rasionalisme radikal falsafah politik ibn...
TRANSCRIPT
RASIONALISME RADIKAL:
“Falsafah Politik Ibn Bajjah”
Skripsi
Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)
pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
Nama: Sahrul Latif
NIM: 11140331000078
PROGRAM STUDI AQIDAH& FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2019 M
iv
ABSTRAK
Judul yang diangkat dalam skripsi ini adalah Falsafah Politik Ibn Bajjah. Adapun,
gagasan paling penting menurut penulis dalam Ibn Bajjah gagasannya mengenai rasinalisme.
Karena itu, pada dasarnya falsafah politik Ibn Bajjah diterangkan di sini sebagai konsekuensi
logis dari gagasan Ibn Bajjah mengenai rasionalisme, gagasan Ibn Bajjah mengenai
epistemologi, penelitian ini menggunakan metode library research yang penulis anggap
paling relevan dengan judul yang diangkat, dengan mengacu pada karya pokok Ibn Bajjah
serta karya-karya pendamping yang membahas baik falsafah politiknya maupu falsafahnya
secara umum. Skripsi ini menggunakan teknik analisis deskriptif, yaitu menggambarkan
bagaimana konsepsi Ibn Bajjah mengenai falsafah politik dengan merujuk baik kepada karya
pokok maupun pendamping, begitu pula teknik historis untuk menerangkan keterkaitan
antara gagasan-gagasan falsafah politik Ibn Bajjah dengan konstelasi politik yang
melatarbelakanginya.
Dengan asumsi bahwa falsafah politik Ibn Bajjah didasarkan kepada pemikiran
epistemologis Ibn Bajjah, maka geanologi epistimologis ini ditarik baik secara historis
maupus filosofis dengan merujuk kembali kepada para filsuf awal yang memiliki konsepsi
epistemologis yang mengilhami Ibn Bajjah. Hasilnya, kita dapat mengetahui bahwa secara
epistimologis, teori-teori Ibn Bajjah mengenai akal dan jiwa merupakan suatu bentuk
Platonisme. Secara eksplisit Ibn Bajjah merujuk kepada karya-karya Plato seperti Republik.
Kemudian dibahas pula bagaimana Plato ditafsirkan oleh filsuf muslim sebelum Ibn Bajjah,
seperti Al- Fārābi. Setelah pembahasan historis mengenari gagasan filosofis ini, penulis
memaparkan bagaimana rasionalisme menjadi tema utama dengan merujuk langsung kepada
karya Ibn Bajjah yang paling sistematis dan yang menjadi rujukan utama dari skripsi ini.
yaitu Tadbīr al-Mutawwahid
Kata Kunci : Ibn Bajjah, Plato, Rasionalisme, Tadbīr al-Mutawwahid, Al- Fārābi, dan teori Forma, Akal, Jiwa
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang telah menganugrahkan akal kepada manusia.
Allhamdulillah, tidak ada kata yang cukup yang mewakili selain ucapan syukur kepada
Allah, Tuhan semesta alam. Berkat kasih dan kuasa-Nya, skripsi ini dapat segera
diselesaikan. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi kita, Muhammad Saw,
tanpanya tidaklah mungkin kita dapat menikmati indahnya beriman kepada Sang Pencipta.
Dengan penuh suka cita, skirpsi berjudul “RASIONALISME RADIKAL :
FALSAFAH IBN BAJJAH” ini dapat sampai ke titik terakhirnya. Skripsi ini sederhana
dengan segala ketidaksempurnaanya yang akan membuat penulis terus belajar untuk lebih
baik lagi, baik dalam memahami, menulis atau mengamalkannya dalam kehidupan.
Terselesaikanya skripsi ini, tak lain adalah juga berkat kontribusi pemikiran, gagasan, dan
dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala hormat dan terima kasih
penulis haturkan kepada :
1. Dra. Tien Rahmatin, MA,. Selaku dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu nya untuk mengoreksi, mengarahkan serta meberikan kritik dan
saran dalam penulisan skripsi ini.
2. Dra. Tien Rahmatin, MA. Selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam dan
Banun Binaningrum, M.Pd . selaku sekertaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
yang telah membantu memudahkan segala prosedur yang harus ditempuh setiap
mahasiswanya.
vi
3. Prof. Dr. Zainun Kamaludin F, MA., selaku dosen pembimbing akademik penulis
yang telah membimbing, mengarahkan dan memudahkan segala proses penyelesaian
skripsi ini.
4. Prof. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta
5. Prof. Dr. Amani Lubis, Prof. Dede Rosyada dan Prof. Komaruddin Hidayat selaku
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Seluruh staf perpustakaan dan civitas akademika Fakultas Ushuluddin berserta bapa
dan ibu dosen yang menyuguhkan pelajaran terbaik selama penulis menjalankan
studi di fakultas ini.
7. Kedua orang tua penulis, Mama Ema Wasimatullah dan Bapa Bunyamin yang
senantiasa mendukung dan mendoakan penulis tanpa henti dan kepada abang Najib,
Zaki, Faikar, mpok nurul dan adik uwi yang selalu mensupport penulis selama studi
di UIN Jakarta.
8. Encang-encing nyak babeh keluarga besar Ciputat yang selaku orang tua penulis
selama studi di UIN Jakarta dan Baba Nuh selaku orang tua dan guru penulis.
9. Kedua teman penulis selaku penerjemah bahasa asing Bung Dwi Platomo dan Bung
Ghifari Misbahuddin sehingga terselesaikanya skripsi ini.
10. Keluarga mahasiswa Patawasuci (Patali Wargi Mahasiswa Kasundaan Cianjur)
Jakarta. Terima kasih telah menjadi teman sekaligus keluarga penulis di Ciputat.
11. Keluarga besar Lembaga Survei Indonesia dan Indikator Politik, Khusus nya Bang
Ajuba yang senantiasa memberikan pengalaman yang luar biasa selama penulis
bekerjasama dengannya.
vii
12. Keluarga besar JNE Zikri Jaya Ciputat dan PT Gojek Indonesia yang senantiasa
membantu perekonomian penulis.
13. Keluarga besar Aqidah dan Filsafat Islam yang telah berjuang bersama selama
penulis studi di UIN Jakarta.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
tidak disebutkan satupersatu. Terimakasih atas bantuan yang diberikan baik materi maupun
immateri. Semoga Tuhan membalas dengan kesehatan, keberkahan, kebaikan-kebaikan dan
menjadikan nya amal jariyah yang tidak akan terputus, Amin.
Ciputat, 16 September 2019
Penulis
Sahrul Latif
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab
ا
ب
ت
ث
ج
ح
خ
د
ذ
ر
ز
س
ش
ص
ض
Indonesia
a
b
t
ts
j
ḥ
kh
d
dz
r
z
s
sy
ṣ
ḍ
Inggris
a
b
t
th
j
ḥ
kh
d
dh
r
z
s
sh
ṣ
ḍ
Arab
ط
ظ
ع
غ
ف
ق
ك
ل
م
ن
و
ه
ء
ي
ة
Indonesia
ṭ
ẓ
„
gh
f
q
k
l
m
n
w
h
y
h
Inggris
ṭ
ẓ
„
gh
f
q
k
l
m
n
w
h
y
h
Vokal Panjang
Arab
أ
إي
أو
Indonesia
ā
ī
ū
Inggris
ā
ī
ū
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ........i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ........................................ .......ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................... ......iii
ABSTRAK ...................................................................................................... ......iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... .......v
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... .....viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ......ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ .......1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... .......1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................................. .......6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. .......7
D. Tinjauan Pustaka ..................................................................................... .......7
E. Metode Penelitian ................................................................................... .......9
F. Sistematika Penulisan ............................................................................ ......10
BAB II IBN BAJJAH DAN RIWAYAT NYA ............................................... ......11
A. Sisi Sosio-Politis ..................................................................................... ......11
B. Sisi Intelektual ....................................................................................... ......15
C. Sisi Filosofis ........................................................................................... ......22
BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI FALSAFAH POLITIK ............. ......25
A. Pengertian Falsafah Politik .................................................................... ......25
B. Falsafah Politik Menurut Para Filosof ................................................... ......28
B.1. Plato ............................................................................................. ......28
B.2. Al- Fārābi ...................................................................................... ......36
BAB IV BELOKAN INDIVIDUALIS ATAU, KONSEKUENSI RADIKAL DARI
RASIONALISME IBN BAJJAH .................................................................... ......40
A. Formulasi Falsafah Ibn Bajjah ................................................................ ......40
A.1. Psikologi Ibn Bajjah .................................................................... ......45
A.2. Konsekuensi Aksiologis .............................................................. ......51
A.3. Bentuk-Bentuk Negara ................................................................. ......52
A.4. Bentuk-Bentuk Tindakan.............................................................. …..53
A.5. Bentuk-Bentuk Objek ................................................................... …..55
B. Dari Aksiologi ke Antropologi .............................................................. ......58
C. Dari Antropologi ke Epistemologi ......................................................... ......63
D. Dari Epistemologi ke Teologi ................................................................. …..66
E. Dari Metafisika ke Politik ....................................................................... …..72
BAB V PENUTUP ........................................................................................... ......75
A. Kesimpulan ............................................................................................. ......75
B. Saran ...................................................................................................... ......76
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... ......77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di situs berita Tirto, tertanggal 07 Agustus 2018 dengan judul “Mengapa
Sebagian Warganet Gemar Mempolitisasi Bencana Sebagai Azab?” dilansir bahwa
kasus politisasi agama di Indonesia terus meningkat terutama berkaitan dengan
momen-momen politis seperti pemilu. Tanggal 22 September lalu, terjadi gempa di
Palu yang menyebabkan meninggalnya korban hingga 1203 orang. Tak lama
kemudian, terdengar ujaran bahwa ini merupakan azab Allah karena salah satu ulama
dizalimi, lagi-lagi ini merupakan suatu ujaran yang terkait erat dengan kontestasi
politik yang sedang berlangsung.1 Di tanggal 22 Agustus 2018, Tirto juga menulis
berita mengenai pemasangan spanduk #2019GantiPresiden di salah satu masjid di
Medan. Hari-hari ini kita semakin sering mendengar kata azab yang tak lama
kemudian diikuti dengan penilaian politis seadanya oleh sang pengujar: “ini gara-gara
Paslon A”, “kalau saja Paslon B tidak…”. Beberapa hari yang lalu, sempat terjadi
keributan, terutama di media sosial, mengenai „luka-luka‟ RS, salah satu timses dari
Paslon nomor 2, yang kemudian diakui sebagai hoax yang diciptakan sendiri. Tentu
kita masih ingat pula dengan drama „Setnov‟ di rumah sakit hingga pencarian akun
media sosial yang membuat meme Setnov sebab dicap sebagai suatu bentuk
pencemaran nama baik. Dan hari ini pula, istilah „Cebong‟ dan „Kampret‟ bukan
sekedar gurauan di kolom komentar platform media sosial, keduanya bak sekte yang
dapat memisahkan ikatan persaudaraan yang telah lama terbangun di antara manusia.
Dunia Indonesia seakan-akan terbagi secara politis menjadi Dunia Cebong versus
Dunia Kampret.
1 Akhmad Muawal Hasan, "Mengapa Sebagian Warganet Gemar Mempolitisasi Bencana
Sebagai Azab", https://tirto.id/mengapa-sebagian-warganet-gemar-mempolitisasi-bencana-sebagai-
azab-cQE4 (diakses pada 21 Juni 2019, pukul 14.16).
2
Fenomena irasional Pilpres tidak berhenti di situ saja. Beberapa waktu lalu
sebelum diadakannya pilpres, sempat muncul isu naiknya aspirasi untuk golput.
Bersamaan dengan itu, ramai diperbincangkan pula suatu film berjudul Sexy Killers
yang, dalam kaitan secara khusus memaparkan bahwa kedua paslon memiliki peran
yang besar dalam tambang batu bara yang, karena berbagai alasan baik legal, teknis
dan lainnya menelan begitu banyak korban, terutama rakyat kecil. Sempat pula film
ini dituduh sebagai upaya untuk memanas-manasi publik dan memancing kebencian
terhadap paslon.2
Sejatinya, golput pun merupakan suatu aspirasi, tidak ada
kewajiban apapun secara legal bagi warga negara untuk mencoblos dalam pemilu,
dan tentu tidak ada hukuman bagi mereka yang memilih golput, toh, jika memang
rakyat tidak menemukan paslon yang sesuai menurut mereka, tentu hak mereka untuk
tidak memilih, yang aneh adalah digaungkannya hukuman bagi mereka yang memilih
untuk tidak memilih, suatu hal yang sangat tidak demokratis. Pembubaran acara
nobar sexy killers merupakan salah satu contoh yang dinilai sebagai pemicu semangat
golput. Kemudian, dalam penyelenggaraannya, secara ironis pesta demokrasi ini
memakan korban, terdapat ratusan petugas KPPS yang meninggal dunia karena
alasan-alasan teknis penyelenggaraan.3 Jika ini pesta demokrasi untuk rakyat, lalu
kenapa yang dikorbankan adalah rakyat? Kemudian tidak selesai sampai di situ, hasil
penghitungan suara pun dipermasalahkan, aksi 22 Mei di gedung KPU merupakan
buktinya, massa paslon yang merasa dicurangi datang melakukan aksi untuk
menuntut pembongkaran kecurangan yang mereka duga, dalam aksi ini, terdapat
setidaknya sembilan demonstran meninggal dunia terkena peluru tajam.4 Berapa
banyak korban yang meninggal, dana negara yang dihabiskan untuk semua kerusuhan
2 Haris Prabowo "Duduk Perkara Penghentian Paksa Nobar Sexy Killers di Indramayu",
https://tirto.id/duduk-perkara-penghentian-paksa-nobar-sexy-killers-di-indramayu-dmaR (diakses pada
21 Juni 2019, pukul 14.16). 3 Felix Nathaniel, "Ratusan Petugas KPPS Meninggal Kenapa Belum Ada Yang Minta Maaf",
https://tirto.id/ratusan-petugas-kpps-meninggal-kenapa-belum-ada-yang-minta-maaf-dq2Y (diakses
pada 21 Juni 2019, pukul 14.16). 4 Adi Briantika, "Polri Nyatakan 4 Korban Rusuh 22 Mei Tewas Karena Peluru Tajam",
https://tirto.id/polri-nyatakan-4-korban-rusuh-22-mei-tewas-karena-peluru-tajam-ecwJ (diakses pada
21 Juni 2019, pukul 14.16).
3
ini? Dan sampai detik saat teks ini ditulis, kerusuhan pilpres belum pula selesai. Kita
dapat melihatnya dalam sidang MK yang diadakan.5
Begitulah realitas politik hari ini, suatu realitas yang tentu saja menggelikan.
Mungkin realitas politik semacam ini tidak terjadi hari ini saja, bisa saja ini
merupakan problem berjuta-juta tahun lamanya: irasionalitas politik praktis.
Terbersit pertanyaan yang cukup dekat dengan kami, sebagai seorang mahasiswa di
jurusan filsafat: „Bagaimana seorang mahasiswa filsafat menghadapi realitas politik
yang irasional?‟ di satu sisi, masyarakat kita semakin terbius oleh euphoria dan
histeria massal berkenaan dengan banalitas politik praktis, di sisi lain, sang
mahasiswa filsafat merenung: apakah tahun depan jurusan ini masih ada di kampus
ini, mungkin di Indonesia? Kajian filsafat rasanya tidak begitu menjanjikan, atau
setidaknya memiliki masa depan yang tidak „secerah‟ obrolan banal mengenai politik
praktis. Bisa jadi, seorang wisudawan filsafat melamar kerja menjadi penerus Rocky
Gerung yang dikenal sebagai dosen filsafat yang juga selebriti di media sosial, tetapi
hal inipun problematis: jika semua wisudawan filsafat melamar menjadi Rocky
Gerung (yang probabilitasnya bisa dibilang nihil), apakah dia tetap menjadi seorang
filsuf, atau berubah menjadi sosok seleb yang derajat kefilsafatannya hanya diketahui
dari pilihan kosakata rumit alih-alih karya yang dihasilkan dari perenungan filosofis
yang lebih substansial?
Lalu, apa singkatnya yang disebut sebagai irasional politik praktis? Untuk
menjelaskan apa yang disebut sebagai irasionalitas, kita harus pula menjelaskan apa
itu rasionalitas. Singkatnya, rasionalitas adalah apa yang biasa kita sebut dengan
"masuk akal", atau "sesuai dengan akal sehat". Dalam ulasan filosofisnya yang apik,
5 Andrian Pratama Taher, "Dagelan Receh Sidang MK yang Mencairkan Suasana Tegang",
https://tirto.id/dagelan-receh-sidang-mk-yang-mencairkan-suasana-tegang-ecJo (diakses pada 21 Juni
2019, pukul 14.16).
4
Muhammad al-Fayyadl6 memaparkan 4 definisi dari akal sehat dari 4 kelompok
filosofis yang berbeda. Empat definisi tersebut adalah:
1. Spontanitas yang bersumber dari kepolosan manusia, yang tak
tercemar oleh egoisme dan kepentingan, kemampuannya
mengekspresikan apa yang alamiah dari dalam akal budi atau jiwa.
(Kelompok Liberal-Romantik)
2. Cara para warga negara dari sebuah tatanan demokratis
mengartikulasikan pandangan mereka merespons isu-isu publik
menyangkut hak-hak dan kebebasan mereka (Kelompok Liberalisme
Modern)
3. Kemampuan orang-orang menimbang batas kebebasan mereka di
hadapan hukum moral yang universal (Kelompok Kantian)
4. Akal Sehat tak cukup sehat sampai ia memampukan massa
membongkar ilusi-ilusi Kelas Penguasa dan ilusi-ilusi
ketertindasannya sendiri dengan menghendaki suatu perubahan yang
aktornya adalah massa itu sendiri, tanpa perwakilan suatu golongan
dengan kepentingan yang sempit, menghadapi sistem. (Kelompok
Kiri)
Dari empat definisi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa rasionalitas
dalam politik atau masyarakat tidak jauh dari tujuan kesejahteraan bersama suatu
masyarakat. Dalam sistem demokrasi, tentu secara konkret, rasionalitas adalah prinsip
yang harus dipegang, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Jika suatu sistem,
negara atau masyarakat berjalan secara rasional, maka tujuan akhirnya adalah
kesejahteraan masyarakat, bukan kerugian masyarakat. Di sinilah kita dapat
mendefinisikan irasionalitas politik praktis sebagai: alih-alih merupakan suatu praktik
yang berujung kepada kesejahteraan masyarakat, ia malah merugikan masyarakat,
6
Muhammad al-Fayyadl, "Akal Sehat: Prawacana", https://lsfdiscourse.org/akal-sehat-
prawacana/ (diakses pada 21 Juni 2019, pukul 14.16).
5
baik itu mereka yang menjadi korban tambang batu bara karena para pejabat turut
serta dalam investasinya, baik para petugas KPPS yang meninggal dunia karena
perkara teknis suatu event yang diselenggarakan negara, baik mereka korban yang
meninggal dalam aksi 22 Mei. Itu semua adalah cermin dari irasionalitas politik
praktis; politik praktis yang praktiknya kita lihat hari ini, bukannya mensejahterakan,
malah menjatuhkan korban, itulah yang disebut sebagai irasionalitas politik praktis.
Dalam konteks sosio-psikologis seperti inilah, Ibn Bajjah merengkuh
relevansinya kembali. Ibn Bajjah, lewat Tadbīr al-Mutawwahid nya mencoba
menjawab suatu pertanyaan falsafah politik: „Jika seorang filsuf lahir dan hidup di
dalam salah satu sistem pemerintahan yang tidak ideal, bagaimana ia dapat hidup dan
berfilsafat untuk mencapai tujuan filosofisnya?‟ Ibn Bajjah tidak lahir di tengah-
tengah kemewahan informasi via gawai hari ini, ia hidup pada masa di mana menulis
buku pun masih sulit; tetapi pertanyaan ini, medan problematis yang ia usulkan bisa
dikatakan tak lekang oleh waktu; atau ia memiliki relevansinya kembali dengan cara
baru. Tentu saja, masyarakat hari ini dengan banalitas politiknya bukanlah
masyarakat yang diidamkan oleh Ibn Bajjah, setidaknya, Ibn Bajjah tidak akan
berharap bahwa pemimpinnya hanya bisa mengutip Avenger dan Game of Thrones7
alih-alih Plato dan Aristoteles ketika menyampaikan pidato politis.
„Tadbīr al-Mutawwahid is the answer to repeated failures of
philosophers in practical politics, the failures which consequently lead
to the obsolescence of their theories. It is the tragic retreat and the
unavoidable defeat of theorization facing reality. The book is also a
courageous attempt to adopt the truth, that which philosophers before
Ibn Bajja – and even after – have either missed or refused to admit. It
7
https://nasional.kompas.com/read/2018/10/13/08560661/sudah-3-kali-jokowi-kutip-film--
fiksi-di-forum-internasional diakses pada 14 Oktober 2018 pukul 19: 20 WIB
6
is an attempt to reconcile and harmonize life or metaphysics with
physics.‟8
„Tadbīr al-Mutawwahid adalah sebuah jawaban bagi kegagalan
berulang dari para filsuf dalam perkara politik praktis, kegagalan-
kegagalan yang pada gilirannya mengarahkan kepada
ketidakbergunaan teori mereka. Ini merupakan suatu kemunduran
tragis dan kekalahan tak terhindarkan dari teorisasi dalam menghadapi
kenyataan. Kitab ini juga merupakan suatu upaya yang berani untuk
menerima kebenaran, yang oleh para filsuf sebelum Ibn Bajja – dan
bahkan setelahnya – telah diabaikan atau ditolak. Ini merupakan suatu
upaya untuk melerai dan menyerasikan kehidupan atau metafisika
dengan fisika.‟
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Pemaparan masalah di atas mengacu kepada perumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa konsep rasionalisme dalam falsafah Ibn Bajjah?
2. Bagaimana konsep rasionalisme menjadi dasar utama dari falsafah politik
Ibn Bajjah?
Pembahasan mengenai falsafah Ibn Bajjah akan ditekankan kepada kitabnya
yang secara khusus membicarakan persoalan falsafah politik, yaitu Tadbīr al-
Mutawwahid. Di sisi lain, Tadbīr al-Mutawwahid juga merupakan suatu kitab yang
membicarakan perihal epistemologis, yaitu intelektualisme, atau lebih tepatnya
rasionalisme Ibn Bajjah, maka falsafah yang akan dibahas lebih tepatnya adalah
falsafah epistemologiko-politis Ibn Bajjah.
8 Ma'an Ziyadah, Ibn Bajja's Book Tadbīr al-Mutawwahid: An Edition, Translation and
Commentary, Tesis, (Montreal: McGill University, Institute of Islamic Studies, 1968) hlm. 14
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penulisan skripsi ini memiliki manfaat memperkenalkan lebih
lanjut ibn Bajjah, sebagai salah satu filsuf yang signifikansinya besar dalam
membentuk pemikiran-pemikiran dari tokoh filsafat lain seperti ibn Rusyd dan ibn
Thufayl, namun eksistensinya dalam dunia akademis belum semasyhur keduanya.
Dari beberapa sebab yang ada ialah ketidaklengkapan teks-teks yang ia tulis, dan
singkatnya masa hidupnya disebabkan keadaan sosiopolitis di mana ia tinggal. Bukan
hanya itu, konsep al-Mutawwahid merupakan satu sumbangan filsafat Islam yang
orisinil, dengan mempertanyakan sistem etis filsafat politik Islam secara umum. Ibn
Bajjah adalah seorang filsuf yang mempunyai tempat yang tidak dapat digantikan.
Secara praktis, konsep falsafah politik Ibn Bajjah merupakan suatu jawaban
realis sekaligus rasionalis atas realitas politik, dari dahulu hingga hari ini. Suatu
langkah praktis dan konkret yang dapat diambil seorang filsuf yang hendak
mengupayakan tujuan filosofisnya namun tak berkutik menghadapi realitas sosial
politik hari ini. Singkatnya, konsep falsafah bukan hanya suatu hasil dari perenungan
abstrak seorang filsuf yang mengamati realitas dari tingginya menara gading, ini
merupakan suatu gagasan yang lahir dari kehidupan pribadinya, sehingga, ini adalah
gagasan yang benar-benar lahir untuk menjawab kenyataan masyarakat. Maka ini
dapat disebut pula manfaat praktis-politis.
D. Tinjauan Pustaka
Sejauh ini, penelitian mengenai ibn Bajjah dalam bentuk skripsi, disertasi atau
tesis adalah: ibn Bajjah‟s Book Tadbīr al-Mutawwahid: an Edition, Translation and
Commentary sebuah tesis yang ditulis oleh Ma‟an Ziyadah sebagai upaya untuk
membawa teks lengkap ibn Bajjah ke dalam diskursus akademis, terutama di Barat.9
Ini adalah buku utama yang dijadikan sebagai sumber dari skripsi ini. Sebagaimana
yang dinyatakan oleh Ma‟an Ziyadah, penelitian mengenai ibn Bajjah termasuk masih
9Ma'an Ziyadah. Tesis: "Ibn Bajja's Book Tadbīr al-Mutawwahid: An Edition, Translation
and Commentary" (Montreal: McGill University, 1968)
8
begitu miskin dibandingkan dengan dua kawan filosofisnya di Andalusia, Ibn Rusyd
dan Ibn Thufayl; terlepas dari signifikansi Ibn Bajjah. Sepanjang pengetahuan kami,
tesis ini belum diterjemahkan serta diterbitkan dalam bahasa Indonesia, suatu hal
yang amat disayangkan mengingat pentingnya pemikiran Ibn Bajjah. Karenanya,
hadirnya judul ini merupakan suatu upaya semampunya untuk memasukkan Ibn
Bajjah dalam atmosfer diskusi filsafat Islam, setidaknya di dalam komunitas UIN.
Upaya untuk memperkenalkan falsafah Ibn Bajjah sebenarnya sudah
dilakukan oleh Abdulloh Hanif dalam tesisnya berjudul Konsep al-Mutawwahid Ibn
Bajjah setidaknya ini adalah upaya yang cukup sungguh-sungguh untuk
memperkenalkan falsafah Ibn Bajjah dalam panggung filsafat nusantara.10
Sayangnya, tesis ini menurut saya memiliki beberapa poin yang sekiranya perlu
dibenahi. Misalnya, kerangka teoritis yang ia gunakan. Ia menggunakan perspektif
pesimisme Schopenhauer untuk menjelaskan konsep al-Mutawwahid Ibn Bajjah.
Meskipun sekilas, secara permukaan, Ibn Bajjah dapat dilihat sebagai sama-sama
seorang pesimis laiknya Schopenhauer, keduanya berada secara berbeda dalam aspek
sumber. Sementara Schopenhauer mendapatkan ilham pesimismenya dari spiritualitas
Buddha, Ibn Bajjah benar-benar menggunakan titik pijakan yang filosofis, alih-alih
spiritualis (dalam artian teologi Islam, misalnya). Saya kira merupakan pembacaan
yang berisiko keliru ketika membandingkan dua corak filosofis yang berbeda: yang
satu dari sumber dan peradaban Islam, yang satu dari peradaban Barat; katakanlah,
keduanya pesimis dalam artian yang berbeda. Sementara Ibn Bajjah menaruh sikap
pesimisme dalam artian ketidakmungkinan terwujudnya negara ideal dalam wacana
Platonis, Schopenhauer berangkat dari konsep Kehendak Hidup yang lahir dari
kontemplasi wawasan filosofis Kantian. Dan penekanan kepada penjabaran konsep
al-Mutawwahid masih belum mencakup aspek politik praktis yang relevansinya
sudah dijabarkan di atas.
10
Abdulloh Hanif. Tesis: "Konsep al-Mutawwahid ibn Bajjah" (Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga, 2016)
9
Kemudian, skripsi yang ditulis oleh M. Quraish Shihab, Konsep Uzlah dalam
Perspektif Ibn Bajjah. Skripsi ini membandingkan konsep al-Mutawwahid Ibn Bajjah
dengan konsep Uzlah al-Ghazâlī.11
Kritik bagi skripsi ini adalah tidak adanya
penelaahan secara lebih dalam terhadap pemikiran Ibn Bajjah, setidaknya dapat
dilihat dari tidak adanya penggunaan referensi utama. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa penelaahan terhadap apa yang ditulis Ibn Bajjah masih sangat minim
dilakukan dalam bentuk skripsi. Tanpa penggunaan referensi utama, kualitas suatu
skripsi tentu berkurang. Lalu ada skripsi yang saya hanya mengetahui judulnya dari
skripsi terakhir ini, ditulis oleh Moch. Muchlis dengan judul Ibn Bajjah (Studi
Pemikiran dan Karyanya); sebatas pengetahuan saya, skripsi ini ditulis untuk
mendapat gelar sarjana humaniora, yaitu fakultas Adab dan Humaniora; kurang lebih
ini merupakan suatu skripsi yang lebih menekankan aspek historis ketimbang
filosofis dari pemikiran Ibn Bajjah.
E. Metode Penelitian
Berdasarkan tema yang dibahas dalam skripsi ini, maka penggunaan metode
yang paling tepat adalah metode kualitatif; yaitu metode pendalaman teks tanpa
penjelasan statistik kuantitatif. Dengan mengumpulkan pemikiran-pemikiran yang
sudah ada dan mengupayakan suatu pemikiran baru. Secara konkret, skripsi ini
menggunakan metode riset perpustakaan untuk mengumpulkan karya ilmiah hasil
penelitian mengenai objek penelitian yang terkait. Dengan menggunakan sumber
primer dari terjemahan tulisan Ibn Bajjah serta sumber sekunder yang memperkaya
referensi serta analisis atas sumber primer tersebut. Penelitian ini bersifat induktif,
yaitu dengan mengabstraksi hal-hal khusus menjadi umum dari sumber-sumber
terbatas.
11
M. Quraish Shihab. Skripsi: "Konsep Uzlah Dalam Perspektif Ibn Bajjah" (Surabaya: UIN
Sunan Ampel, 2018)
10
F. Sistematika Penulisan
Agar penelitian ini memiliki struktur logis dan sistematis serta mudah
dipahami, maka pembahasan akan dibagi menurut Bab-Bab berikut:
1. Bab 1 adalah pendahuluan, dengan mencakup Latar Belakang
Masalah, Rumusan dan Batasan Masalah, Tujuan dan Kegunaan
Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian. Sebagai titik pijak
untuk mengawali penelitian.
2. Bab 2 berisi pembahasan pengenai konteks historis dan filosofis dari
pribadi Ibn Bajjah
3. Bab 3 berisi tentang tinjauan umum falsafah politik dan pengertian nya
menurut Plato dan Al-farabi
4. Bab 4 berisi analisis atas bagaimana falsafah politik Ibn Bajjah
merupakan konsekuensi dari teori epistemologinya yang rasionalis dan
penjelasan mengenai teori forma Ibn Bajjah, sebagai dasar dari
rasionalisme Ibn Bajjah yang kemudian menjadi dasar falsafah politik
Ibn Bajjah.
5. Bab 5 berisi kesimpulan dan saran untuk penelitian selanjutnya.
11
BAB II
IBN BAJJAH DAN RIWAYATNYA
"Wahai tanah yang agung! Betapa merupakan suatu kampung halaman yang
diidamkannya dirimu, jika saja di dalamnya tidak mengalir berbagai petaka!
(Tetapi tanah ini memiliki) air yang asin, cakrawala yang sepenuhnya suram,
dan sepotong terong yang disajikan Ibn Ma'tub"12
A. Sisi Sosio-politis
Ibn Bajjah lahir di Saragossa di penghujung abad 5 H/11 M. Tentang awal
kehidupan beliau serta kepada siapa saja beliau berguru merupakan hal yang masih
samar.13
Nama lengkapnya ialah Abu Muhammad Ibn Yahya al-Tujibi al-Andalusi al-
Saraqusti, dikenal dengan panggilan Ibn al-Sa'igh (anak pengrajin permata),
umumnya dipanggil Ibn Bajja (atau Avenpace, Avempace dalam bahasa Latin.
Meskipun tidak terdapat rekam jejak yang rinci mengenai kehidupannya, kita dapat
meyakini setidaknya dua fakta: pertama, bahwa dia dihukum mati dan kedua, bahwa
ia hidup pada masa kekacauan politis.14
Sisa-sisa dari Dinasti Umayyah, melarikan diri dari Dinasti Abbasiyah yang
telah meruntuhkannya menuju Spanyol dan berkembang di sana hingga abad ke 5
H/11 M. Penerjemahan karya-karya ilmiah Yunani yang mengawali lahirnya filsafat
12
Ma'an Ziyadah. Ibn Bajja's BookTadbīr al-Mutawwahid(Montreal: Tesis McGill. 1968). h. 33 13
M. Saghir Hasan al-Ma'sumi “Ibn Bajjah” dalam M.M. Sharif (ed.) A History of Muslim Philosophy:
Volume One. (Pakistan: Pakistan Philosophical COngress. 1963). h. 506 14
Ma'an Ziyadah. Ibn Bajja's Book Tadbīr al-Mutawwahid.(Montreal: Tesis McGill. 1968). h. 35
12
Islam di Baghdad pada abad ke 3 H/9 M berlanjut di Kordoba. Semisal,
disalinnyamanuskrip Yunani Dioscorides berjudul Materia medica pada tahun 340 H/
951 M. Manuskrip aslinya merupakan hadiah dari Kaisar Byzantium, Konstantin VII
kepada Khalifah Umayyah, Abd al-Rahman III (Abad 4 H/10 M). Kemudian,
anaknya, al-Hakam II (berkuasa pada tahun 350 H/961 M - 366 H/976 M) mendirikan
tujuh sekolah di Kordoba, disertai beasaiswa bagi para sarjanawan yang cerdas, dan
membanjiri perpustakaan dengan 400.000 jilid buku. Sayangnya, banyak dari buku
ini, khususnya dalam bidang logika dan astronomi, dibakar oleh Khalifah Hisyam
(berkuasa pada 366 H/976 M - 399 H/1009 M)15
.
Pada tahun 427 H/1036 M, Hisyam Mu'tamid Billah, khalifah Umayyah
terakhir di Andalusia meninggal. Tepat setelahnya, terjadi kemerosotan kekuasaan
kaum Muslim di sana. Diawali dengan masa-masa terlemah di antara tahun 443 H
dan 479 H di mana partai raja-raja mengambil alih. Kejadian ini terjadi tepat sebelum
kelahiran Ibn Bajjah. Pada tahun 479 H, salah satu dari partai raja-raja meminta
bantuan kepada Yusuf bin Tasyfin, pendiri dinasti Almoravid dan memenangkan
pertarungan melawan kaum Frank. Akan tetapi, setelah beliau meninggal pada 493 H.
dan digantikan anaknya, Ali bin Yusuf, kekuatan politik sebenarnya jatuh ke tangan
kaum fuqahā dan kaum muhadditsīn. Ibn Bajjah hidup pada masa ini, ia menemani
serta melayani Ali b. Yusuf, tetapi tak dapat hidup rukun dengan kaum muhadditsīn
15Lenn E. Goodman “Ibn Bajjah” dalam Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman (ed.) History of
Islamic Philosophy: Volume One. (New York: Routledge. 2007). h. 540-541
13
dan fuqahā, tidak pula dapat menghindarkan kawan serta pelindungnya, Ali b. Yusuf,
dari pengaruh mereka.16
Pada permulaan karirnya, Ibn Bajja bekerja sebagai seorang fisikawan di
Saragossa, serta merupakan wazir dari Abu Bakr b. Ibrahim al-Sahrawi, gubernur
Saragossa. Tepat sebelum Alfonso I dari Aragon menjajah kota tersebut pada 513 H /
1118 M, ia pergi menuju Sevilla, tinggal di sana sementara waktu untuk kemudian
pergi kembali menuju Shatibah di barat laut Afrika. Di sana, Ibn Bajja dipenjara
dengan tuduhan bid'ah. Oleh ayah atau kakek dari Ibn Rusyd, yang merupakan qadi,
ia dibantu untuk keluar dari penjara. Setelah itu, ia menarik perhatian dari gubernur
Almoravid, Abu Bakr Yahya b. Yusuf b. Tasyfin dan dijadikan sebagai wazir selama
20 tahun.17
Setelah ia dipenjara oleh Abu Ishaq Ibrahim ibn Tasyfin, ia meninggalkan
Shatibah menuju Fez, di mana ia dibunuh pada 533 H /1138 M.18
Ibn Bajjah dibunuh oleh Ibn Zuhr, salah satu fisikawan masyhur di masa itu,
setelah sebelumnya gagal dibunuh oleh musuh-musuhnya yang lain.19
Abu al-'Ala b.
Zuhr dari Sevilla (w. 525 H/1131 M) merupakan ayah dari Abu Marwan b. Zuhr,
yang merupakan seorang musuh besar dari Ibn Bajjah. Sebagaimana yang
digambarkan dalam bait yang ditulis oleh kawan dan muridnya, Ibn al-Imam pada
pembuka bab ini, Ibn Bajjah diberi sepotong terong beracun oleh Ibn Ma'tub, pelayan
16
Ma'an Ziyadah. KitabTadbīr al-Mutawwahid Ibn Bajjah: Rezim Sang Failasuf. terj. Nanang Tahqiq.
(Jakarta: Turos. 2018). h. 35 17Muhsin Akbas “Ibn Bajja” dalam Oliver Leaman (ed.) The Biographical Encyclopedia of Islamic
Philosophy. (New York: Bloomsbury Publishing. 2015). h. 174 18
Ma'an Ziyadah. Ibn Bajja's BookTadbīr al-Mutawwahid(Montreal: Tesis McGill. 1968). h. 35 19
M. Saghir Hasan al-Ma'sumi “Ibn Bajjah” dalam M.M. Sharif (ed.) A History of Muslim Philosophy:
Volume One. (Pakistan: Pakistan Philosophical Congress. 1963). h. 507
14
dari Ibn Zuhr. Musuh lain dari Ibn Bajjah adalah al-Fath b. Khawan, yang menyerang
Ibn Bajjah secara pedas dalam bukunya, Qalā id al- iqyān serta Matmāh. Ibn Bajjah
oleh para musuhnya dituduh sebagai seorang ateis yang harus dihukum mati.20
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, selama dinasti Almoravid,
kelompok muhadditsin konservatif merupakan pemenang dari perjuangan antara para
pemikir bebas yang akrab dengan filsafat melawan para muhadditsin. Terkadang
disebut sebagai perlawanan antara Jumhūr (kelompok orang kebanyakan) melawan
Khaṣa (kelompok elit). Kemenangan kaum Jumhur ini berdampak besar dalam
kehidupan Ibn Bajjah. Dalam perjuangannya ini, Ibn Bajjah kemudian menjadi
pembuka jalan, sebagai filsuf pertama di Andalusia yang mengawali para filsuf
setelahnya seperti Ibn Thufayl, Ibn Rusyd dan Ibn Khaldun; ia juga merupakan filsuf
pertama yang muncul setelah serangan besar dari al-Gazzali atas filsafat dan para
filsuf. Meskipun terdapat pemikir bebas lain seperti Malik b. Wahaib (dan Ibn Hazm,
keduanya tidak memberikan sumbangan yang berarti jika dibandingkan dengan Ibn
Bajjah dalam bidang filsafat. Malik b. Wuhaib menarik diri sembunyi-sembunyi
setelah mendapat ancaman dari kaum muhadditsin, hanya Ibn Bajjah yang secara
terus terang mengkritik al-Ghazzali, suatu sikap yang benar-benar berani.21
20
Ma'an Ziyadah. h. 33-34 21
Ma'an Ziyadah. h. 36-37
15
B. Sisi Intelektual
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, kita tidak memiliki informasi
mengenai kepada siapa Ibn Bajjah berguru, dan hanya sedikit informasi mengenai
murid Ibn Bajjah. Di antara murid Ibn bajjah yang diketahui adalah Abu al-Hasan al-
Judi, Ishak b. Sham'un al-Yahudi al-Kurtubi, Abu Amr al-Himara, Abu Amr Osman
b. 'Ali b. Osman al-Ansari, dan Abu al-Hasan 'Ali b. 'Abdulaziz ibn al-Imam. Yang
terakhir ini memiliki peran penting, ibn al-Imam lah yang telah menyalin serta
menjaga tulisan-tulisan Ibn Bajjah. Al-Amir al-Muqtadir b. Hud (438-74 H / 1046-81
M) yang merupakan penguasa Saragossa adalah seorang matematikawan dan filsuf
yang sezaman dengan Ibn Bajjah. Terdapat informasi pula bahwa filsuf masyhur
Spanyol. Ibn Rusyd (520-95 H/1126-98 M) termasuk murid Ibn Bajjah. Namun,
melihat tanggal lahir dan wafatnya, hal ini kurang masuk akal. Mungkin saja Ibn
Rusyd pernah menghadiri kuliah yang disampaikan Ibn Bajjah ketika ia paling tidak
berumur 12 tahun. Kemudian, filsuf Yahudi, Maimonides (1138-1204 M) menghadiri
beberapa sesi pelajaran dari para murid Ibn Bajjah yang tidak kita ketahui
identitasnya. Meskipun beberapa sejarawan mencatat bahwa filsuf Muslim Spanyol
lainnya, Ibn Thufayl (500-81 H /1106-85 M) belajar filsafat bersama Ibn Bajjah, ia
menulis dalam pengantar bukunya, Hayy ibn Yaqzhan bahwa ia tidak pernah bertemu
dengan Ibn Bajjah.22
22Muhsin Akbas “Ibn Bajja” dalam Oliver Leaman (ed.) The Biographical Encyclopedia of Islamic
Philosophy. (New York: Bloomsbury Publishing. 2015). h. 174
16
Satu hal yang jelas adalah bahwa dia telah menyelesaikan karir akademisnya
di Saragossa, karena ketika ia mengunjungi Granada, ia telah menjadi seorang
sarjanawan yang amat mumpuni atas bahasa Arab dan sasatra dan bahwa ia
dinyatakan begitu mahir dalam dua belas ilmu pengetahuan. Salah satu buktinya
adalah catatan mengenai kejadian yang terjadi di masjid Granada sebagaimana dicatat
oleh al-Suyuti. Kira-kira berikut kisahnya: Suatu hari Ibn Bajjah memasuki masjid
(jamī'ah) Granada. Dia melihat seorang ahli bahasa memberikan pelajaran tentang
tata bahasa kepada para murid yang duduk mengelilinginya. Ketika melihat seorang
yang asing begitu dekat dengan mereka, para murid yang masih muda berbicara
kepada Ibn Bajjah seakan meledeknya: 'Hal macam apa yang dibawa oleh seorang
ahli fiqih? Ilmu apa yang ia kuasai, dan pandangan apa yang ia pegang?' Lalu Ibn
Bajjah membalasnya, 'Aku sedang membawa dua belas ribu dinar di bawah ketiakku.'
Kemudian Ibn Bajjah menunjukkan kepada mereka dua belas permata yang begitu
indah, yang masing-masingnya senilai seribu dinar. Ibn Bajjah menambahkan, 'Aku
telah memiliki pengalaman dalam dua belas ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu
'Arabiyyah yang sedang kalian bahas. Dalam pendapatku, kalian termasuk ke dalam
kelompok demikian dan demikian.' Lalu Ibn Bajjah menyebutkan sanad mereka.
Lalu, para murid yang muda, dengan amat terkejut memohon maaf kepadanya.23
Seperti yang telah ditulis sebelumnya, Ibn Bajjah memegang peranan begitu
penting dalam penyebaran wacana filosofis di Spanyol. Benar bahwa sebelum Ibn
23
M. Saghir Hasan al-Ma'sumi “Ibn Bajjah” dalam M.M. Sharif (ed.) A History of Muslim Philosophy:
Volume One. (Pakistan: Pakistan Philosophical Congress. 1963). h.506
17
Bajjah terdapat beberapa pemikir yang mendalami materi filosofis seperti Ibn
Masarra (269-319 H / 882-931 M) dan Ibn Hazm (384-456 H/ 994-1064 M). Tetapi
Ibn Bajjah lah yang pertama terlibat dalam kajian filsafat dan menulis karya filosofis
secara menyeluruh di wilayah ini. Karya-karyanya mempersiapkan dasar bagi para
filsuf Muslim yang berpengaruh dari generasi selanjutnya seperti Ibn Tufayl dan Ibn
Rusyd. Melalui pengamatan serta karyanya sendiri tentang astronomi, ia memberikan
landasan bagi "pemberontakan Andalusia" melawan sistem Ptolemaik. Dia juga
merupakan seorang musisi berbakat, seorang komposer handal, dan seorang penampil
seruling yang memukau. Meskipun kita tidak memiliki sejumlah karya musik yang
cukup untuk mendukung catatan historis ini. Kecintaan Ibn Bajjah terhadap musik
digunakan sebagai dasar bagi tuduhan para muhaddits dan persekongkolan yang
melawannya sepanjang hidupnya. Beberapa puisinya tentang berbagai topik sampai
kepada kita dalam suatu karya berjudul Qalā id al- iqyān(506 H/1112 M) yang
menariknya ditulis oleh Fath b. Khaqan, salah satu dari kritikusnya yang paling
tajam.24
Ibn Tufayl memberikan kesaksian mengenai lanskap pemikiran pada zaman
ini, ia menulis: 'Sebelum penyebaran filsafat dan logika formal ke Barat, semua
penduduk asli Andalusia yang berkemampuan mengabdikan hidup mereka kepada
matematik. Mereka telah mencapai suatu level yang tinggi dalam bidang tersebut
tetapi tidak dapat berbuat lebih. Generasi selanjutnya melampaui mereka dalam hal
24Muhsin Akbas “Ibn Bajja” dalam Oliver Leaman (ed.) The Biographical Encyclopedia of Islamic
Philosophy. (New York: Bloomsbury Publishing. 2015). h. 174
18
mengetahui sedikit logika. Tetapi sebisa apapun mereka mengkaji logika, mereka
tidak dapat menemukan pemecahannya.' Terkait dengan hal ini, banyak dari para
matematikawan ini adalah para fisikawan. Astronomi mereka memberi landasan bagi
"pemberontakan Andalusia" melawan sistem Ptolomeus. Pertama-tama, astronom
Kordoba, al-Majriti (w. 398 H/1007 M) dibimbing oleh geometris Abd al-Ghafir. Ia
pun mengunjungi Timur dan mengambil tabel astronomi dari al-Khawarizmi, seorang
penduduk Persia TImur, menuju tengah-tengah Kordoba. Ia menulis suatu buku kecil
mengenai astrolabe dan lainnya mengenai aritmetika perdagangan, penerapan
komputasi, geometri dan aljabar dalam persoalan penjualan, penilaian dan pajak. Lalu
ia memperkenalkan Neoplatonisme populer dari Ikhwan al-Safa ke Bashrah,
Andalusia. Kemudian, muridnya, al-Kirmani, membawanye ke Saragossa, untuk
kemudian sampai kepada Ibn Bajjah. Ibn Tufayl dalam hal ini mengagungkan Ibn
Bajjah yang telah menggabungkan suatu teori fisika, gravitasi dengan hal-hal
spiritual.25
Bahkan, dalam Muqaddimah, Ibn Khaldun menulis: 'Abu Nasr Al- Fārābi dan
Abu 'Ali Ibn Sina (Avicenna) di Timur, dan qadi Abu l-Walid b. Rusyd (Averroes)
dan wazir Abu Bakr b. as-Sa'igh (Avempace) di Spanytol, merupakan yang teragung
dari para filsuf Muslim, dan terdapat beberapa yang lain yang telah mencapai batas
dalam ilmu intelektual. Manusia-manusia tersebut mendapatkan kemasyhuran dan
2525
Lenn E. Goodman “Ibn Bajjah” dalam Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman (ed.) History of
Islamic Philosophy: Volume One. (New York: Routledge. 2007). h. 541-542
19
prestasi yang istimewa.‟26
Selain Ibn Tufayl dan Ibn Khaldun, Maimonides pun,
dalam suatu surat terkenal kepada penerjemah karyanya, 'Petunjuk kepada yang
Bimbang' dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab, ia menyebut Ibn Bajjah sebagai seorang
filsuf agung dan menyebut karyanya sebagai karya berperingkat pertama. Meskipun
Ibn Tufayl mengeluh perihal keadaan yang tak teratur serta tidak lengkap dari karta-
karya Ibn Bajjah disebabkan karena sedikitnya waktu senggang untuk berfilsafat
sebab urusan-urusan duniawi; serta atas kritik Ibn Bajjah terhadap mistisisme.27
Sedikit yang diketahui mengenai pendahulu Ibn Bajjah adalah bahwa
beberapa salinan-salinan naskah kuno dari Rasā'il Ikhwān al-Ṣafā yang tersedia di
Eropa dikaitkan dengan Maslamah ibn Ahmad al-Majriti, seorang matematikus agung
Spanyol yang masyhur selama kekuasaan Hakam II dan wafat pada tahun 598 H/1003
M. Di antara para muridnya, ibn al-Safa, Zahrawi, Karmani serta Abu Muslim 'Umar
ibn Ahmad ibn Khaldun al-Hadrami, mereka masyhur dalam ilmu matematika.
Seperti yang sekilas dibahas sebelumnya, menetapnya Karmani di Saragossa,
menurut pernyataan Qadi Sa'id dan Maqarri, adalah sebab Rasa'il Ikhwan al-Safa
sampai di Spanyol. Ia wafat di Saragossa pada tahun 450 H/1063 M. Meskipun
filsafat sebenarnya telah memasuki Spanyol jauh sebelum Rasa'il. Terdapat seorang
bernama Muhammad ibn 'Abdun al-Jabali yang berkelana ke Timur di tahun 347
H/952 M yang mengkaji logika bersama Sulaim Muhammad ibn Tahir ibn Bahram
26
Ibn Khaldun. The Muqaddimah: An Introuduction to History. (New York: Routledge. 1967). h. 374 27Lenn E. Goodman “Ibn Bajjah” dalam Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman (ed.) History of
Islamic Philosophy: Volume One. (New York: Routledge. 2007). h. 545
20
al-Sijistani dan kemnali ke Spanyol pada tahun 360 H/965 M. terdapat pula Ahmad
dan Umar, dua anak dari Yunus al-Barrani yang masuk ke Baghdada pada tahun 330
H/935 M, mengkaji ilmu-ilmu dengan Tsabit ibn Sinan ibn Tsabit ibn Qurrah, dan
setelah cukup lama kembali ke Spanyol di tahun 351 H/956 M. Sebagaimana bukti
sejarah, pada abad ke Empat Hijriah/ Sepuluh Masehi, pada pelajar Spanyol
mempelajari matematika, hadits, tafsir dan fiqh bersama dengan logika dan ilmu
filsafat lainnya di Baghdad, Basrah, Damaskus dan Mesir. Kemudian di akhir abad 4
H/10 M, filsafat dan logika dilarang di Spanyol dan para pengkajinya dihukum, ini
terjadi pada masa Ibn Bajjah, sehingga menyebabkan Ibn Bajjah, Ibn Tufayl dan Ibn
Rusyd harus menghadapi hukuman, dipebjarakan dan dikutuk. Ibn Hazm yang telah
masyhur dalam bidang teologi dan ilmu agama lainnya menulis Kitab al-Fasl fi al-
Milal al-Nihal, suatu kitab yang mencatat doktrin Kristen, Yahudi, dan lainnya tanpa
menampilkan prasangka-prasangka. Namun begitu, seperti yang telah ditulis
sebelumnya, perannya berhenti di bidang non-filosofis.28
Kemudian, berkenaan dengan para pemikir yang sezaman dengan Ibn Bajjah,
kita tidak memiliki catatan yang lebih awal dari catatan Ibn al-Imam, murid Ibn
Bajjah sendiri, yang darinya kita mendapatkan informasi tentang tulisan-tulisannya.
Adalah Al-Wazir Abu al-Hasan 'Ali ibn 'Abd al-'Aziz ibn al-Imam, seorang pengikut
yang mengabdikan diri kepada Ibn Bajjah, ia menjaga tulisan-tulisan Ibn Bajjah
dalam suatu antologi yang pengantarnya ia tulis sendiri. Bukti bahwa Ibn Bajjah
28
M. Saghir Hasan al-Ma'sumi “Ibn Bajjah” dalam M.M. Sharif (ed.) A History of Muslim Philosophy:
Volume One. (Pakistan: Pakistan Philosophical Congress. 1963). h.507-508
21
begitu mengagumi Ibn al-Imam nampak dalam pembuka dari suratnya yang terdapat
pula dalam antologi yang telah disebut tadi. Dalam pengantar atas antologi tersebut,
Ibn alImam menggambarkan lanskap kultur filosofis waktu itu. Bahwa buku-buku
filsafat banyak beredar di kota-kota Spanyol pada masa al-Hakam II (350 - 366
H/961-976 M). Ibn Bajjah mentranskrip buku-buku kuno dan lainnya lalu
mengadakan penelitian atasnya, suatu upaya yang benar-benar diawali oleh Ibn
Bajjah. Yang ada sebelum Ibn Bajjah adalah catatan-catatan penuh kekeliruan di
sana-sini, termasuk yang dilakukan Ibn Hazm, yang, menurut Ibn al-Imam, berada di
bawah Ibn Bajjah dalam hal penelitian. Lalu, disebutkan pula bahwa terdapat seorang
bernama Malik ibn Wuhaib dari Sevilla, ia tidak mencatat apa-apa selain secuil
prinsip logika saja, untuk kemudian menyerah untuk menelitinya secara terang-
terangan (sebagaimana yang telah disebut di atas berkaitan dengan dikutuknya logika
dan filsafat). Ada pula sepucuk surat dari al-Shawandi yang menuliskan: "Apakah
kalian memiliki, di antara kalian seseorang seperti Ibn Bajjah dalam bidang musik
dan filsafat?" Ada pula catatan dari Maqqari yang menyatakan: "Berkenaan dengan
karya-karya musik, karya Ibn Bajjah dari Granada sudahlah cukup. Ia menempati
tempat di Barat laiknya Abu Nasr Al- Fārābi di Timur."29
29
M. Saghir Hasan al-Ma'sumi “Ibn Bajjah” dalam M.M. Sharif (ed.) A History of Muslim Philosophy:
Volume One. (Pakistan: Pakistan Philosophical Congress. 1963). h. 509-510
22
C. Sisi Filosofis
Pada sub-bab sebelumnya kita telah melihat betapa Ibn Bajjah merupakan
tokoh filsafat yang penting yang pernah dimiliki peradaban Islam. Setelah kita sekilas
melihat latar belakang, baik sosio-politis maupun intelektual di mana Ibn Bajjah lahir
dan besar, kini kita akan membahas mengenai bagaimana latar belakang tersebut
memiliki arti penting bagi karya-karya yang ditulis oleh Ibn Bajjah; persisnya,
seberapa dekatkah latar belakang tersebut mempengaruhi corak filosofis dari karya-
karyanya. Mengenai karya-karya Ibn Bajjah, meskipun seperti dilansir oleh beberapa
pihak seperti Ibn al-Imam dan Ibn Tufayl, dan bahkan Ibn Bajjah sendiri, perihal
ketidaklengkapan, keterceceran serta ketidakrapiannya, para sejarawan filsafat
menyatakan bahwa beberapa karya Ibn Bajjah yang sampai kepada masa ini adalah
sebagai berikut:30
a. Manuskrip Bodeian., Arabic Pococke, berisi 222 folio. ditulis pada Rabi' II
547 J/1152 M di Qus. Manuskrip ini tidak menyertakan traktat mengenai
pengobatan, dan Risalat al-Wada'.
b. Manuskrip Berlin no. 5060 (vide Ahlwardt: Catalogue), yang hilang pada
Perang Dunia Kedua.
c. Manuskrip Eskurial No. 612. Ia hanya berisi traktat-traktat yang ditulis Ibn
Bajjah sebagai ulasan-ulasan atas traktat Al- Fārābi mengenai logika.
Ditulis di Sevilla pada tahun 667 H/1307 M.
30
M. Saghir Hasan al-Ma'sumi “Ibn Bajjah” dalam M.M. Sharif (ed.) A History of Muslim Philosophy:
Volume One. (Pakistan: Pakistan Philosophical Congress. 1963). h. 510-511
23
d. Manuskrip Khediviah. Akhlaq No. 290. Telah diterbitkan oleh Dr. Omar
Farrukh dalam karyanya Ibn Bajjah w al-Falsafah al-Maghribiyyah.
Sebagai perbandingan, telah disetujui bahwa ini merupakan sebuah
rangkuman dari Tadbīr al-Mutawwahid - suatu rangkuman dalam artian
bahwa ia menanggalkan sebagian besar dari teks tersebut tetapu
mempertahankan kata-kata asli dari penulisnua.
e. Brockelmann menyatakan bahwa Perpustakaan Berlin memiliki sebuah ode
unik dari Ibn Bajjah yang diberi judul Tardiyyah.
f. Karya-karya yang disunting oleh Asin Palacios dengan terjemahan
Spanyol-nya serta catatan-catatan yang penting: (i) Kitab al-Nabat, al-
Andalus, Vol. V, 1940; (ii) Risalah Ittisal al-'Aql bi al-Insan, al-Andalus,
Vol. VII, 1942; (iii) Risalah al-Wada', al-Andalus, Vol. VIII, 1943; (iv)
Tadbīr al-Mutawwahid yang diberi judul El Regimen Del Solitario, 1946.
g. Karya-karya yang disunting oleh Dr. M. Saghir Hasan al-Ma'sumi: (i) Kitab
al-Nafs dengan catatan serta pengantar dalam bahasa Arab, Majallah al-
Majma' al-'Ilm al-'Arabi, Damaskus, 1958; (ii) Risalah al-Ghayah al-
Insaniyyah yang diberi judul Ibn Bajjah on Human End, dengan terjemahan
bahasa Inggris, Journal of Asiatic Society of Pakistan, Vol. II, 1957.
h. Dan terakhir, yang terbaru adalah tesis dari Ma'an Ziyadah yang dijadikan
rujukan utama dari skripsi ini.31
31
M. Saghir Hasan al-Ma'sumi “Ibn Bajjah” dalam M.M. Sharif (ed.) A History of Muslim Philosophy:
Volume One. (Pakistan: Pakistan Philosophical Congress. 1963). h. 515-516
24
Henry Corbin menambahkan, bahwa Ibn Bajjah berjasa dalam menulis beberapa
ulasan mengenai traktat Aristoteles (the Physics, the Meteorology, De generatione,
the History of Animals). Termasuk berbagai traktat mengenai Logika, sebuah traktat
tentang Jiwa, sebuah traktat tentang penyatuan antara intelek manusia dengan Akal
Aktif.32
Dari sekian karya Ibn Bajjah, setidaknya empat darinya, Kitab al-Nafs,
Ris lah al-Ittiṣ l dan al-Wada' danTadbīr al-Mutawwahid adalah yang paling
penting. Kitab al-Nafs adalah karya Ibn Bajjah tentang psikologi manusia, Ma'sumi
menyatakan bahwa kitab ini dapat disebut sebagai parafrase dari karya Aristoteles
dengan judul yang sama, On the Soul, atau De Anima. Risālah al-Wad ' dan al-
Ittishal membahas penggerak pertama, tujuan dari keberadaan manusia dan
penyatuan dari intelek manusia dengan Tuhan. Tadbīr al-Mutawwahid adalah puncak
dari pemikiran filosofisnya. Ia mempersoalkan bagaimana seorang manusia yang
benar menjaga wataknya serta mencapai kebahagiaan dalam lingkungan yang tidak
sempurna.33
Kini kita akan melihat bagaimana karya-karya penting tersebut bukan
semata-mata pemikiran tanpa berlandaskan kenyataan yang dialami Ibn Bajjah;
sebaliknya, apa yang ditulis Ibn Bajjah tidak lain dari rekam jejak kehidupan dan
pemikirannya sendiri.
32
Henry Corbin. History of Islamic Philosophy. (New York: Kegan Paul. 1962). h. 231 33Muhsin Akbas “Ibn Bajja” dalam Oliver Leaman (ed.) The Biographical Encyclopedia of Islamic
Philosophy. (New York: Bloomsbury Publishing. 2015). h. 175
25
BAB III
TINJAUAN UMUM MENGENAI FALSAFAH POLITIK
Dalam Bab ini saya akan membahas mengenai pengertian Falsafah Politik
serta pendapat dari beberapa tokoh yang berbicara mengenai teori politik hal ini
diperlukan sebagai dasar acuan pembahasan Falsafah Politik Ibn Bajjah di Bab IV.
A. Pengertian Falsafah Politik
Filsafat politik telah hadir sejak manusia memulai menyadari bahwa tata
sosial kehidupan bersama bukanlah sesuatu yang sangat mungkin terbuka untuk
perubahan. Oleh karena itu, tata politik merupakan produk budaya dan memerlukan
justifikasi filosofis untuk mempertahankannya. Falsafah politik juga seringkali
muncul sebagai tenggapan terhadap situasi krisis zaman nya. Pada era pertengahan,
tema relasi antara negara dan agama menjadi tema utama falsafah politik. Pada era
modern, tema pertentangan antara kekuasaan absolut dan kekuasaan raja yang
dibatasi oleh konstitusi menjadi tema utama refleksi falsafah politik.34
Menurut Plato, Falsafah Politik adalah upaya untuk membahas dan menguraikan
bebagai segi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan negara. Ia
menarawarkan konsep pemikiran tentang manusia dan negara yang baik dan ia juga
mempersoalkan cara yang harus ditempuh untuk mewujudkan konsep pemikiran.
Bagi Plato, manusia dan negara memiliki persamaan hakiki. Oleh karena itu, apabila
manusia baik negara pun baik dan apabila manusia buruk negara pun buruk, apabila
34
J.H Rapar, Filsafat Politik, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001
26
negara buruk berarti manusia buruk, artinya negara adalah cerminan manusia yang
menjadi warga nya.35
Falsafah politik memberikan penjelasan yang berdasarkan rasio dilihat adanya
hubungan antara sifat dan hakikat dari alam semesta (universe) dengan sifat dan
hakikat kehidupan politik di dunia fana ini. pokok pikiran dari falsafah politik adalah
bahwa persoalan-persoalan yang menyangkut alam semesta seperti metafisika dan
epistimologi harus dipecahkan lebih dahulu sebelum persoalan politik yang sehari-
hari dapat ditanggulangi, contoh: 36
Keadailan merupakan hakikat dari alam semesta sekaligus merupakan
pedoman untuk mencapai kehidupan yang baik yang dicita-citakan oleh Plato.
Falsafah Politik erat kaitan nya dengan etika dan falsafah politik. Dalam pembahasan
falsafah politik dikaitkan dengan falsafah politik pendidikan.37
Falsafah Politik, yang juga dikenal sebagai teori politik adalah kajian
mengenai topik-topik seperti politik, kebebasan, keadilan, kesejahteraan, hak dan
hukum38
. Falsafah politik adalah suatu cabang dari Falsafah. diantara ilmu politik,
sebuah fokus yang kuat telah secara historis ditempatkan pada peran dari Falsafah
Politik, falsafah moral dan humaniora, meskipun di akhir-akhir ini terdapat suatu
35
J.H Rapar, Filsafat Politik, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001 36
Leo Starauss, An introduction to Political Philosophy. Detroit : Wayne State University Press, Hal
10 37
Leo Starauss, An introduction to Political Philosophy. Detroit : Wayne State University Press, 38
Leo Starauss, An introduction to Political Philosophy. Detroit : Wayne State University Press,
27
perkembangan fokus pada teori politik yang didasarkan pada metodelogi kuantitatif
sebagai mana teori ekonomi dan juga ilmu sains. 39
Falsafah politik memproblematisir secara fundamental pertanyaan-pertanyaan
mengenai negara, pemerintahan, serta etika politik. Falsafah politik mempertanyakan
pertanyaan-pertanyaan “seperti apa itu pemerintahan?”, “mengapa pemerintahan
dibutuhkan?”, “apa yang melegitimasi suatu pemerintaha?”, “apa hak dan kewajiban
dari negara?” , dan seterusnya. 40
Sebelum memasuki pemikiran politik dari para Filosof, barangkali kita perlu
memproblematisir terlebih dahulu mengapa falsafah di perlukan dalam teori politik?
Sebab falfasah secara esensial tidak memiliki kebenaran, melainkan mencari
kebenaran. Ciri khas dari para Filosof adalah “ia mengetahui bahwa ia tidak
mengetahui” dan bahwa wawasan nya tentang keabaian kita mengenai hal-hal penting
mendorongnya untuk berjuang dengan semua kekuatan nya demi pengetahuan.
Falsafah sebagai pencarian akan kebijaksanaan adalah pencarian pengetahuan
universal untuk pengetahuan yang menyeluruh. Pencarian tidak akan diperlukan lagi
jika pengetahuan yang menyeluruh sudah tersedia. Ketiadaan pengetahuan akan yang
utuh tidak berarti, bahkan , bahwa manusia tidak memiliki pengetahuan yang
39
Heather Savigny, dan Lee Marsden, Doing Political Science and International Relations: Theories
In Action , Macmillan International Heigher Education Hal 13 40
https://www.philoshopybasics.com/branch_political diakses pada tanggal 6 Agustus 2019 Pukul
23.05 WIB
28
menyeluruh: Falsafah harus didahului oleh opini mengenai “yang menyeluruh”. Oleh
sebab itu falsafah politik adalah suatu pencarian akan pengetahuan politik.41
Fasalah politik berusaha, kemudian , mengganti opini-opini mengenai watak
atau sifat dari hal-hal politik dengan pengetahuan mengenai hal-hal politik tersebut.
Hal-hal politik adalah pada dasar nya tunduk pada persetujuan dan ketidaksetujuan
pilihan dan penolakan pujian dan cacian. Falsafah politik adalah usaha yang
sesungguh nya baik watak dari hal-hal politik dan juga hak atau kebaikan aturan-
aturan politik. 42
B. Falsafah Politik Menurut Para Filosof
B.1 Plato
Falsafah Plato memuncak dalam uraian-uraian nya mengenai negara. Latar
belakang bagi uraian-uraian ini adalah pengalaman yang pahit mengenai politik
Athena. Seluruh keaktifan Plato mesti dianggap sebagai usaha untuk memperbaiki
keadaan negara yang dirasakan buruk. Baik pendirian akademia di Athena maupun
pencampuran tangan dalam politik Sisilia mempunyai tujuan itu. Demikian juga
karya karangan Plato mengindahkan maksud yang sama. Kedua dialog terpanjang
yang ditulis Plato membicarakan persoalan-persoalan berkenaan dengan susunan
negara. Tetapi juga dalam dialog-dialog lain (mulai dengan Apologia yang dapat
41
Leo Starauss, An introduction to Political Philosophy. Detroit : Wayne State University Press, hal
15 42
Leo Starauss, What is Political Philosophy, The Jurnal of Politic. Vol 19, No 3 hal 344
29
dipandang sebagai krtiknya yang petama atas bentuk negara di Athena) Plato
membahas pokok-pokok yang bersangkut paut dengan negara.43
Menurut Plato ada hubungan erat antara ajarannya di bidang etika dan
teorinya tentang negara. Karena itulah terlebih dahulu kita harus bertanya,
bagaimanakah ajaran Plato tentang etika. Sebagaimana ajaran Plato pada umumnya
tidak gampang dipisahkan dari pendirian gurunya Sokrates, demikiran pun anggapan
Plato dalam bidak etika tidak dapat siceraikan dari pendapat Sokrates. Oleh sebab itu,
apa yang terurai di atas mengenai etika Sokrates, menurut garis besarnya dapat
dipandang pula sebagai anggapan Plato tentang Etika. Bagi plato pun tujuan manusia
adalah eudaimonia, “well-being” atau hidup yang baik. Tetapi hidup yang baik tidak
mungkin kecuali dalam polis saja. Plato tetap memikhak pada cita-cita Yunani yang
tua, yakni bahwa sebagai manusia serentak juga berarti hidup dalam polis. Ia menolak
pendapat “modern” (dalam arti : menyimpang dari tradisi yunani) yang sudah timbul
pada kaum Sofis, bahwa negara hanya beralaskan nomos (adat kebiasaan) saja bukan
Physis (Kodrat). Plato tidak pernah ragu-ragu dalam keyakinan nya bahwa manusia
menurut kodratnya merupakan makhluk sosial: atau lebih tepat nya lagi, bahwa
manusia menurut kodratnya hidup dalam polis atau negara. Kalau memang demikian
halnya, sudah nyata bahwa hidup yang baik menuntut juga negara yang baik. Dalam
suatu negara yang buruk para warga negara tidak mampu mencapai hidup yang baik.
Tetapi kebalikannya benar juga: kalu semua warga negara hidup jelek, masakan
43
J.H Rapar, Filsafat Politik, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001
30
negara bersangkutan bisa menjadi negara yang baik? Ada pengaruh timbal balik
antara hidup yang baik sebagai individu dan negara yang baik.44
Selain Politeia dan Nomoi, ada karya ketiga lagi dimana Plato membicarakan
persoalan-persoalan yang bertalian dengan negara, yaitu dialog yang berjudul
Politikos. Bersama dengan Namoi, dialog ini juga terhitung dalam periode terakhir
aktivitas Plato sebagai pengarang: tetapi bertentangan dengan Namoi, dialog Politikos
ini pendek saja.
1.1 Politeia
Nama dialog ini berarti “tata Polis” atau “tata Negara”. Terjemahan yang
biasanya diberikan dalam bahasa inggris, yaitu “ The Republic” sebenarnya kurang
tepat, karena bagi orang modern kata “republik” mempunyai arti yang tidak
dimaksudkan Plato. Politeia terdiri dari sepuluh buku atau bagian. Tema yang
diselidiki didalamnya ialah “keadilan”. Dalam buku I pokok penyelidikan ini
diperkenalkan. Agar menjadi lebih jelas apakah keadilan itu, Sokrates mengusulkan
supaya keutamaan ini diperika bukan saja pada manusia perorangan, melaikan dalam
perspektif lebih luas, yaitu negara. Oleh karenanya, mulai dengan buku II dialog
selanjutnya berbicara mengenai negara: bukan mengenai salah satu negara konkret,
melaikan mengenai negara yang ideal. Bagaimana negara idea harus disusun? Itulah
pertanyaan yang dijawab Plato dalam Politeia. 45
44
Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta PT Kanisius) 1999 hal141 45
Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta PT Kanisius) 1999
31
Menurut Plato alasan mengakibatkan manusia hidup dalam Polis bersifat
ekonomis. Manusia membutuhkan sesamanya. Jika peta membikin bajak dan cangkul
sendiri, pakaian sendiri dan lain sebagainya, ia hampir tidak mempunyai waktu lagi
untuk mengolah tanah. Apalagi tidak semua manusia mempunyai bakat untuk tugas
yang sama. Orang satu lebih cocok dengan perkerjaan ini, orang lain lebih cocok
dengan pekerjaan lain. Oleh karenanya, perlulah suatu “spesialisasi” dalam bidang
pekerjaan: petani-petani, tukang-tukang tenun, tukang-tukang sepatu, tukang-tukang
kayu, tukang-tukang besi, gembala-gembala, pedagang-pedagang dan lain-lain. Bila
polis sudah mencapai taraf lebih mewah, akan diperlukan juga ahli-ahli musik,
penyair-penyair, guru-guru, tukang-tukang pangkas dan lain-lain. Karena dalam polis
yang mewah jumlah penduduk berambah, tanah wilayah polis tidka akan mencukupi
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para penghuninya. Akan dirasakan keperluan
utnuk merebut sebagian wilayah polis tentangga. Dengan demikian Plato menunjukan
kecenderungan manusia untuk menambah kekayaan sebagai asal usul timbulnya
perang.46
Karena pendapat nya mengenai “spesialis” dalam bidang perkerjaan, secara
konsekuen Plato berpendirian juga bahwa hanya segolongan orang saja harus
ditugaskan untuk melakukan perang. Mereka disebut “penjaga-penjaga” (Phylakes).
Usul Plato mengenai tentara yang “Profesional” ini merupakan sesuatu yang baru
bagi masyarakat Yunani, karena dalam Polis Yunani yang tradisional tentara terdiri
46
Kees Bertens,Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta PT Kanisius) 1999
32
dari semua warga negara. Seluruh buku III membicarakan pendidikan yang harus
diberikan kepada penjaga-penjaga itu. Pria dan Wanita akan menerima pendidikan
yang sama, sehingga juga para wanita dapat menjadi penjaga dan mengambil bagian
dalam peperangan. Sebagaimana biasa di Yunani pendidikan dimulai dengan
mempelajari puisi dan musik. Dalam bidang pusi Plato berpendapat bahwa banyak
penyair Yunani tidak cocok untuk membentuk jiwa orang muda yang menjadi
penjaga. Ada dua alasan petama karena penyair-penyair itu – Hesiodos dan Homeros
umpamanya- menceritakan tentang para dewa hal hal yang tidak pantas;
pembunuhan, petengkaran dan lain-lain nya. Tetapi kata Plato, “ Allah itu adalah baik
sifatnya dan ia harus dilukiskan demikian”. Alasan kedua ialah bahwa banyak penyair
berbicara tentang maut dengan cara menakutkan. Padahal, para penjaga harus dididik
demikian rupa sehingga mereka dijadikan orang yang menonjol karena
keberaniannya. Oleh sebab itu dalam masa pendidikanya mereka tidak boleh
digelisahkan dengan cerita-cerita semacam itu, biarpun mutu puitis nya tinggi sekali.
Sesudah mempelajari puisi dan musik , para penjaga harus dilatik dengan senam.
Pendidikan jasmani ini harus berlangsung kira-kira diumur 18 tahun samapai 20
tahun. Plato menekankan bahwa latihan para penjaga tidak boleh menyerupai latihan
yang biasa diberikan pada atlet-atlet Yunani. Para penjaga harus mendapat latihan
lebih umu dan lebih keras, supaya nanti mereka dapat tahan di medan perang.
Beberapa dari antara penjaga-penjaga akan dipilih menjadi pemimpin negara.
Hanya mereka yang paling baik dan paling cakap boleh dipilih. Dari tingkah lakunya
33
sudah harus nyata cinta dan kesetiaan mereka kepada negara. Mereka akan
dinamakan “penjaga” dalam arti yang sebenarnya, sedangkan penjaga-penjaga lain
sebaiknya dinamakan “pembantu” saja, demikian kata Plato. Tatapi sebelum mereka
dianggap layak untuk memegang kekuasaan negara, terlebih dahulu mereka sebagai
filsuf. Pendudikan itu amat panjang. Mereka mulai dengan mempelajari semua
cabang ilmu pasti. Studi ini akan dilangsungkan sampai usia 30 tahun. Maksud studi
ini bukan praktis (penggunaan militer umpanya), melainkan untuk melatih oemikiran
mereka dalam mencari kebenaran. Sesudah itu ditiadakan seleksi lagi dan mereka
yang terpilih akan mempelajari “Dialektika” atau falsafah dalam arti sebenarnya.
Studi falsafah akan berlangsung lima tahun. Maksudnya ialah memandang Ide-ide
khususnya “yang Baik”. Setelah pendidikan ini selesai, filsuf-filsuf akan menunaikan
berbagai jabatan negara, 15 tahun lama nya. Baru pada usia 50 tahun mereka yang
sudah menyatakan kecakapannya dalam hal kepemimpinan dapat dipanggil untuk
memerintah negara. Demikianlah negara yang idea akan dipimpin oleh filsuf-filsuf.
Plato mengucapkan keyakinannya bahwa itulah satu-satunya jalan untuk
memecahkan kesulitan-kesulitan politik dialami pada waktu itu. 47
Dalam uraian diatas dapat disimpulkan bawah menurut Plato negara yang
ideal terdiri dari tiga golongan (selain budak-budak). Golongan pertama adalah
penjaga-penjaga yang sebenarnya atau filsuf-filsuf. Karena mereka mempunyai
pengertian mengenai “yang Baik”, kepemimpinan negara dipercayakan kedalam
47
Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta PT Kanisius) 1999
34
tangan mereka. Golongan kedua adalah pembantu-pembantu atau prajurit-prajurit.
Mereka ditugaskan menjamin keamanan negara dan mengwasi supaya warga negara
tunduk kepada filsuf-filsuf. Akhinya, golongan ke tiga terdiri dari petani-petani dan
tukang-tukang yang menanggung kehidupan ekonomis bagi seluruh Polis.
1.2 Negara ideal menurut Plato
Bertrand Russell menyebutkan bahwa negara yang ingin dibangun Plato
adalah “negara utopia”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa utopia
berarti “sistem politik yang sempurna yang hanya ada dibayangan (khayalan) dan
sulit atau tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan.” Kalau demikian secara
sepintas memang konsep negara yang diinginkan Plato seolah-olah hanyalah
khayalan dan tidak mungkin diterapkan dalam kehidupan nyata.
Dalam pemikiran Plato tentang negara sangat banyak dinilai luhur yang bisa
dijadikan sebagai etika dalam membangun dan memimpin sebuah negara. Plato
menegaskan bahwa sebuah negara haruslah bersendikan keadilan, kearifan,
keberanian atau semangat pengendalian diri dalam menjaga keselarasan dan
keserasian hidup bernegara. Franz Magnis Susno dalam bukunya “13 Tokoh Etika”
menyebutkan bahwa ada empat keutamaan yang paling utama, yaitu: kebijaksannan,
keberanian, sikap tahu diri dan keadilan.”48
Nilai-nilai yang disebutkan Plato
merupakan nilai yang sangat relevan dengan realitas yang dihadapi manusia sekarang,
48
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad 19, (Yogyakarta: Kanisius,
1997) h. 23
35
dimana manusia saat ini masih memperjuangkan tegaknya suatu keadilan, berani
dalam menegakan kebenaran, mampu mengendalikan diri dari emosi, serta memiliki
kebijaksanaan dalam memimpin negara dan dalam kehidupan bernegara secara luas.
Plato menyebutkan bahwa pemerintah haruslah mempersmbahkan hidup
mereka bagi negara dengan mengorbankan kepentingan diri sendiri. Hal ini jelaslah
bahwa pemerintahan tidak sewajarnya dalam memerintah hanya untuk memperkaya
diri dan kelompoknya, tanpa memperlihatkan keadaan rakyat yang diperintahnya.
Sebuah negara haruslah memperjuangkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,
sehingga kebahagiaan dalam kehidupan dapat terwujud di semua golongan.
Bertrand Russell juga menyebutkan bahwa Republiknya Plato kemungkinan
dimaksudkan untuk benar-benar diwujudkan. Hal itu bukanlah suatu yang ganjil atau
mustahil sebagaimana umumnya pandangan orang. Ide negara Plato memang sudah
pernah diterapkan oleh bangsa Sparta. Pemerintahan oleh para filsuf sudah pernah di
upayakan oleh Phytagoras, Architas (pengikut Phytagoras). Bahkan negara Republik
juga pernah didirakan di wilayah pesisir Spanyol. Akan tetapi dalam perkembangan
nya, negara-negara Republik yang merupakan negara kecil, akhirnya mengalami
berbagai kemunduruan yang diakibatkan oleh peperangan dan persaingan dengan
negara yang lebih besar.49
49
Bertrand Russell, History of Westren Philosophy and Its Conncection with Politcal and Soscial
Cirumstances from the Earliest Times of the Present Day, diterjemahkan oleh sigit jatmiko dkk dengan
judul sejarah filsafat barat; kaitannya dengan kondisi Sosio-Politik zaman kuno hingga sekarang.
(Yogyakarta: Pustaka belajar, 2007), hal. 146
36
B.2 Al- Fārābi
Al-Fārābi adalah pemikir politik yang perfeksionis. Dia menciptakan teori
politik dengan menggabungkan berbagai pemikiran politik yang dipelajari dari para
filosof Yunani, seperti Plato, Aristoteles dan Plotinus, teori politik Al-Fārābi sangat
kental dengan nuansa teologis yang bermuara kepada kesatuan tujuan sejati manusia,
yaitu kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Teori ini bisa dikatakan mustahil untuk
dilaksanakan oleh siapapun dan di negara manapun, karena persyaratan berat.
Pemikiran politik ini tampak sebagai gabungan dari cara pandang sistem kenegaraan
yang bersifat teologis dan sosiologis. Namun demikian, Al-Fārābi telah berusaha
keras untuk mengenalkan teorinya sendiri, dan secara mandiri mengemukakan
pandangan politiknya secara orisinil, meskipun ada beberapa yang dianggap sebagai
turunan dari teori para filosfi klasik Yunani. Keunikan pemikiran politik Al-Fārābi
terlihat ketika sampai pada bahasan tentang tujuan hidup manusia, yang dikaikan
dengan persoalan politik dan kemasyarakatan. Disini, Al-Fārābi membawanya kepada
peroalan-persoalan teologis yang berujung kepada pembahasan tenang hubungan
antara manusia, Tuhan, Benda-benda langit dan Akal aktif. Dalam pemikiran
politiknya, Al-Fārābi tidak hanya berbicara tentang negara utama (negara ideal) dan
pimpinan (negara) ideal, tetapi juga membahas tentang bangsa-bangsa ideal yang
terdiri dari kota-kota utama, dan dunia ideal yang terdiri dari bangsa-bangsa utama.
Bagi Al-Fārābi, pemimpin negara harus ada terlebih dahulu, baru kemudian rakyat
37
atau masyarakatnya. Sebagaimana kejadian alam semesta, dimana Tuhan harus ada
terlebih dahulu sebelum adanya alam.50
Hubungan antara idealisme individu dan komunitas, pada awalnya mendapat
perhatian khusus dalam konsep kepemimpinanAl-Fārābi. Dia menyatakan bahwa
peran dan fungsi pemimpin terhadap warga negara nya sangat beragam, sesuai
dengan kesepakatan yang menjadi tujuan dari negara masing-masing. Namun Al-
Fārābi menjatuhkan pilihan terhadap satu pola kepemimpinan yang dianggapnya
paling baik (ideal) dengan peran, fungsi, tujuan kepemimpinan negara yang tepat dan
sesuai dengan citra kemanusiaan yang ideal. 51
Menurut Al-Fārābi pemimpin yang sesungguhnya adalah pemimpin yang
tujuan utama dari segala apa yang dilakukannya dapat memberi manfaat kepada diri
dan para warga dalam meraih kebahagiaan. Ini merupakan tugas pemimpin. Untuk
itu pemimpin negara utama haruslah orang yang paling sejahtera diantara yang lain
karena dia akan menjadi sebab kesejahteraan warga kota.52
Kemudia juga Al-Fārābi memahami pemimpin sebagai orang yang diikuti
atau diterima. Dalam arti diterima dengan alasan bahwa dia adalah orang yang
memiliki kesempurnaan tujuan, apabila perbuatan-perbuatan, keutamaan-keutamaan,
dan kreatifitas pemimpin tidak seperti yang dikehendaki oleh masyarakat, maka
50
Imam Sukardi, Negara dan Kepemimpnan dalam pemikiran Alfarabi, jurnal Al-A‟raf IAIN
Surakarta 2017 hal 285 51
Imam Sukardi, Negara dan Kepemimpnan dalam pemikiran Alfarabi, jurnal Al-A‟raf IAIN
Surakarta 2017 hal 285 52
Alfarabi, fusul muntazaah, (Beirut : Dar Al-Masyriq, 1993 Hal 47.
38
kepemimpinannya tidak bisa diterima. Dengan kata lain pemimpin adalah orang yang
paling utama, paling kreatif, dan memiliki tujuan yang paling utama. Semua itu tidak
mungkin terjadi apabila dia tidak memiliki ilmu-ilmu teoritis dan keutamaan berpikir
sebagaimana yang dimiliki oleh seorang failusuf.53
Bagi Al-Fārābi , pemimpin negara harus memiliki ilmu-ilmu teoritis dan
dapat merealisasikan dalam kepemimpinananya sehingga kepercayaan masyarakat
terhadap dirinya semakin kuat. Dia tidak hanya pandai tebar pesona tetapi
mewujudkan gagasan-gagasan secara nyata. Karakter demikian ini biasanya dimiliki
orang-orang yang memahami falsafah secara baik, dia adalah failusuf yang
mempelajari ilmu pengetahuan (teoritis) dan kebenaran dan kebijakan tetapi tidak
mempraktikannya.54
Kemudian juga semakin amat terlihat jelas, bahwa Al-Fārābi benar-benar
memahami pemimpin sebagai simbol yaitu tentang teorinya mengerani organisme,
dimana hakikat negara adalah laksana suatu tubuh yang hidup sebagaimana tubuh
manusia. Sebagai ciri-ciri dari organisme ialah sifatnya yang berubah-rubah. Badan
organismme yang hidup dapat menerima dan mengambil bahan-bahan dan zat-zat
dari luar dirinya, lalu diolah untuk kebutuhan hidup dan kemudian dipisahkan mana
53
Alfarabi, Tahsil al-sa‟adah, Hyberabad : Majlis Da‟irah al-Ma‟arif al-Utsmaniyyah, 1349 H, hal 43 54
Alfarabi, tahsil al-sa‟adah, hal 44
39
yang dibutuhkan dan mana yang tidak. Di dalam organisme terdapat struktur hierarki
sehingga setiap bagiannya memiliki kedudukan tertentu.55
Pemimpin Kota dan Negara yang luar biasa tidak bisa sembarangan manusia,
karena pemerintahan mebutuhkan 2 syarat : (a) ia harus diperngaruhi oleh sifat
bawaannya, (b) ia seharusnya memperoleh sikap dan kebiasaan kehendak bagi
penguasa yang berkembang dalam diri seseorang lelaki yang sifar bawaannya
cenderung untuk itu.56
Diantara sifat-sifat pemimpin yang disebutkan ialah: “bijak, berbadan kuat,
bercita-cita tinggi, baik daya pemahamannya, kuat daya hafalannya sangan cerdas,
fasih berbicara, cinta kepada ilmu, sanggup menanggung beban dan kesulitan
kareananya, tidak rakus kepada kenikmatan jasmani. Cinta kepada kejujuran, mulia
jiwanya, adil dan teladan bagi semua orang , cinta terhadap diri dan keluarganya,
serta berani dan paling awal.57
55
Ahmad Zainal Abidin, Negara utama (Jakarta : Kinta, 1968) hal 53 56
Abu Nasr alFarabi‟s , Mabadi ara ahl al-Madina al-Fadila hal 239 57
Yamani, Antara alfarabi dan Khmeini Filsafat Politik Islam, Hal 12
40
BAB IV
BELOKAN INDIVIDUALIS ATAU, KONSEKUENSI RADIKAL DARI
RASIONALISME IBN BAJJAH
A. Formulasi Falsafah Politik Ibn Bajjah
Al- Fārābi mendasarkan falsafah politiknya, dalam Madīnah Fadīlah, di atas
teorinya mengenai emanasi serta tingkatan akal dan daya-dayanya, sebagaimana
dinyatakan oleh Fakhry:
Sebagaimana Sebab Pertama, pemimpin utama dari kota sempurna
dicirikan sebagai seseorang yang memiliki kesempurnaan intelektual, baik
sebagai subjek maupun objek pemikiran. Sebagai tambahan, dia adalah
seseorang yang daya imajinatifnya telah mencapai tingkatan tertinggi, di
mana ia mampu menerima, dari Intelek Aktif, pengetahuan mengenai
partikular-partikular.58
Sebagaimana Al- Fārābi, Ibn Bajjah juga mendasarkan falsafah politiknya,
terkhusus yang tertulis dalam Tadbīr, kepada beberapa teori, terutama teori
epistemologi serta teorinya tentang jiwa. Dalam Tadbīr al-Mutawwahid, Ibn Bajjah
begitu merinci pembahasan mengenai teorinya mengenai bentuk-bentuk spiritual;
dalam Bab 3 dan Bab 4 bahkan ia secara khusus membahas teori bentuk ini. Teorinya
mengenai bentuk, atau tentang forma dan materi ini begitu penting bagi landasan
58
Majid Fakhry. Al- F r bi, Founder of Islamic Neoplatonism: His Life, Works and Influence.
(Oxford: Oneword Publications. 2002) h. 102
41
falsafah politiknya. Tujuan dari bab ini adalah menunjukkan bagaimana teori forma
menjadi landasan bagi pemikiran politik Ibn Bajjah secara umum.
Teori pengetahuan ini dijelaskan dalam cara-cara yang berbeda di banyak
karya Ibn Bajjah, tetapi dalam kitab Tadbīr, teori pengetahuan
mempunyai peran khusus. Teori pengetahuan diterangkan secara detail.
Hal ini tidak kita temukan di manapun, baik dalam kitab-kitabnya ataupun
esai-esainya. Hal tersebut memuat separuh dari keseluruhan isi kitab.
Tambahan, teori pengetahuan Ibn Bajjah dan Tadbīr dihubungkan dengan
pemahamannya mengenai jiwa, sebab jiwa adalah fakultas yang
mengandung daya-daya yang berbeda, sebagai alat dari manusia untuk
mencapai tingkatan-tingkatan yang berbeda dalam pengetahuan.59
Dalam tulisannya mengenai Ibn Bajjah, Ma‟sumi memberikan sub-bab khusus
mengenai forma-materi. Kendati hanya menempati dua halaman semata dibanding
dengan pembahasan mengenai tema lainnya, seperti psikologi, metafisika dan etika,
pembahasan mengenai forma-materi merupakan pembahasan yang dapat memperjelas
keterkaitan antara beberapa teori yang dipaparkan dalam Tadbīr. Bisa dikatakan,
pembahasan ini merupakan benang merah dan dasar utama dari falsafah politik Ibn
Bajjah. Ma‟sumi hanya menjelaskan bagaimana teori forma Ibn Bajjah tidak
digambarkan dengan tepat oleh De Boer. Ma‟sumi menulis "Ibn Bajjah memulai
dengan asumsi bahwa materi tidak dapat eksis tanpa suatu forma, sementara forma
59
Ma'an Ziyadah. Kitab Tadbīr al-Mutawwahid: Ibn Bajjah, Rezim Sang Failasuf. terj. Nanang
Tahqiq. (Jakarta: Turos. 2018) h 24-25
42
dapat eksis dengan sendirinya tanpa materi." Tetapi hal ini keliru. Menurut Ibn
Bajjah, materi dapat eksis tanpa forma."60
Untuk memperkuat pendapat ini, kita dapat melihat pernyataan Ma‟sumi
dalam pengantarnya bagi terjemahan kitab Ilm al-Nafs Ibn Bajjah. Ia menyatakan
bahwa gagasan-gagasan utama dalam Ilm al-Nafs memiliki watak Aristotelian,
“Dualisme materi dan forma, penggerak dan tergerak, tindakan dan hasrat, dan
pertama dan terakhir - sangat jelas berwatak Aristotelian - membentuk dasar tak
tergantikan bagi semua argumen Ibn Bajjah yang dibangun dalam buku ini.”61
Dari
sini dapat disimpulkan bahwa teori forma Ibn Bajjah memegang peranan penting
dalam bangunan falsafah politiknya di Tadbīr.
Secara sederhana, teori forma Aristoteles, atau yang disebut dengan
hylomorfisme, adalah gagasan bahwa objek-objek adalah sesuatu yang terbentuk dari
materi dan forma.62
Teori forma sendiri merupakan teori yang dirumuskan oleh
Plato, yang singkatnya menyatakan bahwa terdapat forma-forma dari segala sesuatu,
dan forma ini merupakan arketip ideal dari segala yang material. Umpama ada suatu
hal bernama buku di dunia, ia hanya merupakan salinan dari suatu "buku" yang ada di
alam forma; sementara terdapat berbagai macam dan jumlah buku di dunia material,
buku-buku ini hanya salinan tidak sempurna dari suatu buku di alam forma, buku
60
Muhammad S.H. Ma'sumi. “Ibn Bajjah”. dalam M.M. Sharif (ed.) A History of Muslim Philosophy.
Volume One. (Pakistan: Pakistan Philosophical Congress. 1963) h 511 61
M. S. H. Ma'sumi. Ibn Bajjah's Ilm al-Nafs. (Karachi: Pakistan Historical Society. tanpa tahun). h 8 62
Michail Peramatzis. Aristotle's Hylomorphism: The Causal-Explanatory Model. Metaphysics. 2018.
1(1): h. 12, DOI: https://doi.org/10.5334/met.2
43
yang 'asli'; sedangkan buku-buku yang ada di dunia tidaklah asli, mereka hanya
menyandang suatu ke-buku-an yang sama yang menghubungkannya dengan buku di
alam forma. Konsep hubungan forma-materi inilah yang dikritik oleh Aristoteles.
Baginya hubungan antara forma dan materi adalah koeksisten dan interdependen
(yang satu tak ada tanpa yang lainnya). Semisal forma dan materi dari suatu pulpen.
forma dari pulpen tersusun dari properti pulpen tersebut, ada suatu bola kecil di
ujungnya, tinta, dapat digunakan untuk menulis dan dapat digenggam oleh tangan.
Sementara materi adalah sesuatu yang melekat dengan properti tersebut.63
Lebih jauh, yang penting dari pembahasan ini adalah bagaimana teori
mengenai forma-materi ini, dalam De Anima, terkait dengan jiwa dan daya-dayanya,
sesuatu yang kita temukan dalam Ilm al-Nafs, kitab yang ditulis Ibn Bajjah untuk
memaparkan teorinya mengenai jiwa, atau bisa dibilang, oleh Ma‟sumi, sebagai
parafrase dari De Anima. Dalam Bab berikutnya, akan jelas bagaimana konsepsi jiwa
ini begitu penting bagi falsafah politik Ibn Bajjah. Dalam De Anima, Aristoteles
mengandaikan hubungan antara tubuh dan jiwa seperti lilin dan bentuknya, seperti
mata dan penglihatan. Jiwa adalah bentuk, badan adalah materi, tanpa ada satu tidak
ada yang lainnya, keduanya saling bergantung.64
Kemudian kita akan melihat bagaimana dalam Tadbīr, Ibn Bajjah merinci
teorinya mengenai forma. Pembahasan khusus mengenai forma dimulai di bab 3,
63
S. Marc Cohen, dkk. Readings in Ancient Greek Philosophy: From Thales to Aristtotle. (Cambridge:
Hackett Publishing Company. 2011) h 689-690 64
Renford Bambrough. The Philosophy of Aristotle. (New York: New American Library. 1963) h 259
44
Wacana Perihal Bentuk-Bentuk Spiritual. Ibn Bajjah pertama-tama menjelaskan
bagaimana istilah ruh dan nafs dapat disamakan penggunaannya, roh terbagi menjadi
tiga, yaitu roh alamiah, perseptif dan motivatif, dan seterusnya. Setelah penjelasan ini
ia membagi bentuk (forma) spiritual menjadi empat: 1) Benda-benda langit (al-aj sm
al-mustadīrah) forma ini bukanlah materi dan sama sekali tak terkait dengan materi
2) Akal aktif (al-„aql al-fa‟al) dan akal perolehan (al-„aql al-mustafad) forma ini
mutlak non-material tetapi memiliki hubungan dengan yang materiil 3) Intelijibel
material (al-ma‟qūl t al-hayulaniyyah) bentuk ini dapat dikatakan sebagai materi, ia
adalah bentukan spiritual dari yang materiil dalam pikiran dan 4) Konsep-konsep (al-
ma‟ai) ini adalah perantara dari yang material dan spiritual . Jenis keempat ini eksis
dalam fakultas-fakultas (daya-daya) yang berbeda dalam jiwa.65
Setelah pembagian ini, Ibn Bajjah membedakan antara a) bentuk spiritual
universal, ia terhubung secara partikular kepada manusia yang memikirkannya; b)
bentuk spiritual partikular, yang memiliki dua hubungan pula, yaitu universal dan
partikular; bentuk spiritual partikular memiliki hubungan partikular dengan objek-
objek inderawi, dan memiliki hubungan universal dengan indera yang mencerap
objek inderawi tersebut.66
Pembedaan dan pembagian bentuk ini kemudian digunakan
untuk membedakan tingkatan benda-benda-terkorupsi (yang fana). Pertama, bentuk
spiritual universal, yang merupakan tingkatan rasional. Kedua, tingkatan spiritual
65
Ma'an Ziyadah. Kitab Tadbīr al-Mutawwahid: Ibn Bajjah, Rezim Sang Failasuf. terj. Nanang
Tahqiq. (Jakarta: Turos. 2018) h 75 66
Ma'an Ziyadah. Kitab Tadbīr r al-Mutawwahid: Ibn Bajjah, Rezim Sang Failasuf. terj. Nanang
Tahqiq. (Jakarta: Turos. 2018) h 76
45
partikular, dan ketiga tingkatan korporeal. Kemudian, tingkat spiritual partikular
terbagi menjadi tiga: tingkatan konseptual yang ada dalam fakultas rekolektif,
tingkatan imaji yang ada dalam fakultas imajinasi, dan yang ketiga tingkatan refleksi
yang ada dalam sensus communis. Dari sini pula, dibagilah tingkatan fakultas pada
manusia; pertama, fakultas rasional; kemudian tingkatan kedua, ia terdiri dari tiga
fakultas spiritual; ketiga, fakultas perseptif; keemoat fakultas reproduktif; kelima
fakultas nutritive; dan keenam, fakultas korporeal. Sebagai catatan, fakultas kelima
dan keenam adalah fakultas yang tidak hanya dimiliki makhluk hidup sebagai yang
esensial, karenanya disebut fakultas alamiah.67
Di sini kita dapat menemukan
hubungan antara teori forma (bentuk-bentuk) dengan jiwa dan fakultasnya, dan tentu
saja, dengan teori Ibn Bajjah mengenai jiwa, suatu psikologi yang dirumuskannya.
A.1 Psikologi Ibn Bajjah
Seperti yang disebutkan sebelumnya, Ibn Bajjah menulis pemaparan
psikologi, atau teorinya mengenai jiwa dalam Kitab al-Nafs. Sebagaimana dalam
Tadbīr, Ibn Bajjah juga mengawali pembahasan dalam kitab ini dengan definisi
mengenai ruh atau jiwa yang digunakan dalam beberapa arti. Dan bahwa badan, entah
yang natural atau artifisia; terdiri dari materi dan bentuk (forma), dan forma tersebut
adalah perolehan permanen, atau entelekhi dari badan, entelekhi terdiri dari berbagai
jenis, entah ia termasuk kepada yang melaksanakan fungsinya tanpa digerakkan
secara esensial, atau yang bergerak atau bertindak ketika mereka digerakkan. Badan
67
Ma'an Ziyadah. Kitab Tadbīr al-Mutawwahid: Ibn Bajjah, Rezim Sang Failasuf. terj. Nanang
Tahqiq. (Jakarta: Turos. 2018) hal 90-91
46
dengan jenis terakhir ini terdiri dari penggerak dan yang digerakkan, badan artifisial
memiliki penggeraknya di luar. Jiwa adalah suatu bentuk yang menyediakan
entelekhi bagi suatu badan natural.68
Jiwa memiliki fungsi yang berbeda-beda, karenanya, ia adalah suatu kata
dengan makna beragam; ia memiliki fungsi nutritif, sensitif, imajinatif, rasional.
Fakultas Nutritif memiliki dua tujuan, tumbuh dan berkembang biak. Dalam hal ini,
terdapat perbedaan pula antara fakultas nutritif dan reproduktif. Fakultas Sensitif dan
Imajinatif termasuk dalam Fakultas Perseptif, yaitu pemahaman. Ia terkait dengan
lima indera manusia - penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba - ini
yang terhubung dengan sensus communis, yang memainkan peran sebagai materi
yang dengannya forma-forma dari benda-benda dapat dipahami. Kemudian, Fakultas
imajinatif menggunakan materi yang disediakan sensus communis tadi, yang berujung
kepada fakultas rasional yang dengannya seorang manusia mengungkapkan sesuatu
kepada yang lainnya.69
Kita dapat merinci setiap fakultas dengan masing-masing fungsinya sebagai
berikut:
1. Fakultas Nutritif: ia didefinisikan sebagai entelekhi pertama dari badan nutritif
yang tersusun, disokong oleh dua fakultas lain yaitu fakultas pertumbuhan dan
68
Muhammad S.H. Ma'sumi. “Ibn Bajjah”. dalam M.M. Sharif (ed.) A History of Muslim Philosophy.
Volume One. (Pakistan: Pakistan Philosophical Congress. 1963) h 512 69
Muhammad S.H. Ma'sumi. “Ibn Bajjah”. dalam M.M. Sharif (ed.) A History of Muslim Philosophy.
Volume One. (Pakistan: Pakistan Philosophical Congress. 1963) h 515
47
reproduktif. Fungsi dari fakultas nutritif adalah untuk menyiapkan substansi-
substansu dalam badan yang kemudian digunakan sebagai penjaga
keberlangsungan dari badan, perkembangannya, dan pada akhirnya
perkembangbiakannya. Fakultas nutritif mengubah makanan menjadi suatu
bagian dari badanl fakultas reproduktif menghasilkan kembali badan dari spesies
tersebut.70
2. Fakultas Sensitif: Adalah entelekhi pertama dari badan berkesadaran, mencerap
bentuk-bentuk dari benda-benda inderawi. Fakultas ini memiliki beberapa
indera, masing-masingnya memiliki suatu organ; karenanya ini disebut jiwa-jiwa
oleh Ibn Bajjah. Indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, peraba,
sensus communis dan fakultas penggerak, yang disebut fakultas hasrat. Fakultas
Hasrat (apetitif) memiliki tiga daya: hasrat imajinatif, hasrat perantaram dan
hasrat rasional. Sementara dua yang pertama dimiliki binatang secara umum,
yang menjaga diri mereka sekaligus terkait dengan perkembangbuakan, yang
ketiga khusus bagi manusia.71
3. Fakultas Imajinatif: Fakultas ini adalah entelekhi pertama dari badan imajinatif,
fakultas imajinatif didahului oleh sensasi, penginderaan yang menyediakan
materinya. Sensasi dan imajinasi karenanya telah digambarkan sebagai dua jenis
persepsi jiwa. Tetapi perbedaan di antara keduanya sangat jelas. Sensasi adalah
partikular, sementara imajinasi general. Fakultas imajinatif berpundak pada
70
M. S. H. Ma'sumi. Ibn Bajjah's Ilm al-Nafs. (Karachi: Pakistan Historical Society. tanpa tahun). h 7 71
M. S. H. Ma'sumi. Ibn Bajjah's Ilm al-Nafs. (Karachi: Pakistan Historical Society. tanpa tahun). h 8
48
fakultas penalaran yang melaluinua seorang manusia mengungkapkan sesuatu
kepada yang lain, menerima sekaligus memberikan pengetahuan.72
Pembagian di atas sekaligus juga merupakan tingkatan dari yang terendah
menuju yang tertinggi, dari yang awal menuju yang akhir. Pertama, ini menunjukkan
perbedaan antara fakultas dari jiwa makhluk yang berbeda, kedua ini menggambarkan
juga suatu teori epistemologi, yaitu tentang bagaimana suatu pengetahuan dapat
diperoleh. Setelah penjelasan ketiga fakultas tersebut, jelas, yang terakhir adalah
pembahasan mengenai fakultas rasional, fakultas tertinggi sekaligus yang khusus bagi
manusia. Pada tahap akhir dari imajinasi, muncullah intelek, dan fakultas rasional
mulai berfungsi. Sebagai contoh, seorang manusia mendapati beberapa objek
pengetahuan (konsep) yang berisi perbedaan antara baik dan jahat, berguna dan
berbahaya. Ia juga mendapati, di hadapan dirinya hal-hal yang dia anggap mutlak
benar, apa yang disebut oleh jiwa sebagai logos.73
Menurut Ma‟sumi, Ibn Bajjah
menerangkan dua metode bagaimana pemahaman terjadi dalam fakultas rasional:
Pertama, fakultas rasional menghadirkan makna-makna universal di hadapan
akal, dan memahaminya sebagai benar terkait individu-individu yang terbayangkan,
yang ditandai olehnya. Melalui wawasan, fakultas rasional melihat makna-makna
72
M. S. H. Ma'sumi. Ibn Bajjah's Ilm al-Nafs. (Karachi: Pakistan Historical Society. tanpa tahun). h 8 73
Muhammad S.H. Ma'sumi. “Ibn Bajjah”. dalam M.M. Sharif (ed.) A History of Muslim Philosophy.
Volume One. (Pakistan: Pakistan Philosophical Congress. 1963) h 516
49
universal dalam individu-individu. Dalam artian ini, fakultas ini membedakan makna-
makna universal satu sama lain melalui cara tersebut.
Kedua. Melalui metode yang lain, fakultas rasional membedakan makna-
makna universal dengan sempurna, tetapi ketika ia melihatnya melalui wawasannya
dalam fakultas imajinatif yang juga bertindak terhadapnya, dan membuatnya serupa
makna universal dan memberikannya bentuk-bentuk yang sama kepada lebih dari
satu hal, tetapi tidak kepada semua individu yang padanya suatu makna dapat
diterapkan. Sebagai contoh, sang pemahat mencerminkan bentuk dari seekor kuda
pada batu, atau seorang pelukis menggambar bentuk dari kuda tersebut di atas
permukaan suatu papan, tetapi pencerminan ini tidaklah sempurna, karena ia
mencerminkan dan menghasilkan ulang bentuk dari suatu kuda tersebut yang
memperoleh nutrisi, dan watak-wataknya. Tetapi semua yang dicerminkan tidaklah
sama bagi semua kuda. Fakultas imajinatif mencerminkan hal-hal yang terbatas
terkait usia, ukuran, dll. Sebuah citra dari seekor kuda tidaklah sama bagi kuda yang
telah tumbuh tua, kuda yang muda dan kuda yang masih muda. Citranya sama hanya
bagi kuda dengan ukuran atau usia tertentu yang dicerminakn oleh fakultas imajinatif.
Seketika fakultas rasional membedakan makna-makna universal, dan
menghadirkannya kepada akal untuk melihatnya lebih dekat melalui wawasannya,
yang terakhir melihatnya melalui citra yang dicerminkan oleh fakultas imajinatif.
50
Fakultas rasional membedakan apakah suatu citra itu semourna atau tidak, sama atau
tidak. Tanpa kesulitan ia berpikir tentang makna-makna intelijibel.74
Hubungan antara pembahasan mengenai teori forma dan fakultas jiwa dengan
falsafah politik dapat diperjelas dengan melihat kepada bagaimana Ibn Bajjah dalam
Tadbīr memasukkan pembahasan mengenai tindakan-tindakan manusia mengenai
bentuk-bentuk spiritual. Ibn Bajjah membagi tindakan-tindakan manusia dalam
beberapa ketegori. Bentuk korporeal fisik, yaitu pangan sandang, papan, kebutuhan
dasar, dan hal-hal bertujuan materil dari manusia, seperti kekayaan, ketenaran, gaya
berpakaian, bentuk-bentuk spiritual, seperti kesenian, keterampilan; misal, pada
bentuk pertama, seorang manusia memerlukan baju untuk menutupi dan melindungi
badannya, pada bentuk kedua, spiritual, ia melihat aspek keindahan seperti corak,
rancangan dan aspek lainnya selain fungsi langsungnya.75
Ibn Bajjah, dengan kategori ini membagi tindakan, mana yang manusiawi
mana yang hewani. Makan tentu saja merupakan tindakan manusia juga hewan,
namun, perbedaannya adalah bahwa bagi hewan, makan itu didasarkan atas keperluan
dan keinginan, sementara bagi manusia, adalah untuk menjaga kekuatan dan nyawa
untuk kemudian mencapai kebahagiaan spiritual. Demikianlah bagaimana fakultas
apetitif atau hasrat dapat berbeda bagi manusia dan hewan. Hal lain yang
membedakan mana tindakan manusia terkait perkara kehendak. Tindakan yang
74
Muhammad S.H. Ma'sumi. “Ibn Bajjah”. dalam M.M. Sharif (ed.) A History of Muslim Philosophy.
Volume One. (Pakistan: Pakistan Philosophical Congress. 1963) h 517 75
Ma'an Ziyadah. Kitab Tadbīr al-Mutawwahid: Ibn Bajjah, Rezim Sang Failasuf. terj. Nanang
Tahqiq. (Jakarta: Turos. 2018) h 101
51
dilakukan manusia memiliki aspek nilai. Terdapat dua jenis nilai, formal dan
spekulatif. Misal, kejujuran, kejujuran dalam hewan merupakan sesuatu bernilai
formal, karena tidak mungkin seekor anjing berbohong. sementara ia bernilai
spekulatif bagi manusia, karena ia dibubuhi dengan kehendak; spekulatif artinya, bisa
saja suatu tindakan dapat dinilai jujur atau tidak.76
A.2 Konsekuensi Aksiologis
Setelah penjelasan sebelumnya mengenai teori forma dan psikologi Ibn
Bajjah, kini kita akan membahas bagaimana teori-teori yang telah dipaparkan tadi
menjadi dasar dari falsafah politik Ibn Bajjah. Tepatnya, bagaimana teori tentang
bentuk-bentuk, teori tentang daya-daya jiwa merupakan dasar dari pembahasan Ibn
Bajjah dalam Tadbīral-Mutawwahid. Kita akan mendapati bahwa Ibn Bajjah
menggunakan teori forma ini dalam berbagai pembahasannya dalam Tadbīr, terutama
dalam empat hal: mengenai bentuk-bentuk negara (yaitu penjelasan mengenai negara
sempurna dan tidak sempurna), mengenai bentuk-bentuk tindakan (yaitu tindakan
manusia, tindakan hewani, dan tentu tindakan illahi), mengenai bentuk-bentuk objek
yang diamati oleh daya-daya jiwa, dan tentang hubungan dari daya dari jiwa tersebut
dengan bentuk tadi. Singkatnya, teori forma memberi suatu bentuk yang kokoh bagi
pemaparan Ibn Bajjah dalam Tadbīr.
76
Muhammad S.H. Ma'sumi. “Ibn Bajjah”. dalam M.M. Sharif (ed.) A History of Muslim Philosophy.
Volume One. (Pakistan: Pakistan Philosophical Congress. 1963) h 524
52
A.3 Bentuk-bentuk Negara
Mengikuti Plato, Ibn Bajjah menulis bahwa ada empat jenis negara tidak
sempurna. terdapat oligarki, tirani dan demokrasi, sementara satu nama didapati
kosong dalam manuskrip. Menurut Rosenthal, Ibn Bajjah jelas membaca Republik
Plato, kemudian menjelaskan falsafah politiknya, terkhusus pembagian negara
menjadi sempurna dan tidak sempurna. Adapun, negara yang sempurna, menurut Ibn
Bajjah adalah negara yang tidak membutuhkan dokter dan hakim. Di mana
keberadaan keduanya menandakan bahwa di dalam negara tersebut masih ada
penyakit, baik fiskal maupun sosial; dan negara sempurna tentu tidak mengandung
hal semacam ini.77
Sementara itu, rumah di dalam negara yang bukan negara sempurna
eksistensinya adalah tak sempurna dan ia mempunyai elemen-elemen
tidak alamiah. Rumah pertama adalah satu-satunya yang sempurna, yang
tidak ada tambahan elemen untuknya, kecuali beralih menuju yang cacat
atau lemah seperti enam jari. Ini adalah karakteristik rumah sempurna
bahwa setiap elemen tambahan untuknya merupakan suatu cacat.78
Dari kutipan di atas, secara implisit ini jelas rujukan kepada teori forma
Platonis, yang menyatakan bahwa terdapat suatu Idea sempurna - di alam forma tentu
saja - dan apa-apa yang ada di dunia materiil merupakan salinan cacat atasnya.
77
E.I.J. Rosenthal. Political Thought in Medieval Islam: An Introductory Online. (Cambridge:
Cambridge University Press. 2009) h 165 78
Ma'an Ziyadah. Kitab Tadbīr al-Mutawwahid: Ibn Bajjah, Rezim Sang Failasuf. terj. Nanang
Tahqiq. (Jakarta: Turos. 2018) h 57
53
Rumah di alam forma, atau negara di alam forma adalah yang sempurna, sementara
negara yang ada hanya salinan cacat dan samar dari negara di alam forma tersebut,
kira-kira begitu bagaimana Plato menghubungkan gagasan mengenai forma dan
materi terkait keberadaan negara. Dalam hal ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Ibn
Bajjah, bersama Plato, mengaitkan teori forma dengan eksistensi negara.
A.4 Bentuk-bentuk Tindakan
Teori forma kembali menjadi dasar bagi diskusi Ibn Bajjah mengenai bentuk-
bentuk tindakan. Jika pada perkara bentuk-bentuk negara, yaitu sempurna atau tidak
sempurna, Ibn Bajjah dapat dikatakan mengacu kepada teori forma Plato, maka pada
pemikiran mengenai bentuk tindakan, ia memadukan teori forma dengan definisi
bahwa manusia merupakan makhluk rasional. Mengacu kepada Aristoteles terutama
dalam Nichomachean Ethics, Ibn Bajjah menyatakan bahwa tindakan manusia ditilik
dari hadirnya kehendak bebas dalam diri manusia, yaitu kehendak yang muncul dari
perenungan, yang merupakan fungsi dari fakultas rasional manusia. Kemampuan
untuk memahami bentuk-bentuk spiritual inilah, yang dihasilkan fakultas rasional,
dalam imajinasi dan memori, yang menyebabkan suatu tindakan manusia dapat
dibedakan dari tindakan hewan.79
Sebagaimana yang sebelumnya dinyatakan, sejenis dualisme materi dan forma
menjadi prinsip yang membuat manusia dapat menjadikan tindakannya manusia.
Kita dapat melihat kembali beberapa tipe bentuk menurut Ibn Bajjah yang telah
79
E.I.J. Rosenthal. Political Thought in Medieval Islam: An Introductory Online. (Cambridge:
Cambridge University Press. 2009) h 168-9
54
disebutkan. Terdapat bentuk dari: a) Benda-benda langit b) Intelijibel Material c)
bentuk-bentuk yang eksis dalam fakultas jiwa. Bentuk-bentuk yang terkait dengan
intelek aktif disebut oleh Ibn Bajjah sebagai forma-forma spiritual universal,
sementara yang terkait dengan sensus communis adalah forma-forma spiritual
partikular. Dua bentuk ini bisa dikatakan bersesuaian dengan dua cara untuk melihat
sesuatu hal: materi dapat dipahami oleh mata lahir, sementara bentuk dapat dipahami
melalui mata batin. Kiranya analogi ini, meskipun tidak terlalu tepat, dapat mewakili
bagaimana sesuatu hal dapat dipahami melalui dua aspek, atau dua relasi.80
Untuk memperjelas poin ini, kita dapat menyatakan bahwa suatu tindakan
hewani adalah suatu tindakan yang dilakukan karena tuntutan-tuntutan afeksi, yaitu
berdasarkan hasrat yang tertuju kepada aspek materiil dari sesuatu. Sementara suatu
tindakan manusia dilakukan karena opini yang benar dan penilaian terkait kebenaran,
yang wataknya lebih universal dan rasional. Umpamanya dalam perkara makan,
tindakan hewani, yang dibimbing oleh afeksi, akan menganggap makan sebagai
sesuatu keinginan belaka, yaitu karena ingin makan dan karena ingin kenyang, atau
tepatnya menuruti kemauan materiilnya belaka, ini adalah suatu tindakan hewani;
namun, jika suatu tindakan makan diarahkan oleh suatu pendapat dan perenungan,
bahwa dengan makan seseorang dapat melanjutkan tugasnya, dengan makan ia dapat
mengisi tenaganya dan untuk meneruskan cita-citanya, maka tindakannya disebut
manusiawi. Contoh yang paling jelas dalam hal ini adalah, hewan secara naluriah
80
Muhammad S.H. Ma'sumi. “Ibn Bajjah”. dalam M.M. Sharif (ed.) A History of Muslim Philosophy.
Volume One. (Pakistan: Pakistan Philosophical Congress. 1963) h 512
55
akan menghindari makanan-makanan beracun karena tidak sesuai dengan dorongan
afektifnya, tetapi manusia, melalui perenungan, misalnya pemikiran mengenai
ketidakbergunaan hidup dan bunuh diri, dapat menentang afeksinya, dan dapat
memakan sesuatu yang melukai tubuhnya, ini merupakan tindakan manusiawi.81
A.5 Bentuk-Bentuk Objek
Setiap objek korporeal, menurut Ibn Bajjah, memiliki tiga tingkatan
eksistensi: a) tingkat spiritual universal b) tingkat spiritual partikular dan c) tingkat
korporeal. Umpama sebuah buku, ia memiliki tiga tingkatan ini, pada tingkatan
korporeal, kita mendapati aspek-aspek inderawi, buku dapat dilihat, disentuh, berbau
tertentu, ketika jatuh mengeluarkan bunyi tertentu; ini adalah tingkatan paling bawah,
yaitu tingkat paling materiil. Kedua, pada tingkat spiritual partikular, suatu buku A
dipahami berbeda dengan suatu buku B, misalnya dalam hal warna. Pada tingkat
ketiga, terdapat gagasan buku yang universal.82
Umpamanya, si A, pada tingkatan pertama, yaitu tingkatan inderawi melihat
suatu buku, ia dapat menyatakan, "Ini Buku", pada saat ini, ia menunjuk suatu buku
partikular, inderawi. Pada tingkatan kedua, ia menemukan ada buku lainnya, maka, ia
menyatakan bahwa "Ini buku yang lain", sementara buku yang pertama tidak ia lihat
secara inderawi, tetapi sudah masuk dalam fakultas imajinatif. Pada tingkatan kedua,
ia sudah masuk kepada konsepsi universal tentang buku, tetapi masih partikular
81
Ma'an Ziyadah. Kitab Tadbīr al-Mutawwahid: Ibn Bajjah, Rezim Sang Failasuf. terj. Nanang
Tahqiq. (Jakarta: Turos. 2018) h 69-71 82
Ma'an Ziyadah. Kitab Tadbīr al-Mutawwahid: Ibn Bajjah, Rezim Sang Failasuf. terj. Nanang
Tahqiq. (Jakarta: Turos. 2018) h 90
56
karena merujuk kepada suatu buku tertentu. Sementara pada tingkatan ketiga, ia,
dengan fakultas rasionalnya mengetahui bahwa ada suatu gagasan bernama buku,
suatu bentuk spiritual, yang dapat diterapkan bukan hanya kepada satu atau dua buku
tetapi secara universal, kepada setiap buku yang ada. Dengan penjelasan ini, maka
kutipan berikut akan menjadi jelas:
Berdasarkan diskusi di atas, tiap-tiap manusia memiliki jenis fakultas
yang berbeda-beda. Pertama ialah fakultas rasional (al-quwwah al-
fikriyyah); kedua, terdiri dari tiga fakultas spiritual (al-quwwah al-
ruhaniyyah), ketiga, fakultas perseptif (al-quwwah al-hassah).83
Penjelasan mengenai bentuk-bentuk di atas, atau, tentang teori forma,
mengarah langsung kepada pembagian tindakan manusia sebagaimana ditulis dalam
bab 4 Tadbīr. Ibn Bajjah menyebut terdapat tiga jenis tindakan manusia: korporeal,
spiritual partikular dan spiritual universal. Tindakan manusia jenis pertama adalah
menciptakan bentuk-bentuk korporeal semata, semisal pangan, sandang papan.
Tindakan manusia jenis kedua terkait dengan bentuk-bentuk spiritual partikular,
semisal seorang seniman yang merancang pakaian yang indah, bukan hanya yang
berfungsi sebagai pelindung tubuh semata, seorang juru masak, koki, yang
memperindah bentuk makanan atau minuman. Tindakan manusia jenis ketiga terkait
dengan suatu pendapat rasional mengenai kebenaran. Pada poin inilah, kita mendapati
aspek politis dari teori forma: ketika politik didefinisikan sebagai suatu ilmu untuk
83
Ma'an Ziyadah. Kitab Tadbīr al-Mutawwahid: Ibn Bajjah, Rezim Sang Failasuf. terj. Nanang
Tahqiq. (Jakarta: Turos. 2018) h 90
57
memperoleh kebahagiaan bagi manusia yang merupakan makhluk sosial, dan demi
umat manusia, diperlukan prinsip-prinsip kebenaran universal yang dijadikan
tujuan.84
Untuk menutup penjelasan pada bab ini, kita dapat mengaitkannya dengan
kriteria Plato tentang negara sempurna: ketidakhadiran dokter dan hakim. Adanya
dokter menyiratkan bahwa suatu masyarakat masih memiliki persoalan dalam bidang
kesehatan, sebabnya adalah pola makanan dan konsepsi soal makanan yang secara
rasional tidak benar. Makanan bukan hanya ditujukan untuk memenuhi keinginan
semata sebagaimana hewan, makanan juga bukan ditujukan untuk diadu keindahan
dan kelezatannya semata sebagaimana oleh para juru masak, tetapi aspek kesehatan
badani yang menjadi syarat menuju kebahagiaan, dan tentunya kebahagiaan manusia
dalam suatu masyarakat. Begitu pula, suatu tindakan dilakukan bukan atas dasar
keinginan, semisal kebutuhan manusia akan uang. Ini bukan perkara keinginan untuk
mendapatkan uang yang menyebabkannya mencari nafkah, bukan pula untuk sekadar
memperindah penampilan badani saja, misal seseorang yang membeli mobil semata-
mata agar dilihat sebagai seorang yang hebat. Tetapi harus pula didasari oleh gagasan
mengenai kebenaran, tanpa adanya gagasan ini, seseorang bisa saja mencuri uang
atau harta milik orang lain, sebab tujuannya hanya korporeal belaka; hal inilah yang
menyebabkan suatu negara memerlukan hakim, yang mengadili perbuatan manusia
yang melakukan sesuatu tidak atas dasar kebenaran. Tiadanya dokter dan hakim
84
E.I.J. Rosenthal. Political Thought in Medieval Islam: An Introductory Online. (Cambridge:
Cambridge University Press. 2009) hal 161
58
menandakan bahwa setiap manusia di dalam suatu negara telah memahami bahwa
setiap tindakan harus didasarkan kepada suatu asas rasional, bahwa setiap manusia di
dalamnya telah menuju kepada tujuan spiritual universal, yaitu kebahagiaan spiritual
manusia.
B. Dari Aksiologi ke Antropologi
Jika Ibn Bajjah bertemu dengan Hegel yang mengucapkan „yang real itu
rasional, dan yang rasional itu real‟, dengan lantang Ibn Bajjah akan menyanggah,
„yang real itu irasional, dan yang rasional harus dijadikan realitas. Dari titik ini, jika
keduanya disebut sebagai filsuf yang bernaung dalam kelompok rasionalis, kita dapat
membedakan seorang rasionalis yang realis dan idealis. Ibn Bajjah paham betul
bahwa kehidupan politik, bahwa massa rakyat di mana ia tinggal, begitu jauh dari
ideal rasional; dan bahwa apa yang disebut dengan kehidupan dalam masyarakat ideal
itu benar-benar ideal, yakni, hanya ada dalam ranah ideal saja, bukan ranah realitas.85
Ia menulis Tadbīr bukan sebagai suatu upaya menyerasikan antara teori emanasi dan
politik, laiknya Al- Fārābi, bukan untuk membuat filsafat dan agama –sebagaimana
dipahami kaum tradisionalis – menjadi nampak serupa. Tadbīr bukanlah suatu
deskripsi mengenai tipe-tipe negara, yang ideal dan yang tidak, bukan mengenai
keterkaitan antara bagaimana suatu negara menjadi tidak ideal dari masa ke masa86
,
85
Ma'an Ziyadah, Ibn Bajja's Book Tadbīr al-Mutawahhid: An Edition, Translation and Commentary,
Tesis, (Montreal: McGill University, Institute of Islamic Studies, 1968) h. 17 86
E.I. J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam: An Introductory Outline, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009) h. 158
59
seturut dengan teori emanasi, yang menciptakan keadaan yang menjauhi titik
berangkat immaterial-spiritual. Tadbīr adalah kitab „politik praktis‟ par excellence.
Jika para filsuf lainnya, terkhusus Al- Fārābi, mengikuti jejak Plato dalam
menulis Madīnah al-Faḍīlah, dalam kategorisasi negara, dan dalam gagasan bahwa
negara adalah suatu hal yang tujuannya adalah mewujudkan kebahagiaan spiritual
bagi penduduknya, maka Ibn Bajjah berada bersama Al- Fārābi. Tetapi Ibn Bajjah,
sementara menerima bahwa tujuan negara adalah mengantarkan setiap diri menuju
kebahagiaan spiritualnya, kemudian bertanya balik: „namun bagaimana jika suatu
negara tidak sempurna?‟ Al- Fārābi diam pada poin ini, laiknya suatu deskripsi,
falsafah politiknya menggambarkan keadaan ideal tanpa balikan kepada
problematisasi realitas yang ada. Ibn Bajjah bukan tipe filsuf yang membiarkan
persoalan ini abadi, baginya, pencapaian kebahagiaan spiritual bukanlah hal yang
harus ditunda sementara berharap menunggu suatu negara menjadi sempurna, suatu
negara yang dipimpin oleh filsuf-raja di mana Tadbīr yang ia buat mampu
menghantarkan setiap penduduknya menuju kebahagiaan spiritual.87
Apa yang membuat suatu negara tidak sempurna? Karena Tadbīr dari negara
tersebut tidak disusun oleh filsuf-raja, pemimpin ideal dari suatu negara ideal. Maka,
Tadbīr yang ada dalam negara tidak sempurna disusun bukan oleh sang filsuf, ia
disusun oleh mereka, orang biasa, tepatnya, mereka yang daya rasional-nya belum
sempurna. Keadaan negara tanpa Tadbīr yang disusun secara rasional meniscayakan
87
E.I.J. Rosenthal. Political Thought in Medieval Islam: An Introductory Online. (Cambridge:
Cambridge University Press. 2009) hal 163
60
jaraknya dengan negara ideal, semakin jauh ia dari ideal rasional, semakin negara itu
tidak sempurna, semakin ia irasional, dan semakin ia membutuhkan beberapa profesi,
yaitu dokter dan hakim.88
Negara yang tidak sempurna memerlukan dokter karena di
dalamnya tentu terdapat banyak penyakit, dari pola konsumsi penduduk yang tidak
rasional; memerlukan hakim, karena terjadi perselisihan sebab hal-hal material:
kekayaan, jabatan, kenikmatan material dan banal.
Ibn Bajjah menyerukan bahwa dalam kondisi seperti ini, kehidupan di dalam
masyarakat irasional, untuk melakukan suatu pengasingan-diri.89
Sebab, negara
seperti ini tidak akan pernah dapat menyampaikan seseorang kepada tujuan
tertingginya: kebahagiaan melalui kontak dengan intelek aktif. Masyarakat irasional
mengikuti Tadbīr irasional yang tujuannya bukanlah spiritual, tetapi korporeal. Pada
negara seperti ini, Ibn Bajjah tidak akan pernah berharap, dan eksistensi Tadbīr
secara khusus menyatakan dengan jelas, bahwa, sebab negara yang ideal itu hanya
ideal, maka pada praktiknya, tidak pernah ada negara yang bisa diharapkan.
Sependapat dengan Plato mengenai negara ideal, Ibn Bajjah memisahkan diri dalam
hal praktik: negara ideal bukanlah ditunggu, tetapi diwujudkan sesegera mungkin,
dengan cara menerapkan Tadbīr yang sesuai di negara ideal di suatu negara tidak
ideal. Maka sang filsuf yang telah memahami Tadbīr ini adalah bibit dari suatu
88
Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman (ed.). History of Islamic Philosophy. (Canada: Routledge.
2007) h. 563 89
Ma'an Ziyadah, Ibn Bajja's Book Tadbīr al-Mutawahhid: An Edition, Translation and Commentary,
Tesis, (Montreal: McGill University, Institute of Islamic Studies, 1968) h. 17
61
negara ideal yang belum ada dalam ranah realitas90
: satu-satunya negara ideal dalam
negara tidak ideal adalah negara ideal yang ada dalam akal sang filsuf.
Dalam pernyataan bahwa negara tidak ideal disebabkan oleh Tadbīr yang
tidak ideal, yang tidak rasional, yang disusun oleh pimpinan yang bukan filsuf,
tersirat makna berikutnya: bahwa di sana terdapat hirarki antar manusia. Apa yang
menyebabkan sang filsuf lebih tinggi dari manusia lainnya, adalah bahwa sang filsuf
mampu mengenali forma-forma spiritual universal melalui daya rasionalitas yang
sempurna.91
Maka, pada Pasal kedua dalam Tadbīr, setelah membahas mengenai
definisi Tadbīr dan kaitannya dengan teori falsafah politik sebelum Ibn Bajjah, adalah
Pasal mengenai tindakan makhluk. Inti dari pasal ini adalah penegasan bahwa pada
dasarnya ada kesamaan antara manusia dengan makhluk lainnya, sekaligus hirarki.
Bahwa manusia sama dengan hewan dan tumbuhan dan benda mati dalam kaitan
dengan hukum tertentu, semisal bahwa ia, yakni badan materialnya, akan jatuh dari
tempat yang tinggi ke tempat yang rendah; dalam hal ini, ia sama dengan semua
makhluk. Bahwa ia memiliki kesamaan dengan binatang karena tindakan-tindakan
manusia juga kerap dilaksanakan karena afeksi-afeksi naluriah, non-rasional, semisal
ketika lapar manusia akan mencari makan. Tetapi, apa yang membedakan manusia
90
E.I. J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam: An Introductory Outline, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009) h. 161 91
Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman (ed.). History of Islamic Philosophy. (Canada: Routledge.
2007) h. 552
62
dari keseluruhan makhluk adalah bahwa manusia memilih tindakannya setelah
perenungan, menggunakan daya rasional-nya.92
Tadbīr ditulis khusus untuk manusia, satu-satunya makhluk yang diberkati
dengan daya rasional. Tadbīr adalah seruan bagi para filsuf, yang secara aktual telah
meninggikan daya rasionalnya, bukan ditujukan untuk manusia yang tidak mengenal
intelijibel-intelijibel abstrak, forma-forma spiritual. Maka manusia-manusia yang
tidak menggunakan daya rasionalnya dalam setiap tindakannya pada dasarnya tidak
memiliki esensi manusia sebagai makhluk rasional. Tipe manusia seperti inilah yang
hadir dan menjadi mayoritas dalam suatu negara tidak ideal: mereka semata-mata
mengejar bentuk-bentuk korporeal seperti kenikmatan duniawi, dan urusan-urusan
duniawi yang tidak berhubungan dengan daya intelektual-rasionalnya. Terhadap
manusia dalam tipe ini, sang mutawwahid hendaknya tidak mengakrabinya kecuali
seperlunya. Sang mutawwahid, dalam misinya menerapkan Tadbīr yang benar
berdasarkan rasionalitas dan bentuk spiritual universal yang diperoleh dari akal aktif,
harus mengisolasi dirinya dari hal-hal yang membuatnya ikut dalam kesenangan
korporeal belaka.93
Manusia yang telah mencapai tingkat rasional semacam ini adalah sang
mutawwahid. Dan Tadbīr ditulis sebagai suatu petunjuk praktis bagi mereka, untuk
mengejar kebahagiaan individual-spiritual yang tidak akan pernah dapat diwujudkan
92
Ma'an Ziyadah, Ibn Bajja's Book Tadbīr al-Mutawahhid: An Edition, Translation and Commentary,
Tesis, (Montreal: McGill University, Institute of Islamic Studies, 1968) h. 63 93
E.I. J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam: An Introductory Outline, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009) h. 162
63
oleh negara tidak ideal, dan karenanya, harus diemban oleh sang mutawwahid sendiri.
Maka dapat diambil kesimpulan, bahwa Tadbīr menyiratkan suatu makna
antropologis: bahwa manusia-lah, sebagai pemiliki daya rasional yang
kebahagiaannya dituju, dan kemudian, bukan semua manusia, tetapi mereka, sang
filsuf, sang mutawwahid, yang tujuannya spiritual, bukan semata korporeal, yang
dituju dan dipanggil oleh Ibn Bajjah, untuk menjadi pemimpin bagi diri mereka
sendiri, untuk menerapkan negara, rezim-diri rasional dan ideal di tengah-tengah
negara tidak ideal.
C. Dari Antropologi ke Epistemologi
Suatu negara tidak ideal adalah negara yang masyarakatnya hanya tertuju
kepada objek-objek partikular inderawi semata. Katakanlah, seorang manusia melihat
seekor kuda di suatu tempat, dan seorang lainnya melihat kuda yang lain. Bagi yang
pertama, kuda yang ia lihat, katakanlah berwarna hitam; sementara yang kedua
melihat kuda berwarna putih. Dalam kasus ini, dalam akal mereka, ketika disebutkan
kata „kuda‟ maka yang nampak bagi keduanya berbeda; konsepsi kuda mereka
berdasarkan pada satu kuda inderawi yang mereka temui. Sementara, seorang sarjana,
yang telah memahami bahwa ada berbagai jenis kuda, akan memiliki konsepsi kuda
yang lebih luas daripada kedua orang sebelumnya. Ia paham bahwa kuda, entah itu
berwarna hitam atau putih, tetaplah kuda meskipun secara partikular berbeda; dan
sang sarjana mengetahui bahwa kuda itu kuda karena ada kesamaan universal antara
kuda-kuda partikular yang ia lihat secara inderawi. Di sini terdapat dua jenis forma,
64
pertama forma korporeal yang dipahami oleh dua orang pertama, yang kedua forma
spiritual partikular, yaitu suatu forma yang memiliki relasi universal dengan forma-
forma lain, meskipun ia berasal dari satu objek inderawi partikular, yaitu kuda tadi.94
Ini adalah suatu penegasan bahwa Tadbīr terkait erat dengan teori
pengetahuan, dengan epistemologi. Pada pasal tiga mengenai macam-macam bentuk
Spiritual, Ibn Bajjah merumuskan suatu epistemologi yang nantinya dijadikan dasar
bagi aksiologi, bagi falsafah politiknya. Pengetahuan mengenai bentuk-bentuk
spiritual inilah yang menjadikan seorang manusia dapat mencapai kebahagiaan
spiritual. Maka teori epistemologi Ibn Bajjah terkait dengan teori forma-materi.95
Terdapat tiga jenis pemahaman atas bentuk. 1) Pemahaman atas bentuk-
bentuk korporeal-partikular yang dicapai lewat indera luar, semisal pengamatan dua
orang di atas terhadap seekor kuda. 2) Pemahaman terhadap bentuk-bentuk spiritual-
partikular, yang juga terdiri dari dua jenis, a) hubungan antara bentuk spiritual dan
objek partikular, b) hubungan universal dari bentuk spiritual-partikular; semisal pada
sang sarjana yang, setelah mengamati seekor kuda, mengetahui konsepsi „kuda‟, ia
mengetahui bahwa nama ini terkait dengan kuda partikular yang ia lihat, ini adalah
hubungan pertama, kedua, ia juga memahami bahwa nama ini juga dapat disematkan
kepada kuda-kuda lain selain yang ia amati, ini adalah hubungan kedua. 3) yang
terakhir adalah bentuk-bentuk intelijibel, yang tidak berkaitan dengan objek-objek
94
Ma'an Ziyadah, Ibn Bajja's Book Tadbīr al-Mutawahhid: An Edition, Translation and Commentary,
Tesis, (Montreal: McGill University, Institute of Islamic Studies, 1968) h. 24 95
E.I. J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam: An Introductory Outline, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009) h. 168-9
65
partikular-inderawi, yang hanya dipahami oleh para filsuf. Ketiganya terkait secara
hirarkis dengan yang ketiga sebagai yang tertinggi. Maka dalam pemahaman
mengenai bentuk inilah, sang filsuf memiliki kedudukan tertinggi dalam negara ideal,
karena ia yang memahami Tadbīr ideal. Ini adalah tingkat tertinggi rasionalitas
sebagaimana dinyatakan lewat kutipan berikut ini:
Melalui korporealitas (jismaniyyah), failasuf adalah manusia yang
eksis (semata). Melalui spiritualitas, failasuf adalah makhluk yang
lebih tinggi, dan melalui rasionalitas, failasuf adalah makhluk ilahiah
dan superior, pemilik kearifan, oleh karenanya, niscaya merupakan
manusia ilahiah lagi superior.96
Ada beberapa jalan menuju bentuk-bentuk spiritual tertinggi, pertama jalan
ilahi, kedua jalan alami. Jalan ilahi merujuk kepada fenomena orang-orang tertentu
yang diberi anugerah Allah untuk mengetahui hal-hal yang hakikat dan pendapat
yang benar secara langsung tanpa melalui silogsme, dus, tanpa melalui daya rasional.
Figur seperti para rasul, sahabat, dan orang-orang tertentu lainnya memiliki
pemahaman bahwa suatu hal benar tanpa mengetahui kontradiksi antara pendapat itu
dengan pendapat yang salah. Ini adalah jalan ilahi menuju bentuk spiritual. Tetapi
karena jenis pemahaman ini datang kepada orang-orang yang tidak tentu, dan berkat
anugerah Allah alih-alih kemampuan rasional, maka ini bukan jalan yang disarankan
oleh Tadbīr, tepatnya, hal ini diabaikan oleh Tadbīr karena hal semacam ini tidak
96
Ma'an Ziyadah, Ibn Bajja's Book Tadbīr al-Mutawahhid: An Edition, Translation and Commentary,
Tesis, (Montreal: McGill University, Institute of Islamic Studies, 1968) h. 25
66
dapat dijadikan suatu seni, suatu petunjuk politik yang dapat dipraktikkan.97
Maka,
jalan alami adalah jalan rasionalitas, yaitu manusia mengembangkan daya
rasionalitasnya sehingga dapat memahami pendapat yang benar, Tadbīr yang benar.
Dalam makna partikular, Tadbīr merujuk kepada Tadbīr yang benar atau salah, benar
atau salahnya suatu Tadbīr disebabkan oleh aktualitas atau potensialitas suatu daya
rasional individu; ketika daya rasionalnya tidak aktual, maka Tadbīr yang ia
rumuskan salah, ketika daya rasionalnya aktual, maka Tadbīr yang ia rumuskan
benar. Terkait dengan pernyataan bahwa rasionalitas ini bisa aktual atau potensial, hal
ini menyiratkan fakta bahwa di sana ada suatu hal yang dapat membawanya dari
keadaan potensial ke aktual, dus, teori mengenai akal aktif. Untuk selalu merumuskan
Tadbīr yang benar, seorang indivvidu harus menjalin kontak aktif dengan akal aktual
sehingga daya rasionalnya aktual, dan Tadbīr yang ia rumuskan benar. Konsepsi
mengenai akal aktif ini berkaitan dengan beberapa aspek teologis, yang membuat Ibn
Bajjah disebut sebagai seorang ateis oleh para musuhnya.
D. Dari Epistemologi ke Teologi
Ibn Bajjah, sebagai seorang filsuf, seorang rasionalis yang membawa
rasionalisme hingga batas-batas paling akhirnya tanpa kenal kompromi, hidup dalam
kondisi yang selalu terancam, kematiannya disebabkan oleh konsumsi terong
97
Ma'an Ziyadah, Ibn Bajja's Book Tadbīr al-Mutawahhid: An Edition, Translation and Commentary,
Tesis, (Montreal: McGill University, Institute of Islamic Studies, 1968) h. 76
67
beracunyang direncanakan oleh salah satu musuhnya.98
Beberapa poin-poin
epistemologis yang menyebabkan Ibn Bajjah menjadi dapat dikelompokkan kepada
kelompok yang keluar dari agama adalah: konsepsi mengenai tidak adanya kehidupan
setelah mati sebagaimana digambarkan oleh para agamawan dan filsuf lainnya,
baginya, setelah mati, tidak ada lagi jiwa-jiwa individual yang akan merasakan
nikmat di surga ataupun siksa di neraka, semua jiwa akan menjadi satu, karena ia
immaterial, sementara individualitas selalu menandakan korporealitas suatu hal;
kedua, peran syariat sebagai yang hanya berfungsi mengantarkan individu untuk
mencapai pengetahuan mengenai hakikat, bukan sebagai suatu hal yang dipatuhi, bagi
Ibn Bajjah, eksistensi syari‟at dan nabi yang membawanya hanya diperlukan bagi
suatu negara tidak ideal di mana Tadbīr yang ada tidaklah rasional, dan Ibn Bajjah
meletakkan rasionalitas sebagai yang lebih tinggi, suatu anugerah tertinggi dari Tuhan
untuk manusia. Konsepsi ini mengantarnya kepada konsekuensi berikutnya, nihilnya
penggunaan kata „rasul‟ dalam bentuk singular, namun selalu „rusul‟ dalam bentuk
jamak, merupakan suatu penolakan yang terlampau tersirat dan berani terhadap
kepercayaan kaum agamawan mengenai hirarki antara para rasul dengan Rasulullah
sebagai yang paling tinggi.99
Ketiga poin ini saja cukup menghantarkannya kepada
tuduhan ateis.
98
Ma'an Ziyadah, Ibn Bajja's Book Tadbīr al-Mutawahhid: An Edition, Translation and Commentary,
Tesis, (Montreal: McGill University, Institute of Islamic Studies, 1968) h. 33 99
E.I. J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam: An Introductory Outline, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009) h. 163
68
Maka, satu poin lagi akan menyebabkan Ibn Bajjah benar-benar seorang yang
tidak takut atas posisi rasionalisme radikalnya: penolakannya kepada konsepsi
falsafah kolektifis; yaitu, bahwa orang-orang tertentu yang telah diberkati dengan
pemahaman spiritual dan rasional, dalam konsepsi Plato, harus turun ke bawah dan
mengajak masyarakat lainnya yang masih terjerumus dalam korporealitas, untuk ikut
bersamanya.100
Ibn Bajjah menafikan kewajiban tersebut, maka tidak heran jika ia
benar-benar dikucilkan dari semua sisi: sosial, spiritual, dan moral. Ia merupakan
perwujudan nyata dari apa yang ia sebut dengan nawabit, orang-orang yang memiliki
konsepsi yang berbeda dengan manusia kebanyakan di dalam suatu negara.
Dengan mengamini konsepsi negara ideal dan tidak ideal dari Plato, Ibn
Bajjah juga meyakini bahwa di dalam suatu negara ideal, tidak akan terdapat tiga hal:
dokter, hakim, dan „yang terasing‟. Bagaikan jari tangan yang, apabila kelebihan satu
akan menjadi cacat, begitulah negara ideal; suatu negara ideal bila memperoleh
tambahan anasir maka ia tidaklah ideal. Negara ideal meniscayakan rakyatnya hidup
dalam cinta dan aturan rasional; maka tidak akan ada konflik antar rakyat, sang
penindas dan sang tertindas, negara ideal berdasarkan atas asas cinta; tidak pula ada
hal-ihwal seperti penyakit yang besar dan bahaya karena ia diatur oleh rasionalitas
dalam segala hal, dalam diet-diet yang merupakan jalan hidup masing-masing rakyat.
Karenanya, tidak diperlukan adanya hakim yang mengurusi konflik antar rakyat, yang
menghukum para penindas dan yang membela yang tertindas. Tidak pula ada dokter
100
E.I. J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam: An Introductory Outline, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009) h. 170-171
69
yang menyembuhkan penyakit-penyakit fatal yang dapat membawa seorang warga
menuju kematian. Negara ideal pun tidak akan menghasilkan oposisi opini bersama,
sebab yang rasional itu universal. Maka tidak akan ada orang-orang yang akan
dituduh sebagai orang yang pendapatnya tidak sesuai dengan negara, yang tiba-tiba
bisa dihilangkan oleh negara karena alasan politis.101
Negara ideal tidak akan
memiliki penduduk semacam itu. Namun, faktanya, Tadbīr ditulis, ini menunjukkan
bahwa negara, setidaknya di mana Ibn Bajjah tinggal, tidaklah ideal, begitu pula
terdapat hakim dan dokter yang menyembuhkan segala penyakit, baik sosial maupun
biologis.
Kehadiran dari tiga anasir tersebut merupakan motivasi Ibn Bajjah menulis
Tadbīr, sekaligus suatu kritik terhadap konsepsi falsafah politik sebelumnya. Konsep
„yang terasing‟, „alang-alang‟ adalah konsep Ibn Bajjah untuk menunjukkan
keniscayaan falsafah politik yang ditulis khusus bagi al-Mutawwahid. Dengan
didahului konsepsi bahwa „yang terasing‟ dalam perbedaan pendapatnya dengan
negara tidak mesti salah; terdapat kemungkinan bahwa justru apa yang diyakini oleh
orang-orang asing inilah yang merupakan ideal dari suatu negara. Ini seperti konsepsi
sufistik mengenai para Sufi102
, yang terasing dari masyarakatnya karena mengetahui
hakikat dari segala sesuatu, sementara orang-orang pada umumnya terjerembab
dalam ilusi inderawi semata tanpa tahu dan paham mengenai hakikat. Konsepsi „yang
101
Ma'an Ziyadah, Ibn Bajja's Book Tadbīr al-Mutawahhid: An Edition, Translation and Commentary,
Tesis, (Montreal: McGill University, Institute of Islamic Studies, 1968) h. 59 102
Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman (ed.). History of Islamic Philosophy. (Canada: Routledge.
2007) h. 564
70
terasing‟ memiliki konotasi positifnya dalam karya Ibn Bajjah. Istilah nawabit yang
dalam karya Al- Fārābi mendapatkan konotasi negative, sebagai sesuatu yang niscaya
hadir dalam tipe negara tidak ideal, dalam falsafah politik Ibn Bajjah mendapatkan
peran yang positif dan aktif dalam pembentukan negara ideal. Maka nawabit yang
memiliki konsepsi benar inilah nama lain dari al-Mutawwahid. Maka Tadbīr al-
Mutawwahid tidak lain adalah suatu karya yang ditulis untuk para nawabit di seluruh
dunia. „Hai para nawabit di seluruh dunia, bersatulah!‟ begitulah kiranya seruan dari
Ibn Bajjah melalui karya-karyanta, terkhusus Tadbīr al-Mutawwahid.
Seorang nawabit tidaklah harus mematuhi apa-apa yang diperintahkan negara,
karena konsepsi negara ideal dalam akalnya lah yang seharusnya dituruti. Negara-
negara tidak ideal menyebabkan manusia-manusianya terjebak dalam ilusi
korporealitas. Kebanyakan manusia acuh-tak acuh kepada urusan-urusan spiritual,
dan lebih memilih turut serta dalam obrolan mengenai pakaian, parfum, jabatan dan
segala urusan duniawi yang menjauhkan seseorang dari Tuhan dan kebenaran
spiritual. Benar bahwa, menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk sosial, makhluk
politis yang harus turut serta dalam urusan-urusan politis, sebagai warga negara yang
„baik‟ yang demokratis, yang dapat mengandalkan politik representative untuk
mencapai tujuan-tujuannya baik fiscal, mental dan spiritual. Tetapi semua itu hanya
dapat dicapau di dalam suatu negara ideal. Jika penarikan diri dari masyarakat dan
negara secara esensial mengingkari kodrat manusia, dan karenanya disebut jahat,
maka kejahatan ini dapat ditolerir dengan alasan spiritual: jika dengan
71
menjerumuskan diri dalam urusan keseharian, kenegaraan seseorang malah semakin
jauh daru urusan spiritual, maka kejahatan dari penarikan diri ini pada gilirannya
menjadi aksidental. Justru ini merupakan suatu langkah spiritual niscaya yang
diambil dalam negara-negara tidak ideal.103
Dalam sejarah islam sendiri, tema penarikan-diri dari masyarakat bukanlah
suatu hal yang asing: terdapat Ikhwan al-Safa, suatu kelompok intelektual-spiritual
rahasia yang menyembunyikan identitasnya karena ancaman rezim, konsepsi Imam
tersembunyi dari Syiah yang menyembunyikan identitasnya. Dan bukti konkret dari
sejarah sufisme dalam Islam di mana sufi seperti al-Hallaj yang dianggap sebagai
„alang-alang‟ menjadi korban eksekusi dengen mangabaikan esensi dari pesan
spiritual yang ia sampaikan.104
Maka, dalam sejarah Islam, al-Mutawwahid selalu
berada dalam posisi positif; suatu posisi elitis yang mengandaikan bahwa terdapat
tingkatan pengetahuan dari syari‟at ke hakikat. Di sinilah bedanya konsepsi al-
Mutawwahid dengan sufisme secara umum. Jika dalam konsepsi gnostic sufisme,
pengetahuan yang benar datang dari Tuhan tanpa perlu diupayakan, dan karenanya
tidak dapat direncanakan dan sangat arbitrer; maka konsepsi al-Mutawwahid Ibn
Bajjah menghilangkan model elitism ini. Sebab pada hakikatnya manusia adalah
makhluk rasional, maka al-Mutawwahid harus membawa rasionalitas ini menuju
konsekuensinya yang paling radikal: untuk mencapai spiritualitas, untuk bersatu
103
Ma'an Ziyadah, Ibn Bajja's Book Tadbīr al-Mutawahhid: An Edition, Translation and Commentary,
Tesis, (Montreal: McGill University, Institute of Islamic Studies, 1968) h. 17 104
Ibid. h. 18-19
72
dengan Intelek Aktif melalui jalur-jalur rasional; inilah tujuan penulisan dari Tadbīr
al-Mutawwahid.
E. Dari Metafisik ke Politik
Kala Al- Fārābi, mengikuti jejak Plato dalam Republik, masih mempersoalkan
„Bagaimana bentuk Negara terbaik dan bagaimana cara mewujudkannya?‟ Ibn Bajjah
justru mempersoalkan pemaparan persoalan itu sendiri; ia memaparkan suatu
persoalan politik yang begitu baru, „Bagaimana sang metafisikus meraih tujuan-
tujuannya?‟.105
Falsafah politik Ibn Bajjah bukan falsafah politik yang berlandaskan
pada utopia mengenai negara ideal, bukan sekedar gambaran dari bentuk-bentuk
negara sempurna dan cacat. Falsafah politik Ibn Bajjah adalah suatu jawaban konkret
dan praktis dari persoalan yang ia paparkan, suatu solusi idealis yang realis atas
persoalan kehidupan politis seorang filsuf, seorang metafisikus, seorang yang
terasing, yang dari kumpulannya terbuang. Apa yang membuat mandul diskursus
falsafah politik selama ini adalah kesalahan dalam memaparkan persoalan, Al- Fārābi
masih berkutat dalam ranah teoretis mengenai kehidupan dalam negara ideal, sembari
menafikan fakta bahwa masyarakat di mana ia tinggal tidak pernah ideal, dan seperti
yang dinyatakan Ibn Bajjah, “negara ideal hanya ada dalam ranah ideal”; dus, ini
adalah posisi idealis dari Ibn Bajjah. Dan, dari sinilah solusi realis dari Ibn Bajjah
lahir: alih-alih menunggu datangnya sang filsuf-raja yang dimimpikan Plato dan
dibayangkan Al- Fārābi, mengapa tidak, sebagai sang filsuf menjadi ideal itu sendiri,
105
E.I. J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam: An Introductory Outline, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009) h. 159-160
73
ideal yang menubuh dalam negara yang tidak pernah ideal; alih-alih menanti rezim
pemerintahan yang ideal, mengapa tidak mendirikan rezim-diri, demi mencapai
kebahagiaan diri?
Tawaran politis dari Ibn Bajjah adalah upaya untuk membalikkan persoalan
etika ke ranah praksis. Selama ini para filsuf politik hanya menafsirkan dan
menggambarkan dunia dan negara ideal, yang paling penting adalah untuk mencapai
yang ideal itu melalui suatu jalan. Sekiranya, begitulah keyakinan Ibn Bajjah. Suatu
upaya untuk menjembatani perkara metafisika dengan fisika, suatu ideal dengan
realitas, angan dan ingin. Dalam hal ini, Tadbīr al-Mutawwahid, alih-alih
diterjemahkan menjadi rezim sang filsuf, sebagaimana oleh Nanang Tahqiq, akan
lebih tepat diterjemahkan menjadi rezim sang penyendiri, atau rezim sang
Mutawwahid; poinnya adalah bahwa rezim sang filsuf akan menyejajarkan konsepsi
falsafah politik Ibn Bajjah dan Al- Fārābi yang mengikuti jejak Plato, dalam hal
memimpikan adanya filsuf-raja yang menjadi pimpinan rezim. Kemudian, sang-
penyendiri atau mutawwahid juga akan menambahkan dimensi mistis, sebagaimana
keterkaitan antara Ibn Bajjah dan pemikiran mistis sering dirujuk oleh beberapa
penulis; terlepas dari ketidaksesuaian antara mutawwahid dan konsep ittisal (bukan
ittihad) secara nominal. Penerjemahan menjadi sang-penyendiri atau sang-asing juga
memiliki arti penting terkait dengan konsep “alang-alang” dari Ibn Bajjah.
Ibn Bajjah tidak sedang ingin menulis suatu traktat filsafat politik
sebagaimana umumnya. Dalam Tadbīr, ia sering menyatakan “hal ini dibahas dalam
74
ilmu politik”.106
Artinya, ia memisahkan diri dari persoalan falsafah politik seperti
kategorisasi negara ideal dan tidak ideal, urusan-urusan politik praktis lainnya, dan
menyatakan bahwa “yang terpenting yang kami bahas adalah persoalan mengenai
rezim-diri sang Mutawwahid”. Artinya, politik dalam artian umum dalam tulisannya
memiliki posisi yang aksidental. Ibn Bajjah menyinggung politik sejauh ia berkaitan
dengan tujuan metafisika yang ia usulkan. Politiknya tidak ditujukan untuk
mendirikan suatu rezim politis yang nyata, tetapi mendirikan suatu rezim ideal, yaitu
rezim sepanjang ia merupakan apa-apa yang mengatur tindakan diri seseorang tanpa
mengandalkan institusi di luar akal orang yang bersangkutan, ini adalah rezim akal
sebagai yang bukan rezim fiscal, ini adalah rezim metafisik, bukan rezim fisik. Dus,
falsafah politik Ibn Bajjah dapat disebut sebagai suatu Metafisika Politik, atau Politik
Metafisis.
106
Ma'an Ziyadah, Ibn Bajja's Book Tadbīr al-Mutawahhid: An Edition, Translation and Commentary,
Tesis, (Montreal: McGill University, Institute of Islamic Studies, 1968) h. 6-7
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelum nya,maka dapat di ambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pertama, konsep rasionalisme Ibn Bajjah adalah suatu kemampuan untuk
menghadirkan makna-makna universal dihadapan akal, dan memahaminya
sebagai benar terkait hal ihwal yang terbayangkan, yang ditandai oleh
nya. Melalui wawasan, fakultas rasional melihat makna-makna universal
dalam segala sesuatu. Serta kemampuan untuk membedakan makna-
makna universal dengan sempurna.
2. Kedua, setelah meluruskan epistemologi rasional Ibn Bajjah yang radikal
dalam arti ia tidak berkompromi lagi dengan sumber-sumber pengetahuan
seperti teologi atau mistik, berimplikasi pada perspektif politik Ibn Bajjah.
Ibn Bajjah menganggap bahwa suatu Negara perlu didasari oleh suatu
landasan yakni Tadbīr yang dirumuskan melalui kemampuan rasional.
Pada titik inilah penulis memahami bahwa landasan dari teori politik Ibn
Bajjah adalah suatu Rasionalitas yang diraih dari individu-individu
76
B. .Saran
Penulis berharap kedepan nya kajian tentang Ibn Bajjah bisa lebih banyak
lagi. Selain itu, selanjutnya diharapkan mampu mencari sumber primer lebih
banyak lagi, mengingat sumber primer yang ada di tangan penulis tidak lengkap.
Selain itu pengkajian pemikiran politik Islam di Indonesia terbilang masih cukup
minim, sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas masyrakat Indonesia. Penulis
berharap agar pemikiran politik Islam dapat terus dikaji dan dikembangkan.
Karena sebagaimana yang kita ketahui, politik merupakan hal penting yang
menyangkut hajat hidup orang banyak.
77
DAFTAR PUSTAKA
Abu Nasr Al- Fārābi,Mabadi ara ahl al-Madina al-Fadila
Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama. Jakarta: Kinta. 1968
Akasoy, Anna & Guido Giglioni, Renaissance Averroism and Its Aftermath: Arabic
Philosophy in Early Modern Europe. London: Springer. 2013.
Alfarabi. Fusul muntazaah. Beirut: Dar Al-Masyriq. 1993.
Alfarabi. Tahsil al-sa‟adah. Hyberabad: Majlis Da‟irah al-Ma‟arif al-Utsmaniyyah.
1349.
Arnzen, Rudiger.Averroes,On Aristotle's "Metaphysics": An Annotated Translation of
the So-called "Epitome". New York & Berlin: De Gruyter. 2010.
Bowering, Gerhard (ed.), The Princeton Encyclopedia of Islamic Political Thought.
Princeton & Oxford: Princeton University Press. 2013.
Davidson, Herbert A. Alfarabi, Avicenna and Averroes on Intellect: Their
Cosmologies, Theories of Active Intellect, & Theories of Human Intellect.
Oxford: Oxford University Press. 1992.
Fakhry, Majid.A History of Islamic Philosophy. New York & London: Columbia
University Press. 1970.
Fakhry, Majid. Al- F r bi, Founder of Islamic Neoplatonism; His Life, Works and
Influence. Oxford: Oneworld. 2002.
Fakhry, Majid.Averroes; His Life, Works and Influence. Oxford: Oneworld. 2008.
Glasner, Ruth.Averroes' Physics: A Turning Point in Medieval Natural Philosophy.
Oxford: Oxford University Press. 2009.
78
Groff, Peter S. with Oliver Leaman, Islamic Philosophy A-Z, Edinburgh: Edinburgh
University Press. 2007.
Hanif, Abdulloh.Konsep al-Mutawwahid Ibn Bajjah.Tesis. UIN Sunan Kalijaga.
2016.
Heather Savigny, dan Lee Marsden.Doing Political Science and International
Relations: Theories in Action.Macmillan International Heigher Education
Imam Sukardi, Negara dan Kepemimpnan dalam pemikiran Alfarabi,Jurnal Al-A‟raf
IAIN Surakarta. 2017.
J.H Rapar.Filsafat Politik.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001
Kees Bertens.Sejarah Filsafat Yunani. PT Kanisius
Leaman, Oliver (ed.). The Biographical Encyclopedia of Islamic Philosophy. London
& New York: Bloomsbury. 2015.
Leo Strauss.An introduction to Political Philosophy. Detroit: Wayne State University
Press
Rosenthal, E.I.J. Averroes' Commentary on Plato's Republic: Edited with an
Introduction, Translation and Notes. London: Cambridge University Press.
1969.
Rosenthal, E.I.J. Political Thought in Medieval Islam: An Introductory Outline.
Cambridge: Cambridge University Press. 2009.
Russell,Bertrand, History of Westren Philosophy and Its Conncection with Politcal
and Soscial Cirumstances from the Earliest Times of the Present Day,
terjemahan Sigit Jatmiko Dkk : Sejarah Filsafat Barat; Kaitannya dengan
Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno hingga Sekarang. Yogyakarta: Pustaka
belajar, 2007
79
Shihab, M. Quraish.Konsep Uzlah Dalam Perspektif ibn-Bajjah.Skripsi. UIN Sunan
Ampel Surabaya. 2018.
Yamani. Antara alfarabi dan Khmeini Filsafat Politik Islam
Ziyadah, Ma'an.Ibn Bajja's Book Tadbīr al-Mutawahhid: An Edition, Translation and
Commentary.Tesis. Montreal: McGill University, Institute of Islamic Studies.
1968.