sejarah peradaban islam
DESCRIPTION
dsadsadsadsdsdadsadasdfsdsfsafgewgwsdyfwyhdugfwej]wfefuigfjshwqaqfeasjfgjgfasfasfegwujfTRANSCRIPT
Erna Erlina
Thursday, March 13, 2014
Sejarah Peradaban Islam Masa Nabi Muhammad Saw.
SEJARAH PERADABAN ISLAM MASA NABI MUHAMMAD SAW
Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu : Ahmad Affandi, M.Ag
Disusun Oleh Kelompok 3:
Desi Rachmawati (14121110045)
Erna Erlina (14121110049)
Ripal Ripalah Sanjawandi (14121110104)
Siti Maesaroh (14121120018)
PAI_A / 2
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada awal mula Nabi Muhammad mendapatkan wahyu dari Allah SWT,
yang isinya menyeru manusia untuk beribadah kepadanya, mendapat
tantangan yang besar dari berbagai kalangan Quraisy. Hal ini terjadi karena
pada masa itu kaum Quraisy mempunyai sesembahan lain yaitu berhala-
berhala yang dibuat oleh mereka sendiri. Karena keadaan yang demikian
itulah, dakwah pertama yang dilakukan di Makkah dilaksanakan secara
sembunyi-sembunyi, terlebih karena jumlah orang yang masuk Islam sangat
sedikit. Keadaan ini berubah ketika jumlah orang yang memeluk Islam
semakin hari semakin banyak, Allah pun memerintah Nabi-Nya untuk
melakukan dakwah secara terang-terangan.
Bertambahnya penganut agama baru yang dibawa oleh Nabi
Muhammad, membuat kemapanan spiritual yang sudah lama mengakar di
kaum Quraisy menjadi terancam. Karena hal inilah mereka berusaha dengan
semaksimal mungkin mengganggu dan menghentikan dakwah tersebut.
Dengan cara diplomasi dan kekerasa mereka lakukan. Merasa terancan,
Allah pin memerintahkan Nabi Muhammad untuk berhijrah ke kota Madinah.
Disinilah babak baru kemajuan Islam dimulai.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keadaan dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika
Fase Makkah?
2. Bagaimana pembentukan sitem kemasyarakatan, mileter, politik, dakwah,
ekonomi, dan sumber pendaatan Negara ketika fase Madinah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui keadaan dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
ketika Fase Makkah.
2. Untuk mengetahui pembentukan sitem kemasyarakatan, mileter, politik,
dakwah, ekonomi, dan sumber pendaatan Negara ketika fase Madinah?
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Peradaban Islam Masa Nabi Muhammad Saw.
1. Fase Mekah: Sistem dakwah
Nabi Muhammad Saw yang membawa ajaran tauhid dianggap telah
merusak keyakinan masyarakat arab pada umumnya yang menyembah
berhala dengan menjadikan ka’bah sebagai pusat peribadatan. Dakwah yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw, Dilakukan dengan dua cara: ( Mubarok,
2005: 43).
a. Dakwah Secara Diam-Diam
Setelah menerima wahyu kedua, Rasulullah menyadari tugas yang
dibebankan pada dirinya. Maka mulailah secara diam-diam mengajak orang
memeluk islam, mula-mula kepada keluarga kemudian para sahabat dekat.
Seorang demi seorang diajak agar mau meninggalkan agama berhala dan
hanya mau menyembah Allah yang Maha Esa. Usaha yang dilakukan itu
berhasil. Orang-orang yang mula-mula beriman adalah:
1. Istri beliau sendiri, Khadijah
2. Kalangan pemuda, Ali Ibn Abi Thalib dan Zaid Ibn Harits.
3. Dari kalangan budak, Bilal.
4. Orang tua/tokoh masyarakat, Abu Bakar Al-Shiddiq.
Setelah Abu bakar masuk islam, banyak orang-orang yang mengikuti
untuk masuk agama islam. Orang-orang ini tekenal dengan julukan Al-
Sabiqun al-Awwalun, orang yang terdahulu masuk islam, seperti: Utsman Ibn
Affan, Zubair Ibn awwam, Talhah Ibn Ubaidillah, Fatimah binti khathab,
Arqam Ibn Abd. Al-Arqam, dan lain-lain. Mereka itu mendapat agama islam
langsung dari Rasulullah sendiri. Sebagai pusat pembinaan waktu itu di
rumah Arqam Ibn Abd. Al-arqam ( Dar al-Arqam).
b. Dakwah Secara Terang-terangan
Setelah Nabi Muhammad Saw. melakukan dakwah yang bersifat rahasia,
terhimpunlah pengikut Nabi sebanyak tiga puluh orang. Dakwah dikala itu
dilaksanakan secara diam-diam. Setelah fase itu, Allah SWT memerintahkan
kepada Nabi untuk berdakwah secara terang-terangan, yaitu dengan
turunnya ayat (QS. Al-Hijr, 15:94):
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah pada orang-orang musyrik”.
Ayat inilah yang memerintahkan pada Rasulullah untuk berdakwah secara
terus terang dan terbuka. Rencana yang dilakukan, pertama ditujukan pada
kerabat sendiri, kemudian seluruh lapisan masyarakat. Kegiatan dakwah
secara terang-terangan ini menambah jumlah pengikut yang masuk Islam.
Hal ini tidak disenangi oleh orang-orang Quraisy. Apalagi secara tegas
Rasulullah mencela ibadah mereka, dan mencerca berhala yang dipuja, serta
mengkritisi tradisi mereka yang sudah membudaya.
Sehubung dakwah Nabi itu akan melenyapkan agama dan tradisi nenek
moyangnya, maka kaum Quraisy mengadakan reaksi dengan aksi
penindasan, penyiksaan, dan intimidasi terhadap pengikut Rasul. Namun,
para sahabat tetap memegang teguh aqidah tidak gentar terhadap ancaman
dan siksaan pihak kuffar. Karena itu, kaum Quraisy berusaha melenyapkan
Muhammad. Mereka berambisi menangkap Nabi, namun Abu Thalib
senantiasa melindunginya.
Perangai orang-orang Quraisy berubah setelah Nabi menyeru untuk
mengesakan Allah. Perubahan sikap mereka antara lain:
1) Yang semula cinta berganti menjadi benci.
2) Yang semula dekat menjadi jauh.
3) Yang semula memberi pengakuan atas kejujuran beliau berganti menjadi
mengejek dan mencemoohnya.
4) Yang semula memberi gelar Al-Amin berganti mengatakan majnun (gila)
dan dikatakan tukang sihir.
5) Yang semula bersahabat dan berkerabat berubah menjadi musuh yang
utama.
Faktor-faktor yang menyebabkan orang Quraisy menentang dakwah Nabi
antara lain:
1. Faktor gengsi; Orang Quraisy beranggapan, tunduk / menyerah kepada
Muhammad berarti tunduk dan menyerahkan pimpinan / kekuasaan kepada
keluarga Bani Abdul Muthalib para ketua kabilah takut kehilangan pengaruh /
kekuasaan.
2. Faktor taqlid; yaitu taqlid membuta pada nenek moyangnya dalam
kepercayaan, upacara dan peribadatan serta tata pergaulan yang
merupakan suatu kebiasaan yang sudah berakar dikalangan bangsa Arab.
Karena itu, mereka merasa berat untuk meninggalkannya.
3. Ajaran Islam menyetarakan antara hamba sahaya dan bangsawan. Bangsa
Quraisy dengan seluruh kabilahnya memandang dan merasa lebih tinggi
derajatnya dibanding bangsa lain, apalagi dengan budak / hamba sahaya.
Adapun Taktik dan Strategi Dakwah Rasulullah
Taktik yang dijalankan Nabi dalam berdakwah adalah sebagai berikut,
sebelum mempunyai power, dakwah berjalan dengan diam-diam, setelah
banyak pengikutnya dakwah berjalan terang-terangan, dengan resiko
menghadapi teror dari musuh yang lebih banyak dan kuat. Untuk
menghindarkan dari kekejaman dan teror kuffar pada pengikutnya, Nabi
menganjurkan mereka berhijrah ke luar Makkah, yaitu Habasyah.
Secara politis hijrah ke Habasyah merupakan upaya mencari suaka politik
pada raja yang beragama samawi. Terjadi dua kali hijrah ke Habsyah. Pada
hijrah pertama berangkat dua belas orang pria empat orang wanita, yang
dipimpin oleh Utsman Ibn Affan bersama istrinya Ruqqayah binti Rasulallah.
Pada hijrah kedua berangkat satu rombongan yang terdiri dari delapan puluh
tiga laki-laki dan sebelas orang wanita, dipimpin oleh Ja’far ibn Abi Thalib.
Dengan mengikatnya aniaya Quraisy terhadap Nabi hijrahlah beliau ke
Thaif, ke bani Tsaqif, dengan pengharapan akan memperoleh pertolongan
serta mendapat tambahan pengikut, akan tetapi, kenyataan yang diterima
sebaliknya. Nabi di caci maki, dilempari batu oleh anak-anak, sampai
badannya berlumur darah. Hijrah ke Thaif hanya mendapat satu orang
hamba sahaya yang masuk Islam, yaitu Addas.
Ditinjau dari segi taktik dan strategi dakwah, hijrah ke Thaif itu
menunjukan kemauan yang kuat untuk meneruskan dakwah, dengan tidak
mengenal putus asa, selalu berusaha mnencari medan dakwah. Mengalirnya
darah dari kaki Nabi, membuktikan bahwa setiap perjuangan dihadapkan
kepada pengorbanan, dan pengorbanan itu sampai mengancam
keselamatan diri pembawa dakwah.
Pengalaman Thaif tidak menyurutkan dakwah Nabi. Pada tahun kesebelas
kerasulan, diwaktu musim haji Nabi mengadakan kontak dakwah dengan
jama’ah haji, tertariklah sekelompok orang Aus dan Khazraj, penduduk kota
Yastrib, untuk masuk Islam. Pada tahun XI masuk tujuh orang, pada tahun
XII masuk Islam dua belas orang, pada tahun berikutnya datang lagi tujuh
puluh dua orang penduduk Yastrib menyatakan masuk Islam dan bersumpah
setia akan membela serta melindungi Nabi. Penduduk Yastrib yang sudah
masuk Islam itu, memohon kepada Nabi untuk pindah ke Yastrib. Beliau
memberi jawaban sebelum mendapat perintah dari Allah. ( Subarman, 2008:
30-33).
2. Fase Madinah
a. Pembentukan sistem sosial kemasyarakatan
Peradaban atau kebudayaan pada masa Rasulullah SAW. Yang paling
dahsyat adalah perubahan sosial. Suatu perubahan mendasar dari masa
kebobrokan moral menuju moralitas yang beradab. Dalam tulisan Ahmad Al-
Husairy, diuraikan bahwa peradaban pada masa Nabi dilandasi dengan asas-
asas yang diciptakan sendiri oleh Muhammad di bawah bimbingan wahyu.
Diantaranya sebagai berikut.
1. Pembangunan Masjid Nabawi
Dikisahkan bahwa unta tunggangan Rasulullah berhenti disuatu tempat
maka Rasulullah memerintahkan agar di tempat itu dibangun sebuah masjid.
Rasulullah ikut serta dalam pembangunan masjid tersebut. Beliau
mengangkat dan memindahkan batu-batu masjid itu dengan tangannya
sendiri. Saat itu, kiblat dihadapkan ke Baitul Maqdis. Tiang masjid terbuat
dari batang kurma, sedangkan atapnya dibuat dari pelepah daun kurma.
Adapun kamar-kamar istri beliau dibuat di samping masjid. Tatkala
pembangunan selesai, Rasulullah memasuki pernikahan dengan Aisyah pada
bulan Syawal. Sejak saat itulah, Yastrib dikenal dengan Madinatur Rasul atau
Madinah Al-Munawwarah. Kaum muslimin melakukan berbagai aktivitasnya
di dalam masjid ini, baik beribadah, belajar, memutuskan perkara mereka,
berjual beli maupun perayaan-perayaan. Tempat ini menjadi factor yang
mempersatukan mereka.
2. Persaudaraan antara Kaum Muhajirin dan Anshar.
Dalam Negara islam yang baru dibangun itu, Nabi meletakan dasar-
dasarnya untuk menata kehidupan sosial dan politik. Dikukuhkannya ikatan
persaudaraan (Ukhwah Islamiyah) antara golongan Anshar dan Muhajirin,
dan mempersatukan suku Aus dan Khazraj yang telah lama bermusuhan dan
bersaing. (Supriyadi,2008:63).
Ikatan persaudaraan Anshar dan Muhajirin melebihi ikatan persaudaraan
karena pertalian darah, sebab ikatannya berdasar iman. Terbukti apa yang
dimiliki Anshar disediakan penuh untuk saudaranya Muhajirin. Sebagaimana
firman Allah; dalam surat Al Hasyr [59] ayat 9. ( Subarman. 2008: 35).
Rasulullah mempersaudarakan di antara kaum muslimin. Mereka
kemudian membagikan rumah yang mereka miliki, bahkan juga istri-istri dan
harta mereka. Persaudaraan ini terjadi lebih kuat daripada hanya
persaudaraan yang berdasarkan keturunan. Dengan persaudaraan ini,
Rasulullah telah menciptakan sebuah kesatuan yang berdasarkan agama
sebagai pengganti dari persatuan yang berdasarkan kabilah.
(Supriyadi,2008:63).
3. Kesepakatan untuk Saling Membantu antara Kaum Muslimin dan non
Muslimin
Di Madinah, ada tiga golongan manusia, yaitu kaum muslimin, orang-
orang arab, serta kaum non muslim, dan orang-orang yahudi (Bani Nadhir,
Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa’). Rasulullah melakukan satu kesepakatan
dengan mereka untuk terjaminnya sebuah keamanan dan kedamaian. Juga
untuk melahirkan sebuah suasana saling membantu dan toleransi diantara
golongan tersebut.
4. Peletakan Asas-asas Politik, Ekonomi, dan Sosial
Islam adalah agama dan sudah sepantasnya jika di dalam Negara
diletakkan dasar-dasar Islam maka turunlah ayat-ayat Al-Quran pada periode
ini untuk membangun legalitas dari sisi-sisi tersebut sebagaimana dijelaskan
oleh Rasulullah dengan perkataan dan tindakannya. Hidupla kota Madinah
dalam sebuah kehidupan yang mulia dan penuh dengan nilai-nilai utama.
Terjadi sebuah persaudaraan yang jujur dan kokoh, ada solidaritas yang erat
diantara anggota masyarakatnya. Dengan demikian berarti bahwa inilah
masyarakat Islam pertama yang dibangun Rasulullah dengan asas-asasnya
yang abadi.
Secara sistematik proses peradaban yang dilakukan oleh Nabi pada
masyarakat Islam di Yatsrib menjadi Madinah (Madinat Ar-Rasul, Madinah
An-Nabi, atau Madinah Al-Munawwarah). Perubahan nama yang bukan
terjadi secara kebetulan, tetapi perubahan nama yang menggambarkan cita-
cita Nabi Muhammad Saw, yaitu membentuk sebuah masyarakat yang tertib
dan maju, dan berperadaban; kedua, membangun masjid. Masjid bukan
hanya dijadikan pusat kegiatan ritual shalat saja, tetapi juga menjadi sarana
penting untuk mempersatukan kaum muslimin dengan musyawarah dalam
merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Disamping itu, masjid juga
menjadi pusat kegiatan pemerintahan; ketiga Nabi Muhammad Saw
membentuk kegiatan Mu’akhat (persaudaraan), yaitu mempersaudarakan
kaum Muhajirin (orang-orang yang hijrah dari Makkah ke Yatsrib) dengan
Anshar (orang-orang yang menerima dan membantu kepindahan Muhajirin di
Yatsrib). Persaudaraan diharapkan dapat mengikat kaum muslimin dalam
satu persaudaraan dan kekeluargaan. Nabi Muhammad Saw membentuk
persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan seagama, disamping bentuk
persaudaraan yang sudah ada sebelumnya, yaitu bentuk persaudaraan
berdasarkan darah; keempat, membentuk persahabatan dengan pihak-pihak
lain yang tidak beragama Islam; dan kelima Nabi Muhammad Saw
membentuk pasukan tentara untuk mengantisipasi gangguna-gangguan
yang dilakukan oleh musuh. ( Supriyadi. 2008: 64).
b. Bidang Politik
Selanjutnya, Nabi Saw. Merumuskan piagam yang berlaku bagi seluruh
pendudukan Yatsrib, baik orang muslim maupun non muslim (Yahudi).
Piagam inilah yang oleh Ibnu Hasyim disebut sebagai Undang-undang Dasar
Negara Islam (Daulah Islamiyah) yang pertama.
1) Setiap kelompok mempunyai pribadi keagamaan dan politik. Adalah hak
kelompok, menghukum orang yang membuat kerusakan dan memberi
keamanan kepada orang patuh.
2) Kebebasan beragama terjamin buat semua warga Negara.
3) Adalah kewajiban penduduk madinah, baik kaum muslimin maupun bangsa
Yahudi, untuk saling membantu, baik secara moril atau materil. Semuanya
dengan bahu membahu harus menangkis setiap serangan terhadap kota
Madinah.
Rasulullah adalah kepala Negara bagi penduduk Madinah. Kepada
Beliaulah segala perkara dibawa dan segala perselisihan yang besar
diselesaikan. (Subarman, 2008:36).
Munawir Syadzali ( Mantan Menteri Agama RI) menyebutkan bahwa
dasar-dasar kenegaraan yang terdapat dalam piagam Madinah adalah:
pertama, Umat Islam merupakan satu komunitas (ummat) meskipun berasal
dari suku yang beragam; dan kedua, hubungan antara sesama anggota
komunitas Islam, dan antara anggota komunitas islam dengan komunitas-
komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip: (a) bertetangga baik, (b)
saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, (c) membela mereka
yang dianiaya, (d) saling menasehati, dan (e) menghormati kebebasan
beragama. (Mubarok, 2005: 49).
c. Bidang Militer
Peperangan yang terjadi pada masa Rasul membawa akibat
perkembangan Islam dan kebudayaan Islam. Peperangan pada masa Rasul
terdiri dari:
1) Ghazwah; yaitu peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasul sendiri.
Peperangan ini terjadi dua puluh tujuh kali.
2) Syariah; yaitu peperangan yang dipimpin oleh para sahabat untuk
memimpinnya, peperangan ini terjadi tiga puluh delapan kali.
Peperangan yang dilakukan Rasul mempunyai nilai dan arti bagi
pembinaan ummat. Nilai dan arti yangterkandung antara lain:
1) Gazwatu furqan; yaitu peperangan yang menentukan mana yang hak dan
bathil, seperti Perang Badar. sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Anfal
ayat 41.
“Dan ketahuilah, bahawa apa sahaja yang kamu dapati sebagai harta rampasan perang, maka
sesungguhnya satu perlimanya (dibahagikan) untuk (jalan) Allah dan untuk RasulNya dan untuk
kerabat (Rasulullah) dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin, serta ibnus-sabil (orang
musafir yang keputusan), jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang telah
diturunkan oleh Kami (Allah) kepada hamba Kami (Muhammad) pada Hari Al-Furqan, iaitu
hari bertemunya dua angkatan tentera (Islam dan kafir, di medan perang Badar) dan (ingatlah)
Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”.
2) Adabiyah al-Hujum; yaitu peperangan untuk membela diri seperti perang
Khandak.
3) Untuk perdamaian; seperti perjanjian Hudaibiyah.
4) Kewaspadaan; seperti perang Mukt‘ah.
5) Taktik menakut-nakuti; seperti Fathu Makkah.
6) Penyiaran Agama Islam; seperti Perang Hunain.
7) Konsolidasi, agar Negara menjadi bersatu dan kuat seperti Thaif.
8) Pengabdian kepada Tuhan; seperti Perang Tabuk
Peperangan yang terjadi pada masa Nabi bertujuan untuk melindungi,
mengamankan dakwah Islam dari gangguan orang-orang kafir, melindungi
dan mempertahankan masyarakat / daulah Islamiyah, membentuk
masyarakat yang Islami. (Subarman,2008: 37-38).
d. Bidang Dakwah
Musuh–musuh Islam melontarkan tuduhan kepada umat Islam, bahwa
Islam berkembang dibawah sinar mata pedang / kekerasan. Tuduhan yang
demikian tidak berdasar kenyataan.
Dengan dakwah agama Islam mengalami perkembangan yang cukup
pesat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Ajaran Islam simple, mudah, tidak memberatkan, tidak banyak tuntutan dan
aturan.
2. Prinsip-prinsip dari masyarakat Islam bersendikan ukhuwah Islamiyah.
3. Islam tersiar luas dan cepat semata-mata karena Dakwah bi al-Hikmah dari
Nabi dan para sahabat.
Jihad dalam Islam mempunyai fungsi dan kedudukan:
a. Melindungi dan membela dakwah dari gangguan.
b. Melindungi masyarakat Islam dankaum Muslimin.
c. Merupakan tindakan pengamanan.
Lebih lanjut A. Hasym menyatakan bahwa jihad menurut Kebudayaan
Islam adalah suatu tindakan pengamanan yang bertujuan perdamaian abadi
dalam jangka waktu jauh.
Adapun Ruang Lingkup Dakwah Islamiyah tidak hanya untuk bangsa Arab
atau hanya di jazirah Arab saja. Rasul diangkat sebagai rahmatan lil’alamin,
maka dakwah adalah untuk seluruh umat di dunia. Terbukti sebagaimana
yang telah dilakukan Rasul, setelah menata kehidupan Jazirah Arab secara
Islami, Rasul menyeru kepada seluruh raja-raja, penguasa yang ada disekitar
Jazirah Arab, dengan mengirim utusan yang membawa surat seruan
mengikuti dakwah Islamiyah.
Menurut Tarikh Ibnu Hisyam dan Tarikh al-Thabari, surat-surat dari Nabi
itu dikirim kepada:
a) Heraclius, Kaisar Romawi, yang diantar oleh duta atau utusan dibawah
pimpinan Dakhiyah ibn Khalifah al-Kalby al-Khazraji.
b) Kisra Persi, yang dibawa oleh perutusan dibawah pimpinan Abdullah ibn
Huzaifah al Sahmy.
c) Negus, Maharaja Habsyah, yang diantar oleh perutusan dibawah pimpinan
Umar Ibn Umayyah al-Dlamary.
d) Maqauqis, Gubernur Jendral Romawi untuk wilayah Mesir, disampaikan oleh
Khatib ibn Abi Baltaah al-Lakhmy.
e) Hamzah ibn Ali al-Hanafi, Amir negri Yamamah, diantar perutusan dipimpin
Sulaith ibn Amr al-Amiry.
f) Al-Haris ibn Abi Syamr, Amir Ghassan, dibawa oleh Syuja’ibn Wahab.
g) Al-Mundzir ibn Sawy, Amir Ghassan, dibawa oleh Syuja’ibn Wahab.
h) Duaputera al-Jalandy, Jifar dan Ibad, yang dibawa oleh Amr ibn Ash.
(Subarman. 2008: 38-39).
e. Sistem Ekonomi
Seperti di madinah merupakan negara yang baru terbentuk dengan
kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi ekonomi. Oleh
karena itu, peletakan dasar-dasar sistem keuangan negara yang di lakukan
oleh Rasulullah Saw. merupakan langkah yang sangat signifikan sekaligus
berlian dan spektakuler pada masa itu, sehingga Islam sebagai sebuah
agama dan negara dapat berkembang dengan pesat dalam jangka waktu
yang relatif singkat.
Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah Saw. dari prinsip-
prinsip Qur’ani. Al Quran yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah
menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat
manusia dalam aktivitas disetiap aspek kehidupannya, termasuk dibidang
ekonomi.
Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasaan tertinggi hanya
milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka
bumi. Dalam pandangan Islam, kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan
menjadi kehidupan ruhiyah dan jasmaniyah, melainkan sebagai satu
kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan, bahkan setelah kehidupan dunia
ini. Dengan kata lain, Islam tidak mengenal kehidupan yang hanya
memikirkan materi duniawi tanpa memikirkan kehidupan akhirat.
f. Sumber Pendapatan Negara
1. Uang tebusan untuk para tawanan perang (hanya khusus pada perang lain
tidak disebutkan jumlah uang tebusan tawanan perang).
2. Pinjaman-pinjaman (setelah penaklukan kota Mekkah) untuk pembayaran
uang pembebasan kaum muslimin dari Judhayma/sebelum pertemuan
Hawazin 30.000 dirham ( 20.000 dirham menurut Bukhari) dari Abdullah bin
Rabiya dan pinjaman beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari
Sufiyan bin Umayyah (sampai waktu itu tidak ada perubahan).
3. Khums atas rikaz harta karun temuan pada periode sebelum Islam.
4. Amwal fadillah yaitu harta yang berasal dari harta benda kaum muslimin
yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang
muslim yang meninggalkan negrinya.
5. Wakaf yaitu harta benda yang didedikasikan oleh seorang muslim untuk
kepentingan agama Allah dan pendapatnya akan disimpan di Baitul Mal.
6. Nawaib yaitu pajak khusus yang dibedakan kepada kaum muslimin yang
kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa
darurat.
7. Zakat Fitrah
8. Bentuk lain sedekah seperti hewan qurban dan kifarat. Kifarat adalah denda
atas kesalahan yang dilakukan oleh seorang muslim pada saat melakukan
ibadah.
9. Ushr
10. Jizyah yaitu pajak yang dibebankan kepada orang non muslim.
11. Kharaj yaitu pajak tanah yang dipungut dari kaum non muslim ketika
wilayah khaibar ditaklukan.
12. Ghanimah yaitu harta rampasan perang.
13. Fa’i.(http://laeli-izzati.blogspot.com/2012/04/)
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwasannya masa
nabi Muhammad Saw terbagi menjadi dua fase (priode) yaitu Fase Makkah
dan Madinah. Pada fase Makkah lebih ditekankan hanya pada bidang
Dakwah, karena ini adalah masa-masa awal kelahiran agama Islam. Dakwah
yang dilakukan oleh Nabi pada Fase ini terbagi menjadi dua yaitu secara
sembunyi-sembunyi dean secara terang-terangan.
Pada fase Madinah ada beberapa bidang yang dikembangkan sebagai
wujud dari upaya Nabi untuk membentuk Negara Islam diantaranya yaitu
pembentukan sisitem sosial kemasyarakatan, militer, politik, dakwah,
ekonomi, dan sumber pendapatan Negara. Pada fase ini Islam menjadi
agama yang dipeluk oleh seluruh Jazirah Arab, sebagai tanda keberhasilan
dakwah Nabi Muhammad.
DAFTAR PUSTAKA
Laeli Izzati, 2012. (http://laeli-izzati.blogspot.com/2012/04/)
Mubarok, Jaih. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Bani
Quraisy.
Subarman, Munir. 2008. Sejarah Peradaban Islam Klasik. Cirebon: Pangger
Publishing.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung CV Pustaka Setia.
ARAB PRA ISLAM
Kondisi Sosial, Budaya, Agama, Ekonomi dan Politik
A. Pendahuluan
Masa sebelum Islam, khususnya kawasan jazi>rah Arab, disebut masa
ja>hiliyyah.[1] Julukan semacam ini terlahir disebabkan oleh terbelakangnya
moral masyarakat Arab khususnya Arab pedalaman (badui) yang hidup
menyatu dengan padang pasir dan area tanah yang gersang. Mereka pada
umumnya hidup berkabilah dan nomaden. Mereka berada dalam lingkungan
miskin pengetahuan. Situasi yang penuh dengan kegelapan dan kebodohan
tersebut, mengakibatkan mereka sesat jalan, tidak menemukan nilai-nilai
kemanusiaan, membunuh anak dengan dalih kemuliaan, memusnahkan
kekayaan dengan perjudian, membangkitkan peperangan dengan alasan harga
diri dan kepahlawanan. Suasana semacam ini terus berlangsung hingga datang
Islam di tengah-tengah mereka.
Namun demikian, bukan berarti masyarakat Arab pada waktu itu sama
sekali tidak memiliki peradaban. Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam dikenal
sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis yang
cukup strategis, terutama kawasan pesisir yang pada waktu itu ramai dilalui
kapal-kapal pedagang Eropa yang hendak menuju India, Asia Tenggara, Cina
dan sekitarnya, telah membuat kawasan ini lebih maju dari pada kawasan Arab
yang lain. Makkah pada waktu itu merupakan kota dagang bertaraf
internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena
terletak di persimpangan jalan penghubung jalur perdagangan dan jaringan
bisnis dari Yaman ke Syiria.
Rentetan peristiwa yang melatar belakangi lahirnya Islam merupakan
hal yang sangat penting untuk dikaji. Hal demikian karena tidak ada satu
pun peristiwa di dunia yang terlepas dari konteks historis dengan peristiwa-
peristiwa sebelumnya. Artinya, antara satu peristiwa dengan peristiwa
lainnya terdapat hubungan yang erat dalam berbagai aspek kehidupan,
termasuk hubungan Islam dengan situasi dan kondisi Arab pra Islam.
B. Geografis Jazi>rah Arab
Semenanjung Arab adalah semenanjung yang terletak di sebelah barat
daya Asia. Wilayahnya memiliki luas 1.745.900 kilometer persegi.[2]
Semenanjung ini dinamakan jazi>rah karena tiga sisinya berbatasan dengan
air, yakni di sebelah timur berbatasan dengan teluk Oman dan teluk Persi, di
sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia dan teluk Aden, di
sebelah barat berbatasan dengan laut merah. Hanya di sebelah utara,
jazi>rah ini berbatasan dengan daratan atau padang pasir Irak dan Syiria.[3]
Secara geografis, daratan jazi>rah Arab didominasi padang pasir yang
luas, serta memiliki iklim yang panas dan kering. Hampir lima per enam
daerahnya terdiri dari padang pasir dan gunung batu.[4] Luas padang pasir
ini diklasifikasikan Ahmad Amin sebagai berikut:
1. Sahara Langit, yakni yang memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180
mil dari timur ke barat. Sahara ini disebut juga sahara Nufu>d. Di daerah ini,
jarang sekali ditemukan lembah dan mata air. Angin disertai debu telah
menjadi ciri khas suasana di tempat ini. Hal itulah yang menyebabkan
daerah ini sulit dilalui.
2. Sahara Selatan, yakni yang membentang dan menyambung Sahara Langit
ke arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran
keras, tandus, dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan
daerah sepi (al-Rub’ al-Kha>li>).
3. Sahara Harrat, yakni suatu daerah yang terdiri dari tanah liat berbatu hitam.
Gugusan batu-batu hitam itu menyebar di seluruh sahara ini.[5]
Secara garis besar, jazi>rah Arab dibedakan menjadi dua, yakni daerah
pedalaman dan pesisir. Daerah pedalaman jarang sekali mendapatkan hujan,
namun sesekali hujan turun dengan lebatnya. Kesempatan demikian biasa
dimanfaatkan penduduk nomadik dengan mencari genangan air dan padang
rumput demi keberlangsungan hidup mereka. Sedangkan daerah pesisir,
hujan turun dengan teratur, sehingga para penduduk daerah tersebut relatif
padat dan sudah bertempat tinggal tetap. Oleh karena itu, di daerah pesisir
ini, jauh sebelum Islam lahir, sudah berkembang kota-kota dan kerajaan-
kerajaan penting, seperti kerajaan Himyar, Saba’, Hirah dan Ghassan.[6]
C. Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat
Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah. Mereka termasuk
ras atau rumpun bangsa kaukasoid, sebagaimana ras-ras yang mendiami
daerah Mediteranian, Nordic, Alpine dan Indic.[7]
Bangsa Arab hidup berpindah-pindah (nomad). Demikian ini karena
kondisi tanah tempat mereka hidup terdiri dari gurun pasir kering dan minim
turun hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat lain mengikuti
tumbuhnya stepa (padang rumput) yang muncul secara sporadis di sekitar
oasis atau genangan air setelah turun hujan. Padang rumput diperlukan
badui Arab untuk kebutuhan makan binatang ternak seperti kuda, onta dan
domba.
Berbeda halnya dengan penduduk Arab perkotaan terutama penduduk
pesisir, pertanian, peternakan dan perdangangan, dapat berkembang
dengan baik di daerah tersebut. Hal inilah tentunya yang membuat
kehidupan masyarakat pesisir lebih makmur daripada masyarakat
pedalaman (badui). Dari realitas ini, maka timbullah reaksi antara penduduk
kota atau pesisir dengan penduduk pedalaman atau badui.
Aksi dan reaksi antara penduduk kota dengan masyarakat gurun
dimotivasi oleh desakan kuat untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Orang-
orang nomad bersikeras mendapatkan sumber-sumber tertentu pada orang-
orang kota terhadap apa yang tidak mereka miliki dari lingkungan mereka
tinggal. Hal itu dilakukan baik melalui kekerasan (penyerbuan kilat) atau
jalan damai (barter). Orang-orang badui nomaden dikenal sebagai perampok
darat dan makelar. Gurun pasir, yang merupakan daerah operasi mereka
sebagai perampok, memiliki kesamaan karakteristik dengan laut.[8]
Masyarakat, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya
kesukuan. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam
suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga
membentuk kabilah (clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku
(trible) dan dipimpin oleh Shaikh.[9] Keeratan hubungan kesukuan, kesetiaan
atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau
suku. Maka tidak heran, jika peperangan antar suku menjadi ciri khas
masyarakat ini. Rendahnya harga wanita seakan-akan menjadi akibat dari
keadaan masyarakat yang suka berperang tersebut.
Akibat tradisi peperangan ini, kebudayaan mereka tidak berkembang.
Karena itu, bahan-bahan sejarah Arab pra Islam langka didapatkan di dunia
Arab dan dalam bahasa Arab. Ahmad Shalabi menyebutkan, sejarah mereka
hanya dapat diketahui dari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya
agama Islam.[10] Pengetahuan itu diperoleh melalui syair-syair yang beredar
di kalangan para pe-ra>wi> syair. Dengan begitulah sejarah dan sifat
masyarakat Arab dapat diketahui, yang antara lain bersemangat tinggi
dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam, dan juga dikenal
sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.
Dengan kondisi alami yang seperti tidak pernah berubah itu,
masyarakat badui pada dasarnya tetap berada dalam fitrahnya.
Kemurniannya terjaga, jauh lebih murni dari bangsa-bangsa lain. Dasar-
dasar kehidupan mereka mungkin dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa
yang masih berada dalam taraf permulaan perkembangan budaya. Bedanya
dengan bangsa lain, hampir seluruh penduduk badui adalah penyair.[11]
Lain halnya dengan penduduk kota yang memiliki kemajuan peradaban,
sejarah mereka dapat diketahui lebih jelas. Mereka selalu mengalami
perubahan seiring dengan perubahan situasi dan kondisi yang
melingkupinya. Mereka telah mampu berkarya seperti membuat alat-alat
dari besi, bahkan sampai mendirikan kerajaan-kerajaan. Sampai pada
lahirnya Nabi Muh}ammad, daerah-daerah tersebut masih merupakan kota-
kota perniagaan, sebagaimana diketahui bahwa daerah tersebut merupakan
jalur perdagangan antara Eropa dan Asia. Sebagaimana masyarakat badui,
penduduk daerah ini juga mahir bersyair. Biasanya, syair-syair dibacakan di
pasar-pasar, semacam pagelaran pembacaan syair, seperti yang terjadi di
pasar ukaz. Bahasa mereka kaya dengan ungkapan, tata bahasa dan kiasan.
[12]
D. Kondisi Perekonomian
Perdagangan merupakan unsur penting dalam perekonomian
masyarakat Arab pra Islam. Mereka telah lama mengenal perdagangan
bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Kemajuan
perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara lain karena
pertanian yang telah maju. Kemajuan ini ditandai dengan adanya kegiatan
ekspor-impor yang mereka lakukan. Para pedagang Arab selatan dan Yaman
pada 200 tahun menjelang Islam lahir telah mengadakan transaksi dengan
Hindia, Afrika, dan Persia. Komoditas ekspor Arab selatan dan Yaman adalah
dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis,
dan anggur. Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu, logam,
budak; dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian dan pedang; dari Persia
adalah intan.[13] Data ini menunjukkan bahwa perdagangan merupakan urat
nadi perekonomian yang sangat penting sehingga kebijakan politik yang
dilakukan memang dalam rangka mengamankan jalur perdagangan ini.
Faktor-faktor yang mendorong kemajuan perdagangan Arab pra Islam
sebagaimana dikemukakan Burhan al-Di>n Dallu adalah sebagai berikut:
1. Kemajuan produksi lokal serta kemajuan aspek pertanian.
2. Adanya anggapan bahwa pedagang merupakan profesi yang paling
bergengsi.
3. Terjalinnya suku-suku ke dalam politik dan perjanjian perdagangan lokal
maupun regional antara pembesar Hijaz di satu pihak dengan penguasa
Syam, Persia dan Ethiopia di pihak lain.
4. Letak geografis Hijaz yang sangat strategis di jazi>rah Arab.
5. Mundurnya perekonomian dua imperium besar, Byzantium dan Sasaniah,
karena keduanya terlibat peperangan terus menerus.
6. Jatuhnya Arab selatan dan Yaman secara politis ke tangan orang Ethiopia
pada tahun 535 Masehi dan kemudian ke tangan Persia pada tahun 257 M.
7. Dibangunnya pasar lokal dan pasa musiman di Hijaz, seperti Ukaz, Majna,
Zu al-Majaz, pasar bani Qainuna, Dumat al-Jandal, Yamamah dan pasar
Wahat.
8. Terblokadenya lalu lintas perdagangan Byzantium di utara Hijaz dan laut
merah.
9. Terisolasinya perdagangan orang Ethiopia di laut merah karena diblokade
tentara Yaman pada tahun 575 M.[14]
Data-data yang dikemukakan Dallu menunjukkan bahwa antara ekonomi
dan politik tidak dapat dipisahkan dalam konteks kehidupan masyarakat
Arab pra Islam. Kehidupan politik Byzantium dan Sasaniah turut memberikan
sumbangan dalam memajukan proses perdagangan yang berlangsung di
Hijaz, karena kedua kerajaan ini sangat berkepentingan terhadap jalur
perdagangan ini.
Di lain sisi, Mekkah di mana terdapat ka’bah yang pada waktu itu
sebagai pusat kegiatan Agama, telah menjadi jalur perdagangan
internasional.[15] Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis
karena terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan jalur
perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria, dari Abysinia ke Irak.
Pada mulanya Mekkah didirikan sebagai pusat perdagangan lokal di samping
juga pusat kegiatan agama. Karena Mekkah merupakan tempat suci, maka
para pengunjung merasa terjamin keamanan jiwanya dan mereka harus
menghentikan segala permusuhan selama masih berada di daerah tersebut.
Untuk menjamin keamanan dalam perjalanan suatu sistem keamanan di
bulan-bulan suci, ditetapkan oleh suku-suku yang ada di sekitarnya.[16]
Keberhasilan sistem ini mengakibatkan berkembangnya perdagangan yang
pada gilirannya menyebabkan munculnya tempat-tempat perdagangan baru.
Dengan posisi Mekkah yang sangat strategis sebagai pusat
perdagangan bertaraf internasional, komoditas-komoditas yang
diperdagangkan tentu saja barang-barang mewah seperti emas, perak,
sutra, rempah-rempah, minyak wangi, kemenyan, dan lain-lain. Walaupun
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah pada mulanya para pedagang
Quraish merupakan pedagang eceran, tetapi dalam perkembangan
selanjutnya orang-orang Mekkah memperoleh sukses besar, sehingga
mereka menjadi pengusaha di berbagai bidang bisnis.[17]
E. Situasi Politik
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah
Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang
terkenal subur. Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah
Jazi>rah Arab, bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya
badui yang merupakan faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah
negara kesatuan serta adanya tatanan politik yang benar. Mereka tidak
mungkin menetap. Mereka hanya bisa loyal ke kabilahnya. Oleh karena itu,
mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya
yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara.[18]
Sementara menurut Nicholson, tidak terbentuknya Negara dalam
struktur masyarakat Arab pra Islam, disebabkan karena konstitusi kesukuan
tidak tertulis. Sehingga pemimpin tidak mempunyai hak memerintah dan
menjatuhkan hukuman pada anggotanya.[19] Namun dalam bidang
perdagangan, peran pemimpin suku sangat kuat. Hal ini tercermin dalam
perjanjian-perjanjian perdagangan yang pernah dibuat antara pemimpin
suku di Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamim, Ghassaniah,
Hirah, Suriah, dab Ethiopia.
Model organisasi politik bangsa Arab lebih didominasi kesukuan (model
kabilah). Kepala sukunya disebut Shaikh, yakni seorang pemimpin yang
dipilih antara sesama anggota. Shaikh dipilih dari suku yang lebih tua,
biasanya dari anggota yang masih memiliki hubungan famili. Fungsi
pemerintahan Shaikh ini lebih banyak bersifat penengah (arbitrasi) dari pada
memberi komando. Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat
membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Hak dan
kewajiban hanya melekat pada warga suku secara individual, serta tidak
mengikat pada warga suku lain.[20]
F. Keberagamaan Masyarakat
Penduduk Arab menganut agama yang bermacam-macam. Paganisme,
Yahudi, dan Kristen merupakan ragam agama orang Arab pra Islam. Pagan
adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-
macam bentuk ada di sekitar Ka’bah. Setidaknya ada empat sebutan bagi
berhala-hala itu: s}anam, wathan, nus}ub, dan hubal. S}anam berbentuk
manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nus}ub
adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. H}ubal berbentuk manusia
yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab yang paling besar dan
diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazi>rah
datang berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara
ibadahnya sendiri-sendiri.[21] Ini membuktikan bahwa paganisme sudah
berumur ribuan tahun. Sejak berabad-abad penyembahan patung berhala
tetap tidak terusik, baik pada masa kehadiran permukiman Yahudi maupun
upaya-upaya kristenisasi yang muncul di Syiria dan Mesir.[22]
Agama Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan
Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting
agama ini di Jazi>rah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās merupakan
penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai
penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta
penduduk Najran agar masuk agama Yahudi. sehingga kalau mereka
menolak, maka akan dibunuh. Namun yang terjadi justru menolak, maka
digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke
dalam parit itu, serta dibunuh dengan pedang atau dilukai sampai cacat bagi
yang selamat dari api tersebut. Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh
ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme agama ini diabadikan
dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang membuat parit” (As}h}a>b
al-Ukhdu>d).[23]
Sedangkan Agama Kristen di jazi>rah Arab dan sekitarnya sebelum
kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu.
Yang tampak hanyalah pertikaian di antara sekte-sekte Kristen. Menurut
Muhammad ‘A<bid al-Jābirī, al-Quran menggunakan istilah “Nas}a>ra>”
bukan “al-Masi>hi>yah” dan “al-Masi>hi>” bagi pemeluk agama Kristen.
Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah
“Nas}a>ra” adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah
“H{awa>ri>yu>n”. Para misionaris Kristen menyebarkan doktrinnya dengan
bahasa Yunani yang waktu itu madhab-madhab filsafat dan aliran-aliran
gnostik dan hermes menyerbu daerah itu. Inilah yang menimbulkan
pertentangan antara misionaris dan pemikir Yunani yang memunculkan
usaha-usaha mendamaikan antara filsafat Yunani yang bertumpu pada akal
dan doktrin Kristen yang bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan sekte-
sekte Kristen yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru, termasuk
jazi>rah Arab dan sekitarnya.[24] Sekte Arius menyebar di bagian selatan
jazi>rah Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak dan Persia. Misionaris
sekte ini telah menjelajahi penjuru-penjuru jazi>rah Arab yang memastikan
bahwa dakwah mereka telah sampai di Mekah, baik melalui misionaris atau
pedagang Quraish yang berhubungan terus-menerus dengan Syam, Yaman,
dan Habashah.[25] Tetapi salah satu sekte yang sejalan dengan tauhid
murni agama samawi adalah sekte Ebionestes.[26]
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga
agama di atas adalah Hani>fi>yah, yaitu sekelompok orang yang mencari
agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu
penyembahan berhala-berhala, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun
Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa
agama yang benar di sisi Allah adalah Hani>fi>yah, sebagai aktualisasi dari
millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke pelbagai penjuru Jazirah Arab
khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, T{aif, dan Mekah.[27]
G. Kesimpulan
Secara sosiologis, bangsa Arab sebelum Islam merupakan bangsa yang
hidup secara kesukuan. Mereka hidup berpindah-pindah. Hal ini disebabkan
kondisi geografis yang tidak mendukung, seperti model tanah yang tandus,
berbatu, padang pasir luas serta beriklim panas dan jarang turun hujan.
Dalam keadaan semacam ini, wajar jika mereka memiliki watak keras, suka
berperang, merampok, berjudi, berzina, sehingga terkesan jauh dari nilai-
nilai moral-kemanusiaan. Demikian ini seakan-akan menjadi tradisi
masyarakat Arab sebelum Islam. Keadaan semacam inilah yang
meniscayakan zaman tersebut disebut zaman ja>hiliyyah.
Dari sisi perekonomian, unsur penting yang menjadi andalan
masyarakat Arab pra Islam adalah perdagangan di samping bertani dan
beternak. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan
orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Terbukti dengan adanya Mekkah
sebagai kota dagang internasional. Demikian ini karena letak daerah Hijaz,
khususnya Mekkah, sangatlah strategis, yakni penghubung jalur dagang
antara Yaman dengan Syiria. Di samping itu, daerah pesisir ini juga di lewati
kapal-kapal dagang Eropa dan Asia melalui laut merah.
Dunia politik Arab pra Islam lebih didominasi oleh model kesukuan.
Pimpinan tertinggi dari suku dinamakan Shaikh. Fungsi pemerintahan Shaikh
ini lebih banyak bersifat penengah (arbitrasi) dari pada memberi komando.
Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat membebankan tugas-
tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Dari dominasi model kesukuan
ini, terbentuknya Negara kesatuan serta adanya tatanan politik yang benar
agaknya sedikit terhalangi.
Sementara jika ditinjau dari sisi keagamaan, masyarakat Arab pra Islam
memeluk berbagai macam agama, di antaranya Paganisme, Yahudi, Kristen
dan Hani>fi>yah. Agama-agama ini merupakan agama warisan dari
pendahu-pendahulunya. Keadaan tersebut masing terus berlangsung sampai
datangnya Islam sebagai agama yang hak, serta penyempurna dari agama-
agama samawi sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ami>n, Ahmad. Fajr al-Isla>m. Kairo: Maktabah Najdah al-Mis}riyyah, 1975.
A’z}amī, M.M. al-. Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi. Jakarta: Gema Insani, 2005.
Dallu, Burhan al-Di>n. Jazi>rat al-‘Arab Qabl al-Isla>m. Beirut: t.p, 1989.
Dawrī, ‘Abd al-‘Azīz al-. Muqaddimah fī Ta>rīkh Ṣadr al-Isla>m. Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007.
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah (Malang: UIN Malang Press, 2008
Haekal, Muh}ammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah. Jakarta; Litera Antar Nusa, 2011.
Hitti, Philip K. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010.
Karim, Khalil Abdul. Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan. Yogyakarta: LKiS, 2003.
Leboun, Gustav. Had}a>ra>t al-‘Arab. Kairo: Mat}ba‘ah ‘Isa al-Ba>bi> al-Halabi>, t.t.
Lewis, Bernard. Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri. Jakarta: Ilmu Jaya, 1994.
Mufrrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos, 1997.
Mughni, Syafiq A. “Masyarakat Arab Pra Islam”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, I. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Mujahidin, Ahmad. “Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan Negara-Negara Sekitarnya”. Jurnal Akademika, Volume 12 Nomor 2. Maret, 2003.
Nicholson, R.A. A Literary History of The Arabs. Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
Shalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku I, terj. M. Sanusi Latief. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983.
Watt, Montgomery. Muhammad at Mecca. Oxford: Oxford University Press, 1956.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2010.
.