makalah kesenian
TRANSCRIPT
Bab I
endahuluan
Latar Belakang Masalah
Media massa adalah sebuah bentuk sistem komunikasi dalam masyarakat. Saat
ini media massa berperan penting dalam proses penyampaian informasi bagi
masyarakat. Perkembangan masyarakat yang semakin kompleks menyebabkan
berbagai informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat juga semakin banyak.
Sistem informasi menjadi semakin penting posisinya dalam masyarakat. Hal ini
menyebabkan semakin pentingnya juga media massa.
Media massa dalam menyampaikan informasi berpengaruh sangat besar bagi
masyarakat baik secara sosial maupun budaya. Penyampaian informasi oleh media
massa dapat muncul dalam bentuk berita. Perkembangan pada bidang teknologi
juga mempengaruhi proses penyampaian informasi. Penemuan media-media baru
menyebabkan banyak dampak bagi dunia komunikasi dan kehidupan sosial
masyarakat. Pemberitaan media massa sedikit banyak mempengaruhi masyarakat
yang menerima informasi tersebut.
Pemberitaan mengenai kenakalan yang dilakukan oleh anak pengikut subkultur
punk sering mengidentifikasikan mereka sebagai “anak punk”, “Punkers” atau
“remaja punk”. Sebutan “anak punk” menunjukkan pengkaitan identitas subkultur
anak dengan perilakunya. Pemberitaan semacam ini dapat menyebabkan
terbangunnya pandangan masyarakat tentang perilaku subkultur. Hal ini pada
akhirnya dapat berlanjut ke bentuk-bentuk prasangka terhadap mereka yang
termasuk dalam suatu subkultur tertentu.
Subkultur Punk muncul sekitar tahun 1970 an di Inggris. Punk mulai populer
setelah munculnya grup-grup band Sex Pistol, Velvet Underground, The
Ramones, dan lainnya. Grup-grup musik ini menjadi suatu cambuk dalam memicu
munculnya suatu gaya hidup Punk di kalangan anak-anak muda saat itu.
Munculnya Punk didasari atas semangat pemberontakan terhadap segala bentuk
kemapaman dalam masyarakat. Semangat ini berasal dari komunitas anak-anak
muda kulit putih kelas pekerja di London. Mereka adalah kelompok marginal
dalam masyarakatnya, dan tentunya sering menghadapi tekanan persoalan sosial
dan ekonomi. Anak-anak muda ini telah mencapai titik jenuh sekaligus pesimis
terhadap kehidupannya. Dari keadaan itu maka mereka memulai suatu gaya hidup
baru yang berbeda dari kehidupan yang pada saat itu dianggap mapan, (saat itu
Inggris sedang dalam masa industrialisasi modern).
Gaya hidup ini menimbulkan suatu bentuk kebudayaan sendiri yang berbeda
dengan masyarakat umum. Perbedaan ini menjadikan Punk sebuah subkultur
dalam masyarakat. Dengan gaya hidup, cara berpakaian, aliran musik, ideologi
dan berbagai hal lainnya yang berbeda dari masyarakat umum semakin
menguatkan eksistensi subkultur Punk dalam Masyarakat. Gaya berpakaiannya
yang sangat khas menjadi suatu ciri tersendiri dari budaya Punk. Dengan
menggunakan apa saja yang ingin digunakan dalam berpakaian bahkan yang tidak
lazim seperti penggunaan rantai, peniti, dan barang-barang lainnya yang bagi
masyarakat umum tidak lazim digunakan dalam berpakaian. Pennggunaan make
up oleh pria dan berbagai hal lain dalam berpenampilan menjadikan budaya Punk
benar-benar ingin berbeda dari masyarakat umum yang pada saat munculnya
punk, adalah masyarakat yang memuja kemapanan.
Punk mulai masuk ke Indonesia sekitar akhir 1970 an. Masuknya gaya hidup punk
ke Indonesia diawali pula oleh masuknya musik-musik beraliran Punk ke
Indonesia namun perkembangannya tidak sepesat di negeri asalnya. Punk di
Indonesia pada awalnya hanyalah sebuah komunitas kecil yang tidak terang-
terangan menunjukkan gaya hidup Punk. Kemudian anak-anak muda mulai
meniru gaya berpakaian dan mulai memahami ideologi dan akhirnya menjadikan
Punk sebagai gaya hidupnya. Pada perkembangannya baik di negeri asalnya
maupun di Indonesia, Komunitas Punk telah mempunyai suatu subkultur
tersendiri yang diakui masyarakat dan terkadang dianggap menyimpang. Punk
juga telah semakin populer dengan timbulnya Punk sebagai suatu Trend.
Contohnya ialah dalam dunia Fashion gaya berpakaian Punk menjadi trend
fashion masyarakat umum.
Punk sebagai bentuk subkultur seperti telah dijelaskan sebelumnya, tentu
memiliki nilai-nilai yang bersifat bertentangan karena subkultur ini muncul
sebagai bentuk counter culture dari sistem sosial budaya arus utama (mainstream).
Yang dimaksud dengan arus utama (mainstream) adalah pola sosial yang dominan
dan konvensional. Perbedaan ini dapat menimbulkan anggapan menyimpang dari
masyarakat tentang subkultur punk.
Permasalahan
Prasangka yang muncul di masyarakat terhadap suatu subkultur dapat berujung
pada munculnya konflik di masyarakat. Subkultur punk sebagai bentuk subkultur
pemuda (youth) banyak didalamnya yang berusia anak. Pemberitaan tentang
kenakalan anak yang dilakukan oleh anak yang tergabung dalam subkultur punk
dan dengan menyebutkan identitas mereka sebagai “anak punk” dapat
menyebabkan timbulnya prasangka pada masyarakat tentang “anak-anak punk”
lainnya.
Kerangka Pemikiran
Punk didefinisikan oleh O’Hara (1999) dalam tiga bentuk. Pertama, punk
sebagai trend remaja dalam fashion dan musik. Kedua, punk sebagai keberanian
memberontak dan melakukan perubahan. Terakhir, punk sebagai bentuk
perlawanan yang “hebat” karena menciptakan musik, gaya hidup, komunitas, dan
kebudayaan sendiri. Definisi pertama adalah definisi yang paling umum
digambarkan oleh media. Tapi justru yang paling tidak akurat karena cuma
menggambarkan kesannya saja.
Penyebaran budaya punk tidak lepas dari adanya peran dari media yang dapat
menyebarluaskan jenis musik ini yang mendorong anak-anak muda untuk
mengikuti gaya hidup yang disajikan dalam musik Punk tersebut. Maka dapat
dikatakan mereka yang bergaya hidup dan berbudaya Punk mengimitasi suatu
bentuk gaya hidup dan budaya yang diterimanya melalui musik yang mereka
dengarkan. Suatu bentuk pembelajaran untuk bertingkah laku yang didapat ini
sangat mungkin mendapat tanggapan sebagai perilaku yang menyimpang.
Peniruan ini semakin didukung dengan adanya desakan dari orang-orang lain yang
sebaya (peer group) yang juga mempunyai tingkah laku yang sama
dilingkungannya. Hal ini menimbulkan suatu bentuk Delinquency imitation model
(peniruan model kenakalan remaja)
Proses Imitasi memerlukan beberapa syarat, menurut Chorus yang dikutip oleh
Soelaiman Joesoef dan Noer Abijono (1981) syarat syarat tersebut ialah:
1. Adanya minat atau perhatian yang cukup besar terhadap apa yang akan
diimitasi
2. Ada sikap menjunjung tinggi atau mengagumi apa yang akan diimitasi
3. Tergantung pada pengertian, tingkat perkembangan serta tingkat pengetahuan
dari individu yang akan mengimitasi.
Dalam makalah ini juga dibahas mengenai media massa. Media massa
adalah industri dan teknologi komunikasi yang mencakup surat kabar, majalah,
radio, televisi, dan film. Istilah massa mengacu pada kemampuan teknologi
komunikasi untuk mengirimkan pesan melalui ruang dan waktu dan menjangkau
banyak orang.
Teori-teori Subkultur menjelaskan mengenai Bricolage yang berarti
penataan ulang dan penghadapan obyek-obyek bermakna yang sebelumnya tidak
terkait dalam rangka menghasilkan makna baru dalam konteks yang segar.
Konsep ini dapat digunakan dalam memahami subkultur punk.
Namun dalam menjelaskan peran media, penjelasan Cohen dan Young terasa
lebih tepat. Mereka menempatkan liputan media pada posisi sentral dalam
penciptaan dan keberlangsungan penyimpangan subkultur pemuda. Respon
masyarakat yang akan muncul adalah kepanikan moral yang berusaha melacak
dan menghukum segala budaya pemuda yang menyimpang.
Berbagai pemikiran dan teori diatas akan digunakan dalam menjelaskan
beberapa hal yang dibahas dalam makalah ini.
]
Bab II
Pembahasan
Subkultur Punk Sebagai Suatu Kenakalan Anak
Punk menjadi suatu kultur yang dianggap menyimpang dalam masyarakat.
Penilaian ini dapat terjadi berawal dari semangat memberontak dan anti
kemapanan, sedangkan kemapanan adalah hal yang menjadi tujuan hidup dalam
masyarakat industri. Pemberontakan ini mengakibatkan adanya anggapan dari
masyarakat modern yang biasanya hidup dikawasan perkotaan dan tidak lepas dari
kehidupan industrialisasi bahwa budaya Punk adalah budaya yang menyimpang.
Dari sini akan timbullah suatu bentuk delinquent subculture yang muncul di
masyarakat.
Di Jakarta Komunitas Punk terkadang di justifikasi sebagai pembuat onar
dan kekacauan seperti dalam suatu pengalaman yang dikutip dari laporan
Bisik.com tentang acara punk di Senayan ini :
“Ibu dari seorang teman saya yang kebetulan lewat jalan itu untuk suatu keperluan
bahkan sempat menelepon beberapa orang kerabat dan anaknya untuk
memberitahukan agar mereka pada hari itu menghindari areal Senayan yang
menurutnya “dipenuhi gerombolan massa anak-anak muda yang tidak jelas
juntrungannya di sana”.
Namun memang tidak dipungkiri terkadang terjadi keributan dalam acara-acara
semacam ini seperti dilaporkan Bisik.com:
"melihat segala keributan dan kerusuhan remeh-temeh yang selalu terjadi di even-
even punk rock (masih ingat even STOP THE CONFLICT di Moestopo tahun lalu
? 1000 massa punks versus 3 truk tronton aparat kalap. Skor akhir : 5 anak punk
menderita luka-luka akibat berondongan pelor karet aparat)"
Dari keributan-keributan seperti itu maka akan timbul Prejudice dari
masyarakat bahwa Punk identik dengan kekerasan. Namun Kekerasan itu sendiri
ditentang oleh Punkers atau anak Punk (sebutan bagi anak-anak bergaya hidup
Punk). Bagi mereka kekerasan hanyalah suatu tindakan bodoh namun entah
mengapa selalu terjadi keributan dalam suatu event atau acara musik yang
diadakan oleh mereka.
Kekerasan yang mereka lakukan kadang muncul sebagai pengaruh
minuman keras. Minuman keras sudah tidak terlepas dari kehidupan mereka yang
sebagian besar memang peminum minuman keras.
Kekerasan dalam komunitas mereka sendiri tidak jarang terjadi.
Perkelahian antar anak Punk atau sekedar saling melakukan tindakan kekerasan
ketika mereka berjoget didepan panggung sebuah acara musik punk. Kekerasan
saat mereka menikmati musik ini seperti sudah menjadi sebuah ritual dalam
komunitas punk. Saling memukul dan saling menendang bahkan bergulat
bergulingan menjadi hal yang biasa saat mereka berjoget mengikuti irama lagu.
Hal ini mereka anggap sebagai ungkapan kebebasan. Dalam komunitas ini
kekerasan tidaklah menjadi sesuatu yang anti sosial. Menurut mereka, mereka
melakukan kekerasan biasanya karena mereka diganggu lebih dahulu. Namun
mereka bukanlah sumber dari kekacauan.
Di Jakarta Komunitas Punk yang biasanya bermatapencaharian di bidang
informal. Misalnya berjualan aksesoris perlengkapan pakaian punk, kaset-kaset
punk (yang biasanya bajakan), dan usaha lainnya yang biasanya tidak jauh dari
gaya hidup mereka. Tidak sedikit juga dari mereka yang menjadi polisi cepek di
putaran-putaran jalan dan menjadi pengamen. Mereka dalam kehidupannya
sebagaimana sudut pandang mereka yang anti kemapanan maka dalam hal mata
pencaharian mereka tidak mencari untung yang sebesar-besarnya. Mereka mencari
uang hanya untuk bertahan dan menikmati hidup serta untuk memenuhi
kebutuhan kelompoknya.
Tidak jarang massa Punk menggelar aksi demonstrasi terhadap
pemerintah. Mereka terkadang membawa nama suatu partai dalam aksi-aksinya
dimana banyak massa Punk yang tergabung dalam partai politik tersebut. Punk
juga mempunyai ideologinya sendiri tentang politik. Ideologi mereka dalam
menyikapi proses politik adalah Anarki. Keanarkian ini dianggap sesuai dengan
motto Do It Yourself yang mereka anut. Keanarkian ini yang dimaksud ialah tidak
adanya pemerintahan.
Hal-hal seperti diataslah yang dapat menyebabkan suatu subkultur Punk
dinilai sebagai suatu penyimpangan oleh masyarakat umum. Tidak hanya
perorangannya namun juga kebudayaannya itu sendiri. Kebudayaan ini biasanya
disosialisasikan ke anak-anak muda sekitar 12-18 tahun. Suatu bentuk kebudayaan
yang menawarkan kebebasan dan anti kemapanan yang disosialisasikan kepada
anak usia remaja akan sangat mungkin untuk diserap oleh remaja-remaja itu.
Anggota kebudayaan ini tidak selalu anak-anak muda. Tidak sedikit orang-
orang dewasa yang mungkin sudah tidak bergaya hidup punk namun masih ber
ideologi punk dan bersemangatkan sudut pandang Punk.
Dalam melihat sebuah kebudayaan kita harus melihatnya secara holistik dan
dengan menghilangkan sikap etnosentris. Kebudayaan Punk juga harus dilihat dari
sudut pandang mereka juga. Masing-masing kebudayaan mempunyai suatu nilai-
nilainya sendiri. Walaupun Punk mempunyai kebudayaan yang berbeda dari
masyarakat pada umumnya tetapi mereka tidak dapat dipisahkan sepenuhnya dari
masyarakat umumnya. Karena itulah Budaya ini menjadi suatu subkultur dalam
budaya urban industrialis.
Pengimitasian juga sangat mungkin terjadi dalam proses enkulturasi Punk
karena adanya pengidolaan bintang-bintang musik Punk yang menjadi model bagi
pengimitasi. Pengidolaan yang dialami remaja sangat mungkin menjadi sebuah
proses enkulturasi dimana remaja yang masih labil disosialisasikan suatu bentuk
budaya yang dapat diikutinya. Proses regenerasi budaya (enkulturasi) ini melalui
pembelajaran yang bersifat imitasi dari kebudayaan pendahulunya.
Pengenkulturasian ini tidak terlepas dari peran media yang mendorong terjadinya
proses enkulturasi. Selain melalui musik, proses perambatan nilai juga terjadi
melalui media lain misalnya media cetak. Sistem informasi mereka juga melalui
suatu sistem yang mandiri. Mereka menerbitkan semacam media cetak dalam
bentuk buletin atau majalah independen yang dibuat dengan biaya sendiri yang
seadanya. Media cetak independen ini disebut Zine. Zine -diambil dari kata
Magazine- sebenarnya tidak hanya ada di komunitas Punk namun juga komunitas
minoritas lainnya misalnya komunitas sastra, homosexual atau hacker.
Bentuk-bentuk munculnya budaya punk dapat dilihat sebagai bentuk
bricolage yang dilakukan oleh pemuda dalam menghadapi budaya yang sudah ada
sebelumnya. Pemaknaan baru dari makna yang sudah ada sebelumnya terjadi
dalam bentuk-bentuk fashion statement. Penggunaan peniti, kalung anjing,
asesoris fetisisme dan berbagai bentuk lain juga menunjukkan pemaknaan baru
dari berbagai hal yang sudah memiliki makna sebelumnya. Bentuk-bentuk inilah
yang menjadikan punk sebagai sebuah sistem subkultur yang berbeda.
Pemberitaan Media Massa
Dalam bagian ini akan dibahas mengenai pemberitaan media massa yang
berkaitan dengan tindak kenakalan anak yang dilakukan oleh punk. Setelah
dijelaskan mengenai Subkultur Punk sebagai sebuah bentuk kenakalan anak, maka
pada bagian ini akan dibahas perihal pemberitaannya dalam media massa yang
dapat menimbulkan prasangka dan stereotipe oleh masyarakat terhadap punk.
Dalam sebuah pemberitaan di Tempo Interaktif tanggal 26 Januari 2004,
tertulis dalam judul berita “Polisi Jember Tangkap Tujuh Remaja Punk”. Dalam
kasus ini sebenarnya mereka yang ditangkap tidak melakukan tindakan melanggar
hukum pidana apapun. Mereka ditangkap karena adanya laporan warga yang
merasa terganggu dengan keberadaan yang sudah dianggap meresahkan.
Penangkapan ini tidak akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini. Yang menjadi
fokus permasalahan adalah pemberitaan yang mengidentifikasikan mereka sebagai
“remaja punk”. Pengidentifikasian “remaja punk” dapat menimbulkan respon dari
masyarakat berupa anggapan bahwa perilaku setiap punk adalah suatu perilaku
yang menyimpang.
Pada kasus pemberitaan lain juga dapat dilihat contoh serupa. Dari data yang
diambil pada Liputan6.com yang merupakan situs internet dari program berita
televisi Liputan 6 di SCTV, pernah menyiarkan berita dengan headline berjudul
“Memeras, Tujuh Punkers Dicokok”. Pada pemberitaan ini bahkan wajah anak
ditampilkan dan pada pemberitaannya dijelaskan bahwa mereka adalah anak-anak
bergaya punk dengan definisi tentang rambut serta pakaian mereka. Pemberitaan
semacam ini juga dapat menimbulkan pandangan yang sama terhadap orang yang
bergaya sama.
Beberapa kasus lain yang juga serupa misalnya pemberitaan pikiranrakyat.com
yang berjudul “Polres Amankan Anak Punk”. Selain dalam headline biasanya
identitas punk juga tercantum dalam isi berita seperti terjadi dalam berita berjudul
“Seorang Pemuda Tewas dengan Jarum Suntik”. Dalam berita tersebut dijelaskan
tentang banyaknya tindikan dan gaya berpakaian pemuda tersebut yang dijelaskan
sebagai bergaya punk.
Kasus-kasus pemberitaan tersebut dapat menimbulkan reaksi dalam masyarakat
yang semakin menganggap punk sebagai sebuah penyimpangan. Reaksi yang
dijelaskan oleh Cohen dan Young muncul dalam bentuk munculnya anggapan
menyimpang dari masyarakat yang semakin besar. Media massa dengan
kemampuannya menjangkau banyak orang memiliki dampak yang besar dalam
pembentukan opini. Pembentukan opini akan mendorong terbangunnya citra punk
sebagai penyimpangan. Dampak lebih lanjutnya adalah prasangka atau stereotip
terhadap mereka yang memiliki identitas punk.
Sementara itu prasangka sudah terjadi dalam masyarakat seperti diberitakan dalam
kasus yang dimuat Tempo Interaktif, bahwa beberapa punk ditangkap tanpa
tuduhan pelanggaran pidana apapun. Penangkapan dilakukan hanya berdasar
laporan warga yang menganggap perilaku mereka sudah meresahkan. Hal ini tentu
sangat disayangkan karena banyak dari mereka yang masih tergolong anak.
Media massa memerlukan upaya untuk membuat beritanya semakin menarik.
Dengan pencantuman identitas anak sebagai punk maka berita tersebut
mempunyai nilai jual yang lebih karena memiliki nilai sosial yang lebih besar
dimana muncul penampakan perbedaan nilai kultural yang terjadi dalam bentuk
subkultur punk. Keunikan punk juga menjadi nilai tambah bagi nilai jual berita
tersebut.
Bab III
Kesimpulan
Punk sebagai suatu bentuk Kebudayaan tidak dapat begitu saja dianggap
sebagai suatu penyimpangan. Namun apabila kita melihat dari sudut pandang
Kriminologi maka Kebudayaan Punk dapat dikatakan sebagai suatu bentuk
penyimpangan. Bentuk penyimpangan ini dapat meliputi seluruh subkulturnya
sehingga menjadikan subkultur punk sebagai suatu penyimpangan subkultur
(delinquent Subculture). Penyimpangan ini dipelajari dan dialirkan melalui
budaya dan akibat dari suatu perbedaan kesempatan dalam meraih kesuksesan .
Penyimpangan itu sendiri terjadi akibat adanya prasangka (prejudice) dari
masyarakat umum yang menyebabkan terjadinya suatu proses labelling terhadap
subkultur Punk. Pelabelan ini juga tidak dapat disalahkan karena masyarakat
umum juga mempunyai suatu sistem nilai dan norma yang menyebabkan suatu
subkultur yang berbeda dari norma-norma itu akan dianggap menyimpang.
Penyimpangan yang terjadi lebih disebabkan adanya perbedaan nilai-nilai
budaya Punk yang berseberangan dengan budaya masyarakat umum yang lebih
dominan dalam masyarakat.
Salah satu penyebab semakin terasanya adanya penyimpangan adalah dampak
dari media massa. Dalam pemberitaan kriminal sering terjadi pengidentifikasian
pelaku kenakalan anak yang bergaya punk sebagai punk. Hal ini menumbuhkan
pendangan di masyarakat bahwa subkultur punk memiliki nilai perilaku yang
termasuk nakal.
Anak seharusnya dapat dilindungi dari prasangka dan stereotip yang berkaitan
dengan subkulturnya. Pemberitaan berita kriminal yang menunjukkan identitas
punk berpotensi muncul prasangka bagi setiap anak yang bergaya punk. Sebagai
subkultur pemuda, punk memang memiliki nilai yang berbeda dengan budaya
arus utama (mainstream). Bricolage yang terjadi tidak seharusnya mengorbankan
anak sebagai korban prasangka dan stereotip. Prasangka dan stereotip dapat
menyebabkan anak berurusan dengan sistem peradilan yang sebenarnya tidak
perlu dijalani anak tersebut karena memang mereka tidak melakukan pelanggaran
apapun seperti yang terjadi dalam pemberitaan tempointeraktif.
Perbedaan nilai yang ada antara subkultur punk dengan masyarakat umum yang
berbudaya arus utama seharusnya dapat lebih diterima sebagai bentuk budaya
yang dilihat secara holistik. Dengan itu maka nilai punk yang berbeda dapat
dipahami oleh masyarakat tanpa menimbulkan konflik. Dalam hal ini kita harus
dapat menghargai budaya Punk namun kita juga harus menghargai budaya yang
berkembang dalam masyarakat luas. Media juga harus dapat menghargai
perbedaan tersebut tanpa membuat pemberitaan yang dapat memunculkan
prasangka dan stereotip terhadap punk dalam masyarakat. Kita harus bisa
meminimalisir konflik yang dapat terjadi antara masyarakat umum dan
masyarakat Punk. Masing-masing kebudayaan harus arif dalam memandang
kebudayaan lainnya.
Daftar Pustaka
Barker, Chris, Cultural Studies : Teori dan Praktek, Kreasi Wacana : Yogyakarta
2004
Board Riders Magazine, ‘Dressed to Kill’ Vol. 1 Mei-Juni 2002
Fornatale, Pete, The Story of Rock ‘N’ Roll, New York: William Morrow and
Company Inc, 1987
Lull, James, Media, Komunikasi, Kebudayaan : Suatu Pendekatan Global,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1997
‘Memeras, Tujuh Punkers dicokok’ http://www.liputan6.com/
view/11,113493,1,0,1133562492.html
Nitibaskara, Prof. Dr. Tubagus Ronny Rahman., Ketika Kejahatan Berdaulat,
Jakarta: Peradaban, 2001.
Pickles, Jo. 'Punks for Peace'. Inside Indonesia, 2000.
http://www.insideindonesia.org
‘Polisi Jember Tangkap Tujuh Remaja Punk’
www.tempointeractive.com/hg/nusa/ jawamadura/2004/01/26/brk,2004012649,Id.
html
Santoso, Topo. SH, MH. Dan Eva Achjani Zulfa,SH., Kriminologi, Jakarta:
Rajawali Press, 2001.
Schalit, Joel. Maximum False Consciousness: The Political Economy of
American Punk. 1994. http://www.eserver.org/bs/
Sheikh Hafizur Rahman Karzon, ‘Juvenile Delinquency, An Inquiry Into The
Causes’ available at http://www.thedailystar.net/law/200308/02/
Thiya, ‘Keep Punk Alive’, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/belia/
230304/10selancar.htm
rolley Magazine, ‘Local Resistance Melawan Terhadap apa?’, Vol.2 #9 Januari
2002.
Trolley Magazine, ‘Sing the Cause’, Vol 2 #10 Maret-April 2002.
Trolley Magazine, ‘Zine’, Vol.2 #9 Januari 2002.