selamat membaca. - tdmrc.unsyiah.ac.idtdmrc.unsyiah.ac.id/.../2016/11/smong-nov-2016-1.pdf · aceh...

16

Upload: others

Post on 10-Sep-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Selamat membaca. - tdmrc.unsyiah.ac.idtdmrc.unsyiah.ac.id/.../2016/11/SMONG-NOV-2016-1.pdf · Aceh dan Tohoku Yu Fukuda, Ph.D. 11 PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPABUMI ACEH
Page 2: Selamat membaca. - tdmrc.unsyiah.ac.idtdmrc.unsyiah.ac.id/.../2016/11/SMONG-NOV-2016-1.pdf · Aceh dan Tohoku Yu Fukuda, Ph.D. 11 PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPABUMI ACEH

2

Smong NEWS I Suplemen Peringatan Bulan PRB dan World Tsunami Awareness Day

07 Nopember 2016

Salam Redaksi

Unsyiah siap lahirkan alumni berwawasan Kebencanaan dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng

Tentang dan Kota Madani Dr. Khairul Munadi

Mewujudkan Masyarakat Tangguh Bencana Bersama Program Studi Magister Ilmu Kebencanaan UnSyiah

Dr. Ir. M. Dirhamsyah, Dr. Nazly, dan Bukhari, MT

Pengetahuan Yang Menyelamatkan Rina Suryani Oktari, S.Kep., M.Si.

Masyarakat Tangguh Bencana Melalui Manajemen Pengetahuan Lokal

Alfi Rahman, M.Si

Antara Mengopi Dan Smong Dr. Ahmad Azan Bin Ridzuan dan Rina Suryani Oktari, S.Kep., M.Si.

Mendidik Dokter Agar Memahami Bencana dr. Rosaria Indah, M.Sc.

Studi Komparatif Ritual Pasca-Bencana : Aceh dan Tohoku Yu Fukuda, Ph.D.

PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPABUMI

ACEH BESAR Dr. rer. nat. Muksin Umar, M.Si., M.Phil.

Tantangan Para Peneliti Ilmu Kebumian di Aceh dalam Memaknai Paradigma Ketangguhan Menghadapi Bencana Alam

Bambang Setiawan, M. Eng.Sc.

Mengapa Di Tanahku Sering Terjadi Tanah Longsor? Ibnu Rusydy, M.Sc.

mengenal sekilas Sistem Informasi Manajemen Risiko Bencana berbasis Internet

Ardiansyah, BSEE.,M.Sc. dan Dr. Nasaruddin, S.T.,M.Eng.

Belajar Tsunami dari Kawasan Indrapurwa di Aceh Besar

Dr. Eng. Syamsidik

D A F TA R I S I SMONG News Pembaca yang budiman, bencana gempabumi

dan tsunami yang hampir memasuki tahun ke 12 semestinya memperkuat pengetahuan dan kesadaran kita bahwa kita hidup di daerah dengan ancaman (hazard) bencana yang tinggi. Semuanya sepakat jika berdamai dengan bencana adalah pilihan yang tepat untuk menghadapi situasi tersebut. Berdamai dengan bencana bermakna bahwa kita harus mempersiapkan dan mengisi pengetahuan agar semakin berbuah pada keputusan dan tindakan yang sesuai dan tepat pada saat terjadi bencana. Mempersiapkan diri untuk menjadi garda terdepan pada setiap upaya dalam mewujudkan masyarakat tangguh bencana, bahkan harapan kita jauh ke depan yaitu menjadi model yang baik untuk memperkaya konsep pengurangan risiko bencana dunia.

Smong News Edisi kali ini hadir bertepatan dengan peringatan bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang jatuh pada bulan Oktober serta dalam rangka World Tsunami Awareness Day 5 Nopember lalu. Edisi ini mengedepankan beberapa konsep resiliensi (resilience) atau ketangguhan dalam perspektif bencana. Resiliensi telah menjadi bahasa yang merepresentasikan salah satu tujuan kita dalam menghadapi kemungkinan bencana dan menggambarkan bagaimana kita dapat pulih dengan cepat bahkan menata kehidupan dengan lebih baik. Memperkuat pengetahuan melalui pendidikan formal maupun nonformal diyakini sebagai salah satu cara yang efektif dalam melakukan sebuah perubahan menuju masyarakat yang memiliki sifat risiliensi pascabencana.

Pendidikan merupakan rangkain perjalanan pengetahuan dari data, informasi, know what, know how hingga berbuah keputusan dan aksi yang tepat, sesuai dan efektif yang di dalamnya terdapat pula unsur waktu, proses dan keberlanjutan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan pemahaman, upaya dan konsistensi demikian maka cita-cita dalam mewujudkan masyarakat yang tangguh bencana (community resilience) akan semakin dapat diwujudkan. Semoga informasi pada Edisi kali ini dapat bermanfaat.

Selamat membaca.

Suplemen ini diterbitkan oleh:UPT Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala

Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC)Pusat Unggulan IPTEK Perguruan Tinggi Mitigasi Bencana Tsunami

Kementerian Ristek dan Dikti

Pengarah : Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng Dr. Hizir Prof. Dr. Husni, SH., M.Hum Dr.AlfiansyahYulianur,BC Dr. Nazamuddin, S.E., MA Prof. Dr. Ir. Hasanuddin, M.S Dr. Khairul Munadi

KoordinatorRedaksi :RinaSuryaniOktari,S.Kep.,M.Si.

Editor :AlfiRahman,M.Si.

Desain dan Tataletak : Mahruza Murdani, ST., MT

TimRedaksi :Dr.Eng.Syamsidik Dr. Ella Meilianda Dr. Nazli Ismail Intan Dewi Keumala, M.Si IbnuRuasydy,M.Sc

Staf Pendukung : Razali Amna, S.Si Wan Akmal, ST., M.Si IkramullahZein,ST.,M.Sc. EkaOktavianus,M.Si.DesaindanFotoSampul:Mahruza Murdani, ST. MT.

Alamat Redaksi : Ground Zero TDMRC Building, 3rd floor

Jl. Prof. Dr. Ibrahim Hasan, Gampong Pie, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, 23233

Telp : (0651) 8052009 Fax : (0651) 8052168website: http://tdmrc.unsyiah.ac.id

email : [email protected]

3

4

5

6

7

8

910

11

12

13

14

15

PUSAT UNGGULAN IPTEK PERGURUAN TINGGI (PUI-PT)

Kementerian Riset, TeKnologi, dan Pendidikan Tinggi tahun 2016-2018

resilient City

Page 3: Selamat membaca. - tdmrc.unsyiah.ac.idtdmrc.unsyiah.ac.id/.../2016/11/SMONG-NOV-2016-1.pdf · Aceh dan Tohoku Yu Fukuda, Ph.D. 11 PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPABUMI ACEH

3

Suplemen Peringatan Bulan PRB dan World Tsunami Awareness Day I Smong NEWS

07 Nopember 2016

Wawancara kHUSUS bersama rektor

Unsyiah siap lahirkan alumni berwawasan Kebencanaan dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.EngRektor Universitas Syiah Kuala

“Tujuan jangka panjangnya adalah

masyarakat di luar Aceh yang ingin belajar tentang kebencanaan, akan belajar

ke Unsyiah. Harapannya ini dapat terwujud sekitar

5 atau 10 tahun yang akan datang. Salah satu

kompetensi lulusan yang ingin kita bangun adalah

alumni yang memiliki kompetensi pengetahuan

kebencanaan dan lingkungan.”

Perguruan tinggi memiliki peran amat penting dalam upaya pengurangan risiko bencana (PRB). Salah satunya adalah dalam menghasilkan sumberdaya insani berwawasan PRB dan penguatan kapasitas pengetahuan (knowledge capacity). Dalam konteks ini, Universitas Syiah Kuala telah melakukan terobosan penting: diberlakukannya mata kuliah umum wajib Pengetahuan Kebencanaan dan Lingkungan (PKL) dalam kurikulum jenjang sarjana. Untuk menggali lebih lanjut tentang kebijakan ini, tim redaksi SMONG News berkesempatan mewawancarai Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng di ruang kerjanya. Berikut petikan wawancaranya:

Mulai tahun akademik 2016/2017, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) memberlakukan mata kuliah wajib Pengetahuan Kebencanaan dan Lingkungan (PKL) untuk semua mahasiswa, bisa Bapak jelaskan lebih jauh tentang kebijakan tersebut?

Penduduk dunia telah mengetahui bahwa pada tanggal 26 Desember 2004 lalu, telah terjadi bencana yang sangat besar di Aceh, yaitu gempabumi disusul tsunami. Berdasarkan penelitian, tsunami 2004 bukanlah yang pertama menerjang daratan Aceh. Tsunami sudah beberapa kali terjadi sebelumnya dan berulang. Sayangnya, upaya sistematis untuk membuat masyarakat kita menyadari kenyataan ini masih kurang. Di Simeulue, tsunami dikenal dengan sebutan Smong. Masyarakat di sana masih sangat terhubung dengan pengalaman tsunami di masa lalu, sehingga awareness mereka masih tinggi. Sebenarnya masyarakat di Aceh daratan sudah mengenal tsunami dengan sebutan Ie-beuna, tapi sepertinya terputus ke generasi kita.

Tsunami 2004 telah menyebabkan lebih 200.000 korban meninggal dunia dan hilang. Infrastruktur juga terdampak, dengan kerusakan yang luar biasa. Setelah lebih dari sepuluh tahun, kita melakukan berbagai review, ternyata ada kecenderungan kepedulian masyarakat terhadap bencana mulai menurun.

Untuk itu, pada tahun 2016 ini kita memasukkan PKL dalam kurikulum baru sebagai mata kuliah wajib. Sebenarnya, mata kuliah kebencanaan sudah diajarkan di beberapa fakultas sejak beberapa tahun lalu, seperti di Fakultas Teknik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, dan Fakultas Kedokteran dan Fakultas Keperawatan. Namun sekarang mata kuliah tersebut menjadi mata kuliah wajib di semua progam studi (prodi) di Unsyiah. Artinya, setiap mahasiswa yang belajar di Unsyiah akan mendapatkan perkuliahan tentang kebencanaan dan lingkungan.

Mahasiswa Unsyiah, yang saat ini berjumlah lebih dari 30.000 orang, diharapkan dapat menjadi ujung tombak bagi Aceh dan Indonesia ke depan dalam menghadapi

persoalan-persoalan kebencanaan dan lingkungan. Katakanlah, bila setiap tahun Unsyiah meluluskan 5000-an orang sarjana, dan beberapa persen saja memiliki pemahaman yang baik tentang isu kebencanaan dan lingkungan, saya pikir itu kontribusi yang signifikan dalam penyediaan sumber daya manusia berwawasan pengurangan risiko bencana (PRB) dan lingkungan. Kelak, mereka ini akan menduduki berbagai posisi, baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Tentunya mereka dapat turut aktif menyelesaikan masalah-masalah yang relevan kebencanaan dan lingkungan. Dalam hal ini, tidak saja tsunami, tapi juga bencana lain seperti gempabumi, tanah longsor, banjir, kerusakan lingkungan, dan lain-lain.

Bagaimana kesiapan Unsyiah dalam memberlakukan mata kuliah PKL ini?

Kita akui bahwa sumber daya manusia di Unsyiah yang memiliki kompetensi di bidang kebencanaan dan lingkungan masih terbatas. Namun, kita melakukan berbagai upaya untuk mengatasi hal tersebut, seperti pelaksanaan lokakarya dan training of trainer kepada para dosen yang mengasuh mata kuliah PKL ini di semua fakultas. Mungkin di tahun pertama saja kita agak kesulitan. Banyak dosen kita yang berminat mengasuh mata kuliah ini dan memiliki background keilmuan yang relevan, seperti di bidang geofisik, fisika, biologi, kimia, teknik, dan lain-lain. Jadi, Insya Allah, dapat kita atasi dalam waktu dekat.

Apa tujuan jangka pendek dan jangka panjang diberlakukannya mata kuliah PKL ini?

Untuk diketahui bahwa setiap Perguruan Tinggi perlu memiliki fokus kajian sendiri sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerahnya. Salah satu yang menjadi bidang fokus Unsyiah adalah kebencanaan. Jadi, tujuan jangka panjangnya adalah menjadikan Unsyiah sebagai

center of excellence di bidang kebencanaan. Masyarakat di luar Aceh yang ingin belajar tentang kebencanaan dapat datang ke Unsyiah. Tujuan jangka pendeknya untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi di bidang kebencanaan dan lingkungan. Inilah kekhasan dari lulusan Unsyiah, yang tidak dimiliki oleh lulusan universitas lain. Harapannya, hal ini dapat terwujud dalam 5 atau 10 tahun ke depan.

Apa tantangan terbesar Unsyiah untuk dapat mewujudkan masyarakat tangguh bencana?

Tantangan yang paling berat adalah kepedulian. Kadang-kadang masyarakat kita apatis. Umur, takdir, memang sudah ditentukan Allah. Tapi kita tetap didorong untuk melakukan ikhtiar, berusaha. Jangan menjadi masyarakat yang apatis. Kalau kita mempersiapkan diri maka kerugian akibat bencana dapat dikurangi. Misalnya saat terjadi banjir, kita katakan itu kehendak Allah, padahal kita sebenarnya bisa menghindarinya dengan tidak merusak lingkungan dan menjaga kelestariannya. Unsyiah ikut terlibat membangun kepedulian masyarakat dengan pengetahuan, agar memiliki kesiapsiagaan dan kepedulian. Dengan begitu, dampak bencana dan jumlah korban diharapkan dapat dikurangi.

Setelah hampir 12 tahun sejak terjadinya tsunami, bagaimana tingkat kesiapsiagaan masyarakat secara umum terhadap bencana?

Potret kesiapsiagaan kita dapat dilihat saat terjadi gempa kembar tahun 2012. Yang terjadi saat itu jalanan macet dan sebagian besar orang dalam keadaan panik. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita belum siap. Sudah saatnya kita serius melaksanakan pendidikan kebencanaan. Di sekolah-sekolah dan di komunitas perlu dilaksanakan drill (latihan) menghadapi situasi bencana secara regular, sehingga masyarakat peduli dan memiliki kesiapsiagaan yang baik. Jika drill jarang dilakukan, maka masyarakat akan lupa. Jepang adalah salah satu negara yang secara regular melakukan berbagai latihan menghadapi bencana, tidak hanya di sekolah tapi juga di level komunitas.

Saya juga ingin mengingatkan bahwa kita memang perlu melakukan berbagai upaya mitigasi, namun harus senantiasa menghadirkan kesadaraan bahwa kekuasaan Allah jauh lebih besar dari apa yang telah kita usahakan. Seperti kejadian tsunami yang menerjang wilayah Tohoku, Jepang. Mereka membangun tembok penahan tsunami sebagai upaya mitigasi. Ternyata, kedahsyatan tsunami di luar prediksi mereka. Ini menunjukan keterbatasan pengetahuan manusia dan harus kita terima ketika ikhtiar yang kita lakukan telah maksimal. Wawasan inilah yang perlu dan sedang kita usahakan. Melalui mata kuliah PKL, kita berharap dapat memberikan pemahaman yang baik kepada mahasiswa tentang bagaimana harus bersikap menghadapi risiko bencana di masa yang akan datang. Selanjutnya, mereka akan menularkan pemahaman tersebut kepada orang-orang di lingkungannya.

Selain itu, tentu saja diperlukan usaha yang terus-menerus untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat. Saya pikir, semua pihak harus saling bersinergi dalam mewujudkan masyarakat kita tangguh bencana (AR, KM, MZ, OK) (***)

Page 4: Selamat membaca. - tdmrc.unsyiah.ac.idtdmrc.unsyiah.ac.id/.../2016/11/SMONG-NOV-2016-1.pdf · Aceh dan Tohoku Yu Fukuda, Ph.D. 11 PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPABUMI ACEH

4

Smong NEWS I Suplemen Peringatan Bulan PRB dan World Tsunami Awareness Day

07 Nopember 2016

Tentang dan Kota Madani

Dr. Khairul MunadiKepala UPT Mitigasi Bencana/ TDMRC Universitas Syiah Kuala “Dalam konteks bencana,

kota madani adalah kota yang berketuhanan sekaligus berketahanan

(resilient).”

Resilient City

Siklus dalam membangun masyarakat yang tangguh Sumber: dialogdesign.ca

Dalam waktu tak terlalu lama lagi, kita akan kembali memperingati peristiwa tsunami 26 Desember 2004. Tak terasa, peristiwa dahsyat itu segera memasuki masa dua belas tahun. Meski tsunami mendatangkan duka dan kerugian masif, banyak pula hal yang harus disyukuri. Tsunami telah memadamkan api konflik di Aceh. Tsunami juga memberi Aceh “wajah” baru melalui pembangunan fisik yang mengagumkan. Dan yang tak kalah penting, tsunami telah merubah cara pandang kita terhadap bencana: dari responsif menjadi preventif.

Pada masa-masa rehabilitasi dan rekonstruksi, kita melihat begitu menggeliatnya inisiatif dan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana (PRB) dalam berbagai program. Sayangnya, setelah melewati satu dekade, warna PRB itu mulai meredup. Beberapa kajian peneliti TDMRC menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di daerah pesisir kini cenderung melupakan risiko tsunami. Program sekolah siaga bencana di beberapa sekolah, yang lokasinya di daerah rawan tsunami, tidak lagi berlanjut. Keberpihakan anggaran untuk program-program penanggulangan bencana di daerah juga belum menggembirakan. Padahal, ancaman bencana di sekitar kita begitu nyata, termasuk yang relatif baru seperti perubahan iklim.

Bila kondisi di atas dibiarkan, dikhawatirkan kesadaran kolektif kita tentang pentingnya upaya PRB dapat semakin lemah. Tanpa disadari, kita dapat kembali lupa bahwa kita dan anak cucu tinggal di daerah yang penuh ancaman bencana.

Ada tiga pilihan hidup aman dalam menghadapi lingkungan dengan ragam ancaman bencana. Pertama, menyingkirkan ancaman yang ada. Kedua, menghindar atau pindah dari tempat yang mengandung ancaman. Dan ketiga, hidup berdampingan dengan ancaman sembari memupuk dan menumbuhkembangkan ketahanan/ketangguhan (resiliensi). Bagi mayoritas kita di Aceh, opsi ketiga adalah yang paling niscaya.

Makna ResiliensiResiliensi berasal dari kata latin “resilio”

yang berarti “bounce back” atau memantul, kembali ke keadaan semula. Istilah resiliensi awalnya digunakan dalam ilmu-ilmu sosial untuk menggambarkan individu, yang meski dilahirkan dan hidup dalam situasi sukar, namun tetap dapat bertahan dan hidup sukses.

Dalam konteks bencana, ada banyak definisi tentang resiliensi. Secara bebas, resiliensi dapat dipahami sebagai kemampuan individu atau komunitas untuk beradaptasi dan bertahan dalam situasi yang mengandung ancaman bencana. Definisi ini dapat diturunkan dalam tataran lebih praktis di tiga tahapan bencana: prabencana, saat bencana, dan pascabencana.

Resiliensi pada prabencana berimplikasi pada maksimalisasi upaya mitigasi, mengurangi

risiko, dan kesiapsiagaan. Pada saat bencana, resiliensi diindikasikan dengan adanya kemampuan memilih tindakan yang cepat dan tepat dalam menyelamatkan diri. Sedangkan di tahap pascabencana, resiliensi merefleksikan kemampuan untuk menerima kenyataan telah ditimpa kesulitan dan tidak larut dalam kesedihan, untuk kemudian bangkit kembali menjalani kehidupan (move on) seperti semula.

Ikhtiar dan TawakalBila kita telaah lebih jauh, konsep

resiliensi di atas sebetulnya bukan sesuatu yang asing. Dalam banyak hal, ajaran agama mendorong kita untuk memaksimalkan ikhtiar dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah (tawakal) apapun yang kita terima setelahnya.

Hal ini juga berlaku dalam konteks bencana. Sebelum ancaman (hazards) mewujud menjadi bencana, seyogyanya kita melakukan berbagai ikhtiar untuk mengurangi risiko. Hal ini dapat dilakukan melalui identifikasi ancaman, peningkatan kapasitas, dan penurunan kerentanan. Tentu saja peran pemerintah, selaku perumus kebijakan, sangat penting dalam memobilisasi ikhitiar kolektif masyarakat. Bila kemudian bencana terjadi dan menimbulkan banyak korban dan kerugian, kita akan menerimanya dengan tawakal sebagai suatu ketentuan. Dengan tawakal, langkah kita untuk bangkit kembali (move on) membangun kehidupan pun menjadi ringan.

Mari melihat pengalaman masyarakat Jepang dalam menghadapi bencana. Mereka sangat kuat melakukan ikhtiar berbasis ilmu pengetahuan saat prabencana, dengan berbagai upaya mitigasi yang tersistematis. Namun masyarakat Jepang lemah pada aspek tawakal karena tidak memiliki sandaran religius yang kuat. Sehingga, pascabencana, banyak orang memilih untuk bunuh diri, sebagai bentuk keputusasaan menghadapi kesukaran hidup.

Sebaliknya, masyarakat kita menonjol dalam aspek tawakal. Mereka mudah berlapang dada menerima kesulitan berat akibat bencana sebagai ketentuan Tuhan. Tidak pernah terdengar di tempat kita ada korban yang bunuh diri pascabencana.

Hanya saja, harus diakui bahwa kita masih sangat lemah di sisi ikhtiar. Paradigma PRB belum cukup mengarusutama dan berkelanjutan mewarnai program-program pembangunan fisik dan insani.

Kota MadaniDi sisi lain, kota madani adalah kota yang

berkemajuan dan berperadaban berlandaskan nilai-nilai islami (islamic values) yang intrinsik. Dalam imagi saya, kota madani yang terpapar ancaman bencana adalah kota yang tetap liveable sebagai konsekuensi dari implementasi berbagai islamic values.

Dengan begitu, banyak tuntutan yang harus dipenuhi oleh sebuah kota madani agar warganya dapat hidup bersahabat dengan bencana. Kota madani adalah kota yang melakukan berbagai ikhtiar untuk melindungi warganya dari kemungkinan terjadinya bencana. Kota yang membangun kapasitas warganya untuk mengedepankan ikhtiar mengurangi risiko bencana, kemudian tawakal menghadapi ancaman bencana.

Dengan kata lain, salah satu penciri kota madani yang terletak di daerah rawan bencana adalah kota yang senantiasa membangun resiliensi warganya menghadapi bencana. Kota madani adalah kota yang berketuhanan sekaligus berketahanan (resilient). Bagaimana dengan kota kita? (***)

Page 5: Selamat membaca. - tdmrc.unsyiah.ac.idtdmrc.unsyiah.ac.id/.../2016/11/SMONG-NOV-2016-1.pdf · Aceh dan Tohoku Yu Fukuda, Ph.D. 11 PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPABUMI ACEH

5

Suplemen Peringatan Bulan PRB dan World Tsunami Awareness Day I Smong NEWS

07 Nopember 2016

Mewujudkan Masyarakat Tangguh Bencana Bersama Program Studi Magister Ilmu Kebencanaan UnSyiah

Dr. Ir. M. Dirhamsyah1, Nazli Ismail, Ph.D2, dan Bukhari, S.Si., MT3

Penyambutan Mahasiswa Baru

Bencana Tsunami 24 Desember 2004, meluluh lantakkan sebagian besar wilayah pesisir Aceh dan mengakibatkan ratusan ribu jiwa menjadi korban terjangan gelombang tsunami yang mencapai ketinggian 30 meter di sebagian wilayah pantai Aceh. Wilayah Aceh telah diketahui pernah terjadi tsunami besar berapa kali sekitar ratusan tahun yang lalu, namun ketidak-pedulian terhadap pengalaman dan pengetahuan bencana tsunami menyebabkan korban terbesar pada dekade abad 21.

Pengalaman bencana tsunami tahun 2004 menjadikan masyarakat sadar akan arti penting pendidikan kebencanaan. Kebutuhan pengetahuan kebencanaan tentunya perlu direalisasikan dalam bentuk pelaksanaan pendidikan berkelanjutan yang terkoordinir secara terus menerus. Oleh karena itu hasil pemetaan kebutuhan pendidikan kebencanaan yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) dan Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) di Aceh menyebutkan bahwa kebutuhan pendidikan kebencanaan di Aceh sangat mendesak dan perlu dilakukan segera untuk mencetak kader-kader masyarakat yang sadar bencana dan juga melahirkan para ahli dalam bidang kebencanaan.

Tindaklanjut kedatangan tim Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala ke Dirjen Pendidikan tinggi untuk meminta dukungan pembukaan Program Studi Magister Ilmu Kebencanaan (MIK) di lingkungan Universitas Syiah Kuala. Pendirian Prodi MIK juga berdasarkan tindaklanjut dari RPJM tahun 2010-2014 tentang memperkuat sinergi antar bidang pembangunan dimana Indonesia (TDMRC, Pemerintah Indonesia, NAM CSSTC) menjadi focal point dalam kerjasama Proyek Selatan-selatan.

Setelah dilakukan berbagai upaya untuk mendirikan Program Studi Magister Ilmu Kebencanaan dalam lingkungan program pasca sarjana (PPs) Universitas Syiah Kuala maka, Menteri Pendidikan Nasional RI mengeluarkan keputusan No. 219/E/O/2011 tentang penyelenggraan Program Studi Magasiter Ilmu Kebencanaan pada tanggal 30 September 2011. Dalam menjalankan misinya, Program studi MIK menetapkan tujuan utama yaitu mengurangi risiko bencana melalui pendidikan dan peningkatan pengetahuan kebencanaan sehingga menghasilkan Master Sains yang berbasis kompetensi dari multi disiplin ilmu dan berwawasan long life learning dan juga menghasilkan produk penelitian dan pengabdian masyarakat bidang kebencanaan yang berkualitas di tingkat nasional maupun internasional.

Kurikulum Prodi MIK disusun sesuai kebutuhan masyarakat dan kondisi sosial budaya dan juga secara teknis seperti geografis. Saat ini kurikulum yang diterapkan di prodi MIK telah melalui pengembangan-pengembangan sesuai dengan standar yang dibutuhkan untuk bersaing dan menghasilkan Ilmu Sains Kebencanaan yang berkualaitas tinggi dan dapat bersaing ditingkat nasional dan Internasional. Kurikulum prodi MIK disusun berdasarkan tiga konsep utama yaitu bidang Geosains dan bidang Hidrometeorologi, bidang Mitigasi dan Manajemen Bencana, Kesehatan dan Humaniora. Jumlah SKS yang telah disusun

sesuai dengan standar pendidikan 72 SKS.Sejak didirikan prodi MIK telah banyak

menarik perhatian masyarakat terbukti dengan jumlah pelamar sebagai mahasiswa angkatan perdana tahun 2011 mencapai 71 orang kemudian pada tahun selanjutnya bertambah menjadi 92 orang mahasiswa. Saat ini tercatat sebanyak 284 orang mahasiswa dan pada tahun 2015 Prodi MIK telah melahirkan 91 orang lulusan. Kontribusi alumni dalam pengurangan risiko bencana diharapkan dapat menyeberluaskan informasi ke setiap bidang di mana alumni bekerja sehingga dapat memenuhi ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) bidang kebencanaan di setiap wilayah propinsi Aceh.

Prodi MIK telah bekerjasama dengan berbagai instansi termasuk dengan Program Beasiswa Unggulan (BU) pada tahun 2012 kerjasama tersebut menuai hasil dimana sebanyak 17 orang mahasiswa Prodi MIK memperoleh Beasiswa Unggulan. Tidak berhenti disitu, program kerjasama dengan BU sampai sekarang masih terjalin dengan baik dan MIK juga telah mengusulkan calon nama-nama mahasiswa MIK penerima BU untuk tahun selanjutnya. Selain itu, Kerjasama dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan RI juga sedang dirintis. Pihak LPDP telah melaksanakan kunjungan ke Prodi MIK untuk meninjau lokasi dan kapasitas. Kerjasama dengan LPDP ini nantinya diharapkan mampu memberi kesempatan khusus untuk calon penerima yang berasal dari daerah terpencil di wilayah Aceh.

Program kerjasama luar negeri MIK sejak berdiri tahun 2011 lalu juga telah giat dilakukan terutama dengan universitas dan instansi Jepang. Salah satu program yang telah dilakukan adalah dengan CIAS Kyoto University pada Januari tahun 2015, dimana 4 orang mahasiswa MIK dan dua orang dosen terdiri dari satu orang peneliti TDMRC dan satu orang pengelola prodi MIK berkesempatan belajar ke Jepang tentang kebencanaan yang telah di terapkan oleh masyarakat Jepang. Program-

program kerjasama kedepan akan terus digiatkan terutama dalam bidang beasiswa dan bidang kerjasama luar negeri demi peningkatan SDM dan pertukaran ilmu pengetahuan dengan pihak luar negeri terutama dalam bidang pendidikan kebencanaan.

Kedepan program pembukaan kelas internasional telah mulai dirancang perencanaannya mengacu pada peran TDMRC Unsyiah dalam melakukan training-training terhadap anggota dari negara-negara tetangga yang telah dilakukan beberapa kali oleh TDMRC. Oleh karena itu potensi untuk pembukaan kelas internasional sangat mungkin dilakukan kedepan mengingat minat belajar tentang pengetahuan bencana dari negara lain,

Selain itu, peran organisasi mahasiswa Prodi MIK (Hibeuna) dalam pengurangan risiko bencana juga aktif dilakukan seperti bakti sosial, pendidikan bencana ke daerah terpencil dan daerah pulau-pulau yang tersebar di wilayah Aceh. Kerjasama Hibeuna dengan mahasiswa internasional juga telah dilakukan seperti kegiatan scout camp kolaborasi mahasiswa MIK, mahasiswa Jepang yang tergabung dalam program JISI-MIS dimana HIbeuna merupakan koordinator kegiatan.

Dengan hadirnya prodi MIK sudah saatnya estafet pendidikan kebencanaan disampaikan sampai ke pelosok daerah terutama wilayah Aceh, agar generasi kita selanjutnya mengerti dan siap siaga dalam menghadapi setiap kemungkinan bencana. Penyampaian pengetahuan kebencanaan tidak hanya bisa disampaikan oleh para sarjana bidang kebencanaan namun diperlukan keterlibatan semua elemen masyarakat. Master dan ahli kebencanaan berperan dalam bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam menyampaikan informasi yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian secara ilmiah sehingga informasi yang diperoleh masyarakat adalah sesuatu yang valid. Menjadikan masyarakat yang berwawasan dalam bidang kebencanaan adalah harapan kita semua. (***)

1 Dewan Pengarah Badan Penangulangan Bencana Aceh (BPBA)2 Ketua Prodi Magister Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala

3 Kaur Akademik dan Keuangan Prodi Magister Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala

Page 6: Selamat membaca. - tdmrc.unsyiah.ac.idtdmrc.unsyiah.ac.id/.../2016/11/SMONG-NOV-2016-1.pdf · Aceh dan Tohoku Yu Fukuda, Ph.D. 11 PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPABUMI ACEH

6

Smong NEWS I Suplemen Peringatan Bulan PRB dan World Tsunami Awareness Day

07 Nopember 2016

Pengetahuan yang menyelamatkan

Rina Suryani Oktari, S. Kep., M.Si.Koordinator Klaster Riset Disaster Education and Management, TDMRC Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Syiah [email protected]

Jika kita melihat kembali berbagai kejadian bencana yang pernah terjadi, banyak korban yang berjatuhan disebabkan tidak tersedianya pengetahuan tentang bencana tersebut. Sebut saja kejadian tsunami yang melanda tahun 2004 silam. Perbedaan yang cukup signifikan tampak dari jumlah korban meninggal antara kota Banda Aceh dengan kabupaten Simeulue. Di Banda Aceh, jumlah korban meninggalnya sebanyak 61.065 jiwa, sedangkan di Simeulue yang justru sangat dekat dengan pusat gempa, jumlah korban yang meninggal hanya 7 jiwa. Hal ini disebabkan masyarakat Simeulue memiliki pengalaman serupa yang terjadi tahun 1907. Pada waktu itu masyarakat simeulue menamakan istilah ombak besar (tsunami) dengan sebutan Smong. Kedahsyatan Smong serta gejala-gejala alam yang mendahuluinya, kemudian diceritakan secara turun temurun dari generasi ke generasi dalam bentuk nafi-nafi (sastra lisan) pada waktu senggang atau menjelang tidur. Inilah yang membuat pengetahuan masyarakat Simeulue tentang Smong tetap lestari dan tersebar luas di masyarakat Simeulue hingga saat ini. Jadi tak heran ketika Tsunami tahun 2004 lalu, masyarakat Simeulue mampu merespon dengan mengevakuasi diri ke tempat yang lebih tinggi.

Kita juga tentunya masih ingat dengan bencana Gempabumi Besar Jepang Timur atau Great East Japan Earthquake yang terjadi pada 11 Maret 2011 lalu. Gempa dengan skala 9 SR ini, tercatat sebagai gempabumi terbesar kedua di dunia dari segi magnitude-nya dan juga merupakan gempabumi terbesar yang melanda Jepang sejak 1900. Bahkan bencana ini juga dinyatakan sebagai megadisasters, yaitu bencana terburuk yang pernah terjadi di dunia, karena melibatkan tiga bencana dalam sekali waktu: gempa bumi, gelombang tsunami yang mencapai ketinggian sepuluh meter, serta krisis reaktor nuklir Fukushima.

Dari peristiwa maha dahsyat itu, terdapat pembelajaran menarik yang terjadi di Kamaishi, salah satu kota yang terkena dampak. Pada saat itu dilaporkan bahwa seluruh siswa SD dan SMP

yang saat itu berada di sekolah masing-masing, berhasil menyelamatkan diri mereka. Para siswa SMP juga turut membantu siswa SD di sekitarnya untuk mengevakuasi diri ke tempat yang aman. Dari total 2.924 orang siswa SD dan SMP di Kamaishi, hanya lima orang yang menjadi korban. Empat orang di antaranya adalah mereka yang tidak masuk sekolah atau mereka yang meninggalkan sekolah lebih dulu, dan satu orang lainnya diketahui hilang tersapu tsunami setelah pulang berkumpul bersama keluarganya. Kejadian ini kemudian dikenal dengan “Kamaishi Miracle” yang dikaitkan dengan pendidikan kebencanaan yang kuat melalui latihan menghadapi bencana yang ikuti para siswa di sekolahnya sejak tahun 2005, termasuk pengetahuan lokal “tendenko” yang berarti menyelamatkan diri sendiri ke tempat yang lebih tinggi tanpa mencari kerabat atau teman-teman.

Kedua pembelajaran di atas, baik Smong di Simeulue maupun “Kamaishi Miracle” menggambarkan bagaimana pengetahuan memiliki peran yang penting dalam menyelamatkan nyawa saat bencana. Tapi apakah cukup hanya sekedar memiliki pengetahuan saja? Smong misalnya, diceritakan pada waktu senggang atau menjelang tidur secara turun temurun dari generasi ke generasi. Begitupun halnya di Kota Kamaishi, pengetahuan yang diperoleh siswa dari pendidikan bencana diikuti dengan latihan (drill) yang dilaksanakan secara reguler sehingga pengetahuan tersebut dapat digunakan untuk menyelamatkan diri.

Pengetahuan itu sendiri terbagi dua, yaitu pengetahuan tasit (tacit knowledge) dan pengetahuan eksplisit (explicit knowledge). Pengetahuan tasit ini merupakan pengetahuan terpendam atau masih tersimpan dalam pikiran manusia sehingga sulit untuk dikomunikasikan atau disebarkan kepada orang lain. Sedangkan pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang terungkap, yang terekspresikan secara jelas, melalui kata-kata, teks, maupun gambar, sehingga dapat dengan mudah ditangkap, didokumentasikan dan disebarluaskan. Transformasi pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan tasit dan sebaliknya merupakan proses yang sangat penting bagi penciptaan dan penyebarluasan pengetahuan itu sendiri.

Sebuah gagasan tentang Tangga Pengetahuan (Knowledge Ladder) diperkenalkan oleh North dan Kumta (2014). Tangga Pengetahuan ini menggambarkan bagaimana pengetahuan eksplisit berupa know-what kemudian diinternalisasi menjadi pengetahuan tasit know-how. Jika pada mulanya seseorang hanya mengetahui makna dan konteks tentang sesuatu hal, maka dengan mengaplikasikan/ mempraktekkan pengetahuan tersebut, dapat memberikan motivasi untuk melakukan tindakan. Kesuksesan dari Tangga Pengetahuan adalah ketika seseorang dapat bertindak dengan pilihan yang tepat.

Dalam konteks kebencanaan, keberhasilan tangga pengetahuan ini ada pada hubungan antara manajemen pengetahuan dengan ketahanan bencana. Dimana, dengan pengetahuan yang dimiliki dapat memotivasi seseorang dalam mengambil tindakan yang tepat untuk menyelamatkan nyawa, seperti apa yang telah dilakukan oleh masyarakat Simeulue dan para siswa di Kamaishi. Untuk itu, sudah seyogyanya, upaya pendidikan kebencanaan yang dilakukan, dibarengi dengan latihan, simulasi/ drill, sehingga pengetahuan yang diperoleh dapat diaplikasikan. Tentunya simulasi ini harus dilakukan secara berkesinambungan supaya pengetahuan tersebut benar-benar tertanam di alam bawah sadar, sehingga ketika bencana terjadi, seseorang akan merespon secara tepat untuk menyelamatkan diri. (***)

Pembuatan peta evakuasi sekolah oleh siswa.

Page 7: Selamat membaca. - tdmrc.unsyiah.ac.idtdmrc.unsyiah.ac.id/.../2016/11/SMONG-NOV-2016-1.pdf · Aceh dan Tohoku Yu Fukuda, Ph.D. 11 PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPABUMI ACEH

7

Suplemen Peringatan Bulan PRB dan World Tsunami Awareness Day I Smong NEWS

07 Nopember 2016

Peneliti TDMRC Universitas Syiah KualaKandidat Doktor di Department of Environment and Resources Policy,

Human Security Program. Tohoku University, [email protected]

Alfi Rahman, M.Si.

MASYARAKAT TANGGUH BENCANA MELALUI MANAJEMEN PENGETAHUAN LOKAL

Upaya-upaya yang dilakukan dalam mewujudkan masyarakat tangguh bencana memasuki tren baru dengan semakin terintegrasinya dan lebih komprehensif pendekatan yang dilakukan. Kesadaran ini muncul sebagai upaya yang lebih sistimatis dalam memandang bencana sebagai bagian yang tidak dapat dihindari apalagi ditahan dengan segenap upaya struktural. Telah banyak penelitian yang memperlihatkan jika bencana alam memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari kemampuan manusia untuk menahannya. Salah satu kata kunci yang dinilai efektif dalam menghadapi kemungkinan bencana di masa yang akan datang adalah adaptasi. Kemampuan beradaptasi dalam hal ini adalah kemampuan untuk dapat siap serta pulih dengan capaian yang lebih baik (build back better) saat bencana datang. Kemampuan adaptasi ini direpresentasikan dalam istilah masyarakat tangguh bencana.

Tren baru saat ini dalam bidang kebencanaan adalah mendorong setiap peneliti untuk dapat menarik benang merah hasil penelitian mereka, memberikan kontribusi nyata pada upaya-upaya pengurangan risiko bencana. Salah satunya yang terpenting itu adalah dengan menggali dan mengembangkan kembali pengetahuan lokal yang ada di tengah masyarakat itu sendiri. Pada dasarnya masyarakat kita memiliki serangkaian kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang tidak menguntungkan yang terbentuk dari kurun waktu tertentu. Kemampuan masyarakat membentuk pengetahuan ini terakumulasi dalam beberbagai saluran diantaranya nyayian, syair, tarian, ritual dan lain sebagainya. Namun saluran yang digunakan cendrung tidak berkelanjutan karena tersimpan dalam budaya tutur yang bersifat intangible dan berpotensi untuk punah karena tidak terdokumentasi dengan baik.

Belajar dari masyarakat Jepang, mereka memiliki sejumlah pengetahuan lokal yang bersenyawa dengan tuanya budaya dan pengetahuan mereka. Khasnya masyarakat Jepang, mereka mampu mendokumentasikan setiap peristiwa penting di masa lampau termasuk kejadian bencana dengan baik dan menjadikannya sebagai bahan pembelajaran dalam mengembangkan dan mempersiapkan pengetahuan untuk menghadapi kemungkinan bencana selanjutnya. Sebagai contoh adalah sebagaian syair Kudoki yang dinyayikan pada Bondori yaitu salah satu festival terbesar masyarakat Jepang di musim panas. Bondori adalah event bagi masyarakat Jepang untuk berkumpul bersama-sama keluarga dan komunitasnya untuk memperingati leluhur mereka. Salah satu kegiatannya adalah festival menari tersebut adalah mendendangkan lirik-lirik Kudoki. Salah satu lirik Kudoki yang menyimpan pengetahuan tsunami adalah Kudoki dari daerah Nankai yang liriknya bercerita tentang peristiwa gempabumi dan tsunami Tonankai dan Nankai yang terjadi pada tahun 1834. Lirik Kudoki ini berisi pengetahuan tentang beberapa fenomena tsunami yaitu gempabumi, air laut surut dan naiknya air laut ke daratan dan meluluhlantakkan semua yang

dilaluinya. Lirik Kudoki juga menceritakan apa yang harus dilakukan jika melihat fenomena alam tersebut dengan segera menyelamatkan diri dengan menjauhi pantai, serta mencari tempat yang lebih aman dan tinggi. Menariknya, pada akhir lirik kudoki ini, terdapat pesan yang diulang hingga tiga kali yaitu “tsu-ta-en” yang berarti sebarkan pengetahuan ini kepada generasi selanjutnya. Disinilah terlihat pentingnya memastikan jika pengetahuan harus dipastikan berkelanjutan untuk generasi berikutnya. Inspirasi dari lirik Kudoki ini memiliki kisah yang sama dengan khasanah pengetahuan lokal masyarakat Simeulue dengan kisah dan lirik Nandong yang bercerita tentang smong yang juga berarti tsunami dalam bahasa lokal masyarakat Simeulue. Kisah Smong menggambarkan fenomena tsunami dan juga menyimpan pengetahuan bagaimana selayaknya bersikap saat bencana terjadi. Pengetahuan lokal Smong ini berhasil menyelamatkan masyarakat Simeulue dari bencana tsunami 2004 yang lalu dan telah mendapat perhatian yang besar untuk dapat dipelajari lebih lanjut.

Pengetahuan yang tersimpan di dalam masyarakat adalah potensi yang besar untuk kemudian berinteraksi dengan pengetahuan dan pendekatan modern. Meskipun pendidikan kebencanaan sudah semakin dirasa penting dalam sistem pendidikan, kita masih memiliki tantangan untuk tidak hanya puas sampai pada tahapan sekedar tahu apa (know what) dan tahu bangaimana (know how) terhadap risiko bencana disekeliling kita. Jauh lebih penting adalah apakah pengetahuan itu dapat melahirkan sikap yang menggerakkan kepada aksi dan keputusan yang tepat saat bencana terjadi dan memastikan pula bahwa kita akan dapat segera pulih dengan capaian yang lebih baik.

Manajemen Pengetahuan Lokal Manajemen Pengetahuan (Knowledge

Management) menjadi mendesak untuk

memastikan jika pengetahuan yang ada di dalam masyarakat dapat langgeng untuk mewujudkan masyarakat tangguh bencana. Pengetahuan yang terdapat di dalam masyarakat sebagai sebuah khasanah yang disadari akan menjadi bagian yang perlu pengaturan dan manajemen pengetahuan yang sistematis. Saluran pengetahuan yang digunakan selama ini cendrung menggunakan salural oral, perlu didokumentasikan dengan produk-produk yang lebih inovatif.

Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi ruang lingkup yang perlu diperhatikan dalam melakukan dan menjaga pengetahuan lokal yang berkaitan dengan bencana ini agar terpastikan memberikan kontribusi dalam mewujudkan masyarakat tangguh bencana diantaranya adalah:

1) menggali potensi pengetahuan lokal yang dapat digunakan untuk mendeteksi, mengenal dan menginterpretasikan ancaman bencana yang ada di lingkungannya;

2) pengetahuan lokal yang ada tersebut dikomunikasikan dengan cara yang tepat kepada masyarakat;

3) pengintegrasian seluruh informasi, pengetahuan ke dalam struktur masyarakat yang dapat disimpan dalam bentuk budaya, program yang berkesinambungan dan terintegrasi dengan semua struktur masyarakat.

Elaborasi pengetahuan lokal ini memerlukan serangkaian tindakan dalam mengatur potensi pengetahuan tersebut dapat bersenyawa pula dengan setiap perubahan, sehingga masyarakat tidak menjadi gagap dalam mengambil dan melakukan tindakaan saat bencana terjadi. Kegiatan manajemen pengetahuan lokal dalam hal ini juga termasuk memberikan kesempatan inovasi dan adaptasi seluas-luasnya agar potensi pengetahuan lokal dapat berinteraksi dengan pendekatan yang lebih terkini, perubahan waktu termasuk diantaranya membuka diri dengan dunia luar.(***)

Manajemen pengetahuan lokal untuk pengurangan Risiko Bencana

Page 8: Selamat membaca. - tdmrc.unsyiah.ac.idtdmrc.unsyiah.ac.id/.../2016/11/SMONG-NOV-2016-1.pdf · Aceh dan Tohoku Yu Fukuda, Ph.D. 11 PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPABUMI ACEH

8

Smong NEWS I Suplemen Peringatan Bulan PRB dan World Tsunami Awareness Day

07 Nopember 2016

Program pendidikan bertujuan meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap isu-isu penting seperti kesehatan, lingkungan, dan lain-lain. Masyarakat setempat harus menyadari dan ketersedian informasi tentang risiko bencana serta bagaimana mereka harus menyikapinya. Masyarakat juga harus berbagi pengetahuan untuk membangun ketahanan mereka. Setiap kelompok masyarakat harus mengambil bagian dalam kampanye kesadaran dan dalam hal ini diperlukan pula keterlibatan media.

Modernisasi dalam menyediakan secangkir kopi dapat diumpamakan dengan modernisasi dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana. Pedekatan berbasis teknologi dalam membaca tanda-tanda bencana perlu dipelajari dan dipraktikkan agar semua lapisan masyarakat dapat memahami dengan secara terperinci terutama penduduk yang berada di kawasan rawan bencana. Zaman telah berubah, smong masih dapat berfungsi dan tetap perlu dipelajari. Namun mengopi memiliki nilai efektif yang tinggi sebagai salah satu upaya kesiapsiagaan dalam menghadapi kemungkinan bencana pada masa yang akan datang. Berikut ini MENGOPI dengan bait-baitnya:

MengopiBila cawan kopi tertumpah sendiriBumi digegariAir laut lenyap dari pantaiHaiwan paling menyedariTiba masa lupakan mengopiAmaran ditiup di kanan dan di kiriLaluan selamat dipatuhiEvakuasi selamatkan diriMengopi kembali setelah rehabilitasi(***)

Antara Mengopi dan SmongDr. Ahmad Azan Bin Ridzuan1

dan Rina Suryani Oktari, S.Kep., M.Si.2

1. Dosen Fakulti Pengajian dan Pengurusan Pertahanan Universiti Pertahanan Nasional, Malaysia. [email protected]

2 Koordinator Klaster Riset Disaster Education and Management, TDMRC. Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Syiah [email protected]

Fenomena warung kopi memang tidak asing lagi bagi masyarakat Aceh. Warung-warung kopi ini tumbuh subur bagaikan cendawan selepas hujan reda. Hal ini muncul pasca-musibah bencana tsunami 2004 yang hampir memasuki tahun ke-12. Masyarakat Aceh mengopi dengan berbagai tujuan, bukan hanya untuk membasuh tenggorokan guna menghilangkan dahaga, tetapi mengopi juga urusan dunia dan akhirat. Kegiatan mengopi telah lama dilakoni masyarakat Aceh, dan semaik populer setelah peristiwa dahsyat tsunami yang merupakan ujian dan cobaan dari Allah bagi masyarakat Aceh.

Aroma dan kenikmatan kopi yang dihidangkan mampu mencapai cita rasa para pengopi yang mulutnya senantiasa terasa payau jika tidak meminumnya. Kopi juga telah sukses melahirkan damai bagi masyarakat dari berbagai keperluan dan hajat ketika dahaga datang. Kebiasaan mengopi seperti ini sepatutnya seiring dengan kesiapsiagaan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana. Pengalaman menghadapi tsunami pada tahun 1907 telah menjadi budaya masyarakat Simeulue, yang mereka sebut dengan smong. Smong dapat berarti naiknya air laut setelah gempa. Masyarakat Simeulue menyampaikan tradisi syair-syair yang berisi smong melalui Nandong yang dalam bait-baitnya berbunyi:

Enggel mon sao surito (Dengarlah suatu kisah)Inang maso semonan (Pada jaman dahuku kala)Manoknop sao fano (Tenggelamlah suatu desa)Uwilah da sesewan (Begitulah dituturkan)

Anga linon ne mali (Jika gempanya kuat)Dek suruik sahuti (Disusur air laut yang surut)Maheya mihawali (Segeralah cari) Fano me singatenggi (Tempat yang tinggi)

Unen ne alek linon (Diawali gempa yang kuat)Fesangbakat ne mali (Disusuli ombak raksasa)Manoknop sao hampong (Tenggelamlah seluruh negeri)Tibo-tibo mawi (Secara tiba tiba)

Ede smong kahanne (Itulah Smong namanya)Turiang da nenekta (Sejarah nenek moyang kita)Miredem teher ere (Ingatlah ini semua)Pesan dan navi da (Pesan dan nasihatnya) Smong dumek-dumekmo (Smong adalah air mandimu) Linon uwak-uwakmo (Gempa adalah ayunanmu) Elaik keundang-keundangmo (Petir adalah kendang-kendangmu) Kilek sulu-sulumo (Halilintar adalah lampu-lampumu).

Mengopi semestinya mengikuti cita rasa masing-masing seperti kopi hitam, kopi luak, kopi dingin dan lainnya. Mengopi juga mengikut masa-masa yang diatur masing-masing seperti setelah salat subuh, sarapan pagi, makan siang, minum waktu sore, mengopi waktu malam dan waktu-waktu lain yang diinginkan. Semestinya

pengopi yang mengopi menyadari jika keadaan ini dapat diteruskan pada upaya-upaya mitigasi bencana. Naskah Takbir Gempa ditulis awal tahun 1833 merupakan naskah kuno Aceh yang di dalamnya menyatakan, “Jika gempa pada bulan Rajab, pada waktu subuh, berarti segala isi negeri bersusah hati dengan kekurangan makanan. Jika pada waktu duha gempa terjadi, alamatnya air laut keras akan datang ke dalam negeri itu…”. Ie-beuna adalah ungkapan untuk tsunami namun terlupakan. Kebiasaan ini umpama mengopi di Starbucks atau di Tanamera atau di Chronicle dan yang lainnya. Tetapi di Aceh kopi lokal seperti Solong Coffee 1974, Solong Coffee Premium, Dhapu Kupi 2008, Zakir Kupi, Kubra Kupi Beurawe, Tower Coffee dan lainnya menjadi tempat yang ramai dikunjungi oleh masyarakat setempat.

Keterlibatan masyarakat adalah satu proses yang penting untuk dapat bekerjasama secara kolektif berdasarkan lokasi geografi, kepentingan masyarakat lokal, elaborasi identitas lokal dalam menangani berbagai isu yang memengaruhi kesejahteraan penduduk setempat. Hubungan antara masyarakat akan dapat menggerakkan seluruh komponen masyarakat dalam membuat keputusan bersama. Keterlibatan penduduk setempat adalah upaya untuk mencapai berbagai tujuan dengan berpedoman pada situasi atau konteks keadaan sebagai berikut: memberikan pemahaman dan mendidik masyarakat tentang pentingnya keputusan atau proses; sepakat membuat keputusan bersama; membina hubungan dengan berbagai kelompok yang ada; saling berbagai ilmu dan pengalaman serta pertukaran berbagai kebijakan dengan kelompok masyarakat lainnya. Kekurangan keterlibatan masyarakat telah mengakibatkan kegagalan dalam memenuhi tujuan kemanusiaan, peningkatan capaian dari sumber-sumber luar dan ketidakpuasan terhadap prestasi dalam melaksanakan program.

Pakar bencana belum dapat memprediksi dengan tepat kapan akan terjadinya suatu bencana. Beberapa dekade yang lalu, para pakar dalam bidang kebencanaan telah menekankan betapa pentingnya keterlibatan masyarakat dalam sistem manajemen bencana terutama kepentingan kerjasama di kalangan penduduk lokal. Pendidikan umum juga merupakan cara yang utama dalam proses transfer kebijakan dan pengetahuan. Pendidikan umum terkait dengan bencana disebut sebagai salah satu strategi utama yang memerlukan manajemen bencana.

Page 9: Selamat membaca. - tdmrc.unsyiah.ac.idtdmrc.unsyiah.ac.id/.../2016/11/SMONG-NOV-2016-1.pdf · Aceh dan Tohoku Yu Fukuda, Ph.D. 11 PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPABUMI ACEH

9

Suplemen Peringatan Bulan PRB dan World Tsunami Awareness Day I Smong NEWS

07 Nopember 2016

dr. Rosaria Indah, M.Sc.

MENDIDIK DOKTER AGAR MEMAHAMI BENCANA

Peneliti TDMRC, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Syiah KualaPhD student di University of Sydney, Australia

[email protected] merupakan gugusan pulau yang sangat rentan terhadap bencana, mengancam ratusan juta jiwa yang menghuninya. Namun, apakah para dokter yang bertugas di negeri ini memahami apa yang mesti dilakukan untuk mencegah dan menghadapi bencana? Pertanyaan ini memicu para pendidik dokter masa depan untuk mereorientasi dunia pendidikan kedokteran Indonesia, khususnya di Aceh.

Pengetahuan tentang kebencanaan di kalangan medis sebelum tsunami 2004 berangkat dari kesiapsiagaan dalam menghadapi kegawatdaruratan massal (mass casualty incidence) dan bencana wabah atau epidemi penyakit menular. Dokter dididik agar mampu menangani kecelakaan massal dan pengendalian penyakit. Setelah tsunami 2004 para pendidik di dunia kedokteran menyadari bahwa kemampuan tersebut tidaklah cukup. Perlu memasukkan topik penanggulangan bencana secara menyeluruh (bukan hanya tahap emergency saja), yaoitu dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respon cepat pada emergency hingga rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana. Intinya, dokter harus memahami perannya dalam setiap fase dalam siklus penanggulangan bencana, sama seperti bagian masyarakat siaga bencana lainnya. Dengan kemampuan tersebut diharapkan para dokter akan mampu berkerja sama dengan baik dengan masyarakat dalam menanggulangi berbagai jenis bencana baik bencana alam maupun wabah penyakit dan konflik di masyarakat.

Terinspirasi dari berbagai aksi dokter dalam penanggulangan bencana tsunami 2004, beberapa fakultas kedokteran di Indonesia memutuskan untuk menyusun kurikulum khusus dalam sebuah mata kuliah khusus. Secara tidak langsung, tsunami 2004 menjadi titik tolak perubahan kurikulum secara masif di Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala sejak tahun 2006 telah mengembangkan kurikulum pendidikan dokter yang mencakup sebuah blok/mata kuliah khusus yang dinamai blok disaster management. Blok ini disusun untuk menyiapkan dokter masa depan yang memahami perannya dalam penanggulangan bencana.

Ada berbagai keterampilan yang diajarkan pada blok disaster management ini. Calon dokter dilatih untuk mampu menyusun peta bahaya (hazard map) di daerah praktiknya nanti, sehingga mampu menentukan hal-hal apa saja yang berpotensi menimbulkan bencana, baik struktur geografis maupun kebiasaan masyarakat. Bukan hanya membuat hazard map, mahasiswa kedokteran juga dilatih untuk bekerjasama dengan masyarakat dalam mengurangi dampak bencana, termasuk meningkatkan ketahanan masyarakat dalam bidang kesehatan. FK Unsyiah juga mendidik agar lulusannya nanti mampu merespon situasi emergency dengan mengadakan simulasi bencana lengkap yang diadakan setiap tahun, melibatkan perwakilan dari seluruh stakeholders bidang kesehatan di Aceh. Simulasi tahunan ini memberi bekal calon dokter untuk mampu melakukan pemberian pertolongan pertama (Basic life support/ BLS), termasuk triage (memilah dan memprioritaskan pasien yang lebih dahulu mendapat perawatan). Selain itu mahasiswa juga harus cekatan dalam hal

memobilisasi pasien ke lokasi yang lebih aman, pemberian pertolongan lanjutan (advance trauma and life-saving/ATLS), memahami rantai komando dalam penanggulangan awal bencana (Incident Command System /ICS) dan kerja sama dengan komponen masyarakat lainnya, termasuk pihak militer, kepolisian, SAR, Pemadam Kebakaran, Palang Merah Indonesia, dan pemerintah kota (termasuk dinas kesehatan dan pusat krisis kesehatan) serta pemerintah provinsi. Mahasiswa kedokteran juga dilatih cara mengindentifikasi korban massal pada kejadian bencana (Disaster Victim Identification/DVI) sehingga kejadian ‘hilangnya identitas’ pada jenazah tsunami 2004 tidak terulang kembali.

Adanya blok disaster management ini ternyata memberikan efek positif yang lebih jauh lagi. Sebagian dari mahasiswa dan dosen tertantang untuk menggali lebih jauh tentang ilmu kebencanaan di bidang kedokteran. Ada yang meneliti lebih jauh tentang struktur tulang belulang manusia yang hidup di Aceh sehingga jika di masa depan ada jenazah yang sudah tinggal belulang maka masih mungkin diidentifikasi jenis kelamin dan umurnya. Ada yang meneliti kesiapsiagaan masyarakat di area vulkanik misalkan Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Besar. Ada pula yang meneliti hubungan antara kualitas air di kawasan terimbas tsunami dan gangguan kesehatan yang menyertainya. Hal ini patut disambut gembira karena ternyata adanya perubahan kurikulum pendidikan kedokteran selaras dengan aktivitas meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana yang diserukan oleh pemerintah Aceh dan juga pada tingkat pemerintah pusat.

Tentu saja ada harapan besar untuk lebih menggiatkan pendidikan kebencanaan di bidang kesehatan. Perubahan kurikulum kedokteran di masa depan diharapkan dapat menempatkan pendidikan kebencanaan secara longitudinal, sepanjang pendidikan berlangsung, tak hanya segmental terfokus di blok disaster management saja. Selain itu pendidikan kedokteran diharapkan harus mampu mendekatkan dokter dengan masyarakat, meniadakan hirarki dan kesenjangan yang selama ini terjadi. Kemampuan membangun komunikasi efektif dan berempati yang lebih baik akan membuat hubungan dokter dan masyarakat lebih harmonis, sehingga kerjasama di antara dokter dan masyarakat, baik yang sehat maupun yang sakit, akan membuahkan keselarasan dalam pemeliharaan kesehatan. Konsep community-based medical education (CBME) yang telah lama diserukan oleh World Health Organization belum diimplementasikan secara optimal, padahal CBME sangatlah sesuai jika diterapkan di Indonesia, khususnya Aceh, menggantikan konsep hospital-

based peninggalan penjajah Belanda. Konsep CBME telah berhasil diterapkan di berbagai negara berkembang, misalkan Cuba, sehingga status kesehatan negara tersebut menyamai United Kingdom (UK) walaupun pendapatan perkapitanya hanya 1/7 dari UK.

Para pendidik di dunia kedokteran ditantang untuk berfikir maju, tak hanya menduplikasi model pendidikan luar negeri (baca: Western oriented medicine), tapi juga mampu mengadaptasi kearifan lokal yang terdapat di dalam masyarakat tempat mereka bertugas. Kemampuan menghargai nilai-nilai unggul di masyarakat kita sendiri, termasuk dalam menyikapi bencana, merupakan salah satu bekal penting bagi dokter masa depan. Semoga pendidikan dokter di Indonesia, khususnya di Aceh, mampu menempatkan kemampuan menanggulangi bencana sebagai keunggulannya di atas fakultas-kedokteran lain di Indonesia, bahkan di dunia (***).

Adanya blok disaster management ini

ternyata memberikan efek positif yang lebih

jauh lagi. Sebagian dari mahasiswa dan dosen tertantang untuk menggali

lebih jauh tentang ilmu kebencanaan di bidang

kedokteran.

Mahasiswa FK Unsyiah saat melakukan Table Top Simulation pada Blok Disaster Management

Page 10: Selamat membaca. - tdmrc.unsyiah.ac.idtdmrc.unsyiah.ac.id/.../2016/11/SMONG-NOV-2016-1.pdf · Aceh dan Tohoku Yu Fukuda, Ph.D. 11 PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPABUMI ACEH

10

Smong NEWS I Suplemen Peringatan Bulan PRB dan World Tsunami Awareness Day

07 Nopember 2016

Studi Komparatif Ritual Pasca-Bencana : Aceh dan Tohoku

Tidak terasa telah satu tahun sejak saya melakukan riset di Banda Aceh. Saya mengucapkan rasa terimakasih yang mendalam kepada masyarakat yang menyambut dengan hangat dalam setiap aktifitas riset yang saya lakukan di lapangan. Saya mulai menemukan banyak hal, bukan saja sesuatu perbedaan yang tajam namun juga menemukan banyak persamaan atas pertanyaan bagaimana sesungguhnya masyarakat bersikap dan merespon kejadian tsunami di Aceh, Indonesia (2004) dan Tohoku, Jepang (2011). Terlalu banyak hal yang mesti saya pahami dalam konteks lokal di Aceh termasuk sejarah konflik, budaya setempat, dan Islam. Saya sangat senang memiliki kesempatan untuk dapat berbagi atas apa yang saya temukan di lapangan sejauh ini. Yang jelas, artikel kali ini merupakan pengamatan personal, wawancara dan beberdasarkan studi literatur yang saya pelajari.

Saya telah melakukan investigasi lapangan dan mengamati berbagai cara pandang masyarakat serta bagaimana mereka memaknai bencana hingga peringatan tahunan kejadian bencana di Jepang. Riset saya bukan saja mencakup tentang bencana alam seperti bencana gempabumi besar Hanshin-Awaji (Kobe, 1995) dan Gempabumi besar Timur Jepang (Tohoku, 2011) namun juga bencana alam yang masuk dalam kategori man-made disaster seperti bencana Bom Atom di Horoshima dan Nagasaki (1945). Saya mempelajari bagaimana cara orang dalam memaknai dan merespon berbagai tragedi secara kolektif dari sudut pandang sosiologi agama. Pada sudut pandang ini, jika dilihat sekilas, pelaksanaan peringatan bencana di Aceh terlihat sangat berbeda dengan Jepang.

Terdapat hal yang kontras antara peringatan yang ada di Aceh dan di Jepang, sebagai contoh, peringatan bencana di Aceh,

kelompok anak yatim mendapatkan perhatian khusus dengan memberikan mereka berbagai hadiah, dimana hal ini tidak terlihat pada peringatan bencana di Jepang. Namun demikian perwakilan kelompok yang menjadi korban bencana tetap diberikan kesempatan untuk menyampaikan pidato di depan publik Jepang, selama kegiatan seremoni peringatan bencana. Selanjutnya, budaya makan dan minum seperti Kenduri biasanya sangat dihindari dalam peringatan bencana di Jepang. Meskipun makanan dan minuman tidak diberikan kepada peserta yang hadir, namun mereka dibekali kalungan bunga dan juga botol yang berisi air sebagai penghormatan terhadap spirit korban, salah satunya direpresentasikan pula dalam bentuk Obelisk putih yang diletakkan di tengah panggung (lihat gambar). Di antara perbedaan ini, yang paling menonjol adalah bagaimana merasakan kehadiran (dan ketidakhadiran) agama. Budaya Islam sedikit tidaknya, telah mengilhami dalam berbagai peringatan publik di Aceh, sementara itu ritual keagamaan tidak ada didalam peringatan bencana di Jepang. Keadaan di Jepang ini dipengaruhi oleh konteks politik setelah perang dunia II, menjadi hal yang lumrah jika tidak terlihat tokoh agama, dan kegiatan ritual. Kegiatan peringatan kejadian bencana seperti mengheningkan cipta atau ungkapan dengan bunga merupakan hal yang umum dalam peringatan bencana di Jepang. Di antara kesamaan dalam membadingkan bagaimana peringatan bencana di Aceh dan Jepang yaitu keduanya memaknai jika peringatan ini sebagai hari mengenang kejadian bencana itu sendiri serta para pimpinan politik

menyampaikan pidato mereka.Namun demikian, saya menemukan

pula hal yang tidak biasa dalam menarasikan bencana dari berbagai tempat yang terdampak tsunami. Dari sisi naratif saya menemukan bahwa selama peringatan dan juga dari berbagi kisah yang terdapat di dalam buku diantaranya adalah memaknai bencana sebagai adanya “tangan Tuhan” yang telah menetapkan terjadinya bencana tersebut. Manusia memiliki kemampuan untuk dapat mengambil hikmah bahwa Allah menurunkan bencana bukan untuk hal yang sia-sia. Pemahaman bahwa Allah telah “menulis” memperlihatkan bahwa tsunami merupakan cobaan agar kita menjadi muslim yang lebih baik.

Sebaliknya, di Jepang, membicarakan makna dibalik sebuah penderitaan (sering diasumsikan sebagai “theodicies’ dalam sosiologi) merupakan hal yang dianggap tabu. Masyarakat didorong untuk fokus pada apa yang sepatutnya mereka lakukan bagi para korban daripada mendiskusikan hal yang bersifat permukaan. Namun bukan berarti pula tidak ada upaya untuk memberikan makna pada penderitaan. Kebanyakan para pembicara pada acara peringatan bencana tersebut, menyampaikan bagaimana membangun kembali kota dan jangan sampai terjadi tragedi yang sama. Mereka berjanji melakukan perbaikan dan pencegahan sebagai semangat dalam mengenang para korban, jika pengorbanan mereka tidak akan sia-sia. Hal ini merupakan ungkapan yang bersifat tidak langsung (hal yang “tidak secara langsung” sebagai pernyataan bahwa penderitaan itu sendiri adalah “hadiah”) sehingga pertanyaan terkait dengan penderitaan dapat terjawab.

Bagi saya, menjadi sangat menarik menemukan perbedaan dan persamaan ini. Saya melihat pertanyaan dan pernyataan yang sama antara keduanya dalam mendefenisikan bencana yaitu bagaimana selayaknya kita bersikap. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan bahwa meningkatnya rasa penderitaan setelah bencana yaitu berupa pertanyaan “mengapa hal ini terjadi dan menimpa saya?”. Meskipun hal ini dapat dimaknai dalam theodicy Islam secara langsung pada satu sisi, namun hingga menjadi sesuatu yang tidak langsung pada sisi yang lain. Kedua sisi ini merupakan pendekatan yang disadari sebagai upaya untuk menyikapi pernyataan “mengapa?”; terlihat berbeda, terutama pada konteks sejarah-budaya yang melekat pada masing-masing masyarakat. Saya akan melanjutkan riset ini untuk dapat mengkonfirmasi hipotesa ini, apakah didukung dengan data-data yang empiris, dan tentu saja berharap dapat memberikan kontribusi untuk mendorong saling kepemahaman antara Aceh dan Tohoku pada aspek-aspek yang berbeda dan dalam memaknai keduanya memaknai situasi yang sulit setelah bencana. (***)

Yu Fukuda, Ph.D.Research Fellow, Japan Society for the Promotion of Science

e-mail: [email protected]

Peringatan ke-5 Tsunami Tohoku 2011 di Minamisanriku-chou. Jepang.

Page 11: Selamat membaca. - tdmrc.unsyiah.ac.idtdmrc.unsyiah.ac.id/.../2016/11/SMONG-NOV-2016-1.pdf · Aceh dan Tohoku Yu Fukuda, Ph.D. 11 PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPABUMI ACEH

11

Suplemen Peringatan Bulan PRB dan World Tsunami Awareness Day I Smong NEWS

07 Nopember 2016

Sejarah gempa menunjukkan bahwa Patahan Seulimeum pernah menghasilkan gempa bumi dengan skala antara 7.1 sampai 7.3 pada tahun 1936. Meskipun saat itu penentuan lokasi gempa masih belum cukup akurat karena kurangnya data namun melihat tingkat kerusakan yang lebih parah di daerah Krueng Raya, para peneliti berkesimpulan bahwa gempa tersebut diakibatkan oleh aktivitas Patahan Seulimeum. Data aktivitas gempa terkini (tahun 2005-2016) juga menunjukkan adanya gempa-gempa kecil di sepanjang Patahan Seulimeum. Gempa-gempa kecil tersebut tergolong sedikit frekuensinya dibandingkan dengan daerah Tangse tempat pertemuan Patahan Seulimeum dengan Patahan Sumatera. Kurang aktifnya Patahan Seulimeum saat ini (dibandingkan patahan lainnya) bisa jadi sebuah indikasi bahwa Patahan tersebut telah lama tidak mengeluarkan energi. Jika energi tidak dikeluarkan dan terakumulasi secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama maka suatu saat patahan tersebut dapat mengeluarkan energi dalam bentuk gempa dengan kekuatan yang besar.

Morfologi Patahan SeulimeumPatahan Seulimeum merupakan salah

satu patahan sekunder yang ada di Aceh Besar. Yang dimaksud dengan patahan sekunder di sini adalah patahan yang terletak di luar dari Patahan Sumatera tetapi umumnya berhubungan dengan Patahan Sumatera. Beberapa patahan sekunder yang saat ini terdeteksi aktif antara lain adalah Patahan Batee (membentang dari Aceh Selatan sampai perbatasan utara Aceh Barat), Patahan Peusangan (dari Aceh Tengah sampai ke laut bagian utara Bireuen), Nisam Antara (timur laut Gunung Geureudong), dan Patahan Seulimeum (Tangse hingga perairan Sabang). Semua patahan sekunder tersebut menghasilkan gempa dengan magnitude dan frekuensi yang berbeda-beda.

Kehadiran Patahan Seulimeum erat kaitannya dengan keberadaan Gunung Seulawah. Peta topografi menunjukkan bentuk yang jelas dari Patahan Seulimeum yang terletak di sebelah barat Gunung Seulawah (lihat Gambar 1). Patahan Seulimeum kemungkinan besar hadir untuk mengakomodir komponen stress yang sejajar dengan arah pergerakan lempeng Indo-Australia di bagian selatan Sumatera. Hasil kajian seismik di wilayah Perairan Sabang serta data gempa menunjukkan bahwa kedalaman Patahan Seulimeum dapat mencapai 15 km. Patahan Seulimeum merupakan sesar geser menganan (right lateral strike slip) serupa dengan Patahan Sumatera.

Pelajaran dari Gempa Aceh Tengah dan Kumamoto Jepang

Selama ini masyarakat cenderung tertarik dengan gempa besar yang sudah terjadi

apalagi jika sampai mengakibatkan korban jiwa. Padahal gempa besar berikutnya sering terjadi pada patahan lain yang saat ini relatif “diam“. Gempa-gempa kecil yang terjadi di sepanjang Patahan Seulimeum misalnya mengindikasikan kemungkinan gempa besar dapat terjadi di masa mendatang. Gempa Aceh Tengah pada 2 Juli 2013 dan gempa Kumamoto Jepang pada 16 April 2016 adalah contoh gempa yang tidak diperkirakan karena kedua patahan tersebut relatif “sepi“ sebelumnya. Gempa Kumamoto dengan skala Mw 7.0 mengakibatkan setidaknya 50 orang meninggal, ratusan cedera parah, dan ribuan rumah hancur. Sebelum terjadi gempa bumi 2016, data International Seismological Centre menunjukkan adanya beberapa gempa kecil di Kumamoto. Orang lupa bahwa Kumamoto sebenarnya pernah dihantam gempa darat yang kuat dengan tingkat kerusakan yang tinggi pada tahun 1889. Gempa Kumamoto tersebut juga memicu terjadinya tanah longsor. Dalam pantauan langsung penulis di Kumamoto, rumah yang mengalami kerusakan parah umumnya rumah tua berkualitas rendah yang dibangun di daerah dengan kecuraman tinggi.

Serupa dengan Kumamoto, sebelum terjadinya gempa Aceh Tengah 2 Juli 2013, patahan di daerah Aceh Tengah tersebut tergolong sepi dari aktivitas gempa. Meskipun demikian, International Seismological Centre mencatat beberapa gempa kecil sebelum

tahun 2013 di Wilayah Aceh Tengah yang menunjukkan potensi gempa besar. Gempa Aceh Tengah tersebut diikuti oleh tanah longsor yang merenggut 43 korban jiwa dan ratusan rumah hancur.

Pelajaran yang dapat diambil dari gempa bumi di Kumamoto dan Aceh Tengah adalah bahwa patahan-patahan aktif yang terkesan diam, suatu saat dapat mengeluarkan energi besar. Patahan Seulimeum terkesan “diam“ karena sangat jarang mengeluarkan energi besar. Sejarah gempa menunjukkan bahwa Patahan Seulimeum berpotensi mengakibatkan bencana gempa bumi di masa mendatang. Mengingat patahan Seulimeum cukup dekat dengan lokasi penduduk maka gempa bumi dengan magnitude Mw 7.3 (sesuai sejarah gempa) di patahan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan yang sangat parah. Gempa yang terjadi di daerah pegunungan juga dapat mengakibatkan tanah longsor sehingga dapat menambah resiko bencana yang lebih besar. Umumnya masyarakat Aceh membangun rumah dengan kualitas yang sangat baik sehingga relatif tahan terhadap gempa. Namun demikian, bangunan yang berada di wilayah patahan aktif perlu lebih diantisipasi dengan perlakuan yang lebih khusus. Selanjutnya masyarakat perlu dihimbau dengan memperkuat pemahaman dan pengetahuan mereka yaitu berusaha untuk menghidari pembangunan rumah di wilayah dengan tingkat kecuraman yang tinggi untuk menghindari potensi longsor yang dipicu oleh gempa bumi. (***)

Dr. rer. nat. Muksin Umar, M.Si., M.Phil.

PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPA BUMI ACEH BESAR

Koordinator Klaster Riset Geohazard TDMRCDosen Jurusan Fisika FMIPA Universitas Syiah [email protected]

Peta topografi yang menunjukkan Patahan Sumatera dan Seulimeum. Data gempa yang diplot berasal dari data International Seismological Centre dengan kedalaman lebih kecil dari 20 km di area Patahan Sumatera dan Patahan Seulimeum di sekitar area Patahan Sumatera dan Seulimeum.

Page 12: Selamat membaca. - tdmrc.unsyiah.ac.idtdmrc.unsyiah.ac.id/.../2016/11/SMONG-NOV-2016-1.pdf · Aceh dan Tohoku Yu Fukuda, Ph.D. 11 PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPABUMI ACEH

12

Smong NEWS I Suplemen Peringatan Bulan PRB dan World Tsunami Awareness Day

07 Nopember 2016

Awal November 2015, saya berkesempatan untuk menghadiri dan berpartisipasi pada konferensi pasifik mengenai rekayasa gempa (Pacific Conference on Earthquake Engineering) di Sydney, Australia. Dua ratus dua puluh makalah berkaitan dengan gempa bumi disajikan. Lebih dari 500 ahli dibidang gempabumi, rekayasa gempa dan ilmu-ilmu terkait lainnya hadir. Selama mengikuti konferensi tersebut saya sangat tertarik dengan topik yang dibawakan oleh salah satu pembicara utama yaitu Profesor Nakashima. Beliau berbicara tentang program ketangguhan dalam menghadapi bencana alam (resilience against natural disasters) dalam yang dicanangkan Jepang pasca gempa bumi Tohoku 2011. Profesor Nakashima mengemukakan penggunaan istilah ketangguhan (resilience) dalam bidang ilmu yang terkait dengan bencana alam semakin gencar sejak gempa Tohoku 2011. Salah satu hal yang menarik, yang tidak pernah terlintas dalam pikiran saya sebelumnya adalah penjelasan makna resilience dalam kontek ilmu rekayasa terkait bencana alam adalah adanya parameter waktu yang berperan dalam paradigma ini. Jika diilustrasikan dalam wujud bangunan fisik, maka ketahanan struktur (resilient structure) adalah bangunan yang dapat dihidupkan kembali fungsi-fungsi dasarnya dalam waktu yang secepat-cepatnya setelah terkena dampak dari sebuah bencana alam. Menurut Resilient Design Institute (RDI), resilience adalah kemampuan untuk beradaptasi akibat perubahan kondisi dan mempertahankan atau mendapatkan kembali fungsi dasarnya ketika terkena gangguan. Atau dalam kata lain, resilience adalah kemampuan untuk bangkit kembali setelah gangguan terhenti.

Dalam situasi yang serba cepat seperti sekarang ini, kemampuan untuk bangkit kembali (resilience) ini, termasuk bangkit setelah terkena bencana, diharapkan pulih secara cepat. Pengalaman dari proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh akibat bencana tsunami 2004 menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi semua kalangan yang terlibat, termasuk para peneliti ilmu kebumian Aceh. Para peneliti ilmu kebumian Aceh sebaiknya dapat mendukung paradigma baru ini. Salah satu bentuk dukungan yang dapat diberikan oleh peneliti yaitu kesiapan dalam memberikan data-data dan karakteristik dinamik bawah permukaan tanah (sub-surface) di Aceh kepada para pengambil keputusan jika sewaktu-waktu diperlukan. Namun demikian terdapat beberapa tantangan penelitian kondisi bawah permukaan tanah Aceh dalam mendukung resilience against natural disasters antara lain:

1. Tidak adanya akses untuk mendapatkan data gempa kuat (strong motion data)

Berdasarkan pengalaman saya pada usulan penelitian investigasi perilaku dinamik tanah lunak Kota Banda Aceh pada tahun 2012,

terdapat kesulitan mendapatkan strong motion data yang tercatat di Stasiun Mata Ie, Aceh Besar. Ketiadaan data ini membuat kajian yang dilakukan oleh peneliti didasarkan pada data gempa sintetik (hasil simulasi) yang terkadang akan memberikan hasil yang berbeda dari data faktualnya, khususnya jika simulasi yang dihasilkan tidak melalui proses validasi yang selayaknya. Tidak adanya akses pada data gempa kuat aktual juga akan menghambat upaya dalam membuat data sintetik gempa dalam kontek tatanan geologi Aceh, karena validasi dari data sintetik gempa yang dihasilkan tidak dapat dilakukan.

2. Tidak terkelolanya data bawah permukaan (sub-surface data) dalam satu payung

Pasca bencana gem pabumi dan tsunami 2004 telah banyak penelitian bawah-permukaan yang dilakukan di Aceh melalui berbagai uji lapangan seperti uji pemboran, uji CPT (cone penetration test) atau uji sondir dan seismic. Namun data-data hasil uji tersebut tersebar ke berbagai institusi, lembaga, perusahaan dan perorangan yang seringkali sulit untuk diakses kembali oleh para peneliti lain yang ingin melakukan kajian lebih mendalam. Data-data tersebut bukan hanya tersebar secara sektoral tetapi juga tersebar secara spasial di tingkat Nasional atau bahkan lebih dari itu.

3. Minimnya kajian paleoseismik Katalog data gempa yang tercatat secara

instrumen di Aceh tergolong sangat baru. Untuk dapat melengkapi katalog data gempa Aceh ini diperlukan upaya lain seperti kajian paleoseismik. Saat ini kajian paleoseismik yang dilakukan di Aceh masih sangat minim dan bersifat regional yang mencakup kawasan

sangat luas dan menitikberatkan pada gempa-gempa sangat besar di kawasan lepas pantai. Sementara kajian pada gempa-gempa menengah hingga kuat yang bersumber di darat masih sangat kurang.

4. Belum adanya kajian microzonasiDalam upaya pengembangan lahan

di kawasan rawan bencana, microzonasi merupakan langkah awal yang tepat. Kajian microzonasi dapat menjadi pijakan bagi para perencana perkotaan dan pengambil kebijakan dalam menentukan penggunaan dan pemanfaatan lahan. Disamping itu, data microzonasi ini juga dapat dijadikan acuan oleh para pakar perencana untuk mendesain bangunannya secara tepat. Pada kondisi darurat setelah gempa, data microzonasi berguna dalam memetakan kawasan-kawasan yang diperkirakan relatif aman dari gempa-gempa susulan. Kota Banda Aceh sebagai pusat pemerintahan Provinsi Aceh sudah selayaknya memiliki kajian microzonasi ini.

Tuntutan untuk membangun masyarakat Aceh yang tangguh dalam menghadapi bencana alam sudah menjadi keharusan. Para peneliti bawah permukaan (sub-surface researchers) Aceh harus mendukung segala upaya untuk menciptakan masyarakat tangguh menghadapi bencana alam khususnya gempa bumi. Para peneliti dapat mulai dengan mengakses semua data yang berkaitan dengan bencana alam di Aceh seperti strong motion dan sub-surface data Aceh. Kajian paleoseismic dan kajian microzonasi perlu digiatkan untuk kawasan-kawasan padat penduduk seperti Kota Banda Aceh. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? dan kalau bukan kita, siapa lagi? (***)

Tantangan Para Peneliti Ilmu Kebumian di Aceh dalam Memaknai Paradigma Ketangguhan Menghadapi Bencana Alam

Bambang Setiawan , M.Eng.Sc.Dosen Prodi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala

[email protected]

Penelitian tentang ketangguhan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana, bekerjasama dengan Universiti Pertahanan Nasional Malaysia, Agustus 2016

Page 13: Selamat membaca. - tdmrc.unsyiah.ac.idtdmrc.unsyiah.ac.id/.../2016/11/SMONG-NOV-2016-1.pdf · Aceh dan Tohoku Yu Fukuda, Ph.D. 11 PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPABUMI ACEH

13

Suplemen Peringatan Bulan PRB dan World Tsunami Awareness Day I Smong NEWS

07 Nopember 2016

Mengapa Di Tanahku Sering Terjadi Tanah Longsor?

Ibnu Rusydy, M.Sc.Anggota Klaster Riset Geohazard TDMRCDosen Fakultas Teknik Universitas Syiah [email protected]

Kunjungan siswa SD N 2 Banda Aceh ke TDMRC untuk belajar tentang bencana.

Hampir setiap kali musim hujan datang, di Aceh selalu diwarnai dengan kejadian tanah longsor. Mungkin terbesik di pikiran kita, mengapa bencana ini terus terjadi dan kadang kala bencana ini terjadi tidak hanya di musim hujan. Dalam artikel ini, penulis akan mencoba menjelaskan apa saja penyebab tanah longsor dan beberapa solusi yang bisa diterapkan untuk mengurangi bencana tanah longsor tersebut.

Tingkat PerlapukanDalam ilmu Geologi, kita mengenal

bahwa bumi ini pada awal pembentukannya berupa batu yang sangat keras. Akibat proses perlapukan (weathering) batu tersebut lama kelamaan menjadi tanah (residual soil). Proses pelapukan batu menjadi menjadi tanah bisa terjadi secara fisika (mekanik), kimia, dan biologi (tumbuhan dan hewan) dalam waktu puluhan sampai ribuan tahun. Ke-tiga proses perlapukan tersebut bisa terjadi dalam waktu yang bersamaan terhadap batu yang pada akhirnya batu tersebut bisa menjadi tanah. Untuk negara-negara yang berada di kawasan tropis, derajat (tingkat) perlapukan batuan tersebut sangatlah tinggi sehingga pada daerah tersebut kita akan menemukan lapisan-lapisan tanah (residual soil) yang sangat tebal. Tingginya tingkat pelapukan di negara tropis seperti Indonesia diakibatkan karena negara tropis memiliki tingkat curah hujan dan tingkat paparan matahari yang cukup tinggi. Batu yang terkena air hujan dan terpapar sinar matahari tinggi ini atau dalam istilah bahasa Aceh dikenal dengan istilah “ujeun rah, uroe teut” lama kelamaan akan lapuk menjadi tanah.

Lalu apa hubungannya perlapukan dengan longsor?. Tanah longsor yang terjadi biasanya berupa perpindahan material lapisan tanah atau material pembentuk sebuah lereng. Lapisan tanah hasil perlapukan batuan yang berada pada sebuah lereng akan sangat mudah untuk jatuh. Terlebih lagi ada lapisan batuan yang belum lapuk (bedrock atau batuan dasar) yang berada di bawah lapisan tanah tersebut. Lapisan batuan dasar ini akan menjadi bidang

gelincir massa tanah di atasnya. Kejadian tanah longsor di kawasan Gunung Paro dan Kulu kabupaten Aceh Besar pada tahun 2014 lalu adalah bentuk kejadian tanah longsor akibat turun tanah hasil pelapukan batuan yang membentuk lereng di gunung tersebut.

Tingkat Curah HujanNegara tropis memiliki tingkat curah

hujan yang tinggi akan menjadi penyebab utama tanah longsor. Air hujan yang turun dan masuk ke dalam tanah pembentuk lereng akan menyebab perubahan terhadap lereng. Perubahan tersebut antara lain:

1) air hujan akan menambah beban lereng; 2) air hujan akan mengurangi gaya kohesi

(gaya tarik menarik antar butir tanah) akibat merenggangnya jarak antar butir tanah; dan

3) air yang masuk sampai ke lapisan batuan akan dasar akan memperlicin batuan dasar sehingga bidang tersebut menjadi bidang gelincir tanah longsor.

Misalkan saja suatu hari kita mengalami hujan lebat dengan intensitas sekitar 200 mm, apabila 50% air hujan masuk ke dalam tanah maka akan menambah beban lereng sebesar 100 kg dalam luas 1 m2 atau ada gaya 707 Newton ke bawah lereng apabila lereng tersebut memiliki kemiringan 45o. Bayangkan apabila hujan turun pada sebuah lereng dengan luas 20 m2, maka untuk kasus seperti di atas akan ada gaya keluar dari lereng yang menjadi penyebab tanah longsor sebesar 14.140 Newton atau setara 1,4 Ton penambahan beban ke luar lereng. Jadi sangat wajar ketika hujan lebat turun, akan banyak sekali tanah longsor. Untuk menghindari air yang masuk ke dalam lereng, maka lereng tersebut harus ditutup atau dibuatkan aliran supaya air mudah mengalir di atas permukaan tanah dan tidak masuk ke dalam lereng. Metode penutupan lereng seperti dengan cara menyemprotkan semen ke lereng (shorcrete) bisa dilakukan. Cara yang paling simpel adalah dengan cara

menutup lereng dengan terpal dan memastikan air hujan tidak masuk ke dalam lereng.

Kemiringan Lereng Lereng yang memiliki kemiringan

lereng yang curam akan lebih mudah longsor dibandingkan dengan lereng yang landai. Secara fisika, suatu longsoran akan terjadi atau tidak sangat bergantung pada besaran gaya penahan atau gaya yang menahan batuan/tanah tetap berada di lereng dan besaran gaya yang keluar dari lereng atau gaya yang menarik material lereng untuk jatuh ke bawah. Apabila gaya penahan lebih besar daripada gaya penarik maka tanah longsor tidak akan terjadi namun apabila gaya penahan lebih kecil dari gaya penarik maka tanah longsor akan terjadi.Gaya penarik yang keluar dari lereng akan semakin besar dengan semakin bertambahnya beban lereng dan kemiringan lereng. Salah satu cara untuk mengurangi gaya penarik adalah dengan membuat lereng yang landai. Selain itu, solusi lain yang bisa diterapkan namun sedikit mahal adalah dengan cara memasang penguat lereng berupa Rockbolt, Soilnail, atau bentuk penguat lainnya. Beberapa negara tetangga kita sudah memasang metode pengaman lereng tersebut.

Struktur Geologi Kondisi geologi setempat juga sangat

mempengaruhi suatu kawasan mudah untuk Longsor atau tidak. Kondisi geologi berupa struktur geologi seperti adanya patahan (fault), kekar (Joint), lipatan, arah perlapisan dan lain sebagainya akan mempermudah suatu kawasan untuk longsor. Kawasan lereng yang berada pada kawasan patahan aktif akan mudah sekali untuk longsor, hal ini dikarenakan kondisi batuan pembentuk lereng yang sudah hancur sehingga menjadi zona lemah. Struktur geologi yang kompleks yang terbentuk di Aceh tentu saja dipengaruhi oleh tumbuhan lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah lereng Eurasia tempat provinsi kita duduk. Gaya tektonik tersebut membuat terjadinya deformasi batuan dan terbentuknnya struktur batuan berupa patahan, kekar, dan lipatan.

Selain itu, sebuah lereng batu yang memiliki banyak kekar (Joint) atau retak-retak juga sangat rentang untuk terjadinya longsoran jenis jatuhan batu, gelincir (sliding) atau gulingan (toppling). Apabila pembaca melihat lereng-lereng batu yang banyak retak-retak di sepanjang jalan, maka bisa dipastikan suatu saat nanti di tempat tersebut akan terjadi longsor.

Intensitas GempabumiBagi masyarakat Aceh, gempabumi

adalah kejadian yang tidak langka. Gempabumi di Sumatra dan Jawa terjadi akibat adanya zona tumbukan lempeng dalam bentuk subduksi antara lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia. Getaran gempabumi yang terjadi bisa menganggu kestabilan lereng. Kejadian tanah longsor akibat gempabumi pernah terjadi ketika gempabumi 2 Juli 2013 di kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Tanah longsor tersebut telah menimbun beberapa rumah sehingga menimbulkan korban jiwa. (***)

Page 14: Selamat membaca. - tdmrc.unsyiah.ac.idtdmrc.unsyiah.ac.id/.../2016/11/SMONG-NOV-2016-1.pdf · Aceh dan Tohoku Yu Fukuda, Ph.D. 11 PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPABUMI ACEH

14

Smong NEWS I Suplemen Peringatan Bulan PRB dan World Tsunami Awareness Day

07 Nopember 2016

Banyak dari kita yang baru menyadari bahwa sebagian besar wilayah di pesisir pantai Aceh rawan terhadap ancaman tsunami setelah melihat besarnya jumlah korban jiwa dan ting-kat kerusakan yang terjadi akibat bencana tsu-nami pada 26 Desember 2004. Sebenarnya bukan hanya gempa bumi dan tsunami yang berpotensi menimbulkan bencana di Provinsi Aceh. TDMRC Unsyiah mengidentifikasi abrasi, angin ribut, banjir, epidemi, kekeringan, keba-karan hutan, gempa bumi, letusan gunung api, tanah longsor, dan tsunami tanah longsor se-bagai 10 potensi bencana di Provinsi Aceh.

Tingkat ancaman bencana tersebut berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lainnya, akan tetapi mungkin tidak banyak dari kita yang mengetahui potensi bencana yang mengancam wilayah tempat tinggal kita. Padahal pengetahuan tingkat ancaman bencana di tempat kita tinggal dapat meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Jika masyarakat yang tinggal di wilayah yang rawan bencana telah memiliki kesiagaan dalam menghadapi bencana, maka diharapkan korban jiwa dan kerugian yang akan terjadi dapat diminimalisir.

Oleh karena pentingnya fungsi data terkait bencana bagi pengurangan risiko bencana, maka data tersebut perlu dikelola dan disebarluaskan sebagai informasi yang dapat diperoleh dengan mudah oleh segala lapisan masyarakat.Untuk keperluan tersebut, Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC), Universitas Syiah Kuala, telah membangun Disaster Risk Management Information System (DRMIS) atau Sistem Informasi Manajemen Resiko Bencana. Sistem ini merupakan aplikasi untuk mengelola data dan menampilkan informasi terkait risiko bencana melalui sarana internet. DRMIS menggunakan teknologi Web GIS untuk membantu menyebarluaskan informasi terkait kebencanaan di wilayah Provinsi Aceh dalam bentuk peta digital yang interaktif.

Kemudahan Akses WebGIS DRMIS merupakan sistem

informasi tentang peta risiko bencana di Provinsi Aceh berbasis internet sehingga dapat diakses kapan saja dan di mana saja selama tersedia akses internet. Aplikasi berbasis web ini dapat dijalankan pada web browser seperti Internet Explorer, Mozilla Firefox, dan Google Chrome. Beberapa web browser ini sudah tersedia bersama sistem operasi perangkat komputer, sehingga pengguna tidak perlu melakukan instalasi perangkat lunak sama sekali.

Antarmuka grafis (GraphicalUser Interface) dari WebGIS DRMIS memiliki banyak fungsi dan alat (tool) yang dirancang agar pengguna internet dapat dengan mudah melihatdan mengeksplorasi peta digital yang disediakan. Kebanyakan dari alat (tool) tersebut dapat dioperasikan dengan klik pada tombol atau ikon yang disediakan dan diikuti dengan klik dan drag mouse pada layar tampilan peta.

Fungsi dan alat (tool) yang disediakan WebGIS DRMIS untuk navigasi peta digital juga cukup lengkap. Untuk melihat peta yang lebih detail, pengguna dapat melakukan zoom secara berperingkat dengan menggunakan salah

mengenal sekilas Sistem Informasi Manajemen Risiko Bencana berbasis Internet

Ardiansyah, BSEE.,M.Sc. danDr. Nasaruddin, S.T.,M.Eng.

Peneliti TDMRC dan Dosen pada Jurusan Teknik ElektroUniversitas Syiah Kuala

satu tombol navigasi, atau melakukan zoom in ke kawasan tertentu dengan menggunakan fungsi zoom in yang diikuti dengan klik dan dragmouse untuk menentukan kawasan yang dipilihnya, atau pun memilih dari daftar Pilihan Kabupaten/Kota untuk zoom in ke Kabupaten atau Kota tertentu. Pengguna dapat menggeser peta yang telah di-zoom sehingga dapat melihat tampilan detail dari peta bagian per bagian. Pengguna juga dapat kembali ke tampilan zoom sebelumnya dengan menggunakan fungsi zoom to previous extent, atau menggunakan fungsi zoom out, atau pun menggunakan tombol Home untuk kembali ke tampilan peta awal dengan cepat. Semua fungsi dan alat (tool) ini disediakan untuk menjamin agar navigasi peta dapat dilakukan dengan interaktif.

Peta RisikoWebGIS DRMIS dapat menampilkan

peta yang terkait dengan 10 bencana potensial di Provinsi Aceh, yang terdiri dari Abrasi, Angin Topan, Banjir, Epidemi, Gempa Bumi, Gunung Api, Kebakaran Hutan, Kekeringan, Longsor, dan Tsunami. Pengguna dapat memilih untuk menampilkan salah satu dari bencana tersebut dari drop down list yang terdapat di Panel Kandungan Peta. Untuk setiap jenis bencana, pengguna dapat memilh untuk menampilkan aspek Bahaya, Kerentanan, Kapasitas, atau Risiko. Untuk Peta bencana telah di desain agar tidak ada lebih dari satu jenis bencana dan satu aspek dari bencana yang tampil secara bersamaan. Hal ini dimaksudkan agar pengguna data dengan lebih mudah melihat informasi spasial terkait bencana karena tidak ada layer (lapisan) peta bencana yang tumpang tindih pada tampilan peta.

Selain dari Peta Bencana, WebGIS DRMIS juga menyediakan sejumlah Peta Dasar Provinsi Aceh, meliputi Peta Administrasi Provinsi Aceh (lokasi ibukota provinsi, ibukota kabupaten, ibukota kecamatan, serta batas kabupaten dan kecamatan), Peta Infrastruktur (lokasi sekolah, b a n d a r a , p e l a b u h a n , f a s i l i t a s p e m e r i n t a h a n dan umum, serta jalan raya), Peta Demografi, dan Peta Geologi (lokasi gunung api, sesar, lereng, dan jenis tanah). Peta-peta dasar ini sudah diatur sedemikian rupa sehingga Peta A d m i n i s t r a s i

Provinsi Aceh dan Peta Infrastruktur yang berupa titik (point) dan garis (line) selalu berada di atas peta-peta yang lain, sehingga kedua kelompok Peta dasar ini bisa ditampilkan bersama Peta Bencana. Dengan demikian, pengguna dapat menggabungkan informasi bencana dengan peta dasar. Misalnya, pengguna dapat melihat risiko bencana per kabupaten, atau melihat sekolah mana yang terletak di kawsan dengan risiko tinggi gempa bumi. Peta-peta dasar yang berupa poligon seperti peta-peta dalam kelompok peta geologi dan demografi, diatur sehingga selalu terletak di bawah peta bencana, sehingga tidak menghalangi tampilan peta bencana.Untuk melihat peta-peta dasar ini sekaligus dengan peta bencana, pengguna dapat mengatur tingkat transparansi peta bencana.

Kemudahan mendapatkan informasiUntuk membantu pengguna

memperoleh informasi dari peta digital yang ditampilkan, WebGIS DRMIS dapat menampilkan Legenda yang menjelaskan arti symbol dan warna yang dipakai dalam peta.Legenda dikelompokkan menurut masing-masing kelompok peta yang terlihat pada peta, sehingga pengguna dapat dengan mudah mencari legenda yang diperlukan.Selain itu WebGIS DRMIS juga dapat menampilkan informasi tekstual terkait dengan peta. Apabila pengguna meng-klik pada peta, WebGIS akan menampilkan pop-up window yang berisi informasi tekstual dari lokasi yang di-klik oleh pengguna.

Melalui peta-peta interaktif dan fitur-fitur yang disediakan, WebGIS DRMIS diharakan menjadi salah satu media penyebarluasan informasi terkait kebencanaan di Provinsi Aceh, yang dapat dimanfaatkan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. (***)

Tampilan WebGIS DRMIS yang dapat diakses di http://tdmrc.unsyiah.ac.id/drmis/

Page 15: Selamat membaca. - tdmrc.unsyiah.ac.idtdmrc.unsyiah.ac.id/.../2016/11/SMONG-NOV-2016-1.pdf · Aceh dan Tohoku Yu Fukuda, Ph.D. 11 PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPABUMI ACEH

15

Suplemen Peringatan Bulan PRB dan World Tsunami Awareness Day I Smong NEWS

07 Nopember 2016

Lebih dari setengah garis pantai di Provinsi Aceh terdampak oleh tsunami yang terjadi pada tahun 2004 lalu. Beberapa lokasi bahkan memperlihatkan kemunduran garis pantai yang cukup masif akibat energi gelombang tsunami. Salah satu wilayah yang terdampak parah adalah kawasan pantai yang berada di sebelah timur Kecamatan Peukan Bada di Kabupaten Aceh Besar (Lihat Gambar). Kawasan pantai ini melingkupi beberapa gampong seperti Lamteh, Lambadeuk, Lampageu, hingga ke titik yang dikenal sebagai Ujong Pancu.

Kawasan ini sejak Abad ke-9 telah dikenal sebagai kawasan bermukimnya penduduk yang beragama Hindu yang pada saat itu lebih dikenal sebagai Indrapurwa. Indrapurwa merupakan satu dari tiga entitas Hindu yang hadir di masa yang hampir bersamaan di Aceh pada saat itu. Dua yang lainnya adalah Indrapatra yang berada di sekitar Kawasan Lamteh, di sebelah Timur dari Banda Aceh, dan Indrapuri yang berada di sekitar 40 Km ke arah selatan Banda Aceh. Indrapurwa dan Lamteh merupakan dua kawasan pantai yang diduga berkali-kali terdampak oleh tsunami yang terjadi jauh sebelum tahun 2004. Akibat tsunami tersebut, pantai ini mundur hingga hampir ratusan meter dari garis pantai aslinya.

Proses angkutan sedimen yang terjadi lebih dari satu dekade membentuk garis pantai baru yang mengikuti bentuk asalnya sebelum tahun 2004 meskipun tidak pulih sepenuhnya.

Untuk mewakili nama kawasan ini, selanjutnya kawasan ini disebut sebagai Kawasan Indrapurwa yang mencakup beberapa Gampong sebagaimana disebutkan sebelumnya. Belum ada studi yang komprehensif bagaimana kampung-kampung di Kawasan Indrapurwa ini terdampak oleh tsunami di masa lalu. Para peneliti di TDMRC (UPT Mitigasi Bencana) Universitas Syiah Kuala, sejak tahun 2014 lalu memulai upaya memahami karakter fisik kawasan pantai ini, termasuk mengetahui bagaimana tsunami dapat merubah rupa pantai kawasan ini dan mencoba merekonstruksi proses pemulihan pantai yang terjadi satu dekade setelah itu. Harapannya, dengan melihat kedua aspek tersebut, kita akan mampu memahami bagaimana proses tsunami yang terjadi di masa lalu dan proses pemulihan pantainya. Bukan tidak mungkin, proses yang secara umum sama telah terjadi berulang kali di lokasi ini, namun selama ini kita masih sepenuhnya mengerti. Melalui proses penyelidikan ini diharapkan juga kita akan memahami bahwa mitigasi tsunami melalui penataan kawasan pantai harus dilakukan secara berkelanjutan. Para peneliti TDMRC didukung oleh Partnership Enhanced Engagement in Research (PEER)

Belajar Tsunami dari Kawasan Indrapurwa di Aceh Besar

Dr. Eng. SyamsidikWakil Ketua TDMRCDosen Fakultas Teknik Universitas Syiah [email protected]

Cycle 3 dari USAID memulai penelitian dengan memodelkan proses erosi pantai yang terjadi akibat tsunami 2004. Sejumlah data terkait wilayah ini sebelum tsunami dikumpulkan dari berbagai sumber. Model yang dibangun oleh para peneliti ini berhasil menirukan bentuk garis pantai dan kedalaman pantai akibat tsunami tersebut. Akibat tsunami tersebut, endapan sedimen diperkirakan banyak tertumpuk di batas bukit yang melingkari kawasan ini dan di wilayah laut di utara dari Pulau Tuan (lebih kurang 2,5 km dari garis pantai asli.

Dalam 10 tahun proses pemulihan pantai di kawasan ini, proses alami yang terjadi yang disebabkan oleh gelombang dan arus, membawa sedimen yang berasal dari sekitar kawasan ini membentuk garis pantai baru. Meskipun garis pantai baru yang terbentuk setelahnya tidak sepenuhnya kembali ke posisi semula, ternyata bangunan fisik khusus untuk garis pantai seperti tanggul laut (sea-wall) tidak diperlukan. Ini bertolak belakang dengan beberapa garis pantai lainnya setelah tsunami yang harus dibangun tanggul laut seperti di Gampong Pandee dan Gampong Jawa di Kota Banda Aceh.

Dari sisi penggunaan lahan, kawasan pemukiman telah pulih kembali seperti sebelum tsunami. Namun, tidak demikian halnya dengan jenis penggunaan lahan yang berhubungan langsung dengan kualitas ekologis, seperti untuk tambak, sawah, dan hutan bakau. Ketiga jenis penggunaan lahan tersebut tidak menunjukkan pemulihan yang menggembirakan. Sebagai contoh, hingga saat ini, kawasan hutan bakau yang berhasil dipulihkan tidak sampai 50% dari sebelum tsunami 2004. Demikian pula halnya dengan luasan sawah dan tambak.

Terdapat beberapa hal turut berperan

pada lambatnya pemulihan penggunaan lahan tersebut. Salah satunya adalah belum pulihnya daya dukung ekologis kawasan pantai ini meskipun telah lebih dari satu dekade tsunami. Meskipun bukan satu-satunya penyebab, namun perhatian dari aspek ekologis terhadap pemulihan kawasan ini perlu mendapat porsi yang memadai.

Kawasan Indrapurwa ini selayaknya mendapat perhatian mengingat kawasan ini juga menyimpan catatan sejarah yang cukup panjang yang dapat menjadi sumber pembelajaran bagi generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Dari aspek keilmuwan tsunami, Kawasan Indrapurwa ini sebenarnya merupakan taman ilmu yang berharga.

Tsunami merupakan ancaman yang memiliki frekuensi rendah namun berdampak besar. Ia tidak terjadi se-sering bencana lain seperti bencana banjir. Namun, dampak buruk yang ditimbulkan oleh tsunami dapat beratus kali lebih dahsyat dibandingkan bencana lain. Oleh karena itu, rehabilitasi yang berkelanjutan di kawasan pantai setelah bencana tsunami perlu dilakukan dengan cara-cara yang tepat, berbasis mitigasi, dan berwawasan ekologis. (***)

Kawasan Indrapurwa-Peukan Bada Sebelum Tsunami 2004 (kiri) dan sesaat setelah tsunami di Tahun 2004 (Sumber : IKONOS, 2004)

“Dalam 10 tahun proses pemulihan pantai

di kawasan ini, proses alami yang terjadi

yang disebabkan oleh gelombang dan arus, membawa sedimen

yang berasal dari sekitar kawasan ini membentuk

garis pantai baru. ”

Page 16: Selamat membaca. - tdmrc.unsyiah.ac.idtdmrc.unsyiah.ac.id/.../2016/11/SMONG-NOV-2016-1.pdf · Aceh dan Tohoku Yu Fukuda, Ph.D. 11 PATAHAN SEULIMEUM DAN POTENSI BENCANA GEMPABUMI ACEH

16

Smong NEWS I Suplemen Peringatan Bulan PRB dan World Tsunami Awareness Day

07 Nopember 2016

Galeri Foto

Workshop Penguatan Penelitian Tsunami di Indonesia, 28 September 2016

PUI-PT Mitigasi Bencana Tsunami TDMRC Unsyiah berpartisipasi dalam Ritech Expo pada bulan Agustus 2016.

TDMRC memfasilitasi peningkatan kapasitas kebencanaan para peserta AHA Center Executive (ACE) Programme Third Batch, Mei-Juli 2016

International Training on Disaster Recovery and Mitigation for Coastal Area Series-3,peserta berasal dari Fiji, Tuvalu, Timor Leste, and Indonesia, 10-20 August, 2016

Workshop Strategic Planning TDMRC/ UPT Mitigasi Bencana Unsyiah, 22-23 Oktober 2016

Writeshop Penyusunan Proposal Penelitian Skim Internasional “PEER-USAID”, 4 November 2016

Training of Trainer Fasilitator Muda TDMRC, 29 April s.d 1 Mei 2016

Seri Seminar Kebencanaan #13 dalam rangka memperingati Bulan Pengurangan Risiko Bencana, 10 Oktober 2016