sejarah kesenian tarawangsa di rancakalong sumedang

21
1. Pendahuluan Dalam kesempatan ini penulis akan mendeskripsikan tentang sejarah Instrumen Tarawangsa, dengan batasan wilayah kesenian tarawangsa di Sumedang, tepatnya di Kecamatan Rancakalong yang terletak 50 Kilometer di Arah Timur Utara. Jika naik mobil, akan memakan waktu sekitar tiga jam dari kota bandung. Dalam memaparkan sejarah kesenian Tarawangsa ini penulis menggunakan metoda dasar yang merupakan hal- hal terutama dalam pelaporan sejarah dengan menggunakan prinsip 5W+1H, What yaitu apa itu Tarawangsa, apa saja kegunaan fungsi dari Instrumen tersebut, lalu When, Kapan tepatnya Instrumen tersebut ditemukan dan asal mula Instrumen tersebut hingga menjadi fungsi dalam masyarakatnya, Where yaitu dimana kesenian tersebut tumbuh dan berkembang hingga sekarang, Why, mengapa kesenian ini begitu penting bagi masyarakat rancakalong sehingga wajib dilestarikan bahkan merupakan sebuah kebutuhan yang pokok bagi masyarakat sumedang. Who, Siapa pelaku dan penerus yang hingga sekarang tetap melestarikan dan menjaga kesenian ini, dan How, Bagaimana istilah Tarawangsa itu muncul, serta asal muasal istilah tersebut berasal. Semua akan secara terperinci akan dijelaskan dalam deskripsi dibawah ini. 1. Deskripsi Umum 1

Upload: ferry-matias

Post on 07-Feb-2016

989 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

sejarah singkat seni tarawangsa ranca kalong

TRANSCRIPT

Page 1: Sejarah Kesenian Tarawangsa Di Rancakalong Sumedang

1. Pendahuluan

Dalam kesempatan ini penulis akan mendeskripsikan tentang sejarah

Instrumen Tarawangsa, dengan batasan wilayah kesenian tarawangsa di

Sumedang, tepatnya di Kecamatan Rancakalong yang terletak 50 Kilometer di

Arah Timur Utara. Jika naik mobil, akan memakan waktu sekitar tiga jam dari

kota bandung.

Dalam memaparkan sejarah kesenian Tarawangsa ini penulis

menggunakan metoda dasar yang merupakan hal-hal terutama dalam pelaporan

sejarah dengan menggunakan prinsip 5W+1H, What yaitu apa itu Tarawangsa,

apa saja kegunaan fungsi dari Instrumen tersebut, lalu When, Kapan tepatnya

Instrumen tersebut ditemukan dan asal mula Instrumen tersebut hingga menjadi

fungsi dalam masyarakatnya, Where yaitu dimana kesenian tersebut tumbuh dan

berkembang hingga sekarang, Why, mengapa kesenian ini begitu penting bagi

masyarakat rancakalong sehingga wajib dilestarikan bahkan merupakan sebuah

kebutuhan yang pokok bagi masyarakat sumedang. Who, Siapa pelaku dan

penerus yang hingga sekarang tetap melestarikan dan menjaga kesenian ini, dan

How, Bagaimana istilah Tarawangsa itu muncul, serta asal muasal istilah tersebut

berasal. Semua akan secara terperinci akan dijelaskan dalam deskripsi dibawah

ini.

1. Deskripsi Umum

Tarawangsa, merupakan jenis seni pertunjukan tradisi dalam masyarakat

sunda di provinsi Jawa Barat. Khususnya pada masyarakat Sunda saat ini,

kesenian ini masih terdapat di tiga kabupaten di Jawa Barat, yaitu Sumedang,

Bandung dan Tasikmalaya, serta satu kabupaten di provinsi Banten, yaitu pada

masyarakat Baduy di kabupaten Lebak. Tarawangsa sering dipertunjukan dalam

peristiwa ritual yang berhubungan dengan acara penghormatan terhadap Spirit

Padi dan Leluhur. Padi dihormati dan diupacarakan secara khusus karena

tanaman ini merupakan makanan pokok yang dapat memberikan tenaga, baik

lahiriah maupun batiniah dan Leluhur dihormati karena dari mereka segala tata

cara kehidupan diturunkan. Merupakan ensemble yang terdiri dari dua instrumen

musik yaitu kecapi dan rebab tarawangsa disebut juga ngek-ngek. Yang

1

Page 2: Sejarah Kesenian Tarawangsa Di Rancakalong Sumedang

keduanya merupakan jenis instrument berdawai (kordopon) dengan resonator

berbahan kayu. Biasanya disertai tarian (Ngibing) oleh perempuan lanjut usia,

juga disajikan pada ritus-ritus tertentu.

Desa Pangguyangan misalnya, salah satu contoh dari keberadaan

kesenian Tarawangsa saat ini. secara demografi tepatnya berada di kampung

kecil desa Sukanagara di perbukitan tinggi lebih dari 825 m diatas permukaan

laut, yang mana desa Sukanagara merupakan pemekaran dari desa panyirapan

yang diresmikan tanggal 31 Juli 1996 oleh Bupati Bandung H.U. Hatta

Jatipermana, terletak disebelah selatan desa panyirapan . dan sekarang luas desa

Sukanagara sendiri seluruhnya 38.225 hektar. Semua penduduk kampung

Pangguyangan merupakan etnis Sunda, dengan bahasa Sunda sebagai percakapan

sehari-harinya dan dengan budaya kampung pada masa sebelumnya dengan

penduduk mayoritas bekerja sebagai petani yang menggarap sawah dan kebun

milik pribadi maupun milik orang lain.

2. Ajaran Budhisme Wajrayana Berkaitan Dengan Keberadaan

Tarawangsa.

Berdasarkan naskah kuno sunda Sewaka Darma yang ditulis pada tahun

1518 Tarawangsa sudah disebut sebagai alat musik, sehingga Kesenian

Tarawangsa termasuk salah satu dari tiga jenis seni karawitan kuno khas sunda

yang diperkirakan telah ada di Sunda sejak masa Hindu-Budha selain kesenian

Pantun dan Goong Renteng pada abad ke -15 Masehi.1

Sunda, Jawa Barat, masa itu adalah masa berkembangnya budaya Hindu-

Budha, maka dapat dipastikan bahwa ketiga kesenian tersebut telah ada di Sunda

jauh sebelum masuknya agama islam maupun budaya Jawa (Kerajaan Mataram

Islam). Dan dalam menapaki jejak kesenian Tarawangsa ini juga disadari

pentingnya mengetahui agama yang sedang berkembang di Sunda pada masa itu,

karena agama merupakan faktor penting yang melatarbelakangi kesenian

tersebut.

1 Ganjar Karnia & Arthur S Nalan, Deskripsi kesenian Jawa Barat, (Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat), Bandung, 2003.

2

Page 3: Sejarah Kesenian Tarawangsa Di Rancakalong Sumedang

Dalam naskah-naskah sunda kuno, semua isi teksnya bersumber pada dasar

yang sama yaitu ajaran agama hindu aliran Siwa, ajaran Budha-Mahayana, dan

ajaran hidup dari leluhur Sunda.2 Kita dapat melihat salah satu naskah sunda

kuno yang telah disebutkan di atas yaitu Naskah Sewaka Darma, yang mencatat

“Tarawangsa” sebagai alat musik. Sewaka Darma dituliskan pada helaian daun

nipah sebanyak 37 lempir (74 Halaman, namun yang ditulisi hanya 67 halaman),

dan disusun oleh pertapa perempuan bernama buyut Ni Dawit yang bertapa di

pertapaan Ni Teja Puru Bancana di Gunung Kumbang. Berdasarkan isinya,

Sewaka Darma dapat dianggap sebagai salah satu bukti bahwa pada masa itu

pernah berkembang agama Budha aliran Wajrayana (Vajrayana) di wilayah

Sunda.3

Dalam naskah Sunda Sewaka Darma perjalanan manusia yang Moksa

(meninggal, hilang, pindah dan hdup dalam alam lain) ke alam Kalanggengan

(Keabadian, Surga) dan untuk memasuki alam itu manusia harus melewati

tahapan tertentu. Dalam salah satu tahapan menuju surga itulah terdengar bunyi

Tarawangsa. Dibawah ini merupakan kutipan naskah Sewaka Darma :

“Nu na(ng)gapan, sada canang, sada gangsa tumpang kembang, sada

kumbang tarawangsa ngeui(k), sada titila(r)ri(ng) bumi, sada

tatabeuhan jawa, sada gobeng direka cali(n)tu di an(n)jung, sada

handaru kacapi la(ng)nga. Sada keruk sagung“ (Danasasmita, dkk.,

1987:30)

Terj. :

“Terdengar bunyi-bunyian, suara canang, suara gamelan tumpang

kembang, surara kumbang dan tarawangsa menyayat hati, suara

peninggalan bumi, suara gamelan jawa, suara baling-baling

2 Edi S Ekajati, Kebudayaan Sunda-Zaman Pajajaran (Jakarta: Pusaka jaya, 2005), 215.3 Berdasarkan tulisan Ayatrohaedi berjudul “Nganjang Ka Kalanggengan_Agama Orang Sunda Pra Islam Menurut Naskah” dalam Prosiding Konfrensi Internasional Budaya Sunda Jilid 1 (Bandung: Yayasan Kebudayaan Rancage, 2006), 475-476.

3

Page 4: Sejarah Kesenian Tarawangsa Di Rancakalong Sumedang

ditingkah calintuh di dangau, suara deru kacapi penuh khawatir,

suara sedih semua” (Danasasmita, dkk., 1987:30)

Gambar 1.

Naskah Kuno Sunda Sewaka Darma

(Foto diambil dari Language and Literature, Indonesia Heritage 10,

Singapore: Archipelago Press, 1998, Halaman 31.

Wajrayana (Vajrayana), disebut juga sebagai Tantrayana, Mantrayana,

atau Esoteric Buddhism, adalah salah satu aliran dari ketiga aliran besar agama

Budha, di samping Theravada (Disebut juga sebagai Hinayana atau Nikaya) dan

Mahayana.

Wajrayana muncul di India sebagai campuran agama Hindu.

Kepercayaan lokal yang mengandung unsur magis, dengan agama Budha-

Mahayana pada abad ke-4 Masehi. Wajrayana berkembang hingga abad ke-11

masehi namun di India sendiri hampir punah pada abad ke-13 Masehi.

Khususnya di Indonesia Wajrayana masuk pada abad ke-8 Masehi di kerajaan

4

Page 5: Sejarah Kesenian Tarawangsa Di Rancakalong Sumedang

Sriwijaya, Namun pada abad ke -13 setelah masuknya agama islam, Wajrayana

mulai pudar, dan akhirnya punah.

Ciri Khas dari alran Wajrayana terletak pada empat hal diantaranya :

adanya ‘mantra’ (Ritual Frase), dan pengulangan pengucapan mantra, kedua

penggunaan mandala (bagan atau diagram), sebagai simbol dari kosmologi.

Ketiga, pelaksanaan ‘tapa’ (di gunung). Keempat, yakni ciri khas utama aliran ini

yaitu Esoteric Transmission. Aliran ini juga disebut sebagai Esoteric Budhism

oleh karena proses transmisinya ssangat esoteris. Ajarannya diturunkan guru

kepada murid yang sangat terbatas, secara langsung dengan lisan dan secara

rahasia. Ajarannya tidak bisa dipelajari dari buku (Kitab) dengan mudah. Ciri

khas ajaran Wajrayana ini dapat dilihat dari penyajian Tarawangasa maupun

dalam transmisi (Proses menurunkan) tarawangsa dari seorang guru kepada

seorang murid secara jelas terdapat unsur Wajrayana.

3. Tarawangsa Sebagai Pemujaan Terhadap Dewi Sri

Kesenian ini begitu penting bagi masyarakat Sumedang Rancakalong,

karena sebagian besar di wilayah sumedang adalah sebagai masyarakat peladang,

dengan sistem sawah, maka adanya sosok Dewi Sri yang sangat dihormati bagi

masyarakat yang hidup dan mencari makan dari sistem persawahan, karena sosok

ini merupakan Dewi padi yang diyakini membawa padi dari mataram menuju

Desa ini.

Sesuai dengan Aliran Budhisme Wajrayana (Vijrayana) yang pernah

berkembang ditatar sunda, yang merupakan campuran agama Hindu yang

muncul di India, maka Mitos Dewi Sri juga berasal dari India, kesamaan ini

muncul di kalangan masyarakat agraris tradisional Sunda yang meyakini bahwa

‘Tanaman Padi’ merupakan titisan Dewi Sri (Dewi Padi), (di Daerah Sunda

Khususnya Dewi Sri, dikenal dengan nama Nyi Pohaci atau Nyi Pohaci

Sanghiang Sri), kesamaan ini diasumsikan karena ajaran Wajrayana yang muncul

di India yang juga sempat berkembang di Jawa Barat di tatar Sunda khususnya,

Juga secara latar belakang kehidupan masyarakatnya adalah sebagai petani. Di

lain pihak India pun dilansir telah membawa pengaruh sistim sawah di Pulau

Jawa. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan dibawah ini :

5

Page 6: Sejarah Kesenian Tarawangsa Di Rancakalong Sumedang

“Pada awal abad Masehi budidaya padi di Nusantara

masih sederhana berbentuk perladangan. Sentuhan teknologi

cocok tanam padi mulai muncul ketika pengaruh In-dia masuk.

Bangsa Kalinga (nama sebelum Orissa) yang berada di India

selatan itu masuk ke wilayah Jawa sekitar abad ke-empat.

Kedatangan mereka yang terdiri dari berbagai kasta

membawa pengaruh dalam teknologi penanaman padi.

Kasta brahmana yang berkuasa atas ilmu pengetahuan

antara lain membawa metode penanaman padi dengan

pengairan. Kaum brahmana memperkenalkan sejumlah

teknologi yang memungkinkan produksi padi meningkat.

Catatan di dalam kitab Desawarnana atau

Negarakertagama menceritakan tentang raja yang memanggil

rakyatnya untuk membuka hutan, kemudian menjadikannya

lahan untuk sawah. Rakyat yang mendapat hak untuk

mengelola lahan itu harus membayar pajak ke raja.

Sawah beririgasi juga sudah disebut dalam kitab itu.

Selama masa Majapahit, ekspor beras juga sudah dilakukan.

Dalam salah satu kakawin juga disebutkan tentang adanya

beberapa biarawan terlihat menanam padi dan keberadaan

lumbung.” 4

Selain kutipan tullisan diatas pemujaan terhadap Dewi Sri di Indonesia dan asal

mula mitos Dewi Sri, dijelaskan oleh Denys Lombard sebagai berikut :

“Kultus Tua lainnya adalah pemujaan dewi padi, Dewi Sri, di

Pasundan maupun di Tanah Jawa. Sekalipun nama Sri

berasalh dari India, mitos itu terdapat di seluruh Nusantara,

sampai di pulau-pulau yang sama sekali tidak tersentuh

pengaruh India. Versinya berbeda-beda, akan tetapi ceritanya

sederhana : Sri telah dikuburkan, dan dari berbagai bagian

4 Andreas Maryoto “Nenek Moyang kita petani padi”, Kompas edisi 20 April 2006.

6

Page 7: Sejarah Kesenian Tarawangsa Di Rancakalong Sumedang

tubuhnya keluarlah tanaman-tanaman bedidaya yang utama,

termasuk padi. Pemujaan terhadap Dewi Sri dewasa ini masih

terus dilangsungkan oleh para petani di desa untuk

mendapatkan hasil panen yang baik. Doa itujukan kepadanya

pada saat penyemaian, sambil mempersembahkan ikat-ikat

padi pertama yang kemudian disimpan dengan khidmat sampai

penebaran benih tabur berikutnya.”5

Di Sunda proses paling penting dalam pertanian adalah panen padi, terutama

proses penyimpanan padi ke dalam lumbung (disebut dengan Goah atau Leuit),

setelah padi disimpan di lumbung, dilaksanakan suatu upacara ritual yang disebut

dengan “Netepkeun Pare” atau “Ngineubkeun Pare”, dengan maksud agar Dewi

Sri tetap betah tinggal di Lumbung. Dalam Upacara tersebut, kesenian

Tarawangsa sebagai sarana pengiring upacara ritual baik untuk mendatangkan

maupun untuk menghormati Dewi Sri (Nyi Pohaci) serta roh-roh para leluhur

(Karuhun). Dan dalam kosmologi sunda kedudukan Nyi Pohaci dan para leluhur

(Karuhun) memiliki derajat yang sama.

4. Istilah Tarawangsa

Muncul beberapa pengertian tentang peristilahan Tarawangsa, khususnya

dari para ahli yang berusaha menelusuri tentang kesenian ini yang pada

umumnya mereka adalah penulis masa kini pada abad ke -20, namun tidak

banyak yang dapat memberikan informasi secara pasti tentang Tarawangsa itu

sendiri. Salah satu kesimpulan, yang juga belum dapat dikatakan kesimpulan

final, yang hanya sebagai bahan pemikiran dari penulis saja selain dari sumber

lain yang lebih akurat, dapat diambil beberapa kutipan-kutipan selain salah

satunya dari naskah kuno Sewaka Darma yang telah disebutkan di atas yang

dapat diasumsikan sebagai bunyi-bunyian di Surga atau sebagai keadaan bunyi-

bunyian yang imajiner, bukan yang dapat dijangkau pada keadaan sebenarnya.

5 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu 3 – Wawasan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Versi bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, dan Nini Hidayat Yusuf. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Forum Jakarta – Paris Ecole francaise d’Extreme-Orient, 2005,2008

7

Page 8: Sejarah Kesenian Tarawangsa Di Rancakalong Sumedang

Cahtrine Falk juga mendefinisikan Tarawangsa sebagai berikut :

“The Tarawangsa is a two or three-stringed bowed, plucked and struck

instrument. It is used by the rural villagers in the Priangan area of West

Java and by the Baduy People”

Terj.:

Tarawangsa adalah instrumen dua atau tiga dawai yang digesek dan

dipetik, dipakai oleh masyarakat kampung di daerah Priangan di Jawa

Barat dan masyarakat Baduy (Falk, Catherine, 1978:v).

Peristilahan tarawangsa juga menurut literatur Jaap Kunst dalam bukunya

Hindu-Javanese Musical Instruments (1968). Kunst Menduga bahwa kata

Trewasa, dan Trewasa yang muncul dalam tiga karya Bali, Cupak, Kidung

Adiparwa, dan Malat, berhubungan dengan Tarawangsa. Dalam Kitab Kidung

Adiparwa tercatat nama instrumen Trewasa, dalam kitab Malat tercatat Trawasa,

dan dalam kitab Bagus Turunan tercatat “Trawangsah”. Kunst juga mengatakan

bahwa kata “Tarawangsa” tidak hanya digunakan sebagai nama alat musik saja,

tetapi telah menjadi nama keseluruhan upacara.6

Kunst (1921 & 1923a) juga menduga bahwa kata Tarawangsa atau

Triwangsa, mengacu pada tiga alat – tarawangsa, suling, kacapi. – Kata Tri

(sanskrit) bermakna tiga, dan Wangsa (Sunda) atau Bangsa (Indonesia) berarti

“Keluarga, kerabat, ras, negara”.

Keterangan lainnya, menurut Falk. Ada makna dalam bahasa Sansekerta

yaitu tara menunjukan tantra artinya mempunyai dawai, tara artinya musik yang

berasal dari alat yang berdawai. Tara mempunyai akar kata Tri, dengan arti

tinggi, keras, nada tinggi, terang, bersih, jernih. Kata Tar juga berhubungan

dengan makna alat musik yang berdawai baik yang dipetik, maupun yang

digesek, ditemukan di India dan Timur Tengah. Contohnya sitar, ektar, tar,

sehtar. Sedangkan wangsa berarti negara, kerabat, keluarga, keturunan.

(Satjadibrata 1950:406).

Diantara keterangan-keterangan yang ada, ada juga keterangan lain yang

berasal dari masyarakat pelaku keseniannya yang dapat diterangkan atau

6 Kunst (1986, 1921 & 1923)

8

Page 9: Sejarah Kesenian Tarawangsa Di Rancakalong Sumedang

diperjelas melalui ilmu Kirata, hal tersebut sudah tentu sulit untuk diuji

kebenarannya, dikarenakan peristilahan yang tepat haruslah disesuaikan dengan

konteks waktu dan wilayah keberadaan Tarawangsa pada saat yang tepat.

5. Kesenian dan Ritus Penyajian Tarawangsa

Berdasarkan tradisi lisan asal-usul seni tarawangsa berkaitan erat dengan

bencana yang menimpa masyarakat Rancakalong yang terjadi pada jaman

dahulu. Bencana itu dimulai ketika musim kemarau panjang menerpa masyarakat

Rancakalong sehingga pesawahan yang mereka miliki menjadi kering.

Akibatnya, padi gagal dipanen bahkan hanya untuk mendapatkan benih padi pun

sangatlah sulit. Untuk memenuhi kebutuhan pangannya, masyarakat

Rancakalong mengonsumsi biji hanjeli. Akan tetapi, biji hanjeli tersebut malah

mencelakakan warga. Dalam proses mengolah biji hanjeli supaya siap dimakan,

satu keluarga terjerumus ke dalam mesin penggiling biji hanjeli.

Peristiwa tersebut membuat masyarakat Rancakalong menjadi trauma dan

tabu menanam pohon hanjeli. Di lain pihak, menanam padi masih belum

memungkinkan karena tidak ada satupun keluarga yang memiliki bibi padi.

Melihat musibah yang menerpa warganya, Wisanagara, seorang tokoh

masyarakat setempat yang ditemani oleh beberapa pengawalnya, berupaya

mencari benih padi ke wilayah Kerajaan Mataram. Untuk bisa masuk ke wilayah

Mataram, Wisanagara menyamar menjadi seorang pengamen dengan kecapi dan

rebab sebagai alat musiknya. Sebagai imbalan dari tiap ngamennya Wisanagara

mendapatkan padi. Setelah berkali-kali ngamen dan memeroleh padi yang cukup

banyak, Wisanagara memutuskan untuk kembali ke Rancakalong. Sesampainya

di Rancakalong, Wisanagara mengolah padi yang diperoleh di Mataram untuk

dijadikan bibit. Bibit padi itulah yang ditanam oleh masyarakat Rancakalong

ketika musim hujan tiba. Dengan air yang mencukupi, padi yang menanami

pesawahan masyarakat Rancakalong tumbuh dengan suburnya sehingga

masyarakat Rancakalong terbebas dari bencana kelaparan.

Sebagai rasa syukur atas keberhasilan panen, masyarakat menggelar

kesenian yang dijalankan oleh Wisanagara selama menjadi pengamen di

9

Page 10: Sejarah Kesenian Tarawangsa Di Rancakalong Sumedang

Mataram yang dilengkapi dengan upacara-upacara tertentu yang disebut

ngalaksa. Sejak saat itu, kesenian tarawangsa menjadi bagian dari

kehidupanmasyarakat Rancakalong, Sumedang. Sesuai dengan yang dilakukan

oleh Wisanagara, kesenian tarawangsa hanya mempergunakan dua buah alau

musik, yaitu kecapi dan rebab ngekngek. Kacapi dipergunakan sebagai alat

musik untuk mengiringi lagu dan rebab ngekngek dipergunakan sebagai alat

musik untuk megiringi melodi.

Foto : Kesenian Tarawangsa Sekitar Tahun 1920-anSumber: Wijnand Kerkhoff. t.t. Het Paradijs van Java. Batavia. Hlm. 12.

Disbudpar Sumedang, 14.Dikutip dari (“Sejarah Sumedang dari Masa ke Masa”, Pusat Kebudayaan Sunda (PKS), Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Dinas Pariwisata & Kebudayaan Kabupaten Sumedang)

Alat Musik Utama Kesenian Tarawangsa Milik KetuaMasyarakat Adat Rancakalong (Tahun 2008 )Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, 23 Juli 2008.

Dikutip dari (“Sejarah Sumedang dari Masa

ke Masa”, Pusat Kebudayaan Sunda (PKS),

Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran,

Dinas Pariwisata & Kebudayaan Kabupaten

Sumedang)

10

Page 11: Sejarah Kesenian Tarawangsa Di Rancakalong Sumedang

Penyajian tarawangsa identik

dengan ritus untuk memanggil dan

memuja Dewi Sri serta Karuhun.

Didaerah rancakalong, pada setiap

upacara, sepasang boneka berkedok

wanita dan lelaki diletakkan di

depan tarawangsa dan kacapi.

Boneka

berkedok wanita adalah tak lain perlambang Dewi Sri yang disebut juga sebagai

Nyi Pohaci atau ‘Nu Geulis’, sedangkan boneka berkedok lelaki dianggap

pasangannya yang biasa disebut ‘Nu Kasep’, Boneka berkedok wanita dan lelaki

tersebut terbuat dari Geugeus, yaitu ikatan padi kering. Diatas geugeus diberi

baju dan kedok.

Selain itu juga ritus upacara ritual tarawangsa harus dibakar kemenyan

untuk mengundang Dewi Sri serta Karuhun, dan harus disediakan berbagai sesaji

untuk Dewi Sri dan Karuhun.

Diantara sesaji yang lazim disediakan, baik pada saat upacara maupun di

dalam goah sehari-hari, sesaji yang dianggap paling penting (yang harus ada)

adalah rurujakan, yaitu rujak, yang berbeda dengan rujak yang dikenal oleh

11

Page 12: Sejarah Kesenian Tarawangsa Di Rancakalong Sumedang

masyarakat dewasa ini. Yang dimaksud dengan rurujakeun dalam istilah

masyarakat setempat adalah irisan buah-buahan dalam air gula merah, maka

rasanya asam manis. Rurujakan yang untuk di goah sehari-hari, biasanya satu

jenis buah saja, namun pada saat upacara, biasanya disediakan berbagai

rurujakan yang terdiri atas rujak pisang (dua atau tiga macam), rujak nanas, rujak

kelapa, rujak roti, rujak kembang ros dan sebagainya. Mengapa rurujakan

dianggap paling penting oleh masyarakat agraris Sunda?, Jawabannya adalah,

karena Dewi Sri (dianggap atau diharapkan) sedang hamil biasanya ingin makan

yang rasanya asam manis.) Dewi Sri sedang hamil berati padi sedang hamil, hal

ini sangat penting bagi masyarakat agraris karena hal ini identik dengan terjamin

panen yang berlimpah.

Berikut sesaji yang biasa disediakan pada saat upacara :

- Bubur Merah (Bubur yang dicampur dengan gula merah).

- Bubur putih (Bubur yang dicampur dengan garam).

- Duwegan (kelapa muda yang di atasnya diletakkan sebuah gula

merah.

- Seupaheun (yaitu daun sirih dan bumbu yang terdiri atas gambir,

buah pinang, kapol, kapur dan cengkeh).

- Rokok, Bako Tampan, Cerutu.

- Bakakak (Seekor ayam utuh yang dibakar, jeroannya dipepes).

- Puncak manik (nasi tumpeng yang dibungkus dengan daun

pisang, diatasnya diletakkan sebutir telur rebus).

- Kopi manis dan pahit, teh manis dan pahit, air putih.

- Berbagai buah buahan dan berbagai makanan ringan yang terbuat

dari beras atau ketan (Kupat, Leupeut, tangtangangin, papais

tipung merah putih dibungkus dengan daun pisang.

- Gulampok, wajit, opak, rangginang, kelepon, kelontong, angleng,

dan lain-lain.

12

Page 13: Sejarah Kesenian Tarawangsa Di Rancakalong Sumedang

DAFTAR PUSTAKA

“Sejarah Sumedang dari Masa ke Masa”, Pusat Kebudayaan Sunda (PKS), Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Dinas Pariwisata & Kebudayaan Kabupaten Sumedang

Mariko Sasaki, Laras Pada Karawitan Sunda, P4ST UPI, Bandung, 2007.

Ganjar Karnia & Arthur S Nalan, Deskripsi kesenian Jawa Barat, (Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat), Bandung, 2003.

Didi Wiardi, Konservasi Tradisi Musik Tarawangsa di Kampung Pangguyangan Bandung, STSI, 2008.

Witoro, Yusup Napiri M, Martua Sihaloho, Lumbung Pangan: Jalan Menuju Keterjaminan Pangan, KRKP, Bogor, Desember 2006.

Andreas Maryoto “Nenek Moyang kita petani padi”, Kompas edisi 20 April 2006.

Language and Literature, Indonesia Heritage 10, Singapore: Archipelago Press, 1998.

Edi S Ekajati, Kebudayaan Sunda-Zaman Pajajaran, Pusaka jaya, Jakarta, 2005.

Ayatrohaedi, Nganjang Ka Kalanggengan Agama Orang Sunda Pra Islam Menurut Naskah, Prosiding Konfrensi Internasional Budaya Sunda Jilid 1, Yayasan Kebudayaan Rancage, Bandung, 2006.

13

Page 14: Sejarah Kesenian Tarawangsa Di Rancakalong Sumedang

Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu 3 –

Wawasan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Versi bahasa Indonesia yang

diterjemahkan oleh Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, dan

Nini Hidayat Yusuf. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Forum Jakarta –

Paris Ecole francaise d’Extreme-Orient, 2005,2008

Jaap Kunst, Hindu-Javanese Musical Instruments, 1968.

14