sekolah tinggi filsafat - stft jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/... ·...

15
Bank: 1.BCACabangMatraman lfAY LEMBAGAPTTEOLOGIJAKARTA),No.342 302 2635 2. Bank MANDIRI CabangCikini (LEMBAGA PERGURUANTINGGI TEOLOGI), No.123 000 5625 431 Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta untuk menjadi Pembicara dalam Kuliah Umum Kala dan Kalam dengan judul "Ketika Perempuan Menyanyikan Imannya" yang diselenggarakan pada 24 Februari 2020 di STFT Jakarta. Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. [abatan Ester Pudjo Widiasih, Ph.D. Dosen Tetap dan Formator Spiritual Ekumenis STFT Jakarta Nama Pemimpin Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta melalui surat ini menugaskan: SURATTUGAS No. 009a/Ketua/II/2019 Hal Penugasan Pembicara Kuliah Umum STFT Jakarta [alan ProkJamasi 27 Jakarta 10320, Indonesia Tel. +62~21~3904237 Fax. +62~21~3906096 Email: [email protected] http://www.sttjakarta.ac.id/ SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA (SEKOLAH TINGGl TEOLOGI JAKARTA) JAKARTA

Upload: others

Post on 31-Oct-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/... · menjadi salah satu unsur ibadah yang menyatakan dialog antara Tuhan dan umat-Nya, juga

Bank: 1.BCACabangMatraman lfAY LEMBAGAPTTEOLOGIJAKARTA),No.342 302 26352. Bank MANDIRI CabangCikini (LEMBAGA PERGURUANTINGGI TEOLOGI), No. 123 000 5625 431

Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta

untuk menjadi Pembicara dalam Kuliah Umum Kala dan Kalam dengan judul "Ketika

Perempuan Menyanyikan Imannya" yang diselenggarakan pada 24 Februari 2020 di STFT

Jakarta. Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

[abatan

Ester Pudjo Widiasih, Ph.D.

Dosen Tetap dan Formator Spiritual Ekumenis STFT Jakarta

Nama

Pemimpin Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta melalui surat ini menugaskan:

SURATTUGAS

No. 009a/Ketua/II/2019

Hal Penugasan Pembicara Kuliah Umum STFT Jakarta

[alan ProkJamasi 27Jakarta 10320, IndonesiaTel. +62~21~3904237Fax. +62~21~3906096Email: [email protected]://www.sttjakarta.ac.id/

SEKOLAH TINGGI FILSAFATTHEOLOGI JAKARTA(SEKOLAH TINGGl TEOLOGI JAKARTA)JAKARTA

Page 2: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/... · menjadi salah satu unsur ibadah yang menyatakan dialog antara Tuhan dan umat-Nya, juga

Kuliah Umum Bulanan “Kala dan Kalam”

Ester Pudjo Widiasih, Ph.D. & Dina E. Siahaan, M.A.

Senin, 24 Februari 2020

Sekolah Tinggi Filsafat Theologi (STFT) Jakarta Jl. Proklamasi No. 27 Jakarta Pusat, 10320

Ketika Perempuan Menyanyikan Imannya Pendahuluan Gereja mewarisi tradisi Yahudi dalam mengekspresikan imannya, yaitu melalui nyanyian. Alkitab bahkan memuat syair-syair nyanyian yang hingga kini masih dinyanyikan, baik oleh komunitas Yahudi maupun komunitas Kristen. Bernyanyi juga menjadi salah satu unsur ibadah yang menyatakan dialog antara Tuhan dan umat-Nya, juga umat dengan umat. Melalui nyanyian, kita dapat “mendengar” sabda Allah. Kita pun dapat menyanyikan doa-doa permohonan kita kepada Allah. St. Agustinus bahkan berkata bahwa ketika kita bernyanyi, kita berdoa dua kali. Dengan kata lain, nyanyian jemaat merupakan suatu cara untuk berteologi. Dalam hal ini, yang kami maksud dengan berteologi adalah bahwa dengan nyanyian kita bercakap kepada Allah dan melalui nyanyian Allah bersabda kepada kita.1 Nyanyian jemaat juga dapat menjadi cara bagi persekutuan para murid Kristus untuk saling menguatkan, mendorong, bahkan mengingatkan. Dialog antarumat dalam ibadah dapat diwujudkan pula melalui nyanyian, yang menunjukkan peran nyanyian sebagai pemersatu jemaat. Melihat beragamnya peran nyanyian dalam ibadah, wajar saja bila hingga saat ini kebanyakan gereja memberi tempat yang cukup besar bagi nyanyian jemaat dalam liturgi hari Minggunya. Semua orang yang beribadah dapat menyumbangkan suaranya dalam “paduan suara jemaat” di ibadah Minggu. Berbagai upaya juga dilakukan oleh gereja untuk mendorong semua orang yang beribadah menyanyikan pujian dan syukur kepada Allah dengan sepenuh hati. Dalam sejarah, sayangnya, gereja tidak selalu memberi tempat bagi semua orang untuk bernyanyi dalam ibadah. Pada abad-abad pertengahan, tempat bernyanyi dalam ibadah umum hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, khususnya anak-anak lelaki dan para lelaki dewasa, yang tergabung dalam sebuah paduan suara. Para perempuan secara resmi tidak mendapat tempat untuk memperdengarkan suara nyanyi mereka dalam ibadah umum (misalnya, ibadah hari Minggu), alih-alih diakui karya gubahan musikal mereka. Dalam presentasi kali ini, kami akan membahas beberapa nyanyian yang diciptakan oleh para perempuan dalam sejarah gereja. Tujuan dari presentasi ini adalah untuk berkenalan dengan beberapa perempuan yang adalah pengarang nyanyian jemaat (hanya syairnya saja atau juga syair dan lagu), menyanyikan gubahan mereka, dan mempelajari syair nyanyian yang merupakan salah satu bentuk puisi lirik karya mereka. Melalui lirik

1 Untuk penjelasan mengenai nyanyian sebagai cara berteologi, lihat tulisan Wren, 349-377.

Page 3: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/... · menjadi salah satu unsur ibadah yang menyatakan dialog antara Tuhan dan umat-Nya, juga

2 | K a l a d a n K a l a m S T F T J a k a r t a , 2 4 F e b r u a r i 2 0 2 0

ciptaan para perempuan ini, kita dapat “mendengar” suara para perempuan di tengah konteks di mana mereka hidup pada zamannya. Presentasi ini bukan untuk membanding-bandingkan syair nyanyian karya perempuan dan laki-laki, apalagi menarik kesimpulan karya yang terbaik di antara keduanya. Dengan menyanyikan nyanyian jemaat karangan para perempuan itu, kita dapat mendengar suara para perempuan yang tak jarang dibungkam dalam gereja dan mengakui kepemimpinan mereka dalam ibadah melalui nyanyian yang mereka karang. Saat ini mungkin kita menganggap keterlibatan para perempuan dan mendengar suara mereka dalam ibadah umum adalah suatu hal yang biasa. Namun, dalam sejarah gereja, hal-hal itu tidak otomatis terjadi. Nyanyian Para Perempuan dalam Alkitab “Lalu Miryam, nabiah itu, saudara perempuan Harun, mengambil rebana di tangannya, dan tampillah semua perempuan mengikutinya memukul rebana serta menari-nari. Dan menyanyilah Miryam memimpin mereka: "Menyanyilah bagi TUHAN, sebab Ia tinggi luhur; kuda dan penunggangnya dilemparkan-Nya ke dalam laut" (Kel. 15:20-21). Ayat ini merupakan teks pertama yang menceritakan kepemimpinan seorang perempuan sebagai “prokantor” dan syair nyanyian pertama yang dikenakan pada seorang perempuan. Nabiah Miriam mengajak para perempuan yang mengiringinya untuk memuji Tuhan setelah bangsa Israel keluar dari Mesir. Syair yang dinyanyikan oleh para perempuan itu menunjukkan pengalaman pembebasan orang-orang tertindas dari penjajahan. Meskipun kemungkinan besar nyanyian itu tidak dilagukan dalam ibadah, kita bisa melihat adanya paduan suara para perempuan yang menggerakkan seluruh bangsa untuk mengumandangkan rasa syukur mereka kepada Allah. Syair singkat ini juga merupakan sebuah pernyataan iman yang menegaskan karya penyelamatan Allah bagi sebuah bangsa yang tertindas. Selain nyanyian Miriam, ada pula teks nyanyian Debora (dan Barak, Hak. 5: 1—31) dan Hana (1Sam. 2: 1—10). Debora yang adalah seorang hakim menyanyikan kisah Allah yang menyelamatkan bangsa Israel dari tangan musuh mereka. Sementara itu, disebutkan dalam 1 Samuel 2 bahwa Hana, seorang perempuan mandul yang akhirnya dianugerahi seorang anak, menyanyikan doanya. Nyanyian Hana mengisahkan karya penyelamatan Allah bagi orang-orang yang dianggap rendah, di antaranya bagi orang miskin, orang mandul, orang yang lapar, orang yang dihinakan, dsb. Hana mengimani bahwa Allah akan mengangkat orang-orang itu dari keterpurukan mereka dan Allah akan merendahkan orang-orang yang selama ini ditinggikan dan dipuja dalam masyarakat. Lagi-lagi, tema pembebasan orang-orang yang tertindas muncul dalam madah yang dinyanyikan oleh seorang perempuan. Injil Lukas memuat beberapa madah penting yang hingga saat ini masih dikumandangkan oleh gereja: “Benedictus”, “Nunc Dimittis”, “Gloria in Excelsis”, dan “Magnificat”. “Magnificat” (Luk. 1: 46—55) adalah sebuah kidung yang setiap hari dinyanyikan dalam ibadah senja (vespers) di komunitas-komunitas biara. Madah ini dilantunkan oleh Maria setelah ia ditemui oleh malaikat Gabriel yang menyampaikan berita bahwa Allah berkenan kepadanya dan akan menjadikannya perantara jalan penyelamatan melalui kehamilannya. Sharon Jacob, seorang ahli biblika dari India, mengingatkan bahwa madah ini terlahir dari pengalaman seorang perempuan yang berada dalam kungkungan

Page 4: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/... · menjadi salah satu unsur ibadah yang menyatakan dialog antara Tuhan dan umat-Nya, juga

3 | K a l a d a n K a l a m S T F T J a k a r t a , 2 4 F e b r u a r i 2 0 2 0

sangkar budaya patriarki dan kolonial yang kuat.2 Pada zamannya, sebagai seorang perempuan di tanah jajahan Romawi, Maria termasuk ke dalam golongan yang paling dipinggirkan di antara orang-orang jajahan yang memang sudah termarginalkan. Perempuan yang masih sangat muda dari golongan bukan keturunan bangsawan/imam biasanya dianggap tidak penting dan suaranya tidak akan diperhatikan. Magnificat dinyanyikan oleh Maria sebagai ungkapan iman seorang yang merasa diberkati oleh Allah karena melaluinya Allah akan menyatakan karya penyelamatan bagi orang-orang yang tertindas. Melalui peristiwa tidak ideal, bahkan tidak menyenangkan, bagi seorang perempuan muda yang belum menikah, Maria berkontribusi bagi penyelamatan manusia dan memberi pengharapan di tengah-tengah ketidakberdayaan. Jacob melihat “Magnificat” sebagai sebuah kidung pembebasan, tetapi juga sebuah kidung yang berisikan permohonan balas dendam (Allah akan memperlihatkan kuasa-Nya kepada orang yang congkak) dan peringatan pada orang-orang yang berkuasa bahwa mereka akan direndahkan. Ketika kita menyanyikan madah Maria ini, kita mengingat bahwa kidung yang powerful ini terlahir dari seorang perempuan yang powerless dalam masyarakat. [Mari, menyanyikan KJ 77.] Nyanyian para Perempuan dalam Gereja Gereja perdana dan abad-abad pertengahan

Dalam mendeskripsikan kegiatan bernyanyi dalam ibadah umum yang diberlakukan di jemaat Kristen perdana, Paul Westermeyer menuliskan: “Secara musikal, kesatuan di dalam Kristus diekspresikan ‘dengan satu suara.’” Selanjutnya, Westermeyer melanjutkan “…. ’dengan satu suara’ berarti setiap orang dilibatkan dalam bernyanyi – tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan, anak-anak, orang-orang yang telah dibaptiskan yang lama dan masa kini, setiap orang” (Westermeyer 1998, 64). Kesatuan jemaat ternyatakan melalui bernyanyi bersama. Sayangnya, kesatuan dalam nyanyian di ibadah umum tidak berlangsung seterusnya, karena mulai abad ke-5 terdapat imam yang melarang para perempuan bernyanyi dalam ibadah publik, setelah pada abad sebelumnya ada pemimpin gereja yang melarang paduan suara perempuan. Misalnya, seorang imam yang bernama Isidore dari Pelusium menulis bahwa gereja melarang para perempuan bernyanyi, karena perempuan yang bernyanyi mengingatkan akan musik di teater dan menunjukkan kelemahan moral. Sejalan dengan peminggiran para perempuan dari kepemimpinan dalam gereja, suara perempuan pun tidak diberi tempat dalam ibadah publik (dhi. misa Minggu dan harian).

Keadaan seperti tersebut di atas berbeda dengan situasi di biara perempuan. Oleh karena anggota jemaat yang beribadah adalah perempuan (meskipun yang memimpin misa adalah imam laki-laki), suara perempuanlah yang terdengar dalam ibadah-ibadah di biara perempuan. Para biarawati diberi kebebasan untuk menentukan sendiri kidung-kidung yang dinyanyikan dalam ibadah harian dan misa, meskipun teks-teks resmi ibadah harian dan misa juga tetap diikuti. Dalam ibadah harian, misalnya, teks-teks Mazmur tetap dinyanyikan dengan lagu (melodi) yang dikarang sendiri oleh para biarawati tersebut. Mereka pun dapat menyanyikan syair-syair baru, juga drama musikal, dan gubahan mereka yang ada kalanya terlahir dari penglihatan (vision) yang dialami oleh para biarawati. Bagi

2 Jacob, Sharon, “The Caged Mary Sings the Magnificat,” https://psr.edu/the-caged-mary-sings-the-magnificat/, diakses pada tanggal 23 Februari 2020.

Page 5: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/... · menjadi salah satu unsur ibadah yang menyatakan dialog antara Tuhan dan umat-Nya, juga

4 | K a l a d a n K a l a m S T F T J a k a r t a , 2 4 F e b r u a r i 2 0 2 0

para perempuan yang hidup pada abad-abad pertengahan, biara menjadi tempat yang membebaskan mereka untuk mengekspresikan iman mereka melalui nyanyian dan musik pada umumnya. Sayangnya, nyanyian-nyanyian karangan para biarawati tidak sampai keluar tembok biara dan tidak dinyanyikan dalam ibadah umum yang diadakan di gereja katedral maupun paroki.

Berikut ini adalah salah satu contoh nyanyian yang digubah oleh seorang biarawati dari Jerman, St. Hildegard von Bingen, yang merupakan tokoh perempuan penting dalam gereja abad-12. Hildegard von Bingen

Hildegard dari Bingen (1098—1179) adalah seorang biarawati yang hidup di biara Benediktin di Jerman. Ia adalah seorang penulis, mistikus, komposer, dan seorang ahli peramu obat yang berasal dari tanaman. Hildegard adalah sosok yang memiliki keistimewaan atau karunia visio, penglihatan ilahi, yang sering ia ekspresikan dalam bentuk tulisan, puisi, nyanyian, dan gambar. Pada tahun 1150 Hildegard mendirikan biara sendiri di Rupertsberg, Jerman, lalu berpindah dan membangun biara baru di Eibingen dekat dengan sungai Rudesheim. Kini, biara yang dibangun Hildegard dikenal dengan The Abbey of St. Hildegard. Pada abad ke 16 ia diakui dan diangkat oleh Paus menjadi Santa (Siahaan 2018, 3—4).

Hildegard pada masanya yaitu di abad 12 merupakan sosok perempuan yang memiliki kontribusi besar bagi para perempuan khususnya perempuan di komunitas monastik. Pada masa itu, hidup dalam sistem patriarki menjadi tantangan tersendiri karena perempuan tidak diberikan ruang untuk berbicara di depan ruang publik. Hildegard dengan karunia yang ia miliki menulis berbagai bentuk tulisan mengenai penglihatannya, dan dengan berani mengirimkan tulisan-tulisan tersebut kepada orang-orang penting (yang memiliki peran di gereja) pada masa itu. Keistimewaannya membuat Hildegard menjadi sosok yang diperhitungkan dan diberi ruang untuk berbicara di depan publik. Ia, melalui penglihatannya, menulis berbagai tulisan yang kini dijadikan buku, salah satunya adalah Scivias. Scivias berisi tulisan tentang penglihatannya akan penciptaan, penebusan dan keselamatan. Hildegard menulis 400 surat berisi penglihatan ilahinya dan mengarang 80 nyanyian (Maddocks 2013, 74). Nyanyian yang ia ciptakan tidak terlepas dari pengalamannya bersama dengan Allah melalui penglihatan-penglihatan. Bagi Hildegard, selalu ada keterkaitan antara musik, karunia penglihatan dan kehidupannya sebagai seorang biarawati, sehingga ia mampu menghasilkan nyanyian yang khas pada masanya.

Salah satu hal yang unik dari karya Hildegard adalah melalui pemilihan diksi dalam tulisannya. Ia secara khusus mendasari tulisannya berdasarkan pengalamannya dengan Allah (Lenzmeier 2001, 80). Bentuk syair nyanyian yang ia karang bersifat bebas dalam baitnya, sebagaimana yang menjadi ciri khas nyanyian pada abad 12 dan 13 (Lenzmiere 2001, 86). Salah satu nyanyian yang ia ciptakan adalah himne “O Ignee Spiritus” (Holy Spirit) yang berkisah tentang pengalaman manusia yang jatuh ke dalam dosa, namun bertobat dan dipulihkan oleh Roh Kudus melalui penebusan dosa (Newman 1998, 280). Tanpa kehadiran Roh Kudus, manusia tidak dapat pulih seutuhnya dari dosa.

Himne “O Ignee Spiritus” terdiri dari 13 bait yang memiliki perbedaan melodi di setiap baitnya. Ini merupakan hal yang unik jika dibandingkan dengan himne-himne pada masanya di mana setiap bait memiliki melodi yang sama (lihat teks nyanyian di lampiran).

Page 6: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/... · menjadi salah satu unsur ibadah yang menyatakan dialog antara Tuhan dan umat-Nya, juga

5 | K a l a d a n K a l a m S T F T J a k a r t a , 2 4 F e b r u a r i 2 0 2 0

Hildegard dalam karya-karyanya menggunakan pemilihan kata dan notasi yang khas untuk menekankan suatu pesan dalam nyanyian (Siahaan 2018, 14).

Hildegard memiliki pemahaman teologis tentang Trinitas yang tercermin dalam kumpulan tulisannya, Scivias dan teks-teks musiknya dalam Symphonia. Ia selalu menempatkan Trinitas dalam konteks ciptaan, penebusan dan keselamatan. Hildegard sering menggunakan metafora feminin maupun maskulin untuk menggambarkan Allah Trinitas (Hunt 2010, 96). Dalam syair yang Hildegard ciptakan, ia sering memberi gambaran atau metafora tentang Allah seperti Allah Sang Bapa, Allah sebagai Ibu, Sang Hikmat, dan sebagainya. Hildegard cenderung memperlihatkan gambaran tentang Allah Trinitas melampaui istilah-istilah gender (Johnson 1992, 86).

Hal yang juga khas dari Hildegard, karena ia juga adalah seorang yang dekat pada alam dan ahli meramu tanaman menjadi obat, ia sering menggambarkan Allah dengan menggunakan metafora alam. Contohnya, ia mengambarkan Allah seperti angin, nafas, air, batu, dsb. Bahkan, ia menggambarkan Roh Kudus seperti akar tanaman, di mana baginya akar menjadi sumber penting untuk membuat ramuan obat yang dapat memulihkan. Baginya Roh Kudus merupakan sumber kehidupan dan pemulihan bagi manusia (Flanagan 1998, 106). Penyair pada abad 16—18

Situasi kebisuan perempuan dalam ibadah umum diakhiri oleh para reformator. Ulrich Zwingli merupakan tokoh reformasi yang pertama kali memecah kebisuan perempuan dalam ibadah Minggu. Bersahutan dengan para lelaki, perempuan mengucapkan teks “Gloria” yang biasanya dinyanyikan. Oleh karena Zwingli melarang musik, termasuk nyanyian jemaat, dalam ibadah, di gerejanya perempuan belum dapat memperdengarkan suara nyanyi mereka. Martin Luther dan Yohanes Calvin terkenal dengan upaya mereka membarui ibadah umum, terutama dengan memberi ruang pada umat awam, termasuk para perempuan, untuk bernyanyi. Luther memasukkan nyanyian jemaat dengan bahasa Jerman, sedangkan Calvin memilih menyanyikan parafrase teks Mazmur dalam bahasa Perancis. Keduanya mengawinkan lirik nyanyian dengan melodi musik kontemporer pada zamannya. Sayangnya, kita tidak memiliki catatan nyanyian jemaat gubahan para perempuan dari kelompok Reformasi. Yang dicatat dalam sejarah adalah seorang reformator perempuan yang bernama Katharina Schütz Zell yang mengumpulkan nyanyian-nyanyian jemaat, mengeditnya, dan menerbitkannya menjadi sebuah buku nyanyian jemaat.

Pada abad ke-17—18, para perempuan dari golongan gereja Protestan terus menyanyikan imannya dalam ibadah, bahkan ada pula yang menggubah syair nyanyian jemaat yang hingga kini masih kita nyanyikan. Katharina Amalia Dorthea von Schlegel dari Jerman, misalnya, menuliskan “Tenang dan Sabarlah, Wahai Jiwaku.” Katharine Amalia Dothea von Schlegel (1697-1768)

Katharina von Schelgel yang lahir pada tahun 1697 adalah perempuan luar biasa yang hidup di Jerman. Ia mengarang berbagai macam lirik nyanyian yang dipublikasikan pada tahun 1752. Ia menciptakan beberapa himne yang khas, namun tidak semua karangannya diterjemahkan. Pada umumnya karya Schelgel hanya berisi tiga bait saja. Salah satu karyanya yang dikenal hingga saat ini adalah nyanyian “Be Still My Soul”, dalam bahasa Indonesia: “Tenang dan Sabarlah” (Pelengkap Kidung Jemaat 166 dan Nyanyikanlah

Page 7: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/... · menjadi salah satu unsur ibadah yang menyatakan dialog antara Tuhan dan umat-Nya, juga

6 | K a l a d a n K a l a m S T F T J a k a r t a , 2 4 F e b r u a r i 2 0 2 0

Kidung Baru 169). Schlegel mengarang syair nyanyian tersebut berdasarkan pengalamannya yang hidup pada konteks di abad 16-18 di mana gerakan reformasi terjadi. Pada abad ini himne-himne memiliki teks yang berfokus pada kesalehan sejati, kedalaman perasaan, pengalaman iman Kristen yang kaya, dan kesetiaan pada Kitab Suci (Osbeck 1982, 38). Karakteristik teks tersebut muncul dalam syair-syair yang Schlegel ciptakan salah satunya “Be Still My Soul”. Schelgel tinggal di Halle, Jerman, yang tidak jauh dari pusat gerakan pietisme yang sedikit banyak memengaruhi spiritualitasnya. Beberapa syair nyanyian yang diciptakan oleh Schelgel digunakan di gereja-gereja kaum pietis di Jerman. Syair “Be Still My Soul” ditulis berdasarkan pengalaman dan pengaruh pietisme yang dialami oleh Katharina. Syair ini pada dasarnya menekankan tentang sekalipun manusia hancur oleh perang dan bencana, manusia tetap dapat merasa aman di dalam Tuhan yang adalah Sang Pengasih. Di saat krisis manusia berupaya untuk memperbaiki situasi agar lebih baik, hal tersebut tidak terlepas dari iman kepada Tuhan. Dengan iman, manusia dapat menenangkan hati di hadapan Allah dan percaya bahwa Tuhan menolong dan menyiapkan apa yang diperlukan (Petersen dan Shreeves 2014, 17). Penyair pada abad 19

Abad-19 dikenal sebagai zaman romantik. Menurut Harry Eskew dan Hugh T. McElrath, syair nyanyian jemaat (lebih popular disebut himne) pada era ini lebih mengekspresikan emosi, menggambarkan imajinasi keindahan alam, dan mengupayakan bentuk/struktur syair yang elegan (Eskew dan McElrath, 146). Semakin banyak perempuan pada zaman ini menerima pendidikan formal dan tertarik pada karya seni, termasuk puisi. Mulai abad-19 banyak perempuan, baik dari gereja-gereja di Inggris maupun di Amerika Serikat, yang menulis syair himne. Pengaruh pietisme dan puritanisme kuat mewarnai syair-syair himne abad ini, sehingga isi lirik nyanyian banyak yang menggambarkan kesalehan pribadi dan hubungan intim seseorang dengan Allah, serta semangat pekabaran Injil. Pada zaman ini muncul pula gerakan sekolah minggu, yang dibarengi dengan penulisan syair himne yang digunakan di sekolah-sekolah minggu. Banyak penulis syair perempuan menciptakan nyanyian-nyanyian rohani bagi anak-anak dan menerbitkannya dalam buku-buku nyanyian jemaat. Sampai hari ini, banyak nyanyian dari zaman ini masih digemari dan sering dinyanyikan dalam ibadah. Selain menulis syair nyanyian, ada pula perempuan yang mengarang lagu sebuah nyanyian. Salah satu yang terkenal adalah Phoebe Palmer Knapp (1839-1908) yang menciptakan melodi bagi syair tulisan Fanny Crossby “Ku Berbahagia.” Berikut ini adalah beberapa penulis syair perempuan abad-19 yang karyanya masih menggema di gereja-gereja di Indonesia dan di dunia. Charlotte Elliott (1789—1871)

Elliot Charlotte, adalah seorang komposer perempuan yang menciptakan lirik nyanyian “Just as I am” atau yang kita kenal dalam nyanyian berbahasa Indonesia Meski Tak Layak Diriku (Kidung Jemaat 27) lahir di Clapham, Inggris pada 18 Maret 1789. Dalam lirik nyanyian ini, Elliott secara konsisten menulis kalimat singkat pada setiap akhir bait.

Page 8: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/... · menjadi salah satu unsur ibadah yang menyatakan dialog antara Tuhan dan umat-Nya, juga

7 | K a l a d a n K a l a m S T F T J a k a r t a , 2 4 F e b r u a r i 2 0 2 0

Just as I am, without one plea, But that thy blood was shed for me,

And that thou bid’st me come to thee, O Lamb of God, I come.

Karakter syair seperti yang dikarang Elliott pada abad 19 merupakan sesuatu yang cukup berbeda. Jika dilihat dari keseluruhan syair lagu ini, bentuk nyanyian yang dikarang sangat baik dan memiliki klimaks yang mendalam yang dapat dilihat pada setiap akhir bait. O Lamb of God, I Come, atau dalam terjemahan Yamuger, “Ku datang, Tuhan, padaMu”. Syair nyanyian ini ditulis oleh Elliott saat ia berada di titik terendah hidupnya. Pada usia 30 tahun, Elliott mengalami sakit dan hanya terbaring di tempat tidur. Hal ini membuatnya merasa tidak berguna dan putus asa. Namun melalui syair ini, Elliott memperlihatkan pengalaman imannya bersama Yesus, bahwa dalam keadaan dan keterbatasan hidupnya, ia semata-mata bergantung pada Allah, bukan pada diri sendiri (Osbeck 1983, 146-148).

Syair lainnya yang diciptakan oleh Elliot adalah himne “Christian! Seek not yet repose”.

Hear the victors who o’ercame; Still they mark each warrior’s way: All with one sweet voice exclaim,

Watch and pray. Pada bait keempat, Elliot menggunakan kata sweet voice dibanding menggunakan

kata great voice pada bait ini untuk menekankan suatu pengajaran. Ia menggunakan bahasa yang lebih “manis” dan sangat personal. Elliot menjadi salah satu penyair perempuan abad 19 yang mampu menggunakan imajinasi dengan baik. Hal itu dapat terlihat dalam pemilihan diksi atau kata dalam dua lirik nyanyian yang tersebut di atas. Di saat perempuan (pada abad 19) tidak diperlakukan dengan baik oleh para musisi, Elliot memperlihatkan narasi yang kuat dalam karyanya sebagai seorang perempuan (Routley 2005, 257—258). Elizabeth Cecilia Clephane (1830-1869)

Clephane yang lahir di Edinburgh, Scotlandia mengarang beberapa syair nyanyian salah satunya “Beneath the Cross of Jesus”; Di Bawah Salib Yesus (Nyanyikanlah Kidung Baru 176). Sebagaimana dengan Elliott, Clephane juga memiliki keterbatasan fisik, namun hal itu tidak menghalanginya untuk menolong orang miskin dan sakit dalam komunitasnya. Dalam perjalanan hidupnya, khususnya setahun sebelum ia meninggal, Clephane menciptakan syair “Beneath the Cross of Jesus” ini. Jika dianalisis dari kata-kata dalam syairnya, nyanyian ini bernuansa pietis karena berfokus pada diri dan Tuhan (Routley 2005, 257—258). Dalam nyanyian ini, Clephane menggunakan gambaran dan simbol yang tertulis dalam Alkitab seperti home within the wilderness yang diambil dari Yeremia 9: 2 (lihat bait 1 NKB 176) (Osbeck 1983, 40—41).

Jika kita memperhatikan syair nyanyian “Be Still My Soul” dan “Beneath the Cross of Jesus”, ada kesamaan yang dapat kita temukan. Kedua syair nyanyian ini memperlihatkan bahasa yang indah namun mendalam. Kedua syair nyanyian tersebut memperlihatkan eksistensi manusia yang berdosa, lemah, dan memiliki keterbatasan, bergantung kepada Yesus, Sang Penebus yang membebaskan. Kehidupan Elliott dan Clephane yang memiliki keterbatasan dan hidup dalam konteks gerakan pietisme secara tidak langsung memengaruhi mereka dalam memilih diksi untuk syair yang mereka ciptakan.

Page 9: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/... · menjadi salah satu unsur ibadah yang menyatakan dialog antara Tuhan dan umat-Nya, juga

8 | K a l a d a n K a l a m S T F T J a k a r t a , 2 4 F e b r u a r i 2 0 2 0

Christina Georgina Rossetti (1830—1894) Rossetti adalah seorang penyair yang memiliki kekhasan menulis syair singkat

dengan kualitas bahasa yang tepat dan baik serta diksi puitis yang menyiratkan pesan injili di dalamnya. Rossetti mengarang syair yang mendalam, yang menekankan pengalaman devosinya bersama dengan Allah. Karena kedalaman syair yang ia ciptakan, tanpa musikpun, syair tersebut tetap memperlihatkan kekuatannya (Routley 2005, 259). Salah satu nyanyian yang cukup dikenal saat ini adalah “In the Bleak Midwinter”; Dunia Kedinginan (Kidung Jemaat 121). Jika kita melihat keseluruhan syair tersebut, maka pemilihan diksi yang digunakan Rossetti sangat puitis, khususnya jika dilihat pada bait pertama dalam KJ 121. Bahkan dalam syair yang bersajak AABB dalam setiap baitnya, khususnya bait pertama dan keempat, ia dapat menjalin kata demi kata dengan indah.

Bait 1 Dunia kedinginan, kaku membeku: Damai yang sejati tiada bertemu.

Wabah kekerasan, siksa tirani Sampai mati kini tidak berhenti.

Bait 4 Kuberikan apa, Yesus, bagiMu.

Andai kugembala, kub’ri dombaku; Andai’ku Majusi; mas, menyan dan mur.

Kuberikan apa? Hati bersyukur. Nuansa pietis cukup dapat terlihat dalam syair tersebut khususnya pada bait keempat, yang memperlihatkan relasi personalnya dengan Yesus. Cecil Frances Alexander (1818—1895)

Alexander merupakan penyair yang dikenal dengan berbagai karyanya untuk anak-anak. Ia menghasilkan beberapa syair nyanyian untuk anak. Salah satunya adalah “There is a green hill far away”; Di Luar Tembok Negeri (Kidung Jemaat 176). Alexander dikenal sebagai seorang penyair yang memegang prinsip Wesley, sehingga bahasa yang digunakan sangat personal. Salah satu kemampuan yang terlihat dari Alexander adalah ia mampu menyampaikan kebenaran dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti oleh anak-anak. Alexander memiliki keinginan besar untuk mengajarkan spiritualitas yang mendalam kepada anak-anak yang menurutnya dapat dilakukan dengan maksimal melalui nyanyian yang memadai. Dalam syair “There is a green hill far away”, Alexander mampu menguraikan dengan baik kisah perdamaian Kristus dengan cara yang menyentuh dan bermakna, sehingga seorang anak tidak akan kesulitan memahaminya. Alexander dikenal sebagai sosok yang suka menolong dan melakukan kebaikan yang lain kepada orang. Pribadinya bahkan dikenal lebih indah daripada puisi atau syair-syair yang ia ciptakan (Osbeck, 1983, 267). Fanny Crosby (1820—1915)

Crosby adalah seorang penyair perempuan yang menghasilkan berbagai karya musik yang populer hingga saat ini. Ia yang merupakan seorang yang buta sejak kecil tetap menggunakan keterbatasannya dengan mendedikasikan hidupnya kepada Allah. Pada usia sembilan tahun ia menciptakan syair indah yang menggambarkan relasinya dengan Allah (Emurian 1955, 111). Beberapa lagu yang dikenal baik adalah “Safe in the Arms of Jesus;

Page 10: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/... · menjadi salah satu unsur ibadah yang menyatakan dialog antara Tuhan dan umat-Nya, juga

9 | K a l a d a n K a l a m S T F T J a k a r t a , 2 4 F e b r u a r i 2 0 2 0

S’lamat di Tangan Yesus (Kidung Jemaat 388), “Blessed Assurance”; Kuberbahagia (Kidung Jemaat 382), “All the way My Saviour Leads Me”; Di Jalanku ‘ku diiring (Kidung Jemaat 408). Crosby menghasilkan 8000 syair nyanyian di sepanjang hidupnya yang berisikan beragam pengalaman spiritualitasnya dan tentang kebenaran iman. Syair-syair yang ia ciptakan memperlihatkan bagaimana ia menyandarkan hidupnya kepada Allah.

Nyanyian “Di Jalanku ‘Ku Diiring” adalah salah satu nyanyian yang memperlihatkan ekspresi syukur Crosby kepada Allah yang menjawab doanya saat ia membutuhkan pertolongan-Nya (Osbeck, 1983, 26). Tema-tema syair yang ia tulis pada umumnya berangkat dari permintaan orang-orang yang ingin dibuatkan syair. Melalui karya syair yang ia ciptakan, banyak orang yang dapat mengalami kehadiran Yesus Kristus yang telah menyelamatkan iman manusia. (Osbeck 1983, 43—44). Penyair pada abad 20—21 Awal abad-20 diwarnai dengan perjuangan untuk menegakkan hak-hak asasi manusia, khususnya hak-hak asasi perempuan. Gerakan pembebasan perempuan sangat marak terjadi di Amerika Utara dan Eropa Barat yang juga memengaruhi gereja. Banyak anggota gereja semakin sadar bahwa para perempuan kurang diakui hak-haknya seperti gereja dan masyarakat memenuhi hak para laki-laki. Salah satunya adalah dalam hal kepemimpinan. Mulai abad-20 beberapa gereja Protestan mulai menahbiskan perempuan menjadi pendeta dan imam. Meskipun Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks belum membuka pintu bagi penahbisan perempuan ke dalam jabatan imam, pintu pelayanan di gereja yang dulu dikuasai oleh kaum klerus semakin banyak dibuka bagi para perempuan awam. Suara perempuan yang bernyanyi juga dapat terdengar dalam misa Gereja Katolik. Para perempuan dapat bergabung dalam paduan suara yang bertugas dalam misa, bahkan mereka juga dapat melayani sebagai pemazmur dan cantor dalam misa. Pada zaman ini dan berlanjut ke abad-21, dalam dunia teologi, muncullah teologi feminist/womanist, yang mengangkat pengalaman iman dan suara para perempuan. Seiring dengan munculnya teologi feminist, para ahli liturgi perempuan juga memunculkan istilah liturgi feminis. Kesetaraan jender, penggunaan metafora Allah yang feminin, penggunaan inclusive language, interpretasi narasi Alkitab dan sakramen yang berangkat dari pengalaman tubuh perempuan merupakan beberapa topik pembahasan teologi dan liturgi dengan perspektif feminis. Topik-topik yang menjadi diskursus teologi/liturgi feminis pun turut digubah dalam syair nyanyian jemaat yang diciptakan oleh para perempuan. Para penyair himne berbahasa Inggris juga sangat memperhatikan penggunaan inclusive language, sehingga kata pengganti bagi Allah diupayakan tidak menggunakan he/him/his. Juga, kata pengganti orang bukan lagi menggunakan men, tetapi human/people/human being/person, dst. Sejalan dengan munculnya gerakan pembebasan perempuan, ada pula gerakan-gerakan lain yang bertujuan memperjuangkan hak-hak asasi orang-orang yang tertindas dan dimarginalkan dalam masyarakat. Isu-isu sosial ini menjadi tema nyanyian jemaat yang diciptakan oleh para penulis perempuan dan laki-laki. Persekutuan jemaat bukan hanya menyanyikan penghayatan iman pribadinya, tetapi juga pengalaman penyelamatan Allah dalam kehidupan bermasyarakat.

Ada banyak penulis syair dan pencipta nyanyian jemaat perempuan pada abad-20 dan 21 dari berbagai negara di dunia. Dalam PKJ, ada seorang penyair dari Selandia Baru yang karyanya sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu Shirley Erena Murray.

Page 11: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/... · menjadi salah satu unsur ibadah yang menyatakan dialog antara Tuhan dan umat-Nya, juga

10 | K a l a d a n K a l a m S T F T J a k a r t a , 2 4 F e b r u a r i 2 0 2 0

Shirley Erena Murray (1931—2020) Murray adalah seorang penyair dari New Zealand yang menghasilkan banyak

karangan syair yang memiliki kekhasan. Ia menampilkan bahasa dan kata yang segar dan berbeda. Banyak syair yang ia karang menyatakan bahwa semua orang merupakan anak Allah dan sebagai anggota dalam satu keluarga, sambil mengartikulasikan komitmen untuk mewujudkan hal tersebut. Murray dalam karyanya menekankan tentang imago Dei khususnya dalam syair “O God, we bear the Imprint of Your Face”, yang memperlihatkan penolakannya pada rasisme. Ia sering menggunakan bahasa inklusif dalam menggambarkan relasi Allah dengan manusia. Murray juga mengartikulasikan teks Alkitab yang berbicara mengenai kedamaian, keadilan, dan pembebasan. Ia berani menolak penindasan di dalam gereja yang ia wujudkan dalam syair “Where God Enlightens”. Murray menciptakan syair yang bersifat metaforis. Ia menggunakan beragam metafora untuk menggambarkan Allah yang tidak dibatasi hanya pada satu gender atau sifat tertentu (Routley 2005, 607—608).

Salah satu karyanya yang berjudul “Loving Spirit” memperlihatkan bagaimana ia menggambarkan Allah (Sang Roh) dengan beragam metafora seperti Allah sebagai seorang ibu, bapak dan teman. Hal ini juga dapat kita temukan dalam buku In Every Corner Sing: The Hymns of Shirley Erena Murray yang berjudul “God of wonder, God of thunder”, yang menggambarkan Allah dengan berbagai macam atau metafora. Dalam penggunaan metafora tersebut, tidak ada istilah yang mendominasi satu dengan yang lainnya, bahkan dengan metafora bapa sekalipun. Murray melalui syair ini memperlihatkan bahwa Allah dapat dihadirkan dalam gambaran seorang perempuan ataupun seorang laki-laki. Syair yang Murray ciptakan merupakan syair yang inklusif karena ia mampu merangkul banyak istilah untuk menggambarkan Allah yang tidak terbatas oleh kata (Siahaan 2014, 70).

Selain itu, kekhasan yang dimunculkan Murray juga terlihat dalam syair yang juga memposisikan Allah berada di pihak perempuan dan anak-anak, di pihak orang yang terpinggirkan dan menderita. Salah satu lagu yang berjudul “God Weeps”, diciptakan oleh Murray sebagai bentuk penolakan dan protes terhadap kekerasan dalam berbagai bentuk, terutama kepada mereka yang rentan mengalaminya seperrti anak-anak dan perempuan (Shirley Erena Murray, 2003). Melalui nyanyian “God Weeps” ini Murray memperlihatkan bagaimana Allah bersolider, Allah menangis bersama mereka yang terluka, lapar, mengalami penindasan dan sebagainya.

Penyair perempuan Indonesia Kami memohon maaf karena untuk bagian ini kami belum melakukan penelitian yang mendalam. Kami mengharapkan dapat memaparkan latar belakang para penyair nyanyian jemaat perempuan Indonesia dan latar belakang syair yang mereka tulis pada pertemuan Kala dan Kalam tahun depan. Para perempuan Indonesia yang menggubah nyanyian jemaat berbentuk himne, biasanya langsung menciptakan syair dan lagu sebuah nyanyian. Berikut ini adalah beberapa nama pencipta nyanyian jemaat perempuan Indonesia yang karyanya tercantum di dalam Kidung Jemaat dan Pelengkap Kidung Jemaat. Melodi dari nyanyian jemaat karya mereka banyak yang menggunakan musik tradisional atau musik yang bernuansa musik tradisional Indonesia.

1. Debora Samudra memiliki 7 nyanyian (KJ 178, 185, 193, 373, 385, 414, 431). Samudra terkenal sebagai pencipta nyanyian jemaat anak atau nyanyian sekolah minggu.

Page 12: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/... · menjadi salah satu unsur ibadah yang menyatakan dialog antara Tuhan dan umat-Nya, juga

11 | K a l a d a n K a l a m S T F T J a k a r t a , 2 4 F e b r u a r i 2 0 2 0

2. Helene Salamate Joseph memiliki 6 nyanyian yang tercantum di PKJ: no. 5, 40, 97, 149, 152, 191. Beberapa karyanya menggunakan musik tradisional Sangir Talaud.

3. Esti Winiati Kristofera memiliki 4 nyanyian dalam PKJ: no. 38, 145, 194, 290. Kebanyakan lagu ciptaannya bernuasa Jawa.

4. Dewi Pangaribuan memiliki 3 buah nyanyian di PKJ: no. 41, 251, 256. Pangaribuan lulus program master dalam bidang conducting dan musik gereja dari Westminster Choir College dan saat ini berdomisili di Amerika Serikat.

5. Mercy Tampubolon-Tobing memiliki 7 buah nyanyian di PKJ: no. 99, 188, 192, 231, 249, 260, 264, 280. Beberapa lagu yang diciptakaannya menggunakan langgam Melayu dan Batak Toba.

6. Tilly Lubis-Nainggolan memiliki 3 nyanyian dalam PKJ: no. 27, 28, 161, yang menggunakan melodi tradional Batak Toba. Lubis-Nainggolan juga menerjemahkan syair nyanyian jemaat Indonesia ke dalam bahasa Inggris yang beberapa di antaranya diterbitkan dalam Sound the Bamboo.

Penutup Harry Eskew dan Hugh T. McElrath dalam buku Sing With Understanding menuliskan: “Because hymns were born out of the conscious human need of their authors to express their faith and devotion, they also minister to the spiritual needs of those who know and sing them” (Eskew dan McElrath 1995, 64). Hal ini relevan jika dikaitkan dengan kehidupan dan karya para penyair perempuan yang telah dipaparkan di atas. Mereka dengan kesadaran sebagai manusia yang memiliki kebutuhan, salah satunya spiritualitas, mengekspresikan pengalaman imannya dengan Tuhan dalam syair-syair yang indah dan mendalam. Syair-syair tersebut saat ini turut menolong pengguna atau penikmatnya untuk memiliki pengalaman dengan Allah dan sesama. Kita melihat perjalanan dan pengalaman iman para perempuan (khususnya penyair yang telah disebutkan di atas) dari zaman Alkitab, abad awal Kekristenan, abad-abad pertengahan hingga masa kini beragam. Pengalaman-pengalaman yang berbeda itu juga pada akhirnya menghasilkan berbagai karya nyanyian yang beragam, yang memiliki kekhasannya masing-masing. Daftar Acuan: Emurian, Ernest K. 1955. Living Stories of Famous Hymns. Michigan: Baker Book House. Eskew, H, dan Hugh T. McElrath. 1995. Sing with understanding: An introduction to Christian hymnology. Tennessee: Church Street Press. Flanagan, S. 1998. Hildegard of Bingen, 1098-1179: A vision life. New York. Routledge. Hunt, Anne. 2010. Hildegard of Bingen (1098-1179). Dalam Trinity: Insight from the mystics. 23-47, Minnesota: the Liturgical Press. Johnson, E. A. 1992. She who is: The mystery of God in feminist theological discourse. New York: Crossroad. Lenzmeier, A.H.K. 2001. Hildegard of Bingen: An integrated vision. Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press. Maddocks, F. 2001. Hildegard of Bingen: The woman of her age. London: CPI Group. Murray, Shirley E. 1992. In every corner sing: The hymns of Shirley Erena Murray. Carol Stream: Hope Publishing Company. _____. 1996. Every day in Your Spirit. Carol Stream: Hope Publishing Company.

Page 13: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/... · menjadi salah satu unsur ibadah yang menyatakan dialog antara Tuhan dan umat-Nya, juga

12 | K a l a d a n K a l a m S T F T J a k a r t a , 2 4 F e b r u a r i 2 0 2 0

_____. 2003. Faith makes the song. 2003. Carol Stream: Hope Publishing Company. Newman B. 1998. Symphonia: A critical edition of the Symphonia armonie celestium revelationum. New York: Cornell University Press. Osbeck, Kenneth W. 1982. 101 Hymn stories: Inspiring, factual backgrounds and experiences that prompted the writing of 101 favorite hymns. Grand Rapids: Kregel Publications. Petersen, Randy, dan Shreeves, Robin. 2014. Women in Christian history devotional: Daily inspirations from God’s work in the lives of women. Illinois: Tyndale House Publisher, Inc. Routley, Erik. 2005. A panorama of Christian hymnody. Chicago: GIA Publications, Inc. Siahaan, Dina E. 2014. Nyanyikanlah nyanyian baru: Tinjauan kritis atas metafora laki-laki dan maskulin untuk Allah dalam syair-syair nyanyian jemaat di ibadah HKBP. Skripsi., STT Jakarta. _____. 2018. The voice of Trinity: A musical analysis and interpretation of Hildegard’s repertoire from a woman’s perspective. Tesis M.A., University of Limerick. Westermeyer, Paul. 1998. Te Deum: The Church and Music. Minneapolis: Fortress Press. Wren, Brian. 2000. Praying Twice: The Music and Words of Congregational Song. Louisville: Westminster John Knox Press.

Page 14: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/... · menjadi salah satu unsur ibadah yang menyatakan dialog antara Tuhan dan umat-Nya, juga

Agustinus Setiawidi, Th.D.Wakil Ketua I STFTJakarta

Bidang Akademik

yang diselenggarakan pada 24 Februari 2020di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi JakartaJalan Proklamasi 27 Jakarta Pusat 10320

Ketika Perempuan Menyanyikan Imannya

sebagai Pembicara dalam kegiatan Kuliah Umum Bulanan"Kala dan Kalam" STFTJakarta dengan judul

Ester Pudjo Widiasih, Ph.D

@.......

SERTIFIKATDiberikan Kepada

Page 15: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT - STFT Jakartarepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/... · menjadi salah satu unsur ibadah yang menyatakan dialog antara Tuhan dan umat-Nya, juga

Laporan Kegiatan sebagai Pembicara pada “Seri Kuliah Umum Kala dan Kalam”STFT Jakarta

1. Seri Kuliah Umum Kala dan Kalam merupakan salah satu program rutin Sekolah TinggiFilsafat Theologi Jakarta, yang memberi kesempatan kepada dosen untukmempresentasikan penelitiannya.

2. Dalam kesempatan kali ini, saya dan Dina Siahaan mempresentasikan sebuah paper yangkami beri judul “Ketika Perempuan Menyanyikan Imannya”. Kami membahas beberapaperempuan penulis syair nyanyian jemaat di sepanjang sejarah gereja.

3. Oleh karena topik kuliah adalah tentang nyanyian jemaat, metode presentasi yangdigunakan pun melibatkan aktivitas menyanyi, baik yang hanya dilakukan oleh presentermaupun seluruh peserta kuliah umum.

4. Peserta Kuliah Umum Kala dan Kalam ada sekitar 60 orang, baik dari kalanganmahasiswi/a, sesama dosen, maupun dari luar kampus.

5. Kegiatan ini diselenggarakan di aula lantai satu STFT Jakarta pada tanggal 24 Februari2020.

6. Terlampir adalah sertifikat dan makalah ceramah.

Jakarta, 25 Februari 2020

Ester Pudjo Widiasih, Ph. D.