sedimentasi di waduk gajah mungkur

3

Click here to load reader

Upload: tajri-abadi

Post on 05-Dec-2015

106 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Good Artikel

TRANSCRIPT

Page 1: Sedimentasi Di Waduk Gajah Mungkur

- 6 -

Warta Limnologi – No. 45/Tahun Desember 2010

(Dini Daruati, Puslit Limnologi-LIPI)[email protected]

aduk Gajah Mungkur di Wonogiri merupakan bangunan pengendali banjir di DAS Bengawan Solo Hulu. Dengan adanya waduk tersebut maka masalah banjir di Bengawan Solo dapat dikurangi. Masalah yang timbul adalah bahwa umur waduk yang direncanakan 100 tahun kemungkinan tidak dapat

tercapai karena tingkat sedimentasinya yang cukup tinggi. Umur waduk 100 tahun tersebut didasarkan pada asumsi tingkat sedimentasi dapat ditekan menjadi 1,2 mm/tahun. Hasil studi yang pernah dilakukan oleh peneliti dari Universitas Gadjah Mada menyebutkan bahwa selama periode 1981-1985 tingkat sedimentasinya mencapai 5,3 mm/tahun. Berdasarkan angka tersebut maka diperkirakan Waduk Gajah Mungkur hanya berumur 27 tahun.

Daerah Tangkapan Waduk (DTW) Gajah Mungkur secara geografis terletak pada 7o23’-8o15’LS dan 110o4’-111o18’BT. Secara administratif sebagian besar terletak di Kabupaten Wonogiri dan sebagian lainnya di Kabupaten Pacitan dan Karanganyar. Luas DTW Gajah Mungkur 135.000 ha dengan genangannya (flooding area) seluas 13.600 ha (Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Solo Hulu, 1985). Daerah Tangkapan Waduk Gajah Mungkur terbagi atas enam sub DAS, yaitu Keduang (42.664 ha), Wiroko (20.580 ha), Temon (6.935 ha), Solo Hulu (19.976 ha), Alang Unggahan (23.528 ha) dan Wuryantoro (7.333 ha). Curah hujan tahunan rata-rata sebesar 2.584 mm dengan musim hujan terjadi pada bulan November-April dan musim kemarau pada bulan Mei-Oktober.

Kondisi geologi yang ada berupa daerah dengan formasi vulkanik pada bagian sebelah Utara-Timur, campuran vulkanik dengan batuan sedimen di sebelah Timur dan Barat dan batuan kapur di bagian Selatan. Jenis tanah yang dijumpai terdiri atas Litosol (29,05 %), Grumusol (31,40 %), Latosol (11,37 %), dan Mediteran (40,70 %). Kondisi topografi umumnya berbukit dan bergunung. Penggunaan lahan yang dominan adalah tegal (38,57 %), sawah (36,43 %), pekarangan (23,86 %), hutan (10,90 %), dan lainnya (6,67 %). (Sukresno dan Rahardyan, 2001)

Menurut penelitian Pramono et al.,(2001), sedimentasi di DTW Gajah Mungkur mulai turun sejak tahun 1991 dari 29 ton/ha/tahun menjadi 8 ton/ha/tahun. Hal ini diakibatkan oleh adanya kegiatan rehabilitasi lahan yang telah dimulai sejak tahun 1989 dan rendahnya curah hujan tahun 1997. Tingkat sedimentasi mulai naik lagi pada tahun 1998, dari 8 ton/ha/tahun pada tahun 1997 menjadi 33 ton/ha/tahun pada tahun 1998. Adanya El-Nino tahun 1997 yang menyebabkan kekeringan dan adanya La-Nina pada tahun 1998 yang menyebabkan curah hujan yang terjadi berada di atas rata-rata (normal), sehingga besar erosivitas hujan juga meningkat. Tingkat sedimentasi sejak tahun 1998 sampai tahun 2000 sudah melebihi tingkat sedimentasi tahun 1991 sehingga dikhawatirkan umur waduk akan lebih pendek lagi.

Penelitian tersebut menganalisis kecenderungan perubahan kondisi hidrologi di empat Sub DAS (Wuryantoro, Alang, Temon, dan Keduang) yang masuk ke Waduk Gajah Mungkur. Analisis tersebut meliputi data tingkat sedimentasi, hasil air, dan koefisien regim sungai pada masing-masing Sub DAS. Bahan dan alat yang diperlukan berupa Automatic Water Level Recorder (AWLR), Automatic Rainfall Recorder (ARR), Ombrometer, Suspended sediment sampler, dan Peta Topografi. Data yang diperlukan adalah data curah hujan, data Tinggi Muka Air (TMA) dan data sampel sedimen. Data curah hujan diolah menjadi hujan rata-rata dengan

W

SEDIMENTASI DI WADUK GAJAH MUNGKUR

Page 2: Sedimentasi Di Waduk Gajah Mungkur

- 7 -

Warta Limnologi – No. 45/TahunXXIII Desember 2010

metode polygon Thiesen, data TMA diolah menjadi debit dengan menggunakan stage-discharge rating curve, dan data sampel sedimen diolah menjadi tingkat sedimentasi dengan menggunakan suspended-discharge rating curve. Perubahan debit sungai (m3/detik) menjadi debit limpasan dilakukan dengan mengubah satuan m3/dtk menjadi mm/tahun, dengan demikian data debit dapat dibandingkan antara Sub DAS yang satu dengan lainnya tanpa terpengaruh oleh luas Sub DAS. Pengukuran sedimen dilakukan pada masing-masing outlet dari empat Sub DAS yang masuk ke Waduk Gajah Mungkur. Koefisien aliran menunjukkan perbandingan antara debit dengan curah hujan yang menyebabkannya. Koefisien ini menggambarkan kondisi hidrologi suatu DAS. Menurut Cook dan Bansby-Williams dalam Suyono (1996) DAS yang baik mempunyai koefisien aliran < 0,50, DAS yang cukup mempunyai koefisien antara 0,50 – 0,75 dan DAS yang buruk koefisien alirannya > 0,75. Jika hanya dilihat dari koefisien aliran tersebut, Sub DAS yang ada di Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk Gajah Mungkur masih relatif baik dengan nilai koefisien rata-rata berkisar antara 0,22 sampai 0,48. Selain itu koefisien alirannya juga cenderung semakin membaik.

Sedimentasi di Waduk Gajah Mungkur masih tetap terjadi walaupun telah dilakukan upaya Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) secara luas di DTW Gajah Mungkur pada periode 1988-1994. Hal tersebut memperlihat-kan bahwa penanganan RLKT yang dilakukan kemungkinan masih belum sesuai dengan sasaran penanganan yang seharusnya dilakukan, yaitu dalam mengidentifikasi sumber-sumber erosi di DTW Gajah Mungkur sebagai asal terjadinya sedimentasi. Permasalahan tersebut melatarbelakangi Sukresno dan Rahardyan (2001) untuk mengevaluasi sumber-sumber erosi-sedimentasi di Waduk Gajah Mungkur dengan metode korelasi ukuran butir tanah asli di DTW Gajah Mungkur dengan ukuran butir

sedimen di Waduk Gajah Mungkur.Tanah asli yang mewakili untuk tiap

jenis tanah yang ada di masing-masing enam sub DAS di DTW Gajah Mungkur diambil sebagai sampel untuk mendeteksi karakteristik ukuran butir asal sedimen, sedangkan sampel endapan sedimen diambil dari muara sungai di enam sub DAS tersebut. Pengambilan sampel tanah asli asal sedimen dan endapan sedimen dilakukan pada musim kemarau tahun 1994 dengan menggunakan bor tanah untuk sampel tanah dan sedimen lapisan permukaan (0-10 cm). Selanjutnya sampel tanah dan sedimen tersebut dianalisis ukuran butir untuk fraksi liat (< 0,002 mm), debu dan pasir halus (0,1-0,002 mm) dan pasir kasar (0,1-2,0 mm) (penggolongan berdasarkan USDA). Untuk mengetahui hubungan antara tanah asal sedimen dengan sedimen dilakukan dengan membandingkan antara ukuran butir tanah asli dan endapan sedimennya pada ke enam sub DAS (Keduang, Wiroko, Temon, Solo Hulu, Alang Unggahan dan Wuryantoro) di DTW dan Waduk Gajah Mungkur.

Hasil penelitian Pramono et al., (2001)tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar sedimen di Waduk Gajah Mungkur bukan berasal dari hasil erosi ditempat (sheet-rill erosion) namun dapat berasal dari erosi tebing sungai, erosi tebing jalan, erosi parit dan erosi jurang (gully), terutama di sub DAS Wiroko, Temon, Solo Hulu dan Alang Unggahan. Hal ini karena ukuran butir material sedimen di waduk pada sub DAS tersebut lebih kasar dibanding tanah aslinya. Kondisi ini mencerminkan bahwa penanganan erosi lahan dengan praktek konservasi tanah seperti terasering dan lain-lain telah dilakukan dengan tepat, namun penangan erosi pada offsite (pada alur-alur sungai) belum tepat sasaran. Pada sub DAS Keduang dan Wuryantoro menunjukkan bahwa ada korelasi yang sama antara besar ukuran butir material tanah asli di DTW dengan ukuran butir sedimen di waduk. Hasil sedimen yang berada di muara sungai Keduang dan Wuryantoro ukuran butirnya masih memiliki

Page 3: Sedimentasi Di Waduk Gajah Mungkur

- 8 -

Warta Limnologi – No. 45/TahunXXIII Desember 2010

karakteristik yang sama dengan sumbernya (tanah asli di DTW), hal ini memperlihatkan bahwa sedimen tersebut merupakan hasil langsung dari erosi sheet-rill, maupun tanah longsor dan erosi jurangyang terutama banyak terjadi pada lahan-lahan garapan (tegal). Kondisi ini memperlihatkan bahwa penanganan konservasi tanah yang ditujukan untuk mengendalikan baik erosi onsite maupun erosi offsite belum dilakukan sesuai sasaran. Hal tersebut mengakibatkan hasil erosi yang berada di DTW terutama di sub DAS Keduang dan Wuryantoro hampir semua menjadi sedimen di waduk. Muara kedua sub DAS tersebut sangat dekat dengan tubuh bendung Waduk Gajah Mungkur.

Berdasarkan analisis sumber erosi-sedimentasi di atas, penanganan RLKT di sub DAS Wiroko, Temon, Solo Hulu dan Alang Unggahan perlu lebih diarahkan untuk mengendalikan erosi tebing sungai, erosi tebing jalan, erosi parit dan erosi jurang. Untuk sub DAS Keduang dan Wuryantoro penanganan RLKT-nya lebih diarahkan untuk mengendalikan erosi sheet-rill, tanah longsor dan erosi jurang. Pengerukan Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri akan sia-sia bila tidak diikuti dengan usaha menahan laju erosi. Erosi yang berlebihan dari bagian hulu sungai akan menyebabkan pengendapan di waduk lebih cepat bertambah. Hal itu diungkapkan oleh Kepala Badan Penelitian Teknologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Nugroho Sulistyo Priyono, "Pengerukan tidak akan efektif kalau penahan erosi di bagian hulu tidak diperhatikan, terutama erosi dari Sungai Keduang yang cukup tinggi," jelas Nugroho (Kompas, 2009). Pengerukan lumpur di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri telah dimulai sejak bulan Mei 2003. Proses pengerukan ini merupakan bantuan dari Japan International Cooperation Agency (JICA) sebanyak Rp 60 miliar. Menurut Nugroho, sebenarnya sudah ada beberapa pembangunan pengendali erosi, tetapi oleh pemerintah daerah, bangunan tersebut tidak dipelihara. Misalnya di hulu Sungai

Keduang yang terdapat beberapa bangunan pengendali erosi. Bangunan pengendali erosi itu bisa dibangun dari bambu atau batu. Mengendalikan laju erosi juga bisa dilakukan dengan membuat terasering pada permukaan tanah. Ia juga mengusulkan, pemerintah dapat membuat bangunan penahan erosi dari bambu yang langsung ditanam karena bambu tahan lama. Bupati Wonogiri H. Begug Poernomosidi mengemukakan bahwa seharusnya tidak hanya dilakukan pengerukan lumpur yang telah terlihat di dekat bendungan. Perlu juga dilakukan pembuatan cek dam pada anak-anak Sungai Bengawan Solo dan perbaikan hutan-hutan yang ada di daerah hulu, baik itu milik rakyat maupun Perhutani yang sekarang telah rusak berat akibat banyaknya penjarahan kayu (Surat Kabar Kompas, 2009).

Daftar PustakaPramono I.B, Sukresno dan U.H. Murtiono.

2001. Evaluasi Kondisi Hidrologi di Daerah Tangkapan Air Waduk Gadjah Mungkur, Wonogiri. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Das Surakarta, hal 75-84.

Sukresno dan Rahardyan, N.A. 2001. Evaluasi Sumber-Sumber Erosi-Sedimentasi di Waduk Wonogiri. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Das Surakarta, hal 51-59

Suyono. 1996. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dalam Kontek Hidrologi dan Kaitannya dengan Pembangunan Berkelanjutan. Pidato pada Pengukuhan Jabatan Lektor Kepala Madya di Fakultas Geografi UGM.

Surat Kabar Kompas. 5 Februari 2009. Pendangkalan Waduk Gajah Mungkur Mengkhawatirkan.