selasa, 2 mei 2017 utama bibit gerakan radikal masuk ke ...gelora45.com/news/sp_2017050203.pdf ·...

1
[JAKARTA] Paham radikal dan intoleran yang menyusup ke sekolah menengah dan universitas sangat berbahaya. Negara tidak boleh diam karena ada kecenderungan paham yang tidak sesuai dengan Pancasila tersebut masuk tidak hanya ke sekolah swasta melainkan juga seko- lah negeri dan sekolah favorit. Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Mu ha- mmadiyah, Ahmad Syafii Maarif mengaku prihatin dengan marak dan mudahnya kelompok radikal masuk sekolah dan kampus. Buya Syafii, demikian ia biasa disebut, menyatakan, fenomena ini sangat berbaha- ya karena kampus atau seko- lah dijadikan sarang radika- lisme dan menanamkan nilai intoleran. "Dan bukan hanya sekolah dan kampus swasta atau biasa, tetapi juga sekolah negeri dan favorit serta terke- nal," katanya saat dihubungi, Selasa (2/5). Buya Syafii meminta, negara harus segera bertindak dan tidak boleh diam. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta dinas-dinas pendidikan agar memperhatikan sekolah -sekolah di daerah. "Panggil guru-guru atau dosen-dosen- nya, berikan penyadaran tentang pentingnya Pancasila, nilai-nilai toleransi, menghor- mati perbedaan dan etika," katanya. Jika ada guru, dosen, sekolah atau kampus yang dengan sengaja membiarkan adanya kelompok radikal, harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Buya menilai, sekolah atau kampus seharusnya menjadi tempat strategis untuk mencegah berbagai gerakan radikal. Pendidikan Pancasila seharusnya secara masif diajarkan, dinternalisasikan dan diwujudkan dalam peri- laku melalui sekolah dan kampus. Sudah saatnya negara harus tegas dan tidak boleh kalah dengan kelompok-ke- lompok radikal yang mem- bangun dogma sendiri dan mencoba memonopoli kebe- naran. "Kelompok radikal ini berani mati membela teori yang mereka anut. Seperti bertarung dan bergabung dengan gerakan radikal di Suriah, banyak orang Indonesia yang menganut teologi maut itu. Karena itu, negara harus tegas dan berani," katanya. Diperkuat Senada dengan Buya Maarif, mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat meng- anjurkan agar pendidikan Pancasila dan Kewarga- negaraan diperkuat di sekolah dan kampus-kampus. Pemerintah, katanya, harus bisa memastikan bahwa pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan terlaksa- na di sekolah dan kampus negeri. Sekolah dan kampus swasta, kata dia, tetap mengembangkan karakternya masing-masing namun pen- didikan Pancasila dan Kewarganegaraan tetap ada. "Jika ada sekolah atau kampus yang terbukti men- jadi sarang gerakan radikal, maka perlu ditindak secara hukum sesuai dengan aturan yang barlaku," katanya. Menurut Komaruddin, nilai-nilai Pancasila dan kewarganegaraan sangat penting untuk membangun dan membentuk nilai-nilai toleransi dan penghormatan terhadap keberagaman. Siswa dan mahasiswa harus menge- tahui dan memahami bahwa Indonesia dibangun oleh semangat kebangsaan di mana di dalamnya terdapat beragam suku, agama, dan etnis. "Kita sudah memahami di dalam Pancasila, bahwa ketuhanan itu mendorong kemanusiaan, ketuhanan yang mendorong persatuan, ketu- hanan yang mendorong musyawarah mufakat dan ketuhanan yang mendorong kesejahteraan. Nilai-nilai ini perlu diajarkan dan interna- lisasi kepada siswa dan mahasiswa," pungkas dia. Ormas Sedangkan Guru Besar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Universitas Negeri Malang (UM) sekaligus Rektor Universitas Wisnuwardhana (Unidha) Kota Malang, Suko Wijono, justru melihat bahwa membendung radikalisme dan intoleransi di kalangan siswa dan mahasiswa dengan meng- ubah UU tentang Ormas. Penekanannya pada bagai- mana setiap ormas harus berazaskan Pancasila. “Manakala ada kekhasan, silakan, tetapi harus dan wajib menerima Pancasila sebagai Dasar Negara,” ujarnya, Senin (1/5). Pemerintah harus konsis- ten dan tidak ragu-ragu apalagi ambigu menerapkan UU Ormas untuk menganti- sipasi muncul dan berkem- bangnya penyebaran radika- lisme dan intoleransi. Jangan ada pembiaran dan memberikan kesan menunggu. Apalagi jangan sampai muncul kesan senga- ja dibiarkan bak api dalam sekam yang kemudian api radikalisme dan intoleransi berkobar. Sementara itu, di dalam pendidikan nasional, peme- rintah harus mengawasi ketat sekolah dan sekolah menga- wasi guru. “Untuk pendidikan pengu- atan karakter 70% dan penguatan ilmu pengetahuan 30% sebagaimana diharapkan Presiden Jokowi, relatif mudah. Namun, selama ini sepertinya diremehkan,” kata Suko Wijono. Ia mencontohkan, lagu Bagimu Negeribisa diwajib- kan untuk dinyanyikan setiap pulang sekolah. Hal seperti ini kelihatan- nya sepele. Suko meyakini lambat laun syair lagu seper- ti itu akan termaterai di setiap hati sanubari siswa untuk mencintai Tanah Air. Secara terpisah, pengamat pendidikan Darmaningtyas menyebutkan, persoalannya justru bukan pada kurikulum formal. Sekolah-sekolah swasta justru memberikan pemahaman kebangsaan sesuai dengan keyakinan atau pemahaman pendiri atau pemilik sekolah, dan menge- sampingkan nilai cinta tanah air dan kebangsaan itu. Pemahaman pemilik sekolah itu kadang tidak berakar dari kondisi Indonesia yang plu- ralis. Salah satu solusi, katanya, ketegasan dari pemerintah soal pengajaran-pengajaran radikal di sekolah-sekolah. [YUS/ARS/A-15] 3 Suara Pembaruan Selasa, 2 Mei 2017 Utama Bibit Gerakan Radikal Masuk ke Sekolah Negeri Syafii Maarif: Negara Tidak Boleh Diam P elajar cenderung terbuka dan menerima pola pikir radikal keagamaan yang menyusup secara perlahan namun pasti. Salah satunya melalui peng- gunaan bahasa dalam keseharian. Dosen Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Wawan Gunawan menilai, akses pelajar untuk men- jadi radikal sangat terbuka lewat bahasa. Penilaian ini berdasarkan tesisnya bertajuk Wacana Radikalisme pada Kelompok Pelajar Perkotaan: Studi Kasus Kota Bandung. Riset itu dia lakukan pada 2010-2012 saat menempuh gelar master pada program studi religio- us studies di tempatnya mengajar sekarang. Perubahan bahasa itu misal- nya, ulang tahun menjadi milad, kader di dewan kemakmuran mas- jid jadi mujahid dan mujahidah, toilet pria dan perempuan jadi ikhwan dan akhwat. “Kalau buat saya ini bukan sekadar bahasa melainkan ada cara berpikir lain,” ujar Wawan ketika dihubungi SP, Senin (1/5). Wawan melakukan studinya pada siswa SMA, sekolah mene- ngah ekonomi atas, sekolah teknik mesin, dan madrasah aliyah yang kewenangannya di bawah Kementerian Agama. “Tidak sepenuhnya radikal, masih ada yang baik. Tapi saya kira akses menuju ke pola pikir radikalisme itu lebih terbuka dibanding cara berpikir modernis,” tambah Wawan yang merupakan Koordinator Jaringan Kerja Antar- Umat Beragama ini. Untuk mengetahui kecende- rungan radikalisme para pelajar itu, Wawan menggunakan pende- katan kualitatif. Penelitian itu sebenarnya menindaklanjuti hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian di bawah guru besar sosiologi Islam dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Prof Dr Bambang pada rentang Oktober 2010-Januari 2011. Dalam peneli- tian kuantitatif itu, sekitar 50% pelajar setuju dengan tindakan radikal. Data yang sama menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menya- takan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa serta 76,2% guru setuju dengan pene- rapan Syariat Islam di Indonesia. Sementara yang menyatakan setu- ju dengan kekerasan untuk solida- ritas agama mencapai 53,2% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom. “Tesis saya mencari tahu alas- annya mereka berpikir seperti itu,” katanya. Alih-alih menghindarkan per- kembangan pola pikir radikal, Wawan menilai, kondisinya masih sama saja. “Dalam penelitian, saya tanyakan responden bagai- mana pemahamannya dari berba- gai aturan, misalnya soal potong tangan yang diartikan secara teks- tual sebagai kegiatan memotong tangan. Pola pikir ini sudah masuk begitu mudah,” kata Wawan. Kondisi ini sangat memung- kinkan terjadi dan berkembang selama terpaan informasi pada siswa didominasi ideologi kelom- pok tertentu. “Ketimbang pemi- kiran modernis seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah,” imbuh Wawan. [153] Pertarungan Wacana Radikalisme Mulai dari Bahasa Komaruddin Hidayat FOTO-FOTO:ISTIMEWA Ahmad Syafii Maarif ANTARA/ASEP FATHULRAHMAN Ratusan siswa SMK Negeri 2 Serang bernyanyi saat mengikuti MOS (Masa Orientasi Siswa) di sekolah tersebut, Rabu (20/7/2016).

Upload: vandiep

Post on 03-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

[JAKARTA] Paham radikal dan intoleran yang menyusup ke sekolah menengah dan universitas sangat berbahaya. Negara tidak boleh diam karena ada kecenderungan paham yang tidak sesuai dengan Pancasila tersebut masuk tidak hanya ke sekolah swasta melainkan juga seko­lah negeri dan sekolah favorit.

Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Mu ha­mmadiyah, Ahmad Syafii Maarif mengaku prihatin dengan marak dan mudahnya kelompok radikal masuk sekolah dan kampus.

Buya Syafii, demikian ia biasa disebut, menyatakan, fenomena ini sangat berbaha­ya karena kampus atau seko­lah dijadikan sarang radika­lisme dan menanamkan nilai intoleran. "Dan bukan hanya sekolah dan kampus swasta atau biasa, tetapi juga sekolah negeri dan favorit serta terke­nal," katanya saat dihubungi, Selasa (2/5).

Buya Syafii meminta, negara harus segera bertindak dan tidak boleh diam. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta dinas­dinas pendidikan agar memperhatikan sekolah­sekolah di daerah. "Panggil guru­guru atau dosen­dosen­nya, berikan penyadaran tentang pentingnya Pancasila, nilai­nilai toleransi, menghor­mati perbedaan dan etika," katanya.

Jika ada guru, dosen, sekolah atau kampus yang dengan sengaja membiarkan

adanya kelompok radikal, harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku.

Buya menilai, sekolah atau kampus seharusnya menjadi tempat strategis untuk mencegah berbagai gerakan radikal. Pendidikan Pancasila seharusnya secara masif diajarkan, dinternalisasikan dan diwujudkan dalam peri­laku melalui sekolah dan kampus.

Sudah saatnya negara harus tegas dan tidak boleh kalah dengan kelompok­ke­lompok radikal yang mem­bangun dogma sendiri dan mencoba memonopoli kebe­naran.

"Kelompok radikal ini berani mati membela teori yang mereka anut. Seperti bertarung dan bergabung dengan gerakan radikal di Suriah, banyak orang Indonesia yang menganut teologi maut itu. Karena itu, negara harus tegas dan berani," katanya.

DiperkuatSenada dengan Buya

Maarif, mantan rektor Universitas Islam Negeri S y a r i f H i d a y a t u l l a h , Komaruddin Hidayat meng­anjurkan agar pendidikan Pancasila dan Kewarga­negaraan diperkuat di sekolah dan kampus­kampus.

Pemerintah, katanya, harus bisa memastikan bahwa pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan terlaksa­na di sekolah dan kampus negeri. Sekolah dan kampus swasta, kata dia, tetap mengembangkan karakternya masing­masing namun pen­didikan Pancasila dan Kewarganegaraan tetap ada.

"Jika ada sekolah atau kampus yang terbukti men­jadi sarang gerakan radikal, maka perlu ditindak secara hukum sesuai dengan aturan yang barlaku," katanya.

Menurut Komaruddin, nilai­nilai Pancasila dan

kewarganegaraan sangat penting untuk membangun dan membentuk nilai­nilai toleransi dan penghormatan terhadap keberagaman. Siswa dan mahasiswa harus menge­tahui dan memahami bahwa Indonesia dibangun oleh semangat kebangsaan di mana di dalamnya terdapat beragam suku, agama, dan etnis.

"Kita sudah memahami di dalam Pancasila, bahwa ketuhanan itu mendorong kemanusiaan, ketuhanan yang mendorong persatuan, ketu­hanan yang mendorong musyawarah mufakat dan ketuhanan yang mendorong kesejahteraan. Nilai­nilai ini perlu diajarkan dan interna­lisasi kepada siswa dan mahasiswa," pungkas dia.

Ormas Sedangkan Guru Besar

Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara

Universitas Negeri Malang

(UM) sekaligus Rektor Universitas Wisnuwardhana (Unidha) Kota Malang, Suko Wijono, justru melihat bahwa membendung radikalisme dan intoleransi di kalangan siswa dan mahasiswa dengan meng­ubah UU tentang Ormas. Penekanannya pada bagai­mana setiap ormas harus berazaskan Pancasila. “Manakala ada kekhasan, silakan, tetapi harus dan wajib menerima Pancasila sebagai Dasar Negara,” ujarnya, Senin (1/5).

Pemerintah harus konsis­ten dan tidak ragu­ragu apalagi ambigu menerapkan UU Ormas untuk menganti­sipasi muncul dan berkem­bangnya penyebaran radika­lisme dan intoleransi.

Jangan ada pembiaran dan memberikan kesan menunggu. Apalagi jangan sampai muncul kesan senga­ja dibiarkan bak api dalam sekam yang kemudian api

radikalisme dan intoleransi berkobar.

Sementara itu, di dalam pendidikan nasional, peme­rintah harus mengawasi ketat sekolah dan sekolah menga­wasi guru.

“Untuk pendidikan pengu­atan karakter 70% dan penguatan ilmu pengetahuan 30% sebagaimana diharapkan Presiden Jokowi, relatif mudah. Namun, selama ini sepertinya diremehkan,” kata Suko Wijono.

Ia mencontohkan, lagu Bagimu Negeribisa diwajib-kan untuk dinyanyikan setiap pulang sekolah.

Hal seperti ini kelihatan­nya sepele. Suko meyakini lambat laun syair lagu seper­ti itu akan termaterai di setiap hati sanubari siswa untuk mencintai Tanah Air.

Secara terpisah, pengamat pendidikan Darmaningtyas menyebutkan, persoalannya justru bukan pada kurikulum formal. Sekolah­sekolah swasta justru memberikan pemahaman kebangsaan sesuai dengan keyakinan atau pemahaman pendiri atau pemilik sekolah, dan menge­sampingkan nilai cinta tanah air dan kebangsaan itu. Pemahaman pemilik sekolah itu kadang tidak berakar dari kondisi Indonesia yang plu­ralis.

Salah satu solusi, katanya, ketegasan dari pemerintah soal pengajaran­pengajaran radikal di sekolah­sekolah.[YUS/ARS/A­15]

3Sua ra Pem ba ru an Selasa, 2 Mei 2017 Utama

Bibit Gerakan Radikal Masuk ke Sekolah Negeri

Syafii Maarif: Negara Tidak Boleh Diam

Pelajar cenderung terbuka dan menerima pola pikir radikal keagamaan yang

menyusup secara perlahan namun pasti. Salah satunya melalui peng­gunaan bahasa dalam keseharian.

Dosen Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Wawan Gunawan menilai, akses pelajar untuk men­jadi radikal sangat terbuka lewat bahasa. Penilaian ini berdasarkan tesisnya bertajuk Wacana Radikalisme pada Kelompok Pelajar Perkotaan: Studi Kasus Kota Bandung.

Riset itu dia lakukan pada 2010­2012 saat menempuh gelar master pada program studi religio­us studies di tempatnya mengajar sekarang.

Perubahan bahasa itu misal­nya, ulang tahun menjadi milad, kader di dewan kemakmuran mas­jid jadi mujahid dan mujahidah, toilet pria dan perempuan jadi ikhwan dan akhwat. “Kalau buat saya ini bukan sekadar bahasa melainkan ada cara berpikir lain,” ujar Wawan ketika dihubungi SP, Senin (1/5).

Wawan melakukan studinya pada siswa SMA, sekolah mene­ngah ekonomi atas, sekolah teknik mesin, dan madrasah aliyah yang kewenangannya di bawah Kementerian Agama. “Tidak sepenuhnya radikal, masih ada yang baik. Tapi saya kira akses menuju ke pola pikir radikalisme itu lebih terbuka dibanding cara berpikir modernis,” tambah Wawan yang merupakan Koordinator Jaringan Kerja Antar­Umat Beragama ini.

Untuk mengetahui kecende­rungan radikalisme para pelajar itu, Wawan menggunakan pende­katan kualitatif.

Penelitian itu sebenarnya menindaklanjuti hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian di bawah guru besar sosiologi Islam dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Prof Dr Bambang pada rentang Oktober 2010­Januari 2011. Dalam peneli­tian kuantitatif itu, sekitar 50% pelajar setuju dengan tindakan radikal.

Data yang sama menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menya­

takan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa serta 76,2% guru setuju dengan pene­rapan Syariat Islam di Indonesia. Sementara yang menyatakan setu­ju dengan kekerasan untuk solida­ritas agama mencapai 53,2% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom.

“Tesis saya mencari tahu alas­annya mereka berpikir seperti itu,” katanya.

Alih­alih menghindarkan per­kembangan pola pikir radikal, Wawan menilai, kondisinya masih sama saja. “Dalam penelitian, saya tanyakan responden bagai­mana pemahamannya dari berba­gai aturan, misalnya soal potong tangan yang diartikan secara teks­tual sebagai kegiatan memotong tangan. Pola pikir ini sudah masuk begitu mudah,” kata Wawan.

Kondisi ini sangat memung­kinkan terjadi dan berkembang selama terpaan informasi pada siswa didominasi ideologi kelom­pok tertentu. “Ketimbang pemi­kiran modernis seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah,” imbuh Wawan. [153]

Pertarungan Wacana Radikalisme Mulai dari Bahasa

Komaruddin Hidayatfoto-foto:istimewa

Ahmad Syafii Maarif

aNtaRa/asep fathulRahmaN

Ratusan siswa SMK Negeri 2 Serang bernyanyi saat mengikuti mos (masa orientasi siswa) di sekolah tersebut, Rabu (20/7/2016).