sejarah hubungan kekerabatan suku bugis dengan … · poleang”, adalah asli, merupakan hasil...

97
SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN SUKU MORONENE DI WILAYAH POLEANG SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah OLEH: ANSAR SAENAL A1A211006 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2018

Upload: others

Post on 24-Jan-2020

39 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN

SUKU MORONENE DI WILAYAH POLEANG

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan pada Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah

OLEH:

ANSAR SAENAL

A1A211006

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2018

Page 2: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

ii

HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Sejarah

Hubungan Kekerabatan Suku Bugis dengan Suku Moronene di Wilayah

Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan

oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di perguruan tinggi manapun,

dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis oleh orang lain, kecuali

secara tertulis dikutip dalam skripsi ini dan disebutkan sumber kutipan dan daftar

pustakanya.

Apabila di kemudian hari ditemukan bahwa dalam naskah skripsi ini dapat

dibuktikan adanya unsur-unsur plagiasi, saya bersedia skripsi ini digugurkan dan

gelar akademik yang telah saya peroleh dibatalkan, serta diproses menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kendari, 11 September 2018

Yang Membuat Pernyataan,

ANSAR SAENAL

NIM. A1A211006

Page 3: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

iii

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi berjudul

Sejarah Hubungan Kekerabatan Suku Bugis dengan Suku Moronene

di Wilayah Poleang

Oleh

ANSAR SAENAL

NIM. A1A211006

telah disetujui untuk diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana

pada Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Haluoleo.

Kendari, 11 September 2018

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. Anwar, M.Pd. Pendais Hak, S.Ag, M.Pd.

NIP. 19611231 198703 1022 NIP. 19770829 200812 1 002

Mengetahui,

Ketua Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah

Pendais Hak, S.Ag, M.Pd.

NIP. 19770829 200812 1 002

Page 4: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

iv

HALAMAN PENGESAHAN

SKRIPSI

SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN

SUKU MORONENEDI WILAYAH POLEANG

Oleh

ANSAR SAENAL

NIM. A1A211006

Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Skripsi Jurusan/Program

Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Haluoleo pada hari Selasa tanggal 11 September 2018, berdasarkan Surat

Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo

Nomor: 3607/UN29.5/PP/2018 tanggal 06 September 2018 dan telah dinyatakan

Lulus.

PANITIA UJIAN

Ketua : Dr. H. Mursidin T., M.Pd. ( ....................................... )

Sekretaris : Drs. La Batia, M.Hum. ( ....................................... )

Anggota : 1. Prof. Dr. H. Anwar, M.Pd. ( ....................................... )

2. Dr. Hj. Darnawati, S.Pd.,M.Pd. ( ....................................... )

3. Dra. Dade Prat Untarti, M.Si. ( ....................................... )

4. Pendais Hak, S.Ag.,M.Pd. ( ....................................... )

Kendari, 11 September 2018

Disahkan oleh

Dekan FKIP Universitas Halu Oleo,

Dr. H. Jamiludin, M.Hum.

NIP. 19641030 198902 1 001

Page 5: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

v

ABSTRAK

ANSAR SAENAL (A1A2 10 026). Sejarah Hubungan Kekerabatan Suku Bugis

Dengan Suku Moronene di Wilayah Poleang. Skripsi. Program

Studi/Jurusan Pendidikan Sejarah. Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan. Universitas Halu Oleo. Dibimbing oleh : (1) Prof. Dr. H.

Anwar, M.Pd., (2) Pendais Hak, S.Ag, M.Pd.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mendelaporan hasil penelitiankan

proses diaspora suku Bugis di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana, (2) Untuk

mendelaporan hasil penelitiankan latar belakang hubungan kekerabatan Suku

Bugis dan Suku Moronene dibina di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana, (2)

Untuk memaparkan pola hubungan kekerabatan suku Bugis dan suku Moronene

di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana.

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Poleang Kabupaten Bombana pada

tanggal 2 - 30 Januari tahun 2018. Penelitian ini menggunakan pendekatan

strukturis yang mempelajari dua domain yaitu domain peristiwa (event) dan

domain struktur. Sumber data penelitian ini berasal dari tiga kategori sumber

sejarah yaitu: sumber tertulis, sumber lisan, dan sumber visiual. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) pengumpulan sumber (Heuristik), 2)

kritik sumber eksternal dan internal, 3) penulisan (historiografi).

Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Proses diaspora suku

Bugis di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana dimulai sejak Abad XVIII. Raja

Bone memberangkatkan 40 kepala keluarga menuju wilayah kerajaan Moronene

dibekali segenggam tanah Bangkala. Tanah tersebut di tanam di halaman istana

raja Suu dan menjadi tanda ikatan persahabatan antara kerajaan Bone dan kerajaan

Moronene. Migrasi suku Bugis juga terjadi pada masa perjuangan DI/TII di

Poleang. (2) Latar belakang hubungan kekerabatan Suku Bugis dan Suku

Moronene dibina di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana adalah hubungan kerja

sama dua kerajaan, yang diperkuat dengan “Sumpah Tandu Ale”. Inti dari sumpah

ini adalah mengutuk sipapun saja yang menimbulkan pertentangan/konflik antara

dua suku yang hidup berdampingan, (3) Pola hubungan kekerabatan suku Bugis

dan suku Moronene di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana adalah membangun

kekuatan politik pada masa sebelum kemerdekaan dan diperkuat dengan

hubungan kawin-mawin antara dua suku berbeda serta kerja sama dalam bidang

ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain.

Page 6: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat

dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang merupakan

salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Studi Sejarah Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo berjudul “Sejarah Hubungan

Kekerabatan Suku Bugis Dengan Suku Moronene di Wilayah Poleang”.

Penulis mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan kepada

Prof. Dr. H. Anwar, M.Pd., selaku pembimbing I, dan Pendais Hak, S.Ag, M.Pd.,

selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan perhatiannya dalam

membimbing dan mengarahkan penulis. Berkat bimbingan beliaulah sehingga

Skripsi ini dapat tersaji seperti sekarang ini.

Berbagai pihak telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam

penyusunan Skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu

dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Zamrun F, S.Si., M.Si., M.,Sc., selaku Rektor

Universitas Halu oleo.

2. Dr. H. Jamiludin, M.Hum., selaku Dekan FKIP Universitas Halu Oleo.

3. Pendais Hak, S.Ag.,M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP

Universitas Halu Oleo.

4. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan bekal pengetahuan dan nasehat

kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Halu Oleo.

Page 7: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

vii

5. Seluruh Informan yang telah bersedia memberikan informasi berkaitan dengan

data penelitian.

6. Kepada Ayahanda dan Ibunda, yang telah memberi support dan doa yang

penuh keikhlasan, juga keluarga besarku yang telah memberikan dukungan

dan motivasi selama menempuh pendidikan di Universitas Halu Oleo

khususnya pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program

Studi/Jurusan Pendidikan Sejarah.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik

penyajian maupun teknik penulisan karena keterbatasan kapasitas penulis. Untuk

itu koreksi dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya. Akhir

kata, semoga laporan hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan ilmu

pengetahuan kepada penulis juga kepada pembaca sekalian.

Kendari, 11 September 2018

Penulis

Page 8: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

PERNYATAAN KEASLIAN ....................................................................... ii

HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv

ABSTRAK ..................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................... vi

DAFTAR ISI ................................................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 5

D. Manfaat Penelitian ................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 6

A. Konsep Sejarah ........................................................................ 6

B. Konsep Migrasi ....................................................................... 8

C. Kekerabatan ............................................................................ 11

D. Hubungan Kekerabatan .......................................................... 18

E. Kekerabatan antar Etnis di Sulawesi Tenggara ...................... 28

F. Penelitian Terdahulu ............................................................... 34

BAB III METODE PENELITIAN ........................................................... 37

A. Tempat dan Waktu Penelitian.................................................. 37

B. Jenis dan Pendekatan Penelitian .............................................. 37

C. Sumber Data Penelitian ........................................................... 37

D. Batasan Temporal dan Spasial ................................................ 38

E. Heuristik ................................................................................. 38

F. Kritik Sumber .......................................................................... 39

G. Historiografi ............................................................................ 41

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...................... 42

A. Gambaran Geografi Umum Poleang ....................................... 42

B. Gambaran Demografi Umum Poleang .................................... 43

C. Awal Mula Kedatangan Suku Bugis di Poleang ..................... 45

Page 9: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

ix

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................... 48

A. Proses diaspora suku Bugis di Wilayah Poleang

Kabupaten Bombana ............................................................... 48

B. Latar belakang hubungan kekerabatan Suku Bugis dan

Suku Moronene dibina di Wilayah Poleang Kabupaten

Bombana .................................................................................. 55

C. Pola hubungan kekerabatan suku Bugis dan suku

Moronene di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana.............. 61

BAB VI PENUTUP .................................................................................... 70

A. Kesimpulan ............................................................................. 70

B. Saran ....................................................................................... 71

C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran

Sejarah di Sekolah .................................................................. 71

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 74

LAMPIRAN ................................................................................................... 77

Page 10: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Profil Informan .......................................................................... 77

Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian ............................................................. 80

Lampiran 3. Peta Lokasi Penelitian ................................................................ 85

Page 11: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sejarah perkembangan kehidupan manusia baik masa lampau, masa

sekarang, dan masa yang akan datang diwarnai oleh berbagai kegiatan perubahan

yang berjalan terus menerus. Perubahan ini membutuhkan hadirnya bidang ilmu

sejarah yang khusus mengkaji perubahan dan perkembangan yang dilakukan oleh

manusia pada setiap kurun waktu.

Kehadiran ilmu sejarah sangat penting artinya sebab dengan mempelajari

sejarah, berarti kita mengetahui lebih jauh dari perkembangan umat manusia di

muka bumi beserta segala kejadiannya termasuk perkembangan seluruh

aktifitasnya yang akan menuju kurun waktu yang berkesenambungan antara masa

lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang.

Sebagai konsekuensi dari tiga dimensi sejarah tersebut adalah terjadi suatu

perubahan ke arah perkembangan secara bertahap dalam aspek kehidupan

manusia termasuk bidang budaya. Oleh karena itu dalam mengkaji berbagai

aktivitas yang dilakukan oleh manusia pada masa lampau dalam usaha untuk

mempertahankan hidupnya dengan melakukan berbagai upaya yang lambat laun

akan melahirkan suatu gaya hidup dan mata pencaharian masyarakat yang baru.

Sejak jaman purba sampai sekarang, perkembangan manusia selalu

dipengaruhi oleh kegiatan migrasi. Pada masa kini, lebih banyak orang bermigrasi

dari pada jaman-jaman dahulu. Sekarang ada sekitar 192 juta orang yang tidak

tinggal di negara lahir, yaitu kira-kira 3% populasi dunia. Migrasi ini terjadi

Page 12: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

2

dalam bentuk dan skala yang bermacam-macam: intercontinental antara benua

yang berbeda, intracontinental di dalam satu benua, dan interregional di dalam

satu kawasan atau Negara (Keely, 2002:67).

Pada umumnya ada tiga kondisi yang menyebabkan perpindahan dari

suatu wilayah ke wilayah lain. Ketiga kondisi tersebut adalah kemiskinan,

rendahnya kesempatan kerja dan rendahnya tingkat upah persatuan tenaga kerja.

Kondisi ekonomi tersebut kemudian mendorong mereka untuk mengambil

keputusan ekonomi rasional yang mungkin bisa membantu mereka.

Migrasi adalah sebuah fenomena yang banyak dijumpai dalam perjalanan

sejarah bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Salah satu fenomena yang

paling menonjol dalam sejarah kepindahan penduduk dari Sulawesi Selatan ke

daerah-daerah lain di Indonesia. Masyarakat Bugis yang melakukan migrasi

tersebut mengembangkan pelayaran dan perdagangan, perikanan, pertanian dan

pembukaan lahan perkebunan. Kemampuan menyesuaikan diri merupakan modal

terbesar yang memungkinkan orang Bugis dapat bertahan di mana-mana selama

berabad-abad. Menariknya, walau mereka terus menyesuaikan diri dengan

keadaan sekitarnya, orang Bugis tetap mampu mempertahankan identitas mereka.

Latar belakang migrasi awal orang-orang Bugis ke daerah Kalimantan

bagian timur, Kalimantan bagian Tenggara, Pontianak, hingga ke Singapura dan

Malaysia serta wilayah Asia Tenggara lainnya adalah adanya semangat untuk

merantau. Orang-orang Bugis selalu berupaya mencari tempat yang dianggap

layak bagi dirinya untuk tinggal, bekerja, bermasyarakat dan lain-lain. Selama hal

tersebut belum dicapai, perantauan tidak akan pernah berakhir. Perantauan orang

Page 13: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

3

Bugis ini juga dimotivasi budaya merantau yang menjadi pandangan hidup orang

Bugis (Pelras, 2006:24).

Selanjutnya Pelras (2006:28) menyatakan bahwa masyarakat Bugis adalah

kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Bugis. Wilayah

penganut kebudayaannya Bugis meliputi Wilyah Selatan Pulau Sulawesi,

Sulawesi Bagian Tengah dan Tenggara, bahkan sampai ke Malaysia. Hal ini

disebabkan oleh adanya dorongan pada diri mereka untuk merantau. Merantau

sendiri disebabkan oleh dua hal yaitu: 1) Keinginan untuk mendapatkan kekayaan

dari hasil jerih payah merantau, 2) kondisi Keamanan wilayah Sulawesi Selatan

yang yang tidak mendukung kehidupan masyarakat Bugis di negerinya sendiri.

Salah satu daerah yang dituju oleh para perantau dari Bugis adalah

Wilayah Poleang tepatnya di Kabupaten Bombana. Kepindahan mereka ke

Poleang terjadi sejak ratusan tahun lalu. Masyarakat Bugis yang bermigrasi ke

Wilayah Poleang tetap menetap di tempat itu sampai kini dan telah menyatu

dengan masyarakat Moronene sebagai penduduk asli wilayah Poleang.

Suku Moronene adalah suku yang mendiami wilayah pada bagian ujung

selatan jazirah Sulawesi Tenggara dan Pulau Kabaena. Pada zaman dulu, suku

Moronene adalah suku nomaden, yang selalu berpindah dari satu tempat ke

tempat yang lain, hingga akhirnya mereka menetap di kawasan Taman Nasional

Rawa Aopa Watumohai. Kampung pemukiman suku Moronene ini tersebar di

beberapa kabupaten di Sulawesi Tenggara termasuk kampung Hukaea, Laea, dan

Lampopala, dan Poleang. Kampung-kampung tersebut bagi orang Moronene

Page 14: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

4

disebut sebagai Tobu Waworaha atau perkampungan tua bekas tempat tinggal

para leluhur mereka (Mekuo, 1986:132).

Pada zaman dulu, Poleang adalah wilayah kerajaan Moronene dan didiami

oleh Suku Moronene. Namun seiring migrasi suku Bugis dari Sulawesi Selatan

maka wilayah tersebut telah didominasi oleh Suku Bugis. Melihat cukup

banyaknya jumlah masyarakat Bugis di Wilayah Poleang, maka penulis tertarik

untuk melakukan kajian terhadap hubungan kekerabatan Suku Bugis dengan Suku

Moronene di Wilayah Poleang.

Melalui sebuah rangkaian observasi pendahuluan yang dilakukan, penulis

menyimpulkan bahwa kekerabatan antara Suku Bugis dan Suku Moronene telah

terbina sejak ratusan tahun yang lalu dan tetap hidup berdampingan sampai saat

ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang muncul

dalam penelitian ini adalah sejarah hubungan kekerabatan Suku Bugis dengan

Suku Moronene di Wilayah Poleang. Untuk memperjelas inti permasalahan yang

akan diteliti maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana proses diaspora Suku Bugis di Wilayah Poleang Kabupaten

Bombana?

2. Bagaimana latar belakang hubungan kekerabatan Suku Bugis dan Suku

Moronene dibina di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana?

3. Bagaimana pola hubungan kekerabatan suku Bugis dan suku Moronene di

Wilayah Poleang Kabupaten Bombana?

Page 15: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

5

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan dari penelitian ini

adalah:

1. Untuk mendeskripsikan proses diaspora suku Bugis di Wilayah Poleang

Kabupaten Bombana.

2. Untuk mendeskripsikan latar belakang hubungan kekerabatan Suku Bugis dan

Suku Moronene dibina di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana.

3. Untuk memaparkan pola hubungan kekerabatan suku Bugis dan suku

Moronene di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai bahan acuan atau sumber informasi tentang sejarah kekerabatan

suku Bugis dan suku Moronene di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana.

b. Sebagai sumbangan pemikiran penulis terhadap kemajuan ilmu

pengetahuan sejarah kekerabatan di Wilayah Poleang pada masyarakat

suku Moronene dan suku Bugis di Kabupaten Bombana untuk menambah

khasanah penulisan sejarah Nasional Indonesia.

2. Manfaat Praktis.

a. Kalangan akademis, yaitu sebagai bahan masukan dan perbandingan dalam

upaya penelitian-penelitian selanjutnya.

b. Khalayak, yaitu sebagi bahan informasi tentang hubungan kekerabatan

suku Bugis dan suku Moronene di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana.

Page 16: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Sejarah

Pengertian sejarah meliputi tiga segi yaitu sejarah sebagai peristiwa

berkembang dengan konsep sejarah, yakni ruang, waktu, dan manusia. Sedangkan

konsep manusia akan menyangkut aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi,

teknologi dan politik, terjalin dalam peristiwa sejarah. Kompleksnya kehidupan

manusia, maka dalam cerita sejarah perlu adanya pembagian secara tematis untuk

menunjukkan dan membuktikan kapan peristiwa sejarah manusia tersebut

berlangsung perlu adanya periodisasi sesuai dengan konsep waktu. Sedangkan

mengenai dimana suatu kejadian sejarah manusia tersebut terjadi, maka

diperlukan konsep ruang atau waktu.

Kartodirdjo (2002: 89) membagi sejarah menjadi dua, yaitu sejarah dalam

arti objektif yang merupakan kejadian dan peristiwa sejarah yang tidak dapat

terulang dan sejarah dalam arti subjektif atau suatu kontruksi (bangunan) yang

disusun oleh penulis sebagai suatu uraian cerita (kisah). Kisah tersebut merupakan

suatu kesatuan rangkaian dan fakta-fakta yang saling berkaitan. Sejarah sebagai

ilmu yang berhubungan dengan prosedur pengumpulan sumber dan penarikan

fakta dan sumber sejarah yang dilakukan oleh sejarawan atau dengan kata lain

bahwa sejarah sebagai ilmu menyangkut teknik-teknik dalam menyusun dan

merekonstruksi sejarawan terhadap sejarah sebagai peristiwa berdasarkan fakta-

fakta sejarah yang dimilikinya.

Page 17: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

7

Selanjutnya sebagai suatu disiplin ilmu, ilmu sejarah setara dengan ilmu-

ilmu lain karena dalam penyusunannya telah menggunakan metode analisis yang

kritis, walaupun ada proses-proses tertentu yang berbeda dengan proses ilmiah

menurut criteria ilmu pengetahuan lainnya. Karena itu sebagai mana ilmu-ilmu

lain, sejarah sebagai suatu ilmu pengetahuan juga mempunyai pengertian dan

kajian tersendiri.

Pada dasarnya suatu ilmu tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling

berkaitan antara satu sama lain. Ilmu sejarah misalnya untuk mengetahui

perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang lain sangat membutuhkan ilmu

sejarah, karena fungsi ilmu sejarah adalah upaya penelusuran jejak-jejak masa

lampau sehingga yang ada sekarang menjadi jelas. Sejalan dengan itu,

Kuntowijoyo (2013: 210) mengemukakan bahwa sejarah adalah ilmu yang

mandiri. Mandiri artinya mempunyai filsafat ilmu sendiri, permasalahan sendiri,

dan penjelasan sendiri. Yang dimana sejarah manafsirkan, memahami dan

mengerti. Dirnulai dengan menunjukan kekhasan sejarah sebagai ilmu. Setelah

mengetahui jenis sejarah sebagai ilmu, maka perihal penjelasan sejarah,

sehubungan dengan jenis ilmu.

Sejarah masa lampau dipelajari dengan berpijak pada kenyataan dan

situasi sekarang untuk mencanangkan pikiran serta harapan yang persektif ke

masa depan. Dengan demikian gambaran sejarah merupakan integrasi kurun

waktu yang tak terputus antara masa lampau, masa sekarang yang telah kita alami

dan masa yang akan datang. Sebagai konsekuensi logis dan kesinambungan kurun

waktu dalam dimensi sejarah adalah terjadinya hubungan kausalitas antara

Page 18: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

8

peristiwa atau kejadian yang menyertai dengan hukum-hukum yang menguasai

masa lampau yang membawa masyarakat pada perubahan-perubahan kearah

perkembangan secara bertahap segala aktifitas yang dilakukan oleh manusia. Oleh

karena itu ilmu sejarah sangat penting di dalam mempelajari kebudayaan dan

suatu masyarakat, baik itu masyarakat dan suatu kelompok daerah maupun

bangsa.

B. Migrasi

Migrasi mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia di wilayah

manapun di muka bumi ini. Oleh karena itu migrasi juga merupakan usaha

manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhannya, baik secara ekonomi, sosial

budaya maupun politik. Migrasi merupakan suatu bentuk usaha manusia untuk

memperbaiki taraf hidupnya, baik secara individu maupun kelompok. Migrasi

adalah perpindahan penduduk dengan tujuan menetap dari suatu tempat ke tempat

lain melampaui politik atau Negara ataupun batas administratif atau batas bagian

dalam suatu Negara. Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat ke

tempat lain, baik melewati batas administratif dari suatu negara dengan tujuan

menetap (Munir, 1981:119).

Definisi dalam arti luas tentang migrasi ialah penyebaran tempat tinggal

secara permanen atau semi permanen. Tidak ada pembatasan, baik pada jarak

perpindahan maupun sifatnya, yaitu apakah tindakan itu bersifat sukarela atau

terpaksa serta tidak diadakan perbedaan antara migrasi dalam negeri dan migrasi

ke luar negeri. Jadi pindah tempat dari satu apartemen ke apartemen lain hanya

dengan melintasi lantai antara kedua ruangan itu dipandang sebagai migrasi, sama

Page 19: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

9

seperti perpindahan dari Bombay di India ke Cedar Rapids di Iowa, meskipun

tentunya sebab-sebab dan akibat-akibat perpindahan itu sangat berbeda. Tetapi

tidak semua macam perpindahan dari satu tempat ke tempat lain dapat

digolongkan ke dalam definisi ini. Yang tidak dapat digolongkan misalnya,

pengembaraan orang nomad dan pekerja-pekerja musiman yang tidak lama

berdiam di suatu tempat, atau perpindahan sementara, seperti pergi ke daerah

pegunungan untuk berlibur selama musim panas. Tanpa mempersoalkan dekat

jauhnya perpindahan, mudah atau sulit, setiap migrasi mempunyai tempat asal,

tempat tujuan, dan bermacam-macam rintangan yang menghambat. Dari beberapa

penghalang antara itu, maka faktor jarak perpindahan merupakan faktor yang

selalu ada (Lee, 1991: 7).

Dari berbagai pendapat tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa migrasi yaitu perpindahan penduduk yang terjadi dari suatu tempat yang

satu ke tempat yang lainnya, baik antar Negara maupun dalam suatu Negara

dengan tujuan menetap.

Migrasi selalu berkaitan dengan tempat atau wilayah, waktu terjadinya

migrasi baik itu saat masuk maupun keluar dari sebuah wilayah. Dari sisi tempat

atau wilayah mulai dari lingkup desa maupun dalam lingkup yang lebih luas yaitu

antara wilayah Negara. Dari sisi waktu, mulai dari satu hari sampai waktu yang

cukup lama. Sehubungan dengan tempat dan waktu, migrasi dapat dibedakan

menjadi: (1) migrasi masuk (in migration), yaitu masuknya penduduk ke suatu

daerah tempat tujuan (Area of destination), (2) miigrasi keluar (out migration),

yakni perpindahan penduduk keluar dari suatu daerah asal (area of origin), (3)

Page 20: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

10

migrasi neto (net migration), merupakan selisih antara jumlah migrasi masuk dan

migrasi keluar. Apabila migrasi yang masuk lebih besar dari pada migrasi keluar

maka disebut migrasi neto positif sedangkan jika migrasi keluar lebih besar dari

pada migrasi masuk disebut migrasi neto negative, (4) migrasi bruto (gross

migration), yakni jumlah migrasi masuk dan migrasi keluar, (5) migrasi total

(total migration), yakni seluruh kejadian migrasi mencakup migrasi semasa hidup

(life time migration) dan migrasi pulang (return migration). Migrasi total adalah

semua orang yang pernah pindah, (6) migrasi internasional (internasional

migration), merupakan perpindahan penduduk dari sebuah Negara ke Negara lain.

Masuknya penduduk ke sebuah Negara disebut Imigrasi (Imigration), sedangkan

sebaliknya jika terjadi perpindahan penduduk yang keluar dari sebuah Negara

disebut Emigrasi (Emigration), (7) migrasi semasa/seumur hidup (life time

migration), adalah mereka yang pada waktu pencacahan sensus bertempat tinggal

di daerah yang berbeda dengan daerah tempat kelahirannya tanpa melihat kapan

pindahnya, (8) migrasi parsial (parsial migration), yakni migrasi yang terjadi

antara dua daerah saja, (9) urbanisasi (urbanization), yaitu bertambahnya proporsi

penduduk yang berdiam di daerah kota yang disebabkan oleh proses perpindahan

penduduk ke kota dan/atau akibat dari perluasan daerah kota dan pertumbuhan

alami penduduk kota. (Lee, 1991).

Definisi urban berbeda-beda antara satu Negara dengan Negara lainnya

tetapi biasanya pengertiannya berhubungan dengan kota-kota atau daerah-daerah

pemukiman lain yang padat. Klasifikasi yang dipergunakan untuk menentukan

daerah kota biasanya dipengaruhi oleh indikator mengenai penduduk, indikator

Page 21: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

11

mengenai kegiatan ekonomi, indikator jumlah fasilitas urban atau status

administrasi suatu pemusatan penduduk.

C. Kekerabatan

Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga

yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan

terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek

dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam

kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar.

Menurut Chony dalam Imron (2005:27) “Sistem kekerabatan dijelaskan

bukan hanya saja karena adanya ikatan perkawinan atau karena adanya hubungan

keluarga, tetapi karena adanya hubungan darah”. Selain itu Chony juga

mengungkapkan bahwa kunci pokok sistem perkawinan adalah kelompok

keturunan atau linege dan garis keturunan atau descent. Anggota kelompok

keturunan saling berkaitan karena mempunyai nenek moyang yang sama.

Kelompok keturunan ini dapat bersifat patrilineal atau matrilineal.

Menurut Keesing dalam Imron (2005:27) “Sistem kekerabatan adalah

hubungan berdasarkan pada model hubungan yang dipandang ada antara seorang

ayah dengan anak serta antara seorang ibu dengan anak”.

Dari beberapa definisi kekerabatan, dapat dinyatakan bahwa sistem

kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial, yang

merupakan sebuah jaringan hubungan kompleks berdasarkan hubungan darah atau

perkawinan. Berdasarkan hubungan darah dapat diambil pengertian bahwa

Page 22: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

12

seseorang dinyatakan sebagai kerabat bila memiliki pertalian atau ikatan darah

dengan seseorang lainnya.

1. Kelompok Kekerabatan

Kelompok kekerabatan menurut Imron (2005:159) “adalah meliputi

orang- orang yang mempunyai kakek bersama, atau yang percaya bahwa mereka

adalah keturunan dari seorang kakek bersama menurut perhitungan garis

patrilineal (kebapaan)”. Selain itu Ihroni juga berpendapat bahwa suatu kelompok

adalah kesatuan individu yang diikat oleh sekurang-kurangnya 6 unsur, yaitu:

a. Sistem norma-norma yang mengatur tingkah laku warga kelompok,

b. Rasa kepribadian kelompok yang disadari semua warganya,

c. Interaksi yang intensif antar warga kelompok,

d. Sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antarwarga kelompok,

e. Pemimpin yang mengatur kegiatan-kegiatan kelompok, dan

f. Sistem hak dan kewajiban terhadap harta produktif, harta konsumtif, atau

harta pusaka tertentu.

G.P. Murdock dalam Koentjoraningrat (2005:109) membedakan 3

kategori kelompok kekerabatan berdasarkan fungsi-fungsi sosialnya, yaitu:

a. Kelompok kekerabatan berkorporasi, biasanya mempunyai ke-6 unsur

tersebut. Istilah “berkorporasi” umumnya menyangkutunsur 6 tersebut yaitu

adanya hak bersama atas sejumlah harta.

b. Kelompok kekerabatan kadangkala, yang sering kali tidak memiliki unsur 6

tersebut, terdiri dari banyak anggota, sehinggainteraksi yang terus menerus

dan intensif tidak mungkin lagi, tetapi hanya berkumpul kadang-kadang saja.

Page 23: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

13

c. Kelompok kekerabatan menurut adat, biasanya tidak memiliki unsur pada

yang ke 4,5 dan 6 bahkan 3. Kelompok-kelompok ini bentuknya sudah

semakin besar, sehingga warganya seringkali sudah tidak saling mengenal.

Rasa kepribadian sering kali juga ditentukan oleh tanda-tanda adat tersebut.

Kelompok-kelompok kekerabatan yang termasuk golongan pertama

adalah kindred dan keluarga luas, sedang golongan kedua termasuk dame,

keluarga ambilineal kecil, keluarga ambilineal besar, klen kecil, klen besar, frati,

dan paroh masyarakat.

a. Kindret yakni, berkumpulnya orang-orang saling membantu melakukan

kegiatan-kegiatan bersama saudara, sepupu, kerabat isteri, kerabat yang lebih

tua dan muda. Di mulai dari seorang watga yang memprakarsai suatu kegiatan.

Dan bisanya hubungan kekerabatan ini dimanfaatkan untuk memperlancar

bisnis seseorang.

b. Keluarga luas yakni, kekerabatan ini terdiri dari lebih dari satu keluarga initi.

Terutama di daerah pedesaan, warga keluarga luas umumnya masih tinggal

berdekatan, dan seringkali bahkan masih tinggal bersama-sama dalam satu

rumah. Kelompok kekerabatan berupa keluarga luas biasanya di kepalai oleh

anggota pria yang tertua. Dalam berbagai masyarakat di dunia, ikatan

keluarga luas sedemikian eratnya, sehingga mereka tidak hanya tinggal

bersama dalam suatu rumah besar, tetapi juga merupakan satu keluarga inti

yang besar.

c. Keluarga ambilineal kecil yakni, terjadi apabila suatu keluarga luas

membentuk suatu kepribadian yang khas, yang disadari oleh para warga.

Page 24: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

14

Kelompok ambilineal kecil viasanya terdiri dari 25-30 jiwa sehingga mereka

masih saling mengetahui hubungan kekerabatan masing-masing.

d. Klen kecil yakni, kelompok kekerabatan yang terdiri dari beberapa keluarga

luas keturunan dari satu leluhur. Ikatan kekerabatan berdasarkan hubungan

melalui garis keturunan pria saja (patrilineal), atau melalui garis keturunan

wanita saja (matrilineal), jumlah sekitar 50-70 orang biasanya mereka masih

saling mengenal dan bergaul dan biasanya masih tinggal dalam satu desa.

e. Klen besar yakni, kelompok kekerabatan yang terdiri dari semua keturunan

dari seorang leluhur, yang diperhitungkan dari garis keturunan pria atau

wanita, sosokl leluhur yang menurunkan para warga klen besar berpuluh-

puluh generasi yang lampau iru sudah tidak jelas lagi dan seringkali sudah di

anggap keramat. Jumlah yang sangat besar menyebabkan mereka sudah tidak

mengenal kerabat-kerabat jauh.

f. Frati yakni, gabungan antara patrilineal maupun matrilineal, dan dari

kelompok klen setempat (bisa klen kecil, tetapi bisa juga bagian dari klen

besar). Namun penggabungannya tidak merata.

2. Kekerabatan dan Hubungan Kekeluargaan

Hubungan kekerabatan atau kekeluargaan merupakan hubungan antara

pihak tiap entitas yang memiliki asal usul silsilah yang sama baik memiliki

keturunan biologis, sosial, dan budaya. Hubungan kekerabatan ini adalah salah

satu prinsip mendasar untuk mengelompokan tiap orang ke dalam kelompok

sosial peran katagori dan silsilah.

Page 25: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

15

Setiap individu yang hidup dalam suatu masyarakat secara biologis dapat

menyebut kerabat semua orang sesamanya yang mempunyai hubungan darah atau

genes melalu ibu atau ayahnya. Namun bagi seorang individu, batas kaum “

kerabat sosiologisnya” atau kaum kerabatnya dalam rangka kehidupan

masyarakatnya juga berbeda bila dipandang dari tiga sudut, antara lain:

1. Batas kesadaran kekerabatan (kinship awareness).

2. Batas dari pergaulan kekerabatan (kinship affiliations).

3. Batas dari hubungan-hubungan kekerabatan (kinship relations).

Batas-batas dari hubungan kekerabatan ditentukan oleh prinsip-prinsip

keturunan atau principle of descent. Menurut para ilmuwan, ada paling sedikit

empat macam prinsip keturunan, yaitu:

a. Prinsip patrilineal atau patrilineal descent yang menghitungkan hubungan

kekerabatan melalui pria saja.

b. Prinsip matrilineal atau matrilineal descent yang menghitungkan hubungan

kekerabatan melalui wanita saja.

c. Prinsip bilineal atau bilineal descent yang menghitungkan hubungan

kekerabatan melalui pria saja untuk sejumlah hak dan kewajiban tettentu, dan

melalui wanita untuk sejumlah hak dan kewajiban yang lain.

d. Prinsip bilateral atau bilateal descent yang menghitungkan hubungan

kekerabatan melalui pria maupun wanita.

Dalam prinsip bilateral sendiri terdapat tambahan-tambahan prinsip, yaitu:

Page 26: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

16

a. Prinsip ambilineal, yang menghitungkan hubungan kekerabatan untuk

sebagian orang dalam masyarakat melalui pria, dan untuk sebagian orang lain

dalam masyarakat itu juga melalui wanita.

b. Prinsip konsentris, yang menghitungkan hubungan kekerabatan sampai jumlah

angkatan yang terbatas.

c. Prinsip promogenitur, yang menghitungkan hubungan kekerabatan melalui

pria maupun wanita, tetapi hanya yang tertua saja.

d. Prinsip ultimogenitur, yang menghitungkan hubungan kekerabagan melalui

pria maupun wanita, tetapi hanya yang termuda saja (Santoso, 1998: 16-18).

3. Macam-Macam Sistem Kekerabatan

Pada masyarakat tradisional, sistem kekerabatan berpengaruh besar dan

sangat mengikat di antara mereka. Seiring dengan perkembangan zaman, fungsi

kesatuan kekerabatan biasanya mulai berkurang dan agak longgar. Walaupun

demikian, masih banyak suku-suku bangsa di dunia yang masih meme gangnya,

seperti di daerah-daerah yang berkebudayaan agraris seperti Afrika, Asia,

Oseanis, dan Amerika Latin.

Para ahli antropologi telah banyak meneliti mengenai macam- macam

sistem kekerabatan, organisasi masyarakat komunitas desa, serta komunitas kecil

dan penggolongan masyarakat atau pelapisan sosial. Menurut Morgan, macam-

macam sistem kekerabatan di dunia erat kaitannya dengan sistem istilah

kekerabatan (Santoso, 1998: 21).

Susunan masyarakat berdasarkan kekerabatan dapat dibedakan menjadi

beberapa kelompok, yaitu sebagai berikut.

Page 27: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

17

a. Garis Keturunan Bapak (Patrilineal)

Susunan masyarakat yang patrilineal, menarik garis keturunan selalu

dihubungkan dengan bapak. Hak waris hanya diberikan kepada anggota-anggota

kerabat laki-laki, terutama anak laki-laki. Bagi masyarakat patrilineal, laki-laki

mendapat penghargaan dan penghormatan lebih tinggi dari pada kaum wanita. Di

Indonesia, sistem kekerabatan patrilineal dianut oleh Suku Batak.

b. Garis Keturunan Ibu (Matrilineal)

Masyarakat genealogis menarik keturunan hanya dihubungkan dengan ibu.

Anak-anak menjadi hak ibu, termasuk dalam kekerabat- an ibu. Setelah

perkawinan pengantin menetap di pusat kediaman kerabat istri. Sistem waris

diturunkan kepada anggota kerabat perempuan dan kedudukan sosial perempuan

lebih tinggi dari pada laki-laki. Akan tetapi, lelaki tetap berperan sebagai

pengelola waktu, harta, usaha, dan adat keluarga. Sistem matrilineal di Indonesia

dianut oleh suku bangsa Minangkabau. Pada suku Minangkabau laki-laki berperan

sebagai pengelola harta dan adat yang disebut mamak (paman).

c. Garis Parental

Pada masyarakat genealogis yang menarik garis keturunan dari ibu dan

bapak (parental dan bilateral) adalah para anggotanya menganggap dirinya

kerabat. Dalam memperhitungkan garis keturunan menghu bungkan kepada ibu

dan bapak. Anak-anak menjadi hak ibu dan bapak termasuk kerabat dari pihak

laki-laki dan pihak istri. Dalam sistem ini tidak ada perbedaan penghargaan antara

laki-laki dan perempuan. Sistem ini dianut oleh Suku Sunda, Jawa, dan

Kalimantan.

Page 28: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

18

d. Double Unilateral

Masyarakat doubleunilateral adalah masyarakat yang menganut dua sistem

kekerabatan (patrilineal dan matrilineal) yang berlaku dan dijadikan sebagai

kesatuan-kesatuan sosial. Semua anggota keluarga adalah kerabat bapak dan

kerabat ibu.

e. Alternered

Susunan kekerabatan ini berarah sepihak dan berdasarkan perkawinan

yang mengakibatkan anak-anak termasuk kerabat bapak atau termasuk kerabat

ibu.

D. Hubungan Kekerabatan

Pada hakekatnya kekerabatan terjadi karena hubungan darah dan proses

perkawinan. Hubungan darah berada sekitar saudara sepupu sekali, sepupu dua

kali, sepupu tiga kali, sepupu empat kali. Sepupu lima kali dianggap suatu

keluarga yang mulai menjauh. Perkawinan di luar lingkungan sepupu tiga kali

menyebabkan batas kekerabatan menjadi semakin luas, ini sering terjadi di

kalangan etnis-etnis yang ada di Sultra. Meskipun umumnya orang mengakui

kerabat jika dalam kelompok itu terjadi saling kenal-mengenal, oleh

Koentjaraningrat (1982:89) disebutnya kerabat sosilogis.

Titik tolak hubungan kekerabatan antar etnik dimulai dari kedatangan

nenek moyang penduduk yang berdiam di daerah Sulawesi Tenggara sekarang ini.

Secara geografis dan genealogis wilayah Sulawesi Tenggara merupakan

pertemuan ras-ras dalam proses perpindahan bangsa-bangsa prasejarah. Ras

Mongoloid dari Utara, ras Austro-Melanesoid dari Timur dan Proto-Melayu dari

Page 29: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

19

Barat/Utara. Oleh karena itu daratan Sulawesi Tenggara dan pulau-pulau

sekitarnya memiliki kekhasan baik kehidupan manusianya maupun flora dan

faunanya (Razake, 1989:68).

Suku Moronene, Tolaki, Wawonii, dan Kulisusu mempunyai ciri fisik

dan budaya yang mirip dengan suku-suku yang ada di Sulawesi Tengah dan

mungkin juga Sulawesi Utara. Jika dilihat dari cepkalik-index, mata, rambut

maupun warna kulit suku-suku tersebut memiliki persamaan dengan ras

Mongoloid diduga berasal dari Asia Timur ke Jepang kemudian tersebar ke

selatan melalui Kepulauan Riukyu, Taiwan, Philipina, Sangir Talaud, Pantai

Timur Pulau Sulawesi kemudian sampai ke Sulawesi Tenggara. Sementara itu

penduduk kepulauan (Muna dan Buton), termasuk di Kepulauan Banggai

(Sulteng) dan suku-suku di NTT banyak memiliki persamaan dengan ras Austro-

Melanesoid (Razake, 1989). Dalam perkembangan selanjutnya terjadi pemusatan

penduduk khususnya ras Mongoloid di daerah-daerah Danau Matana, Mahalona,

dan Towuti (Monografi, 1976:95).

Para migran tersebut, ketika sampai di daerah ini membentuk

perkampungan di wilayah-wilayah yang menawarkan kehidupan bagi mereka,

seperti di lembah sungai atau di sekitar danau (ingat: Sungai Lasolo, Sungai

Konaweeha, Danau Amboau) pusat konsentrasi pemukiman kuno di Sulawesi

Tenggara. Dari sini mereka membentuk pemerintahan desa atau kerajaan-kerajaan

kecil dan kemudian membentuk konfederasi.

Bagi masyarakat di daerah Mekongga (Kolaka), Konawe (Kendari),

Wuna (Muna), Wolio (Buton), Moronene, dan Pulau Wawonii percaya bahwa

Page 30: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

20

asal-usul raja pertama di wilayahnya adalah dari To Manurung, meskipun dalam

ungkapan bahasa dan gelar yang berbeda-beda. To Manurung dianggap orang

yang turun dari kayangan (langit), dan senantiasa disimbolkan dengan bambu atau

gading, atau emas dan warna kuning lainnya (Hafid, 2003:6).

Kerajaan-kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara mengakui adanya

hubungan historis dengan Sawerigading dari Luwu yang dihubungkan dengan

kedatangan To Manurung (orang asing). Persepsi yang sama juga ditemukan pada

tradisi di kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan, seperti: Gowa dan Bone. Pada sisi

lain suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar dan suku Massenrempuluk

mengakui pula bahwa asal-usul nenek moyang mereka berasal dari Ussuk,

diperkuat dengan tradisi raja-raja Bugis, Makassar, dan Mandar menghormati

Raja Luwu sebagai primus interparis (Abidin, 1995:76). Dalam lontarak Bajo

(ditulis orang Bajo di Kendari) juga mengakui asal-usul nenek moyang mereka

berasal dari Ussuk.

Di Mekongga ditandai dengan kedatangan La Rumbalangi yang berhasil

membunuh burung kongga, kelak menjadi raja pertama di Kerajaan Mekongga. Di

Konawe Tomanurung ditandai dengan kedatangan Wekoila yang merupaka raja

pertama di Kerajaan Konawe sekitar abad X. To Manurung di Wuna disebut

Beteno ne Tombula orang yang keluar dari ruas bambu yang kelak menjadi Raja

Wuna Pertama juga kawin dengan perempuan To Manurung. Wakaaka

merupakan To Manurung di Wolio kelak juga menjadi Raja Wolio Pertama

(Anonim, 1982:12).

Page 31: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

21

Di masyarakat Moronene khususnya yang bermukim di Pulau Kabaena

percaya bahwa ketika terjadi kemelut politik maka muncullah Tebeto

Tulanggadi=lelaki tampan yang muncul dari bambu gading. Pada saat yang sama

muncul pula seorang perempuan asing bernama Wulele Waru, seorang putri yang

terpencar dari sekuntum bunga kayu waru (Subur, 1990:34).

Peristiwa tersebut terjadi pada abad XIV, istilah bambu tersebut semakin

menguatkan adanya kesamaan dalam arti terdapat hubungan kekerabatan antara

raja-raja pertama yang berhasil menata administrasi dan struktur pemerintahan

tradisional yang ada di Sulawesi Tenggara. Mereka secara tidak langsung

mengakui bahwa para pendatang yang sering disebut to manurng (orang asing

yang memiliki kelebihan) itu adalah Sawerigading atau keluarga/keturunan raja

dari Luwu.

Kedatangan to manurung tersebut sering dihubungkan dengan perjalanan

Sawerigading ke dunia timur (sempe’na Sawerigading lao ri Tana Lau/lao ri

Tomporekkesso) yang menyebabkan persebaran Suku Bugis dan Suku Bajo di

daerah-daerah perantauannya. Tetapi secara faktual bahwa orang Bugis yang

umumnya memiliki gaya hidup yang lebih dinamis, lebih mudah bersosialisasi

dan beradaptasi. Melalui filosofi hidup di rantau yang harus meraih sukses, maka

konsep “tiga ujung” (ujung lidah/diplomasi, ujung laki-laki/kawin politik, dan

ujung keris/keberanian), memegang peranan penting dalam mempertahankan

eksistensi orang Bugis di negeri rantau (Hafid, 2003:6).

Sawerigading juga ditafsirkan sebagai manusia yang berkembang biak di

bambu atau di gading. Pendapat tersebut dapat dihubungkan dengan mitos sebagai

Page 32: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

22

orang yang keluar dari ruas bambu atau dari selah-selah bambu. Penafsiran lain

sesuai dengan tradisi lisan yang menyatakan bahwa leluhur Sawerigading adalah

manusia yang berkembang biak di atas rakit bambu (gading) dalam pelayaran.

Pendapat ini didukung oleh gerak perpindahan dan pelayaran penduduk yang

berbahasa Melayu-Polinesia atau Mongoloid dari daratan Asia Tenggara ke

Nusantara pada masa bercocok tanam (Poesponegoro, 1984:63). Secara faktual

bahwa pada awal pemukiman penduduk di pantai mereka membuat rumah dengan

tiang dari bambu, tangga dari bambu, lantai dari bambu, dinding dari bambu,

bagian dari atap dan peralatan bagian atas rumah juga dari bambu.

Di Kerajaan Mekongga berdasarkan tradisi lisan menyebutkan bahwa

raja pertama di Kerajaan Mekongga berasal dari luar. Ia disimbolkan sebagai

manusia luar biasa yang mampu mengalahkan burung Kongga yang sering

memangsa manusia, dikisahkan bahwa menjelang kedatangannya terjadi masalah

sosial selain merebaknya penyakit menular, juga munculnya burung Kongga yang

memangsa bukan hanya manusia tetapi juga binatang. Menurut Mekuo (1986:23)

La Rumbalangi (Bahasa Tolaki: menggemuruhkan langit; dalam bahasa Bugis: La

Rumpa Langik dari kata: La =orang/laki-laki; Rumpa=membobol; langik=langit

atau laki-laki yang dapat membobol langit) datang dari kayangan dengan

menumpang sehelai sarung bersulam emas. Ia datang di daratan Sulawesi

Tenggara bersama dengan kerabatnya yaitu Wekoila (Mokole Konawe) dan Wa

Sasi. Jika dihubungkan dengan keberadaan burung Kongga yang disimbolkan

sayapnya dapat menutup langit, maka kedatangan La Rumpalangi dapat

membobol langit yang tertutup oleh sayap burung kongga. Ia melakukan taktik

Page 33: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

23

perlawanan dengan menanam bambu-bambu runcing sebagai senjata perangkap

untuk menjebak dan membunuh burung kongga, taktik ini berjalan dengan efektif

sehingga burung kongga berhasil dilumpuhkan oleh La Rumbalangi.

Masyarakat Mekongga menganggap bahwa La Rumbalangi sebagai juru

selamat yang telah menyelamatkan penduduk yang terancam maut oleh burung

kongga. Oleh karena itulah, maka setelah negeri ini aman dan La Rumbalangi

diangkat menjadi Mokole/Bokeo (raja), mereka menamai kerajaannya dengan

Mekongga (sekarang menjadi Kabupaten Kolaka). Tradisi setempat mengakui

bahwa La Rumbalangi adalah keluarga Sawerigading dari Luwu.

Di Kerajaan Konawe kehadiran tomanurung pertama ketika terjadi

kemelut politik yang dalam tradisi lisan dikatakan adanya bencana besar yang

berlangsung bertahun-tahun sehingga nyaris menghancurkan beberapa generasi

umat manusia. Secara tiba-tiba datanglah Wekoila seorang gadis cantik menurut

orang Tolaki disebut Sangia Ndudu atau Tono ari wawo sangia (tono=orang;

ari=dari; wawo sangia=atas kayangan). Di Kerajaan Konawe dikenal tiga orang

Sangia Ndudu, yaitu: (1) To Lahianga, (2) Wekoila (putri jelita), dan (3) Anawai

Ngguluri (putri burung nuri) (Mekuo, 1986:25).

Beberapa sumber yang berasal dari tradisi lisan mengungkapkan bahwa

pada masa kehancuran tatanan pemerintahan dan sosial di daratan Sulawesi

Tenggara tiba-tiba datanglah Tenriabeng atau We Tenriabeng dari Luwu (saudara

kembar Sawerigading) yang oleh orang Tolaki diberi nama Wekoila dari kata

We=ciri nama awal seorang perempuan Bugis, Koila=hilang-hilang atau sakti.

Page 34: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

24

Wekoila kemudian dipersunting oleh Ramandalangi (putra raja Totongano

Wonuwa) (Mekuo, 1986:28).

Menjelang kedatangan Wekoila terjadi masa suram di berbagai sektor

kehidupan masyarakat Tolaki, setiap negeri memiliki pemerintahan sendiri-sendiri

yang menyebabkan terjadi kondisi sianre bale ni taue (timbul kekejaman di mana

manusia saling membunuh seperti ikan). Kemunculan Wekoila membawa

persatuan di Jazirah Sulawesi Tenggara (Kerjaan Konawe) (Burhanuddin,

1981:23).

Jika dihubungkan dengan bahasa Bugis, maka istilah konaweeha dapat

dikaitkan dengan peroses pelayaran keluarga bangsawan dari Luwu bernama We

Tenrirawe yang dikawal oleh para dayan-dayan (inang pengasuh), ketika

memasuki sungai besar ini dan mendapati perkampungan penduduk, maka sang

putri (Wekoila) berkata konawe= di sinilah (bahasa Bugis) artinya di sinilah kita

singgah atau di sini saja kita berlabuh. Sehingga sungai ini kemudian dinamai

Sungai Konaweeha, dan kerajaan yang dibangun oleh masyarakat Tolaki di bawah

kepemimpinan Wekoila kelak dinamai juga Kerajaan Konawe. Wekoila kelak

kawin dengan La Tenripeppang anak bangsawan Tolaki yang kelak melahirkan

keturunan Mokole (raja-raja) di Kerajaan Konawe. Istilah Mokole juga digunakan

di daerah Luwu untuk gelar raja-raja kecil, demikian pula di daerah Bungku

Sulawesi Tengah juga dipakai istilah yang sama untuk bangsawan yang berkuasa

(Hafid, 2003:8).

Di daerah Wuna (Muna) terbentuknya Kerajaan Muna diawali dengan

kedatangan orang asing bernama Beteno ne Tombula=orang yang keluar dari

Page 35: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

25

bambu, ia mengaku bernama La Eli, nama lainnya Baizul Zaman (Batoa,

1991:36). Disusul kemudian kedatangan perempuan asing bernama Sangke

Palangga=diangkat dari dulang. Putri tersebut dalam keadaan hamil, dan dia

mengaku bernama Tandiabe anak Raja Luwu. Segera putri itu diantar ke istana

Mieno Wamelai dan dipertemukan dengan Beteno ne Tombula.

Di Wolio (Buton) sebelum terbentuknya Kerajaan Wolio, muncullah

seorang perempuan cantik yang kemudian dikenal dengan nama Wakaaka. Ia

disimbolkan sebagai seorang putri yang ditemukan di Bukit Lelemangura yang

muncul dari ruas bambu gading oleh Sangia Langkuru. Karena keistimewaannya,

sehingga para Bonto (kepala kampung) mengangkat Wakaaka sebagai Raja Wolio

Pertama, dia dilantik di atas batu popaua, yang kelak menjadi tradisi tempat

pelakntikan Raja Wolio/Buton. Salah satu versi menyebutkan bahwa Wakaaka

bersama rombongannya mula-mula masuk di kali Umalaoge di Pantai Timur

Lasalimu, kemudian meneruskan perjalanan ke selatan dan sampai di

Lelemangura (Wolio). Tradisi lisan tersebut didukung oleh silsilah raja-raja

Wolio/Buton yang melukiskan Wakaaka sebagai putri Raja Luwu yang lubang

tangannya (masombuna limana) dengan permaisurinya yang putih wajahnya

(maputina roona) (Mekuo, 1986:31).

Nama Wakaka dalam tradisi Luwu adalah dari kata Tomokaka,

tomo=penguasa/raja, kaka=diantara beberapa kerajaan. Pendapat ini didukung

oleh sumber sejarah Wolio yang mengungkapkan bahwa sebelum terbentuknya

Kerajaan Wolio, telah berdiri beberapa kerajaan kecil di Pulau Buton diataranya

Kerajaan Amboau. Wakaaka sebagai raja pertama Wolio, kemudian kawin dengan

Page 36: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

26

Sibatara, oleh sebagian orang disimbolkan sebagai bangsawan Majapahit, namun

jika dihubungkan dengan Sejarah Luwu, nama Batara ditemukan pada bangsawan

bernama Batara Guru dan Batara Lattu. Dari perkawinan mereka lahirlah tujuh

orang anak, salah seorang bernama Bulawambona yang kelak diangkat menjadi

Ratu Wolio Kedua. Wakaaka kemudian meninggalkan Wolio menuju tempat yang

tidak diketahui oleh masyarakat Wolio. Bulawambona pun tidak lama

memerintah, karena kemudian pucuk pimpinan pemerintahan diserahkan kepada

suaminya bernama La Baluwu (Mekuo, 1986:32). Sebagai raja Wolio III

diangkatlah Bancapatola sebagai pewaris tahka kedua orang tuanya, ia kemudian

diberi gelar Bataraguru (Djarudju, 1995:47). Kedua nama itu, memperlihatkan

adanya hubungan kekerabatan dengan Luwu/Bugis, nama Patola=pewaris tahta,

karena dialah yang mewarisi tahta kerajaan dari orang tuanya, dan nama

Bataraguru, sama dengan nama Raja Luwu Pertama yang merupakan nenek

Sawerigading (Kern, 1993:43).

Perkembangan pelayaran dagang semakin menambah media pertalian

kekerabatan antar etnik baik yang dilakukan oleh etnis yang ada di Sultra, maupun

dari luar seperti orang Bugis/Makassar. Di kawasan Barat Nusantara para

pelayar/pedagang Bugis sejak dahulu kala diakui sebagai pelayar ulung dan juga

menanamkan pengaruhnya di kawan itu (Riau dan Kalimantan Barat). Demikian

pula di Negeri Timur atau Tanah Lau, seperti Sulawesi Tenggara. Kerajaan

Laiwoi (di Kendari) didirikan oleh La Mangu, anak Arung Bakung seorang yang

disebut sebagai pelarian politik dari Bone yang kawin dengan bangsawan Tiworo,

kemudian Anaknya La Sambawa mengawini Maho putri mahkota Ranomeeto,

Page 37: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

27

dialah yang melahirkan La Mangu yang kelak mendirikan Kerajaan Laiwoi.

Arung Bakung dikenal sebagai pemimpin orang Bugis yang berhasil mengusir

bajak-bajak laut Tobelo di pesisir pantai Timur Sulawesi Tenggara. Kerajaan

Laiwoi merupakan dinasti Bugis-Muna-Tolaki, suatu gambaran nyata bentuk

hebungan kekerabatan melalui perkawinan, inilah yang kelak mengembangkan

Kota Kendari sampai pada taraf sekarang ini. Di Kota Kendari sekarang ini sulit

memisahkan antara ketiga etnis tersebut bahkan dengan etnis lainnya karena

mereka lentur atau menyatu dalam suatu tatanan baru yang mereka kembangkan

sendiri, oleh Chalik, dkk (1984:67) disebutnya proses pembugisan yang

melahirkan etnis baru “Bugis Kendari”, dengan ciri budaya dalam wujud bahasa

Bugis dengan dialek yang khas.

Setelah Indonesia meredeka gelombang migrasi dan dinamika

masyarakat semakin meningkat, baik dalam dimensi perdagangan maupun dalam

dimensi pemerintahan yang menjadi daya dorong migrasi penduduk dari luar yang

masuk ke Sulawesi Tenggara. Perdagangan bukan hanya dilakukan melalui

perahu layar, tetapi dapat dilakukan melalui Kapal Motor, angkutan darat, dan

angkutan udara. Demikian pula penempatan dan mutasi pegawai negeri dan

anggota TNI/Polri, yang berdampak terhadap berkembangnya kekerabatan

melalui perkawinan. Hampir tidak ditemukan lagi rintangan berarti dalam proses

perkawinan antar etnik. Sehingga mempermudah para pemuda perantau untuk

melangsungkan perkawinan antar etnik di daerah ini.

Page 38: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

28

E. Kekerabatan Antar Etnis di Sulawesi Tenggara

Keterkaitan sejarah dan kekerabatan yang diungkapkan dari akibat

perjalanan sawerigading di daerah Timur ini akhirnya melahirkan makna sibolik

hubungan kekeluargaan, kekerabatan, kesatuan dan persaudaraan di kalangan

suku-suku bangsa yang diungkapkan itu. Dalam ungkapan orang Tolaki dikenal

adanya seekor ayam jantan keemasan=manu rasa wulaa. Suatu ketika ayam itu

dipotong untuk dibagi-bagikan kepada tujuh orang keturunannya yang sedang

memerintah di tujuh negeri, yaitu masing-masing: Uluno o Gowa : Kepalanya

Gowa, Worokono o Bone : Lehernya Bone, Wotoluno Konawe : Tubuhnya

Konawe, Karieno Tarinate : Kakinya Ternate, Ponduno Mandara : Paruhnya

Mandar, Panino o Luwu : Sayapnya Luwu, Wuleno Wolio : Hatinya Wolio

(Tarimana, 1987:44).

Ungkapan kekerabatan lain yang dikenal dalam bahasa Bugis: Buton ri

Aja- Bone ri Lauk. Artinya: Kerajaan Bone juga merupakan negeri Orang Buton

yang ada di sebelah Barat; dan Kesultanan Buton juga merupakan negeri Orang

Bone yang ada di sebelah Timur. Makna lebih lanjut adalah jika orang Buton

berangkat ke wilayah Kerajaan Bone, maka dia tidak lagi dianggap sebagai orang

asing, tetapi dianggap sebagai warga negara, demikian pula jika Orang Bugis

Bone berada di Buton maka dia menjadi tuan rumah atau warga negara Buton.

Dalam hubungan perdagangan antar kedua etnis ini melahirkan banyak

perkawinan diantara mereka. muncul pula ungkapan yang menguatkan pertalian

itu yang dinyanyikan para penyair Bugis: Mangkau ri Bone, Pajung ri Luwu,

Karaeng ri Gowa, dan La Ode ri Butung (gelar raja/kebangsawanan: yang

Page 39: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

29

berdaulat di Bone, yang dipayungi di Luwu, orang yang disembah di Gowa, dan

La Ode di Buton). Ungkapan mana menunjukkan kesejajaran dan kekerabatan

diantara kerajaan-kerajaan tersebut. (Kern, 1993:44).

Bagi pelayar niaga orang Buton tidak hanya terbatas di Sultra, tetapi juga

sampai ke negeri Cina dan sebagai bukti terdapat suatu tempat di Kepulauan

Natuna yang bernama Tanjung Buton. Di tempat inilah pera pelayar Buton yang

akan berlayar ke daratan Asia singgah berpangkalan sementara sebelum

melanjutkan pelayarannya yang sampai ke Cina dengan membawa barang

dagangan berupa kopra, damar, hasil laut dan kulit, sebaliknya barang dagangan

dibawa pulang berbagai jenis dan ukuran keramik Cina, dan barang-barang tekstil.

Secara empiris terdapat hubungan bilateral antara Kerajaan Konawe

dengan Kerajaan Bone. Baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial

budaya, sebagai bukti ditemukannya konsentrasi pemukiman di pinggir-pinggir

pantai Konawe, seperti di Tinanggea, Torobulu, Kendari, Sampara, dan Lasolo.

Pada mulnya wilayah ini merupakan tempat transit bagi pelayar Bugis, sebaliknya

di Kerajaan Bone mereka menempatkan Pelabuhan Barebbo sebagai pangkalan

utamanya bahkan menyiapkan tempat khusus bagi para pesiarah/tamu dari

Kerajaan Konawe (Anwar, 1989:7).

Para pelayar dan pedagang tidak sedikit yang menetap dan kawin di

negeri rantau sehingga terjalinlah hubungan kekerabatan antar etnik melalui

perkawinan antar etnik. Seperti yang terjadi pada kasus Perkawinan Wa Ode

Kadingke Putri Raja Muna XVI La Ode Huseini dengan seorang bangsawan

Bugis Bone yang tinggal di Kerajaan Tiworo bernama Daeng Marewa. Secara

Page 40: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

30

adat perkawinan ini dianggap kontroversial karena ditentang oleh sebagian

bangsawan Muna termasuk Raja Muna La Ode Sumaili. Upaya Wa Ode Kadingke

mempertahankan syariat Islam yang tidak memberatkan bagi seorang calon suami

untuk menyiapkan maskawin kepada calon istrinya. Pendapat mana dianggap

bertentangan dengan hukum adat Muna bahwa apabilan seorang perempuan yang

kawin dengan orang dari luar kelompok etnisnya, maka sang calon suami harus

menyiapkan maskawin lebih besar lagi dibanding dengan jika calon suami dari

anggota kelompoknya. Perang saudara berakhir dengan kemenangan dipihak Wa

Ode Kadingke, dan Raja La Ode Sumaili dijatuhi hukuman pukul sampai mati

pada tahun 1799. Dengan demikian syariat Islam dapat mengalahkan hukum adat

yang telah berlaku secara turun-temurun di Kerajaan Muna (Batoa, 1991:26).

Keterkaitan dengan budaya Bugis di Muna dan Buton dapat dilihat dari

nama awal La untuk laki-laki dan Wa atau We untuk perempuan, telah melekat

sampai saat ini menjadi nama ciri masyarakat setempat, seperti halnya nama-nama

dalam masyarakat Bugis. Demikian pula istilah sugi yang berarti orang kaya harta,

ilmu, dan wawasan. Terdapat pula istilah patola berarti pengganti atau pewaris

tahta. Adanya peninggalan Sawerigading di Muna seperti Bukit Bahutara, yang

dikatakan sebagai situs perahu Sawerigading yang telah menjadi batu/gunung,

dialah yang memberi nama Wuna dari kata bahasa Bugis Wunga=bunga, sesuai

bentuk batu-batu cadas di sekitar gunung Bahutara tersebut (Abidn, 1995:23).

Demikian pula nama suatu tempat di Muna bernama Kecamatan

Sawerigadi, yang terbentuk sesudah Indonesia Merdeka memperkuat bukti

kecenderungan masyarakat dunia timur umumnya dan Muna khususnya untuk

Page 41: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

31

lebih mempererat hubungan tradisional mereka dengan Luwu dan Masyarakat

Bugis umumnya. Kesenian modero yang berkembang di kalangan masyarakat

Sulawesi Tenggara (Bajo dan Muna), pantun dan nyanyian yang teratur bait dan

syairnya merupakan suatu petunjuk akan pertalian dengan kebiasaan suku Bugis

yang pintar membuat kata-kata filosofi yang memiliki makna tertentu berupa

nasehat dan pesan-pesan pendidikan lainnya.

Pelayaran niaga yang dilakukan oleh tiga serangkai pengarung samudera

yang dikenal BBM (Bugis-Buton-Mandar) (Zuhdi, 1997:32) meninggalkan jejak

sejarah yang panjang. Ketiga etnis pelayar itu menjelajahi seluruh wilayah pantai

Sulawesi Tenggara dan segenap pelabuhan Nusantara bahkan sampai ke

Mancanegara. Ketiga etnik itu memiliki peran yang cukup besar dalam pelayaran

niaga di Kawasan Timur Indonesia dan membuka jaringan kekerabtan antar etnik.

Negarakertagama menyebut Buton dalam satu rangkaian dengan Makassar,

Banggai, dan pulau-pulau lain di bagian Timur sebagai daerah yang sudah

berhubungan dengan Majapahit (Zuhdi, 1994:34). Lebih jauh dari itu, sejak abad

ke-10 sampai abad ke-13 Kerajaan Wolio (Buton) di Timur Laut Mindanao telah

mempunyai hubungan dagang dengan Cina, Campa, dan Borneo (Zuhdi,

1997:46). Perdagangan keramik pada abad ke-10 melalui perairan Timur Sulawesi

terus ke Selatan di Selat Tiworo menuju Sulawesi Selatan. Para pelayar niaga

etnis Buton ikut ambil bagian dalam pelayaran ke negeri Cina melalui jalur Buton,

Selat Malaka, Laut Cina Selatan berlabuh di Pelabuhan Kanton, Shanghai (Cina).

Setelah tinggal selama 4-6 bulan menunggu perubahan angin, selanjutnya mereka

kembali melalui jalur utara dari Cina, Kepulauan Jepang, Kepulauan Philipina,

Page 42: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

32

Laut Sulawesi, Kepulauan Maluku, Pesisir Timur Sulawesi akhirnya sampai

kembali ke Buton (Anwar, 2000:12). Di Kendari (Teluk Kendari) dikenal adanya

istilah Pasang Mandar = suatu musim di mana permukaan air laut naik sampai

beberapa meter di pantai. Saat (musim barat) tersebut pertanda akan datangnya

para pedagang Mandar untuk menjajakan barang dagangannya dari rumah ke

rumah dengan menggunakan perahu sampan yang memanfaatkan air pasang naik

(Djami, 1988:78).

Beberapa faktor pendorong terjadinya dinamika masyarakat, seperti:

gejolak politik, tantangan alam di daerah asal yang gersang, dan dorongan untuk

mendapatkan kehidupan yang lebih baik di negeri orang, merupakan daya dukung

persebaran suku bangsa termasuk di Sulawesi Tenggara. Setelah mereka tersebar

di daerah ini, ia disambut dengan sikap keterbukaan dari penduduk setempat

sehingga melahirkan hubungan yang harmonis dan saling pengertian. Para

pendatang baru berupaya beradaptasi dengan kehidupan setempat seakan

memegang prinsip dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Pertemuan antara

sikap keterbukaan penduduk setempat dengan sikap adaptif pendatang melahirkan

rasa saling membutuhkan yang melahirkan beberapa perkawinan antar mereka dan

kelak mewujudkan hubungan kekerabatan melalui perkawinan. Hubungan ini,

kelak berkembang menjadi hubungan darah sehingga sulit memisahkan antara

pendatang dengan penduduk asli setempat. Fenomena tersebut, tetap tumbuh

sumbur di tengah-tengah masyarakat Sulawesi Tenggara sampai saat ini.

Pada perkembangan lebih lanjut, di Sulawesi Tenggara terdapat tiga etnis

yang memiliki dinamika yang tinggi dalam proses mobilitas yaitu: etnis Buton

Page 43: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

33

khususnya dari Kepulauan Wakatobi, etnis Muna, dan etnis Bugis. Ketiga etnis ini

banyak mengembangkan kekerabatan baik diantara segi tiga etnis mereka maupun

antar etnis lain yang ada di daerah ini. Dinamika mereka didorong oleh semangat

berlayar dan berdagang atau merantau ke negeri lain mencari nafkah. Mereka

didorong oleh tantangan alam dan latar sosial budaya. Bagi masyarakat Wakatobi

karena tantangan alamnya yang begunung-gunung dan letak geografis di

kepualuan sehingga mendorong mereka untuk mengalihkan arah tujuan hidup

mereka di laut atau di negeri lain mencari nafkah. Masyarakat Muna juga

didorong oleh tantangan alam yang bergunung-gunung sehingga mereka merantau

untuk mencari penghidupan yang lebih baik dengan mata pencaharian yang

bervariasi di rantau baik sebagai pelayar, pedagang, buruh, maun sebagai petani.

Masyarakat Bugis melakukan pelayaran dan perdagangan umumnya didorong

oleh faktor sosial, tradisi kawin dengan mahar yang tinggi menjadi tanggung

jawab laki-laki merupakan salah satu faktor penting dalam perantauan mereka,

demikian pula ungkapan nasib akan berubah jika meninggalkan tanah ugi (Negeri

Bugis) untuk merantau menjadi prestise tersendiri bagi pemuda Bugis. Demikian

pula kesuksesan para perantau yang kembali ke kampung halaman menjadi daya

dorong lebih lanjut kepada generasi lain untuk mengikutinya.

Peroses perkawinan sebagai salah satu saluran perkembangan

kekerabatan dalam masyarakat etnik-etnik yang ada di Sultra berupaya melibatkan

segenap anggota keluarga, meskipun pada mulanya terdapat kecenderungan

memilih jodoh diantara anggota keluarganya, tetapi seiring dengan dinamika

masyarakat dan pengaruh dari luar akibat sikap keterbukaan masyarakat setempat

Page 44: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

34

terhadap masuknya etnik lain bersama unsur-unsr budayanya, maka pada akhirnya

terbukalah hubungan perkawinan antar etnik. Gejala seperti ini menurut Fischer

(1980:90) merupakan upaya untuk memperluas areal kekerabatan.

Pengabaian sikap eksklusif etnik-etnik yang ada di Sultra merupakan

salah satu indikator bahwa mereka telah meninggalkan salah satu ciri masyarakat

tradisional. Mereka telah lama bergerak menuju masyarakat majemuk dan terbuka

terhadap anasir-anasir asing yang dapat memperkaya budaya masyarakat

setempat, bahkan terjadi proses akulturasi budaya antar pendatang dan penduduk

setempat yang berpeluang melahirkan budaya unggul. Kenyataan tersebut

merupakan terapi pencegahan gejala disentegrasi bangsa melalui gesekan antar

etnik yang ada di Sulawesi Tenggara.

F. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang

dilakukan oleh Patisahusiwa (2006:16) tentang hubungan kekerabatan Suku

Maluku dan Suku Buton di Kota Ambon. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan

bahwa dalam kehidupan masyarakat Maluku pada umumnya dan Ambon pada

khususnya, hubungan persaudaraan atau kekeluargaan terjalin atau terbina sangat

akrab dan kuat antara Suku. Hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang

terbentuk secara adat dan merupakan budaya orang Maluku yang sangat dikenal

dengan istilah "pela". Hubungan pela ini dibentuk oleh para leluhur dalam ikatan

yang begitu kuat. Ikatan pela ini terjadi antara desa kristen dengan desa islam.

Dengan demikian, walaupun ada dua agama besar di Maluku (Ambon), akan

tetapi hubungan mereka memperlihatkan hubungan persaudaraan ataupun

Page 45: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

35

kekeluargaan yang begitu kuat. Namun seperti ungkapan memakan buah si

malakama atau seperti tertimpa durian runtuh, hubungan kekeluargaan atau

persaudaraan yang begitu kuatpun mendapat cobaan yang sangat besar, sehingga

tidak dapat disangkali bahwa hubungan yang begitu kuat dan erat, ternyata pada

akhirnya bisa diruntuhkan oleh kekuatan politik yang menjadikan agama sebagai

alat pemicu kerusuhan yang bergejolak di Maluku (Ambon), yang sulit untuk

dicari jalan keluarnya.

Penelitian lain dilakukan oleh Saleh (2012:13) tentang pola hubungan

sosial pada Masyarakat Pemukiman Tanean Lanjang di Kabupaten Sumenep

Madura. Kesimpulan penelitian ini adalah: pola hubungan sosial yang dianut oleh

komunitas Masyarakat Tanean Lanjang adalah pola hubungan sosial yang berbasis

pada komunikasi keluarga dengan menekankan pada pentingnya meneguhkan

aspek nilai-nilai kekeluargaan dan harmonitas hubungan kekerabatan. Hubungan

sosial dalam interaksi kekerabatan yang sangat luas dan dibatasi oleh nilai-nilai

etika kesopanan.

Penelitian serupa dilakukan oleh Mawara (2015:21) tentang solidaritas

kekerabatan Suku Bangsa Bantik di Kelurahan Malalayang I Manado.

Kesimpulan penelitian ini adalah: suku Bangsa Bantik sebagai salah satu suku

bangsa yang ada di Minahasa yang tersebar di beberapa tempat seperti di sebelah

barat daya kota Manado yaitu di Kecamatan Malalayang, Kalasey dan sebelah

utara Manado yakni di Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Bailang, Molas, Meras

serta Tanamon di Kecamatan Sinonsayang Minahasa Selatan, wilayah Ratahan

dan wilayah Mongondow. Suku Bangsa Bantik yang ada di Kecamatan

Page 46: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

36

Malalayang Kota Manado yang menjadi tempat penelitian, mereka telah

membuka diri untuk menerima perubahan dengan kedatangan orang-orang dari

berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia antara lain orang Jawa, Minahasa,

Gorontalo, Bolaang Mongondow, Batak, Bali, Bugis, Toraja, Sangir, Talaud juga

ada dari keturunan Tionghoa. Walaupun telah hidup berdampingan dengan

keanekaragaman suku bangsa, mereka memiliki adat istiadat, kebiasaan serta tetap

mempertahankan nilai-nilai budaya yang mereka anggap bernilai, berharga serta

patut dijaga, dilestarikan seperti kegiatan sosial yang dilakukan secara bersama

yakni solidaritas antar kerabat dalam bidang kematian, perkawinan, Sakit,

musibah kecelakaan, dan lain kegiatan tolong menolong di dalam masyarakat,

dengan adanya peristiwa-peristiwa seperti ini oleh orang-orang tua merasa

terpanggil, peduli dan merasa bertanggung jawab untuk kehidupan kekerabatan

mereka kedepan sehingga masyarakat perlu membentuk suatu kelompok gotong

royong tolong-menolong atau kerjasama yang oleh orang Bantik dikenal dengan

“poposadeng” yang didasarkan pada motto Masyarakat Suku Bangsa Bantik

dikenal dengan 3 H: (1) Hintakinang yakni saling menghormati (baku-baku

hormat), (2) Hingtulungang yakni saling tolong-menolong/saling membantu

(baku-baku bantu), dan (3) Hinggilidang yakni saling sayang menyayangi (baku-

baku sayang/baku-baku bae) berlaku sampai sekarang ini.

Page 47: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

37

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana,

pada Bulan Januari sampai Maret Tahun 2018.

B. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian sejarah yang bersifat deskriptif

kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan mengambarkan sejarah hubungan

kekerabatan Suku Bugis dengan Suku Moronene di Wilayah Poleang Kabupaten

Bombana. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

struktural. Pendekatan struktural adalah penelitian sejarah bukan saja berdasarkan

fakta sejarah berupa benda tetapi termasuk dinamika kehidupan manusia yang

terstruktur.

C. Sumber Data Peneitian

Untuk memperoleh sumber data dalam penelitian ini penulis

menggunakan tiga kategori sumber sejarah yaitu:

1. Sumber tertulis, yaitu data yang diperoleh melalui telaah buku-buku sejarah di

lokasi penelitian khususnya skripsi, dan laporan hasil penelitian yang

mendukung perolehan data dalam peneitian ini.

2. Sumber lisan, yaitu data yang diperoleh melalui keterangan lisan atau hasil

wawancara dengan informan yang dianggap mengetahui tentang sejarah

hubungan kekerabatan Suku Bugis dengan Suku Moronene di Wilayah

Page 48: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

38

Poleang. Informan penelitian ini terdiri dari masyarakat suku Bugis dan suku

Moronene di Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana.

3. Sumber visual, yaitu data yang diperoleh melalui pengamatan secara langsung

terhadap benda-benda atau alat-alat yang berkaitan dengan sejarah hubungan

kekerabatan Suku Bugis dengan Suku Moronene di Wilayah Poleang

Kabupaten Bombana.

D. Batasan Temporal dan Spasial

1. Batasan Temporal

Batasan temporal penelitian ini adalah Tahun 1900-an sampai

tahun 2017.

2. Batasan Spasial

Batasan spasial penelitian ini adalah wilayah Poleang zaman dulu

yang dihuni oleh masyarakat Bugis dan Moronene. Pada saat ini wilayah

Poleang telah mekar menjadi 8 kecamatan yakni: Kecamatan Poleang,

Kecamatan Poleang Barat, Kecamatan Poleang Timur, Kecamatan Poleang

Tenggara, Kecamatan Poleang Utara, Kecamatan Poleang Selatan,

Kecamatan Poleang Tengah, Kecamatan Tontonunu.

E. Heuristik

Pada tahap ini penulis mencari dan mengumpulkan data sebanyak-

banyaknya dengan menggunakan teknik sebagai benikut:

1. Penelitian kepustakaan, yaitu teknik yang digunakan untuk memperoleh data

yang diperlukan melalui sumber-sumber tertulis berupa buku-buku yang

relevan dengan penelitian ini.

Page 49: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

39

2. Observasi yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan melalui

pengamatan secara sistematis tentang fenomena yang diteliti. Dalam penelitian

ini, peneliti melakukan pengamatan langsung tentang hubungan kekerabatan

Suku Bugis dengan Suku Moronene di Poleang.

3. Wawancara dengan delapan orang informan yang mengetahui permasalahan

yang diteliti.

4. Studi dokumen yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengkaji

dokumen yang ada hubungannya dengan hubungan kekerabatan Suku Bugis

dengan Suku Moronene di Wilayah Poleang.

F. Kritik Sumber

Pada tahapan ini peneliti mengadakan penilaian terhadap data yang sudah

terkumpul, khususnya bagi data yang masih diragukan kebenarannya sehingga

bisa didapatkan data yang benar-benar akurat, sehingga dapat dipakai dalam

penulisan sejarah.

Untuk mengkaji keaslian dan kebenaran data tersebut dengan menempuh

cara sebagai berikut:

1. Kritik eksternal ialah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap

aspek-aspek luar dari sumber sejarah. Sebelum semua kesaksian yang berhasil

dikumpulkan oleh sejarawan dapat digunakan untuk merekonstruksi masa lalu,

maka terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan yang ketat. Atas dasar

berbagai alasan atau syarat, setiap sumber harus dinyatakan dahulu otentik dan

integral. Saksi mata atau penulis itu harus diketahui sebagai orang yang dapat

dipercaya. Kesaksian itu harus dapat dipahami dengan jelas. Sebelum sumber-

Page 50: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

40

sumber sejarah dapat digunakan dengan aman, paling tidak ada sejumlah lima

pertanyaan harus dijawab dengan memuaskan, yaitu: (1) siapa yang

mengatakan itu, (2) apakah dengan satu atau cara lain kesaksian itu telah

diubah?; (3) apa sebenarnya yang dimaksud oleh orang itu dengan

kesaksiannya itu; (4) apakah orang yang memberikan kesaksian itu seorang

saksi mata yang kompeten, apakah ia mengetahui fakta itu; dan (5) apakah

saksi itu mengatakan yang sebenarnya dan memberikan kepada kita fakta yang

diketahui itu? (Syamsuddin, 2007). Kritik eksternal ialah suatu penelitian atas

asal-usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu

sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan untuk

mengetahui apakah pada suatu waktu sejak asal mulanya sumber itu telah

diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak. Kritik eksternal harus

menegakkan fakta dari kesaksian, bahwa: (a) kesaksian itu benar-benar

diberikan oleh orang ini atau pada waktu ini; dan (b) kesaksian yang telah

diberikan itu telah bertahan tanpa ada perubahan, tanpa ada suatu tambahan-

tambahan atau penghilangan-penghilangan yang substansial.

2. Kritik internal menekankan aspek dalam, yaitu: isi dari sumber kesaksian.

Setelah fakta kesaksian ditegakkan melalui kritik eksternal, giliran selanjutnya

adalah mengadakan evaluasi terhadap kesaksian tersebut. Evaluasi didasarkan

atas dua penyelidikan, yaitu: pertama, arti sebenarnya dari kesaksian itu harus

dipahami dengan kata lain sumber informasi harus dipahami dengan baik.

Informan harus jelas menunjukkan kompetensi dan kebenaran. Kedua, penulis

Page 51: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

41

harus menetapkan arti sebenarnya dari kesaksian atau sumber yang

didapatkan.

G. Historiografi

Tahap penulisan sejarah dilakukan dengan merujuk pada Sjamsuddin

(2007: 155) sebagai berikut:

1. Penafsiran, yakni menganalisis dan menyusun sumber-sumber data yang

diperoleh dan menggolongkan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya

sesuai dengan kenyataan yang ada untuk menjawab permasalahan dalam

penelitian.

2. Penjelasan, yakni menjeaskan sumber-sumber yang telah diperoleh, baik itu

berupa sumber internal maupun sumber eksternal.

3. Penyajian, yakni dengan melakukan penyajian hasil penelitian tentang aspek

yang diteliti.

Page 52: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

42

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Geografi Umum Poleang

Poleang merupakan salah satu wilayah Kabupaten Bombana yang terletak

di daratan pulau Sulawesi bagian Tenggara. Kabupaten Bombana adalah salah

satu Daerah Tingkat II provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia, dengan

ibukota Rumbia, dibentuk berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2003 tanggal 18

Desember 2003 yang merupakan hasil pemekaran Kabupaten Buton. Wilayah

kecamatan di Kabupaten Bombana saat ini adalah pemekaran dari tiga kecamatan

induk, yaitu; Rumbia, Poleang, dan Kabaena. Khusus Kecamatan Poleang, saat ini

telah mekar menjadi delapan kecamatan, yakni; Kecamatan Poleang (induk),

kecamatan poleang timur, kecamatan poleang barat, kecamatan poleang selatan,

kecamatan poleang utara, kecamatan poleang tenggara, kecamatan poleang

tengah, dan kecamatan totonunu.

Secara topografi Poleang memilki permukaan tanah yang pada umumnya

dataran dan bukit. Dengan keadaan dan kondisi tanah yang dimiliki ini sangat

cocok untuk lahan pertanian seperti tanaman perkebunan yakni kelapa, coklat,

kelapa, jambu mente, kopi, dan buah-buahan seperti mangga, nangka, dan

sebagainya. Selain itu, tanaman semusim sangat cocok ditanam seperti jagung,

semangka, kacang-kacangan, dan sayur-sayuran. Di bidang perikanan alamnya

cukup menunjang karena di daerah ini terdapat sungai, hutan mangrove dan

pantai.

Page 53: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

43

B. Gambaran Demografi Umum Poleang

1. Keadaan Penduduk

a. Jumlah Penduduk

Penduduk yang mendiami wilayah Poleang adalah masyarakat pendatang

dari Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan rumpun suku Bugis ditambah

dengan masyarakat lokal atau suku Moronene. Berdasarkan data jumlah penduduk

tahun 2017 jumlah penduduk Poleang di delapan kecamatan adalah 78.286 jiwa.

Dari keseluruhan jumlah penduduk daerah Poleang, 70% penduduk adalah suku

Bugis, 20% suku Moronene, dan sekitar 10% adalah suku Buton.

b. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan

berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik. Tingkat pendidikan adalah suatu

kondisi jenjang pedidikan yang dimiliki oleh seseorang melalui pendidikan formal

yang dipakai oleh pemerintah serta disahkan oleh lembaga Negara yang

mengurusi bidang pendidikan. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap

perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi

akan memudahkan sesorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan

mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya

dalam hal kesehatan. Pendidikan formal membentuk nilai bagi seseorang terutama

dalam menerima hal baru.

Bidang pendidikan dinilai sangat penting dalam kehidupan manusia.

Pendidikan dapat menciptakan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai

baru bagi masyarakat. Tingkat pendidikan penduduk Poleang dan semua jenjang

Page 54: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

44

pendidikan, mulai yang belum sekolah, tidak tamat SD, tamat tamat SLTP,

sampai tamat Perguruan Tinggi.

d. Mata Pencaharian

Sistem mata pencaharian penduduk untuk masyarakat Poleang masih

tergantung pada kondisi letak geografis daerah setempat. Wilayah Poleang

memiliki tanah yang subur sehingga cocok untuk dijadikan daerah pertanian

maupun perkebunan. Penduduk di Poleang mayoritas bermata pencaharian

sebagai petani, sedangkan yang lainnya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil,

Nelayan, Pedagang, tukang ojek, dan buruh bangunan.

2. Gambaran Sosial Budaya Masyarakat Poleang

a. Budaya

Budaya merupakan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan

masyarakat yang digunakan sebagai tata aturan yang mengatur pola prilaku setiap

anggota-anggotanya. Dalam kehidupan masyarakat Poleang aturan-aturan tersebut

dikenal dengan istilah Syara yang merupakan peraturan tidak tertulis yang harus

dipatuhi oleh seluruh masyarakat berdasarkan suatu konsensus yang dibuat.

Aturan ini dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat, contohnya

dalam penentuan keputusan, ketetapan syara menjadi keputusan tertinggi. Aturan

ini berkembang hingga saat ini dan masih tetap digunakan dalam kehidupan

masyarakat.

b. Kepercayaan

Kepercayaan merupakan bagian dari kebudayaan yang memiliki daya tarik

tersendiri karena sangat bersentuhan dengan alam kehidupan manusia sebagai

Page 55: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

45

makhluk tuhan. Sehingga tidak heran kepercayaan dijadikan sebagai pedoman

hidup karena diyakini dapat memberikan nilai lebih dan yang telah dilakukannya.

Keyakinan akan kepercayaan yang menjadi dasar pandangan hidup berasal dan

akal atau kekuatan tuhan.

Seluruh masyarakat Poleang beragama Islam. Pelaksanaan kegiatan atau

aktivitas keagamaan masyarakat, pada umunnya berpusat di mesjid yang ada di

desa tersebut. Mesjid tersebut digunakan untuk melaksanakan shalat lima waktu,

shalat jum’at, dan memperingati hari-hari besar Islam, seperti Idul Fitri, Idul

Adha, Maulid Nabi Muhammad SAW dan Isra’ Mi’raj. Di masjid ini juga

dilakukan kegiatan TPA dan Majelis taklim, kegiatan TPA sendiri dilakukan

bukan saja untuk santri di desa tersebut namun santri dari desa tetangga, 4 hari

dalam seminggu (hari senin, selasa, rabu, kamis). Di Poleang juga terdapat satu

kelompok Majelis Taklim yang dibentuk oleh ibu-ibu di desa tersebut.

Kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Taklim Poleang adalah mengadakan

Yasinan pada setiap malam Jumat. Kegiatan tersebut dihadiri oleh anggota

Majelis Taklim dan tokoh-tokoh agama serta masyarakat lainnya. Selain kegiatan

Yasinan yang dilaksanakan pada setiap malam Jumat, juga dilakukan perayaan

hari besar keagamaan misalnya peringatan Isra Mi’raj, Maulid Nabi Muhammad

SAW, dan lain-lain.

C. Awal Mula Kedatangan Suku Bugis di Poleang

Menurut cerita turun-temurun dari masyarakat Poleang bahwa Poleang

berasal dari kata polea yang berarti “bawaan”. Bawaan yang dimaksud adalah

benda berupa tanah liat yang berasal dari Bone Sulawesi Selatan diletakkan di

Page 56: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

46

wilayah kekuasaan Kerajaan Moronene sekitar akhir abad ke-19. Pada awal

kedatangannya, masyarakat Bone diterima dengan baik oleh masyarakat setempat.

Dalam perkembangan selanjutnya untuk tetap memelihara hubungan baik maka

Suku Bugis dan Suku Moronene melakukan suatu perjanjian yang melahirkan

kesepakatan bahwa para pendatang hanya dapat menempati dan menguasai

wilayah pesisir pantai. Sebagai tandanya, diletakkanlah tanah liat yang dibawa

dari negeri mereka. Sebagaimana dijelaskan oleh Informan bernama Drs. H.

Mustafa DM (Wawancara, 20 Januari 2018) sebagai berikut:

Cerita dari tetua kita zaman dulu bahwa Poleang berasal dari kata polea

yang berarti “bawaan”. Bawaan tersebut adalah benda berupa tanah liat

yang berasal dari Bone Sulawesi Selatan terjadi sekitar tahun 1987.

Melalui perjanjian dengan suku Moronene, semua daerah yang ditandai

dengan tanah liat dapat dihuni oleh masyarakat pendatang dari Bone

Sulawesi selatan. Daerah yang ditandai tersebut adalah wilayah sekitar

pesisir pantai.

Berdasarkan sumber lain, Poleang berasal dari asal kata “Polea” yang

berarti penyeberangan. Polea merupakan suatu peristiwa penyerahan tanah liat

(Tanah Bangkalae) yang berasal dari Palaka Bone Sulawesi Selatan kepada Sultan

Buton kemudian diberikan kepada Raja Lembo Pari dan diletakan di Wita

Nimbula yang lebih dikenal dengan riwayat Polea atau Mpompolea. Paduan Polea

(Mpompolea) Bahasa Moronene yang berarti menyeberang atau penyeberangan

dan Poleangi dalam Bahasa Bugis yang berarti bawaan maka lahirlah nama

Poleang (Rekson, dkk., 2015:249).

Polea pada awal mulanya adalah wilayah Kerajaan Moronene. Dalam

cerita daerah digambarkan bahwa kerajaan Moronene adalah kerajaan yang sangat

makmur. Rakyatnya hidup rukun dan damai. Hasil alamnya sangat melimpah

Page 57: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

47

yang bisa dinikmati oleh seluruh rakyat. Namun kemudian kerjaaan Moronene

ditimpa perpecahan yang menyebabkan terbaginya daerah itu menjadi tiga

kerajaan, yaitu Kerajaan Rumbia, Kerajaan Kotua, dan Kerajaan Polea.

Kerajaan Polea atau Lempombopari diperkirakan berdiri sekitar abad ke

XIV. Kerajaan polea pertama dipimpin oleh seseorang dengan gelar Tamotua

(orang yang dituakan) yang dibantu oleh seseorang dijuluki mbue atau seseorang

sesepuh atau nenek bertugas sebagai dukun. (Rekson, dkk., 2015:249). Kerajaan

Poleang, Moronene, Rumbia, dan Kabaena pada awal mulanya merupakan

federasi dari kerajaan Bone. Akan tetapi imbas perang antara Bone dan Buton

melawan Gowa maka Bone dan Buton mempererat ikatan dengan menukar

wilayah federasi kerajaan. Melalui suatu perjanjian antara sultan Buton VIII

Sultan Mardan Ali, raja Bone, raja-raja Keu Wia, Lembo Pari, Wonua Carambau,

dan Raja Selayar di Lueno Ute Labua maka Kerajaan Poleang, Moronene,

Rumbia, dan Kabaena masuk dalam federasi Kesultanan Buton, dan sebagai

gantinya Kesultanan Buton menyerahkan Kerajaan Selayar. (Rekson, dkk.,

2015:255).

Page 58: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

48

BAB V

SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN

SUKU MORONENE DI WILAYAH POLEANG

A. Proses Diaspora Suku Bugis di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana

Awal mula kedatangan Suku Bugis di Poleang adalah pada masa

pemerintahan Raja Suu di Moronene sekitar akhir abad ke-19. Utusan Raja Bone

bernama Petta Mangkau datang ke Poleang memberitahukan kabar bahwa

Belanda akan berkuasa di Wilayah Kerajaan Bone bahkan bisa sampai di Kerajaan

Moronene (Tamburaka, 2003:167).

Kemudian Raja Suu mengirim utusan untuk bertemu Raja Bone dengan

tujuan memperjelas maksud dari kerjasama antara dua kerajaan. Setelah mencapai

kesepakatan, maka Raja Bone memberangkatkan 40 kepala keluarga menuju

wilayah Kerajaan Moronene dibekali segenggam Tanah Bangkala. Setelah sampai

di Toburi, rombongan tersebut bertemu dengan Raja Suu dan menyerahkan

segenggam tanah dari Raja Bone. Tanah tersebut ditanam di halaman istana Raja

Suu dan menjadi tanda ikatan persahabatan antara Kerajaan Bone dan Kerajaan

Moronene (Tamburaka, 2003:167).

Pengiriman warga Kerajaan Bone ke kerajaan Poleang menjadi awal mula

datangnya masyarakat Bugis ke Poleang. Masyarakat Bugis yang datang ke

Poleang pada saat itu telah beranak pinak dan membentuk kampung-kampung di

wilayah Kecamatan Poleang saat ini. Hal ini didukung oleh pernyataan informan

(M. Diah Bandu, Wawancara, 14 Januari 2018) yang menyatakan bahwa:

Kami sudah lahir di kampung ini. Nenek moyang kami juga sudah lahir

dan bertempat tinggal di kampung ini. Kami memang bukan masyarakat

Page 59: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

49

asli Poleang tapi sudah sangat lama di sini. Nenek moyang kami sudah

ratusan tahun hidup di Poleang dan yang ada sekarang adalah cucu dan

cicit-cicit mereka.

Secara historis nama “Poleang” berasal dan Bahasa Bugis yang berarti

“yang dibawa” atau tanah yang dibawa. Istilah ini muncul sehubungan dengan

kedatangan pertama Orang Bugis di daerah ini yang merupakan witayah yang

tidak berpenghuni, sehingga Orang Bugis merupakan penduduk pertama di

wilayah yang sekarang bernama Poleang yang berarti “Tanah yang dibawa dan

Bone” dan selanjutnya menyampaikan kepada Raja Bone bahwa daerah yang

berada di sebelah Timur Bone yang kemudian disebut “Tanah Lau” atau tanah

kita yang ada di timur, dan merupakan wilayah Kerajaan Bone dan Orang Bugis

Bone yang bertempat tinggal di wilayah Poleang ini merupakan penduduk

Kerajaan Bone (Bone ri Lau), dan sewaktu-waktu Raja Bone menyeberang Teluk

Bone menuju Tanah Lau untuk menangkap rusa dengan jalan “nrengngeng

jonga=berburu rusa dengan menunggang kuda serta menggunakan tombak dan tali

untuk menjerat/mengikat di daerah yang sekarang bernama “Lappa Pajjongang”

yang merupakan suatu padang luas tempat hidup banyak rusa liar. Hal ini

mengundang perhatian Maddolangeng Daeng Mattengnga untuk dijadikan sebagai

kawasan peternakan kuda dan kerbau pada saat itu. Letaknya berbatasan di

Sebelah Utara dengan Bulu Maccimpolongnge (Bahasa Bugis: gunung yang

berbentuk model sanggul perempuan), di sebelah timur adalah Dataran Laeya, di

sebelah selatan terlentang Teluk Bone (Kampung Baru), di sebelah barat terdapat

sungai kecil bersebelahan dengan Wemputtangnge (Bahasa Bugis: sumber mata

air yang merupakan sungai kecil airnya coklat kemerahan) (Hafid, 2016:45).

Page 60: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

50

Kedatangan para pemukim Bugis yang dipimpin oleh Maddolangeng

Daeng Mattengah sekitar tahun 1906 seusai Perang Bone melawan Belanda atau

Rumpa’na Bone beberapa perahu Orang Bugis mendarat dipantai (kompleks

Kampung Baru) sekarang, menyeberang dan Tanah Bugis ke Tanah Poleang

untuk mencari kehidupan yang lebih baik dengan cara bertani, berdagangan,

menangkap ikan, dan sewaktu-waktu mereka berburu rusa untuk kebutuhan lauk.

Kedatangan inigran Bugis di Tanah Poleang (segenggam tanah yang dibawa dan

seberang Tanah Bugis kemudian disimpan di sekitar Kali Mulaeno tempat mereka

pertama kali berlabuh dan menginjakkan kakinya) kemudian dikenal sebagai Salo

Poleang (Sungai Poleang), selanjutnya diyakini sebagai awal penamaan Tanah

Poleang Bugis yang dikenal sampai sekarang. (Hafid, 2016:45).

Bugis, salah satu dari tiga etnik di Nusantara yang telah menempatkan

manusia-manusianya di seberang lautan sejak ratusan tahun lampau. Kepindahan

masyarakat Bugis, lebih disebabkan karena besarnya dorongan politik di Sulawesi

Selatan, yang merupakan kampung halaman mereka. Kerajaan-kerajaan Bugis-

Makassar yang telah bersaing sejak abad ke-14, menciptakan ketegangan yang

berkepanjangan. Aliansi, ekspansi, dan peperangan yang berlangsung ratusan

tahun lamanya, mengundang petualang-petualang asing untuk ikut bermain di

dalamnya. Pemerintah Hindia-Belanda yang tahu keadaan ini, menjadi pihak yang

paling siap membantu salah satu kerajaan yang bersaing (Burhanuddin, 1981:45).

Kisah terdiasporanya masyarakat Sulawesi Selatan ke seluruh Nusantara,

bermula kerjasama antara Arung Palakka Raja Bone, Kesultanan Buton dan

Hindia-Belanda. Ketika itu, Kerajaan Bone dan Kesultanan Buton dalam keadaan

Page 61: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

51

terjepit oleh kekuasaan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin. Wilayahnya

yang terus berkembang, mengancam eksistensi Bone dan Buton yang semakin

rapuh. Di pihak lain, ekspansi dagang Gowa ke seberang lautan, juga mengancam

jaringan perdagangan Belanda di Indonesia Timur. Keadaan ini menyebabkan,

terjadinya aliansi Bone-Buton-Belanda di Sulawesi (Burhanuddin, 1981:45).

Kuatnya aliansi Bone-Buton-Belanda, berakibat pada jatuhnya benteng

Makassar ke tangan Kompeni. Keadaan ini semakin diperparah oleh Perjanjian

Bongaya (tahun 1666) yang melarang orang-orang Bugis pergi melaut. Hingga

usai Perang Makassar tahun 1669, seluruh wilayah Kesultanan Gowa telah

menjadi bagian dari Pax Nederlandica. Orang-orang Bugis-Makassar yang tak

puas dengan kondisi politik Sulawesi Selatan, memilih untuk pergi merantau dan

mengancam Belanda di perairan. Mereka bertekad, akan melawan setiap kapal-

kapal Belanda yang mereka temui di lautan. Sebagaimana dikemukakan oleh

Informan (Bakri, Wawancara, 14 Januari 2018)) yang menyatakan bahwa:

Perantauan masyarakat Bugis ke berbagai daerah di Bagian Timur ini

sebagai akibat dari cerita masa lalu dimana ada perang saudara antara

Bone-Buton-Belanda melawan Gowa. Hasil perang saudara ini

menyebabkan kekuasaan Belanda makin meluas di Sulawesi sehingga

masyarakat Bugis tidak dapat lagi berkembang di daerahnya sehingga

merantau ke daerah lain.

Selain dari migrasi yang disebabkan konflik berkepanjangan pada masa

sebelum kemerdekaan, ada juga akibat konflik politik sekitar tahun 1949 setelah

kemerdekaan. Pada masa itu, di Sulawesi Selatan terjadi pemberontakan DI/TII

yang meluas sampai ke daerah Sulawesi Tenggara termasuk di Poleang. Dalam

rangka penggalangan kekuatan, para pimpinan DI/TII melakukan pendekatan

tradisi dalam etos kultur “siri dan na-pace”. Perjuangan DI/TII di Poleang

Page 62: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

52

mendapat dukungan masyarakat setempat karena penduduk yang mendiami

wilayah itu adalah warga dari Sulawesi Selatan. Sehingga tidak sedikit para

pejuang DI/TII memilih menetap di Poleang pasca pemberontakan itu ditumpas.

Setelah sekian lama menetap di Poleang, masyarakat Suku Bugis makin

berkembang dan tersebar di berbagai wilayah di Poleang. Mata pencaharian

mereka adalah bertani, nelayan dan berdagang. Hubungan dengan suku Pribumi

(Moronene) terjalin dengan baik. Setelah lama hidup berdampingan, maka terjadi

kawin-mawin antara kedua suku. Banyaknya pria Bugis yang menikah dengan

perempuan Moronene atau sebaliknya semakin memperkuat kekerabatan dua suku

yang hidup saling berdampingan. Sebagaimana dijelaskan oleh Informan (M. Diah

Bundu, Wawancara, 14 Januari 2018) sebagai berikut:

Perantauan masyarakat Bugis ke berbagai daerah di Bagian Timur ini

sebagai akibat dari cerita masa lalu dimana ada perang saudara antara

Bone-Buton-Belanda melawan Gowa. Hasil perang saudara ini

menyebabkan kekuasaan Belanda makin meluas di Sulawesi sehingga

masyarakat Bugis tidak dapat lagi berkembang di daerahnya sehingga

merantau ke daerah lain. Pertama data di Poleang masyarakat Bugis itu

hanya 40 KK kemudian berkembang dan tersebar. Mereka bertani, cari

ikan dan jualan. Hubungan dengan orang setempat terjalin dengan baik,

kemudian terjadi kawin-mawin antara kedua suku. Banyaknya anak

muda atau anak gadis yang menikah dengan orang Moronene semakin

memperkuat kekerabatan kami dengan mereka.

Suku Bugis di Poleang sudah ada sejak sebelum kolonialisasi, Suku Bugis

dan Moronene hidup dalam lingkungan yang sama dan saling mejaga nilai dan

norma yang sudah ada di wilayah tersebut. Dalam kesehariannya masyarakat juga

menjaga sikap terutama dalam hal saling menghargai dan saling mengerti antara

individu atau kelompok yang satu dengan yang lainnya agar terciptanya rasa aman

dan kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat. Terutama masyarakat Bugis

Page 63: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

53

sebagai mayoritas menjaga sikap dalam melakukan kegiatan sehari-hari, agar

msyarakat Pribumi sebagai minoritas mampu menghargai dan juga mampu

bersama-sama menjaga keamana yang ada dalam masyarakat beragam suku atau

etnik tersebut. Sebagaiman dijelaskan oleh Informan (Nasar, Wawancara, 15

Januari 2018) yang menyatakan bahwa:

Jauh sebelum kedatangan Belanda di Poleang, Suku Bugis sudah datang

di daerah ini. Meskipun mereka sebagai Pendatang, kami selalu

menghargai mereka begitu pula sebaliknya, walaupun sekarang ini di

Poleang sudah mayoritas Suku Bugis tapi mereka tetap menghargai kami

Suku Moronene. Alhamdulillah sampai saat ini hubungan masyarakat di

Poleang terjalin dengan baik.

Hubungan kekerabatan masyarakat Poleang yang dijalin sebelum

kolonialisasi dan bertahan sampai sekarang menjadi suatu hal yang menarik

dikarenakan masyarakat yang ada di dalamnya saling menjalin hubungan yang

baik antara individu maupun kelompok masyarakat di daerah tersebut. Hal ini

dijelaskan oleh Informan (Rusnandar, Wawancara, 15 Januari 2018) selaku tokoh

masyarakat mengatakan bahwa:

Selama saya berada di Poleang Alhamdulillah hubungan masyarakat disini

terjaga dan seakan sudah tidak ada perbedaan antara mayarakat yang

berasal dari berbagai suku. Masyarakat hidup berdampingan dengan

perbedaan suku itu sudah menjadi hal yang biasa di ini sehingga kita

semua bisa saling berbagi.

Pernyataan informan di atas menggambarkan bahwa proses diaspora Suku

Bugis di Poleang dimulai sejak jaman kerajaan sampai masa setelah kemerdekaan.

Kedatang pertama Suku Bugis di Poleang sebanyak 40 KK dalam satu rombongan

dan selanjutnya datang secara individu.

Tradisi lisan lain mengungkapan bahwa di Toburi terdapat sebuah bukit

yang disebut Tanah Poleang atau Tanah Bangkala (tanah yang berwarna

Page 64: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

54

keemasan), yang merupakan simbol tanah leluhur yang dibawa dari Pusat Ibu

Kota Kerajaan Bone yang ada di Watampone. Keyakinan ini menunjukkan bahwa

mereka selalu mengingat akan kampung halaman, sehingga apa saja yang

memiliki kemiripan dengan suatu benda atau tempat, selalu dikaitkan dengan

negeri leluhurnya. (Hafid, 2016:47)

Kedatangan Orang Bugis di wilayah Poleang disebut peristiwa

Mallekkedapureng, yaitu simbolisasi hak kebebasan Orang Bugis untuk

mendorong upaya perbaikan kesalahan, baik disebabkan oleh diri sendiri ataupun

orang lain (dalam hal ini kesalahan yang dibuat Belanda karena ingin menguasai

Kerajaan Bone), dengan cara meninggalkan negeri dan menetap di negeri orang

lain. Di tempat baru itu mereka bekerja dengan baik, diawali dengan mengakui

kesalahan dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Fenomena tersebut sejalan

dengan filosofi passope (perantau/pelaut) yang disebut mappattepu

(menyelesaikan sesuatu sebelum dilaksanakan), ungkapan, seperti: lettu memekki

nainappaki sompe (yakinkan diri anda sudah tiba di tempat tujuan sebelum anda

berlayar menuju tempat yang dituju). Ungkapan sejenis dinyatakan: pasaniasa

jamatta nainappaki moto (selesaikan pekerjaan esok hari sebelum bangun tidur di

waktu subuh).

Sebagaimana dijelaskan oleh Informan (Sugiant Nor, Wawancara 15

Januari 2018) berikut ini:

Kedatangan nenek moyang Orang Bugis di Poleang merupakan peristiwa

Mallekkedapureng, yaitu perbaikan kesalahan oleh diri sendiri ataupun

orang lain dengan cara merantau. Setelah tiba di Poleang mereka bekerja

dengan baik dan tidak mau gagal seperti waktu di Kampung Halaman.

Nenek moyang kita ini berpegang pada filosofi passope mappattepu, lettu

memekki nainappaki sompe, pasaniasa jamatta nainappaki moto.

Page 65: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

55

Adapun rombongan Orang Bugis yang datang kemudian untuk berdagang,

menangkap ikan, bertani dan berburu rusa. Rombongan yang datang selanjutnya,

sebagian dan mereka memilih tidak kembali ke Bone, tetapi menetap di Poleang,

dan berusaha untuk memperbaiki hidup dan menjalin hubungan baik dengan

penduduk yang datang lebih awal dan penduduk yang datang kemudian, mereka

memegang prinsip Perantau Bugis: tegi-tegi sore lopie’ konitu taro sengereng

(dimana saja perahu berlabuh di situlah kita menanam/menyimpan kenangan). Hal

ini sejalan dengan pendapat Informan (Abustam, Wawancara 15 Januari 2018)

berikut ini.

Kedatangan Orang Bugis di Poleang dilakukan secara bertahap,

kedatangan pertama adalah utusan Kerajaan Bone dan kedatangan

selanjutnya bertujuan untuk berdagang, menangkap ikan, bertani dan

berburu rusa. Pendatang-pendatang itu memilih untuk menetap di Poleang

dengan berpedoman pada filosofi merantau orang Bugis “tegi-tegi sore

lopie’ konitu taro sengereng”.

Perkembangan wilayah di Poleang sejak kedatang Orang Bugis zaman

dulu sampai sekarang ini telah memberikan pengaruh yang besar. Beberapa fakta

historis pengaruh Bugis Bone di daerah ini, seperti: Nama Kampung Teppoe’,

yang berarti tanggul/Pematang, Tomampu, Pallimae’, Mulaeno, Pu Lemo, dan

Batu Pute. Demikian pula nama Tongko Seng, yang berarti rumah yang beratap

seng dijadikan Pasanggarahan oleh Orang Belanda, kampung-kampung tersebut

merupakan penamaan Orang Bugis.

B. Latar Belakang Hubungan Kekerabatan Suku Bugis dan Suku Moronene

Dibina di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana

Sekitar Abad XIX kesultanan Bone mengirimkan 40 Kepala Keluarga

untuk membentuk kampung di wilayah kerajaan Poleang dengan maksud

Page 66: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

56

mempererat persaudaran. Rombongan orang Bone yang telah sampai di Poleang

bermukim Pesisir Pantai. Wilayah pemukiman Suku Bugis itu kemudian diberi

nama Poleang (Tamburaka, 2003:167).

Maksud kedatangan masyarakat Bugis di Poleang adalah menjalin

kekerabatan antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Moronene. Masyarakat Bugis

yang menetap di Poleang diharapkan dapat menetap dan melahirkan keturunan

yang makin berkembang dan pada akhirnya akan terlahir turunan campuran antara

Suku Bugis dan Suku Moronene. Turunan campuran ini diharapkan akan

mempererat hubungan kekerabatan antara dua suku berbeda.

Sebagimana dijelaskan sebelumnya bahwa pada saat rombongan Suku

Bugis pertama tiba di Poleang, mereka bermukim di pesisir pantai karena wilayah

itu belum berpenghuni. Masyarakat Moronene pada saat itu masih tinggal di

pedalaman, bertani ladang dan berpindah-pindah. Selain itu, daerah pesisir sering

didatangi oleh perampok berperahu. Masyarakat local beranggapan bahwa

masyarakat pendatang ini bisa digunakan sebagai tameng dari serangan bajak laut.

Sebagaimana dijelaskan Informan (Andi Abdul Rahman Nusu, Wawancara, 20

Januari 2018) sebagai berikut:

Masyarakat setempat memberikan daerah pesisir pantai karena wilayah

tersebut tidak berpenghuni dan selalu mendapat ancaman dari para

perampok berperahu. Jadi masyarakat di sana jaman dulu itu

beranggapan bahwa para pendatang itu bisa dijadikan sebagai tameng

dari serangan para perampok berperahu.

Dari penjelasan Informan di atas dapat dikatakan bahwa Kedatangan Suku

Bugis di Poleang memberikan keuntungan kepada masyarakat Suku Moronene

karena kehadiran mereka menjadi tameng dari serangan para perompak berperahu.

Page 67: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

57

Jadi latar belakang kekerabatan antara Suku Bugis dan Suku Moronene di Poleang

adalah untuk keamanan.

Setelah beberapa lama tinggal di pesisir pantai Poleang, para pendatang

akhir ini mulai mengolah daerah pertanian, sehingga terjadi perselisihan dengan

warga setempat. Untuk mengatasi perselisihan tersebut maka Sultan Buton dan

Raja Bone bersama raja-raja To Moronene, Lembo Pari, Keu Wia dan Wonua

Carambau bermusyawarah di Lueno Ute Labua (Rekson, dkk., 2015:257).

Musyawarah antara Sultan Buton dan Raja Bone bersama raja-raja To

Moronene, Lembo Pari, Keu Wia dan Wonua Carambau di Lueno Ute Labua

melahirkan kesepakatan berdamai. Untuk merayakan perdamaian antara dua suku

yang berselisih itu maka para Raja mengadakan ritual sumpah perdamaian yang

disebut dengan “Sumpah Tandu Ale”. Dalam sumpah ini disebutkan bahwa barang

siapa yang melanggar sumpah itu atau tidak menjaga hubungan kekerabatan

antara dua suku maka hidupnya tidak akan selamat. Hidupnya perih seperti

lombok, hitam seperti arang, dan nyawanya rapuh seperti kulit telur. Prinsip hidup

berdampingan antara Suku Bugis dan Suku Moronene yang disebut dengan

“Sumpah Tandu Ale” tetap dipegang teguh sampai saat ini sehingga mereka bisa

hidup rukun dan damai. Sebagaimana dijelaskan oleh Informan (H. Abustam,

Wawancara, 20 Januari 2018) yang menyatakan bahwa:

Kedatangan Suku Bugis di Poleang awal mulanya diterima baik, tapi

setelah masyarakat pendatang ini mengelola lahan pertanian maka warga

setempat tidak terima dan terjadilah perselisihan. Maka para raja kedua

suku bertemu di Lueno Ute Labua dan lahirlah sumpah perdamian Tandu

Ale. Dalam sumpah ini disebutkan bahwa siapa saja yang melanggar atau

tidak menjaga hubungan kekerabatan antara dua suku maka hidupnya

tidak akan selamat. Hidupnya perih seperti lombok, hitam seperti arang,

dan nyawanya rapuh seperti kulit telur.

Page 68: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

58

Untuk lebih memperkokoh hubungan kekerabatan antara dua suku ini

maka setelah perselisihan akibat lahan pertanian maka raja Bone bersama raja-raja

To Moronene, Lembo Pari, Keu Wia dan Wonua Carambau di Lueno Ute Labua

mengumpulkan para jejaka dan gadis-gadis untuk mencari pasangan muda-mudi

yang saling mencintai dari delapan kampung. Setelah delapan pasangan

ditemukan maka dilangsungkan pernikahan secara bersamaan dilanjutkan dengan

pesta rakyat. Delapan pasangan yang telah dinikahkan ditempatkan di delapan

kampng berbeda. Kampung-kampung tersebut saat ini telah menjadi Ibu Kota dari

masing-masing kecamatan di wilayah Poleang. Sebagaimana dijelaskan oleh

Informan (H. Bahar, Wawancara, 20 Januari 2018) sebagai berikut.

Setelah ada perselisihan akibat lahan maka raja Bugis dan raja Moronene

di Lueno Ute Labua mengumpulkan para jejaka Bugis dan gadis-gadis

Moronene dari delapan kampung. Setelah itu dinikahkan secara

bersamaan dilanjutkan dengan pesta besar. Delapan pasangan yang telah

dinikahkan ditempatkan di delapan kampng berbeda. Kampung-kampung

tersebut dimekarkan menjadi kecamatan di wilayah Poleang.

Hasil penelitian di atas menggambarkan bahwa latar belakang kekerabatan

masyarakat Suku Bugis dan Suku Moronene di Poleang adalah persaudaraan dua

kerajaan yang diwujudkan dalam bentuk perkawinan. Sebagai wujud dari

“Sumpah Tandu Ale” maka masyarakat Suku Bugis dan Suku Moronene menjaga

hubungan kekerabatan dengan baik. Mereka hidup rukun dan saling menjaga satu

sama lain.

Masyarakat Suku Bugis dan Suku Moronene di Poleang tetap

mempertahankan hubungan kekerabatan sampai saat ini. Masyarakat dalam

menjalankan kesehariannya saling menutupi kebutuhan, terutama pada kebutuhan

pokok seperti sandang, dan terlihat dalam kondisi perekonmian masyarakat yang

Page 69: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

59

memiliki peluang untuk saling menutupi kebutuhan satu sama lain yang akhirnya

terjalin komunikasi antar masyarakat tersebut, contoh salah satu masyarakat

membutuhkan sayur-sayuran maupun buah-buahan dan itu terpenuhi, dikarenakan

ada yang mendagangkannya di desa tersebut. Hubungan kekerabatan masyarakat

dalam bidang ekonomi terlihat dengan adanya fasilitas, seperti pasar yang menjadi

tempat berkumpulnya masyarakat dalam mendagang dan mencari kebutuhan

pokok. Sebagaimana dijelaskan oleh Informan (H. Bahar, Wawancara, 20 Januari

2018) yang menyatakan bahwa:

Selaku masyarakat desa Pokorumba dari Suku Bugis sudah berada di

Poleang sejak kecil. Hubungan kekerabatan masyarakat di sini terjalin

dengan baik. Hidup bergotong royong, saling menghormati bukan saja

hanya sesame Suku Bugis tapi dengan suku-suku lain seperti Suku

Moronene.

Masyarakat Suku Bugis dan Suku Moronene selama berada di Poleang

merasa aman, dikarenakan masyarakat kedua suku sudah merasa tidak ada

perbedaan. Masyarakat selalu mejaga hubungan kekerabatan, selalu bergotong

royong dan saling menghormati satu sama lain. Dalam kesehariannya, masyarakat

Poleang selalu mengutamakan kebersamaan. Dimana masyarakat selalu

membantu satu sama lain dengan kebutuhan yang memang masyarakat bisa

menjadikan hala tersebut suatu hal yang membuat kekerabatan mereka bertahan

sampai saat ini.

Dalam hubungan kekerabatan masyarakat Poleang terdapat dua faktor

yang mendominasi, yaitu: faktor sosial dan faktor ekonomi. Dalam kaitannya

dengan faktor sosial, masyarakat saling bekerja sama dalam lingkungannya

dengan baik. Masyarakat dalam menjalankan kesehariannya saling menutupi

Page 70: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

60

kebutuhan, terutama pada kebutuhan pokok seperti sandang, dan terlihat dalam

kondisi perekonmian masyarakat yang memiliki peluang untuk saling menutupi

kebutuhan satu sama lain yang akhirnya terjalin komunikasi antar masyarakat

tersebut, contoh salah satu masyarakat membutuhkan sayur-sayuran maupun

buah-buahan dan itu terpenuhi, dikarenakan ada yang mendagangkannya di desa

tersebut. Hubungan kekerabatan masyarakat dalam bidang ekonomi terlihat

dengan adanya fasilitas, seperti pasar yang menjadi tempat berkumpulnya

masyarakat dalam mendagang dan mencari kebutuhan pokok. Karim Akmal

(Wawancara, 20 Januari 2018) selaku tokoh masyarakat Poleang dari Suku Bugis

mengatakan bahwa:

Selama saya berada di Poleang sudah bertahun-tahun hubungan

kekerabatan yang terjadi sangat baik, gotong royong masyarakat sampai

saat ini masih terjaga dengan baik, didukung oleh rasa saling menghargai.

Bukan hanya itu kita selaku Suku Bugis merasa senang dengan apa yang

terjadi sampai saat ini yang dimana daerah ini aman dan nyaman sampai

saat ini. (Wawancara, 20 Januari 2018)

Dari uraian beberapa Informan di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan

kekerabatan antara Suku Bugis dan Suku Moronene dilatarbelakangi oleh

kerjasama antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Moronene. Masyarakat Suku Bugis

yang menetap di wilayah Poleang makin memperkuat hubungan kekerabatan

karena telah terjadi hubungan kawin-mawin antara Suku Bugis dan Moronene dan

lahirlah generasi asli Poleang. Terjalinnya hubungan kekerabatan dalam

masyarakat telah memberikan dampak yang baik. Masyarakat merasa nyaman

hidup berdampingan meskipun ada budaya yang berbeda dari masing-masing

suku. Sosialisasi dari dua kelompok telah melahirkan budaya baru yang diminati

secara bersama.

Page 71: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

61

C. Pola Hubungan Kekerabatan Suku Bugis dan Suku Moronene di Wilayah

Poleang Kabupaten Bombana

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa masyarakat

yang mendiami wilayah Poleang adalah Suku Bugis dan Suku Moronene yang

masing-masing memiliki adat-istiadat satu dengan lainnya berbeda. Kemajemukan

masyarakat tersebut disatu sisi merupakan anugerah dan kekayaan yang tidak

ternilai, hal ini karena dari masyarakat yang majemuk tersebut sudah barang tentu

tersimpan berbagai potensi budaya.

Hubungan kekerabatan Suku Bugis dan Suku Moronene yang telah terjalin

sejak Abad XIX sampai kini bisa tetap dipertahankan. Kekerabatan dua suku yang

berbeda ini makin dipererat dengan hubungan kawin-mawin antara laki-laki dan

perempuan dari suku yang berbeda. Sebagaimana dijelaskan oleh Informan (H.

Bahar, Wawancara, 21 Januari 2018) sebagai berikut:

Hubungan kekerabatan Suku Bugis dan Suku Moronene yang telah terjalin

sejak kedatangan pertama nenek moyang kami sampai kini masih bisa

tetap dipertahankan. Kekerabatan ini makin dipererat dengan hubungan

kawin-mawin antara laki-laki dan perempuan dari suku yang berbeda.

Sudah banyak orang Bugis kawin dengan orang Moronene sehingga

mereka ini bisa dibilang sebagai aslinya Poleang.

Untuk menjaga hubungan kekerabatan dan persaudaraan antara Suku

Moronene dengan Suku Bugis, maka dibuatlah permufakatan antara kedua belah

pihak yang disebut Tanro Ale=sumpah diru (Bahasa Bugis) dalam versi

Moronene disebut Tando Ale. Alat bukti kesepakatan dalam bentuk tukar-

menukar keris antara kedua belah pihak. Sekarang yang diberikan pihak Suku

Moronene kepada Suku Bugis disimpan oleh Faisal, salah seorang cucu

Page 72: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

62

Maddolangeng Daeng Mattengnga (salah seorang pelaku utama Tanro Ale) anak

dari Muslimin Daeng Manessa (Hafid, 2016: 49)

Hal senada dijelaskan oleh Informan bernama Sugiant Nor (Wawancara,

21 Maret 2018) sebagai berikut:

Hubungan kekerabatan antara Suku Moronene dengan Suku Bugis ini

diikat oleh sumpah yang dalam Bahasa Bugis disebut Tanro Ale, dalam

versi Moronene disebut Tando Ale. Inti dari sumpah ini adalah mengikat

tali persaudaraan dua Suku. Wujud sumpah ini adalah tukar keris antara

kedua belah pihak. Keris tersebut disimpan oleh cucu dari pelaku sumpah

Tanro Ale.

Hubungan kekerabatan antara Suku Bugis dan Suku Moronene tetap

terjaga sampai saat ini. Orang Bugis tetap menjaga hubungan kekerabatan ini

sebagai wujud penghargaan atas leluhurnya dalam mencari kehidupan baru jauh

dari negeri kelahirannya. Sebagaimana salah seorang leluhur Orang Bugis

bergelar Daeng Mattengnga dengan gagah berani mengarungi/menyeberangi

Teluk Bone menuju ke Tanah Lau (Negeri di Timur/Poleang), selain keganasan

ombak Teluk Bone pada musim Barat, juga ancaman dan Suku Mekongga dan

Moronene yang diungkapkan dalam Bahasa Bugis: Sesana Bombang, Tawana

Sinangke, yang artinya jika ada yang selamat dan hamtaman ombak Teluk Bone,

maka akan menghadapi ancaman senjata Sinangke dari Orang Mekongga dan

Moronene. Namun berkat filosofi para perantau Bugis Bone yang menyatakan

Tegi-tegi sore lopie konitu taro sengereng= dimana saja perahu berlabuh, maka

di situlah kita akan tinggal bermukim dan menyimpan kenangan yang baik.

Berkat filosofi tersebut, sehingga keberadaan orang-orang Bugis di Daerah

Poleang dapat diterima baik oleh Orang Moronene di sebelah Timur dan Orang

Mekongga di sebelah Barat (Sugiant Nor, Wawancara, 21 Maret 2018).

Page 73: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

63

Dalam menjaga keharmonisan kehidupan Suku Bugis dan Suku Moronene

maka sistem pemerintahan diatur sedemikian rupa sehingga masyarakat bisa hidup

dengan tenang. Raja Bugis dan Raja Moronene mengatur sistem pemerintahan

yang ada di wilayah Poleang berdasarkan penduduk yang bermukim di tempat itu.

Bila penduduk yang bermukim adalah Suku Bugis maka sistem pemerintahan

yang berlaku adalah sistem pemerintahan Raja Bone, jika yang bermukim adalah

Suku Moronene maka sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem

pemerintahan Kesultanan Buton, dimana Kerajaan Moronene berada di bawah

kekuasaan Kesultanan Buton. Sebagaimana pernyataan Informan bernama Drs. H.

Abustam, M.Si. (Wawancara, Maret 2018) sebagai berikut:

Berhubung semakin berkembangnya wilayah Poleang, maka dibuat

kesepakatan antara Pemerintah Kerajaan Bone dan Pemerintah Kesultanan

Buton, wilayah Poleang disebut “Bone ni Lau” dan “Buton ri Aja”,

karena di satu sisi Orang Bugis tinggal di Poleang wilayah Kesultanan

Buton tetapi menganut sistem pemerintahan Kerajaan Bone dalam bentuk

Sullewatang Poleang. Orang Moronene yang tinggal di Poleang menganut

sistem pemerintahan Kesultanan Buton dalam bentuk Mokole Moronene.

Jadi, Poleang adalah irisan dua Kerajaan antara Buton dan Bone. Wilayah

kekuasaan Mokole Moronene di bawah bayang-bayang pengaruh

kekuasaan Kesultanan Buton, dan wilayah kekuasaan Sullewatang

Poleang di bawah bayang-bayang pengaruh kekuasaan Kerajaan Bone.

Uraian di atas menggambarkan bahwa hubungan kekerabatan antara Suku

Bugis dan Suku Moronene diwujudkan dalam bentuk kesamaan pandangan

tentang organisasi kemasyarakatan. Masyarakat Bugis yang tinggal di Poleang

tetap menganut sistem kemasyarakatan yang ada di negeri asalnya. Masyarakat

Moronene yang tinggal di pemukiman yang mayoritas Suku Bugis tidak terikat

oleh system pemerintahan di lingkungannya tetapi berada di bawah sistem

kemasyarakatan Suku Moronene.

Page 74: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

64

Dalam perkembangan selanjutnya, di wilayah Pemerintahan Sullewatang

Poleang atau wilayah bekas Kecamatan Poleang sebelum ada pemekaran, terdapat

beberapa pemukiman Suku Moronene yang terpencar di pedalaman yang hidup

sebagai petani ladang berpindah-pindah. Diantara pemukiman mereka, yaitu:

Tongkoseng, Tontonunu, Wolangka, Rampu-rampu, Longori, Toburi, FusuEya,

dan Bambaeya (Hafid, 2016: 52).

Para pemukim Moronene yang sebagian hidup sebagai petani ladang

berpindah-pindah dan berburu, mereka tidak tunduk dibawah pemerintahan

Sullewatang, tetapi tunduk di bawah Pemerintahan Mokole Moronene yang

berpusat di Taubonto, sebaliknya Orang Bugis yang bermukim di Rumbia bukan

merupakan penduduk Sullewatang Poleang, karena mereka ini termasuk

pendatang kemudian atau bukan penduduk awal, sehingga ia tunduk di bawah

pemerintahan Mokole Moronene yang diwakili oleh Kepala Orang Bugis yang

bermukim di Rumbia.

Suatu bukti sejarah lain yang membuktikan bahwa Poleang dibawah

pengaruh Kerajaan Buton dan Bone adalah wilayah perbatasan antara Kesultanan

Buton dan Kerajaan Mekongga adalah wilayah Toari, yaltu: Toari Diattang Salo

(Wilayah Toari di sebelah Selatan Sungai) menjadi inilik/kekuasaan Kesultanan

Buton, dan Toari Awang Salo (Wilayah Toari di sebelah Utara Sungai) menjadi

milik/kekuasaan Kerajaan Mekongga, dan menjadi batas wilayah Kabupaten

Buton dan Kabupaten Kolaka, selanjutnya menjadi wilayah perbatasan antara

Kabupaten Bombana dan Kabupaten Kolaka. Tanda batas wilayah tersebut dalam

Bahasa Buton yaitu: Tondo WoIio= artinya patok batas wilayah Buton/Wolio.

Page 75: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

65

Dewasa ini daerah tersebut diabadikan menjadi Desa Tondo BoIio yang diucapkan

dalam aksen dan intonasi Bahasa Bugis sebagal penduduk utama wilayah

setempat dan kata tersebut dari kata Tondo Wollo.

Hubungan kekerabatan antara Suku Bugis dan Suku Moronene adalah

wujud ikatan kekerabatan antara Kerajaan Bone dan Kesultanan Buton. Kedua

wilayah dan pemerintahan baik pemerintahan wilayah (antara Mokole Moronene

dengan Sullewatang Poleang hidup rukun dan damai), demikian pula antara

Kesultanan Buton dan Kerajaan Bone, juga memelihara hubungan persahabatan

degan baik dan selalu hidup berdampingan secara damai. Sebagaimana dijelaskan

oleh Sugiant Noor (Wawancara, Maret 2016) sebagai berikut:

Masyarakat Poleang yang ada sekarang ini menjadi bukti sejarah bahwa

masa lampau terjalin ikatan yang sangat kuat antara Kerajaan Bone dan

Kesultanan Buton. Hubungan kekerabatan antara Suku Bugis dan Suku

Moronene tetap dipertahankan sampai saat ini merupakan satu

penghargaan terhadap leluhur yang memperjuangkan terbinanya hubungan

kekerabatan.

Hubungan kekerabatan antara Suku Bugis dan Suku Moronene

diwujudkan pula dalam ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwa pada zaman dulu

seorang Suku Bugis bergelar Maddolangen meminta kawasan padang kepada

Mokole Mataoleo sebagai Kepala Suku Moronene untuk beternak kuda. Mokole

Mataoleo memberikan padang itu dan membantu merintis serta memasang patok

pembatas yang berbentuk kayu yang mudah tumbuh dalam bahasa Bugis disebut

Aju Jawa. Mokole Mataoleo bersama pendampingnya Talida, Yake, dan Masala

sangat menghormati Maddolangeng Daeng Mattengnga atas usaha pembukaan

peternakan tersebut. Terbukti dengan dorongan dan kerjasama antara

Maddolangeng dengan masyarakat setempat yang masih jauh terpencil di pedalam

Page 76: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

66

mulai terbuka dimana kebutuhan sudah terpenuhi karena sudah ada sistem tukar

menukar kedua belah pihak yaitu antara nelayan (Orang Bugis) dan petani (Orang

Moronene) saling tukar menukar hasil produksi masing-masing melalui sistem

barter, selanjutnya mereka membuat perjanjian untuk bertemu pada hari tertentu,

sehingga kelak menjadi pasar kaget (Hafid, 2016: 47).

Hal senada juga dijelaskan oleh Informan bernama H. Bahar (Wawancara,

Februari 2018) sebagai berikut:

Hubungan ekonomi antara Suku Bugis dan Suku Moronene sudah lama

terjalin. Pada zaman dulu Maddolangen meminjam kawasan padang dari

Kepala Suku Moronene untuk beternak kuda. Mokole Mataoleo

memberikan padang itu kemudian memasang patok pembatas berupa kayu

hidup dan kemudian tumbuh menjadi pohon besar. Selain itu hubungan

ekonomi lainnya diwujudkan dalam kerja sama mengolah lahan pertanian

dan peruses penjualan hasil pertanian.

Seiring perkembangan waktu, stas restu pimpinan Suku Moronene yang

bergelar Mokole Mataoleo beserta rakyatnya mengakui padang luas tempat

beternak kuda dan kerbau itu menjadi milik Maddolangen Daeng Mattengah.

Selanjutnya Maddolangen Daeng Mattengah pindah ke Boepinang karena disana

telah berdatangan Suku Bugis untuk mencari lahan pertanian maupun sebagai

nelayan dan mereka belum berani menerobos jauh ke pedalaman, sehingga

mereka membangun perumahan di Tepi Pantai Boepinang di sekitar Muara Kali

Boepinang yang hidup berdampingan dengan Suku Bajo. Di Boepinang,

Maddolangeng Daeng Mattengah berkenalan dengan Yapua (salah seorang tokoh

masyarakat Moronene) yang tinggal di Pedalaman Boepinang yaitu disekitar

perkampungan Tari-Tari dan Naee. Yapua menginginkan agar Masyarakat Bugis

diperintah oleh Orang Bugis sendiri dan Masyarakat Moronene diperintah oleh

Page 77: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

67

Orang Moronene sendiri. Yapuah tidak memiliki motif lain, kecuali untuk

memudahkan penataan dan koordinasi warga secara tertib dan aman (Hafid, 2016:

48).

Untuk pembagian wilayah ini, Yapua menyarankan Orang Bugis

menunjuk Maddolangeng Daeng Mattengnga sebagai Pimpinan Orang Bugis yang

selanjutnya disebut sebagai Matowa, sedangkan masyarakat Moronene ditunjuk

Inteu untuk mengatur tata pemerintahan Tari-Tari, Naee dan sekitarnya.

Pembagian wilayah kekuasaan ini tidak menekankan wilayah administratif dan

geografis, melainkan berbasis demografis, artinya Matowa yang kelak menjelma

menjadi Suilewatang mengkoordinir Orang Bugis yang ada di sekitar Poleng baik

yang bermukim di pusat konsentrasi Masyarakat Bugis maupun yang ada di

sekitar pemukiman Masyarakat Moronene, demikian pula Pemerintahan Mokole

Mataoleo mengkoordinir Masyarakat Moronene baik yang berada di pusat

konsentrasi pemukiman Masyarakat Moronene maupun yang ada diantara

pmukiman Masyarakat Bugis.

Pendapat yang sama dijelaskan oleh Informan bernama Sugiant Nor

(Wawancara, Maret 2018) sebagai berikut:

Meskipun Maddolangen Daeng Mattengah adalah pendatang dari Bone

tetapi kepala Suku Moronene memberikan padang luas tempat beternak

kuda dan masyarakat suku Moronene mengakui Maddolangen Daeng

Mattengah sebagai pemilik padang itu. Maddolangen Daeng Mattengah

bukan hanya mengelola padang ternak tetapi beliau ini juga ke Boepinang

untuk mengolah lahan pertanian, kemudian menjadi pemimpin masyarakat

Suku Bugis di Boepinang.

Ketika kepala pemerintahan Kolonial Belanda datang dan Buton bersama

perangkat pemerintahannya yang dikawal oleh serdadu, Maddolangeng Daeng

Page 78: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

68

Mattengnga mengajukan permohonan pengesahan lahan peternakannya di Lappa

Pajjongangnge yang sudah diolah kurang lebih tiga tahun. Permohonan ini

mendapat sambutan dan persetujuan yang baik dan pihak pemerintah, sehingga

pada saat itu permohonan dilegalisir oleh kepala pemerintahan baik dan

Kesultanan Buton maupun dan pihak pemangku adat Masyarakat Moronene

diantaranya adalah: Mokole Mataoleo, Masala, Yapua, dan Inteu. Walaupun

sebenarnya sebelum mendapat pengakuan legalisasi dari Buton, padang

peternakan tersebut sudah dimasukkan hewan ternak sebanyak tujuh ekor kuda

bibit unggul yang dipesan dan Tanah Bugis yakni: 5 ekor kuda betina, 2 ekor kuda

jantan. Sesudah mendapat pengakuan dan pemerintah, penambahan hewan ternak

dilokasi peternakan tersebut berlangsung terus, sementara yang dimasukkan

pertama sudah berkembang biak.

Setelah perkembangan penduduk Orang Bugis Bone semakin banyak,

maka dibentuklah struktur pemerintahan yang disebut “SuIlewatang”/PerwakiIan,

artinya Perwakilan Raja Bone di Tanah Lau (negeri kita yang ada di sebelah

Timur Teluk Bone). Jabatan Sullewatang tidak dijabat kaum bangsawan,

melainkan dijabat oleh golongan menengah yang bergelar Daeng/Tolebbi,

sedangkan kaum bangsawan bertindak sebagai penasehat Sullewatang. Selain itu,

penyebab Golongan Daeng diangkat menjadi Sullewatang, karena golongan inilah

yang pertama menjadi pemuki di wilayah ini, sehingga tokoh masyarakat di antara

mereka yang awalnya merupakan pelayar (pedagang klontongan dan juga sebagai

pedagang pinansial) kelak diberi amanah oleh Raja Bone untuk membentuk

pemerintahan Sullewatang (setingkat Desa sekarang). Saat pembentukan Distrik

Page 79: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

69

Poleang, maka Maddolangeng Daeng Mattengnga dilantik sebagai Kepaa Distrik

pertama dengan wilayah kekuasaan meliputi Toari Buton sampai berbatasan

dengan Laeya. Tercatat ada 4 orang yang pernah menjabat sebagai Sullewatang

Poleang, yaitu: Muhammad Siri, H. Talha Daeng Makkalu, H. Abdullah, dan H.

Abu Ubaeda (Hafid, 2016: 49).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola hubungan

kekerabatan suku Bugis dan suku Moronene di Wilayah Poleang Kabupaten

Bombana adalah membangun kekuatan politik antara Kerajaan Bone dan

Kesultanan Buton. Hubungan kekerabatan di Poleang terjalin oleh hubungan

kawin-mawin antara dua suku berbeda. Selain hubungan kekerabatan akibat

kawin-mawin dari dua suku berbeda, hubungan kekerabatan diwujudkan dalam

bidang ekonomi.

Sistem pemerintahan yang diterapkan di wilayah Poleang disesuaikan

dengan penghuni suatu wilayah. Masyarakat Suku Bugis menganut sistem

pemerintahan Sulewattang Poleang di bawah baying-bayang Kerajaan Bone dan

masyarakat Suku Moronene menganut sistem pemerintahan Mokole Moronene di

bawah baying-bayang Kesultanan Buton. Sistem pemerintahan yang diatur

sedemikian rupa dimaksudkan agar masyarakat Suku Bugis dan Suku Moronene

di Poleang dapat hidup saling berdampingan secara damai.

Page 80: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

70

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Proses diaspora suku Bugis di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana

dimulai sejak kedatangan utusan Raja Bone ke Poleang bertemu raja

Moronene pada Abad XVIII dengan maksud menjalin hubungan dua

kerajaan. Setelah telah mencapai kesepakatan, Raja Bone

memberangkatkan 40 kepala keluarga menuju wilayah kerajaan Moronene

dibekali segenggam tanah Bangkala. Setelah sampai di Toburi, rombongan

tersebut bertemu dengan raja Suu dan menyerahkan segenggam tanah dari

raja Bone. Tanah tersebut di tanam di halaman istana raja Suu dan menjadi

tanda ikatan persahabatan antara kerajaan Bone dan kerajaan Moronene.

Selain dari migrasi pada masa sebelum kemerdekaan, migrasi suku Bugis

juga terjadi pada masa perjuangan DI/TII di Poleang dan migrasi Suku

Bugis ke Poleang untuk mengolah daerah Pertanian dan Perikanan.

2. Latar belakang hubungan kekerabatan Suku Bugis dan Suku Moronene

dibina di Wilayah Poleang Kabupaten Bombana adalah membangun

hubungan kerja sama dua kerajaan. Hubungan kekerabatan suku Bugis dan

suku Moronene diperkuat dengan “Sumpah Tandu Ale”. Inti dari sumpah

ini adalah mengutuk sipapun saja yang menimbulkan pertentangan/konflik

antara dua suku yang hidup berdampingan.

Page 81: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

71

3. Pola hubungan kekerabatan suku Bugis dan suku Moronene di Wilayah

Poleang Kabupaten Bombana adalah membangun kekuatan politik pada

masa sebelum kemerdekaan. Namun saat ini hubungan kekerabatan telah

terjalin oleh hubungan kawin-mawin antara dua suku berbeda serta kerja

sama dalam bidang organisasi, ekonomi, sosial, dan lain-lain.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka peneliti menyarankan beberapa

hal-hal berikut ini:

1. Diharapkan kepada masyarakat Poleang untuk tetap menjaga hubungan

kekerabatan yang telah dijalin oleh para leluhur, dengan tetap menjunjung

prinsip hidup Tandu Ale.

2. Menanamkan kepada generasi muda prinsip hidup Tandu Ale sehingga

hubungan kekerabatan yang terbina selama ini tetap dipertahankan

sepanjang waktu.

3. Pemerintah Kabupaten Bombana diharapkan dapat melestarikan sejarah

perkembangan wilayah di daerahnya melalui penulisan Buku Sejarah,

sehingga generasi muda Bombana dapat mengetahui sejarah daerahnya.

C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sejarah di Sekolah

Manusia pada dasarnya selalu ingin berkembang, dimana sebagian besar

perkembangan tersebut diperoleh melalui belajar. Melalui proses belajar tersebut

terjadi perubahan-perubahan dalam setiap aspek kehidupan.

Sejarah merupakan salah satu mata pelajaran IPS yang diajarkan mulai

tingkat SD sampai tingkat perguruan tinggi, sehingga tidak dapat dipungkiri

Page 82: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

72

bahwa mata pelajaran sejarah juga memegang peranan penting dalam

meningkatkan mutu pendidikan. Sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan

pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan

budaya pada masa kini yang bertujuan agar siswa memperoleh kemampuan

berfikir historis dan pemahaman sejarah. Melalui pembelajaran sejarah siswa

mampu mengembangkan kompotensi untuk berfikir secara kronologis dan

memiliki pengetahuan tentang masa lampau yang dapat digunakan untuk

memahami dan menjelaskan proses perkembangan budaya serta kekeragaman

sosial dalam rangka menemukan dan menumbuhkan jati diri bangsa di tengah-

tengah masyarakat dunia.

Hasil dari pembelajaran sejarah diharapkan dapat memberi konstribusi

yang benar dalam upaya mencapai pendidikan nasional. Keberadaan pelajaran

sejarah di Sekolah bertujuan untuk membimbing para peserta didik agar mampu

memahami perkembangan pada masa kini berdasarkan perspektif sejarah akan

memberikan nilai karena tidak hanya mengetahui fakta sejarah, melainkan juga

mengetahui interaksi makna yang terkandung didalamnya, sehingga siswa

termotivasi untuk memahami sejarah.

Hasil penelitian yang berjudul tentang “Sejarah Hubungan Kekerabatan

Suku Bugis Dengan Suku Moronene di Wilayah Poleang” kaitannya dengan

pelajaran sejarah dapat diajarkan pada tingkat SD kelas IV semester II pada mata

pelajaran IPS pokok bahasan Keragaman Suku Bangsa dan Budaya di Indonesia

dengan Standar Kompentensi: Menghargai berbagai peninggalan dan tokoh

sejarah yang berskala nasional pada masa Hindu-Buddha dan Islam, keragaman

Page 83: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

73

kenampakkan alam dan suku bangsa, serta kegiatan ekonomi di Indonesia.

Kompetensi Dasar: menghargai keragaman suku bangsa dan budaya di Indonesia.

Berdasarkan kurikulum tingkat satuan pendidikan pokok bahasan

Keragaman Suku Bangsa dan Budaya di Indonesia dengan indikator sebagai

berikut: Menyebutkan jenis keragaman budaya, menyebutkan suku bangsa yang

ada di daerah tempat tinggal, menyebutkan budaya yang ada di daerah tempat

tinggal. Untuk membahas materi pelajaran ini diperlukan waktu selama 2x35

menit untuk SD. Adapun strategi yang digunakan oleh guru dalam mengajarkan

materi ini yaitu metode ceramah atau diskusi kelompok.

Dengan demikian jelas bahwa “Sejarah Hubungan Kekerabatan Suku

Bugis Dengan Suku Moronene di Wilayah Poleang” tetap memiliki unsur-unsur

yang dapat dijadikan bahan panduan dalam pelajaran di sekolah khususnya bagi

siswa SD. Tujuan yang dapat diperoleh setelah mempelajari hasil penelitian ini

adalah siswa akan mampu memiliki pengetahuan tentang hubungan kekerabatan

suku Bugis dan Suku Moronene di Wilayah Poleang.

Page 84: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

74

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1982. Dokumenta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah

Tingkat I Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekretariat DPRD.

Abidin, A.Z. 1995. “Perbandingan Buku Sastra I La Galigo dengan Cerita Rakyat

di Sulawesi Tenggara tentang Hubungan Raja-raja di Sulawesi Selatan dan

Raja-raja di Sulawesi Tenggara”. Makalah Seminar Eksistensi dan

Peranan Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Di

Kendari tanggal 7-8 Agustus 1995.

Anonim. 1976. Monografi Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

Batoa, L.K. 1991. Sejarah Kerajaan Daerah Muna. Raha: Astri.

Burhanuddin, B. 1981. Jejak Sejarah Tomanurung. Kendari: Yayasan Karya

Teknika.

Hafid, Anwar, dkk. 1989. Tinjauan Historis tentang Hubungan Bilateral antara

Kerajaan Konawe dengan Kerajaan Bone. Kendari: Balai Penelitian

Unhalu.

_______________. 2016. Adat Perkawinan Suku Bugis di Perantauan (Studi di

Kabupaten Bombana. Kendari: Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu

Sosial Indonesia Sultra.

Hafid, Anwar. 2003. “Nilai-nilai Edukatif dari Perjalanan Sawerigading ke Dunia

Timur”. Makalah disajikan dalam Seminar Internasional Sawerigading.

Masamba, 10-14 Desember 2003.

___________ 2010. Hubungan Kekerabatan Antar Etnik di Sulawesi Tenggara

dalam Analisis Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Sejak Masa Kerajaan

Hingga Kini. Makalah Disajikan dalam Seminar Lokakarya Hubungan

Kekerabatan Etnik-Etnik di Sulawesi Tenggara. Kendari, 29-30 Maret

2010.

___________ 2016. Hubungan Kekerabatan Antar Etnik di Sulawesi Tenggara

dalam Analisis Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Sejak Masa Kerajaan

Hingga Kini. Makalah Disajikan dalam Seminar Lokakarya Hubungan

Kekerabatan Etnik-Etnik di Sulawesi Tenggara. Kendari, 29-30 Maret

2010.

Imron, Ali. 2005. Kekerabatan Masyrakat Batak. Jakarta: Dian Kencana.

Page 85: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

75

Kartodirjo, Sartono. 2002. Teori Sejarah dan Masalah Histografi. Jakarta:

Gramedia.

Keely, C. 2002. Demography and International Migration. In Brettle, C. dan J.

Hollifield 2002. Migration Theory: Talking Across Disciplines. London:

Routledge

Kern, R.A. 1993. I La Galigo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

_____________. 1982. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian

Kencana.

Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lee, Everett, S. 1991. Teori Migrasi. Diterjemahkan Hans Daeng. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Mawara, Jetty E.T. 2015. Solidaritas Kekerabatan Suku Bangsa Bantik di

Kelurahan Malalayang I Manado. e-journal “Acta Diurna” Volume IV.

No.2. Tahun 2015

Mekuo, J. 1986. Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Kendari: FKIP Unhalu.

Munir, Rozy. 1981. Penduduk dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Bina Aksara.

Patisahusiwa, Novianti. 2006. Hubungan Kekerabatan Suku Maluku dan Suku

Buton di Kota Ambon. Ambon: Universitas Darusallam.

Pelras, Cristian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar

Razake, A.A. Dkk. 1989. Profil Kependudukan dan Keluarga Berencana Propinsi

Sulawesi Tenggara. Kendari: BKKBN.

Saleh, Akhmad Muwafik. 2012. Pola Hubungan Sosial Pada Masyarakat

Pemukiman Tanean Lanjang Di Kabupaten Sumenep Madura. Jurnal

Penelitian. FISIP. UMM.

Santoso, Budhi. 1998. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta: PT.

Pustaka Grafika Kit.

Syamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta: Depdikbud.

Page 86: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

76

Tarimana, A. 1987. “Sawerigading sebagai Tokoh Legendaris Versi Sulawesi

Tenggara”. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Folktale

Sawerigading Memperkaya Kebudayaan Berwawasan Nusantara untuk

Keteguhan Integrasi Bangsa. Palu 7-10 Agustus 1987.

Zuhdi, S. 1997. “Sulawesi Tenggara dalam Jalur Pelayaran dan Perdagangan

Internasional Abad ke-17 dan ke-18”. Makalah Disajikan dalam Seminar

Nasional Sejarah dan Masyarakat Maritim di Kawasan Timur Indonesia.

Universitas Haluoleo Kendari, 8-9 September 1997.

Page 87: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

77

Lampiran 1.

PROFIL INFORMAN

1. Nama : Bandu

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Usia : 68 Tahun

Jabatan/Pekerjaan : Ketua Adat Moronene Poleang

Alamat : Desa Raka Dua Kecamatan Poleang Poleang Barat

Bandu lahir di Poleang pada Tahun 1950, beliau adalah Tokoh masyarakat

suku Moronene. Beliau adalah masyarakat Poleang keturunan Moronene yang

telah lama tinggal di Poleang Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara.

2. Nama : Nasar

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Usia : 65 Tahun

Jabatan/Pekerjaan : Tokoh Adat Masyarakat Moronene

Alamat : Desa Raka Dua Kecamatan Poleang Poleang Barat

Nasar lahir di Poleang pada Tahun 1953, beliau adalah Tokoh Adat

masyarakat Desa Raka Dua.

3. Nama : H. Bahar

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Usia : 45 Tahun

Jabatan/Pekerjaan : Tokoh Adat Masyarakat Bugis Poleang

Alamat : Desa Salosa Kecamatan Poleang

H. Bahar lahir di Lampo Pala pada Tahun 1949, beliau adalah Tokoh

masyarakat suku Bugis. Beliau adalah masyarakat Poleang keturunan Bugis yang

telah lama tinggal di Poleang Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara.

4. Nama : H. Sarifuddin

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Usia : 57 Tahun

Pendidikan : SMP

Jabatan/Pekerjaan : Tokoh Masyarakat

Alamat : Desa Salosa Kecamatan Poleang

H. Safruddin lahir di Salosa pada Tahun 1959, beliau adalah salah seorang

tokoh masyarakat Desa Salosa. Beliau adalah masyarakat Desa Salosa keturunan

bugis yang menetap di Desa Salosa Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana

Provinsi Sulawesi Tenggara.

Page 88: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

78

5. Nama : H. Basir

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Usia : 62 Tahun

Pendidikan : SD

Jabatan/Pekerjaan : Imam Masjid Desa Salosa

Alamat : Desa Salosa Kecamatan Poleang

H. Basir lahir di Salosa pada Tahun 1954, beliau adalah Imam Desa

Salosa. Beliau adalah masyarakat keturunan Bugis yang lahir di Desa Salosa.

Nenek moyang beliau adalah dari Sulawesi Selatan tetapi sudah ratusan tahun

mendiami wilayah salosa. Pada masa muda, beliau aktif melakukan kegiatan

renggeng.

6. Nama : Ilyas

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Usia : 55 Tahun

Jabatan/Pekerjaan : Tokoh Masyarakat Moronene Poleang

Alamat : Desa Raka Dua Kecamatan Poleang Poleang Barat

Ilyas lahir di Salosa pada Tahun 1961, beliau adalah Tokoh Masyarakat

Desa Salosa. Beliau adalah Suku Bugis yang menetap di Desa Salosa Kecamatan

Poleang Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada masa muda,

beliau aktif melakukan kegiatan renggeng.

7. Nama : Drs. H. Abustam, M.Si

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Usia : 58 Tahun

Jabatan/Pekerjaan : Tokoh Masyarakat Poleang

Alamat : Kota Kendari

Drs. H. Abustam, M.Si. lahir di Poleang pada Tahun 1960, beliau adalah

Tokoh Masyarakat Poleang. Pada masa kecil, beliau menetap di Kecamatan

Poleang. Saat ini beliau menetap di Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara.

8. Nama : Andi Abdul Rahman Nusu, S.Pd.

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Usia : 74 Tahun

Jabatan/Pekerjaan : Tokoh Masyarakat Bugis Poleang

Alamat : Kota Kendari

Andi Abdul Rahman Nusu, S.Pd. lahir di Poleang pada Tahun 1942,

beliau adalah Tokoh Masyarakat Desa Poleang. Pada masa kecil, beliau menetap

di Kecamatan Poleang. Saat ini beliau menetap di Kota Kendari Provinsi Sulawesi

Tenggara.

Page 89: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

79

9. Nama : Drs. Sugiant Nor

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Usia : 74 Tahun

Jabatan/Pekerjaan : Tokoh Masyarakat Bugis Poleang

Alamat : Kota Kendari

Drs. Sugiat Nor lahir di Poleang pada Tahun 1942, beliau adalah Tokoh

Masyarakat Desa Poleang. Pada masa kecil, beliau menetap di Kecamatan

Poleang. Saat ini beliau menetap di Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara.

Page 90: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

80

Lampiran 2.

DOKUMENTASI PENELITIAN

Wawancara dengan M. Nazar (Januari, 2018)

Wawancara dengan Diah Bundu (14 Januari 2018)

Wawancara dengan H. Bahar (20 Januari 2018)

Page 91: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

81

Wawancara dengan Drs. H. Abustam, M.Si. (12 Maret 2018)

Wawancara dengan Sugiant Nor (20 Maret 2018)

Wawancara dengan Polo (09 Februari 2018)

Page 92: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

82

Kegiatan Adat Masyarakat Suku Bugis dan Suku Moronene di Poleang

Pada Perayaan Ulang Tahun Kabupaten Bombana (18 Desember 2014)

Page 93: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

83

Pelantikan Pengurus Dewan Adat Moronene Kemokolean Poleang

yang Dihadiri Tokoh Adat Bugis (18 Desember 2016)

Page 94: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

84

Kegiatan Adat Masyarakat suku Bugis dan suku Moronene di Poleang (Juli 2017)

Page 95: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

85

Lampiran 3.

PETA KABUPATEN BOMBANA

Lokasi

Penelitian

Page 96: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

86

Page 97: SEJARAH HUBUNGAN KEKERABATAN SUKU BUGIS DENGAN … · Poleang”, adalah asli, merupakan hasil karya saya sendiri, tidak pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik

87