gambaran umum tentang masyarakat toraja …...yaitu: suku toraja, suku bugis, suku ta ala’...

44
33 BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA 1.1.Letak Suku Toraja Suku Toraja berada di jazirah selatan Pulau Sulawesi atau Provinsi Sulawesi Selatan bersama tiga suku bangsa lainnya, yakni suku bangsa Bugis, Makassar, dan Mandar. Sekarang ini suku Toraja “dialamatkan” kepada mereka yang mendiami Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara. Namun menurut antropolog Belanda: A. C. Kruyt, bahwa masyarakat Toraja sebagai satu etnis sesungguhnya lebih luas dari pada yang tinggal mendiami Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Ihromi mengutip penelitian A. C. Kruyt, mengatakan: gugusan golongan etnis Toraja dapat dibagi kedalam tiga kelompok besar, yaitu: a) Orang Toraja Timur, tinggal disekitar Poso (Sulawesi tengah), yang disebut Toraja bare’e, karena kata yang digunakan untuk “tidak” adalah bare’e. b) Orang Toraja Barat, mendiami daerah sekitar Palu Sulawesi Tengah. Menurut Kruyt, suku-suku Toraja Timur menunjukkan lebih banyak sifat-sifat keseragaman dari pada orang Toraja Barat. Diduga orang-orang Toraja Barat terlalu lama saling terpisah sehingga walaupun tadinya merupakan suatu golongan yang homogen, namun dalam waktu yang terisolasi itu berkembanglah sifat-sifat yang berbeda. c) Orang Toraja Selatan, mendiami daerah yang kini disebut Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara (Provinsi Sulawesi

Upload: others

Post on 07-Mar-2021

25 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

33

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA

1.1.Letak Suku Toraja

Suku Toraja berada di jazirah selatan Pulau Sulawesi atau Provinsi

Sulawesi Selatan bersama tiga suku bangsa lainnya, yakni suku bangsa Bugis,

Makassar, dan Mandar. Sekarang ini suku Toraja “dialamatkan” kepada mereka

yang mendiami Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara. Namun

menurut antropolog Belanda: A. C. Kruyt, bahwa masyarakat Toraja sebagai satu

etnis sesungguhnya lebih luas dari pada yang tinggal mendiami Kabupaten Tana

Toraja dan Toraja Utara. Ihromi mengutip penelitian A. C. Kruyt, mengatakan:

gugusan golongan etnis Toraja dapat dibagi kedalam tiga kelompok besar, yaitu:

a) Orang Toraja Timur, tinggal disekitar Poso (Sulawesi tengah),

yang disebut Toraja bare’e, karena kata yang digunakan untuk

“tidak” adalah bare’e.

b) Orang Toraja Barat, mendiami daerah sekitar Palu Sulawesi

Tengah. Menurut Kruyt, suku-suku Toraja Timur menunjukkan

lebih banyak sifat-sifat keseragaman dari pada orang Toraja Barat.

Diduga orang-orang Toraja Barat terlalu lama saling terpisah

sehingga walaupun tadinya merupakan suatu golongan yang

homogen, namun dalam waktu yang terisolasi itu berkembanglah

sifat-sifat yang berbeda.

c) Orang Toraja Selatan, mendiami daerah yang kini disebut

Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara (Provinsi Sulawesi

Page 2: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

34

Selatan). Kruyt menyebutnya Toraja Tae’, karena kata yang

digunakan untuk meniadakan adalah tae’; juga sering disebut

Toraja Sa’dan, sebab wilayah ini dialiri sungai Sa’dan.

Kruyt menganggap ini satu golongan etnis yang sangat besar, dia

menyebutnya “orang Toraja”. Sesuai dengan pengelompokan rumpun etnis,

budaya, dan bahasa di Sulawesi Selatan dikenal empat kelompok rumpun seturut

dengan konsep budaya “Tallu Bottona, A’pa’ Pada-pada” (tiga pucuk, empat

bersama). Dalam bahasa Bugis “Tellu Boccoe, Appa’ Pada-pada” diturunkan dari

makna keturunan Lakipadada, yakni 3 putra dan seorang putri dalam 4 bersaudara

yang mula-mula mengembangkan kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan

yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang

Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah yang menjadi

leluhur kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan.

Setiap etnis, suku, ras, atau golongan suatu kelompok masyarakat dapat

diketahui tingkat kekerabatannya berdasarkan hubungan dan kemiripan pada

aspek budaya dan pendukungnya. Karena itu suku Toraja dapat digolongkan

menjadi lima kelompok yaitu: Toraja Enrekang (Toraja selatan) yang berdomisili

di Kabupaten Enrekang, Toraja Sa’dan (Toraja Tengah) sekarang ini mendiami

Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara, Toraja Bare’e (Toraja Utara) yang

berdomisili di Provinsi Sulawesi Tengah, Toraja Mamasa (Toraja Barat) yang

berdomisili di Provinsi Sulawesi Barat, Toraja Ala’ (Toraja Timur) yang

berdomisili di sepanjang pesisir teluk Bone termasuk daerah Babo di Kolaka Utara

Provinsi Sulawesi Tenggara. Di daerah pesisir timur Sulawesi dihuni oleh To

Page 3: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

35

Luwu’ (orang Luwu’, penghuni Luwu’), secara etnis dan linguistis termasuk

kelompok Toraja, tetapi mayoritas orang Luwu’ menganut agama Islam dan sudah

sejak lama berada dibawah pengaruh Bugis dari selatan. Di Luwu’, bahasa Bugis

dan bahasa Toraja merupakan bahasa komunikasi; di mana-mana di Luwu’ bahasa

Toraja bisa dipergunakan, sekalipun dengan aksen dan dialek yang berbeda-beda.

Sebaliknya, bahasa Bugis hanya digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu,

terutama mereka yang asal Bugis. Dengan demikian secara antropologi, sosial dan

budaya tidaklah tepat ‘mengalamatkan’ suku Toraja hanya kepada mereka yang

berada dalam wilayah atministrasi pemerintahan Kabupaten Tana Toraja dan

Toraja Utara sekarang ini, sebab secara etnisitas suku Toraja itu sangat luas sekali.

c).2. Aluk Sebagai Sistem Religi Masyarakat Toraja

Aluk mengkonstruksi sistem religi masyarakat Toraja dan upacara

keagamaan. Menurut orang Toraja, aluk diciptakan oleh para dewa dan dimulai di

langit sebab pada mulanya yang ada hanyalah aluk (aluk tipondok do tanggana

langi’). Seluruh kehidupan di langit tidak terlepas dari kaidah aluk (naria sukaran

aluk), bahkan Puang Matua sendiri pun serta para dewa berada di bawah ketentuan

aluk.

Puang Matua yang menciptakan langit dan bumi. Langit dan bumi ini

kemudian menikah dan melahirkan tiga dewa yang disebut: Anakna Langi’

Anakna Tana, Anakna Lino artinya anak langit, anak tanah dan anak bumi. Dalam

mitologi Toraja diceriterakan:

“konon dikala langit dan bumi masih menyatu (silopak) dataran luasbelum kelihatan, gunung-gunung dan sungai belum tampak. Tetapi waktu

Page 4: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

36

langit dan bumi berpisah, bumi di bawah dan langit di atas salingmenatap dari jauh, maka tampaklah dataran luas serta sungai-sungai,lahirlah anak langit dan bumi kembar tiga dewa (titanan tallu = konseptrinitas versi Aluk), subur pertumbuhannya serta diberi nama: Pong TulakPadang, Pong Banggai Rante dan Gaun Tikembong.

Ketiga dewa tersebut mengadakan kombongan kalua’ (musyawarah

besar) di langit. Setelah mereka bermusyawarah, maka mereka menciptakan

matahari, bulan dan bintang-bintang.

a) Pong Banggai Rante, yang bermukim dan berkuasa atas

permukaan bumi.

b) Pong Tulak Padang, yang bermukim dan berkuasa di bawah

permukaan bumi yang disebut tokengkok.

c) Gaun Tikembong, yang bermukim dan berkuasa di atas bumi

(bumi di atas) yang disebut to palullungan.

Melalui proses perkawinan rumit antara para dewa-dewi di langit,

lahirlah manusia yang pertama di langit yang bernama Puang Bura Langi’. Sebagai

manusia, tempat Puang Bura Langi’ bukan di langit, melainkan di bumi. Karena

itu ia diperintahkan oleh Puang Matua untuk turun ke bumi. Jadi menurut mitos

orang Toraja, nenek moyang mereka berasal dari langit, dari alam dewa-dewi.

Karena nenek moyang itu turun dari langit ke bumi, maka ia disebut To Manurun

di Langi’, artinya orang yang turun dari langit.

Ketika To Manurun (yang disebut juga Pangala Tondok) turun ke bumi,

ia membawa Aluk sola Pemali, artinya agama atau pegangan hidup dan pantangan.

Aluk sola Pemali berjumlah 7.777.777 buah, dalam perjalanannya ke bumi dipikul

oleh seorang hamba namanya Pong Pakulando. Karena begitu banyaknya beban

Page 5: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

37

ini, hamba tersebut tidak sanggup memikulnya, oleh karena itu sebagian tinggal di

langit dan yang sampai ke bumi Cuma 7.777 buah. Tetapi yang tinggal di langit

sewaktu-waktu dapat diambil bila diperlukan.

Sebagaimana dituturkan dalam Passomba Tedong (PT) yang merupakan

‘buku suci’ Aluk, ke-7.777 aluk inilah yang mengatur seluruh kehidupan orang

Toraja, baik kehidupan keagamaan, maupun kehidupan kemasyarakatan. Aluk

merupakan tata hidup yang holistik. Aluk ini dikristalisasikan dalam bentuk

kebiasaan-kebiasaan atau tradisi, lalu melembaga dalam, bentuk adat. Sebab itu

dikalangan orang Toraja, aluk dan adat tidak dapat dipisahkan, keduanya saling

terayam dengan erat, bahkan boleh dikatakan keduanya jadi sama. Aluk Sanda

Pitunna berasal dari langit, dan realitas ini beserta seluruh aspek kehidupan berada

dibawa kuasa dan pengawasaannya. Berdasarkan konsepsi dasar ini, dapat

disimpulkan bahwa aluk jelas merupakan falsafah hidup holistik, yang

memanifestasikan diri di dalam adat sebagai cara hidup (adat lihat 3.4).

Sedangkan upaya manusia mengekspresikan dirinya sebagai cara hidup,

itu merupakan bagian dari kebudayaan. Kebudayaan adalah produk aluk dan adat,

tidak dapat dipisahkan darinya (kebudayaan lihat 3.5). Kehidupan ini totalitasnya

adalah aluk, dan “integratif”, mempersatukan segalanya menjadi satu kesatuan.

Jadi, dalam kosep Toraja, aluk, adat dan kebudayaan tidak bisa dipilah-pilah,

usaha untuk memilah sangat tidak mungkin sebab kebudayaan mencakupi

kehidupan spiritual dan material.

Page 6: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

38

Aluk dan adat ini diwujudkan dalam dua jenis upacara, yang lazim

disebut Aluk silau’ eran simuane tallang, artinya upacara yang bertingkat-tingkat

dan saling berpasangan. Aluk silau’eran simuane tallang ini terdiri atas:

a) Aluk Rambu Tuka’ (rambu = asap, tuka’ = mendaki, naik)

atau sering pula disebut aluk rampe matallo (rampe =

sebelah, matallo = timur). Upacara ini dilakukan

disebelah Timur rumah tongkonan dan diselenggarakan

pada waktu matahari mulai naik di sebelah Timur.

Upacara ini berhubungan dengan kesukaan, yaitu berupa

penyembahan kepada Puang Matua.

b) Aluk Rambu Solo’ (solo’ = turun), atau sering pula

disebut aluk rampe matampu’ (matampu’ = Barat).

Upacara ini dilakukan disebelah Barat rumah tongkonan

dan diselenggrakan saat matahari mulai condong ke

sebelah Barat. Upacara ini berhubungan dengan

kedukaan, yakni upacara pemakaman orang mati. Upacara

ini berupa penyembahan kepada arwah orang mati.

Kedua jenis upacara ini bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkat kasta

seseorang dalam masyarakat. Pelaksanan Aluk Rambu Solo’ dan Aluk Rambu

Tuka’ itu di bawah bimbingan to minaa (imam aluk). Itu berarti upacara tersebut

sangat berhubungan dengan struktur sosial masyarakat (diuraikan dibagian 3.3).

Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan

dari hukum, agama, dan kebiasaaan (disebut juga Aluk sola Pemali). Aluk

Page 7: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

39

mengatur kehidupan bermasyarakat, dan ritual keagamaan. Tata cara aluk bisa

berbeda antara satu wilayah adat dengan wilayah adat lainnya. Ritual kematian

(Aluk Rambu Solo’) dan ritual kehidupan sukacita (Aluk Rambu Tuka’)

pelaksanaannya harus dipisahkan. Sebab orang Toraja percaya bahwa ritual Aluk

Rambu Solo’ akan mengganggu keharmonisan kehidupan jika pelaksanaannya

digabung dengan ritual Aluk Rambu Tuka’. Walaupun kedua ritual tersebut sama

pentingnya. Contoh, jika di tongkonan masih ada jenazah yang belum

dimakamkan, maka di tongkonan itu belum bisa diadakan ritual rambu tuka’.

Sebelum agama monoteis masuk ke Indonesia, agama dan adat tidak pernah

bertentangan (dalam ketegangan), karena keduanya merupakan dua aspek dari satu

hal yang sama. Adat selalu merupakan buah dari agama kuno.

Tetapi setelah agama monoteis masuk Indonesia, semuanya berubah.

Misalnya Islam menegaskan, ada adat yang baik ada pula yang buruk, yang baik

dikukuhkan dan yang buruk dihapuskan, hal ini menjadi salah satu tugas

kedatangan Islam. Demikian halnya sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke

Toraja, aluk dan adat adalah satu. Contohnya dalam upacara Rambu Solo’ dan

Rambu Tuka’ seekor babi atau kerbau dipilih untuk dipersembahkan. Sebelum

kerbau itu disembelih, maka lebih dahulu diimbo = doa dengan kata-kata sastra

(bersifat keagamaan). Ketika hewan itu dipotong-potong (diiris) diambil

sediki-sedikit di bagian-bagian tertentu (dititi’-dikiki’-disadi) untuk

dipersembahkan sebagai sesajen kepada para dewa. Kemudian danging yang sisah

dipotong-potong dan dibagikan kepada hadirin sesuai dengan status sosialnya

(aturan aluk dan adat).

Page 8: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

40

b).3. Struktur Sosial dan Kepemimpinan Masyarakat Tradisional

Toraja

Menurut mitos orang Toraja, nenek moyang mereka berasal dari langit

dan membawa Aluk sola Pemali (3.2 di atas). Aluk inilah yang mengatur seluruh

kehidupan manusia Toraja, baik secara individu maupun komunal. Saat to

manurun di langi’ (manusia dari langit) tiba di bumi, ia mendirikan rumah yang

disebut tongkonan dan hambanya mendirikan pondok dibelakang tongkonan itu.

Tongkonan itu disebut tongkonan layuk, artinya tongkonan yang mulia. Setelah

anak-anaknya dewasa, anak-anak itu pindah ke tempat lain dan di sana mereka

mendirikan tongkonan baru dan menjadi penguasa di wilayah tersebut. Tongkonan

tersebut sering disebut tongkonan pangala tondok, artinya tongkonan yang

merintis pembukaan wilayah baru. Fungsinya sama dengan fungsi tongkonan

layuk. Masing-masing tongkonan tersebut berkuasa di wilayahnya dan mengklaim

seluruh wilayah sekitarnya, termasuk isinya menjadi miliknya.

Keturunan yang lahir dari tongkonan layuk disebut anak tongkonan atau

anak Patalo (anak menang), juga sering disebut Tedong Pariu’ (kerbau penarik).

Masyarakat yang berada di dalam wilayah kekuasaan tongkonan layuk disebut to

umpentionganni tongkonan layuk atau to naonganni tongkonan layuk

(umpentionganni = bernaung di bawah; naonganni = dinaunggi oleh), yaitu

orang–orang yang berlindung di bawah kekuasaan tongkonan layuk. Dengan

demikian tongkonan layuk merupakan sumber dan pusat kehidupan sosial suku

Toraja, sebab oleh dan di dalam tongkonan inilah Aluk sola Pemali dipelihara,

Page 9: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

41

ditegakkan dan diselenggarakan. Tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan

spiritual suku Toraja sebab melambangkan hubungan dengan leluhur, karena itu

semua anggota keluarga diharuskan ikut serta dalam setiap kegiatan di tongkonan.

Singkatnya, tongkonan layuk adalah pemilik Aluk sola Pemali. Hal ini Nampak

dalam ungkapan masyarakat Toraja:

“Aluk tongkonan dipoaluk, Uainna tongkonan ditimba, Kayunna tongkonan dire’tok,Padangna tongkonan dikumba’Utanna tongkonan dikalette’.

Secara harafia ungkapan tersebut berarti: aluk (agama) tongkonan dianut,

air milik tongkonan ditimba, kayu milik tongkonan dipergunakan untuk seluruh

keperluan hidup, sayur milik tongkonan dipetik, dan tanah milik tongkonan

diolah. Itulah falsafah tongkonan yang mencerminkan kehidupan bersama itu

diawasi dengan ketat oleh tongkonan. Alat pengawasnya ialah aluk, ini

menunjukkan bahwa tongkonan merupakan benteng kepemimpinan tradisional.

Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan

sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota

keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan

anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Wilayah kekuasaan sebuah

tongkonan layuk mempunyai istilah atau nama yang berbeda-beda. Ada yang

menggunakan nama Bua’, Penanian, Kaparengngesan, atau Lembang.

Kepemimpinan tongkonan ini dijelmakan dalam jabatan Parengnge’. Pada

hakekatnya, semua anak tongkonan berhak menduduki jabatan yang tertinggi

dalam kepemimpinan tradisional Toraja tersebut. Tetapi keturunan yang lahir dari

Page 10: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

42

sebuah tongkonan layuk tertentu banyak, karena itu salah seorang dari antara

mereka dipilih menjadi parengnge’. Syarat-syarat untuk memangku jabatan

parengnge’ adalah:

a) Bida, artinya keturunan murni To Manurun di langi’ yang

mendirikan tongkonan layuk, strata atas tana’ bulaan = kasta

bangsawan murni.

b) Sugi’, artinya kaya

c) Manarang sia kina, artinya pintar, bijaksana, baik hati, bermoral,

berbudi luhur

d) Barani, artinya berani dan tegas membela keadilan dan

kebenaran.

Pemilihan dan penentuan pemegang jabatan parengnge’ ini dilaksanakan

di tongkonan layuk tersebut melalui proses kombongan kalua’ (musyawarah

besar). Pada diri Parengnge’ ini bertumpuk beberapa panduan fungsi, yaitu

menjadi to mina (imam atau pemimpin ritual aluk) di tongkonan, menjadi ahli

hukum dan sekaligus hakim, menjadi pemerintah serta pemimpin rapat atau

pertemuan (kombongan kalua’) keluarga tongkonan. Parengnge’ menjadi figur

sentral, yang melaksanakan seluruh fungsi kepemimpinan dalam masyarakat, baik

fungsi legislatif, eksekutif, yudikatif, maupun keamanan. Tegasnya, ia berfungsi

memelihara, melaksanakan dan menegakkan Aluk sola Pemali. Ini berarti sistem

kepemimpinan dan pemerintahan tradisional Toraja, yaitu “Tongkonankrasi”,

yang bersifat absolutis, otokratis, oligarkis dan paternalistis. Meskipun hanya anak

patalo yang berhak dicalonkan untuk kepemimpinan “tongkonankrasi”, bukan

Page 11: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

43

berarti di dalamnya tidak terdapat ciri-ciri demokratis. Sebab rakyat, termasuk

kaum budak, ikut serta dalam kombongan kalua’ (musyawarah besar) pemilihan

pemimpin (to parengnge). Tanpa “persetujuan” rakyat, keputusan anak patalo

tidak dapat diberlakukan.

“Tongkonankrasi” merupakan “demokrasi sosio-religius yang terpimpin”,

dengan penetapan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam ketentuan aluk dan

adat. Jadi, oligarki itu terikat pada ketentuan aluk dan adat. Menjamin

pemberlakuan ketentuan-ketentuan aluk dan adat itu termasuk kewajiban

pemimpin tongkonan. Pemimpin dan seluruh komunitas persekutuan tongkonan,

wajib hidup menurut ketentuan-ketentuan aluk dan adat. Pemimpin tongkonan

adalah to siriwa aluk sola pemali (pemangku/penanggungjawab agama dan etika)

serta to sikambi’ sukaran aluk (pengawal agama dan etika). Model aslinya sudah

diciptakan sebelumnya di langit.

Ini menegaskan bahwa tongkonan sangat penting bagi masyarakat Toraja,

tongkonan menjadi simbol identitas suku Toraja. Secara sosial tongkonan pun

berfungsi sebagai tempat untuk menyelesaikan masalah kehidupan keluarga secara

internal menurut garis keturunan dari tongkonan tersebut. Tongkonan pun

berfungsi sebagai tempat duduk bermusyawarah atau sidang tentang persoalan

keluarga atau masyarakat melalui wadah kombongan atau kombongan kalua’.

Tongkonan sebagai tempat berkumpul mendengarkan penerangan, informasi atau

perintah adat dari pemangku adat di tongkonan itu; sebagai tempat mengatur dan

melaksanakan pemerintahan adat, dan tempat tinggal penguasa adat atau sebagai

istana pemangku adat. Tongkonan pun berfungsi sebagai pusat budaya, pusat

Page 12: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

44

pembinaan keluarga dan kegotong royongan, pusat dinamisator, pusat motivator

dan stabilisator sosial di masing-masing wilayah kekuasaan adat. Tongkonan

tempat mempraktekkan kehidupan solidaritas kolektif dalam balutan aluk,

sehingga integrasi sosial tetap berjalan dalam kehidupan yang damai dan rukun.

Sistem sosial politik wilayah kekuasaan adat (setiap kampung atau

daerah) di Toraja bersifat otonom, tetapi dalam bentuk konfederasi sub-sub etnis.

Wilayah adat tidak saling membawahi, karena tidak ada penguasa tunggal di suku

Toraja (tidak pernah ada seorang raja berkuasa di Toraja). Tetapi Kepemimpinan

dan pemerintahan tradisional suku Toraja berada di setiap tongkonan parengnge

(syarat dan cara pemilihan pemimpinnya telah diuraikan di atas).

Dari uraian di atas nampak bahwa rakyat biasa dan para hamba tidak

mempunyai akses untuk jadi pemimpin tradisional Toraja, mereka hanya tunduk

sepenuhnya. Hal ini dapat dimaklumi, sebab masyarakat Toraja terbagi dalam

beberapa kasta dan menganut closed sosial stratification yang merupakan ciri dari

masyarakat feodalistik. Pada awalnya, pelapisan sosial dalam masyarakat Toraja

hanya terdiri dari dua lapisan, yaitu tuan dan hamba. Tetapi karena masyarakat itu

semakin berkembang dan adanya perkawinan-perkawinan antara tuan dan hamba,

muncullah pelapisan sosial yang baru, lalu dilembagakan dalam sistim kasta

(tana’). Pelapisan sosial dalam masyarakat Toraja Utara melembaga dalam tana’

(kasta) empat lapisan, yaitu:

a) Tana’ bulaan (bulaan = emas), bangsawan murni keturunan To

Manurun di langi’.

b) Tana’ bassi (bassi = besi), yaitu bangsawan menengah.

Page 13: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

45

c) Tana’ karurung (karurung = rujung enau) yaitu masyarakat

kebanyakan

d) Tana’ kua-kua (kua-kua = sejenis gelagah yang biasa tumbuh di

tempat yang berair, biasa di tanam di pematang sawah supaya

tahan runtuh), yaitu para hamba.

Sedangkan di bagian Toraja Selatan (sebutan lain, tallu lembangna)

dikenal hanya tiga macam Tana (kasta):

a) Tana’ bulaan (bulaan = emas), yaitu, bangsawan tinggi yang masih

murni keturunan To Manurun di langi’.

b) Tana’ bassi (bassi = besi), yaitu orang merdeka (masyarakat

kebanyakan)

c) Tana’ karurung (karurung = rujung enau), yaitu para budak

Di utara para budak (kaunan) diklasifikasi sebagai berikut:

a) Kaunan garonto’, uaka’ tabaro (budak dasar, akar sagu)

b) Kaunan mengkaranduk (budak yang dalam masa sulit

memohon perlindungan pada seseorang)

c) Kaunan diorongi (budak yang ditebus dari tuan lain, orang

lain)

d) Kaunan indan (menjadi budak karena tidak dapat membayar

utangnya).

Di selatan (tallulembangna) budak (kaunan) diklasifikasi sebagai berikut:

a) Kaunan garonto’, kaunan bulaan (budak ontologis, berasal dari

langit)

Page 14: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

46

b) Kaunan mengkaranduk (budak karena situasi darurat mencari

perlindungan)

c) Kaunan diorongi (budak yang ditebus dari orang lain)

d) Kaunan dialli (budak yang dibeli)

e) Kaunan indan atau sandang (budak yang tidak dapat membayar

hutang).

Menurut mitos Toraja, struktur tuan dan budak dibuat di langit melalui

penciptaan nenek moyang para budak yang dibawah ke bumi. Itu sebabnya

struktur sosial dikaitkan dengan tatanan penciptaan (baca 3.2 di atas). Dengan

demikian, struktur sosial itu bersifat transendental-ontologis, jadi, tidak boleh

diubah. Struktur sosial merupakan bagian dari Aluk, jadi tidak bisa dihilangkan.

“Apabila struktur sosial dihilangkan, maka tidak ada lagi kebudayaan Toraja”.

Para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk

menjaga kemurnian status keturunan mereka. Meskipun didasarkan pada

kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat

mempengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah

kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki dan

banyaknya padi di lumbung menunjukkan banyaknya kepemilikan sawa.

e).4. Adat

Ungkapan: “ada’ sipori padang, senga’ oi tondok senga’ oi serekan

bane’na”, paralel dengan peribahasa “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain

ikannya”. Artinya, setiap daerah mempunyai adat-istiadat yang berbeda, atau dapat

Page 15: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

47

juga diartikan bahwa setiap daerah memiliki aturan masing-masing yang tidak

sama. Itu sebabnya di setiap wilayah kekuasaan adat, sulit untuk menemukan yang

bersifat seratus persen sama. Meskipun demikian orang Toraja sepakat bahwa

“aluk dan adat merupakan satu kesatuan; keduanya saling berkaitan dan tidak

dapat dipisahkan. Harus pula ditekankan, bahwa aluk adalah sumber bagi adat.”

Istilah ada’ (Toraja) atau adat (bahasa Indonesia) berasal dari bahasa

Arab dan pada abad 17 baru muncul dalam perbendaharaan bahasa Toraja setelah

orang Toraja menjalin hubungan perdagangan kopi dengan orang Bugis yang

menerima pengaruh kebudayaan dan agama Islam dari Arab. Makin populer pada

tahun 1946, sejak Luwu dan Toraja dipisah menjadi dua Swapraja. Pemisahan itu

segera diikuti dengan pembentukan sebuah lembaga adat yang disebut Tongkonan

ada’ (mengikuti istilah lembaga adat Luwu). Sejak saaat itu boleh dikatakan adat

telah menggeser fungsi aluk. Dalam berbagai upacara orang tidak lagi memakai

kata aluk, melainkan kata ada’ = adat (meskipun yang dimaksud adalah

pelaksanaan aluk). Orang Toraja menerima perubahan itu, upacara aluk disamakan

dengan upacara ada’ (adat), karena dianggap tidak berbeda. Nama berganti tetapi

isi dan pelaksanaannya tidak ada yang berubah.

Sebelum orang Toraja menjalin hubungan dengan orang Bugis, mereka

tidak mengenal istilah “adat”. Kendati demikian, di Toraja bukan tidak ada “adat”.

Adat tidak hanya kebiasaan, tetapi sekaligus Aluk. Aluk adalah tertib

kebiasaan-kebiasaan, tradisi, ketentuan-ketentuan adat berdasarkan

ketentuan-ketentuan dari langit, Aluk Sanda Pitunna (7777), beserta sanksinya

(disebut Aluk sola Pemali).

Page 16: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

48

Adat dipandang sebagai pangkal ketertiban dan keserasian dalam

masyarakat, himpunan norma-norma yang sah harus dijadikan pegangan bagi

perilaku seseorang. Jadi adat menetapkan apa yang diharuskan, dibenarkan atau

diizinkan dan yang dilarang. Dalam perspektif inilah sulitnya memisahkan antara

adat dengan agama, teristimewa di dalam agama-agama suku. Adat mencakup

segala-galanya, termasuk bentuk peraturan tindakan seremonial, kultus

agamaniah, tata hukum yang mengatur seluruh interaksi individu, keluarga dan

masyarakat secara keseluruhan.“Adat adalah padanan aluk”, tetapi pada level

implementatif, adat bertumpang tindih dengan aluk sebab adatlah yang mengatur

kehidupan”. Sebab itu, adat merupakan pelaksanaan aluk. Adat menyangkut

perilaku esensial “dalam kehidupan dan kebersamaan” (im Da – und Mit-sein).

Hubungan aluk dan adat erat sekali, dapat dikatakan bahwa aluk bersendikan adat,

dan adat bersendikan aluk. Contoh perpaduan aluk dan adat: aluk rambu solo’

sering juga disebut ada’/adat Toraja, yakni cara menguburkan orang mati.

e).5. Kebudayaan

Dalam kosa kata Toraja, istilah “kebudayaan” tidak dikenal. Begitu pula

dengan istilah adat yang berasal dari bahasa Arab. Kendati demikian, wawasan

adat atau ketentuan-ketentuan yang mengatur cara hidup orang Toraja sudah ada

sebelum istilah Arab itu mulai digunakan. Kebudayaan adalah “hasil cipta

manusia, baik material maupun spiritual”. Jadi, yang disebut kebudayaan Toraja

ialah segala sesuatu yang menyangkut aluk dan tata cara pergaulan dan kehidupan

sehari-hari baik di dalam kehidupan sosial, ekonomi, kesenian, politik dan

Page 17: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

49

sebagainya. Kebudayaan bagi orang Toraja sangat berhubungan dengan aluk dan

adat, bisa juga disebut tiga kaki tungku.

Pada mulanya aluk mengawasi kehidupan di langit. Lalu ia diturunkan ke

bumi. Implementasi aluk menghasilkan adat. Selanjutnya kehidupan di dunia ini

diatur oleh adat berdasarkan aluk. Hidup menurut adat berarti membiarkan diri

dipimpin oleh aluk dan adat dalam berpikir, merasa dan bertindak. Jadi,

kebudayaan adalah produk aluk dan adat, tidak dapat dipisahkan darinya. Inilah

yang dimaksud aluk yang bersifat “holistik” dan “integratif”. Dia mempersatukan

segalanya menjadi satu kesatuan. Sebab implementasi aluk dan adat dengan

sendirinya menghasilkan kebudayaan. Kebudayaan menampakkan diri di tiga

bidang kehidupan:

a) Kebudayaan sebagai gagasan (idea), nilai atau keyakinan

b) Kebudayaan sebagai aktivitas

c) Kebudayaan sebagai pencapaian secara teknis

Ketiga unsur kebudayaan ini tidak terpisahkan. Ketiganya menyangkut cara hidup

yang holistik dan inklusif.

Sebelum agama monoteis muncul, pada umumnya kebudayaan di dunia

bercorak religious, bahkan berasas pada agama. Telah diuraikan di atas bahwa

aluk, adat dan kebudayaan saling berkaitan dan betapa ketiganya tidak mungkin

dipisahkan satu dengan yang lainnya. Adat adalah aluk dalam pengamalan aluk,

sedangkan kebudayaan, baik seginya yang spiritual maupun yang material adalah

produk aluk dan adat. Tidak satupun kebudayaan, termasuk kebudayaan yang

rasionalistis-sekunder yang dapat dibayangkan terlepas dari agama atau paling

Page 18: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

50

tidak terlepas dari salah satu keyakinan. Oleh sebab itu masalah kebudayaan juga

merupakan masalah agama dan keyakinan.

Kebudayaan dalam bahasa Toraja modern, disebut pa’pana’ta’, yang

merupakan istilah modern, tetapi merujuk ke “barang lama”. Kata dasarnya adalah

a’ta’, yang berarti “merentangkan”. Pa’pana’ta’ adalah kata benda dan

mengungkapkan “sesuatu yang direntangkan”. Pa’pana’ta’ adalah sesuatu yang

dipelihara, diatur, dijaga, dikembangkan, yang merupakan hasil suatu pekerjaan.

Dengan demikian, pa’pana’ta’ mengandung arti “kebudayaan”, “hasil kegiatan

yang berdasarkan gagasan atau keyakinan”.

Salah satu contoh budaya Toraja, yaitu budaya kombongan kalua’ tahun

1947 dalam rangka penetapan usulan nama Tana Toraja menjadi nama Kabupaten

Daerah Tingkat II, yang diangkat sebagai kasus untuk distudi dalam tesis ini.

Sebelum kasus ini diuraikan lebih jauh (di bagian 3.7), maka terlebih dahulu

digambarkan secara ringkas tentang budaya kombongan (bagian 3.5.1.) dan asal

usul kata “Toraja” (bagian 3.6.).

c).5.1. Budaya Kombongan (ma’kombongan)c).5.1.1. Nilai Dasar

Budaya kombongan merupakan budaya bermusyawarah dalam

masyarakat Toraja, dan dalam tingkatan musyawarah besar disebut kombongan

kalua’. Sampai sekarang, masyarakat Toraja masih memelihara dan melakukan

budaya ini untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupan, baik di

dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Budaya kombongan menjadi sarana

berdemokrasi dalam masyarakat Toraja. Nilai-nilai yang mendasari pelaksanaan

budaya kombongan, yaitu: Pertama, dasar teologis, dalam kepercayaan Aluk

Page 19: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

51

diceritakan bahwa sebelum penciptaan dilakukan, maka para dewa (Pong Banggai

Rante, Pong Tulak Padang, dan Gaun Tikembong) mengadakan kombongan

kalua’ di langit. Kombongan kalua’ tersebut berlangsung lama (liku lambe’na

kombongan kalua’). Musyawarah ini dianggap sebagai prototype musyawarah

untuk mufakat, dan sebagai model demokrasi yang asli oleh masyarakat Toraja.

Kedua, dasar filosofis, penelitian antropolog mengatakan bahwa nenek

moyang orang Toraja itu adalah to lembang (manusia perahu) gelombang proto

Melayu yang berasal dari Tongkin, Cina. Mereka berlatar belakang pelaut, datang

dengan membawa peradaban sendiri. Hal ini dapat dilihat dari bentuk tongkonan

(rumah adat) menyerupai perahu kerajaan Cina zaman dahulu. Di perahu

(lembang) menuntut selalu terjadinya musyawarah, keputusan tidak bisa diambil

sendiri, melainkan oleh semua penghuni perahu. Masyarakat Toraja merupakan

hasil proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan

Sulawesi Selatan dengan pendatang imigran dari Teluk Tongkin (daratan China).

Proses akulturasi tersebut, berawal dari berlabuhnya imighran Indo China dengan

jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di

daerah Enrekang (Rura Bamba Puang), kemudian para imigran ini, membangun

pemukiman di daerah tersebut. Dari sana lama-kelamaan menyebar ke wilayah

lain, termasuk ke wilayah Tana Toraja dan Toraja Utara sekarang ini.

Sejak zaman dahulu nenek moyang orang Toraja membutuhkan

kebersamaan untuk menghadapi kondisi-kondisi alam dan dinamika manusia. Ini

membuat mereka berkumpul untuk bermusyawarah dan mengambil keputusan

bersama. Itu sebabnya masyarakat Toraja sekarang inipun, ketika hendak

Page 20: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

52

melakukan ritus Rambu Solo’ (upacara kedukaan), ritus Rambu Tuka’ (upacara

sukacita), menyelesaikan konflik atau merancang peraturan bersama, maka

terlebih dahulu dilakukan budaya kombongan (musyawarah).

c).5.1.2. Manfaat Budaya Kombongan

Manfaat budaya kombongan bagi masyarakat Toraja, yaitu:

a) Sebagai wadah musyawarah bagi rumpun keluarga dan

masyarakat sebelum melakukan upacara dukacita (Aluk Rambu

Solo’) atau upacara sukacita (Aluk Rambu Tuka’), untuk

membicarakan pelaksanaan acara tersebut.

b) Sebagai wadah musyawarah untuk merancang kegiatan bersama

dalam masyarakat, misalnya menyangkut: kebijakan peraturan

atau norma bersama.

c) Sebagai wadah solusi jika ada konflik atau perselisihan dalam

masyarakat, maka kombongan dilakukan agar integrasi sosial

tetap terpelihara dan kehidupan masyarakat tetap harmonis. Ada

ungkapan mengatakan: “kombongan untesse batu cadas”

(menjadi alat solusi masalah apapun).

d) Sebagai wadah peradilan dan penentuan sanksi bagi yang

melanggar Aluk sola Pemali, norma-norma masyarakat, dan

konsensus yang diputuskan dalam semua tingkatan kombongan

(lihat 3.5.1.4.). Ini menunjukkan bahwa dari dahulu masyarakat

Toraja tidak mengenal hukum rimba dalam menyelesaikan

masalah. Juga menegaskan bahwa dalam masyarakat Toraja,

Page 21: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

53

keputusan tidak bisa diambil sendiri, tetapi harus melalui

musyawarah bersama (kombongan).

e) Sebagai wadah pemersatu masyarakat, sebagai salah satu pilar

demokrasi dan penopang pranata sosial masyarakat Toraja.

f) Sebagai wadah untuk memilih pemimpin adat (to parengnge)

dalam masyarakat atau pemimpin di tongkonan (lihat bagian

3.3). Ini menunjukkan bahwa budaya kombongan merupakan

demokrasi ala Toraja.

f).5.1.3. Kesepakatan dalam Budaya Kombongan

Puncak dari pelaksanaan kombongan disemua tingkatan (bagian 3.5.1.4.)

yaitu tercapainya konsensus (basse) yang dikukuhkan melalui upacara ritual aluk

ma’pesung (memberi sesajen kepada dewa dan arwah leluhur). Karena aluk sangat

mempengaruhi pelaksanaan kombongan, makanya biasa pula disebut sebagai

kombongan aluk (musyawarah religi). Inilah yang membuat basse (konsensus) itu

menjadi sakral. Konsekuensinya, jika terjadi pelanggaran terhadap basse

kombongan, itu bukan hanya menjadi persoalan sosial tetapi juga menjadi

persoalan religious. Karena itu, dalam perspektif budaya Toraja, konsensus

(basse) yang dikukuhkan dengan Aluk bertujuan untuk memelihara hubungan yang

baik dengan para dewa dan relasi sosial tetap harmonis.

Selanjutnya ketika “legalisasi” kata adat = ada’ dalam masyarakat Toraja

semakin kuat dan maknanya “dianggap” menyatu, sama dan sangat berkaitan

dengan aluk (bagian 3.4 di atas), maka kombongan yang dilaksanakan biasa juga

dinamakan kombongan ada’. Di setiap tongkonan dan wilayah kekuasaan adat ada

Page 22: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

54

tokoh adat (pemimpin adat) yang berperan memimpin pelaksanaan kombongan

ada’. Keputusan yang dicapai menjadi keputusan adat yang harus ditaati bersama.

f).5.1.4. Jenis Kombongan

Kombongan dilaksanakan secara berjenjang menurut tingkatnya, yaitu:

a) Kombongan Tongkonan

Ini merupakan kombongan yang berada ditingkat terendah, karena hanya

dilaksanakan oleh anggota rumpun keluarga (rapu tallang) yang ada di suatu

tongkonan (rumah adat). Membicarakan segala persoalan yang berkaitan dengan

anggota rumpun keluarga di tongkonan tersebut, biasanya menyangkut ritual

Rambu solo’ atau ritual Rambu Tuka’. Konsensus (basse) dan sanksi yang

disepakati dalam kombongan ini mengikat seluruh keluarga yang ada di tongkonan

tersebut.

b) Kombongan Saroan atau Penanian.

Kombongan ini dilaksanakan oleh kampung kecil (setingkat RT), dan

biasanya dilaksanakan di tongkonan kaparengnge’san (atau sesuai kesepakatan

warga Saroan atau Penanian). Mengkaji dan membuat kesepakatan khususnya

yang berkaitan dengan gotong-royong kelompok atau menyelesaikan kasus tanah

hak milik bersama atas tanah atau hutan. Jika ada masalah yang tidak bisa

diselesaikan, maka selanjutnya masalah itu dibawa ke kombongan Karopi (tingkat

dusun). Konsensus (basse) dan sanksi yang disepakati dalam kombongan ini

mengikat seluruh anggota Saroan atau Penanian.

c) Kombongan Bua’ atau Karopi

Page 23: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

55

Di laksanakan di tingkat dukuh atau dusun, dan biasanya dilaksanakan di

tongkonan kaparengnge’san (atau sesuai kesepakatan warga Bua’ atau Karopi’).

Biasanya dilaksanakan tiap tahun atau apabila ada hal yang khusus terjadi dalam

masyarakat. Kombongan dilaksanakan secara demokratis, sehingga

kadang-kadang terjadi perdebatan yang sengit. Di sini kecenderungan rakyat

meminta pertanggungjawaban dari To Parengnge’ = peminpin (lih footnote no 30

Bab III) atas pelaksanaan adat dalam wilayahnya sehingga biasanya kombongan

menjadi ajang Pengadilan To Parengnge’. Yang dibahas biasanya kemungkinan

merubah, mencabut aturan-aturan adat yang dianggap tidak relevan lagi lalu

merumuskan aturan adat yang dianggap bisa diterima masyarakat dan

diberlakukan. Karena itu, semua proses berasal dari usulan masyarakat dan jika

ada masalah yang tidak dapat diselesaikan, maka masalah itu diajukan ke

kombongan sang lembangan (tingkat distrik-luak). Konsensus (basse) dan sanksi

yang disepakati dalam kombongan ini mengikat seluruh warga Bua’ atau Karopi’

yang bersangkutan.

d) Kombongan sang Lembangan

Kombongan ini dilaksanakan di tingkat distrik (luak), dan biasanya

dilaksanakan di tongkonan kaparengnge’san (atau sesuai kesepakatan warga

Lembang). Ini merupakan kombongan yang tertinggi dalam wilyah adat misalnya

Sang Nanggalan (nama kecamatan). Dilakukan setiap tahun atau apabila ada

hal-hal khusus yang dianggap penting. Dihadiri oleh To Parengnge’, tokoh agama,

pemuka adat dan tokoh masyarakat. Konsensus (basse) dan sanksi yang disepakati

dalam kombongan ini mengikat seluruh warga Lembang yang bersangkutan.

Page 24: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

56

e) Kombongan Kalua’

Kombongan kalua’ atau musyawarah besar etnis Toraja (sang Torayan)

untuk merumuskan dan memusyawarahkan aturan-aturan yang menyangkut antar

Lembang, atau hal-hal yang menyangkut eksistensi seluruh etnis Toraja (sang

Torayan). Dalam perjalanan sejarah suku Toraja, ada beberapa kali dilakukan

kombongan kalua’ antara lain: peristiwa tonna tallan (peristiwa tenggelamnya)

Londong di Rura, kombongan kalua’ tahun 1680, dan tahun 1710, kombongan

kalua’ tahun 1947, kombongan kalua’ tahun 1953, dan kombongan kalua’ tahun

1958. Namun yang distudi dalam tesis ini yaitu kombongan kalua’ tahun 1947

(selanjutnya akan dibahas dibagian 3.7.).

Puncak pelaksanaan kombongan kalua’ yaitu tercapainya konsensus

(basse), dan sanksi jika ada yang melanggar basse, dilanjutkan dengan melakukan

ritus ma’pesung, untuk mengukuhkan konsensus (basse). Karena itu konsensus

(basse) yang dihasilkan merupakan konsensus sakral, maka jika ada yang

melakukan pelanggaran terhadap konsensus kombongan kalua’, itu bukan hanya

menjadi persoalan sosial tetapi juga menjadi persoalan religious. Kombongan

kalua’ yang dibuat manusia, merupakan prototype kombongan kalua’ yang dibuat

para dewa di langit sebelum melakukan penciptaan (lihat footnote no 10 Bab III).

Sesuai tingkatan urgensinya, maka kombongan kalua’ dapat dihadiri oleh

representasi masyarakat Toraja. Oleh karena pertimbangan efesiensi, maka setiap

distrik atau wilayah kekuasaan adat yang ada di Toraja masing-masing dapat

mengutus wakilnya. Biasanya yang diutus adalah to parengnge (pemimpin)

wilayah adat. Kombongan kalua’ biasanya dilaksanakan di lapangan terbuka atau

Page 25: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

57

tongkonan kaparengngesan yang memungkinkan, sebab banyak orang yang hadir.

Page 26: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

58

Page 27: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

59

e).5.2. Kesakralan Konsensus Kombongan Kalua’

Dalam perspektif Aluk, pelaksaan kombongan kalua’ itu mempunyai

dasar kepercayaan aluk, karena kombongan kalua’ pertama kali dimulai oleh para

dewa: Gaun Tikembong, Pong Banggai Rante, dan Pong Tulak Padang

mengadakan “kombongan kalua” di langit (lihat footnote no 10 Bab III). Ini

menjadi inspiring model kombongan kalua’ yang dibuat oleh manusia di bumi.

Karena legitimasi aluk itulah yang membuat orang Toraja menganggap kesakralan

konsensus (basse) kombongan kalua’ itu luar biasa.

Upacara ritus dipimpin oleh To Minaa (imam Aluk) ditandai dengan

adanya penyembelihan korban babi atau kerbau untuk ritus ma’pesung. To Minaa

Page 28: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

60

mengucapkan mantar doa dan sumpah sakti yang isinya tekad untuk setia kepada

konsensus (basse) kombongan kalua’ serta sanksi bagi yang melanggar konsensus

(basse), lalu memberikan korban sesajen kepada dewa dan arwah leluhur. Ritus

ma’pesung diikuti oleh peserta kombongan kalua’. Ritus ma’pesung menjadi

tanda legitimasi kesakralan konsensus (basse) dengan darah korban (dipato’doi

rara). Yang melanggar konsensus ini kena sanksi hukuman yang dianggap sangat

manjur karena bersifat langsung dan objektif, yaitu tulah dari para dewa atau

arwah leluhur. Ini menunjukkan bahwa kekuatan moral, kepercayaan, ritus dan

komunitas (umat), sangat berkontribusi kuat mengkonstruksi kekutan basse

(konsensus) dalam kombongan kalua’ menjadi sangat sakral.

e).5.3. Sanksi Bagi Pelanggaran Konsensus Kombongan Kalua’

Prinsip tiga kaki tungku, yaitu aluk, adat dan kebudayaan dianggap

menyatu dan mewujud dalam seluruh kehidupan orang Toraja (lihat 3.2). Artinya,

seluruh kehidupan ini merupakan totalitas dari aluk, dan ini bersifat integratif,

sehingga ketaatan dan kesetiaan kepada Puang Matua, bukan hanya pada level

seremonial ritus saja melainkan totalitas kehidupan ini. Karena itu konsensus

kombongan kalua’, harus ditaati sebab berada dalam pengawasan aluk.

Sanksi bagi yang melanggar konsensus kombongan kalua’ ada dua

macam yaitu: Pertama, oleh karena konsensus dikukuhkan melalui ritus aluk,

maka yang melanggar konsensus itu bukan hanya merupakan masalah sosiologis

tetapi juga merupakan masalah religious. Dalam konteks aluk, sanksi bagi yang

melanggar konsensus diyakini ada yang bersifat langsung kena tulah dari dewa

atau arwah leluhur. Kedua, ada pula sanksi yang diputuskan dalam kombongan

Page 29: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

61

kalua’ yang dihadiri oleh para pemangku aluk dan adat, bentuk sanksi tergantung

bobot pelanggaran yang bersangkutan. Sanksi yang diberikan bisa berupa

pembinaan dengan membayar denda: berupa ayam, babi, atau kerbau; ada sanksi

dalam bentuk dipasung, diali lanmai tondok (diusir keluar dari kampung),

dilammu’ diong salu (ditenggelamkan di sungai), diekke barokona (dicekik

lehernya), ditunu (dibakar), atau sebagai korban seperti hewan dalam adat barata.

Adat barata masih berjalan sampai masuknya Pemerintah Kolonial

Belanda (awal abad 19) di Toraja. Barata bukanlah aluk, tetapi hanya sebagai adat

yang dinilai ‘tidak manusiawi’ oleh Belanda karena itu dilarang. Saat ini masih

ada beberapa tongkonan di Toraja yang menyimpan tengkorak kepala manusia

kurban barata. Ini sebagai tanda bahwa turunan dari tongkonan tersebut adalah

turunan pemberani serta turunannya dahulu ada yang dimakamkan dengan upacara

adat barata. Tongkonan demikian mempunyai status yang tinggi dalam

masyarakat, merupakan tongkonan penguasa dan pemberani.

e).5.4. Pemulihan Setelah Pelanggaran

Pemulihan terhadap pelanggar norma dalam masyarakat atau konsensus

kombongan harus ditetapkan kembali melalui kombongan untuk mengetahui

tingkat pelanggarannya terhadap Aluk sola Pemali, dan kemungkinan untuk

diberikannya pemulihan bagi si-pelanggar. Istilah yang digunakan dalam hukum

sebab-akibat yaitu dipaolai salunna, atas dasar inilah To mina dan To Parengnge’

mengadakan upacara pemulihan dengan mengadakan ritus massuru’ (pengakuan

dan pembersihan dosa). Hewan yang dikorbankan dalam upacara pemulihan itu

ditanggung oleh oknum yang telah melakukan pelanggaran.

Page 30: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

62

e).6. Asal Usul Kata TorajaMenurut N. Adriani dan A.C. Kruyt; H. van der Veen, juga Hetty

Nooy-Palm, para peneliti antropolog, linguis dan etnolog lainnya dari Barat,

Toraja dilokalisasi di Sulawesi bagian tengah dan selatan. Daerah pesisir Sulawesi

Selatan dan Tengah pada umumnya dihuni oleh orang-orang Bugis. Ketika peneliti

itu tiba, mereka mendengar dari orang Bugis bahwa penghuni pedalaman, dalam

hal ini daerah pengunungan, adalah “orang Toraja”. Mereka dinamakan To Ri-aja;

To = tau = orang; Ri-aja = di (dari) atas. Jadi, Toraja adalah orang-orang dari atas

yang bermukim di pegunungan, orang-orang gunung. Penamaan demikian tidak

ada salahnya, namun dalam pemakaiannya nama itu mendapat konotasi negatif,

semacam “orang terbelakang”, “primitif”. Ada pula yang mengatakan bahwa kata

“Toraja” berasal dari paduan kata to dan Rajang, yang berarti “orang-orang dari

sebelah Barat”. To Rajang mungkin diberikan oleh orang Bugis yang bermukim di

daerah pesisir Luwu, sebelah Timur kawasan pegunungan Toraja.

Versi yang lain mengatakan bahwa nama Toraja diberikan oleh orang

Makassar di Kerajaan Gowa untuk menyebut seorang raja yang berasal dari daerah

pengunungan di utara, mereka menyebutnya: “tau raya” (tau = to = orang; raya

berasal dari kata Maraya = besar, tapi dalam bahasa Makassar raya = utara), jadi

Toraja berarti “orang besar atau bangsawan yang datang dari utara”. Secara

linguistis, kata Maraya atau maraja turun dari kata raya atau raja, yang berarti

“mulia”; to maraya atau to maraja berarti “yang sangat mulia”; padanannya dalam

bahasa Indonesia “maharaja” (raja mulia, raja di atas raja); pakaraya berarti:

memuliakan, memuji.

Page 31: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

63

Hal ini didukung oleh Prof. A. Zainal Abidin dalam bukunya: Wajo Abad

XV, yang dikutip oleh Frans B. Palebangan mengatakan bahwa: kebangsawanan

Bugis tidaklah lengkap tanpa Toraja. Hal yang sama (di dalam Lontara = naskah

sejarah tulisan asli bahasa Bugis) diungkapkan oleh raja-raja kerajaan di

Sidenreng, Barru, Sengkang, dan beberapa raja kerajaan kecil Sulsel lainnya,

selain Kerajaan Gowa, Luwu dan Bone, bahwa darah biru yang mengalir di dalam

tubuh mereka berasal dari Toraja. Versi ini didukung oleh mitologi Puang

Lakipadada (ceritera singkatnya di footnote no 3 Bab III) yang mengisahkannya

sebagai leluhur para raja dari beberapa suku yang ada di Sulawesi Selatan. Para

leluhur itu berasal dari daerah sebuah keluarga bangsawan di daerah Toraja yang

disebut Tana Toraja, ‘negeri para raja’. Pandangan ini diperkuat dengan ciri

dominan kebudayaan Toraja: dari dahulu sampai sekarang derajat kebangsawanan

masih nampak dalam masyarakat.

Versi yang lain mengatakan, di sebelah barat Luwu’, di mana dataran

pantai yang sempit, beralih menjadi daerah pegunungan, terdapat wilayah yang

bernama Raja. Daerah ini terletak di “Basse Sangtempe’”, yang pernah

memainkan peran besar dalam sejarah Luwu’. Sanggalangi’ (seorang pahlawan)

menolong Datu (Raja) Luwu’ dalam pertikaian dengan Bone, lalu sebagai tanda

terima kasih Datu Luwu’ dan Sanggallangi’ mengadakan perjanjian dengan nama

“Basse Sangtempe’”. Wilayah ini sering pula diberi nama “nasipi’ batu batoa”,

karena ia terletak antara dua batu (kekuatan), yaitu Luwu’ dan Sangalla’; ma’tau

Sangalla’, dan ma’tana Luwu’, artinya: “orang dari Sangalla’ dan tananya adalah

Luwu’”.

Page 32: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

64

Di Basse Sangtempe (kini satu kecamatan) terletak teritorium yang

namanya Raja. Bisa saja orang Luwu’ telah menggunakan “Toraja” sebagai

penamaan terhadap orang-orang yang datang dari Raja sebagai satu daerah, tetapi

dapat juga berarti: orang yang datang dari “atas”. Di Tana Toraja para penghuni

dari Raja dengan sendirinya disebut To Raja; to (tau) lo’mai (lau’ mai) Raja,

artinya orang dari Raja yang ada dibagian selatan. Di sebelah selatan Toraja, di

Kabupaten Enrekang, ada Kecamatan yang bernama Anggeraja, artinya: “sampai

di sini Raja, batas Raja”.

Menurut Kobong, ‘orang Toraja Selatan’ yang disebut dalam penelitian

A.C. Kruyt, justru menamakan diri “Toraja”. Sekarang, daerah yang menamakan

“Toraja” yaitu Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara. Meskipun,

sebutan peneliti bagi ‘orang Toraja Selatan’ itu adalah mereka yang mendiami

daerah aliran sungai Sa’dan, sehingga sering disebut Toraja Sa’dan, yaitu

Kabupaten Tana Toraja, Toraja Utara, Massendrengpulu’ (Endrekang), Luwu,

Polewali, Mamasa dan Mandar.

Nama (kata) Toraja baru dikenal sejak abad ke-17 Masehi, sejak adanya

perdagangan kopi dari Toraja dengan daerah di sekitarnya, utamanya daerah

kerajaan Bugis Luwu’ dan Bugis Sidendreng. Tetapi ketika pemerintah kolonial

Belanda ke Toraja pada 12 Maret 1906, yang didorong oleh politik kolonisasi

untuk berdagang kopi Toraja. Belanda pun mulai khawatir terhadap pesatnya

penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, terutama di antara suku Makassar dan

Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang

potensial untuk dikristenkan. Kemudian pada tahun 1909 Belanda-lah yang

Page 33: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

65

memakai nama Toraja untuk menamai suku ini, sekaligus “melegitimasi” nama

yang diberikan oleh suku Bugis. Menurut Bigalke, baru pada tahun 1934 untuk

pertama kali orang Toraja memakai bentuk tulis kata “Toraja” untuk memberikan

perhatian pada (suku) bangsa dan daerah orang Toraja. Nama Toraja pun makin

melekat bagi suku Toraja.

Untuk menumbuhkan kesadaran etnis bagi orang Toraja, maka pada

tahun 1936 didirikanlah Perserikatan Toradja Christen (P.T.C.) yang diketuai oleh

J. Sampe Pongrante, dan organisasi-organisasi lainnya tumbuh oleh orang-orang

muda di tahun 1930-an yang kembali dari Jawa dipengaruhi oleh ide

nasionalisme, dan demam “sumpah pemuda” 1928. Meskipun demikian, baru

zendinglah kemudian Gereja Toraja yang memberi makna kepada konsepsi Toraja

itu. Sejak 1937, zending mendiskusikan pendewasaan Gereja Toraja; mereka

bahkan telah memilih nama tersebut (Gereja Toraja) sebagai cikal bakal gereja

mandiri itu. Tahun 1947 nama gereja Toraja itu secara resmi disahkan dalam

persidangan sinode I (25 – 28 Maret 1947 di Rantepao). Menurut Bigakle, nama

“Toraja” muncul dalam usaha PI (Pekabaran Injil) di Sulawesi Selatan dan

Sulawesi Tengah yang bercita-cita mengkristenkan seluruh wilayah Sulawesi

tengah (termasuk daerah Toraja Selatan). Bigalke menduga sangat kuat bahwa

Adriani dan Kruyt yang mencetuskan dan mendorong pemakaian nama itu.

Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara sebagai dua daerah

atministratif sekarang ini, tidak boleh diidentikkan dengan etnis “Toraja”, sebab

akan mengerdilkan makna “Toraja” itu sendiri. Sesungguhnya wilayah etnis

“Toraja” itu memiliki cakupan yang lebih luas dari pada Kabupaten Tana Toraja

Page 34: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

66

dan Kabupaten Toraja Utara, sebab Toraja dalam arti yang lebih luas ini meliputi

pula daerah Kota Madya Palopo, Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara,

Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Polewali, Kabupaten Mamasa dan

Massenreng Pulu’ (Kabupaten Enrekang). Bahkan menurut antropolog Belanda

Kruyt dan Adriani, Toraja itu sampai ke wilayah Sulawesi Tengah (lihat 3.1.).

Batasan wilayah etnis Toraja pun dapat dibandingkan dengan wilayah pelayanan

gereja Toraja yang tidak terbatas pada Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten

Toraja Utara, tetapi mencakup semua orang yang menyebut dirinya “Toraja”

artinya sama dengan suku Toraja, tanpa menjadi eksklusif.

Sebelum nomenclature ‘Toraja’ muncul, sebenarnya daerah ini diberi

nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo, artinya “Negeri dengan bentuk

Pemerintahan dan Kemasyarakatannya merupakan suatu kesatuan yang bulat

bagaikan Bulan dan Matahari“. Filosofi yang mendalam terhadap pengertian ini

mencakup suatu negeri yang bentuk pemerintahan dan masyarakatnya merupakan

suatu kesatuan yang utuh dan bulat dan tak terpisahkan sepanjang masa bagaikan

matahari disiang hari dan bulan dimalam hari. “Tondok Lepongan Bulan” (bumi

berbentuk bulan) adalah “bumi sempurna” yang disimbolkan dengan idiom

“lepongan” (= lingkaran) berkonotasi sejajar dengan makna “kesempurnaan”. Di

sisi lain, dengan gelarnya sebagai “Tana Matari’ Allo” yang berarti “negeri

matahari bersinar”, wilayah ini dipandang sebagai “negeri abadi”. Pandangan itu

terungkap dari simbol makna kata “Matari’ Allo” (= ”cahaya matahari”) yang

dipertalikan dengan konotasi makna kata “keabadian”.

Page 35: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

67

Gelar “bumi sempurna” dan “negeri abadi”, memang menunjukkan ciri

khas daerah Toraja yang harmonis dan penduduknya ramah, sekaligus sebagai

corak dan warna kehidupan bagi setiap manusia Toraja yang memiliki motivasi

kehidupan yang tinggi dalam simbol “barre’ allo” (matari’ allo = cahaya

matahari), ini merupakan salah satu motif ukiran rumah adat Toraja = tongkonan

dan lumbung = alang. Sementara “lepongan bulan” (= lingkaran bulan)

mengungkapkan makna simbolik bahwa orang Toraja memiliki norma-norma dan

etika bermasyarakat, taat dan sopan santun terhadap sesama dan seluruh makhluk

bumi. Karenanya, kedua simbol ini disatukan menjadi nama gelaran bagi daerah

Toraja yaitu “Tondok Lepongan Bulan - Tana Matari’ Allo” yang selalu

dilekatkan pada bagian depan rumah (tongkonan) dan lumbung (alang), agar

selalu terukir dan melekat dalam hati sanubari setiap orang Toraja yang lahir dari

dalam rumah Tongkonan itu, atau bagi setiap generasi orang Toraja.

Nama Tondok Lepongan Bulan - Tana Matari’ Allo, mempunyai latar

belakang yang bermakna persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari

berbagai wilayah adat. Akibatnya, Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh

seorang penguasa (raja) tunggal, tetapi masing-masing wilayah kekuasaan adat

(distrik) diperintah oleh pemangku adat-nya masing-masing, bersifat otonom di

wilayah kekuasaan adat. Namun tahun 1906 pasukan penjajah Belanda menjajah

Toraja. Pada tahun 1925 daerah ini dijadikan sebagai Onderrafdeling dibawah

Selfberstuur Luwu di palopo yang terdiri dari 32 Landschaap (distrik) dan 410

kampung dan sebagai controleur yang pertama yaitu H.T. Manting.

Page 36: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

68

e).7. Studi Kasus Kombongan Kalua’ dalam Rangka PenetapanNama Tana Toraja

Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang

mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja

status regentschap, tepatnya tanggal 16 Oktober 1946 dengan Besluit LTGG

tanggal 8 Oktober 1946 Nomor 5 (Stbld. 1946 Nomor 105) Onderrafdeling

Makale - Rantepao dipisahkan dari Swapraja Luwu yang berdiri sendiri dibawah

satu pemerintahan yang disebut Tongkonan Ada’, yang terdiri dari 32 Landschaap

(distrik) dan 410 kampung. Saat itu yang berperan sebagai controleur adalah K.

van Liejf, dibantu asistennya Adrial Duma Andilolo (Puang Makale = pemimpin

adat Makale saat itu). Pada saat Pemerintahan berbentuk Serikat (RIS) tahun 1949,

Tongkonan Ada’ diganti dengan suatu pemerintahan darurat yang beranggotan 7

(tujuh) orang dibantu oleh satu badan yaitu Komite Nasional Indonesia (KNI)

yang beranggotakan 15 (lima belas) orang.

Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Selatan

Nomor 482, Pemerintah Darurat dibubarkan dan pada tanggal 21 Februari 1952

diadakan serah terima Pemerintahan kepada Pemerintahan Negeri (KPN) Makale -

Rantepao, yaitu kepada Wedana Andi Achmad, dan pada saat itu wilayahnya

terdiri dari 32 Distrik, 410 Kampung yang kemudia dirubah menjadi 15 Distrik

dan 133 Kampung. Berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1957

dibentuk Kabupaten Tana Toraja, yang peresmiannya dilakukan pada tangga 31

Agustus 1957 dengan Bupati Kepala Daerah pertama bernama Lakitta.

Sebelum terbentuknya Kabupaten Daerah Tingkat II Tana Toraja, maka

pada tahun 1947 dilaksanakan budaya kombongan kalua’ untuk menentukan nama

Page 37: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

69

Kabupaten Tana Toraja. Controleur adalah K. van Liejf, dibantu asistennya Puang

Adrial Duma Andilolo sebagai pengurus Tongkonan Ada’ mengundang

tokoh-tokoh agama (Aluk, Islam dan Kristen), para pemimpin 32 wilayah

adat/distrik (laki-laki dan perempuan) untuk mengadakan kombongan kalua’ di

kota Makale, dengan agenda tunggal penetapan nama Tana Toraja sebagai nama

usulan ke pemerintah Provinsi dan pemerintah Pusat untuk menjadi nama acuan

dalam rangka pembentukan Kabupaten Derah Tingkat II Tana Toraja.

K. van Liejf dibantu asistennya puang Adrial Duma Andilolo memimpin

acara kombongan kalua’ saat itu. Ada dua usulan nama yang serius diperdebatkan

oleh peserta yaitu: antara Tondok Lepongan Bulan dan Tana Matari’ Allo, kedua

usulan nama ini memang secara sosial budaya, filosofis, historis dan Aluk Toraja

punya dasar yang kuat (sebagaimana diuraikan 3.6 di atas). Namun kedua usulan

nama itu ditolak oleh orang Toraja Barat, karena menganggap Matari’ Allo =

‘matahari terbit’, sedangkan mereka berada di Barat, tempat terbenamnya

matahari. Selanjutnya disetujui untuk mengangkat 7 disktik utama yang bakal

menjadi BPH untuk mengusulkan nama. Ketujuh distrik utama itu ialah:

Nanggala, Pangala, Kesu’, Madandan, Sangalla, Makale, dan Ulu Salu.

Kombongan kalua’ berjalan sampai tiga hari tetapi belum berhasil

memutuskan nama. Dalam kondisi lelah dan nyaris belum ada titik temu, maka

datanglah Tandi Karrang (seorang klerk = juru tulis Kruyt dan Adriani, antropolog

Belanda), kebetulan membawa dua buku tentang Toraja dalam bahasa Belanda

yang ditulis oleh Adriani Nicolaus, en Alb. C. Kruyt, De Bare sprekende Toradjas

van Midden-Celebes, (Batavia: Landsdrukkerij, 1912); dan bukunya A.C. Kruyt,

Page 38: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

70

“De Bua’’ en enige andere feesten der Toradja’s van Rantepao en Makale”

(1921). Berdasarkan inspirasi dari buku itulah, dan didorong oleh keprihatinan

melihat kondisi kombongan kalua’ belum juga ada titik temu, maka ia

membisikkan kepada puang A. Duma Andilolo dan K. van Liejf agar daerah ini

dinamakan: ’Tondok Toraya’.

Mendengar itu, controleur K. van Liejf mengatakan: goed, goed, goed...,

lalu disampaikan kepada 32 pemimpin wilayah adat (to parengnge): Apakah

semua to parengnge setuju nama Tondok Toraya diusulkan kepada pemerintah

provinsi dan kepada pemerintah pusat, menjadi nama Kabupaten Daerah Tingkat

II? Lalu serempak semua peserta berteriak setuju. Selanjutnya K. van Liejf

menjelaskan visinya tentang nama itu agar dapat diterima oleh orang Toraja yang

Islam dan orang Toraja yang berada di luar 32 distrik (Makale-Rantepao) yaitu

mereka yang ada di Poso, Masenrengpulu dll, maka K. van Liejf mengusulkan

agar kata ’Tondok’ diganti ’Tana’ dan kata ’Toraya’ diganti ’Toraja’, jadi Tondok

Toraya menjadi Tana Toraja. K. van Liejf menegaskan bahwa dengan nama Tana

Toraja, ini menjadi kampung halaman (tongkonan) bagi semua etnis Toraja baik

yang ada di 32 distrik (Makale-Rantepao) maupun mereka yang ada di luar distrik

itu, pun bagi orang Toraja yang Islam. Tana Toraja menjadi kampung halaman

(tongkonan) yang dirindukan oleh semua yang merasa menjadi etnis Toraja

dimanapun berada. Semua peserta kombongan kalua’ menerima dan menyetujui

penjelasan K. van Liejf tentang visi nama Tana Toraja.

Kombongan kalua’ berhasil membuat konsensus (basse) tentang nama

Tana Toraja. Konsensus (basse) yang dihasilkan selanjutnya dikukuhkan dalam

Page 39: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

71

upacara ritus Aluk ma’pesung, diakhiri dengan penanaman pohon lamba’, di kota

Makale. Berdasarkan konsensus (basse) kombongan kalua’ 1947 inilah, maka

diusulkan nama Tana Toraja menjadi nama Kabupaten Daerah Tingkat II.

Akhirnya, Kabupaten Daerah Tingkat II Tana Toraja diresmikan pada tanggal 31

Agustus 1957 berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1957.

Selanjutnya pada tanggal 26 Nopember 2008 diresmikan Kabupaten Toraja Utara

berdasarkan Undang–Undang No 28 Tahun 2008 yang merupakan pemekaran dari

Kabupaten Tana Toraja sebagai Kabupaten induk.

e).8. Makna yang Terkandung dalam Budaya Kombongan Kalua’

Semboyan orang Toraja yaitu: “misa’ kada dipotuo, pantan kada

dipomate” menyemangati pelaksanaan budaya kombongan kalua’. Demikian

kuatnya semboyan itu, sehingga menguatkan integrasi sosial dan solidaritas sosial

masyarakat Toraja, sebagaimana diungkapkan dalam lagu daerah: Basseta Toraya.

Lagu itu membantu orang Toraja menikmati makna yang terkandung dalam

budaya kombongan kalua’. Adapun makna yang terkandung dalam budaya

kombongan kalua’, antara lain:

a) Integrasi Sosial

Sejak dahulu kala sistem “sosial politik” wilayah kekuasaan adat etnis

Toraja bersifat otonom, masing-masing punya pemimpin, karena itulah tidak ada

satu Raja yang berkuasa di Toraja, tetapi berada dalam bentuk konfederasi sub-sub

etnik. Tetapi pada tahun 1925 daerah ini dijadikan sebagai Onderrafdeling

dibawah Selfberstuur Luwu di palopo yang terdiri dari 32 Landschaap (distrik)

Page 40: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

72

dan 410 kampung. Meskipun demikian, semangat integrasi sosial yang selalu

dijunjung tinggi ketika melakukan kombongan kalua’. Hal itu dibuktikan ketika

melaksanakan kombongan kalua’ tahun 1947, walaupun berjalan sangat alot

selama tiga hari tetapi semua peserta setia menjalaninya tanpa ada yang

memaksakan kehendak sampai menghasilkan konsensus bersama penetapan nama

Tana Toraja. Hal tersebut sangat dipengaruhi nilai kerukunan, kedamaian dan

keharmonisan (karapasan) yang dijunjung tinggi dalam kehidupan masyarakat

Toraja, sehingga ketika kombongan kalua’ dilakukan nilai-nilai tersebut menjiwai

suasana kombongan kalua’. Nilai-nilai tersebut sangat berkontribusi kuat

menciptakan integrasi sosial masyarakat Toraja.

b) Kolektifitas (kohesi sosial)

Walaupun bentuk “sosial politik” 32 wilayah kekuasaan adat masyarakat

Toraja itu bersifat otonom dan berbentuk konfederasi sub-sub etnik, tetapi

semboyan: “misa’ kada dipotuo, pantan kada dipomate” (bersatu kita teguh,

bercerai kita runtuh) mampu memperlihatkan kohesi sosial yang sangat kuat

dalam masyarakat Toraja. Hal itu dibuktikan ketika kombongan kalua’ tahun 1947

telah mencapai konsensus bersama, semua peserta menerima tanpa ada yang

memprotes. Hal ini menunjukkan adanya kepercayaan (trust) dari masyarakat

Toraja kepada setiap perwakilan wilayah adat yang terlibat dalam kombongan

kalua’, karena konsensus (basse) yang dihasilkan dinilai itulah yang baik.

Partisipasi dari masyarakat dengan menerima dan menghargai konsensus (basse)

kombongan kalua’ menegaskan adanya trust dari masyarakat kepada proses yang

berlangsung dalam budaya kombongan kalua’.

Page 41: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

73

Konsensus yang dihasilkan dalam kombongan kalua’ 1947 mampu

menciptakan persekutuan yang kuat (kohesi sosial) masyarakat Toraja. Hal itu

sejalan dengan nilai “kedamaian demi persekutuan” yang sangat diprioritaskan

dalam masyarakat Toraja. Nilai persekutuan (kohesi sosial) sangat diapresiasi

masyarakat Toraja, bahkan rela berkorban demi mempertahankan persekutuan.

Makna kehidupan persekutuan ialah hidup dalam kedamaian dan keharmonisan

(karapasan). Simbol persekutuan itu berbasis di Tongkonan. Persekutuan yang

kuat itu, diwujudkan dalam hidup gotong-royong dan tolong menolong.

c) Penghargaan Eksistensi

Penghargaan terhadap apapun eksistensi dan latar belakang orang yang

terlibat dalam kombongan kalua’ menunjukkan kesetiaannya kepada Puang

Matua. Lalu diwujudkan dalam sikap saling menghormati, sehingga kombongan

bisa mengambil keputusan dengan damai. Sikap ini menunjukkan bahwa

masyarakat Toraja menjunjung tinggi penghargaan terhadap perbedaan dan

pluralitas yang ada dalam masyarakat. Peserta yang hadir dalam kombongan

kalua’ tahun 1947 dari latar belakang yang heterogen, yaitu ada yang beragama

Aluk, Islam, Kristen, secara gender tokoh adat yang hadir ada laki-laki dan

perempuan, ada pula orang Belanda controleur K. van Liejf (bahkan ia yang

memimpin acara tersebut). Mereka saling menghargai dan menghormati sehingga

menghasilkan konsensus bersama tentang nama Tana Toraja. Sikap seperti itu

sangat mendukung terwujudnya integrasi sosial masyarakat Toraja.

Dalam proses bermusyawarah (kombongan), banyak ungkapan-ungkapan

dalam masyarakat Toraja yang punya nilai penghargaan terhadap eksistensi orang

Page 42: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

74

lain, misalnya: tidak boleh memotong pembicaraan (tang umpantarai sadangna

tau), menginterupsi dengan cara sopan (tabe’ = maaf tangkupolo basami atau

tabe’ tangkudoloi tua’mi). Hal-hal itu sangat berkontribusi bagi tercapainya

konsensus (basse) dalam kombongan kalua’ dengan tenang dan damai.

d) Sakral

Menurut kepercayaan Aluk, kombongan kalua’ yang dibuat di bumi ini

merupakan prototype kombongan kalua’ para dewa di langit. Karena itu,

konsensus (basse) yang dihasilkan dalam kombongan kalua’ diyakini memiliki

nilai sakral. Makna sakral ini diaktualisasi dalam sikap hidup: dalam kesetiaan,

kejujuran dan kedamaian (harmoni), memelihara keutuhan masyarakat, integrasi

sosial, menghargai eksistensi orang lain dan tidak menonjolkan diri. Hal itu

dilakukan sebagai respons terhadap keyakinan otoritas Puang Matua yang turut

mengawasi konsensus (basse). Inipun menegaskan bahwa, totalitas hidup itu harus

sakral karena berada dalam pengaturan aluk.

Dalam konteks kombongan kalua’ tahun 1947, kesakralan konsensus

(basse) yang dihasilkan yaitu adanya pengakuan kesetaraan bagi semua peserta

yang hadir walaupun dari berbagai latar belakang agama (Aluk, Islam dan Kristen),

bahkan orang Belanda controleur K. van Liejf banyak berperan dalam kombongan

kalua’ itu dihargai, sehingga bisa menghasilkan kesepakatan bersama tentang

nama Tana Toraja. Ini menegaskan bahwa budaya kombongan kalua’ mampu

mengintegrasikan semua kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat, sehingga

kehidupan sosial masyarakat Toraja tidak ambruk.

Page 43: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

75

d).9. Hubungan Kombongan Kalua’ dan Integrasi SosialMasyarakat Toraja

Orang Toraja sangat mengapresiasi persekutuan sebagai nilai yang sangat

tinggi. Misa’ kada dipotuo, pantan kada dipomate (bersatu kita teguh, bercerai

kita runtuh) sama dengan ungkapan Inggris: “united we stand, divided we fall”,

itu adalah maslah hidup atau mati. Prinsip ini mempengaruhi pikiran masyarakat

Toraja ketika melaukan kombongan kalua’ dan melakukan dengan jujur dan setia

konsensus (basse) yang dihasilkan. Misalnya ketika tercapainya konsensus (basse)

kombongan kalua’ To Pada Tindo di abad 17 untuk bertekad melawan invasi

kerajaan Bone ke Toraja, maka To Pada Tindo dan masyarakat Lepongan Bulan

(Toraja) saat itu berhasil mengalahkan kerajaan Bone walupun Bone dibantu oleh

kerajaan Gowa dan Mandar, sementara itu Toraja hanya dengan persenjataan yang

sangat sederhana dan pasukan terbatas. Berikutnya, ketika kombongan kalua’

tahun 1947 berhasil mencapai konsensus (basse) penetapan nama Tana Toraja,

maka semua masyarakat Toraja yang berada di 32 distrik wilayah adat yang

otonom itu menerima dan menghargai keputusan tersebut. Nama Tana Toraja

mengintegrasikan masyarakat yang berada dalam 32 distrik dengan berbagai

macam agama (ada Aluk, Islam dan Kristen).

Hal ini menunjukkan bahwa kuatnya nilai konsensus (basse) yang

dihasilkan dalam budaya kombongan kalua’, berkorelasi positif terhadap kuat dan

tingginya integrasi sosial dalam masyarakat Toraja, dan berhubungan pula

terhadap kuatnya kohesi sosial masyarakat Toraja. Karena itu, sangat logis ketika

budaya kombongan (musyawarah) dan kombongan kalua’ (musyawarah besar)

Page 44: GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT TORAJA …...yaitu: suku Toraja, suku Bugis, suku Ta Ala’ (Luwu’) dan suku Makassar. Puang Lakipadada adalah seorang bangsawan Toraja, keturunannyalah

76

masih dipelihara, dihargai dan dilakukan oleh masyarakat Toraja sampai sekarang.