selasa, 8 maret 2011 | media indonesia jenang yang ... filekanan tradisional kudus ter-buat dari...

1
ANTARA/WIHDAN HIDAYAT ADONAN: Seorang pekerja mengaduk adonan jenang di sebuah rumah pembuatan jenang di Kudus, Jawa Tengah. 9 N USANTARA SELASA, 8 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA Satu abad lamanya mereka menjadi produsen jenang. Berkat konsistensi yang tinggi, mereka sanggup mengangkat ‘status’ penganan hajatan menjadi oleh-oleh tradisi bagi siapa pun yang melancong ke kota di pesisir utara Jawa Tengah tersebut. Jenang yang Melejitkan Jeneng ANTARA/WIHDAN HIDAYAT MENGEMAS: Pekerja mengemas dodol dan jenang, penganan khas Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. MI/FURQON JENANG KUDUS: Gerai penjualan jenang kudus di Jalan Sunan Muria, Kudus, memajang jenang beraneka rasa. FURQON ULYA D ATANG ke Kota San tri Kudus, be- lum komplet kalau belum membawa oleh-oleh jenang. Makanan jenang adalah ma- kanan tradisional Kudus ter- buat dari tepung ketan, santan, gula, dan wijen. Kalau dulu makanan ini menjadi suguhan saat hajatan dan hari besar, sekarang jenang menjadi kenikmatan segala musim. Semua berkat bisnis berumur panjang satu keluarga di Kudus. Satu abad lamanya mere- ka menjadi produsen jenang dan berkat konsistensinya itu sanggup mengangkat ‘status’ penganan hajatan menjadi oleh-oleh tradisi bagi siapa pun yang melancong ke kota di pesisir utara Jawa Tengah terse- but. Akhirnya, juga mengubah status sosial jeneng atau nama keluarga produsen itu sendiri. Pernah dengar Jenang Muba- rok? Nah, inilah kisah sukses- nya seperti dituturkan Muham- mad Hilmy, generasi ketiga dari pemilik jenang Sinar 33, Kudus. Ia mengisahkan pada 1910 keluarganya yang asli Kudus mulanya mencetus pembuatan jenang untuk melayani pesanan lokal. Bisnis ini dimulai Haji Mabruri dan Hajjah Alawiyah dengan modal pas-pasan. Dengan dibantu seorang pe- kerja, mereka mulai merambah penjualan ke Pasar Bubar di dekat Masjid Menara Kudus yang terkenal itu. “Ketika itu, mereka hanya bisa menghasilkan sekitar 35 jenang setiap kali produksi,” kenang Hilmy, saat ditemui di kantornya, PT Mubarokfood Cipta Delicia, Jalan Sunan Mu- ria Nomor 33, Kudus. Namun produksi yang kecil itu lekas menjadi buah bibir. Sebab, rasanya cocok di lidah banyak orang. “Namun sayang, begitu bisnis mulai berkem- bang, Mbah Mabruri mening- gal,” kata Hilmy. Sepeninggal Haji Mabruri, bisnis jenang itu tidak ikut mati, namun diteruskan oleh anak- nya, Ahmad Sohib yang adalah ayah Hilmi. Generasi kedua pembuat jenang ini memberi angin segar bagi bisnis tersebut. Sebab Sohib mulai memberi sedikit sentuhan pengorganisa- sian dan perbaikan manajemen usaha. Bahkan, sudah terpikir juga untuk menegaskan legali- tas hukum produk. Tepatnya 1946, generasi ke- dua mulai memilih merek dagang apa yang mau didaftar- kan. Pilihan pertama yakni HMR, singkatan dari nama generasi pertama yang sekali- gus pendiri, Haji Mabruri. Na- mun pilihan itu gugur sampai diperolehlah merek Sinar 33. Ini diambil dari nomor rumah yang sekaligus menjadi tempat produksi jenang. Kompetisi Memasuki 1975, kompetisi usaha semakin ketat. Bisnis jenang lain yang serupa de- ngan bisnis tersebut mulai menjamur. Dengan bermodal karyawan yang jumlahnya puluhan, Sohib pun mencari terobosan sendiri. Antara lain dengan melakukan diversifi- kasi merek dan menciptakan varian rasa baru bagi jenang. Taktik ini membuahkan hasil, jenang produksi Sinar 33 akhir- nya mengambil alih pasar oleh- oleh di wilayah Jawa Tengah dengan menggunakan berba- gai merek dagang. Sebut saja Mubarok, Viva, dan Mabrur. Sembari menatap foto almar- hum ayahnya yang tergantung di tembok kantor, Hilmy meng- akui bahwa Sohib memang sosok yang visioner. Jangankan soal legalitas merek dagang, soal penerus bisnis ini pun sejak jauh hari Sohib sudah memikirkannya. Di bulan Juli 1992, sebuah musyawarah keluarga untuk memilih penerus perusahaan jenang pun digelar. Dari situ terpilihlah Hilmy sebagai ge- nerasi ketiga bisnis ini, sekali- gus pengganti Sohib. Jurus baru yang ia lakukan ialah menggencarkan ekspansi pasar. Dengan mengusung misi menjadikan jenang Mubarok- food menjadi makanan khas Indonesia berkelas dunia, dia pun menggalang perbaikan produksi, kualitas karyawan, dan strategi pemasaran. Karena ingin mendahulukan kepuasan pelanggan maka pe- ngembangan yang dilakukan- nya pun ialah mengembangkan jaringan pemasaran dengan pelayanan prima. Omzet meningkat Sejak awal didirikan, grak dari bisnis jenang Keluarga Haji Mabruri terus naik. Hilmy enggan menyebutkan berapa angkanya, yang jelas rantai penjualan semakin luas. “Kini sudah ada kerja sama dengan beberapa maskapai penerbangan dan jika di awal generasi ketiga karyawan kita jumlahnya 70, sekarang sudah 162 orang,” kata dia. Laiknya industri maju, per- alatan mesin di rumah pro- duksi jenang keluarga ini pun sudah mulai digunakan untuk menggantikan pekerjaan yang semula dikerjakan dengan ta- ngan. Satu-satunya pekerjaan yang masih menggunakan tangan adalah mengiris jenang dalam potongan-potongan kecil. Se- bab, menurut Hilmy, walaupun sudah didinginkan selama 12 jam, bila diiris dengan mesin, tetap saja jenang akan lengket. Adapun Dada, yang ditemui menjaga gerai Jenang Mubarok menuturkan, bisnis jenang ti- dak ada sepinya. Lelaki yang 14 tahun menjadi penjual ini mengatakan gerai tersebut ra- mai khususnya di hari Sabtu dan Minggu. Beberapa kali juga ia meng- hadapi pembeli yang fanatik, yakni yang menolak membeli apa pun ketika rasa jenang yang diinginkan kosong. Bah- kan, katanya, ada pula yang datang ke gerai memborong jenang Mubarok bukan untuk oleh-oleh. Melainkan bingkisan melamar anak orang. (N-3) furqon @mediaindonesia.com

Upload: doanmien

Post on 07-May-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ANTARA/WIHDAN HIDAYAT

ADONAN: Seorang pekerja mengaduk adonan jenang di sebuah rumah pembuatan jenang di Kudus, Jawa Tengah.

9NUSANTARASELASA, 8 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA

Satu abad lamanya mereka menjadi produsen jenang. Berkat konsistensi yang tinggi, mereka sanggup mengangkat ‘status’ penganan hajatan menjadi oleh-oleh tradisi bagi siapa pun yang melancong ke kota di pesisir utara Jawa Tengah tersebut.

Jenang yang Melejitkan Jeneng

ANTARA/WIHDAN HIDAYAT

MENGEMAS: Pekerja mengemas dodol dan jenang, penganan khas Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

MI/FURQON

JENANG KUDUS: Gerai penjualan jenang kudus di Jalan Sunan Muria, Kudus, memajang jenang beraneka rasa.

FURQON ULYA

DATANG ke Kota San tri Kudus, be-lum komplet kalau belum membawa

oleh-oleh jenang.Makanan jenang adalah ma-

kanan tradisional Kudus ter-buat dari tepung ketan, santan, gula, dan wijen.

Kalau dulu makanan ini men jadi suguhan saat hajatan dan hari besar, sekarang jenang menjadi kenikmatan segala mu sim. Semua berkat bisnis ber umur panjang satu keluarga di Kudus.

Satu abad lamanya mere-ka menjadi produsen jenang dan berkat konsistensinya itu sanggup mengangkat ‘status’ penganan hajatan menjadi oleh-oleh tradisi bagi siapa pun yang melancong ke kota di pesisir utara Jawa Tengah terse-but. Akhirnya, juga mengubah status sosial jeneng atau nama keluarga produsen itu sendiri.

Pernah dengar Jenang Mu ba-rok? Nah, inilah kisah sukses-nya seperti dituturkan Muham-mad Hilmy, generasi ketiga da ri pemilik jenang Sinar 33, Kudus.

Ia mengisahkan pada 1910 keluarganya yang asli Kudus mulanya mencetus pembuatan jenang untuk melayani pesanan lokal. Bisnis ini dimulai Haji Mabruri dan Hajjah Alawiyah dengan modal pas-pasan.

Dengan dibantu seorang pe-kerja, mereka mulai merambah penjualan ke Pasar Bubar di dekat Masjid Menara Kudus yang terkenal itu.

“Ketika itu, mereka hanya bisa menghasilkan sekitar 35 jenang setiap kali produksi,” kenang Hilmy, saat ditemui di kantornya, PT Mubarokfood Cipta Delicia, Jalan Sunan Mu-ria Nomor 33, Kudus.

Namun produksi yang kecil itu lekas menjadi buah bibir. Sebab, rasanya cocok di lidah banyak orang. “Namun sayang, begitu bisnis mulai berkem-bang, Mbah Mabruri mening-gal,” kata Hilmy.

Sepeninggal Haji Mabruri, bisnis jenang itu tidak ikut ma ti, namun diteruskan oleh anak-nya, Ahmad Sohib yang adalah ayah Hilmi. Generasi kedua pembuat jenang ini memberi angin segar bagi bisnis tersebut. Sebab Sohib mulai memberi sedikit sentuhan pengorganisa-sian dan perbaikan manajemen usaha. Bahkan, sudah terpikir juga untuk menegaskan legali-

tas hukum produk.Tepatnya 1946, generasi ke-

dua mulai memilih merek da gang apa yang mau didaftar-kan. Pilihan pertama yakni HMR, singkatan dari nama ge nerasi pertama yang sekali-gus pendiri, Haji Mabruri. Na-mun pilihan itu gugur sampai diperolehlah merek Sinar 33. Ini diambil dari nomor rumah yang sekaligus menjadi tempat produksi jenang.

KompetisiMemasuki 1975, kompetisi

usaha semakin ketat. Bisnis jenang lain yang serupa de-ngan bisnis tersebut mulai menjamur. Dengan bermodal karyawan yang jumlahnya puluhan, Sohib pun mencari terobosan sendiri. Antara lain dengan melakukan diversifi-ka si merek dan menciptakan varian rasa baru bagi jenang.

Taktik ini membuahkan hasil, jenang produksi Sinar 33 akhir-nya mengambil alih pasar oleh-oleh di wilayah Jawa Tengah dengan menggunakan berba-gai merek dagang. Sebut saja Mubarok, Viva, dan Mabrur.

Sembari menatap foto almar-hum ayahnya yang tergantung di tembok kantor, Hilmy meng-akui bahwa Sohib memang sosok yang visioner. Jangankan

soal legalitas merek dagang, soal penerus bisnis ini pun sejak jauh hari Sohib sudah memikirkannya.

Di bulan Juli 1992, sebuah musyawarah keluarga untuk memilih penerus perusahaan jenang pun digelar. Dari situ terpilihlah Hilmy sebagai ge-nerasi ketiga bisnis ini, sekali-gus pengganti Sohib.

Jurus baru yang ia lakukan ialah menggencarkan ekspansi pasar. Dengan mengusung misi menjadikan jenang Mubarok-food menjadi makanan khas Indonesia berkelas dunia, dia pun menggalang perbaikan produksi, kualitas karyawan, dan strategi pemasaran.

Karena ingin mendahulukan kepuasan pelanggan maka pe-ngembangan yang dilakukan-nya pun ialah mengembangkan jaringan pemasaran dengan pe layanan prima.

Omzet meningkatSejak awal didirikan, grafi k

dari bisnis jenang Keluarga Haji Mabruri terus naik. Hilmy enggan menyebutkan berapa angkanya, yang jelas rantai pen jualan semakin luas.

“Kini sudah ada kerja sama dengan beberapa maskapai penerbangan dan jika di awal generasi ketiga karyawan kita

jumlahnya 70, sekarang sudah 162 orang,” kata dia.

Laiknya industri maju, per-alatan mesin di rumah pro-duksi jenang keluarga ini pun sudah mulai digunakan untuk menggantikan pekerjaan yang semula dikerjakan dengan ta-ngan.

Satu-satunya pekerjaan yang masih menggunakan tangan adalah mengiris jenang dalam potongan-potongan kecil. Se-bab, menurut Hilmy, walaupun sudah didinginkan selama 12 jam, bila diiris dengan mesin, tetap saja jenang akan lengket.

Adapun Dada, yang ditemui menjaga gerai Jenang Mubarok menuturkan, bisnis jenang ti-dak ada sepinya. Lelaki yang 14 tahun menjadi penjual ini mengatakan gerai tersebut ra-mai khususnya di hari Sabtu dan Minggu.

Beberapa kali juga ia meng-hadapi pembeli yang fanatik, yakni yang menolak membeli apa pun ketika rasa jenang yang diinginkan kosong. Bah-kan, katanya, ada pula yang da tang ke gerai memborong jenang Mubarok bukan untuk oleh-oleh. Melainkan bingkisan melamar anak orang. (N-3)

[email protected]