aceh gayo.docx

21
D I S U S U N OLEH : NAMA : INIKE YULIA PUTRI KELAS : XI IPA 1 PELAJARAN : SENI BUDAYA GURU PEMBIMBING : RAMLANI, SE SMA NEGERI 1 PINTU RIME GAYO KECAMATAN PINTU RIME GAYO

Upload: abdulkusnan

Post on 12-Jul-2016

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Aceh Gayo.docx

D

I

S

U

S

U

N

OLEH :

NAMA : INIKE YULIA PUTRI

KELAS : XI IPA 1

PELAJARAN : SENI BUDAYA

GURU PEMBIMBING : RAMLANI, SE

SMA NEGERI 1 PINTU RIME GAYOKECAMATAN PINTU RIME GAYO

KABUPATEN BENER MERIAHTAHUN AJARAN 2013-2014

KATA PENGANTAR

Page 2: Aceh Gayo.docx

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil Alamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang

kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat,

taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

makalah dengan judul ”ADAT ISTIADAT DAN KEBUDAYAAN GAYO”.

Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu

penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua dan segenap

keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu besar.

Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit

kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.

Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan,

namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun agar skripsi ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini

bermanfaat bagi semua pembaca.

Sp. Lancang , 2 Juni 2014

Penulis,

Inike Yulia Putri

ADAT ISTIADAT

Page 3: Aceh Gayo.docx

Kebudayaan Gayo timbul sejak orang Gayo bermukim di wilayah ini dan mulai

berkembang sejak kerajaan Linge Pertama abad ke X M. atau abad ke IV H, meliputi aspek

kekerabatan, komunikasi sosial, pemerintahan, pertanian kesenian dan lain – lain. Adat istiadat

sebagai salah satu unsur Kebudayaan Gayo Menganut Prinsip Keramat Mupakat, Behu Berdedale

( Kemulian karena Mufakat, Berani Karena Bersama ), Tirus lagu gelas belut lagu umut rempak

lagu resi susun lagu belo ( Bersatu Teguh ) Nyawa sara pelok ratep sara anguk (kontak Batin ) atau

tekad yang melahirkan kesatuan sikap dan perbuatan, banyak lagi kata – kata pelambang yang

mengandung kebersamaan dan kekeluargaan serta keterpaduan. Pemerintah dan ulama saling harga

menghargai serta menunjak pelaksanaan agama.

Sistem Nilai Budaya Gayo

Di masa lalu masyarakat Gayo telah merumuskan prinsip – prinsip adat yang disebut

kemalun ni edet. Prinsip adat ini menyangkut “harga diri” (malu) yang harus dijaga, diamalkan, dan

dipertahankan oleh kelompok kerabat tertentu, kelompok satu rumah (sara umah), klen (belah), dan

kelompok yang lebih besar lagi.

Prinsip adat meliputi empat hal berikut ini :

1. Denie – terpancang adalah harga diri yang menyangkut hak – hak atas wilayah.

2. Nahma teraku adalah harga diri yang menyangkut kedudukan yang sah.

3. Bela mutan ialah harga diri yang terusik karena ada anggota kelompoknya yang disakiti atau

dibunuh.

4. Malu tertawan ialah harga diri yang terusik karena kaum wanita dari anggota kelompoknya

diganggu atau difitnah pihak lain.

Skema Sistem Nilai Budaya Gayo

Keterangan:

M > mukemel ( harga diri ) Tp > tertip (tertib) St > setie (setia) Sg > semayang Gemasih (kasih

sayang ) Mt > mutentu (kerja keras) An > amanah (amanah) Gm > genap mupakat (musyawarah)

At > alang tulung (tolong menolong) Bs > bersikemelen ( kompetitif)

Skema tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Sistem nilai budaya Gayo terbagi menjadi nilai

“utama” yang disebut “harga diri” (mukemel=M). untuk mencapai harga diri itu, seorang harus

mengamalkan atau mengacu pada sejumlah nilai lain, yang disebut nilai “penunjang”. Nilai – nilai

penunjang itu adalah : “tertib” (Tp), setia (St), kasih sayang” (Sg), “kerja keras”(Mt), “amanah”

(An), “musyawarah”(Gm), “tolong- menolong”(At). Untuk mewujudkan nilai – nilai ini dalam

Page 4: Aceh Gayo.docx

mencapai “harga diri” mereka harus berkompetisi. Kompetisi itu sendiri merupakan sebuah nilai,

yaitu “nilai kompetitif” (Bs) yang merupakan nilai penggerak

SUKU GAYO

Suku Gayo

Pengantin Pria Gayo Jaman dulu

Jumlah populasi

kurang lebih 85.000.

Kawasan dengan populasi yang signifikan

Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues

Bahasa

Bahasa Gayo

Agama

Islam

Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami pegunungan di tengah Aceh yang

populasinya berjumlah kurang lebih 85.000 jiwa. Suku Gayo secara mayoritas terdapat di

kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Suku Gayo beragama Islam dan mereka

dikenal taat dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo.

SEJARAH

Page 5: Aceh Gayo.docx

Pada abad ke-11, Kerajaan Linge didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan

Sultan Makhdum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kesultanan Perlak. Informasi ini diketahui

dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin

yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial

Belanda.

Raja Linge I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama

Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Johan Syah) dan

Meurah Lingga (Malamsyah).

Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal

dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan

kerajaannya yang bernama Lam Krak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamuri atau

Kesultanan Lamuri. Ini berarti Kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan

Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun.

Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Meurah

Mege sendiri dikuburkan di Wih ni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, Aceh

Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.

Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja

Linge lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain

lebih memilih untuk mengembara.[1]

DINASTI LINGGA

1. Adi Genali Raja Linge I di Gayo

a. Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo

b. Raja Meurah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)

c. Meurah Silu anak dari Meurah Sinabung (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan

2. Raja Linge II alias Marah Lingga di Gayo

3. Raja Lingga III-XII di Gayo

4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh. Pada tahun 1533 terbentuklah

Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja

Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan

Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau

(Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.

Page 6: Aceh Gayo.docx

Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-

rajanya tapi hanya dua era

1. Raja Sendi Sibayak Lingga (pilihan Belanda)

2. Raja Kalilong Sibayak Lingga

KEHIDUPAN SOSIAL

Rumah Adat Gayo Pitu Ruang

Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong

dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin

oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat,

terdiri dari reje (raja), petue (petua), imem (imam), dan rayat (rakyat).

Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan

unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili

rakyat.

Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok belah (klan). Anggota-anggota

suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan

hubungan tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip

patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan

adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap).

Page 7: Aceh Gayo.docx

Kelompok kekerabatan terkecil disebut sara ine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga

inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah

panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu

belah (klan). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri. Pada masa

lalu orang Gayo terutama mengembangkan mata pencaharian bertani di sawah dan beternak, dengan

adat istiadat mata pencaharian yang rumit.

Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap ikan, dan meramu hasil hutan. Mereka

juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kini mata

pencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi. Kerajinan membuat keramik

dan anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai salah satu

daerah tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan lagi. Kerajinan lain yang juga

banyak mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman kerawang dengan motif yang khas.

SENI BUDAYA

Budaya tradisional orang Gayo

Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian,

yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian

Gayo yang terkenal, antara lain tari Saman dan seni bertutur yang disebut Didong. Selain untuk

hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan,

sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di

samping itu ada pula bentuk kesenian seperti tari Bines, tari Guel, tari Munalu, Sebuku /Pepongoten

(seni meratap dalam bentuk prosa), guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat).

Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya

sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong,

dan rajin (mutentu). Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen,

yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel). Nilai-nilai ini

Page 8: Aceh Gayo.docx

diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian,

kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat

setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.

SENI DAN TARIAN

1. Didong2. Didong Niet3. Tari Saman4. Tari Bines5. Tari Guel6. Tari Munalu7. Tari Sining8. Tari Turun ku Aih Aunen9. Tari Resam Berume10. Tuah Kukur11. Melengkan12. Dabus

Didong Tari Saman Tari Guel

Makanan Khas

Masam Jaeng

Gutel

Lepat

Pulut Bekuah

Cecah

Pengat

Gegaloh

TEMPAT WISATA DAERAH GAYO

1. Danau Laut Tawar

Page 9: Aceh Gayo.docx

Danau Laut Tawar, yang menjadi kebanggaan masyarakat Takengon. Sebagian aktivitas

masyarakat sekitar danau adalah sebagai nelayan. Ikan Depik [Rasbora Tawarensis], merupakan

ikan khas danau laut tawar Aceh Tengah.Banyak wisatawan domestik maupun mancanegara yang

datang ke Takengon, mengunjungi dan menginap di sekitar Danau Laut Tawar. Penduduk asli

Takengon adalah Suku Gayo. Mereka merupakan keturunan dari Batak Karo di Sumatera Utara.

Bahasa daerahnya pun berbeda dengan bahasa daerah penduduk Aceh pada umumnya. Kota

Takengon berhawa sejuk dengan keindahan alamnya yang luar biasa, dan berada di kawasan

dataran tinggi Gayo. Komoditi-komoditi unggulan yang dipasarkan di Kota Takengon adalah

komoditi-komoditi yang berasal dari dataran tinggi Gayo, seperti kopi Gayo (kopi arabika) yang

terkenal yang diekspor ke Jepang, Amerika dan Eropa, tomat, markisa, sayur-sayuran, jagung, cabe

dan kentang. markisa, tomat, cabe, jagung, sayur-sayuran, jeruk keprok Gayo, alpukat, tembakau

dan dammar

2. Batu Belah

Page 10: Aceh Gayo.docx

Batu Belah (Atu Belah) Bahasa Gayo, Salah Satu Obyek Wisata yang ada di Kampung

Penaron Kecamatan Linge Takengon Aceh Tengah.

Atu Belah bermakna batu belah. Legendanya sudah menjadi cerita rakyat, apakah Atu Belah ini

fakta atau mitos belum ada yang bisa memastikannya, sebahagian masyarakat percaya kalau Atu

belah tersebut benar benar ada dan sebagian masyarakat lainnya mengangap atu belah itu hanya

cerita rakyat. Legenda Atu Belah itu menurut cerita yang berkembang di masyarakat, pada masa

dahulu di desa Penerun Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah, hidup satu keluarga miskin. Keluarga

itu mempunyai dua orang anak, yang tua berusia tujuh tahun dan yang kecil masih kecil. Ayah

kedua anak itu hidup sebagai petani, pada waktu senggangnya ia selalu berburu rusa di hutan

Di samping itu, ia juga banyak menangkap belalang di sawah, untuk dimakan apabila tidak

berhasil memperoleh binatang buruan. Belalang itu ia kumpulkan sedikit demi sedikit di dalam

lumbung. Pada suatu hari ia pergi ke hutan untuk berburu rusa, di rumah tinggal istri dan kedua

anaknya, pada waktu makan, anak yang sulung merajuk, karena di meja tidak ada daging sebagai

teman nasinya. Karena di rumah memang tidak ada persediaan lagi, maka kejadian ini membuat

ibunya bingung memikirkan bagaimana dapat memenuhi keinginan anaknya yang sangat

dimanjakannya itu. Akhirnya si ibu menyuruh anaknya tersebut untuk mengambil belalang yang

berada di dalam lumbung. (padahal sebelumnya siayah memesan kepada sang ibu jangan di buka

lumbung yang berisikan belalang itu), Ketika si anak membuka tutup lumbung, rupanya ia kurang

berhati-hati, sehingga menyebabkan semua belalang itu habis berterbangan ke luar. Sementara itu

ayahnya pulang dari berburu, ia kelihatannya sedang kesal, karena tidak berhasil memperoleh

seekor rusa pun. Kemudian ia sangat marah ketika mengetahui semua belalang yang telah di

kumpulkan dengan susah payah telah habis terlepas.

Kemudian, dalam keadaan lupa diri si ayah memotong sebelah (maaf) payudara istrinya, dan

memanggangnya, untuk dijadikan teman nasinya. Kemudian wanita malang yang berlumuran darah

Page 11: Aceh Gayo.docx

dan dalam kesakitan itu segera meninggalkan rumahnya. Dalam keadaan keputusasaan si wanita

tersebut pergi ke hutan, di dalam hutan tersebut si ibu menemukan sebongkah batu, dengan

keputusasaan si ibu meminta kepada batu untuk dapat menelannya, agar penderitaan yang di

rasakanya berakhir. Selepas itu si ibu bersyair dengan kata-kata, “Atu belah, atu bertangkup nge

sawah pejanyin te masa dahulu,” kalau diartikan dalam bahasa indonesia “Batu Belah, batu

bertangkup, sudah tiba janji kita masa yang lalu. “Kata-kata” itu dinyanyikan berkali-kali secara

lirih sekali oleh ibu yang malang itu. Tiba-tiba suasana berubah, cuaca yang sebelumya cerah

mejadi gelap disertai dengan petir dan angin besar, dan pada saat itu pula batu tersebut terbelah

menjadi dua dengan perlahan-lahan tanpa ragu lagi si ibu melangkahkan kakinya masuk ke tengah

belahan batu tersebut. Setelah itu batu yang terbelah menjadi dua tersebut kembali menyatu. Si ayah

dan kedua anaknya tersebut mencari si ibu, tetapi tidak menemukannya, mereka hanya menemukan

beberapa helai rambut diatas sebuah batu besar, rambut tersebut adalah milik siibu yang tertinggal

ketika masuk kedalam atu belah. Kini atu belah sudah hilang populernya hal itu di buktikan

masyarakat Gayo khususnya generasi sekarang masih banyak yang tidak tau cerita dari legenda atu

belah dan di kwatirkan cerita rakyat ini dengan waktu berlalu makin hilang dengan sendirinya.

Tempat wisata atu belah sudah tidak terawat lagi dan para wisatawan pun tidak pernah lagi kesana,

apakah karena jauh dari pusat kota takengon ataupun karena sudah tidak populer lagi di masyarakat.

3. Umah Edet Pitu Ruang

Rumah Adat Tujuh Ruang (Umah Edet Pitu Ruang) bahasa Gayo,  adalah peninggalan raje 

Baluntara yang nama aslinya Jalaluddin sudah berdiri sejak pra-kemerdekaan. Rumah adat itu

adalah bukti sejarah orang Gayo yang masih ada, tapi sayang tampaknya tidak ada yang peduli

dengan peninggalan sejarah tersebut.

Rumah tua Umah Edet Pitu Ruang (Rumah Adat Tujuh Ruang) bukti sejarah orang Gayo

tersebut letaknya di sebuah kampung pinggiran Danau Lut Tawar  tepatnya di Kampung Toweren,

Kecamatan Laut Tawar Aceh Tengah siapa saja boleh melihatnya, tetapi rumah tesebut warnanya

Page 12: Aceh Gayo.docx

mulai pudar bahkan nyaris hilang dimakan waktu seakan akan tidak ada yang perduli, padahal

rumah itu adalah bukti sejarah yang masih ada di Dataran Tinggi Gayo yang benar-benar asli

peninggalan tidak seperti rumah adat di Linge dan Mess Pitu Ruang di Kampung Kemili Takengon

yang hanya copyan dari bentuk aslinya. Beberapa bagian lantai rumah adat tersebut sudah mulai

lapuk. Begitu juga dengan 27 tiang penyangga dari kayu pilihan dan diukir dengan pahatan

kerawang Gayo sudah mulai bergeser dan tidak lagi tegak lurus. Beberapa batu gunung dipakai

sebagai alas tiang utama agar posisi rumah tetap stabil. Beberapa warga (Petua Kampung) Toeren

tersebut mengatakan saat kami wawancarai, Rumah adat Umah Pitu Ruang Toweren memang

dibuat dari kayu pilihan. Diameter tiang penyangganya pun seukuran dekapan dewasa. Tidak

diketahui tahun berapa rumah itu dibangun, tetapi menurut cerita, bangunannya sudah berdiri

sebelum kolonial Belanda masuk ke Dataran Tinggi Gayo. Umah Edet Pitu Ruang Gayo tersebut

tidak mengunakan paku, tetapi dipasak dengan kayu  dan  bermacam-macam ukiran di setiap kayu.

Ukiran tersebut bentuk nya berbeda-beda, ada yang berbentuk hewan dan ada yang berbetuk seni

kerawang Gayo yang di pahat khusus. Walaupun tidak mengunakan paku tapi kekuatan rumah adat

pitu ruang tersebut sangatlah kuat apalagi bahan kayu yang sangat bermutu pada zaman duhulu,

tetapi bagaimana pun kuatnya tanpa adanya perawatan bangunan tersebut akan roboh dengan

sendirinya di makan zaman. Luas Umah Edet Pitu Ruang itu, panjangnya 9 meter dengan lebar 12

meter. Berbentuk rumah panggung dengan lima anak tangga, menghadap utara. Sementara di

dalamnya terdapat empat buah kamar. Selain empat kamar, ada dua lepo atau ruang bebas di arah

timur dan barat. Semua sambungan memakai ciri khas tersendiri menggunakan pasak kayu. Hampir

semua bagian sisi dipakai ukiran kerawang yang dipahat, dengan berbagai motif, seperti puter tali

dan sebagainya. Di tengah ukiran kerawang terdapat ukiran berbentuk ayam dan ikan yang

melambangkan kemuliaan dan kesejahteraan. Sementara ukiran naga merupakan lambang kekuatan,

kekuasaan dan kharisma. Peninggalan Raja Baluntara, bukan hanya bangunan tua yang bertengger

usang di Kampung Toweren Uken, tetapi aset bersejarah lain masih tersimpan rapi oleh pihak

keluarga seperti Bawar. Bawar adalah sebuah tanda kerajaan yang diberikan oleh Sultan Aceh

kepada Raja Baluntara. Selain Bawar yang masih disimpan oleh keluarga keturunan raja itu, ada

piring, pedang, cerka dan sejumlah barang peninggalan yang sangat bersejarah. Di belakang rumah

adat tersebut dahulunya ada rumah dapur di bagian Selatan yang ukurannya sama dengan ruang

utama yang berukuran 9 x 12. Ruangan dimaksud telah hancur. Selain itu, juga ada mersah, kolam

dan roda, alat penumbuk padi dengan kekuatan air yang semuanya juga sudah musnah. Reje

Baluntara merupakan seorang raja yang juga mengusai kawasan hutan sehingga disebut sebagai

Reje Baluntara (raja belantara- red). Menurut cerita yang berkembang foto Reje Baluntara,

ditemukan oleh salah seorang keluarga Reje Baluntara yang bekerja di Jakarta, almarhum Reje

Amat Banta. Dalam sebuah kesempatan ke Belanda, Reje Amat Banta menemukan foto Reje

Page 13: Aceh Gayo.docx

Baluntara yang dibuat oleh Belanda, kemudian dibawa pulang ke Takengon, kemudian dibuat

lukisannya sesuai foto aslinya. Sekeliling rumah pitu ruang tersebut pada tahun 1990 dubuat pagar

kawat oleh Suaka Sejarah dan Peninggalan Purbakala Banda Aceh, kini rumah itu tidak lagi di

tempati oleh keluarga reje baluntara.

4. Gua Putri Pukes

GOA Putri Pukes merupakan salah satu objek wisata di Kabupaten Aceh Tengah. Ceritanya

diriwayatkan sebagai legenda antara mitos dan fakta. Betul tidaknya legenda Putri Pukes, hingga

sekarang belum ada yang bisa memastikannya. Gua Putri Pukes tempat legenda itu diceritakan, kini

sudah menjadi tempat wisata, tetapi sangat di sayangkan gua tempat manusia yang menjadi batu itu

sudah disemen dan ditambah-tambah sehingga tidak lagi alami. Di dalam gua Putri Pukes tersebut

terdapat batu yang dipercayai adalah Putri Pukes yang telah menjadi batu, sumur besar, kendi yang

sudah menjadi batu, tempat duduk untuk bertapa orang masa dahulu, alat pemotong zaman dahulu.

Abdullah, penjaga gua, Batu putri pukes tersebut membesar karena kadang-kadang batu tersebut

menangis sehingga air mata yang keluar tersebut menjadi batu dan makin lama batu tersebut makin

membesar. Sementara sumur besar kata Abdullah, setiap tiga bulan air di sumur tersebut kering dan

tidak ada air nya, bila ada air orang pintar akan datang untuk mengambil air tersebut. Sedangkan

kendi yang telah menjadi batu tersebut pernah dibawa oleh orang, tetapi dikembalikan lagi karena

dilanda resah setelah mengambilnya. “Sedangkan tempat bertapa itu di gunakan oleh orang zaman

dahulu untuk melakukan bertapa guna mencari ilmu dan alat pemotong (pisau) peninggalan

manusia purbakala kata yang ditemukan di dalam goa putri pukes,” jelas Abdullah. Tidak semua

orang Gayo mengetahui cerita legenda Putri Pukes, sebagian dari orang Gayo itu mengetahui

legenda itu tetapi tidak mengetahui bagaimana ceritanya. Menurut cerita dan informasi yang 

Page 14: Aceh Gayo.docx

dikumpulkan dari berbagai sumber yang mengetahui tentang legenda Putri Pukes. Gua Putri Pukes

terletak di sebelah utara, tepatnya di Kampung Mendale, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah

Putri Pukes merupakan nama seorang gadis kesayangan dan anak satu-satunya yang berasal dari

sebuah keluarga di Kampung Nosar, Kecamatan Bintang, Aceh Tengah. Suatu hari dia, dijodohkan

dengan seorang pria yang berasal dari Samar Kilang, Kecamatan Syiah Utama Kabupaten Aceh

Tengah (sekarang Kabupaten Bener Meriah). Pernikahan pun dilaksanakan, berdasarkan adat

setempat. Mempelai wanita harus tinggal dan menetap di tempat mempelai pria. Setelah resepsi

pernikahan di rumah mempelai wanita selesai, selanjutnya kedua mempelai diantar menuju tempat

tinggal pria. Pihak mempelai wanita diantar yang dalam bahasa gayo disebut ‘munenes’ ke rumah

pihak pria ke Kampung Simpang Tiga Bener Meriah. Pada acara ‘munenes’ pihak keluarga

mempelai wanita dibekali sejumlah peralatan rumah tangga seperti kuali, kendi, lesung, alu, piring,

periuk dan sejumlah perlengkapan rumah tangga lainnya. Adat ‘munenes’ biasanya dilakukan pada

acara perkawinan yang dilaksanakan dengan sistem ‘juelen’, dimana pihak wanita tidak berhak lagi

kembali ke tempat orangtuanya. Berbeda dengan sistem ‘kuso kini’ (kesana kemari) atau ‘angkap’.

Kuso kini, pihak wanita berhak tinggal di mana saja, sesuai kesepakatan dengan suami. Sementara

sistem ‘angkap’, adalah kebalikan dari ‘juelen’, pada sistem perkawinan ini, pihak lelaki diwajibkan

tinggal bersama keluarga pihak wanita, disebabkan pihak wanita yang mengadakan lamaran terlebih

dahulu. Pernikahan ini juga disebabkan beberapa hal antara lain, mempelai pria sebelumnya

meminta atau mengemis kepada wali mempelai wanita untuk dinikahkan dengan putrinya, dengan

alasan sangat mencintainya. Sehingga sebagai persyaratannya, pihak pria harus tinggal bersama

keluarga mempelai wanita. Disinilah detik-detik terjadinya peristiwa sehingga nama Putri Pukes

terkenal hingga sekarang, saat akan melepas Putri Pukes dengan iringan-iringan pengantin, ibu Putri

Pukes berpesan kepada putrinya yang sudah menjadi istri sah mempelai pria. “Nak…sebelum kamu

melewati daerah Pukes yaitu daerah rawa-rawa sekarang menjadi Danau Laut Tawar. Kamu jangan

penah melihat ke belakang,”  kata ibu Putri Pukes. Sang putri pun berjalan sambil menangis dan

menghapus air matanya yang keluar terus menerus. Karena tidak sanggup menahan rasa sedih,

membuat putri lupa dengan pantangan yang disampaikan oleh ibunya tadi. Secara tak sengaja putri

menoleh ke belakang, dengan tiba-tiba putri pukes langsung berubah menjadi batu seperti yang

sekarang kita jumpai di dalam Gua Putri Pukes. Apakah itu hanya mitos atau memang benar-benar

terjadi, tetapi warga setempat percaya kalau cerita Putri Pukes itu benar ada.

Selain tempat-tempat wisata di atas masih banyak lagi tempat-tempat wisata yang terdapat di Takengon

Aceh Tengah, seperti: Pantan Terong, Burni Kelieten, Gayo Waterpark, Loyang Datu, Gua Loyang Koro dll.

Page 15: Aceh Gayo.docx

-----> sekian <-----