sejarah sosial hukum islam

11
SEJARAH SOSIAL HUKUM ISLAM DINAMIKA FIKIH PADA ABAD PERTENGAHAN A. PENDAHULUAN Abad pertengahan (1250-1800 M) dalam sejarah Islam dikenal dengan abad kemunduran. Dalam berbagai bidang mengalami kemunduran, termasuk di bidang ilmu pengetahuan. Para fuqaha waktu itu cenderung mengatakan pintu ijtihad sudah tertutup karena pembentukan hukum Islam sudah selesai. Fenomena ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaaranya : kekeguman yang berlebihan kepada ulama tertentu, muncul gerakan penulisan fikih, penggunaan mazhab tertentu di pengadilan. Para ulama bertaqliq dan berjuang untuk menguatkan mazhabnya. Isu tertutupnya pintu ijtihad belakangan digugat oleh Wael B. Hallaq. Argumennya adalah hubungan dialektika antara teori hukum Islam dan prakteknya dalam kehidupan. Contoh yang dikemukakan Hallaq adalah karya-karya komentar (syarah) komentar atas komenta (hasyiyah), dan ringkasan (mukhtashar) dalam kitab fikih dan ushul fikih. Penulis mengungkapkan para sejarah perkembangan fikih sedikit sekali mengulas sejarah perkembangan fikih abad pertengahan sehingga terkesan hanya taqliq yang dimunculkan. Hallaq mengkhususkan kajiannya dalam ushul fikih, namun penulis melihat bahwa pemikirannya dapat

Upload: ahmad-faisal-daoe

Post on 08-Dec-2015

32 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Hukum Islam

TRANSCRIPT

Page 1: Sejarah Sosial Hukum Islam

SEJARAH SOSIAL HUKUM ISLAMDINAMIKA FIKIH PADA ABAD PERTENGAHAN

A.PENDAHULUANAbad pertengahan (1250-1800 M) dalam sejarah Islam

dikenal dengan abad kemunduran. Dalam berbagai bidang

mengalami kemunduran, termasuk di bidang ilmu pengetahuan.

Para fuqaha waktu itu cenderung mengatakan pintu ijtihad sudah

tertutup karena pembentukan hukum Islam sudah selesai.

Fenomena ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaaranya :

kekeguman yang berlebihan kepada ulama tertentu, muncul

gerakan penulisan fikih, penggunaan mazhab tertentu di

pengadilan. Para ulama bertaqliq dan berjuang untuk

menguatkan mazhabnya.

Isu tertutupnya pintu ijtihad belakangan digugat oleh Wael

B. Hallaq. Argumennya adalah hubungan dialektika antara teori

hukum Islam dan prakteknya dalam kehidupan. Contoh yang

dikemukakan Hallaq adalah karya-karya komentar (syarah)

komentar atas komenta (hasyiyah), dan ringkasan (mukhtashar)

dalam kitab fikih dan ushul fikih. Penulis mengungkapkan para

sejarah perkembangan fikih sedikit sekali mengulas sejarah

perkembangan fikih abad pertengahan sehingga terkesan hanya

taqliq yang dimunculkan.

Hallaq mengkhususkan kajiannya dalam ushul fikih, namun

penulis melihat bahwa pemikirannya dapat digunakan dalam

bidang fikih. Objek kajiannya adalah fenomena penulisan matan

dan syarah yang berkembang pada mazhab Syafi’i dengan

pendekatan sejarah sosial hukum Islam. Dalam penelitian ini

digiunakan penelitia kepustakaan (library research) pada

berbagai kitab fikih. Dalam penelitian ini digunakan dua kitab

syarah, yaitu : al-Hawi al Kabir Syarah Mukhtashar al Muzanni

karya Al Mawardi, Majmu’ Syarah al Muhazzab karya al Nawawi.

Page 2: Sejarah Sosial Hukum Islam

B.TERTUTUPNYA PINTU IJTIHAD PADA ABAD PERTENGAHAN

Momentum ijtihad timbul setelah Rasulullah wafat karena

terputusnya wahyu dan terhentinya sunnah. Hadits tentang

Mu’adz bin Jabal menguatkan ijtihad sebagai sumber hukum

Islam ketiga, seperti yang dikatakan Muhammad Ma’rufal

Dawalibi dalam kitabnya al Madkhal ila ‘ilm al Islami. Hasil

penelusuran, penulis melihat tidak ada metode yang baku yang

digunakan dalam ijtihad sahabat. Sahabat tidak tertarik

berbicara mengenai metodologi. Perbedaan letak geografis pada

masa itu mempengaruhi penggunaan hadits sebagai sumber

hukum. Perkembangan fikih menyebabkan terjadinya berbagai

ikhtilaf namun bisa disikapi secara arif, dan puncaknya

munculnya gerakan penulisan kitab-kitab fikih para imam

mazhab. Ada tiga metode penulisan fikih, yaitu : penulisan fikih

bercampur dengan hadits seperti al Muwatha, terpisah dengan

hadits dan atsar seperti yang digunakan ulama Hanafiah, dan

penulisan komparatif fikih seperti al Umm.

Mengidentifikasi tertutupnya pintu ijtihad sangat sulit,

namun palingtidak menurut Ibrahim al Abbas dalam kitab

Nazriyyah al Ijtihad fi al Asysya al Islamiyah ada lima faktor, yaitu

: terbaginya negara Islam kedalam beberapa negara kecil dan

timbul konflik, fanatisme mazhab dan hilangnya kepercayaan

diri, rusaknya moralitas ulama, munculnya sikap pragmatis

ulama, dan kekhawatiran yang berlebihan dalam berijtihad.

Penulis kemudian menambahkan hilangnya kebebasan

berpendapat, tumbuhnya praktek sufi, dan merebaknya

fenomena taqliq.

Pendapat tertutupnya pintu ijtihad tidak sepenuhnya

diterima oleh para ulama. al Suyuti dan al Syaukani mengatakan

Page 3: Sejarah Sosial Hukum Islam

di setiap zaman harus ada mujtahid. Ulama lain yang menentang

adalah Ibnu Taimiyah yang mengatakan rekonstruksi Islam dapat

dilakukan dengan ijtihad dan menentang segala bentuk taqliq

dan pengkultusan imam mazhab dan pendapatnya. Hallaq

mengatakan diskursus siapa yang memilki otoritas ijtihad tidak

dapat dijadikan bukti tertutupnya ijtihad karena sudah

didiskusikan jauh sebelum itu, dan pengekalan struktur hukum

Islam akan menunjukkan ketidak seriusan Islam dalam merespon

ilmu pengetahuan.

Implikasi tertutupnya pintu ijtihad dapat dilihat pada :

1. Perkembangan fikih setelah tertutupnya pintu ijtihad

Sejak saat itu muncul semangat taqliq, sehingga fikih tidak lagi

memiliki daya sosial kontrol apalagi social engineering

(rekayasa sosial). Keadaan diperparah dengan munculnya

pernyataan yang menyudutkan fikih yang berasal dari

penganut tarikat yang fanatik. Mundurnya peradaban Islam

juga menyebabkan rendahnya kreativitas ijtihad.

2. Tradisi penulisan fikih pasca tertutupnya pintu ijtihad

Penulisan kitab fikih lebih sering digunakan oleh para ulama

mazhab. Penulisan kitab fikih suatu mazhab tergantung posisi

masing-masing. Ketika mendapat tempat di hati para

penguasa, maka penulisan akan berkembang. Tradisi

penulisan fikih tidak pernah terhenti, kendati kalim

tertutupnya pintu ijtihad. Penelaahan karya ulama-ulama abad

pertengahan akan membawa pada kesimpulan bahwa sejarah

hukum Islam adalah suatu proses kratif, kritis, dinamis, dan

progresif dalam rangka menyempurnakan bangunan hukum

Islam dan metodolginya agar tetap relevan dengan

perkembangan zaman.

Page 4: Sejarah Sosial Hukum Islam

C.MAZHAB AL SYAFI’I PADA ABAD PERTENGAHAN (antara ijtihad dan taqlid)

Al Nahrawi dalam kitab al Imam al Syafi’i fi Mazhabaihi al

Qadim wa al Jadid membagi pertumbuhan mazhab Syafi’i ke

dalam empat periode, yaitu :

1. Perode persiapan, akumulasi aktivitas ilmiah merupakan faktor

penting yang mendorong Imam Syafi’i membentuk mazhab

fikih tersendiri.

2. Periode pertumbuhan, pendapat dan fatwanya dikenal qaul

qadim pada masa ini, dengan kitab ar Risalah dalam bidang

ushul fikih dan al Hujjah pada bidang Fikih.

3. Periode kematangan al Jadid, rumusan metode ijtihad dan

langkah-langkah menyelesaikan persoalan hukum berdampak

hilangnya kebingungan ulama Sayfi’iyah dalam berijtihad.

4. Periode pengembangan dan pengayaan, para ulama syafi’iyah

melakukan prediksi terhadap masalah yang mungkin muncul

dan melakukan kajian ulang terhadap fatwa-fatwa imamnya.

Ulama syafi’iyah cukup produktif dengan berbagai karya tulis,

seperti kitab risalah, taqliq, matan, mukhtashar, dan syarah.

Al Gazali merumuskan langkah operasional ijtiha Syafi’i,

yaitu : Nash-nash al Kitab, nash-nash khabar mutawatir, ijma’

ulama terdahulu, nash-nash khabar ahad, tunjukkan zahir al

Qur’an dan Sunnah, Qiyas, kaidah-kaidah kulliyah, cakupan nash

atau ijma’, qiyas mukhil, dan qiyas al Syabah. Di samping

kerangka teoritis ini, Syafi’i juga menyiapkan langkah

operasional yang harus dilalui seorang mujtahid. Syafi’i melihat

permasalahan komplek yang akan dihadapi generasi

sesudahnya. Menyangkut taqliq, Syafi’i melarang orang taqliq.

Orang harus memiliki ilmu keagamaan.

Page 5: Sejarah Sosial Hukum Islam

Penulis melihat bahwa murid-murid Syafi’i sangat

menyadari pemikiran Syafi’i bukanlah sesuatu yang harus

diterima begitu saja dan diterapkan secar universal. Pemikiran

itu masih memungkinkan untuk dikembangkan dan disesuaikan

dengan realitas yang berkembang. Kesadaran itu membuat

mereka serius melakukan ijtihad, seperti terlihat dalam kitab-

kitab syarah.

D. TRADISI SYARAH DALAM FIKIH MAZHAB SYAFI’I DAN KAITANNYA DENGAN TERTUTUPNYA PINTU IJTIHAD PADA ABAD PERTENGAHAN

Penulisan syarah yang dimaksud Nawawi adalah untuk

melakukan kajian ulang terhadap pemikiran para pendahulunya,

memeriksa dalil yang digunakan, melakukan tarjih sehingga

diperoleh fatwa-fatwa yang lebih kuat (rajih) dan

mengakomodasi berbagai persoalan yang belum tersentuh. Al

Mawardi memandang perlu syarah untuk melakukan pengayaan-

pengayaan terhadap pemikiran yang ada dalam ikhtisar.

Dari hasil penelitian penulis pada kitab al Hawi al Kabir dan

Majmu’ Syarh Muhazzab, ditemukan bentuk syarah : penjelasan

kata-kata yang sulit yang terdapat dalam matan, pengayaan

dalil-dalil yang digunakan oleh penulis ikhtisar, memberikan

perbandingan dengan menjelaskan pandangan mazhab lain,

menjelaskan implikasi dari setiap pendapat penulis ikhtisar,

melakukan tarjih, memberikan fatwa terhadap persoalan yang

belum disentuh penulis ikhtisar, dan mengantisipasi berbagai

persoalan yang muncul akibat perubahan sosial.

Ada beberapa persoalan yang diambil penulis secara acak

dalam kitab yang disebutkan di atas tadi, seperti menghadap

kiblat sebagai syarat sah shalat seperti yang dikatakan al Syirazi

dalam kitab Muhazzab. Masjidil Haram yang dimaksud

Page 6: Sejarah Sosial Hukum Islam

mengandung beberapa pengertian, bisa Ka’bah, Masjidil Haram

dan sekitarnya, Mekkah, atau Mekkah dan Majidil Haram. Ke

empat pendapat tersebut didukung oleh dalil-dalil nash. Nawawi

memberikan penjelasan kiblat yang dimaksud al Syirazi adalah

Ka’bah. Persoalan yang muncul di masyarakat dengan syarah

bisa terjawab. Orang yang dekat dengan Ka’bah menhadapkan

tubuhnya ke Ka’bah, bagi yang jauh cukup mengarahkan

tubuhnya ke Ka’bah, dan bagi yang diluar kota Mekkah tetap

menghadap Ka’bah berdasarkan khabar yang diterima atau

ijtihadnya. Lahirnya fatwa baru belum bisa dipastikan

berdasarkan realitas yang terjadi di masyarakat, namun tidak

mungkin hukum lahir dari ruang yang hampa. Fator sosial

budaya tidak disebut syarih, namun bukan berarti faktor

tersebut tidak ada.

Ada yang keberatan syarah dianggap sebagai bentuk

ijtihad dengan alasan ijtihad digunakan untuk yang sulit dan

berat dan tertutupnya pintu ijtihad. Pandangan yang menyatakan

syarah sebagai aktivitas taqliq bertentangan dengan realitasnya.

Syarah sebagai ijtihad paling rendah juga tidak dapat diterima

karena tidak ada otoritas yang berwewenang yang menilai

tingkat mujtahid seseorang. Ada kesan bahwa pakar hukum

Islam menghadapi dilema antara keberatan menyatakan

tertutupnya pintu ijtihad dan tidak adanya hasil ijtihad yang

berarti di abad pertengahan. Ijtihad harus mencerminkan tujuan

hukum Islam dan menjawab persoalan yang ada dalam

masyarakat. Ijtihad menurut Wahbah Zuhaili tidak hanya

memunculkan ide-ide baru tapi juga mengoreksi yang telah ada.

Menurut penulis tertutupnya pintu ijtihad bertentangan dengan

realitas sejaraah yang ada dan pengertian ijtihad itu sendiri.

Page 7: Sejarah Sosial Hukum Islam

Persoalan saat ini adalah bagaimana membaca tradisi

Islam klasik dalam konteks modern. Nurkholis Madjid

mengatakan pentingnya menjaga kesinambungan mata rantai

sejarah peradaban Islam. Dalam menyikapi ini Satria Efendi

mengatakan ada kecenderungan untuk menyikapi persoalan ini,

yaitu : membuka pintu ijtihad seluas-luasnya agar fikih Islam

tetap relevan, menganggap ijtihad ulama-ulama terdahulu sudah

merupakan ketetapan yang “pasti” benar, dan kelompok yang

menyadari pentingnya ijtihad untuk mengantisipasi kemajuan

zaman.

Relevansi syarah bagi masa depan fikih Islam dapat dilihat

dalam tiga bentuk, yaitu : kekayaan pemikiran dalam kitab-kitab

syarah dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah, semangat

ijtihad ulama terdahulu patut diwarisi untuk melakukan kajian

ulang terhadap karya masa lalu, dan metodologi yang

dikembangkan di abad pertengahan layak untuk diwarisi.

Era mendatang adalah era kebangkitan Islam, yang

didukung bahwa hukum Islam sebagai salah satu bahan baku

hukum nasional, munculnya keinginan untuk melaksanakan

Islam secara kaffah, dan hukum sekuler tidak mampu menjamin

masyarakat yang adil dan beradab.

E.PENUTUP

Tertutupnya pintu ijtihad tidak saja bertentangan dengan

hakikat ijtihad itu sendiri, tetapi juga bertentangan dengan

realitas hukum Islam di abad pertengahan yang dibuktikan

dengan tradisi syarah. Kontinuitas ijtihad dalam sejarah

perkembangan hukum Islam tidak pernah terhenti, apalagi di era

modern. Wallahu a’lam bi al shawab.

Page 8: Sejarah Sosial Hukum Islam

PENGERTIAN TEORI HUKUM

Di Ajukan Sebagai Tugas Mata Teori Hukum

OlehAHMAD FAISAL

NIM: 91213022881

Dosen Pengasuh : Prof. DR. SUHAIDI, SH, MH

JURUSAN HUKUM ISLAM

Page 9: Sejarah Sosial Hukum Islam

PROGRAM PASCA SARJANAINSTITUT AGAM ISLAM NEGERI

SUMATERA UTARAMEDAN2014