sejarah bengkulu

30
KELOMPOK-KELOMPOK SUKU BANGSA DI PROPINSI BENGKULU O l e h Drs. Musiardanis, M.Sc. (Kepala Biro Bina Perekonomian Daerah Propinsi Bengkulu) PEMERINTAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BENGKULU 1 9 9 6

Upload: satriyo-ribowo

Post on 07-Jul-2015

279 views

Category:

Education


15 download

DESCRIPTION

SEJARAH BENGKULU

TRANSCRIPT

Page 1: Sejarah bengkulu

KELOMPOK-KELOMPOK SUKU BANGSA

DI PROPINSI BENGKULU

O l e h

Drs. Musiardanis, M.Sc. (Kepala Biro Bina Perekonomian Daerah Propinsi

Bengkulu)

PEMERINTAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BENGKULU 1 9 9 6

Page 2: Sejarah bengkulu

A. Pendahuluan.

B. Propinsi Bengkulu Selayang Pandang.

C. Bengkulu dalam Lintasan Sejarah.

D. Asal-Usul Suku-Suku Bangsa di Propinsi Bengkulu.

E. Sistim Religi dan Kepercayaan.

F. Sistim Upacara.

G. Adat Perkawinan.

H. Sistim Kekerabatan.

A. PENDAHULUAN Sehubungan dengan surat dari Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas)

tanggal 5 Maret 1996 Nomor : B/318/08/29/12/SET yang menyatakan bahwa pada

tanggal 9 Nopember 1995, atas kerjasama antara Lemhanas dengan Perhimpunan

Persahabatan Indonesia-Portugal, telah dilaksanakan suatu seminar di Lemhanas yang

bertemakan "Pendayagunaan Potensi Etnik dalam Pembangunan Nasional". Dari seminar

tersebut telah berhasil dihimpun berbagai pokok pikiran yang pada dasarnya bertumpu

pada pandangan akan pentingnya pengenalan secara lebih mendalam mengenai berbagai

corak ragam kelompok etnik yang ada di bumi Nusantara, agar dapat lebih memperkokoh

persatuan dan kesatuan bangsa serta dapat dijadikan acuan dalam memanfaatkan

potensi yang besar dari seluruh kelompok etnik yang ada, sebagai modal dasar dalam

pembangunan bangsa dan negara.

Sebagai tindaklanjut dari pokok-pokok pikiran yang muncul dari seminar tersebut, maka

Lemhanas bermaksud untuk menyusun sebuah buku yang berisikan kumpulan tulisan

mengenai kelompok-kelompok etnik yang ada di setiap Propinsi di Indonesia.

Sehubungan dengan maksud Lemhanas tersebut maka Propinsi Bengkulu mencoba untuk

menyajikan tulisan berjudul " Kelompok-Kelompok Suku Bangsa di Propinsi Bengkulu ",

yang berupaya untuk menyajikan secara singkat dan sederhana mengenai berbagai aspek

kehidupan suku-suku bangsa terbesar di Propinsi ini, yaitu Suku Rejang dan Suku

Serawai. Tulisan mengenai kedua suku tersebut disusun sedemikian rupa dengan

metoda ancangan (approach) yang bersifat deskriptif. Dengan metoda tersebut, tulisan

ini hanya menguraikan berbagai aspek kehidupan suku-suku yang hidup di Propinsi

Bengkulu, tanpa bermaksud untuk melakukan analisis dan menarik suatu kesimpulan dari

analisis tersebut.

Page 3: Sejarah bengkulu

B. PROPINSI BENGKULU SELAYANG PANDANG Propinsi Daerah Tingkat I Bengkulu terletak di Pantai Barat pulau Sumatera dibentuk

pada tanggal 18 Nopember 1968 berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1967 Juncto

Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1968. Propinsi Bengkulu dengan luas 19.978 Km2

terdiri dari 3 (tiga) Kabupaten, 1 (satu) Kotamadya Daerah Tingkat II, 31 Kecamatan, 28

Perwakilan Kecamatan dan 1.083 Desa/Kelurahan. Pembagian wilayah Propinsi Daerah

Tingkat I Bengkulu adalah sebagai berikut : Kabupaten Daerah Tingkat II Bengkulu

Selatan; Rejang Lebong; Bengkulu Utara, dan Kotamadya Daerah Tingkat II Bengkulu.

Sedangkan jumlah penduduk Propinsi Bengkulu pada akhir tahun 1994 berjumlah

1.320.400. jiwa, dengan pertumbuhan selama 3 tahun terakhir (1990 s/d 1993) rata-rata

sebesar 3,9 % per tahun.

Luas Propinsi Bengkulu adalah 1.978.870 Ha. Dari luas ini, 50,58 % boleh dibudidayakan

sedangkan 49,42 % tetap dipertahankan sebagai hutan untuk fungsi konservasi alam,

terutama untuk tata air, kesuburan tanah, dan iklim. Secara administratif batas wilayah

Propinsi Bengkulu adalah sebagai berikut :

a. Di sebelah Utara berbatasan dengan Propinsi Sumatera Barat.

b. Di sebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Jambi dan Sumatera Selatan.

c. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Propinsi Lampung.

d. Di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.

Secara geografis Propinsi Bengkulu terletak di antara 101001'dan 103046' Bujur Timur

serta 2016' dan 5031' Lintang Selatan. Propinsi Bengkulu terletak di sisi bagian Barat

bukit barisan, dengan dataran rendah yang sempit di bagian Barat (sepanjang pantai)

dan dataran Tinggi bagian Timur dengan keadaan permukaan yang berbukit. Iklim di

Propinsi Bengkulu ditandai dengan jumlah curah hujan tahunan yang cukup tinggi,

bervariasi antara 2000 sampai 6000 mm/pertahun. Jumlah hari hujan bervariasi antara

100 sampai 250 hari pertahun. Suhu udara rata-rata 25,60C. Suhu minimum berkisar

antara 21,40C sampai 22,50C dan suhu maksimum rata-rata antara 31,40C sampai

32,50C. Kelembaban udara rata-rata di atas 50 % dengan lama penyinaran matahari

rata-rata 6 jam perhari dan penguapan rata-rata 4 mm perhari. Keadaan angin di Propinsi

Bengkulu dominan dari arah Barat dan Selatan. Kecepatan rata-rata 8 Km/jam, dengan

kecepatan maksimum rata-rata 34 Km/jam dan kecepatan maksimum absolut pernah

mencapai 81 Km/jam.

Page 4: Sejarah bengkulu

Propinsi Bengkulu dialiri lebih dari 120 sungai yang berhulu pada sisi Barat Bukit Barisan

dan bermuara ke Samudera Hindia. Sungai-sungai tersebut dimanfaatkan untuk

memenuhi kebutuhan air bersih, pembangkit tenaga listrik, irigasi, dan angkutan sungai.

Sumber daya mineral yang terdapat di Propinsi Bengkulu berupa: emas, perak, tembaga,

seng, timah hitam, mangan, batu bara, pasir besi, pasir kwarsa, gamping, kaolin,

belerang, fospat, marmar, dan lain-lain. Sebagian mineral tersebut seperti emas dan batu

bara sudah dieksploitasi untuk keperluan dalam negeri dan luar negeri, sedangkan

potensi yang lainnya belum diusahakan. Keadaan flora di Propinsi Bengkulu terdiri dari

berbagai jenis tumbuh-tumbuhan tropis basah yang mempunyai nilai ekonomis tinggi,

yaitu hasil kayu dan non-kayu. Di samping itu banyak terdapat jenis angrek hutan serta

bunga Raflesia dan berbagai fauna seperti harimau, gajah, badak, tapir, babi hutan dan

lain-lain.

C. BENGKULU DALAM LINTASAN SEJARAH Sekitar abad ke-12 sampai abad ke-17 di daerah Bengkulu terdapat kerajaan-kerajaan

kecil antara lain:

1. Kerajaan Selebar di Daerah Pelabuhan Pulau Baai dan Jenggalu, Bengkulu Selatan.

2. Kerajaan Sungai Serut di Bengkulu.

3. Kerajaan Sungai Lemau di Pondok Kelapa Bengkulu Utara.

4. Kerajaan Empat Petulai di Daerah Rejang Lebong.

5. Kerajaan Indera Pura di Muko-Muko Bengkulu Utara.

6. Kerajaan Sungai Itam di Daerah Lebak Bengkulu Utara.

7. Kerajaan Gedung Agung dan Manau Riang di Bengkulu Selatan.

Sampai pada akhir abad ke-15 kerajaan-kerajaan kecil di daerah Bengkulu berada di

bawah pengaruh Kerajaan Majapahit yang mengalahkan Sriwijaya pada abad ke 13.

Dalam periode ini kerajaan-kerajaan kecil di daerah Bengkulu, khususnya di daerah

Rejang Lebong, dipimpin oleh para Bikaw atau Biksu (pimpinan agama Budha) yang

datang dari kerajaan Sriwijaya. Dan dalam periode ini pula di Bengkulu berkembang

tulisan asli daerah dengan abjad Ka Ga Nga. Setelah kekuasaan kerajaan Majapahit

mundur pada pertengahan abad ke-16 kerajaan-kerajaan kecil di daerah Bengkulu masuk

ke dalam pengaruh Kesultanan Banten, terutama di daerah pantai mulai dari kerajaan

Selebar di Sungai Jenggalu sampai batas sungai Urai di Bengkulu Utara. Sejak pengaruh

dari Kesultanan Banten itulah agama Islam masuk Ke Bengkulu. Sementara itu sejak

permulaan abad ke-17 berkembang pula pengaruh dari Kerajaan Aceh dari Utara melalui

hubungan dagang terutama dalam perdagangan lada dan juga membawa pengaruh

dalam perkembangan agama Islam. Khusus terhadap kerajaan Sungai Lemau kira-kira

Page 5: Sejarah bengkulu

pada permulaan abad ke-17 berkembang pula pengaruh dari Kerajaan Melayu "Pagar

Ruyung".

Pada kurun waktu antara 1685-1824, Dalam masa pemerintahan Inggris selama + 140

tahun tidak banyak terjadi perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat Bengkulu

karena pemerintah Inggris pada masa itu hanya memusatkan perhatian pada penguasaan

perdagangan lada dan kopi saja, tidak mencampuri urusan pemerintahan atau

kemasyarakatan. Peninggalan-peninggalan dari pemerintah Inggris yang masih terdapat

di Bengkulu saat ini antara lain Benteng Marlborough dan beberapa monumen lainnya di

kota Bengkulu, bekas Benteng "Fort York" dibagian Utara kota Bengkulu, Fort Anna di

Muko-Muko dan Fort Linau di Bintuhan.

Dalam kurun waktu dari 1824 sampai dengan 1942 Propinsi Bengkulu berada di bawah

pemerintahan Hindia Belanda. Berbeda dengan periode pemerintahan Inggris

sebelumnya, dalam periode Pemerintahan Hindia Belanda selama + 118 tahun kehidupan

masyarakat di daerah Bengkulu sepenuhnya berada di bawah kekuasaan penjajah, baik

dalam penguasaan bidang pemerintahan bahkan sampai mencampuri kehidupan

kemasyarakatan dan adat istiadat. Pada masa ini, pemerintah telah mencoba melakukan

pembakuan hukum adat bagi suku-suku yang hidup di daerah Bengkulu. Upaya

pembakuan hukum adat, yang disebut Undang-Undang Simbur Cahaya, dilakukan pada

tanggal 21 Februari 1862 oleh J. Walland, Asisten Residen yang mengepalai wilayah

Bengkulu pada masa itu. Pada tahun 1862 itu juga, Sultan Muko-Muko menetapkan kitab

undang-undang bagi masyarakat di kesultanan Muko-Muko yang disebut Oendang-

Oendang Moeko-Moeko.

Pembakuan hukum adat untuk masyarakat di daerah Bengkulu seperti tersebut di atas

ternyata menimbulkan keresahan di kalangan anak negeri. Banyak kalangan masyarakat

berpendapat bahwa banyak hal dalam undang-undang Simbur Cahaya yang bertentangan

dengan dengan adat-istiadat yang selama ini berlaku dalam kehidupan masing-masing

suku di Bengkulu. Hal ini menyebabkan adat-istiadat yang selama ini berlaku semakin

terdesak oleh undang-undang yang baru, dan membuka peluang pula tindakan

sewenang-wenang dari para penguasa. Dengan timbulnya keresahan ini maka mulai

tahun 1909 (pada masa pemerintahan Residen O.L. Helfrich) dilakukan penyusunan ulang

undang-undang adat daerah Bengkulu. Penyusunan undang-undang baru dilakukan oleh

suatu permusyawaratan besar oleh masing-masing afdeeling dan onderafdeeling. Dalam

Page 6: Sejarah bengkulu

tahun 1910, Undang-Undang Adat Lembaga untuk setiap afdeeling (onderafdeeling) telah

rampung disusun, dan pada tahun 1911 undang-undang tersebut disahkan oleh residen.

Periode Pemerintahan Militer Jepang (1942-1945), sebagai mana halnya di daerah-daerah

lainnya di Indonesia, kehidupan rakyat di daerah Bengkulu dalam periode ini sangat

menderita. Rakyat ditindas, diperas dan dihina. Hasil bumi dan harta benda rakyat

dirampas untuk kepentingan Jepang. Tenaga rakyat diperas sebagai tenaga Romusha

untuk mendukung kepentingan Jepang dalam upaya memenangkan peperangan Asia

Timur Raya. Dalam periode ini kehidupan rakyat sangat melarat, penyakit merajalela,

mental dan daya imajinasi rakyat menjadi sangat merosot.

Dalam periode Kemerdekaan, perjalanan sejarah Propinsi Bengkulu dapat dibagi-bagi

dalam beberapa periode, yakni :

1. Bengkulu sebagai bagian dari Propinsi Sumatera Selatan (1945-1968).

Periode ini dapat dibagi lagi atas dua bagian yaitu :

a. Zaman revolusi (1945-1950).

Pada zaman revolusi rakyat di daerah Bengkulu terlibat penuh secara aktip dalam

gerakan melawan dan mengusir penjajah mulai dari gerakan merebut senjata dari tentara

Jepang di Kepahiang, Curup dan Manna, sampai pada perang melawan tentara Belanda

yang berusaha untuk mencengkeramkan kembali kekuasaan di Bumi pertiwi ini. Dalam

perang mempertahankan kemerdekaan, rakyat Bengkulu menjalankan taktik perang

gerilya dengan sistem Bumi hangus. Banyak bangunan-bangunan peninggalan

pemerintah Hindia Belanda seperti gedung-gedung dan jembatan-jembatan dihancurkan

dalam rangka untuk memutuskan hubungan dalam gerak kembali pemerintahan penjajah

dipersada Bumi pertiwi ini. Sebagai akibat dari pada takti Bumi Hangus itu yang tidak

segera dibangun kembali mengakibatkan Daerah Bengkulu semakin terisolasi baik antar

daerah Bengkulu sendiri maupun terhadap dunia luar.

b. Periode terisolasi dan terbengkalai (1950-1968).

Keadaan terisolir dan terbengkalai yang jauh dari sentuhan pembangunan selama priode

yang cukup lama yaitu lebih dari 30 tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik

Indonesia (sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak Alamsyah Ratu Prawiranegara

dalam sambutannya pada acara reuni para tokoh pejuang se wilayah Sumatera bagian

Selatan di Bengkulu pada tanggal 16 Januari 1988) Daerah Bengkulu seolah-olah hilang

dari peta Indonesia. Pada waktu itu banyak orang Indonesia tidak mengetahui bahwa

Propinsi Bengkulu merupakan sebagian dari Negara kesatuan Republik Indonesia ini.

Page 7: Sejarah bengkulu

Keadaan terisolir dan terbengkalai yang cukup lama itu mengakibatkan Daerah Bengkulu

jauh ketinggalan hampir dalam segala bidang dibandingkan dengan daerah lain.

2. Periode Bengkulu sebagai Propinsi (sejak 18 November 1968).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1967 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor

20 Tahun 1968 Propinsi Bengkulu lahir pada tanggal 18 November 1968. Propinsi

Bengkulu lahir dalam Zaman orde baru dan hampir bersamaan dengan saat dimulainya

pembangunan lima tahun (Pelita) pertama. Namun karena Propinsi Bengkulu baru

terbentuk maka pada Pelita pertama belum banyak pembangunan yang dapat

dilaksanakan karena pada saat itu Propinsi Bengkulu masih disibukkan dengan konsolidasi

aparatur pemerintahan baik dalam pembentukan kelembagaan maupun dalam merekrut

tenaga pegawai. Demikian pula dalam Pelita kedua Propinsi Bengkulu masih disibukkan

dengan kegiatan konsolidasi aparatur pemerintahan namun kegiatan pembangunan

sudah lebih banyak dibandingkan dengan Pelita pertama.

Sampai pada awal Pelita ketiga kondisi daerah Bengkulu masih dalam keadaan terisolasi

di mana hubungan baik antar daerah dalam Propinsi Bengkulu sendiri maupun keluar

daerah masih sangat sulit, penduduk masih sangat kurang yaitu + 654.000 jiwa,

kehidupan ekonomi rakyat masih lemah, produksi bahan pangan masih minus dan

pendidikan masih ketinggalan jauh dibandingkan dengan daerah lain. Baru setelah Pelita

ketiga pelaksanaan pembangunaan dapat berjalan dengan pesat, isolasi terbuka,

swasembada pangan tercapai, penduduk berkembang dengan cepat melalui transmigrasi

baik umum maupun spontan dan pendidikan berkembang dengan pesat.

D. ASAL-USUL SUKU-SUKU BANGSA DI PROPINSI BENGKULU

Di Propinsi Bengkulu terdapat cukup banyak suku bangsa yang memiliki ciri-ciri budaya

sendiri. Setiap suku bangsa tersebut memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda satu

sama lain. Suku-suku bangsa yang telah hidup secara turun temurun di Propinsi Bengkulu

antara lain adalah : suku bangsa Rejang; suku bangsa Serawai, suku bangsa Melayu

Bengkulu, suku bangsa Pasemah, suku bangsa Lembak, suku bangsa Muko-Muko, Suku

bangsa Enggano, suku bangsa Kaur dan sebagainya.

Dari berbagai suku bangsa yang hidup di Bengkulu tersebut, mayoritas penduduk asli

berasal dari suku bangsa Rejang (yang tersebar di Kabupaten Rejang Lebong dan

Bengkulu Utara) dan Serawai --- yang sebagian besar berada di wilayah Kabupaten

Bengkulu Selatan. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini fokus utama yang menjadi sorotan

Page 8: Sejarah bengkulu

adalah kehidupan dan adat istiadat suku bangsa Rejang dan Serawai, tanpa bermaksud

untuk mengabaikan keberadaan suku-suku bangsa lainnya.

1. Suku Bangsa Rejang.

Asal usul suku Rejang hingga saat ini masih belum diketahui secara jelas. Kisah-kisah

mengenai suku Rejang sampai saat ini hanya didasarkan pada keterangan-keterangan

ahli Tembo dan Adat Rejang. Menurut Tembo dan Adat Rejang, suku Rejang berasal dari

Bedaracina yang datang ke Daerah Bengkulu melalui Pagarruyung dan menetap di suatu

lembah subur, yang kemudian mereka sebut Renah Sekalawi. Orang pertama yang

memimpin suku bangsa Rejang adalah Sutan Sriduni.

Setelah berkembang, keturunan rombongan pertama yang dipimpin oleh Sutan Sriduni

menganggap bahwa Renah Sekalawi merupakan tanah asal-usul mereka. Dalam

perkembangan selanjutnya suku Rejang terbagi dalam empat kelompok besar yang

disebut Petulai. Keempat Petulai tersebut masing-masing dipimpin oleh seorang pimpinan

yang disebut Ajai. Keempat Ajai tersebut adalah :

a. Ajai Bintang, memimpin di Sadei (desa) Pelabai Lebong yang terletak di Marga Suku IX

Kecamatan Lebong Utara;

b. Ajai Siang, memimpin di Sadei Siang Lakat yang terletak di Marga Jurukalang

Kecamatan Lebong Selatan;

c. Ajai Malang, memimpin di di Sadei Bandar Agung yang terletak di Marga Suku IX

Kecamatan Lebong Utara; dan

d. Ajai Begelang Mato, memimpin di Sadei Kutai Belek Tebo, yang terletak di Marga Suku

VIII Kecamatan Lebong Selatan.

Selanjutnya suku Rejang didatangi oleh empat orang bangsawan dari Kerajaan Sriwijaya

yang mampu menanamkan pengaruhnya kepada suku Rejang. Keempat bangsawan ini

kemudian kawin dengan puteri-puteri para Ajai dan selanjutnya diangkat menjadi

pimpinan ke empat Petulai. Keempat bangsawan Sriwijaya tersebut diberi gelar Bikaw

(berasal dari kata Biku atau Biksu) dan masing-masing memimpin satu kesatuan

kekeluargaan yang diberi nama sesuai dengan identitas kelompok masing-masing. Para

Bikaw dan kelompok masyarakatnya tersebut adalah :

a. Bikaw Sepanjang Jiwo, memimpin Marga Tubai yang terletak di Pelabai;

b. Bikaw Bermano, memimpin Marga Bermani yang terletak di Kutei Rukam dekat dusun

Tes sekarang;

Page 9: Sejarah bengkulu

c. Bikaw Bejenggo, memimpin marga Selupuak yang terletak di Batu Lebar dekat

Anggung Rejang di Kesambe;

d. Bikaw Bembo, memimpin marga Jurukalang yang terletak di Suka Negeri dekat Tapus

(hulu Sungai Ketahun).

Keempat kelompok masyarakat di bawah pimpinan para Bikaw kemudian disebut Rejang

Empat Petulai (Jang Pat Petulai), yang terdiri dari Petulai Tubai (Tubai), Petulai

Jurukalang, Petulai Selupuak dan Petulai Bermani. Pada masa itu di setiap Petulai

terdapat Kuteui (desa yang berdiri sendiri) sebagai suatu kelompok masyarakat hukum

adat di bawah Petulai. Kepala Kuteui di sebut Tuai Kuteui dan dalam menjalankan

pemerintahannya dibantu oleh Kepala Sukau/Sadei.

Dari generasi ke generasi Petulai-Petulai tersebut tersebar ke wilayah-wilayah sepanjang

aliran sungai Musi, Sungai Ketahun, Sungai Kelingi, pesisir pantai, dan tempat-tempat

lainnya. Dalam tembo tempat-tempat perpindahan ini disebut Sindang Empat Lawang,

Sindang Beliti, Ulu Musi, Renah Pesisir dan Renah Ketahun.

Di sekitar awal abad XVII Masehi, diadakan permufakatan besar suku bangsa Rejang

yang dipimpin oleh Petulai dan pecahan-pecahan Peulai dari keempat wilayah Lebong.

Permufakatan besar ini bertujuan untuk membina persatuan dan kesatuan suku bangsa

Rejang. Keputusan-keputusan penting dari permufakatan besar tersebut antara lain :

a. Seluruh daerah yang didiami oleh suku bangsa Rejang dibagi dalam empat Luak, yaitu

Luak Lebong, Luak Ulu Musi, Luak Lembak Beliti dan Luak Pesisir.

b. Pecahan-pecahan Petulai Tubai di luar wilayah Lebong diakui keberadaannya dan

disebut Migai (Merigi), sedang pecahan di dalam wilayah Lebong disebut Sukau

Delapeun (Suku VIII) dan Sukau Semilan (Suku IX).

c. Pemberian gelar Depati bagi para pemimpin Petulai, yaitu :

1) Depati Pasak Bumi bagi Sapau Lanang, pemimpin Petulai Bermani di Kuteui Rukam;

2) Depati Rajo Besar bagi Rio Tado, pemimpin Petulai Jurukalang di Tapus;

3) Depati Tiang Alam bagi Ajai Malang, pemimpin Petulai Selupuak di Atas Tebing;

4) Depati Kemala Ratu bagi Ki Pati, pemimpin pecahan-pecahan petulai Sukau

Delapeun di Karang Anyar.

d. Dalam bidang pertahanan dan keamanan diadakan pembagian tugas sebagai berikut :

1) empat orang pemimpin Sindang Empat Lawang dan lima orang pemimpin Sindang

Beliti menjaga ancaman musuh dari Timur;

2) sebelas orang pemimpin dari Renah Pesisir dan tujuh orang pemimpin Renah

Ketahun menjaga ancaman musuh yang datang dari laut.

Page 10: Sejarah bengkulu

Pemerintahan kolektif di seluruh suku bangsa Rejang di mulai saat ini dengan pimpinan

keempat Depati tersebut bersama-sama. Oleh sebab itu, pemerintahan kolektif empat

Depati ini disebut dengan istilah pemerintahan Depati Tiang Empat. Koordinator

pemerintahan ini adalah Ki Pandan, pimpinan pecahan petulai Sukau Semilan yang

berkedudukan di Bandar Agung dengan gelar Rajo Depati.

Selanjutnya suku bangsa Rejang memiliki satu kesatuan pimpinan adat yang dipegang

oleh Depati Tiang Empat. Segala perselisihan adat atau bila ada kekacauan dilaporkan

kepada Depati Tiang Empat yang memutuskan kata akhir. Demikian pula apabila ada

keturunan pecahan petulai Tubai di luar Lebong mengalami kesulitan dan kekurangan

akan hal adat.

Pemerintahan kolektif Depati Tiang Empat ini terus berjalan secara turun-temurun hingga

sampai pada awal penjajahan Belanda (1860/1860 Masehi). Namun setelah itu secara

bertahap, pemerintah penjajah mulai menghilangkan eksistensi pemerintahan Depati

Tiang Empat ini.

Suku bangsa Rejang telah mengenal tulis baca karena mereka telah memiliki huruf

tersendiri yang disebut oleh sebahagian ahli sebagai tulisan Rencong. Masyarakat Rejang

sendiri menyebut tulisan mereka sebagai huruf Ka Ga Nga. Huruf ini dahulu dapat

digunakan oleh para pemimpin suku bangsa Rejang, Palembang, Serawai, Komering dan

Lampung. Perbedaan huruf Rencong dari masing-masing suku bangsa tersebut memang

ada, tapi tidaklah banyak.

2. Suku Bangsa Serawai. Suku bangsa Serawai merupakan suku bangsa kedua terbesar yang hidup di daerah

Bengkulu. Sebagian besar masyarakat suku Serawai berdiam di Kabupaten Bengkulu

Selatan yakni di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo Pino, Kelutum, Manna dan Seginim.

Suku bangsa Serawai mempunyai mobilitas yang cukup tinggi, saat ini banyak dari

mereka yang pindah ke daerah-daerah lain untuk mencari penghidupan baru, seperti ke

Rejang Lebong, Bengkulu Utara dan sebagainya.

Secara tradisional, suku bangsa Serawai hidup dari kegiatan di sektor pertanian,

khususnya perkebunan. Banyak di antara mereka mengusahakan tanaman perkebunan

atau jenis tanaman keras, misalnya cengkeh, kopi, kelapa dan karet. Meskipun demikian,

mereka juga mengusahakan tanaman pangan, palawija, hortikultura dan peternakan

untuk kebutuhan hidup.

Page 11: Sejarah bengkulu

Asal-usul suku bangsa Serawai masih belum bisa dirumuskan secara ilmiah, baik dalam

bentuk tulisan maupun dalam bentuk-bentuk publikasi lainnya. Asal-usul suku bangsa

Serawai hanya diperoleh dari uraian atau ceritera dari orang-orang tua. Sudah tentu

sejarah tutur seperti ini sangat sukar menghindar dari masuknya unsur-unsur legenda

atau dongeng sehingga sulit untuk membedakan mana yang bernilai sejarah dan mana

yang bukan. Ada satu tulisan yang diketemukan di makam Leluhur Semidang Empat

Dusun yang terletak di Maras, Kecamatan Talo. Tulisan tersebut ditulis di atas kulit kayu

dengan menggunakan huruf yang menyerupai huruf Arab kuno. Namun sayang sekali

sampai saat ini belum ada di antara para ahli yang dapat membacanya.

Berdasarkan ceritera para orang tua, suku bangsa Serawai berasal dari leluhur yang

bernama Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Asal-usul Serunting Sakti sendiri masih

gelap. Sebagian orang mengatakan bahwa Serunting Sakti berasal dari suatu daerah di

Jazirah Arab, yang datang ke Bengkulu melalui kerajaan Majapahit. Di Majapahit,

serunting Sakti minta suatu daerah untuk didiaminya dan oleh Raja Majapahit dia

diperintahkan untuk memimpin di daerah Bengkulu Selatan. Ada pula yang berpendapat

bahwa Serunting Sakti berasal dari langit, ia turun ke bumi tanpa melalui rahim seorang

ibu. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa Serunting Sakti adalah anak hasil

hubungan gelap antara Puyang Kepala Jurai dengan puteri Tenggang.

Di dalam Tembo Lebong terdapat ceritera singkat mengenai seorang puteri yang

bernama puteri Senggang. Puteri Senggang adalah anak dari Rajo Megat, yang memiliki

dua orang anak yakni Rajo Mawang dan Puteri Senggang. Dalam tembo tersebut kisah

mengenai Rajo Mawang terus berlanjut sedangkan kisah puteri Senggang terputus begitu

saja. Hanya saja ada disebutkan bahwa puteri Senggang terbuang dari keluarga Rajo

Mawang.

Apabila kita simak ceritera tentang kelahiran Serunting Sakti, diduga ada hubungannya

dengan kisah puteri Senggang ini dan ada kemungkinan bahwa puteri Senggang inilah

yang disebut oleh orang Serawai dengan nama puteri Tenggang. Diceriterakan bahwa

Puyang Kepala Jurai yang sangat sakti jatuh cinta pada Puteri Tenggang, tapi cintanya

ditolak. Namun berkat kesaktiannya, Puyang Kepala Jurai dapat melakukan hubungan

dengan puteri Tenggang, tanpa disadari oleh puteri itu sendiri. Akibat dari perbuatan ini

puteri Tenggang menjadi hamil. Setelah puteri Tenggang melahirkan seorang anak

perempuan yang diberi nama Puteri Tolak Merindu barulah terjadi perkawinan antara

putri Tenggang dengan Puyang Kepala Jurai, itupun dilakukan setelah puteri Tolak

Merindu dapat berjalan dan bertutur kata.

Page 12: Sejarah bengkulu

Setelah perkawinan tersebut, keluarga Puyang Kepala Jurai belum lagi memperoleh anak

untuk jangka waktu yang lama. Kemudian Puyang Kepala Jurai mengangkat tujuh orang

anak, yaitu : Semidang Tungau; Semidang Merigo; Semidang Resam; Semidang Pangi;

Semidang Babat; Semidang Gumay dan Semidang Semitul. Setelah itu barulah Puyang

Kepala Jurai memperoleh seorang putera yang diberi nama Serunting. Serunting inilah

yang kemudian hari menjadi Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Serunting Sakti

berputera tujuh orang, yaitu :

a. Serampu Sakti, yang menetap di Rantau Panjang (sekarang termasuk marga Semidang

Alas), Bengkulu Selatan;

b. Gumatan, yang menetap di Pasemah Padang Langgar, Lahat;

c. Serampu Rayo, yang menetap di Tanjung Karang Enim, Lematang Ilir Ogan Tengah

(LIOT);

d. Sati Betimpang, yang menetap di Ulak Mengkudu, Ogan;

e. Si Betulah, yang menetap di Saleman Lintang, Lahat;

f. Si Betulai, yang menetap di Niur Lintang, Lahat; dan

g. Bujang Gunung, yang menetap di Ulak Mengkudu Lintang, Lahat.

Putera Serunting Sakti yang bernama Serampu Sakti mempunyai 13 orang putera yang

tersebar di seluruh tanah Serawai. Serampu Sakti dengan anak-anaknya ini dianggap

sebagai cikal bakal suku bangsa Serawai. Putera ke 13 Serampu Sakti yang bernama Rio

Icin bergelar Puyang Kelura mempunyai keturunan sampai ke Lematang Ulu dan Lintang.

Dalam istilah daerah Rejang, suku bangsa Serawai sering disebut Jang Sawei (Rejang

Serawai). Dari sini kita dapat mengetahui bahwa suku bangsa Rejang menganggap

bahwa suku bangsa Serawai merupakan salah satu pecahan dari Suku bangsa Rejang

atau sejak dulu sudah berasimilasi dengan suku bangsa Rejang. Hal ini mungkin ada

benarnya, banyak tarian adat suku bangsa Rejang yang memiliki banyak kesamaan

dengan tarian adat suku Serawai, terlebih lagi bila kita menyimak kisah tentang puteri

Senggang di atas.

Kata Serawai sendiri masih belum jelas artinya. Sebagian orang mengatakan bahwa

Serawai berarti "satu keluarga", hal ini tidak mengherankan apabila dilihat rasa

persaudaraan atau kekerabatan di antara orang-orang Serawai sangat kuat. Selain itu ada

pula tiga pendapat lain mengenai asal kata Serawai, yaitu :

Page 13: Sejarah bengkulu

a. Serawai berasal dari kata Sawai yang berarti Cabang. Cabang di sini maksudnya adalah

cabang dua buah sungai yakni Sungai Musi dan Sungai Seluma yang dibatasi oleh

Bukit Campang;

b. Serawai berasal dari kata Seran. Kata Seran sendiri bernakna Celaka, hal ini

dihubungkan dengan legenda anak raja dari hulu yang dibuang karena terkena

penyakit menular. Anak raja ini dibuang ke sungai dan terdampar di muara dan

disitulah anak raja tersebut membangun negeri.

c. Serawai berasal dari kata Selawai yang berarti Gadis atau Perawan. Pendapat ini

mendasarkan diri pada ceritera yang mengatakan bahwa suku bangsa Serawai adalah

keturunan sepasang suami-isteri. Sang Suami berasal dari Rejang Sabah (penduduk

asli pesisir pantai Bengkulu) dan isterinya adalah seorang puteri atau gadis yang

berasal dari Lebong. Dalam bahasa Lebong, puteri atau gadis disebut Selawai. Kedua

suami-isteri ini kemudian beranak-pinak dan mendirikan kerajaan kecil yang oleh

orang Lebong dinamakan Selawai.

Suku bangsa Serawai juga telah memiliki tulisan sendiri. Tulisan itu, seperti halnya

huruf Ka Ga Nga suku Rejang, disebut oleh para ahli dengan nama huruf Rencong.

Suku bangsa Serawai sendiri menamakan tulisan itu sebagai Surat Ulu. Susunan bunyi

huruf pada Surat Ulu sangat mirip dengan tulisan Ka Ga Nga pada huruf Rejang. Oleh

sebab itu tidak aneh apabila pada masa lalu para pemimpin suku-suku bangsa Rejang

dan Serawai dapat saling berkomunikasi dengan menggunakan bentuk-bentuk tulisan

ini.

E. SISTIM RELIGI DAN KEPERCAYAAN Pada zaman pra Islam, di dalam kehidupan suku-suku bangsa di Propinsi Bengkulu sudah

berkembang suatu sistim Religi. Sistim religi berkembang dan digali dari segala sesuatu

yang dialami dan ditemui dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kekaguman, ketakjuban

dan ketakutan terhadap segala kejadian alam --- seperti petir, halilintar, badai dan

sebagainya --- yang berada jauh di luar jangkauan alam fikiran, mendorong masyarakat

untuk mempercayai adanya suatu kekuatan gaib yang menciptakan, mengatur, merusak

dan menghancurkan alam dengan segala isinya.

Dengan adanya kepercayaan terhadap sesuatu yang gaib tersebut, manusia mencoba

untuk melakukan hubungan dengan kekuatan supernatural tersebut. Upaya melakukan

hubungan dengan kekuatan Sang Pencipta ini dimaksudkan agar mereka mendapatkan

perlindungan dan berbagai kemudahan dalam mengarungi kehidupan. Dari sini mulai

berkembang suatu sistim religi di tengah-tengah kehidupan suku-suku bangsa di Propinsi

Bengkulu.

Page 14: Sejarah bengkulu

Sistim religi yang ada dalam kehidupan suku-suku bangsa di Propinsi Bengkulu pada

masa lalu terdiri dari beberapa macam kepercayaan. Kepercayaan-keperacayaan tersebut

adalah : kepercayaan kepada dewa-dewa; kepercayaan kepada mahluk-mahluk halus dan

kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan sakti.

Kepercayaan kepada dewa-dewa di daerah Bengkulu hampir-hampir tidak ada.

Kepercayaan ini hanya ada di daerah-daerah pertanian dan di daerah Rejang Bermani.

Suku-suku bangsa di daerah-daerah seperti ini percaya akan adanya sorang dewi yang

berkuasa terhadap kesuburan tanaman padi. Kendatipun demikian, gambaran akan dewa

atau dewi cukup terpateri dalam fikiran masyarakat. Hal ini terbukti dari adanya suatu

kepercayaan suku Rejang yang menyatakan bahwa dewa-dewi itu tinggal di langit dan

sewaktu-waktu akan turun mandi ke sungai dengan menggunakan jembatan pelangi,

yang disebut Guniak. Selain itu, dalam mantera-mantera di kalangan suku-suku Serawai

sering disebut kata-kata diwau atau diwo (dewa). Bahkan dalam upacara perkawinan

adat Bimbang Balai terdapat semacam upacara yang disebut Mujau (memuja). Dalam

upacara Mujau, disembelih seekor ayam jantan untuk persembahan sembari melantunkan

mantera memanggil dewa-dewa dari seluruh penjuru angin.

Pada masa pra Islam, kepercayaan terhadap mahluk-mahluk halus juga tumbuh subur

dalam kehidupan masyarakat Bengkulu. Bahkan sampai kini pada sebagian masyarakat

masih didapati upacara-upacara untuk berhubungan dengan roh nenek moyang atau

mahluk-mahluk halus. Upacara-upacara seperti ini biasanya dipimpin oleh seorang dukun

yang melafalkan mantera dengan asap kemenyan dan berbagai barang persembahan,

seperti telur ayam hitam. Mahluk-mahluk halus yang menjadi peliharaan seorang di

daerah Serawai disebut Akuan. Akuan ini biasanya berwujud seekor binatang misalnya

harimau. Binatang akuan yang dipelihara ini tidak ditujukan untuk mencelakakan orang

lain, tapi sebagai teman yang dapat diminta tolong dan tempat minta perlindungan dari

mara bahaya.

Menurut kepercayaan orang suku Rejang, mahluk halus dapat dibedakan dalam empat

jenis yaitu Semat, Sebei Sebeken, Orang Bunian dan Semangat padi. Semat dapat pula

dibagi dalam tiga macam yaitu :

1. Semat Bulau Lekat, yang tinggal di hutan-hutan lebat dan di pohon-pohon kayu

berdaun rimbun (benuang). Untuk menangkal Semat jenis ini, di pondok-pondok

ladang di pasang baling-baling angin.

Page 15: Sejarah bengkulu

2. Semat Pitok, berdiam di matahari, jurang, batu besar dan sebagainya. Bila orang

diganggu Semat Pitok maka mulutnya akan menjadi miring (mencong) dan

pinggangnya menjadi bengkok.

3. Semat Laut, bentuknya seperti perempuan berwajah buruk, berbadan tinggi dan kurus.

Jenis mahluk halus lain yang dipercaya keberadaannya oleh masyarakat suku Rejang

adalah :

1. Sebei Sebeken, bentuknya seperti seorang wanita yang berambut kusut masai.

Menurut kepercayaan, barang siapa yang memperoleh ilmu dari Sebei Sebeken maka

ia mampu menyelam di dalam air selama sehari semalam.

2. Orang Bunian, mahluk halus ini hidup seperti manusia, mereka tinggal di hutan-hutan

besar. Mereka mampu untuk menjelma seperti manusia biasa.

3. Semangat Padi, mahluk halus ini menurut kepercayaan orang Rejang berwujud seperti

kanak-kanak.

Selain dari kepercayaan terhadap para dewa dan mahluk-mahluk gaib, suku-suku bangsa

di Propinsi Bengkulu juga percaya kepada kekuatan-kekuatan sakti. Kepercayaan seperti

ini dapat berupa kepercayaan akan adanya kekuatan gaib yang hidup dalam suatu benda

atau pusaka, seperti keris, bagian tubuh orang sakti, rumah bertuah, batu akik, makam

dan sebagainya. Kekuatan-kekuatan sakti ini dapat dikuasai oleh orang-orang yang

mempercayainya, tapi dapat pula mencederai orang yang meremehkan dan kurang

mempercayainya.

Di kalangan suku-suku bangsa di Bengkulu masih terdapat berbagai larangan dan

keharusan yang berkaitan dengan kekuatan-kekuatan sakti. Larangan-larangan dan

keharusan tersebut antara lain adalah :

1. dilarang mengencingi Ulu Tulong dan Keramat, barang siapa yang melanggar larangan

ini ia akan jatuh sakit (disebut Tesapo);

2. di daerah Air Petai (Bengkulu Utara) ada suatu ketentuan bahwa apabila akan

menyeberangi jembatan hendaklah membasuh muka terlebih dahulu dan apabila

mengendarai kendaraan bermotor hendaklah berhenti sebentar;

3. memasuki daerah keramat kita harus minta ijin terlebih dahulu pada depati (kepala

desa) atau dukun setempat dengan membawa segala persyaratan yang dibutuhkan;

4. di dalam tempat-tempat keramat kita dilarang untuk berteriak-teriak tidak karuan dan

bernyanyi terlalu gembira.

Page 16: Sejarah bengkulu

Tempat-tempat yang dianggap keramat di daerah Bengkulu antara lain adalah : Tebosan

di Selupuh; Bumi Jijai; Botan Bulei; Monok Micor; Gerucing; Kuburan Tinggi; Gunung

Bungkuk; Batu Menjolo dan Keramat Anggut.

F. SISTIM UPACARA Di Propinsi Bengkulu banyak terdapat sistim upacara, baik yang bersifat keagamaan

maupun upacara yang diselenggarakan berdasarkan adat istiadat. Upacara keagamaan

yang dilakukan antara lain adalah upacara menyambut bulan misalnya upacara

menyambut bulan Rabiul Awal, apacara Maulud Nabi, upacara Qunut dan sebagainya.

Upacara-upacara yang dilaksanakan berdasarkan adat dan kebudayaan antara lain adalah

upacara Mendundang Padi, upacara Basuh Benih, upacara Mencuci/Bersih Kampung,

upacara Tabot dan sebagainya. Upacara Mendundang Padi (benih) merupakan suatu

rangkaian upacara ritual yang bertujuan untuk mendapatkan jenis padi yang baik.

Menurut kepercayaan suku-suku bangsa di Bengkulu, bibit padi yang baik akan dapat

diperoleh apabila telah memperoleh restu dari Diwo Padi. Dalam upacara Mendundang

Padi hewan yang dikorbankan adalah kerbau. Upacara Basuh Padi pada prinsipnya sama

dengan Mendundang Padi, hanya dalam upacara ini hewan yang dikorbankan adalah

kambing. Benih Padi yang sudah dibasuh dalam upacara ini akan dijadikan bibit yang

ditanam pertama kali di sawah atau di ladang.

Salah satu bentuk upacara yang dilaksanakan secara besar-besaran oleh masyarakat

Bengkulu adalah Upacara Tabot. Upacara ini dilakukan oleh masyarakat di Kotamadya

Bengkulu selama 10 hari, yakni pada tanggal 1 sampai dengan 10 Muharram setiap

tahun. Upacara Tabot ini berasal dari upacara berkabung kaum Syi'ah, yang dibawa ke

Bengkulu oleh para pekerja dan serdadu The East India Company (EIC/Inggeris) yang

berasal dari Sepoy (Madras, India), yang pernah berada di Bengkulu dari tahun 1685

sampai dengan 1825. Upacara Tabot dilakukan untuk memperingati gugurnya cucu Nabi

Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib, di Padang Karbala (Irak).

Inti Upacara Tabot adalah untuk mengenang para pemimpin Syi'ah dan kaumnya

mengumpulkan bagian-bagian jenazah Husein, mengaraknya setelah terkumpul dan

memakamkannya di Padang Karbala. Seluruh upacara Tabot berjalan selama sepuluh

hari, dengan urut-urutan acara :

1. Mengambik tanah (mengambil tanah), upacara ini berlangsung pada malam tanggal 1

Muharram (sekitar pukul 22.00). Tanah yang diambil adalah tanah yang berasal dari

tempat keramat, yaitu keramat Tapak Padri dan keramat Anggut.

Page 17: Sejarah bengkulu

2. Duduk Penja (mencuci jari-jari). Penja adalah benda yang berbentuk telapak tangan

manusia lengkap dengan jari-jari, terbuat dari kuningan, tembaga atau perak. Penja

dianggap sebagai benda keramat yang mempunyai kekuatan magis, oleh karena itu

harus dicuci dengan air bunga dan air limau (jeruk nipis). Upacara mencuci Penja

inilah yang disebut dengan Duduk Penja.

3. Menjara, menjara artinya adalah berkunjung atau mendatangi kelompok lain untuk

Beruji Dol (bertanding menabuh Dol). Dol adalah sebuah tambur besar yang suaranya

mirip suara bedug. Beruji Dol ini dilakukan di lapangan terbuka pada malam hari, dari

jam 22.00 sampai jam 23.00.

4. Meradai (mengumpulkan dana), dilakukan pada siang hari tanggal 6 Muharram. Dalam

kegiatan ini yang melakukan pengumpulan dana adalah anak-anak yang berusia

antara 10 sampai dengan 12 tahun.

5. Arak Penja (Mengarak Jari-Jari), dilakukan pada malam ke delapan bulan Muharram,

dimulai sekitar pukul 19.00 dan berakhir sekitar pukul 21.00. Arak Penja ini

dilaksanakan dengan melalui route sepanjang jalan-jalan utama di kota Bengkulu.

6. Arak Serban (Mengarak Sorban). Berlangsung pada malam ke 9 bulan Muharram,

sekitar pukul 19.00 sampai dengan pukul 21.00 dengan route yang sama seperti Arak

Penja. Benda yang diarak dalam acara ini selain Penja adalah Sorban putih yang

diletakkan pada Tabot Coki (tabot kecil), dilengkapi dengan bendera/panji-panji

berwarna putih dan hijau/biru bertuliskan kaligrafi Arab nama Hasan dan Husein.

7. G a m. Kata Gam ini berasal dari kata Ghum yang bermakna tertutup atau terlarang.

Dalam acara ini tidak boleh ada kegiatan apapun, yang berlangsung dari pukul 07.00

hingga pukul 16.00.

8. Arak Gedang (Arak-arakan besar), dilakukan mulai dari pukul 19.00 pada tanggal 9

Muharram. Pada acara ini dilakukan upacar ritual penglepasan Tabot di masing-masing

markas kelompok Tabot. Kemudian Tabot diarak melalui jalan-jalan utama. Arak-arak

ini sangat meriah karena seluruh Tabot akan pawai bersama dimeriahkan pula oleh

arak-arakan berbagai kelompok kesenian lainnya. Puncak acara Arak Gedang adalah

acara Tabot Besanding (Tabot bersanding). Dalam acara ini seluruh Tabot dibariskan

berjajar dan seluruh arena ditaburi lampu-lampu hias. Selama Tabot Besanding, para

pengunjung dihibur dengan berbagai atraksi kesenian.

9. Tabot Tebuang (Tabot Terbuang). Acara ini merupakan acara terakhir dari keseluruhan

rangkaian upacara Tabot. Acara Tabot Tebuang dilakukan pada tanggal 10 Muharram,

dimulai sekitar pukul 09.00 pagi hari. Setelah Tabot berkumpul, seperti pada Tabot

Besanding, maka kemudian pada pukul 11.00 Tabot Tabot diarak menuju kelurahan

Page 18: Sejarah bengkulu

Padang Jati dan berakhir di kompleks pemakaman Karabela, tempat dimakamkannya

Imam Senggolo atau Syekh Burhanuddin (pelopor upacara Tabot). Di pemakaman ini

dilakukan upacara ritual Tabot yang diakhiri dengan pembuangan Tabot di rawa-rawa

yang berdampingan dengan makam tersebut.

Upacara Tabot yang dilaksanakan setiap bulan Muharram ini sekarang semakin

dikembangkan oleh Pemerintah Daerah dalam upaya melestarikan kebudayaan daerah.

Selain itu upacara ini juga dijadikan suatu event pariwisata dalam bentuk Festival

Tabot.

G. ADAT PERKAWINAN

Upacara perkawinan yang dilaksanakan oleh suku-suku bangsa di daerah Bengkulu pada

umumnya sejalan dengan ajaran Islam, terutama dalam tata cara pernikahannya. Secara

adat istiadat, perkawinan yang dilaksanakan mengikuti berbagai upacara, bahkan di

dalam adat juga diatur mengenai berbagai larangan yang berkaitan dengan acara

perkawinan ini.

1. Adat dan Upacara Perkawinan Suku Rejang.

Bagi suku Rejang perkawinan mempunyai beberapa tujuan. Tujuan suatu perkawinan

adalah :

a. untuk mendapatkan teman hidup dan memperoleh keturunan, yang disebut Mesoa

Kuat Temuun Juei;

b. Untuk memenuhi kebutuhan biologis, hal dimaksudkan agar kaum muda dapat

terhindar dari perbuatan tercela;

c. memperoleh status sosial ekonomi. Bagi suku Rejang bujang dan gadis belum

merupakan orang kaya ( coa ade kayo ne) oleh karena itu mereka harus kawin,

setelah kawin mereka akan bekerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga

dan memupuk kekayaan bagi keluarga mereka sendiri.

Suku Rejang juga memiliki suatu pandangan mengenai perkawinan yang diinginkan

(ideal). Perkawinan seperti ini kebanyakan diukur dari kondisi calon pengantin, baik laki

maupun perempuan. Perempuan yang baik untuk menjadi isteri apabila dia memenuhi

berbagai persyaratan, yang pada dasarnya menunjukkan perilaku yang baik dan pandai

mengatur rumah tangga. Persyaratan-persyaratan tersebut antara lain adalah : baik tutur

katanya; pandai mengatur halaman rumah dan bunga-bunga di pekarangan; pandai

menyusun/mengatur kayu api (semulung putung); bagus bumbung airnya (lesat beluak

bioa); dan mempunyai sifat pembersih.

Page 19: Sejarah bengkulu

Sedangkan bagi kaum laki-laki, syarat-syarat yang harus dipenuhi menunjukkan bahwa ia

adalah orang yang berilmu-pengetahuan dan berketerampilan. Syarat-syarat bagi laki-laki

tersebut antara lain adalah : banyak ilmu batin dan pandai bersilat; pandai menebas dan

menebang kayu; pandai membuat alat senjata dan alat-alat untuk bekerja.

Selain itu dalam adat suku Rejang juga diatur larangan untuk kawin bagi anggota suku

tersebut. Secara adat, orang Rejang dilarang kawin dengan saudara dekat, sebaiknya

perkawinan itu dilakukan dengan orang lain (mok tun luyen). Perkawinan dengan saudara

dekat dianggap merupakan suatu perkawinan sumbang, yang mereka sebut Kimok

(memalukan/menggelikan). Perkawinan dengan sesama famili disebut kawin Sepasuak

dan perkawinan dengan saudara yang berasal dari moyang bersaudara (semining)

disebut Mecuak Kulak. Perkawinan Sepasuak dan Mecuak Kulak ini merupakan

perkawinan yang dilarang, namun demikian apabila tidak dapat dihindarkan maka mereka

yang kawin didenda secara adat berupa hewan peliharaan atau uang, denda seperti ini

disebut Mecuak Kobon. Jenis perkawinan lainnya yang dilarang secara adat adalah

perkawinan antara seorang pria atau wanita dengan bekas isteri atau suami dari

saudaranya sendiri, apabila saudaranya tersebut masih hidup.

Bentuk-bentuk perkawinan dalam adat suku Rejang berhubungan erat dengan peristiwa

atau kejadian sebelum perkawinan tersebut dilaksanakan. Bentuk-bentuk perkawinan

tersebut adalah :

a. Perkawinan biasa, yakni perkawinan antara pria dan wanita yang didahului dengan

acara beasen (bermufakat) antara kedua belah pihak.

b. Perkawinan sumbang, yakni perkawinan yang dianggap memalukan. Misalnya karena

sang gadis telah berbuat hal-hal yang memalukan (komok) sehingga menimbulkan

celaan dari masyarakat atau perkawinan yang dilakukan oleh sesama saudara dekat.

c. Perkawinan ganti tikar (Mengebalau), yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang

laki yang isterinya telah meninggal dengan saudara perempuan isterinya, atau dengan

perempuan yang berasal dari lingkungan keluarga isterinya yang telah meninggal

tersebut.

Upacara perkawinan dalam adat suku rejang mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu

upacara sebelum perkawinan, upacara pelaksanaan perkawinan dan upacara setelah

perkawinan. Oleh sebab itu, perkawinan dalam suku Rejang terdiri dari :

a. Upacara sebelum perkawinan, yang terdiri dari :

Page 20: Sejarah bengkulu

1. Meletak Uang, yaitu upacara pemberian uang atau barang emas yang dilakukan

oleh kedua calon mempelai di rumah si gadis, dengan disaksikan oleh keluarga

kedua belah pihak. Maksud upacara ini adalah memberi tanda ikatan bahwa

bujang dan gadis tersebut sudah sepakat untuk menikah.

2. Mengasen, yaitu meminang yang dilakukan di rumah keluarga si gadis.

3. Jemejai atau Semakup Asen, yaitu upacara terakhir dalam peminangan yang

merupakan pembulatan kemufakatan antara kedua belah pihak. Tujuan upacara

ini adalah untuk : meresmikan atau mengumumkan kepada masyarakat bahwa

bujang dan gadis tersebut telah bertunangan dan akan segera menikah;

mengantar uang antaran (mas kawin), dan menyampaikan kepada Ketua Adat

mengenai kedudukan kedua mempelai itu nantinya setelah menikah.

b. Upacara Pelaksanaan Perkawinan, terdiri dari :

Upacara pelaksanaan perkawinan pada suku Rejang pada umumnya terdiri dari dua

macam upacara, yaitu Mengikeak dan kemudian diikuti dengan Uleak. Mengikeak

adalah upacara akad nikah dan upacara Uleak adalah pesta keramaian perkawinan.

Pelaksanaan Mengikeak biasanya dilaksanakan di tempat pihak yang mengadakan

Uleak, namun demikian berdasarkan permufakatan bisa saja mengikeak dilaksanakan

di rumah mempelai pria dan Uleak dilaksanakan di rumah mempelai wanita. Dalam

permufakatan adat hal seperti ini disebut : Mengikeak keme, uleak udi artinya menikah

kami merayakannya kamu.

c. Upacara Sesudah Perkawinan, terdiri dari :

Pada zaman sekarang berbagai upacara sesudah pelaksanaan perkawinan tidak begitu

diperhatikan lagi. Pada zaman dahulu setelah upacara perkawinan, dilakukan pula

berbagai upacara yaitu :

1. Mengembalikan alat-alat yang dipinjam dari anggota dan masyarakat dusun.

2. Pengantin mandi-mandian, melambangkan mandi terakhir bagi kedua mempelai

dalam statusnya sebagai bujang (jejaka) dan gadis.

3. Doa selamat.

4. Cemucu Bioa, yaitu berziarah ke makam-makam para leluhur.

d. Adat Menetap Sesudah Perkawinan.

Apabila akad nikah dan upacara perkawinan telah dilakukan, maka kedua mempelai itu

telah terikat oleh norma adat yang berlaku. Kebebasan bergaul seperti pada masa bujang

dan gadis hilang, dan berganti ke dalam ikatan keluarga di mana mereka bertempat

tinggal. Status tempat tinggal (Duduk Letok) mereka ditentukan oleh hasil permufakatan

yang telah diputuskan dalam upacara Asen.

Page 21: Sejarah bengkulu

Bagi suku bangsa Rejang ada dua macam Asen, yakni Asen Beleket dan Asen Semendo.

Asen Beleket artinya mempelai perempuan masuk ke dalam keluarga pihak laki-laki, baik

tempat tinggalnya maupun sistem kekerabatannya. Asen Beleket dibedakan lagi dalam

dua macam Asen, yaitu Leket Putus dan Leket Coa Putus (tidak putus).

Pada Leket Putus, hubungan mempelai perempuan dengan pihak keluarganya diputuskan

sama sekali. mempelai perempuan tersebut sepenuhnya menjadi hak keluarga pihak laki-

laki. Apabila suaminya meninggal terlebih dahulu, maka perempuan tersebut tetap tinggal

di lingkungan keluarga suaminya. Biasanya ia dinikahkan dengan saudara suaminya atau

sanak saudara suaminya yang lain, tanpa membayar uang apa-apa dan ia tidak boleh

menolak. Pada Leket Coa Putus hubungan mempelai perempuan dengan keluarganya

tidak terputus sama sekali.

Pada Asen Semendo terdapat banyak variasi. Pada mulanya Asen Semendo merupakan

lawan atau kebalikan dari Asen Beleket, yakni :

1. Semendo Nyep Coa Binggur (hilang tidak terbatas), mempelai laki-laki masuk dan

menjadi hak pihak keluarga perempuan sepenuhnya.

2. Semendo Nyep/Tunakep (menangkap burung sedang terbang), mempelai laki-laki

dianggap oleh keluarga pihak perempuan sebagai seorang yang datang tidak

membawa apa-apa. Jika terjadi perceraian atau laki-laki tersebut meninggal terlebih

dahulu maka semua hak warisnya jatuh kepada isterinya.

3. Semendo Sementoro/Benggen (berbatas waktu), mempelai laki-laki pada awal

kehidupan berkeluarga harus tinggal dalam lingkungan keluarga pihak mempelai

perempuan, setelah itu dia bersama isterinya dapat tinggal dalam lingkungan

keluarga asalnya atau membentuk lingkungan keluarganya sendiri.

4. Semendo Rajo-Rajo, yaitu apabila kedua mempelai berasal dari dua keluarga yang

sama kuat atau sederajat. Kedudukan dan tempat tinggal kedua mempelai setelah

perkawinan diserahkan sepenuhnya kepada kedua mempelai untuk memutuskannya.

2. Adat dan Upacara Perkawinan Suku Serawai. Bagi suku Serawai perkawinan mempunyai beberapa tujuan. Tujuan suatu perkawinan

adalah :

a. untuk mendapatkan teman hidup dan memperoleh keturunan.

b. untuk memenuhi kebutuhan biologis, hal dimaksudkan agar kaum muda dapat

terhindar dari perbuatan tercela;

c. agar dapat bergaul di tengah-tengah masyarakat secara layak dan telah masuk

dalam kategori orang tua-tua (orang yang bisa mewarisi adat istiadat setempat).

Page 22: Sejarah bengkulu

Dalam adat suku Serawai juga terdapat pembatasan atau larangan perkawinan.

Seseorang dilarang untuk kawin dengan saudara dekat dan sangat dianjurkan untuk

menikah dengan dengan seseorang yang tidak mempunyai hubungan darah. Apabila

perkawinan dengan saudara dekat tidak dapat dihindarkan maka kedua mempelai harus

membayar denda adat pada upcara perkawinan mereka, yaitu mengorbankan seekor

kambing.

Bentuk-bentuk perkawinan dalam adat suku Serawai terdiri dari :

a. Kawin Biasa yaitu perkawinan yang dilakukan melalui proses secara adat dan

sebelumnya kedua mempelai sudah saling mencintai serta direstui oleh kedua orang

tua;

b. Kawin Lari atau Selarian yaitu perkawinan yang dianggap melanggar adat dan harus

menerima sanksi serta denda secara adat. Selarian dapat dibedakan dalam tiga

kategori yaitu:

1. Lari Maling Diri, yaitu apabila pemuda melarikan kekasihnya dengan didampingi

oleh seorang teman dari si laki-laki dan seorang teman gadis dari si perempuan.

Sebelum lari kedua calon mempelai meninggalkan sepucuk surat untuk orang tua

si perempuan yang menyatakan bahwa mereka telah kawin lari dengan di

dampingi dua orang temannya;

2. Lari Sebambangan, yaitu apabila pemuda melarikan kekasihnya dengan dua orang

teman mereka tanpa meninggalkan sepucuk surat untuk orang tua si gadis;

3. Lari Nido Betanggo, yaitu apabila pemuda melarikan kekasihnya tanpa di dampingi

oleh seorang teman-pun dan juga tidak meninggalkan sepucuk surat untuk orang

tua si gadis.

Secara adat, dalam Selarian si pemuda akan melarikan isterinya ke tempat tinggal

keluarga. Di rumah keluarga laki-laki telah menunggu segenap keluarganya dan unsur

pemerintah setempat untuk menunggu kedatangan pihak keluarga perempuan yang

menyusul (orang yang beturut). Setelah orang beturut datang maka dilakukan

pembicaraan antara kedua belah pihak dengan mediator dari unsur pemerintah setempat.

a. Kawin Ganggang yaitu perkawinan yang dilakukan apabila kedua mempelai tidak

dapat segera berkumpul setelah upacara perkawinan. Hal ini sering terjadi apabila

salah satu atau kedua calon pengantin masih menuntut ilmu di tempat yang saling

berjauhan. Peresmian atau pesta keramaian perkawinan dilakukan paling lama

setahun setelah upacara pernikahan.

Page 23: Sejarah bengkulu

b. Kawin Genti Tikar yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dengan

saudara isterinya, apabila isterinya tersebut telah meninggal dunia.

c. Kawin Surung Kulo yaitu perkawinan yang dilakukan antara seorang wanita dengan

saudara suaminya, apabila suaminya itu telah meninggal dunia.

Sebelum melakukan upacara perkawinan secara adat yang disebut dengan istilah

Bimbang Adat, keluarga belah pihak calon pengantin terlebih dahulu melaksanakan

serangkaian upacara sebelum perkawinan. Upacara-upacara adat tersebut adalah :

a. Nyiluri Ciri atau Nerangka Uang :

Dalam upacara ini pihak keluarga laki-laki datang ke rumah keluarga wanita untuk

membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan rencana perkawinan kedua calon

mempelai. Dalam upacara ini kedua calon mempelai saling memberikan tanda cinta

berupa barang. Pada waktu ini pergaulan kedua calon mempelai mencapai suatu tahap

yang disebut Tepiak Uang Keleman atau menaruh uang dalam gelap yang bermakna

bahwa janji atara kedua mereka masih dirahasiakan dan belum diumumkan kepada orang

banyak.

b. Ngulang Lautan :

Tiga malam setelah upacara Nyiluri Ciri, calon suami mengantar sirih dan pinang ke

rumah calon mertuanya. Dalam kunjungan ini calon mempelai laki-laki ditemani oleh

seorang kawan dan menginap di rumah calon mertuanya selama satu malam. Dengan

upacara ini calon pengantin laki-laki memberikan penghormatan kepada keluarga calon

mempelai perempuan dan memperoleh kesempatan untuk saling berkenalan dengan

kerabat calon mempelelai perempuan.

Setelah satu atau dua minggu kemudian, calon mempelai laki-laki kembali berkunjung ke

rumah keluarga calon mempelai perempuan tanpa didampingi oleh seorang teman.

Dalam kunjungan kedua ini calon mempelai laki membawa pakaian dan alat-alat untuk

bekerja. Selanjutnya calon mempelai laki-laki menginap di rumah keluarga perempuan

selama satu minggu, dan selama itu pula dia akan dinilai oleh keluarga calon mempelai

perempuan apakah sudah siap untuk menikah. Kesiapan untuk menikah ini dinilai dari

keterampilannya dalam bekerja dan bertingkah-laku sehari-hari. Acara Ngulang Lautan ini

dapat juga dilakukan oleh calon mempelai perempuan apabila pihak keluarga laki-laki

menghendakinya.

Page 24: Sejarah bengkulu

Dalam adat suku Serawai peresmian perkawinan dilakukan di rumah keluarga perempuan

terlebih dahulu, karena di rumah calon mempelai perempuan biasanya upacara akad

nikah dilangsungkan. Rangkaian upacara pelaksanaan perkawinan dalam adat suku

Serawai, yang disebut Bimbang Adat, terdiri dari berbagai upacara, yaitu :

a. Negak Pengujung, yakni bergotong-royong mendirikan tarub atau tenda untuk tempat

dilangsungkannya seluruh upacara perkawinan.

b. Tunggu Tunang, yakni upacara sebelum melakukan upacara akad nikah. Pada upacara

ini mempelai laki-laki diiringi oleh dua orang inang pengantin dan seorang tua, yang

disebut Tuo Menda pergi ke rumah calon mempelai perempuan yang sudah siap

menerima pengantin menikah. Setelah mempelai laki dan rombongannya disambut

oleh keluarga mempelai perempuan, mereka kemudian dijamu makan di dalam

Pengujung (tenda/tarub). Setelah itu dilanjutkan dengan acara Mantau Makan, di sini

kedua calon mempelai diundang makan oleh para tetangga atau masyarakat dusun

tempat berlangsungnya acara pernikahan. Acara mantau makan ini akan berlangsung

lama apabila yang mengundang banyak jumlahnya. Apabila acara Mantau Makan telah

selesai, maka akan dilanjutkan dengan upacara Madu Kulo atau memadu janji untuk

menentukan status kedua suami isteri setelah upacara perkawinan. Apabila upacara

Madu Kulo telah selesai maka akan dilanjutkan dengan upacara Akad Nikah.

Setelah seluruh upacara perkawinan selesai dilaksanakan maka dilakukan pula beberapa

acara adat lagi. Acara-acara adat tersebut adalah :

a. Mendoa minta keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mohon ampun kepada

arwah nenek moyang atas segala kesalahan yang diperbuat selama upacara

perkawinan.

b. Ngulang Runut, yaitu acara yang dilakukan setelah beberapa minggu perkawinan

selesai. Kedua suami isteri berkunjung ke rumah orang tua isteri dengan membawa

wajik sebagai oleh-oleh. Tujuan Ngulang Runut ini adalah untuk lebih mengakrabkan

hubungan antara suami dengan kerabat pihak isteri.

Sama halnya dengan adat suku Rejang, untuk menentukan tempat menetap kedua

mempelai setelah perkawinan dilakukan acara memadu janji antara kedua belah pihak

keluarga. Upacara memadu janji yang disebut Madu Kulo ini dilaksanakan sebelum

upacara pernikahan. Hasil perjanjian tersebut dapat dibedakan dalam tiga jenis, yakni :

a. Kulo Reto atau Tambik Anak :

Dengan hasil perjanjian Kulo Reto, mempelai perempuan seolah-olah sudah dibeli oleh

mempelai laki-laki. Oleh sebab itu, sang isteri tidak berhak menentukan tempat tinggal

mereka setelah menikah, kalau sang suami belum memiliki tempat tinggal sendiri maka

Page 25: Sejarah bengkulu

mereka akan menetap sementara di rumah orang tua suami. Biasanya apabila terjadi

perjanjian Kulo Reto, orang tua suami sudah menyediakan rumah dan sebidang sawah

untuk tempat tinggal dan modal kehidupan bagi keluarga baru tersebut.

b. Kulo Semendo Masuak Kampung :

Perjanjian seperti ini merupakan kebalikan dari perjanjian Kulo Reto, di mana pengantin

laki-laki seolah-olah dibeli oleh pihak perempuan. Dalam hal ini pihak keluarga

perempuan yang akan menyediakan rumah dan sawah untuk pasangan keluarga baru ini.

c. Kulo Semendo Merdiko atau Semendo Rajo-Rajo :

Perjanjian seperti ini menentukan bahwa kedua mempelai bebas menetapkan di mana

mereka hendak menetap. Andaikata mereka belum memiliki tempat tinggal sendiri maka

mereka bebas memilih tempat menumpang sementara.

H. SISTEM KEKERABATAN Sistem kekerabatan suku-suku bangsa yang tinggal di Propinsi Bengkulu pada umumnya

hampir sama. Perbedaan yang ada hanya pada istilah atau sebutannya saja. Sistem

kekeluargaan yang ada terdiri dari :

1. Keluarga Batih (perseorangan).

Seperti sudah diuraikan sebelumnya, tempat tinggal keluarga yang baru menikah akan

ditentukan oleh perjanjian antara kedua belah pihak keluarga sebelum upacara akad

nikah. Perjanjian tersebut pada dasarnya sama bagi suku Serawai dan suku Rejang.

Perjanjian kedua belah pihak keluarga akan memberikan tiga kemungkinan status

keluarga bagi pasangan yang baru menikah yaitu : Asen Beleket atau Kulo Reto; Asen

Semendo atau Kulo Semendo Masuak Kampung, dan Semendo Rajo-Rajo. Sejalan dengan

ketiga bentuk perjanjian itu maka garis keturunan pasangan keluarga baru akan terdiri

dari tiga macam pula, yaitu Patrilinial (ikut garis keturunan ayah), Matrilinial (ikut garis

keturunan ibu) dan Bilinial (bebas memilih, ikut garis ayah atau ikut garis ibu).

Secara umum pada keluarga batih, fungsi sosial, ekonomi, pendidikan dan keagamaan

menjadi tanggungjawab keluarga. Seluruh pekerjaan di rumah tangga dikerjakan

bersama-sama secara gotong-royong, meskipun sebenarnya ada pembagian tugas di

antara anggota keluarga. Pembagian fungsi dan pekerjaan dalam keluarga batih dapat

dijelaskan sebagai berikut :

a. Ayah berfungsi sebagai pelindung keluarga dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang

berat.

b. Ibu berfungsi sebagai pengaman dan penenang keluarga, dan ia melakukan

pekerjaan-pekerjaan rumah tangga.

Page 26: Sejarah bengkulu

c. Anak-anak berfungsi sebagai pengikat kasih sayang dan mereka bekerja membantu

kedua orang tuanya dalam pekerjaan yang ringan-ringan. Bagi anak yang sudah

dewasa, mereka akan membantu pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan jenis

kelamin mereka.

d. Tanggungjawab orang tua terhadap anak hanya selama sang anak belum berumah

tangga. Apabila anak tersebut sudah berumah tangga maka ia harus turun dari

rumah dan mencari tempat kediaman sendiri. Kalau dia belum memiliki rumah sendiri

maka dia dapat menumpang sementara di rumah orangtuanya atau di rumah

mertua.

2. Keluarga Luas.

Keluarga Luas bagi suku-suku bangsa di Propinsi Bengkulu merupakan sebuah keluarga

besar yang terdiri dari himpunan keluarga Batih. Keluarga Luas adalah perkembangan

keluarga Batih yang berasal atau berpusat dari satu Poyang (orang tua dari kakek atau

nenek). Termasuk sebagai anggota keluarga Luas adalah : Poyang; nenek/kakek;

ayah/Ibu; anak; cucu dan cicit, termasuk pula menantu dan ipar sampai pada tingkat

paling bawah yang berkedudukan sama.

Keluarga Luas pada suku Rejang disebut Tabo Kaben atau Tumbang dan garis keturunan

mereka disebut Juei. Sedangkan pada suku Serawai, keluarga Luas disebut Tuguak dan

garis keturunannya disebut Jurai.

3. Klan Kecil.

Klan kecil adalah himpunan dari keluarga-keluarga Luas yang masih memiliki hubungan

darah satu sama lain. Pada suku Rejang, Klan Kecil disebut Sukau, yang dipimpin oleh

seorang Tuai Sukau. Sedangkan pada suku Serawai keluarga Luas disebut Ruguak. Rasa

solidaritas dan kegotong-royongan antar sesama anggota klan sangat besar.

4. Klan Besar.

Klan besar adalah himpunan dari klan-klan kecil. Di Propinsi Bengkulu Klan Besar disebut

Marga. Kata marga berasal dari bahasa Sangsekerta "Varga" yang berarti kumpulan

keluarga atau famili. Di kalangan suku Rejang, Marga disebut juga dengan istilah Petulai

Juei atau Bang Mego. Marga dipimpin oleh seorang Kepala Marga yang disebut Pasirah,

yang berasal dari kata Sangsekerta "Syrah" yang berarti kepala kaum. Dengan berlakunya

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, kedudukan Pasirah ini

hapus dan diganti dengan Kepala Desa dan Kepala Kelurahan. Sedangkan pimpinan adat

diemban oleh seorang Ketua Adat.

Page 27: Sejarah bengkulu

PESTA TABOT

Pada tanggal 1 sampai dengan 10 Muharram H (Kalender Arab) setiap tahun di kota

Bengkulu dilaksanakan Festival Tabot. Festival Tabot diselenggarakan berdasarkan Pesta

Budaya Tabot yang dilaksanakan oleh masyarakat Kota Bengkulu dalam rangka

memperingati gugurnya Amir Hussain, cucu Nabi Muhammad SAW, di Padang Karbala

(Irak). Perayaan ini telah diselenggarakan secara tetap oleh masyarakat kota Bengkulu

sejak abad 14. Masyarakat kota Bengkulu percaya bahwa apabila perayaan ini tidak

mereka selenggarakan maka akan terjadi musibah atau bencana. Oleh sebab itu, tidak

mengherankan apabila perayaan Tabot ini penuh dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat

ritual dan kolosal.

Sejak tahun 1990 Pesta Budaya Tabot ditingkatkan menjadi Festival Wisata di Propinsi

Bengkulu, yang diberi nama Festival Tabot. Dalam Festival Tabot, perayaan yang semula

hanya berisikan upacara-upacara ritual diperkaya dengan berbagai atraksi tambahan yang

mampu memberi hiburan kepada masyarakat dan wisatawan. Selama 10 hari

pelaksanaan Festival Tabot, masyarakat dan wisatawan dapat menyaksikan rangkaian

upacara ritual Tabot dan menikmati berbagai pegelaran seni-budaya serta lomba-lomba

kreasi seni tradisional Bengkulu, seperti : lomba Ikan-Ikan, lomba Telong-Telong

(mungkin berasal dari kata Tengloleng atau Lampion dalam bahasa Cina), lomba Dol,

lomba tari, Lomba Barong Landong (mirip Ondel-Ondel Betawi) dan sebagainya.

SEJARAH PESTA BUDAYA TABOT

Tabot berasal dari kata At-Tabut yang secara harfiah memiliki arti kotak atau peti. At-

Tabut sudah ada sejak zaman Nabi Musa dan Harun, pada waktu itu At-Tabut dibawa

turun ke bumi oleh malaikat. Menurut kepercayaan Bani Israel, At-Tabut ini adalah

sebuah peti atau kotak tempat menyimpan jenazah pemimpin mereka. Mereka meyakini

bahwa At-Tabut harus tetap berada di tangan mereka karena hal ini akan mendatangkan

kebaikan. Sebaliknya musibah akan datang apabila At-abut tidak berada di tangan

mereka.

At-Tabut dalam bentuk yang lain muncul pada waktu terjadi perang antara Amir Hussain

(cucu Nabi Muhammad SAW) melawan kaum Khawarij di Padang Karbala (Irak). Dalam

pertempuran di Karbala Amir Hussain dan pengikutnya mengalami kekalahan karena

jumlah yang tidak seimbang. Amir Hussain sendiri gugur dengan tangan dan kepala yang

terpisah dari badan. Ketika tubuh Amir Hussain yang sudah tidak berkepala dan

bertangan itu diketemukan kembali oleh para pengikutnya, maka turunlah bangunan

aneh yang sangat indah dan mengangkat tubuh Amir Hussain. Para pengikut Amir

Page 28: Sejarah bengkulu

Hussain yang sangat menyayangi pemimpin mereka ikut bergelantungan pada bangunan

indah yang terbang itu, dan pada saat itu terdengar suara yang berkata : “Kalau kamu

sayang kepada Hussain, buatlah bangunan berbentuk indah ini setiap sepuluh hari dalam

bulan Muharram guna mengenang para syuhada yang gugur di Padang Karbala”.

Bangunan indah yang membawa jenazah Hussain itu kemudian disebut Tabut (Tabot

dalam dialek bahasa Bengkulu). Sejak saat itu perayaan Tabut dilaksanakan setiap tahun

selama 10 hari dalam bulan Muharram oleh para pengikut Imam Hussain.

Upacara Ritual Tabot sampai di Bengkulu dibawa oleh para penyebar agama Islam dari

Punjab. Para penyebar agama Islam dari Punjab yang datang ke Bengkulu pada waktu itu

adalah para pelaut ulung di bawah pimpinan Imam Maulana Irsyad. Rombongan Imam

Maulana Irsyad yang datang ke Bengkulu berjumlah 13 orang, antara lain terdapat :

Imam Sobari, Imam Bahar, Imam Suandari dan Imam Syahbuddin. Mereka tiba di

Bengkulu pada tahun 1336 Masehi (756/757 Hijriah). Setibanya di Bengkulu kaum Syiah

penyayang Amir Hussain ini langsung melaksanakan rangkaian Upacara Ritual Tabot yang

diselenggarakan selama 10 hari, yakni dari akhir bulan Dzulhijjah 756 H sampai dengan

tanggal 10 Muharram 757 H. Nama Imam Maulana Irsyad dan kawan-kawan ini kurang

dikenal dalam sejarah, hal ini mungkin mereka pada waktu itu belum menetap secara

tetap di Bengkulu. Nama yang lebih dikenal dalam sejarah Tabot di Bengkulu adalah

Syekh Burhanuddin (Imam Senggolo). Syekh Burhanuddin hidup di Bengkulu pada masa

Inggeris sudah masuk ke Bengkulu, yakni antara tahun 1685 sampai dengan 1825.

RANGKAIAN UPACARA RITUAL BUDAYA TABOT

1. UPACARA PENGAMBILAN TANAH.

Upacara Pengambilan Tanah dilaksanakan pada malam hari sebelum tanggal 1

Muharram, sekitar pukul 20.00 WIB (setelah shalat Isya). Upacara Pengambilan Tanah

dilakukan di dua tempat, yaitu di Pantai Nala dan Tapak Paderi. Upacara ini diartikan

sebagai peringatan atau mengenang kembali manusia yang pada awalnya diciptakan dari

tanah dan nantinya akan kembali menjadi tanah. Upacara ini dilengkapi sesajen berupa

bubur merah, gula merah, sirih tujuh subang, rokok tujuh batang, air kopi pahit, air

serobat (air jahe), air susu sapi murni, air cendana dan air selasih. Sesudah sesajen

didoakan, diambil tanah dua kepal, sekepal diletakkan di Gerga (di ibaratkan benteng)

dan sekepal lainnya dibawa pulang untuk diletakkan diatas Tabot yang akan dibuat.

Page 29: Sejarah bengkulu

2. UPACARA DUDUK PENJA.

Upacara Sakral Duduk Penja dilaksanakan selam dua hari, yakni pada tanggal 4 dan 5

Muharram pada pukul 16.00 WIB. ini dilakukan pada tanggal 5 Muharram. Penja adalah

Pending Jari-Jari yang berbentuk jari-jari tangan yang terbuat dari tembaga serta

disimpan diatas rumah sekurang-kurangnya selama satu tahun. Didahului dengan berdoa,

Penja diturunkan untuk di cuci, dilengkapi sesajen berupa emping, air serobat, susu

murni, air kopi pahit, nasi kebuli, pisang emas dan tebu. Setelah dicuci, keluarga pembuat

tabot langsung mengantarkan Penja yang dibungkus ke gerganya, dengan diiringi bunyi

dol dan tassa, untuk disimpan kembali selama upacara perayaan tabot.

3. UPACARA MENJARA.

Upacara Menjara dilaksanakan malam hari tanggal 5 dan 6 Muharram mulai pukul 19.30

WIB. Menjara berarti “perjalanan panjang di malam hari”, upacara ini dimaksudkan untuk

melakukan silahturakhmi atau konsolidasi. Pada malam pertama (tanggal 5 Muharram)

kelompok Bangsal mengunjungi kelompok Imam dan pada malam kedua (tanggal 6

Muharram) kelompok Imam mengunjungi kelompok Bangsal dengan perlengkapan Dol

dan Tassa. Dalam perjalanan perlengkapan musik Dol dan Tassa akan melagukan lagu

Semi Tsauri pada saat berjalan dan lagu-lagu Tsauri, Melalu dan Tamatam pada tempat-

tempat berhenti.

4. MALAM ARAK JARI-JARI DAN ARAK SEROBAN

Upacara Arak Jari-Jari dilakukan pada tanggal 7 Muharram pukul 19.30 malam. Malam

Arak Jari-Jari dilaksanakan dengan menempatkan Penja yang sudah didudukkan di atas

Tabot Coki, kemudian diarak untuk berkumpul di tanah lapang. Sedangkan persiapan

upacara Arak Seroban diselenggarakan pada tanggal 8 Muharram pukul 16.00 WIB

(setelah shalat Ashar), yakni mempersiapkan Seroban untuk diarak bersam-sama Penja

(Jari-Jari) pada malam harinya. Upacara ini di ibaratkan sebagai pemberitahuan kepada

masyarakat bahwa jari-jari tangan dan sorban Amir Hussain telah ditemukan di Padang

Karbala.

Page 30: Sejarah bengkulu

5. HARI GAM

Hari GAM berlangsung pada tanggal 9 Muharram, dimulai pada pukul 06.00 WIB. Hari

GAM berarti tidak boleh ada bunyi-bunyian sama sekali sampai Tabot Naik Pangkek.

6. TABOT NAIK PANGKEK.

Pada pukul 14.00 WIB sesudah shalat Dhuhur tanggal 9 Muharram dilakukan acara Tabot

Naik Pangkek. Tabot Naik Pangkek adalah kegiatan menyambungkan bangunan puncak

Tabot dengan bangunan bagian Tabot Gedang di tempat pembuatannya.

7. MALAM ARAK GEDANG.

Pada tanggal 9 Muharram pukul 16.00 Tabot dibawa ke Gerga untuk Soja dan Penja

dinaikkan ke atas Tabot sebelum diarak menuju tanah lapang untuk bersanding. Pada

pukul 19.00 malam harinya Tabot sudah bersanding di tanah lapang, prosesi ini disebut

Malam Arak Gedang.

8. ARAK-ARAKAN TABOT TERBUANG.

Pagi hari pukul 08.00 WIB tanggal 10 Muharram Tabot kembali diarak untuk bersanding

di tanah lapang. Setelah itu Tabot diarak menuju Kerabela (sebutan orang Bengkulu

untuk Karballa). Sebelum diarak, seluruh Tabot menyembah terlebih dahulu kepada Tabot

Imam dan Tabot Bangsal. Juru Kunci menyambut arak-arakan Tabot di pintu gerbang

Kerabela. Sebelum masuk dilakukan upacara untuk meluruskan mana yang bengkok,

memberitahu mana yang keliru dan memperbaiki mana yang salah. Setelah itu arak-

arakan Tabot menuju kompleks pemakaman Kerabela, dan di sini dilaksanakan upacara

penyerahan Tabot kepada leluhur di makam Syahbedan Abdullah (ayahanda Syech

Burhanuddin).