dengan partai-partai lain, Parindra menganut azas
kooperatif.
Tidak ada pilihan lagi bagi kaum nasionalis dalam mengemukakan
keinginannya selain dengan cara mengadakan kerja-sama dengan pemerintah.
Sarana yang paling tepat untuk maksud ini adalah Volksraad (Dewan Rakyat)
yang telah dibentuk tahun 1918. Mereka bersama-sama dengan kaum nasionalis
51Bernhard Dahm, 1987, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta: LP3S, hlm 211-212.
52John Ingleson, op.cit, hlm 252. 53PBI merupakan kelanjutan dari Kelompok Studi Indonesia yang berganti nama bulan
November 1930, bid, hlm 139-140.
lv
lainnya dari berbagai wilayah di Indonesia memasuki Dewan ini, sehingga secara
tidak langsung Volksraad menjadi tempat pertemuan dan sekaligus menyatukan
mereka. Meskipun Dewan ini hanya berfungsi sebagai penasehat Gubernur
Jenderal Hindia Belanda, terutama mengenai anggaran belanja, tetapi ia
mempunyai hak petisi yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal atau Ratu
Belanda. Hak ini telah mereka gunakan dengan sebaik-baiknya untuk
menyampaikan kritik-kritik yang tajam terhadap kebijaksanaan pemerintah tanpa
takut mendapat hukuman.54
Pada tahun 1936 Sutardjo, wakil pegawai pemerintah di Volksraad,
mengajukan sebuah petisi yang berisi mengenai perlunya dibentuk suatu dewan
kerajaan yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil bangsa Indonesia dan Belanda.
Di dewan ini nantinya mereka akan membicarakan hubungan antara kedua Negara
berdasarkan konstitusi yang berlaku, serta akan mempertimbangkan kemungkinan
peningkatan kedudukan Indonesia menjadi rekan yang sejajar dengan Belanda.
Meskipun petisi ini tidak melanggar undang-undang dan telah setujui oleh
mayoritas anggota dewan, pada bulan November 1938 pemerintah menolaknya55
dengan alasan bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab
dalam memerintah diri sendiri.56
Penolakan terhadap petisi itu menunjukan kepada kaum nasionalis bahwa
pemerintah kurang memperhatikan kepentingan pihak Indonesia. Sebagai reaksi
terhadap sikap ini maka pada bulan Mei 1939, atas usaha Mohammad Husni
54Bernhard Dahm, Op.cit, hlm 105-108. 55Deliar Noer, 1982, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3S. 56Nugroho Notosusanto,Op.cit, hlm 234-235.
lvi
Thamrin membentuk Gapi (Gabungan Politik Indonesia). Dari penolakan petisi
tersebut Gapi mempunyai keinginan dari pemerintah yaitu:
1. Hak Indonesia untuk menentukan nasib sendiri. 2. persatuan nasional yang berdasarkan atas demokrasi politik, social dan
ekonomi. 3. Sebuah parlemen Indonesia yang dipilih secara demokrasi yang
bertanggung jawab kepada penduduk Indonesia. 4. persatuan diantara partai-partai politik Indonesia dengan negeri
Belanda untuk membentuk barisan anti fasisme yang kuat.57
Sementara itu kaum nasionalis di dalam dewan terus mendesak pemerintah
agar pemerintah mau melakukan perubahan-perubahan dalam bidang
ketatanegaraan. Akibat desakan ini maka, pada tanggal 14 November 1940,
pemerintah membentuk sebuah komisi yang akan bertugas menyelidiki dn
mempelajari perubahan-perubahan itu. Komisi ini diketuai oleh Dr. F. H.
Visman.58 Oleh Abikusno Tjokrosujoso, rancangan Gapi tadi dibahas bersama
didalam komisi ini pada tanggal 14 februari 1941. Namun, usaha ini tidak
membawa hasil karena tuntutan Gapi oleh pemerintah dianggap hanya sebagai
keinginan sebagian kecil orang Indonesia dan tidak didukung oleh mayoritas
pemimpin intelektual dan rakyat.59
Sikap pemerintah Belanda yang tidak memperdulikan keinginan bangsa
Indonesia membuat kaum nasionalis kecewa. Gerakan tentara Jepang yang
semakin mendekati kepulauan Indonesia disambut dengan harapan dapat
membawa perubahan-perubahan baru. Meskipun fasisme oleh sebagian kecil
golongan intelektual dianggap lebih berbahaya daripada Belanda, namun sikap ini
57George Mc. Turnan, 1980, Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia, Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Indonesia, hlm 221. 58Nugroho Notosusanto,Op.cit, hlm 239. 59Deliar Noer, Op.cit, hlm 234.
lvii
tidak dapat mempengaruhi sebagian terbesar penduduk Indonesia. Mereka percaya
bahwa keadaan akan menjadi lebih baik dibawah pemerintahan Jepang atau
setidak-tidaknya keadaan akan lebih buruk.60
C. Bergantinya Penguasa
Jepang berhasil mengakhiri pertempuran-pertempuran di
laut Jawa dengan kemenangan setelah berhasil mendaratkan
Tentara Ekspedisi ke-16 di tiga tempat sekaligus, yaitu di Teluk
Banten, Eretan Wetan, keduanya di Jawa Barat, dan di Kragan,
Jawa Tengah, pada tanggal 1 Maret 1942.61 Setelah pendaratan
tersebut, ibu kota Batavia (Jakarta) dinyatakan sebagai “kota
terbuka” yang berarti bahwa kota ini tidak akan dipertahankan
oleh puhak Hindia Belanda. Semua orang penting yang ada di
kota ini mengungsi ke Bandung dengan meninggalkan anak istri
mereka, sesuai permintaan gubernur Jenderal Hindia Belanda
untuk menghindari penuh sesaknya kota Bandung dan untuk
mempertahankannya dengan lebih gigih lagi.62
60George Mc. Turnan Kahin, Op.cit, hlm 124. 61Lapian, dkk, Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua Orang yang
Mengalaminya, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1988, hlm. 1-2.
62Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda, Jakarta: Gramedia, 1987, hlm 256.
lviii
Setelah Batavia jatuh ke tangan mereka, tentara ekspedisi
Jepang langsung bergerak ke Selatan dan berhasil menduduki
Buitenzorg (Bogor). Dalam rangka penyerbuan kota Bandung,
tentara ekspedisi yang mendarat di Eretan Wetan, sebelah barat
Cirebon, terus menerobos ke lapangan terbang Kalijati yang
hanya berjarak 40 kilometer dari Bandung. Setelah melalui
pertempuran yang singkat tetapi hebat, tentara ekspedisi Jepang
berhasil merebut lapangan terbang tersebut.63
Pada tanggal 5 Maret 1942, tentara ekspedisi Jepang
bergerak dari Kalijati menyerbu Bandung dari arah Utara. Mula-
mula digempurnya pertahanan Ciater sehingga tentara Hindia
Belanda mundur ke Lembang dan menjadikan kota tersebut
sebagai pertahanan terakhir. Tempat inipun tidak berhasil
diselamatkan dan dipertahankan sehingga tanggal 7 Maret 1942,
petang hari, dapat dikuasai oleh tentara ekspedisi Jepang. Namun
sehari sebelumnya, tanggal 6 Maret 1942, dikeluarkan perintah
dari Panglima Tentara Hindia Belanda (KNIL), Letnan Jenderal
Ter Poorten, kepada Panglima di Jawa Barat, Mayor Jenderal J.
J. Pesman, untuk tidak mengadakan pertempuran di Bandung.
63Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoenoed Poesponegoro (ed),1984, Sejarah
Nasional Indonesia Jilid VI, Jakarta: Balai Pustaka, hlm 3.
lix
Gubernur jenderal Tjarda Van Starkenborgh pun sependapat
dengan Letnan Jenderal Ter Poorten bahwa saat itu Bandung
telah penuh sesak dengan penduduk sipil, wanita, dan anak-anak,
sehingga perlu dicegah terjadinya pertempuran di kota ini.64
Dengan demikian, kekuasaan “350 tahun” yang telah
membelenggu bangsa Indonesia tinggal menunggu saat ajalnya
saja.
Sementara itu, pada tanggal 7 Maret 1942, tentara Jepang
yang menduduki Batavia telah mengeluarkan Undang-undang
No.1, yang menjadi pokok peraturan-peraturan tata negara pada
masa Pendudukan Jepang. Undang-undang ini berisi peraturan
antara lain:
Pasal 1. Balatentara Nippon melangsungkan
pemerintahan militer sementara waktu di daerah-daerah
yang telah ditempati agar supaya mendatangkan keamanan
yang sentosa dengan segera.
Pasal 2. Pembesar Balatentara memegang kekuasaan
pemerintahan militer tertinggi dan juga segala kekuasaan
yang dahulu berada di tangan gubernur Jenderal Hindia
Belanda.
Pasal 3. Semua badan-badan pemerintah dan
kekuasaan hukum dan undang-undang pemerintahan
64Ibid, hlm 4.
lx
dahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal saja
tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer.
Pasal 4. Bahwa Balatentara Jepang akan
menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai-pegawai
yang setia pada Jepang.65
Dengan dikeluarkannya Undang-undang No.1 tersebut.
Maka secara formal dimulailah Pemerintahan Militer Jepang
diPulau Jawa, sementara itu penyerahan dari pihak Pemerintah
Hindia Belanda belum dilakukan.
Kembali pada situasi kota Bandung, pada petang hari
tanggal 7 Maret 1942, tak lama sesudah posisi tentara KNIL di
Lembang berhasil diduduki, pasukan Belanda di sekitar Bandung
mengajukan penyerahan lokal. Akan tetapi, Letnan Jenderal
Immamura Hitoshi menuntut penyerahan total semua pasukan
Serikat di seluruh Jawa (dan bagian Indonesia lainnya). Jika
tidak mengindahkan ultimatum Jepang, maka kota Bandung
akan di bom dari udara, Letnan Jenderal Immamura Hitoshi pun
menuntut agar Gubernur Jenderal Hindia Belanda ikut dalam
65 Dai Nippon Gunseibu, Oendang-oendang Dari Pembesar Balatentara Dai Nippon No.
1-20, Betawi, Juni 1942, Hal.1.
lxi
perundingan di Kalijati, yang diadakan selambat-lambatnya pada
hari berikutnya.66
Akhirnya, “lambang” penguasa yang telah menguasai bumi
Indonesia selama 350 tahun tanpa rasa puas, datang untuk
menyaksikan kapitulasi tanpa syarat Angkatan Perang Hindia
Belanda yang diwakili oleh Letnan Jenderal Imamura Hitoshi.
Dengan demikian kekuasaan kemaharajaan Jepang di Indonesia
resmi ditegakkan.
Setelah dikeluarkan Undang-undang No.1 tanggal 7 Maret
1942, walaupun belum ada kapitulasi dari pihak Hindia Belanda,
Jepang tampaknya sudah yakin dapat menguasai sepenuhnya
keadaan, maka pada tanggal 8 Maret 1942, di Batavia,
dikeluarkan lagi Undang-undang No.2 tentang keamanan
masyarakat.67 Sementara itu sambutan masyarakat terhadap
kedatangan tentara Jepang, yang penuh harapan tentang
pembebasan, tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi di seluruh
pelosok kepulauan Indonesia, bahkan di Sumatera Barat,
Sumatera Timur, Sulawesi Utara dan Maluku, dibentuk panitia
penyambutan lokal yang disponsori oleh orang-orang pro-
66Nugroho Notosusanto dan Mawarti Djoenoed Poesponegoro (ed), Nasional Indonesia Jilid VI, Op.Cit, hlm 5.
67Dai Nippon Gunseibu, Op.Cit, hlm 3.
lxii
Jepang. Dapat dipastikan bahwa sambutan yang sedemikian
hangatnya itu disebabkan sikap tentara Jepang pada waktu itu
yang simpatik dan ramah.68
Beberapa hari kemudian, pemerintah militer Jepang segera
membentuk Chian Lji Kai atau Badan Pemelihara Perdamaian,
yang langsung berada di bawah supervisi Jepang, yang ditangani
Angkatan Darat yang telah berpengalaman dalam pendudukan
Cina. Tugasnya adalah untuk memulihkan tatanan sipil dalam
mewujudkan orang-orang nasionalis, dengan motivasi politik
untuk membuat harapan bahwa badan ini akan menarik
dukungan yang lebih besar dari masyarakat.69 Namun badan ini
tidak berumur lama sebab segera dihapuskan, tetapi kemudian
dibentuk Komite Rakyat yang lebih terencana dan terorganisasi
oleh orang-orang nasionalis sebagai badan semi-politik yang
independen. Tugas utama komite ini adalah membantu pasukan
Jepang dalam mengambil alih kantor Belanda dan untuk
memperoleh dekungan bagi pemerintah militer yang baru.70
68George Sanford Kanahele, The Japanese Occupation Of Indonesia: Prelude to
Independence, Ph.D. Thesis, Cornell University, 1967, hlm 26. 69Ibid. 70Ibid,hlm 28.
lxiii
Komite Rakyat akhirnya dibubarkan dengan alasan bahwa
karena tugas komite yang terbatas sebagai semacam polisi
bantuan, sering disalah gunakan untuk mencoba memaksa para
Sultan untuk turun tahta, di samping Jepang memberikan
tuntutan bagi kemampuan komite untuk menjalankan
pemerintahan lokal.71 Dengan dibubarkannya komite ini, maka
dalam beberapa bulan saja pihak Jepang telah dua kali
melakukan kebijaksanaan membuat Chian Lji Kai dan Komite
Rakyat dimana orang-orang nasionalis ikut berperan di
dalamnya, akan tetapi di kemudian hari dibubarkan dan hal ini
juga telah dua kali menghancurkan harapan-harapan kaum
nasionalis.
Namun yang benar-benar dirasakan sebagai pukulan berat
yang menusuk perasaan kaum nasionalis terjadi hanya beberapa
hari setelah tentara Jepang berhasil mendarat di jawa, ketika
dikeluarkannya Undang-undang No. 3 dan No. 4, pada tanggal 20
Maret 1942.72 Dengan undang-undang tersebut, penguasa militer
Jepang di Jawa memutuskan untuk membubarkan partai-partai
politik dan melarang semua kegiatan politik, melarang
71Ibid, hlm 29. 72Dai Nippon Gunseibu,Op.Cit, hlm 7-8.
lxiv
penggunaan bendera Nasional (Merah Putih). Tampaknya
kegiatan-kegiatan yang pertama dilakukan pihak Jepang
hanyalah untuk membesarkan harapan dan dukungan kaum
nasionalis jika pasukan Belanda akan meneruskan pertempuran.
Dengan adanya undang-undang tersebut, maka mulailah terlihat
apa maksud kedatangan tentara pendudukan Jepang di Indonesia
yang sebetulnya tak lebih dari penguasa sebelumnya, karena
Indonesia dikenal sebagai '‘gudang kekayaan yang luas"”
Setelah merasa dapat menguasai keadaan sepenuhnya,
maka pada tanggal 27 Maret 1942 dikeluarkan lagi Undang-
undang No. 6.73 yang pada pasal satunya mengatur penyesuaian
penggunaan waktu Tokyo yang berselisih sekitar 90 Menit dengan
waktu Indonesia bagian Barat. Pasal kedua mengenai
diberlakukannya jam malam, dan pasal ketiga mengenai
dibatasinya penggunaan bahan bakar bensin. Dengan peraturan-
peraturan ini, semakin tampak bahwa penguasa yang baru ini
menancapkan “kuku-kukunya” dan bukan sebagai “saudara tua”
yang akan membebaskan “saudara mudanya”.
Memasuki bulan April, roda pemerintahan militer Jepang
sudah berjalan dengan normal, maka dengan situasi seperti ini
73Ibid, hlm 7-9.
lxv
pemerintah militer Jepang mulai memantapkan konsolidasi ke
dalam dengan jalan mengadakan pendaftaran bagi orang-orang
asing, kecuali bangsa Indonesia dan penduduk Jepang, yang
diatur dalam Undang-undang No. 7, tanggal 11 April 1942.74
Kemudian pada tanggal 19 Aparil 1942, dikeluarkan lagi Undang-
undang No. 8.75 yang menetapkan bahwa pada tanggal 29 April
1942 dijadikan sebagai hari besar “Tenchosetsu” atau hari
lahirnya Kaisar Jepang, yang patut dirayakan oleh seluruh
penduduk yang tinggal di Indonesia dengan mengibarkan
bendera “Kokki” atau bendera Matahari Terbit, selama tiga hari,
pada tanggal 28,29,30 April. Dengan keluarnya Undang-undang
No. 8 ini, maka pada hakekatnya pemerintah militer Jepang
sudah secara terang-terangan ingin menjelaskan bahwa pusat
kekuasaan dan orang yang paling berkuasa adalah Kaisar
Jepang, sehingga patut dihormati dan harus tunduk pada
perintahnya.
Selain itu, bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar,
tanggal 29 April 1942, sekolah-sekolah milik pemerintah dan
partikelir (swasta) yang memakai bahasa Melayu, Sunda, dan
74Ibid, hlm 9-10. 75Ibid, hlm 13-14.
lxvi
Jawa, serta Madura dibuka kembali setelah sebelumnya ditutup
mengingat situasi perang, sesuai dengan Undang-undang No. 12
tentang Pembukaan Sekolah yang dikeluarkan pada tanggal 22
April 1942 (lihat lampiran).76
Bersamaan dengan tanggal tersebut dikeluarkan pula
Undang-undang No. 13.77 yang pada pokoknya menginstruksikan
agar kantor-kantor pemerintah, seperti: kantor Kas Negara,
kantor Pajak Tanah, Rumah Gadai, kantor Perusahaan Monopoli
Pemerintah, agar segera dibuka kembali. Seminggu setelah itu
dikeluarkan Undang-undang No. 15 tentang penggunaan tarikh
“koki” (perhitungan tahun bangsa Jepang) dan sejak itu angka
tahun 1942 diganti menjadi tahun 2602. Pada pasal 2 Undang-
undang tersebut juga diterangkan mengenai sebutan bagi negara
matahari terbit, yang harus disebut Dai Nippon atau Nippon,
dilarang digunakan nama-nama yang berasal dari bahasa musuh,
seperti Depjepoeng dan Japan.78
Pemerintah militer Jepang kelihatannya semakin hari
menjadi semakin kuat setelah mengadakan beberapa konsolidasi
76Ibid, hlm 14-15. 77Ibid, hlm 15-17. 78Ibid, hlm 20.
lxvii
ke dalam berbagai sektor. Dan setelah itu keadaan mulai aman,
mereka menganggap sudah saatnya untuk mencabut segala
macam larangan yang telah dikeluarkan sebelumnya untuk
meyakinkan penduduk pribumi bahwa Jepang datang ke
Indonesia benar-benar hanya untuk membebaskan penduduk
pribumi dari belenggu penjajahan. Sebagai realisasinya adalah
keluarnya Undang-undang No. 18 pada tanggal 5 Juni 1942
tentang pencabutan jam malam,79 serta pada tanggal 15 Juli 1942,
dikeluarkan Undang-undang No. 23 tentang pencabutan semua
larangan berkumpul dan bersidang.80 Selain itu, pada tanggal 16
Juni 1942, dikeluarkan Undang-undang No. 21 tentang
pembatasan gelombang.81, agar orang-orang tidak mendapat
informasi mengenai situasi peperangan yang sebenarnya;
informasi tersebut hanya boleh didapat atau didengar dari
sumber-sumber pemerintah pendudukan Jepang.
Kemudian pemerintah militer Jepang mempermudah
koordinasi pemerintahan menetapkan pulau Jawa dibagi menjadi
tiga Guneibu (pemerintahan militer) dan dua Kochi (daerah
79Ibid, hlm 23. 80Panji Poestaka, No. 16, 25 Juli 1942, hlm 564. 81Panji Poestaka, No. 12, 27 Juni 1942, hal 429.
lxviii
Kesultanan), yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Ketiga
pemerintahan militer tersebut adalah: Jawa Barat dengan
pusatnya Semarang dan Jawa Timur dengan pusatnya Surabaya.
Kemudian Panglima Tentara ke Enambelas Letnan Jenderal
Imamura Hitoshi, mengangkat kepala staf, Mayor Jenderal
Okazaki Seizaburo, untuk membentuk pemerintahan militer di
Jawa dan diangkat sebagai Guenseikan (kepala Pemerintahan
Militer di pulau Jawa yang berkuasa penuh atas tiga wilayah
pemerintahan tersebut.82
Gunseikan, pada awalnya dibantu oleh staf pemerintahan
militer pusat dinamakan Gunseikanbu, yang terdiri dari 4 bu
(semacam departemen) yaitu: shomubu (Departemen urusan
Umum), Zaimubu (Departemen Keuangan), Sangyobu
(Departemen Perekonomian), dan Kotubu (Departemen Lalu-
lintas), yang kemudian ditambah bu yang kelima, yaitu Shihobu
(Departemen Kehakiman).83 Staf pemerintahan militer ini
kemudian dikembangkan lagi, sehingga pada tanggal 1 Desember
1942, susunannya menjadi, Shomubu, Zaimubu, Sangyobu,
82Panji Poestaka, No. 26, 3 Oktober 1942, hal 933. 83Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoenoed Poesponegoro (ed), Nasional Indonesia
Jilid VI, Op.Cit, hlm7.
lxix
Kotubu, Shihobu, Naimubu (Departemen Kepolisian), dan
Sendenbu (Departemen Propaganda).84
Selain departemen-depertemen tersebut diatas, dibentuk
pula beberapa jawatan seperti: Takishan Kanribu (Jawatan
Harta Benda Musuh), Rikuyu Shokyohu (Jawatan Urusan
Pengangkutan Darat), Stushin Shokyoku (Jawatan Urusan Pos),
Honsho Kanrekyoku (Jawatan Pengawas Urusan Radio), Kaikei
Kantokubu (jawatan pengawas urusan keuangan), Shaiko Hoin
(Mahkamah Agung), Shaiko Kenshastukyoku (jawatan kejaksaan
umum), Shaibai Kigyo Kanrikodan (Kantor pengawas perusaan
kebun), Hundoshan Kanrikodan (Kantor urusan perumahan),
dan Shiryoti Kanrikosha (jawatan urusan tanah partikelir).85
Untuk mengatur pemerintah di daerah, maka pada tanggal
5 Agustus 1942 dikeluarkan Undang-undang No.27 tentang
perubahan tata pemerintahan daerah86 dan pada tanggal 7
Agustus 1942, dikeluarkan Undang-undang No. 28 tentang aturan
pemerintahan Shu dan aturan pemerintahan Tokebetsu-Shi87
menunjukan berakhirnya pemerintahan sementara. Menurut
84Panji Poestaka, No. 11, 8 Maret 1943, hal. 337. 85Kan-po, No. 14, 10 Maret 1943. 86Panji Poestaka, No. 23,12 September 1942 hlm.828. 87Panji Poestaka, No. 19, 15 Agustus 1942, hlm.672.
lxx
Undang-undang No. 27 seluruh pulau Jawa dan Madura, kecuali
kedua kochi, Jogyakarta dan Surakarta, (residen) yang pada
prinsipnya sama dengan kekuasaan seperti Shi (walikota) sama
dengan Stadsgemente, Ken (kabupaten) sama dengan
Regentschap, Gun (kecamatan) sama dengan Onder District,
serta Ku (desa) sama dengan desa, pada masa pemerintahan
kolonial Hindia Belanda.
Sesuai dengan Undang-undang No. 28, pemerintahan
karesidenan (shu), untuk seluruh Jawa dan Madura, kecuali
kedua kochi, mempunyai 17 shu yang terdiri dari 17 shu yang
terdiri dari Banten Shu; Jakarta Shu; Kediri Shu; Kedu Shu;
Madura; Shu Malang Shu; Madiun Shu; Pati Shu; Pekalongan
Shu; Priangan Shu; Semarang Shu; dan Surabaya Shu;. Ke tujuh
belas Shu ini ditambah dengan Jogyakarta Kochi dan Surakarta
Kochi, serta Jakarta Tokubetsu-Shi.
Dengan demikian lengkaplah susunan pemerintahan
Pendudukan Militer Jepang di Jawa, yang datang mengaku
sebagai saudara tua yang akan membebaskan saudara muda nya,
namun pada kenyataannya adalah sama dengan penguasa
Belanda sebelumnya yang telah menguasai bumi Indonesia
selama 350 tahun. Dengan susunan pemerintahan tersebut
lxxi
penguasa seumur jagung menguasai Indonesia sampai jagung itu
berbuah sendiri dimana bangsa Indonesia akhirnya sampai pada
jembatan emas kemerdekaan.
E. Motif Pendudukan Jepang dan Mengambil Simpati
Pada masa awal pendudukan Jepang, tidak begitu sukar untuk mendapat
simpati rakyat Indonesia, karena propaganda Jepang sudah dimulai sebelum tahun
1942, yaitu dengan kedatangan propagandisnya seperti Ishika Shingo pada tahun
1938. Jepang datang ke Indonesia dengan usaha untuk menarik simpati orang
Indonesia. Seperti diundangnya para tokoh pergerakan, baik pergerakan nasional
maupun pergerakan Islam ke Jepang, untuk melihat-lihat keberhasilan yang telah
dicapai oleh Jepang.
Runtuhnya kekuasaan penjajahan Belanda dalam waktu singkat
menimbulkan kekaguman bangsa Indonesia terhadap keperkasaan Jepang.
Kejadian ini juga menimbulkan harapan mereka bahwa tidak lama lagi “Indonesia
Merdeka” akan menjadi suatu kenyataan. Pemerintah Jepang melalui siaran-siaran
radio dari Tokyo, menyatakan bahwa tujuan dari Perang Asia Timur Raya dan
pembentukan Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya ialah membina
suatu keluarga besar yang terdiri dari Negara-negara merdeka, yaitu Jepang dan
Negara-negara seluruh Asia termasuk jajahan Barat, dan Indonesia jelas telah
lxxii
dijanjikan diberi kemerdekaan setelah dibebaskan dari belenggu penjajahan
Belanda.88
Namun kenyataannya, maksud kedatangan Jepang ke Indonesia
dikarenakan Indonesia merupakan kawasan yang potensial untuk mensuplai
kebutuhan minyak Jepang, untuk keperluan perang.89 Tujuan Jepang menduduki
Jawa adalah memperoleh sumber-sumber ekonomi dan manusia.90 Untuk
mencapai tujuannya, Jepang mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung.
Kebijakan politik tersebut berdampak pada kebijakan secara ekonomi, karena
sasaran utama eksploitasi di Jawa adalah hasil pertanian serta tenaga kerja.
Dimana kebijakan tersebut adalah kebijakan yang memeras rakyat.91 Sehingga
rakyat Indonesia mengalami kesulitan hidup, seperti timbulnya kelangkaan beras
yang hamper merata di seluruh Jawa.
Dalam menjalankan kebijakan pemerintah, penguasa militer memegang
pada tiga prinsif utama, yaitu (1) mengusahakan agar mendapatkan dukungan
rakyat untuk memenangkan perang dan mempertahankan ketertiban umum, (2)
memanfaatkan sebanyak mungkin struktur pemerintahan telah ada, dan (3)
meletakan dasar agar wilayah yang bersangkutan dapat memenuhi kebutuhannya
sendiri untuk menjadikannya pusat persediaan makanan.92 Kebijakan poltik
88Dr. L. Jong (ed),1991, Pendudukan Jepang di Indonesia”Suatu Ungkapan Berdasarkan
Dokumentasi Pemerintahan Belanda, Jakarta: Kesaint Blanc, hlm vii. 89Ken’ichi Goto, 1998, Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, hlm 106. 90Aiko Kurosawa, 1993, Mobilisasi dan Kontrol, Studi Tentang Perubahan Sosial di
Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: Grasindo, hlm xvi-xvii. 91Ibid. 92Akira Nagazumi, 1988, Pemberontakan Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm 2.
lxxiii
Jepang ditujukan untuk memperoleh dukungan yang besar untuk membantu
kemenangan Jepang pada perang Pasifik. Untuk mewujudkan kebijakan tersebut
Jepang memerlukan sarana untuk melancarkan propaganda-propagandanya agar
tujuan Jepang tercapai di Indonesia .
Propaganda Jepang dilakukan seiring dengan penaklukan terhadap negeri-
negeri yang didudukinya. Keinginan yang besar dalam penaklukan ini bukannlah
suatu hal yang baru didalam sejarah Jepang. Anggapan sebagai “bangsa terpilih”
menguatkan kepercayaan bangsa ini akan tugas suci Jepang untuk menaklukan
dan menguasai negeri lain. Dengan bantuan para propagandisnya yang bersama-
sama datang dengan tentara Jepang, mereka terus giat dengan berbagai semboyan
yang muluk-muluk. Propaganda mereka di Indonesia antara lain berbunyi
“Nippon-Indonesia sama-sama” dan Asia untuk orang Asia”.
Dalam persiapan pelaksanaan Perang Asia Timur Raya,
Jepang sebagai negara totaliter menyadari sekali kegunaan
propaganda, sehingga sewaktu akan mendarat di bumi Indonesia,
mereka telah dilengkapi oleh satu barisan khusus, Barisan
Propaganda. Tugas Barisan Propaganda ini adalah mengajak
rakyat setempat untuk bersama-sama dengan pasukan Jepang
mengadakan perlawanan terhadap pasukan Sekutu.93
Bahkan sebelum mereka datang menduduki Indonesia,
Jepang telah mulai mengadakan propaganda, antara lain dengan
93R. De Bruin, Het Japanse Militaire Besyuur in Indie, Wajang Nippon, dalam Bericht
Van de Tweede Wereld Oorlog, Amsterdam, Uitgeverij Amsterdam Boek B. V., 1970, hlm 1324.
lxxiv
mengundang orang-orang Indonesia untuk datang ke Tokyo, baik
tokoh pergerakan, islam, wartawan maupun mengundang minat
kaum muda untuk menuntut ilmu di Jepang.94
Pada awal kedatangan Jepang ke Indonesia, propaganda terus dilakukan,
dan untuk melaksanakan skema propaganda ini ke dalam operasi, digunakan
berbagai media seperti surat kabar, pamphlet, buku, poster, siaran radio, pameran,
pidato, drama, seni pertunjukan tradisional, pertunjukan gambar kertas
(kamishibai), musik, dan film.95
Sebelum kedatangannya ke Indonesia, Radio Angkatan
Laut Jepang, selalu memperdengarkan lagu kebangsaan
Indonesia Raya yang dimainkan oleh Tokyo Philharmonic
Orchestra dalam setiap pembuka acara pada siaran bahasa
Indonesia yang mereka lakukan.96
Hal-hal tersebut di atas menimbulkan citra lain terhadap
bangsa Jepang, disamping sikap-sikap ramah dan bersahabat
orang Jepang yang mencari nafkah di Hindia Belanda pada masa
sebelum perang, sehingga sewaktu mereka akhirnya mendarat
rakyat menyambutnya dengan sangat meriah. Hal itu semua
adalah hasil karya propaganda yang pernah dilakukan.
94Kanahele, Op.cit. hlm 5-7. 95Akira Nagazumi, Op.cit, hlm 237. 96 Mr. Sudjono, Pulang Ke Tanah Air Tanpa Paspor, dalam Intisari, No. 82, Mei 1970,
hlm 60.
lxxv
Propaganda yang dalam arti seluas-luasnya adalah tehnik untuk
mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia itu.97
Sementara itu titik perhatian dari pelaksanaan propaganda
itu selalu berubah setiap tahunnya, tergantung pada situasi yang
dibutuhkan. Jika pada tahun 1943 yang menjadi titik perhatian
adalah pertahanan nasional, maka pada tahun 1944 yang menjadi
titik perhatian pelaksanaan propaganda adalah menanamkan
kepercayaan penduduk Jawa dan Madura terhadap apa yang
hendak dicapai dalam memenangkan perang dan terutama
kemudian mengenai janji Perdana menteri Koiso, serta
mengadakan promosi untuk meningkatkan produksi barang-
barang dan mengadakan penghematan di segala bidang.98
Tahun 1944 adalah masa krisis yang di alami penguasaha
Jepang di Jawa, karena selain tuntutan dari kalangan nasionalis
terhadap kemerdekaan semakin gencar, di medan pertempuran
posisi tentara Jepang semakin tersendat, sehingga kerja
propaganda pada tahun ini pun perlu dipergiat. Memasuki tahun
1945, karena situasi peperangan sudah semakin ‘menjepit’
Jepang dan kekalahan sudah dapat diduga, maka yang menjadi
97 Encyclopedia Of The Social Science, Vol XII, hlm 340. 98 Nishijima Collection, AD-2, Report on The Activities of Sendenbu.
lxxvi
titik perhatian adalah menanamkan semangat Jepang (Bushido)
untuk mempertahankan tanah Jawa dan Madura, sebagai
pelaksanaan propaganda, juga mengenai pencegahan terhadap
mata-mata musuh dengan semboyan: “awas mata-mata musuh”
sangat diperhatikan, pun mengenai usaha pencegahan terhadap
bahaya serangan udara.99
E. Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Pendudukan Jepang terhadap
Indonesia
Setelah Jepang menduduki Indonesia, langkah-langkah selanjutnya
membuat beberapa kebijakan yang bertujuan untuk memperkukuh keberadaannya
di Indonesia untuk menjaga stabilitas di samping memobilitas rakyat dalam
rangka perang Asia Timur Raya.
Sesuai dengan rencananya semula, pada bulan Maret 1942, setelah Jepang
berhasil merebut Hindia Belanda, kebijaksanaan pertama yang ditempuhnya
adalah menata kembali perekonomian Indonesia yang telah hancur akibat aksi
bumi hangus yang dilancarkan oleh pihak Belanda. Kebijaksanaan yang dibuat
adalah merehabilitasi prasarana ekonomi seperti jembatan, alat-alat transport,
telekomunikasi dan lain-lain. Harta bekas milik musuh yang disita dan menjadi
hak milik pemerintah Jepang antara lain bank-bank, pabrik-pabrik, pertambangan
listrik, dan lain-lain.100 Kehidupan ekonomi kemudian berubah menjadi ekonomi
perang untuk membiayai tentara Jepang. Khususnya mengenai perkebunan
99Ibid. 100 Nugroho Notosusanto (ed), Nasional Indonesia Jilid VI, Op.cit, hlm 41.
lxxvii
dikeluarkan Undang-Undang No. 22/1942 yang menyatakan bahwa Gunseikan
(kepala Pemerintah Militer) langsung mengawasi perkebunan-perkebunan kopi,
kina, karet, gula, dan teh.
Pada akhir bulan Maret 1942 dibentuk sebuah perhimpunan dengan
Gerakan Tiga A, sebuah nama dari penjabaran semboyan propaganda Jepang pada
waktu itu, (Jepang Cahaya, Pelindung, dan Pemimpin Asia) dibentuk.101
Perhimpunan ini merupakan kerja sama antara nasionalis Indonesia dengan pihak
Jepang dengan ketuanya Mr. Samsuddin. Gerakan ini dianggap gagal oleh
pemerintah pendudukan dalam usaha mengerahkan orang Indonesia,
Pada tanggal 9 Maret 1943, dibentuk organisasi baru yang disebut Poetra
(Poesat Tenaga Rakjat) yang di ketuai oleh empat serangkai yakni Soekarno, M.
Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan K.H. Mas Mansjur. Tujuannya adalah untuk
mencapai kemenangan dalam perang asia, kenaikan produksi, pertahanan Asia
dan penyebaran bahasa Jepang. Sedangkan Usaha Poetra sesuai dengan pasal 3
menyebutkan: (a). Mengambil bagian dalam usaha mempertahankan Asia Timur
Raya; (b). Melatih tahan menderita dalam segala kesukaran baik jasmani maupun
rohani, untuk menyempurnakan peperangan ; (c). Menganjurkan bahasa Nippon
dan meluaskan pemakaian bahasa Indonesia; dan (d). Menghapus pengaruh
Amerika, Inggris dan Belanda).102 Di samping orang-orang Indonesia, dalam
Poetra terdapat penasihat-penasihat Jepang, yakni S. Miyoshi, seorang bekas
konsul jepang di Jakarta. G. Toniguci pemimpin surat kabar Toindo Nippon; Iciro
101 Panji Poestaka, 1942, hlm. 117-118. 102 Noerhadi Soedarno, Poetra (Poesat Tenaga Rakyat), Jakarta, Tinta Mas, 1982, hlm.
18.
lxxviii
Yamasaki, seorang pemimpin badan perdagangan, dan S. Hiranuma, H. Shimizu
dan M. Akiyama dari Bank Yokohama.103
Selanjutnya pada tanggal 29 April 1943, berdiri dua organisasi pemuda
Seinendan dan Keibodan. Keduanya langsung di bawah pimpinan Gunseikan.
Kepada anggota-anggota Seinendan diberikan latihan-latihan militer baik untuk
mempertahankan diri maupun untuk penyerangan. Tugasnya adalah untuk
mempersiapkan pemuda secara mental maupun teknis untuk memberikan
sumbangan kepada usaha perang Jepang, baik dengan meningkatkan produksi
maupun dengan pengamanan garis belakang. Sedangkan Keibodan adalah
pembantu polisi dengan tugas-tugas kepolisian seperti penjagaan lalulintas,
pengamanan desa dan lain-lain.
Untuk mengisi kekurangan tenaga militernya dalam peperangan, pihak
Jepang pada bulan April 1943 membuat sebuah badan pembantu prajurit Jepang
atau Heiho yang personelnya direkrut dari para pemuda Indonesia yang telah
dilatih dalam teknik kemiliteran. Para prajurit pembantu ini ditempatkan baik
dalam Angkatan Darat maupun Angkatan Laut Jepang. Syarat-syarat
penerimaannya adalah harus berbadan sehat, berkelakuan baik, berumur 18-25
tahun dan pendidikan terendah sekolah dasar. Karena fungsinya sebagai prajurit
pembantu tentara Jepang, maka mereka dapat memegang senjata anti-pesawat,
tank, artileri medan, mengemudi dan lain-lain.
Pemerintah pendudukan Jepang pun membentuk bagian Pengajaran dan
agama dibawah pimpinan Kolonel Harie. Pada bulan Mei 1942, ia mengadakan
pertemuan khusus dengan sejumlah pemeluk agama Islam di seluruh Jawa timur
103 Nugroho Notosusanto ( ed), Nasional Indonesia Jilid VI, Op.Cit, hlm. 20.
lxxix
di Surabaya. Di antara hasil pertemuan itu adalah pemerintah pendudukan
mengijinkan tetap berdirinya satu organisasi Islam dari zaman Hindia Belanda
yakni Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), dan akan mengikutsertakan golongan
Islam di dalam pemerintahan. Cara yang ditempuh adalah dengan jalan
menyelenggarakan latihan Kyai. Mereka mendengarkan beberapa ceramah
tentang masalah –masalah agama namun yang utama mendapatkan indoktrinasi
propaganda Jepang.104 Latihan berlangsung selama satu bulan dibalai urusan
agama di Jakarta.
Pada bulan Agustus 1942 Pemerintah Militer jepang membentuk sebuah
departemen Propaganda (Sendenbu) dengan tujuan untuk mencari dukungan
rakyat Indonesia agar mereka ikut bekerja sama berperang melawan Sekutu.
Departemen ini terdiri dari Seksi Administrasi, Seksi Berita, Pers, dan seksi
Propaganda.
Kebijaksanaan berikutnya adalah membentuk sebuah organisasi resmi
pemerintah pada tanggal 8 Januari 1944 yang bernama Djawa Hokokai (kebaktian
Rakyat Djawa) yang bertujuan (1). Mempelopori pengerahan kekuatan perang,
baik yang berupa benda maupun yang berupa tenaga manusia; (2). Memimpin
rakyat untuk menyumbangkan segenap tenaga berdasarkan semangat
persaudaraan; dan (3). Memelihara semangat berdiri sendiri dan membela tanah
air.105 Berbeda dengan Poetra kepemimpinan dalam Djawa Hokokai di pegang
oleh orang-orang Jepang. Sedangkan Soekarno dan K.H. Hasjim Ashari dijadikan
104 M.C. Rickleff, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, UGM Press, 1991, hlm. 309. 105 Djawa Baroe, No. 3, 1 Februari 1945, hlm. 8-9.
lxxx
penasehat utamanya dan pengelolahannya diserahkan kepada M. Hatta dan K.H.
Mas Mansjur.
Dalam bidang media massa, pemerintah menerbitkan surat kabar Djawa
Shinbu yang berbahasa Jepang di bawah pimpinan Bunshiro Suzuki. Beberapa
surat kabar yang pernah terbit sebelumnya dilarang beredar. Langkah ini
dilakukan dengan alasan untuk menjaga stabilitas dan menghapus pengaruh Barat
yang terdapat pada surat kabar sebelumnya.
Kemudian kebijaksanaan pemerintah pendudukan yang dianggap penting
dan berpengaruh terhadap masyrakat untuk memasuki masa perang kemerdekaan
dan revolusi adalah dibentuknya organisasi Pembela Tanah Air (Peta). Organisasi
ini dibentuk berdasarkan atas sebuah peraturan Osamu Seirei No. 44, 3 Oktober
1943. Permohonan pembentukan Peta dilakukan oleh Gatot mangkoepradja.
Permohonan itu ditujukan kepada Gunseikan yakni supaya dibentuk sebuah
tentara yang segenap anggotanya terdiri atas orang Indonesia. Ketentuan yang
tertulis dalam Osamu Seirei No. 44 adalah: (1). Tentara Peta beranggotakan orang
Indonesia (penduduk asli) dari atas sampai bawah; (2). Di dalam Tentara Peta
akan ditempatkan militer Jepang untuk tujuan latihan; (3). Tentara Peta
ditempatkan langsung di bawah panglima tentara, lepas dari badan apapun; (4).
Tentara Peta merupakan tentara teritorial dengan kewajiban mempertahankan
masing-masing daerahnya; dan (5). Tentara Peta di masing-masing daerahnya
harus siap untuk melawan sampai mati setiap musuh yang menyerang.106 Di
dalam Peta para pemuda Indonesia telah mendapat pendidikan dan teknik-teknik
milter dalam rangka turut serta mempertahankan tanah airnya dari serangan
106 Kan-Po, No. 28, 1943, hlm. 20-21.
lxxxi
musuh. Para calon perwira tentara Peta mendapat latihan untuk pertama kalinya di
Bogor dalam lembaga yang bernama Djawa Bui Giyugun Kanboe Ranseitai
(Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air Djawa).107
Beberapa kebijakannya yang telah dibuat di Jawa seperti diatas tidak diikuti oleh
didaerah-daerah lain di luar Jawa. Di Sumatera misalnya tidak terdapat suatu
organisasi sebagai suatu wadah bagi aspirasi rakyat. Penguasa di Sumatera tidak
mengizinkan adanya organisasi seperti di Jawa dengan alasan bahwa di Sumatera
tidak menggambarkan suatu homogenitas yang terdiri atas beberapa suku, bahasa
dan adat istiadat. Baru pada bulan Maret 1945 diijinkan dibentuknya Cuo Sangi In
(Dewan Penasehat Pusat). Sedangkan di daerah-daerah yang terjadi di Jawa tidak
banyak diketahui karena para penguasanya sengaja menutup-nutupi berita yang
dianggap berlawanan dengan kebijaksanaan yang ditetapkan.
Pada bulan Agustus 1944, pihak Jepang semakin terdesak dalam
peperangan, yang terbukti dari beberapa wilayah yang didudukinya satu demi satu
disebut oleh Sekutu ditambah gencarnya serangan Sekutu terhadap negeri Jepang.
Di Indonesia khususnya di Jawa ditandai dengan mundurnya moril masyarakat,
produksi perang semakin merosot, yang mengakibatkan kurangnya persediaan
senjata dan amunisi, ditambah dengan timbulnya soal-soal logistik karena
hilangnya sejumlah besar kapal angkut dan kapal perang. Akibatnya situasi yang
tidak menguntungkan itu maka pada tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri
Koiso sebagai pengganti Perdana Menteri Tojo, mengumumkan tentang pendirian
pemerintahan kemaharajaan Jepang dengan memberi janji kemerdekaan kepada
Indonesia. Langkah selanjutnya pada tanggal 1 Maret 1945 pihak Jepang
107 Nugroho Notosusanto, Desertasi, PETA Army During the Japanese Occuption of Indonesia (Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang), Jakarta, Universitas Indonesia, 1977, hlm. 65-67.
lxxxii
mengumumkan pembentukan badan Penyelidik Usaha-usaha persiapan
kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Joenbi Cosakai) sebagai realisasi dari janji
Koiso. Kemudian tanggal 7 Agustus 1945 badan ini diganti PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Jumbi Inkai. Ketuanya adalah
Soekarno, sedangkan M. Hatta ditunjuk sebagai wakil ketua, dan sebagai
penasehat ditunjuk Ahmad Soebardjo. Pembentukannya sesuai dengan keputusan
Jenderal Terauci, Panglima Tentara Umum Selatan yang membawahkan semua
tentara Jepang di Asia tenggara.108 Tanggal 9 Agustus 1945, Soekarno, Hatta dan
Radjiman Wediodiningrat dipanggil oleh Jenderal Terauci di Dallat. Kemudian
pada tanggal 12 Agustus 1945 Jenderal Terauci memutuskan untuk “memberi
kemerdekaan” kepada Indonesia melalui ketiga pemimpin tersebut.
Ketiga pemimpin Indonesia tersebut kembali ke Indonesia dari Vietnam
pada tanggal 14 Agustus 1945, bersamaan Jepang mengalami pemboman oleh
Sekutu atas Hirosima dan Nagasaki ditambah dengan Uni Sovyet yang
menyatakan perang terhadap Manchuria. Hal ini berarti Jepang mendekati
kekalahan. Akibat situasi tersebut, pihak Jepang berada dalam situasi lemah.
kontrol atas wilayah pendudukannya di Indonesia semakin tidak terkendali.109
Sebaliknya dari pihak Sekutu yang telah memenangkan perang belum dapat
mengembalikan Indonesia kepada Belanda, sebagai anggota Sekutu. Akibatnya
Indonesia berada dalam situasi yang kosong . Dalam keadaan yang demikian
maka tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya.
108 Kan-Po, No. 7, 1945, hlm. 19. 109 A. Dasuki, Indonesia Dalam Perang Pasifik, Jakarta: Mutiara, 1982, hlm. 45-46.
lxxxiii
BAB III
MEDIA-MEDIA PROPAGANDA JEPANG
Asal usul kata propaganda sulit ditentukan secara pasti, tetapi ada suatu
sumber yang menyatakan bahwa kata itu mulai digunakan pada tahun 1622, ketika
Paus Gregory XV mendirikan sebuah organisasi yang diberikan nama
Congregatio de Propaganda Fide. Organisasi itu bertugas untuk menyebarkan
agama Kristen Khatolik di kalangan masyarakat non-Kristen. Dalam konteks
pengertian ini, propaganda diartikan sebagai organisasi yang mengirimkan pesan-
pesan. Setelah tahun 1622 propaganda tidak hanya diartikan sebagai organisasi,
tetapi juga sebagai pesan yang disebarkan oleh organisasi. Dalam perkembangan,
pengertian propaganda juga berkaitan dengan teknik yang digunakan untuk
menyampaikan pesan,sebagai contoh: iklan, film dan televisi .110 Berdasarkan
tujuannya, propaganda juga diartikan sebagai komunikasi yang ditujukan untuk
menyebarluaskan tujuan yang diinginkan (sering bersifat tak terlihat secara
langsung dan jahat) terhadap pemirsa, dan dilakukan dengan cara-cara yang
berpengaruh.111 Pada umumnya propaganda yang memberikan isu-isu
controversial lebih mudah diterima oleh masyarakat.112 Berdasarkan pada
pengertian-pengertian ini, sistem propaganda dalam konteks kekuasaan Jepang di
Indonesia mencakup organisasi, pesan, dan teknik penyampaian pesan yang
110 Combs, James E. dan Dan Nimmo, 1994, Propaganda Baru: Kediktatoran
Perundingan dalam Politik Masa Kin, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm. 9. 111 Ibid, hlm. 23. 112 Merton, Robert K, 1957, Sosial Theory and Social Structure, Glencoe, Illinois: The
Free Press, hlm. 509.
lxxxiv
ditujukan untuk mempengaruhi bangsa Indonesia guna mendukung pencapaian
tujuannya.
Dalam sistem pemerintahan Jepang di Indonesia, propaganda merupakan
bagian penting dan integral. Suatu indikasi bahwa propaganda tidak terpisahkan
dari system pemerintahan Jepang di Indonesia adalah dibentuknya departemen
propaganda (Sendenbu) dibawah pemerintahan militer Jepang. Untuk menguasai
Jawa, Jepang berpegang pada dua prinsip utama yaitu: bagaimana menarik hati
rakyat (minshin ha’aku) dan bagaimana mengindroktinasi dan menjinakkan
mereka (senbu kosaku). Prinsip ini perlu dilaksanakan untuk memobilisasi seluruh
rakyat guna mendukung kepentingan perang dan untuk merubah mentalitas
mereka secara keseluruhan. Berdasarkan keyakinan bahwa bangsa Indonesia harus
dibawa kepada pola tingkah laku dan berfikir Jepang, propaganda ditujukan untuk
mengindoktrinasi bangsa ini agar dapat menjadi mitra yang dapat dipercaya dalam
Lingkunagn Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.113 Betapa propaganda
memiliki arti penting bagi Jepang untuk menguasai wilayah dan rakyat Indonesia,
sehingga bangsa itu pun telah mempersiapkan sistem propagandanya secara
sistematis dan intensif sejak sebelum pelaksanaan invansi ke negeri ini.
A. Sendenhan di Jawa
1. Ke Selatan
Pada tanggal 3 Juli 1941, dalam konferensi di muka kaisar di tetapkan
“Prinsip Kebijakan Negara Kekaisaran Berdasarkan Peralihan Sikon Internasional
(Josei no Sui I ni tomonau Teikoku Kokusaku Yoko)”. Dengan demikian,
113 Kurasawa,Aiko, 1987,”Propaganda Media on Java Under Japanese 1942-1945”, dalam Indonesia No. 44, October 1987, hlm. 58.
lxxxv
pemerintah Jepang tiba-tiba mengubah “kebijakan menuju ke Utara” selama itu
dan menyatakan sikap untuk “kebijakan menuju ke Selatan.” 114 Pada bulan
September 1941 (tiga bulan sebelum pecahnya Perang Pasifik), Seksi Kedelapan
Markas Besar Staf AD mulai menyusun sendenhan di setiap pasukan yang dikirim
ke Selatan sebagai persiapan strategi baru. Sendenhan ini ditempatkan masing-
masing satu di keempat pasukan yang dikirim ke Selatan, yakni pasukan ke-14
(Filipina), pasukan ke-15 (Birma / Myammar), Pasukan ke-16 (Jawa Borneo
[Indonesia], dan pasukan ke-25 (Malaya [Malaysia dan Singapura]).115 Keempat
pasukan tersebut dipimpin oleh komando tertinggi Pasukan Selatan, yaitu Jenderal
Toshikazu Terauchi. Sementara itu, komando Pasukan ke-16 dalah Letnan
Jenderal Hitoshi Imamura, dan kepala stafnya adalah Mayor Jendral Seizaburo
Okazaki yang kemudian menjadi Gunseikan Jawa pertama.116
Menurut Machida,117 pertama-tama jumlah anggota di setiap sendehan
direncanakan 150 orang budayawan. Mereka harus mampu melaksanakan tugas-
tugas : propaganda terhadap rakyat negara jajahan ; pemberitahuan ke Jepang ;
dan juga penyuluhan perwira dan prajurit pasukan masing-masing. Kenyataanya,
pihak militer mengalami kesulitan untuk mencari enam ratus orang budayawan
yang memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas-tugas seperti itu, sehingga
pemilihan anggota menjadi sembarangan agar dapat mencukupi jumlah anggota
114 Hayasi, Shigeru, 1993, Nihon no rekishi 25: Taiheiyo Senso (Sejarah Jepang 25:
Perang Pasifik), Tokyo: Chuo Koron Sha,hlm. 222.
115 Machida,Keiji, 1967, Tatakau Bunka Butai(Pasukan Budaya yang Berperang), Tokyo: Hara-shobo, hlm.21-22.
116 Machida,Keiji, 1978, Aru Gunjin no Shihi: Ken to Pen (“Monumen Kertas” Seorang Militer : Pedang dan Pena), Tokyo: Fuyoshobo, hlm. 66-68. Di dalamnya ia menulis bahwa Jawa adalah seperti surga dan di sana ia hidup seperti Raja (Memoar Okazaki yang berjudul Tengoku kara Jigoku e “dari surga ke neraka”).
117 Machida,Keiji, op. cit, hlm. 22-23.
lxxxvi
yang direncanakan. Sebenarnya, pembentukan Sendehan ini tidak selancar dugaan
awal. Hal ini karena di kalangan militer masih ada yang meragukan manfaaat dari
strategi perang ideologi dan menyayangkan pengeluaran dana khusus untuk itu.
Staf Strategi Pasukan ke-16 Kolonel Shizuo Miyamoto juga berpendapat
demikian. Ketika Penulis mendengar rekaman wawancara dengan Masaomi
Tanaka masalah propaganda dan sensor, Kolonel Shizuo Miyamoto berkata tidak
tahu sama sekali dan memang tidak pernah menaruh perhatian kapada hal-hal
semacam itu. Selanjutnya ia berkata dengan nada sarkastis :
Propaganda itu pekerjaan orang-orang yang kurang baik dan pintar. Pada dasarnya, sebagai seorang militer, saya kira yang namanya propaganda itu sesuatu yang kotor.118
Mungkin rasa harga diri sebagai perwira tinggi-lah yang membuat Miyamoto
mengatakan seperti itu. Namun, kenyataanya, untuk mengambil hati rakyat
Indonesia agar rakyat Indonesia tidak melawan Jepang bahkan mau ikut berperang
melawan Sekutu, keberadaan Sendehan sangat berbobot. Ia sendiri mengatakan,
“Tidak bias berbuat apa-apa kalau dimusuhi penduduk setempat.”119
Pada 21 November 1941, diwamilkan 29 (30?) orang budayawan sebagai
gelombang pertama berdasarkan dekret Wajib Militer Nasional (Kokumin Choyo
Rei) yang berlaku sejak 15 Juli 1939.120 Dekret ini dikeluarkan berdaarkan UU
mobilisasi Keseluruhan Nasional (Kokka Sodoin Ho). Pada masa itu masih banyak
118 Arsip Rekaman wawancara Shizuo Miyamoto (Mantan staf strategi Pasukan Ke-16
Angkatan Darat) di Jakarta pada tanggal 15 November 1996, Jakarta: Koleksi Perpustakaan Nasional.
119 Ibid.
120 Menurut Sakuramoto, 29 orang sedangkan menurut Kamiya,30 orang (ditambah Takeshi Araki). Sakuramoto, 1993, Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku (Perang Asia Timur Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju), Tokyo: Aokishoten hlm. 44. dan Kamiya,”Joron (Pengantar)”. Tadataka Kamiya dan Kazuaki Kimura (ed.), 1996, Nanpo Choyo Sakka: Senso to Bungaku (Sastrawan Wamil Selatan: Perang dan Sastra), Kyoto: Sekaishiso-sha, (Seterusnya dirujuk sebagai Kamiya, “Joron”), hlm. 7.
lxxxvii
yang menderita penyakit paru-paru. Misalnya, pada waktu itu novelis Kensaku
Shimagi dan Osamu Dazai juga menerima surat perintah wamil, tetapi dibebaskan
setelah pemeriksaan kesehatan oleh dokter. Shimagi jengkel setelah dibebaskan
karena penyakiknya yang parah, sedangkan Dazai bergembira setelah melaporkan
penyakit dengan sendirinya karena tidak ikut militer. Kondisi yang berlawanan
dengan Dazai adalah Uio TOmisawa. Ia nyaris ditolak juga karena terlalu kurus
akibat penyakit paru-paru, tetapi akhirnya ia diterima setelah berusaha
menyakinkan dokter secara mati-matian.121 Dalam buku Jawa Bunkasen (1943),122
Tomisawa bercerita bahwa waktu itu ia memaksakan diri yang sakit karena
merasa terpanggil untuk membantu “ perang Asia Timur Raya”
Sampai sekarang kriteria pemilihan anggota Sendenhan tidak jelas, tetapi
salah satu pendapat mengatakan itu untuk memberi pelajaran kepada mereka yang
non- kooperatif terhadap militer.123 Kritikus Sastra Ken Hirano yang pernah
bekerja sebagai tenaga honorer di Seksi Ketiga Bagian Kelima Johokyoku
mengakui adanya daftar hitam yang membagi sastrawan ke dalam tiga golongan :
kaum kiri, liberal, dan inovatif.124 Dianggap sastrawan non-kooperatif adalah dua
121 Machida, Tatakau-,hlm. 367.
122 Uio Tomisawa, 1943, Jawa Bunkasen (Perang Budaya di Jawa), Tokyo: Nihon Buntai-sha, (Seterusnya dirujuk sebagai Tomisawa, Jawa-), hlm. 224.
123 Pada 1941 tersebar desas-desus bahwa Yoichi Nakagawa, peulis Ten no Yugao (1939), yang membuat daftar hitam dan mengajukannya kepada Johokyoku. Baca Hidetoshi Kuroda, 1976, Chishikijin Genron Dan’atshu no Kiroku (Catatan mengenai Penindasan kebebasan Berbicara terhadap Cendikiawan), Tokyo: Shiraishi-shoten.
124 Hirano, Ken, “Nihon Bungaku Hokokukai no Seiritsu (Bedirinya Nihon Bungaku
Hokokukai)” dalam majalah Bungaku (Sastra) (Vol. 29. Mei 1961), Tokyo: Iwanami Shoten, hlm. 6-7.
lxxxviii
golongan pertama. Machida juga mengatakan bahwa katanya ada daftar hitam
semacam itu.125
Wamil terhadap budayawan dilakukan sampai gelombang ketiga pada
tahun 1944 dan akhirnya jumlah penulis yang diwamilkan menjadi tujuh belas
orang lebih.126 Mereka dibagi kedalam lima kelompok tergantung tempat kerja,
yaitu daerah Malaya, daerah Birma, daerah Jawa Borneo, daerah Filipina, dan
angkatan laut. Tugas utama Hodohan di AL adalah pemberitaan ke Jepang,
sedangkan Sendenhan di AD ditugaskan terutama untuk beraktifitas di daerah
setempat. Masa tugas mereka bervariasi dari lima bulan sampai tiga tahun. Selain
tujuh puluh orang penulis laki-laki diatas, ada juga sastrawati yang diutuskan ke
Selatan sebagai sastrawati wamil sementara. Misalnya, novelis Fomiko
Hayashi.127 dan Kiyo Mikawa mengunjungi Rintaro Takeda di Jawa.
Hingga kini tidak jelas juga nama semua anggota Sendenhan di Pasukan
Ke-16. Di sini Penulis hanya menyebut ke sembilan orang penulis yang dikirim ke
daerah Jawa Borneo. Mereka adalah jurnalis Soichi Oya (1900-1970), Novelis
Tomoji Abe (1903-1973), kritikus Akira Asano (1901-1990), novelis Rintaro
Kitahara Takeda (1904-1946), novelis Takeo Kitahara (1907-1973), novelis Uio
Tomisawa (1902-1970), penyair Atsuo Oki (1895-1977), novelis Kenji Oe (1905-
1987), dan novelis Jiromasa Gunji (1905-1973). Seperti telah disebut di atas,
Asano Akira dan Uio Tomisawa pernah juga ikut Pen Butai yang dikirim ke Cina.
125 Machida, Tatakau-,hlm. 363. 126 Kamiya, Tadataka,1996, “Joron (Pengantar)” dalam Kamiya, Tadataka dan
Kamirun,Kazuaki (ed), Nanpo Choyo Sakka: senso to Bungaku (Sastrawan wamil Selatan: Perang dan Sastra), Kyoto: Otori Shobo, hlm. 8-9.
127 Ia (1903-1951) adalah salah satu sastrawati yang paling aktif membantu perang. Sebelumnya ia juga menjadi anggota “pasikan pena”. Dan, di Jepang iamenjadi anggota Perkumpulan Sastrawati (Joryu Bungakushakai) di Hokokukai bersama Chiyo Uno, Fumiko Enchi, dan lain-lain.
lxxxix
Di Sendenhan sedikit sekali propagandis professional. Memang orang
seperti itu susah dicari maka tanpa berfikir panjang pucuk pimpinan militer
mencari budayawan-budayawan yang kira-kira bisa membantu. Sepulang dari
Jawa, Kitahara menyesalkan kebijakan seperti itu. Ia menulis, “Operasi budaya itu
mestinya dilaksanakan oleh orang yang ahli di bidangnya itu bukan orang awam
seperti kami.” Menurutnya, operasi budaya itu ternyata merupakan pekerjaan yang
bersifat politis murni bukan pekerjaan cultural. Semakin murni sebagai seniman,
ia makin sulit melaksanakan tugas semacam operasi budaya.128 Dalam Unabara
Kitahara juga menulis sebagai berikut.
Ada sastra yang kebetulan berguna untuk propaganda akibat sastra itu bermutu sebagai seni, tetapi sejak zaman dahulu tidak pernah ada barang seni bermutu diantara karya yang sengaja di buat sebagai sastra propaganda.129
Salah seorang propaganda propesional adalah Hitishi himisu yang akan
menjadi kepala Seksi propaganda di Sendenhan. Ia memulai karirnya di Cina pada
tahun 1930-an dan pernah bekerja di Taisei Yokusankai dan Johokyoku. Adapun,
Jabatan pemimpin, Sendenbu tidak pernah diserahkan ke tangan sipil dan selalu di
kepalai perwira militer, yaitu kolonel Keiji Machida (agustus 1942-Oktober
1943), kemudian Maayor Hiyayoshi Adachi (Februari 1943- April 1945), dan
terakhir Kolonel Koryo Takahasi (Mei-Agustus 1945).130 Sendenbu terdiri dari
128 Kitara, “Jawa no Bunka Kosaku (Operasi Budaya di Jawa)” dalam majalah Shincho
(Maret 1943), hlm. 30-32., Kitahara “Gendai sishin no yukue (Haluan Jiwa Kini)’” dalam majalah Bungakukai (Mei 1943), Kitahara dan Kenzo Nakajima “Bunka no Honshitsu (Hakikat budaya)” dalam majalah Bungakukai (Juni 1943).
129 Unabara no. 46. 3 Mei 1942. 130 Kurasawa,Aiko,1992, Nihon senroy-ka no Jawa Noson no Hen’yo (Perubahan di
Pedesaan Jawa di bawah Pendudukan Jepang),Tokyo: soshisha, hlm. 269.
xc
tiga Seksi : seksi administrasi, Seksi berita dan pers, dan Seksi propaganda. Hanya
Seksi propagandalah yang dipimpin oleh seorang sipil, H. Shimizu .131
Kedudukan para budayawan di Sendenhan adalah tenaga honorer.
Pemilihan anggota Sendenhan dimulai Seksi ke delapan Markas Besar Staf AD
Bagian Berita Departemen AD kemudian diserahkan kepada pemimpin barisan
yang ditentukan. Pada bulan Oktober 1941, Letnan Kolonel Machida dipanggil ke
Departemen AD dan diberi tahu oleh Mayor Jendral Seizaburo Okazaki bahwa ia
ditunjuk sebagai pemimpin sendenhan Pasukan ke-16 yang kan diberangkatkan ke
medan perang di Hindia Belanda jika terputus perundingan diplomasi yang
dilakukan diantara Jepang dan Amerika. Kemudian Machida diberi penjelasan
tersendiri mengenai apa yang dimaksud dengan barisan propaganda di Markas
Besar Staf AD.132
Mengenai pemilihan anggota, terlebih dahulu Machida berunding dengan
Masao Nakayama, presiden direktur Rikugun Gaho Sha (perusahaan Majalah
Bergambar Angkatan Darat). Dan mereka berdua memutuskan untuk
memasukkan Soichi Oya sebagai anggota pertama, yang waktu itu sedang
berpropaganda lewat film di Manchuria.133 Banyak anggota yang
direkomendasikan oleh Oya. Orang penuh ide ini memilih penyair Oki,
Penggubah Lagu Iida, stenogreafis Ariyama, pembuat balon untuk Reklame
Fukuriya, dan lain-lain. Hitoshi Shimizu dipilih Nakayama sedangkan Tatsuo
Ichiki dipilih Staf AD Murakami. Machida menyebut Ichiki sebagai “pengetahuan
131 Kurasawa, Aiko, 1993, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Peubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: Grasindo, hlm. 230.
132 Machida, Tatakau-,hlm. 362-364.
133 Sebagai penanggung jawab di Manshu eiga Kyosa Keimin eigabu (Bagian Film Penyuluhan Rakyat, Lembaga Film Manchuria).
xci
dan harapan di Sendenhan”.134 Ia adalah salah seorang dari sedikit orang Jepang
yang prihatin pada bahasa Indonesia dan berkukuh menggunakan sebutan
“Indonesia-go (bahasa Indonesia)” Pada masa itu, sebagian besar orang Jepang
menggunakan sebutan “Marai-go (bahasa melayu)” dan pada 29 April 1945
Jepang baru “mengganti” sebutan Marai-Go menjadi Indonesia-go).135
Sebelum perang, Ichiki sudah menjadi wartawan surat kabar di Jawa dan
hilir mudik untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Namun, ia dipenjara
kemudian diusir ke Jepang oleh pemerintah Hindia Belanda. Setelah itu, ia
mendaftarkan diri untuk masuk Sendenhan sebagai penerjemah. Keberadaanya
sedikit banyak akan mendorong para anggota Sendenhan untuk terlibat dalam
pergerakan kebangsaan di Indonesia.136 Setelah Jepang kalah, ia juga tinggal
untuk ikut perang kemerdekaan, kemudian gugur di Jawa.137
Sastrawan Sutan Takdir Alisjabana adalah salah seorang yang akrab
dengan Ichiki.138 Pada Oktober 1942 didirikan komisi penyempurnaan Bahasa
134 Machida, Tatakau-,hlm. 364-366. 135 Tatsuo Ichiki, “Dokuritsu to Gengo: Indonesia-go no Susumubeki Michi
(Kemerdekaan dan Bahasa: Arah Perkembangan Bahasa Indonesia yang semestinya)” dalam Shin Jawa (no.2. Vol.1. 1November 1944), hlm. 50-53., Kaoru Yasuda,”Indonesia-go no Hasshochi (Tempat Asal Bahasa Indonesia)” dalam Shin Jawa (no.7. Vol.2. 1 Juli 1945), hlm. 44.
136 Machida, Tatakau-,hlm. 366. Ada tiga orang penerjemah yang sangat membantu
komunkasi antara anggota Sendenhan dan penduduk setempat,yaitu IChiki, Yoshio Nakatani, dan tatashi Tanaka. Akira Asano dan Uio Tomisawa, “Jawa sendenhan wo Chushin ni (Terutama tentang Sendenhan di Jawa)” dalam majalah Genchi Hokoku (Laporan Setempat) (November 1942), hlm. 102-103.
137 Machida, Keiji, 1967, Aru Gunjin no Shihi: Ken to Pen (“Monumen Kertas” Seorang Militer: Pedang dan Pena), Tokyo: Fuyoshobo, hlm. 172.
138 Taniguchi, Goro, 1991, “Janarisuto tosehite Mita Jawa Gunsei (Pemerintahan Militer di Jawa yang Saya Lihat sebagai Jurnalis)” dalam Forum for Research Materialis on the Japanese Occupation of Indonesia, Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia, Tokyo:Ryukei Shosha, hlm.272-273, pada awal pendudukan Jepang Alisjahbana sebagai penerjemah di Seksi Perencanaan Gunseibu.
xcii
Indonesia (Indonesia-go Seibi Iinkai).139 Disana ia menjadi anggotanya bersama
Ichiki dan Pane bersaudara.140 Dalam novel Kalah dan Menang yang berlatar
belakang masa pendudukan Jepang, Alisjahbana mendatangkan seorang polisi
Jepang yang bernama Ichiki. Ia mengakku sengaja memakai nama itu karena ia
merasa dekat dengan Ichiki sebagai orang Jepang yang manusiawi selama masa
pendudukan Jepang yang penuh dengan kekejaman. 141
Sesuai pemilihan anggota, para anggota Sendenhan mulai mempersiapkan
diri. Dalam bukunya, Tatakau Bunka Butai [Pasukan Budaya yang Berperang],142
Machida bercerita mengenai persiapan keberangkatan Sendenhan. Mereka sama-
sama melakukan usaha percobaan untuk menyusun pekerjaan barisan
propoaganda baru di AD. Pertama-tama, mereka memulai dari pembuatan poster
serta naskah penyiaran dan pengumpulan alat-alat perhubungan serta piringan
hitam untuk propaganda. Bahkan propaganda yang dianggapnya paling penting
adalah bendera Merah Putih dan piringan hitam rekaman Lagu Indonesia Raya
yang dinyanyikan Tatsuo Ichiki dan kawan-kawan. Namun, kedua bahan ini akan
dilarang digunakan oleh Markas Besar Kekaisaran tidak lama setelah lama
berhasil mendarat.
Menurut seorang anggota Sendenhan, Kyochiro Shida, yang dikirim ke
Sumatra, ketika mendarat di Sumatra, mereka diperintahkan untuk
139 Komisi ini bertugas untuk menentukan terminology. Pada akhir pendudukan Jepang, telah ditetapkan sekitar tujuh ribu istilah baru (Sutan Takdir Alisjahbana, 1988, Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, hlm. 76.
140 Keinchi Goto, 1993, Hi no Umi no Bohyo: Aru (Ajiashughisha) no Ruten to kiketsu
(Batu Nisan di Lautan Api: Perjalanan dan Akhir seorang (Asiais), Tokyo: Jijitsushin, hlm. 137. 141 Ibid, hlm. 221.
142 Machida, Tatakau, hlm. 15-18.
xciii
membangkitkan semangat rakyat setempat dengan menggunakan Bendera merah
putih dan lagu Indonesa Raya. Akan tetapi, belum lampau seminggu lamanya,
tiba-tiba hal itu dilarang. Kenyataannya, maklumat Markas Besar Kekaisaran
sering berubah-ubah dan maklumat baru datang silih berganti sehingga sulit
terjadi hubungan saling percaya antara Markas Besar dan Pasukan-pasukan.143
Tambahan pula, kenpeitai yang didatangkan dari Cina mengasari rakyat setempat,
sehingga hal-hal itu menyia-nyiakan usaha Sendenhan.144 H Shimizu mengaku
kenpeitai sering mengganggu kegiatan Sendenhan.145 Menurut George
S.Kanahele, yang paling merusak hubungan antara Indonesia dan Jepang sejak
awal kependudukan adalah kenpitai. Kenpeitai juga dianggap pejabat Besar bagi
banyak orang Jepang.146
Adapun Machida menganggap pawai sebagai salah satu cara
berpropaganda yang efektif. Kepala Seksi propaganda H.Shimizu sering
mengadakan pawai dalam berbagai upacara. Biasanya, pawai itu disertai musik
dan bendera. Machida berpendapat seperti berikut:
Pawai yang diadakan tanpa bendera merah putih lagu Indonesia Raya hanya mematahkan selera. Parade yang memaksa melambai-lambaikan bendera Negara Jepang adalah hanyalah omong kosong bahkan berefek negatif.147
143 Machida, Aru Gunjin, hlm. 186. 144 Ibid.
145 Shimizu, Hitoshi, 1991, “Minshu Senbu Hitosuji ni (Memusatkan Seluruh Perhatian
pada Propaganda Massa Rakyat)” dalam Forum for Research Materialis on the Japanese Occupation of Indonesia. Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia (Kumpulan Kesaksian: Indonesia di bawah Pendudukan Jepang), Tokyo: Ryukei Shosha, hlm. 157.
146 Kanahele, George s, 1977, The Japanese Occuption of Indonesia: Prelude to Independence., hlm.97.
147 Machida, Tatakau, hlm. 252.
xciv
Sering kali Machida berkata merasa terenyuh jika ingat rasa cinta rakyat
Indonesia terhadap bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya.
2. Lahirnya Sendenhan
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu penyebab dari kekalahan Jerman
pada PD I adalah kekalahan di bidang perang ideologi. Maka, dengan kesadaran
seperti itu, pada masa PD II, Jerman mengorganisasikan sebuah kompi
propaganda, yaitu Propaganda Kompanien der Wehrmacht (P.K). anggotanya
adalah sastrawan, kritikus, jurnalis, pelukis, dan sebagainya. Mereka diberi juga
latihan kemiliteran sebagai seorang prajurit.
Melihat aktivitas P.K itu, maka Jepang juga membentuk Senden Butai
(Pasukan Propaganda) militer (tidak ada konsistensi sebutan; kadangkala disebut
juga Hodohan dan juga Sendenhan)148 pada tanggal 21 November 1941 dan
adanya pasukan ini dicanangkan oleh pihak berwenang pada bulan Februari
1942.149
Machida menulis secara panjang lebar mengenai barisan propaganda yang
pernah dipimpinnya. “Kalau saya mati, mungkin tidak ada seorang pun di dunia
ini yang mencatat tentang kegiatan kami,”150 katanya. Dua puluh tahun setelah
perang, Machida mengakui waktu itu ia terburu-buru hanya untuk menekankan
keAsiaan dan memaksakan keJepangan secara fanatik kepada rakyat jajahan. Ia
juga mengatakan adalah kesalahan besar bahwa mereka mendewa-dewakan Asia
148 Sakuramoto, Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku (Perang Asia Timur
Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju), hlm. 11., misalnya, T. Abe menyebut dirinya sebagai anggota Hodohan (hlm. 134) maupun Sendenhan (hlm. 19) dalam satu buku, yaitu Tomoji Abe, 1944, Hi no Shima: Jawa bari no Ki (Pulau Api: Catatan tentang Jawa Bali), Tokyo: Sogensha.
149 Sakuramoto, Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku (Perang Asia Timur Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju), hlm. 8-11, 56.
150 Machida, Tatakau, hlm. 191.
xcv
secara membabi-buta tanpa menilai perbedaan antara Timur dan Barat dengan
tepat.151 (Gerakan V maupun AAA merupakan semboyan yang tidak ada sangkut-
pautnya sama sekali dengan pembangunan Jawa. Bagaimana Jawa sendiri hanya
diperas belaka.”152 “Rakyat Jawa adalah obyek propaganda yang sangat cocok
disebabkan keter belakangan mereka yang menyedihkan.”153 Demikian pendapat
Machida. Demi kepentingan “pembangunan Asia kembali”, ia memanfaatkan
segala-galanya. Ia bertutur, “Misalnya surat kabar diterbitkan hanya untuk
memobilisasikan rakyat ke satu arah, dan radio serta sandiwara juga demikian.”154
Machida menyatakan, “Sendenhan ini diberi tugas untuk ‘berperang
kultural’—jikalau bisa disebut seperti ini—yang lebih menyeluruh” daripada
bagian-bagian propaganda yang ada sebelumnya. Pemembentukan Sendenhan itu
didorong situasi yang sudah mendesak Jepang untuk membentangkan aktivitas
propaganda terhadap luar negeri.155 Berbeda dengan anggota Pen Butai yang
diminta ikut perang, anggota Senden Butai ini dipaksa bekerja untuk militer.156
Dalam memoarnya, Michida menulis bahwa Sendenhan di Pasukan ke-16 terdiri
dari 150 orang bunkajin (budayawan) dan 250 orang militer.157 Rupanya, Machida
tidak ingat atau tidak memegang jumlah anggota pasti di Sendenhan yang
dikepalainya. Soalnya, di tempat lain dalam buku yang sama, ia juga
151 Ibid, hlm. 188. 152 Ibid, hlm. 189.
153 Ibid. 154 Ibid, hlm. 190. 155 Ibid, hlm. 19, 21.
156 Sakuramoto, Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku (Perang Asia Timur
Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju), hlm. 43. 157 Machida, Tatakau, hlm. 22, 25.
xcvi
membenarkan penjelasan Masaaki Tanaka yang menulis, “Keluarga besar
Sendenhan di Jawa terdiri dari perwira tinggi sebelas orang, perwira rendah dan
prajurit sekitar seratus orang, budayawan yang diwamilkan 87 orang, dan tenaga
bayaran 48 orang.”158 Beberapa orangkah budayawan di Sendenhan. Apakah 150
orang? Ataukah 87 orang? Atau juga dua-duanya salah? Tidak ada data resmi
pemerintah mengenai hal ini. Agaknya, arti kata “bunkajin” lebih luas daripada
kata “budayawan” dalam bahasa Indonesia. Machida sendiri berkata, “Saya tidak
tahu orang bagaimana gerakan yang disebut bunkajin – alangkah sembarangnya
kata itu.”159 Biar bagaimanapun, tidak dapat disangkal bahwa mereka yang
disebut bunkajin adalah orang-orang yang menarik. Sendenhan di Jawa
diramaikan oleh kritikus, sastrawan, sarjana/ilmuwan, pelukis, komikus/kartunis,
musisi, ahli perfilman. Kamerawan, juru foto, ahli penyiaran, ahli radio, jurnalis,
dramawan, komedian, artis, tokoh seni tari, penerjemah, stenografer, ahli cetak,
dokter, pendeta Shinto, biksu, pakar agama Katolik dan Protestan, tukang balon
untuk reklame, dan banyak lagi.160
Para budayawan itu dibagi ke dalam berbagai seksi: tata usaha;
perencanaan; propaganda; pendidikan; surat kabar; komunikasi/korespondensi;
penyiaran; film; seni rupa; foto; sandiwara; dan lain-lain. Machida
mengkoordinasikan semua seksi dengan menyesuaikan diri dengan sikon (situasi
dan kondisi) yang silih berganti. Dalam hal ini, ia menghindari untuk menetapkan
batas-batas setiap seksi secara mutlak sehingga dapat menutupi kekurangan tenaga
158 Ibid, hlm. 360. 159 Ibid, hlm. 369.
160 Sakuramoto, Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku (Perang Asia Timur
Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju), hlm. 12., Machida, Tatakau, hlm. 360-370.
xcvii
dan melaksanakan tugas propaganda yang meliputi berbagai bidang secara
merata.161
Dalam Jawa Nenkan: Kigen 2604-nen (Almanak Jawa 2604) terdapat bab
“Propaganda dan Pemberitaan”. Di dalamnya, Sendenhan di Pasukan ke-16
disebut sebagai “pasukan perang ideologi-budaya skala besar yang tidak pernah
ada sepanjang sejarah peperangan dunia.” Selanjutnya, sebagai alat utama
pasukan tersebut dicontohkan gelombang udara (radio dan kawat), film (foto,
proyektor, dan bioskop), kertas (poster dan selebaran), suara (pengeras suara dan
piringan hitam), dan balon untuk reklame.162 Kesemuanya dianggap peluru atau
senjata oleh Jepang pada masa itu. Dalam bab itu, poster disebut “peluru kertas.”
Adapun, pada masa penghabisan pendudukan Jepang, diterbitkan Shin Jawa, yaitu
majalah berbahasa Jepang yang tinggal di Jawa pada masa itu. Dalam kata ucapan
selamat untuk penerbitan perdana, Gunseikan Mayjen Shinshichiro Kokubu
menganggap majalah itu sebagai “peluru kertas untuk menghancurkan Amerika
dan Inggris.”163 Dalam nomor 1 volume 2 majalah yang sama, Seiji Shimaura
yang bertugas di Hoso Kanrikyoku (Biro Pengawas Penyiaran di Jawa)
menyerukan, “Gelombang udara adalah senjata, siaran radio adalah peluru.”164
Selain itu, dalam Dai Toa Chiiki Shinbun Zasshi Soran (Daftar Surat dan Majalah
di Daerah Asia Timur Raya) disebut surat kabar dan majalah adalah : “senjata
161 Ibid, hlm. 362. 162 Jawa Nenkan, hlm. 165., Machida, Tatakau, hlm. 190.
163 Shin Jawa (no.1. Vol.1. 1 Oktober 1944), hlm. 1.
164 “Senso to Hoso wo Kataru (Membicarakan Perang dan Penyiaran)” dalam Shin Jawa
(no.1 Vol.2. 1Januari 945),hlm. 74.
xcviii
ampuh dalam perang ideologi.”165 Sementara itu, komikus Saseo Ono (anggota
Sendenhan) juga pernah berpendapat bahwa lukisan harus diterapkan sebagai
“peluru” dalam kondisi peperangan.166 Tentu semua orang (baik orang militer
maupun tidak) dianggap “serdadu” untuk memenangkan “Perang Asia Timur
Raya”,167 seperti pernah diutarakan oleh PM Hideki Tojo.168
Dalam bab “Propaganda dan Pemberitaan” dalam Jawa Nenkan: Kigen
2604-nen tadi, diuraikan juga proses perubahan Sendenhan (Barisan Propaganda)
ke Sendenbu (Bagian Propaganda). Sejak awal, Sendenhan bertugas untuk
membangun dasar dari urusan-urasan seperti penyiaran, pemberitaan, perfilman,
penyuluhan rakyat, sandiwara, dan penyensoran di Jakarta, pada bulan Oktober
1942 Sendenhan dimasukan ke Gunseikanbu dan menjadi Sendenbu. Setelah
menjadi Sendenbu, urusan-urusan di atas mulai ditransfer ke badan-badan yang
lain: tugas penyiaran kepada Hoso Kanrikyoku yang didirikan pada Oktober 1942;
tugas pemberitaan (agen berita Yaesu) kepada kantor berita Domei yang didirikan
di Jawa pada Oktober 1942; surat kabar Unabara kepada Jawa Shinbunsha
(menjadi Jawa Shinbun); Jawa Eiga Kosha kepada Eihai dan Nichiei yang
didirikan di Jawa pada April 1943; urusan pendidikan kepada Bunkyo Kyoku yang
165 Koa sohonbu Chosabu (Bagian Investigasi,Markas Umum Asia Raya) (ed.), 1945,Dai
Toa Chiiki Shinbun Zasshi Soran (Daftar Surat Kabar dan Majalah di Daerah Asia Timur Raya), Koa Sohonbu Chosabu, (The Nishijima Collection,.
166 “Kantei Toji to Genzai no genjumin wo Kataru Zandakai (Simposium mengenai Penduduk Setempat yang Sewaktu Pasifikasi dan Kini)” dalam Shin Jawa (no.3. Vol.2. 1 Maret 1945), hlm. 43.
167 Waktu itu Jepang menyebut Perang Pasifik sebagai Perang Asia Timur Raya. Sebutan ini akan dilarang untuk digunakan oleh GHQ (General Headquarters) setelah perang.
168 Pada 8 Desember 1942 (Koa Sai (Ulang Tahun Pecahnya Perang Asia Timur Raya )
pertama) PM Tojo berpidato seperti itu. Lihat Almanak Asia-Raya 2603:Tahoen 1, Djakarta: Asia-Raya Bagian Penerbitan, 1943, (Seterusnya dirujuk sebagai Almanak Asia-Raya-), hlm. 87. Selain itu,pemompin Sendenbu juga berpidato demikian. Lihat Keboedajaan Tomur I (2603),hlm.3.
xcix
didirikan pada Desember 1942; dan urusan sensor kepada Kenetsuhan (Barisan
Sensor) di Gunshireibu (Komandan Militer).169
Mengenai masalah sensor, hingga kini tidak banyak diketahui. Misalnya,
tema film cerita ditentukan Sendenbu.170 Menurut mantan Staf Nichiei, Masao
Hirai,171 sekali suatu tema film ditentukan,staf Nichiei membuat ringkasan cerita
kemudian diserahkan kepada Sendenbu untuk disensor. Setelah lulus sensor, baru
disusun skenario lengkap dalam bahasa Indonesia. Sebelum bulan Oktober 1942,
semua urusan sensor ditangani Sendenhan.172 Misalnya, sejak 21 Mei 1942, semua
orang diharuskan untuk menyerahkan film foto kepada Kantor Besar Foto
(Shashin Honbu) di Sendenhan untuk dicuci cetak kemudian disensor disana.173
Masalah sensor disinggung dalam maklumat nomor 16 yang dikeluarkan pada 25
Mei 1942. Pasal keempat dari maklumat tersebut menyatakan bahwa semua
penerbitan harus disensor oleh militer Jepang sebelum terbit. Badan penyensoran
169 Jawa Nenkan, hlm. 166., Ada data yang berkata lain, yaitu Sendenhan diubah menjadi
Johobu (Bagian Penerangan) Gunseikanbu pada 1Oktober 942. Di dalamnya terdapat Sendenkan (Seksi Propaganda) dan tiga seksi lain. Baca Osamu Shudan Shireibu dan Osamu Shudan Gunseikanbu (Komando Pasukan Ke-16 dan Markas Besar Pemerintahan Militer di Jawa), “Osamu Shudan Gunseikanbu Honbu Kinmu Kitei oyobi onajiku Bunka Kitei no Ken (Revisi Peraturan Dinas Markas Besar Pemerintahan Militer di Jawa serta seksi-seksinya)”, 24 September 1942, (The Nishijima Collection, (JV 1-4) ).
170 Jawa Nenkan, hlm. 170.
171 Kurasawa,Aiko,1992, Nihon senroy-ka no Jawa Noson no Hen’yo (Perubahan di
Pedesaan Jawa di bawah Pendudukan Jepang), hlm. 279.
172 Pada awal pendudukan,Jepang masih bingung harus melarang buku apa saja, maka dimuatlah pengumuman yang tidak berguna, yaitu “Bekendmaking omtrent met Slechte Strekking (Pengumuman mengenai buku-bku yang isinya Buruk)” dalamkoran Soerabaiasch Handelesblad (Koran Perdagangan Surabaya) (no. 90. 17 April 1942). Hanya ditulis bahwa rakyat harus menyerahkan buku-buku anti-Asia atau anti-Jepang yng “isinya bertentangan dengan Masa baru di Asia” kepada Sendenhan.Menurut artikel itu, jika kemudian ketahuan masih memiliki buku-buku “yang demikian,” maka “pemilik akan mengalami kesukaran-kesukaran besar. “dapat diduga pembaca sangat bingung harus menyerahkan buku bagaomana. Lihat I.J. Brugmans, dkk, 1960, Nederladsch-Ondie onder Japanse Bezetting: Gegevens en Documenten over de Jaren 1942-1945 (Hindia Belanda di Bawah Pendudukan Jepang: Data-data dan Dokumen-dokumen Selama 1942-1945), Franeker: Uitgave T. Wever, hlm. 209.
173 “Shashin Honbu (Kantor Besar Fto)” dalam Unabara (no.63, 23 Mei 1942),hlm.2.
c
militer, menurut pasal kesepuluh, ada di Jakarta, Bandung, Semarang, dan
Surabaya.174
Menurut mantan kepala kantor besar Jawa Shinbunkai (Gaboengan
Persoeratkabaran di Djawa), Goro Taniguchi, urusan sensor bukan diserahkan
tetapi waktu Sendenhan pindah dari Gunshireibu ke Gunseikanbu, hak sensor
tidak mau dilepas oleh Gunshireibu.175 Sebagaimana biasa di sebuah organisasi, di
militer Jepang juga terdapat sektarianisme. Taniguci mengatakan setelah
pernyataan Koiso, urusan sensor surat kabar diserahkan sepenuhnya kepada Seksi
Surat Kabar Sendenbu.176 Namun, rupanya ini tidak benar. “Osamu Seirei
(Oendang-Oendang Osamu) No.6” yang dikeluarkan pada 1 Februari 1944 masih
mewajibkan segala penerbitan, naskah film, naskah sandiwara, isi acara kesenian
lain, naskah pidato diserahkan kepada Kemetsuhan militer sebelum
diumumkan.177 Mantan Pemimpin Sendenbu Adachi dan kawan-kawan juga
mengatakan bahwa sensor tidak diadakan di Gunseikanbu.178
174 Jawa Nenkan, hlm. 403. 175 Goro Taniguchi, 1953, “Pena ni Yorite (Bergantung pada Pena)” dalam Hitsuroku
Daitoa Senshi: (Catatan Rahasia Sejarah Perang Asia Timur Raya: Hindia Belanda), Tokyo: Fuji Shoen, hlm. 126.
176 Goro Taniguchi, 1991, “Janarisuto tosehite Mita Jawa Gunsei (Pemerintahan Militer di Jawa yang Saya Lihat sebagai Jurnalis)” dalam Forum for Rescarch Materials on the Japanese Occpation of Indonesia, Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia, Tokyo: Ryukei Shosha, (Seterusnya dirujuk sebagai Taniguchi, “Janarisuto), hlm. 277. 279-280, 292-293.
177 Osamu Kanpo (no.15), hlm. 2-5.,atau Kanpo (no.36), hlm.6-8. Mungkinkah tidak ada pemisahan yang jelas di antara Kenetsuhan dan Sendenbu dalam urusan penyensoran? Rupanya Sendenbu juga mengadakan sensor. Misalnya, di Unit operasi Daerah Sendenbu ada beberapa petugas tetap yang bertanggung jawab atas sensoran. (Aiko Kurasawa, 1993, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosila di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: Grasindo, (Seterusnya dirujuk sebagai Kurasawa, Mobilisasi-), hlm. 234.) Selain itu, menurut Oya, naskah sandiwara disensor di Barisan sensor (Kenetsuhan) di Sendenbu. (“Nanpo to Bunka Senden (Daerah Selatan dan Propaganda)” dalam Nihon Hyoron (Japang dalam Ulasan) (Januari 1944), (Seterusnya dirujuk sebagai Oya, “Nanpo-“)). Namun, yang jelas, paling tidak sampai Oktober 1943 sensor hanya diadakan oleh Kenetsuhan.Baca Domei Tshushinsa (Kantor Berita Domei),
ci
Proses transfer terselesaikan pada bulan April 1943. Setelah selesainya
trasnsfer tersebut kegiatan propaganda di daerah lebih diperkuat.179 Sendenbu
menarik personilnya dari cabang-cabang di daerahan pada bulan Februari 1944
mereka menyusun dan mengirim Unit Operasi Daerah (Chiho Kosakutai) ke
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Malang dan Surabaya yang masing-
masing terdiri dari orang Jepang dan orang Indonesia.180 Setelah anggota tetap,
Sendenbu dengan cerdik sering memobilisasikan pemimpin politik setempat,
penyanyi, dalang, badut, penari, musisi, aktor terkenal untuk menarik perhatian
rakyat setempat.181 Dengan demikian, markas besar Sendenbu mengonsentrasikan
diri untuk perencanaan dan bimbingan dalam urusan porpaganda dan
pemberitaan.182
3. Pembentukan Departemen Propaganda (Sendenbu)
Salah satu usaha pemerintah pendudukan Jepang untuk dapat
memenangkan perang adalah berupaya mencari dukungan massa sebanyak-
banyaknya. Pemerintah militer mendirikan Departemen Propaganda (Sendenbu)*
pada bulan Agustus 1942. Tujuannya agar masyarakat mau bekerja sama dengan
1943, Nanpo Binran (Dai-1-Shu) (Survei Mengenai Daerah Selatan Vol.1.), hlm. 31. (The Nishijima Collection, (AG12)).
178 Hisayoshi Adachi, dkk., “Report on the Activities of Sendenbu”, hlm. 6., (The Nishijima Collection, (AD 2) ).
179 Jawa Nenkan, hlm. 166. 180 Hisayoshi Adachi, “Report to Mr. A.P.M. Audretsch: Replies of Guestionaire
Concerning Sendenbu”, 14 April 1947,hlm. 3, (The Nishijima Collection, (AD 3) ). 181 Kurasawa,Aiko,1992, Nihon senroy-ka no Jawa Noson no Hen’yo (Perubahan di
Pedesaan Jawa di bawah Pendudukan Jepang), hlm. 271-272. 182 Jawa Nenkan, hlm. 166. * arti Propaganda adalah informasi terpilih, benar atau salah, yang dikembangkan dengan
tujuan meyakinkan orang agar menganut sesuatu keyakinan, sikap atau arah tindakan tertentu. Ensiklopedi Indonesia 5, Jakarta, Ichtiar Baru Van aaaaaaahoeve, 1984, hlm.. 2778.
cii
pemerintah pendudukan Jepang atau untuk memobilisasi seluruh rakyat dalam
berperang melawan Sekutu dan untuk dapat mengubah mentalitas.73 Hal ini
disertai keyakinan bahwa bangsa Indonesia harus dibentuk berdasarkan pola
perilaku dan pemikiran Jepang. Mereka mengarahkan propaganda pada
indoktrinasi terhadap rakyat Indonesia sehingg mereka dapat menjadi kawan-
kawan yang setia dalam lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya.
Departemen Propaganda bertugas menyelenggarakan propaganda dan
penerangan yang berkaitan dengan administrasi sipil, dan merupakan organ
terpisah dari Seksi Penerangan Angkatan darat ke-16 yang bertugas
menyelenggarakan propaganda dan penerangan yang berkenaan dengan operasi-
operasi militer. Aktifitas Sendenbu diarahkan kepada penduduk sipil Jawa,
termasuk orang Indonesia, Eurasia, minoritas Asia dan Jepang.74 Meskipun
demikian, pihak pemerintah pendudukan Jepang tidak pernah mempercayakan
kontrol dari departemen penting ini kepada orang-orang sipil. Lembaga itu selalu
dikepalai oleh seorang perwira Angkatan Darat. Pejabat pertama adalah Kolonel
Machida Keiji (Agustus 1942-Oktober 1943). Kedua Mayor Adachi Hisayoshi
(Oktober 1943-Maret 1945). Dan ketiga Kolonel Takanashi koryo (April-Agustus
1945).75
Lembaga ini mempunyai tiga seksi yaitu: 1. Seksi administrasi; (2).Seksi
Berita dan Pers; dan (3).Seksi Propaganda. Seksi yang pertama dan yang kedua
masing-masing dikepalai oleh para perwira militer, lain halnya dengan seksi
73 Grant K. Goodman, Janaese Cultural Policies in South East Asia During World War 2, St Martin’s Press, New York, 1991, hlm. 36-65.
74 Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan
Jawa 1942-1945, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indoneisa, 1993, hal. 230. 75 Ibid., hlm. 230.
ciii
ketiga yang dipimpin oleh pejabat sipil. Sendenbu tidak hanya bertindak sebagai
sebuah kantor administrasi, tetapi juga secara langsung melaksanakan operasi-
operasi propaganda. Di dalam menjalankan roda propaganda, semua rencana
mengenai propaganda secara garis besar ditangani langsung oleh kepala
pemerintah militer (Gunseikan), dan Sendenbu bertugas menjabarkan
pelaksanaannya. Kepala Sendenbu memutuskan rencana operasi dari propaganda,
melalui rapat-rapat yang dihadiri oleh setiap kepala seksi yang ada dalam
departemen ini.76 Di samping itu, sebuah organisasi bernama Keimin Bunka
Shidosho (Pusat Kebudayaan) dibentuk pada bulan April 1943 sebagai organisasi
bantuan dari Sendenbu.
Pada saat struktur administrasi militer menjadi semakin rumit, pemerintah
membentuk beberapa biro khusus dengan tugas menyelenggarakan berbagai
bidang propaganda sebagai badan-badan luar departemen di bawah Sendenbu, dan
pelaksanaan operasi propaganda dipercayakan kepada mereka (lihat lampiran II ).
Setelah pembentukan organisasi spesialisasi dan biro-biro, Sendenbu sendiri tidak
lagi melaksanakan aktifitas secara langsung. Ia hanya menghasilkan rencana-
rencana dan bahan-bahan propaganda dan mendistribusikannya kepada unit-unit
kerja terkait.
Pemerintah pendudukan Jepang sangat berhati-hati dalam mengerahkan
staf propaganda baik pusat maupun lokal. Mereka yang terlibat propaganda dalam
pemerintahan militer mempunyai latar belakang yang sangat berbeda beda.
Mereka dapat dibagi atas dua kategori. Pertama, para ahli propaganda dan
kebanyakan terlibat dalam perencanaan program. Kedua adalah para spesialis
76 Nishijima Collection, hlm.14.
civ
dalam bidang khusus, yakni reporter dan editor surat kabar yang sebagian besar
dari Asahi Shinbun, penulis, novelis, penyair, penulis esai, pemusik, pelukis,
penyiar radio, produser film serta perancang yang biasanya disebut Bunkajin
(manusia budaya) dalam masyarakat Jepang.77 Mereka dikenakan wajib militer
untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Wajib militer bagi kaum intelektual sipil
banyak dilakukan untuk memaksa mereka bekerja sama dengan militer, dan dalam
hal ini golongan liberal dan para bekas golongan kiri lebih banyak dikenakan
wajib militer dibanding dengan orang orang yang menunjukkan simpati mereka
secara terbuka.78
Di samping memanfaatkan intelektual mereka untuk tujuan militer,
praktek ini agaknya juga dimaksudkan untuk menguji kesetiaan, serta semacam
indoktrinasi bagi orang-orang yang bersifat ragu-ragu (skeptis) terhadap
pemerintah Jepang. Walaupun sebagian dari mereka bekerja untuk mempengaruhi
masyarakat Jepang di Indonesia, namun sebagian besar dari mereka melakukan
hubungan langsung dengan rakyat Indonesia. Sebagian dari mereka menguasai
sedikit pengetahuan mengenai bahasa Indonesia, tetapi banyak yang mempelajari
bahasa ini setibanya mereka di Indonesia.79 Mereka kebanyakan terlibat dalam
pengaturan bahan-bahan propaganda yang sesungguhnya, bersama rekan-rekan
mereka dari Indonesia.
Banyak dari Bunkajin ini bergabung dengan kelompok propaganda atas
permintaan pribadi kolonel Machida Keiji. Meskipun seorang militer profesional,
77 Aiko Kurasawa, “Film as Propaganda Media on Java under the Japanese, 1942-1945”, dalam Grant K. Goodman, editor, hlm. 36.
78 Akira Nagazumi, editor, Pemberontakan Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1988, hlm. 8-9.
79 Ibid . , hal. 9.
cv
Machida memiliki keterikatan yang mendalam terhadap kesusastraan dan
tampaknya memiliki hubungan yang sangat luas dengan Bunkajin. Berbagai
lainnya, meskipun tidak mengenal Machida secara pribadi, telah didorong oleh
rekan rekannya yang telah memenuhi permintaan Machida untuk turut bergabung.
Mereka berpikir bahwa mereka dapat bekerja lebih bebas di luar negri (Indonesia)
dari pada di Jepang dimana pengawasan yang ketat diperlakukan kepada aktifis-
aktifis kreatif.80
Banyaknya anggota kelompok tersebut menunjukkan besarnya harapan
militer terhadap mereka.Sendenhan (Kesatuan propaganda) yang menyertai
pendaratan Tentara ke-16 pada bulan Maret 1942, terdiri atas 11 orang perwira,
100 orang prajurit, dan 87 kaum intelektual wajib militer. Sebagian dari mereka
kembali ke Jepang, dibebas tugaskan setelah bertugaskan setahun. Tetapi banyak
di antara mereka yang secara suka rela tinggal lebih lama, dan pendatang-
pendatang baru bermunculan. Kegiatan mereka dalam banyak hal termasuk unik
dalam melakukan perang urat syaraf sehingga meninggalkan kesan yang dalam
pada masyarakat Indonesia. Kaum intelektual yang lebih banyak terpengaruh oleh
hubungan dengan rakyat Indonesia. Walaupun sebagian di antara mereka berasal
dari pemerintahan militer Jepang, namun mereka tidak seluruhnya terikat di
dalamnya, karena aspirasi dan cita-cita mereka sendiri. Mereka sering
menjalankan peranan yang berbeda dari garis resmi pemerintahan militer. Banyak
orang Jepang yang berasal dari kelompok ini kemudian ikut berjuang dalam
mempertahankan republik Indonesia terhadap serangan Belanda.81
80 Aiko Kurasawa, “Film as Propaganda Media on Java under the Japanese, Loc. cit . ,
hlm.40. 81 Akira Nagazumi, editor. Pemberontakan Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang,
Op. Cit., hal.10. Kasus yang sangat menarik adalah tulisan Kenichi Goto. Yakni seorang pemuda
cvi
Untuk mengerahkan staf Sendenbu yang berkebangsaan Indonesia,
pemerintah penduduk mengadakan pembagian kedalam dua kategori. Pertama,
orang-orang Indonesia direkrut atas dasar atribut seperti karir mereka sebelum
perang, orientasi politik, kedudukan masyarakat tradisional, pribadi-pribadi yang
kharismatis dan aktif, mempunyai kemampuan berpidato dan guru-guru sekolah
lebih diutamakan. Kedua, mereka yang memiliki beberapa pengalaman dalam
gerakan anti-Belanda. Moh. Yamin, penasihat bagi Sendenbu merupakan salah
satu contoh.Ia telah aktif dalam gerakan nasionalis anti-Belanda sebagai anggota
Indonesia Muda dan Partindo dan pernah bekerja sebagai guru sekolah. Staf
lainnya adalah Siti Nurjanah yang pernah mengajar pada sebuah sekolah Islam
dan pernah aktif dalam gerakan Islam.82
Sejak masa awal pendudukan, staf propaganda Jepang dikirim ke ibukota-
ibukota provinsi di Jawa (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya)
untuk melaksanakan aktifitas propaganda. Kemudian dibentuk sebuah badan lokal
yang lebih luas dan terorganisasi rapih yang disebut Unit Operasi Distrik
(Chihokosakutai) di kota-kota tersebut di atas dan di kota Malang. Unit-unit
Operasi Distrik ini, berada di bawah kendali langsung Sendenbu. Setiap kantor
karesidenan memiliki seksi propaganda dan penerangannya sendiri.83 Sekurang-
kurangnya satu anggota staf dalam seksi ini adalah orang Jepang yang dikirim dari
Jepang yang bernama Ichiki Tatsuo, karena merasa tidak puas atas harapan yang digantungkan kepada pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia, ia akhirnya ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan gugur sebagai “pahlawan”. Ichiki Tatsuo menanggalkan kewarganegaraan Jepang dan menjadi warga negara Indonesia sebagai “Abdul Rachman” Selanjutnya lihat Kenichi Goto, “Kehidupan dan Kematian” Abdul Rachman (1906-1949): Satu Aspek dari hubungan Jepang-Indonesia dalam Akira Agazumi, editor, Op. Cit . , hlm. 114-131.
82 Djawa Gunseikanboe, Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa, Yogyakarta, UGM Pers, 1984, hlm. 476.
83 Asia Raja, 16 Mei 1944.
cvii
Jakarta secara khusus. Pada tingkat-tingkat administratif bawah, seperti kabupaten
dan kecamatan, terdapat pejabat-pejabat Indonesia yang bertugas untuk
propaganda. Pejabat-pejabat ini tidak bekerja secara khusus untuk propaganda
saja, tetapi secara bersamaan melakukan fungsi lain sebagai pegawai pemerintah
lokal. Salah satu contoh propaganda pada tingkat lokal, adalah Yogyakarta.
Komposisi personal dari unit operasi distrik kurang lebih sama dengan kantor pusat di Jakarta. Ia dikepalai oleh orang Jepang dan dibawahnya terdapat banyak propagandis, baik Jepag maupun Indonesia. Staf Jepang biasanya bertanggung jawab untuk perencanaan dan pengawasan, sementara orang-orang Indonesia sebagian besar bekerja penuh pada unit Yogyakarta, yaitu dua operator Kamishibai (Pertunjukan gambar kertas) empat pelakon Manzai (dialog panggung komik) dan tiga orang yang bertugas untuk penyonsoran. Penerbitan-penerbitan atau pidato-pidato umum harus disensor oleh sendenbu dan ada staf yang bekerja penuh untuk itu.84 Sejumlah besar tenaga honorer dan paruh waktu juga diperkirakan pada
unit propaganda lokal yang akan membantu sewaktu-waktu dengan permintaan
khusus. Secara umum pemimpin-pemimpin politik lokal, pemuka-pemuka, agama,
penyanyi, musisi, aktor, dalang, penari, pelawak dan sebagainya sering
dimobilisasi untuk operasi-operasi propaganda. Kemashuran dan bakat para
penghibur itu dimanfaatkan untuk menarik perhatian rakyat. Di Keresidenan
Cirebon misalnya, terdapat 33 sukarelawan propagandis yang dipilih oleh residen
(Shucokan). Masing-masing ditugaskan pada satu subdistrik (son), dan mereka
ditugaskan untuk memberi penerangan dan tuntunan kepada penduduk lokal
secara harian.
Latar belakang budaya dan bahasa dari masyarakat adalah sangat penting
dalam menentukan sarana-sarana propaganda. Di Jawa karena tingkat melek
hurufnya masih sangat rendah, maka tekanan diberikan kepada media audio-visual
84 Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Op. Cit , . hlm. 234.
cviii
(pendengaran dan penglihatan) seperti film, seni pertunjukan, kamishibai, musik,
radio dan poster. Bahasa Indonesia merupakan bahasa standar untuk semua bahan
propaganda yang diciptakan di Jawa. Hal ini dikarenakan pihak pendudukan
Jepang telah menghapus bahasa Belanda dan “bahasa musuh” lainnya di
Indonesia, di samping keinginan untuk menjadikan bahasa Jepangsebagai bahasa
komunikasi masih sangat jauh dari harapan. Karena penguasaan bahasa Indonesia
sebagian masyarakat pedesaan Indonesia sangat terbatas, maka alternatif
berikutnya adalah menggunakan bahasa yakni bahasa Jawa dan Sunda. Orang-
orang Jepang harus menerjemahkan kembali dari bahasa Indonesia ke bahasa-
bahasa lokal agar kegiatan propaganda menjadi efektif. Barangkali di sinilah
peran penting dari para seniman dan sastrawan daerah yang direkrut dalam
sendenbu. Sedangkan isi dari tema-tema propaganda yang dikeluarkan bagi
masing-masing anggaran berbeda-beda dari tahun ketahun.85
Hasil-hasil dari kegiatan propaganda sukar sekali diukur. Keberhasilan
mencapai suatu tujuan agaknya bisa diukur dari banyaknya orang yang dapat
dipengaruhi di bawah suatu slogan tersebut, tetapi tidak ada cara untuk mengukur
intensitas dukungan rakyat. Tugas ini membutuhkan lebih banyak emosi dari pada
rasio, dan lebih banyak imajinasi dari pada perencanaan. Para pegawainya pun
harus meyakinkan diri mereka sendiri lebih dahulu bahwa suatu tema propaganda
tertentu adalah benar dan perlu sebelum mereka dapat membujuk orang lain.86
Namun demikian dalam mempertimbangkan dampak propaganda Jepang
harus dibedakan antara reaksi kaum intelektual perkotaan dan dari masyarakat
85 Nishijima collection, hlm. 11. 86 Akira Nagazumi, editot, Op. Cit . , hlm. 9.
cix
yang tidak berpendidikan. Orang-orang yang terdidik umumnya memperoleh
informasi dengan baik tentang masalah dunia dan menambah pengetahuan yang
akan memberi dasar kepada mereka untuk penilaian yang lebih rasional dari
pesan-pesan propaganda. Sedangkan dari masyarakat yang tidak terdidik dan
kurang memperoleh informasi, cenderung menerima propaganda sebagai nilai
utama. Jadi sasaran propaganda yang ditujukan kepada generasi muda nampaknya
lebih efektif dan mengena kepada masyarakat yang tidak berpendidikan, terutama
yang hidup di daerah pedesaan dan terisolasi dari sumber-sumber informasi
lainnya.
Dana yang terkumpul dari hasil beberapa pertunjukan tersebut diberikan
kepada pihak-pihak yang membutuhkan, antara lain untuk pemberantasan buta
huruf, membantu desa-desa miskin yang dilanda kelaparan, membantu usaha
pemberantasan penyakit dan lain-lain. Sumbangan ini dilakukan oleh barisan
Pemuda Asia Raya cabang Jakarta yang mengadakan pertunjukan amal “Dewi
Moerni”.87
4. Sendenhan Mulai Beroperasi
Setelah berangkat dari Jepang pada 3 Januari 1942, para anggota
Sendenhan Pasukan ke-16 menempati Takao di Taiwan untuk sementara, dan
pada awal bulan Febuari 1942 mereka berangkat ke Indonesia. Pada 1 Maret 1942
armada pasukan ke-16 mengadakan operasi pasifikasi di tiga tempat, yaitu Merak
(teluk Banten) di Jawa Barat, Eretan di Jawa Tengah,dan rembang di Jawa Timur.
Di merak tempat induk pasukan mendarat, terjadi peperangan dengan tiga kapal
perang sekutu, yang bagian dari ABDACOM ( American Britist Dutch Australian
87 Djawa Baroe, No. 8-9, Januari 1943, hlm. 10.
cx
Command) : Huston (Amerika), Perth (Australia), dan sebuah kapal perang kecil.
Satu setengah jam kemudian, ketiga kapal ini diluluhl lantahkan termasuk tujuh
buah kapal sekutu. Pihak Jepang juga kehilangan beberapa kapal, termasuk
sakuramaru. Selain komandan Tertinggi Imamura, sebagian dari anggota
Sendenhan juga harus menyelamatkan diri ke laut.
Pada 2 Maret 1942 mereka tiba di serang. Disana semua anggota
Sendenhan yang terjadi di kapal-kapal Mizohomar, Akitsumaru, dan sakuramaru
bertemu. Kemudian, mereka diutus terpisah lagi ke Batavia, bogor, dan
Bandung.89 Pada 5 maret 1942 mereka berhasil menduduki Batavia, yang sudah
dinyatakan “kota terbuka “ oleh Belanda. Namun, militer Jepang tidak masuk ke
dalam kota Batavia kecuali anggota Sendenhan. Pada 8 Maret1942, K.Machida,
U.Tomisawa, Y.Nakatani, anggota Seksi film Sendenhan, koresponden, dan
wartawan menuju Kalijati mengejar koferensi penyerahan. Pada 9 Maret 1942
komandan militer Belanda menyerah kepada Komandan Hitoshi Imamura di
Kalijati. Tomisawa dan Nakatani langsung berangkat ke Bandung. Nakatani
adalah penerjemah Sendenhan dan sebelumnya bekerja di Toko Bromo di Malang
sejak sebelum perang. Pada malam harinya, mereka mengambil alih stasion Radio
NIROM dan menyiarkan “oendang-oendang Nomor 1 dari Pembesar Balatentara
Dai Nippon” dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Jepang, bahasa Indonesia, dan
bahasa Belanda.90
89 Ibid.,hlm. 182-183. 90 Tomisawa, Jawa, hlm. 74, 87-88., Tomisawa, “Jawa ni Okeru Sendenhan no Katsudo:
Joriku yori Ajia Raya-sha Soritsu made (Kegiatan Sendenhan di Jawa: Dari Pendartan sampai Pendirian Perusahaan Asia Raya)” dalam majalah Toa Bunka Ken (Lingkungan Budaya Asia Timur) (Januari 1943), (Seterusnya dirujuk sebagai Tomisawa, “Jawa”), hlm. 88-95.Mengenao perjalanan mereka ke Kalijati dan usaha propaganda mereka di Bandung,baca juga Yoshio Nakatani, Nakatani Yoshio Danwa: Gunsei no Omoide (Wawancara dengan Yoshio Nakatani:
cxi
Sementara itu, anggota Sendenhan yang tinggal di Batavia juga mulai beroperasi
disana. Oya memimpin pengambil alihan Konsulat Jendral Inggris, agen berita,
perusahaan surat kabar, stasiun radio, perusahaan percetakan, studio film, toko
alat-alat foto, took alat-alat radio, dan lain-lain. Mereka berkeliaran untuk
menempelkan tanda Marusen (symbol Sendenhan) pada tempat-tempat tersebut.91
Sepertiga dari bahan propaganda yang disiapkan mereka sudah tenggelam ke laut,
sedangkan dua pertiganya terlambat datang. Oleh karena itu nasib Sendenhan
sangat tergantung pada hasil pengambil alihan tersebut.92
Sebelum Belanda menyerah, tugas utama Sendenhan adalah mengadakan
Propaganda terhadap musuh dan pemberitaan ke Jepang.93 Setelah Belanda
dilucuti, mereka mengutamakan propaganda terhadap penduduk Indonesia.
Mengenai kegiatan awal Sendenhan itu, nomor perdana Sekido Ho [Berita
Khatulistiwa] yang terbit pada 9 Maret 1942 memuatkan sebuah artikel yang
berjudul “Aozora Ni Egaku Ajia Banzai: Sendenhan No Katsuyuka [melukiskan
‘hidup Asia’di langit Biru : Aktivitas Sendenhan]” :
[..] Setelah mengambil alih konsulat jendral inggris sebagai pusat , Sendenhan langsung memulai berbagai kegiatan propaganda. Hari ini kami dapat memasang balon iklan di lapangan yang ada di muka Markas Besar Sendenhan berkat aktivitas seksi balon. Orang Indonesia yang melihat [tulisan di balon] itu, tua maupun muda [...] berteriak-triak “hidup Asia”.
Kenangan tentang Pemerintahan Militer), Diambil dari rekaman kaset, 20 November 1956,hlm. 37-83, (The Nishijima Collection, (JV 34-2) ).
91 Kecuali Kitahara, Yokoyama,Iida, dan Takeda yang terlambat datang ke Batavia. 92Machida, Tatakau, hlm. 191-192. 93 Tomisawa, Jawa, hlm. 72-73.
cxii
Mayarakat setempat menyebut Sendenhan sebagai BP, singkatan dari “Barisan
Propaganda.” Kehadiran mereka cukup mengesankan maka anak kecil saja
mengenal sebutan BP tersebut.94
B. Propaganda Jepang di Jawa 1942-1945
1. Propaganda Jepang sebelum Invasi ke Indonesia
Jauh sebelum menguasai Indonesia, Jepang sudah mempersiapkan diri
untuk mengambil hati rakyat Indonesia yang ketika itu masih berada di bawah
kekuasaan kolonialis Belanda. Propaganda menjadi alat utama bagi Jepang untuk
menarik simpati rakyat Indonesia, sehingga bangsa itu telah mempersiapkannya
secara sistematis selama beberapa tahun sebelum melaksanakan invasi ke wilayah
Selatan.
Awal persiapan materi propaganda ditandai dengan penerbitan artikel yang
ditulis oleh Jenderal Arki,Menteri Urusan Perang, dalam bulan April 1932. artikel
itu berjudul The Call of Japan in the Sowa Period (Seruan Jepang pada Masa
Sowa), yang memuat ajaran bahwa jepang harus mengikuti Imperial Way (Jalan
Kekaisaran) untuk mengangkat bangsa Yamamoto, dan untuk menyelamatkan
Asia Timur serta dunia. Jenderal Araki mengakhiri artikel ini dengan suatu
penegasan bahwa misi bangsa Jepang adalah menyebarluaskan doktrin Imperal
Way diseluruh lautan dan dunia. Jederal Araki juga menulis The Present Position
of East Asia, yang menampakkan cirri utama fasisme,yakni rasialis dan imperialis.
Dalam artikel itu Ararki menyatakan:
“The Japanese Empire, in its own and other eyes,the leader of East Asia and with the power to be so,whose call is Kodo or the Imperial
94 Takeo Kitahara, 1943, Uki Kitaru: Jawa Jugun-ki (Musim Hujan Tiba: Catatan Wamil
di Jawa), Tokyo: Buntai-sha, (Seterusnya dirujuk sebagai Kitahara, Uki), hlm. 57.
cxiii
Way, to spread out and save oppressed countries, cannot stand aside any longer and look on inactive”95
“Kekaisaran Jepang,dalam sudut pandangnya sendiri dan sudut pandang orang lain, pemimpin Asia Timur dan dengan kekuatan semacam itu, yang disebut Kodo atau Jalan Kekaisaran, dalam rangka perluas dan penyelamatan negeri-negeri yang tertindas, tidak dapat lagi tinggal diam dan hanya melihat tanpa melakukan apapun” (terjemahan oleh Penulis). Dalam tulisan tersebut tampak jelas bahwa Jepang telah
mempropagandakan dirinya sebagai bangsa pemimpin dan penyelamat bagi
bangsa-bangsa Asia yang terjajah, tetapi tanpa menyatakan tindakan agresifnya
untuk menguasai wilayah-wilayah lain. Tindakan itu merupakan salah satu
karakter pasif Jepang. Seperti kaum fasis yang lain, ketika itu Jepang telah
melegitimasi perannya sebagai pemegang kekuatan atas bangsa-bangsa Asia
Timur. Slogan kemanusiaan untuk membebaskan bangsa-bangsa yang tertindas
oleh bangsa Barat, sesungguhnya merupakan kedok Jepang untuk melakukan
ekspansi ke wilayah-wilayah lain dan menampilkan diri di panggung kekuasaan
dunia.96
Segera setelah pecah perang di eropa dalam bulan September 1939, Jepang
mulai mempersiapkan diri untuk mengadakan invasi ke wilayah-wilayah di
sebelah Selatan Jepang. Indonesia merupakan sasaran invasi jepang yang penting
karena wilayah itu memiliki persediaan bahan mentah seperti minyak, karet,
95 Robentson, Eric, 1979, The Japanese File: Pre-War Japanese Penetrasion in Southeast
Asia, London: Heinemann Educational Books Limited, hlm. 87. 96 Riff, a. Michael, Kamus Ideologi Politik Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar , hlm.
56.
cxiv
timah, bosit, manggan yang sangat diperlukan untuk mendukung kepentingan
perang.97
Untuk persiapan penyerbuan ke wilayah Selatan, propaganda pun semakin
diperkuat. Dalam musim panas tahun 1940 Pangeran Konoye meresmikan empat
biro propaganda di Tokyo. Biro propaganda yang utama adalah Cabinet
Informasion Biro, sedangkan tiga biro yang lain ditempatkan dikementrian luar
negeri,markas militer, dan di Taisei Yomusankai (Pergerakan Nasional Baru).
Propaganda disiarkan melalui radio, pers, dan pamphlet dan dilaksanakan oleh
organisasi-organisasi propagandis, sebagai contoh Great Asia Society South dan
Seas Association. Selain melalui media komunikasi, propaganda juga dilakukan
secara lisan oleh para propagandis, dan mengundang bangsa-bangsa Asia lainnya
untuk mengikuti pendidikan serta bekerja di Jepang.98 Khususnya untuk
Indonesia, sasaran pertama Jepang para wartawan atau orang-orang yang bergiat
dalam persuratkabaran. Pada tahun 1933 Jepang telah mengundang pemimpin
redaksi surat kabar Bintang Timoer, bersama dengan wartawan lainnya, untuk
mengunjungi Jepang. Undangan ini dimaksudkan untuk menanamkan rasa hutang
budi, sehingga para wartawan Indonesia itu bersedia menyiarkan tulisan-tulisan
yang mendukung Jepang.998
Setelah tahun 1940 propaganda Jepang menjadi semakin gencar. Pada
tanggal 16 Maret 1941 melalui radio Taihoku di Tokyo disiarkan propaganda
sebagai berikut.
97 Aziz. M. A, 1955, Japan’s Colonialism and Indonesia, The Hague: Martinus Nijhoff, hlm. 100.
98 Robentson, Eric, The Japanese File: Pre-War Japanese Penetrasion in Southeast Asia,
hlm. 86-87. 99 Seobagijo, I.N, 1980, Sumanang Sebuah Biografi, Jakarta: Gunung Agung, hlm. 68.
cxv
“Co-operation among the natives of Burma, the Philippines, and East Indies should be established. This move should be carried out by themselves. Japan must take a leading role in order to lead them and guide them to proper path of c0-operation and common prosperity, as these countries have been unjustly treated by the foreigners.100
“Kerja sama antara bangsa Birma, Pilipina, dan Hindia Timur harus digalang. Kerja sama ini harus dilaksanakan oleh mereka sendiri. Jepang harus memegang peranan pimpinan untuk memimpin dan mengarahkan mereka ke jalan kerja sama yang benar dank kea rah kemakmurn bersama, karena negeri-negeri ini telah diperlakukan oleh bangsa-bangsa asing secara tidak adil” (terjemahan oleh Penulis).
Dalam propaganda di atas tampak jelas bahwa jepang telah mengeluarkan
Controversial issu untuk menimbulkan rasa antipathy terhadap bangsa-bangsa
Barat yang telah melakukan kolonialisme dan imperialisme di wilayah Asia.
Dalam pernyataan itu Jepang telah mengekspresikan juga sikap meremehkan
terhadap bangsa-bangsa lainnya, yang dianggapnya bahwa tanpa
kepemimpinannya bangsa-bangsa lain tak berdaya untuk meraih kemakmuran
sendiri. Dalam hal ini Jepang telah menunjukan sifat fasisme lagi. Dengan
demikian, propaganda memang sangat diperlukan oleh kaum fasis untuk mencapai
tujuannya, karena dengan itu mereka dapat mempengaruhi orang lain dengan
slogan-slogan indah yang sesungguhnya adalah indoktrinasi demi pencapaian
tujuan yang telah mereka tetapkan.
Khususnya di Indonesia, seruan anti-Belanda menjadi isu propaganda yang
dikumandangkan secara tegas, terutama melalui barisan propagandanya.
Propaganda anti-Belanda itu telah mendapat perhatian khusus penduduk
Indonesia.
2. Alat Perang Propaganda Jepang
a. Dari Pasukan Pena ke Barisan Propaganda
100 Seobagijo, I.N, 1983, Mr. Sudjono Mendarat dengan Pasukan Jepang di Banten 1942. Jakarta: Gunung Agung, hlm. 164.
cxvi
Bibit Sendenhan dimulai sejak Insiden Manchuria pada tahun 1931.
Setelah mendirikan negara Manchuria, Jepang semakin terpojokkan di dunia
internasional. Maka pemerintahan dan militer Jepang memutuskan untuk
membentuk sebuah komite ini diresmikan oleh kabinet Koki Hirota101 pada bulan
Juli 1936 dengan nama Komite Penerangan Kabinet (Naikaku Joho Iinkai).
Kemudian, komite tersebut diubah menjadi Bagian Penerangan Kabinet (Naikaku
Johobu) pada 25 September 1937. Komite-komite yang disebut di atas masih
bersifat menghubungkan seksi-seksi penerangan yang ada di Departemen Luar
Negeri, Departemen Dalam Negeri, Departemen AD, dan Departemen AL.
Pada masa kabinet Fumimaro Konoe kedua (Juli 1940-Juni 1941),
Naikaku Johobu diubah lagi menjadi Dinas Penerangan Kabinet (Naikaku
Johokyoku; selanjutnya disingkat Johokyoku) yang menyatukan tugas-tugas yang
menyangkut penerangan serta porpaganda yang selama ini diurus keemapat
departemen tadi. Hal ini diputuskan dalam konfrensi kabinet pada 13 Agustus
1940 dan diresmikan pada 5 (6?) Desember 1940. Johokyoku ini melaksanakan
tugas penerangan, pemberitaan, penyensoran, operasi propaganda, dan
sebagainya.102 Johokyoku diawasi langsung oleh perdana menteri dan terdiri dari
lima bagian. Seksi Ketiga Bagian Kelima Johokyoku-lah yang bertugas
membimbing oraganisasi sastra, seni rupa, musik, dan budaya lainnya. Kepala
seksinya Kajin (pencipta tanka) Zushi Hachiro (nama sebenarnya adalah Shiro
101 Sesudah perang, ia akan dihukum mati sebagai penjahat kelas A. 102 Tomio Sakuramoto, 1993, Bunkajin Tachi no ditoasenso: PK Buati ga Iku (Perang
Asia Timur Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju), Tokyo: Aoki-shoten, (Seterusnya dirujuk sebagai Sakuramoto, Bunkajin), hlm. 56-51., dan Shireru Hayashi, 1993, Nihon No Rekishi 25: Taiheiyo Senso (Sejarah Jepang 25: Perang Pasifik), Tokyo:n Chuo Koron Sha,hlm. 325.
cxvii
Inoue). Inoue ini sangat dibenci di kalangan sastrawan, karena ia menekan mereka
seenaknya atas dukungan penuh oleh Bagian Berita Militer.103
Kabinet Konoe kedua tersebut mengumandangkan Gerakan Orde Baru
(Shintaisei Undo). Untuk mengawalinya, kabinet itu membubarkan semua partai,
dan sebagi gantinya pada 12 Oktober 1940 mendirikan Taisei Yokusankai
(Persatuan Pembantu Pemerintah Kekaisaran) yang diketahui Konoe sendiri.
Badan ini merupakan organisasi massa yang dikontrol langsung oleh pemerintah,
yang kemudian dijadikan model buat Jawa Hokokai (Himpoenan Kebaktian
Rakjat di Djawa). Di Taisei Yokusankai terdapat juga Sendenbu (Bagian
Propaganda) Ypkusankai. Misalnya dengan dibantu Johokyoku, Sendenbu ini
mendirikan Nihon Senden Bunka Kyokai (Lembaga Budaya Periklanan Jepang)
yang mengontrol dunia periklanan swasta untuk kepentingan negara pada bulan
Mei 1941.104 Gerakan Orde Baru yang diluncurkan kabinet Konoe tersebut
menyebar ke segala bidang, termasuk bidang sastra, dan menjadi populer
semboyan “Jangan Ketinggalan Bus (yang bernama Orde Baru)”.105
Pada 23 Agustus 1938, satu tahun setelah Perang Jepang-Cina meletus,
Naikaku Johobu mengadakan pertemuan dengan dua belas orang sastrawan.
Semua sastrawan menyatakan keinginan untuk ikut tentara, kecuali novelis Riichi
Yokomitsu yang mengundurkan diri. Akhirnya, Naikaku Johobu memutuskan
untuk mengikut sertakan 22 orang sastrawan (yang tentu pro-pemerintah) ke
103 Tomio Sakuramoto,1995, Nihon Bungaku Hokokukai: Dai Toa Senso-ka no
Bungakusha-tachi (Nihon Bungaku Hokokukai: para Sastrawan di Bawah Perang Asia timur Raya), Tokyo: Aoki-shoten, (Seterusnya dirujuk sebagai Sakuramoto, Nihon), hlm. 44-45., Sakuramoto, Bunkajin, hlm. 109.
104Sakuramoto, Bunkajin, hlm. 157-158. 105 Sakuramoto, Nihon, hlm. 10., untuk mengetahui Jawa Hokokai secara ringkas, baca
“Pedoman Djawa Hookookai, Himpoenan Kebaktian Rakjat”, 1 Halaman. (The Nishijima Collection, (JV 20) ).
cxviii
medan perang di Cina.106 Rombongan ini dinamai Pen Butai oleh media massa
dan sebutan ini menjadi popular di masyarakat luas.107 Butai berarti ‘pasukan’
sedangkan pen berarti ‘pena’. Jadinya “pasukan pena” (selain ini, ada juga yang
seperti Rekodo Butai (pasukan piringan hitam) yang beranggotakan penggubah
lagu seperti Nobuo Iida yang akan dikirim juga ke Jawa). Pengurus “Pasukan
Pena” ini adalah sastrawan Kan Kikuchi, ketua Bungeika Kyokai (Lembaga
Sastrawan Jepang).
Novelis Shiro Ozaki adalah salah seorang anggota “Pasukan Pena”
tersebut. Dalam novelnya Bungaku Butai (Pasukan Pena) (1939), ia menuliskan
mereka diberi keterangan oleh seorang Kolonel seperti berikut.
Sebenarnya tidak ada pesan apa-apa dari pihak militer. Kalian hanya diharap melihat apa adanya di sana. Kalau nanti kalian tidak menulis apa-apa juga tidak masalah. Jadi, tidak ada tanggung jawab khusus bagi kalian.
Kenyataannya, penjelasan ini merupakan tipuan agar para sastrawan
bersedia ikut. Sebelumnya sudah ditentukan tugas “sastrawan wamil (sastrawan
yang diwajib militerkan)” ini, yaitu memberitakan perjuangan militer Jepang di
Cina kepada rakyat Jepang supaya meningkat keinginan rakyat Jepang untuk
bersatu untuk maju. Hal ini tercantum dalam “Jugun Bungeika Kodo Keikaku Hyo
(Jadwal Rencana Kegiatan Sastra Wamil)” buatan Hodobu (Barisan Berita)
militer.108 Belakangan reportage mereka semuanya dikirim ke Jepang dan dimuat
106 Masao Kume, Teppei Kataoka, Matsutaro Kawaguchi, Shiro Ozaki, Fumio Tanba,
Akira Asano, kunio Kishida, Sonosuke Sato, Kosaku Takii, Takao Nakaya, Kyuya Fukada, Uio Tomasiwa, Fumiko Hayashi, Kyoji Shirai (AD), Kan Kikuchi, Eiji Yoshikawa, Harou Sato,Seijiro Kojima, Heisuke Sugiyama, Komatsu Kitamura, Hiroshi Hamamoto, Nobuko Yoshiya (AL). Lohat Sakuramoto, Bunkajin, hlm. 15.
107 Ryuji Takasi, 1976, Pen to Senso (Pena dan Perang), Tokyo: Seiko Shobo. 108 Sakuramoto, Bunkajin, hlm. 12-21.
cxix
di berbagai media massa. Berarti, mereka hanya diharapkan untuk berpropaganda
kepada rakyat Jepang sendiri bukan kepada rakyat Cina.
b. Almanak Asia-Raya 2603
Pada awal tahun 1943 perusahaam surat kabar Asia Raya menerbitkan
sebuah almanak. Almanak yang berjudul Almanak Asia-Raya 2603 ini kecil tetapi
cukup tebal dengan ukuran 11 x 16 cm dan terdiri dari 258 halaman. Almanak
Asia-Raya adalah satu-satunya almanak berbahasa Indonesia yang terbit di Jakarta
selama masa pendudukan Jepang.109 Almanak tersebut terdiri hanya dua kali dan
pada tahun keduanya (1944) diterbitkan oleh Djawa Shinbunsha bukan oleh
perusahaan Asia Raya 2603-lah yang merupakan almanak murni buatan
Sendenbu. Dalam kata pengantarnya, dijelaskan bahwa almanak ini diharapkan
untuk dijadikan “pedoman dan toentoetan jang oetama” bagi “oemoem, baik
kaoem toea maoepoen moeda, poetera atau poeteri.” Sebelumnya diterangkan
mengenai dua kewajiban, yaitu kewajiban surat kabar dan kewajiban rakyat,
pertama berbunyi sebagai berikut.
KEWADJIBAN SOERAT KABAR pada oemoemnja ialah memberikan penerangan jang sebaik-baiknja kepada oemoem. Teroetama dalam zaman pantjaroba, dalam waktoe peroebahan sekarang ini, perloe sekali penerangan jang sebenar-benarnja dan seloeas-loeasnja kepada oemoem.110
Jika membaca surat kabar masa itu, maka jelaslah rakyat Indonesia tidak diberi
penerangan yang “sebenar-benarnja dan seloeas-loeasnja. Rakyat Jepang juga
109 Di Surabaya diterbitkan Almanak Nasional 1942 dan Almanak Soeara Asia 1944 oleh
Komisi Penerbitan Almanak Nasional. 110 Almanak Asia Raya, hlm. 13.
cxx
hanya diberi tahui yang bagus-bagusnya saja dan sering diberi keterangan palsu
oleh pemerintahan dan militer negaranya sendiri.
Hal ini tidak terkecuali untuk karya-karya sastra yang dimuat dalam surat
kabar serta media massa lain. Hampir tidak ada yang diciptakan “sebagai-
bagainja”. Artinya hanya dimuat karya sastra yang dapat membantu Jepang. Dan
untuk penjelasan lebih lanjut, dibawah ini kutipan lanjutan dari kutipan di atas
mengenai apa gerangan yang dimaksud kewajiban rakyat itu.
Poen perloe sekali rakjat diinsjafkan akan kewadjiban dan kedoedoekannja oentoek menjoesoen masjarakat baroe. Kewadjiban jang teroetama ialah mambantoe Pemerintah oentoek mengoeatkan barisan dibelakang garis perang. Menegoehkan semangat, tenaga dan kekoeatan agar soepaja dapat memberi sokongan jang sebaik-baiknja kepada Pemerintah oentoek mentjapai kemenangan achir dalam perang sekarang ini.111
Sebagaimana bagian yang dicetak miring menujukkan, rakyat Indonesia
diwajibkan untuk mendukung pemerintah Jepang secara total. Maka, dipeladjari
dan achirnya dikerdjakan, dengan hati jang tegoeh dan niat jang soetji oentoek
mengabdikan diri kepada soesoenan masjarakat baroe.112
Apabila mamperhatikan isi almanak tersebut maka dapat membayangkan
citra ideal bagaimana yang diharapkan dari rakyat Indonesia oleh Sendenbu pada
masa itu. Di sini, akan dikutip semua semboyan yang dimuat di dalam almanak
tersebut guna mengetahui arah propaganda Sendenbu. “Hidoeplah Asia Raya”
(hlm.30), “Samoerai dan Ksatrija Pahlawan Asia Timoer Raya” (hlm.105), “Siap
Sedia dan Giat Tjepat / Bekerja Mentjapai Asia Raja (sic)” (hlm.153),
111 Ibid. 112 Ibid.
cxxi
“Bangoenan-Bangoenan Oemoem Milik Kita Bersama Haroes Kita Djaga dan
Bela” (hlm.154), “Hemat dan Tjermat Pangkal Bahagia Roemah Tangga”
(hlm.157), “Dai Nippon dan Indonesia Toelang Penggoeng Asia Raya” (hlm.216),
“Dosa Kepada Indonesia Haroes diteboes dengan Djiwa” (hlm.224), “Dalam
Keloearga Asia Raya Berdirilah Indonesia Moelia” (hlm.226), “Doea Sedjoli
Nippon Indonesia Membawa Kemakmoeran Bersama” (hlm.233). semboyan-
semboyan tersebut rata-rata tidak menyimpang dari kerangka haluan propaganda
Sendenbu tahun 1943 yang sudah diuraikan dalam subbab “ A. 2 lahirnya
Sendenhan”. Sepintas lalu dapat diketahui bahwa yang paling ditekankan adalah
gagasan “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.” Dalam hal ini
dititikberatkan juga unsur kekeluargaan dan kebersamaan.
Adapun, glosarium “Arti Nama-nama Nippon dari Kantor-kantor
Pemerintah dll.” Yang terdapat dalam Almanak Asia Raya 2603 berguna untuk
mengetahui sebutan badan-badan Jepang pada masa itu. Misalnya, menurut
almanak itu, Gunseikanbu diterjemahkan sebagai ‘Kantor Besar Balatentara.’
Sedangkan Sendenbu berarti ‘Barisan Propaganda.’ Pada masa itu, istilah-istilah
bahasa Jepang itu digunakan langsung tanpa diterjemahkan.
c. Kebijakan Jepang dalam Puisi Indonesia
Sebagaimana dapat diketahui dari semboyan-semboyan dalam Almanak
Asia-Raya 2603 yang sudah dibahas dalam subbab sebelumnya, ada beberapa
cxxii
subbab sebelumnya, ada beberapa subtema propaganda lain selain tema utama
yang ditetapkan Sendenbu. Bahkan, rupanya penerapan tema setiap tahun
anggaran itu tidak bersifat mutlak. Misalnya, upaya pencegahan mata-mata
dilaksanakan sangat ketat sepanjang pendudukan. Dalam rangka itu, sejak 1
Desember 1942 dilarang juga untuk mengunakan bahasa Belanda dan Inggris di
telepon.113 Sebagai puisi yang bertemakan hal tersebut ada “Awas Mata-mata
Moesoeh!” karya St.P. Boestami yang dimuat dalam majalah Djawa Baroe (no.8.
15.4.2603). tema ini terdapat juga dalam cerpen “Koerban Gadis” karya Winarno
yang dimuat dalam majalah yang sama. Sebagaimana sudah dijelaskan, tema
pencegahan mata-mata ini adalah salah satu dari yang ditetapkan sebagai tema
utama propaganda tahun 1945. Di bawah ini sajak Boestami seutuhnya.
AWAS MATA-MATA MUSOEH!
Awaskan wahai, mata-mata moesoeh, Mereka bertadji, lagi bersoesoeh, Tadji dan soesoeh mengandoeng ipoeh,Maksudnja selalu hendak menempoeh.
Mata-mata moesoeh terlaloe tadjam, Sifat dan tabi’at terlaloe kedjam, Senantiasa ia hendak menikam, Kita telengah laloe diterkam.
Mata-mata moesoeh haroes didjaga, Padanja haroes selaloe tjoeriga, Djika dimasoekkan keroemah tangga, Roesaklah kelak kaoem keloearga.114
Sajak ini mengingatkan kepada rakyat Indonesia bahwa tidak boleh mendengarkan perkataan mata-mata musuh, yaitu mata-mata Sekutu. Sajak yang bertemakan pencegahan mata-mata musuh ini agaknya dipesan dan dibuat untuk memperkuat kebijakan pencegahan mata-mata yang dijadikan kewajiban sehari-hari sejak 2 April 1943.115
113 Jawa Nenkan, hlm. 105. 114 Djawa Baroe (no.8. 15.4.2603), hlm. 29. 115 Mengenai pencegahan mata-mata, lihat antara lain “Kedjadian-Kedjadian jang
Terpenting Sampai hari ini” dalam Djawa Baroe (no.8. 15.4.2603), hlm. 28-29.
cxxiii
Adapun, Boestami adalah penyair yang paling sering menulis dalam
Djawa Baroe.116 ia adalah salah satu seorang dari sekian banyak sastrawan yang
terjerat oleh kekaguman terhadap kehebatan militer Jepang yang mengusir
kekuatan orang berkulit putih dari kawasan Asia Tenggara. Nama penyair tua ini
muncul dalam buku kritikus Akira Asano (anggota Sendenhan), yaitu Jawa Kantei
Yowa (Anekdot tentang Pasifikasi Jawa) (1944). Menurut tulisan itu, Boestami
adalah guru bahasa Indonesia Tatsuo Ivhiki (Mengenai Ichiki, lihat subbab “A. 1
Ke Selatan”). Ia pernah bekerja di Balai Poestaka kemudian menjadi editor bahasa
di Asia Raya.117 Sama halnya dengan sajak “Awas Mata-mata Moesoeh!”, sajak
“Sembojan” karya Boestami yang dimuat dalam Djawa Baroe juga merupakan
pikiran rakyat Indonesia.
Sembojan
Koerang pertjaja pada Pemerintah, Alamat oesaha akan segera patah. Tindakan jang tidak dipikir dahoeloe, Pasti ‘akibatnya akan membawa piloe. Kalau “so’al” dibawa moesjawarat, Pasti lenjap segala daroerat. Sikap angkoeh,meninggikan diri, Soekarlah kawan akan ditjari. Kalau tegoeh kita bersatoe, Dapat meloeloehkan goenoeng batoe. Kalau bersifat tama’ dan loba, Sekeliling pinggang tjelaan tiba. Djika sifat boros dan aboer, Dalam sengsara masoek kekoeboer. Kalau ta’ada oeang dipegang, Sanak saudara mendjadi renggang. Ta’ tahoe membatja dan menoelis, Soekarlah masoek kedalam madjelis. Tahoe menoelis, dengan membatja, Segala kitab djadi neratja.118
Sajak yang berbentuk gurindam ini mengingatkan karya Raja Ahli Hadji.
Terutama bait kedelapannya sangat mirip dengan salah satu bait dari
116 Sepanjang masa penerbitan, Djawa Baroe memuatkan sebanyak dua belas buah sajak.
Empat diantaranya merupakan karya Boestami. 117 Akira Asano, 1944, Jawa Kantei Yowa (Anekdot Tentang Pasifikaso Jawa), Tokyo:
Hakusuisha,(Seterusnya dirujuk sebagai Asano, Jawa), hlm. 11, 19. 118 Djawa Baroe (no.11. 1.6.2603), hlm. 9.
cxxiv
“Guyrindam” karya Raja Ahli Hadji, yaitu “Kalau tiada emas dipinggang, / Sanak
saudara mendjadi renggang.”119 Patut diperhatikan bahwa Boestami sengaja
mengunakan bentuk puisi Melayu klasik yang mudah diingat, yakni gurindam.
Sebagaimana biasa pada gurindam, sajak “Sembojan” terdiri dari serentetan
nasehat yang supaya mudah diingat dibuat rapi dengan rima a-a.
Dalam sajak tersebut, terdapat tema-tema: (a) kepercayaan pada
pemerintah Jepang; (b) ketidakgegabahan; (c) permusyawaratan; (d) kerendahan
hati; (e) solidaritas; (f) keramahan; (g) penabungan; (h) pembangkit semangat
untuk belajar secara rajin. Hal-hal itulah yang memang diinginkan oleh Jepang
pada waktu itu. Bagi pemerintah Jepang, “kerja sama” dengan rakyat Indonesia
merupakan hal utama.120 Oleh karena itu, rakyat Indonesia diharapkan
mempercayai pemerintah Jepang dan juga tidak gegabah beraksi atas keinginan
sendiri (a-f). subtema (g) juga merupakan hal yang paling diinginkan oleh Jepang
pada masa itu, yaitu penabungan serta penghematan.121 Pada masa tahun 1943,
“Paus Sastra” H.B. Jassin pernah membuat lagu yang berjudul “Mari Menaboeng”
yang terdiri dari empat nomor. Nomor kedua berbunyi sebagai berikut.
Hemat hemat itoe lagoe kita. Njaring k’ras soeara kita.Gagah berani kita majoe. Pikiran aman sangat gembira122
119 Radja Ahli Hadji, “Gurindam” dalam Sutan Takdir Alisjahbana, 1950, Puisi Lama,
Djakarta: Pustaka Rakjat, hlm. 90. 120 Jawa Nenkan, hlm. 20. 121 Mengenai hal ini, Lihat misalnya, artikel ”Mari Kita Menaboeng oeang!” dalam Djawa
Baroe (no.12. 15.62063), hlm. 16-17. 122 Jawa Shinbun (no.63. 9 Februari 1943), hlm. 2.
cxxv
Sama halnya dengan di Indonesia, rakyat Jepang juga dianjurkan menghemat dan
menabung, rakyat Jepang juga dianjurkan menghemat dan menabung.
Departemen Keuangan menetapkan jumlah target tabungan setiap tahun. Menurut
surat kabar Unabara (no.62. 22 Mei 1942), tabungan rakyat sebagai “daya
penggerak untuk pelaksanaan perang suci” sudah melebihi 1 miliar yen pada saat
14 Mei 1942 dan ditargetkan 2,70 miliar yen tahun 1943. Pada masa itu,
dramawan Jepang tidak dapat mengadakan pementasan tanpa adanya “kartu bukti
kecakapan” yang diterbitkan Markas Besar Kepolisian Metropolitan. Namun,
pada 13 Oktober 1943, berdasarkan pertimbangan khusus, tanpa kartu bukti
kecakapan tersebut Nihon Bungaku Hokokukai diizinkan untuk mementaskan
sebuah “drama sastrawan” yang mempropagandakan pentingnya menabung.
Judulnya adalah “Malam 2,7 Miliar”! Masao Kume dan Hidemi Koi main dalam
pementasan itu. Penyair Atsuo Oki ikut serta dengan membacakan puisi sebagai
atraksi.123 Di samping itu, mengenai subtema (h) dalam sajak “Sembojan”, belajar
secara rajin di sini dapat dianggap belajar bahasa Indonesia maupun bahasa
Jepang, karena pada waktu itu bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa nasional
dan masyarakat Indonesia juga didorong untuk mempelajari bahasa Jepang. Dari
subtema-subtema yang dominan, dapat disimpulkan bahwa sajak tersebut
bertemakan peningkat rasa solidaritas dan kohesi masyarakat.
Semboyan-semboyan yang terkandung dalam sajak “Sembojan” di atas
mengingatkan Penulis pada semboyan-semboyan di TVRI, yaitu “Jalin persatuan
dan kesatuan”, “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, dan sebagainya yang
sering dimunculkan di sela-sela program. Memang pesan pemerintah itu argumen
123 Sakuramoto, Nihon, hlm. 395.
cxxvi
yang masuk akal. Lebih baik akur, dari pada bertengkar. Untuk memecahkan
masalah, lebih baik kita bersatu. Mungkin keinginan para pucuk pimpinan negara
itu tidak bedanya sepanjang masa: menginginkan ketentraman di negaranya.
Hanya saja, yang menjadi masalah adalah Jepang menyerukan semboyan
semacam itu di negeri orang. Akan tetapi oleh karena pada waktu itu para
sastrawan Indonesia masih mempercayai atau belum tahu niat sebenarnya
pemerintah Jepang, maka banyak sastrawan menghasilkan karya-karya yang
sesuai dengan tema-tema yang dipesan oleh pihak pemerintah Jepang. Sebaliknya,
yang sudah sadar pada hal tersebut memilih bungkam. Mereka kelesuan semangat
mencipta atau menyimpan karya karena takut ditangkap Kenpeitai (polisi militer).
Namun, ada juga yang berani memprotes lewat cara simbolik.124
d. Foto di Surat kabar
Dalam majalah Shashin Shuho (Berita Mingguan Foto) yang diterbitkan
oleh Johokyoku di Jepang pada tahun 1938 dinyatakan seperti berikut.
Jika film dapat disebut sebagai senapan mesinnya perang propaganda, maka foto adalah sangkar yang langsung menusuk hati orang dan juga merupakan lembaran beracun yang kelak disebarluaskan dalam cetakan berjuta-juta.125
“Orang” yang dimaksud di sini adalah hanya orang Jepang. Namun, pemikiran
seperti ini akan dipraktekan pula kepada penduduk jajahan Jepang, termasuk
124 Rupanya, pengawasan dan penyensoran di Jepang jauh lebih keras dari pada
Indonesia. Yoshinori Watanabe menulis, “Menujukkan sikap protes secara terbuka hanyalah berarti kematian atau kehancuran social. Di bawah situasi yang keras seperti itu, hanya ada perlawanan dalam bentuk tidak membantu perang secara aktif atau mengabaikan perang.” Lohat Yukio Miyoshi, dkk. (ed.), 1979, Nihon Bungaku Zenshi 6: Gendai (Sejarah sastra Jepang 6: Kontemporer), Tokyo: Gaku To-sha, hlm. 266.
125 Sakuramoto, Bunkajin,hlm. 62.
cxxvii
orang Indonesia dengan misalnya majalah bergambar satu-satunya di Indonesia
pada masa itu, yaitu Djawa Baroe. Djawa Baroe adalah media massa Indonesia
yang paling mewah pada masa itu. Surat kabar Jawa Shinbun126 mengiklankan
penerbitan majalah dwimingguan dan dwibahasa tersebut.
Jawa Shinbun Sha mulai menerbitkan majalah Djawa Baroe sejak 1 Januari 1943. Majalah tersebut memberitakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Lingkungan Kemakmuran Bersama Selatan (sic) serta Dunia, khususnya yang terjadi di Jawa lewat foto. Majalah ini bertujuan untuk menyusun pribumi dan memperdalam pengertian mereka kepada Jepang sehingga dapat membuat mereka mau membantu menyelesaikan Perang Asia Timur Raya.
Iklan ini ditutup dengan permintaan redaksi kepada pembaca Jepang: “mulai
sekarang, kami berharap agar para pembaca merekomendasikan majalah ini
kepada pribumi sebanyak mungkin.”127
Pembuat foto atau gambar dalam media massa dianggap penting pada
masa itu. Contohnya, sejak pertengahan bulan Februari 1943, Sendenbu mulai
menyebarluaskan “surat kabar dinding (kabe shinbun) (no.67),128 lembaran yang
berjudul Seroean Kita ini lebih dari setengahnya diisi dengan foto atau gambar
karena mengingat tingginya tingkat buta huruf di Jawa (Lihat lampiran 5).
Adapun, di Sendenhan ada juga yang namanya seksi foto. Kepala seksi itu
adalah pengurus tetap Lembaga Foto yang bernama Noboru Matsumoto. “Bidang
126 Jawa Shinbun (no.13. 20 Desember 1942) hlm. 1. 127Sementara itu, sebuah iklan dalam Jawa Shinbun (no.130. 18 April 1943, hlm. 2)
menulis Djawa Baroe adalah “satu-satunya majalah bergambar yang menghubungkan Jepang dan Indonesia dengan foto”.
128 “Genjumin e Chishiki no Kate (Memberi pengetahuan kepada Penduduk Setempat)”
dalam Jawa Shinbun (no.67. 13 Februari 1943), hlm. 2.
cxxviii
propaganda foto di Jawa sangat luas,” kata Machida.129 Maksudnya, foto memiliki
banyak cara pengunaan sebagai alat propaganda. Selain digunakan tersendiri
seperti postrer, foto itu dapat digunakan juga untuk brbagai hal, contohnya di
dalam buku, majalah, di bungkus rokok, sebagai gambar perangko, ataupun
dijadikan slide. Mengenai ciri foto sebagai alat propaganda, Machida mengatakan
seperti yang di bawah ini.
Saya selalu memusatkan segala media propaganda untuk satu sasaran setelah menentukan tujuan, objek, dan waktu. (…) Propaganda adalah “penyutradaraan.” (…) Tidak begitu efektif kalau setiap media berdiri sendiri atau kucar-kacir. (…) Sebagai senjata budaya untuk perang, foto itu baru dapat menujukkan kekuatan kalau digabungkan dengan media lain. Saudara Oya pernah berkata, “Apa yang diucapkan di Jakarta pada pagi hari sudah sampai ke Bandung sebelum siang hari itu. Penyesuaian secara lisan adalah cara propaganda yang paling baik di Jawa.” Nmun, sebagai media visual, foto memiliki daya tarik tersendiri: kongret, impresif, dan intuitif, dan jelas lebih efektif dari pada “strategi bisikan.”130
“Sangkar” foto dan “senapan mesin” film. Karena sifat visual itulah, kedua benda
budaya ini dapat memperlihatkan kekuatan dahsyat sebagai alat propaganda.
Soichi Oya berpendapat, “Sebagai alat propaganda, foto, kamishibai,131 slide, dan
sebagainya lebih efektif ketimbang lukisan.”132 Alasannya karena lebih nyata,
realistis, dan mengesankan daripada lukisan yang cenderung abstrak. Sementara
itu, dalam sebuah simposium yang diadakan pada bulan Januari 1943,133 T.
Mitsuhashi (pengurus peredaran Jawa Eiga Kosha) berpendapat bahwa lebih baik
129 Machida, Tatakau, hlm. 244. 130 Ibid., hlm. 246-247., H. Shimizu juga menyetujui Oya (Shimizu, “Minshu”, hlm. 347-
348). Tetapi rupanya dalam hal dampak, foto lebih unggul dari pada “bisikan”. 131 Pergelaran cerita bergambar yang teksnya dibacakan oleh seorang tukang
132 Oya, “Nanpo”. 133 “Nanpo Kensetsu no Ichinen (Setahun Daerah Selatan)” dalam Serebes Shinbun (9-10
Januari 1943).
cxxix
menuntut penglihatan penduduk Indonesia dengan film daripada dengan tulisan
karena sebagian besar dari mereka adalah buta huruf. Namun, T. Ishimoto
(pengurus produksi Jawa Eigha Kosha) mengaku selalu dipusingkan
keanekaragaman bahasa yang digunakan di Jawa dan sedikitnya orang yang dapat
berbahasa Indonesia. Ia menuturkan, “Yang sering menjadi masalah dalam
pekerjaan kami adalah masalah bahasa.” Di samping itu, Noboru Matsumoto
berpendapat, “Rasanya, propaganda lewat foto paling efektif karena banyaknya
orang yang buta huruf.”
Pada tahun 1945, diadakan sebuah simposium lain yang dihadiri oleh
penggubah lagu N. Iida (Keimin), komikus S. Ono (Sendenbu), penerjemah Yoshi
Nakatani dan Senzo Yamamoto (Jawa Shinbunsha). Dalam kesempatan itu,
Ishimoto yang sudah menjadi kepala cabang Jawa Nichiei memberi pendapat yang
berarti.
Sembilan puluh persen dari penduduk Jawa adalah petani. (…) Mereka tidak memahami siaran radio apalagi koran. Akhirnya, tinggal film yang tersisa. Mereka tertarik pada sesuatu yang membimbing mereka lewat penglihatan.134
Ia menyadari bahwa di Jawa Propaganda lewat bahasa baik lisan maupun tulisan
tidak begitu efektif.
Benda budaya visual yang dijadikan alat propaganda yang tidak kalah
penting dengan foto dan film adalah sandiwara. Pada 2 April 1943 diadakan
pertemuan pertama Keimin yang dihadiri oleh novelis Rinto Takeda (pembimbing
Bagian Kesusastraan), pelukis Takashi Kono (pembimbing Bagian Seni Rupa), S.
134 “Kantai Toji to Genzai no Genjumin wo Kataru Zadankai”, Loc.cit.
cxxx
Oya (pembimbing Bagian Film), N. Iida (pembimbing Bagian Seni Suara),
Sanoesi Pane, Armijn Pane, Maria Amin, dan sebagainya.135 Di sana Kiyoo
Yasuda (pembimbing Bagian Seni Sandiwara dan Seni Tari) menyatakan:
(…) sandiwara dan tari-menari itoe dalam zaman peperangan modern ini adalah satoe sendjata jang tadjam dalam melakoekan “peperangan-pikiran”. Boekankah ra’jat terbanjak, jang tidak tahoe membatja dan meloekis itoe, moedah mendapat penerangan dan pendidikan, apabila semoea ini dilakoekan dengan perantaraan sandiwara.136
Selain sandiwara modern, seni panggung tradisional seperti wayang juga
dimanfaatkan oleh Jepang. Dipilih kisah-kisah mengenai peperangan atau
pahlawan yang kemudian disesuaikan dengan semasa Jepang melawan Sekutu.
Bahkan diciptakan naskah cerita baru yang sesuai dengan kebijakan
pemerintah.137
Rupanya, sandiwara tradisional lebih menarik perhatian daripada
sandiwara modern. Dapat dikatakan bahwa pernyataan K. Yasuda dalam kutipan
di atas masih bersifat cita-cita. Ketika Jepang datang, teater Indonesia modern
baru mempunyai sejarah selama lima belas tahun.138 “Sejak jaman pendudukan
135 “Ichiriyu Geinoka wo Mora (Meliputi Seniman-seniman Kelas Atas)” dalam Jawa
Shinbun (no.115. 2 April 1943),hlm. 2. 136 “Poesat Keboedajaan Melangkah” dalam Djawa Baroe (no.8. 15.4.2603), hlm. 9.,
yang paling diutamakan di bidang sandiwara adalah “sandiwara berkeliling”. Selain Keimin, Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (berdiri 1 September 1944) dan Sendenbu juga melakukannya. Keboedajaan Timoer III (2604), hlm. 197. sementara itu, mengenai tarian propaganda,lihat antara lain “Tari Meroentoehkan Amerika/Inggeris” dalam Djawa Baroe (no.23. 1.12.2603), hlm. 31 dan juga fotonya di kulit muka.
137 Noson, hlm. 288-289. 138 Jakob Sumardjo, 1992, Perkembangan Teatre Modern dan Sastra Darama Indonesia,
Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 101. Mengenai sandiwara pada masa pendudukan Jepang, Boen Sri Oemarjati, 1971, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, Djakarta: Gunung Agung.Mengenai pergulatan para perintis teatre modern yang mendirikan rombongan Maya pada masa Jepang, H. Rosihan Anwar, “Sekelumit Kenang-kanangan Kegiatan sastrawan di Zaman Jepang (1943-1945)”
cxxxi
Jepang perhatian orang Indonesia terhadap drama modern makin bertambah,” tulis
Rendra.139 Namun, tidak dapat disangkal bahwa sebagaimana kecendrungan
universal, di Indonesia juga drama cenderung dianggap lebih rendah nilainya
daripada prosa dan puisi. Pandangan seperti itu menyebabkan kekurangan aktor
dan fasilitas yang memadai. R. Takeda menyesalkan sedikitnya jumlah naskah
sandiwara dan penulis naskah yang baik.140 Dalam Djawa Baroe terbitan tahun
1944 terdapat sebuah artikel yang berjudul “Sandiwara”.141 Si penulis
menyesalkan pandangan yang merendahkan sandiwara dan sebaliknya
menyambut baik pendirian Sekolah Tonil oleh Sendenbu.142 Sekolah ini bertujuan
mendidik penulis naskah, aktor, dan staf lainya. Salah seorang pengajar dalah
Takeda.
Sebenarnya Jepang juga insaf bahwa jika mutu sandiwaranya terlalu
rendah maka tidak mungkin dapat mengumpulkan penonton dalam jumlah yang
banyak. Sebuah artikel dalam Djawa Baroe terbitan tahun 1945 mengatakan
bahwa penonton itu mempunyai permintaannya sendiri. Menurut artikel yang
dalam Budaja Djaja (no.65. th.VI. Oktober 1973), (Seterusnya dirujuk Rosihan, “Sekelumit”), hlm. 589-591.
139 Rendra, 1983, Mempertimbangkan Tradisi, Jakarta: Gramedia, (seterusnya dirujuk
sebagai Rendra, Mempertimbangkan), hlm. 31. 140 “Nanpo Kenstsu no Ichinen” dalam Serebes Shinbun (9 Januari 1943). Rendra
menyatakan harus disadari bahwa teatre modern di Indonesia miskin akan penonton,kritikus, penulis naskah, fasilitas, modal, dramawan yang baik, dan sebagainya (Rendra, Mempertimbangkan, hlm.36.
141 Djawa Baroe (no.3. 1.2.2064), hlm. 32. 142 Mengenai Sekloah Tonil, “Boeah Sekolah Tonil” dalam Pandji Poestaka (no.16.
25.7.1942), hlm. 551.
cxxxii
berjudul “Kemajoean dalam Doenia Seni Sandiwara” itu,143 tidaklah penonton
menolak propaganda yang terkandung di dalam sandiwara karena mereka tahu
bahwa sandiwara juga harus ikut membantu pelaksanaan perang. Namun, yang
harus diingat adalah bahwa biasanya orang menonton sandiwara terutama karena
ingin menikmati seni dengan tidak mengindahkan ada tidaknya propaganda di
dalam sandiwara yang dinikmati itu. Maka mutu seni juga harus ditingkatkan.
“Penduduk di Jawa sangat menyukai sandiwara dan musik,”144 tulis R.
Takeda. Selain benda budaya visual, ada juga benda budaya audio seperti
lagu/nyanyian (Lihat lampiran 6). Lagu/nyanyian juga tidak kalah banyak
penggunaannya jika dibandingkan dengan foto. Pada masa pendudukan Jepang,
selain dimanfaatkan sebagai lagu/nyanyian semata-mata, media tersebut sering
digunakan dalam film, sandiwara, tarian, pawai, siaran radio, dan sebagainya.
Contohnya, lagu “Kanak-Kanak Baik dari Asia Timoer”. Lagu ini dinyanyikan
diseluruh sekolah rakyat di Jawa dan diciptakan juga tariannya yang
menggunakan bendera hinomaru (bendera kebangsaan Jepang). Secara terperinci
menjelaskan cara menari disertai foto.145
e. Lagu Jaesjio
143 “Kemadjoean dalam Doenia Seni Sandiwara” dalam Djawa Baroe (no.14. 15.7.2605),
hlm.24. 144 “Jaba no Fukuchan” dakam Tokyo Asahi Shinbun (26 Juni 1942). 145 Djawa Baroe (no.6. 15.3.2604) hlm. 18-19, 32.
cxxxiii
“Orang Indonesia adalah bangsa yang mencintai musik,”146 kata Keiji
Machida. A. Oki juga sependapat dengannya. “Oleh karena rakyat setempat
sangat menyukai musik maka yang paling diinginkan adalah operasi budaya lewat
musik,” tuturnya.147 Pada bulan Juli 1943 sebuah korps musik militer AD yang
terdiri dari 27 orang dikirim ke Sendenbu. Pagelaran musik mereka yang sengaja
mengunakan gamelan disambut baik oleh rakyat Indonesia. Kemudian, Sendenbu
memutuskan untuk membuat sebuah lagu yang dapat dipadu suara oleh orang
Indonesia dan orang Jepang. Lirik lagunya dicari dari kalangan perwira dan
prajurit.148 Hasil pencarian umum itu diberitakan dalam Unbara.149 Menurut surat
kabar tersebut, anggota panitia penilaian adalah antara lain, K. Machida, A. Oki,
A. Asano, T. Kitahara, N. Iida, dan novelsi Uio Tomisawa. Dengan suara bulat,
mereka memilih “Jaesjio” karya Prajurit Satu Takashi Sasaki. Dengan nada
dingin, Oki menilai lagu itu sebagai “karya bermutu yang dapat diterima.”
Sementara itu, artikel dalam Unibara tersebut memberi pujian setinggi langit.
Katanya, si pencipta menguasai keindahan bahasa Jepang dengan sempurna dan
karyanya dapat menyanyikan tujuan “perang suci” dan pembangunan Asia Timur
Raya dengan tepat, sehingga karya ini menujukkan tingginya tingkat budaya
militer Jepang. Selanjutnya, ditulis bahwa rakyat Indonesia akan disuruh
menyanyi dalam bahasa Jepang dan hanya diberi arti ringkas dalam “bahasa
Melayu”. Kemudian, lagu itu musiknya digubah oleh pemimpin korps musik
146 Machida, Tatakau, hlm. 231. 147 Atsuo Oki, “Yoi Nihongo de Utae (Nanyilah dengan Bahasa Jepang yang Baik)”
dalam Tokyo Asahi Shinbun (6 Oktober 1942). 148 Machida, Tatakau, hlm. 232. 149 Unabara (no.125. 4 Agustus 1942), hlm. 1-2.
cxxxiv
militer AD, yaitu Yushiro Isota, dan diresmikan sebagai Jaesjio: Nyanyian
Paduan Suara Selatan.
Dalam Almanak Asia-Raya 2603 dimuat lirik lagu vesri bahasa Jepang
beserta not dan arti ringkasanya dalam bahasa Indonesia.
“Jaesjio”
ARTI RINGKASNJA
1. Nyjanjian seroean dari pihak bangsa Nippon: Menjebrangi laoetan jang loeas, Dari negara rahmat jang Mahasoetji, Mendjoendjoeng tjita-tjita amat moerni, Datang kami kemari, hati ichlas, Adar bersoea dengan saudara kami.
2. Njanyi seroean dari dipihak (sic) bangsa Indonesia: Nippon negara tjahaja Asia, Mari, marilah kita ra’jat semoea, Di tanah waringin pohon kelapa, bersoempah saktilah kita setia, menjamboet koernia jang soedah terlimpah.
3. Berjanji bersama-sama: Semoedera loeas mengikat kita, Bangoen, bangoenlah, hai, ra’jat Oenabara150, Satoekan tenaga djadi gelora, Berjoeanglah haibat koeatkan tjita, dirikanlah kembali Asia Raya.151
Tujuan kedatangan Jepang itu murni untuk menolong Indonesia (nomor 1). Oleh
karena itu, rakyat Indonesia harus membantu Jepang (nomor 2). Dan, mereka
harus bersatu melawan Sekutu untuk membantu Asia Raya (nomor 3). Lirik lagu
yang dibuat pada permulaan masa pendudukan Jepang yang akan banyak
dihasilkan pada masa itu.
150 “Oenabara” berarti ‘Samudra’. 151 Almanak Ais-Raya, hlm. 10., Terjemahan lagu ini ada beberapa versi, “Memperkoeat
barisan Belakang: Sajembara Karangan dan Menjalin Lagoe JAESJIO” dalam Asia Raya (no.9. 11.1.2603).
cxxxv
Lagu/nyanyian merupakan salah satu bentuk propaganda yang diutamakan
oleh Jepang. Sebenarnya, lagu kebangsaan Indonesia. Nyanyian seperti ini disebut
magnetic propaganda songs, yaitu sejenis nyanyian yang diciptakan sedemikian
rupa sehingga menimbulkan suatu dorongan dan desakan yang menyebabkan
komunikan tertarik dan mengikuti jejak dari komunikator.152 Mungkin, bagi orang
Indonesia pada masa itu lagu Jaesjio memiliki daya tarik magnetis karena mereka
masih mempercayai Jepang yang katanya datang untuk membebaskan Indonesia
dari Barat.
f. Siaran yang Berperang
Selain lagu/nyanyian, dapat dikemukakan radio sebagai “media suara”.
Sejak kedatangan di Jawa, kekurangan peralatan menyusahkan Sendenhan.
Sebenarnya ada sebuah mobil khusus serbaguna yang dinamai Sego Sha yang
dilengkapi peralatan percetakan, proyeksi, penyiaran, dan radio. Mobil ini
terpaksa ditinggalkan di pelabuhan Takao di Taiwan saat keberangkatan karena
tidak termuat dalam kapal Sakuramaru. Yang paling dirugikan oleh tidak adanya
mobil ini adalah Bagian Komunikasi Sendenhan. Maka, setelah memasuki
Batavia, Kepala Bagian Komunikasi Sendenhan Masato Suemitsu berniat
mengambil alih kantor berita Belanda, Aneta. Pertama-tama, Suemitsu berserta
seorang interpreter mencari para anggota Aneta (orang Belanda) yang melarikan
diri ke suatu tempat dengan membawa perlatannya setelah Jepang memasuki
Bandung.
152 R.A. Santoso Sastropotro, 1991, Propaganda: Salah Satu Bentuk Komunikasi
Massa,Bandung: Penerbit Alumni, hlm. 48-49.
cxxxvi
Akhirnya, Sendenhan berhasil mengambil alih kantor berita tersebut dan
mulai menerima berita dari kantor berita Domei dari Jepang. Kemudian, mereka
juga menjadikan kantor berita Antara sebagai bagian bahasa Indonesia kantor
berita Domei. Kantor cabang Domei dibuka di Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya, dan Malang. Setiap cabang menerbitkan berita berbahas Jepang
maupun Indonesia dan menyuplai berita-berita dari setiap propinsi lewat radio.153
Jaringan transmisi serta penyiaran di Jawa cukup dibenahi terutama oleh
NIROM (Nederlans Indische Radio Omoep Maatschapij: Persatuan Penyiaran
Hindia Belanda). Meskipun demikian, persentasi penyebaran alat penerimanya
cukup rendah. Jumlah radio di Hindia Belanda berjumlah sekitar 90.000 buah. Itu
pun sebagian besar pemiliknya adalah orang Belanda dan keturunan Tionghoa; 90
persen dari pribumi tidak mempunyai radio.154
Begitu Jepang menduduki Indonesia, Sendenhan mulai menyita radio
milik orang Belanda kemudian mendaftarkan dan menyegel radio milik pribumi
guna mencegah mereka mendengarkan siaran dari negeri musuh.155 Sitaannya
disimpan di Hoso Kanrikyoku (Biro Pengawasan Penyiaran) dan dipinjamkan
secara Cuma-Cuma kepada militer dan orang Jepang setempat. Di samping itu,
dengan memanfaatkan sitaan tersebut dibangun rajio-to (menara radio) di setiap
lapangan perkampungan, pasar, stasiun kereta, dan sebagainya. Menara ini disebut
153 Domei Tsushinsha, op.cit., hlm. 32., Machida, Tatakau, hlm. 208-213. 154 Ibid., hlm. 215. 155 “Oendang-oendang No.21” (16 Juni 2602) dalam Kanpo (N0.1), hlm. 3., “Osamu
Seirei No.18” (11 Juni 2603) Kanpo (No.21), hlm. 3.
cxxxvii
“pohon yang bersuara” atau “pohon yang bernyanyi” oleh penduduk setempat.156
Keberadaan menara ini penting agar dapat memproleh pendengar sebanyak
mungkin, karena seperti sudah dijelaskan, di Jawa hanya segelintir yang memiliki
radio.157 Menara radio itu sudah berjumlah 1.500 buah pada saat 1 Februari
1944.158 Bentuk rajio-to dapat dilihat dalam artikel “Radio dan Masjarakat” yang
dimuat dalam Djawa Baroe (no.14 15.7.2605) (Lihat lampiran 7).
Adapun artikel “Radio dan Masjarakat” tersebut ditulis oleh orang yang
bernama Soetomo dari Hoso Kanrikytoku dimana sastrawan Bahrum Rangkuti
bekerja.159 Di bawah ini saya akan mengutip pendapat Soetomo yang nadanya
sama dengan artikel-artikel lain semasa itu, yaitu setelah mengejek Barat
(Belanda), menekankan jasa Jepang dalam upaya “menyelamatkan” Indonesia.
(…) Balatentara Nippon mendarat dipoelaoe-poelaoe Indonesia oentoek melenjapkan kekoeasaan Belanda, dan dengan demikian meniadakan poela segala dajaoepaja Belanda oentoek meroesak-binasakan djiwa Timoer kita. Berlainan sekali dengan pemerintah Belanda, Nippon memberi kesempatan seloeas-loeasnja kepada kita oentoek menjempoernakan dan mengembangkan keboedajaan kita. Oentoek maksoed ini Pemerintah Balatentara Nippon diantaranja menggoenakan siaran-radio (…).
Selain dari dimedan perang depan, poen djoega dibelakang garis perang, kita memboetoehkan radio, jaitoe oentoek menggerakan rakjat dilapangan oesaha perang. Oesaha ini lazim diseboet Propaganda atau Penerangan (sic).160
156 Machida,Tatkau, hlm. 218-219., Jawa Nenkan, hlm. 171-174., Noson, hlm. 297-298. 157 Djawa Baroe (no.14 15.7.2605), hlm. 9. 158Jawa Nenkan, hlm. 174. 159 Anita K. Rustapa, 1997, Bahrum Rangkuti dan Pandangan Dunianya, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 13., 160 Djawa Baroe (no.14 15.7.2605), hlm. 9.
cxxxviii
Artikel ini terang-terang menyatakan bahwa radio difungsikan sebagai alat
propaganda untuk mengerakkan rakyat. Dari hal ini dapat diketahui bahwa pada
masa itu Jepang yang terdesak cenderung memilih cara hard sell yang
memaksakan informasi ideologis secara terang-terangan, bukan cara soft sell
ataupun “deep sell” yang berusaha mempengaruhi bawah sadar seseorang.
Selain siaran dalam negeri, Jepang juga mengadakan siaran luar negeri
dalam pelbagai bahasa yang ditujukan kepada negara-negara musuh. Mengenai
siaran seperti itu, Soetomo melanjutkan dlam artikel tersebut.
Seperti djoega perdjoerit (sic) menggoenakan peloeroe oentoek memoesnahkan moesoeh, demikian poela propaganda radio boleh kita oempamakan dengan peloeroe, jang diarahkan kepada hati rakjat moesoeh, oenoek mematahkan semangat perlawanannya.161
Sebelum Jepang mendarat, Belanda merusak hampir semua fasilitas
penyiaran, termasuk stasiun pemancar di Tanjung Priok. Maka, Sendenhan harus
memulihkan fasilitas-fasilitas itu terlebih dahulu. Yang mengatur urusan
penyiaran adalah terutama anggota Sendenhan yang diwamilkan dari NHK (Nihon
Hoso Kyokai). Ketuanya adalah Mamoru Miyashita. Mereka mengerahkan juga
orang Indonesia dan Belanda.162
Salah satu fungsi utama radio pada masa itu adalah untuk menyampaikan
pengumuman pemerintah dengan cepat untuk khalayak banyak. Pada 7 Maret
1942 disiarkan “Oendang-oendang Nomor 1 Dari Pembesar Balatentara
(Gunshireikan) Dai Nippon”. Undang-undang ini terdiri dari enam pasal. Pasal
pertama yang penuh dengan janji yang muluk-muluk berbunyi sebagai berikut.
161 Ibid. 162 Machida, Tatakau, hlm. 216.
cxxxix
Karena Balatentara Dai Nippon berkehendak memperbaiki nasib rakjat Indonesia jang sebangsa dan setoeroenan dengan bangsa Nippon, dan djoega hendak mendirikan ketentraman jang tegoeh oentoek hidoep dan makmoer bersama-sama dengan rakjat Indonesia atas dasar mempertahankan Asia Raja bersama-sama, maka dari itoe Balatentara Dai Nippon melangsoengkan Pemerintah Militer bagi sementara waktoe didaerah jang telah ditempatinja, agar soepaja mendatangkan keamanan jang sentausa (sic) dengan segera.163
Sesuai pemulihan fasilitas penyiaran, Sendenhan menyerahkan semua
urusan penyiaran kepada NHK yang datang ke Jakarta pada 18 Desember 1942.
Bekas stasiun radio NIROM di Jakarta dijadikan sebagai stasiun pusat. Sementara
itu, pada 1 Oktober 1942 dibentuk Hoso Kanrikyoku yang mengawasi urusan
penyiaran di Jawa maupun terhadap luar negeri termasuk Jepang. Program radio
dalam negeri yang dibuat di bawah pengawasan Hoso Kanrikyoku pada umumnya
dibagi dalam dua bagian: siaran pertama untuk orang Indonesia (menggunakan
bahasa Indonesia, Jawa, Sunda); siaran kedua untuk orang Jepang.164
g. Film Bercerita Merupakan Raja Alat Propaganda
Film merupakan salah satu media propaganda penting pada masa perang.
Sebelum Perang Dunia Kedua, media ini tidak pernah digunakan sebagai alat
indoktrinasi pilitik di Indonesia. Jepang merupakan satu-satunya negara yang
memanfaatkan media film sebagai alat propaganda di dalam masyarakat
Indonesia, khususnya Jawa. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berkaitan dengan
produksi, distribusi dan pemutaran film di Jawa masa pendudukan merupakan
163 Almanak Asia-Raya, hlm. 35.
164 Machida, Tatakau, hlm. 217-218., Program radio standar dari Stasiun Pemancar Jakarta pada April 1944 dapat dilihat dalam Jawa Nenkan,hlm. 175., Osamu Shudan Gunseikanbu (Kelompok Osamu, Markas Besar Pemerintahan Militer di Jawa), “Hoso Kanrikyoku Kitei (Persatuan Biro Pengawas Penyiaran)”, September 1942, (The Nishijima Collection, (JV 1-7)). Perincian kegiatan penyiaran Jepang dapat dilihat dalam Jawa Nenkan: Kigen 2604-nen pada halaman 171-174.
cxl
tiruan yang digunakan di Jepang masa perang melawan Cina tahun 1930-an.(
Djawa Baroe, No. 8-9, Januari 1943, hal 10)
Nokolai Lenin pernah mengumumkan bahwa film adalah senjata politik
utama,165 sedangkan Kepala Kantor Besar Keimin Sochi Oya dalam tulisannya
pada tahun 1944, pernah berpendapat, “Pada umumnya dapat dikatakan bahwa
kesusastraan merupakan raja alat propaganda, dalam arti paling berinfiltrasi.
Khususnya, kesusastraan paling kuat dari segi idologis.”166 Film memiliki
mobilisasi yang jauh lebih tinggi dari pada sandiwara. Mobilisai sastra melibihi
mobilisasi film tersebut. Sastra lebih portable dan dapat diperbanyak dengan
biaya yang jauh lebih murah daripada film atau sandiwara. Berarti, pada saat yang
sama, sastra dapat memproleh pembaca yang lebih banyak secara serentak
daripada jumlah penonton yang didapatkan jika film atau sandiwara dimainkan.
Mungkin tingginya mobilisai sastra ini juga membuat Oya berpendapat seperti dia
atas.
Namun, Oya menghadapi kesulitan dalam usaha menjadikan sastra
Indonesia sebagai alat propaganda. Menurutnya, dua kesulitan utama ialah: (1)
Sedikitnya jumlah orang yang memahami bahasa Indonesia; dan (2) Kemiskinan
daya ekspresi bahasa Indonesia yang disebabkan kosakata yang sedikit.167
165 Ws Rendra,”Dunia Film Indonesia di Mata Seorang Dramawan” dalam Haris Jauhari
(ed.), 1992, Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 148.
166 Oya, “Nanpo”, hlm. 12. 167 Ibid., hlm. 12-15., Nomor 1 ditunjukan juga oleh Kurasawa, kurasawan Noson, hlm.
274.
cxli
Alasan pertama dapat diterima. Masalah ini sangat erat hubungannya
dengan tingginya angka buta huruf rakyat Indonesia pada masa itu. Dalam Jawa
Nenkan: Kigen 2604-nen terdapat penjelasan sebagai berikut.
Khalayak umum buta huruf dan polos sehingga sedikit pengetahuan akan gagasan Perang Asia Timur Raya. Maka tanpa memperdulikan siapa penguasa, mereka hanya menginginkan kehidupan yang damai dan selamat (…).168
Menjelang kedatangan Jepang, kaum pribumi masih banyak yang buta huruf dan
minim pengetahuan. Menurut data sensus nasional 1930,169 hanya lima persen
kurang sedikit dari seluruh rakyat Jawa dan Madura yang dapat membaca abjad.
Seorang relawan propagandis Jepang yang bertugas di wilayah pedesaan
Kabupaten Cirebon melaporkan bahwa bahan propaganda tertulis hampir tidak
berguna terhadap rakyat di bawah tingkat kepala desa.170 Menurut Haris Jauhari,
pada tahun 1934 film King Kong diputar di Deli. Dari sekian banyak penonton,
hanya sejumlah orang yang percaya bahwa semua adegan di layar itu hanyalah
khayalan belaka. Bahwa kebanyakan orang mendukung isu bahwa monyet raksasa
itu memang ada dan berkeliaran pada malam hari. Masyarakat resah dan jimat-
jimat untuk menolak bala itu laku keras.171 Cerita seperti itu malah seolah-olah
fiksi bagi kita, orang kota yang hidup di zaman modern.
Dalam subbab-subbab sebelumnya, telah di kemukakan pentingnya unsur
penglihatan (visual) dan pendengaran (audio) dalam media propaganda.
168 Jawa Nenkan, hlm. 131. 169 Indisch Verslag 1940, hlm. 126, Dikutip kembali dari Kurasawa, Noson, hlm. 579. 170Jawa Shinbun (5 November 1944) ), Dalam artikel “Fujin no Keimo ni Chikara wo
(Dukunglah Penyuluhan Wanita)”. 171 Jauhari, op.cit., hlm. 23.
cxlii
Kenyataannya, pada masa pendudukan Jepang, karya sastra Indonesia hampir
tidak berhasil sebagai alat propaganda. Bahkan dapat dikatakan bahwa puisi
adalah salah satu alat propaganda yang paling gagal. Misalnya, pada nomor-
nomor tahun 1945 majalah Djawa Baroe, puisi dihentikan untuk dimuat, padahal
cerpen tetap dimuat.
Ciri utama propaganda Jepang adalah penggunaan media audiovisual
secara positif. Hal ini tidak lain karena mengingat tingginya tingkat buta huruf di
Indonesia dan sedikitnya pemukim kota yang terdidik yang mungkin dapat
diperdaya dengan media tulis. Dengan demikina, cara yang paling sering
digunakan adalah mengirim kelompok-kelompok propagandis yang terdiri dari
proyeksi film, aktor, operator kamishibai, dan musisi yang berpindah dari satu
desa ke desa lain sambil mengadakan pertunjukan.172 Dapat diperkirakan bahwa
pertunjukan-pertunjukan seperti itu sangat didaktis dan politis tetapi disambut
baik oleh penduduk desa karena sebagaimana penduduk desa sekarang, mereka
selalu haus akan hiburan apalagi tidak dipungut biaya. Namun, ada satu
memahami isi pertunjukan-pertunjukan yang digelar? Konon, untuk membantu
pemahaman mereka yang tidak berpendidikan, sering sekali disediakan seorang
penerjemah yang berdiri di samping layar dan menjelaskan isi film ke bahasa
setempat.173
172 Noson, hlm. 274.
173 “Monthly Propaganda Report” No.22., Dikutip kembali dari Kurasawa,Mobilisasi,
hlm. 245.
cxliii
BAB IV MEDIA PROPAGANDA JEPANG MELALUI FILM
A. Film Sebagai Alat Perang Tanpa Senjata
1. Kebijakan Jepang Mengenai Perfilman
Tidak ada tempat-tempat lain seperti poelau Djawa ini jang moeda sekali mengoempoelkan penonton-penonton,karena dalam tempat seketjil itoe berdiam 50 djoeta ra’jat jang gemar soenggoeh menonton.207
dari “Tentang Bagian Film” (1943) Soichi Oya
Presiden Republik Indonesia Soekarno pernah menyatakan bahwa film
sudah banyak membantunya untuk mengadakan perubahan di tanah airnya. Pada
masa kemerdekaan (10 September 1946) pemerintah RI dan Pusat Peredaran Pilm
Indonesia (PPPI) di Yogyakarta membentuk Komisi Pemeriksaan Film dan
menegaskan bahwa film merupakan satu alat politik maka film harus bersifat
mendidik.208 Paham seperti ini dipegang pemerintah RI hingga kini. “Film bukan
semata-mata barang dagangan, melainkan alat pendidikan dan penerangan.”209
Kalimat ini terdapat di Lampiran A Angka I Sub 16 TAP No.II/MPRS/1960 yang
berlaku selama ini.
Sebenarnya sejak pertama kali diperkenalkan di Indonesia, film dianggap
dapat mengubah pandangan dan perilaku orang. Film yang lahir di perancis pada
tahun 1895 masuk ke negeri Sakura pada tahun 1897. Tiga tahun kemudian,
barang ajaib yang bernama “gambar idoep” itu masuk ke Indonesia. Lama
kelamaan film yang didatangkan dari Barat dianggap mempertontonkan hal-hal
207 Djawa Baroe no.9 1.5.2603, hlm. 8. 208 Rita Sri Hastuti, “Berjuang di Garis Belakang” dalam Haris Jauhari (ed.), 1992, Layar
Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 46-47. 209 Ibu R. Sawarno, “Sekarat di Pasar Bebas” dalam Haris Jauhari (ed.), 1992, Layar
Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 180.
cxliv
yang berpengaruh negatif bagi kaum pribumi dan dapat mengubah pandangan dan
perilaku mereka terhadap bangsa Barat. Guna mengantisipasi hal ini, pemerintah
kolonial untuk pertama kalinya mengeluarkan undang-undang pengaturan film
dan bioskop melalui “Bioscoop Ordonantie (Ordonansi Bioskop)” pada tahun
1916. Dan terbentuklah Komisi Film yang “memiliki gunting besar dan
menggunting (film) dengan seenaknya saja”210 agar tidak merusak citra bangsa
kulit putih. Rupanya, Jepang juga menyadari kekuatan film yang dapat
mempengaruhi pandangan orang dengan cepat. Jelasnya, film dianggap oleh
pemerintah Jepang jauh lebih penting dan berpengaruh sebagai alat propaganda
daripada karya sastra. Pada tahun 1934 pemerintah Jepang membentuk Panitia
Pengontrol Film (Eiga Tosei Iinkai).211
Pada bulan Juli 1938 Kementerian Dalam Negeri Pemerintahan Jepang
dalam rapat dengan wakil-wakil penulis scenario mengeluarkan perintah
mengenai indoktrinasi termuat dalam isi film yang dikehendaki. Laporannya
sebagai berikut.212
1. Gagasan individualistis pengaruh Barat harus dihapuskan. 2. Semangat Jepang, terutama kebajikan system keluarga, harus ditonjolkan,
dan semangat pengorbanan diri demi keuntungan Negara dan masyarakat harus didorong.
3. Film harus mengambil peran positif dalam mendidik massa kearah pengesampingan westernisasi di kalangan kaum muda, khususnya para gadis.
4. Tingkah laku dan ucapan yang sembarangan dan sembrono harus disingkirkan dari layar, dan harus dilakukan upaya untuk memperkuat penghargaan kepada kaum tua.
210 Haris Jauhari (ed.), 1992, Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, hlm. 21. 211 Junichiro Tanaka, 1976, Nihin Eiga Hattatsushi (Sejarah Perkembangan Film Jepang)
(jilid 3), Tokyo: Chuo Koron, hlm. 151, dikutip kembali dari Kurasawa, Noson, hlm. 579. 212 Jawa Nenkan, hlm 174.
cxlv
Kemudian, pada 1 Oktober 1939 pemerintah itu mengeluarkan “Undang-
Undang Film (Eiga Ho)” guna menghambakan film kepada Negara.213 Pada tahun
1940, diberikan petunjuk tambahan oleh Kementerian Dalam Negeri sebagai
berikut.214
1. Apa yang diinginkan ialah film hiburan yang logis (sehat), dengan tema positif.
2. Pemunculan pelawak dan badut dalam film belum begitu dibatasi pada tahap ini, tetapi mungkin akan dibatasi jika timbul ekses.
3. Yang berikut ini harus dilarang: cerita-cerita dengan sifat borjuis kecil; semata-mata penggambaran kebahagiaan pribadi; adegan wanita merokok; adegan “café” (tempat hiburan yang menyediakan minuman keras); tingkah laku sembarangan dan sembrono.
4. Disarankan supaya film yang diproduksi menyajikan sector-sektor produktif di masyarakat, seperti kehidupan desa.
5. Penyensoran naskah praproduksi dilakukan dengan ketat dan jika ditemukan hal-hal yang tidak diinginkan, maka diperintahkan untuk melakukan penulisan ulang scenario cerita.
Sejak awal pendudukan memang kontrol sepenuhnya atas dunia perfilman
merupakan salah satu tugas yang mendesak bagi pemerintah militer. Segera
setelah Angkatan Darat ke-16 menduduki Jawa, staf Barisan Propaganda, yang
menyertai operasi militer, menyita seluruh perusahaan film. Pada awal bulan
Oktober 1942, sebuah organisasi sementara untuk menjalankan ini disebut Jawa
Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa) yang dikepalai oleh Oya Soichi, seorang
kritikus Jepang terkemuka yang berkerja sebagai staf Sendenbu.
Berdasarkan Kementerian Dalam Negeri Pemerintahan Jepang dan
undang-undang “Undang-Undang Film (Eiga Ho)” ini, semua film disponsori dan
diarahkan supaya tidak merugikan pemerintah. Film didistribusikan oleh Shadan-
213 Junichiro Tanaka, op.cit., hlm 580 214 Ibid.
cxlvi
hojin Eiga Haikyu Sha (Perusahaan Distribusi Film (badan hukum)), dan majalah-
majalah film juga diawasi setelah digabungkan atau dibredel oleh Nihon Eiga
Zasshi Kyokai (Lembaga Majalah Film Jepang).215
2. Munculnya Lembaga Film Buatan Jepang
Dalam surat kabar berbahasa Jepang Unabara216 yang diterbitkan
Sendenhan di Jawa diberitakan bahwa “Nanpo Eiga Kosaku Yoryo (Prinsip
Operasi Propaganda lewat Film di Daerah Selatan)” ditetapkan oleh Departemen
Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Departemen AD, dan Johokyoku pada 10
September 1942 yang dimaksudkan untuk merumuskan suatu kebijakan
perfilman yang terpadu bagi seluruh wilayah pendudukan di Asia Tenggara.
Prinsip itu memutuskan pengaturan urusan perfilman diserahkan kepada Nihon
Eiga Sha (Perusahaan Film Jepang) yang disingkat Nichiei (didirikan pada April
1940) dan Eiga Haikyu Sha (Perusahaan Distribusi Film Jepang) yang disingkat
Eihai (didirikan pada Januari 1942).217
Pada bulan Oktober 1942 Johokyoku mengirimkan sebanyak 189 orang
yang sebagian besarnya merupakan staf Nichiei dan Eihai untuk berpropaganda
lewat film ke daerah Selatan. Mereka disebut sebagai “prajurit yang bertugas
untuk mengekspansikan film Jepang ke Selatan.” Di sana mereka melaksanakan
tugas: pembuatan film, pengedaran film, dan pengelolaan bioskop.218
215 Sakuramoto Tomio, Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku (Perang Asia
Timur Raya Bagi Budayawan: Pasukan PK Maju, Tokyo: Aokisoten, hlm. 114-115. 216 Unabara no.159. 12 September 1942. 217 “Chushin wa Nichiei, Eigahaikyu Ryosha (Intinya Nichiei dan Eihai)” dalam Unabara
(no.159. 12 September 1942), hlm. 1. 218 Sakuramoto, op.cit, hlm. 125., Kurasawa menyebutkan pada pertengahan 1943 Eihai
mengirim 48 orang operator ke Selatan dan enam di antaranya ke Jawa. Aiko Kurasawa, Nihon
cxlvii
Dalam artikel “Jawa no Ikkagetsu: Nanpo Eiga Kosaku Miyagebanashi
(Satu Bulan di Jawa: Kisah Operasi Kultural di Daerah Selatan)” yang dimuat
dalam majalah Eiga Shunpo219, Keiji Machida menulis sebagai berikut.
Tugas Sendenhan militer meliputi penerangan, pemberitaan, penyensoran, persuratkabaran, penyiaran, perfilman, penerbitan, penyuluhan rakyat, pendidikan, bimbingan kesenian, penggerakan massa serta pemuda, dan lain-lain. Setiap seksi diurus budayawan fungsional yang diwamilkan. Untuk memulai operasi film, saya membuat kerangka pusat film dengan lima orang tenaga honorer di militer. (…) Sebelum pemutaran film, diputar slide yang memunculkan semboyan-semboyan seperti “Asia milik orang Asia”, “Jawa milik orang Asia”, “kita kognat220”, “senasib-sepenanggungan”, atau “Nippon Cahaya Asia”, “Nippon pelindung Asia”, “Nippon pemimpin Asia” dari Gerakan Tiga A. Semboyan-semboyan itu diperoyeksikan langsung ke dalam hati orang Indonesia pada malam hari di negara yang bermusim panas abadi.221
Machida mengaku, “Merasakan benar kehebatan propaganda yang
meresap lewat hiburan.222 Dapat dikatakan bahwa anggota Bagian Film
Sendenhan cukup berisi. Pada awal bulan Juli 1942, Mantan Duta Besar untuk
Indonesia Shizuo Saito dari Gunseikanbu (Markas besar Pemerintahan Militer di
Jawa) membawa beberapa orang tambahan untuk Sendenhan. Di antaranya
terdapat Tessei Mitsuhashi dari Takarazuka Kagekidan (Rombongan Teater
Takarazuka). Dengan kedatangan itu, Guenseikanbu bersama Sendenhan mulai
membicarakan pendirian Jawa Eiga Kosha (Korporasi Umum Film di Jawa).
Korporasi umum inilah yang dimaksud sebagai kerangka pusat film oleh Machida
Senryo-ka no Jawa Noson no Hen’yo (Perubahan di Pedesaan Jawa dibawah Pendudukan Jepang), hlm. 283-582.
219 Eiga Shunpo no.77. 1 April 1943. 220 ‘sama; berhubungan karena hubungan darah (keturunan)’ Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pusat, hlm. 511.
221 Sakuramoto, op.cit, hlm. 117. 222 Keiji Machida, 1967, Tatakau Bunka Butai (Pasukan Budaya yang Berperang),
Tokyo: Hara-shobo, hlm. 224-225.
cxlviii
dalam kutipan di atas. Jawa Eiga Kosha didirikan di Batavia (sekarang Jakarta)223
pada 1 Oktober 1942. Apabila membaca “Jawa Eiga Kosha Kiyaku (Peraturan
Jawa Eiga Kosha)”, maka diketahui bahwa korporasi umum ini juga mengurus
seni sandiwara dan seni tarian. Cabangnya didirikan di Bandung, Semarang,
Yogyakarta, dan Surabaya. Pemimpin pengurusnya Soichi Oya; pengurus
produksinya Tokichi Ishimoto serta Fumito Kurata; pengurus pengedarannya
Kanji Kawana; pengurus pertunjukannya T. Mitsuhashi. Jawa Eiga Kosha ini
dibubarkan bersama dengan pendirian cabang Nichiei, perusahaan yang
memonopoli produksi film, dan cabang Eihai yang bertugas untuk
mendistribusikan film Jepang ke Indonesia pada 1 April 1943. Yang pertama
dikepalai T. Ishimoto sedangkan yang kedua dikepalai T. Mitsuhashi.224
Setelah Belanda dilucuti, Sendenhan mengambil alih rumah produksi film
nasional milik Belanda, Multifilm, yang ada di Jatinegara, Jakarta.225 Fasilitas
Multifilm jauh lebih canggih daripada yang biasa digunakan di Jepang pada waktu
itu. Menurut Takashi Takaba yang bekerja sebagai kameramen di cabang Jawa
Nichiei,226 yang betul-betul memproduksi film di daerah Selatan hanya Jakarta
dan Manila. Apalagi fasilitas pencucian film lengkap hanya terdapat di Jakarta
223 Sejak 9 Desember 1942, nama Batavia diganti dengan Jakarta. (“Osamu Seirei
No.16”), lihat Jawa Nenkan, hlm.420 (Osamu atau Osamushudan adalah nama kode dari Pasukan ke-16) ). Sementara itu, data dari pihak pemerintah Indonesia mengatakan Batavia menjadi Jakarta pada 8 desember 1942, Dinas Museum dan Sejarah, Pemerintah DKI Jakarta, 1994, Sekitar 200 Tahun Sejarah Jakarta (1750-1945), hlm. 110-111.
224 Machida, op.cit, hlm. 22., Sakuramoto,op.cit, hlm. 116-118., Jawa Nenkan, hlm. 169-
170., “Jawa Eiga Kosha Kiyaku (Peraturan Jawa Eiga Kosha)” dan struktur korporasi ini dapat di lihat dalam Osamu Shudan Guseikan: Seizaburo Okazaki, “Jawa Eiga Kosha no Ken Tsucho (Pengumuman mengenai Jawa Eiga Kosha)”, 11 September 1942, (The Nishijima Collection), (JV 1-6) ).
225 Jawa Nenkan, hlm. 169. 226 Kurasawa,op.cit, hlm. 278,. Jawa Nenkan, hlm 170.
cxlix
sehingga film-film yang direkam di seluruh daerah Selatan dikumpulkan ke
Jakarta untuk dicuci dan diedit di sana.
B. Para Propagandis Dibalik Layar
1. Rancangan Propaganda Media Film
Setelah munculnya lembaga-lembaga film buatan Jepang, kini perhatian
harus dialihkan pada skema propaganda melalui media film. Rancangan
propaganda dasar untuk setiap tahun anggaran dibuat oleh Gunseikan, kepala
pemerintahan militer, mengikuti rencana umum yang ditetapkan oleh Markas
Besar Tentara Umum Wilayah Selatan (Nanpo Sogun). Rencana ini kemudian
disebar diberitahukan kepada seluruh Lembaga yang berkaitan dan kepada Unit
Operasi Distrik. Rancangan kerangka pokok pada setiap tahap pendudukan
berubah-ubah sesuai dengan pergeseran dalam kebijakan dasar pemerintah militer.
Ketetapan rancangan ini merupakan keputusan Direktur Sendenbu, setelah
melakukan konsultasi dengan Lembaga-lembaga film yang bersangkutan.
Untuk melaksanakan skema propaganda ini kedalam operasi, digunakan
media film . Salah satu ciri utama propaganda Jepang di masa perang ialah
penggunaan media seperti itu secara positif, terutama yang akan mempengaruhi
alat indra manusia “pendengaran dan penglihatan” (audiovisual). Jepang
menganggap media ini sangat efektif bagi penduduk desa yang kebanyakan tak
berpendidikan dan buta akan huruf, yang merupakan bagian terbesar di
masyarakat Jawa. Jepang sendiri juga mengetahui bahwa media tulis seperti buku,
majalah, pamflet, dan surat kabar berdampak pada pemukiman kota yang terdidik,
cl
tetapi tidak ada gunanya bagi masyarakat desa.227 Dengan demikian, metode yang
paling sering mereka gunakan ialah mengirim kelompok-kelompok propagandis
dengan proyektor film, aktor, dan musisi yang berpindah-pindah dari satudesa ke
desa yang lainnya di masyarakat jawa, sambil melakukan pertunjukan terlebih
dahulu. Sebelum pemutaran di mulai biasanya ada pidato oleh pejabat daerah
setempat yang mempunyai karisma atau sebagai tokoh panutan yang terkemuka.
Isi pidato tersebut mempunyai pesan-pesan dari pemerintah biasanya
diselipkan secara halus. Sekalipun warna politiknya sangat jelas, namun
pertunjukannya dapat diterima dengan baik. Kemudian diputarlah film yang
sangat dinanti-nantikan oleh penonton penuh semangat, karena penduduk desa
selalu haus akan hiburan.
2. Propagandis Dibalik Layar
Pemerintah militer jepang sangat berhati-hati dalam memilih calon-calon
propagandis handal dan berbakat tentunya baik perekrutan dipusat maupun
dilokal. Kedudukan tertinggi di kantor pusat terutama dipegang oleh perwira
militer. Kedudukan tertinggi yang dijabat oleh seorang sipil ialah Kepala Seksi
Propaganda (Sendenka-cho), yang sesungguhnya merupakan orang yang
bertanggung jawab atas pengendalian kegiatan propaganda sehari-hari. Jabatan ini
dipercayakan kepada seorang pejabat Jepang yang berpengalaman dan berbakat,
bernama Shimizu Hitoshi, ia diakui sebagai seorang propagandis professional
(senden-kan) yang memulai karirnya sebagai propagandis di Cina pada tahun
227 Jawa Shinbun, hlm 194.
cli
1930-an dan akhirnya ditarik oleh Angkatan Darat ke-16 sebagai Atase Sipil yang
bertugas militer dan bertanggung jawab atas propaganda.228
Dibawah kepemimpinannya, banyak orang Jepang berbakat lainnya yang
juga direkrutnya sebagai bawahannya. Mereka dapat dibagi kedalam dua kategori.
Pertama, propagandis-propagandis yang ahli propaganda secara umum, dan
terutama memegang perencanaan. Kedua, kelompok lain yang terdiri para
spesialis dalam perfilman dan tentunya mempunyai kemampuan lebih dalam
bidang yang lainnya disebut orang-orang budaya (bunka-jin). Bunka-jin sebagian
besar sibuk dengan pembuatan bahan propaganda dan menjalankan operasi
propaganda yang sesungguhnya, bersama-sama dengan mitra Indonesia mereka.
Bunka-jin handal sudah disiapkan oleh Jepang yang dikirim ke Jawa, menujukan
betapa sungguh-sungguhnya Jepang sangat menyadari bagaimana pentingnya
propaganda film di wilayah pendudukannya.
Selain propagandis –propagandis Jepang, propagandis Indonesia pun
direkrutnya. Orang Indonesia direkrutnya atas dasar karier sebelum perang,
orientasi politik, kedudukan dalam masyarakat tradisional, sifat karismatik dan
agitatif, serta kemampuan berpidato, misalnya guru sekolah sangat disukai, dan
propagandis lainnya yang mempunyai latar belakang yang anti akan Belanda
diterima dengan senang hati.229
Propagandis-propagandis menyebar di setiap Unit Operasi Distik yang
berkantor pusat di Jakarta. Setiap distik dikepalai oleh seorang sipil Jepang dan
dibawahnya terdapat banyak propagandis, baik Jepang maupun Indonesia. Staf
228 Kumpulan rekaman wawancara dengan H. Shimizu Data Pribadi Toshio Matsumura
Februari 1980, Tokyo) 229 Jawa Gunseikanbu, Orang Indonesia yang Terkemuka di Djawa, Djakarta, 1944, hlm
472.
clii
jepang biasanya bertanggung jawab atas perencanaan dan pengawasan, sementara
orang Indonesia kebanyakan bekerja menjalankan operasi propaganda. Dalam
kasus Unit Operasi Yogyakarta, terdapat Sembilan staf Indonesia purnawaktu,
yaitu dua operator pertunjukan, empat narrator, dan tiga orang yang bertanggung
jawab atas penyensoran.230
Disamping ada para staf purnawaktu, unit local barisan propaganda
biasanya mempunyai sejumlah besar pembantu informal dan paruh waktu
(freeline). Misalnya para pemimpin politik setempat, pemuka agama, penyanyi,
musisi, aktor, dalang, penari, dan badut, kerap kali direkrut dimobilisasi untuk
operasi-operasi propaganda.231 Jepang sangat lihai dalam merekrut para
propagandis yang mengambil keuntungan dari nama besar mereka yang terkenal
serta berbakat untuk menarik minat rakyat.
Umumnya, penguasa propaganda mencurahkan upaya mereka untuk
membangun jaringan yang baik serta menunjuk orang yang tepat di tempat yang
sesuai. Jaringan beberapa kegiatan yang telah ada juga dimanfaatkan para
penguasa propaganda. Akhirnya, harus disebutkan kegiatan sukarelawan jepang
yang mengabdikan diri bagi propaganda pada tingkat masyarakat bawah. Salah
satu contoh yang baik ialah kasus 33 propagandis sukarelawan di karesidenan
Cirebon. Mereka dipilih oleh residen (shucohokan) dari kalangan orang sipil
jepang, dan masing-masing ditugaskan di sebuah kecamatan (son). Tinggal di
daerah dan memiliki hubungan pribadi sehari-hari dengan penduduk, para
230 Djawa Baroe, no.2 7.15. 1943, hlm 15. 231 Djawa Baroe, no.1 1.3.1943, hlm 29.
cliii
sukarelawan ini menyediakan waktu mereka untuk memberi informasi dan
tuntutan kepada penduduk.232
C. Tema-Tema Film Propaganda
Usmar Ismail berpendapat bahwa pada masa pendudukan Jepang rakyat
Indonesia baru pertama kali menaruh perhatian pada fungsi film sebagai sarana
komunikasi sosial.233 Dengan memanfaatkan fasilitas Multifilm tersebut,
Sendenhan serta Jawa Eiga Kosha mulai membuat film berita yang berjudul
“Djawa Baharoe” setiap bulan. Kemudian, Nichiei melanjutkannya dengan
“Berita Film di Djawa” setiap dua mingguan.234 Pada awal tahun 1944, judul film
itu diubah menjadi “Nanpo Hodo Nyusu (Warta Berita Selatan)”. Film berita ini
dibuat setiap dua mingguan dalam dua versi, yaitu versi bahasa Indonesia dan
bahasa Jepang, dan menjadi salah satu alat propaganda andalan Sendenhan. Film-
film berita yang rata-rata berdurasi sepuluh menit itu dikirim juga ke pulau-pulau
lain seperti Sumatra, Celebes (Sulawesi), Bali, Borneo (Kalimantan), dan Nugini.
Selain film berita, Nichiei juga membuat film budaya (bunka eiga), film
dokumenter, film cerita, dan mengindonesiakan fim Jepang yang diimpor oleh
Eihai.235 Adapun, bunka eiga adalah ‘film untuk meningkatkan derajat
232 Jawa Shinbun, 5 November 1944. 233 Usmar Ismail, “Sari soal dalam Film-film Indonesia” dalam Star News (III, no.5. 25
September 1954), hlm. 30. Dikutip kembali dari Salim Said, 1990, Shadowson the Silver Screen: A Social Hostory of Indonesoan Film. (Terjemahan dari Profil Dunia Film Indonesia, Jakarta: Grafiti Pers, 1982). Jkarta: The Lontar Fundation, hlm. 34.
234 Jawa Nenkan, hlm.170. 235 Machida, op.cit, hlm. 224-226.
cliv
kecerdasan’236 dan diwajibkan untuk diputar dalam “Eiga Ho” sejak bulan Januari
1941.237
Pada masa itu di pulau Jawa tersebar 117 buah bioskop.238 Semuanya
dikelolah oleh peranakan Tionghoa kecuali satu bioskop. Bioskop sudah
didominasi film-film buatan Amerika pada masa itu.239 Sejak bulan Mei 1943
dimulai pemutaran film buatan Jepang di bioskop-bioskop tersebut. Di samping
itu, Jepang juga mulai menghentikan impor film Barat dan mengganti nama-nama
bioskop dengan nama Jepang.240 Persafi (Persatoean Ahli Film Indonesia) mulai
memproduksi film cerita sejak 1 September 1943 di bawah pengawasan Nichiei
dan Keimin.241 Film yang diproduksi harus berdasarkan “semangat ketimuran
sesuai dengan jaman baru.” Ketika itu baru selesai perlengkapan fasilitasnya.
Seperti juga yang dialami oleh cabang propaganda yang lain, begitu
Jepang masuk film sebagai alat media propaganda juga masuk ke Indonesia. Film-
film propaganda yang dimaksud berupa slide tentang tentara Nippon, diputar
sebelum pemutaran film cerita. Tujuannya, membuat masyarakat mengetahui
betapa besar dan kuat bala tentara Jepang yang menghasilkan kemenangan-
kemenangan di dalam peperangan. Dengan begitu, secara psikologis masyarakat
Indonesia yang melihat film documenter itu diharapkan terpengaruh. Jepang juga
236 Yukicha Takeda dan Senichi Hisamatsu (ed.), 1957, Kadokawa Kokugo Jiten (Kamus
Bahasa Jepang Kadokawa), Tokyo: Kadokawa Shoten, hlm. 665. 237 Sakuramoto, op.cit, hlm. 118. 238 Jawa Nenkan, hlm.118.
239 Machida, op.cit, hlm. 227-229. 240 Ibid., hlm. 230., Hastuti, op.cit., hlm. 40. 241 Jawa Shinbun (no.250. 20 Agustus 1943), hlm. 2., Menurut Jawa Nenkan (hlm. 170),
Persafi dibuka pada bulan Oktober 1943.
clv
ingin memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia bahwa jepang bersungguh-
sungguh dalam melaksanakan ide Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur
Raya dengan jalan apa pun, termasuk menyingkirkan penghalang yang dapat
menggagalkan tujuannya.
Situasi ini diperumit pula dengan produksi film cerita yang sangat sedikit,
kalau tidak bisa dikatakan terhenti sama sekali. Di mana-mana terjadi kekurangan
film, sehingga pemutaran film seringkali dilakukan berulang-ulang di satu tempat.
Seperti dialami film berjudul Asmara Moerni. Terpaksa diputar secara bergantian
di berbagai bioskop di pulau Jawa.
Untuk mengantikan kekurangan film yang sangat sedikit akan didatangkan
sejumlah besar film Jepang. Secara resmi ditetapkan sejumlah 52 film Jepang
didatangkan dalam setiap tahunnya. Selain itu film Cina dan 6 film dari Negara-
negara sekutu Jepang direncanakan akan diimpor.242
Mengenai film-film yang akan didatangkan ke Indonesia, pemerintah
berkedudukan Jepang sangat hati-hati, hanya film-film yang dianggap berguna
bagi kepentingan propagandalah yang akan diimpor. Film-film tersebut biasanya
isinya jelas-jelas harus berisi ajaran moral dan indoktrinasi politik yang sejalan
dengan keinginan pemerintah, dan film-film itu dikategorikan sebagai film
kokusaku eiga (film-film kebijakan nasional). Film-film kebijakan nasional itu
bila ditinjau dari segi isinya dapat dibagi ke dalam enam kategori sebagai
berikut.243
1. Film yang isinya menekankan persahabatan antara bangsa jepang dengan bangsa-bangsa Asia serta pengajaran Jepang.
242 Jun’Ichiro Tanaka. 1976. Nihon Eiga Hattatsushi, Vol.3. Tokyo: Chokoron 243Aiko Kurasawa, 1993, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di
Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: Grasindo, hlm.239.
clvi
2. Film yang isinya mendorong pemujaan patriotisme dan pengabdian terhadap bangsa.
3. Film yang isinya melukiskan operasi militer dan menekankan kekuatan militer Jepang.
4. Film yang isinya menggambarkan kejahatan bangsa Barat. 5. Film yang isinya menekankan moral berdasarkan nilai-nilai Jepang
seperti: pengorbanan diri, kasih saying ibu, penghormatan terhadap orang tua, persahabatan yang tulus, sikap kewanitaan, kerajinan, dan kesetiaan.
6. Film yang isinya menekankan peningkatan produksi dan kampanye perang lainnya. Sedangkan jenis film yang mendapat keutamaan tinggi ialah film-film
yang termasuk ke dalam film dokumenter, film berita, dan film-film kebudayaan.
Untuk film jenis documenter telah mulai digarap sejak Jawa Eiga Kosha
membuka studionya di Jatinegara pada bulan September 1942 dan usaha itu
dilanjutkan oleh Nichiei. Nichiei melaksanakan pemasokan film documenter dan
kebudayaan setiap dua minggu sekali atau sejumlah 24 film dalam setahunnya.244
Film-film itu biasanya mempunyai masa putar 10-20 menit dan mengandung
tema-tema propaganda.
Sedangkan untuk film berita, Jawa Eiga Kosha melakukan penyuntingan
sebulan sekali di bawah judul “Djawa baroe” dan tetap diedarkan sampai
mencapai nomor kedelapan pada bulan Maret 1943. usaha tersebut kemudian
dilanjutkan oleh Nichiei yang memulai suatu seri dua mingguan yang dinamakan
Djawa Nyusu (Berita Film Jawa). Produksi film yang dihasilkan Nichiei mencapai
produksi yang ke-19 pada bulan Desember 1943, dan mulai awal 1944 film berita
dibuat di bawah judul baru “Nanpo Hodo”.245
Bila film-film berita itu dianalisis akan tanpak sifatnya yang instruktif
seperti yang tanpak pada unsur-unsur berikut:
244 Jawa Nenkam, hlm.170. 245 Ibid.
clvii
1. Film-film berita yang isinya menggambarkan kegiatan-kegiatan organisasi social politik, latihan pemuda, peningkatan produksi, pidato para pemimpin pemerintahan dan militer, kemenangan di medan pertempuran, dan lain-lain. Dalam film-film itu fokusnya ditentukan pada upaya-upaya pengajaran moral dan teknis serta bagaimana menyebarkan pesan-pesan pemerintah.
2. Film-film yang berisi pengajaran moral dan teknis. Topic-topik yang dikemukakan ialah teknik perikanan, penanaman kapas, pembuatan keramik, pemeliharaan kesehatan, dan pengenalan tradisi Jepang.
3. Penggunaan narasi bahasa Indonesia dalam film-film berita itu, lebih menekankan kepada ajakan-ajakan perang.
Jepang mulai memproduksi film cerita di Indonesia akhir tahun 1943. itu
pun dalam jumlah minim, hanya sekitar 1-2 film setahun. Ada yang dibuat dengan
masa putar panjang Full Length, seperti Berdjoang dan Habis Hoedjan.246 Ada
juga yang dibuat dengan masa putar 30 menit, seperti Mimpikoe, Ke Seberang, Di
Menara, Djatoeh, Berkait, Amat Heiho, dan Tonari Kumi.247 Dikenalkan pula film
boneka berjudul pak Kropmo, dengan semboyan Awas Mata-mata Moesoeh,
dibuat oleh Seseo Ono.248Film-film cerita itu tidak lepas dari selipan propaganda
untuk kepentingan perang Jepang.
Film yang isinya menekankan persahabatan antara bangsa jepang dengan
bangsa-bangsa Asia serta pengajaran Jepang:
246 Djawa Baroe 4 (no.4 15.1.2064), hlm. 32. 247 Djawa Baroe 4 (no.13 1.7.2604), hlm.32. 248 Djawa Baroe 2 (no. 23 12.1.2063), hlm. 6-7.
clviii
Gambar: Film Kota Berdjoang (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Kota Berdjoang249 menceritakan bagaimana Jepang akan melindungi dan
mengusir penjajah Barat dari kota di Asia. Setiap kota yang dijajah bangsa Barat
akan dilawan oleh prajurit-prajurit Jepang untuk membebaskan Asia dari para
penjajah.
Gambar: Film Kati Doki Ondo (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Dari seorang kepala pabrik menjadi penjaga malam. Karena ingin terus
bekerja tanpa lelah dengan ikhlas dan ingin terus menyumbangkan tenaga terus-
meneru demi kejayaan Asia Timur Raya. Bekerja…bekarja…bekerja…Sorak
kemenangan pasti terdengar! Itulah gambaran cerita film Kati Doki Ondo250
(Sorak Kemenangan) yang juga menggambarkan kekerasan hati dan ketebalan
249 Asia Raya (3 1.2.1944). 250 Djawa Baroe (29.5.1945), hlm.32.
clix
semangat pekerja Nippon dalam jaman peperangan untuk kemenangan Asia dari
penjajahan Barat.
Gambar: Film Barisan Mati Dimenara Penjara (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Mempertahankan Negara itulah cita-citanya. Dengan sekuat daya upaya
barisan prajurit korea mempertahankan negaranya sekalipun mati adalah
taruhannya. Film Barisan-Mati Dimenara Pendjaga juga menggambarkan
perasaan cinta seorang prajurit Jepang yang mempunyai kekasih wanita korea.
Tetapi kekasihnya pergi gugur dimedan pertempuran. Karena kekasih yang yang
ditinggalkannya mempunyai perasaan yang ikhlas, dia merelakan kepergiannya.
Film yang isinya mendorong pemujaan patriotisme dan pengabdian
terhadap bangsa.
Gambar: Film Kesoema Noesa (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
clx
Lin Tse Chi adalah pendekar pujaan bangsa, mempertahankan derajat
bangsa dalam melawan menentang Inggris penindas Asia. Film Kesoema Noesa251
ini juga melukiskan halus dan tingginya budi bahasa bangsa timur, penuh filsafat
hidup dan perjuangan rohani cinta tanah air dengan pengorbanan yang tulus
ikhlas.
Gambar: Film Indonesia Raya (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Film documenter dengan judul “Indonesia Raya”,252 pahamilah sepaham-
pahamnya lagu Indonesia Raya, lagu kebangsaan, lagu kemegahan “Indonesia
Raya” penuh gaya dan jaya selalu Indonesia. Nyanyian “Indonesia Raya” tua
muda bergelora di angkasa merdu dan suara gemuruh melayang keseluruhan ke
penjuru “Indonesia Raya”. Itulah pesan yang ada di film documenter “Indonesia
Raya”
Film yang isinya melukiskan operasi militer dan menekankan kekuatan
militer Jepang.
251 Asia Raya ( 27.12.1945). 252 Asia Raya (29.1.1945).
clxi
Gambar: Film Kanto Penjapoe Oedara (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Film dengan judul Kato Sentokitai253 (Kato Penjapoe Oedara)
menggambarkan pesan Prajurit Pilot-pilot dengan hati yang tabah melawan
musuh-musuhnya di angkasa dengan pesawat. Para pilot berangkat berjuang
bersama-sama dengan susah senang dipikul bersama untuk menentang musuh
dengan hati yang tenang.
Gambar: Film Pasoekan Pembom Angkatan Laoet (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Serangan musuh sangat hebat tapi semua itu bisa dilawan dengan
patriotisme yang kuat juga. Pergulatan antara musuh dengan Pasukan pembom
angkatan laut Jepang, Putra Yamato dengan semangatnya membuktikan betapa
tinggi semangat perjuangannya untuk menjatuhkan pesawat musuh. Serang
253 Asia Raya (6.3.1945).
clxii
serang! Gempur! Sampai musuh bertekuk lutut pekiknya dengan lantang. Isi cerita
film Kaigun Bakugekitai254 (Pasoekan Pembom Angkatan Laoet).
Film yang isinya menggambarkan kejahatan bangsa Barat.
Gambar: Film Shanghai Rikusentai (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Shanghai Rikusentai255 (Angkatan Loet Barat bagian barat di Shanghai)
mengesankan tentang perjuangan prajurit Jepang di jembatan Marco Polo. Tjiang
Kai Sek menentang Nippon, ini semua karena gara-gara Inggris dan Amerika
yang hendak mengacaukan Kemakmuran Lingkungan Asia Timur Raya. Shanghai
kota jajahan Barat yang Indah permai, menjadi pangkalan penindasan Asia oleh
Barat. Angkatan laut berjuang mati-matian, melawan tentara musuh jauh lebih
besar. Pertempuran berjalan dengan sengitnya dengan tekat yang kuat angkatan
laut rela merebut Shanghai demi mempertahankan keadilan dan kehormatan Asia
Timur Raya.
254 Asia Raya (15.2.1944). 255 Asia Raya (8.5.1945).
clxiii
Gambar: Film Kolone ke 5 (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Dai Goreto no Kyohu256 (Kolone ke 5) menceritakan Seorang perempuan
menjadi tangan kanan Klone Ke Lima berhianat kepada negeri sendiri, tetapi
akhirnya insaf akan angkara dan kejahatan Inggris-Amerika. Kepada tanah air
wajib berbakti, film ini juga bercerita bagaimana licinnya dan liciknya mata-mata
musuh bekerja.
Film yang isinya menekankan moral berdasarkan nilai-nilai Jepang seperti:
pengorbanan diri, kasih saying ibu, penghormatan terhadap orang tua,
persahabatan yang tulus, sikap kewanitaan, kerajinan, dan kesetiaan.
Gambar: Film Negeri Sakura (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
256 Asia Raya (10.8.1944).
clxiv
Sakura No Kuni257 (Negeri Sakura) perjuangan batin dua sejoli yang
diakhiri dengan pengorbanan. Perkawinan itu bukanlah soal kasih sayang belaka.
Melainkan harus meinta pengorbanannya untuk kekasih dan masyarakat juga.
Gambar: Film Senjoeman negara (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Senjoeman Negara258 menceritakan Para prajurit jepang berperang untuk
mempertahankan dan mengusir para penjajah barat dari Asia Raya. Sekalipun
untuk mempertahankannya tidak mudah, mereka yakin bangsa Asia selalu
menunggu kemenangan Asia Raya dengan senyuman.
257 Asia Raya (19.3.1945). 258 Asia Raya (5.7.1944).
clxv
Gambar: Film Berdjoeang (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Dalam film Berdjoeang259, misalnya, digambarkan seorang pemuda
bernama Anang yang dianggap bermoral tinggi karena lebih mengutamakan
meninggalkan kampung halaman dan berperang daripada mengurus keluarga. Di
situ diceritakan, Anang lebih suka menunda perkawinannya agar bisa ikut Heiho.
Gambar: Film Ke Seberang (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Kalau Berdjoang melukiskan prajurit tempur, maka Ke Seberang260
menggambarkan prajurit ekonomi, barisan pemuda yang setia dikirim ke luar
pulau jawa untuk membangun tanah seberang: Kalimantan, Sulawesi, dan lain-
lain.
Gambar: Film Gelombang
259 DJawa Baroe (no.3 1.2.1944), hlm.31. 260 Djawa Baroe (no.13 1.7.1944), hlm.32.
clxvi
(Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Film dengan Judul “Gelombang”261 melukiskan Indonesia yang dijajah
oleh orang-orang Barat, sampai pada perang suci yang digemborkan oleh Jepang
“Fajar bagi Asia”. Film ini juga bercerita bagaimana orang Indonesia hanya
menerima apa adanya hanya nyata dan dengan kedatangan Jepang rakyat
Indonesia diajarkan nyanyian dan tarian sebagai barang penghibur.
Film yang isinya menekankan peningkatan produksi dan kampanye perang
lainnya.
Gambar: Film Malaria (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Semua harus dibasmi itulah semboyan iklan yang ditulis dengan lantang.
Film dengan judul Malaria262 menggambarkan penyakit malaria harus dibasmi dan
dihilangkan dari lingkungan kehidupan masyarakat Asia. Dimana Malaria itu juga
diibaratkan Inggris dan Amerika.
261 Djawa Baroe (no.24 15.12.1943), hlm.31. 262 Asia Raya (28.6.1944).
clxvii
Gambar: Film Bom Penghiboer (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Film yang memperlihatkan dan dibuat untuk menghibur para prajurit
Nippon yang tengah bertempur dn selalu menjaga nyawanya dimedan
pertempuran. Prajurit harus gembira, harus dapat tertawa sekalipun suara bom
selalu ada dimedan pertempuran. Syori no Himade263 (Bom Penghibur) itulah
judulnya. Mari…………..Mari Tertawa. Mari…………..Mari Berjuang itulah
semboyannya.
Gambar: Film Djantan (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Film dengan judul Djantan264 menceritakan bagaimana rela berkorban
demi Asia Timur Raya dengan gotong royong membuat terowongan kereta.
263 Asia Raya (21.5.1945). 264 Djawa Baroe (no.2 15.1.1944), hlm.32.
clxviii
Pekerjaan itu dilakukan bersama-sama bahu-membahu dengan perasaan gembira.
Semakin gembira kaum pekerja semakin giatlah bekerja dan semakin cepatlah
terowongan itu jadi.
Gambar: Film Neppu (Sumber Koleksi: Mikro Film Perpustakaan Nasional Jakarta)
Dalam menghancurkan Inggris dan Amerika guna kemenangan tanah air
dengan gilang-gemilang dibutuhkan persenjataan yang banyak. Pabrik baja
sebagai satu sayap didalam industry yang terpenting mempunyai suatu kewajiban
yang berat untuk kepentingan negeri. Film “Neppu”265 menceritakannya
bagaimana para pekerja terbaik Nippon memperkerjakan dengan giat bekerja demi
kekuatan Jepang untuk menghancurkan Barat.
Lebih tanpa jelas lagi kesan propagandanya adalah produksi tahun 1945,
berjudul Koeli dan Romusha266 Karya penulis Indonesia, J. Hoetagaloeng, yang
mula-mula berbentuk naskah sandiwara, jelas-jelas mengambarkan perbedaan
nasib di Zaman Belanda yang sangat merana dan romusha di jaman Jepang yang
nasibnya lebih baik. Katanya, romusha bernasib baik karena berjasa mengabdi
kepada baik karena berjasa mengabdi kepada Negara.
265 Djawa Baroe (no.15 1.8.1944), hlm.32.
266 Asia Raya (19.3.2605).
clxix
Propaganda Jepang juga diperlihatkan melalui film-film yang didatangkan
langsung dari Jepang, yang penuh dengan gambaran tentang keunggulan Jepang ,
seperti Nankai no Hanataba (Bunga dari Selatan), Shogun to Sanbo to Hei
(Jenderal dan Prajurit), Singapure Soko Geki (Serangan atas Singapura), Eikoku
Koezoeroeroe no Hi (Saat Inggris Runtuh).267
Sangat menarik, meski film Jepang terus masuk dan juga diproduksi di
Indonesia, film-film barat tetap boleh beredar. Keadaan itu tampak jelas pada
deretan iklan di media massa ketika itu. Bahkan, perbandingan film barat dengan
non-barat seimbang. Sebagai gambaran iklan film disurat kabar Asia Raya,
terbitan Jakarta. Diketahui, pada tanggal 30 April 1942 saja terdapat 12 bioskop
yang memutar film Eropa dan Amerika, 3 bioskop memutar film
Indonesia/Melayu, dan 1 bioskop memutar film Cina/Tionghoa.268
D. Metode Penyebar Luasan Pemutaran Film
Dalam usaha mengambil hati lewat propaganda terhadap masyarakat Jawa
melalui media film, pemutaran dan distribusi film berada di bawah tanggung
jawab Eihai, dan cabang Jakarta (Jawa Eihai) dibentuk pada bulan April 1943,
setahun setelah Jepang menduduki Jawa, dengan Mitshuhashi Tessei sebagai
kepalanya yang berhubungan erat dengan Sendenbu, Eihai merumuskan dan
menjalankan program umum dengan memanfaakan film demi tujuan propaganda.
Tugasnya meliputi pemilihan film yang akan diedarkan, penyebaran film
267 Djawa Baroe (no. 15 1.8.2603), hlm. 30-31. 268 Asia Raya, 4 Joeni 2063.
clxx
kebioskop setempat, pengelolahan seluruh gedung bioskop yang disita, dan
memutar film dengan konsep dilapangan terbuka.269
Untuk memperlancar jalannya pengedaran dan penyebaran film ke setiap
daerah di Jawa, hal lain yang dirasa perlu ialah membuat jaringan-jaringan
propaganda ke setiap sudut dan pelosok desa (desa mempunyai arti penting
sebagai sumber bahan baku dan sumber tenaga manusia) untuk pulau Jawa
dibentuk Chiho Kosakutai (Unit Operasi Distrik) yang meliputi kota-kota besar
yakni: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang.270 Unit
setiap Unit Operasi Distrik mempunyai wilayah kerja yang meliputi tiga sampai
empat Karesidenan sebagai berikut:
1. Unit Operasi Distrik Jakarta meliputi Banten, Jakarta, Bogor, Kotamadya Khusus Jakarta.
2. Unit Operasi Distrik Bandung Meliputi Priangan, Cirebon, dan Banyumas.
3. Unit Operasi Distrik Yogyakarta meliputi Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Madiun, dan Kedu.
4. Unit Operasi Distrik Semarang meliputi Semarang, Pekalongan, dan Pati.
5. Unit Operasi Distrik Surabaya meliputi Surabaya, Bojonegoro, dan Madura.
6. Unit Operasi Distrik Malang meliputi Malang, Kediri, dan Besuki.271
Dengan demikian di samping Unit Operasi Distrik, juga terdapat seksi
propaganda dan informasi di setiap karesidenan. Demikian juga di setiap
kabupaten dan kecamatan ditempatkan pejabat-pejabat yang bertanggung jawab
atas menjalankan propaganda. Hanya perlu diperhatikan Unit Operasi Distrik di
269 Jawa Gunseikanbu, Nyanyian Pemuda, Djakarta: Balai Pustaka. 270 Asia Raya, 16 Mei 1943. 271 Ibid.
clxxi
bawah kendali Sendenbu, sedangkan aktifitas propaganda pemerintah daerah
berada di bawah badan-badan propaganda yg ditanggung jawabkan.
1. Pemutaran Dibioskop
Film-film barat yang beredar di masa itu, Wizzard of Oz, sebuah film
dongeng yang dibintangi oleh Judi Garland, Ice Faillies dibintangi John
Crawford, dan Tarzan Finda & Son dibintangi oleh aktor terkenal ketika itu,
Johnny Weismuller.(4 Mei 1942) Beredar juga film-film Cina yang dulu disebut
film Tionghoa, seperti Hua Chan Lui, yang dibintangi bintang-bintang Tionghoa,
dan film-film Indonesia (film Melajoe), seperti Boedjoekan Iblis yang dibintangi
Rodiah dan RD. Mochtar.272
Sampai disitu, tampaknya, per-bioskop-an masih mengalami masa
menyenangkan. Sebab, pada mulanya, masa pendudukan Jepang di Indonesia
masih menjalankan fungsi film dan bioskop sebagai alat hiburan, dengan
membolehkan masyarakat memilih film di luar film Jepang. Meski fungsi sebagai
propaganda juga semakin menderas karena pada setiap pemutaran film apa pun,
lebih dulu masyarakat harus menonton film-film dokumenter dan slide-slide
tentang bala tentara serta kehidupan di Negeri Matahari Terbit.273
Karena film-film asing dari negeri “musuh”, terutama Amerika, tidak bisa
diimpor, maka bioskop akhirnya dibanjiri film-film Jepang, disamping sisa film-
film Jerman (sahabat Jepang), yang diimpor sebelum PD-II, dan film-film dalam
negeri buatan tahun 1942 dan sebelumnya. Di antara film-film dalam negeri yang
sangat diminanti masa itu adalah film-film yang dibintangi aktris popular
272 Asia Raya 8 Juni 1942. 273 Djawa Baroe 3, 1.1.2064, hlm 32-33.
clxxii
Roekiah, seperti gagak Item (1939), Roekihati (1940) dan Koeda Sembrani
(1941).274
Dalam surat kabar Tjahaya (Bandung) terbitan 23 Juli 1944, misalnya
dimuat iklan bioskop Taiyo yang memutar film Indonesia. Moestika dari Djemar
(1941) dengan bintang-bintang utamanya Rd. Mochtar dan Dhalia. Sedangkan
bioskop Fuji memutar film Jerman, Es Leuchten die Sterne. Di bioskop Futaba
maupun Nippon (Cimahi) diputar film Cina (sisa sebelum perang), masing-masing
Tien Lund an Pai Sheek Kung Tjoe.275
Beberapa film Jepang juga sempat beredar di Indonesia masa itu. Film
rikugun Koku Senki misalnya, diputar di bioskop Toyo, sedangkan Wagayo no
Kaze di bioskop Ginza. Untuk bioskop disebut terakhir ini diberi keterangan
“Istimewa Bangsa Nippon” (khusus buat orang jepang).276
Suplai film tersendat, bioskop terpaksa sering memutar ulang. Ini
menyebabkan bioskop berangsur tutup satu demi satu. Catatan pada bulan April
1943 menujukan terdapat 117 buah bioskop di Jawa. Penduduk ketika itu 50 juta
orang, berarti satu bioskop untuk 400 ribu orang. Terlalu sedikit. Apalagi
dibanding dengan Jepang, yang dengan penduduk sebanyak 76 juta, memiliki
2.350 bioskop, berarti satu bioskop buat 32 ribu orang.277
274 SM. Ardan, tanpa tahun, Sejarah Film Indonesia 1942-1950, Jakarta: Sinematek, hlm
21. 275 Tjahaya, 23 Juli 1944. 276 Ibid. 277 Taufik Abdullah, Film Indonesia Bagian I (1900-1950), Jakarta: Dewan Film
Nasional, hlm.160-161.
clxxiii
Jumlah 117 bioskop di bulan April 1943 itu merupakan suatu penurunan
dibanding sebelum PD-II, 1937 (lihat table berikut).278
Tabel I
Daerah 1937 1943
Surabaya 22 12
Jakarta 19 13
Malang 12 6
Semarang 9 7
Bandung/Priangan 8 7
Yogyakarta 4 3
Menyusutnya bioskop itu tentulah disebabkan oleh keputusan pengusaha
memiliki lebih baik menutup usahanya dari pada menanggung rugi terus menerus.
Lebih-lebih karena mereka diwajibkan menyediakan 50% tempat duduk untuk
kelas “ekonomi lemah”. Harga tanda masuk (HTM) paling tinggi Cuma 80 Sen.
Sedangkan sebelum PD-II f2,- (dua Gulden/rupiah).
Di masa Jepang itu bioskop terbagi dalam 4 tingkat. (lihat table berikut).279
Tabel II
Tingkat Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4
Satu 80 Sen 50 Sen 30 Sen ---
Dua 60 Sen 40 Sen 20 Sen ---
278 Ibid, hlm.170. 279 Ibid,
clxxiv
Tiga 50 Sen 30 Sen 20 Sen 10 Sen
Empat 40 Sen 25 Sen 15 Sen 15 Sen
Sebelum PD-II “kelas rakyat” hanya sekitar 5 sampai 10% dari kapasitas
tempat duduk. Kelas paling depan biasa disebut “Kelas Kambing”. Dalam iklan
disebutan dengan jelas, khusus diperuntukan bagi “orang Slam” (= Islam,
pribumi), yang konon suka bersuit dan berteriak. “ramai seperti kambing
mengembik”. HTM-nya 10 sen. Untuk “orang Cina 25 sen”, sedangkan kelas
terhormatnya “50 sen dan satu gulden”. Tapi ada pula bioskop yang tertutup bagi
pribumi. HTM-nya lebih tinggi, f0,50,- dan f2,-. Bioskop-bioskop khusus untuk
orang-orang Belanda (dan orang kulit putih lainnya) di Jakarta waktu itu adalah
Capitol di Pintu Air (kini pertokoan) dan Deca Park (Monas sekarang).280
Jadi, dimata penjajah Belanda, pribumi adalah warga kelas tiga, di bawah
Belanda dan Cina. Dan 905 bioskop masa itu memang dimiliki orang Cina.
Sebagai contoh: Fred Young (1900-1977) adalah pemilik 5 bioskop di Malang.
Tan Bersaudara (Khoen Hian & Khoen Yauw) memiliki dua bioskop di Senen dan
Tanah Abang dengan nama yang sama, Rialto.
Jepang sepintas lalu berhasrat mengangkat pribumi menjadi warga utama,
sejajar dengan “saudara tua” Jepang, dan boleh nonton di bioskop manapun,
termasuk di Capitol dan Deca Park. Slogan propaganda Jepang: “Nippon-Indonsia
sama-sama”. Tapi dalam praktek kenyataannya lain sama sekali. Sehingga Yang
terjadi adalah: “Nippon pertama, Indonesia kedua”. Ini antara lain terbukti dari
adanya bioskop “Istimewa Oentoek Bangsa Nippon” di Bandung, Ginza. Disitu
280 Ibid, hlm.173
clxxv
pribumi tidak boleh masuk, sama halnya Capitol dan Deca Park di Zaman Belanda
berkuasa. dibioskop Ginza sendiri tak ada pemutaran film pendahuluan, yang
memang ditujukan untuk golongan terjajah. Akhirnya ini merupakan keharusan
bagi bioskop-bioskop lain. Bioskop khusus semacam Ginza di Bandung itu juga
terdapat di kota-kota lain: Tokyo (Jakarta), Nippon (Semarang), Toa (Yogya),
Nyoei (Malang) dan Nippon di Surabaya.281
Untuk keperluan hiburan dan sekaligus alat propaganda, bagi penduduk
Indonesia, Jepang mengelola langsung 35 bioskop, disamping 117 bioskop yang
umumnya milik orang Cina itu, 35 bioskop ini dimiliki langsung oleh Jawa Eihai
(pengedar film).282 Bioskop jenis ini terdapat di Jawa Barat (23 buah), Jawa Timur
Sembilan dan tiga buah di Jawa Tengah. Satu diantaranya, Hodo Gekijo
(gekijo=bioskop) di Semarang, dipergunakan khusus untuk menayangkan film
berita dan film pendek, tanpa dipungut bayaran. Sebuah lainnya, Ya’eshio Gekijo
di Jakarta, khusus memutar film pendidikan untuk pelajar, secara gratis pula.283
2. Layar Putih itu Bernama Layar Tancap
Untuk keperluan propagandanya, bukan hanya HTM bioskop umum
diturunkan, tapi Jepang juga menyelenggarakan pemutaran film yang kemudian
dikenal dengan sebutan “Layar Tancep” (bioskop keliling).284 Untuk keperluan ini
sengaja didatangkan ahlinya dari Jepang sebanyak enam orang. Pada Desember
1943 terdapat lima markas operasi “Layar Tancep” di berbagai kota: Jakarta,
281 Asia Raya 23.6.2604. 282 Unabara (no.159. 12 September 1942), hlm.2. 283 Asia Raya 19.7.2603. 284 SM. Ardan, op.cit, hlm.38.
clxxvi
Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Malang. Ada yang dipimpin orang Jepang,
tapi ada pula yang dikepalai orang Indonesia. Dengan berkendaraan truk, unit-unit
bioskop keliling itu beroperasi dari desa ke desa.285
Sebelum PD-II pemutaran film “layar tancep” sebenarnya sudah dilakukan
oleh Belanda di Lapangan Gambir, gerbang timur eks Pekan Raya Jakarta di
Merdeka Selatan. Karena yang pertama diputar film penerangan tentang penyakit
pes, maka pertunjukan itu lebih dikenal sebagai “film pes”, walaupun kemudian
ditayangkan pula penerangan tentang penyakit-penyakit lain.286 Baik film fes
Belanda maupun bioskop kililing Jepang itu, gratis dan terbuka untuk umum.
Karena pemutaran film pes hanya di tempat-tempat tertentu saja, maka bisa
dikatakan bahwa Jepang yang memelopori pertunjukan “layar tancep”, karena
daerah operasinya amat luas.287
Meskipun demikian, upaya selama masa pendudukan jepang untuk
memanfaatkan bioskop keliling bagi indoktrinasi politik dengan sekala besar
sepenuhnya merupakan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Sebenarnya
Jepang sendiri sudah sangat berpengalaman luas dengan penyelenggaraan bioskop
keliling dinegeri asalnya. Dari pengalaman tersebut Jepang kembali menerapkan
konsep tersebut di Jawa.
Kantor pusat Eihai mengirimkan 48 operator film dan perlengkapan yang
dibutuhkan untuk Asia Tenggara, enam diantaranya dikirim ke Jawa dalam rangka
peningkatan penyelenggaraan bioskop keliling. Para operator dan staf
285 Taufik Abdullah, op.cit, hlm.180. 286Abdul Aziz,1992, Layar Perak:90 Tahun Bioskop Di Indonesia, Jakart: Gramedia,
hlm.42. 287 Taufik Abdullah, op.cit, hlm.183.
clxxvii
perlengkapan pendukungnya berkeliling dari desa ke desa lain, dengan membawa
proyektor film, generator, dan film (35 mm), di atas sebuah truck. Masing-masing
tim terdiri dari seorang anggota staf Jawa Eihai (seorang operator), seorang
pegawai Sendenbu setempat, seorang penerjemah, dan seorang sopir truck.288
Biasanya perlu waktu beberapa hari untuk menyelesaikan sebuah
perjalanan keliling, dan dalam kasus sebuah kampanye besar dengan tujuan
tertentu, sebuah tim harus melakukan perjalanan selama beberapa minggu.
Misalnya, sebuah perjalanan keliling untuk kampanye peningkatan produksi yang
dilakukan oleh Unit Operasi Yogyakarta bersama dengan Jawa Eiha berlangsung
selama dua minggu, dari tanggal 14 sampai 30 Desember 1943, dan meliputi
empat kresidenan.289
Di Kotamadya Khusus Jakarta sendiri pada bulan Desember 1943
pertunjukan film bebas di udara terbuka diselenggarakan di delapan tempat untuk
53.000 penoton, di delapan tempat di Karesidenan Jakarta, dengan keseluruhan
penonton sebanyak 104.000, dan delapan tempat di Karesidenan Bogor dengan
jumlah penonton sebanyak 96.000 orang. Karena tidak mungkin mengunjungi
seluruh desa dengan jumlah dan sarana yang terbatas, satu atau dua desa dipilih
dari sebuah Son (kecamatan) sebagai lokasi pemutaran, dan rakyat dari desa-desa
tetangga diundang untuk menonton. Film diputar si sebuah lapangan terbuka di
dekat balai desa, dan siapa pun boleh menonton secara gratis. Pengumuman
288 Ibid, hlm.190. 289 SM. Ardan, op.cit, hlm.52.
clxxviii
disampaikan pada penduduk seluruh desa tetangga melalui pejabat desa dan ketua
Tonarigumi.290
Munculnya bioskop keliling merupakan suatu hiburan yang langkah bagi
penduduk desa, karena pada saat itu kehidupan sulit dan penuh penderitaan. Kalau
muncul berita kedatangan sebuah bioskop keliling, rakyat biasanya tak sabar
menanti, karena biasanya ini merupakan pengalaman pertama mereka menonton
film. Pada hari yang dijadwalkan mereka tak segan-segan berjalan beberapa
kilometer ke tempat yang telah ditetapkan, sekalipun dalam keadaan lelah dan
lapar. Menjelang gelap, banyak penonton telah menanti pertunjukan. Dengan
demikian, tidak seperti halnya dengan rapat umum, dimana penguasa mengalami
kesulitan mengumpulan massa, pertunjukan film di daerah pedesaan jarang
mengalami kesulitan menarik pengunjung.291
3. Boui Engo Kai (Badan Pembantu Prajurit)
a. Kebijakan Pembentukan Boui Engo Kai (Badan Pembantu
Prajurit)
Pada akhir tahun 1943 Saiko Shikikan, dalam Sidang Chuo Sangiin,
menanyakan bagaimana cara dan usaha untuk memperkuat peperangan di Asia
Timur Raya. Chuo Sangiin mengusulkan agar “memperkukuh dan melindungi
prajurit Heiho dan Peta”. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka pemerintah
Jepang melalui sidang Chuo Sangiin mengesahkan berdirinya suatu badan yang
mengurus dan melindungi prajurit Heiho dan Peta maupun keluarganya, serta
meyakinkan kepada masyarakat pentingnya semangat prajurit Heiho dan Peta
290 Asia Raya 5.7.2604. 291 Abdul Aziz, op.cit, hlm.43-44.
clxxix
dalam barisan perang depan maupun barisan perang belakang.292 Badan tersebut
diberi nama Boui Engo Kai atau Badan Pembantu Prajurit yang resmi berdiri pada
tanggal 8 Desember 1943. Peresmian Boui Engo Kai bertepatan dengan hari
pembangunan Asia Timur Raya dan pelantikan prajurit Peta se-Jawa dan Madura.
Adapun pokok maksud dan tujuan Boui Engo Kai (Badan Pembantu
Prajurit), sebagaimana tertera dalam pasal 2 dari Peraturan Dasarnya,293 yaitu:
“Tata Oesaha ini adalah daja oepaja dan perbaktian seloeroeh ra’jat Indonesia yang bermaksoed lahir dan batin menjelenggarakan segala oesaha jang berarti memperkoeat tenaga perang dengan djalan memperkoekoeh dan memperlindoengi pradjoerit Pembela Tanah Air dan Heiho dan djoega anggota Keibodan dan anggota rombongan lain-lain jang disahkan, jang tewas ataoe roesak badan dalam berboeat djasa oentoek Pembelaan Tanah Air, jang semoeanja itoe dengan ringkas dinamakan Boei Sensi (pahlawan pembelaan) serta keloearganja, agar kemenangan achir dan peperangan soetji ini lekas terjapai goena pembangoenan kema’moeran bersama di Asia Timoer Raja”.
Maksud “memperkoekoeh” adalah memberikan bekal yang lebih bagi
prajurit Heiho dan Peta baik latihan fisik maupun mental agar siap dalam
menghadapi perang. Sedangkan maksud ”memperlindoengi” adalah menjaga dan
mengayomi dengan memberikan hak-hak istimewa bagi prajurit Heiho dan Peta
maupun keluarganya. Adalah Peraturan Dasar tersebut dengan jelas terlihat tujuan
pemerintah jepang dengan pembentukan Boui Engo Kai yaitu untuk mencapai
kemenangan Jepang dalam perang Asia Timur Raya.
Dalam pembentukan Boui Engo Kai pada hakekatnya terdapat dua tujuan
atau kepentingan yang berbeda antara pemerintah Jepang dengan tentara Heiho
dan Peta. Pemerintah jepang dan rakyat Indonesia memiliki impian yang berbeda
walaupun dalam setia kegiatan bekerja sama dengan baik. Menurut pemerintah
292 Prajurit, No. 5/8 Desember 1944, hlm.7. 293 Prajurit, No.13, 30 Maret 1945, hlm.12.
clxxx
Jepang pembentukan Boui Engo Kai adalah merupakan salah satu alat propaganda
yang sangat efektif untuk mendapatkan simpati dan bantuan dari rakyat Indonesia
terutama masyarakat yang tergabung dalam Heiho dan Peta. Kegiatan-kegiatan
yang diadakan seperti rapat-rapat propaganda, pertunjukan film dan sandiwara,
dan penerbitan majalah Pradjoerit bertujuan untuk menyampaikan doktrin-doktrin
tentang Perang Asia Timur Raya Jepang. Doktrin-doktrin yang disampaikan berisi
tentang gambaran-gambaran perjuangan tentang perang Jepang di medan
pertempuran yang gagah berani dan rela berkorban baik jiwa mapupun raga serta
teladan-taladan tentara Jepang yang mengisyaratkan bahwa tentara perang Jepang
adalah tentara yang paling hebat dan paling kuat di medan pertempuran.
Sisi lain dari tujuan pembentukan Boui Engo Kai menurut masyarakat
Indonesia adalah sebagai sarana dan prasarana untuk mendapatkan bekal ilmu
pengetahuan tentang peperangan, ilmu kemiliteran serta untuk mendapatkan
informasi tentang perkembangan politik di dunia internasional. Ilmu-ilmu yang
diperoleh tersebut dijadikan modal utama bagi masyarakat Indonesia untuk
menyusun kekuatan dan memunculkan semangat nsionalisme yang nantinya
diterapkan untuk balik melawan Jepang. Tujuan yang kontras tersebut tidak
disadari oleh pemerintah Jepang. Sehingga dalam setiap kegiatan baik rapat-rapat
propaganda maupun pertunjukan film dan sandiwara, pemerintah Jepang tidak
menyadarinya bahwa kegiatan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
menggalang semangat nasionaslime dan semangat persatuan dan kesatuan untuk
mencapai Indonesia merdeka.
Pemerintah jepang mebentuk Djawa Boui Engo Kai di Jakarta yang
berlaku sebagai Boui Engo Kai Pusat. Djawa Boui Engo Kai membawahi Boui
clxxxi
Engo Kai di tingkat Syu/Kochi. Kedudukan Boui Engo Kai di cabang syu
(kresidenan) serta dengan kedudukan Boui Engo Kai di cabang Kochi yang
keduanya berkedudukan sebagai Boui Engo Kai Pusat Daerah. Di bawah Boui
Engo Kai tingkat syu/kochi terdapat Boui Engo Kai tingkat ken/shi (kabupaten),
Boui Engo Kai tingkat son (kecamatan), dan Boui Engo Kai tingkat ku (desa).
b. Pemutaran film di Boui Engo Kai
Pemerintah Jepang mewajibkan menayangkan film-film yang terutama
dianggap berguna sebagai bahan propaganda dan menghindari pikiran
individualistis ala Barat. Selain itu, film yang diputar harus jelas mengandung
ajaran moral dan indoktrinasi politik yang diinginkan pemerintah Jepang untuk
dipertunjukkan bagi masyarakat Indonesia, khususnya anggota Boui Engo Kai.
Film-film yang jelas mengandung prinsip-prinsip pemerintah disebut dengan
Kokusaku Eiga (film-film kebijakan nasional) yang menerima rekomendasi
khusus dari pemerintah Jepang. Kebanyakan film Jepang yang dipertunjukan di
Indonesia harus bersifat “film kebijakan nasional” tersebut.294
Kegiatan Pemutaran film yang diselenggarakan Boui Engo Kai harus
melalui tahap penyensoran yang ketat dari badan sensor milik Jepang yaitu Gun
Ken Etu Han. Film-film Jepang dipilih secara hati-hati dan hanya film-film yang
terutama dianggap berguna sebagai bahan propaganda saja yang diimpor.295
Dengan kata lain, film impor adalah film yang jelas mengandung ajaran moral dan
indoktrinasi politik yang diinginkan oleh pemerintah Jepang untuk dipertunjukan
bagi masyarakat Indonesia, khususnya anggota Boui Engo Kai.
294 Taufik Abdullah, op.cit, hlm.279. 295 Kan Po, No. 17, 25 April 1943.
clxxxii
Film-film yang jelas mengandung prinsip-prinsip pemerintah disebut
dengan Kokusaka Eiga (film-film kebijakan nasional) yang menerima
rekomendasi khusus dari pemerintah Jepang. Kebanyakan film Jepang yang
dipertunjukkan di Indonesia harus bersifat “film kebijakan nasional” tersebut.
Ketika posisi Jepang mulai berdesakan dari berbagai frot peperangan
(sejak Sepember 1944), bahan baku film lantas dihemat. Pembuatan film-film
berita, penerangan dan propaganda diutamakan kembali sedangkan film-film
cerita ditangguhkan. Akibat kebijakan Jepang di Indonesia tersebut, menyebabkan
film-film cerita tidak diproduksi dan hanya film-film yang penuh dengan
propaganda saja yang diproduksi. Film yang diproduksi antara tahun 1943-1945
adalah Berjoeang dan Ke Seberang yang disutradarai oleh Rd. Arifin, Di Desa
dan Di Menara yang disutradarai oleh HB. Angin, Amat Heiho; Kemakmuran;
Koeli dan Romusha yang disutradarai oleh J. Hoetagaloeng dan Indonesia Raya
karya Bunka Eiga (Film Kebudayaan) dan lain-lain.296
Film Jepang memang kurang memperhatikan segi komersial dari
pembuatan film-film tersebut. Bagi pemerintah Jepang yang terpenting adalah
tujuan utama Jepang tercapai yaitu penerangan dan propaganda. Terutama dalam
memproduksi film non cerita yang menekankan bahwa militer Jepang bukanlah
agregasor melainkan pembebasan bangsa Asia dari perbudakan bangsa-bangsa
Barat.
Film yang diproduksi oleh Jepang Berjoeang dan Ke Seberang. Berjoeang
adalah film yang disadur dari film Jepang dengan judul Minami no Ganbo,
menceritakan tentang seorang pemuda yang rela meninggalkan keluarga. Sahabat
296 Pradjoerit, No. 13/30 Maret 1945, hal. 39.
clxxxiii
mapun orang yang dicintainya untuk menjadi prajurit Heiho dan ikut bertempur
dalam medan perang. Sedangkan Ke Seberang menggambarkan tentang prajuri
ekonomi (romusha) yang bersedia dikirim ke luar Jawa untuk membangun tanah
seberang; Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain.
Film Berjoeang dan Ke Seberang diputar di seluruh Boui Engo Kai di
Jawa Pada bulan Juni sampai akhir Desember 1944. Pemutaran film yang
diadakan oleh Boui Engo Kai tersebut dihadiri oleh anggota Boui Engo Kai
masing-masing daerah yang merupakan gabungan antara Heiho dan Peta.
Berjoeang diputar ditepatnya yang sudah ditentukan di bioskop yang dihadiri
oleh anggota. Setiap keluarga mewakilkan dua orang dan akan mendapat tiket
masuk dari Boui Engo Kai.
E. Promosi Film Bagian dari Seni Iklan
1. Iklan Surat Kabar
Surat kabar setempat diterbitkan sampai 3 Maret 1942 dan mulai dimbil
alih oleh jepang pada 7 Maret 1942. Sendenhan mengambil alih juga To-indo
Nippo [Harian Hindia Belanda], yakni satu-satunya surat kabar berbahasa Jepang
yang ada di Indonesia sejak sebelum Perang. Dengan memanfaatkan kantor dan
percetakan (kemudian hari pindah ke bekas kantor perusahaan surat kabar
berbahasa Belanda Jaw Bode), mereka menerbitkan nomor perdana surat kabar
Sekido Ho [Berita Katulistiwa] pada 9 Maret 1942. Surat kabar ini memuat warta
berita dari siaran Tokyo sebagai berita utama.297 Kemudian, pada tanggal 3 April
1942 Sekido ho diubah namanya menjadi Unabara [Samudra], dan surat kabar ini
297 Michida, Tatakau, hlm. 195-197.
clxxxiv
terbit sebanyak 230 nomor sampai 6 Desember 1942. Dalam surat kabar ini,
Pemimpin Sendenhan Machida yang cukup perhatian kepada menulis esai berseri
tanpa nama (no.60 – no.188) selain menulis puisi (no.31). Sejak terbitnya Unabara
ini, kegiatan berpropaganda menjadi lebih terorganisasi dan pengkontrolan
terhadap segala media masa mulai diperkeras. Sebagai kebijakan pemerintah
militer, segala organ opini masyarakat di jawa diberhentikan untuk sementara dan
kemudian diberanguslah sebagian besar surat kabar yang terbit di Jawa tanpa
kejelasan atas delik apa.
Menurut I. J. Brugmans dan kawan-kawan,298 terdapat delapan surat kabar
berbahasa “Melayu” yang diterbitkan (kembali) pada masa itu. Pertama-tama,
diterbitkan Asia Raya 29 April 1942. Selain itu, di Batavia terbit juga
pembangoen sebagai pengganti Pemandangan dan Kung Yung Pao yang
melanjutkan Hong Po yang dahulu. Tidak lama kemudian, pada 1 juni1942
Tjahaja diterbitkan di Bandung. Sesudah itu, Sinar Matahari terbit di Yogyakarta
sedangkan Sinar Baroe diterbitkan di Semarang. Di Surabaya pada 17 Juni 1942
Soerabiasch Handelsblad [Surat Kabar Perniagaan Surabaya] dipaksa untuk
selanjunya diterbitkan dalam bahasa “melayu” dengan nama Pewarta Perniagaan.
Kemudian, di Surabaya Juga terbit Soeara Asia yang akan menyerapa Pewarta
Perniagaan.299
Menurut Omisawa, kepala Seksi surat kabar Sendenhan, pernyataan atau
pembredelan surat kabar tersebut dimaksud untuk mempermudah pengawasan
298 Brugmans, dkk., op.cit., hlm. 200. 299 Selain Koran-koran tersebut, ada juga Koran illegal. Salah satunya adalah Merah Putih
di Surakarta, Tanoguchi, “Janarisuto”, hlm. 291., Wartini Santoso (ed.), 1984, Katalog Surat Kabar, Jakarta: Perpustakaan Nasional. (Seterusnya dirujuk sebagai Santoso, Katalog Surat Kabar) hlm. X.
clxxxv
terhadap dunia opini. Katanya, hal itu juga masih merupakan hasil kompromi,
karena semula ia berharap hanya satu surat kabar yang ada di Jawa. Namun
pengawasan yang ketat mengakibatkan monotonnya semua artikel di surat kabar-
surat kabar.300 Tentu saja, kepada wartawan juga diadakan pengawasan. Setelah
Jepang menyerah, ditemukan dokumen “Sepuluh perintah untuk Wartawan” di
kediaman H Shimizu di Jakarta. Misalnya, perintah ke delapan dari dokumen
tersebut berbunyi, “Ia (wartawan) harus sama sekali berusaha untuk melaksanakan
slogan ‘Asia untuk orang Asia’ dan harus sadar mengenai tugas hati untuk
kemerdekaan Asia Timur Raya.”301
Dari Bandung U. Tomisawa pindah ke Batavia. Namun, ia bingung harus
memulai dari apa. Abdullah Alatas,302 seorang indo Arab yang menjadi asisten
setia Tomisawa di Bandung menyarankan untuk membuat surat kabar berbahasa
Indonesia. “dan, kalau bikin, namanya lebik baik Asia Raya saja,” lanjutnya.303
Tomisawa yang sudah mengkhawatirkan monotonnya artikel di surat kabar tadi
langsung menyetujui idenya. Tomisawa sadar bahwa lebik baik mengkontrol dari
dalam dari pada menekan dari luar. Lalu ia merundingkan ide tersebut dengan ahli
percetakan Toshio Kurosawa yang mengelola bekas pabrik percetakan Jawa Bode.
Ide itu langsung disetujui A.Asano, Y.Nakatani, T.Ichiki, H.Shimizu, dan filsuf
Norio Shimizu juga mendukung. Kemudian, Tomisawa memilih pemimpin
300 Tomisawa, “Genchi-ji Shibun (Koran Bahasa Stempat)” dalam Majalah Bungei Nihon
(Juni 1944), (Seterusnya dirujuk sebagai Tomisawa, “Genchi-ji”)., Kartini Santoso (ed.), 1983, Katalog Terbitan Indonesia Pendudukan Jepang 1942-1945, Jakarta: Perpustakaan Nasional, hlm. iii.
301 Brugmans, dkk., op.cit., hlm. 201. 302 Tomisawa menulis esai berseri mengenai Alatas yang berjudul “Indonesia no Asa
(Pagi Harinya Indonesia)” dalam surat kabar Tokyo Asahi Shinbun (19-23 Januari 1943). 303 Tomisawa, “Jawa”,hlm. 101., Asano, hlm. 147.
clxxxvi
Parindra (partai Indonesia Raya) Soekadjo Wiliano Poeranoto sebagai editor
kepala.
Akhirnya Asia Raya diterbitkan oleh Sendenhan pada 29 April 1942,
bertepatan dengan tenchu setsu (hari kelahiran kaisar Jepang). Tomisawa menjadi
presiden direktur Asia Raya. Alatas menjadi direktur operasi. Sementara, itu
pemimpin redaksi adalah Ichiki; penulis editorial adalah Oya, Asano, Tomisawa,
da N.Shimizu; penerjemah adalah Y.nakatani, Sanoesi Pan, Boetami, A.Oki juga
ikut membantu Tomisawa. Tomisawa menulis artikel di nomor perdana yang
berjudul “dari Hati ke Hati’ (terjemahan Y.Nakatani).304 Katanya, di Singapura
sampai-sampai diterbitkan “tanda bukti rakyat baik (ryminsho)” yang
membuktikan si pemilik adalah rakyat yang kooperatif pada Jepang. Asia raya ini
“terjual laris sebagai semacam jimat, karena kalau membawa itu orang tersebut
pasti dianggap pro Jepang.”305 Selain surat kabar, perusahahaan Asia Raya juaga
menerbitkan buku-buku. Menurut catatan Kitahara, pada saat 10 Juli 1942, sudah
diterbitkan sebuah kamus Jepang-Indonesia susunan abe serta sebuah bacaan
bahasa Jepang karya Asano dan sedang dicetak kumpulan sajak oki.306
Pada 3 September 1942 Sendenhan menunjukkan haluan dasar tentang
pengkontrolan terhadap surat kabar dalam “konsep Pengawasan Sura Kabar Pusat
[Chuo shinbun Tosei An]”. Dengan ini mereka memperkuat pengontrolan
terhadap surat kabar bahasa Jepang, bahasa Indonesia, maupun Bahasa cina.307
304 Tomisawa, Jawa, hlm. 98-107, 109-111, 119-120, 143., Tomisawa, “Genchi-ji”,
Asano, Ensei, hlm. 151., Asano, Jawa, hlm. 60-69., Machida, Tatakau, hlm. 199, 201-207. 305 Ibid., hlm. 206-207. 306 Kitara, Uki, hlm. 64., Mengenai buku Asano yang berjudul Nippon-go no Hon, Asano,
Jawa, hlm. 108-125, 174-181.
clxxxvii
Sementara itu, pada 10 September 1942 Markas Besar Kekaiaran memerintahkan
perusahaan surat kabar Jepang, Asahi Shinbunsha, mengenai halauan untuk
mengemudiakan surat kabat berbahasa Jepang di Jawa dan membimbing surat
kabat setempat :
Dengan memanfaatkan pengalaman serta kemampuan anda hingga kini dan memberikan tenaga kerja, bahan material, serta dana, diharapkan untuk mendirikan dan mengelola sebuah perusahaan surat kabar dibawah pengawasan Militer; berbakti pada pelaksanaan pemerintahan militer setempat; berusaha supaya kebudayaan Jepang berekspansi dan bersemarak; menyuluh orang Jepang setempat dan mendidik orang jepang setempat; membimbing atau langsung mengeelola surat kabat berbahasa setempat maupun asing.308
Dengan keluarnya perintah ini, Asahi Shinbunsha akan menerbitkan surat kabar
yang bernama Jawa Shionbun [Surat kabar Jawa] pada 8 Desember mengingat
kao Sai (ulang tahun pecahnya Perang Asia timur raya) pertama.309
Tidak lama kemudian, pada 16 Desember 1942 didirikan Jawa Shinbukai
yang mengontrol masalah persurat kabaran di Jawa atas inisiatif Asahi
Shinbusha.310 Setelah urusan persurat kabaran diserahkan kepada Asahi
Shinbunsha, sejak 1 januari 1943 Jawa Shinbunsha memulai usaha
penyebarluasan bahasa Jepang dengan menerbitkan majalah dwi-bahasa (bahasa
Indonesia dan Jepang) Djawa Baroe.311 Sejak 1 Januari 1944 mereka juga
307 Sendenbu, “Chuo Shibun Tosei An (Konsep Pengawasan Surat Kabar Pusat)” (tulisan
tangan), 3 September 1942, (The Nishijima Collection, (JV24), Machida, Tatakau, hlm. 199. 308 Ibid., hlm. 197. 309 Jawa Nenkan, hlm. 176. Mengeni alas an mengapa Asahi Shinbunsha yang ditunjuk
sebagai pengelola surat kabar di Jawa, baca Taniguchi, “Janarisuto”, hlm. 273-274. 310 “Osamu Seirei (Oendng-oendang Osamu) No.51” dalam Osamu Kanpo (No.13), hlm.
2-3. atau “Osamu Serei No.51” dalam Kan Po (No.32), hlm. 4-6. 311 Machida, Tatakau, hlm. 199., Dalam penyebarluasan bahasa Indonesia, Jawa
Shibunkai juga berperan penting. Taniguci, op.cit., hlm. 286-291. Selain itu, lembaga itu membawa perubahan dalam pengejaan bahasa Indonesia, yaitu dari “oe” ke “u”, Ibid., hlm. 281-282.
clxxxviii
menerbitkan surat kabat mingguan Kana Djawa Sjinboen [Surat kabar Jawa
berhuruf Kana], “dengan maksud menjebarkan bahasa Nippon jang benar.”312
Salah satu hal penting yang menyangkut persurat kabaran selain isi berita
yang selalu dikontrol oleh Pemerintah Jepang adalah mengenai kebijakan tentang
iklan didalam surat kabar yang harus dipersetujui oleh dewan redaksi.313 dari
kebijakan tersebut termuatlah berbagai macam iklan yang tampil dalam surat
kabar. Diantaranya adalah iklan perekrutan kepegawaian pemerintah, berbagai
macam iklan komersil untuk umum, dan iklan tentang Penyelenggaraan Film
waktu pemutaran dan tempat diputarnya film. Maka dijadikanlah surat kabar
sebagai alat promosi yang paling tepat untuk mengenalkan Film.
Dapat dikatakan bahwa untuk mengenalkan tentang film harus adanya
daya pendukung yang sesuai sebagai alat promosi yang tepat walaupun kadang
kalanya dilakukan dengan alat pengeras suara sebagai pemberitahuan
pengumuman tentang film. Tentu saja ini adalah cara tepat Jepang mengiklankan
film sebagai alat promosi yang tepat . Misalnya, dalam surat kabar Asia Raya dan
surat kabar lainnya yang ada di Jawa, hampir disetiap nomor dimuat iklan dan
artikel synopsis singkat tentu saja di tambahi gambar tentang film-film yang akan
diputar.
2. Peran “Pasukan Kuas” Di Sendenhan
Seksi seni rupa di Sendenhan disebut “pasukan kuas (efude butai)” oleh
Machida. Perkataan ini menunjukkan bahwa seksi ini terutama bertugas di bidang
312 Iklan “Kana Djawa Sjinboen” dalam Daja Baroe (no.24. 15.12.2603), hlm. 8., Dengan
adanya iklan ini, diketahui adalah salah satu ingatan bahwa machida berkata Kana Djawa Sjinboen diterbitkan sejak 8 Desember 1943. lihat Machida, Tatakau, hlm. 199.
313 Kan Po no. 14 tahoen ke II Boelan 3-2603
clxxxix
lukisan bukan ukiran. Di Batavia, meraka melukis dalam berbagai bentuk,
misalnya poster, kartu pos gambar, ilustrasi di buku, latar sandiwara, perangko,
rambu, reklame, papan nama, desain bungkusan barang kebutuhan sehari-hari, dan
lain-lain. Bahkan mereka juga membuat buku pelajaran bagi orang Indonesia.314
Oleh karena lukisan-lukisan yang telah disiapkan di Jepang dan Taiwan
ditenggelamkan oleh kapal perang Amerika, Huston, maka anggota Seksi seni
rupa sendenhan mendarat di Banten dengan tangan kosong. Meskipun demikian,
dalam perjalanan ke Batavia, mereka sempat menggambarkan lukisan dinding di
berbagai tempat. Paling aktif pada waktu itu adalah komikus Ryuichi Yokoyama
dan Saseo Ono.315
Di dinding-dinding bangunan, ditulis besar-besaran”BELSATOELAH [sic] BANGSA ASIA!” Orang Indonesia yang melihat tulisan itu berteriak-teriak “Hidoep Nippon!” dengan mengangkat jempol.
[..] Semboyan tersebut tentu maih bersifat agak murni pada awal perang Asia Timur Raya. Memang pembangunan “lingkungan Kemakmuran Bersama Asia timur Raya” itu cita-cita yang eenaknya(?), tetapi pemikiran untuk membebaskan penjajahan Eropa dan membimbing mereka untuk menentukan jalan meraka sendiri itu masih berkuasa sampai menjelang perang.
Misi Sendenhan juga menitik beratkan pemikiran seperti itu, maka wajar saja pertam-tama kami memasang semboyan tersebut. Akan tetapi “bantulah jepang sepenuhnya untuk pelaksanaan perang.” Walhail, Sendenhan menghadapi dilemma seperti buah simalakama.316
Para “Pasukan Kuas” membuat Poster-poster itu dibuat semenarik
mungkin dengan gambar secara besar-besar dan permainan warna mencolok
sehingga memikat yang melihat. Poster-poster film itu juga dibuat dengan tujuan
314 Machida, Pasukan Budaya yang Berperang.op.cit, hlm238-240. 315 Ibid, hlm.236. 316 Machida, “Monumen Kertas” Seorang Militer: Pedang dan Pena, op.cit. hlm.182-
183.
cxc
mempropagandakan para pemuda untuk bergabung mendaftar Peta. Sebuah poster
yang sangat popular dan sering dimuat disurat kabar dan majalah adalah poster
yang menggambarkan seorang prajurit bersenjata dan biasanya di dalamnya
terdapat tulisan yang bertemakan mengajak, misalnya “Berjoeang Tentara
Pembela Tanag Air, Ikoetlah”.317
F. Seni Sebagai Media Perlawanan Terhadap Propaganda Jepang
Sejak kedatangan di Indonesia, pemerintah militer Jepang menyadari
bahwa selain pers bumiputera, seni merupakan media yang efektif untuk
propaganda. Oleh karena itu yang dicetuskannya yang bertujuan untuk menarik
simpati rakyat Indonesia dan kepentingan menghadapi peperangan, seni juga
dijadikan sebagai salah satu media untuk menyampaikan program-progaram itu.
Dalam konteks ini, seni berperan sebagai pendukung program pemerintah militer
Jepang. Banyak kemasan seni propaganda diciptakan oleh seniman-seniman yang
tergabung dalam Sendenhan dan Keimin Bunka Shidosho. Selain itu, oleh karena
adanya pengawasan yang ketat dari pemerintah militer Jepang terhadap karya-
karya yang diciptakan oleh seniman-seniman Indonesia, juga muncul seni yang
bernuansa mendukung propaganda jepang, tetapi sebenarnya juga memuat
kepentingan bangsa Indonesia. Hal ini terjadi karena Keimin Bunka Shidosho
selain menjadi alat propaganda pemerintah militer Jepang, juga dimanfaatkan oleh
seniman-seniman Indonesia untuk membahas cita-cita kemerdekaan. Artinya,
Keimin Bunka Shidosho memiliki fungsi ganda yang sebenarnya bertolak
belakang, yaitu menjadi alat Jepang untuk kepentingan perang, dan sebaliknya
317 Djawa Baroe, 1 Oktober 1943.
cxci
juga menjadi alat bagi seniman nasionalis untuk secara illegal dan sembunyi-
sembunyi memanfaatkannya untuk kepentingan kebangsaan Indonesia.318
1. Keimin Bunka Shidosho
Tibalah waktoenja mengembangkan kesenian dan keboedayaan bangsa Toean dengan seloeas-loeasnja sebagai keboedajaan bangsa Timoer.
Dari “selintas Kesan Waktoe Pemboekaan kantor “POESAT KEBOEDAJAAN” (1943)
Rintaro Takeda
Sudah tiba musim gugur (1943) dimana selain semua yang berbakti pada pemerintah militer, satu pohon atau satu rumput di Jawa pun harus menyerbu dengan menjadi bola api.319
dari Jawa Nenken : kigen 2604-nen
Jakob Sumardjo320 dan Pamusuk Eneste321 menulis bahwa Keimin
mengadakan sensor. Tamabahan pula, Sumardjo menuliskan Keimin mengelola
majalah Djawa Baroe. Jelanya, kritikus sastra ini merancukan Keimin, Kenetsuhan
(Barisan Sensor), dan Jawa Shinbunsha. Pertama, Keimin tidak mengadakan
sensor melainkan hanya seleksi. Seperti sudah diuraikan di subbab “Lahirnya
Sendanhan”, sensor diadakan oleh Kenetsuhan. Kedua, yang mengelola majalah
Djawa Baroe Jawa Shinbunsha, bukan Keimin juga.
Sekarang bagaimana kritikus sastra yang lain? Ajip Rosidi menulis sebagai berikut :
Para pengarang beserta dengan para seniman lainnya di kumpulkan oleh Jepang di kantor pusat kebudayaan yang dinamakan Keimin Bunka shidosho. Pemusatan para seniman itu tentu saja tidak bisa lepas dari
318 A.B. Lapian, 1988, Di bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua
Orang yang Mengalaminya, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, hlm.72. 319 Jawa Nenkan, hlm.25. 320 Jakob Sumardjo, 1992, Lintasan Sastra Indonesia Modern I, Bandung: Citra Aditya
Bakti, hlm.97. 321 Pamusuk Eneste, 1990, Leksokon Kesusastraan Modern, Jakarta: Djabatan, hlm.93.
cxcii
situasi perangdan maksud Jepang sendiri hendak menguasai seluruh Asia dengan semboyan tiga – A. 322
Geraka Tiga A hanya dijalankan di Indonesia dan gerakan itu juga sudah terbubar
pada bulan September 1942, berarti tujuh bulan sebelum berdirinya Keimin.323
Jadi, Gerakan tiga A itu tidak ada sangkut pautnya dengan Keimin.
Keimin mengumpulkan para seniman dan mereka dipesan untuk membuat
karya seni yang seuai dengan cita-cita Jepang. Ada artikel menarik dalam
Asia Raya. Surat kabar ini memuat artikel berseri yang berjudul “Ichtisar tentang
Goensei” sejak tanggal 19 Oktober 1943 selama lima hari. Artikel itu
memaparkan haluan-haluan Gunseikanbu di berbagai bidang. Dalam artikel kali
ketiga terdapat penjelasaan tentang propaganda. Kutipan artikelnya sebagai
berikut dibawah ini:
Propaganda dan oesah-oesaha penerangan jang sesoeai dengan politik Goensi berada dibawah penjelidikan sendenboe. Di kota jang besar-besar diadakan tjabang-tjabangnya jang mengoeroes hal2 juga. Tentang soerat kabar, dilima boeah kota jang besar-besar diterbitkan soerat kabar jang menjiarkan kabar harian Indonesia. Di Djakarta diterbitkan seboeah soerat kabar Nippon.
Tentang Penjelenggaraan kabar sedaerah-daerah diperkenankan Domei mengawasinja.
Disamping itoe ada lagi beberapa soerat kabar Tionghoa jang memenoehi keinginan keinginan pembatja-pembatja bangsa Tionghoa.
Adapoen penjiaran radio, dioeroes oleh Hoso kanrikjokoe dibawah penilikan Sedenboe. Pada azanja gelombang pendek dilarang berhoeboeng dengan oesaha memberantas mata-mata moesoeh (Botjo). Sementara itoe di djalan-djalan oemoem banjak dipasang radio oemoem yang memperdengarkan moesik penghiboer jang sehat, pidato dan kabar-kabar jang penting. Sekaliannja itoe amat penting oentoek propaganda radio didaerah Selatan.
Tentang gambar hidoep, maka semoea oeroesan jang bersangkoetan dengan itoe ada dalam satoe tangan. Film moesoeh dilarang dipertoendjoekkan- dipertoendjoekkan di gedoeng-gedoeng bioskoep.
322 Ajip Rosidi, 1986, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, Bandung: Binacipta, hlm.72. 323 Sunu Waaasono juga menulis Gerakan Tiga A adalah sebuah organisasi yang
dibentuk pemerintah Jepang pada April 1942 dan dibubarkan pada maret 1943, Sunu Wasono, 1999, “Teknik Propaganda Dalam Sejumlah Cerpen Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang” (skripsi), Depok: Universitas Indonesia, hlm.18-19.
cxciii
Sementara itoe film perkabaran dan gambar hidoep jang baik boeatan Nippon dimasukkan kemari dan dihidangkan kepada Oemoem. Tidak lama lagi gambar hidoep jang di boeat di Djawa di bawah penilikan kita akan dipertoendjoekkan.
Tentang sandiwara, kesoesastraan, moesik dan kesenian lain-lain. Keimin Boenka Sidosjo (Poesat Keboedayaan) jang baroe didirikan memegangpimpinan jang terpenting. Toejoean Poesat Keboedayaanitoe memadjoekan keboedayaan asli dari pendjoeroe oentoek menjokong Keboedayaan Asia Raja jang bebas dari semangat perhambaan kebendaaan Barat.324
Dari kutipan diatas diketahui bahwa Keimin memegang peran penting di bidang
kesenian. Namun, keterangan mengenai tujuan pendiriannya terlalu singkat.
Maka, untuk lebih jelasnya, simak uraian dalam Jawa Nenken : Kigen 2604-nen.
Menurut alamanak ini, tujuan pendirian keimin berbunyi sebagai berikut.
Adalah hal pokok dalam pembangunan Asia Timur Raya bahwa memberi bimbingan dan pengarahan spiritual yang tepat dan menciptakan dan meresapkan suasana yang cultural dan spiritual dari negara kekaisaran kepada 50 juta jiwa penduduk Jawa yang di tindas oleh kebijakan colonial Belanda selama tiga ratus tahun. Mengingat hal itu, maka untuk memperlancar penyuluhan dan penyadaran terhadap rakyat terutama dari segi seni budaya [Keimin Bunka Shidosho] didirikan oleh Gunseikanbu sebagai organisasi bimbingan pusat pada April 1943.325
Rosihan Anwar menulis, bahwa Keimin dapat dipandang sebagai “pra-
TIM [Taman Ismail Marzuki]” dengan “skala yang berbeda dan suasana iklim
yang lain.”326 Tentu saja, Keimin lain sekali dengan TIM. Pada masa itu Keimin
disebut Poesat Keboedayaan. Oleh karena itu, hingga kini nama badan tersebut
lazim diterjemahkan sebagai Pusat Kebudayaan. Jika mendengar sebutan itu,
maka kita teringat pada Pusat-pusat kebudayaan milik berbagai Negara seperti
yang ada di Jakarta, yang didirikan untuk memperkenalkan kebudayaan Negara
324 Asia Raya 21 Oktober 2603, hlm.2. 325 Jawa Nenkan, hlm.167. 326 Rosihan Anwar, Sekelumit Kenang-kenangan Kegiatan Sastrawan di Zaman Jepang
(1943-1945)” dalam Budaja Dajaja (no.65. th.VI. Oktober 1973), Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
cxciv
masing-masing dengan menyediakan pustaka atau menyelenggarakan acara
budaya. Pusat-pusat kebudayaan itu bertujuan untuk memperlancar saling
pengertian antar negara. Namun, Keimin bukan pusat Kebudayaan semacam itu.
Jika kita menilik sebutan dalam bahasa Jepang itu kata demi kata, maka terbuka
kedoknya. “Keimin” berarti ‘penyuluhan rakyat’; “bunka” berarti ‘kebudayaan’
dan; “shidosho” berate ‘kantor bimbingan.’ Jadinya “Kantor Bimbingan
Kebudayaan untuk Penyuluhan Rakyat.” Nama (yang sebenarnya) ini dengan jelas
menunjukkan bahwa badan tersebut didirikan atas kesadaran merendahkan dan
kepemimpinan orang Jepang terhadap orang Indonesia.
Pada masa itu diberitakan bahwa Keimin didirikan atas kemauan orang
Indonesia.327 Ketika ditanya tentang Keimin, Mantan kepala Seksi propaganda
Sendenbu H.Shiminzu menjawab sebagai berikut.
Bukan Jepang [yang mendirikan Keimin] sama sekali. Hal ini permintaan dari pihak Indonesia dan Indonesia yang mendirikannya. Tapi, jika oranng Jepang tidak ikut maka pemerintah mmiliter Jepang tidak mengijinkan. Oleh karena itu, akhirnya semua orang [Jepang di Sendenbu] juga ikut mendirikannya.328
Akan tetapi, mantan Kepala kantor Besar Keimin S. Oya menjelaskan bahwa
supaya suatu obyek propaganda tidak ketahuan sebagai propaganda, maka
propaganda terhadap orang Indonesia lebih efektif jika dilakukan oleh orang
Indonesia sendiri dari pada orang Jepang. Oleh karenanya, “tidak usah dijelaskan
lagi bahwa tujuan utama [pendirian Keimin] adalah untuk melakukan
penyelidikan, pendaftaran, penyusunan, dan pembinaan propagandis
327 Artikel “Keimin Bunka Shidosho” dalam Jawa Shinbun (no.86. 4 Maret 1943), hlm.1. 328 Hitoshi Shimizu, 1991, Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia (Kumpulan
Kesaksian: Indonesia di Bawah Pendudukan Jepang), Tokyo: Ryukei Shosha, hlm.318.
cxcv
Indonesia.”329 Jadi pernyataan Oya-lah yang benar sedangkan rupanya H Shimizu
berusaha mutupi kenyataan.
2. Seni Sebagai Wahana Penyampaian Aspirasi Bangsa Indonesia
Walaupun seni dijadikan sebagai media propaganda oelh pemerintah
militer Jepang, merupakan suatu yang tidak dapat dielakan apabila seni juga
dijadikan sebagai media penyampaian aspirasi bangsa Indonesia. Namun
demikian, jelas ada perbedaan corak diantara keduanya dalam hal penyampaian
pesan. Sebagaimana telah terbukti, propaganda pemerintah militer Jepang bersifat
eksplisit, sedangkan penyampaian aspirasi bangsa Indonesia pada umumnya
dilakukan tidak secara eksplisit, karena adanya pengawasan dari pemerintah
militer Jepang dan pemerintah militer Jepang belum memberikan peluang untuk
tumbuh kembangnya kesadaran nasional dan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia.
Akan tetapi, seiring dengan adanya perubahan situasi politik dan militer
pemerintah militer Jepang, corak penyampaian aspirasi bangsa Indonesia juga
mengalami perubahan. Bahkan, meskipun sangat jarang terjadi, kritik terhadap
pemerintah militer Jepang ada juga yang disampaikan secara tajam dan relative
terus terang, dan hal ini dilakukan justru pada awal berkuasanya pemerintah
militer jepang, seperti ditunjukan oleh puisi yang berjudul Bunglon yang ditulis
oleh Ashar dibawah ini
Bunglon Untuk “Pahlawan”ku Melayang gagah, meluncur ramis Menentang tenang, alam samadi Tiada sedar marabahaya Alam semesta member senjata Selayang terbang ke rumpun bamboo Pindah meluncur di padi masak
329 Soichi Oya, dalam Hihon Hyoron Januari 1944, “Daerah Selatan dan Propaganda”.
cxcvi
Bermain mesra di balik dahan Tiada satu dapat mengganggu Ach, sungguh puas berwarna aneka Gampang menyamar mudah menjelma Asalkan diri menurut suasana O, Tuhanku, biarkan daku hidup sengsara Biar lahirku diancam derita Tidak daku sudi serupa330
Dua baris terakhir sajak diatas, memperlihatkan penilaian dan sikap
penyair terhadap sebagai orang Indonesia yang bersedia bekerja sama dengan
jepang, sehingga diibaratkan seperti bunglon. Bagi pemerintah militer Jepang,
ungkapan ini dapat ditafsirkan sebagai menebar kebencian kepada pemerintah,
karena telah menciptakan situasi yang memaksa setiap orang menuruti kemauan
pemerintah. Jika mengingat tidak tersedianya ruang dan tempat yang cukup untuk
mengemukakan kritik maupun pandangan-pandangan yang dianggap menebarkan
kebencian kepada pemerintah militer Jepang, maka pemuatan puisi di atas dalam
Asia Raya menjadi aneh dan sulit dipahami. Hal itu bertentangan dengan keadaan
umum yang segala sesuatu berlangsung menurut aturan atau ketentuan pemerintah
militer Jepang.
Sistem pemerintahan militer Jepang yang sangat represif dapat dikatakan
menjadi sebab utama ketidakterusterangan para seniman dalam menyampaikan
gagasan mengenai penentuan nasib hidup bangsa sendiri. Ketidakterusterangan itu
biasanya dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang bermakna ganda dan hal
ini dilakukan dengan tujuan berlindung. Misalnya puisi berjudul Lukisan yang
ditulis oleh Rosihan Anwar di bawah ini.
… … … … … … Walaupun engkau tidaklah tahu
330 Asia Raya, 28 November 1942.
cxcvii
Tapi di hati kutanam janji Bersaudara kita semenjak janji Sambut tanganku Satu tujuan: Mari bersama menyusun Kemenangan! Lamalah sudah bangsa menanti331 Lirik “mari bersama menyusun kemenangan” dapat diartikan kemenangan
Asia Timur Raya. Akan tetapi dapat pula kemenangan untuk Indonesia sebagai
“bangsa yang telah menanti”. Melihat pengarangnya, yang dikenal sebagai
seorang nasionalis, dapat diduga bahwa yang dimaksud adalah kemenangan untuk
Indonesia.
Usaha membangkitkan kesadaran di kalangan masyarakat melalui puisi
juga dilakukan melalui tema kepahlawanan. Ada suatu kecendrungan bahwa
kepahlawanan merupakan tema yang sering diangkat oleh para penulis puisi,
sehingga puisi yang bertemakan kepahlawanan cukup mendominasi puisi-puisi
yang dimuat dalam surat kabar dan majalah. Salah satu contohnya adalah puisi
yang ditulis Mahatmanto berjudul Arwah Pahlawan Perang sebagai berikut:
Arwah Pahlawan Perang Menggerbak marak kembang kemoening Goegoer berhamboer di atas boemi Alam keliling tentang dan hening Menarik hati oentoek samadi Sekar bertebar di sekitar pagar Pagar poesara Kemegahan Poerba Poesara koejoe kembali segar Oleh taboeran beriboe kesoema Wahai Arwah Pahlawan Perang Mati berkoerban dalam berdjoeang --Toean taboeri loekisan sedjarah --Toean bawakan kenangan megah Oentoek mengembalikan semangat mojang Nan menggetarkan hati moesoeh penjerang
331 Budi Susanto, 1994, Politik Penguasa dan Siasat Pemoeda: Nasionalisme dan
Pendudukan Jepang di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, hlm.137.
cxcviii
Dadakoe penoeh, hatikoe megah Mendapat semangat poesaka mojang Semangat ksatria: Berani, Tabah Ta takoet mati dalam berdjoeang Boekan kami meloepakan tambo Kami kenangkan Djohan Pahlawan Imam Bondjol, Pangeran Diponegoro Padahal soedah oentoek teladan… Dirgahajoe oesahamoe toean… Tanaman semangatmoe soeboer merindang Kami poepoek bersama sesaudara Agar kemakmoeran lekaslah dating!332 Ada kesadaran di kalangan penyair bahwa keadaan pada masa Jepang
mebuat orang sulit menentukan sikap berkaitan dengan masa depan bangsa.
Dalam hal ini, Mahatmanto tampaknya ingin mengatakan bahwa sikap yang telah
dipilih oleh para pahlawan dapat dijadikan inspirasi untuk mengambil sikap yang
serupa.
Memanfaatkan puisi sebagai media untuk menyampaikan aspirasi penyair
atau membangkitkan kesadaran nasional tidak hanya dilakukan dalam bahasa
Indonesia melainkan dalam bahasa Jawa. Puisi Kekasihku… karangan Subagijo
I.N menyampaikan kerinduan pengarangnya, yang diharapkan juga kerinduan
semua orang Indonesia terhadap kemerdekaan Indonesia. Pengarang puisi ini
menyatakan bahwa sudah saatnya Indonesia menjadi bangsa yang mandiri.
Selengkapnya adalah sebagai berikut:
Kekasihku…. Layoe lesoe atmaku pindha taru, Ngantu-antu nunggu tekamu, Aclum alum tumiyung malengkung, Kucem surem tanpa sunar menguwung,
332 Pandji Poestaka, No. 7 Th XXII.
cxcix
Prandene…. Dinane wus manjalma minggu, Minggune wus dumadi candra… Aku isi ajeg kanthi ninggu saliramu, Nanging pangarep-arepke nora bakal sirna Pangarep-arepkoe isih tetep lana Manehe… Wus dakgambar ing gagasan, Wus daktulis ing pangenthan-enthan… Saliramu teka sarwa nggawa sasmita, Kawibawaning Nusa lan Bangsa. Lan… Sajrone aku cenglungen nganti-nganti, Nora lali daksisihi santi pepuji, Nedel mandhuwur marak Hyang manon Nyuwun supaya kita bisaa sapatemon. Nadyan ta… Wektuna wus tansah lunga teka, Dinane wus ginanti candra… Lan candra musna, kongsi mangsane warsa jana, Saliramu meksa during ana! Nanging pangarep-arepku nora bakal sina Jer… Ing telenging pengangen-angen, Banget anggonku kapang kangen, Kepingin weruh wujudmu kang sanyata, Dhuh kekasihku… Kamardikaning bumui Nusantara!!!333 Meskipun pesan dalam puisi di atas disampaikan secara tersamar, tetapi
pada lirik terakhir diungkapkan secara tegas, yaitu kemerdekaan Nusantara.
Seperti puisi Bunglon, puisi ini juga lolos sensor sehingga dapat dipublikasikan
melalui media massa. Ada kemungkinan hal itu disebabkan karena redaksi Panji
Poestaka “kebobolan”.334 Sejauh didasarkan pada sumber-sumber yang berhasil
ditemukan, puisi ini merupakan satu-satunya karya sastra yang dipublikasikan
333 Panji Poestaka, No. 22 Th XXII, 15 September 1944. 334 Suripan Sadi Sutomo, 1997, Sosiologi Sastra Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, hlm.86-88.
cc
pada tahun 1945 yang mengangkat tema nasionalisme untuk menggugah semangat
bangsa Indonesia.335 Puisi diatas menampilkan kerinduan seseorang terhadap
kebebasan atau kemerdekaan Indonesia.
Melalui puisi Kekasihku penyair menyatakan bahwa sudah saatnya bangsa
Indonesia merdeka menjadi bangsa yang mandiri. Oleh sebab itu, bagi rakyat,
kemerdekaan bangsa Indonesia ibarat seorng kekasih, sehingga kehadirannya
sangat dinantikan.
Puisi diatas memperlihatkan adanya suatu perubahan yang terjadi secara
bertahap dalam cara mengemukakan gagasan nasionaslime. Meskipun masih
sangat memperhatikan diksi untuk menghindari sensor pemerintah militer Jepang,
keberanian untuk menyampaikan pesan utama menggunakan kata-kata yang
bermakna lugas mulai tampak. Hal ini bahkan menjadi semakin jelas dalam puisi
Chairil Anwar. Salah satunya adalah puisi yang berjudul Siap Sedia yang berisi
ajakan kepada kawan-kawan untuk bangkit dengan kesadaran dan mengayunkan
pedang untuk menuju dunia baru.
Kawan, kawan Dan kita bangkit dengan kesadaran Mencucuk dan menyerang berulang Kawan-kawan Kita mengayun pedang ke Dunia terang
Gunseikanbu mendakwa pengarang, bahwa kata-kata “Dunia Terang” dalam puisi
diatas dimaknai negeri Jepang, karena kata itu mengacu pada Negara yang
menggunakan matahari (terang) sebagai symbol. Dengan demikian melalui puisi
itu Chairil Anwar dituduh menganjurkan pemberontakan terhadap Jepang, dan
335 Sri Widati,dkk, 2001, Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern: Priode
Prakemerdekaan, Yogyakarta: Gadjah mada University Press, hlm.271.
cci
sebagai akibatnya ia ditangkap oleh Kempetai dan ditahan selama beberapa
waktu.336
Karya sastra yang digunakan sebagai media propaganda untuk
kepentingan Indonesia tidak hanya berupa puisi, baik dalam bahasa Indonesia
maupun bahasa Jawa, tetapi Novel. Pada masa pendudukan Jepang, hanya ada dua
novel yang diterbitkan oleh Balai Pustaka sebagai lembaga penerbitan resmi
pemerintah militer Jepang. Kedua novel itu adalah Tjinta Tanah Air karya
Nursutan Iskandar dan Palawidja karya Karim Halim yang keduanya diterbitkan
pada tahun 1944.
Tjinta Tanah Air mengisahkan percintaan antara Astia dan Amiruddin di
tengah-tengah suasana perang, sehingga mendorong Amiruddin dan kawan-
kawannya ingin menjadi pasukan relawan. Demikian hal dengan Astia yang
kemudian mendaftarkan diri sebagai juru rawat sukarela. Mereka akhirnya
menikah secara sederhana sebelum berpisah untuk menunaikan tugas. Keputusan
untuk menjadi pasukan dan juru rawat sukarela telah membuat orang tua mereka
bangga, karena mereka dinilai lebih mencintai tanah air disbanding cinta mereka
sendiri. Sementara itu dalam Palawidja dikisahkan tentang perkawinan
amalgamasi antara Sumardi dengan Sui Nio, seorang gadis Tionghoa. Kisah Cinta
mereka berawal dari aktivitas di Komite Rakyat yang didirikan dengan tujuan
meredam konflik pribumi-Cina yang sempat terjadi setelah kekalahan Belanda
atas Jepang. Menjelang perkawinan mereka, muncul masalah karena Sumardi
ditangkap oleh Jepang dengan tuduhan penghianatan. Namun akhirnya ia
dibebaskan setelah tuduhan itu tidak terbukti, dan akhirnya perkawinan antara
336 Poesponegoro dan Notosusanto, 1984, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai
Pustaka, hlm.64.
ccii
Sumardi dan Sui Nio dapat dilangsungkan. Setelah menikah Sumardi menjadi
anggota Dewan Daerah dan kemudian menjadi anggota Peta, sedangkan Sui Nio
menjadi pengawas Gerakan Putri Indonesia dan Cina.
Pada kedua novel diatas, pesan yang hendak disampaikan pada dasarnya
adalah agar kaum muda mencintai tanah air. Akan tetapi berbeda dengan
kecenderungan yang berlaku pada puisi, anjuran mencintai tanah air pada dalam
kedua novel itu tidak disertai dengan penyebaran perasaan benci kepada Jepang.
Bahkan kedua novel itu menyebutkan bahwa sarana yang digunakan untuk
memperlihatkan cinta tanah air adalah melalui keanggotaan sukarela organisasi
yang dibentuk Jepang. Tidak berlakunya kecenderungan pada kedua novel ini
seperti yang terjadi pada puisi berupa penyebarluasan kebencian kepada Jepang,
dinilai sebagai kekecualian dari pola umum yang berlaku pada karya sastra.337
Bentuk kesenian lain yang digunakan sebagai media untuk menyampaikan
aspirasi bangsa Indonesia pada masa pendudukan Jepang adalah seni pertunjukan.
Salah satu jenis seni pertunjukan yang telah muncul jauh sebelum Jepang dating
di Indonesia adalah ludruk. Pada masa pendudukan Jepang perkumpulan ludruk
lebih banyak yang dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah militer Jepang dan
secara efektif difungsikan sebagai media propaganda. Akan tetapi, sebagaimana
halnya yang terjadi dikalangan penyair, masih ada kelompok ludruk yang tidak
selalu mengikuti kecenderungan itu, yaitu Ludruk Organisatie yang didirikan oleh
Cak Durasim pada tahun 1933. Ludruk inilah yang rajin merintis pementasan
ludruk berlakon dan amat terkenal pada zaman pendudukan Jepang karena
337Budi Susanto, op.cit, hlm.134.
cciii
keberanian Cak Durasim mengeritik pemerintahan militer Jepang dengan
kidungan Jula-juli-nya sebagai berikut:
Pagupon omahe dara Melok Nippon tambah sengsara (Pagupon rumah burung dara, Ikut Nippon tambah sengsara)
Akibat kidungan diatas, ketika sedang pentas di desa Mojokerto, Cak
Durasim dan kawan-kawan ditangkap yang kemudian dipenjarakan. Sesudah
dibebaskan Cak Duarasim meninggal dunia pada bulan Agustus 1944.338 Pada
tahun 1944 terbentuk kelompok Sandiwara Penggemar Maya di Jakarta yang
dipelopori oleh Umar Ismail, D. Jayakusuma, Suryo Sumanto, Rosihan Anwar
dan Abu Hanifah. Anggotanya adalah para intelektual muda, kaum nasionalis, dan
professional (ahli fisika, farmasi, dan lain-lain). Prinsip-prinsip yang dipegang
oleh kelompok ini adalah nasionalisme, humanism, dan agama. Kelompok ini
didirikan sebagai reaksi terhadap ketidaksenangannya terhadap kerja Pusat
Kesenian yang menurut mereka terlalu dikontrol Jepang. Mengenai hal ini, salah
seorang pendiri Maya mengatakan bahwa pembentukan Maya memang terkait erat
dengan suasana persiapan kemerdekaan dan Maya hendak menjadikan dirinya
sebagai pelopor di bidang kesenian. Berdasarkan hal ini maka Usmar Ismail
menyatakan bahwa Maya merupakan gerakan angkatan baru.339 Dalam
perkembangannya sebagai kelompok Sandiwara Penggemar Maya menuju sebuah
teater nasional, kelompok ini telah mencapai sebuah titik penting, karena tidak
hanya menampilkan hiburan, tetapi merupakan ekspresi budaya yang berdasarkan
338 Poesponegoro dan Notosusanto,op.cit,hlm.64,. dan Henricus Supriyanto, 1994,
“Sandiwara Ludruk di Jawa Timur (yang Tersingkir dan Tersungkur) dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia Th. V, Jakarta: Rasindo, hlm.79-80.
339 Usmar Ismail, 1945, Maya sebagai Gerakan Angkatan Baroe, Koleksi Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin, hlm.2.
cciv
kesadaran nasional. Aspirasi-aspirasinya menuju Humanism dan Relgius.340 Hal
itu pula yang menjadikan maya sebagai kelompok sandiwara yang paling terkenal.
Sebenarnya ada kelompok sandiwara yang lain, yaitu kelompok Sandiwara
Angkutan Muda Matahari yang dibentuk oleh Anjar Asmara tahun 1943 dan
sebuah kelompok lain yang didirikan oleh Sanusi Pane. Sayangnya informasi
mengenai kedua kelompok sandiwara itu sangat terbatas. Menurut Kosim
(1998/1999) kedua kelompok ini juga mementaskan lakon-lakon yang
mengespresikan kesadaran dan spirasi yang berembang luas pada masa itudengan
baik.
Upaya mengekspresikan aspirasi kecintaan terhadap bangsa memang tidak
dapat diungkapkan secara leluasa melalui lakon-lakon sandiwara atau drama.
Drama seperti karya Usmar Ismail yang berjudul Api dan Tjitra yang mengambil
tema kecintaan dan pengabdian kepada tanah air, dan karya El Hakim (dr. Abu
Hanifah) yang berjudul Taufan di atas Asia, Intelek Istimewa, dan Dewi Rini
merupakan pedang bermata dua yang penuh arti bagi bangsa Indonesia. Dalam
lakon-lakon drama itu terkandung pesan-pesan untuk mengorbankan semangat
nasionalisme.341
Pihak pemerintah militer Jepang menyadari bahwa kelompok-kelompok
sandiwara telah disalahgunakan oleh seniman nasional. Sebagai reaksi atas
tindakan para seniman nasionalis, pemerintah militer Jepang kemudian
mendirikan Java Eiga Kosya yang antara lain bertujuan untuk mengadatapsi
kebudayaan yang menjadi tujuan Asia Timur Raya. Salah satu divisi dalam
340 Saini Kosim, 1998/1999, Teater Indonesia, Sebuah Perjalanan Multikulturalisme,
dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th. IX, hlm.185. 341 Op.cit, Poesponegoro dan Notosusanto, hlm.6.
ccv
organisasi berkaitan dengan upaya pencapaian tujuan ini adalah badan sensor.
Sesuai dengan namanya, badan ini bertugas mencegah masuknya dialog-dialog
yang mengekspresikan ide-ide nasionalis dan anti-Jepang dalam lakon-laon
sandiwara atau drama.342 Konsekuensi dari adanya badan sensor adalah bahwa
naskah-naskah yang akan dipentaskan harus diperiksa oleh badan itu, sehingga
kelompok sandiwara atau drama sebagai wahana penyampai aspirasi nasionalis
menjadi tidak terlalu efektif lagi.
Seiring dengan semakin terdesaknya tentara Jepang dalam peperangan
dorongan untuk mewujudkan Indonesia merdeka mancapai bentuk yang semakin
nyata. Lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman yang melodinya
diperdengarkan pertama kali pada Kongres Pemuda I 1928, liriknya kembali
menghiasi halaman majalah dan surat kabar.343 Pemuatan ini tentunya bertujuan
untuk mengobarkan semangat kebangsaan untuk mewujudkan kemerdekaan
Indonesia.
Dalam bidang seni music komponis Cornel Simanjuntak menciptakan lagu
Tanah Tumpah Darahku yang menggambarkan rasa cinta kepada tanah air.344
Begitu juga dengan lagunya Maju Putra-Putri Indonesia yang membangunkan
semangat kesadaran bangsa Indonesia untuk membangun Jawa baru dalam rangka
Asia Timur Raya.345
342 Ibid, hlm.186. 343 Panji Poestaka, No. 18/19 Th. XXII, 15 September 1944: 569. 344 Djawa Baroe, No. 7 1 April 1945, hlm.24. 345 Djawa Baroe, No. 6, 5 Maret 1944, hlm.34.
ccvi
Seni rupa turut mengambil bagian pula dalam usaha menyebarluaskan
gagasan nasionalisme. Para seniman seni rupa yang tergabung dalam Keimin
Bunka Shidosho terdiri atas para pelukis seperti Basuki Abdullah, Agus
Djajsoeminta, Otto Djajasoentara, Martono Joedokoesoemo, dan Emiria Soenassa.
Selama bergabung dengan Keimin Bunka Shidosho, mereka pernah mengadakan
pameran lukisan sebanyak tiga kali. Pameran pertama diadakan pada bulan April
sampai Mei 1943. Pameran kedua dan ketiga diadakan pada bulan Juni 1944.
Pameran pertama dan kedua diadakan di gedung Keimin Bunka Shidosho,
sedangkan pameran yang ketiga dilaksanakan di Taman Raden Saleh Jakarta.
Dalam ketiga pameran itu, yang ditampilkan adalah lukisan-lukisan yang
dimaksudkan untuk membangkitkan dukungan masyarakat terhadap pemerintah
militer Jepang. Namun demikian, sebagaimana yang umum dijumpai di kalangan
seniman yang tergabung dalam Keimin Bunka Shidosho, seniman perupa juga
menggunakan lembaga ini sebagai tempat yang mempertemukan mereka dengan
seniman lain untuk berkomunikasi dan berdiskusi mengenai masa depan
Indonesia. Kecenderungan yang muncul di kalangan seniman perupa kemudian
adalah keinginan untuk menjadikan lukisan sebagai sarana membangkitkan
kesadaran nasional. Hal ini antara lain ditunjukan oleh kebiasaan penggunaan
warna merah yang menggambarkan semangat oleh pelukis S. Sudjojono dalam
melukis. Para pelukis nasionalis itu juga berusaha untuk membatasi hubungan
dengan seniman Jepang dengan maksud agar mereka tidak menjadi alat
propaganda Jepang. Di antara para seniman yang tergabung dalam Keimin Bunka
Shidosho adakalanya menjalin kerja sama, misalnya Chairil Anwar dan pemimpin
Nasional Bung Karno untuk membuat poster heroic berjudul “Bung, Ayo
ccvii
Bung”.346 Tujuan penciptaan poster ini adalah untuk mempropagandakan
proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Sebenarnya penyampaian aspirasi bangsa Indonesia melalui lukisan telah
dimulai sejak awal bergabungnya para pelukis Indonesia dalam Keimin Bunka
Shidosho. Hal ini tampak pada lukisan Afandi yang sebenarnya diciptakan untuk
kepentingan pameran yang antara lain bertujuan untuk rekrutmen romusha. Akan
tetapi karena dalam lukisan Afandi romusha digambarkan sebagai orang-orang
yang kurus dalam suasana suram, maka lukisan ini ditolak keikutsertaannya dalam
pameran.347
Uraian di atas memperlihatkan bahwa dalam suasana yang sangat refresif
di bawah pemerintahan militer Jepang, dalam batas-batas tertentu para seniman
telah berusaha untuk mengabdikan keahliannya untuk kepentingan Indonesia.
Memang tidak dapat disebutkan suatu patokan atau indicator yang agak pasti
untuk mengukur keberhasilan seni, baik sastra, seni pertunjukan maupun seni rupa
sebagai wahana untuk membangkitkan nasionalisme dalam rangka mencapai
kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi, dengan meminjam salah satu pendekatan
yang cukup popular di kalangan ahli sastra yang disebut pendekatan mimetic
(Teeuw, 1984: 50-51), dapat dikatakan bahwa antara seniman, karya seni, dan
masyarakat membentuk satu jaringan yang saling mengikat. Dari sini dapat
diketahui bahwa gagasan nasionalisme dan keinginan membentuk Indonesia
sebagai bangsa merdeka seperti terkandung dalam karya sastra, seni pertunjukan
maupun seni rupa bukan satu-satunya factor yang berperan memunculkan
nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia. Runtuhnya keyakinan
346 Lapian, dkk, op.cit, hlm.80-81. 347 Claire Holt, 2000, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Bandung:
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, hlm.286.
ccviii
masyarakat Indonesia terhadap Jepang mengenai Kemakmuran Bersama Asia
Timur Raya serta posisi politik Jepang yang semakin lemah akibat tekanan Sekutu
dan posisi tawar tokoh nasionalis Indonesia yang semakin kuat harus dilihat pula
sebagai factor yang berpengaruh, atau bahkan dominan, dalam mengkristalnya
nasionalisme Indonesia. Oleh karena itu, dapat dikatakanbahwa propaganda
nasionalisme melalui karya sastra, seni pertunjukan, dan seni rupa serta
perkembangan keadaan politik merupakan factor-faktor yang terjalin secara
sinergis.
Berbagai ungkapan yang menyindir dan menentang kebijakan pemerintah
militer Jepang melalui seni kemudian menjadi hal yang biasa terjadi. Fenomena
ini sesuai dengan pendapat348 yang menyatakan bahwa kesenian memang
mempunyai dua fungsi utama dalam kehidupan social politik, yaitu sebagai
corong pemerintah kepada masyarakat dan sebagai alat untuk menyampaikan
kehendak rakyat kepada pemerintah.
G. Perselisihan Sendenhan Dengan Gunseikanbu
Dalam usaha mendekati rakyat Indonesia, para anggota Sendenhan
kewalahan karena ulah prajurit Jepang yang malah menjauhkan mereka dari
rakyat setempat. Misalnya ulah prajurit Jepang terhadap seorang penari Indonesia.
Kekuasaan dan penaklukan sering kali mengandung kekerasan. Contohnya adalah
kejadian seperti ini. Untuk mencegah ulah prajurit yang tidak manusiawi seperti
itu, mereka sering memberi peringatan dalam berbagai bentuk. Di Taiwan,
Sendenhan sudah membuat selebaran (Leaflet) yang isinya antara lain hal-hal
348 Kathy Foley, 1979, SundaneseWayang Golek, Honolulu: University of Hawaii,
ccix
yang tidak boleh dilakukan di Indonesia. Setelah tahu selebaran itu sia-sia, maka
di Indonesia juga mereka tetap berusaha mengingatkan para prjurit Jepang.
Misalnya, dalam surat kabar Unabara, mereka memuatkan sederetan kata
peringatan sejak 8 September 1942: “Patut ditertawakan yang memukul pribumi
karena merasa mereka lebih tinggi. Dialah badut yang menyedihkan” (2/10/1942);
“Tinju yang diacungkan diberi saja pada kepala sendiri. Diberilah yang keras”
(17/9/1942; “Bolehkah ‘prajurit kedewaan’ yang datang untuk menolong bangsa
yang tertindas memukul pribumi?” (9/9/1942); “Berantaslah pemukulan untuk
membangun Jawa yang sehat” (8/9/1942).349
Dalam otobiografi, Rosihan Anwar yang pernah bekerja sebagai wartawan
Asia Raya mengenang pengalamannya pada masa pendudukan Jepang sebagai
berikut:
Agaknya di zaman pendudukan Jepang saya mulai sadar akan identitas saya sebagai orang Indonesia. (…) Orang-orang Jepang kerjanya suka main tempeleng terhadap orang Indonesia (…). Saya kebagian pula kemplangan orang Jepang, di kantor Kenpeitai (…). Saya insaf ada perbedaan antara “pihak sana” (Jepang) dengan “pihak sini” (Indonesia).350
Ada sebuah sajak Rosihan Anwar yang rupanya ditulis atas kesadaran
seperti itu. Pada tahun 1944, tema sastra mulai beralih. Umpamanya muncul
sajak-sajak yang tidak sepenuhnya propaganda, yang sebelumnya cenderung
hanya meningkatkan semangat pertempuran, semangat kerja, dan kecintaan
kepada tanah air sebagai anggota Asia Timur Raya. Misalnya, sajak “Djarak
Beloem Bertitian” (Djawa Baroe 15 januari 1944). Sajak ini mengungkapkan rasa
kecewa terhadap pihak Jepang karena ada perselisihan antara si aku lirik yang
349 Unabara Shinbunsha, 1942, Batavia. 350 Rosihan Anwar, 1983, Menulis dalam Air: Sebuah Otobiografi, Jakarta: Sinar
Harapan, hlm.99.
ccx
melambangkan pihak Indonesia dan si kau yang melambangkan pihak Jepang,
yaitu perselisihan antara rakyat Indonesia yang ingin merdeka dan pemerintah
Jepang yang tidak mau memerdekakan Indonesia.
DJARAK BELOEM BERTITIAN Pabila koekenang kepoetoesan kata: “Djangan akoe didamping djoega Lekaslah djaoeh berangkat pergi Tiada kita dapat serasi Dialamkoe engkau “asing” Koerasa…” Akoe tersenjoem …piloe mengerti… Tidaklah kautahoe diroendoeng rindu, Seorang penjair diroendoeng rindu, Pabila dihati damba memakoe Kasih tersimpan, sajang terjantoem? Setiap koekenang, semakin koejakin Biarpoen akoe dipinta pergi, Akan tibalah masanja pasti, Kau koeadjar melihat dialam Seni Soepaja kita saling mengerti!351
Secara tersirat, isi sajak ini menyatakan bahwa orang jepang yang seolah-olah
membebaskan rakyat Indonesia ternyata adalah pemeras yang bersikap dingin dan
angkih terhadap orang Indonesia dan (memang) bukan “saudara tua” melainkan
orang “asing”.
Menjelang pertengahan tahun 1943, situasi perang bagi Jepang mulai
memburuk.352 Memasuki tahun 1944, situasi perang semakin tegang dan tidak
menguntungkan pihak Jepang lagi. Bersamaan dengan peralihan situasi tersebut,
pemerasan atas segala sumber daya yang ada di Indonesia pun semakin intensif
dilakukan untuk menunjang peperangan.353 Lewat penindasan pihak Jepang yang
351 Djawa Baroe (no.2. 15.1.2604), hlm.31. 352 Kenichi Goto, 1989, Kindai Nihon To Indonesia (Jepang Modern dan Indonesia),
Tokyo: Hokuju Shuppan, hlm.82-84. 353 Pemimpin Sendenhan Machida membagi masa pendudukan Jepang (di Jawa) ke dalam
tiga kurun waktu isertai kebijakan pokok Jepang saat itu: (1) sesaat setelah pendudukan: Jepang menitik beratkan kebijakan tentang sumber daya untuk keperluan perang; (2) setelah situasi perang
ccxi
semakin sengit pada waktu itu, si aku lirik “piloe mengerti” niat Jepang yang
sesungguhnya - - Jepang sebenarnya tak mau memerdekakan Indonesia - - karena
kalbunya “kalboe seorang penjair” yang peka. Memang betul, dalam konferensi di
muka kaisar pada tanggal 31 Mei 1943, seluruh wilayah Indonesia sudah
ditetapkan sebagai wilayah Jepang. Namun, penentuan ini tidak diumumkan
kepada public.
Pada bulan Agustus 1944, pihak Jepang semakin terdesak dalam
perang. Hal ini ditandai dengan beberapa wilayah yang didudukinya satu demi
satu direbut oleh Sekutu ditambah gencarnya serangan Sekutu terhadap negeri
Jepang sendiri. Akibatnya situasi perang yang tidak menguntungkan seperti itu,
maka pada tanggal 7 September 1944 di parlemen, PM Jepang Koiso berpidato
akan memberikan kedaulatan kemerdekaan Indonesia. Pernyataan ini merupakan
pernyataan jepang yang pertama kali menyinggung kemerdekaan Indonesia secara
resmi.354
Dapat disimpulkan bahwa sajak “Djarak Beloem Bertitian” yang
bertemakan kekecewaan atas pihak Jepang tersebut menggambarkan hati penyair
yang tertekan untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia dan rasa benci terhadap
Jepang secara terang-terangan. Tertekan karena menyatakan hal-hal seperti itu
bisa mengancam nyawanya. Maka, mungkin karena alasan itulah sajak tersebut
dipasang pengaman, yaitu kalimat penutup “soepaja kita saling mengerti!”.
memburuk: Jawa menjadi “surga” Jepang memeras habis Jawa (pemerasan itu dilakukan untuk dioper ke seluruh daerah medan perang, tetapi jalurnya sudah ditutup Sekutu, maka mereka yang di Jawa menyelamatkan semua itu untuk diri sendiri); (3) situasi perang sangat memburuk (hamper kalah): Jepang member umpan yang bernama kemerdekaan untuk menjaga kestabilan politik dan melakukan pemerasan terakhir (Machida,op.cit, hlm.200). Dapat diketahui bahwa sepanjang masa pendudukan, Jepang hanya berusaha memperoleh sumber daya.
354 Kenichi Goto, op.cit, hlm.78.
ccxii
Dengan demikian, sajak ini seolah-olah menjadi sajak cinta seseorang yang
merindukan kekasih yang menyuruhnya pergi.
Menarik perhatian di sini adalah bahwa masa munculnya sajak itu
bersamaan dengan atau sedikit mendahuui masa semakin meburuknya keamanan
dan terjadinya gerakan anti-perang. Pada bulan Februari 1944, akan terjadi
pemberontakan Singaparna.355 Kemudian, sejak bulan April 1944 akan terjadi
sederetan pemberontakan petani di kabupaten Indramayu.356 Tidak seperti petani,
penyair Rosihan Anwar tidak gegabah langsung mengamuk, tetapi dalam karya
yang merupakan penyalur perasaannya, ia berbisik, “Kita lihat saja nanti.” Jadi,
penulisan sajak “Djarak beloem Bertitian” ini dapat dianggap juga sebagai
“pemberontakan pujangga” atau “pemberontakan ‘dialam Seni’ “ atas penindasan
oleh Jepang.
Dalam disertasinya, kritikus Umar Junus menyatakan bahwa pada masa
pendudukan Jepang tidak diterbitkan karya berisikan reaksi negatif kepada
Jepang.357 Namun, pernyataan ini tidak benar. Selain sajak tadi, sajak “Meminta
dan Memberi”358 karya Usmar Ismail juga berisikan reaksi negatif, yaitu
keresahan hati atas pemeresan oleh pihak Jepang. Di bawah ini kutipan sajak
seutuhnya.
Meminta dan Memberi Ah, djika kautahoe resahnya…
355 Aiko Kurasawa, Perubahan di Pedesaan Jawa di bawah Pendudukan Jepang, op.cit,
hlm.471-486. 356 Ibid, hlm.486-504. 357 Umar Junus, 1986, Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode, Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, hlm.58. 358 Djawa Baroe (no.4. 15.2.2604).
ccxiii
Petjahan aloen dikarang kalboe Ta’ kan kau berkata Ta’ kau bertanja, Tapi kau dalam berdiam ‘kan member segala ada, Karena kau tahoe soedah Akoe ta’ kan meminta Melainkan akan member hanja.359 Dalam sajak diatas Usmar Ismail mengungkapkan rasa resah kepada Jepang yang
selama itu berkelit untuk menyinggung soal kemerdekaan Indonesia padahal
rakyat Indonesia telah memberikan segala-galanya tanpa menolak dan tanpa
menuntut apa-apa.
Rupanya, ambiguitas inilah yang memungkinkan adanya sajak-sajak yang
lolos dari tangan sensor. Sebagai satu kecenderungan, karya sastra itu makin
kurang bernilai sastra, makin langsung menceritakan sikon sewaktu ia ditulis.
Pada umumnya, sastra Indonesia-Tionghoa, “roman picisan,” dan sastra masa
Jepang lebih langsung menceritakan sikon sezaman daripada karya Putu Wijaya,
misalnya. Berkenaan dengan masalah ini, yang mencolok pada puisi masa Jepang
adalah kedenotatifan bahasa, meski masih ambigu jika dibandingkan dengan
prosa. Hal ini bukan akibat kurangnya kemampuan abstraksi penyair, melainkan
karena pengharaman makna ganda oleh pihak Jepang guna menyampaikan atau
mengajarkan pesan pemerintah tanpa salah pengertian kepada sebagian besar
rakyat yang kurang mengenal kode sastra.360 Sebaliknya, misalnya, dalam Djawa
Baroe dimuat sebanyak Sembilan belas buah cerpen, tetapi tidak ada yang
mengandung reaksi negative kepada Jepang. Karena sifat prosa yang cenderung
359 Djawa baroe (no.4. 15.2.2604), hlm.31. 360 Menurut A. Teeuw, untuk memahami sebuah karya sastra, pembaca harus menguasai
tiga kode, yaitu kode bahasa, kode budaya, dank ode sastra, A. Teeuw, 1991, Membaca dan Menilai Sastra, Jakarta: Gramedia, hlm.12-15.
ccxiv
“menguraikan kadang sampai merenik”361 itulah maka relatif mudah diketahui
oleh penyensor Jepang apabila ada pemikiran berbahaya.362
Menyangkut hal itu, perlu diperhatikan adanya teks terjemahan bahasa
Jepang pada hampir setiap cerpen dalam Djawa Baroe, dan tidak adanya teks
terjemahan pada puisi. Hal ini mingkin dikarenakan kemampuan bahasa Indonesia
penerjemah Jepang yang belum sampai dapat memahami “bahasa puisi” yang
bersifat ambigu itu. Oleh karena itu, mungkin adakalanya penyensor Jepang juga
tidak mampu memahami makna sajak yang berisikan reaksi negatif secara tersirat,
sehingga sajak itu lolos sensor, seperti sajak “Djarak Beloem Bertitian” atau
“Meminta dan Memberi”.
Sebenarnya, selain kemampuan bahasa penerjemah Jepang, ada factor lain,
yaitu sikap atau keseriusan mereka. Dalam pembahasan masalah ini, kita akan
membicarakan kasus pada cerpen “Koerban Gadis”363 karya Winarno yang patut
diperhatikan adalah pengantar dalam bahasa Jepang yang menyertai cerpen
tersebut. Pengantar itu salah menerjemahkan judul cerpen tersebut sebagai
“Musume ni-taisuru Gisei” yang artinya “Pengorbanan Terhadap Gadis”.
Selanjutnya, pengantar itu menjelaskan bahwa cerpen tersebut adalah “cerpen
menarik yang menghadirkan dua gadis dan dua pemuda yang berlainan sifatnya.”
361 Rachmad Djoko Pradopo, 1993, Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotika,Yogyakarta: Gadjah Mada UP, hlm.12.
362 Yang menarik adalah cerpen-cerpen yang dimuat pada “masa pemerontakan rakyat
Indonesia”. Djawa baroe tiga bulan pertama tahun 1944, diisi dengan empat cerpen terjemahan Jepang, yaitu “Kitjizo Kemedan Perang” Ashihei Hino (1 Januari), “Ditempat Asoeha” Hoemio Niwa (15 Januari), “Batoe” Tetsoekitji Kawai (1 Februari), “Nogikoe” Kan Kikoetji (15 Februari). Sebelum dan sesudahnya tidak muncul karya terjemahan Jepang. Hal ini mungkin karena (1) walupun dipesan karya propaganda, tidak ada pengarang yang mau menulis, atau (2) yang ditulis adalah semuanya mengandung reaksi negative, maka untuk mengisi lubang, dimuat karya terjemahan. Mungkin saja hal ini terjadi secara kebetulan, tetapi memang hal ini menggoda kita unuk mengetahui alasan pemuatan karya terjemahan yang tiba-tiba.
363 Djawa Baroe (no.8. 15.4.2603).
ccxv
Padahal cerpen itu mengisahkan satu gadis dan tiga pemuda yang tentu saja
berlainan sifatnya. Hal ini bukan salah baca lagi, melainkan mungkin redaktur
majalah tersebut tidak membaca cerpen tersebut dengan serius. Masalah sensor
tidak diketahui banyak karena terlalu sedikit datanya. Namun, bagaimanapun
kesembarangan dan kesembronoan penerjemah tersebut membuat saya meragukan
keseriusan dalam penyensoran serta kemampuan berbahasa Indonesia dari
petugas-petugas Jepang. Kita tidak dapat memastikan bahwa hal itu tidak pernah
terjadi di Kenetsuhan militer. Sehingga diragukan kebenaran lontaran “diadakan
sensor yang ketat” dari berbagai pengamat sastra karena lontaran semacam itu
tidak pernah disertai penelitian yang mendalam. Jadi, dapat dikatakan bahwa
sensor pada masa itu tidak sekeras/seteliti yang seperti diduga selama ini tetapi
(sikap) penyensorannya memang keras. Rosihan Anwar menceritakan pengalaman
yang mengerikan dan menggelikan semasa ia menjadi wartawan di Asia Raya.
Pada suatu ahri ketika saya tinggal sendirian di ruang redaksi, bordering telepon dari Gun Kenetsu Han, sensur militer Jepang. Saya angkat telepon, dan suara kasar menghardik, “Kowe siapa?” Saya marah dipanggil dengan sebutan “kowe”, dan dengan nada sama saya membalas bertanya: “kowe siapa?” “(Sic) Suara dari Gun Kenetsu Han membentak, “Bakeroo,” (Bodoh) Kantan saya menyahut; “Bakeroo” Untung saya cepat insaf sikap saya demikian dapat membawa maut. Dengan buru-buru saya letakkan kembali gagang telepon, saya keluar meninggalkan kantor (…). Keesokan harinya saya dengar ada seorang Jepang datang ke redaksi Asia Raya tidak lama setelah saya pulang (…)364
Bagaimanapun sering terjadinya kekerasan prajurit Jepang terhadap rakyat
Indonesia membuktikan bahwa Sendenhan gagal berpropaganda terhadap prajurit
Jepang sendiri. Sebaliknya, dapat juga dikatakan bahwa Sendenhan menjadi
korban tipuan pucuk pimpinan Jepang yang sebenarnya tidak ada niat sama sekali
364 Rosihan Anwar, op.cit, hlm.123-124.
ccxvi
untuk memerdekakan Indonesia. Menurut Atsuhiko Bekkti, mantan kepala Kantor
Riset Budaya Daerah Selatan (Nanpo Bunka Kenkyushitsu) di Jawa, ketika tahu
niat pemerintah yang sesungguhnya itu, Machida “marah besar dengan perkataan
kena tipu”.365
Selanjutnya, Machida juga menceritakan proses peralihan Sendenhan
menjadi Sendenbu. Namun, datanya tidak akurat. Katanya, 7 atau 8 bulan setelah
pendudukan dimulai (bulan Oktober atau November 1942), didirikan
Gunseikanbu dan Sendenhan dimasukkan ke badan tersebut. Namanya diubah
menjadi Sendenjohobu.366 Dalam bukunya yang sama, ia juga menulis bahwa
pada bulan Juli 1942 Sendenhan mnjadi Johobu di Gunseikanbu, kemudian pada
bulan Desember 1942 nama Johobu diubah menjadi Sendenbu.367 Dalam hal
sebutan dan tanggal tidak ada konsistensi sama sekali.
Pada awal bulan Maret 1942 begitu berhasil menduduki Jawa, militer
Jepang mendirikan Gunseibu sebagai organisasi pemerintahan pusat dari
Gunshireikan (Komandan Militer).368 Kemudian, pada bulan Agustus 1942 baru
mereka mendirikan Gunseikanbu (markas besar pemerintahan militer) dan
kepalanya yang dirangkap oleh kepala staf Pasukan Ke-16 disebut Gunsekan.
Katerlambatan ini terutama disebabkan oleh kejadian bahwa kapal Taiyomaru
yang bermuatan seribu orang pegawai yang berangkat dari Jepang diserang kapal
selam Amerika pada 5 Mei 1942 dan kira-kira setengahnya menjadi korban. Pada
365 Atsuhiko Bekki, 1991, “Nanpo Bunka no Kenkyu Tazasawatte (Berkecimbung di
Bidang Penelitian Budaya daerah Selatan), Tokyo: Ryukei Shosha, hlm.370-371. 366 Ibid, hlm.215. 367 Ibid, hlm.227. 368 Jawa Nenkan, hlm.53,59.
ccxvii
awalnya, di Gunseikanbu ada lima bagian, yaitu Tata Usaha, Keuangan, Industri,
Perhubungan, dan Hukum. Kemudian, pada bulan Oktober 1942 ditambah
Sendenbu dan bagian kepolisian (Keimubu) dan akhirnya pada bulan Desember
1942 menjadi delapan bagian dengan didirikannya Bagian Dalam Negeri
(Naimubu).369 Jumlah pegawai di Gunseikanbu berjumlah 2.158 orang pada saat
bulan Oktober 1942 lalu bertambah menjadi 3.692 orang pada saat bulan
November 1944.370 Namun, jumlah ini hanya kira-kira seperempat dari jumlah
pegawai pemerintah colonial Belanda. Hal ini menujukkan ketergantungan
pemerintah militer Jepang kepada pegawai Indonesia.
Gunseibu menjadi Gunseikanbu. Sendenhan sudah menjadi bagian dari
Gunseikanbu tersebut. Wal hasil perselisihan antara Sendenhan dan pucuk
pimpinan militer menghilang? Ternyata tidak. Keluarga besar Mchida tetap
“nakal”. Machida sendiri mengaku memang sengaja menyimpang dari garis resmi
pemerintahan militer.
Perlahan-perlahan saya mengubah arah Sendenhan dari apa yang diniatkan oleh pihak militer kea rah “kemerdekaan Indonesia” (…). Sebenarnya itu bukan suatu haluan propaganda yang baik buat Jepang pada hari kemudian, tetapi setahu saya sewaktu pembentukan Sendenhan, militer masih berhaluan untuk kemerdekaan Jawa (sic).371
Dalam Jawa Nenkan: Kigen 2604-nen, disebutkan bahwa untuk mencapai
ketiga tujuan besar pemerintahann militer, diperlukan dua prinsip utama. Pertama,
prinsip dalam pelaksanaan kebijakan militer. Diingatkan bahwa yang
bersangkutan harus menyesuaikan diri dengan kebijakan militer. Pemerintahan
369 Aiko Kurasawa, Perubahan di Pedesaan Jawa di bawah Pendudukan Jepang, op.cit, hlm 82., dalam buku yang sama (hlm.267) ia berkata lain: Sendenbu ditambah pada bulan Agustus 1942.
370 Ibid, hlm.83. 371 Keiji Machida, 1978, Aru Gunjin no Shihi: Ken to Pen (“Monumen Kertas” Seorang
Militer: Pedang dan Pena, Tokyo: Fuyoshobo, hlm.180.
ccxviii
militer berbeda dengan pemerintahan sipil, maka ia harus mengutamakan
pelaksanaan kebijakan militer daripada perbaikan tingkat kehidupan rakyat, dan
demi operasi militer ia juga harus dapat memungkinkan hal-hal yang tidak
mungkin pada pemerintahan waktu normal. Kedua, prinsip dalam “bimbingan”
terhadap penduduk Jawa. Mengingat penduduk Jawa adalah “sebangsa dan
seturunan,” maka yang bersangkutan harus menghadapi mereka dengan
kepercayaan dan kasih sayang sehingga dapat mengambil hati mereka dalam arti
sesungguhnya.372 Jadi, sikap Machida yang seperti diutarakan dalam kutipan
diatas itu jelas berselisihan dengan prinsip pelaksanaan pemerintahan militer.
Mengenai peranannya di Sendenhan, Machida sering menyebut dirinya
sebagai sutradara drama. Maksudnya, ia yang menyutradarai sebuah sandiwara
yang berjudul “Propaganda di Jawa”, sedangkan anggota Sendenhan dapat
diibaratkan sebagai para staf di belakang panggung. Dan panggungnya adalah
tentu medan perang. Klihatannya, Machida cukup bangga dengan anggotanya
yang merupakan orang-orang pintar yang mewakili Jepang pada masa itu. Namun,
seperti biasanya orang pintar, mereka sering bertindak sendiri. H. Shimizu
menyebut mereka sebagai lone wolf.373 Tomoji Abe menggunakan kata let loose
‘bertindak semaunya’ untuk menyebutkan sikap para “sastrawan semaunya” di
Jawa.374 Sementara itu, dengan nada sedikit bergurau, Machida mengecam mereka
sebagai “orang-orang menyebalkan yang tidak pernah lalai.” Kepada mereka,
Machida sedapat mungkin member kebebasan.
372 Jawa Nenkan, hlm.19-20. 373 Hitoshi Shimizu, 1991, Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia (Kumpulan
Kesaksian: Indonesia di bawah Pendudukan Jepang, Tokyo: Ryukei Shosha, hlm.341. 374 Isao Mizukami, 1995, Abe Tomoji Kenkyu (Penelitian Tentang Tomoji Abe), Tokyo:
Sobunsha, hlm.37.
ccxix
Adapun, salah seorang anggota Sendenhan yang dipilih Machida secara
langsung adalah Norio Shimizu. Dalam esai yang berjudul “Senso (Perang)”, ia
berpendapat sebagai berikut:
Menurut humanis Eropa, perang itu senantiasa merupakan “kejahatan”. (…) mereka hanya mengakui perang secara pasif sebagai “kejahatan yang perlu”. Mereka melakukan perang untuk kepentingan sendiri, dan tidak tahu adanya perang untuk menyelamatkan umat manusia. Mereka tidak tahu adanya perang untuk pembaharuan atas pengorbanan diri. Mereka tidak tahu adanya perang kekaisaran di dunia ini. (…) Inilah namanya perang yang paling humanistis yang jauh melebihi humanisme mereka.375
Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa N. Shimizu membenarkan “Perang
Asia Timur Raya” dengan sepenuhnya. Ia adalah seorang anggota Sumera Juku,
yaitu perkumpulan para Asiais di Tokyo. Ia membawa juga sebelas orang pemuda
dari perkumpulan tersebut sebagai Seinen Kodotai (Pasukan Aktivitas Pemuda)376
tetapi mereka akhirnya dipulangkan dalam tahun 1943 karena pemikiran dan
tindakan mereka terlalu radikal.377 Hal ini tidak lain karena pucuk pimpinan
Pasukan Ke-16 mencemaskan keberadaan mereka yang secara aktif memicu
terjadinya kemerdekaan Indonesia.
Mantan Kepala Staf Pasukan Ke-16 Okazaki berkata, “Di Sendenhan
terlalu banyak orang sipil.”378 Sebenarnya, AD sama sekali tidak mengandalkan
mereka. Okazaki juga mengatakan, “mereka juga diwamilkan agar mereka tahu
375 Keiji Machida, Tatakau Bunka Butai (Pasukan Budaya yang Berperang), op.cit,
hlm.361.
376 Machida menyebutnya sebagai Tokubetsu Seinentai (pasukan Pemuda Khusus), Ibid, hlm.366.
377 Aiko Kurasawa, Perubahan di Pedesaan Jawa di bawah Pendudukan Jepang, op.cit, hlm.269-270.
378 George S Kanahele, 1977, The Japanese Occupation of Indonesia: Prelude to
Independence, Ph.D. Thesis, Cornell University, hlm.92.
ccxx
apa perang itu.”379 Kanahele berpendapat bahwa dapat dikatakan juga korban
terbubarnya Gerakan Tiga A bukan orang Indonesia melainkan orang Jepang.
Penyebab “kematian” gerakan tersebut adalah keretakan hubungan di kalangan
orang Jepang. Lama kelamaan para pucuk pimpinan mulai terganggu oleh
keberadaan para pucuk cendikiawan di Sendenhan, yang sikapnya bandel dan
angkuh. Agaknya, yang paling bandel adalah kepala Seksi Propaganda Sendenhan
sendiri, yaitu Hitoshi Shimizu. Ia sering tidak member laporan dan berkali-kali
mendapat perintah pengusiran dari pucuk pimpinan militer.380 Sebuah Lembaga
Penelitian Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Waseda berpendapat bahwa
tidaklah berlebihan bila dikatakan H. Shimizu adalah inti dalam kegiatan
Sendenbu maka Sendenbu mengadakan kegiatan yang mencerminkan sifat
Shimizu; tidak jarang menyeleweng dari kebijakan yang ditetapkan oleh
Gunseikanbu.381 Ada beberapa pendapat orang mengenai Shimizu yang tertulis
yang menceritakan sedikit kepribadiannya.
Dalam buku Nederlandsch-Indie onder Japanese Bezetting, dimuat sebuah
kesaksian seorang opsir menengah Jepang tentang H. Shimizu seperti berikut.
Als ambtenaar was hij zeer onbeschaafd, hij gehoorzaamde de orders niet, had een zeer hoge dunk wan zichzelf en men kon hem geen geheimen toevertrouwen.382
‘Sebagai pejabat, ia sangat kurang ajar, ia tidak taat pemerintah, sangat sombong, dan orang tidak dapat mempercayakan rahasia-rahasia kepadanya.
379 Ibid. 380 Ibid, hlm.75. 381 Waseda, 1959, Indonesia ni okeru nihon Gunsei no Kenkyu (Studi mengenai
Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia), Tokyo: Kinokuniya Shoten, hlm.247-248. 382 Brugmans, dkk, 1960, Nederlandsch-Indie onder Japanse Bezetting: Gegevens en
Documenten over de Jaren 1942-1945 (Hindia Belanda di bawah pendudukan Jepang: Data-data dan Dokumen-dokumen selama 1942-1945, hlm.195.
ccxxi
H Shimizu sendiri mengaku, “Mungkin saja Gerakan Tiga A bertahan lebih lama
kalau saya bekerja sama dengan AD dengan lebih intim.”383 Sementara itu,
Mantan Pemimpin Sendenbu Hisayoshi Adachi dan kawan-kawan berkata,
“Sikapnya (Shimizu) kadang-kadang eksentrik.”384 Di samping itu, pakar geologi
Atsuhiko Bekki yang pernah bekerja untuk militer Jepang di Jawa dengan sarkstis
mengatakan mereka tidak cocok dengan H. Simizu, yang dikritik “orang kasar”
oleh orang Indonesia.385 Seperti kata Bekki ini, selain di kalangan orang Jepang,
Shimizu juga dibenci di kalangan orang Indonesia. Kesaksian dari pihak Indonesia
diberikan oleh pelukis S. Sudjojono sewaktu ia bekerja di Keimin.
Shimizu bilang, “Sudjojono-san, sebaiknya Sudjojono-san, menggambar Ramayana”. “Boleh, Shimizu-san”, kata saya. “Tapi, Sudjojono-san, orang-orang Indonesia yang jadi monyet-monyetnya, orang Jepang jadi Ramayana”, Kata saya dalam hati, “Bukan main! Kurang ajar Jepang”.386
Jawa Nenkan: Kigen 2604-nen dengan bangga menulis bahwa pucuk
pimpinan betul-betul memegang dan menguasai pemerintahan militer. Katanya,
hal ini disebabkan oleh rapinya penyusunan organisasi, persiapan, dan
prapenelitian yang matang.387 Penjelasan ini tidak benar terutama mengenai
Sendenhan. Machida mengaku, “Tidak ada yang lebih konyol daripada kenyataan
bahwa kami menyusun haluan propaganda terhadap orang Indonesia tanpa tahu
383 Kanahele,op.cit, hlm.96., Mengenai episode tentang Gerakan Tiga A, baca antara lain
Hitoshi Shimizu, “San-a Undo kara Dokuritsu Yonin made (Dari Gerakan Tiga A sampai Pengizinan Kemerdekaan Indonesia)” dalam Shin Jawa (no.2. Vol.1. 1 November 1944), hlm.26-28.
384 Hisayoshi Adachi, dkk, “Report on the Activities of Sendenbu”, (AD 2), hlm.5. 385 Atsuhiko Bekki, op.cit, hlm.375. 386 A.B.Alpian, op.cit, hlm.82. 387 Jawa Nenkan, hlm.21.
ccxxii
perasaan hati mereka.”388 Pada awalnya Jepang berhaluan dasar untuk
mengerahkan rakyat Indonesia secara total sambil meningkatkan (mengasut?)
kesadaran nasional dan memperkokoh persatuan rakyat Indonesia. Akan tetapi,
kesadaran nasional rakyat Indonesia jauh lebih kuat daripada dugaan mereka
sewaktu di Jepang. Di bawah pendudukan Belanda, kesadaran nasional bangsa
Indonesia sudah timbul meski perlahan-lahan. Ketika Jepang mendarat, keinginan
untuk merdeka sudah memuncak. Dapat dikatakan bahwa memuncaknya
kesadaran ini sedikit-banyak dipengaruhi oleh Jepang. Soekarno pernah
mengatakan bahwa peristiwa penting yang paling mempengaruhi Asia pada awal
Abad ke-20 adalah perang Jepang-Rusia. Nasionalisme yang masih samar-samar
tergerakkan atas dasar rasialime oleh kenyataan bahwa orang berkulit putih
dikalahkan oleh orang Asia.389 Singkat kata, peristiwa itu menjadi asal mula
bahwa orang berkulit putih mulai/sudah kehilangan tuah di Asia yang sudah lama
ditindas. Peristiwa ini pun berhasil menghidupkan asa bangsa Asia.
Sejak semula Jepang tidak mau memerdekakan Indonesia, paling tidak
sampai dapat mengalahkan Sekutu. Akan tetapi, tingginya kesadaran nasional di
Indonesia itu membuat mereka terkejut sehingga mereka terpaksa mengubah
haluan dasar. Kesalahan tersebut terutama disebabkan oleh persiapan Jepang yang
serba tidak matang di segala bidang untuk menghadapi “Perang Asia Timur
Raya”. Sudah lama Jepang tidak mengenal adat-istiadat atau sejarah tentang Asia
Tenggara sehingga mereka hampir tidak mempunyai bahan propaganda untuk
Negara-negara itu. “Peta akurat saja tidak dimiliki oleh Pasukan ke-16 dan Ke-
388 Machida, “Monumen Kertas” Seorang Militer: Pedang dan Pena, op.cit, hlm.189. 389 Wawasan Kepulauan (no.15. 25 Oktober 1996), hlm.5.
ccxxiii
25,” kata Machida.390 Situasi yang berubah-rubag dengan cepat tidak memberi
waktu cukup kepada Jepang untuk mempersiapkan diri.
H. Respon Masyarakat Terhadap Aksi Propaganda Jepang Melalui Media
Film
Sebagai tuntutan pelaksanaan propaganda di Jawa, pemerintah militer
Jepang menggunakan ideology Asia Timur Raya. Pemerintah Jepang harus
menumbuhkan image rakyat, bahwa bangsa asing datang ke Asia hanya untuk
menindas dan mengeksploitasi rakyat di wilayah itu guna memperoleh
keuntungan bagi mereka sendiri.391 Sebagai akibatnya, sebagian besar Asia Timur,
termasuk Indonesia, menjadi daerah perluasan kekuasaan Eropa dan selama
berabad-abad Bangsa Asia mengalami pemerasan ekonomi. Jepang adalah satu-
satunya bangsa yang berhasil mengusir imperialisme Barat dan menjanjikan
kemerdekaan. Misi suci Nippon adalah untuk membebaskan bangsa-bangsa lain di
Asia Timur dari penjajahan Barat. Tujuannya adalah untuk menghapuskan
pengaruh pengaruh Barat di Asia Timur, dan membangun suasana kesejahteraan
yang baru untuk seluruh rakyat Asia Timur, dan membangun suasana keluarga
besar. Cita-cita ini hanya dapat dicapai, jika rakyat Asia Timur mengakui
kepemimpinan Jepang dan memusatkan seluruh sumber daya untuk bekerja sama
dengan Jepang guna memperoleh kemenangan dalam peperangan melawan
390 Machida, Pasukan Budaya yang Berperang, op.cit, hlm.24. 391 Eric Robertson, 1979, The Japanese File: Pre-War Japanese Penetration in Southeast
Asia, London: Heinemann Educational Books Limited, hlm.83.
ccxxiv
kekuasaan Sekutu.392 Tanpa kemenangan dalam perang Asia Timur Raya itu,
keberhasilan usaha-usaha rakyat tidak akan tercapai. Kerja sama untuk
pembangunan Asia Timur Raya tidak hanya dilakukan bidang politik, militer, dan
ekonomi, tetapi juga dalam bidang kebudayaan.393
Untuk kepentingan propagandanya, Jepang telah menciptakan berbagai
macam cara diantaranya propaganda berbentuk slogan-slogan yang berpengaruh
kuat bagi bangsa-bangsa di Asia yang ketika itu masih dalam belenggu penjajahan
kuat bagi bangsa-bangsa di Asia yang ketika itu masih dalam belenggu penjajahan
bangsa Barat. Slogan yang sangat terkental “Asia untuk bangsa Asia” merupakan
spirit propaganda Jepang yang sangat kuat, karena bangsa mana pun akan sangat
sulit untuk menciptakan slogan dengan kekuatan yang sebanding. Demikian juga
“Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” menjadi jiwa propaganda Jepang yang
menjanjikan masa depan yang lebih baik. Slogan yang lebih menarik lagi yaitu
Hakko Itjiu yang iartikan sebagai “satu untuk semua dan semua untuk satu”,394
meskipun di balik itu sesungguhnya Jepang ingin menyatukan seluruh dunia
dibawah satu atap kepemimpinannya. Selain itu Jepang juga memakai media
propaganda yang berbentuk “audiovisual”. Selama pendudukan Jepang, media
seperti film ditetapkan sebagai alat komunikasi. Fungsinya sebagai hiburan dan
seni, karena jika Jepang melakukan propaganda secara kasar akan menyebabkan
reaksi negative, dan bahwa semakin tinggi kualitas artistiknya, mungkin efek
propaganda akan semakin besar. Oleh karena itu, perhatian Jepang ialah
392 Shigeru Sato, 1994, War, Nasionalisme and Peasants-Java Under the Japanese
Occupation 1942-1945, New York: M.E. Sharpe,Inc, hlm.6-17. 393 Kan po, no.14, bulan Maret 2603. 394 Brugmans, dkk, op.cit, hlm.44.
ccxxv
bagaimana meningkatkan efek propaganda tanpa merusak aspek-aspek hiburan
atau artistiknya.395
Melalui usaha-usaha propaganda melalui media film itu, apa yang ingin
dikesankan Jepang kepada masyarakat Indonesia? Dengan kata lain, apa tema-
tema utama propaganda, tampaknya ada rencana indoktrinasi politik jangka
panjang serta sasaran jangka pendek, dan kegiatan propaganda selama tiga
setengah tahun ini diantara keduanya. Sasaran propaganda Jepang sendiri adalah
memobilisasikan masyarakat Jawa khususnya demi upaya perang Jepang, dan
demi tujuan tersebut masyarakat di propaganda dengan doktrin-doktrin Jepang
salah satunya melalui pesan dari Media film.396
Gagasan Jepang mengenai indoktinasi tanpa jelas dalam pertunjukan film
yang dikehendaki pemerintah Jepang. Namun, dalam kegiatan propaganda yang
sebenarnya, tekanan lebih diletakkan pada tema-tema praktis dengan sasaran
konkret. Penguasan Jepang sangat sadar hal ini, secara bertahap mengalihkan
kebijakan demi kebijakan , dan sasaran propaganda terus disesuaikan dengan
kebutuhan social-ekonomi yang lebih mendesak. Pergeseran penekanan ini dapat
dilihat dari perubahan-perubahan dalam tema-tema propaganda yang dikeluarkan
Jepang. Selama tahun pertama pendudukan, tema-tema lebih berorientasi
ideology.397 Perhatian pemerintah dipusatkan pada usaha untuk member tahu
rakyat mengenai keinginan Jepang dalam keterlibatan prang dan dalam
395 Djawa Baroe (no.14. 15.7.1945). 396 Aiko Kurasawa, op.cit, hlm. 241. 397 Ibid, hlm.260.
ccxxvi
menduduki Indonesia. Sasaran kegiatan propaganda pada tahap ini ialah untuk
mempengaruhi penduduk setempat supaya menyingkirkan perasaan anti-Jepang.
Tahun kedua, tema-tema lebih praktis dan materialistis ditambahkan pada
tema-tema ideologis ini. Kebutuhan akan eksploitasi ekonomi menjadi perhatian
terpenting pemerintahan militer. Dengan kata lain, propaganda Jepang terutama
diarahkan untuk meningkatkan semangat peperangan dan semangat kerja rakyat
Indonesia. Peubahan mencolok terjadi sejak paruh akhir tahun 1944. Hal ini
menyiratkan adanya ketegangan yang meluas di kalangan orang Indonesia dan
jepang pada masa itu, serta kebutuhan untuk mengendorkan saraf. Penguasa
Jepang mengakui bahwa kehidupan semakin sulit untuk bisa memberikan
perangsang kerja, dan kseulitan itu bisa membawa rakyat kepada anti Jepang dan
anti peperangan.398
Untuk menangani masalah itu Sendenbu menganggap penting lebih
banyak pelayanan hiburan bagi rakyat. Juga ada gagasan di kalangan pemimpin
propaganda Jepang bahwa hiburan barangkali merupakan perangsang yang baik
bagi peningkatan produksi dan pertahanan nasional. Misalnya disajikan kegiatan
bioskop keliling di Jawa,399 sebagaimana sudah dibahas di sub bab sebelumnya.
Dalam menjalankan kegiatan propagandanya, penguasa Jepang juga menaruh
perhatian atas bahasa yang digunakan. Meskipun ada dorongan terus-menerus
oleh pemerintah militer, penyebaran bahasa Jepang di kalangan rakyat sangat
lambat, dan hampir sama sekali tidak mungkin memakai bahasa ini untuk
398 Hisayoshi Adachi, dkk, op.cit, hlm.12. 399 Nippon Nyusu Eigashi, 1977, Kaisen Zenya Shusen Chokugo made (Sejarah Film
Berita Jepang: Dari Malam Menjelang Pecah Perang sampai Masa Segera Sesudah Peang), Tokyo: Mainichi Shinbunsha, hlm.43.
ccxxvii
berkomunikasi dengan mereka. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Indonesia
menjadi penting sebagai standar kegiatan propaganda. Film-film dibuat dengan
teks bawah pada film dalam bahasa Indonesia. Bahkan rakyat Indonesia sendiri
tidak selalui memahami bahasanya dengan baik, karena mereka selalu memakai
bahasa daerah mereka sendiri dalam pembicaraan sehari-hari.400 Oleh karena itu,
dalam pelaksanaan sesungguhnya kegiatan propaganda, pesan-pesan Jepang harus
diterjemahkan lagi dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah setempat. Kalau suatu
tim propaganda melakukan perjalanan ke wilayah pedesaan, staf local yang
menyertainya harus menerjemahkan pidato dari bahasa Indonesia ke bahasa
daerah stempat, serta meringkas isi cerita film, dengan narasi atau teks bawah
pada film dalam bahasa Indonesia, ke dalam bahasa setempat.401
Media film yang dijadikan Jepang sebagai alat propaganda, secara
keseluruhan, propaganda bergaya Jepang tampaknya lebih efektif di kalangan
kaum tak pelajar, terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan, jauh dari
sumber informasi-informasi. Di desa-desa, pertunjukan yang berbau hiburan
sangat diminati dan sangat menarik hati pengunjung yang dipertunjukan oleh tim
propaganda film keliling.402 Tentu saja kesempatan ini di manfaatkan sekali oleh
Jepang untuk menarik simpatinya. Masyarakat umumnya datang, tertarik oleh
adanya hiburan, tanpan kesadaran bahwa mereka akan “diindoktrinasi”.
Dalam kegiatan propaganda Jepang melalui media film mempunyai
dampak bagi masyarakat dan akan menimbulkan reaksi. Harus dibedakan antara
400 Djawa Baroe (no.12 15.6.1943). 401 Djawa Baroe (no.4 1.9.1943). 402 Ibid.
ccxxviii
reaksi kalangan terpelajar kota dengan massa yang kurang terpelajar. Bagi
kalangan kota umumnya lebih akrab dengan berbagai jenis hiburan, pertunjukan
film tidak begitu menari bagi kalangan terpelajar dan yang tinggal dilingkukan
desa-desa sangat menarik karena bagi masyarakat desa pertunjukan hiburan film
adalah hal yang sangat terhibur dan masyarakat desa sendiri selalu haus akan
rangsangan hiburan.403 Apa lagi bagi kaum terpelajar dalam hal kualitas artistik
serta nilai hiburan, pertunjukan propaganda tidak berdampak, tetapi cukup
canggih bagi kaum tak terpelajar. Mengenai dampak dalam meyakinkan khalayak
atas pesan propaganda, juga terdapat keanekaragaman. Kaum terpelajar umumnya
lebih mengenal peristiwa dunia dan memiliki rentang pengetahuan yang luas
karena akses informasi dan bisa memberikan landasan penilaian lebih rasional dan
akurat mengenai isi pesan film. Bagi kalangan tak terpelajar, yang kurang akrab
dengan info, cenderung menerima propaganda sebagaimana adanya dengan
menerimah isi pesan film dengan mentah-mentah.404
403 Djawa Baroe (no.5 1.3.1943).
404 Ibid.
ccxxix
BAB V KESIMPULAN
Propaganda merupakan salah satu strategi jitu yang dipilih dan dijalankan
oleh pemerintah Jepang di Jawa untuk menumbuhkan perasaan dan sikap
antisipasi terhadap bangsa Barat. Propaganda juga dimaksudkan untuk
membangun simpati masyarakat Indonesia terhadap Jepang. Antusiasme
masyarakat Indonesia dalam menyambut kedatangan Jepang merupakan salah satu
bukti yang sulit dibantah mengenai keberhasilan propaganda pemerintah militer
Jepang di Jawa.
Ketika Jepang telah berkuasa di Indonesia, propaganda menjadi bagian yang tak
terpisahkan dan integral dengan pemerintah militer Jepang. Untuk menguasai
Jawa, Jepang berpegang pada dua prinsip utama yaitu: bagaimana menarik hati
rakyat (minshin ha’aku) dan bagaimana mengindroktinasi dan menjinakkan
mereka (senbu kosaku). Prinsip ini perlu dilaksanakan untuk memobilisasi seluruh
rakyat guna mendukung kepentingan perang dan untuk merubah mentalitas
mereka secara keseluruhan. Berdasarkan keyakinan bahwa bangsa Indonesia harus
dibawa kepada pola tingkah laku dan berfikir Jepang, propaganda ditujukan untuk
mengindoktinasi bangsa ini agar dapat menjadi mitra yang dapat dipercaya dalam
Lingkunagn Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Betapa propaganda
memiliki arti penting bagi Jepang untuk menguasai wilayah dan rakyat Indonesia,
sehingga bangsa itu pun telah mempersiapkan sistem propagandanya secara
sistematis dan intensif sejak sebelum pelaksanaan invansi ke negeri ini.
ccxxx
Pada awalnya untuk mengurusi propaganda ini, Jepang membentuk Sendenhan
(Pasukan Propaganda) yang bertugas untuk membangun
dasar dari urusan-urasan seperti penyiaran, pemberitaan,
perfilman, penyuluhan rakyat, sandiwara, dan penyensoran
dan juga berfungsi sebagai pasukan mengelilingi pulau
Jawa untuk menyusun dan mengumpulkan data-data
lapangan dan bahan propaganda guna menerapkan konsep
propaganda sebagai dasar memobilisasi rakyat. Di antara
media tersebut penggunaan film merupakan alat
propaganda yang paling efektif.
Perkembangan selanjutnya Sendenhan dimasukan ke Gunseikanbu dan
dibentuklah departemen khusus yang disebut Sendenbu di bawah Pemerintahan
Militer Gunseikanbu. Selain itu Jepang juga membentuk perangkat aturan
mengenai propaganda sekaligus sistem dan lembaga-lembaga propaganda.
Termasuk dalam hal ini adalah organisasi Nihon Eigasha atau Nichi’ei
(Perusahaan Film Jepang) dan Eiga Haikyusha atau Eihai (Perusahaan
Pendistribusian Film) yang berfungsi sebagai memproduksi film dan
mendistribusikan film sebagai bagian dari mesin propaganda pemerintah militer
Jepang di Jawa.
Salah satu ciri utama propaganda Jepang di masa perang ialah penggunaan
berbagai media tersebut secara positif, terutama
ditekankan kepada media yang mengusik “pendengaran
dan penglihatan” (audio visual) seseorang. Media audio
visual ini dianggap paling efektif untuk mempengaruhi
ccxxxi
penduduk yang tidak berpendidikan dan buta huruf serta
haus hiburan. Film mempunyai keunggulan dalam
mengekpresikan gambar bergerak yang dapat dengan
mudah dimengerti oleh penonton. Hal ini menyebabkan
film dengan mudah mendapatkan banyak penggemar. Film
merupakan salah satu media propaganda penting pada
masa perang. Organisasi Nihon Eigasha atau Nichi’ei dan
Eiga Haikyusha atau Eihai inilah yang mendapat
kepercayaan untuk menjalankan kebijakan film.
Mengenai film-film yang akan diputar, pemerintah pendudukan Jepang sangat
hati-hati. Film-film tersebut biasanya isinya disesuaikan
pada tema-tema yang mengandung ajaran moral dan
indoktrinasi politik yang sejalan dengan keinginan
pemerintah, dan film-film itu dikategorikan sebagai film
kokusaku eiga (film-film kebijakan nasional). Sedangkan
jenis film yang mendapat priotas tinggi ialah film-film
yang termasuk ke dalam film documenter, film berita, dan
film-film kebudayaan. Untuk menyebarluaskan film-film
propaganda tersebut kepada masyarakat, di samping
diputar di bioskop-bioskop, Jepang juga
menyelenggarakan pemutaran film secara keliling yang
kemudian dikenal dengan sebutan “layar tancep” (bioskop
keliling).
ccxxxii
Selain film dijadikan alat propaganda yang efektif bagi rakyat Jawa, pemerintah
Jepang menyadari bahwa seni juga merupakan media yang
efektif untuk propaganda yang juga mempunyai tujuan
untuk menarik simpati rakyat Indonesia dan kepentingan
menghadapi peperangan. Untuk itu Jepang membentuk
Keimin Bunka Shidosho atau Pusat Kebudayaan. Pada
awalnya Keimin Bunka Shidosho adalah wadah para
seniman yang di mobilisasi Jepang untuk kepentingan
Jepang sendiri, secara sembunyi-sembunyi dimanfaatkan
oleh seniman-seniman Nasional secara illegal untuk
kepentingan kebangsaan Indonesia sebagai media
perlawanan terhadap propaganda Jepang menuju
kemerdekaan.
Dalam kegiatan propaganda Jepang melalui media film mempunyai dampak atau
pengaruh bagi masyarakat dan akan menimbulkan reaksi.
Namun demikian dampak atau pengaruh dari media film
dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu golongan
terpelajar dan golongan tidak terpelajar. Bagi kalangan
terpelajar hal ini tidak berpengaruh karena sudah terbiasa
akrab dengan berbagai jenis hiburan dan kaum terpelajar
umumnya lebih mengenal peristiwa dunia dan memiliki
rentang pengetahuan yang luas karena akses informasi dan
bisa memberikan landasan penilaian lebih rasional dan
akurat mengenai isi pesan film. Hal ini berbeda dengan
ccxxxiii
kaum tak terpelajar yang tinggal dilingkukan desa-desa
sangat menarik karena bagi masyarakat desa pertunjukan
hiburan film adalah hal yang sangat terhibur dan
masyarakat desa sendiri selalu haus akan rangsangan
hiburan. Apa lagi bagi penduduk yang tinggal di desa-desa
film secara alat dan kualitas artistik cukup canggih.
ccxxxiv
DAFTAR PUSTAKA
1. Arsip 45 Tahun sumpah Pemuda.1974. Jakarta. Yayasan Gedung-gedung Bersejarah
Jakarta. The Nishijima Collection. (Kumpulan dokumen yang menyangkut pemerintahan
militer Jepang yang dikumpulkan Shigetada Nishijima kemudian disusun oleh Waseda Daigaku Okuma-kinen Shakai Kagaku Kenkyujo (Lembaga Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Waseda, Tokyo) pada tahun 1973, Kode yang menyertai dokumen-dokumen berikut adalah kode yang digunakan dalam catalog The Nishijima Collection.)
Adachi, Hisayoshi. “Report to Mr. A.P.M Audretsch: Replies of Questionaire Concerning Sendenbu”. 14 April 1947. (AD 3) dan (AD 2).
Gunseikanbu. 2604. Orang-Indonesia jang Terkemoeka di Jawa. Jakarta: Gunseikanbu.
Okazaki, Seizaburo: Osamu Shudan Gunsekan (Gunseikan Pasukan Ke-16). “Jawa Eiga Kosha no Ken Tsucho (Pengumuman Mengenai Jawa Eiga Kosha)”. 11 September 1942.
Sendenbu. “Chuo Shinbun Tosei An (Konsep Pengawasan Surat Kabar Pusat)” (Tulisan Tangan. 3 September 1942.
2. Buku, Karya Ilmiah, dan Artikel
Abdul Aziz. 1992. Layar Perak:90 Tahun Bioskop Di Indonesia.Jakarta: Gramedia. Abe, Tomoji. 1944. Hi no Shima: Jawa bari no Ki (Pulau Api: Catatan tentang
Jawa Bali). Tokyo: Sogensha. Ajip Rosidi. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta. Anita Kusuma Rustapa. 1997. Bahrum Rangkuti dan Pandangan Dunianya.
Jakarta: Balai Pustaka. Ardan, S. M. tanpa tahun. Sejarah Film Indonesia 1942-1950. Jakarta: Sinematek. Asano, Akira. 1944. Jawa Kantei Yowa (Anekdot Tentang Pasifikaso Jawa). Tokyo: Asano, Akira. 1979. Nihon Bungaku Zenshi 6: Gendai (Sejarah sastra Jepang 6:
Kontemporer). Tokyo: Gaku To-sha. Aziz. M. A. 1955. Japan’s Colonialism and Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff. Bayu Suryaningrat. 1981. Sejarah Pemerintahan Di Indonesia. Jakarta: Dewaruci
Press. Bekki, Atsuhiko. 1991. “Nanpo Bunka no Kenkyu Tazasawatte (Berkecimbung di
Bidang Penelitian Budaya daerah Selatan). Tokyo: Ryukei Shosha.
ccxxxv
Benedict, Ruth. 1967. Pedang Samurai dan Bunga Seruni: Pola-pola Kebudayaan Jepang. Jakarta: Sinar Harapan.
Boen Sri Oemarjati. 1971. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Djakarta:
Gunung Agung. Bruin ,R De. 1970. Het Japanse Militaire Besyuur in Indie, Wajang Nippon,
dalam Bericht Van de Tweede Wereld Oorlog, Amsterdam. Uitgeverij Amsterdam Boek B. V.
Budi Susanto. 1994. Politik Penguasa dan Siasat Pemoeda: Nasionalisme dan
Pendudukan Jepang di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Combs, James E. dan Dan Nimmo. 1994. Propaganda Baru: Kediktatoran
Perundingan dalam Politik Masa Kin. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Dahm, Bernhard. 1987. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3S. Dai Nippon Gunseibu. Juni 1942 Oendang-oendang Dari Pembesar Balatentara
Dai Nippon No. 1-20. Betawi. Dasuki. A. 1982. Indonesia Dalam Perang Pasifik. Jakarta: Mutiara. Deliar Noer. 1982. Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3S. Dinas Museum dan Sejarah. Pemerintah DKI Jakarta. 1994. Sekitar 200 Tahun
Sejarah Jakarta (1750-1945). Djawa Gunseikanboe. 1984. Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa, Orang
Indonesia Terkemoeka di Djawa. Yogyakarta: UGM Pers. Djoko Pradopo. 1993. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis
Struktural dan Semiotika. Yogyakarta: Gadjah Mada UP. Foley, Kathy. 1979. SundaneseWayang Golek. Honolulu: University of Hawaii. Goodman , Grant K.(edit). 1992. Japanese Cultural Policies in Southeast Asia
during world War 2. New York: St. Martins Press. Goodman , Grant K.. 1991. Janaese Cultural Policies in South East Asia During
World War 2. New York: St Martin’s Press. Goto ,Ken’ichi. 1998. Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. Goto, Goto. 1989. Kindai Nihon To Indonesia (Jepang Modern dan Indonesia).
Tokyo: Hokuju Shuppan. Goto, Keinchi. 1993. Hi no Umi no Bohyo: Aru (Ajiashughisha) no Ruten to
kiketsu (Batu Nisan di Lautan Api: Perjalanan dan Akhir seorang (Asiais). Tokyo: Jijitsushin.
Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.
ccxxxvi
Haris Jauhari (ed.). 1992. Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Hayashi, Shireru. 1993. Nihon No Rekishi 25: Taiheiyo Senso (Sejarah Jepang
25: Perang Pasifik). Tokyo:n Chuo Koron Sha. Hayasi, Shigeru. 1993. Nihon no rekishi 25: Taiheiyo Senso (Sejarah Jepang 25:
Perang Pasifik). Tokyo: Chuo Koron Sha. Henricus Supriyanto. 1994. “Sandiwara Ludruk di Jawa Timur (yang Tersingkir
dan Tersungkur) dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia Th. V. Jakarta: Rasindo.
Hirano, Ken. “Nihon Bungaku Hokokukai no Seiritsu (Bedirinya Nihon Bungaku Hokokukai)” dalam majalah Bungaku (Sastra) (Vol. 29. Mei 1961). Tokyo: Iwanami Shoten.
Hitoshi, Shimizu. 1991. Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia (Kumpulan
Kesaksian: Indonesia di bawah Pendudukan Jepang. Tokyo: Ryukei Shosha.
Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Bandung:
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Ichi Goto, Ken. 1987. Sejarah Hubungan Antara Jepang dan Indonesia pada
zaman Pra-perang. Japan Review. Ichi Goto, Ken. 1988. “Kehidupan dan Kematian Abdul Rachman”: (1906-1949)
Satu Aspek dari Hubungan Jepang-Indonesia” dalam Pemberontakan Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Obor Indonesia.
Ingleson, John. 1983. Jalan Ke Pengasingan. Jakarta: LPES. Isao, Mizukami. 1995. Abe Tomoji Kenkyu (Penelitian Tentang Tomoji Abe).
Tokyo: Sobunsha. Jakob Sumardjo. 1992. Lintasan Sastra Indonesia Modern I. Bandung: Citra
Aditya Bakti. Jakob Sumardjo. 1992. Perkembangan Teatre Modern dan Sastra Darama
Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Jawa Gunseikanbu. Nyanyian Pemuda. Djakarta: Balai Pustaka. Jong, L (ed). 1991. Pendudukan Jepang di Indonesia”Suatu Ungkapan
Berdasarkan Dokumentasi Pemerintahan Beland. Jakarta: Kesaint Blanc. Kamiya, Tadakata. 1996. Senso to Bungaku (Sastrawan wamil selatan: perang
dan sastra). Kyoto: Sekaishiso-sha. Kamiya, Tadataka. 1996. Nanpo Choyo Sakka: senso to Bungaku (Sastrawan
wamil Selatan: Perang dan Sastra). Kyoto: Otori Shobo.
ccxxxvii
Kanahele, George Sanford. 1967. The Japanese Occupation Of Indonesia:
Prelude to Independence, Ph.D. Thesis. Cornell University. Kartini Santoso (ed.). 1983. Katalog Terbitan Indonesia Pendudukan Jepang
1942-1945. Jakarta: Perpustakaan Nasional. Kitahara, Takeo. 1943. Uki Kitaru: Jawa Jugun-ki (Musim Hujan Tiba: Catatan
Wamil di Jawa). Tokyo: Buntai-sha. Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyaraka. Jakarta: P.T.
Gramedia. Kurasawa, Aikiro. 1993. Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial
di Pedesaan di Jawa 1942-1945. Jakarta: PT. Gramedia.
Kuroda, Hidetoshi. 1976. Chishikijin Genron Dan’atshu no Kiroku (Catatan mengenai Penindasan kebebasan Berbicara terhadap Cendikiawan). Tokyo: Shiraishi-shoten.
Lapian, dkk,. 1988. Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua
Orang yang Mengalaminya. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia. Lexy Moeloeng. 1994. Metodologi Penelitian kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya. M.A. Aziz, 1995. Japan’s Colonialism and Indonesia. The Hague: M. Nijhoff. M.C. Rickleff. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGM Press. Machida, Keiji. 1967. Tatakau Bunka Butai (Pasukan Budaya yang Berperang).
Tokyo: Hara-shobo. Machida, Keiji. 1978. Aru Gunjin no Shihi: Ken to Pen (“Monumen Kertas”
Seorang Militer : Pedang dan Pena). Tokyo: Fuyoshobo. Merton, Robert K. 1957. Sosial Theory and Social Structure. Glencoe. Illinois:
The Free Press. Michael,Riff A. Kamus Ideologi Politik Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nagazumi, Akira, editor. 1988. Pemberontakan Indonesia pada Masa
Pendudukan Jepang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Nippon Nyusu Eigashi. 1977. Kaisen Zenya Shusen Chokugo made (Sejarah Film
Berita Jepang: Dari Malam Menjelang Pecah Perang sampai Masa Segera Sesudah Peang). Tokyo: Mainichi Shinbunsha.
Noerhadi Soedarno. 1982. Poetra (Poesat Tenaga Rakyat). Jakarta: Tinta Mas. Nugroho Notosusanto, Desertasi. 1977. PETA Army During the Japanese
Occuption of Indonesia (Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang) Jakarta: Universitas Indonesia.
ccxxxviii
Nugroho Notosusanto, dkk. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta:Balai Pustaka.
Nugroho Notosusanto. 1988. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta:
Yayasan Idayu. Onghokham. 1989. Runtuhnya kekuasaan Di Hindia Belanda. Jakarta: PT.Gramedia. Otani, Koichi. 1982. Hyoden: Takeda Rintaro (Biografi Kritis: Rintaro Takeda).
Tokyo: Nihon Hyoronsha. Pamusuk Eneste. 1990. Leksokon Kesusastraan Modern. Jakarta: Djabatan. Pemda Kotamadya TK. II. 1981. Sejarah Kota Bandung Periode Revolusi
Kemerdekaan 1945-1950. Post, Peter. 1994. “characteristics Of Japanese Enterpreneurship in the Pre-war
Indonesia Economy” dalam Historical Foundation of a National Economy in Indonesia, 1890’s-1990, J. Th. Lindblad (ed.). Amsterdam.
Pringgodigdo. A. K. 1984. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian
Rakyat. Radja Ahli Hadji. “Gurindam” dalam Sutan Takdir Alisjahbana. 1950. Puisi
Lama. Djakarta: Pustaka Rakjat. Rendra, W. S. ”Dunia Film Indonesia di Mata Seorang Dramawan” dalam Haris
Jauhari (ed.). 1992. Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rendra, W.S 1983. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: Gramedia. Rintaro Takeda. 1944. Jawa Sarasa (Batik Jawa). Tokyo: Shikuma Shobo. Rita Sri Hastuti, “Berjuang di Garis Belakang” dalam Haris Jauhari (ed.). 1992.
Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Robentson, Eric. 1979. The Japanese File: Pre-War Japanese Penetrasion in
Southeast Asia. London: Heinemann Educational Books Limited. Robertson, Eric. 1979. The Japanese File: Pre-War Japanese Penetration in
Southeast Asia. London: Heinemann Educational Books Limited. Rosihan Anwar. 1983. Menulis dalam Air: Sebuah Otobiografi. Jakarta: Sinar
Harapan. Rosihan Anwar. Sekelumit Kenang-kenangan Kegiatan Sastrawan di Zaman
Jepang (1943-1945)” dalam Budaja Dajaja (no.65. th.VI. Oktober 1973). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
ccxxxix
Saini Kosim. 1998/1999. Teater Indonesia, Sebuah Perjalanan Multikulturalisme, dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th. IX.
Sakuramoto, Sakuramoto. 1995. Nihon Bungaku Hokokukai: Dai Toa Senso-ka no Bungakusha-tachi (Nihon Bungaku Hokokukai: para Sastrawan di Bawah Perang Asia timur Raya). Tokyo: Aoki-shoten.
Sakuramoto, Tomio. 1993. Bunkajin Tachi no ditoasenso: PK Buati ga Iku
(Perang Asia Timur Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju). Tokyo: Aoki-shoten.
Salim Said. 1990. Shadowson the Silver Screen: A Social Hostory of Indonesoan
Film. (Terjemahan dari Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers. 1982). Jakarta: The Lontar Fundation
Santoso Sastropotro, R. A. 1991. Propaganda: Salah Satu Bentuk Komunikasi Massa. Bandung: Penerbit Alumni.
Sartono Kartodirjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: P.T. Gramedia. Sartono Kartodirjo. 1998. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia.
Suatu Alternatif. Jakarta: P.T. Gramedia. Sato, Shigeru. 1994. War, Nasionalisme and Peasants-Java Under the Japanese
Occupation 1942-1945. New York: M.E. Sharpe,Inc. Sawarno, Ibu R. “Sekarat di Pasar Bebas” dalam Haris Jauhari (ed.). 1992. Layar
Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Seobagijo, I.N. 1980. Sumanang Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung. Seobagijo, I.N. 1983. Mr. Sudjono Mendarat dengan Pasukan Jepang di Banten
1942. Jakarta: Gunung Agung. Shimizu. 1991. Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia (Kumpulan Kesaksian:
Indonesia di Bawah Pendudukan Jepang). Tokyo: Ryukei Shosha. Shiraishi, Sayadan, Shiraishi, Takashi. 1998. Orang Jepang di Kota Koloni Asia
Tenggara. Jakarta: Obor Indonesia. Soebagyo. 1992. Parikan Jawa: Puisi Abadi. Jakarta: Aksara Garda Pustakatama. Sri Widati,dkk. 2001. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern: Priode
Prakemerdekaan. Yogyakarta: Gadjah mada University Press. Suripan Sadi Sutomo. 1997. Sosiologi Sastra Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Sutan Takdir Alisjahbana. 1988. Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di
Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat. Takasi, Ryuji. 1976. Pen to Senso (Pena dan Perang). Tokyo: Seiko Shobo.
ccxl
Tanaka, Junichiro. 1976. Nihin Eiga Hattatsushi (Sejarah Perkembangan Film Jepang) (jilid 3). Tokyo: Chuo Koron.
Tanaka, Masaki. 1956. Ajia Fuunroku (Catatan mengenai Pergolakan di Asia).
Tokyo: Tokyo Life Sha. Taniguchi, Goro. 1953. “Pena ni Yorite (Bergantung pada Pena)” dalam
Hitsuroku Daitoa Senshi: (Catatan Rahasia Sejarah Perang Asia Timur Raya: Hindia Belanda). Tokyo: Fuji Shoen.
Taniguchi, Goro. 1991. “Janarisuto tosehite Mita Jawa Gunsei (Pemerintahan
Militer di Jawa yang Saya Lihat sebagai Jurnalis)” dalam Forum for Rescarch Materials on the Japanese Occpation of Indonesia, Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia. Tokyo: Ryukei Shosha.
Taniguchi, Goro. 1991. “Janarisuto tosehite Mita Jawa Gunsei (Pemerintahan
Militer di Jawa yang Saya Lihat sebagai Jurnalis)” dalam Forum for Research Materialis on the Japanese Occupation of Indonesia, Shogenshu: Nihon Senryo-ka no Indonesia. Tokyo:Ryukei Shosha.
Taufik Abdullah. 1993. Film Indonesia Bagian I (1900-1950). Jakarta: Dewan
Film Nasional. Teeuw, A. 1991. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. Tomio, Sakuramoto. 1993. Bunkajin Tachi no Daitoasenso: PK Butai ga Iku
(Perang Asia Timur Raya bagi Budayawan: Pasukan PK Maju). Tokyo: Aokishoten.
Tomisawa, Uio. 1944. Hikari no Jawa (Jawa Dalam Cahaya). Tokyo: Doko-sha. Tomisawa. 1943. Jawa Bunkasen (Perang Budaya di Jawa). Tokyo: Nihon
Buntai-sha. Turnan, George Mc. 1980. Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka kementerian Pelajaran Indonesia. Umar Junus. 1986. Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia. Usmar Ismail. 1945. Maya sebagai Gerakan Angkatan Baroe. Koleksi Pusat
Dokumentasi Sastra H.B.Jassin. Wartini Santoso (ed.). 1984. Katalog Surat Kabar. Jakarta: Perpustakaan Nasional. 3. Surat Kabar, Majalah, dan Almanak Almanak Asia-Raya 2603: Tahoen I. 1943. Djakarta: Asia Raya Bagian Penerbitan. Asia Raya (23.6.2604), (5.7.2604), (21.10.2603), (28.11.1942), (8.6.1942),
(19.3.2605), (28.6.1944), (4.6. 2063), (21.5.1945), (16.5.1943), (16.5.1944), (1.2.1944), (11.1.2603), (27.12.1945), (29.1.1945), (8.5.1945), (10.8.1944), (19.3.1945), (5.7.1944), (19.7.2603).
ccxli
Budaja Djaja (no.65. th.VI. Oktober 1973). Djawa Baroe (no.2. 15.1.2604), (no.9 1.5.2603), (no.2 7.15. 1943), (1.10.1943),
(no.1 1.3.1943), (no.4 15.1.2064), (no.4. 15.2.2604), (no.8. 15.4.2603), (no.14. 15.7.1945), (no.12 15.6.1943), (no.4 1.9.1943), (no.5 1.3.1943), (no.4. 15.2.2604), (no.13 1.7.2604), (no. 23 12.1.2063), (no.14 15.7.2605), (1.101944), (no.3. 1.2.2064), (no.11. 1.6.2603), (no.14 15.7.2605), (no. 24 15.12.1944), (no. 3, 1.2.1945), (no. 22, 1 agustus 1944), (no. 8 9.1.1943), (no.8. 15.4.2603), (no.12. 15.62063), (29.5.1945), (no.8. 15.4.2603), (no.23. 1.12.2603), (no.14. 15.7.2605), (no.3 1.2.1944), (no.13 1.7.1944), (no.2 15.1.1944), (no.24 15.12.1943), (no.15 1.8.1944), (no. 15 1.8.2603), (3, 1.1.2064), (no. 7 1 April 1945).
Jawa Nenkan: Kigen 2604-nen (Almanak Jawa tahun 2604). Jakarta: Jawa
Shinbunsha. (Dicetak kembali Oleh Biblio. Tokyo.1973). Kan Po (no.15),(no.36), (No. 17, 25 April 1943), (No.13) atau “Osamu Serei
No.51), (No.32), (No 14 Maret 2603),(No.14, Maret 2603), (No.14, 10 Maret 1943), (No. 7, 1945), (No. 28, 1943), (No.1)No.18” (11 Juni 2603) Kanpo (No.21)
Nihon Gakugei Shinbun (no.1. November 1942). Tokyo: Nihon Bungaku Hokokukai. Nihon Hyoron ( Nomor September 1950). Pandji Poestaka (No. 16, 25 Juli 1942), (No. 22 Th XXII, 15 September 1944),
(No. 18/19 Th. XXII, 15 September 1944), (No. 12, 27 Juni 1942), (No. 26, 3 Oktober 1942), (No. 11, 8 Maret 1943), (No. 23, 12 September 1942), (No.16, 25.7.1942), (No. 19, 15 Agustus 1942).
Prajurit, (No. 5/8 Desember 1944), (No.13, 30 Maret 1945), No. 13/30 Maret 1945). Sande Mainichi (no 13 Januari 1943). Serebes Shinbun (9-10 Januari 1943). Shin Jawa (no.2. Vol.1. 1 November 1944). Star News (no.5. 25 September 1954). Tjahaya (23 Juli 1944). Toa Bunka Ken (Lingkungan Budaya Asia Timur) Januari 1943. Tokyo Asahi Shinbun (19-23 Januari 1943), (6 Oktober 1942), (26 Juni 1942). Unabara (no.159. 12 September 1942), (no.125. 4 Agustus 1942), ( no.58. 17 Mei
1942), dari nomor 61 (21 Mei 1942) sampai nomor 68 (29 Mei 1942), (no.55. 14 Mei 1942)(no.56. 15 Mei 1942), (no.159. 12 September 1942).
Wawasan Kepulauan (no.15. 25 Oktober 1996)
ccxlii
4. Arsip The Nishijima Collection. (Kumpulan dokumen yang menyangkut pemerintahan
militer Jepang yang dikumpulkan Shigetada Nishijima kemudian disusun oleh Waseda Daigaku Okuma-kinen Shakai Kagaku Kenkyujo (Lembaga Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Waseda, Tokyo) pada tahun 1973, Kode yang menyertai dokumen-dokumen berikut adalah kode yang digunakan dalam catalog The Nishijima Collection.)
Adachi, Hisayoshi. “Report to Mr. A.P.M Audretsch: Replies of Questionaire Concerning Sendenbu”. 14 April 1947. (AD 3) dan (AD 2).
Gunseikanbu. 2604. Orang-Indonesia jang Terkemoeka di Jawa. Jakarta: Gunseikanbu.
Okazaki, Seizaburo: Osamu Shudan Gunsekan (Gunseikan Pasukan Ke-16). “Jawa Eiga Kosha no Ken Tsucho (Pengumuman Mengenai Jawa Eiga Kosha)”. 11 September 1942.
Sendenbu. “Chuo Shinbun Tosei An (Konsep Pengawasan Surat Kabar Pusat)” (Tulisan Tangan. 3 September 1942.
5. Lain-lain
Rekaman Wawancara Shizuo Miyamoto (mantan Staf Strategi Pasukan Ke-16 Angkatan Darat). Jakarta Pada Tanggal 15 November 1996 (Terjemahan dan Koleksi Masa Omi Tanaka.