longsor sumedang

23
TUGAS DISASTER PLAN TANAH LONGSOR DI SUMEDANG DISUSUN OLEH : Azmi Ikhsan Azhary 030. 09. 043 PEMBIMBING : Dr. Gita Tarigan, MPH KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PERIODE `16 MARET 2015- 23 MEI 2015 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA, 2015

Upload: azmi-ikhsan-azhary

Post on 17-Dec-2015

221 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

tentang longsor

TRANSCRIPT

TUGAS DISASTER PLANTANAH LONGSOR DI SUMEDANG

DISUSUN OLEH :

Azmi Ikhsan Azhary030. 09. 043PEMBIMBING :

Dr. Gita Tarigan, MPHKEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PERIODE `16 MARET 2015- 23 MEI 2015FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA, 2015I. Tempat : SumedangLetak Geografis dan Luas WilayahKabupaten Sumedang terletak antara 644-7083 Lintang Selatan dan 10721-10821 Bujur Timur, dengan Luas Wilayah 152.220 Ha yang terdiri dari 26 kecamatan dengan 272 desa dan 7 kelurahan. Kabupaten Sumedang memiliki batas wilayah administratif sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kabupaten Indramayu

Sebelah Selatan : Kabupaten Garut

Sebelah Barat : Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang

Sebelah Timur : Kabupaten Majalengka

Kecamatan paling luas wilayahnya adalah Kecamatan Buahdua dan yang paling kecil luas wilayahnya adalah Kecamatan Cisarua. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

TopografiKabupaten Sumedang merupakan daerah berbukit dan gunung dengan ketinggian tempat antara 25 m 1.667 m di atas permukaan laut. Sebagian besar Wilayah Sumedang adalah pegunungan, kecuali di sebagian kecil wilayah utara berupa dataran rendah. Gunung Tampomas (1.667 m), berada di Utara Perkotaan Sumedang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3.2 di bawah ini.

Sumedang sebagai salah satu Kabupaten di provinsi Jawa Barat letaknya di apit oleh Kabupaten Indramayu dan Subang di sebelah utara, Kabupaten Bandung di sebelah barat, Kabupaten Garut di sebelah selatan dan Kabupaten Majalengka di sebelah timur. Letak astronomisnya antara garis meridian 750 bujur barat, 6846 bujur timur, 123 lintang selatan dan 143 lintang utara. Luas wilayah Kabupaten Sumedang sebesar 152.220 ha.

Kabupaten Sumedang merupakan daerah yang berbukit-bukit dengan ketinggian tempat antara 25-1500 m dpl serta beriklim tropis. Lebih dari 85 persen wilayah Kabupaten Sumedang memiliki ketinggian di atas100 m dpl dan hanya sebagian kecil wilayahnya yang berada di bawah 100 m dpl.

Curah hujan tertinggi tercatat 2.422 m dan hari hujan sebanyak 138 hari. Daerah dengan curah hujan tertinggi terutama terdapat di Kecamatan Tanjungkerta, daerah dengan curah hujan terrendah berada di Kecamatan Jatigede dengan curah hujan sebanyak 1.230 m dan hari hujan sebanyak 68 hari

Sebagian besar tanah di Kabupaten Sumedang merupakan tanah berjenis vulkanik dengan luas sebesar 101.397 ha. Selain itu ada pula beberapa tempat yang memiliki tanah berjenis aluvial sebesar 19.762 ha dan tektonik sebesar 34.569 ha.II. Hazard

Sumedang terletak di daerah dataran tinggi, jalan utama pun banyak melewati lereng gunung, serta penduduk banyak yang tinggal di kaki gunung. Pohon-pohon yang memegang tanah secara kuat (contoh, pohon bambu) tidak banyak tertanam. Selain itu, pengamanan tambahan seperti pembuatan pagar penahan tanah belum semua terpasang.1. Hujan Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukan tanah dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Ketika hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intesitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Bila ada pepohonan di permukaanya, tanah longsor dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi mengikat tanah. 2. Lereng Terjal Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuknya karena pengikisan air sungai, mata air, air laut dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180 apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar. 3. Tanah yang kurang padat dan tebal Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanh liat dengan ketebalan lebih dari 2.5 m dan sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini memilki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlau panas. 4. Batuan yang kurang kuat Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terjadi pada lereng yang terjal. 5. Jenis tata lahan Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah menjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsor lama. 6. Getaran Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin dan getaran lalu lintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai dan dinding rumah menjadi retak. 7. Susut muka air danau atau bendungan Akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan lereng menjadi hilang, demgan sudut kemiringan waduk 220 mudah terjadi lonsoran dan penuruna tanah yang biasanya diikuti oleh retakan. 8. Adanya beban tambahan Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng dan kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama disekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering terjadinya penurunan dan retakan yang arahnya kea rah lembah. 9. Pengikisan/erosi Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai kearah tebing, selain itu akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi terjal. 10. Adanya material timbunan pada tebing Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah asli yang berada dibawahnya.III. Vulnerability

A. Fisik

Topografi kemiringan lahan wilayah Kabupaten Sumedang dapat diklasifikasikan atas 5 kelas, yaitu :

1. 0 8%, merupakan daerah datar hingga berombak dengan luas area sekitar 12,24%. Kemiringan wilayah dominan di bagian timur laut, barat laut, barat daya serta kawasan perkotaan;

2. 8 15%, merupakan daerah berombak sampai bergelombang dengan area sekitar 5,37%. Kemiringan wilayah dominan di bagian tengah ke utara, barat laut dan bagian barat daya;

3. 15 25%, merupakan daerah bergelombang sampai berbukit dengan komposisi area mencakup 51,68%. Kemiringan lereng tipe ini paling dominan di Wilayah Kabupaten Sumedang. Persebarannya berada di bagian tengah sampai ke tenggara, bagian selatan sampai barat daya dan bagian barat;

4. 25 40%, merupakan daerah berbukit sampai bergunung dengan luas area sekitar 31,58%. Kemiringan lereng tipe ini dominan di wilayah Kabupaten Sumedang bagian tengah, bagian selatan dan bagian timur;

5. Lebih dari kemiringan 40%, merupakan daerah bergunung dengan luas area mencakup sekitar 11,36%. Kemiringan lereng tipe ini dominan di wilayah Kabupaten Sumedang bagian selatan, bagian timur dan bagian barat daya.

B. Sosio, Ekonomi dan Pendidikan

Permasalahan atau issue utama kependudukan Sumedang adalah penyebarannya belum merata. Bagian pedalaman merupakan kelompok-kelompok kecil dan terpencar.

Selain itu tingkat pendidikan penduduknya umumnya masih rendah sehingga mempengaruhi kualitas tenaga kerja. jika dilihat dari tingkat perkembangannya menunjukkan penurunan yang tidak signifikan sampai dengan tahun 2002, sedangkan jumlah penduduk yang lulus SD tetap tinggi, yaitu berkisar 30-35% dengan tingkat kecendrungan perkembangan merata. Penduduk yang dengan tingkat pendidikan tamat SMP dan SMA juga menunjukkan jumlah yang tetap dan merata tidak terlihat adanya tingkat perkembangan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan kualitas tenaga kerja dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 menunjukkan tingkat yang tetap.

IV. Disaster Risk Management Cycle

Tanah longsor merupakan proses penurunan muka tanah yg terjadi secara alamiah karena konsolidasi pada lapisan tanah dangkal dan lapisan tanah lunak maupun karena penurunan tekanan air tanah pada sistem aquifer di bawahnya akibat pengaruh kegiatan manusia di atas permukaan tanah dan pengambilan air tanah. Masalahnya jika ada orang atau pemukiman di atas tanah yang longsor atau di bawah tanah yang jatuh maka sangat berbahaya. Tidak hanya tanah saja yang longsor karena batu, pohon, pasir, dan lain sebagainya bisa ikut longsor menghancurkan apa saja yang ada di bawahnya.

Tas Siaga dan Bunker Persediaan

Penting untuk selalu menyiapkan diri atas kemungkinan terburuk dari suatu bencana. Tas siaga adalah teman yang akan meringankan beban pasca bencana. Selain itu, mencontoh penduduk Jepang, mereka selalu menyiapkan pasokan air dan makanan (cepat saji) untuk keadaan darurat. Checklist perlengkapan yang harus disiapkan dalam tas siaga dan bunker persediaan dapat dilihat pada lampiran. Penanggulangan Bencana Longsor

1. Mengubah Geometri KelerenganPerubahan geometri lereng ini pada prisnsipnya bertujuan untuk mengurangi gaya pendorong dari masa tanah atau gaya-gaya yang menggerakan yang menyebabkan gerakan lereng. Perbaikan dengan perubahan geometri lereng ini meliputi pelandaian kemiringan lereng dan pembuatan trap-trap/bangku/teras (benching) dengan perhitungan yang tepat.

2. Mengendalikan Aliran Air PermukaanAir merupakan salah satu faktor penyumbang ketidakmantapan lereng, karena akn meninggikan tekanan air pori. Pengendalian air ini dapat dilakukan dengan cara sistem pengaturan drainase lereng baik dengan drainase permukaan maupun bawah permukaan. Pemilihan metode ini cocok digunakan dalam upaya pencegahan tetapi jika pada sebelumnya telah terjadi gerakantanah maka diperlukan beberapa metode penanggulangan sebagai pendukung.

3. Penanaman Pohon Dilajur Rawan LongsorTumbuhan dapat digunakan untuk mengontrol erosi pada tanah yang tidak stabil. Metode penanaman ini bertujuan untuk melindungi lereng, karena akar-akar pohon akan menyerap air dan mencegah air berinfiltrasi ke dalam zona tanah tidak stabil. Akar-akaran dalam kelompoknya membentuk rakit yang menahan partikel tanah tetap di tempatnya. Dalam kondisi demikian umunua akar-akar tumbuhan menambah kuat geser tanah.

4. SementasiGroutingmerupakan metode untuk memperkuat tanah/batuan atau memperkecil permeabilitas tanah/batuan dengan cara menyuntikkan pasta semen atau bahan kimia ke dalam lapisan tanah/batuan.

Groutingmerupakan suatu proses pemasukan suatu cairan dengan tekanan kedalam rongga atau pori rekahan dan kekar pada batuan yang dalam waktu tertentu cairan tersebut akan menjadi padat dan keras secara fisika maupun kimiawi, dengan tujuan untuk menurunkan permeabilitas, meningkatkan kuat geser, mengurangi kompresibilitas, mengurangi potensi erosi internal terutama pada pondasi alluvial.

Groutingadalah penyuntikan bahan semi kental (slurry material) ke dalam material tanah/batuan dengan bertekanan dan melalui lubang bor spesial, dengan tujuan menutup diskontinuitas terbuka rongga-rongga dan lubang- lubang pada lapisan/strata yang dituju (Pangesti, 2005)

5. Betonisasi

Ya cara ampuh cuman ndikit mahal dari Grouting yaitu dengan cara pembetonan namun cara ini hanya bersifat sementara karena hanya menguatkan komposisi tanah luarnya saja sedangkan dalamnya sama saja jadi bersifat sementara saja.

KONSEP PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR

Konsep Pengendalian

Seperti halnya penanganan kawasan rawan banjir, dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan rawan banjir, terdapat 2 (dua) pendekatan pengendalian yang dilakukan, yaitu:

1. Pengendalian Struktural (Pengendalian Terhadap Longsor)

Pelaksanaan pengendalian ini dilakukan melalui kegiatan rekayasa teknis, terutama dalam penyediaan prasarana dan sarana serta penanggulangan longsor (salah satu literatur adalah Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 378/KPTS/1987 Lampiran Nomor 1 tentang Petunjuk Perencanaan Penanggulangan Longsoran);

2. Pengendalian Non Struktural (Pengendalian Terhadap Pemanfaatan Ruang)

Kegiatan ini dilakukan untuk meminimalkan kerugian yang terjadi akibat bencana banjir, baik korban jiwa maupun materi, yang dilakukan melalui pengelolaan daerah pengaliran, pengelolaan kawasan banjir, flood proofing, penataan sistem permukiman, sistem peringatan dini, mekanisme perijinan, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan upaya pembatasan (limitasi) pemanfaatan lahan dalam rangka mempertahankan keseimbangan ekosistem.

Pedoman yang disusun merupakan bentuk pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana banjir, yang perlu dilakukan sebagai suatu upaya untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah.

Pembagian Ruang Yang Mempunyai Potensi Rawan Bencana Longsor dan Banjir

Pada Gambar 3.1 disajikan konsep pembagian ruang untuk kawasan yang mempunyai potensi rawan bencana banjir dan longsor, yaitu:

1. Kawasan Rawan Bencana Longsor Meliputi Kawasan Perbukitan yang berfungsi sebagai Kawasan Lindung;

2. Kawasan Rawan Bencana Banjir

Pembagian Ruang Kawasan Potensi Rawan Bencana Banjir dan Longsor Berdasarkan gambaran tersebut terlihat adanya keterkaitan antara pola penanganan kawasan rawan longsor dan rawan banjir, karena pola pengelolaan kawasan rawan longsor di bagian hulu, mempunyai dampak besar terhadap kawasan rawan banjir yang ada di bagian hilir.

3.3 Kebijakan Pokok Pemanfaatan Ruang

Rencana tata ruang berisi kebijakan pokok pemanfaatan ruang berupa struktur dan pola pemanfaatan ruang dalam kurun waktu tertentu. Pola pemanfaatan ruang disusun untuk mewujudkan keserasian dan keselarasan pemanfaatan ruang bagi kegiatan budidaya dan non budidaya (lindung). Sedangkan struktur ruang dibentuk untuk mewujudkan susunan dan tatanan pusat-pusat permukiman yang secara hirarkis dan fungsional saling berhubungan.

Pemanfaatan ruang diwujudkan melalui program pembangunan, dan pola pemanfaatan ruang yang mengacu pada rencana tata ruang akan menciptakan terwujudnya kelestarian lingkungan. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana longsor dilakukan dengan mencermati konsistensi (kesesuaian dan keselarasan) antara rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang.

Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

Secara normatif dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, pasal 33 menyatakan bahwa kawasan rawan bencana, sebagai salah satu kawasan lindung, diidentifikasi sering berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tanah longsor. Dengan demikian, pengelolaan kawasan rawan bencana longsor sama dengan pengelolaan kawasan lindung.

Pada pasal 37 Keppres RI Nomor 32 Tahun 1990, pengendalian kawasan lindung, terutama dikaitkan dengan kawasan rawan longsor, meliputi:

(1) Di dalam kawasan lindung dilarang dilakukan kegiatan budidaya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung;

(2) Kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup, dikenakan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;

(3) Apabila menurut Analisis Mengenai Dampak Lingkungan kegiatan budi daya mengganggu fungsi lindung, harus dicegah perkembangannya, dan fungsi sebagai kawasan lindung dikembalikan secara bertahap.

Berdasarkan hal tersebut, pengelolaan kawasan rawan bencana longsor harus memperhatikan prinsip perlindungan terhadap keseimbangan ekosistem dan jaminan terhadap kesejahteraan masyarakat, yang penerapannya harus dilakukan secara seimbang atau harmonis.

Sehubungan dengan kedudukannya sebagai bagian dari rencana tata ruang, maka konsep dasar pengelolaan kawasan rawan bencana longsor mengacu pada :

1. Kawasan rawan bencana longsor yang mutlak harus dilindungi, kebijakan harus secara ketat mempertahankan fungsi kawasan tersebut sebagai kawasan lindung;

2. Kawasan rawan bencana longsor yang tidak mengganggu fungsi lindung dan masih dapat dibudidayakan dengan kriteria dan persyaratan tertentu, kebijakan harus memberi peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan kawasan tersebut untuk kegiatan budidaya, dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku dan tetap mempertahankan kawasan tersebut sebagai kawasan yang mempunyai fungsi lindung.

Permasalahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor

Permasalahan banjir dan longsor yang terjadi selama ini, sangat terkait dengan adanya fenomena alam dan perilaku manusia dalam penyelenggaraan/ pengelolaan alam. Konsep dasar yang harus dipahami dalam penyelenggaraan/ pengelolaan longsor adalah:

1. Perlu adanya pemahaman dasar terkait dengan pengertian dan ruang lingkup keseimbangan ekosistem, yang mempunyai limitasi pemanfaatan;

2. Diperlukan pola pengelolaan ruang kawasan rawan bencana longsor, sebagai langkah nyata dalam mendukung upaya pengendalian;

3. Terjadinya penyimpangan terhadap konsistensi, terkait dengan kesesuaian dan keselarasan, antara rencana tata ruang dengan pemanfaatannya, baik pada kawasan hulu maupun hilir.

Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor

Pola pemanfaatan ruang kawasan lindung sangat mendukung pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor. Bentuk pengendalian pemanfaatan ruang, baik pada bagian kawasan hulu maupun hilir, harus bersinergi satu sama lain, sebagai kesatuan paket kebijakan.

Tujuan kebijakan pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor adalah:

1. Pengendalian ruang untuk pemanfaatan, yang sangat terkait dengan pola pengelolaan kawasan di sebelah hulu.

2. Meminimumkan korban jiwa dan harta benda, apabila terjadi bencana longsor.

Sedangkan sasaran yang diharapkan adalah tersedianya acuan bagi pemerintah daerah dalam pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan yang mempunyai potensi atau rawan terhadap longsor.

Ketidaksesuaian antara RTRW dan pembangunan (pemanfaatan ruang), mempunyai kontribusi tinggi sebagai pemicu terjadinya longsor di suatu kawasan. Disamping itu ketetapan kawasan rawan bencana longsor sebagai kawasan lindung, tidak sepenuhnya dapat diterapkan di lapangan, mengingat adanya beberapa wilayah yang memanfaatkannya sebagai kawasan budi daya, sehingga terjadi ketidaksesuaian dalam pemanfaatan.

Dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana longsor, diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:

Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor

(1) Penetapan tipologi kawasan;

(2) Penetapan zona tingkat kerawanan kawasan pada setiap tipologi;

(3) Mekanisme perijinan;

(4) Sosialisasi;

(5) Insentif dan Disinsentif;

(6) Penyusunan aspek pendukung untuk mengoptimalkan pengendalian panjir, terdapat 2 (dua) pendekatan pengendalian yang dilakukan, yaitu:

1. Pengendalian Struktural (Pengendalian Terhadap Longsor)

Pelaksanaan pengendalian ini dilakukan melalui kegiatan rekayasa teknis, terutama dalam penyediaan prasarana dan sarana serta penanggulangan longsor. 2. Pengendalian Non Struktural (Pengendalian Terhadap Pemanfaatan Ruang)

Kegiatan ini dilakukan untuk meminimalkan kerugian yang terjadi akibat bencana banjir, baik korban jiwa maupun materi, yang dilakukan melalui pengelolaan daerah pengaliran, pengelolaan kawasan banjir, flood proofing, penataan sistem permukiman, sistem peringatan dini, mekanisme perijinan, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan upaya pembatasan (limitasi) pemanfaatan lahan dalam rangka mempertahankan keseimbangan ekosistem.

Pedoman yang disusun merupakan bentuk pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana banjir, yang perlu dilakukan sebagai suatu upaya untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah.

Pembagian Ruang Kawasan Potensi Rawan Bencana Banjir dan Longsor Berdasarkan gambaran tersebut terlihat adanya keterkaitan antara pola penanganan kawasan rawan longsor dan rawan banjir, karena pola pengelolaan kawasan rawan longsor di bagian hulu, mempunyai dampak besar terhadap kawasan rawan banjir yang ada di bagian hilir.

Identifikasi Kemungkinan Peristiwa dan Penyakit Setelah Longsor Fraktur Cedera Kepala Diare Tetanus Trauma berat Infeksi Saluran Pernafasan