sejarah sosial hukum islam
DESCRIPTION
Hukum IslamTRANSCRIPT
![Page 1: Sejarah Sosial Hukum Islam](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/563db931550346aa9a9af262/html5/thumbnails/1.jpg)
SEJARAH SOSIAL HUKUM ISLAMDINAMIKA FIKIH PADA ABAD PERTENGAHAN
A.PENDAHULUANAbad pertengahan (1250-1800 M) dalam sejarah Islam
dikenal dengan abad kemunduran. Dalam berbagai bidang
mengalami kemunduran, termasuk di bidang ilmu pengetahuan.
Para fuqaha waktu itu cenderung mengatakan pintu ijtihad sudah
tertutup karena pembentukan hukum Islam sudah selesai.
Fenomena ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaaranya :
kekeguman yang berlebihan kepada ulama tertentu, muncul
gerakan penulisan fikih, penggunaan mazhab tertentu di
pengadilan. Para ulama bertaqliq dan berjuang untuk
menguatkan mazhabnya.
Isu tertutupnya pintu ijtihad belakangan digugat oleh Wael
B. Hallaq. Argumennya adalah hubungan dialektika antara teori
hukum Islam dan prakteknya dalam kehidupan. Contoh yang
dikemukakan Hallaq adalah karya-karya komentar (syarah)
komentar atas komenta (hasyiyah), dan ringkasan (mukhtashar)
dalam kitab fikih dan ushul fikih. Penulis mengungkapkan para
sejarah perkembangan fikih sedikit sekali mengulas sejarah
perkembangan fikih abad pertengahan sehingga terkesan hanya
taqliq yang dimunculkan.
Hallaq mengkhususkan kajiannya dalam ushul fikih, namun
penulis melihat bahwa pemikirannya dapat digunakan dalam
bidang fikih. Objek kajiannya adalah fenomena penulisan matan
dan syarah yang berkembang pada mazhab Syafi’i dengan
pendekatan sejarah sosial hukum Islam. Dalam penelitian ini
digiunakan penelitia kepustakaan (library research) pada
berbagai kitab fikih. Dalam penelitian ini digunakan dua kitab
syarah, yaitu : al-Hawi al Kabir Syarah Mukhtashar al Muzanni
karya Al Mawardi, Majmu’ Syarah al Muhazzab karya al Nawawi.
![Page 2: Sejarah Sosial Hukum Islam](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/563db931550346aa9a9af262/html5/thumbnails/2.jpg)
B.TERTUTUPNYA PINTU IJTIHAD PADA ABAD PERTENGAHAN
Momentum ijtihad timbul setelah Rasulullah wafat karena
terputusnya wahyu dan terhentinya sunnah. Hadits tentang
Mu’adz bin Jabal menguatkan ijtihad sebagai sumber hukum
Islam ketiga, seperti yang dikatakan Muhammad Ma’rufal
Dawalibi dalam kitabnya al Madkhal ila ‘ilm al Islami. Hasil
penelusuran, penulis melihat tidak ada metode yang baku yang
digunakan dalam ijtihad sahabat. Sahabat tidak tertarik
berbicara mengenai metodologi. Perbedaan letak geografis pada
masa itu mempengaruhi penggunaan hadits sebagai sumber
hukum. Perkembangan fikih menyebabkan terjadinya berbagai
ikhtilaf namun bisa disikapi secara arif, dan puncaknya
munculnya gerakan penulisan kitab-kitab fikih para imam
mazhab. Ada tiga metode penulisan fikih, yaitu : penulisan fikih
bercampur dengan hadits seperti al Muwatha, terpisah dengan
hadits dan atsar seperti yang digunakan ulama Hanafiah, dan
penulisan komparatif fikih seperti al Umm.
Mengidentifikasi tertutupnya pintu ijtihad sangat sulit,
namun palingtidak menurut Ibrahim al Abbas dalam kitab
Nazriyyah al Ijtihad fi al Asysya al Islamiyah ada lima faktor, yaitu
: terbaginya negara Islam kedalam beberapa negara kecil dan
timbul konflik, fanatisme mazhab dan hilangnya kepercayaan
diri, rusaknya moralitas ulama, munculnya sikap pragmatis
ulama, dan kekhawatiran yang berlebihan dalam berijtihad.
Penulis kemudian menambahkan hilangnya kebebasan
berpendapat, tumbuhnya praktek sufi, dan merebaknya
fenomena taqliq.
Pendapat tertutupnya pintu ijtihad tidak sepenuhnya
diterima oleh para ulama. al Suyuti dan al Syaukani mengatakan
![Page 3: Sejarah Sosial Hukum Islam](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/563db931550346aa9a9af262/html5/thumbnails/3.jpg)
di setiap zaman harus ada mujtahid. Ulama lain yang menentang
adalah Ibnu Taimiyah yang mengatakan rekonstruksi Islam dapat
dilakukan dengan ijtihad dan menentang segala bentuk taqliq
dan pengkultusan imam mazhab dan pendapatnya. Hallaq
mengatakan diskursus siapa yang memilki otoritas ijtihad tidak
dapat dijadikan bukti tertutupnya ijtihad karena sudah
didiskusikan jauh sebelum itu, dan pengekalan struktur hukum
Islam akan menunjukkan ketidak seriusan Islam dalam merespon
ilmu pengetahuan.
Implikasi tertutupnya pintu ijtihad dapat dilihat pada :
1. Perkembangan fikih setelah tertutupnya pintu ijtihad
Sejak saat itu muncul semangat taqliq, sehingga fikih tidak lagi
memiliki daya sosial kontrol apalagi social engineering
(rekayasa sosial). Keadaan diperparah dengan munculnya
pernyataan yang menyudutkan fikih yang berasal dari
penganut tarikat yang fanatik. Mundurnya peradaban Islam
juga menyebabkan rendahnya kreativitas ijtihad.
2. Tradisi penulisan fikih pasca tertutupnya pintu ijtihad
Penulisan kitab fikih lebih sering digunakan oleh para ulama
mazhab. Penulisan kitab fikih suatu mazhab tergantung posisi
masing-masing. Ketika mendapat tempat di hati para
penguasa, maka penulisan akan berkembang. Tradisi
penulisan fikih tidak pernah terhenti, kendati kalim
tertutupnya pintu ijtihad. Penelaahan karya ulama-ulama abad
pertengahan akan membawa pada kesimpulan bahwa sejarah
hukum Islam adalah suatu proses kratif, kritis, dinamis, dan
progresif dalam rangka menyempurnakan bangunan hukum
Islam dan metodolginya agar tetap relevan dengan
perkembangan zaman.
![Page 4: Sejarah Sosial Hukum Islam](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/563db931550346aa9a9af262/html5/thumbnails/4.jpg)
C.MAZHAB AL SYAFI’I PADA ABAD PERTENGAHAN (antara ijtihad dan taqlid)
Al Nahrawi dalam kitab al Imam al Syafi’i fi Mazhabaihi al
Qadim wa al Jadid membagi pertumbuhan mazhab Syafi’i ke
dalam empat periode, yaitu :
1. Perode persiapan, akumulasi aktivitas ilmiah merupakan faktor
penting yang mendorong Imam Syafi’i membentuk mazhab
fikih tersendiri.
2. Periode pertumbuhan, pendapat dan fatwanya dikenal qaul
qadim pada masa ini, dengan kitab ar Risalah dalam bidang
ushul fikih dan al Hujjah pada bidang Fikih.
3. Periode kematangan al Jadid, rumusan metode ijtihad dan
langkah-langkah menyelesaikan persoalan hukum berdampak
hilangnya kebingungan ulama Sayfi’iyah dalam berijtihad.
4. Periode pengembangan dan pengayaan, para ulama syafi’iyah
melakukan prediksi terhadap masalah yang mungkin muncul
dan melakukan kajian ulang terhadap fatwa-fatwa imamnya.
Ulama syafi’iyah cukup produktif dengan berbagai karya tulis,
seperti kitab risalah, taqliq, matan, mukhtashar, dan syarah.
Al Gazali merumuskan langkah operasional ijtiha Syafi’i,
yaitu : Nash-nash al Kitab, nash-nash khabar mutawatir, ijma’
ulama terdahulu, nash-nash khabar ahad, tunjukkan zahir al
Qur’an dan Sunnah, Qiyas, kaidah-kaidah kulliyah, cakupan nash
atau ijma’, qiyas mukhil, dan qiyas al Syabah. Di samping
kerangka teoritis ini, Syafi’i juga menyiapkan langkah
operasional yang harus dilalui seorang mujtahid. Syafi’i melihat
permasalahan komplek yang akan dihadapi generasi
sesudahnya. Menyangkut taqliq, Syafi’i melarang orang taqliq.
Orang harus memiliki ilmu keagamaan.
![Page 5: Sejarah Sosial Hukum Islam](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/563db931550346aa9a9af262/html5/thumbnails/5.jpg)
Penulis melihat bahwa murid-murid Syafi’i sangat
menyadari pemikiran Syafi’i bukanlah sesuatu yang harus
diterima begitu saja dan diterapkan secar universal. Pemikiran
itu masih memungkinkan untuk dikembangkan dan disesuaikan
dengan realitas yang berkembang. Kesadaran itu membuat
mereka serius melakukan ijtihad, seperti terlihat dalam kitab-
kitab syarah.
D. TRADISI SYARAH DALAM FIKIH MAZHAB SYAFI’I DAN KAITANNYA DENGAN TERTUTUPNYA PINTU IJTIHAD PADA ABAD PERTENGAHAN
Penulisan syarah yang dimaksud Nawawi adalah untuk
melakukan kajian ulang terhadap pemikiran para pendahulunya,
memeriksa dalil yang digunakan, melakukan tarjih sehingga
diperoleh fatwa-fatwa yang lebih kuat (rajih) dan
mengakomodasi berbagai persoalan yang belum tersentuh. Al
Mawardi memandang perlu syarah untuk melakukan pengayaan-
pengayaan terhadap pemikiran yang ada dalam ikhtisar.
Dari hasil penelitian penulis pada kitab al Hawi al Kabir dan
Majmu’ Syarh Muhazzab, ditemukan bentuk syarah : penjelasan
kata-kata yang sulit yang terdapat dalam matan, pengayaan
dalil-dalil yang digunakan oleh penulis ikhtisar, memberikan
perbandingan dengan menjelaskan pandangan mazhab lain,
menjelaskan implikasi dari setiap pendapat penulis ikhtisar,
melakukan tarjih, memberikan fatwa terhadap persoalan yang
belum disentuh penulis ikhtisar, dan mengantisipasi berbagai
persoalan yang muncul akibat perubahan sosial.
Ada beberapa persoalan yang diambil penulis secara acak
dalam kitab yang disebutkan di atas tadi, seperti menghadap
kiblat sebagai syarat sah shalat seperti yang dikatakan al Syirazi
dalam kitab Muhazzab. Masjidil Haram yang dimaksud
![Page 6: Sejarah Sosial Hukum Islam](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/563db931550346aa9a9af262/html5/thumbnails/6.jpg)
mengandung beberapa pengertian, bisa Ka’bah, Masjidil Haram
dan sekitarnya, Mekkah, atau Mekkah dan Majidil Haram. Ke
empat pendapat tersebut didukung oleh dalil-dalil nash. Nawawi
memberikan penjelasan kiblat yang dimaksud al Syirazi adalah
Ka’bah. Persoalan yang muncul di masyarakat dengan syarah
bisa terjawab. Orang yang dekat dengan Ka’bah menhadapkan
tubuhnya ke Ka’bah, bagi yang jauh cukup mengarahkan
tubuhnya ke Ka’bah, dan bagi yang diluar kota Mekkah tetap
menghadap Ka’bah berdasarkan khabar yang diterima atau
ijtihadnya. Lahirnya fatwa baru belum bisa dipastikan
berdasarkan realitas yang terjadi di masyarakat, namun tidak
mungkin hukum lahir dari ruang yang hampa. Fator sosial
budaya tidak disebut syarih, namun bukan berarti faktor
tersebut tidak ada.
Ada yang keberatan syarah dianggap sebagai bentuk
ijtihad dengan alasan ijtihad digunakan untuk yang sulit dan
berat dan tertutupnya pintu ijtihad. Pandangan yang menyatakan
syarah sebagai aktivitas taqliq bertentangan dengan realitasnya.
Syarah sebagai ijtihad paling rendah juga tidak dapat diterima
karena tidak ada otoritas yang berwewenang yang menilai
tingkat mujtahid seseorang. Ada kesan bahwa pakar hukum
Islam menghadapi dilema antara keberatan menyatakan
tertutupnya pintu ijtihad dan tidak adanya hasil ijtihad yang
berarti di abad pertengahan. Ijtihad harus mencerminkan tujuan
hukum Islam dan menjawab persoalan yang ada dalam
masyarakat. Ijtihad menurut Wahbah Zuhaili tidak hanya
memunculkan ide-ide baru tapi juga mengoreksi yang telah ada.
Menurut penulis tertutupnya pintu ijtihad bertentangan dengan
realitas sejaraah yang ada dan pengertian ijtihad itu sendiri.
![Page 7: Sejarah Sosial Hukum Islam](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/563db931550346aa9a9af262/html5/thumbnails/7.jpg)
Persoalan saat ini adalah bagaimana membaca tradisi
Islam klasik dalam konteks modern. Nurkholis Madjid
mengatakan pentingnya menjaga kesinambungan mata rantai
sejarah peradaban Islam. Dalam menyikapi ini Satria Efendi
mengatakan ada kecenderungan untuk menyikapi persoalan ini,
yaitu : membuka pintu ijtihad seluas-luasnya agar fikih Islam
tetap relevan, menganggap ijtihad ulama-ulama terdahulu sudah
merupakan ketetapan yang “pasti” benar, dan kelompok yang
menyadari pentingnya ijtihad untuk mengantisipasi kemajuan
zaman.
Relevansi syarah bagi masa depan fikih Islam dapat dilihat
dalam tiga bentuk, yaitu : kekayaan pemikiran dalam kitab-kitab
syarah dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah, semangat
ijtihad ulama terdahulu patut diwarisi untuk melakukan kajian
ulang terhadap karya masa lalu, dan metodologi yang
dikembangkan di abad pertengahan layak untuk diwarisi.
Era mendatang adalah era kebangkitan Islam, yang
didukung bahwa hukum Islam sebagai salah satu bahan baku
hukum nasional, munculnya keinginan untuk melaksanakan
Islam secara kaffah, dan hukum sekuler tidak mampu menjamin
masyarakat yang adil dan beradab.
E.PENUTUP
Tertutupnya pintu ijtihad tidak saja bertentangan dengan
hakikat ijtihad itu sendiri, tetapi juga bertentangan dengan
realitas hukum Islam di abad pertengahan yang dibuktikan
dengan tradisi syarah. Kontinuitas ijtihad dalam sejarah
perkembangan hukum Islam tidak pernah terhenti, apalagi di era
modern. Wallahu a’lam bi al shawab.
![Page 8: Sejarah Sosial Hukum Islam](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/563db931550346aa9a9af262/html5/thumbnails/8.jpg)
PENGERTIAN TEORI HUKUM
Di Ajukan Sebagai Tugas Mata Teori Hukum
OlehAHMAD FAISAL
NIM: 91213022881
Dosen Pengasuh : Prof. DR. SUHAIDI, SH, MH
JURUSAN HUKUM ISLAM
![Page 9: Sejarah Sosial Hukum Islam](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/563db931550346aa9a9af262/html5/thumbnails/9.jpg)
PROGRAM PASCA SARJANAINSTITUT AGAM ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARAMEDAN2014