bab i pendahuluan a. latar belakang · muhammadiyah yogyakarta, film sangat dipengaruhi oleh...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Film merupakan salah satu produk kemajuan teknologi yang kini mulai
berkembang pesat. Sebagai salah satu media komunikasi, film dianggap dapat
menyampaikan pesan secara efektif. Dalam sebuah artikel, Diskursus Film Islam,
menurut Soelarko, 1978, efek terbesar film adalah peniruan yang diakibatkan oleh
anggapan bahwa apa yang dilihatnya wajar dan pantas untuk dilakukan oleh setiap
orang. Sehingga apa yang dilihat penonton dalam film, lebih mudah untuk
diterima dan ditiru karena film mempunyai kekuatan untuk memainkan emosi.
Film secara nyata menampilkan gambar bergerak yang dapat dilihat dan
didengar sekaligus. Dengan demikian penonton dapat menangkap content film
baik yang tersirat maupun tersuratnya dengan gamblang. Film pun menjadi media
yang sangat unik karena dengan karakter audio-visualnya mampu memberikan
pengalaman dan perasaan yang spesial kepada para khalayak. Para penonton dapat
merasakan cerita layaknya pada kehidupan nyata ketika menyaksikan gambar-
gambar bergerak, berwarna, dan bersuara.
Sedikit melihat sejarahnya, film dibuat karena perpanjangan dari teknologi
fotografi. Kamera pembuat gambar bergerak ini pertama kali dibuat oleh
Eardweard Muybridge dan Marey pada tahun 1882. Mereka membuat
photographic gun camera yang dapat memotret 12 gambar dalam satu piringan.
2
Kamera ini terus berkembang dari waktu ke waktu dan memunculkan proyektor
sebagai penampil gambarnya. Dan selanjutnya muncul ide-ide kreatif dengan
menambahkan warna, animasi, serta suara sehingga tercipta film seperti sekarang.
(http://lutviah.net/2011/01/14/media-massa-film/ diakses tanggal 9 Desember
2012)
Di Indonesia sendiri, film pertama kali muncul pada tahun 1926 yaitu film
Loetoeng Kasaroeng produksi NV Java Film Bandung. Namun perkembangan
film saat itu masih sangat sedikit dan hanya tercatat film Terang Boelan yang
sangat terkenal pada era tersebut. Selanjutnya bioskop-bioskop justru tutup karena
sedikitnya produksi film nasional. (http://bincangmedia.wordpress.com/tag
/sejarah-film-indonesia/ diakses tanggal 9 Desember 2012)
Selanjutnya industri film di Indonesia mengalami pasang surut yang begitu
menarik. Menurut Fajar Junaedi, dosen Ilmu komunikasi Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, film sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan
ekonomi ketika film itu dibuat. Dalam artikelnya yang berjudul Membaca
Indonesia dari Film dan Sinema Indonesia, ia menjelaskan bahwa terjadi relasi
yang kuat antara film dan sinema sebagai bentuk kebudayaan dengan institusi
politik yang berkuasa di masanya. Ia mencontohkan di masa kolonialisme, film
yang datang ke Indonesia pada awal tahun 1900-an didominasi film-film dari
Dunia Pertama (First World) yaitu Eropa dan Amerika Serikat. (Junaedi, 2009)
Pada masa Orde Baru, film-film yang tayang merupakan gambaran
kegagahan militer pada era itu. Film yang ada kebanyakan menggambarkan
3
Soeharto yang masih aktif sebagai militer pada saat itu. Seperti dalam film Janur
Kuning yang memperlihatkan kehebatan Soeharto merebut Yogyakarta dalam
Serangan Umum 1 Maret 1949. (Junaedi, 2009)
Saat ini ketika Indonesia memasuki masa Demokrasi yang digembor-
gemborkan sebagai masa kebebasan, berbagai tema film pun bermunculan. Tidak
hanya film tentang nasionalisme, film bergeser ke tema religi dan remaja. Para
sineas berkreasi dengan ide-ide mereka dan mencoba menyampaikan pesan dalam
film yang mereka buat. Film Ada Apa dengan Cinta yang muncul pada tahun
2000 menjadi awal kebangkitan film Indonesia era ini. Film yang menceritakan
kehidupan percintaan remaja Cinta dan Rangga tersebut sukses di pasaran dan
membuat produksi film Indonesia melesat.
Setelah itu kehidupan remaja menjadi salah satu agenda penting yang
diangkat oleh para sineas ke dalam film. Berbagai film yang menggambarkan
remaja sebagai masa di mana seseorang mencari jati diri mereka banyak diangkat
dalam film. Seperti dalam film Virgin, Best Friends, dan Married By Accident.
Ketidakharmonisan dalam keluarga, sikap acuh dari orang tua, dan pengaruh
lingkungan sekitar membuat para remaja tersebut mencari tempat “pelarian”
sebagai wadah mereka mengeksiskan diri.
Namun, tema penting kehidupan remaja yang sekaligus bisa menjadi
sarana pendidikan tersebut sayangnya justru lebih banyak menonjolkan sisi
hiburan dan seringkali banyak membawa dampak negatif dalam remaja. Hikmat
Darmawan, seorang kritus menyebutnya sebagai film melayu yang mendayu-
dayu.
4
“Tema remaja berkutat dalam tema mendayu-dayu yang itu-itu juga,
khayalan cinta (atau, belakangan, seks) yang melambung-lambung
selayaknya khayalan kekanakan ABG, dan pertimbangan pasar yang
memelihara selera banal itu. Tema remaja tidak diolah selayaknya
kehidupan remaja yang ada dalam realita kehidupan. Kehidupan cinta
yang ‘berlebihan’ serta hanya mempersoalkan ‘dapat’ dan ‘tak dapat’
lebih menonjol dari masalah keluarga, ekonomi yang
melatarbelakanginya. (http://old.rumahfilm.org/resensi/resensi_juno.htm
diakses tanggal 9 Desember 2012).
Padahal, fungsi film sebagai salah satu media dalam peta komunikasi massa
menjadi penting ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa media memiliki fungsi
informatif, edukatif, dan hiburan. Namun pada kenyataannya, seringkali tidak
semua fungsi dapat terpenuhi. Seringkali film hanya memuat fungsi hiburan tanpa
memperhatikan kedua unsur lainnya.
Banyak film merupakan refleksi dari kenyataan atau kisah nyata
kehidupan. Sebagai dokumen sosial dan budaya yang mencerminkan
masyarakatnya, dan sebagai corak narasi yang multitafsir, film bisa berucap
banyak tentang budaya dan masyarakat yang menghasilkannya (Idy Subandi A,
2007 : 173). Melalui film, penonton dapat melihat miniatur kehidupan yang
didramakan sehingga kita dapat memahami problematika kehidupan.
Film Mata Tertutup mencoba melihat bagaimana salah satu sisi
kehidupan remaja yang begitu dekat dengan realitas kehidupan. Fajar Riza Ul
Haq menjelaskan film ini akan mengurai identitas remaja dalam konteks
tantangan kebangsaan masa kini. Oleh karenanya, film ini lebih mengedepankan
fungsi pendidikan yang mengedepankan dialog dan tukar pengalaman dalam
proses pembelajaran. (Maarif Institue, 2012 : 21).
5
Remaja merupakan masa transisi dimana dalam masa ini seseorang akan
mencari identitas pribadi mereka. Menurut Erikson, 1968 (Atkinson, dkk. 1999 :
233) perkembangan utama remaja adalah membentuk identitas, untuk mencari
jawaban atas pertanyaan “Siapa saya?” dan “Ke mana saya akan menuju?”.
Erikson menyebutnya dengan istilah krisis identitas.
“Remaja menjadi periode ekperimentasi peran di mana orang muda dapat
mengekplorasi perilaku, minat, dan ideologi alternatif. Banyak
keyakinan, peran, dan cara perilaku mungkin dicoba, dimodifikasi, atau
dibuang sebagai upaya membentuk konsep diri yang terintegrasi.”
(Atkinson, dkk. 1999 : 233)
Dalam masa pencarian identitas, remaja dihadapkan pada situasi yang
membingungkan, di satu pihak ia masih kanak-kanak, di lain pihak ia sudah
bertingkah laku seperti orang dewasa. Dalam usaha mencari identitas pribadinya
tersebut, remaja mulai memiliki pendapat sendiri, cita-cita, serta nilai-nilai sendiri
yang terkadang bertentangan dengan norma yang ada (Sarwono, 2009 : 72).
Tingkah laku remaja oleh Charles Horton Cooley (Soekanto. 1984 : 127)
diungkapakan dengan istilah “looking glass self” -- seolah-olah merupakan cermin
bagi imajinasi pribadi tertentu. Semakin meningkat usia dan kematangan anak-
anak semakin rumit pula keadaan yang dihadapi. Cooley berpendapat, remaja
akan berusaha menyembunyikan keinginan-keinginannya, serta berusaha mencari
cara-cara terselubung untuk menyalurkan keinginan-keinginannnya tersebut.
(Soekanto. 1982 : 128)
Film Mata Tertutup meperlihatkan bagaimana para remaja yang masih
mencari identitas pribadinya, terdorong masuk ke dalam kelompok yang
mengatasnamakan agama sebagai ideologinya, yaitu Negara Islam Indonesia
6
(NII). Kondisi para remaja yang masih labil dan tidak mendapatkan apa yang
diinginkan dalam keluarga maupun lingkungan sosialnya, menyebabkan mereka
mudah dibujuk untuk mengikuti kelompok-kelompok tertentu yang dianggap
mampu menampung dan mewujudkan sesuatu sesuai kehendak mereka.
Pencarian identitas remaja menuntut mereka untuk tetap eksis, yang
dalam pengertian filsafat, eksis tidak cukup hanya dengan adanya keberadaan
mereka namun secara aktif sadar akan keberadaannya, dan mampu mengarahkan
keberadaannya itu ke suatu tujuan yang dikehendakinya sendiri (Sarwono, 2009 :
41). Masalah-masalah sosial dalam keluarga maupun lingkungan negara yang
banyak terjadi dan tidak terselesaikan mengakibatkan anak-anak tersebut
mencari pelarian. Mereka mencari tempat di mana mereka bisa eksis dan
mendapat pengakuan.
Penggambaran dua tokoh utama dalam film yaitu Jabir dan Rima
memilih masuk ke NII dan jaringan Islam fundamentalis, merupakan bentuk
pencarian identitas dan sebagai bentuk pengembangan diri. Mead
menjelaskannya, dalam salah satu tahapan perkembangan manusia the generalized
other.
“Hanya sepanjang ia mengambil sikap sebagai anggota kelompok
terorganisir, dan terlibat dalam aktivitas sosial kooperatif yang
terorganisir, ia akan mampu mengembangkan diri sepenuhnya.” (Ritzer
and Goodman, 2007 : 284)
Dorongan keluarga Jabir yang kondisi ekonominya lemah hingga ia
mendapat penolakan dari pesantren tempatnya sekolah, membuatnya masuk
dalam kelompok jihad yang memaksanya melakukan bom bunuh diri. Sedangkan
7
Rima, akhirnya memutuskan masuk ke NII karena sebagai perempuan, ia merasa
hak-haknya tidak dipenuhi dalam kondisi negara sekarang ini. Dengan masuk NII
ia berharap bisa membuka ruang bagi dirinya dan rekan-rekannya agar perempuan
tidak dipandang sebelah mata.
Khelmy K. Pribadi, produser lini Mata Tertutup menjelaskan bahwa akar
dari larinya mereka ke dalam kelompok fundamentalis merupakan konklusi dari
keadaan sosial-politik-ekonomi kebangsaan yang tidak memihak, yang tidak
memberikan ruang bagi sebagian kita, yang dari itu kemudian memberi ruang
tafsir bagi perlawanan atas keadaan. (Maarif Institue, 2012 :14)
Kondisi negara dan keluarga digambarkan seperti baik-baik saja namun
sebenarnya tidak menjanjikan jalan keluar ke kehidupan yang lebih baik. Adrian
Jonathan Pasaribu, seorang kritikus film mengungkapakan, dalam film Mata
Tertutup NII mewakili sebuah perubahan skala besar, sebuah pemaknaan ulang
atas relasi kuasa di tubuh masyarakat, yang diharapkan orang-orang di dalamnya
bisa menyelesaikan masalah personal mereka. (Maarif Institue, 2012 : 36)
Menurut George Herbert Mead (Soekanto, 1984 : 8) dalam penjelasannya
mengenai Teori Interaksionisme Simbolik, manusia secara naluriah memang
selalu membentuk kelompok dengan dasar komunikasi, terutama lambang-
lambang sebagai kunci memahami kehidupan sosial manusia. Manusia dapat
menafsirkan keadaan dan perilaku dengan lambang-lambang tersebut. Manusia
membentuk perspektif-perspektif tertentu, melalui suatu proses sosial di mana
mereka memberi rumusan hal-hal tertentu bagi pihak-pihak lain.
8
Setiap individu dalam kelompok akan berusaha mengikuti aturan main
dalam kelompok dengan melakukan tindakan seperti yang diinginkan kelompok.
Dalam teori interaksionisme simbolik hal tersebut dijelaskan bahwa manusia
menggunakan interpretasi orang lain sebagai bukti “kita pikir siapa kita”. Manusia
akan melakukan interaksi dengan proses intepretatif dua arah di mana tidak hanya
memahami bahwa tindakan seseorang adalah produk dari bagaimana ia
mengintrepetasi perilaku orang lain, tetapi juga bahwa intrepetasi ini akan
memberi dampak terhadap perilakunya yang diintrepertasi dengan cara tertentu
pula. (Jones, 2009 : 142)
Jabir dan Rima sebagai tokoh sentral dalam film, melakukan peran dalam
kelompok sesuai tujuan dalam kelompok tersebut. Kedua tokoh melakukannya
dalam konsep diri aku “me” yang oleh Mead (Ritzer and Goodman, 2007 : 285)
dijelaskan terdapat dua fase diri dalam manusia yaitu saya “I” dan aku “me”. Saya
“I” adalah tanggapan spontan individu terhadap individu lain. Saya “I” merupakan
tindakan yang terdorong oleh diri kita sendiri, bagaimana kita melihat diri kita
sendiri. Sedangkan aku “me” adalah apa yang kita lakukan sesuai dengan apa
yang orang lain harapkan. Dalam tindakan kelompok, aku “me” lebih banyak
terlihat karena kita membawa kumpulan sikap yang terorganisir dalam kelompok
tersebut ke dekat kita, dan sikap itulah yang banyak mengendalikan kita dalam
konsep aku “me”. (Ritzer and Goodman, 2007 : 287)
Dalam Film digambarkan bagaimana Rima, seorang mahasiswa yang
diceritakan sebagai perempuan bebas harus hidup dalam sebuah masyarakat yang
9
punya norma dan aturan terutama mengenai aturan hidup sebagai perempuan. Hal
tersebut masuk dalam perilaku Rima dalam aku “me’.
Namun dengan idealisme bahwa wanita harus punya kedudukan yang
sama dengan lelaki, ia merasa tidak puas dengan kondisi masyarakat sekarang ini
yang tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk berkembang. Rima dalam
aku “I” merasa dirinya harus mencari suatu kelompok yang sesuai dengan jalan
pikiran bahwa wanita harusnya mendapat hak yang sama dengan lelaki.
Dalam kekalutan yang dihadapinya, Rima memutuskan masuk dalam
jaringan NII, dan akhirnya memang harus bertindak sesuai apa yang menjadi rule
actions kelompoknya. Untuk mencapai keinginannya agar mendapat pengakuan
sebagai seorang wanita dalam NII, Rima melakukan semua perintah dari
pemimpin kelompoknya.
Namun kenyataan di NII bahwa ternyata keinginannya agar hak-hak
wanita diakui sederajad hanyalah isapan jempol belaka. Ia melihat Istri dan anak-
anak pemimpin justru diabaikan atas nama penghormatan terhadapa suami.
Kekecewaannya berujung pada kebimbangan yang akhirnya membawanya keluar
dari NII. Ini memperlihatkan ia dalam saya “I” memutuskan sesuatu untuk
dirinya sendiri sesuai keinginannya.
Dalam film tersebut fluktuasi pembentukan diri Rima antara “me” dan
“I” terjadi sesuai dengan pemikiran Rima sebagai perempuan berprinsip, di mana
dia merasa hak-haknya sebagai perempuan tidak diakui. Pada akhirnya Rima
mencari kelompok yang dianggap bisa memenuhi keinginannya.
10
Begitu juga Jabir yang seorang santri dari sebuah pondok pesantren harus
keluar karena tidak bisa membayar biaya sekolahnya. Saya “me” Jabir dituntut
oleh lingkungannya untuk membayar pendidikannya agar tetap bisa sekolah,
namun tidak bisa dilakoninya dan membuatnya harus keluar. Dalam kekalutannya
melihat keluarganya yang miskin, iunya yang terus banting tulang untuk
melihatnya terus sekolah, ia memutuskan bekerja sebagai tukang cuci angkot di
terminal sebagai pelariannya dari masalah. Pertemuannya dengan seorang yang
ternyata dari jaringan terorisme dan mengajaknya masuk kedalam jaringan
tersebut, membuat saya “I” Jabir muncul dan bergejolak dalam keinginannya
mencari jalan lain untuk belajar agama agar bisa menyenangkan orang tuanya.
Dalam masa kalut khas remaja yang diharuskan mencari penyelesain
masalahnya sendiri, Jabir masuk dalam jaringan teroris dan membuatnya
bertindak sesuai ajaran yang diterimanya dalam kelompok barunya. Jabir dalam
memutuskan melakukan bom bunuh diri yang dalam kelompoknya disebut jihad.
Keinginannya untuk membuat ibunya senang dan bisa membawanya masuk surga
menajdi dorongan kuat untuknya akhirnya menerima tawaran menjadi pelaku bom
bunuh diri. Namun, di akhir cerita, Jabir dalam aku akhirnya sempat ragu ketika
akan berangkat melakukan tugasnya sebagai pelaku bom bunuh diri.
Pertengkarannya dengan sahabatnya, Husni di depan rumah memperlihatkan sisi
aku “I” jabir tentang kebimbangannya akan keputusannya menjadi pelaku bom
bunuh diri.
11
Fluktuasi pembentukan identitas diri terus berulang dalam setiap fase diri
yang dilakoni Jabir dan Rima. Namun dalam film Mata Tertutup, fluktuasi ini
digambarkan tidak semua fase pembentukan identitas diri manusia positif. Ada
pula hal-hal negatif yang membuat seseorang dapat bertindak salah. Mead (Ritzer
and Goodman, 2007 : 286) menjelakan bahwa “I” bereaksi terhadap aku “me”
yang mengorganisir sekumpulan sikap orang lain yang ia ambil menjadi sikapnya
sendiri. Kelompok yang diikuti mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir
yang diambil alih oleh individu dalam bentuk “me”. (Ritzer and Goodman, 2007 :
287).
Berbeda dengan film remaja kebanyakan, film karya sutradara besar
Garin Nugroho, ini mengangkat isu organisasi radikal dan NII sebagai benang
merah. Film terbaru garapan sutradara Garin Nugroho 'Mata Tertutup' telah
dijadwalkan tayang di bioskop 21 Cineplex mulai Kamis (15/3/2011). Namun,
tiba-tiba film tersebut batal tayang.
(http://hot.detik.com/movie/read/2012/03/15/152349/1868364/229/film-mata-
tertutup-garin-nugroho-dicekal diakses tanggal 7 April 2016).
Mata Tertutup ini, melihat kenyataan bahwa kehidupan remaja sangat
rawan terkena dampak negatif dari adanya kelompok-kelompok fundamentalis
masyarakat . Fajar Riza Ul Haq, eksekutif produser film Mata Tertutup dalam
tulisannya Film dengan Sebuah Misi memberikan gambaran serius betapa anak
muda yang sedang dalam pencarian jati diri sangat rentan terpengaruh bahkan
direkrut oleh jaringan terorisme. Di awal tulisannya, ia mencontohkan kasus
12
terorisme di Klaten pada tahun 2010 dan 2011 yang melibatkan para pelajar. Pada
8 Maret 2011, Pengadilan Negeri Klaten mengadakan sidang perdana kasus
terorisme dengan tersangka berusia 17 tahun dan 6 rekan sebaya. (Maarif Institue,
2012 : 18)
Untuk itulah Film Mata Tertutup menjadi menarik diteliti karena berbeda
dengan film remaja kebanyakan yang hanya berkutat masalah khayalan cinta
seperti dijelaskan diatas. Karena diangkat dari hasil riset MAARIF Institute film
ini menjadi film dokumenter-drama yang sangat dekat dengan realitas kehidupan
masyarakat.
Penelitian ini akan melihat dan manganalisa bagaimana para tokoh
didalamnya mengalami fluktuasi dalam pembentukan identitas pribadi mereka.
Kondisi remaja yang masih labil mengalami proses sosial dalam ideal type “I” dan
real type “me” masing-masing tokoh dalam film. Berbagai faktor seperti
ketidakpuasan terhadap negara, masalah ekonomi, serta kondisi soasial menjadi
faktor yang mempengaruhi bagaimana identitas diri seseorang terpengaruh dan
menjadi fluktuatif dalam ke-aku-an “I” maupun saya “me”. Namun yang menjadi
menarik adalah, bahwa tidak dipungkiri faktor negatif pun bisa masuk dan
menyeret remaja pada tindakan yang negatif. Untuk itulah perlu pencegahan dan
penanganan terhadap faktor-faktor negatif tersebut agar remaja tidak terjebak hal-
hal negatif.
Pada hakekatnya film merupakan media komunikasi dan ekspresi dari
pembuatnya. Dalam komunikasi massa, film digunakan sebagai sarana baru yang
13
digunakan untuk menyebarkan hiburan, informasi, maupun sebagai sarana
pendidikan kepada masyarakat umum. Film memberikan peluang bagi semua
kalangan untuk mempelajari budaya melalui visualisasi yang disuguhkan.
Dalam kaitannya dengan komunikasi, film merupakan produk komunikasi
massa karena jangkauan khalayaknya yang luas dan sekaligus. Film memberikan
pesan-pesan yang dibawa oleh produsen film yakni Garin Nugroho kepada
khalayak. Pesan tersebut akan membentuk makna ketika diintrepetasikan oleh
khalayak. John Fiske menjelaskannya bahwa pesan merupakan suatu konstruksi
tanda yang, melalui interaksinya dengan penerima, menghasilkan makna. (Fiske,
2006 : 10). Dengan demikian makna yang dimiliki oleh film bukan berasal dari
film itu sendiri melainkan dari hubungan antara pembuat film dengan penikmat
atau penonton dari film itu sendiri.
Kemudian yang perlu diperhatikan, film dengan pesan yang dibawanya
bisa menimbulkan intrepetasi yang berbeda-beda dari khalayaknya. Pembaca
(dalam film adalah penonton) dengan pengalaman sosial yang berbeda atau dari
budaya yang berbeda mungkin menemukan makna yang berbeda pada teks yang
sama. (Fiske, 2006 :11).
Lantas makna film yang ditangkap oleh pemirsa pun akan beragam. Hal
tersebut disebabkan banyak faktor yang mempengaruhi, diantaranya adalah
tingkat kecerdasan dan kedewasaan penonton itu sendiri dalam menerjemahkan
simbol atau tanda yang ada dalam sinetron. Pemaknaan film dibentuk dalam
proses produksi sebuah film terkait dengan addresser (si pemberi pesan), dimana
14
proses produksi ini akan menentukan bagaimana pesan (message) yang akan
disampaikan kepada penonton atau addresse.
Film Mata Tertutup ini pun mempunyai kasus yang sama. Pesan mengenai
penggambaran pembentukan identitas remaja dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya yang disampaikan sang sutradara (Garin Nugroho) menjadi
menarik untuk diteliti. Kedekatan isi cerita dengan realita kehidupan remaja saat
ini yang memang rentan terhadap hal-hal negatif seperti masuk dalam kelompok
fundamental, menjadikan film ini penting sebagai sarana pendidikan karakter.
Tentu akan terdapat pemaknaan yang beragam dari khalayak film ini, untuk itulah
penelitian ini akan menganalisis bagaimana pembentukan identitas remaja yang
fluktuatif terbentuk dan direpresentasikan dalam film.
Analisis wacana akan digunakan sebagai pisau untuk membuka pesan film
ini. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita,
tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. (Eriyanto, 2011: xv). Alex Sobur
(2001 :48) menjelaskan bahwa analisis wacana merupakan studi mengenai
struktur pesan dalam komunikasi. Analisis wacana adalah telaah mengenai aneka
fungsi (pragmatik) bahasa.
Oleh karenanya, bahasa tidak dapat dipisahkan dari analisis wacana.
Bahasa adalah suatu sistem kategorisasi, di mana kosakata tertentu dapat dipilih
yang akan menybabkan makna tertentu (Eriyanto, 2011:15). Roger Fowler, dkk
melihat suatu bahasa sebagai sitem klasifikasi yang menggambarkan teks berita.
15
Dan bagaimana bahasa yang dipakai itu membawa konsekuensi tertentu ketika
dibaca khalayak. (Eriyanto, 2011: 166).
Tugas analisis adalah mengkritisi pesan tersembunyi dalam teks bahasa
tersebut. Karena bahasa dalam suatu pesan bukan hanya diterima secara apa
adanya, tetapi ditanggapi sebagai perantara bagi pengungkapan-pengungkapan
maksud-maksud dan makna tertentu. Sehingga dapat dikatakan bahwa wacana
adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek yang
mengemukakan suatu pernyataan. Dengan analisis wacana, peneliti akan melihat
representasi pembentukan identitas diri fluktuatif remaja dalam film Mata
Tertutup dengan menggali pesan yang terkandung didalamnya secara mendalam.
Halliday menjelaskan dalam pemahaman bahasa tersebut terletak pada
kajian teks. Teks di sini tidak berdiri sendiri melainkan terdapat konteks yang
merupakan aspek dari proses yang sama.
“Ada teks dan ada teks lain yang menyertainya: teks yang menyertai teks
itu, adalah konteks. Namun pengertian yang menyertai teks itu meliputi
tidak hanya yang dilisankan dan ditulis, melainkan termasuk pula
kejadian-kejadian yang nirkata (non-verbal) lainnya-keseluruhan
lingkungan teks itu.” (Halliday dan Hasan, 1994: 6)
Di dalama film, setting dan penokohan akan mendukung bagaimana
makna dihasilkan dari teks yang disampaikan. Untuk itulah peneliti akan
mengguanakan analisis wacana dari M. A. K Halliday untuk menganalisis
wacana pembentukan identitas diri fluktuatif remaja yang direpresentasikan dalam
film Mata Tertutup.
16
B. RUMUSAN MASALAH
Beradasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah :
1. Secara Umum
Bagaimana pembentukan identitas diri fluktuatif remaja yang
direpresentasikan dalam film Mata Tertutup?
2. Secara Khusus
a. Bagaimana konsep-diri aku “I” (Ideal Type) yang terjadi
direpresentasikan dalam film Mata Tertutup?
b. Bagaimana konsep-diri saya “Me” (Real Type) yang terjadi
direpresentasikan dalam film Mata Tertutup?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Secara Umum
Untuk menganalisa dan mendskripsikan bagaimana pembentukan
identitas diri fluktuatif remaja yang mengarah pada organisai radikal
yang direpresentasikan dalam film Mata Tertutup.
2. Secara Khusus
a. Untuk menganalisa dan mendskripsikan deskripsi bagaimana
konsep-diri aku “I” (ideal type) yang terjadi direpresentasikan
dalam film Mata Tertutup.
b. Untuk menganalisa dan mendskripsikan deskripsi bagaimana
konsep-diri saya “me” (Real type) yang terjadi direpresentasikan
dalam film Mata Tertutup.
17
D. MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dirumuskan seperti di atas maka
penelitian dihararapkan dapat mengetahui bagaimana pembentukan identitas diri
fluktuatif remaja yang direpresentasikan dalam film Mata Tertutup. Bagaimana
identitas diri remaja muncul dalam konsep diri aku “I” dan saya“Me” ditampilkan
dalam adegan (gestur, mimik) serta dialog-dialog yang muncul dalam film.
Dengan begitu diharapkan pihak terkait baik itu remaja itu sendiri,
keluarga, maupun lingkungan dapat menghindari dan mengatasi faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi pembentukan identitas diri remaja yang negatif.
E. TINJAUAN PUSTAKA
1. Komunikasi sebagai Produksi dan Pertukaran Makna
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal
dari kata latin communis yang berarti “sama”, communico, communication,
atau communicare yang berarti “membuat sama” (to make common) (Mulyan,
2007: 46). Komunikasi akan berlangsung lancar jika terdapat kesamaan
antara bentuk komunikasi yang digunakan dan pesan yang dimaksud.
Berbicara tentang definisi komunikasi, tidak ada definisi yang benar
ataupun yang salah (Mulyana, 2007: 46). Littlejohn (Mulyana, 2007: 63)
menyebutkan setidaknya terdapat tiga pandangan mengenai komunikasi yang
dapat dipertahanakan. Pertama, komunikasi harus terbatas pada pesan yang
secara sengaja diarahkan kepada orang lain dan diterima oleh mereka. Kedua,
komunikasi harus mencakup semua perilaku yang bermakna bagi penerima,
18
apakah disengaja ataupun tidak. Ketiga, komunikasi harus mencakup pesan-
pesan yang dikirimkan secara sengaja namunsengaja ini sulit ditentukan.
Tubbs dan Moss (Mulyana, 2007: 65) mendefinisikan komunikasi
sebagai proses penciptaan makna antara dua orang (komunikator 1 dan
komunikator 2) atau lebih. Harold Lasswel (Mulyana, 2007: 69) menjelaskan
cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab
pertanyaan “Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?”
Dari definisi tersebut dapat diturunkan lima unsur komunikasi yang saling
bergantung satu sama lain, sumber (source), pesan, saluran, penerima
(receiver), dan efek. Kajian dalam studi komunikasi, oleh karenanya sangat
erat kaitannya dengan pesan dan makna.
Terdapat dua mahzab utama dalam studi komunikasi yang sering
digunakan para ilmuwan sebagai landasan pemikirannya. Dua mahzab ini
berdasarkan asumsi bahwa definisi umum tentang komunikasi sebagai
interaksi sosial melalui pesan.
John Fiske (2006: 8-11) dalam bukunya Cultural and Communication
Studies menjelaskan mazhab pertama melihat komunikasi sebagai pesan atau
disebut dengan mazhab “proses”. Bagaimana pengirim dan penerima
mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan
bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi.
Komunikasi dilihat sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi
19
mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain dan demikian
pula sebaliknya. (Fiske, 2006: 8)
Mazhab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran
makna. Dalam mazhab ini komunikasi dilihat berkenaan dengan bagaimana
pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan
makna. Bagi mazhab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan
kebudayaan. (Fiske, 2006: 9)
Berbeda dengan mazhab proses yang melihat ke tahap-tahap dalam
proses komunikasi guna melihat di mana letak kegagalan komunikasinya,
mazhab kedua menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan (signification),
dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti penting dari kegagalan
komunikasi. Hal tersebut mungkin disebabkan dari perbedaan budaya antara
pengirim dan penerima. (Fiske, 2006: 9)
Mazhab proses melihat pesan sebagai sesuatu yang ditransmisikan
melalui proses komunikasi, sedangkan mazhab produksi dan pertukaran
pesan merupakan konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan
penerima, menghasilkan makna.
Pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu
elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya
termasuk realitas eksternal dan produser/pembaca. Memproduksi dan
membaca teks dipandang sebagai proses yang pararel, jika tidak identik,
karena mereka menduduki tempat yang sama dalam hubungan terstruktur ini.
20
Kita bisa menggambarkan model struktur ini sebagai sebuah segitiga dengan
anak panah yang menunjukan interaksi yang konstan; struktur tersebut
tidaklah statis, melainkan suatu praktik yang dinamis.
pesan teks
makna
produser Rreferent
pembaca
Gambar 1: Pesan dan makna (Fiske, 2006: 11)
Dari gambar tersebut terlihat bahwa makna dihasilkan tidak hanya
pesan yang disampaikan dari produser ke pembaca, namun dalam rangka
menghasilkan makna terdapat referent (pihak luar) yang turut mempengaruhi.
Seperti halnya film, membaca maknanya bukan hanya melihat pesan yang
dibawa oleh produser dan dibaca oleh pembaca (penonton). Namun lebih
leluasa dimaknai dengan hadirnya referent (diluar produser dan penonton)
yang mempengaruhi pemaknaan atas teks atau pesan film tersebut.
Penelitian dalam film Mata Tertutup pada akhirnya akan melihat
pesan atau isi teks yang dibawa oleh produser dan dibaca oleh penonton, serta
referensi lain yang turut mempengaruhi pembacaan makna film tersebut.
21
2. Pesan
Pesan merupakan konsep penting yang dipergunakan dalam banyak
ulasan teoritis, praktis, dan empiris tentang komunikasi manusia (Fisher, ...:
364). Agar komunikasi dapat berlangsung, harus terdapat pesan dalam bentuk
tanda (Fiske, 2006: 59). Pace dan Faules menyatakan terdapat dua bentuk
umum tindakan orang yang terlibat komunikasi, yaitu penciptaan pesan dan
penafsiran pesan. Pesan di sini tidak harus berupa kata-kata, namun bisa juga
merupakan pertunjukkan (display), termasuk pakaian, perhiasan, dan hiasan
wajah, atau yang lazimnya disebut pesan nonverbal (Mulyana, 2007:65). Jadi
intrepetasi atas pesan merupakan inti dari komunikasi.
Pesan adalah apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada
penerima yang mewakili seperangkat simbol verbal dan nonverbal yang
mewakili perasaan, nilai, gagasan, atau maksud sumber tadi. (Mulyana,
2007:70)
Clavenger dan Matthews (Fisher, ....:370) menjelaskan pesan
merupakan peristiwa simbolis yang menyatakan suatu penafsiran tentang
kejadian fisik, baik oleh sumber ataupun penerima. Senada, Borden
mengaitkan pesat secara ekplisit dengan perilaku simbolis – perlaku yang
hanya dapat bersifat simbolis jika penafsiran pada perilaku itu terjadi dalam
pikiran sumber atau penerima.
Pesan memiliki tiga komponen yaitu makna, simbol yang digunakan
untuk menyampaikan makna, dan bentuk organisasi pesan. Simbol terpenting
adalah kata-kata (bahasa), yang dapat merepresantasikan objek (benda),
22
gagasan dan perasaan, baik ucapan ataupun tulisan. Pesan juga dapat
dirumuskan secara nonverbal seperti melalui tindakan atau isyarat anggota
tubuh. (Mulyana, 2007: 70)
3. Film sebagai Bentuk Komunikasi Massa
Media komunikasi manusia, terus berkembang seiring dengan
perkembanggan teknologi. Selain itu, tekanan ekonomi, politik, sosial dan
budaya masyarakatnya pun turut mempengaruhi bagaimana media
komunikasi massa terus berubah dan berkembang. Film merupakan salah satu
media massa yang menampilkan gambar dan suara sekaligus.
“Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media
komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas
simenatrogafi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan
video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya...” (UU No. 8
Tahun 1992 tentang PERFILMAN, BAB I, Pasal 1)
Dalam proses pembuatannya, film merupakan rangkaian kolaboratif
dari berbagai pihak seperti produser, sutradara, penulis skenario, penata
fotografi, kameramen, penata suara, aktor/aktris, penyunting gambar, dan
lain-lain. Pada dasarnya, film dibuat untuk ditonton secara massal. Hasil dari
seluruh proses pembuatannya akan ditonton oleh khalayak (audience),
sehingga dapat dikatakan film berhubungan langsung dengan masyarakat
luas. Dennis Mc Quail berpendapat :
“Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk
menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama,
lawak, dan sajian tekhnis lainnya kepada masyarakat umum.” (Mc
Quail, 1996 :13)
Selain itu, film juga berperan sebagai propaganda. Seperti yang
diungkapkan Dennis Mc Quail bahwa film mempunyai jangkauan, realisme
23
pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat. Namun yang paling utama
adalah adanya pesan yang ingin disampaikan.
Film merupakan bahasa gambar. Film menyampaikan ceritanya
melalui serangkaian gambar yang bergerak, dari satu adegan ke adegan lain,
dari satu emosi ke emosi lain, dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Sebagai
salah satu bentuk media massa, film merupakan transfer informasi dari
pembuat film denga khalayak yang akan menjadi penontonnya. Film
menyampaikan ide dan gagasan dari pembuatnya melalui adegan dan bahasa
yang dirangkai dengan bentuk simbol dan tanda yang membawa pesan
tertentu.
Film merupakan salah satu media komunikasi yang sangat efektif
menyampaikan pesan karena sifat audio-visualnya. Ron Mottram
mengemukakan bahwa film adalah salah satu media yang sangat komunikatif.
“... film merupakan bagian penting dari sistem yang digunakan oleh
para individu dan kleompok untuk mengirim dan menerima pesan
(send and receive messages). (Subandi, 2007 : 172)
Melalui film kita dapat mengekspresikan seni dan kreativitas sekaligus
mengkomunikasikan nilai-nilai ataupun kebudayaan dari berbagai kondisi
masyarakat. Film menyajikan gambar dengan narasi yang mengandung
“pesan moral” sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Menurut Ron Mottram
(Idy Subandy A, 2007) mengatakan bahwa sebagai komunikasi
(communication), film merupakan bagian penting dari sistem yang digunakan
oleh para individu dan kelompok untuk mengirim dan menerima pesan (send
and receive messages).
24
Sepakat dengan Ron Mottram, J. Lotman yang dikutip oleh Idy
Subandi mengungkapkan, “the most powerful function of film is the
communicative.” (fungsi yang paling kuat dari film adalah komunikatif).
Sebuah film, dengan segala kekurangan dan keterbatasannya adalah
sebuah cermin diri bagi pembuat maupun penontonnya. Bagaimana
perkembangan kebudayaan dari sebuah masyarakat dapat disaksikan dalam
film-film yang diproduksi sesuai eranya. Menurut seorang pustakawan
Universitas Indonesia Kalarensi Naibaho, film merupakan bukti eksistensi
sebuah budaya. Sama seperti buku yang memiliki masa dan pembacanya,
maka film pun memiliki jaman dan pemirsanya.
“Film juga merupakan dokumen sosial, karena melalui film masyarakat
dapat melihat secara nyata apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat
tertentu pada masa tertentu. Melalui film kita tidak hanya dapat melihat gaya
bahasa atau mode pakaian masyarakat, tapi juga dapat menyimak bagaimana
pola pikir dan tatanan sosial masyarakat pada era tertentu.”
(http://staff.blog.ui.ac.id/clara/2011/01/06/film-aset-budaya-bangsa-yang-
harus-dilestarikan/ diakses tanggal 9 Desember 2012)
Karena kelebihan yang mampu menghadirkan suatu peristiwa ke
depan khalayak itulah, maka tentu tidak sembarangan peristiwa yang
disajikan dalam sebuah film. Ideologi yang diusung oleh produsen film
tentulah merupakan pesan yang dianggap penting sehingga layak dikonsumsi
masyarakat. Dengan wacana-wacana yang diangkat dalam sebuah film,
diharapkan dapat mempengaruhi masyarakat luas.
4. Film sebagai Wacana
Wacana menurut Teun A. Van Dijk tidak hanya melihat struktur teks
semata, tapi juga bagaimana teks itu diproduksi. (Eriyanto, 2011: 221). Proses
25
produksi tersebut melihat bagaimana struktur sosial dominasi, kelompok
kekuasaan dan bagaiaman kognisi dibentuk dan berpengaruh terhadap teks
tertentu.
Guy Cook menyebutkan, setidaknya ada tiga hal yang lekat dengan
wacana: teks, konteks dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan
hanya katakata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis
ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan
sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi yang berada di luar teks dan
mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi
dimana teks tersebut direproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya.
Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama.
(Eriyanto, 2011: 9)
Penelitian mengenai wacana tidak bisa mengeksklusi seakan-akan teks
adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah bagian kecil dari struktur
besar masyarakat. Pendekatan yang dikenal dengan kognisi sosial ini
membantu memetakan bagaimana produksi teks yang melibatkan proses yang
kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan. (Eriyanto, 2011 : 222).
Menurut Halliday, wacana tidak hanya terbatas pada bahasa yang
tertulis atau terungkap, namun juga tindakan dan lingkungan sosial yang
melingkupi terjadinya bahasa. Halliday tidak melihat bahwa bahasa hanya
sebagai kumpulan aturan dan label untuk tata bahasa. Namun bahasa sebagai
sumber daya sebagai wujud interaksi dan memaknai lingkungan dan diri kita
sendiri. (Derewinka, 2012: 129)
26
Film oleh karenanya merupakan salah satu bentuk wacana, dimana
didalamnya terdapat bahasa dalam bentuk verbal maupun non verbal. Film
juga bukan berarti hanyalah sebuah media komunikasi yang bisa dipahami
hanya dari segi tekstualnya melainkan film juga sebagai sarana perdebatan
yang lebih luas mengenai representasi proses sosial yang telah menghasilkan
gambar, suara, tanda dan tujuan untuk sesuatu (dalam wacana ini yang
disebut dengan konteks). Film merupakan produk budaya dan wujud praktek
sosial, nilai yang terkandung dari sebuah film dapat memberitahu kita tentang
sistem dan proses sebuah budaya. (Turner, 1993 : 41)
5. Kelompok
Pembentukan kelompok terjadi melalui proses sosial dan sosialisasi.
Proses sosial merupakan merupakan proses awal dimana para individu dalam
satu masyarakat akan menyesuaikan diri satu sama lain. Proses sosial
merupakan suatu proses, yang berarti bahwa ia merupakan suau gejala
perbahan, gejala penyesuaian diri, gejala pembentukan. (Susanto, 1983 : 12)
Proses sosial itulah cikal bakal terbentuknya sebuah kelompok
sehingga akan terjadi proses sosialisasi. Charlotte Buehler menjelaskan :
“Sosialisasi ialah proses yang membantu individu melalui belajar dan
menyesuaikan diri, bagaimana cara hisup dan bagaimana cara berfikir
kelompoknya, agar supaya dapat berperan dan berfungsi dalam
kelompoknya. (Susanto, 1983 : 12)
Melalui sebuah proses sosial, sebuah kelompok terbentuk melalui
interaksi sosial orang-orang dimana didalamnya akan terjadi komunikasi dan
kontak sosial. Kenyataan bahwa manusia tidak dapat menyelesaikan atau
mencapai tujuannya sendiri, maka manusia bergabung dalam sebuah
27
kelompok yang setujuan. Bierens dan Haan (Susanto, 1983 : 37) menjelaskan
bahwa suatu kelompok memperoleh bentuknya dari kesadaran dan
keterikatan pada anggota-anggotanya.
Menurut Cartwright & Zander, 1971, kelompok adalah suatu kolektif
yang terdiri atas berbagai organisme dimana eksistensi semua anggota sangat
penting untuk memuaskan berbagai kebutuhan individu. Artinya, kelompok
merupakan suatu alat untuk mendapatkan berbagai kebutuhan individu.
Individu menjadi milik kelompok karena mereka mendapatkan berbagai
kepuasan sebaik mungkin melalui organisasi yang tidak dengan mudah
mereka dapatkan melalui cara lainnya.
(http://upzzpu.wordpress.com/2011/04/03/kelompok-dan-identitas/ diakses
tanggal 17 November 2012)
Sebuah kelompok akan membentuk individu-individu untuk mencapai
tujuan kelompoknya. Secara psikologik manusia akan masuk dalam golongan
ata kelompok tertentu sebagai tempat untuk “berlindung” dan merasa aman
(Susanto, 1983 : 37). Anderson dan Parker (Susanto, 1983 : 37) menekankan
bahwa kelompok adalah kesatuan dua atau lebih individu, yang mengalami
interaksi psikologik satu sama lain.
Susanto menarik kesimpulan bahwa pembentukan kelompok
didasarkan adanya (Susanto, 1983 : 39)
a. Keyakinan bersama akan perlunya pengelompokan dan tujuan
b. Harapan yang dihayati oleh anggota-anggota kelompok
28
c. Ideologi yang mengikat semua anggota.
Teori kelompok dari Lasswell dan Kaplan serta Friedrich membagi
kelompok berdasarkan kepentingan individu. Mereka mengklasifikasikan
kelompok dalam 3 golongan, yaitu (Susanto, 1983 : 56)
a. Kelompok kepentingan (interset group); kelompok yang hanya
menitikberatkan relasi dari tujuan bersama tanpa mempermasalahkan
loyalitas kelompok.
b. Kelompok kepentingan khusus (special interest group); menitikberatkan
kepentingan kelompoknya sedemikian rupa, sehingga dapat
mengorbankan kepentingan masyarakat luas, demi realisasi kepentingan
kelompoknya.
c. Kelompok kepentingan umum (general interest group); kelompok-
kelompok yang berusaha untuk mewujudkan kepentingan kelompoknya,
mellaui dan bersama dengan realisasi tujuan dan kepentingan kelompok-
kelompok lain atau masyarakat luas.
Sedangkan Anderson dan Parker mengklasifiksikan kelompok menjadi :
(Susanto, 1983 : 31)
a. Kesatuan ekologi; merupakan suatu ikatan “kebetulan”, yaitu karena
merupakan hasil penghimpunan dari orang-orang yang menempati suatu
daerah tertent, dalam jangka waktu yang lama dan karenanya mengalami
integrasi sebagai akibat dari hbngan ekonomi dan sosial.
b. Kelompok berdasarkan dorongan naluriah manusia; merupakan ikatan
dari dua orang atau lebih yang bertem dalam lingkungan yang sama atau
29
berhasil mengatasi hambatan jarak georgrafis sehingga terjadi komunikasi
dan saling mempengaruhi satu sama lain.
c. Lembaga-lembaga masyarakat; merupakan alat untuk memungkinkan
suatu masyarakat menacapai tujuan-tujuan tertentu.
d. Organisasi; merupakan kesatan-kesatan manusia yang telah diaur secara
sistematik dalam usaha mencapai tujan tertentu, dalam setiap unit anggota
mempunyai tugas-tugas tertentu, yang telah ditentukan terlebih dahulu
secara resmi.
e. Himpunan; sekumpulan jumlah manusia yang untuk sementara waktu
mempunyai perhatian terhadap satu masalah tertentu dimana menjadi
rangsanagn bagi terbentuknya sebuah himpunan.
Dalam komunikasi, pembentukan sebuah kelompok tidak terlepas dari
interaksi orang-orang didalmnya yang secara sadar maupun tidak selalu
melakukan interaksi. Rogers dan Rogers (Effendy, 2003 : 114) memandang
organisasi sebagai suatu struktur yang melangsungkan proses pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan diamana operasi dan interaksi diantara bagian
yang satu dengan yang lainnya dan manusia yang satu dengan yang lainnya
berjalan secara harmonis, dinamis, dan pasti.
Bentuk komunikasi apa yang berlangsung dalam organisasi, metode
dan teknik apa yang digunakan, media apa yang dipakai, bagaimana
prosesnya, faktor-faktor apa yang menjadi penghambat merupakan atribut
yang ada untuk keberlangsungan sebuah organisasi. Dengan menekankan
bahwa organisasi adalah sekumpulan orang-orang dengan tujuan yang sama
30
melakukan komunikasi dan berinteraksi sat sama lain dengan memainkan
perannya masing-masing dalam rangka mencapai tujuan bersama.
6. Identitas Kelompok
Identitas kelompok tidak bisa dilepaskan dari tujuan kelompok sehingga
mempengaruhi tingkah laku orang-orang dalam kelompok tersebut. Tingkah
laku orang-orang tersebutlah yang menjadikan adanya tingkah laku
kelompok. Terdapat dua teori yang menjelaskna tentang teori kelompok.
Pertama kelompok tidak lain adalah sekumpulan individu dan tingkah laku
kelompok adalah gabngan dari tingkah laku-tingkah laku individu secara
bersama-sama. (Sarwono, 2009 : 208)
Gustave Le Bon (Sarwono, 2009 : 209) menjelaskan teori tingkah laku
kelompok yang kedua bahwa bila dua orang atau lebih berkumpl di suatu
tempat tertentu, mereka akan menampilkan perilaku yang sama sekali
berbeda daripada ciri-ciri tingkah laku individu-individ itu masing-masing.
Le Bon menyebutnya dengan istilah “Jiwa Kelompok”. Orang dalam
kelompok akan bertindak berbeda dari ia sebagai individu. Sebagai anggota
kelompok seseorang dapat saja melakukan hal-hal luar biasa yang tidak
pernah dilakukannya kalau dia sedang berada sendirian.
Sedangkan Kurt Lewin (Sarwono, 2009 :210) menyatakan bahwa
perilaku kelompok tidak dapat dipisahkan dari perilaku individu. Keduanya
akan saling pengaruh memengaruhi.
“Perasaan kebersamaan dalam kelompok menyebabkan terjadinya
intensifikasi beberapa tingkah laku khususnya tingkah laku yang
31
mendapat dukungan atau simpati dari orang lain. saling memengaruhi
dalam kelompok ini yang disebut situasi sosial, dan situasi sosial
inilah yang memengaruhi individu.”
Dari kaca sosiologi, Blumer mengistilahkan kehidupan kelompok
adalah kompleks aktivitas tanpa henti.
“Masyarakat tidak tersusun dari pameran tindakan yang saling
terisolasi. Namun juga ada tindakan kolektif yang memerlukan
penyesuaian tindakan masing-masing individual menjadi sebuah garis
tindakan...masing-masing aktor saling memberi tanda sat sama lain,
tidak hanya kepada diri sendiri.” (Ritzer dan Goodman, 2007 : 307)
7. Identitas Diri
Menurut Erikson yang dikutip oleh Valentini dan Nisfiannoor dalam
Jurnal Provitae Vol 2 No 1, Identitas adalah
“suatu perasaan tentang menjadi seseorang yang sama, perasaan
tersebut melibatkan sensasi fisik dari tubh, body image, memori,
tujuan, nilai-nilai, dan pengalaman yang dimiliki seseorang, suatu
perasaan yang berhubngan dengan rasa keunikan dan kemandirian.”
(Valentini dan Nisfiannoor, 2006 : 3)
Meminjam istilah Burke (Aloliliweri, ... : 32), identitas diartikan
sebagai self-meaning, dimana sesorang menampilkan identitas dengan
memberikan makna diri dalam relasinya dengan sesama manusia. Konsep
identitas selalu berhubungan dengan peran terhadap sebuah posisi atau
kebudayaan. Peran dalam definisi identitas oleh Corsini juga dapat
didefinisikan sebagai peran sosial seseorang serta persepsi seseorang terhadap
perannya tersebut. (Valentini dan Nisfiannoor, 2006 : 4)
Identitas diri seseorang bukan hanya apa yang dilakukan atas dirinya
sendiri melainkan juga identitas yang dilakukan dan diterima atas sebuah
lingkungan atau masyarakat dan kelompok. Identitas diri merujuk tidak hanya
32
selalu pada hal positif, namun bisa dalam bentuk identitas negatif, tergantung
pembentuknya. Menurut Mardi J. Horowitz dalam Self-Identity Theory and
Research Methods, menyebutkan bahwa:
The word identity itself refers to continuity in a sense of self within a
person, and the word also refers to how that person is socially
regarded. The cultures in question may say whether that regard is
positive or negative, making the person feel pride or shame. An
approach that can describe identity conflicts may be valuable in
contemporary cultural studies. The reason is that continuity is not as
traditional as it once was because change is rampant. An individual’s
roles are now subject to a high degree of plasticity because of the
modern high rate of alterations in economy, belonging, and ecology.
Cultures clash socially, and within the individual mind. (Horowitz,
Mardi J. 2012. Self-Identity Theory and Research Methods. Journal of
Research Practice Volume 8, Issue 2, Article M14)
Pencarian identitas diri terjadi ketika manusia berada pada tahap
remaja. Erikson (Valentini dan Nisfiannoor, 2006 : 4) mengistilahkannya
sebagai psychological morotarium dimana pada masa ini remaja memiliki
komitmen. Komitmen inilah yang akan mengarahkan pada hal-hal yang
dipilih serta keyakinan dan kepercayaan yang dipilih seseorang.
“Komitmen ini dapat meliputi hal-hal ideologis maupun hal-hal yang
bersifat pribadi. Kemampuan remaja untuk setia pada komitmen
mereka mempengaruhi kemampuan mereka untuk menyelesaikan
krisis identitas.” (Valentini dan Nisfiannoor, 2006 : 4)
Berdasarkan beberapa pengertian identitas diri di atas, dapat disimpulkan
bahwa identitas diri merupakan sebuah terminologi yang cukup luas yang
dipakai seseorang untuk menjelaskan siapakah dirinya. Identitas diri dapat berisi
atribut fisik, keanggotaan dalam suatu komunitas, keyakinan, tujuan, harapan,
prinsip moral atau gaya sosial.
33
8. Konsep Diri
Perilaku dan tindakan sesorang merupakan ekpresi dari keinginan-
keinginan yang terdapat dalam diri sesorang dimana manusia adalah makhluk
individual maupun makhluk sosial. Mead memandang tindakan sebagai “unit
primitif” dan mengidentifikasi empat basis dan tahapan tindakan yang saling
berhubungan (Ritzer dan Goodman, 2007 : 273)
a. Impuls; tahap pertama yaitu dorongan hati/impuls yang meliputi
stimulasi/rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat indera dan
reaksi aktor terhadap rangsangan, kebuthan untuk melakukan sesuatu
terhadapa rangsangan tersebt.
b. Persepsi; aktor menyelidiki dan bereaksi terhadap rangsangan yang
berhubungan dengan impuls dan berbagai alat yang tersedia ntuk
memuaskannya.
c. Manipulasi; setelah impuls menyatakan dirinya sendiri dan objek telah
dipahami, langkah selanjutnya adalah memanipulasi objek atau
mengambil tindakan berkenaan dengan objek itu.
d. Konsumsi; tahap pelaksanaan/ konsumsi atau mengambil tindakan yang
memuaskan dorongan hati yang sebenarnya.
Tindakan yang dilakukan seseorang itulah yang akan menimbulkan
rangsangan bagi tindakan orang lain. Orang-orang saling memberikan isyarat
yang akan mendapatkan umpan balik dari orang lain. Isyarat yang dimaksud
baik berupa gesture maupun bahasa tekstual maupun simbol-simbol. Isyarat
34
akan menjadi simbol signifikan dimana simbol dari pengirim dan penerima
simbol mempunyai persepsi yang sama.
Konsep diri adalah pandangan kita mengenai siapa diri kita, dan itu
hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada
kita. Manusia yang tidak pernah berkomunikasi dengan orang lain tidak
mungkin menyadari kenyataan bahwa dirinya adalah manusia. (Mulyana,
2007: 8)
George Herbert Mead (Mulyana, 2007: 11) mengatakan setiap
manusia mengembangkan konsep dirinya melalui interaksi dengan orang lain
dalam masyarakat – dan itu dilakukan lewat komunikasi.
Konsep diri terikat rumit dengan definisi yang diberikan orang lain
kepada kita sehingga akan terjadi kesulitan memisahkan siapa kita dan siapa
kita menurut orang lain. Namun meski demikian, kita tidak pernah secara
total memenuhi pengharapan orang lain tersebut. Akan tetapi kita berupaya
berinteraksi dengan mereka, pengharapan, kesan, dan citra mereka tentang
kita akan sangat mempengaruhi konsep diri kita, perilaku kita, dan apa yang
kita inginkan. (Mulyana, 2007:10)
Dalam teori interaksionisme simbolik Mead menekankan pada tiga
hal yaitu Mind, Self, and Society yang diturunkan menjadi judul buku
karyanya. Menurut Mead (Ritzer dan Goodman, 2007 : 280) mind,
didefinisiskan sebagai percakapan seseorang dengan dirinya sendiri. Diri
adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagi objek maupun subjek
35
dimana di sini terjadi proses sosial yaitu adanya komunikasi antar manusia.
Society mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih
oleh individu dalam bentuk aku “me”.
Mead (Ritzer and Goodman, 2007 : 285) menjelaskan terdapat dua
fase diri dalam manusia yaitu “I” dan “me”. “I” adalah tanggapan spontan
individu terhadap individu lain. “I” merupakan tindakan yang terdorong oleh
diri kita sendiri, bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Sedangkan “me”
adalah apa yang kita lakukan sesuai dengan apa yang orang lain harapkan.
“Ke-aku-an “I” bereaksi terhadap “me” yang mengorganisir
sekumpulan sikap orang lain yang ia ambil menjadi sikapnya sendiri.
Dengan kata lain “me” adalah penerimaan atas orang lain yang
degeneralisir.” (Ritzer and Goodman, 2007 : 286)
Pada tingkat kelompok, ke-aku-an “me” meskipun tidak sepenuhnya
hilang, akan lebih menonjol karena sifat “I” akan lebih banyak tertutup oleh
apa sikap yang diharapkan dalam kelompok. Menurut Mead (Ritzer and
Goodman, 2007 : 287) masyarakat atau kelompok mencerminkan
sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam
bentu aku “me”.
F. KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini bermula dari adanya film Mata
Tertutup karya Sutradara Garin Nugroho. Peneliti akan melihat pembentukan
identitas diri remaja dalam film tersebut. Setelah melihat film Mata Tertutup
secara keseluruhan, penulis melihat pembentukan identitas diri terjadi dalam
konsep-diri saya “I” dan aku “me”. Pembentukan identitas diri tersebut tentu tidak
36
lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk itu, selanjutnya peneliti
akan menganalisis sesuai dengan teori yang relevan untuk menghasilkan makna
dalam pesan.
G. KONSEP
1. Pembentukan Identitas Diri Remaja
Pembentukan identitas remaja merupakan fase dimana remaja
mencari makna diri dalam relasinya dengan sesama manusia. Pada fase ini
remaja mencari keyakinan dan kepercayaan dan selanjutnya akan
mempengaruhi peran yang dilakoninya dala masyarakat
2. Film
Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media
komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas
simenatrogafi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan
Film
Mata Tertutup
Potret pembentukan
identitas diri remaja
dalam film
Kosep-diri
Bagaimana
konsep-diri
Saya“Me”
terjadi
(Real Type)
Analisis
Wacana
Bagaimana
konsep-diri
Aku “I” terjadi
(Ideal Type)
37
video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya. (UU No. 8
Tahun 1992 tentang PERFILMAN, BAB I, Pasal 1)
3. Konsep-Diri
Konsep-diri merupakan pandangan diri kita mengenai siapa diri
kita. Siapa diri kita tersebut merupakan tidak bisa terlepas dari cara
pandang orang lain terhadap diri kita yang dilekatkan pada kita. Oelh
karena konsep-diri melihat bagaimana orang berperilaku sebagai dirinya
sendiri dan diri yang berperilaku menurut kehendak orang lain.
Konsep-diri oleh Herbert Mead dijelaskan dalam dua fase yang
saling berhubungan satu sama lain yaitu saya “I” dan aku “me”. “I”
melihat bagaimana diri berperilaku sesuai dirinya sendiri. Sedangkan
“me” melihat bagaimana diri berperilaku menurut kehendak orang lain,
sesuai apa yang dilekatkan orang lain pada diri kita.
4. Analisis Wacana
Analisis wacana adalah suatu analisis yang memfokuskan dalam
meneliti pesan yang tersembunyi dalam suatu teks. Analisis ini akan
menyingkap pesan yang implisit terdapat dalam teks sehingga
menghasilkan makna.
38
H. METODE PENELITIAN
Metode penelitian dipergunakan peneliti guna memberikan kerangka
kerja dalam memahami objek yang akan menjadi sasaran ilmu pengetahuan.
Dalam penelitian ini metode yang digunakan ditunjukkan untuk melihat pesan
yang dibawa oleh film terkait dengan wacana pembentukan identitas diri remaja.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan
metode analisis wacana. Penelitian kualitatif merujuk pada prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskripsi, apa yang ditylis dan dikatakan oleh orang lain
dan tingkah laku yang diamati.
Menurut Pawito, penelitian komunikasi kualitatif biasanya tidak
dimaksudkan untuk memeberikan penjelasan-penjelasan (explanations),
mengontrol gejala0gejala komunikasi atau mengemukakan prediksi-prediksi tetapi
lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman
(understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas
komunikasi terjadi. (Pawito, 2007 : 35)
2. Obyek Penelitian
Dalam penelitian ini yang mejadi objek penelitian adalah adegan-adegan
dalam film “Mata Tertutup” yang mewacanakan pembentukan identitas diri
remaja. Film ini merupakan produksi Maarif Institute dan Yayasan SET dengan
sutradara Garin Nugroho.
39
3. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu :
a. Sumber data primer
Data primer yang digunakan diambil dari cuplikan-cuplikan gambar
yang ada dalam film Mata Tertutup. Adegan-adegan dalam film dipilih secara
selektif disesuaikan dengan teori yang digunakan penulis dalam penelitian.
Pemilihan adegan tersebut dilakukan dengan purposive sampling sesuai
masalah yang diteliti sehingga didapatkan data yang sesuai serta bersifat
mendalam.
b. Sumber data sekunder
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan data sekunder yaitu buku,
artikel, jurnal, dan data dari situs internet.
4. Teknik Sampling
Penelitian dilakukan dengan mengambil cuplikan adegan secara selektif
disesuaikan dengan konsep teoritis yang dipakai. Sebagaimana yang diungkapkan
Pawito dalam Penelitian Komunikasi Kualitatif, teknik penetuan subjek penelitian
komunikasi kualitatif berbeda dengan kuantitafif, dimana kualitatif lebih
mendasarkan diri pada alasan atau pertimbangan-pertimbangan tertentu
(purposeful selection) sesuai dengan tujuan penelitian (Pawito, 2007: 88). Oleh
karena itu, sifat metode penarikan subjek dari penelitian kualitatif adaalah
purposive sampling. Sehingga didapatkan substansi keterwakilan data dan
informasi. Kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis wacana Halliday.
40
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
mengumpulkan scene yang secara dominan menampilkan pembentukan identitas
diri fluktuatif remaja pada film Mata Tertutup. Kemudian dianalisis dengan
menggunakan analisis wacana Halliday dengan memeperhatiakan aspek audio-
visual dalam film. Peneliti juga melakukan studi literatur, dari berbagai sumber
untuk mengetahui persoalan dalam film secara lebih mendalam untuk kemudian
dianalisis.
6. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana sebagai pendekatan
analisis. Littlejohn berpendapat,
“Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat
dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian
kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih
kompleks dan inheren yang disebut wacana. (Sobur, 2001 : 48)
Alex Sobur dalam bukunya Analisis Teks Media menjelaskan bahwa
analisis wacana merupakan telaah mengenai sebuah teks.
“Analisis wacana merupakan studi mengenai struktur pesan dalam
komunikasi. Analisis wacana adalah telaah mengenai aneka fungsi
(pragmatik) bahasa. (Sobur, 2001 :48)
Analisis wacana tidak hanya semata-mata melihat bahasa yang
digunakan dalam sebuah media, melainkan pesan dan isi dari bahasa tersebut.
“Kalau analisis kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan “apa”
(what), analisis wacana lebih melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan
atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya
mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu
disampaikan.” (Eriyanto, 2011 : xv )
41
Menurut Syamsuddin dari segi analisisnya, ciri dan sifat wacana dapat
dikemukakan sebagai berikut : (Sobur, 2001 : 49)
a. Analisis wacana membahas kaidah memakai bahasa di dalam masyarakat (rule
of use – menurut Widdowson)
b. Analisis wacana merupakan usaha memahami makna tuturan dalam konteks,
teks, dan situasi (Firth)
c. Analisis wacana merupakan pemahaman rangkaian tutura melalui intrepetasi
semantik (Beller)
d. Analisis wacana berkaitan dengan pemahaman bahasa dalam tindak berbahasa
(what is said from what is done – menurut Labov)
e. Analisis wacana diarahkan kepada masalah memakai bahasa secara fungsional
(functional use of language – menurut Coulthard)
Pada penelitian ini penulis menggunakan model analisis wacana dari
Halliday. Halliday menyatakan bahwa wacana dalam pengertian Linguistik
Sistemik Fungsional adalah bahasa (baik lisan maupun tulis) yang sedang
melakukan pekerjaan di dalam suatu konteks situasi dan konteks kultural
(Santosa, 2010 : 1). Dalam bahasa sederhana, Halliday menjelaskan bahwa
wacana memusatkan perhatian pada ilmu bahasa yang disebut teks, tetapi selalu
dengan tekanan pada situasinya sebagai konteksnya tempat naskah itu terbentang
dan harus ditafsirkan (Halliday dan Hasan, 1994 : 6).
Pendapat Malinowski (Halliday dan Hasan, 1994 : 8) pun senada bahwa
teks tidak dapat terlepas dari konteks situasi maupun kulturalnya agar dapat
42
dipahami sebaik-baiknya. Konteks situasi merupakan lingkungan langsung yang
berada dalam penggunaan bahasa. Menurut Halliday terdapat tiga pokok bahasan
dalam konteks situasi, yakni (Santosa, 2010 : 2) :
1. Medan Wacana (Field)
Merujuk pada suatu kejadian dengan lingkungannya, yang sering
diekspresikan dengan apa yang terjadi, kapan, di mana, bagaimana
terjadinya sebuah kejadian.
2. Pelibat Wacana (Tenor)
Merupakan tipe partisipan yang terlibat dalam kejadian tersebut, status dan
peran sosial yang dilakukan oleh partisipan tersebut.
3. Sarana (Mode)
Meliputi dua sub aspek, yakni saluran (channel) merupakan gaya bahasa
yang digunakan untuk mengekspresikan kejadian tersebut (lisan atau tulis).
Aspek lainnya yakni medium yang digunakan untuk menyalurkan proses
sosial tersebut.
Dalam analisa wacana lisan seperti dalam percakapan, seminar, atau
debat termasuk juga dalam analisis teks film, model dinamik dalam konteks
situasi lebih banyak digunakan. O’Donnell (Santosa, 2010 : 3) menyatakan hal ini
disebabkan wacana tersebut aspek medan, pelibat, dan sarananya dapat berubah
sepanjang wacana berjalan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wacana
akan berubah jika konteks kultural dan kontes situasinya berubah (Santosa, 2010 :
6)
43
Analisis wacana menurut Halliday ini berbeda dengan analisis wacana
menurut Van Dijk yang melihat bahwa konteks merupakan konstruk metal yang
secara individual menghasilkan intrepetasi yang berbeda terhadap kejadian sosial
yang sedang berjalan. Van Dijk melupakan bahwa konteks situasi meupakan
sistem semiotika sosial yang dibangun melalui hubungan antar partisipan yang
mempunyai status dan peran sosial yang berada di dalamnya. Van Dijk juga
kurang menempatkan medan dan sarana sebagai aspek yang ikut membangun
konfigurasi konstektual tersebut. (Santosa, 2010 : 4)
Halliday menjelaskan suatu wacana (baik lisan maupun tulis), juga
mengandung tiga metafungsi yaitu ideasional, interpersonal, dan tekstual. Ketiga
fungsi tersebut bekerja secara simultan untuk merealisasikan tugas yang diemban
wacana tersebut didalam suatu konteks situasi.
Medan wacana berdekatan dengan metafungsi ideasional
(memperkirakan makna pengalaman). Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa
medan meliputi kejadian dan lingkungannya sementara metafungsi ideasional
mengekpresikan makna pengalaman dan logikal. Pelibat wacana berdekatan
dengan metafungsi interpersonal (memperkirakan makna antar pelibat). Hal
tersebut karena pelibat menggambarkan hubungan peran dan satus partisipan
sementara metafungsi interpersonal menunjukkan ada interaksional dan
transaksional. Selanjutnya, mode wacana berdekatan dengan metafungsi tekstual
(memperkirakan makna tekstual). Hal tersebut karena mode wacana meliputi hal
yang diharapkan oleh para pelibat melalui bahasa dan metafungsi tekstual
merupakan sistem dan makna suatu wacana. (Santosa, 2010 : 5)
44
Dari uraian diatas, maka dalam penelitian ini untuk meneliti bagaiamana
pembentukan identitas fluktuatif remaja diwacanakan dalam Film Mata Tertutup,
peneliti menggunakan wacana Halliday. Hal ini dikarenakan penelitian yang
dilakukan hanya sebatas melihat pada level teks yang menggambarkan
pembentukan identitas fluktuatif remaja.
Model wacana Halliday juga digunakan karena dalam analisisnya,
Halliday membedah interaksi antara teks dan situasi (konteks) yang didasarkan
pada tiga konsep yaitu medan wacana, pelibat wacana dan mode wacana yang
selalu berubah sepanjang wacana. Pun demikian dalam Film Mata Tertutup, setiap
scene yang ditampilkan dengan teksnya selalu berganti setting dan
latarbelakangnya sehingga akan menimbulkan fenomena sosial yang berbeda.
Dengan begitu, analisis wacana Halliday yang juga membedah tidak hanya teks
namun juga konteksnya akan membantu peneliti dalam melihat lebih dalam
bagaiamana pembentukan identitas fluktuatif remaja diwacanakan dalam Film
Mata Tertutup.