sejarah alternatif film indonesia

23
Sejarah Alternati f Film Indonesia?  Adrian Jonathan | 12 September 2013 |  Esai  8 2 Suasana pemutaran Festival Film Purbalingga 2013 (dokumentasi penyelenggara festival) Catatan budaya sinema di Indonesia masihlah teramat bioskop-sentris. Untuk film lokal, ada kawan-kawan filmindonesia.or.id yang setiap Senin mengumumkan data penonton film-film nasional yang sedang beredar di  bioskop. Beragam media cetak dan o nline, dari yang p unya redaksi puluhan orang sampai yang satu or ang saja, juga rajin melaporkan kabar terbaru dari industri perfilman kita. Untuk film impor, perkaranya lebih rumit. Kita baru sekadar tahu betapa populernya produk keluaran Hollywood di khalayak nusantara, terlihat dari rajinnya media dan  blog kita melaporkan gosip artis hingga kabar film anyar, tapi kita tidak pernah tahu berapa besar sebenarnya porsi yang ditempati film-film impor ini di perfilman Indonesia. Data terlengkap ada di brangkas para importir, sementara  pihak ekshibitor belum menunaikan tanggungjawab mereka untuk mengumumkan data penonton sebagaimana yang dititahkan dalam Pasal 33 UU nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman. Boxofficemojo.com, sumber yang sebelumnya sering diandalkan untuk data penonton film impor, tak lagi menyuplai informasi untuk kawasan Indonesia sejak Desember 2012. Dari catatan-catatan yang ada ini, bisa disimpulkan kalau bioskop kita kian sepi, setidaknya begitu kasusnya untuk film Indonesia. Dari 247 juta jiwa di nusantara ini, hanya 18.6 juta yang menonton film Indonesia tahun lalu, itupun 46% total penonton berasal dari  Habibie & Ainun, 5 cm, dan The Raid . Tahun sebelumnya lebih sedikit lagi: 15 juta. Tak heran kemudian banyak pekerja, penikmat, dan pembela film kita yang mengeluhkan penonton film kita yang

Upload: benny-edysaputra-tandarabun

Post on 09-Feb-2018

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 1/23

Sejarah Alternatif Film Indonesia? Adrian Jonathan | 12 September 2013 | Esai 

8

2

Suasana pemutaran Festival Film Purbalingga 2013 (dokumentasi penyelenggara festival)

Catatan budaya sinema di Indonesia masihlah teramat bioskop-sentris. Untuk film lokal, ada kawan-kawan

filmindonesia.or.id yang setiap Senin mengumumkan data penonton film-film nasional yang sedang beredar di

 bioskop. Beragam media cetak dan online, dari yang punya redaksi puluhan orang sampai yang satu orang saja, juga

rajin melaporkan kabar terbaru dari industri perfilman kita. Untuk film impor, perkaranya lebih rumit. Kita baru

sekadar tahu betapa populernya produk keluaran Hollywood di khalayak nusantara, terlihat dari rajinnya media dan

 blog kita melaporkan gosip artis hingga kabar film anyar, tapi kita tidak pernah tahu berapa besar sebenarnya porsi

yang ditempati film-film impor ini di perfilman Indonesia. Data terlengkap ada di brangkas para importir, sementara

 pihak ekshibitor belum menunaikan tanggungjawab mereka untuk mengumumkan data penonton sebagaimana yang

dititahkan dalam Pasal 33 UU nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman. Boxofficemojo.com, sumber yangsebelumnya sering diandalkan untuk data penonton film impor, tak lagi menyuplai informasi untuk kawasan

Indonesia sejak Desember 2012.

Dari catatan-catatan yang ada ini, bisa disimpulkan kalau bioskop kita kian sepi, setidaknya begitu kasusnya untuk

film Indonesia. Dari 247 juta jiwa di nusantara ini, hanya 18.6 juta yang menonton film Indonesia tahun lalu, itupun

46% total penonton berasal dari Habibie & Ainun, 5 cm, dan The Raid . Tahun sebelumnya lebih sedikit lagi: 15 juta.

Tak heran kemudian banyak pekerja, penikmat, dan pembela film kita yang mengeluhkan penonton film kita yang

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 2/23

tak mau menonton film Indonesia di bioskop. Beberapa mengeluhkan penonton kita yang lebih memilih menunggu

satu atau dua bulan untuk menonton film Indonesia secara cuma-cuma di televisi.

Keluhan-keluhan ini ada benarnya. Nyatanya, pasar film di Indonesia (baca: jumlah layar dan kursi bioskop)

 belumlah cukup luas untuk melayani populasi sebesar kita.[i] Komposisi yang ada sekarang adalah 793 layar dari

185 bioskop, yang artinya satu layar harus melayani 311 ribu orang.[ii] Jelas tidak ideal. Pasar yang kecil itupun

sesak oleh film-film impor. Menurut statistik dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, ada 182 film impor

yang menemani film panjang kita di bioskop selama 2012.[iii] Tahun sebelumnya, 168 film impor dan 82 film

Indonesia. Bisa dibayangkan betapa sulitnya sineas-sineas kita mencari laba di pasar seramai itu, termasuk sineas-

sineas yang sering dicela karena konon membuat film untuk laba saja. Bisa dipahami juga kalau makin banyak

 pembuat film kita yang cepat-cepat menjual hak siar filmnya ke televisi demi menutup biaya produksi. Ini

menciptakan lingkaran setan tersendiri: film Indonesia makin banyak diputar di televisi, penonton makin enggan ke

 bioskop, pembuat film makin kesulitan meraih penghidupan.

Media-media kita lazimnya merespons fenomena ini dengan beragam rupa narasi krisis: “degradasi  perfilman

nasional”, “sinema Indonesia butuh pertolongan”, “ambruknya perfilman kita”, dan sejenisnya. Setiap ada

terobosan, misal ada film Indonesia diputar di festival luar negeri bergengsi macam Cannes atau satu film laris

manis di bioskop, narasi yang dihadirkan media selalu mengibaratkan suatu krisis yang coba dilalui perfilman kita:

“sinema Indonesia merangkak naik”, “harapan baru perfilman Indonesia”, “kebangkitan kembali perfilman

nasional”, dan sejenisnya. 

Realita perfilman yang ada di hadapan kita memang pelik, tapi kita pun perlu memikirkan kembali cara pandang

kita. Apa benar budaya sinema kita terbatas pada bioskop dan televisi saja? Apa iya pergerakan budaya sinema kita

hanya naik turun di tangga boxoffice tapi tidak meluas ke seantero nusantara? Perspektif yang teramat bioskop-

sentris ini sesungguhnya menutup mata kita akan pergulatan-pergulatan di tempat lain, di lingkungan yang jauh dari

 bioskop dan industri, yang turut berkontribusi bagi pembentukan dan perkembangan budaya sinema di Indonesia.

Jelas perlu riset tersendiri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi sepenuhnya, namun sudah banyak pertanda

yang kita bisa jadikan modal.

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 3/23

 

Bioskop Jumat di Palu (dokumentasi komunitas terkait)

Perspektif Baru 

Budaya sinema di Indonesia sesungguhnya banyak tersemai dalam kegiatan-kegiatan komunitas dan terobosan-

terobosan di akar rumput. Purbalingga yang paling menonjol beberapa tahun belakangan ini, berkat kehadiran film-

film lokal daerah itu di festival-festival film nasional. Terakhir  Lawuh Boled  karya Misyatun juara Gayaman

(kategori pelajar) di Festival Film Solo 2013. Di balik itu semua ada Cinema Lovers Community dan Jaringan Kerja

Film Banyumas yang sudah sekian tahun aktif mengadakan pemutaran dan lokakarya di sekolah-sekolah,

menghadirkan kesadaran dan kompetensi audiovisual di kalangan pelajar .[iv] Di awal 2000an, ada kolektif Youth

Power yang menelurkan film pendek Kepada yang Terhormat Titik Dua  (2001) dan Surat Pukul 00:00 (2002). Dari

2002 sampai 2005, Youth Power mengadakan rangkaian pemutaran film dan diskusi dengan tajuk Pesta Sinema

Indonesia; kegiatan ini mendorong produksi film di Purbalingga dan mempertemukan karya-karya lokal Banyumas

dengan publik luar Banyumas.[v] Lalu ada Festival Film Purbalingga, tahun ini memasuki usia ketujuh, yang

memutar film-film pendek lokal dan film-film panjang nasional lewat layar tancap di desa-desa. Festival ini bisa

dibilang berhasil menumbuhkan budaya sinema tersendiri. Ada karya-karya warga lokal yang mengartikulasikan

lingkungan sekitar mereka, ada saluran yang konsisten untuk film-film lokal tersebut, dan ada kebiasaan menonton

 baru yang dilakoni para warga. Mereka berduyun-duyun datang ke festival untuk melihat teman, tetangga, saudara,

dan orang tua mereka di layar lebar.

Masih dari kawasan yang sama, ada budaya sinema dalam bentuk lain yang dipantik SMPN 4 Satu Atap

Karangmoncol. Di narasi media-media, nama sekolah ini sempat terekspos berkat kemunculan dua film produksi

mereka, Pigura (2010) dan Langka Receh (2012), sebagai nomine Film Pendek Terbaik di Festival Film Indonesia.

Sekolah ini didirikan pada tahun 2007 untuk mewadahi lulusan-lulusan SD di daerah pegunungan itu; mereka

 jadinya tidak harus jauh-jauh pergi ke SLTP di daerah luar untuk melanjutkan pendidikan. Satu fakta yang menarik

adalah bagaimana sekolah ini punya ekstrakurikuler film, yang sejak tahun 2008 aktif menghasilkan film pendek

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 4/23

setiap tahunnya, padahal listrik di daerah itu masih susah. Menurut Aris Prasetyo, guru yang mengampu pendidikan

film di sana, ekstrakurikuler film sesungguhnya adalah cara untuk menarik minat anak-anak sekitar untuk

sekolah.[vi] Pada awalnya, SMPN 4 hanya punya 39 siswa. Pasca pemutaran-pemutaran film hasil ekstrakurikuler di

kaki Gunung Slamet dan sejumlah kisah sukses kemenangan film-film Karangmoncol di berbagai kompetisi film

nasional, SMPN 4 kini menampung lebih dari dua ratus siswa.

Ada pula perkembangan yang menarik di Palu. Media-media sempat melirik daerah ini berkat kemenangan Halaman

 Belakang  karya Yusuf Radjamuda di Festival Film Solo 2013. Adapun kehadiran Anganku Tinggi Ke Bawah karya

Charles Edward dan Matahari  karya Yusuf Radjamuda di XXI Short Film Festival 2013 turut menambah profil

daerah ini. Meski begitu, banyak orang yang tidak sadar dan tidak tahu kalau Palu adalah kota yang tak punya

 bioskop. Bioskop terakhir di kota itu adalah Palu Studio yang tutup di tahun 2000.[vii]Sejak tahun 2005 sampai

sekarang, Palu menemukan artikulasi dalam produksi video dan film pendek yang dilakukan Dedi Budjang, Yusuf

Radjamuda, Eldiansyah Ancha Latief, dan banyak kawan-kawan lainnya.[viii]Budaya menonton tumbuh dengan

sendirinya berkat sejumlah inisiatif ekshibisi. Tahun 2009 ada Eksebisi Felem Kita yang rutin memutar film pendek

 bagi anak muda Palu. Ada Perpustakaan Mini Nemubuku yang dirintis Neni Muhidin tahun 2011 yang menjadi

tempat diskusi pegiat sastra dan film, serta inisiatif Bioskop Jumat Palu yang aktif mengadakan pemutaran publik

dan bulan Juni kemarin menjadi partner lokal bagi German Cinema Film Festival yang diadakan Goethe Institut.

Jangan lupakan juga pemutaran-pemutaran tak resmi yang memungut bayaran untuk film-film bioskop Indonesia

hasil bajakan atau unduhan.[ix] Satu kasus yang cukup terkenal adalah pemutaran Ayat-ayat Cinta di Gedung RRI.

Film yang diputar adalah versi yang masih ada timecode dan setiap penonton dikenai tiket masuk seharaga sepuluh

ribu. Setelah pemutaran sekali seminggu selama sebulan penuh, penyelenggara meraup untung ratusan juta.

Pergulatan-pergulatan lokal inilah yang belum terekam, padahal kontribusinya tidak sedikit bagi perkembangan

 budaya sinema di Indonesia. Kita perlu melihat lagi bagaimana Yogyakarta dari awal sampai akhir 2000an begitu

ramai oleh inisiatif pemutaran dan diskusi yang dilakukan Komunitas Dokumenter (lewat Festival Film Dokumenter

setiap tahunnya), Kinoki (lewat program pemutaran bulanan dalam coffeeshopmereka), Kampung Halaman (lewat

 program pemutaran dan pemberdayaan audiovisual di desa-desa), Jogja-NETPAC Asian Film Festival (lewat

 program temu komunitas dan sajian film-film Indonesia dan Asia), serta entah berapa banyak kineklub di kampus-kampus kota pelajar itu. Pertimbangkan juga persaingan antara warnet dalam membangun koleksi film

di server  mereka, yang jelas menjadi kemewahan tersendiri bagi anak-anak muda haus film di Yogyakarta. Dalam

lingkungan sekaya dan sedinamis ini, nama-nama sineas Yogyakarta yang sekarang tenar macam Ifa Isfanyah,

Yosep Anggi Noen, dan BW Purbanegara dibesarkan.

Kita juga perlu merunut kembali program-program yang dilakukan Forum Lenteng, dari pelatihan produksi

audiovisual hingga pemutaran film-film penting sejarah sinema dunia dengan  subtitle bahasa Indonesia. Rekanan

mereka mencakup komunitas-komunitas di Padang Panjang, Blora, Lebak, Cirebon, Rangkasbitung (bersama

Saidjah Forum menghasilkan dokumenter Dongeng Rangkas), hingga Tangerang Selatan (bersama Komunitas

Djuanda menghasilkan dokumenter Naga yang Berjalan di Atas Air ). Bulan Agustus lalu, di tengah perhelatan

ARKIPEL International Documentary & Experimental Film Festival 2013, Komunitas Pasir Putih dari Lombokmeluncurkan Elesan Deq a Tutuq ( Jejak yang Tidak Berhenti), dokumenter hasil kolaborasi dengan Forum Lenteng.

Film tersebut merekam keseharian anak muda Lombok menghadapi budaya-budaya baru yang dibawa para turis

yang kian banyak dalam beberapa tahun terakhir.

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 5/23

 

Proses pembuatan Elesan Deq a Tutuq di Lombok Utara (dokumentasi Forum Lenteng)

Yang Absen dalam Sejarah 

Pergulatan sejenis juga absen dalam sejarah „resmi‟ perfilman kita. Tidak perlulah kita jauh-jauh menyorot

 bagaimana Bachtiar Siagian dan sineas-sineas LEKRA lainnya hilang dari narasi sejarah perfilman kita; cukup

melihat kembali kebangkitan sinema Indonesia pasca 1998. Narasi yang populer di masyarakat kita adalah

kesuksesan Petualangan Sherina (2000) dan Ada Apa dengan Cinta? (2002) memboyong jutaan penonton ke

 bioskop untuk kembali menonton film Indonesia. Sejumlah narasi turut menyertakan Kuldesak  (1997)

dan Jelangkung   (2001). Konon, film-film itu menumbuhkan gairah besar di kalangan pembuat dan penonton film

yang memicu tumbuhnya industri film baru di Indonesia.

 Nyatanya, ada satu dunia sendiri yang luput dalam narasi-narasi yang selama ini beredar. Di akhir tahun 90an,

teknologi video memungkinkan anak muda di luar industri dan sekolah film memproduksi konten audiovisual

sesuka hati mereka. Karya yang paling banyak dihasilkan adalah video dan film pendek. Karya-karya ini kemudiantersalurkan lewat festival-festival lokal yang juga bermunculan di akhir 90an dan awal 2000an: Festival Film-Video

Independen Indonesia (di Jakarta), Jakarta International Film Festival, dan Festival Film Dokumenter (di

Yogyakarta). Festival-festival ini menarik, karena digiatkan oleh kelompok-kelompok anak muda yang jengah tidak

 bisa menonton film Indonesia di bioskop akibat ambruknya perfilman nasional sepanjang tahun 90an. Pada

 perkembangannnya, jaringan produksi, distribusi, dan ekshibisi dadakan ini berkontribusi bagi pertumbuhan

 perfilman Indonesia pasca 1998. Festival-festival ini membuka ruang-ruang baru bagi publik untuk nonton dan

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 6/23

diskusi, dan para pembuat film menemukan etalase untuk karya-karya mereka serta khalayak yang terus berkembang

sebagai penontonnya. Beberapa nantinya menjadi sineas ternama di dunia internasional, macam Edwin dan Riri

Riza. Beberapa mencoba peruntungan di ranah industri dan sukses, macam Hanung Bramantyo dan Ifa Isfansyah.

 Nama-nama ini sering kita puja karena pencapaiannya, tapi sedikit sekali usaha untuk memahami keutuhan proses

mereka dari hal-hal yang mengakari mereka. Dari ratusan tulisan yang mengangkat Riri Riza pasca

kesuksesan Laskar Pelangi sampai Atambua 39C , ada berapa yang menghubungkan estetika Riri Riza sekarang

dengan eksperimennya dalam film pendek Sonata Kampung Bata (1993)? Dari ratusan artikel yang mendedah

 politik dalam film-film Hanung Bramantyo pasca kontroversi Perempuan Berkalung Sorban dan Tanda Tanya, ada

 berapa yang mencoba meninjau kecenderungan politis sutradara itu saat membuat film-film pendek

macam Tlutur  (1998) atau Topeng Kekasih (2000)? Film-film pendek itu diputar dalam festival-festival lokal akhir

90an, dan punya peran yang tidak kecil dalam merintis karya dan kriya yang mereka lakoni sekarang. Sayangnya,

hampir tidak ada catatannya dalam sejarah perfilman kita.

Perspektif yang ada sekarang tidaklah memadai untuk merekam budaya sinema di Indonesia secara menyeluruh.

Kita masih begitu semena-mena membelah sinema sebagai arus utama, arus samping, film pop, film festival, dan

label-label lainnya. Budaya sinema dilihat sebagai jenjang bertingkat-tingkat, dan kita begitu terpaku pada puncak-

 puncak perfilman sehingga abai pada proses-proses yang menyokongnya. Alhasil, setiap kali puncak gagal diraih,

kita buru-buru mewacanakan kecemasan tanpa tahu gambaran besarnya.

Kebutuhan terbesar kita sekarang ini bukan lagi narasi krisis, tapi narasi kritis. Perlu ada perspektif baru yang

melihat budaya sinema sebagai sebuah keutuhan, yang memperhitungkan setiap elemen dalam budaya sinema kita

dan segala pertautan di antaranya. Perluasan perspektif ini jelas tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Bagi para

 pelaku industri dan pembuat kebijakan di pemerintahan, ternyata ada kantong-kantong budaya sinema yang selama

ini terbentuk secara organis tapi kerap luput dari pengamatan khalayak. Pola pembangunan satu-mall-satu-bioskop

yang dipegang teguh Grup 21 dan Blitzmegaplex sampai sekarang mempopulerkan wacana bahwa sinema hanyalah

komoditas para borjuis di kota-kota besar. Padahal tidak sesederhana itu kenyataannya, tidak sesempit itu pulakemungkinannya.

Bagi para kritikus, jurnalis, blogger, dan para pengabdi kenyataan lainnya, ternyata masih banyak gerbang-gerbang

informasi yang belum kita ketuk. Padahal selama ini ada sejumlah inisiatif yang mencoba mengumpulkan sejarah-

sejarah dalam arsip mereka. Untuk film pendek ada Yayasan Konfiden dan Boemboe Forum; untuk film dokumenter

ada Komunitas Dokumenter di Yogyakarta dan In Docs di Jakarta. Untuk video dan film eksperimental ada Forum

Lenteng yang giat memupuk koleksi mereka. Belum lagi sumber-sumber informasi yang tercecer di antara ratusan

komunitas film di Indonesia, yang belum terpetakan lagi sejak Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis

Komunitas di Solo tahun 2010 silam.[x] 

Bagi para pegiat komunitas, tanpa mengecilkan pencapaian selama ini, ada baiknya turut menggalakkan inisiatif penulisan, perekaman, dan pengkajian akan apa yang sudah dilakukan selama ini. Beberapa tahun belakangan

aktivitas yang paling ramai terjadi di tingkat komunitas adalah produksi, ekshibisi, produksi, dan produksi lagi.

Rekam jejak menjadi vital karena banyak komunitas film di Indonesia yang tumbuh dari lingkungan kampus.

Sebagaimana kehidupan kampus yang sifatnya tahunan, pergantian pengurus menyebabkan keterputusan sejarah

antarangkatan. Seringkali angkatan baru mulai dari nol lagi dan akhirnya berkutat pada masalah yang itu-itu saja.

Dalam jangka panjang, rekam jejak ini tidak saja berguna bagi penelitian dan pembelajaran di masa depan, tapi juga

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 7/23

tolok ukur bagi para komunitas sendiri perihal apa yang sudah dicoba sebelumnya dan apa yang sebaiknya disasar di

masa mendatang.

Tahun-tahun yang kita arungi bersama sinema Indonesia selama ini belumlah terdefiniskan dengan memadai.

Sepanjang sejarahnya, sinema Indonesia punya banyak suara baru dan terobosan kultural yang terlewatkan begitu

saja. Sekarang sinema Indonesia butuh pembacaan baru, sejarah alternatif untuk segala yang sudah, sedang, dan

akan terjadi.

[i] Klaim ini didasarkan pada penjabaran JB Kristanto, kritikus film senior, dalam diskusi  Menata Ulang

 Infrastruktur Industri Agar Lebih Berpihak Pada Perfilman Nasional  yang diadakan Kementerian Pariwisata dan

Ekonomi Kreatif di Epicentrum Kuningan, Jakarta, 16 April 2013. Perhitungan beliau waktu itu: 783 layar x 150

kursi x 5 pemutaran = 587.250 orang yang bisa diserap seluruh bioskop kita setiap harinya. Sebulan: 17.617.500

orang. Setahun: 211.410.000 orang. Sampai dengan tulisan ini dibuat, ada empat bioskop baru dan satu bioskop

tutup, namun daya serap bioskop kita tidak beranjak terlalu jauh.

[ii] Perhitungan dilakukan berdasarkan catatan terakhir filmindonesia.or.id di laman Bioskop (diakses pada 10

September 2013).

[iii] EKSB PIFILM (@eksb_pifilm). “Data Statistik Peredaran Film #1 http://pic.twitter.com/17XsidI9jK ” 4

September 2013, 23:59. Tweet.

[iv] Blog Jaringan Kerja Film Banyumas aktif mencatat sejarah dan perkembangan film di daerah mereka.

[v]  Nanang Anna Noor.  Melihat dengan Bijak Festival Film Banyumas. Rabu, 30 Mei 2007. Berita Seni (diakses

 pada 2 September 2013)

[vi] Percakapan penulis dengan Aris Prasetyo terjadi saat diskusi setelah  pemutaran film-film pendek SMPN 4 Satu

Atap Karangmoncol di Festival Film Solo 2013. 

[vii] Jamrin Abubakar.  Palu Studio, Sebuah Riwayat Bioskop di Sulawesi Tengah. Kamis, 22 Agustus 2013. Blog

 pribadi (diakses pada 30 Agustus 2013)

[viii] Bayu Bergas. Yusuf Radjamuda: Kematian Bioskop Untungkan Film Pendek Palu! .  Minggu, 26 Mei 2013.

Komunitasfilm.org (diakses pada 25 Agustus 2013)

[ix] Muammar Fikrie. Tak Ada Bioskop, Warkop Pun Jadi.  Rabu, 30 Januari 2013. Stepmagz.com (diakses 5

September 2013)

[x] Sekelumit tentang Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas di Solo tahun 2010 bisa dilihat

di  blog acara tersebut. 

Sumber; http://cinemapoetica.com/harian/esai/sejarah-alternatif-film-indonesia/ 

Laporan Kongres May 12, 2010 in Uncategorized | by temukomunitas | 1 comment 

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 8/23

 

Berikut laporan Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas 2010. Laporan inimerupakan catatan singkat mengenai proses berjalannya kongres, disertai hasil-rekomendasi pascakongres yang dijabarkan pada hari penutupan kongres.

Laporan ini belum disertai hasil transkripsi perbincangan tiap kelas dari rekam audio serta videoselama kongres berlangsung. Saat ini proses transkripsi sedang berjalan, dan akan dikemas dalam

bentuk laporan menyeluruh mengenai kongres.

Laporan bisa diunduh dalam format file Pdf dan Doc.

Terimakasih

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 9/23

Terimakasih March 24, 2010 in Uncategorized | by temukomunitas | 3 comments 

Salam,

Kongres Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas 2010 telah dilaksanakan di Taman BudayaJawa Tengah, Solo pada tanggal 17-20 Maret 2010 lalu. Kongres ini dihadiri oleh 110 orang dari 43komunitas dan individu, dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Seluruh agenda kegiatan yangdirencanakan dapat berjalan sepenuhnya.

Terimakasih atas kehadiran serta keterlibatan kawan dalam kongres tersebut. Kami, panitia

penyelenggara menyadari banyak kekurangan dalam mempersiapkan serta menjalankan kongrestersebut. Untuk itu, kami mohon maaf sebesar-besarnya bila ada hal-hal yang kurang berkenan bagikawan-kawan yang hadir dalam kongres.

Untuk mendapatkan hasil notulensi serta rekam suara selama acara berlangsung, kawan-kawan dapatmengikuti semua update dihttp://temukomunitas.wordpress.com,  panitia akan meng-upload file-filetersebut selambatnya 1 (satu) bulan paska acara.

Sekali lagi terimakasih atas kehadiran, keterlibatan, serta dukungan yang kawan-kawan berikandalam penyelenggaraan kongres ini.

Penutupan Registrasi Kongres March 1, 2010 in Uncategorized | by temukomunitas | Leave a comment 

Salam,

1 Maret 2010 adalah batas akhir regsitrasi Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas.Bagi teman-teman yang belum melakukan registrasi sampai dengan batas waktu ini, kami mohonmaaf dan pengertiannya bila kami tidak bisa memfasilitasi teman-teman untuk mengikuti acara ini.

Hingga saat ini telah tercatat 132 peserta dari 20 komunitas dan individu yang telah melakukanregistrasi.

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 10/23

Bagi teman-teman yang telah melakukan registrasi, kami akan mengabarkan lebih lanjut soalpembagian kelas dan informasi-informasi lainnya terkait dengan penyelenggaraan acara kongres ini.

Terimakasih, dan sampai jumpa di Solo.

Hormat kami.

Komunitas film

  12.9 AJ kine klub UAJY 

  akumassa 

  ammatira 

  Blender Indonesia 

  boemboe.org 

  cinematography club fikom unpad 

  CLC Purbalingga 

  Falling Star Picture 

  filmalternatif  

  Finger Kine Klub Salatiga 

  Forum Lenteng 

  Importal 

  In-docs 

  JKFB 

   jurnal footage 

  Kedai Film Nusantara 

  Kine Klub UMM 

  Kine Klub UMS 

  Kine Klub UMY 

  Kine Wakref Uir 

  Kineforum DKJ 

  Kinoki Jogja 

  kofi 52 medan 

  Koin Jember 

  komunitas sarueh 

  Komunitasdjuanda 

  Kotakain community 

  Kronik Filmedia 

  mafvie-fest Malang 

  Mata Film 

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 11/23

  matakaca Solo 

  Oengoe Cinema 

  Sangkanparan 

  Studio gambargerak 

  Yayasan Konfiden 

Sumber: http://temukomunitas.wordpress.com/ 

Tentang FestivalFestival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta adalah yang

festival film pertama di Indonesia dan di Asia Tenggara,

yang khusus menangani film dokumenter. FFDdilaksanakan secara rutin setiap tahun di bulan Desember

berturut-turut semenjak tahun 2002.

Gagasan awal membuat Festival Film Dokumenter berawal

dari pembicaraan ringan di tahun 2002. Sekelompok anak

muda yang gelisah dengan keberadaan media ini, memulai

mengerjakan gagasan tersebut dengan keinginan untuk

berbuat sesuatu bagi dunia perfilman di Indonesia

khususnya film dokumenter. Kepedulian muncul karena

ada potensi yang belum tergarap secara optimal dalammasyarakat perfilman Indonesia, padahal potensi tersebut

melimpah di sekeliling kita. Sumber daya manusia dan

materi/bahan garapnya adalah modal yang memadai

untuk penciptaan sebuah karya film dokumenter. Tapi

nampaknya potensi ini tidak memiliki ruang gerak yang

memadai, ketika insan (muda) perfilman lebih asyik

dengan penciptaan karya film yang “artistik” dan

“ekspresif”, yang sebagian besar adalah fiksi. Didramatisir

pula oleh profit-oriented pada bidang -yang oleh sebagian

orang sebagai acuan yaitu televisi- secara instan. Padahal

film dokumenter sarat dengan unsur pendidikan yang

kental.

Film dokumenter memiliki ciri khas yang membedakannya

dari media massa umum lainnya, sebuah kekuatan yang

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 12/23

signifikan sebagai suatu media yang mencerdaskan,

reflektif, dan dapat melewati batas-batas ruang dan

waktu. Di tengah arus media massa yang demikian deras,

film dokumenter dapat mengambil peran penting sebagai

media aspirasi yang mandiri.

FFD 2013 adalah penyelenggaraan yang ke-12, masih tetap

dengan visi untuk terus memberi ruang bagi aktivitas

penciptaan, apresiasi dan sosialisasi, juga pendidikan di

bidang film dokumenter dalam arti yang seluas-luasnya.

Berangkat dari semangat berkarya, dibimbing dengan

nilai-nilai gotong royong, dipandu oleh harapan untuk

terwujudnya kehidupan seni, budaya, dan kreatifitas yang

lebih baik, FFD 2013 akan dilaksanakan dengan program

program: Kompetisi Film Dokumenter Indonesia,Perspektif, Spektrum, School Docs, Master Class, Diskusi

dan program-program pendukung lainnya. 

Kompetisi Film Dokumenter IndonesiaKompetisi merupakan program utama dari Festival Film

Dokumenter sejak pertama kali diadakan tahun 2002.

Tujuan dari program ini adalah untuk memberikan ruang

apresiasi dan eksebisi bagi film dokumenter Indonesia.

Melalui kompetisi ini juga kami juga mencoba menilik

sejauh mana film dokumenter Indonesia telah

berkembang.

Selama ini kami selalu mencari film yang mampu secara

kritis menyajikan hal-hal yang ada di sekitar kita dan

mengolahnya menjadi sebuah cerita yang nantinya

diharapkan bisa tersampaikan dengan baik ke penonton.

Eksplorasi dari segi gaya penceritaan juga menjadi sorotan

kami di Kompetisi Film Dokumenter tahun ini. Beberapa

film masuk sudah mulai mempresentasikan ide mereka

dengan gaya yang berbeda dengan film dokumenter

bergaya ekspositori yang lebih familiar dengan penonton

Indonesia. Hal ini memberikan corak menarik bagi

kompetisi tahun ini.

Tahun ini ada sebanyak 95 film yang masuk ke Kompetisi

Film Dokumenter. Ini merupakan jumlah film masuk

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 13/23

tertinggi selama 11 tahun festival diadakan. Metode

pendaftaran film secara online yang mulai diterapkan

tahun ini tampaknya cukup memberi dampak signifikan

terhadap luasnya pemberitaan tentang kompetisi ini.

Sekalipun masih di tahap percobaan dan masih banyakyang perlu diperbaiki dari sistem baru ini, diharapkan di

kedepannya bisa mempermudah akses bagi pembuat film

untuk bisa mengikutsertakan karyanya ke kompetisi film

dokumenter ini. 

Sumber: http://www.ffd.or.id/p/tentang-kami.html 

Mengintip Sejarah South to South Film Festival

South to South Film Festival  (StoSFest) merupakan sebuah festival film pertama di Indonesia, yang

mengangkat isu lingkungan sebagai tema sentral dalam setiap perhelatannya. StoSFest dilaksanakan

secara rutin setiap dua tahun sekali sejak tahun 2006.

Pada awal kemunculannya di tahun 2006, StoSFest merupakan program yang digagas oleh organisasi

non-pemerintahan bernama Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Namun seiring dengan

perkembangannya, hingga kini StoSFest menjadi program bersama yang diselenggarakan oleh beberapa

lembaga swadaya yang bergerak dalam isu lingkungan hidup di Indonesia di antaranya, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), WALHI, KIARA, Sawit Watch, Climate Justice, Bingkai Indonesia, Gekko

Studio, dan Ecosister.

StoSFest berusaha menjadi media edukasi dan komunikasi publik terhadap isu  –  isu lingkungan hidup

serta sosial dan politik. Melalui media film, StoSFest mencoba merangkul berbagai elemen di masyarakat

untuk peka dan berperan aktif dalam mengurangi dampak eksploitasi sumber daya alam yang terjadi di

sekitar kita. Gagasan ini muncul dikarenakan semakin maraknya eksploitasi yang dilakukan oleh negara

 – negara maju (Utara) terhadap negara – negara berkembang (Selatan).

Tahun 2014 ini adalah tahun ke-5 penyelenggaraan South to South Film Festival . Masih dengan visi yang

sama yaitu untuk menggugah kesadaran publik akan pentingnya merawat lingkungan. Berangkat dari

kesadaran semakin maraknya krisis sosial, politik, dan lingkungan, South to South Film Festival 2014 ini

mengangkat tema O-Balihara yang berarti memelihara harapan bagi nusantara.

Pada perhelatan yang ke-5 ini, program  –  program yang akan diselenggarakan adalah kompetisi film

pendek fiksi dan dokumenter Indonesia, horison yang merupakan program penayangan film lingkungan

dari seluruh dunia, JazzNite dan diskusi serta presentasi.

Oleh : Lily Rusna Fajriah

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 14/23

- See more at: http://www.stosfest.com/2014/02/mengintip-sejarah-south-to-south-film-

festival#sthash.ctUKjWcz.dpuf  

 Apa itu SEJARAH FESTIVAL FILM INDONESIA ( FFI ) 

FESTIVAL film bukan kegiatan baru bagi orang-orang film Indonesia. Ini

bisa dibuktikan oleh bahan-bahan tertulis tentang festival pertama sepuluh tahun setelah Indonesia

merdeka. Tapi yang menarik adalah ini: catatan sejarah yang lengkap tentang festival keenam tidak

kurang, namun untung festival yang kedua sampai lima tidak ditemukan. "Ya memang tidak pernah ada",

kata seorang tokoh perfilman. Konon setelah festival pertama tahun 1955 di Jakarta itu, ada juga rencana

untuk menyelenggarakan kegiatan yang sama tahun berikutnya di Medan. Tapi karena dunia perfilman

mengalami kemerosotan, orang-orang sibuk menyelamatkan diri dan modalnya sendiri. Lima tahun tanpa

festival berlalu. Memasuki tahun 1960, Indonesia yang harus mengirimkan delegasi ke Festival Film

 Asia ketujuh di Tokio terdesak untuk menyelenggarakan seleksi. Mula-mula festival yang diselenggarakan oleh PPFI kendati pun konon pembiayaannya ditang gung almarhum Djamaluddin Malik

(Persari)  -- akan disebut festival yang kedua saja, tapi karena dianggap kurang enak bahwa sesudah

lama baru muncul festival kedua, maka di tentu kan saja bahwa secara imajiner tiap tahun ada festival

dan dihitung dari tahun 1955, tahun 1960 ini merupa kan yang keenam. Sudah itu tidak pernah ada kabar

lagi tentang nasib pesta-pesta film Indonesia  yang biasanya selalu di ramaikan dengan pawai keliling,

kembang api serta segala macam pesta. Ketika orang-orang film mulai bernafas kembali -- setelah lama

tertndas oleh keadaan ekonomi, tekanan Lekra dan Papfias - tahun 1967menyaksikan munculnya suatu

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 15/23

festival yang ikut numpang dalam Pekan Apresiasi Film yang diorganisir bersama dengan fihak

Departemen Penerangan. Baru setelah enam tahun berlalu, festival yang dari dulu diinginkan

berlangsung secara teratur, dapat di selenggarakan lagi. Untuk kontinuitas dan keteraturannya itulah

kabarnya maka fihak perfilman mendirikan yayasan khusus untuk mengurusi festival-festival tersebut. Ini

konon merupakan hasil dari pengalaman pahit dengan dua festival pertama yang diselenggarakan

oleh PPFI. Karena yang menyelenggarakan fihak produser, sudah tentu kepentingan komersiil mereka

tidak bisa tersisihkan. Akibatnya juri mengalami tekanan, sampai-sampai di antara mereka sendiri terjadi

polemik berlcepanjangan dan saling melempar tanggurag jawab, bahkan jauh setelah festival itu sendiri

usai. Tidak, jeleknya untuk sekedar mengingat beberapa hasil tiga festival terdahulu. Kegiatan tahun

1955 memilih film Lewat Jam Malam dan Tarmi7)a sebagai film-film terbaik, sedang A.N. Alcaff dan

Dahlia masing-masing beruntung terpilih sebagai aktor dan aktris terbaik. Tahun 1960 melahirkan Farida

 Ariani dan Soekarno M. Noor sebagai aktris dan aktor terbaik sedang film yang disepakati juri sebagai

paling baik waktu itu adalah Turang, karya Bachtiar Siagian. Mungkin karena tahun 1967 dunia perfilman

masih berada dalam ekor krisis masa Nasakom maka tidak banyak film yang sempat ikut. Para-juri

akhirnya tidak memilih film terbaik, tapi Soekarno M.Noor sekali lagi mendapat kehormatan dipilih

sebagai aktor terbaik sedang Mike Widjaja berhasil merebut gelar aktris terbaik. Pada festival ini lah pula

Idris Sardi untuk pertama kalinya merebut gelar ilustrator musik terbaik, dan sejak itu larisnya sungguh

bagaikan pisang goreng beraroma vanili. 

Djamaludin Malik dan Elly Yunara disambut dan diiringi para sineas dan artis, memasuki

gedung dimana akan dilangsungkan Festival Film I tahun 1955

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 16/23

Djamaluddin Malik mendampingi Ibu Negara Fatmawati Soekarno, yang meresmikan

dilangsungkannya FFI-I 1955

Sejarah FFI 

Tahun 1955, nasib perfilman nasional cukup mengkhawatirkan. Pertama, menghadapi persaingan cukup berat dari

film Malaya (kini Malaysia). Kemudian digantikan dengan maraknya film India, yang menyedot penonton kelas

menengah ke bawah. Sementara bioskop-bioskop kelas satu menolak memutar film-film nasional dan dimonopoli

film-film dari Amerika Serikat. Dalam suasana suram begitu, dua tokoh perfilman, masing-masing H Usmar Ismail

dan H Djamaluddin Malik, mempelopri Festival Film Indonesia(FFI).  

Pertama kali mereka menggelarnya di Jakarta pada 30 Maret-5 April 1955. Sebelumnya, kedua pioner perfilman

nasional itu menghadiri acara pembentukan Persatuan Produser Film Asia (Federation of Motion Picture Producers

in Asia/FPA) di Manila, Filipina. 

Ini yang menyebabkan Indonesia harus mengadakan FFI dan pemenangnya akan diperebutkan di FPA, yang

diselenggarakan secara bergiliran di negara-negara anggotanya. Dalam FFA I 1955, film Lewat Jam Malam, produksi

Perfini, meraih anugerah film terbaik, dengan Usmar Ismail sebagai produser. Film ini juga menempatkan AN Alcaff

sebagai pemeran utama pria terbaik dan Dhalia menjadi pemeran wanita terbaik, dan aktor pembantu terbaik

diraih Bambang Hermanto. 

Sedangkan sutradara terbaik direbut Lilik Sudjio lewat film Tarmina, produksi Persari. Gebrak bioskop utama

Setelah FFA pertama sukses, keduanya kembali saling bahu-membahu dan bergandengan tangan. Mereka

menghadapi keangkuhan bioskop-bioskop kelas satu atau utama yang kala itu menolak memutar film nasional dan

hanya memberi tempat bagi film-film AS. Untuk membuktikan bahwa film nasional juga bermutu dan digemari

penonton kelas atas, Usmar membuat film berjudul Krisis, dibintangi Nurnaningsih. Film ini diputar selama 35 hari

di Bioskop Metropole. Sebelumnya, bioskop yang kini dikenal dengan Megaria, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat,

hanya memutar film-film produk MGM (Metro Goldwin Mayer), perusahaan film terbesar di Hollywood, AS.

Setelah itu, Asrul dengan Perfini-nya membuat film Tiga Dara, dengan pemain Mieke Widjaya, Indriati Iskak, dan

Chitra Dewi. Seperti juga Krisis, film ini sukses di bioskop- bioskop kelas atas. Menurut pengamat film era 1950-an,

A Rahman Latief, begitu gigihnya menampilkan film-film Indonesia di bioskop kelas satu, Usmar Ismail pernah

marah besar kepada Bioskop Capitol, Jl Pintu Air, depan Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Pasalnya, Capitol sempat

menolak memutar film Tiga Dara-nya atau Djanjiku produksi Djamaluddin Malik dari Persari. 

Setelah mau memutar film-film produksi Usmar dan Djamal, Capitol ternyata sukses besar dalam meraih

penonton. Kegigihan dua produser film itu mendapat respon positif dari Walikota Jakarta, Sudiro. Ia tanpa ragu-

ragu mewajibkan bioskop-bioskop kelas satu untuk memutar film nasional. Masuk Lesbumi Usmar Ismail

mendirikan Perfini Maret 1950, hanya beberapa bulan setelah penyerahan kedaulatan. Dengan kantor pusatnya di

Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat. Sedangkan Djamaluddin Malik mendirikan Persari pada 1953 dengan studionya

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 17/23

di Polonia, Jatinegara. Bahkan dia menyediakan perumahan untuk para artis dan aktornya. Sekarang ini Persari

diteruskan oleh putri Djamal, Camelia Malik dan suaminya Harry Capri. Di tengah maraknya aksi kelompok 'kiri',

Usman, Djamal, Asrul Sani, Suman Jaya, dan beberapa bintang lainnya yang telah banyak menyumbang pada dunia

film, dituduh sebagai antek Nekolim, kontra revolusi, dan entah apa lagi. Untuk menghadapi intrik- intrik PKI,

Usman, Djamal, dan Asrul Sani bergabung dengan Lesbumi (Lembaga Seniman Budaya Muslim Indonesia) yang

merupakan organ Partai Nahdlatul Ulama (NU). 

Djamal yang dilahirkan 1917 meninggal 1970 dalam usia 53 tahun. Setahun kemudian disusul dengan wafatnya

Usmar Ismail pada 20 Maret 1971, dalam usia 50 tahun (lahir 2 Januari 1921). Kontribusi lain Usmar di perfilman

nasional ialah dengan mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang menghasilkan sejumlah insan

film kenamaan, seperti Teguh Karya, dan Sukarno M Noer. Namanya juga diabadikan untuk sebutan gedung: Pusat

Perfilman Usmar Ismail, di kawasan Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. ( alwi shahab )  http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=227162&kat_id=383 

Sejarah Festival Film Indonesia 

KERDEKAAN memang membawa berkah. Tapi Proklamasi 1945 juga me”lahir”kan revolusi fisik, di kala tergonjang -

ganjing hingga 1949. Tidak sedikit yang hijrah ke ibu kota perjuangan, Yogyakarta, meninggalkan Jakarta yang

di”kuasai” lagi oleh (bekas) penjajah Belanda. Termasuk para seniman muda yang kemudian jadi tokoh perfilman

nasional, seperti Usmar, D. Djajakusuma (1918-1987), Surjosoemanto (1918-1971), dll. Mereka belajar (teori)

tentang film dari para senior. Antara lain Andjar Asmara (1902-1961), R.M. Soetarto (1914-2001) dan DR.

Huyung(1907-1952).Sementara Djamal pada 1947 mengumpulkan pemain 2 rombongan sandiwara miliknya,

masing-masing Pantjawarna (dari Solo) pimpinan M. Budhrasa (1901-1977) dan Bintang Timur (dari Yogya) yang

dipimpin Darussalam (1920-1993). Pertemuan di Solo itu mengeluarkan keputusan terbentuknya badan usaha

Firma Perseroan Artis Indonesia (PERSARI), yang tujuan jangka panjangnya adalah mendirikan sebuah perusahaan

film. Djamal telah berpikir “jauh ke depan”, PERSARI berdiri pada 1951.Di masa sebelum kemerdekaan, ter dapat 3

perusahaan film Cina, yaitu Tan Khoen Yauw dan adiknya Tan Khoen Hian (TAN’s Film), Wong Bersaudara dan JavaIndustrial Film (JIF) yang dikelola Teng Chun bersama adik-adiknya. Sempat menikmati “masa panen” sehabis

sukses Terang Boelan pada 1938.• 1937 - 2 film • 1938 - 3 film • 1939 - 5 film • 1940 - 14 film • 1941 - 30 film •

1942 - 3 filmAnjloknya produksi 1942, yang hanya sepersepuluh dibanding 1941, adalah disebabkan menyerahnya

Belanda kepada Jepang (8 Maret 1942). Yang pertama dilakukan Jepang adalah menyita peralatan perusahaan film

swasta, dan melarang swasta membikin film, cerita maupun dokumenter. Jepang lebih banyak membikin film non-

cerita yang bersifat propaganda/penerangan. Beberapa film cerita juga dibikin, tapi melulu berisi propaganda

(Berdjoang/1943, Ke Seberang/1944).Di masa pendudukan Jepang, cuma Tan Bersaudara yang tetap di bidang film,

sebab kedua kakak-adik itu adalah pengusaha dua bioskop di Jakarta yang bernama sama, Rialto (di Senen dan

Tanah Abang). Teng Chun bikin rombongan sandiwara Djantoeng Hati, tapi tidak lama. Sedangkan Wong

Bersaudara dagang kecap dan limun.Pada 1948 Wong dan Tan bergabung dalam Tan & Wong Bros. dengan

produksi pertamanya Airmata Mengalir di Tjitarum, yang menampilkan Sofia (Sofia WD, 1925-1986). Teng Chun,bekerja sama dengan teman sekolahnya Fred Young (1900-1977) bikin perusahaan baru, Bintang Surabaja, pada

1949. (Nama itu semula nama rombongan sandiwara yang dikelola Fred dari 1941 hingga 1948).Dengan JIF-nya

Teng Chun telah coba membangun usaha film sebagai industri. Namun Bintang Surabaja tak bertahan lama, tutup

pada 1962, seiring lesunya produksi film dalam negeri. Sementara itu PERSARI muncul sebagai kekuatan baru.

Djamal mendirikan kompleks studio yang luas di Polonia Jakarta Timur. Studio dibangun Djamal pada 1952,

setahun sesudah berdirinya PERSARI. Juga mengikat sejumlah bintang yang semula adalah anggota rombongan

Pantjawarna dan Bintang Timur.Tindakan serba berani nyaris selalu muncul dari Djamal. “Big Boss” Persari itulah

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 18/23

yang pada akhir 1954 melontarkan gagasan penyelenggaraan Festival Film Indonesia yang pertama, Maret 1955.

Dengan salah satu maksudnya adalah menyeleksi film wakil Indonesia ke Festival Film Asia (Tenggara) di Singapura,

Mei 1955. Sebagaimana disampaikan panitia, sehabis rapat pada 2 Pebruari 1955 :  1. sebagai pendorong bagi

perbaikan mutu/tehnik film Indonesia. 2. Membikin penonton-penonton Indonesia (ber) film-minded terhadap

filmnya sendiri. 3. Sebagai pemilihan terhadap film-film Indonesia yang akan dikirimkan ke Festival Film Asia

Tenggara, Mei 1955, di Singapura. 4. Merapatkan hubungan kebudayaan serta silaturahmi di antara bangsa melaluifilm, di Asia khususnya dan di dunia umumnya.Panitia inti adalah Djamal (Ketua), Usmar (wakil ketua), Mansur

Bogok (Sekretaris) dan The Teng Hoei (bendahara). Diperkuat oleh direksi bioskop-bioskop Metropole/Megaria

(Jakarta), Broadway (Surabaya), ODB (Medan), International (Palembang), Kalimantan (Banjarmasin) dan Capitol

(Makasar).Kepada pemenang aktor/aktris utama dan aktor/aktris pembantu diutus menghadiri Festival Film Asia

(Tenggara), yang ongkos p.p. maupun biaya-biaya lain selama di Singapura, semua ditanggung oleh panitia.Tapi

nama hadiah banyak sekali yang diajukan/disarankan, dari hadiah “Roekiah”, “Cornel Simanjuntak”, “S. Turur”,

“Ronggowarsito” hingga “Dr. Huyung.” Kemudian diputuskan nama yang panjang, yaitu hadiah Festival Film

Indonesia yang pertama, karena tak satupun dari calon-calon nama itu yang disepakati.Dalam majalah Aneka No. 5

Th. V, 10 April 1955 disebutkan bahwa panitia diperkuat/disempurnakan: Djamal (Ketua), R.M. Soetarto (wakil

ketua), Mansur Bogok (sekretaris), The Teng Hoei (bendahara), Usmar Ismail (formatur dewan juri), M. Panji Anom

(dekorasi), The Teng Hoei (urusan booking), M. Bogok/Ong Soen Hin (Publicity) dan D. Djajakusuma (urusanhadiah).Sedangkan Dewan Juri terdiri dari Prof.dr. Bahder Djohan (ketua kehormatan), Sitor Situmorang (wakil

ketua), Oei Hoay Tjiang (sekretaris) dengan para anggota dr. Rusmali, Basuki Resobowo, Andjar Asmara, Oei Soen

Tjan, Jusuf Ganda, Armijn Pane, T. Sjahril, Lodge Cunningham, Kay Mander, Sudjatmoko dan RAJ Sudjasmin.Festival

diikuti 12 film: Harimau Tjampa (Perfini), Krisis (Perfini), Lewat Djam Malam (Perfini/Persari), Tarmina (Persari),

Antara Tugas dan Tjinta (PFN), Pulang (PFN), Rentjong & Surat (GAF Sang Saka), Djakarta di Waktu Malam (Tan &

Wong), Burung Merpati (Canary), Rela (Garuda), Debu Revolusi (Ratu Asia) dan Belenggu Masjarakat (Raksi

Seni).Tujuh di antara film-film itu diusahakan pemutarannya serentak di 7 kota:Jakarta (Metropole dan Cathay),

Medan (Olympia), Palembang (International), Surabaya (Broadway), Makasar (Capitol) dan Banjarmasin

(Kalimantan).Pembukaan festival (di Jakarta) dimeriahkan pawai artis. Nyaris semua bintang sedia ikut. Antara lain

yang ketika itu sedang popular: Rd. Mochtar, Netty Herawati, AN Alcaff, Ellya (Rosa), Ermina Zainah, Sofia Waldy

(Sofia WD), Rd. Sukarno (Rendra Karno), Amran S. Mouna, Turino Djunaidi, A. Hamid Arif, S. Poniman,Nurnaningsih, Rd. Ismail, Nurhasanah, Risa Umami, Lies Noor, Mimi Mariani, Djuriah (Karno), Fifi Young, Salmah,

Bambang Hermanto, Chatir Haro, S.A. Rosa, dll.Pawai dimulai dari Gedung Olahraga (depan kantor Gubernur

Jakarta-tapi sekarang telah jadi bagian dari lapangan Monas), Merdeka Selatan, Merdeka Barat, Segara (Veteran)

III, Pecenongan, Krekot, Gunung Sahari/Cathay (kini pasar swalayan), Gunung Sahari/Senen, Salemba, Jalan RSCM,

Metropole, Cikini, Merdeka Selatan, Gedung Olahraga. Pawai diadakan pada 30 Maret 1955, dimulai pukul 17.00.

Pawai dilepas oleh Menteri Pendidikan & Kebudayaan, Prof. Moh. Yamin, SH.Kemeriahan itu berlanjut dengan

pemutaran film-film (pilihan) di Metropole dan Cathay. Malam pembukaan di Metropole dibuka resmi oleh

Menteri Penerangan, dr. F.L. Tobing. Kembali Metropole menunjukkan rasa kebangsaan setelah pada 1954 berani

memutar KRISIS (yang ternyata laris hingga 5 minggu) padahal terikat importir asing (MGM/Amerika). Di bioskop

itu pula berlangsung kongres yang melahirkan persatuan bioskop Indonesia, 10 April

1955.Penutupan/pengumuman pemenang festival menimbulkan suara pro dan kontra. Disebabkan terpilihnya juara-bersama untuk aktor utama AN Alcaff (Lewat Djam Malam) dan A. Hadi (Tarmina); aktris utama Dhalia

(Lewat Djam Malam) dan Fifi Young (Tarmina); serta aktor pembantu Bambang Hermanto dan Awaludin (bintang

Persari) dalamLewat Djam Malam.Ada yang menyambut hasil festival sebagai kemenangan Perfini. Lalu ada yang

menulis bahwa penulis itu pro Perfini. Sebaliknya si penyanggah itu kemudian dituding pro Persari. Tentu tidak

lepas dari peran Djamal, yang tidak cuma jadi penggagas, tapi sekaligus men”cukongi” festival. Terlihat juga dari

direbutnya gelar sutradara terbaik oleh Lilik Sudjio (Tarmina), bukan oleh Usmar (Lewat Djam Malam).Lepas dari

itu terselenggaranya festival juga dimungkinkan oleh kondisi perfilman Indonesia yang memang sedang “lancar”,

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 19/23

produksi naik dari tahun ke tahun: • 1949 - 8 film • 1950 - 23 film • 1951 - 40 film • 1952 - 50 film • 1953 - 41

film • 1954 - 60 film • 1955 - 65 filmEfek festival, yang dimaksud bersifat tahunan, pada 10 Maret 1956 lahir

Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), disusul berdirinya (secara resmi) PPFI yang dipimpin Djamaludin Malik pada

16 Juli 1956. Tapi, pada 1956tidak ada festival. Kondisi film Indonesia mulai goyah, produksi 1956 (36 film) turun

dibanding tahun-tahun sebelumnya.Setelah kongres, para artis langsung ber”demo” ke presiden Sukarno. Mereka

diterima di Istana. Wakil artis adalah Rd. Sukarno (Rendra Karno). “Aksi” itu didukung PPFI, menunjukkan bahwakepentingan artis dan “boss” itu sama. Sama-sama ter”gencet” film impor (di bioskop), baik yang dari

Hollywood/Barat maupun Malaya/Malaysia dan India.Gerakan “protes” artis itu seperti tak meninggalkan bekas

sama sekali. Maka, kembali Djamal bertindak berani: sebagai ketua (baru) PPFI, dia umumkan “tutup studio”, mulai

19 Maret 1957. Artinya stop produksi! Pernyataan para produser itu didukung artis. Lagi-lagi terlihat bahwa

produser dan artis punya kepentingan yang sama, ingin “film Indonesia jadi tuan rumah di negeri sendiri.”Ternyata

berhasil membikin pemerintah dan parlemen (DPR) terkejut. Kenapa para artis langsung menghadap presiden

Sukarno, dan mengapa produser perlu “mogok”?. Karena hingga saat itu urusan film ditangani oleh berbagai

Kementerian/Departemen. Pada 1950-an itu urusan pengimporan bahan baku dan peralatan di bawah Kementrian

Perdagangan, urusan film impor di bawah Perdagangan/Keuangan, sensor dibawah Pendidikan & Kebudayaan,

bioskop dibawah Dalam Negeri, dan PFN dibawah Penerangan. (Peresmian pawai pada FFI 1955 oleh Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan malam pertama festival diresmikan MenteriPenerangan).Akhirnyapemerintah menyetujui untuk mengurangi/membatasi impor film India pada khususnya, dan

penjatahan (quota) film impor secara umum. Namun pelaksanaan peraturan itu baru terjadi berbulan-bulan

kemudian, sehingga importir film India sempat “menimbun”. Padahal PPFI segera menghentikan “pemogokan”nya

pada 26 April 1957.Sementara itu pihak kiri/PKI memancing di air keruh. Djamal dan Usmar dikenal pula sebagai

tokoh-poltik, mereka pengurus Nahdatul Ulama (NU). Hal itu membikin PKI punya alas an untuk melepaskan

peluru, aksi “tutup studio” PPFI dianggap tidak tepat alasannya, karena (menurut kaum komunis) yang merusak

film Indonesia adalah produksi Hollywood (Amerika yang di-cap imperialis/neo-kolonialis).Padahal film (dari) Barat

itu sulit digoyang dari bioskop “atas” di kota-kota besar. Tapi di bioskop kelas dua/bioskop rakyat, film Indonesia

terengah-engah di”keroyok” film Malaya/Malaysia dan India. Tak sedikit produser Indonesia yang ikut-ikutan

“menyanyi dan menari” ala Malaya/India.Bahkan Usmar/Perfini coba berkompromi, bikin film musikal Tiga Dara

(1956). Film hiburan yang (tetap) bermutu itu ternyata laris. Tapi kemudian Perfini kembali ke “jalur”, membuatPedjuang (1960) dengan prestasi best actor untuk Bambang Hermanto (1925-1991) di festival internasional

Moskwa tahun 1961. Merupakan piala pertama yang digondol pemain Indonesia di ajang internasional.“Rame-

rame” yang dipicu PKI bikin tak terselenggaranya festival pada 1956 dan 1957 maupun 1958 dan 1959. Lebih-lebih

si pendorong festival, Djamal dikenai tahanan rumah (masalah politik) pada 1957, tanpa diadili hingga 2 tahun

kemudian. Biar situasi produksi memprihatinkan • 1956 - 36 film • 1957 - 21 film • 1958 - 16 filmNamun Djamal

 justru melakukan “lompatan”, bikin festival pada 21-26 Pebruari tahun 1960. Golongan kiri mulai “masuk”, karya

orang “mereka” TURANG terpilih sebagai film terbaik. Formatur juri Usmar dan Asrul Sani menghasilkan dewan juri

Ny. Utami Surjadarma, dr. Rusmali, Sitor Situmorang, Pak Said dan Kotot Sukardi. Hasil festival dikirim ke Festival

Asia (5-9 April) 1960 di Tokyo, Suzzanna terpilih sebagai aktris cilik terbaik dalam karya Usmar Asrama Dara . • Film

Center • Penghargaan • Kegiatan • KomunitasPerfilman Nasional dari Masa ke Masa (2)Ketika Rakyat Indonesia

Perlu HiburanOleh Hardo SukoyoMinggu, 27 November 2005Selama masa pemerintahan Presiden Soeharto, lahirbeberapa kebijakan perfilman yang dilakukan tujuh Menpen, yaitu; B.M. Diah (1967-1971), Boedihardjo (1971-

1975), Mashuri (1975 - 1978), Ali Moertopo (1978 - 1983), H. Harmoko (1983-1996), Hartono (1996 - 1997), dan

Alwi Dahlan (1997 - 1998).Untuk kepentingan POLEKSOSBUD saat itu, Menpen B.M. Diah (1967-1971) menempuh

kebijakan di bidang politik, agar gedung bioskop tidak dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonseia (PKI) dalam

melakukan agitasi. Di bidang ekonomi, dengan inflasi 600% (masuk buku Guiness Book Of Records), kegiatan

produksi film jadi tidak menguntungkan, produksi berkurang. Karena itu kebutuhan film di Indonesia terus

ditunjang dengan keberadaan film impor. Di bidang sosial budaya, agar rakyat Indonesia dapat melepaskan diri

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 20/23

dari ketegangan, perlu segera diberi hiburan. Karena itu perlu diadakan pemutaran film di gedung-gedung bioskop

di Indonesia.Guna melaksanakan kebijakan memanfaatkan film impor untuk membantu tumbuhnya kembali film

Indonesia, dikeluarkanlah SK Menpen No.71 tahun 1967; yang isinya antara lain; Memungut "sumbangan film

impor untuk rehabilitasi film nasional", dengan ketentuan wajib setor Rp. 250.000,- untuk setiap judul film yang

diimpor, dengan hanya memasukkan 2 copy film.Pungutan itu disebut saham produksi atau dikenal dengan nama

Dana SK 71 yang dikelola Yayasan Dana Film. Dan dana yang terkumpul melalui mekanisme Dewan Produksi FilmNasional (DPFN), digunakan untuk memproduksi film Indonsia percontohan.Dampak negatif  dari kebijakan

membuka kran impor tentu saja bertambahnya jumlah importir dan itu mengakibatkan harga film impor mahal.

Dampak positifnya, jumlah gedung bioskop dan pertunjukan film bertambah di. Rakyat dapat menikmati hiburan

film dengan harga murah. Kehidupan malam di sekitar bioskop menjadi marak, dan menghidupkan usaha kecil di

sekitar gedung bioskop. Dihapuskannya jam malam, sehingga menimbulkan rasa aman pada masyarakat secara

luas.Di era Menpen Boediardjo (1971-1975) di bidang impor film ada dua kebijakan. Yaitu, ditetapkannya "Quota

film impor" setiap tahunnya, yang membatasi jumlah film yang diimpor, tapi mengijinkan penambahan jumlah

copy per judul dari 2 copy menjadi 4 copy. Dan dibentuknya Badan Koordinasi Impor Film (BKIF) sebanyak 3 buah

yaitu: kelompok film Eropa Amerika, Mandarin, dan film Asia non Mandarin.Di bidang produksi film dibuat  2

kebijakan. Yaitu, membubarkan Dewan Produksi Film Nasinal (DPFN), karena film-film percontohan yang dibuat

memakan biaya banyak, namun tidak bagus dalam kualitas. Menetapkan SK Menpen tentang modifikasi dana SK71. Yaitu, dimulainya penggunaan dana SK.71 untuk kredit produksi film, dengan ketentuan besar kredit separuh

biaya produksi, maksimal Rp.7.500.000 per judul.Dampak positif kebijakan Menpen Boediardjo adalah; adanya

peluang lebih besar bagi pemasaran film Indonesia, dan memungkinkan produksi film Indonesia bertambah

 jumlahnya. Mengurangi jumlah importir film secara bertahap dan alamiah. Mengurangi persaingan yang tidak

sehat, dan menghilangkan hal-hal negatif lainnya yang sebelumnya sering terjadi.Dampak  negatifnya, peningkatan

 jumlah produksi tidak diikuti peningkatan kualitas dan jumlah penonton. Akibatnya terjadilah kredit macet.

Banyaknya kredit macet mengakibatkan dana tidak dapat bergulir untuk produksi film berikutnya. Effektivitas

kebijakan Menpen Boediardjo pun dipertanyakan.Kebijakan Menpen Mashuri (1975-1978) di bidang film impor

diantaranya: Menghentikan ketentuan "wajib setor seham produksi" dan menghentikan dengan ketentuan "wajib

produksi" untuk para importir film. Yaitu memasukkan 5 judul film dari luar negeri, importir harus terlebih dahulu

memproduksi 1 judul film Indonesia.Tahun berikutnya ketentuan "wajib produksi" diperberat, yakni 1 : 3 dan tetapmembatasi jumlah film impor melalui ketentuan quota setiap tahunnya. Kemudian, membubarkan ketiga BKIF dan

membentuk 4 buah Konsorsium film impor yaitu, Eropa Amerika I, Eropa Amerika II, Mandarin, dan Asia non

Mandarin.Kebijakan di bidang film Indonesia adalah diterbitkannya SK Tiga Menteri (Menpen, Mendagri, dan

Mendikbud) tentang Wajib putar dan Wajib edar film Indonesia. Serta melikuidasi Yayasan Film, karena

dihapuskannya wajib setor seham produksi. Sedangkan Dewan Film tidak dibubarkan, tetapi juga tidak

diaktifkan.Dampak negatif kebijakan Menpen Mashuri adalah, sebagian besar film diproduksi secara terburu-buru

dan terkesan asal jadi, karena SDM dan peralatan produksi film yang tidak memadai, serta mengejar waktu agar

dapat segera mengimpor film. Peningkatan jumlah produksi yang sangat besar membuat sesama film Indonesia

berebut tempat pemutaran film, padahal bisokop masih lebih senang memutar film impor.Sementara dampak

positif dari kebijakan itu adalah, "wajib produksi" berhasil menaikkan jumlah produksi film Indonesia terbanyak

selama Indonesia merdeka, yaitu 114 judul dalam tahun 1977. Munculnya banyak kesempatan kerja di bidangperfilman serta melahirkan tokoh-tokoh sineas yanag memiliki kualitas seperti, Wim Umboh, Teguh Karya, Wahyu

Sihombing dll.Menpen Ali Moertopo (1978-1983) yang kebijakannya menjadikan film Indonesia harus bersifat

cultural edukatif itu, membubarkan keempat konsorsium Film Impor dan membentuk 3 asosiasi importir film yaitu.

Asosiasi importir film Mandarin, Asosiasi importir film Asia non Mandarin, dan Asosiasi importir film Eropa

Amerika.Menpen Ali Moertopo juga menghapuskan ketentuan wajib produksi oleh importir film dan tetap

mempertahankan ketentuan quota film impor untuk setiap tahunnya. Mengenakan pungutan untuk setiap judul

film impor dengan nama "Dana Sertifikat Produksi" Rp. 2.500.000 perjudul. Sementara Dewan Film Nasioanal

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 21/23

menyusun Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Perfilman Nasional dengan konseptornya Drs. Asrul Sani.

Lembaga itu dimaksudkan sebagai sebuah landasan pembinaan dan pengembangan perfilman yang terpadu dan

berkesinambungan.Kebijakan Menpen Ali Moertopo itu pun selain berdampak positif juga berdampak negatif.

Dampak negatif kebijakan Menpen Ali Moertopo di antaranya, para importir tidak lagi wajib memproduksi film

Indonesia. Para importir film yang dapat menjamin supply film yang pasti dan berkualitas baik serta dapat menarik

penonton ke bioskop, secara bertahap mulai mengendalikan para pengusaha bioskop. Gedung-gedung bioskop dikota-kota besar mulai diambil alih atau dibangun oleh importir film. Para produser film Indonesia semakin rendah

daya saingnya menghadapi para importir film terutama dalam memperoleh waktu dan tempat di bioskop yang baik

untuk pemutaran film-film produksi mereka.Adapun dampak positif kebijakan Menpen Ali Moertopo di antaranya

adalah secara drastis menurunkan hampir separuh jumlah importir film yang ada. Terkumpulnya "Dana Sertifikat

Produksi" dari 3 Asosiasi importir film; yang selain untuk membiayai produksi film Indonesia juga untuk

meningkatkan aprsiasi film Indonesia melalui penyelenggaraan Festival Film Indonesia.* Penulis, wartawan senior

di Jakarta. 

Nama Piala Citra, Gagasan Siapa? 

Citra, engkaulah bayangan  Waktu Subuh mendatang Citra, kau gelisah malam  Dalam kabut suram

Kau dekap malam kelam Pelukan penghabisan Kau singkap tirai kabut Dan selubung

Tenggelam kau jumpai Di dalam rimba malam Kau buka pagi baru Senja nyawamu

Citra, kau bayang abadi Dalam kabut fajar

LAGU "Citra" ciptaan Cornel Simanjuntak berdasarkan lirik H. Usmar Ismail itu selalu berkumandang saat berlangsungnya puncak

penghargaan Piala Citra untuk Film Terbaik di acara Festival Film Indonesia (FFI). Lagu tersebut, menjadi ilustrasi film "Bayangan di

Waktu Fajar" karya Usmar Ismail, produksi tahun lima puluhan, yang dibintangi Nurbani Yusuf. Visualisasi adegannya hampir sama

persis dengan lirik lagunya.

Pada awal-awal diselenggarakannya FFI, piala penghargaannya tidak menggunakan nama Piala Citra. Lalu siapa yang pertama kali

mengusulkan nama Citra untuk piala penghargaan FFI itu?

Saya menemukan jawabannya setelah membaca buku Kenang-kenangan Orang Bandel, sebuah memoar H. Misbach Yusa Biran.

Seminggu yang lalu, Pak Misbach mengirimkan buku tersebut dan saya langsung membacanya. Tepat seperti apa yang diungkapkan

oleh sahabat Pak Misbach, sastrawan Ajip Rosidi, "Memoar yang ditulis oleh Misbach Yusa Biran ini sangat menarik dan penting.

Menarik karena cara mengisahkannya yang gesit dan bernada mengejek diri (walaupun ada rasa bangga di dalamnya). Penting karena

dalam memoar ini bukan saja terungkap latar belakang kehidupannya sebagai orang Banten, tetapi juga tentang situasi perfilmanIndonesia sejak tahun 1950-an sampai tahun 1990-an".

Ceritanya, Soemardjono, Dekan Akademi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (sekarang Fakultas Film Institut Kesenian Jakarta),

Ketua Karyawan Film & Televisi, juga editor terkemuka, ngotot ingin menyelenggarakan FFI di berbagai daerah walaupun dananya

masih belum bisa terbayangkan. Ketika itu, rencananya FFI akan berlangsung di Surabaya. Soemardjono dengan ditemani Misbach Yusa

Biran (Wakil Ketua KFT/Dosen Akademi Sinematografi), hendak bertemu dengan Gubernur Jatim saat itu, Moh. Noer. Keduanya

bermalam di sebuah penginapan kecil di pinggir Kota Surabaya. Biaya penginapan mendapat bantuan dari orang tua salah seorang

mahasiswa akademi sinematografi. Karena tidak memiliki uang yang banyak, untuk makan, mencari di luar agar lebih murah. Pak

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 22/23

Soemardjono dan Pak Misbach naik becak mencari tempat makan yang murah.

"Di perjalanan berbecak itu Soemardjono tanya saya, apa saya ingat lagu Citra, karya Cornel Simanjuntak. Saya ingat. Lagu itu syairnya

dibuat oleh guru kami, Usmar Ismail, dan memang merupakan salah satu lagu jenis seriosa yang saya suka. Saya nyanyikan lagu itu,

banyak bagian syairnya yang masih saya ingat. Soemardjono menimpali. Spontan saja kami sama-sama setuju agar nama piala yang

diberikan pada FFI nanti adalah Citra. Pemilihan nama itu bukan saja terselip pengabdian kami atas karya guru kami, tetapi juga kata

citra enak disebut, seperti oscar. Lagi pula pengertiannya sesuai. Citra berarti image. Lagu "Citra" kemudian nanti ditetapkan jugasebagai lagu tema (theme song) FFI. Kami menyanyi-nyanyi gembira sekali di atas becak. Padahal, FFI-nya sendiri masih akan kami

bicarakan dengan Gubernur Jatim besok" (hal. 279).

Tokoh yang berjasa membangkitkan kembali FFI, terutama dua orang itu, Soemardjono dan Misbach, keduanya sama-sama "didikan"

NV Perfini, sebuah perusahaan film milik pelopor film nasional H. Usmar Ismail. FFI pertama diselenggarakan tahun 1955, yang kedua

tahun 1960. Sejak itu, FFI tidak diselenggarakan lagi. Soemardjono dan Misbach berkeras hati untuk menghidupkan kembali FFI.

Panitia dibentuk dengan ketua bukan dari KFT. Cara demikian ditempuh dengan harapan agar organisasi lain tidak menganggap ambisi

KFT saja. Namun, panitia kemudian menyerah. Mereka tidak tahu bagaimana menyediakan biaya FFI yang begitu besar. Saat itu,

diperkirakan perlu dana 12.500.000, jumlah yang bisa membiayai pembuatan dua film hitam putih atau satu film berwarna. Jalan

keluarnya dipecahkan oleh Johan Tjasmadi, Ketua GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia) Jakarta. Melalui dukungan

pengusaha-pengusaha bioskop Jakarta, FFI tahun 1973 berjalan dengan selamat. (Hal. 278).

Kini seiring dengan perkembangan teknologi, FFI diselenggarakan selaras dengan gemerlapnya dunia film. Megah bertabur bintang

dengan atraksi beragam mode pakaian, menggunakan karpet merah tempat berjalannya para artis, semarak dengan hiburan

menampilkan grup band dan penyanyi ternama.

Padahal, jika mencoba menyimak jauh ke belakang, seperti yang terungkap dalam memoar Misbach Yusa Biran, mereka yang berjuang

menghidupkan kembali FFI benar-benar berjuang tanpa pamrih. Mereka adalah orang-orang idealis yang tidak menakar untung rugi

sebab kalau ukurannya siapa yang untung melalui FFI, pasti bukan karyawan, melainkan produser dan artis. Mereka tidak berpikir

tentang siapa yang diuntungkan, tetapi bagaimana mereka bisa ikut membangun perfilman nasional.

Semboyan "Bangkit Menuju Citra Baru", tentu dengan bekal semangat pengabdian para pendahulunya sehingga orang-orang film

benar-benar bisa menghargai keberadaan FFI yang diperjuangkan oleh anak bangsa yang sepenuhnya mengabdi kepada dunia

perfilman nasional. Piala Citra, semoga melambangkan semangat Usmar Ismail dalam memajukan film Indonesia yang berwajah

Indonesia dan melambangkan semangat para tokoh film yang telah berjuang tanpa pamrih untuk meningkatkan kembali citra FFI.*** Eddy D. Iskandar Ketua Umum FFB, penulis novel/skenario, Pemred SKM Galura, Ketua Panitia Pelaksana Daerah FFI 2008 

Sumber Copas : "http://indonesiancinematheque.blogspot.com/2009/11/festival-film-indonesia-

ffi.html" 

By SULUH PRASETYO on Sabtu, 07 Desember 2013 |  Apa Artinya | 1 comment  

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook 

Sumber: http://apaituartinya.blogspot.com/2013/12/apa-itu-sejarah-festival-film-indonesia.html 

Festival, dari bahasa Latin berasal dari kata dasar "festa" atau pesta dalam bahasa Indonesia. Festival

biasanya berarti "pesta besar" atau sebuah acara meriah yang diadakan dalam rangka memperingati

sesuatu. Atau juga bisa diartikan dengan hari atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa

penting atau bersejarah, atau pesta rakyat[1]

7/22/2019 Sejarah Alternatif Film Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/sejarah-alternatif-film-indonesia 23/23

Bisa pula berarti sayembara atau perlombaan.

Festival film adalah sebuah festival tahunan yang menyuguhkan berbagai film, biasanya yang terkini.

Film-film mungkin tanggal terakhir dan, tergantung pada fokus festival individu, dapat termasuk rilis

internasional serta film yang diproduksi oleh industri film domestik penyelenggara. Kadang-kadang

memfokuskan pada pembuat film atau genre tertentu (misalnya, film noir ) atau materi pokok (misalnya,

festival film horor ). Sejumlah festival film dikhususkan untuk film pendek, masing-masing dengan panjang

maksimum yang terdefinisi. Festival film biasanya diadakan secara berkala setiap tahun.

Festival film utama yang pertama di dunia diselenggarakan di Venezia pada 1932; tiga festival film utama

lainnya (Cannes, Berlin, Karlovy Vary danLocarno) diselenggarakan antara 1940-an dan 1950-an. 

Sementara di Indonesia, festival film yang diadakan antara lain Festival Film Internasional

Jakarta (Jakarta International Film Festival ) yang berskala internasional, serta festival film berskala

nasional seperti Festival Film Indonesia dan Festival Film Bandung.