sejarah hubungan kekerabatan suku bugis dengan … · poleang”, adalah asli, merupakan hasil...
TRANSCRIPT
SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN
SUKU MORONENE DI WILAYAH POLEANG
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan pada Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah
OLEH:
ANSAR SAENAL
A1A211006
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
ii
HALAMAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Sejarah
Hubungan Kekerabatan Suku Bugis dengan Suku Moronene di Wilayah
Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan
oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di perguruan tinggi manapun,
dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis oleh orang lain, kecuali
secara tertulis dikutip dalam skripsi ini dan disebutkan sumber kutipan dan daftar
pustakanya.
Apabila di kemudian hari ditemukan bahwa dalam naskah skripsi ini dapat
dibuktikan adanya unsur-unsur plagiasi, saya bersedia skripsi ini digugurkan dan
gelar akademik yang telah saya peroleh dibatalkan, serta diproses menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kendari, 11 September 2018
Yang Membuat Pernyataan,
ANSAR SAENAL
NIM. A1A211006
iii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi berjudul
Sejarah Hubungan Kekerabatan Suku Bugis dengan Suku Moronene
di Wilayah Poleang
Oleh
ANSAR SAENAL
NIM. A1A211006
telah disetujui untuk diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana
pada Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Haluoleo.
Kendari, 11 September 2018
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. H. Anwar, M.Pd. Pendais Hak, S.Ag, M.Pd.
NIP. 19611231 198703 1022 NIP. 19770829 200812 1 002
Mengetahui,
Ketua Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah
Pendais Hak, S.Ag, M.Pd.
NIP. 19770829 200812 1 002
iv
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI
SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN
SUKU MORONENEDI WILAYAH POLEANG
Oleh
ANSAR SAENAL
NIM. A1A211006
Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Skripsi Jurusan/Program
Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Haluoleo pada hari Selasa tanggal 11 September 2018, berdasarkan Surat
Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo
Nomor: 3607/UN29.5/PP/2018 tanggal 06 September 2018 dan telah dinyatakan
Lulus.
PANITIA UJIAN
Ketua : Dr. H. Mursidin T., M.Pd. ( ....................................... )
Sekretaris : Drs. La Batia, M.Hum. ( ....................................... )
Anggota : 1. Prof. Dr. H. Anwar, M.Pd. ( ....................................... )
2. Dr. Hj. Darnawati, S.Pd.,M.Pd. ( ....................................... )
3. Dra. Dade Prat Untarti, M.Si. ( ....................................... )
4. Pendais Hak, S.Ag.,M.Pd. ( ....................................... )
Kendari, 11 September 2018
Disahkan oleh
Dekan FKIP Universitas Halu Oleo,
Dr. H. Jamiludin, M.Hum.
NIP. 19641030 198902 1 001
v
ABSTRAK
ANSAR SAENAL (A1A2 10 026). Sejarah Hubungan Kekerabatan Suku Bugis
Dengan Suku Moronene di Wilayah Poleang. Skripsi. Program
Studi/Jurusan Pendidikan Sejarah. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan. Universitas Halu Oleo. Dibimbing oleh : (1) Prof. Dr. H.
Anwar, M.Pd., (2) Pendais Hak, S.Ag, M.Pd.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mendelaporan hasil penelitiankan
proses diaspora suku Bugis di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana, (2) Untuk
mendelaporan hasil penelitiankan latar belakang hubungan kekerabatan Suku
Bugis dan Suku Moronene dibina di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana, (2)
Untuk memaparkan pola hubungan kekerabatan suku Bugis dan suku Moronene
di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana.
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Poleang Kabupaten Bombana pada
tanggal 2 - 30 Januari tahun 2018. Penelitian ini menggunakan pendekatan
strukturis yang mempelajari dua domain yaitu domain peristiwa (event) dan
domain struktur. Sumber data penelitian ini berasal dari tiga kategori sumber
sejarah yaitu: sumber tertulis, sumber lisan, dan sumber visiual. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) pengumpulan sumber (Heuristik), 2)
kritik sumber eksternal dan internal, 3) penulisan (historiografi).
Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Proses diaspora suku
Bugis di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana dimulai sejak Abad XVIII. Raja
Bone memberangkatkan 40 kepala keluarga menuju wilayah kerajaan Moronene
dibekali segenggam tanah Bangkala. Tanah tersebut di tanam di halaman istana
raja Suu dan menjadi tanda ikatan persahabatan antara kerajaan Bone dan kerajaan
Moronene. Migrasi suku Bugis juga terjadi pada masa perjuangan DI/TII di
Poleang. (2) Latar belakang hubungan kekerabatan Suku Bugis dan Suku
Moronene dibina di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana adalah hubungan kerja
sama dua kerajaan, yang diperkuat dengan “Sumpah Tandu Ale”. Inti dari sumpah
ini adalah mengutuk sipapun saja yang menimbulkan pertentangan/konflik antara
dua suku yang hidup berdampingan, (3) Pola hubungan kekerabatan suku Bugis
dan suku Moronene di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana adalah membangun
kekuatan politik pada masa sebelum kemerdekaan dan diperkuat dengan
hubungan kawin-mawin antara dua suku berbeda serta kerja sama dalam bidang
ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang merupakan
salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Studi Sejarah Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo berjudul “Sejarah Hubungan
Kekerabatan Suku Bugis Dengan Suku Moronene di Wilayah Poleang”.
Penulis mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan kepada
Prof. Dr. H. Anwar, M.Pd., selaku pembimbing I, dan Pendais Hak, S.Ag, M.Pd.,
selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan perhatiannya dalam
membimbing dan mengarahkan penulis. Berkat bimbingan beliaulah sehingga
Skripsi ini dapat tersaji seperti sekarang ini.
Berbagai pihak telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam
penyusunan Skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu
dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Zamrun F, S.Si., M.Si., M.,Sc., selaku Rektor
Universitas Halu oleo.
2. Dr. H. Jamiludin, M.Hum., selaku Dekan FKIP Universitas Halu Oleo.
3. Pendais Hak, S.Ag.,M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP
Universitas Halu Oleo.
4. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan bekal pengetahuan dan nasehat
kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Halu Oleo.
vii
5. Seluruh Informan yang telah bersedia memberikan informasi berkaitan dengan
data penelitian.
6. Kepada Ayahanda dan Ibunda, yang telah memberi support dan doa yang
penuh keikhlasan, juga keluarga besarku yang telah memberikan dukungan
dan motivasi selama menempuh pendidikan di Universitas Halu Oleo
khususnya pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program
Studi/Jurusan Pendidikan Sejarah.
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik
penyajian maupun teknik penulisan karena keterbatasan kapasitas penulis. Untuk
itu koreksi dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya. Akhir
kata, semoga laporan hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan ilmu
pengetahuan kepada penulis juga kepada pembaca sekalian.
Kendari, 11 September 2018
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ....................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 6
A. Konsep Sejarah ........................................................................ 6
B. Konsep Migrasi ....................................................................... 8
C. Kekerabatan ............................................................................ 11
D. Hubungan Kekerabatan .......................................................... 18
E. Kekerabatan antar Etnis di Sulawesi Tenggara ...................... 28
F. Penelitian Terdahulu ............................................................... 34
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................... 37
A. Tempat dan Waktu Penelitian.................................................. 37
B. Jenis dan Pendekatan Penelitian .............................................. 37
C. Sumber Data Penelitian ........................................................... 37
D. Batasan Temporal dan Spasial ................................................ 38
E. Heuristik ................................................................................. 38
F. Kritik Sumber .......................................................................... 39
G. Historiografi ............................................................................ 41
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...................... 42
A. Gambaran Geografi Umum Poleang ....................................... 42
B. Gambaran Demografi Umum Poleang .................................... 43
C. Awal Mula Kedatangan Suku Bugis di Poleang ..................... 45
ix
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................... 48
A. Proses diaspora suku Bugis di Wilayah Poleang
Kabupaten Bombana ............................................................... 48
B. Latar belakang hubungan kekerabatan Suku Bugis dan
Suku Moronene dibina di Wilayah Poleang Kabupaten
Bombana .................................................................................. 55
C. Pola hubungan kekerabatan suku Bugis dan suku
Moronene di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana.............. 61
BAB VI PENUTUP .................................................................................... 70
A. Kesimpulan ............................................................................. 70
B. Saran ....................................................................................... 71
C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran
Sejarah di Sekolah .................................................................. 71
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 74
LAMPIRAN ................................................................................................... 77
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Profil Informan .......................................................................... 77
Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian ............................................................. 80
Lampiran 3. Peta Lokasi Penelitian ................................................................ 85
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangan kehidupan manusia baik masa lampau, masa
sekarang, dan masa yang akan datang diwarnai oleh berbagai kegiatan perubahan
yang berjalan terus menerus. Perubahan ini membutuhkan hadirnya bidang ilmu
sejarah yang khusus mengkaji perubahan dan perkembangan yang dilakukan oleh
manusia pada setiap kurun waktu.
Kehadiran ilmu sejarah sangat penting artinya sebab dengan mempelajari
sejarah, berarti kita mengetahui lebih jauh dari perkembangan umat manusia di
muka bumi beserta segala kejadiannya termasuk perkembangan seluruh
aktifitasnya yang akan menuju kurun waktu yang berkesenambungan antara masa
lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang.
Sebagai konsekuensi dari tiga dimensi sejarah tersebut adalah terjadi suatu
perubahan ke arah perkembangan secara bertahap dalam aspek kehidupan
manusia termasuk bidang budaya. Oleh karena itu dalam mengkaji berbagai
aktivitas yang dilakukan oleh manusia pada masa lampau dalam usaha untuk
mempertahankan hidupnya dengan melakukan berbagai upaya yang lambat laun
akan melahirkan suatu gaya hidup dan mata pencaharian masyarakat yang baru.
Sejak jaman purba sampai sekarang, perkembangan manusia selalu
dipengaruhi oleh kegiatan migrasi. Pada masa kini, lebih banyak orang bermigrasi
dari pada jaman-jaman dahulu. Sekarang ada sekitar 192 juta orang yang tidak
tinggal di negara lahir, yaitu kira-kira 3% populasi dunia. Migrasi ini terjadi
2
dalam bentuk dan skala yang bermacam-macam: intercontinental antara benua
yang berbeda, intracontinental di dalam satu benua, dan interregional di dalam
satu kawasan atau Negara (Keely, 2002:67).
Pada umumnya ada tiga kondisi yang menyebabkan perpindahan dari
suatu wilayah ke wilayah lain. Ketiga kondisi tersebut adalah kemiskinan,
rendahnya kesempatan kerja dan rendahnya tingkat upah persatuan tenaga kerja.
Kondisi ekonomi tersebut kemudian mendorong mereka untuk mengambil
keputusan ekonomi rasional yang mungkin bisa membantu mereka.
Migrasi adalah sebuah fenomena yang banyak dijumpai dalam perjalanan
sejarah bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Salah satu fenomena yang
paling menonjol dalam sejarah kepindahan penduduk dari Sulawesi Selatan ke
daerah-daerah lain di Indonesia. Masyarakat Bugis yang melakukan migrasi
tersebut mengembangkan pelayaran dan perdagangan, perikanan, pertanian dan
pembukaan lahan perkebunan. Kemampuan menyesuaikan diri merupakan modal
terbesar yang memungkinkan orang Bugis dapat bertahan di mana-mana selama
berabad-abad. Menariknya, walau mereka terus menyesuaikan diri dengan
keadaan sekitarnya, orang Bugis tetap mampu mempertahankan identitas mereka.
Latar belakang migrasi awal orang-orang Bugis ke daerah Kalimantan
bagian timur, Kalimantan bagian Tenggara, Pontianak, hingga ke Singapura dan
Malaysia serta wilayah Asia Tenggara lainnya adalah adanya semangat untuk
merantau. Orang-orang Bugis selalu berupaya mencari tempat yang dianggap
layak bagi dirinya untuk tinggal, bekerja, bermasyarakat dan lain-lain. Selama hal
tersebut belum dicapai, perantauan tidak akan pernah berakhir. Perantauan orang
3
Bugis ini juga dimotivasi budaya merantau yang menjadi pandangan hidup orang
Bugis (Pelras, 2006:24).
Selanjutnya Pelras (2006:28) menyatakan bahwa masyarakat Bugis adalah
kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Bugis. Wilayah
penganut kebudayaannya Bugis meliputi Wilyah Selatan Pulau Sulawesi,
Sulawesi Bagian Tengah dan Tenggara, bahkan sampai ke Malaysia. Hal ini
disebabkan oleh adanya dorongan pada diri mereka untuk merantau. Merantau
sendiri disebabkan oleh dua hal yaitu: 1) Keinginan untuk mendapatkan kekayaan
dari hasil jerih payah merantau, 2) kondisi Keamanan wilayah Sulawesi Selatan
yang yang tidak mendukung kehidupan masyarakat Bugis di negerinya sendiri.
Salah satu daerah yang dituju oleh para perantau dari Bugis adalah
Wilayah Poleang tepatnya di Kabupaten Bombana. Kepindahan mereka ke
Poleang terjadi sejak ratusan tahun lalu. Masyarakat Bugis yang bermigrasi ke
Wilayah Poleang tetap menetap di tempat itu sampai kini dan telah menyatu
dengan masyarakat Moronene sebagai penduduk asli wilayah Poleang.
Suku Moronene adalah suku yang mendiami wilayah pada bagian ujung
selatan jazirah Sulawesi Tenggara dan Pulau Kabaena. Pada zaman dulu, suku
Moronene adalah suku nomaden, yang selalu berpindah dari satu tempat ke
tempat yang lain, hingga akhirnya mereka menetap di kawasan Taman Nasional
Rawa Aopa Watumohai. Kampung pemukiman suku Moronene ini tersebar di
beberapa kabupaten di Sulawesi Tenggara termasuk kampung Hukaea, Laea, dan
Lampopala, dan Poleang. Kampung-kampung tersebut bagi orang Moronene
4
disebut sebagai Tobu Waworaha atau perkampungan tua bekas tempat tinggal
para leluhur mereka (Mekuo, 1986:132).
Pada zaman dulu, Poleang adalah wilayah kerajaan Moronene dan didiami
oleh Suku Moronene. Namun seiring migrasi suku Bugis dari Sulawesi Selatan
maka wilayah tersebut telah didominasi oleh Suku Bugis. Melihat cukup
banyaknya jumlah masyarakat Bugis di Wilayah Poleang, maka penulis tertarik
untuk melakukan kajian terhadap hubungan kekerabatan Suku Bugis dengan Suku
Moronene di Wilayah Poleang.
Melalui sebuah rangkaian observasi pendahuluan yang dilakukan, penulis
menyimpulkan bahwa kekerabatan antara Suku Bugis dan Suku Moronene telah
terbina sejak ratusan tahun yang lalu dan tetap hidup berdampingan sampai saat
ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang muncul
dalam penelitian ini adalah sejarah hubungan kekerabatan Suku Bugis dengan
Suku Moronene di Wilayah Poleang. Untuk memperjelas inti permasalahan yang
akan diteliti maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses diaspora Suku Bugis di Wilayah Poleang Kabupaten
Bombana?
2. Bagaimana latar belakang hubungan kekerabatan Suku Bugis dan Suku
Moronene dibina di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana?
3. Bagaimana pola hubungan kekerabatan suku Bugis dan suku Moronene di
Wilayah Poleang Kabupaten Bombana?
5
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Untuk mendeskripsikan proses diaspora suku Bugis di Wilayah Poleang
Kabupaten Bombana.
2. Untuk mendeskripsikan latar belakang hubungan kekerabatan Suku Bugis dan
Suku Moronene dibina di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana.
3. Untuk memaparkan pola hubungan kekerabatan suku Bugis dan suku
Moronene di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai bahan acuan atau sumber informasi tentang sejarah kekerabatan
suku Bugis dan suku Moronene di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana.
b. Sebagai sumbangan pemikiran penulis terhadap kemajuan ilmu
pengetahuan sejarah kekerabatan di Wilayah Poleang pada masyarakat
suku Moronene dan suku Bugis di Kabupaten Bombana untuk menambah
khasanah penulisan sejarah Nasional Indonesia.
2. Manfaat Praktis.
a. Kalangan akademis, yaitu sebagai bahan masukan dan perbandingan dalam
upaya penelitian-penelitian selanjutnya.
b. Khalayak, yaitu sebagi bahan informasi tentang hubungan kekerabatan
suku Bugis dan suku Moronene di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Sejarah
Pengertian sejarah meliputi tiga segi yaitu sejarah sebagai peristiwa
berkembang dengan konsep sejarah, yakni ruang, waktu, dan manusia. Sedangkan
konsep manusia akan menyangkut aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi,
teknologi dan politik, terjalin dalam peristiwa sejarah. Kompleksnya kehidupan
manusia, maka dalam cerita sejarah perlu adanya pembagian secara tematis untuk
menunjukkan dan membuktikan kapan peristiwa sejarah manusia tersebut
berlangsung perlu adanya periodisasi sesuai dengan konsep waktu. Sedangkan
mengenai dimana suatu kejadian sejarah manusia tersebut terjadi, maka
diperlukan konsep ruang atau waktu.
Kartodirdjo (2002: 89) membagi sejarah menjadi dua, yaitu sejarah dalam
arti objektif yang merupakan kejadian dan peristiwa sejarah yang tidak dapat
terulang dan sejarah dalam arti subjektif atau suatu kontruksi (bangunan) yang
disusun oleh penulis sebagai suatu uraian cerita (kisah). Kisah tersebut merupakan
suatu kesatuan rangkaian dan fakta-fakta yang saling berkaitan. Sejarah sebagai
ilmu yang berhubungan dengan prosedur pengumpulan sumber dan penarikan
fakta dan sumber sejarah yang dilakukan oleh sejarawan atau dengan kata lain
bahwa sejarah sebagai ilmu menyangkut teknik-teknik dalam menyusun dan
merekonstruksi sejarawan terhadap sejarah sebagai peristiwa berdasarkan fakta-
fakta sejarah yang dimilikinya.
7
Selanjutnya sebagai suatu disiplin ilmu, ilmu sejarah setara dengan ilmu-
ilmu lain karena dalam penyusunannya telah menggunakan metode analisis yang
kritis, walaupun ada proses-proses tertentu yang berbeda dengan proses ilmiah
menurut criteria ilmu pengetahuan lainnya. Karena itu sebagai mana ilmu-ilmu
lain, sejarah sebagai suatu ilmu pengetahuan juga mempunyai pengertian dan
kajian tersendiri.
Pada dasarnya suatu ilmu tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling
berkaitan antara satu sama lain. Ilmu sejarah misalnya untuk mengetahui
perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang lain sangat membutuhkan ilmu
sejarah, karena fungsi ilmu sejarah adalah upaya penelusuran jejak-jejak masa
lampau sehingga yang ada sekarang menjadi jelas. Sejalan dengan itu,
Kuntowijoyo (2013: 210) mengemukakan bahwa sejarah adalah ilmu yang
mandiri. Mandiri artinya mempunyai filsafat ilmu sendiri, permasalahan sendiri,
dan penjelasan sendiri. Yang dimana sejarah manafsirkan, memahami dan
mengerti. Dirnulai dengan menunjukan kekhasan sejarah sebagai ilmu. Setelah
mengetahui jenis sejarah sebagai ilmu, maka perihal penjelasan sejarah,
sehubungan dengan jenis ilmu.
Sejarah masa lampau dipelajari dengan berpijak pada kenyataan dan
situasi sekarang untuk mencanangkan pikiran serta harapan yang persektif ke
masa depan. Dengan demikian gambaran sejarah merupakan integrasi kurun
waktu yang tak terputus antara masa lampau, masa sekarang yang telah kita alami
dan masa yang akan datang. Sebagai konsekuensi logis dan kesinambungan kurun
waktu dalam dimensi sejarah adalah terjadinya hubungan kausalitas antara
8
peristiwa atau kejadian yang menyertai dengan hukum-hukum yang menguasai
masa lampau yang membawa masyarakat pada perubahan-perubahan kearah
perkembangan secara bertahap segala aktifitas yang dilakukan oleh manusia. Oleh
karena itu ilmu sejarah sangat penting di dalam mempelajari kebudayaan dan
suatu masyarakat, baik itu masyarakat dan suatu kelompok daerah maupun
bangsa.
B. Migrasi
Migrasi mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia di wilayah
manapun di muka bumi ini. Oleh karena itu migrasi juga merupakan usaha
manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhannya, baik secara ekonomi, sosial
budaya maupun politik. Migrasi merupakan suatu bentuk usaha manusia untuk
memperbaiki taraf hidupnya, baik secara individu maupun kelompok. Migrasi
adalah perpindahan penduduk dengan tujuan menetap dari suatu tempat ke tempat
lain melampaui politik atau Negara ataupun batas administratif atau batas bagian
dalam suatu Negara. Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat ke
tempat lain, baik melewati batas administratif dari suatu negara dengan tujuan
menetap (Munir, 1981:119).
Definisi dalam arti luas tentang migrasi ialah penyebaran tempat tinggal
secara permanen atau semi permanen. Tidak ada pembatasan, baik pada jarak
perpindahan maupun sifatnya, yaitu apakah tindakan itu bersifat sukarela atau
terpaksa serta tidak diadakan perbedaan antara migrasi dalam negeri dan migrasi
ke luar negeri. Jadi pindah tempat dari satu apartemen ke apartemen lain hanya
dengan melintasi lantai antara kedua ruangan itu dipandang sebagai migrasi, sama
9
seperti perpindahan dari Bombay di India ke Cedar Rapids di Iowa, meskipun
tentunya sebab-sebab dan akibat-akibat perpindahan itu sangat berbeda. Tetapi
tidak semua macam perpindahan dari satu tempat ke tempat lain dapat
digolongkan ke dalam definisi ini. Yang tidak dapat digolongkan misalnya,
pengembaraan orang nomad dan pekerja-pekerja musiman yang tidak lama
berdiam di suatu tempat, atau perpindahan sementara, seperti pergi ke daerah
pegunungan untuk berlibur selama musim panas. Tanpa mempersoalkan dekat
jauhnya perpindahan, mudah atau sulit, setiap migrasi mempunyai tempat asal,
tempat tujuan, dan bermacam-macam rintangan yang menghambat. Dari beberapa
penghalang antara itu, maka faktor jarak perpindahan merupakan faktor yang
selalu ada (Lee, 1991: 7).
Dari berbagai pendapat tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa migrasi yaitu perpindahan penduduk yang terjadi dari suatu tempat yang
satu ke tempat yang lainnya, baik antar Negara maupun dalam suatu Negara
dengan tujuan menetap.
Migrasi selalu berkaitan dengan tempat atau wilayah, waktu terjadinya
migrasi baik itu saat masuk maupun keluar dari sebuah wilayah. Dari sisi tempat
atau wilayah mulai dari lingkup desa maupun dalam lingkup yang lebih luas yaitu
antara wilayah Negara. Dari sisi waktu, mulai dari satu hari sampai waktu yang
cukup lama. Sehubungan dengan tempat dan waktu, migrasi dapat dibedakan
menjadi: (1) migrasi masuk (in migration), yaitu masuknya penduduk ke suatu
daerah tempat tujuan (Area of destination), (2) miigrasi keluar (out migration),
yakni perpindahan penduduk keluar dari suatu daerah asal (area of origin), (3)
10
migrasi neto (net migration), merupakan selisih antara jumlah migrasi masuk dan
migrasi keluar. Apabila migrasi yang masuk lebih besar dari pada migrasi keluar
maka disebut migrasi neto positif sedangkan jika migrasi keluar lebih besar dari
pada migrasi masuk disebut migrasi neto negative, (4) migrasi bruto (gross
migration), yakni jumlah migrasi masuk dan migrasi keluar, (5) migrasi total
(total migration), yakni seluruh kejadian migrasi mencakup migrasi semasa hidup
(life time migration) dan migrasi pulang (return migration). Migrasi total adalah
semua orang yang pernah pindah, (6) migrasi internasional (internasional
migration), merupakan perpindahan penduduk dari sebuah Negara ke Negara lain.
Masuknya penduduk ke sebuah Negara disebut Imigrasi (Imigration), sedangkan
sebaliknya jika terjadi perpindahan penduduk yang keluar dari sebuah Negara
disebut Emigrasi (Emigration), (7) migrasi semasa/seumur hidup (life time
migration), adalah mereka yang pada waktu pencacahan sensus bertempat tinggal
di daerah yang berbeda dengan daerah tempat kelahirannya tanpa melihat kapan
pindahnya, (8) migrasi parsial (parsial migration), yakni migrasi yang terjadi
antara dua daerah saja, (9) urbanisasi (urbanization), yaitu bertambahnya proporsi
penduduk yang berdiam di daerah kota yang disebabkan oleh proses perpindahan
penduduk ke kota dan/atau akibat dari perluasan daerah kota dan pertumbuhan
alami penduduk kota. (Lee, 1991).
Definisi urban berbeda-beda antara satu Negara dengan Negara lainnya
tetapi biasanya pengertiannya berhubungan dengan kota-kota atau daerah-daerah
pemukiman lain yang padat. Klasifikasi yang dipergunakan untuk menentukan
daerah kota biasanya dipengaruhi oleh indikator mengenai penduduk, indikator
11
mengenai kegiatan ekonomi, indikator jumlah fasilitas urban atau status
administrasi suatu pemusatan penduduk.
C. Kekerabatan
Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga
yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan
terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek
dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam
kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar.
Menurut Chony dalam Imron (2005:27) “Sistem kekerabatan dijelaskan
bukan hanya saja karena adanya ikatan perkawinan atau karena adanya hubungan
keluarga, tetapi karena adanya hubungan darah”. Selain itu Chony juga
mengungkapkan bahwa kunci pokok sistem perkawinan adalah kelompok
keturunan atau linege dan garis keturunan atau descent. Anggota kelompok
keturunan saling berkaitan karena mempunyai nenek moyang yang sama.
Kelompok keturunan ini dapat bersifat patrilineal atau matrilineal.
Menurut Keesing dalam Imron (2005:27) “Sistem kekerabatan adalah
hubungan berdasarkan pada model hubungan yang dipandang ada antara seorang
ayah dengan anak serta antara seorang ibu dengan anak”.
Dari beberapa definisi kekerabatan, dapat dinyatakan bahwa sistem
kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial, yang
merupakan sebuah jaringan hubungan kompleks berdasarkan hubungan darah atau
perkawinan. Berdasarkan hubungan darah dapat diambil pengertian bahwa
12
seseorang dinyatakan sebagai kerabat bila memiliki pertalian atau ikatan darah
dengan seseorang lainnya.
1. Kelompok Kekerabatan
Kelompok kekerabatan menurut Imron (2005:159) “adalah meliputi
orang- orang yang mempunyai kakek bersama, atau yang percaya bahwa mereka
adalah keturunan dari seorang kakek bersama menurut perhitungan garis
patrilineal (kebapaan)”. Selain itu Ihroni juga berpendapat bahwa suatu kelompok
adalah kesatuan individu yang diikat oleh sekurang-kurangnya 6 unsur, yaitu:
a. Sistem norma-norma yang mengatur tingkah laku warga kelompok,
b. Rasa kepribadian kelompok yang disadari semua warganya,
c. Interaksi yang intensif antar warga kelompok,
d. Sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antarwarga kelompok,
e. Pemimpin yang mengatur kegiatan-kegiatan kelompok, dan
f. Sistem hak dan kewajiban terhadap harta produktif, harta konsumtif, atau
harta pusaka tertentu.
G.P. Murdock dalam Koentjoraningrat (2005:109) membedakan 3
kategori kelompok kekerabatan berdasarkan fungsi-fungsi sosialnya, yaitu:
a. Kelompok kekerabatan berkorporasi, biasanya mempunyai ke-6 unsur
tersebut. Istilah “berkorporasi” umumnya menyangkutunsur 6 tersebut yaitu
adanya hak bersama atas sejumlah harta.
b. Kelompok kekerabatan kadangkala, yang sering kali tidak memiliki unsur 6
tersebut, terdiri dari banyak anggota, sehinggainteraksi yang terus menerus
dan intensif tidak mungkin lagi, tetapi hanya berkumpul kadang-kadang saja.
13
c. Kelompok kekerabatan menurut adat, biasanya tidak memiliki unsur pada
yang ke 4,5 dan 6 bahkan 3. Kelompok-kelompok ini bentuknya sudah
semakin besar, sehingga warganya seringkali sudah tidak saling mengenal.
Rasa kepribadian sering kali juga ditentukan oleh tanda-tanda adat tersebut.
Kelompok-kelompok kekerabatan yang termasuk golongan pertama
adalah kindred dan keluarga luas, sedang golongan kedua termasuk dame,
keluarga ambilineal kecil, keluarga ambilineal besar, klen kecil, klen besar, frati,
dan paroh masyarakat.
a. Kindret yakni, berkumpulnya orang-orang saling membantu melakukan
kegiatan-kegiatan bersama saudara, sepupu, kerabat isteri, kerabat yang lebih
tua dan muda. Di mulai dari seorang watga yang memprakarsai suatu kegiatan.
Dan bisanya hubungan kekerabatan ini dimanfaatkan untuk memperlancar
bisnis seseorang.
b. Keluarga luas yakni, kekerabatan ini terdiri dari lebih dari satu keluarga initi.
Terutama di daerah pedesaan, warga keluarga luas umumnya masih tinggal
berdekatan, dan seringkali bahkan masih tinggal bersama-sama dalam satu
rumah. Kelompok kekerabatan berupa keluarga luas biasanya di kepalai oleh
anggota pria yang tertua. Dalam berbagai masyarakat di dunia, ikatan
keluarga luas sedemikian eratnya, sehingga mereka tidak hanya tinggal
bersama dalam suatu rumah besar, tetapi juga merupakan satu keluarga inti
yang besar.
c. Keluarga ambilineal kecil yakni, terjadi apabila suatu keluarga luas
membentuk suatu kepribadian yang khas, yang disadari oleh para warga.
14
Kelompok ambilineal kecil viasanya terdiri dari 25-30 jiwa sehingga mereka
masih saling mengetahui hubungan kekerabatan masing-masing.
d. Klen kecil yakni, kelompok kekerabatan yang terdiri dari beberapa keluarga
luas keturunan dari satu leluhur. Ikatan kekerabatan berdasarkan hubungan
melalui garis keturunan pria saja (patrilineal), atau melalui garis keturunan
wanita saja (matrilineal), jumlah sekitar 50-70 orang biasanya mereka masih
saling mengenal dan bergaul dan biasanya masih tinggal dalam satu desa.
e. Klen besar yakni, kelompok kekerabatan yang terdiri dari semua keturunan
dari seorang leluhur, yang diperhitungkan dari garis keturunan pria atau
wanita, sosokl leluhur yang menurunkan para warga klen besar berpuluh-
puluh generasi yang lampau iru sudah tidak jelas lagi dan seringkali sudah di
anggap keramat. Jumlah yang sangat besar menyebabkan mereka sudah tidak
mengenal kerabat-kerabat jauh.
f. Frati yakni, gabungan antara patrilineal maupun matrilineal, dan dari
kelompok klen setempat (bisa klen kecil, tetapi bisa juga bagian dari klen
besar). Namun penggabungannya tidak merata.
2. Kekerabatan dan Hubungan Kekeluargaan
Hubungan kekerabatan atau kekeluargaan merupakan hubungan antara
pihak tiap entitas yang memiliki asal usul silsilah yang sama baik memiliki
keturunan biologis, sosial, dan budaya. Hubungan kekerabatan ini adalah salah
satu prinsip mendasar untuk mengelompokan tiap orang ke dalam kelompok
sosial peran katagori dan silsilah.
15
Setiap individu yang hidup dalam suatu masyarakat secara biologis dapat
menyebut kerabat semua orang sesamanya yang mempunyai hubungan darah atau
genes melalu ibu atau ayahnya. Namun bagi seorang individu, batas kaum “
kerabat sosiologisnya” atau kaum kerabatnya dalam rangka kehidupan
masyarakatnya juga berbeda bila dipandang dari tiga sudut, antara lain:
1. Batas kesadaran kekerabatan (kinship awareness).
2. Batas dari pergaulan kekerabatan (kinship affiliations).
3. Batas dari hubungan-hubungan kekerabatan (kinship relations).
Batas-batas dari hubungan kekerabatan ditentukan oleh prinsip-prinsip
keturunan atau principle of descent. Menurut para ilmuwan, ada paling sedikit
empat macam prinsip keturunan, yaitu:
a. Prinsip patrilineal atau patrilineal descent yang menghitungkan hubungan
kekerabatan melalui pria saja.
b. Prinsip matrilineal atau matrilineal descent yang menghitungkan hubungan
kekerabatan melalui wanita saja.
c. Prinsip bilineal atau bilineal descent yang menghitungkan hubungan
kekerabatan melalui pria saja untuk sejumlah hak dan kewajiban tettentu, dan
melalui wanita untuk sejumlah hak dan kewajiban yang lain.
d. Prinsip bilateral atau bilateal descent yang menghitungkan hubungan
kekerabatan melalui pria maupun wanita.
Dalam prinsip bilateral sendiri terdapat tambahan-tambahan prinsip, yaitu:
16
a. Prinsip ambilineal, yang menghitungkan hubungan kekerabatan untuk
sebagian orang dalam masyarakat melalui pria, dan untuk sebagian orang lain
dalam masyarakat itu juga melalui wanita.
b. Prinsip konsentris, yang menghitungkan hubungan kekerabatan sampai jumlah
angkatan yang terbatas.
c. Prinsip promogenitur, yang menghitungkan hubungan kekerabatan melalui
pria maupun wanita, tetapi hanya yang tertua saja.
d. Prinsip ultimogenitur, yang menghitungkan hubungan kekerabagan melalui
pria maupun wanita, tetapi hanya yang termuda saja (Santoso, 1998: 16-18).
3. Macam-Macam Sistem Kekerabatan
Pada masyarakat tradisional, sistem kekerabatan berpengaruh besar dan
sangat mengikat di antara mereka. Seiring dengan perkembangan zaman, fungsi
kesatuan kekerabatan biasanya mulai berkurang dan agak longgar. Walaupun
demikian, masih banyak suku-suku bangsa di dunia yang masih meme gangnya,
seperti di daerah-daerah yang berkebudayaan agraris seperti Afrika, Asia,
Oseanis, dan Amerika Latin.
Para ahli antropologi telah banyak meneliti mengenai macam- macam
sistem kekerabatan, organisasi masyarakat komunitas desa, serta komunitas kecil
dan penggolongan masyarakat atau pelapisan sosial. Menurut Morgan, macam-
macam sistem kekerabatan di dunia erat kaitannya dengan sistem istilah
kekerabatan (Santoso, 1998: 21).
Susunan masyarakat berdasarkan kekerabatan dapat dibedakan menjadi
beberapa kelompok, yaitu sebagai berikut.
17
a. Garis Keturunan Bapak (Patrilineal)
Susunan masyarakat yang patrilineal, menarik garis keturunan selalu
dihubungkan dengan bapak. Hak waris hanya diberikan kepada anggota-anggota
kerabat laki-laki, terutama anak laki-laki. Bagi masyarakat patrilineal, laki-laki
mendapat penghargaan dan penghormatan lebih tinggi dari pada kaum wanita. Di
Indonesia, sistem kekerabatan patrilineal dianut oleh Suku Batak.
b. Garis Keturunan Ibu (Matrilineal)
Masyarakat genealogis menarik keturunan hanya dihubungkan dengan ibu.
Anak-anak menjadi hak ibu, termasuk dalam kekerabat- an ibu. Setelah
perkawinan pengantin menetap di pusat kediaman kerabat istri. Sistem waris
diturunkan kepada anggota kerabat perempuan dan kedudukan sosial perempuan
lebih tinggi dari pada laki-laki. Akan tetapi, lelaki tetap berperan sebagai
pengelola waktu, harta, usaha, dan adat keluarga. Sistem matrilineal di Indonesia
dianut oleh suku bangsa Minangkabau. Pada suku Minangkabau laki-laki berperan
sebagai pengelola harta dan adat yang disebut mamak (paman).
c. Garis Parental
Pada masyarakat genealogis yang menarik garis keturunan dari ibu dan
bapak (parental dan bilateral) adalah para anggotanya menganggap dirinya
kerabat. Dalam memperhitungkan garis keturunan menghu bungkan kepada ibu
dan bapak. Anak-anak menjadi hak ibu dan bapak termasuk kerabat dari pihak
laki-laki dan pihak istri. Dalam sistem ini tidak ada perbedaan penghargaan antara
laki-laki dan perempuan. Sistem ini dianut oleh Suku Sunda, Jawa, dan
Kalimantan.
18
d. Double Unilateral
Masyarakat doubleunilateral adalah masyarakat yang menganut dua sistem
kekerabatan (patrilineal dan matrilineal) yang berlaku dan dijadikan sebagai
kesatuan-kesatuan sosial. Semua anggota keluarga adalah kerabat bapak dan
kerabat ibu.
e. Alternered
Susunan kekerabatan ini berarah sepihak dan berdasarkan perkawinan
yang mengakibatkan anak-anak termasuk kerabat bapak atau termasuk kerabat
ibu.
D. Hubungan Kekerabatan
Pada hakekatnya kekerabatan terjadi karena hubungan darah dan proses
perkawinan. Hubungan darah berada sekitar saudara sepupu sekali, sepupu dua
kali, sepupu tiga kali, sepupu empat kali. Sepupu lima kali dianggap suatu
keluarga yang mulai menjauh. Perkawinan di luar lingkungan sepupu tiga kali
menyebabkan batas kekerabatan menjadi semakin luas, ini sering terjadi di
kalangan etnis-etnis yang ada di Sultra. Meskipun umumnya orang mengakui
kerabat jika dalam kelompok itu terjadi saling kenal-mengenal, oleh
Koentjaraningrat (1982:89) disebutnya kerabat sosilogis.
Titik tolak hubungan kekerabatan antar etnik dimulai dari kedatangan
nenek moyang penduduk yang berdiam di daerah Sulawesi Tenggara sekarang ini.
Secara geografis dan genealogis wilayah Sulawesi Tenggara merupakan
pertemuan ras-ras dalam proses perpindahan bangsa-bangsa prasejarah. Ras
Mongoloid dari Utara, ras Austro-Melanesoid dari Timur dan Proto-Melayu dari
19
Barat/Utara. Oleh karena itu daratan Sulawesi Tenggara dan pulau-pulau
sekitarnya memiliki kekhasan baik kehidupan manusianya maupun flora dan
faunanya (Razake, 1989:68).
Suku Moronene, Tolaki, Wawonii, dan Kulisusu mempunyai ciri fisik
dan budaya yang mirip dengan suku-suku yang ada di Sulawesi Tengah dan
mungkin juga Sulawesi Utara. Jika dilihat dari cepkalik-index, mata, rambut
maupun warna kulit suku-suku tersebut memiliki persamaan dengan ras
Mongoloid diduga berasal dari Asia Timur ke Jepang kemudian tersebar ke
selatan melalui Kepulauan Riukyu, Taiwan, Philipina, Sangir Talaud, Pantai
Timur Pulau Sulawesi kemudian sampai ke Sulawesi Tenggara. Sementara itu
penduduk kepulauan (Muna dan Buton), termasuk di Kepulauan Banggai
(Sulteng) dan suku-suku di NTT banyak memiliki persamaan dengan ras Austro-
Melanesoid (Razake, 1989). Dalam perkembangan selanjutnya terjadi pemusatan
penduduk khususnya ras Mongoloid di daerah-daerah Danau Matana, Mahalona,
dan Towuti (Monografi, 1976:95).
Para migran tersebut, ketika sampai di daerah ini membentuk
perkampungan di wilayah-wilayah yang menawarkan kehidupan bagi mereka,
seperti di lembah sungai atau di sekitar danau (ingat: Sungai Lasolo, Sungai
Konaweeha, Danau Amboau) pusat konsentrasi pemukiman kuno di Sulawesi
Tenggara. Dari sini mereka membentuk pemerintahan desa atau kerajaan-kerajaan
kecil dan kemudian membentuk konfederasi.
Bagi masyarakat di daerah Mekongga (Kolaka), Konawe (Kendari),
Wuna (Muna), Wolio (Buton), Moronene, dan Pulau Wawonii percaya bahwa
20
asal-usul raja pertama di wilayahnya adalah dari To Manurung, meskipun dalam
ungkapan bahasa dan gelar yang berbeda-beda. To Manurung dianggap orang
yang turun dari kayangan (langit), dan senantiasa disimbolkan dengan bambu atau
gading, atau emas dan warna kuning lainnya (Hafid, 2003:6).
Kerajaan-kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara mengakui adanya
hubungan historis dengan Sawerigading dari Luwu yang dihubungkan dengan
kedatangan To Manurung (orang asing). Persepsi yang sama juga ditemukan pada
tradisi di kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan, seperti: Gowa dan Bone. Pada sisi
lain suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar dan suku Massenrempuluk
mengakui pula bahwa asal-usul nenek moyang mereka berasal dari Ussuk,
diperkuat dengan tradisi raja-raja Bugis, Makassar, dan Mandar menghormati
Raja Luwu sebagai primus interparis (Abidin, 1995:76). Dalam lontarak Bajo
(ditulis orang Bajo di Kendari) juga mengakui asal-usul nenek moyang mereka
berasal dari Ussuk.
Di Mekongga ditandai dengan kedatangan La Rumbalangi yang berhasil
membunuh burung kongga, kelak menjadi raja pertama di Kerajaan Mekongga. Di
Konawe Tomanurung ditandai dengan kedatangan Wekoila yang merupaka raja
pertama di Kerajaan Konawe sekitar abad X. To Manurung di Wuna disebut
Beteno ne Tombula orang yang keluar dari ruas bambu yang kelak menjadi Raja
Wuna Pertama juga kawin dengan perempuan To Manurung. Wakaaka
merupakan To Manurung di Wolio kelak juga menjadi Raja Wolio Pertama
(Anonim, 1982:12).
21
Di masyarakat Moronene khususnya yang bermukim di Pulau Kabaena
percaya bahwa ketika terjadi kemelut politik maka muncullah Tebeto
Tulanggadi=lelaki tampan yang muncul dari bambu gading. Pada saat yang sama
muncul pula seorang perempuan asing bernama Wulele Waru, seorang putri yang
terpencar dari sekuntum bunga kayu waru (Subur, 1990:34).
Peristiwa tersebut terjadi pada abad XIV, istilah bambu tersebut semakin
menguatkan adanya kesamaan dalam arti terdapat hubungan kekerabatan antara
raja-raja pertama yang berhasil menata administrasi dan struktur pemerintahan
tradisional yang ada di Sulawesi Tenggara. Mereka secara tidak langsung
mengakui bahwa para pendatang yang sering disebut to manurng (orang asing
yang memiliki kelebihan) itu adalah Sawerigading atau keluarga/keturunan raja
dari Luwu.
Kedatangan to manurung tersebut sering dihubungkan dengan perjalanan
Sawerigading ke dunia timur (sempe’na Sawerigading lao ri Tana Lau/lao ri
Tomporekkesso) yang menyebabkan persebaran Suku Bugis dan Suku Bajo di
daerah-daerah perantauannya. Tetapi secara faktual bahwa orang Bugis yang
umumnya memiliki gaya hidup yang lebih dinamis, lebih mudah bersosialisasi
dan beradaptasi. Melalui filosofi hidup di rantau yang harus meraih sukses, maka
konsep “tiga ujung” (ujung lidah/diplomasi, ujung laki-laki/kawin politik, dan
ujung keris/keberanian), memegang peranan penting dalam mempertahankan
eksistensi orang Bugis di negeri rantau (Hafid, 2003:6).
Sawerigading juga ditafsirkan sebagai manusia yang berkembang biak di
bambu atau di gading. Pendapat tersebut dapat dihubungkan dengan mitos sebagai
22
orang yang keluar dari ruas bambu atau dari selah-selah bambu. Penafsiran lain
sesuai dengan tradisi lisan yang menyatakan bahwa leluhur Sawerigading adalah
manusia yang berkembang biak di atas rakit bambu (gading) dalam pelayaran.
Pendapat ini didukung oleh gerak perpindahan dan pelayaran penduduk yang
berbahasa Melayu-Polinesia atau Mongoloid dari daratan Asia Tenggara ke
Nusantara pada masa bercocok tanam (Poesponegoro, 1984:63). Secara faktual
bahwa pada awal pemukiman penduduk di pantai mereka membuat rumah dengan
tiang dari bambu, tangga dari bambu, lantai dari bambu, dinding dari bambu,
bagian dari atap dan peralatan bagian atas rumah juga dari bambu.
Di Kerajaan Mekongga berdasarkan tradisi lisan menyebutkan bahwa
raja pertama di Kerajaan Mekongga berasal dari luar. Ia disimbolkan sebagai
manusia luar biasa yang mampu mengalahkan burung Kongga yang sering
memangsa manusia, dikisahkan bahwa menjelang kedatangannya terjadi masalah
sosial selain merebaknya penyakit menular, juga munculnya burung Kongga yang
memangsa bukan hanya manusia tetapi juga binatang. Menurut Mekuo (1986:23)
La Rumbalangi (Bahasa Tolaki: menggemuruhkan langit; dalam bahasa Bugis: La
Rumpa Langik dari kata: La =orang/laki-laki; Rumpa=membobol; langik=langit
atau laki-laki yang dapat membobol langit) datang dari kayangan dengan
menumpang sehelai sarung bersulam emas. Ia datang di daratan Sulawesi
Tenggara bersama dengan kerabatnya yaitu Wekoila (Mokole Konawe) dan Wa
Sasi. Jika dihubungkan dengan keberadaan burung Kongga yang disimbolkan
sayapnya dapat menutup langit, maka kedatangan La Rumpalangi dapat
membobol langit yang tertutup oleh sayap burung kongga. Ia melakukan taktik
23
perlawanan dengan menanam bambu-bambu runcing sebagai senjata perangkap
untuk menjebak dan membunuh burung kongga, taktik ini berjalan dengan efektif
sehingga burung kongga berhasil dilumpuhkan oleh La Rumbalangi.
Masyarakat Mekongga menganggap bahwa La Rumbalangi sebagai juru
selamat yang telah menyelamatkan penduduk yang terancam maut oleh burung
kongga. Oleh karena itulah, maka setelah negeri ini aman dan La Rumbalangi
diangkat menjadi Mokole/Bokeo (raja), mereka menamai kerajaannya dengan
Mekongga (sekarang menjadi Kabupaten Kolaka). Tradisi setempat mengakui
bahwa La Rumbalangi adalah keluarga Sawerigading dari Luwu.
Di Kerajaan Konawe kehadiran tomanurung pertama ketika terjadi
kemelut politik yang dalam tradisi lisan dikatakan adanya bencana besar yang
berlangsung bertahun-tahun sehingga nyaris menghancurkan beberapa generasi
umat manusia. Secara tiba-tiba datanglah Wekoila seorang gadis cantik menurut
orang Tolaki disebut Sangia Ndudu atau Tono ari wawo sangia (tono=orang;
ari=dari; wawo sangia=atas kayangan). Di Kerajaan Konawe dikenal tiga orang
Sangia Ndudu, yaitu: (1) To Lahianga, (2) Wekoila (putri jelita), dan (3) Anawai
Ngguluri (putri burung nuri) (Mekuo, 1986:25).
Beberapa sumber yang berasal dari tradisi lisan mengungkapkan bahwa
pada masa kehancuran tatanan pemerintahan dan sosial di daratan Sulawesi
Tenggara tiba-tiba datanglah Tenriabeng atau We Tenriabeng dari Luwu (saudara
kembar Sawerigading) yang oleh orang Tolaki diberi nama Wekoila dari kata
We=ciri nama awal seorang perempuan Bugis, Koila=hilang-hilang atau sakti.
24
Wekoila kemudian dipersunting oleh Ramandalangi (putra raja Totongano
Wonuwa) (Mekuo, 1986:28).
Menjelang kedatangan Wekoila terjadi masa suram di berbagai sektor
kehidupan masyarakat Tolaki, setiap negeri memiliki pemerintahan sendiri-sendiri
yang menyebabkan terjadi kondisi sianre bale ni taue (timbul kekejaman di mana
manusia saling membunuh seperti ikan). Kemunculan Wekoila membawa
persatuan di Jazirah Sulawesi Tenggara (Kerjaan Konawe) (Burhanuddin,
1981:23).
Jika dihubungkan dengan bahasa Bugis, maka istilah konaweeha dapat
dikaitkan dengan peroses pelayaran keluarga bangsawan dari Luwu bernama We
Tenrirawe yang dikawal oleh para dayan-dayan (inang pengasuh), ketika
memasuki sungai besar ini dan mendapati perkampungan penduduk, maka sang
putri (Wekoila) berkata konawe= di sinilah (bahasa Bugis) artinya di sinilah kita
singgah atau di sini saja kita berlabuh. Sehingga sungai ini kemudian dinamai
Sungai Konaweeha, dan kerajaan yang dibangun oleh masyarakat Tolaki di bawah
kepemimpinan Wekoila kelak dinamai juga Kerajaan Konawe. Wekoila kelak
kawin dengan La Tenripeppang anak bangsawan Tolaki yang kelak melahirkan
keturunan Mokole (raja-raja) di Kerajaan Konawe. Istilah Mokole juga digunakan
di daerah Luwu untuk gelar raja-raja kecil, demikian pula di daerah Bungku
Sulawesi Tengah juga dipakai istilah yang sama untuk bangsawan yang berkuasa
(Hafid, 2003:8).
Di daerah Wuna (Muna) terbentuknya Kerajaan Muna diawali dengan
kedatangan orang asing bernama Beteno ne Tombula=orang yang keluar dari
25
bambu, ia mengaku bernama La Eli, nama lainnya Baizul Zaman (Batoa,
1991:36). Disusul kemudian kedatangan perempuan asing bernama Sangke
Palangga=diangkat dari dulang. Putri tersebut dalam keadaan hamil, dan dia
mengaku bernama Tandiabe anak Raja Luwu. Segera putri itu diantar ke istana
Mieno Wamelai dan dipertemukan dengan Beteno ne Tombula.
Di Wolio (Buton) sebelum terbentuknya Kerajaan Wolio, muncullah
seorang perempuan cantik yang kemudian dikenal dengan nama Wakaaka. Ia
disimbolkan sebagai seorang putri yang ditemukan di Bukit Lelemangura yang
muncul dari ruas bambu gading oleh Sangia Langkuru. Karena keistimewaannya,
sehingga para Bonto (kepala kampung) mengangkat Wakaaka sebagai Raja Wolio
Pertama, dia dilantik di atas batu popaua, yang kelak menjadi tradisi tempat
pelakntikan Raja Wolio/Buton. Salah satu versi menyebutkan bahwa Wakaaka
bersama rombongannya mula-mula masuk di kali Umalaoge di Pantai Timur
Lasalimu, kemudian meneruskan perjalanan ke selatan dan sampai di
Lelemangura (Wolio). Tradisi lisan tersebut didukung oleh silsilah raja-raja
Wolio/Buton yang melukiskan Wakaaka sebagai putri Raja Luwu yang lubang
tangannya (masombuna limana) dengan permaisurinya yang putih wajahnya
(maputina roona) (Mekuo, 1986:31).
Nama Wakaka dalam tradisi Luwu adalah dari kata Tomokaka,
tomo=penguasa/raja, kaka=diantara beberapa kerajaan. Pendapat ini didukung
oleh sumber sejarah Wolio yang mengungkapkan bahwa sebelum terbentuknya
Kerajaan Wolio, telah berdiri beberapa kerajaan kecil di Pulau Buton diataranya
Kerajaan Amboau. Wakaaka sebagai raja pertama Wolio, kemudian kawin dengan
26
Sibatara, oleh sebagian orang disimbolkan sebagai bangsawan Majapahit, namun
jika dihubungkan dengan Sejarah Luwu, nama Batara ditemukan pada bangsawan
bernama Batara Guru dan Batara Lattu. Dari perkawinan mereka lahirlah tujuh
orang anak, salah seorang bernama Bulawambona yang kelak diangkat menjadi
Ratu Wolio Kedua. Wakaaka kemudian meninggalkan Wolio menuju tempat yang
tidak diketahui oleh masyarakat Wolio. Bulawambona pun tidak lama
memerintah, karena kemudian pucuk pimpinan pemerintahan diserahkan kepada
suaminya bernama La Baluwu (Mekuo, 1986:32). Sebagai raja Wolio III
diangkatlah Bancapatola sebagai pewaris tahka kedua orang tuanya, ia kemudian
diberi gelar Bataraguru (Djarudju, 1995:47). Kedua nama itu, memperlihatkan
adanya hubungan kekerabatan dengan Luwu/Bugis, nama Patola=pewaris tahta,
karena dialah yang mewarisi tahta kerajaan dari orang tuanya, dan nama
Bataraguru, sama dengan nama Raja Luwu Pertama yang merupakan nenek
Sawerigading (Kern, 1993:43).
Perkembangan pelayaran dagang semakin menambah media pertalian
kekerabatan antar etnik baik yang dilakukan oleh etnis yang ada di Sultra, maupun
dari luar seperti orang Bugis/Makassar. Di kawasan Barat Nusantara para
pelayar/pedagang Bugis sejak dahulu kala diakui sebagai pelayar ulung dan juga
menanamkan pengaruhnya di kawan itu (Riau dan Kalimantan Barat). Demikian
pula di Negeri Timur atau Tanah Lau, seperti Sulawesi Tenggara. Kerajaan
Laiwoi (di Kendari) didirikan oleh La Mangu, anak Arung Bakung seorang yang
disebut sebagai pelarian politik dari Bone yang kawin dengan bangsawan Tiworo,
kemudian Anaknya La Sambawa mengawini Maho putri mahkota Ranomeeto,
27
dialah yang melahirkan La Mangu yang kelak mendirikan Kerajaan Laiwoi.
Arung Bakung dikenal sebagai pemimpin orang Bugis yang berhasil mengusir
bajak-bajak laut Tobelo di pesisir pantai Timur Sulawesi Tenggara. Kerajaan
Laiwoi merupakan dinasti Bugis-Muna-Tolaki, suatu gambaran nyata bentuk
hebungan kekerabatan melalui perkawinan, inilah yang kelak mengembangkan
Kota Kendari sampai pada taraf sekarang ini. Di Kota Kendari sekarang ini sulit
memisahkan antara ketiga etnis tersebut bahkan dengan etnis lainnya karena
mereka lentur atau menyatu dalam suatu tatanan baru yang mereka kembangkan
sendiri, oleh Chalik, dkk (1984:67) disebutnya proses pembugisan yang
melahirkan etnis baru “Bugis Kendari”, dengan ciri budaya dalam wujud bahasa
Bugis dengan dialek yang khas.
Setelah Indonesia meredeka gelombang migrasi dan dinamika
masyarakat semakin meningkat, baik dalam dimensi perdagangan maupun dalam
dimensi pemerintahan yang menjadi daya dorong migrasi penduduk dari luar yang
masuk ke Sulawesi Tenggara. Perdagangan bukan hanya dilakukan melalui
perahu layar, tetapi dapat dilakukan melalui Kapal Motor, angkutan darat, dan
angkutan udara. Demikian pula penempatan dan mutasi pegawai negeri dan
anggota TNI/Polri, yang berdampak terhadap berkembangnya kekerabatan
melalui perkawinan. Hampir tidak ditemukan lagi rintangan berarti dalam proses
perkawinan antar etnik. Sehingga mempermudah para pemuda perantau untuk
melangsungkan perkawinan antar etnik di daerah ini.
28
E. Kekerabatan Antar Etnis di Sulawesi Tenggara
Keterkaitan sejarah dan kekerabatan yang diungkapkan dari akibat
perjalanan sawerigading di daerah Timur ini akhirnya melahirkan makna sibolik
hubungan kekeluargaan, kekerabatan, kesatuan dan persaudaraan di kalangan
suku-suku bangsa yang diungkapkan itu. Dalam ungkapan orang Tolaki dikenal
adanya seekor ayam jantan keemasan=manu rasa wulaa. Suatu ketika ayam itu
dipotong untuk dibagi-bagikan kepada tujuh orang keturunannya yang sedang
memerintah di tujuh negeri, yaitu masing-masing: Uluno o Gowa : Kepalanya
Gowa, Worokono o Bone : Lehernya Bone, Wotoluno Konawe : Tubuhnya
Konawe, Karieno Tarinate : Kakinya Ternate, Ponduno Mandara : Paruhnya
Mandar, Panino o Luwu : Sayapnya Luwu, Wuleno Wolio : Hatinya Wolio
(Tarimana, 1987:44).
Ungkapan kekerabatan lain yang dikenal dalam bahasa Bugis: Buton ri
Aja- Bone ri Lauk. Artinya: Kerajaan Bone juga merupakan negeri Orang Buton
yang ada di sebelah Barat; dan Kesultanan Buton juga merupakan negeri Orang
Bone yang ada di sebelah Timur. Makna lebih lanjut adalah jika orang Buton
berangkat ke wilayah Kerajaan Bone, maka dia tidak lagi dianggap sebagai orang
asing, tetapi dianggap sebagai warga negara, demikian pula jika Orang Bugis
Bone berada di Buton maka dia menjadi tuan rumah atau warga negara Buton.
Dalam hubungan perdagangan antar kedua etnis ini melahirkan banyak
perkawinan diantara mereka. muncul pula ungkapan yang menguatkan pertalian
itu yang dinyanyikan para penyair Bugis: Mangkau ri Bone, Pajung ri Luwu,
Karaeng ri Gowa, dan La Ode ri Butung (gelar raja/kebangsawanan: yang
29
berdaulat di Bone, yang dipayungi di Luwu, orang yang disembah di Gowa, dan
La Ode di Buton). Ungkapan mana menunjukkan kesejajaran dan kekerabatan
diantara kerajaan-kerajaan tersebut. (Kern, 1993:44).
Bagi pelayar niaga orang Buton tidak hanya terbatas di Sultra, tetapi juga
sampai ke negeri Cina dan sebagai bukti terdapat suatu tempat di Kepulauan
Natuna yang bernama Tanjung Buton. Di tempat inilah pera pelayar Buton yang
akan berlayar ke daratan Asia singgah berpangkalan sementara sebelum
melanjutkan pelayarannya yang sampai ke Cina dengan membawa barang
dagangan berupa kopra, damar, hasil laut dan kulit, sebaliknya barang dagangan
dibawa pulang berbagai jenis dan ukuran keramik Cina, dan barang-barang tekstil.
Secara empiris terdapat hubungan bilateral antara Kerajaan Konawe
dengan Kerajaan Bone. Baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial
budaya, sebagai bukti ditemukannya konsentrasi pemukiman di pinggir-pinggir
pantai Konawe, seperti di Tinanggea, Torobulu, Kendari, Sampara, dan Lasolo.
Pada mulnya wilayah ini merupakan tempat transit bagi pelayar Bugis, sebaliknya
di Kerajaan Bone mereka menempatkan Pelabuhan Barebbo sebagai pangkalan
utamanya bahkan menyiapkan tempat khusus bagi para pesiarah/tamu dari
Kerajaan Konawe (Anwar, 1989:7).
Para pelayar dan pedagang tidak sedikit yang menetap dan kawin di
negeri rantau sehingga terjalinlah hubungan kekerabatan antar etnik melalui
perkawinan antar etnik. Seperti yang terjadi pada kasus Perkawinan Wa Ode
Kadingke Putri Raja Muna XVI La Ode Huseini dengan seorang bangsawan
Bugis Bone yang tinggal di Kerajaan Tiworo bernama Daeng Marewa. Secara
30
adat perkawinan ini dianggap kontroversial karena ditentang oleh sebagian
bangsawan Muna termasuk Raja Muna La Ode Sumaili. Upaya Wa Ode Kadingke
mempertahankan syariat Islam yang tidak memberatkan bagi seorang calon suami
untuk menyiapkan maskawin kepada calon istrinya. Pendapat mana dianggap
bertentangan dengan hukum adat Muna bahwa apabilan seorang perempuan yang
kawin dengan orang dari luar kelompok etnisnya, maka sang calon suami harus
menyiapkan maskawin lebih besar lagi dibanding dengan jika calon suami dari
anggota kelompoknya. Perang saudara berakhir dengan kemenangan dipihak Wa
Ode Kadingke, dan Raja La Ode Sumaili dijatuhi hukuman pukul sampai mati
pada tahun 1799. Dengan demikian syariat Islam dapat mengalahkan hukum adat
yang telah berlaku secara turun-temurun di Kerajaan Muna (Batoa, 1991:26).
Keterkaitan dengan budaya Bugis di Muna dan Buton dapat dilihat dari
nama awal La untuk laki-laki dan Wa atau We untuk perempuan, telah melekat
sampai saat ini menjadi nama ciri masyarakat setempat, seperti halnya nama-nama
dalam masyarakat Bugis. Demikian pula istilah sugi yang berarti orang kaya harta,
ilmu, dan wawasan. Terdapat pula istilah patola berarti pengganti atau pewaris
tahta. Adanya peninggalan Sawerigading di Muna seperti Bukit Bahutara, yang
dikatakan sebagai situs perahu Sawerigading yang telah menjadi batu/gunung,
dialah yang memberi nama Wuna dari kata bahasa Bugis Wunga=bunga, sesuai
bentuk batu-batu cadas di sekitar gunung Bahutara tersebut (Abidn, 1995:23).
Demikian pula nama suatu tempat di Muna bernama Kecamatan
Sawerigadi, yang terbentuk sesudah Indonesia Merdeka memperkuat bukti
kecenderungan masyarakat dunia timur umumnya dan Muna khususnya untuk
31
lebih mempererat hubungan tradisional mereka dengan Luwu dan Masyarakat
Bugis umumnya. Kesenian modero yang berkembang di kalangan masyarakat
Sulawesi Tenggara (Bajo dan Muna), pantun dan nyanyian yang teratur bait dan
syairnya merupakan suatu petunjuk akan pertalian dengan kebiasaan suku Bugis
yang pintar membuat kata-kata filosofi yang memiliki makna tertentu berupa
nasehat dan pesan-pesan pendidikan lainnya.
Pelayaran niaga yang dilakukan oleh tiga serangkai pengarung samudera
yang dikenal BBM (Bugis-Buton-Mandar) (Zuhdi, 1997:32) meninggalkan jejak
sejarah yang panjang. Ketiga etnis pelayar itu menjelajahi seluruh wilayah pantai
Sulawesi Tenggara dan segenap pelabuhan Nusantara bahkan sampai ke
Mancanegara. Ketiga etnik itu memiliki peran yang cukup besar dalam pelayaran
niaga di Kawasan Timur Indonesia dan membuka jaringan kekerabtan antar etnik.
Negarakertagama menyebut Buton dalam satu rangkaian dengan Makassar,
Banggai, dan pulau-pulau lain di bagian Timur sebagai daerah yang sudah
berhubungan dengan Majapahit (Zuhdi, 1994:34). Lebih jauh dari itu, sejak abad
ke-10 sampai abad ke-13 Kerajaan Wolio (Buton) di Timur Laut Mindanao telah
mempunyai hubungan dagang dengan Cina, Campa, dan Borneo (Zuhdi,
1997:46). Perdagangan keramik pada abad ke-10 melalui perairan Timur Sulawesi
terus ke Selatan di Selat Tiworo menuju Sulawesi Selatan. Para pelayar niaga
etnis Buton ikut ambil bagian dalam pelayaran ke negeri Cina melalui jalur Buton,
Selat Malaka, Laut Cina Selatan berlabuh di Pelabuhan Kanton, Shanghai (Cina).
Setelah tinggal selama 4-6 bulan menunggu perubahan angin, selanjutnya mereka
kembali melalui jalur utara dari Cina, Kepulauan Jepang, Kepulauan Philipina,
32
Laut Sulawesi, Kepulauan Maluku, Pesisir Timur Sulawesi akhirnya sampai
kembali ke Buton (Anwar, 2000:12). Di Kendari (Teluk Kendari) dikenal adanya
istilah Pasang Mandar = suatu musim di mana permukaan air laut naik sampai
beberapa meter di pantai. Saat (musim barat) tersebut pertanda akan datangnya
para pedagang Mandar untuk menjajakan barang dagangannya dari rumah ke
rumah dengan menggunakan perahu sampan yang memanfaatkan air pasang naik
(Djami, 1988:78).
Beberapa faktor pendorong terjadinya dinamika masyarakat, seperti:
gejolak politik, tantangan alam di daerah asal yang gersang, dan dorongan untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik di negeri orang, merupakan daya dukung
persebaran suku bangsa termasuk di Sulawesi Tenggara. Setelah mereka tersebar
di daerah ini, ia disambut dengan sikap keterbukaan dari penduduk setempat
sehingga melahirkan hubungan yang harmonis dan saling pengertian. Para
pendatang baru berupaya beradaptasi dengan kehidupan setempat seakan
memegang prinsip dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Pertemuan antara
sikap keterbukaan penduduk setempat dengan sikap adaptif pendatang melahirkan
rasa saling membutuhkan yang melahirkan beberapa perkawinan antar mereka dan
kelak mewujudkan hubungan kekerabatan melalui perkawinan. Hubungan ini,
kelak berkembang menjadi hubungan darah sehingga sulit memisahkan antara
pendatang dengan penduduk asli setempat. Fenomena tersebut, tetap tumbuh
sumbur di tengah-tengah masyarakat Sulawesi Tenggara sampai saat ini.
Pada perkembangan lebih lanjut, di Sulawesi Tenggara terdapat tiga etnis
yang memiliki dinamika yang tinggi dalam proses mobilitas yaitu: etnis Buton
33
khususnya dari Kepulauan Wakatobi, etnis Muna, dan etnis Bugis. Ketiga etnis ini
banyak mengembangkan kekerabatan baik diantara segi tiga etnis mereka maupun
antar etnis lain yang ada di daerah ini. Dinamika mereka didorong oleh semangat
berlayar dan berdagang atau merantau ke negeri lain mencari nafkah. Mereka
didorong oleh tantangan alam dan latar sosial budaya. Bagi masyarakat Wakatobi
karena tantangan alamnya yang begunung-gunung dan letak geografis di
kepualuan sehingga mendorong mereka untuk mengalihkan arah tujuan hidup
mereka di laut atau di negeri lain mencari nafkah. Masyarakat Muna juga
didorong oleh tantangan alam yang bergunung-gunung sehingga mereka merantau
untuk mencari penghidupan yang lebih baik dengan mata pencaharian yang
bervariasi di rantau baik sebagai pelayar, pedagang, buruh, maun sebagai petani.
Masyarakat Bugis melakukan pelayaran dan perdagangan umumnya didorong
oleh faktor sosial, tradisi kawin dengan mahar yang tinggi menjadi tanggung
jawab laki-laki merupakan salah satu faktor penting dalam perantauan mereka,
demikian pula ungkapan nasib akan berubah jika meninggalkan tanah ugi (Negeri
Bugis) untuk merantau menjadi prestise tersendiri bagi pemuda Bugis. Demikian
pula kesuksesan para perantau yang kembali ke kampung halaman menjadi daya
dorong lebih lanjut kepada generasi lain untuk mengikutinya.
Peroses perkawinan sebagai salah satu saluran perkembangan
kekerabatan dalam masyarakat etnik-etnik yang ada di Sultra berupaya melibatkan
segenap anggota keluarga, meskipun pada mulanya terdapat kecenderungan
memilih jodoh diantara anggota keluarganya, tetapi seiring dengan dinamika
masyarakat dan pengaruh dari luar akibat sikap keterbukaan masyarakat setempat
34
terhadap masuknya etnik lain bersama unsur-unsr budayanya, maka pada akhirnya
terbukalah hubungan perkawinan antar etnik. Gejala seperti ini menurut Fischer
(1980:90) merupakan upaya untuk memperluas areal kekerabatan.
Pengabaian sikap eksklusif etnik-etnik yang ada di Sultra merupakan
salah satu indikator bahwa mereka telah meninggalkan salah satu ciri masyarakat
tradisional. Mereka telah lama bergerak menuju masyarakat majemuk dan terbuka
terhadap anasir-anasir asing yang dapat memperkaya budaya masyarakat
setempat, bahkan terjadi proses akulturasi budaya antar pendatang dan penduduk
setempat yang berpeluang melahirkan budaya unggul. Kenyataan tersebut
merupakan terapi pencegahan gejala disentegrasi bangsa melalui gesekan antar
etnik yang ada di Sulawesi Tenggara.
F. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Patisahusiwa (2006:16) tentang hubungan kekerabatan Suku
Maluku dan Suku Buton di Kota Ambon. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan
bahwa dalam kehidupan masyarakat Maluku pada umumnya dan Ambon pada
khususnya, hubungan persaudaraan atau kekeluargaan terjalin atau terbina sangat
akrab dan kuat antara Suku. Hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang
terbentuk secara adat dan merupakan budaya orang Maluku yang sangat dikenal
dengan istilah "pela". Hubungan pela ini dibentuk oleh para leluhur dalam ikatan
yang begitu kuat. Ikatan pela ini terjadi antara desa kristen dengan desa islam.
Dengan demikian, walaupun ada dua agama besar di Maluku (Ambon), akan
tetapi hubungan mereka memperlihatkan hubungan persaudaraan ataupun
35
kekeluargaan yang begitu kuat. Namun seperti ungkapan memakan buah si
malakama atau seperti tertimpa durian runtuh, hubungan kekeluargaan atau
persaudaraan yang begitu kuatpun mendapat cobaan yang sangat besar, sehingga
tidak dapat disangkali bahwa hubungan yang begitu kuat dan erat, ternyata pada
akhirnya bisa diruntuhkan oleh kekuatan politik yang menjadikan agama sebagai
alat pemicu kerusuhan yang bergejolak di Maluku (Ambon), yang sulit untuk
dicari jalan keluarnya.
Penelitian lain dilakukan oleh Saleh (2012:13) tentang pola hubungan
sosial pada Masyarakat Pemukiman Tanean Lanjang di Kabupaten Sumenep
Madura. Kesimpulan penelitian ini adalah: pola hubungan sosial yang dianut oleh
komunitas Masyarakat Tanean Lanjang adalah pola hubungan sosial yang berbasis
pada komunikasi keluarga dengan menekankan pada pentingnya meneguhkan
aspek nilai-nilai kekeluargaan dan harmonitas hubungan kekerabatan. Hubungan
sosial dalam interaksi kekerabatan yang sangat luas dan dibatasi oleh nilai-nilai
etika kesopanan.
Penelitian serupa dilakukan oleh Mawara (2015:21) tentang solidaritas
kekerabatan Suku Bangsa Bantik di Kelurahan Malalayang I Manado.
Kesimpulan penelitian ini adalah: suku Bangsa Bantik sebagai salah satu suku
bangsa yang ada di Minahasa yang tersebar di beberapa tempat seperti di sebelah
barat daya kota Manado yaitu di Kecamatan Malalayang, Kalasey dan sebelah
utara Manado yakni di Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Bailang, Molas, Meras
serta Tanamon di Kecamatan Sinonsayang Minahasa Selatan, wilayah Ratahan
dan wilayah Mongondow. Suku Bangsa Bantik yang ada di Kecamatan
36
Malalayang Kota Manado yang menjadi tempat penelitian, mereka telah
membuka diri untuk menerima perubahan dengan kedatangan orang-orang dari
berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia antara lain orang Jawa, Minahasa,
Gorontalo, Bolaang Mongondow, Batak, Bali, Bugis, Toraja, Sangir, Talaud juga
ada dari keturunan Tionghoa. Walaupun telah hidup berdampingan dengan
keanekaragaman suku bangsa, mereka memiliki adat istiadat, kebiasaan serta tetap
mempertahankan nilai-nilai budaya yang mereka anggap bernilai, berharga serta
patut dijaga, dilestarikan seperti kegiatan sosial yang dilakukan secara bersama
yakni solidaritas antar kerabat dalam bidang kematian, perkawinan, Sakit,
musibah kecelakaan, dan lain kegiatan tolong menolong di dalam masyarakat,
dengan adanya peristiwa-peristiwa seperti ini oleh orang-orang tua merasa
terpanggil, peduli dan merasa bertanggung jawab untuk kehidupan kekerabatan
mereka kedepan sehingga masyarakat perlu membentuk suatu kelompok gotong
royong tolong-menolong atau kerjasama yang oleh orang Bantik dikenal dengan
“poposadeng” yang didasarkan pada motto Masyarakat Suku Bangsa Bantik
dikenal dengan 3 H: (1) Hintakinang yakni saling menghormati (baku-baku
hormat), (2) Hingtulungang yakni saling tolong-menolong/saling membantu
(baku-baku bantu), dan (3) Hinggilidang yakni saling sayang menyayangi (baku-
baku sayang/baku-baku bae) berlaku sampai sekarang ini.
37
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana,
pada Bulan Januari sampai Maret Tahun 2018.
B. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian sejarah yang bersifat deskriptif
kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan mengambarkan sejarah hubungan
kekerabatan Suku Bugis dengan Suku Moronene di Wilayah Poleang Kabupaten
Bombana. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
struktural. Pendekatan struktural adalah penelitian sejarah bukan saja berdasarkan
fakta sejarah berupa benda tetapi termasuk dinamika kehidupan manusia yang
terstruktur.
C. Sumber Data Peneitian
Untuk memperoleh sumber data dalam penelitian ini penulis
menggunakan tiga kategori sumber sejarah yaitu:
1. Sumber tertulis, yaitu data yang diperoleh melalui telaah buku-buku sejarah di
lokasi penelitian khususnya skripsi, dan laporan hasil penelitian yang
mendukung perolehan data dalam peneitian ini.
2. Sumber lisan, yaitu data yang diperoleh melalui keterangan lisan atau hasil
wawancara dengan informan yang dianggap mengetahui tentang sejarah
hubungan kekerabatan Suku Bugis dengan Suku Moronene di Wilayah
38
Poleang. Informan penelitian ini terdiri dari masyarakat suku Bugis dan suku
Moronene di Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana.
3. Sumber visual, yaitu data yang diperoleh melalui pengamatan secara langsung
terhadap benda-benda atau alat-alat yang berkaitan dengan sejarah hubungan
kekerabatan Suku Bugis dengan Suku Moronene di Wilayah Poleang
Kabupaten Bombana.
D. Batasan Temporal dan Spasial
1. Batasan Temporal
Batasan temporal penelitian ini adalah Tahun 1900-an sampai
tahun 2017.
2. Batasan Spasial
Batasan spasial penelitian ini adalah wilayah Poleang zaman dulu
yang dihuni oleh masyarakat Bugis dan Moronene. Pada saat ini wilayah
Poleang telah mekar menjadi 8 kecamatan yakni: Kecamatan Poleang,
Kecamatan Poleang Barat, Kecamatan Poleang Timur, Kecamatan Poleang
Tenggara, Kecamatan Poleang Utara, Kecamatan Poleang Selatan,
Kecamatan Poleang Tengah, Kecamatan Tontonunu.
E. Heuristik
Pada tahap ini penulis mencari dan mengumpulkan data sebanyak-
banyaknya dengan menggunakan teknik sebagai benikut:
1. Penelitian kepustakaan, yaitu teknik yang digunakan untuk memperoleh data
yang diperlukan melalui sumber-sumber tertulis berupa buku-buku yang
relevan dengan penelitian ini.
39
2. Observasi yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan melalui
pengamatan secara sistematis tentang fenomena yang diteliti. Dalam penelitian
ini, peneliti melakukan pengamatan langsung tentang hubungan kekerabatan
Suku Bugis dengan Suku Moronene di Poleang.
3. Wawancara dengan delapan orang informan yang mengetahui permasalahan
yang diteliti.
4. Studi dokumen yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengkaji
dokumen yang ada hubungannya dengan hubungan kekerabatan Suku Bugis
dengan Suku Moronene di Wilayah Poleang.
F. Kritik Sumber
Pada tahapan ini peneliti mengadakan penilaian terhadap data yang sudah
terkumpul, khususnya bagi data yang masih diragukan kebenarannya sehingga
bisa didapatkan data yang benar-benar akurat, sehingga dapat dipakai dalam
penulisan sejarah.
Untuk mengkaji keaslian dan kebenaran data tersebut dengan menempuh
cara sebagai berikut:
1. Kritik eksternal ialah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap
aspek-aspek luar dari sumber sejarah. Sebelum semua kesaksian yang berhasil
dikumpulkan oleh sejarawan dapat digunakan untuk merekonstruksi masa lalu,
maka terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan yang ketat. Atas dasar
berbagai alasan atau syarat, setiap sumber harus dinyatakan dahulu otentik dan
integral. Saksi mata atau penulis itu harus diketahui sebagai orang yang dapat
dipercaya. Kesaksian itu harus dapat dipahami dengan jelas. Sebelum sumber-
40
sumber sejarah dapat digunakan dengan aman, paling tidak ada sejumlah lima
pertanyaan harus dijawab dengan memuaskan, yaitu: (1) siapa yang
mengatakan itu, (2) apakah dengan satu atau cara lain kesaksian itu telah
diubah?; (3) apa sebenarnya yang dimaksud oleh orang itu dengan
kesaksiannya itu; (4) apakah orang yang memberikan kesaksian itu seorang
saksi mata yang kompeten, apakah ia mengetahui fakta itu; dan (5) apakah
saksi itu mengatakan yang sebenarnya dan memberikan kepada kita fakta yang
diketahui itu? (Syamsuddin, 2007). Kritik eksternal ialah suatu penelitian atas
asal-usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu
sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan untuk
mengetahui apakah pada suatu waktu sejak asal mulanya sumber itu telah
diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak. Kritik eksternal harus
menegakkan fakta dari kesaksian, bahwa: (a) kesaksian itu benar-benar
diberikan oleh orang ini atau pada waktu ini; dan (b) kesaksian yang telah
diberikan itu telah bertahan tanpa ada perubahan, tanpa ada suatu tambahan-
tambahan atau penghilangan-penghilangan yang substansial.
2. Kritik internal menekankan aspek dalam, yaitu: isi dari sumber kesaksian.
Setelah fakta kesaksian ditegakkan melalui kritik eksternal, giliran selanjutnya
adalah mengadakan evaluasi terhadap kesaksian tersebut. Evaluasi didasarkan
atas dua penyelidikan, yaitu: pertama, arti sebenarnya dari kesaksian itu harus
dipahami dengan kata lain sumber informasi harus dipahami dengan baik.
Informan harus jelas menunjukkan kompetensi dan kebenaran. Kedua, penulis
41
harus menetapkan arti sebenarnya dari kesaksian atau sumber yang
didapatkan.
G. Historiografi
Tahap penulisan sejarah dilakukan dengan merujuk pada Sjamsuddin
(2007: 155) sebagai berikut:
1. Penafsiran, yakni menganalisis dan menyusun sumber-sumber data yang
diperoleh dan menggolongkan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya
sesuai dengan kenyataan yang ada untuk menjawab permasalahan dalam
penelitian.
2. Penjelasan, yakni menjeaskan sumber-sumber yang telah diperoleh, baik itu
berupa sumber internal maupun sumber eksternal.
3. Penyajian, yakni dengan melakukan penyajian hasil penelitian tentang aspek
yang diteliti.
42
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Geografi Umum Poleang
Poleang merupakan salah satu wilayah Kabupaten Bombana yang terletak
di daratan pulau Sulawesi bagian Tenggara. Kabupaten Bombana adalah salah
satu Daerah Tingkat II provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia, dengan
ibukota Rumbia, dibentuk berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2003 tanggal 18
Desember 2003 yang merupakan hasil pemekaran Kabupaten Buton. Wilayah
kecamatan di Kabupaten Bombana saat ini adalah pemekaran dari tiga kecamatan
induk, yaitu; Rumbia, Poleang, dan Kabaena. Khusus Kecamatan Poleang, saat ini
telah mekar menjadi delapan kecamatan, yakni; Kecamatan Poleang (induk),
kecamatan poleang timur, kecamatan poleang barat, kecamatan poleang selatan,
kecamatan poleang utara, kecamatan poleang tenggara, kecamatan poleang
tengah, dan kecamatan totonunu.
Secara topografi Poleang memilki permukaan tanah yang pada umumnya
dataran dan bukit. Dengan keadaan dan kondisi tanah yang dimiliki ini sangat
cocok untuk lahan pertanian seperti tanaman perkebunan yakni kelapa, coklat,
kelapa, jambu mente, kopi, dan buah-buahan seperti mangga, nangka, dan
sebagainya. Selain itu, tanaman semusim sangat cocok ditanam seperti jagung,
semangka, kacang-kacangan, dan sayur-sayuran. Di bidang perikanan alamnya
cukup menunjang karena di daerah ini terdapat sungai, hutan mangrove dan
pantai.
43
B. Gambaran Demografi Umum Poleang
1. Keadaan Penduduk
a. Jumlah Penduduk
Penduduk yang mendiami wilayah Poleang adalah masyarakat pendatang
dari Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan rumpun suku Bugis ditambah
dengan masyarakat lokal atau suku Moronene. Berdasarkan data jumlah penduduk
tahun 2017 jumlah penduduk Poleang di delapan kecamatan adalah 78.286 jiwa.
Dari keseluruhan jumlah penduduk daerah Poleang, 70% penduduk adalah suku
Bugis, 20% suku Moronene, dan sekitar 10% adalah suku Buton.
b. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan
berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik. Tingkat pendidikan adalah suatu
kondisi jenjang pedidikan yang dimiliki oleh seseorang melalui pendidikan formal
yang dipakai oleh pemerintah serta disahkan oleh lembaga Negara yang
mengurusi bidang pendidikan. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap
perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi
akan memudahkan sesorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya
dalam hal kesehatan. Pendidikan formal membentuk nilai bagi seseorang terutama
dalam menerima hal baru.
Bidang pendidikan dinilai sangat penting dalam kehidupan manusia.
Pendidikan dapat menciptakan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai
baru bagi masyarakat. Tingkat pendidikan penduduk Poleang dan semua jenjang
44
pendidikan, mulai yang belum sekolah, tidak tamat SD, tamat tamat SLTP,
sampai tamat Perguruan Tinggi.
d. Mata Pencaharian
Sistem mata pencaharian penduduk untuk masyarakat Poleang masih
tergantung pada kondisi letak geografis daerah setempat. Wilayah Poleang
memiliki tanah yang subur sehingga cocok untuk dijadikan daerah pertanian
maupun perkebunan. Penduduk di Poleang mayoritas bermata pencaharian
sebagai petani, sedangkan yang lainnya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil,
Nelayan, Pedagang, tukang ojek, dan buruh bangunan.
2. Gambaran Sosial Budaya Masyarakat Poleang
a. Budaya
Budaya merupakan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan
masyarakat yang digunakan sebagai tata aturan yang mengatur pola prilaku setiap
anggota-anggotanya. Dalam kehidupan masyarakat Poleang aturan-aturan tersebut
dikenal dengan istilah Syara yang merupakan peraturan tidak tertulis yang harus
dipatuhi oleh seluruh masyarakat berdasarkan suatu konsensus yang dibuat.
Aturan ini dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat, contohnya
dalam penentuan keputusan, ketetapan syara menjadi keputusan tertinggi. Aturan
ini berkembang hingga saat ini dan masih tetap digunakan dalam kehidupan
masyarakat.
b. Kepercayaan
Kepercayaan merupakan bagian dari kebudayaan yang memiliki daya tarik
tersendiri karena sangat bersentuhan dengan alam kehidupan manusia sebagai
45
makhluk tuhan. Sehingga tidak heran kepercayaan dijadikan sebagai pedoman
hidup karena diyakini dapat memberikan nilai lebih dan yang telah dilakukannya.
Keyakinan akan kepercayaan yang menjadi dasar pandangan hidup berasal dan
akal atau kekuatan tuhan.
Seluruh masyarakat Poleang beragama Islam. Pelaksanaan kegiatan atau
aktivitas keagamaan masyarakat, pada umunnya berpusat di mesjid yang ada di
desa tersebut. Mesjid tersebut digunakan untuk melaksanakan shalat lima waktu,
shalat jum’at, dan memperingati hari-hari besar Islam, seperti Idul Fitri, Idul
Adha, Maulid Nabi Muhammad SAW dan Isra’ Mi’raj. Di masjid ini juga
dilakukan kegiatan TPA dan Majelis taklim, kegiatan TPA sendiri dilakukan
bukan saja untuk santri di desa tersebut namun santri dari desa tetangga, 4 hari
dalam seminggu (hari senin, selasa, rabu, kamis). Di Poleang juga terdapat satu
kelompok Majelis Taklim yang dibentuk oleh ibu-ibu di desa tersebut.
Kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Taklim Poleang adalah mengadakan
Yasinan pada setiap malam Jumat. Kegiatan tersebut dihadiri oleh anggota
Majelis Taklim dan tokoh-tokoh agama serta masyarakat lainnya. Selain kegiatan
Yasinan yang dilaksanakan pada setiap malam Jumat, juga dilakukan perayaan
hari besar keagamaan misalnya peringatan Isra Mi’raj, Maulid Nabi Muhammad
SAW, dan lain-lain.
C. Awal Mula Kedatangan Suku Bugis di Poleang
Menurut cerita turun-temurun dari masyarakat Poleang bahwa Poleang
berasal dari kata polea yang berarti “bawaan”. Bawaan yang dimaksud adalah
benda berupa tanah liat yang berasal dari Bone Sulawesi Selatan diletakkan di
46
wilayah kekuasaan Kerajaan Moronene sekitar akhir abad ke-19. Pada awal
kedatangannya, masyarakat Bone diterima dengan baik oleh masyarakat setempat.
Dalam perkembangan selanjutnya untuk tetap memelihara hubungan baik maka
Suku Bugis dan Suku Moronene melakukan suatu perjanjian yang melahirkan
kesepakatan bahwa para pendatang hanya dapat menempati dan menguasai
wilayah pesisir pantai. Sebagai tandanya, diletakkanlah tanah liat yang dibawa
dari negeri mereka. Sebagaimana dijelaskan oleh Informan bernama Drs. H.
Mustafa DM (Wawancara, 20 Januari 2018) sebagai berikut:
Cerita dari tetua kita zaman dulu bahwa Poleang berasal dari kata polea
yang berarti “bawaan”. Bawaan tersebut adalah benda berupa tanah liat
yang berasal dari Bone Sulawesi Selatan terjadi sekitar tahun 1987.
Melalui perjanjian dengan suku Moronene, semua daerah yang ditandai
dengan tanah liat dapat dihuni oleh masyarakat pendatang dari Bone
Sulawesi selatan. Daerah yang ditandai tersebut adalah wilayah sekitar
pesisir pantai.
Berdasarkan sumber lain, Poleang berasal dari asal kata “Polea” yang
berarti penyeberangan. Polea merupakan suatu peristiwa penyerahan tanah liat
(Tanah Bangkalae) yang berasal dari Palaka Bone Sulawesi Selatan kepada Sultan
Buton kemudian diberikan kepada Raja Lembo Pari dan diletakan di Wita
Nimbula yang lebih dikenal dengan riwayat Polea atau Mpompolea. Paduan Polea
(Mpompolea) Bahasa Moronene yang berarti menyeberang atau penyeberangan
dan Poleangi dalam Bahasa Bugis yang berarti bawaan maka lahirlah nama
Poleang (Rekson, dkk., 2015:249).
Polea pada awal mulanya adalah wilayah Kerajaan Moronene. Dalam
cerita daerah digambarkan bahwa kerajaan Moronene adalah kerajaan yang sangat
makmur. Rakyatnya hidup rukun dan damai. Hasil alamnya sangat melimpah
47
yang bisa dinikmati oleh seluruh rakyat. Namun kemudian kerjaaan Moronene
ditimpa perpecahan yang menyebabkan terbaginya daerah itu menjadi tiga
kerajaan, yaitu Kerajaan Rumbia, Kerajaan Kotua, dan Kerajaan Polea.
Kerajaan Polea atau Lempombopari diperkirakan berdiri sekitar abad ke
XIV. Kerajaan polea pertama dipimpin oleh seseorang dengan gelar Tamotua
(orang yang dituakan) yang dibantu oleh seseorang dijuluki mbue atau seseorang
sesepuh atau nenek bertugas sebagai dukun. (Rekson, dkk., 2015:249). Kerajaan
Poleang, Moronene, Rumbia, dan Kabaena pada awal mulanya merupakan
federasi dari kerajaan Bone. Akan tetapi imbas perang antara Bone dan Buton
melawan Gowa maka Bone dan Buton mempererat ikatan dengan menukar
wilayah federasi kerajaan. Melalui suatu perjanjian antara sultan Buton VIII
Sultan Mardan Ali, raja Bone, raja-raja Keu Wia, Lembo Pari, Wonua Carambau,
dan Raja Selayar di Lueno Ute Labua maka Kerajaan Poleang, Moronene,
Rumbia, dan Kabaena masuk dalam federasi Kesultanan Buton, dan sebagai
gantinya Kesultanan Buton menyerahkan Kerajaan Selayar. (Rekson, dkk.,
2015:255).
48
BAB V
SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN
SUKU MORONENE DI WILAYAH POLEANG
A. Proses Diaspora Suku Bugis di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana
Awal mula kedatangan Suku Bugis di Poleang adalah pada masa
pemerintahan Raja Suu di Moronene sekitar akhir abad ke-19. Utusan Raja Bone
bernama Petta Mangkau datang ke Poleang memberitahukan kabar bahwa
Belanda akan berkuasa di Wilayah Kerajaan Bone bahkan bisa sampai di Kerajaan
Moronene (Tamburaka, 2003:167).
Kemudian Raja Suu mengirim utusan untuk bertemu Raja Bone dengan
tujuan memperjelas maksud dari kerjasama antara dua kerajaan. Setelah mencapai
kesepakatan, maka Raja Bone memberangkatkan 40 kepala keluarga menuju
wilayah Kerajaan Moronene dibekali segenggam Tanah Bangkala. Setelah sampai
di Toburi, rombongan tersebut bertemu dengan Raja Suu dan menyerahkan
segenggam tanah dari Raja Bone. Tanah tersebut ditanam di halaman istana Raja
Suu dan menjadi tanda ikatan persahabatan antara Kerajaan Bone dan Kerajaan
Moronene (Tamburaka, 2003:167).
Pengiriman warga Kerajaan Bone ke kerajaan Poleang menjadi awal mula
datangnya masyarakat Bugis ke Poleang. Masyarakat Bugis yang datang ke
Poleang pada saat itu telah beranak pinak dan membentuk kampung-kampung di
wilayah Kecamatan Poleang saat ini. Hal ini didukung oleh pernyataan informan
(M. Diah Bandu, Wawancara, 14 Januari 2018) yang menyatakan bahwa:
Kami sudah lahir di kampung ini. Nenek moyang kami juga sudah lahir
dan bertempat tinggal di kampung ini. Kami memang bukan masyarakat
49
asli Poleang tapi sudah sangat lama di sini. Nenek moyang kami sudah
ratusan tahun hidup di Poleang dan yang ada sekarang adalah cucu dan
cicit-cicit mereka.
Secara historis nama “Poleang” berasal dan Bahasa Bugis yang berarti
“yang dibawa” atau tanah yang dibawa. Istilah ini muncul sehubungan dengan
kedatangan pertama Orang Bugis di daerah ini yang merupakan witayah yang
tidak berpenghuni, sehingga Orang Bugis merupakan penduduk pertama di
wilayah yang sekarang bernama Poleang yang berarti “Tanah yang dibawa dan
Bone” dan selanjutnya menyampaikan kepada Raja Bone bahwa daerah yang
berada di sebelah Timur Bone yang kemudian disebut “Tanah Lau” atau tanah
kita yang ada di timur, dan merupakan wilayah Kerajaan Bone dan Orang Bugis
Bone yang bertempat tinggal di wilayah Poleang ini merupakan penduduk
Kerajaan Bone (Bone ri Lau), dan sewaktu-waktu Raja Bone menyeberang Teluk
Bone menuju Tanah Lau untuk menangkap rusa dengan jalan “nrengngeng
jonga=berburu rusa dengan menunggang kuda serta menggunakan tombak dan tali
untuk menjerat/mengikat di daerah yang sekarang bernama “Lappa Pajjongang”
yang merupakan suatu padang luas tempat hidup banyak rusa liar. Hal ini
mengundang perhatian Maddolangeng Daeng Mattengnga untuk dijadikan sebagai
kawasan peternakan kuda dan kerbau pada saat itu. Letaknya berbatasan di
Sebelah Utara dengan Bulu Maccimpolongnge (Bahasa Bugis: gunung yang
berbentuk model sanggul perempuan), di sebelah timur adalah Dataran Laeya, di
sebelah selatan terlentang Teluk Bone (Kampung Baru), di sebelah barat terdapat
sungai kecil bersebelahan dengan Wemputtangnge (Bahasa Bugis: sumber mata
air yang merupakan sungai kecil airnya coklat kemerahan) (Hafid, 2016:45).
50
Kedatangan para pemukim Bugis yang dipimpin oleh Maddolangeng
Daeng Mattengah sekitar tahun 1906 seusai Perang Bone melawan Belanda atau
Rumpa’na Bone beberapa perahu Orang Bugis mendarat dipantai (kompleks
Kampung Baru) sekarang, menyeberang dan Tanah Bugis ke Tanah Poleang
untuk mencari kehidupan yang lebih baik dengan cara bertani, berdagangan,
menangkap ikan, dan sewaktu-waktu mereka berburu rusa untuk kebutuhan lauk.
Kedatangan inigran Bugis di Tanah Poleang (segenggam tanah yang dibawa dan
seberang Tanah Bugis kemudian disimpan di sekitar Kali Mulaeno tempat mereka
pertama kali berlabuh dan menginjakkan kakinya) kemudian dikenal sebagai Salo
Poleang (Sungai Poleang), selanjutnya diyakini sebagai awal penamaan Tanah
Poleang Bugis yang dikenal sampai sekarang. (Hafid, 2016:45).
Bugis, salah satu dari tiga etnik di Nusantara yang telah menempatkan
manusia-manusianya di seberang lautan sejak ratusan tahun lampau. Kepindahan
masyarakat Bugis, lebih disebabkan karena besarnya dorongan politik di Sulawesi
Selatan, yang merupakan kampung halaman mereka. Kerajaan-kerajaan Bugis-
Makassar yang telah bersaing sejak abad ke-14, menciptakan ketegangan yang
berkepanjangan. Aliansi, ekspansi, dan peperangan yang berlangsung ratusan
tahun lamanya, mengundang petualang-petualang asing untuk ikut bermain di
dalamnya. Pemerintah Hindia-Belanda yang tahu keadaan ini, menjadi pihak yang
paling siap membantu salah satu kerajaan yang bersaing (Burhanuddin, 1981:45).
Kisah terdiasporanya masyarakat Sulawesi Selatan ke seluruh Nusantara,
bermula kerjasama antara Arung Palakka Raja Bone, Kesultanan Buton dan
Hindia-Belanda. Ketika itu, Kerajaan Bone dan Kesultanan Buton dalam keadaan
51
terjepit oleh kekuasaan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin. Wilayahnya
yang terus berkembang, mengancam eksistensi Bone dan Buton yang semakin
rapuh. Di pihak lain, ekspansi dagang Gowa ke seberang lautan, juga mengancam
jaringan perdagangan Belanda di Indonesia Timur. Keadaan ini menyebabkan,
terjadinya aliansi Bone-Buton-Belanda di Sulawesi (Burhanuddin, 1981:45).
Kuatnya aliansi Bone-Buton-Belanda, berakibat pada jatuhnya benteng
Makassar ke tangan Kompeni. Keadaan ini semakin diperparah oleh Perjanjian
Bongaya (tahun 1666) yang melarang orang-orang Bugis pergi melaut. Hingga
usai Perang Makassar tahun 1669, seluruh wilayah Kesultanan Gowa telah
menjadi bagian dari Pax Nederlandica. Orang-orang Bugis-Makassar yang tak
puas dengan kondisi politik Sulawesi Selatan, memilih untuk pergi merantau dan
mengancam Belanda di perairan. Mereka bertekad, akan melawan setiap kapal-
kapal Belanda yang mereka temui di lautan. Sebagaimana dikemukakan oleh
Informan (Bakri, Wawancara, 14 Januari 2018)) yang menyatakan bahwa:
Perantauan masyarakat Bugis ke berbagai daerah di Bagian Timur ini
sebagai akibat dari cerita masa lalu dimana ada perang saudara antara
Bone-Buton-Belanda melawan Gowa. Hasil perang saudara ini
menyebabkan kekuasaan Belanda makin meluas di Sulawesi sehingga
masyarakat Bugis tidak dapat lagi berkembang di daerahnya sehingga
merantau ke daerah lain.
Selain dari migrasi yang disebabkan konflik berkepanjangan pada masa
sebelum kemerdekaan, ada juga akibat konflik politik sekitar tahun 1949 setelah
kemerdekaan. Pada masa itu, di Sulawesi Selatan terjadi pemberontakan DI/TII
yang meluas sampai ke daerah Sulawesi Tenggara termasuk di Poleang. Dalam
rangka penggalangan kekuatan, para pimpinan DI/TII melakukan pendekatan
tradisi dalam etos kultur “siri dan na-pace”. Perjuangan DI/TII di Poleang
52
mendapat dukungan masyarakat setempat karena penduduk yang mendiami
wilayah itu adalah warga dari Sulawesi Selatan. Sehingga tidak sedikit para
pejuang DI/TII memilih menetap di Poleang pasca pemberontakan itu ditumpas.
Setelah sekian lama menetap di Poleang, masyarakat Suku Bugis makin
berkembang dan tersebar di berbagai wilayah di Poleang. Mata pencaharian
mereka adalah bertani, nelayan dan berdagang. Hubungan dengan suku Pribumi
(Moronene) terjalin dengan baik. Setelah lama hidup berdampingan, maka terjadi
kawin-mawin antara kedua suku. Banyaknya pria Bugis yang menikah dengan
perempuan Moronene atau sebaliknya semakin memperkuat kekerabatan dua suku
yang hidup saling berdampingan. Sebagaimana dijelaskan oleh Informan (M. Diah
Bundu, Wawancara, 14 Januari 2018) sebagai berikut:
Perantauan masyarakat Bugis ke berbagai daerah di Bagian Timur ini
sebagai akibat dari cerita masa lalu dimana ada perang saudara antara
Bone-Buton-Belanda melawan Gowa. Hasil perang saudara ini
menyebabkan kekuasaan Belanda makin meluas di Sulawesi sehingga
masyarakat Bugis tidak dapat lagi berkembang di daerahnya sehingga
merantau ke daerah lain. Pertama data di Poleang masyarakat Bugis itu
hanya 40 KK kemudian berkembang dan tersebar. Mereka bertani, cari
ikan dan jualan. Hubungan dengan orang setempat terjalin dengan baik,
kemudian terjadi kawin-mawin antara kedua suku. Banyaknya anak
muda atau anak gadis yang menikah dengan orang Moronene semakin
memperkuat kekerabatan kami dengan mereka.
Suku Bugis di Poleang sudah ada sejak sebelum kolonialisasi, Suku Bugis
dan Moronene hidup dalam lingkungan yang sama dan saling mejaga nilai dan
norma yang sudah ada di wilayah tersebut. Dalam kesehariannya masyarakat juga
menjaga sikap terutama dalam hal saling menghargai dan saling mengerti antara
individu atau kelompok yang satu dengan yang lainnya agar terciptanya rasa aman
dan kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat. Terutama masyarakat Bugis
53
sebagai mayoritas menjaga sikap dalam melakukan kegiatan sehari-hari, agar
msyarakat Pribumi sebagai minoritas mampu menghargai dan juga mampu
bersama-sama menjaga keamana yang ada dalam masyarakat beragam suku atau
etnik tersebut. Sebagaiman dijelaskan oleh Informan (Nasar, Wawancara, 15
Januari 2018) yang menyatakan bahwa:
Jauh sebelum kedatangan Belanda di Poleang, Suku Bugis sudah datang
di daerah ini. Meskipun mereka sebagai Pendatang, kami selalu
menghargai mereka begitu pula sebaliknya, walaupun sekarang ini di
Poleang sudah mayoritas Suku Bugis tapi mereka tetap menghargai kami
Suku Moronene. Alhamdulillah sampai saat ini hubungan masyarakat di
Poleang terjalin dengan baik.
Hubungan kekerabatan masyarakat Poleang yang dijalin sebelum
kolonialisasi dan bertahan sampai sekarang menjadi suatu hal yang menarik
dikarenakan masyarakat yang ada di dalamnya saling menjalin hubungan yang
baik antara individu maupun kelompok masyarakat di daerah tersebut. Hal ini
dijelaskan oleh Informan (Rusnandar, Wawancara, 15 Januari 2018) selaku tokoh
masyarakat mengatakan bahwa:
Selama saya berada di Poleang Alhamdulillah hubungan masyarakat disini
terjaga dan seakan sudah tidak ada perbedaan antara mayarakat yang
berasal dari berbagai suku. Masyarakat hidup berdampingan dengan
perbedaan suku itu sudah menjadi hal yang biasa di ini sehingga kita
semua bisa saling berbagi.
Pernyataan informan di atas menggambarkan bahwa proses diaspora Suku
Bugis di Poleang dimulai sejak jaman kerajaan sampai masa setelah kemerdekaan.
Kedatang pertama Suku Bugis di Poleang sebanyak 40 KK dalam satu rombongan
dan selanjutnya datang secara individu.
Tradisi lisan lain mengungkapan bahwa di Toburi terdapat sebuah bukit
yang disebut Tanah Poleang atau Tanah Bangkala (tanah yang berwarna
54
keemasan), yang merupakan simbol tanah leluhur yang dibawa dari Pusat Ibu
Kota Kerajaan Bone yang ada di Watampone. Keyakinan ini menunjukkan bahwa
mereka selalu mengingat akan kampung halaman, sehingga apa saja yang
memiliki kemiripan dengan suatu benda atau tempat, selalu dikaitkan dengan
negeri leluhurnya. (Hafid, 2016:47)
Kedatangan Orang Bugis di wilayah Poleang disebut peristiwa
Mallekkedapureng, yaitu simbolisasi hak kebebasan Orang Bugis untuk
mendorong upaya perbaikan kesalahan, baik disebabkan oleh diri sendiri ataupun
orang lain (dalam hal ini kesalahan yang dibuat Belanda karena ingin menguasai
Kerajaan Bone), dengan cara meninggalkan negeri dan menetap di negeri orang
lain. Di tempat baru itu mereka bekerja dengan baik, diawali dengan mengakui
kesalahan dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Fenomena tersebut sejalan
dengan filosofi passope (perantau/pelaut) yang disebut mappattepu
(menyelesaikan sesuatu sebelum dilaksanakan), ungkapan, seperti: lettu memekki
nainappaki sompe (yakinkan diri anda sudah tiba di tempat tujuan sebelum anda
berlayar menuju tempat yang dituju). Ungkapan sejenis dinyatakan: pasaniasa
jamatta nainappaki moto (selesaikan pekerjaan esok hari sebelum bangun tidur di
waktu subuh).
Sebagaimana dijelaskan oleh Informan (Sugiant Nor, Wawancara 15
Januari 2018) berikut ini:
Kedatangan nenek moyang Orang Bugis di Poleang merupakan peristiwa
Mallekkedapureng, yaitu perbaikan kesalahan oleh diri sendiri ataupun
orang lain dengan cara merantau. Setelah tiba di Poleang mereka bekerja
dengan baik dan tidak mau gagal seperti waktu di Kampung Halaman.
Nenek moyang kita ini berpegang pada filosofi passope mappattepu, lettu
memekki nainappaki sompe, pasaniasa jamatta nainappaki moto.
55
Adapun rombongan Orang Bugis yang datang kemudian untuk berdagang,
menangkap ikan, bertani dan berburu rusa. Rombongan yang datang selanjutnya,
sebagian dan mereka memilih tidak kembali ke Bone, tetapi menetap di Poleang,
dan berusaha untuk memperbaiki hidup dan menjalin hubungan baik dengan
penduduk yang datang lebih awal dan penduduk yang datang kemudian, mereka
memegang prinsip Perantau Bugis: tegi-tegi sore lopie’ konitu taro sengereng
(dimana saja perahu berlabuh di situlah kita menanam/menyimpan kenangan). Hal
ini sejalan dengan pendapat Informan (Abustam, Wawancara 15 Januari 2018)
berikut ini.
Kedatangan Orang Bugis di Poleang dilakukan secara bertahap,
kedatangan pertama adalah utusan Kerajaan Bone dan kedatangan
selanjutnya bertujuan untuk berdagang, menangkap ikan, bertani dan
berburu rusa. Pendatang-pendatang itu memilih untuk menetap di Poleang
dengan berpedoman pada filosofi merantau orang Bugis “tegi-tegi sore
lopie’ konitu taro sengereng”.
Perkembangan wilayah di Poleang sejak kedatang Orang Bugis zaman
dulu sampai sekarang ini telah memberikan pengaruh yang besar. Beberapa fakta
historis pengaruh Bugis Bone di daerah ini, seperti: Nama Kampung Teppoe’,
yang berarti tanggul/Pematang, Tomampu, Pallimae’, Mulaeno, Pu Lemo, dan
Batu Pute. Demikian pula nama Tongko Seng, yang berarti rumah yang beratap
seng dijadikan Pasanggarahan oleh Orang Belanda, kampung-kampung tersebut
merupakan penamaan Orang Bugis.
B. Latar Belakang Hubungan Kekerabatan Suku Bugis dan Suku Moronene
Dibina di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana
Sekitar Abad XIX kesultanan Bone mengirimkan 40 Kepala Keluarga
untuk membentuk kampung di wilayah kerajaan Poleang dengan maksud
56
mempererat persaudaran. Rombongan orang Bone yang telah sampai di Poleang
bermukim Pesisir Pantai. Wilayah pemukiman Suku Bugis itu kemudian diberi
nama Poleang (Tamburaka, 2003:167).
Maksud kedatangan masyarakat Bugis di Poleang adalah menjalin
kekerabatan antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Moronene. Masyarakat Bugis
yang menetap di Poleang diharapkan dapat menetap dan melahirkan keturunan
yang makin berkembang dan pada akhirnya akan terlahir turunan campuran antara
Suku Bugis dan Suku Moronene. Turunan campuran ini diharapkan akan
mempererat hubungan kekerabatan antara dua suku berbeda.
Sebagimana dijelaskan sebelumnya bahwa pada saat rombongan Suku
Bugis pertama tiba di Poleang, mereka bermukim di pesisir pantai karena wilayah
itu belum berpenghuni. Masyarakat Moronene pada saat itu masih tinggal di
pedalaman, bertani ladang dan berpindah-pindah. Selain itu, daerah pesisir sering
didatangi oleh perampok berperahu. Masyarakat local beranggapan bahwa
masyarakat pendatang ini bisa digunakan sebagai tameng dari serangan bajak laut.
Sebagaimana dijelaskan Informan (Andi Abdul Rahman Nusu, Wawancara, 20
Januari 2018) sebagai berikut:
Masyarakat setempat memberikan daerah pesisir pantai karena wilayah
tersebut tidak berpenghuni dan selalu mendapat ancaman dari para
perampok berperahu. Jadi masyarakat di sana jaman dulu itu
beranggapan bahwa para pendatang itu bisa dijadikan sebagai tameng
dari serangan para perampok berperahu.
Dari penjelasan Informan di atas dapat dikatakan bahwa Kedatangan Suku
Bugis di Poleang memberikan keuntungan kepada masyarakat Suku Moronene
karena kehadiran mereka menjadi tameng dari serangan para perompak berperahu.
57
Jadi latar belakang kekerabatan antara Suku Bugis dan Suku Moronene di Poleang
adalah untuk keamanan.
Setelah beberapa lama tinggal di pesisir pantai Poleang, para pendatang
akhir ini mulai mengolah daerah pertanian, sehingga terjadi perselisihan dengan
warga setempat. Untuk mengatasi perselisihan tersebut maka Sultan Buton dan
Raja Bone bersama raja-raja To Moronene, Lembo Pari, Keu Wia dan Wonua
Carambau bermusyawarah di Lueno Ute Labua (Rekson, dkk., 2015:257).
Musyawarah antara Sultan Buton dan Raja Bone bersama raja-raja To
Moronene, Lembo Pari, Keu Wia dan Wonua Carambau di Lueno Ute Labua
melahirkan kesepakatan berdamai. Untuk merayakan perdamaian antara dua suku
yang berselisih itu maka para Raja mengadakan ritual sumpah perdamaian yang
disebut dengan “Sumpah Tandu Ale”. Dalam sumpah ini disebutkan bahwa barang
siapa yang melanggar sumpah itu atau tidak menjaga hubungan kekerabatan
antara dua suku maka hidupnya tidak akan selamat. Hidupnya perih seperti
lombok, hitam seperti arang, dan nyawanya rapuh seperti kulit telur. Prinsip hidup
berdampingan antara Suku Bugis dan Suku Moronene yang disebut dengan
“Sumpah Tandu Ale” tetap dipegang teguh sampai saat ini sehingga mereka bisa
hidup rukun dan damai. Sebagaimana dijelaskan oleh Informan (H. Abustam,
Wawancara, 20 Januari 2018) yang menyatakan bahwa:
Kedatangan Suku Bugis di Poleang awal mulanya diterima baik, tapi
setelah masyarakat pendatang ini mengelola lahan pertanian maka warga
setempat tidak terima dan terjadilah perselisihan. Maka para raja kedua
suku bertemu di Lueno Ute Labua dan lahirlah sumpah perdamian Tandu
Ale. Dalam sumpah ini disebutkan bahwa siapa saja yang melanggar atau
tidak menjaga hubungan kekerabatan antara dua suku maka hidupnya
tidak akan selamat. Hidupnya perih seperti lombok, hitam seperti arang,
dan nyawanya rapuh seperti kulit telur.
58
Untuk lebih memperkokoh hubungan kekerabatan antara dua suku ini
maka setelah perselisihan akibat lahan pertanian maka raja Bone bersama raja-raja
To Moronene, Lembo Pari, Keu Wia dan Wonua Carambau di Lueno Ute Labua
mengumpulkan para jejaka dan gadis-gadis untuk mencari pasangan muda-mudi
yang saling mencintai dari delapan kampung. Setelah delapan pasangan
ditemukan maka dilangsungkan pernikahan secara bersamaan dilanjutkan dengan
pesta rakyat. Delapan pasangan yang telah dinikahkan ditempatkan di delapan
kampng berbeda. Kampung-kampung tersebut saat ini telah menjadi Ibu Kota dari
masing-masing kecamatan di wilayah Poleang. Sebagaimana dijelaskan oleh
Informan (H. Bahar, Wawancara, 20 Januari 2018) sebagai berikut.
Setelah ada perselisihan akibat lahan maka raja Bugis dan raja Moronene
di Lueno Ute Labua mengumpulkan para jejaka Bugis dan gadis-gadis
Moronene dari delapan kampung. Setelah itu dinikahkan secara
bersamaan dilanjutkan dengan pesta besar. Delapan pasangan yang telah
dinikahkan ditempatkan di delapan kampng berbeda. Kampung-kampung
tersebut dimekarkan menjadi kecamatan di wilayah Poleang.
Hasil penelitian di atas menggambarkan bahwa latar belakang kekerabatan
masyarakat Suku Bugis dan Suku Moronene di Poleang adalah persaudaraan dua
kerajaan yang diwujudkan dalam bentuk perkawinan. Sebagai wujud dari
“Sumpah Tandu Ale” maka masyarakat Suku Bugis dan Suku Moronene menjaga
hubungan kekerabatan dengan baik. Mereka hidup rukun dan saling menjaga satu
sama lain.
Masyarakat Suku Bugis dan Suku Moronene di Poleang tetap
mempertahankan hubungan kekerabatan sampai saat ini. Masyarakat dalam
menjalankan kesehariannya saling menutupi kebutuhan, terutama pada kebutuhan
pokok seperti sandang, dan terlihat dalam kondisi perekonmian masyarakat yang
59
memiliki peluang untuk saling menutupi kebutuhan satu sama lain yang akhirnya
terjalin komunikasi antar masyarakat tersebut, contoh salah satu masyarakat
membutuhkan sayur-sayuran maupun buah-buahan dan itu terpenuhi, dikarenakan
ada yang mendagangkannya di desa tersebut. Hubungan kekerabatan masyarakat
dalam bidang ekonomi terlihat dengan adanya fasilitas, seperti pasar yang menjadi
tempat berkumpulnya masyarakat dalam mendagang dan mencari kebutuhan
pokok. Sebagaimana dijelaskan oleh Informan (H. Bahar, Wawancara, 20 Januari
2018) yang menyatakan bahwa:
Selaku masyarakat desa Pokorumba dari Suku Bugis sudah berada di
Poleang sejak kecil. Hubungan kekerabatan masyarakat di sini terjalin
dengan baik. Hidup bergotong royong, saling menghormati bukan saja
hanya sesame Suku Bugis tapi dengan suku-suku lain seperti Suku
Moronene.
Masyarakat Suku Bugis dan Suku Moronene selama berada di Poleang
merasa aman, dikarenakan masyarakat kedua suku sudah merasa tidak ada
perbedaan. Masyarakat selalu mejaga hubungan kekerabatan, selalu bergotong
royong dan saling menghormati satu sama lain. Dalam kesehariannya, masyarakat
Poleang selalu mengutamakan kebersamaan. Dimana masyarakat selalu
membantu satu sama lain dengan kebutuhan yang memang masyarakat bisa
menjadikan hala tersebut suatu hal yang membuat kekerabatan mereka bertahan
sampai saat ini.
Dalam hubungan kekerabatan masyarakat Poleang terdapat dua faktor
yang mendominasi, yaitu: faktor sosial dan faktor ekonomi. Dalam kaitannya
dengan faktor sosial, masyarakat saling bekerja sama dalam lingkungannya
dengan baik. Masyarakat dalam menjalankan kesehariannya saling menutupi
60
kebutuhan, terutama pada kebutuhan pokok seperti sandang, dan terlihat dalam
kondisi perekonmian masyarakat yang memiliki peluang untuk saling menutupi
kebutuhan satu sama lain yang akhirnya terjalin komunikasi antar masyarakat
tersebut, contoh salah satu masyarakat membutuhkan sayur-sayuran maupun
buah-buahan dan itu terpenuhi, dikarenakan ada yang mendagangkannya di desa
tersebut. Hubungan kekerabatan masyarakat dalam bidang ekonomi terlihat
dengan adanya fasilitas, seperti pasar yang menjadi tempat berkumpulnya
masyarakat dalam mendagang dan mencari kebutuhan pokok. Karim Akmal
(Wawancara, 20 Januari 2018) selaku tokoh masyarakat Poleang dari Suku Bugis
mengatakan bahwa:
Selama saya berada di Poleang sudah bertahun-tahun hubungan
kekerabatan yang terjadi sangat baik, gotong royong masyarakat sampai
saat ini masih terjaga dengan baik, didukung oleh rasa saling menghargai.
Bukan hanya itu kita selaku Suku Bugis merasa senang dengan apa yang
terjadi sampai saat ini yang dimana daerah ini aman dan nyaman sampai
saat ini. (Wawancara, 20 Januari 2018)
Dari uraian beberapa Informan di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan
kekerabatan antara Suku Bugis dan Suku Moronene dilatarbelakangi oleh
kerjasama antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Moronene. Masyarakat Suku Bugis
yang menetap di wilayah Poleang makin memperkuat hubungan kekerabatan
karena telah terjadi hubungan kawin-mawin antara Suku Bugis dan Moronene dan
lahirlah generasi asli Poleang. Terjalinnya hubungan kekerabatan dalam
masyarakat telah memberikan dampak yang baik. Masyarakat merasa nyaman
hidup berdampingan meskipun ada budaya yang berbeda dari masing-masing
suku. Sosialisasi dari dua kelompok telah melahirkan budaya baru yang diminati
secara bersama.
61
C. Pola Hubungan Kekerabatan Suku Bugis dan Suku Moronene di Wilayah
Poleang Kabupaten Bombana
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa masyarakat
yang mendiami wilayah Poleang adalah Suku Bugis dan Suku Moronene yang
masing-masing memiliki adat-istiadat satu dengan lainnya berbeda. Kemajemukan
masyarakat tersebut disatu sisi merupakan anugerah dan kekayaan yang tidak
ternilai, hal ini karena dari masyarakat yang majemuk tersebut sudah barang tentu
tersimpan berbagai potensi budaya.
Hubungan kekerabatan Suku Bugis dan Suku Moronene yang telah terjalin
sejak Abad XIX sampai kini bisa tetap dipertahankan. Kekerabatan dua suku yang
berbeda ini makin dipererat dengan hubungan kawin-mawin antara laki-laki dan
perempuan dari suku yang berbeda. Sebagaimana dijelaskan oleh Informan (H.
Bahar, Wawancara, 21 Januari 2018) sebagai berikut:
Hubungan kekerabatan Suku Bugis dan Suku Moronene yang telah terjalin
sejak kedatangan pertama nenek moyang kami sampai kini masih bisa
tetap dipertahankan. Kekerabatan ini makin dipererat dengan hubungan
kawin-mawin antara laki-laki dan perempuan dari suku yang berbeda.
Sudah banyak orang Bugis kawin dengan orang Moronene sehingga
mereka ini bisa dibilang sebagai aslinya Poleang.
Untuk menjaga hubungan kekerabatan dan persaudaraan antara Suku
Moronene dengan Suku Bugis, maka dibuatlah permufakatan antara kedua belah
pihak yang disebut Tanro Ale=sumpah diru (Bahasa Bugis) dalam versi
Moronene disebut Tando Ale. Alat bukti kesepakatan dalam bentuk tukar-
menukar keris antara kedua belah pihak. Sekarang yang diberikan pihak Suku
Moronene kepada Suku Bugis disimpan oleh Faisal, salah seorang cucu
62
Maddolangeng Daeng Mattengnga (salah seorang pelaku utama Tanro Ale) anak
dari Muslimin Daeng Manessa (Hafid, 2016: 49)
Hal senada dijelaskan oleh Informan bernama Sugiant Nor (Wawancara,
21 Maret 2018) sebagai berikut:
Hubungan kekerabatan antara Suku Moronene dengan Suku Bugis ini
diikat oleh sumpah yang dalam Bahasa Bugis disebut Tanro Ale, dalam
versi Moronene disebut Tando Ale. Inti dari sumpah ini adalah mengikat
tali persaudaraan dua Suku. Wujud sumpah ini adalah tukar keris antara
kedua belah pihak. Keris tersebut disimpan oleh cucu dari pelaku sumpah
Tanro Ale.
Hubungan kekerabatan antara Suku Bugis dan Suku Moronene tetap
terjaga sampai saat ini. Orang Bugis tetap menjaga hubungan kekerabatan ini
sebagai wujud penghargaan atas leluhurnya dalam mencari kehidupan baru jauh
dari negeri kelahirannya. Sebagaimana salah seorang leluhur Orang Bugis
bergelar Daeng Mattengnga dengan gagah berani mengarungi/menyeberangi
Teluk Bone menuju ke Tanah Lau (Negeri di Timur/Poleang), selain keganasan
ombak Teluk Bone pada musim Barat, juga ancaman dan Suku Mekongga dan
Moronene yang diungkapkan dalam Bahasa Bugis: Sesana Bombang, Tawana
Sinangke, yang artinya jika ada yang selamat dan hamtaman ombak Teluk Bone,
maka akan menghadapi ancaman senjata Sinangke dari Orang Mekongga dan
Moronene. Namun berkat filosofi para perantau Bugis Bone yang menyatakan
Tegi-tegi sore lopie konitu taro sengereng= dimana saja perahu berlabuh, maka
di situlah kita akan tinggal bermukim dan menyimpan kenangan yang baik.
Berkat filosofi tersebut, sehingga keberadaan orang-orang Bugis di Daerah
Poleang dapat diterima baik oleh Orang Moronene di sebelah Timur dan Orang
Mekongga di sebelah Barat (Sugiant Nor, Wawancara, 21 Maret 2018).
63
Dalam menjaga keharmonisan kehidupan Suku Bugis dan Suku Moronene
maka sistem pemerintahan diatur sedemikian rupa sehingga masyarakat bisa hidup
dengan tenang. Raja Bugis dan Raja Moronene mengatur sistem pemerintahan
yang ada di wilayah Poleang berdasarkan penduduk yang bermukim di tempat itu.
Bila penduduk yang bermukim adalah Suku Bugis maka sistem pemerintahan
yang berlaku adalah sistem pemerintahan Raja Bone, jika yang bermukim adalah
Suku Moronene maka sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem
pemerintahan Kesultanan Buton, dimana Kerajaan Moronene berada di bawah
kekuasaan Kesultanan Buton. Sebagaimana pernyataan Informan bernama Drs. H.
Abustam, M.Si. (Wawancara, Maret 2018) sebagai berikut:
Berhubung semakin berkembangnya wilayah Poleang, maka dibuat
kesepakatan antara Pemerintah Kerajaan Bone dan Pemerintah Kesultanan
Buton, wilayah Poleang disebut “Bone ni Lau” dan “Buton ri Aja”,
karena di satu sisi Orang Bugis tinggal di Poleang wilayah Kesultanan
Buton tetapi menganut sistem pemerintahan Kerajaan Bone dalam bentuk
Sullewatang Poleang. Orang Moronene yang tinggal di Poleang menganut
sistem pemerintahan Kesultanan Buton dalam bentuk Mokole Moronene.
Jadi, Poleang adalah irisan dua Kerajaan antara Buton dan Bone. Wilayah
kekuasaan Mokole Moronene di bawah bayang-bayang pengaruh
kekuasaan Kesultanan Buton, dan wilayah kekuasaan Sullewatang
Poleang di bawah bayang-bayang pengaruh kekuasaan Kerajaan Bone.
Uraian di atas menggambarkan bahwa hubungan kekerabatan antara Suku
Bugis dan Suku Moronene diwujudkan dalam bentuk kesamaan pandangan
tentang organisasi kemasyarakatan. Masyarakat Bugis yang tinggal di Poleang
tetap menganut sistem kemasyarakatan yang ada di negeri asalnya. Masyarakat
Moronene yang tinggal di pemukiman yang mayoritas Suku Bugis tidak terikat
oleh system pemerintahan di lingkungannya tetapi berada di bawah sistem
kemasyarakatan Suku Moronene.
64
Dalam perkembangan selanjutnya, di wilayah Pemerintahan Sullewatang
Poleang atau wilayah bekas Kecamatan Poleang sebelum ada pemekaran, terdapat
beberapa pemukiman Suku Moronene yang terpencar di pedalaman yang hidup
sebagai petani ladang berpindah-pindah. Diantara pemukiman mereka, yaitu:
Tongkoseng, Tontonunu, Wolangka, Rampu-rampu, Longori, Toburi, FusuEya,
dan Bambaeya (Hafid, 2016: 52).
Para pemukim Moronene yang sebagian hidup sebagai petani ladang
berpindah-pindah dan berburu, mereka tidak tunduk dibawah pemerintahan
Sullewatang, tetapi tunduk di bawah Pemerintahan Mokole Moronene yang
berpusat di Taubonto, sebaliknya Orang Bugis yang bermukim di Rumbia bukan
merupakan penduduk Sullewatang Poleang, karena mereka ini termasuk
pendatang kemudian atau bukan penduduk awal, sehingga ia tunduk di bawah
pemerintahan Mokole Moronene yang diwakili oleh Kepala Orang Bugis yang
bermukim di Rumbia.
Suatu bukti sejarah lain yang membuktikan bahwa Poleang dibawah
pengaruh Kerajaan Buton dan Bone adalah wilayah perbatasan antara Kesultanan
Buton dan Kerajaan Mekongga adalah wilayah Toari, yaltu: Toari Diattang Salo
(Wilayah Toari di sebelah Selatan Sungai) menjadi inilik/kekuasaan Kesultanan
Buton, dan Toari Awang Salo (Wilayah Toari di sebelah Utara Sungai) menjadi
milik/kekuasaan Kerajaan Mekongga, dan menjadi batas wilayah Kabupaten
Buton dan Kabupaten Kolaka, selanjutnya menjadi wilayah perbatasan antara
Kabupaten Bombana dan Kabupaten Kolaka. Tanda batas wilayah tersebut dalam
Bahasa Buton yaitu: Tondo WoIio= artinya patok batas wilayah Buton/Wolio.
65
Dewasa ini daerah tersebut diabadikan menjadi Desa Tondo BoIio yang diucapkan
dalam aksen dan intonasi Bahasa Bugis sebagal penduduk utama wilayah
setempat dan kata tersebut dari kata Tondo Wollo.
Hubungan kekerabatan antara Suku Bugis dan Suku Moronene adalah
wujud ikatan kekerabatan antara Kerajaan Bone dan Kesultanan Buton. Kedua
wilayah dan pemerintahan baik pemerintahan wilayah (antara Mokole Moronene
dengan Sullewatang Poleang hidup rukun dan damai), demikian pula antara
Kesultanan Buton dan Kerajaan Bone, juga memelihara hubungan persahabatan
degan baik dan selalu hidup berdampingan secara damai. Sebagaimana dijelaskan
oleh Sugiant Noor (Wawancara, Maret 2016) sebagai berikut:
Masyarakat Poleang yang ada sekarang ini menjadi bukti sejarah bahwa
masa lampau terjalin ikatan yang sangat kuat antara Kerajaan Bone dan
Kesultanan Buton. Hubungan kekerabatan antara Suku Bugis dan Suku
Moronene tetap dipertahankan sampai saat ini merupakan satu
penghargaan terhadap leluhur yang memperjuangkan terbinanya hubungan
kekerabatan.
Hubungan kekerabatan antara Suku Bugis dan Suku Moronene
diwujudkan pula dalam ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwa pada zaman dulu
seorang Suku Bugis bergelar Maddolangen meminta kawasan padang kepada
Mokole Mataoleo sebagai Kepala Suku Moronene untuk beternak kuda. Mokole
Mataoleo memberikan padang itu dan membantu merintis serta memasang patok
pembatas yang berbentuk kayu yang mudah tumbuh dalam bahasa Bugis disebut
Aju Jawa. Mokole Mataoleo bersama pendampingnya Talida, Yake, dan Masala
sangat menghormati Maddolangeng Daeng Mattengnga atas usaha pembukaan
peternakan tersebut. Terbukti dengan dorongan dan kerjasama antara
Maddolangeng dengan masyarakat setempat yang masih jauh terpencil di pedalam
66
mulai terbuka dimana kebutuhan sudah terpenuhi karena sudah ada sistem tukar
menukar kedua belah pihak yaitu antara nelayan (Orang Bugis) dan petani (Orang
Moronene) saling tukar menukar hasil produksi masing-masing melalui sistem
barter, selanjutnya mereka membuat perjanjian untuk bertemu pada hari tertentu,
sehingga kelak menjadi pasar kaget (Hafid, 2016: 47).
Hal senada juga dijelaskan oleh Informan bernama H. Bahar (Wawancara,
Februari 2018) sebagai berikut:
Hubungan ekonomi antara Suku Bugis dan Suku Moronene sudah lama
terjalin. Pada zaman dulu Maddolangen meminjam kawasan padang dari
Kepala Suku Moronene untuk beternak kuda. Mokole Mataoleo
memberikan padang itu kemudian memasang patok pembatas berupa kayu
hidup dan kemudian tumbuh menjadi pohon besar. Selain itu hubungan
ekonomi lainnya diwujudkan dalam kerja sama mengolah lahan pertanian
dan peruses penjualan hasil pertanian.
Seiring perkembangan waktu, stas restu pimpinan Suku Moronene yang
bergelar Mokole Mataoleo beserta rakyatnya mengakui padang luas tempat
beternak kuda dan kerbau itu menjadi milik Maddolangen Daeng Mattengah.
Selanjutnya Maddolangen Daeng Mattengah pindah ke Boepinang karena disana
telah berdatangan Suku Bugis untuk mencari lahan pertanian maupun sebagai
nelayan dan mereka belum berani menerobos jauh ke pedalaman, sehingga
mereka membangun perumahan di Tepi Pantai Boepinang di sekitar Muara Kali
Boepinang yang hidup berdampingan dengan Suku Bajo. Di Boepinang,
Maddolangeng Daeng Mattengah berkenalan dengan Yapua (salah seorang tokoh
masyarakat Moronene) yang tinggal di Pedalaman Boepinang yaitu disekitar
perkampungan Tari-Tari dan Naee. Yapua menginginkan agar Masyarakat Bugis
diperintah oleh Orang Bugis sendiri dan Masyarakat Moronene diperintah oleh
67
Orang Moronene sendiri. Yapuah tidak memiliki motif lain, kecuali untuk
memudahkan penataan dan koordinasi warga secara tertib dan aman (Hafid, 2016:
48).
Untuk pembagian wilayah ini, Yapua menyarankan Orang Bugis
menunjuk Maddolangeng Daeng Mattengnga sebagai Pimpinan Orang Bugis yang
selanjutnya disebut sebagai Matowa, sedangkan masyarakat Moronene ditunjuk
Inteu untuk mengatur tata pemerintahan Tari-Tari, Naee dan sekitarnya.
Pembagian wilayah kekuasaan ini tidak menekankan wilayah administratif dan
geografis, melainkan berbasis demografis, artinya Matowa yang kelak menjelma
menjadi Suilewatang mengkoordinir Orang Bugis yang ada di sekitar Poleng baik
yang bermukim di pusat konsentrasi Masyarakat Bugis maupun yang ada di
sekitar pemukiman Masyarakat Moronene, demikian pula Pemerintahan Mokole
Mataoleo mengkoordinir Masyarakat Moronene baik yang berada di pusat
konsentrasi pemukiman Masyarakat Moronene maupun yang ada diantara
pmukiman Masyarakat Bugis.
Pendapat yang sama dijelaskan oleh Informan bernama Sugiant Nor
(Wawancara, Maret 2018) sebagai berikut:
Meskipun Maddolangen Daeng Mattengah adalah pendatang dari Bone
tetapi kepala Suku Moronene memberikan padang luas tempat beternak
kuda dan masyarakat suku Moronene mengakui Maddolangen Daeng
Mattengah sebagai pemilik padang itu. Maddolangen Daeng Mattengah
bukan hanya mengelola padang ternak tetapi beliau ini juga ke Boepinang
untuk mengolah lahan pertanian, kemudian menjadi pemimpin masyarakat
Suku Bugis di Boepinang.
Ketika kepala pemerintahan Kolonial Belanda datang dan Buton bersama
perangkat pemerintahannya yang dikawal oleh serdadu, Maddolangeng Daeng
68
Mattengnga mengajukan permohonan pengesahan lahan peternakannya di Lappa
Pajjongangnge yang sudah diolah kurang lebih tiga tahun. Permohonan ini
mendapat sambutan dan persetujuan yang baik dan pihak pemerintah, sehingga
pada saat itu permohonan dilegalisir oleh kepala pemerintahan baik dan
Kesultanan Buton maupun dan pihak pemangku adat Masyarakat Moronene
diantaranya adalah: Mokole Mataoleo, Masala, Yapua, dan Inteu. Walaupun
sebenarnya sebelum mendapat pengakuan legalisasi dari Buton, padang
peternakan tersebut sudah dimasukkan hewan ternak sebanyak tujuh ekor kuda
bibit unggul yang dipesan dan Tanah Bugis yakni: 5 ekor kuda betina, 2 ekor kuda
jantan. Sesudah mendapat pengakuan dan pemerintah, penambahan hewan ternak
dilokasi peternakan tersebut berlangsung terus, sementara yang dimasukkan
pertama sudah berkembang biak.
Setelah perkembangan penduduk Orang Bugis Bone semakin banyak,
maka dibentuklah struktur pemerintahan yang disebut “SuIlewatang”/PerwakiIan,
artinya Perwakilan Raja Bone di Tanah Lau (negeri kita yang ada di sebelah
Timur Teluk Bone). Jabatan Sullewatang tidak dijabat kaum bangsawan,
melainkan dijabat oleh golongan menengah yang bergelar Daeng/Tolebbi,
sedangkan kaum bangsawan bertindak sebagai penasehat Sullewatang. Selain itu,
penyebab Golongan Daeng diangkat menjadi Sullewatang, karena golongan inilah
yang pertama menjadi pemuki di wilayah ini, sehingga tokoh masyarakat di antara
mereka yang awalnya merupakan pelayar (pedagang klontongan dan juga sebagai
pedagang pinansial) kelak diberi amanah oleh Raja Bone untuk membentuk
pemerintahan Sullewatang (setingkat Desa sekarang). Saat pembentukan Distrik
69
Poleang, maka Maddolangeng Daeng Mattengnga dilantik sebagai Kepaa Distrik
pertama dengan wilayah kekuasaan meliputi Toari Buton sampai berbatasan
dengan Laeya. Tercatat ada 4 orang yang pernah menjabat sebagai Sullewatang
Poleang, yaitu: Muhammad Siri, H. Talha Daeng Makkalu, H. Abdullah, dan H.
Abu Ubaeda (Hafid, 2016: 49).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola hubungan
kekerabatan suku Bugis dan suku Moronene di Wilayah Poleang Kabupaten
Bombana adalah membangun kekuatan politik antara Kerajaan Bone dan
Kesultanan Buton. Hubungan kekerabatan di Poleang terjalin oleh hubungan
kawin-mawin antara dua suku berbeda. Selain hubungan kekerabatan akibat
kawin-mawin dari dua suku berbeda, hubungan kekerabatan diwujudkan dalam
bidang ekonomi.
Sistem pemerintahan yang diterapkan di wilayah Poleang disesuaikan
dengan penghuni suatu wilayah. Masyarakat Suku Bugis menganut sistem
pemerintahan Sulewattang Poleang di bawah baying-bayang Kerajaan Bone dan
masyarakat Suku Moronene menganut sistem pemerintahan Mokole Moronene di
bawah baying-bayang Kesultanan Buton. Sistem pemerintahan yang diatur
sedemikian rupa dimaksudkan agar masyarakat Suku Bugis dan Suku Moronene
di Poleang dapat hidup saling berdampingan secara damai.
70
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Proses diaspora suku Bugis di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana
dimulai sejak kedatangan utusan Raja Bone ke Poleang bertemu raja
Moronene pada Abad XVIII dengan maksud menjalin hubungan dua
kerajaan. Setelah telah mencapai kesepakatan, Raja Bone
memberangkatkan 40 kepala keluarga menuju wilayah kerajaan Moronene
dibekali segenggam tanah Bangkala. Setelah sampai di Toburi, rombongan
tersebut bertemu dengan raja Suu dan menyerahkan segenggam tanah dari
raja Bone. Tanah tersebut di tanam di halaman istana raja Suu dan menjadi
tanda ikatan persahabatan antara kerajaan Bone dan kerajaan Moronene.
Selain dari migrasi pada masa sebelum kemerdekaan, migrasi suku Bugis
juga terjadi pada masa perjuangan DI/TII di Poleang dan migrasi Suku
Bugis ke Poleang untuk mengolah daerah Pertanian dan Perikanan.
2. Latar belakang hubungan kekerabatan Suku Bugis dan Suku Moronene
dibina di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana adalah membangun
hubungan kerja sama dua kerajaan. Hubungan kekerabatan suku Bugis dan
suku Moronene diperkuat dengan “Sumpah Tandu Ale”. Inti dari sumpah
ini adalah mengutuk sipapun saja yang menimbulkan pertentangan/konflik
antara dua suku yang hidup berdampingan.
71
3. Pola hubungan kekerabatan suku Bugis dan suku Moronene di Wilayah
Poleang Kabupaten Bombana adalah membangun kekuatan politik pada
masa sebelum kemerdekaan. Namun saat ini hubungan kekerabatan telah
terjalin oleh hubungan kawin-mawin antara dua suku berbeda serta kerja
sama dalam bidang organisasi, ekonomi, sosial, dan lain-lain.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka peneliti menyarankan beberapa
hal-hal berikut ini:
1. Diharapkan kepada masyarakat Poleang untuk tetap menjaga hubungan
kekerabatan yang telah dijalin oleh para leluhur, dengan tetap menjunjung
prinsip hidup Tandu Ale.
2. Menanamkan kepada generasi muda prinsip hidup Tandu Ale sehingga
hubungan kekerabatan yang terbina selama ini tetap dipertahankan
sepanjang waktu.
3. Pemerintah Kabupaten Bombana diharapkan dapat melestarikan sejarah
perkembangan wilayah di daerahnya melalui penulisan Buku Sejarah,
sehingga generasi muda Bombana dapat mengetahui sejarah daerahnya.
C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sejarah di Sekolah
Manusia pada dasarnya selalu ingin berkembang, dimana sebagian besar
perkembangan tersebut diperoleh melalui belajar. Melalui proses belajar tersebut
terjadi perubahan-perubahan dalam setiap aspek kehidupan.
Sejarah merupakan salah satu mata pelajaran IPS yang diajarkan mulai
tingkat SD sampai tingkat perguruan tinggi, sehingga tidak dapat dipungkiri
72
bahwa mata pelajaran sejarah juga memegang peranan penting dalam
meningkatkan mutu pendidikan. Sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan
pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan
budaya pada masa kini yang bertujuan agar siswa memperoleh kemampuan
berfikir historis dan pemahaman sejarah. Melalui pembelajaran sejarah siswa
mampu mengembangkan kompotensi untuk berfikir secara kronologis dan
memiliki pengetahuan tentang masa lampau yang dapat digunakan untuk
memahami dan menjelaskan proses perkembangan budaya serta kekeragaman
sosial dalam rangka menemukan dan menumbuhkan jati diri bangsa di tengah-
tengah masyarakat dunia.
Hasil dari pembelajaran sejarah diharapkan dapat memberi konstribusi
yang benar dalam upaya mencapai pendidikan nasional. Keberadaan pelajaran
sejarah di Sekolah bertujuan untuk membimbing para peserta didik agar mampu
memahami perkembangan pada masa kini berdasarkan perspektif sejarah akan
memberikan nilai karena tidak hanya mengetahui fakta sejarah, melainkan juga
mengetahui interaksi makna yang terkandung didalamnya, sehingga siswa
termotivasi untuk memahami sejarah.
Hasil penelitian yang berjudul tentang “Sejarah Hubungan Kekerabatan
Suku Bugis Dengan Suku Moronene di Wilayah Poleang” kaitannya dengan
pelajaran sejarah dapat diajarkan pada tingkat SD kelas IV semester II pada mata
pelajaran IPS pokok bahasan Keragaman Suku Bangsa dan Budaya di Indonesia
dengan Standar Kompentensi: Menghargai berbagai peninggalan dan tokoh
sejarah yang berskala nasional pada masa Hindu-Buddha dan Islam, keragaman
73
kenampakkan alam dan suku bangsa, serta kegiatan ekonomi di Indonesia.
Kompetensi Dasar: menghargai keragaman suku bangsa dan budaya di Indonesia.
Berdasarkan kurikulum tingkat satuan pendidikan pokok bahasan
Keragaman Suku Bangsa dan Budaya di Indonesia dengan indikator sebagai
berikut: Menyebutkan jenis keragaman budaya, menyebutkan suku bangsa yang
ada di daerah tempat tinggal, menyebutkan budaya yang ada di daerah tempat
tinggal. Untuk membahas materi pelajaran ini diperlukan waktu selama 2x35
menit untuk SD. Adapun strategi yang digunakan oleh guru dalam mengajarkan
materi ini yaitu metode ceramah atau diskusi kelompok.
Dengan demikian jelas bahwa “Sejarah Hubungan Kekerabatan Suku
Bugis Dengan Suku Moronene di Wilayah Poleang” tetap memiliki unsur-unsur
yang dapat dijadikan bahan panduan dalam pelajaran di sekolah khususnya bagi
siswa SD. Tujuan yang dapat diperoleh setelah mempelajari hasil penelitian ini
adalah siswa akan mampu memiliki pengetahuan tentang hubungan kekerabatan
suku Bugis dan Suku Moronene di Wilayah Poleang.
74
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1982. Dokumenta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah
Tingkat I Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekretariat DPRD.
Abidin, A.Z. 1995. “Perbandingan Buku Sastra I La Galigo dengan Cerita Rakyat
di Sulawesi Tenggara tentang Hubungan Raja-raja di Sulawesi Selatan dan
Raja-raja di Sulawesi Tenggara”. Makalah Seminar Eksistensi dan
Peranan Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Di
Kendari tanggal 7-8 Agustus 1995.
Anonim. 1976. Monografi Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Batoa, L.K. 1991. Sejarah Kerajaan Daerah Muna. Raha: Astri.
Burhanuddin, B. 1981. Jejak Sejarah Tomanurung. Kendari: Yayasan Karya
Teknika.
Hafid, Anwar, dkk. 1989. Tinjauan Historis tentang Hubungan Bilateral antara
Kerajaan Konawe dengan Kerajaan Bone. Kendari: Balai Penelitian
Unhalu.
_______________. 2016. Adat Perkawinan Suku Bugis di Perantauan (Studi di
Kabupaten Bombana. Kendari: Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu
Sosial Indonesia Sultra.
Hafid, Anwar. 2003. “Nilai-nilai Edukatif dari Perjalanan Sawerigading ke Dunia
Timur”. Makalah disajikan dalam Seminar Internasional Sawerigading.
Masamba, 10-14 Desember 2003.
___________ 2010. Hubungan Kekerabatan Antar Etnik di Sulawesi Tenggara
dalam Analisis Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Sejak Masa Kerajaan
Hingga Kini. Makalah Disajikan dalam Seminar Lokakarya Hubungan
Kekerabatan Etnik-Etnik di Sulawesi Tenggara. Kendari, 29-30 Maret
2010.
___________ 2016. Hubungan Kekerabatan Antar Etnik di Sulawesi Tenggara
dalam Analisis Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Sejak Masa Kerajaan
Hingga Kini. Makalah Disajikan dalam Seminar Lokakarya Hubungan
Kekerabatan Etnik-Etnik di Sulawesi Tenggara. Kendari, 29-30 Maret
2010.
Imron, Ali. 2005. Kekerabatan Masyrakat Batak. Jakarta: Dian Kencana.
75
Kartodirjo, Sartono. 2002. Teori Sejarah dan Masalah Histografi. Jakarta:
Gramedia.
Keely, C. 2002. Demography and International Migration. In Brettle, C. dan J.
Hollifield 2002. Migration Theory: Talking Across Disciplines. London:
Routledge
Kern, R.A. 1993. I La Galigo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
_____________. 1982. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian
Kencana.
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lee, Everett, S. 1991. Teori Migrasi. Diterjemahkan Hans Daeng. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Mawara, Jetty E.T. 2015. Solidaritas Kekerabatan Suku Bangsa Bantik di
Kelurahan Malalayang I Manado. e-journal “Acta Diurna” Volume IV.
No.2. Tahun 2015
Mekuo, J. 1986. Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Kendari: FKIP Unhalu.
Munir, Rozy. 1981. Penduduk dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Bina Aksara.
Patisahusiwa, Novianti. 2006. Hubungan Kekerabatan Suku Maluku dan Suku
Buton di Kota Ambon. Ambon: Universitas Darusallam.
Pelras, Cristian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar
Razake, A.A. Dkk. 1989. Profil Kependudukan dan Keluarga Berencana Propinsi
Sulawesi Tenggara. Kendari: BKKBN.
Saleh, Akhmad Muwafik. 2012. Pola Hubungan Sosial Pada Masyarakat
Pemukiman Tanean Lanjang Di Kabupaten Sumenep Madura. Jurnal
Penelitian. FISIP. UMM.
Santoso, Budhi. 1998. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta: PT.
Pustaka Grafika Kit.
Syamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta: Depdikbud.
76
Tarimana, A. 1987. “Sawerigading sebagai Tokoh Legendaris Versi Sulawesi
Tenggara”. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Folktale
Sawerigading Memperkaya Kebudayaan Berwawasan Nusantara untuk
Keteguhan Integrasi Bangsa. Palu 7-10 Agustus 1987.
Zuhdi, S. 1997. “Sulawesi Tenggara dalam Jalur Pelayaran dan Perdagangan
Internasional Abad ke-17 dan ke-18”. Makalah Disajikan dalam Seminar
Nasional Sejarah dan Masyarakat Maritim di Kawasan Timur Indonesia.
Universitas Haluoleo Kendari, 8-9 September 1997.
77
Lampiran 1.
PROFIL INFORMAN
1. Nama : Bandu
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 68 Tahun
Jabatan/Pekerjaan : Ketua Adat Moronene Poleang
Alamat : Desa Raka Dua Kecamatan Poleang Poleang Barat
Bandu lahir di Poleang pada Tahun 1950, beliau adalah Tokoh masyarakat
suku Moronene. Beliau adalah masyarakat Poleang keturunan Moronene yang
telah lama tinggal di Poleang Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara.
2. Nama : Nasar
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 65 Tahun
Jabatan/Pekerjaan : Tokoh Adat Masyarakat Moronene
Alamat : Desa Raka Dua Kecamatan Poleang Poleang Barat
Nasar lahir di Poleang pada Tahun 1953, beliau adalah Tokoh Adat
masyarakat Desa Raka Dua.
3. Nama : H. Bahar
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 45 Tahun
Jabatan/Pekerjaan : Tokoh Adat Masyarakat Bugis Poleang
Alamat : Desa Salosa Kecamatan Poleang
H. Bahar lahir di Lampo Pala pada Tahun 1949, beliau adalah Tokoh
masyarakat suku Bugis. Beliau adalah masyarakat Poleang keturunan Bugis yang
telah lama tinggal di Poleang Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara.
4. Nama : H. Sarifuddin
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 57 Tahun
Pendidikan : SMP
Jabatan/Pekerjaan : Tokoh Masyarakat
Alamat : Desa Salosa Kecamatan Poleang
H. Safruddin lahir di Salosa pada Tahun 1959, beliau adalah salah seorang
tokoh masyarakat Desa Salosa. Beliau adalah masyarakat Desa Salosa keturunan
bugis yang menetap di Desa Salosa Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana
Provinsi Sulawesi Tenggara.
78
5. Nama : H. Basir
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 62 Tahun
Pendidikan : SD
Jabatan/Pekerjaan : Imam Masjid Desa Salosa
Alamat : Desa Salosa Kecamatan Poleang
H. Basir lahir di Salosa pada Tahun 1954, beliau adalah Imam Desa
Salosa. Beliau adalah masyarakat keturunan Bugis yang lahir di Desa Salosa.
Nenek moyang beliau adalah dari Sulawesi Selatan tetapi sudah ratusan tahun
mendiami wilayah salosa. Pada masa muda, beliau aktif melakukan kegiatan
renggeng.
6. Nama : Ilyas
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 55 Tahun
Jabatan/Pekerjaan : Tokoh Masyarakat Moronene Poleang
Alamat : Desa Raka Dua Kecamatan Poleang Poleang Barat
Ilyas lahir di Salosa pada Tahun 1961, beliau adalah Tokoh Masyarakat
Desa Salosa. Beliau adalah Suku Bugis yang menetap di Desa Salosa Kecamatan
Poleang Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada masa muda,
beliau aktif melakukan kegiatan renggeng.
7. Nama : Drs. H. Abustam, M.Si
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 58 Tahun
Jabatan/Pekerjaan : Tokoh Masyarakat Poleang
Alamat : Kota Kendari
Drs. H. Abustam, M.Si. lahir di Poleang pada Tahun 1960, beliau adalah
Tokoh Masyarakat Poleang. Pada masa kecil, beliau menetap di Kecamatan
Poleang. Saat ini beliau menetap di Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara.
8. Nama : Andi Abdul Rahman Nusu, S.Pd.
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 74 Tahun
Jabatan/Pekerjaan : Tokoh Masyarakat Bugis Poleang
Alamat : Kota Kendari
Andi Abdul Rahman Nusu, S.Pd. lahir di Poleang pada Tahun 1942,
beliau adalah Tokoh Masyarakat Desa Poleang. Pada masa kecil, beliau menetap
di Kecamatan Poleang. Saat ini beliau menetap di Kota Kendari Provinsi Sulawesi
Tenggara.
79
9. Nama : Drs. Sugiant Nor
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 74 Tahun
Jabatan/Pekerjaan : Tokoh Masyarakat Bugis Poleang
Alamat : Kota Kendari
Drs. Sugiat Nor lahir di Poleang pada Tahun 1942, beliau adalah Tokoh
Masyarakat Desa Poleang. Pada masa kecil, beliau menetap di Kecamatan
Poleang. Saat ini beliau menetap di Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara.
80
Lampiran 2.
DOKUMENTASI PENELITIAN
Wawancara dengan M. Nazar (Januari, 2018)
Wawancara dengan Diah Bundu (14 Januari 2018)
Wawancara dengan H. Bahar (20 Januari 2018)
81
Wawancara dengan Drs. H. Abustam, M.Si. (12 Maret 2018)
Wawancara dengan Sugiant Nor (20 Maret 2018)
Wawancara dengan Polo (09 Februari 2018)
82
Kegiatan Adat Masyarakat Suku Bugis dan Suku Moronene di Poleang
Pada Perayaan Ulang Tahun Kabupaten Bombana (18 Desember 2014)
83
Pelantikan Pengurus Dewan Adat Moronene Kemokolean Poleang
yang Dihadiri Tokoh Adat Bugis (18 Desember 2016)
84
Kegiatan Adat Masyarakat suku Bugis dan suku Moronene di Poleang (Juli 2017)
85
Lampiran 3.
PETA KABUPATEN BOMBANA
Lokasi
Penelitian
86
87