sejarah gajah mada wajib direvisi
DESCRIPTION
umumTRANSCRIPT
Sejarah Gajah Mada Wajib Direvisi
Oleh : Sufyan Al Jawi (Arkeolog di Numismatik Indonesia)
Historyografi (Penulisan Sejarah) suatu bangsa merupakan kewajiban dari bangsa itu sendiri.
Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarahnya. Ilmu sejarah itu
dinamis, tidak statis. Meskipun kedinamisan dalam ilmu sejarah itu lamban, dan bisa berubah
apabila ditemukan bukti-bukti baru yang akurat. Tentu harus dengan kaidah Historyografi,
yaitu : ilmiah – berdasarkan fakta bukan spekulasi, jujur tidak ada yang ditutupi dan netral
terlepas dari kepentingan politik/agama tertentu.
Untuk menulis sejarah tidak bisa hanya dengan membaca buku-buku status quo, itu berarti
merupakan pengulangan/saduran saja. Juga tidak cukup dengan kajian tesis sejarah dikampus
dan seminar, tapi wajib riset di lapangan, observasi mencari situs tersembunyi, ekskavasi
situs, dan bila perlu melakukan forensik.
Historyografi merupakan ilmu yang mulia. Bagi orang-orang beriman, bahkan Tuhan pun
menulis sejarah dalam kitab-kitab suci melalui Nabi-Nabi Nya, yaitu Zabur, Taurat, Injil dan
Al Quran. Sehingga, penulisan sejarah tokoh-tokoh yang tidak disukai orang banyak pun
harus ditulis secara akurat. Tuhan menjadikan Namrud, Qarun, Firaun dan lainnya sebagai
monumen sejarah, agar menjadi pelajaran bagi manusia. Sejarah itu logis dan bisa dibuktikan
keasliannya.
Sejak JLA Brandes, NJ Krom, dan JH Kern dari tahun 1902-1920 menulis sejarah bangsa
kita, tentang Majapahit dan Sriwijaya secara sudut pandang Barat (Modern), banyak
sejarahwan menulis puluhan buku tentang Majapahit. Namun tak ada satu pun yang berhasil
mengungkap jatidiri tokoh besar Majapahit, mahapatih Gajah Mada.
Sungguh aneh dan miris! Karena begitu besarnya nama Gajah Mada, tapi tidak diketahui asal
usulnya? Sehingga meimbulkan spekulasi beberapa daerah yang mengklaim Gajah Mada
berasal dari daerah mereka, tanpa di dasari oleh fakta yang akurat.
Gajah Mada berasal dari Desa Mada
Hal ini berbeda dengan folklore Mada (cerita rakyat Modo –
Lamongan) yang telah berabad-abad lamanya diwariskan secara turun temurun, dengan detail
menjelaskan jati diri Gajah Mada alias Jaka Mada (nama beliau saat masih kecil, diasuh oleh
petinggi desa Mada sejak bayi, dilahirkan dari rahim Dewi Andong Sari-selir Raden Wijaya-
ditengah hutan Cancing, Ngimbang). Ketika kanak-kanak, Gajah Mada menjadi pengembala
kerbau di desanya, bersama teman-temannya, ia sering melihat iring-iringan tentara
Majapahit yang gagah-gagah sehingga timbul keinginan untuk menjadi prajurit Majapahit.
Sekian ratus tahun folklor itu terpendam, dan baru budayawan Lamongan Viddy Ad Daery
yang berani mengungkap dan mengangkat hal itu di forum nasional maupun Internasional,
meski dengan resiko dikritik dan dicaci-maki oleh orang-orang yang picik visinya.
Perlu diketahui bahwa folklore Mada (Lamongan) terkait dengan folklor Badander
(Jombang). Badander adalah desa kuno yang disebut oleh manuskrip kitab-kitab kuno sebagai
tempat Gajah Mada menyembunyikan Prabu Jayanegara dari kejaran tentara pemberontak Ra
Kuti. Desa Mada (Modo) dan desa Badander merupakan basis Gajah Mada (banyak teman
masa kecilnya), dan letaknya tidak terlalu jauh dari ibukota Majapahit – Trowulan.
Ketika menginjak usia remaja, Jaka Mada diajak oleh kakek angkatnya yang bernama Ki
Gede Sidowayah ke Songgoriti, Malang. Dari Malang itulah Jaka Mada meniti karier sebagai
prajurit Majapahit, yang kelak beliau dikenal dengan nama Gajah Mada (Orang besar dari
desa Mada). Berdasarkan folklore ini diduga Gajah Mada memang berasal dari desas Mada
(Modo), Lamongan-Jawa Timur. Namun folklore ini masih harus diperkuat dengan fakta
akurat lainnya, tidak cukup hanya didukung oleh situs berupa Makam Ibunda Gajah Mada –
Dewi Andong Sari.
Baru-baru ini tim riset Yamasta yang terdiri dari Viddy Ad Daery, Sufyan Al Jawi, dan Drs.
Mat Rais telah menemukan fakta-fakta awal seputar asal usul Gajah Mada (baca berita
Kompas.com = Budayawan Temukan Situs Makam Kerabat Gajah Mada). Pencantuman
nama para peneliti merupakan tanggung jawab ilmiah, bukan cari popularitas ! Karena
apabila hasil riset tersebut ternyata keliru, maka tim yang bersangkutan harus bertanggung
jawab secara moril dengan pers rilis dan penelitian ulang.
Meluruskan Penulisan Sejarah Sebagai arkeolog dan numismatis, sejak 1994 saya terbiasa meriset / menelaah sejarah
dengan metode : Asli atau Palsu, untuk membedakan mana yang jurnal (catatan) sejarah,
mana yang opini sejarah, dan mana yang sekedar mitos (dongeng). Komitmen kami yang
bertajuk : Gajah Mada Bangkit Nusantara Berjaya, merupakan tanggung jawab besar. Maka
niat lurus, kejujuran, netralitas dan akurasi fakta menjadi kewajiban kami.
Metode riset kami tidak hanya membahas sastra berupa manuskrip kuno dan folklore saja.
Bukan sekedar bongkar pasang benang merah benda purbakala ! Tapi dilengkapi dengan
metode forensik fisik, baik itu terhadap benda purbakala, maupun terhadap sisa-sisa jenazah
(bila ditemukan) untuk memastikan usia kematian, dan rekontruksi wajah dari tokoh tersebut.
Mirip seperti riset terhadap Mummy Firaun. Dan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Selama ini buku-buku sejarah status quo banyak menyembunyikan fakta, hingga pengaburan
tokoh-tokoh pelaku sejarah besar bangsa ini. Historyografi yang akurat justru menimbulkan
dampak buruk bagi anak bangsa. Misalnya : Peristiwa Perang Bubat, yang dieksploitasi oleh
sejarawan kolonial Belanda memicu ketidak sukaan Suku Sunda terhadap Suku Jawa hingga
hari ini.
Begitu pula Peristiwa penyatuan Nusantara, yang dipelintir menjadi agresi Suku Jawa
terhadap Suku-suku lain, padahal tidak ada satu negeripun yang dijajah oleh Majapahit. Dan
peristiwa Islamnya penduduk Majapahit yang dipelintir menjadi ‗pengkhianatan‘ Walisongo
terhadap Majapahit memicu ketidak sukaan kaum kejawen (kolot) terhadap ajaran Islam.
Padahal sesungguhnya kaum kejawen ini ya Islam juga, tapi merupakan tinggalan ―Islam
Purba‖ zaman Nabi Sis, Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim sewaktu mereka di Nusantara (teori dari
Kelompok Ilmuwan Turangga Seta). Maka,Nabi Muhammad Rasulullah memang
menyatakan diri ―diutus menyempurnakan Islam‖, bukan bikin agama baru!!!
Ironisnya buku sejarah yang tidak netral ini terus menerus di produksi dan mudah di jumpai
di toko buku, perpustakaan, bahkan menjadi buku pengajaran di sekolah dan kampus.
Sehingga dapat melahirkan generasi sinisme dan pemuja perpecahan. Maka wajar jika saat ini
Nusantara terpuruk ! Tolong pikirkan, siapa yang berkeinginan agar bangsa asli pribumi
Nusantara terpecah belah dan terpuruk terus menerus ???? Anehnya banyak orang yang
menikmati dan tidak rela bila buku sejarah status quo direvisi, padahal buku sejarah bukanlah
kitab suci!
Coba kita perhatikan fakta-fakta berikut ini:
1. Celengan kuno, berbentuk patung kepala terbuat dari tembikar yang dulu populer
dibuat, diperjualbelikan oleh penduduk Majapahit sebagai tabungan koin cash
tembaga (koin Cina), kemudian hari oleh sejarawan diklaim sebagai potret/gambaran
wajah Gajah Mada ?
2. Lukisan rekayasa Gajah Mada oleh Moh. Yamin yang mirip dengan wajah beliau.
Lalu timbul spekulasi bahwa Gajah Mada berasal dari Minangkabau ?
3. Karena ditemukannya beberapa Prasasti di aliran Sungai Berantas yang menyebut
nama Gajah Mada, maka ada spekulasi bahwa Gajah Mada lahir di Malang. Padahal
pencatuman nama pejabat pada Prasasti merupakan hal yang wajar. Seperti Prasasti
Tugu yang mencantumkan nama Raja Tarumanegara, bukan berarti sang Prabu lahir
di Tugu Cilincing Jakarta Utara ? Lagi pula tidak ada folklore Malang yang berkaitan
dengan Gajah Mada.
4. Bahkan ada spekulasi radikal dari Bali (Kitab Usana Jawa) yang menyatakan bahwa
Gajah Mada lahir dari buah kelapa yang pecah. Mirip dongeng Sun Go Kong (kera
sakti) yang lahir dari batu.
Untuk mematahkan riset dan ingin membungkam sejarah, ada pihak yang ngotot bila Gajah
Mada bukan dari desa Mada dan telah dibakar menjadi abu. Katanya Gajah Mada telah
dicandikan (mana ada Sudra dicandikan ?), Mungkin maksud mereka adalah candi yang
diresmikan oleh Gajah Mada ? Toh ketika Gayatri Rajapatni wafat, beliau yang notabene
beragama Budha, di Hindukan oleh masyarakat Majapahit lewat pembuatan patung dan
dicandikan. Kalaupun ternyata hasil riset membuktikan bahwa Gajah Mada telah jadi abu,
tidak ada kerugian apapun bagi tim riset.
Menemukan Situs Purbakala yang Belum Terungkap Tim Riset Yamasta berhasil menemukan situs-situs purbakala yang belum terungkap, seperti:
1. Situs Makam kerabat Gajah Mada di desa Modo
2. Situs Sendang dan tempat mandi Gajah Mada di desa Modo
3. Situs Prasasti Gondang di Sugio, Prasasti zaman Airlangga yang ditulis dengan huruf
Arab Pegon (Jawi) dan huruf Jawa Kuno (Kawi). Sebelas tahn yang lalu, tulisan
masih bisa terbaca. Karena terbengkalai, kena sinar Matahari dan hujan, maka tulisan
menjadi hilang. Namun secara samar-samar bisa terlihat tulisannya saat terkena blitz
cahaya tertentu.
4. Situs dusun Lukman Hakim (Lukrejo) di Kalitengah, Lamongan. Sebuah dusun yang
disebut dalam Ying Yai Sheng Lan karya Ma Huan terbit 1416-1433. Dusun (kota
baru ?) letaknya dekat dengan Bengawan Solo, aliran Bengawan Jero (Sungai
Purbakala). Dusun ini memiliki pertahanan Parit Andalusia (Parit air yang mengitari
dusun, lebarnya 8-10 m, dibentengi dengan pagar hidup pohon bambu). Pintu keluar
masuk hanya satu, 3 (tiga) pos jaga, dibangun dan dihuni oleh 3 (tiga) golongan, yaitu
: Muslim Jawa, Cina suku Tang Muslim dan Hindu Budha Jawa.
5. Situs Bawanmati di Pringgoboyo, lokasi tambangan kapal-kapal asing dan Bea Cukai
Majapahit (No.1-5 berada di Lamongan).
6. Situs Pagar Banon di desa Badander, Jombang.
Semua situs tersebut diduga merupakan benang merah asal usul Gajah Mada yang harus
diungkap secara ilmiah dengan teliti dan hati-hati. Apapun hasil riset yang ditemukan, masih
harus diuji dan dipresentasikan dengan lapang dada. Ojo dumeh (jangan mentang-mentang).
Budayawan Temukan Situs Kerabat Gajah Mada
Oleh : Drs. Mat Rais (Tim Peneliti Riset Yamasta)
Budayawan Nusantara kelahiran Lamongan, Viddy Ad Daery, yang telah banyak meneliti
mengenai Folklor Gajah Mada ―versi‖ Lamongan, dan telah mempresentasikan temuan-
temuan itu di beberapa seminar Internasional di Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei,
kini telah menemukan ―Bukti-bukti baru folklore Modo‖ berupa situs-situs yang selama ini
belum pernah diungkap.
Viddy yang baru-baru ini menjelajahi kembali ―wilayah Modo‖ Lamongan, bersama Sufyan
Al-Jawi, arkeolog dari Numismatik Indonesia, menemukan beberapa ―situs yang
mengejutkan‖ yang tentunya akan memengaruhi penulisan sejarah Indonesia. ―Teori Pak
Viddy yang saya baca di www.kompas.com (mengenai folklore Modo yang menyatakan
bahwa Gajah Mada lahir di Modo) tampaknya akan mendapat dukungan bukti-bukti kuat di
lapangan, terutama dari segi arkeologi!‖ tandas Sufyan Al-Jawi.
Temuan itu, pertama-tama dijumpai di Modo sendiri, antara
lain ialah ―makam kerabat Gajah Mada‖ yang diakui kebenarannya oleh Pak Sukardi yang
mengaku ―masih kerabat Gajah Mada‖. Pria yang berwajah dan berpostur Mongoloid ―mirip
citra Gajah Mada‖ itu, menunjuk sekelompok makam kuno yang terdapat di sudut utara
kompleks makam Medalem, Modo, Lamongan.
―Menurut cerita kakek-nenek saya, itu makam kerabat dekat Gajah Mada dan para
pengikutnya‖, tutur Pak Sukardi menunjuk sekelompok makam tua yang terdiri dari empat
makam. Empat makam itu Nampak ―lain‖, karena tidak nampak sebagai makam-makam
―modern‖ yang lain yang rata-rata diurug tinggi lalu diplester dengan ubin. Empat makam tua
itu hanya dikelilingi batu-batu kuno, dan nisan ―kuno‖nya sudah banyak yang patah, Nampak
tidak terurus.
―Nisan makam ini ada yang masih tersisa dan tampak kekunoannya, yaitu berjenis nisan dari
peradaban abad ke 15, sebelum munculnya zaman Walisongo‖, ujar Sufyan Al-Jawi.
―Dicirikan dengan lambang mahkota bunga, dan itu merupakan perpaduan kebudayaan Hindu
dan Islam‖.
Lebih lanjut Sufyan Al-Jawi menyimpulkan, bahwa ―Kerabat Gajah Mada‖ ternyata sudah
menganut kepercayaan islam, dengan bukti makamnya menghadap ke arah kiblat, dan
nisannya bercitra Islam abad ke 15.
Viddy menyatakan, meskipun makam yang ditemukan bukan atau belum mengarah ke Gajah
Mada itu sendiri, namun sudah merupakan bukti kuat bahwa Gajah Mada sangat terkait erat
dengan desa Modo, yang pada zaman Majapahit merupakan ibukota Kerajaan Pamotan atau
Kahuripan, salah satu vassal Majapahit di sebelah utara yang pernah diperintah oleh
Tribhuana Tunggadewi dan Hayam Wuruk ketika dipersiapkan untuk menerima tahta
Majapahit.
Rombongan Viddy dan Sufyan Al-Jawi seterusnya mengunjungi situs desa Garang, yang
dalam folklore Modo disebut sebagai desa perguruan silat Garangan Putih tempat Gajah
Mada muda mempelajari ilmu kanuragan. Kemudian dilanjutkan ke makam Ibunda Gajah
Mada alias Dewi Andongsari yang berada di bukit Gunung Ratu, Ngimbang dekat Modo.
Selanjutnya tim ke dusun Badander, Kabuh, Jombang di dekat Sungai Brantas, yang
ditengarai sebagai tempat Gajah Mada menyelamatkan Prabu Jayanegara dari kejaran
pasukan pemberontak Ra Kuti. Letak Badander dengan Modo, Lamongan, relatif tidak terlalu
jauh.
Menggugat Sejarah Seorang penduduk Badander (Pak Pari) yang diwawancarai oleh tim Viddy-Sufyan,
mempertanyakan, ―Kenapa buku-buku sejarah di sekolah tidak menulis yang benar? Kenapa
ditulis bahwa tempat penyelamatan Prabu Jayanegara di Dander Bojonegoro? Bagi kami
terasa aneh! Sebab menurut cerita leluhur-leluhur kami, desa kamilah, yaitu Badander,
sebagai tempat penyelamatan Prabu Jayanegara. Menurut cerita leluhur kami, Gajah Mada
menitipkan Prabu Jayanegara kepada Buyut Badander atau kepala desa kami saat itu.‖
Tim menyusuri bukti-bukti yang dikemukakan oleh Pak Pari dengan mengukur jarak antara
pusat Kerajaan Majapahit dengan Badander, Kabuh, dan menyimpulkan bahwa secara logika,
letak Badander Kabuh lebih masuk akal menjadi tempat penyelamatan Jayanegara, daripada
Dander Bojonegoro yang letaknya terlalu jauh. ―Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya tata
letak pusat pemerintahan desa yang sekarang adalah bekas lokasi pesanggrahan Buyut
Badander seperti yang diceritakan oleh masyarakat setempat, berupa Pager Banon!‖ simpul
Sufyan Al-Jawi.
Menurut Viddy Ad Daery, dalam babad-babad kuno memang ditulis bahwa lokasi desa
tempat penyelamatan Prabu Jayanegara oleh Gajah Mada adalah di Badander, bukan Dander.
―Dan itu berarti lebih mengarah Badander Kabuh. Bukan Dander Bojonegoro!‖ kata
budayawan yang kini sedang menggarap tesis Ph D itu.
Menurut Sufyan Al-Jawi penelitian ini bertujuan untuk pembuatan buku demi meluruskan
sejarah Gajah Mada yang selama ini simpang siur. Sedang bagi Viddy sendiri, di samping
untuk memperkuat teorinya, juga untuk bahan penulisan serial novelnya ―Pendekar Sendang
Drajat Misteri Gajah Mada Islam‖.
Menguak Misteri Keislaman Gajah Mada
Oleh : Sufyan Al Jawi (Arkeolog di Numismatik Indonesia)
Pernahkah pembaca berpikir bagaimana Islam dan bahasa Melayu (60% serapan dari bahasa
Arab) dapat tumbuh subur di Nusantara? Sedangkan di negeri kuno Burma, Siam, Vietnam
dan Kamboja, Islam hanya minoritas!
Kami menduga ada peran tak langsung dari politik Gajah Mada di Kerajaan Majapahit yang
nota bene bukan kesultanan Islam. Bahkan Gayatri Rajapatni- Arsitek politik Majapahit –
pun kaget dan kagum atas kemampuaan politik Gajah Mada yang baginya dianggap sudra
misterius. Dalam buku ―Gayatri Rajapatni‖ Karya Earl Drake Hal 109-117, terlihat Drake
tidak mengetahui bagaimana Gajah Mada memiliki wawasan yang luas, bahkan di luar nalar
pejabat Majapahit saat itu.
Ada beberapa politik Gajah Mada yang luar biasa, yang akhirnya membawa kejayaan bagi
Majapahit di Nusantara, seperti:
1. Memperluas wilayah Majapahit dengan menundukkan Kerajaan-kerajaan di
Nusantara, saat beliau di lantik menjadi mahapatih, dengan tekad Sumpah Palapa
(Tan ayun amukti Palapa- tidak buka puasa sebelum tercapai cita-cita, itu adalah
puasa ala nabi Daud AS).
2. Menyusun kitab hukum ―Kutara Manawa sastra‖ yang meniru Al Qanun al Azazi
(kitab Hukum syariat Islam).
3. Menerapkan Politik Bahasa penduduk, yaitu : Bagi Pribumi Jawa adalah Bahasa
Jawa, dan bagi orang luar Jawa (seberang) adalah Bahasa Melayu Islam (dengan
merombak Bahasa Melayu kuno yang bercampur Bahasa Sansekerta). Politik Bahasa
ini menyebar di seluruh Nusantara : dari Pattani , Champa, Vietnam, Malaysia,
Singapura, Indonesia, Brunei, Sulu (Moro Philipina), Darwin Australia, dan semua
negeri-negeri polinesia dan micronesia pasifik.
Ketika politik tersebut di terapkan setahap demi setahap, Gayatri Rajapatni kaget dan
terheran-heran, karena beliau lah yang mengajari Gajah Mada dalam berpolitik. Pada saat
Gajah Mada (atas saran Gayatri) akan mencaplok Bali, Gayatri khawatir atas dominasi peran
orang-orang Islam di Majapahit, meskipun muslim adalah penduduk minoritas. Apa lagi
setelah di cetaknya Koin dinar emas kerajaan Majapahit yang memuat kalimat syahadat-
meski jumlahnya tidak banyak, yang di gunakan untuk alat tukar kepada Aceh, Arab dan
India yang muslim.
Kesimpulannya, Islam bukan barang langka di Majapahit. Dalam kitab ‖Ying Yai Sheng
Lan‖ yang terbit tahun 1416-1433 (zaman Majapahit mulai mundur, tapi belum benar-benar
hancur), karya Ma Huan, juru tulis dan penterjemah Laksana Cheng Ho dalam ekspedisi
1405-1433, tertulis:
Ada tiga golongan dalam Masyarakat di Tuban, Surabaya, kota baru (dusun baru tanpa nama-
bisa jadi dusun Lukman Hakim atau kini disebut Luk rejo Lamongan ) dan kota raja
Majapahit, yaitu:
1. Kaum Muslim yang menguasai pelabuhan dan perdagangan (pribumi, Arab, India dan
keturunan campur).
2. Pendatang Cina suku Tang (juga muslim).
3. Pribumi Jawa Hindu-Budha yang tidak pakai baju, rambut terurai acak-acakan atau di
gelung, berciri wajah jelek (jarang mandi).
Bagi rakyat dan pejabat Majapahit, kaum muslim (pribumi dan pendatang) yang bercirikan
pakaian rapi, wajah cerah karena sering wudlu, santun, jujur, pandai (memiliki berbagai
keahlian—karena mereka adalah para insinyur pendatang dari Baghdad dan Andalusia Islam)
sangat disegani dan di hormati. Golongan minoritas ini mendapat posisi yang strategis dalam
struktur masyarakat Majapahit, bahkan mendapat jabatan khusus di Trowulan
kotaraja.Akhirnya merekapun mendapat fasilitas pemakaman khusus di Troloyo.
Memang pada abad pertengahan tidak lah aneh apabila dalam kerajaan besar yang bukan
kesultanan Islam memiliki jendral atau perdana menteri seorang muslim. Seperti kerajaan
Cina, kaisar Yong le yang memiliki Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam. Tetapi
dalam kasus Majapahit, Gajah Mada sengaja menyembunyikan identitas diri dan keluarganya
demi keselamatan nyawanya dari saingan politiknya.
Diduga Gajah Mada menjadi seorang muslim ketika beliau menjadi bhayangkara, atau
mungkin beberapa saat sebelum menjadi mahapatih. Itulah sebabnya, kenapa Gajah Mada
memilih bertempat tinggal di luar kompleks kraton. Tentu agar dia bisa bebas melaksanakan
ibadahnya tanpa diketahui pihak istana selain juga memudahkan rakyat jelata berhubungan
dengan beliau, tanpa mengenal protokoler kasta.
Gajah Mada pun memisahkan antara keyakinan pribadi dengan tugas Negara. Beliau
menghargai Gayatri Rajapatni yang beragama Budha, dan atas desakan Mayoritas
Masyarakat Hindu Jawa, maka Gayatri diizinkan oleh Gajah Mada untuk di-Hindukan
melalui pembuatan patung dan candi (baca buku Earl Drake ―Gayatri Rajapatni‖).
Akhir Juni 2012, kami Tim riset ―Gajah Mada Bangkit, Nusantara Berjaya‖ yang terdiri dari :
Viddy Ad Daery, Sufyan al Jawi, dan Drs. Mat Rais, secara tak terduga menemukan bukti-
bukti adanya penduduk minoritas Muslim zaman Majapahit abad 14-15, seperti ketika di
temukannya situs Medalem, Modo, Lamongan yang terdiri dari 4 (empat) buah makam
Muslim Majapahit yang di duga masih kerabat Gajah Mada. Dan kami pun menjumpai
penduduk pribumi dengan wajah dan tubuh berpostur Mongoloid.
Sumber: http://birayang.blogspot.com/2012/09/benarkah-gajah-mada-seorang-
muslim.html#ixzz2aOhzy7I0