sapaan dalam novel sekali peristiwa di banten selatan1].pdf · ditunjuk oleh bahasa atau referent...

121
SAPAAN DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memeperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia Oleh Bayu Andhika Sugiarto NIM: 034114049 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007

Upload: others

Post on 24-Oct-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • i

    SAPAAN

    DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN

    KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

    Skripsi

    Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Memeperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

    Program Studi Sastra Indonesia

    Oleh

    Bayu Andhika Sugiarto

    NIM: 034114049

    PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

    JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

    UNIVERSITAS SANATA DHARMA

    YOGYAKARTA

    2007

  • ii

    Skripsi

    SAPAAN

    DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN

    KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

    Oleh

    Bayu Andhika Sugiarto

    NIM: 034114049

    Telah disetujui oleh

    Pembimbing I

    Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum. tanggal 27 Juli 2007

    Pembimbing II

    Drs. Hery Antono, M. Hum. tanggal 27 Juli 2007

    ii

  • iii

    Skripsi

    SAPAAN

    DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN

    KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

    Dipersiapkan dan ditulis oleh

    Bayu Andhika Sugiarto

    NIM: 034114049

    Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji

    Pada 14 Agustus 2007

    Dan dinyatakan memenuhi syarat

    Susunan Panitia Penguji

    Nama Lengkap Tanda Tangan

    Ketua Drs. B. Rahmanto, M. Hum. ..................................

    Sekretaris Drs. Hery Antono, M.Hum ..................................

    Anggota 1. Drs. P. Ari Subagyo, M. Hum. ..................................

    2. Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum ..................................

    3. Drs. Hery Antono, M. Hum. ..................................

    Yogyakarta, 31 Agustus 2007

    Fakultas Sastra

    Universitas Sanata Dharma

    Dr. Fr. B. Alip, M. Pd., M.A.

    Dekan

    iii

  • iv

    Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

    sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. ( Q.S. Alam Nasyrah: 5 dan 6)

    ”Di mana-mana aku selalu dengar: Yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar; Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak

    datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar” - Prameodya Ananta Toer -

    skripsi ini kupersembahkan untuk bapak dan ibuku

    iv

  • v

    ABSTRAK

    Sugiarto, Bayu Andhika. 2007. ”Sapaan dalam Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer”. Skripsi Strata Satu (S1). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

    Skripsi ini membahas sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Tujuan dari penelitian ini mendeskripsikan dasar pembentukan sapaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiolinguistik. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak, yaitu menyimak penggunaan bahasa. Penyimakan dilakukan terhadap sapaan yang terkandung dalam tuturan novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Pada tahap penyimakaan ini digunakan teknik sadap, dilanjutkan dengan teknik simak bebas libat cakap. Kemudian dilanjutkan lagi dengan teknik catat, yaitu dengan melakukan pencatatan pada kartu data yang segera dilanjutkan dengan klasifikasi. Data yang akan dianalisis dibatasi dengan penentuan sampel secara tidak acak, berdasarkan kriteria tertentu. Dalam penelitian ini digunakan penentuan sampel bertujuan, yaitu pembatasan data berdasarkan tujuan penelitiannya. Pada tahap analisis data digunakan metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya dari luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Alat penentu metode padan referensial ialah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa, sedangkan alat penentu metode padan pragmatis adalah orang yang menjadi mitra wicara. Kedua metode ini dilaksanakan dengan teknik dasar teknik pilah unsur penentu (teknik PUP) dan teknik lanjutan teknik hubung banding menyamakan (teknik HBS). Hasil analisis data berupa kaidah penggunaan sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Hasil analisis tersebut disajikan dengan metode penyajian informal, yaitu perumusan kaidah tersebut dengan kata-kata dan metode formal, yaitu perumusan kaidah dengan tanda dan lambang. Dasar pembentukan sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu nama diri, istilah kekerabatan, gelar, kombinasi, dan sapaan lain. Dasar pembentukan sapaan tersebut dipakai secara utuh dan dalam bentuk penggal. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu status sosial, keintiman, hubungan kekerabatan, jenis kelamin, jabatan, etnis, status perkawinan, dan situasi. Setiap pemakaian sapaan dalam tuturan yang terdapat dalam novel ini dipengaruhi oleh beberapa faktor sekaligus. Selain itu, variasi sapaan tersebut disebabkan karena ranah tuturan dan hubungan sosial.

    v

  • vi

    ABSTRACT

    Sugiarto, Bayu Andhika. 2007. Address in Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel by Pramoedya Ananta Toer. S1 thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters Study Program, Indonesian Letters Department, University of Sanata Dharma.

    This thesis discusses address in Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel

    by Pramoedya Ananta Toer. The objective is to describe basic formation of address and factors influencing its choice in Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel by Pramoedya Ananta Toer.

    This is a descriptive study with sociolingustic approach Scrutinize method in language usage was used for data gathering. Scrutiny was carried out on addresses in speeches of Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel by Pramoedya Ananta Toer. In this stage, tapping technique continued with free scrutiny including conversation was used. Noting technique, i.e., by creating notes in data cards for clarification, was subsequently used. The data were analyzed with non-random sample choice based on certain criteria. In this study purposeful sampling, i.e., data limitation based on study objective, was used.

    Referential and pragmatic matching methods were used for data analysis. Matching method is data analysis method with external decision tool, free and independent of the language. Decision tool for referential matching method was facts referred by the language, whereas decision tool for pragmatic matching was speech partner. Both methods was carried out using dividing-key-factors technique (PUP Technic) and corelation of the equalizing technique (HBS Technic). Data analysis result was principle of address use in Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel by Pramoedya Ananta Toer. These results were presented with informal presentation method, i.e., principle formulation using words; and formal method, i.e., principle formulation using signs and symbols.

    Address formation basic in Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel by Pramoedya Ananta Toer are proper name, kinship terms, title, combination and other addresses. These are wholly and partially used Factors influencing the use of address in Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel by Pramoedya Ananta Toer were social status, intimacy, kinship, sex, position, ethnicity, marital status, and situation. Each use of address in speech in the novel were influenced by some factors simultaneously. Besides, its variations were caused by speech domain and social relationship.

    vi

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena penulis telah

    menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi berjudul ”Sapaan dalam Novel

    Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer” ini diajukan

    untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sastra

    Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah

    membantu penyusunan skripsi ini, antara lain:

    1. Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum. selaku pembimbing I sekaligus dosen

    yang telah membagi pengetahuan serta memberikan bimbingan, saran,

    kritik, dan motivasi terhadap kami.

    2. Drs. Hery Antono, M. Hum. selaku pembimbing II, dosen, dan

    pembimbing akademik yang telah membagi pengetahuan, membantu

    penyusunan skripsi ini, serta memberikan motivasi kepada kami.

    3. Drs. B. Rahmanto, M. Hum., Drs. P. Ari Subagyo, M. Hum., Drs. F. X.

    Santoso, M. S., Drs. Yoseph Yapi Taum, M. Hum., S. E. Peni Adji, S. S.,

    M. Hum., Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum., serta dosen tamu di Sastra

    Indonesia yang telah membagi pengetahuan serta memotivasi kami.

    4. Staf sekretariat Fakultas Sastra dan staf Universitas Sanata Dharma yang

    telah membantu kelancaran seluruh urusan kuliah.

    5. Teman-teman mahasiswa Sastra Indonesia yang telah berjuang bersama

    mencari pengetahuan.

    Penulis telah berusaha dengan maksimal dalam penyusunan skripsi ini.

    Namun, penulis sadar bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu,

    penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun terhadap skripsi ini dari

    pembaca. Penulis akan bertanggungjawab atas setiap kesalahan dalam skripsi ini.

    Terima kasih.

    Penulis

    vii

  • viii

    PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

    Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

    memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

    kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah

    Yogyakarta, Agustus 2007

    Penulis

    viii

  • ix

    DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................. ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... iv ABSTRAK ..................................................................................................... v ABSTRACT ..................................................................................................... vi KATA PENGANTAR ................................................................................... vii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................................ viii DAFTAR ISI .................................................................................................. ix DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah ....................................................................... 4 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4 1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................... 5 1.5. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 5 1.6. Landasan Teori

    1.6.1. Sapaan ................................................................................ 8 1.6.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemakaian Sapaan ..... 9 1.6.3. Ranah (Domain) .................................................................. 11 1.6.4. Konteks .............................................................................. 12 1.6.5. Panggilan ............................................................................ 12 1.6.6. Kata Ganti .......................................................................... 13 1.6.7. Hubungan Antar Manusia .................................................. 13

    1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Jenis Penelitian ................................................................... 14 1.7.2. Pendekatan ......................................................................... 14 1.7.3. Metode dan Teknik Penelitian

    1.7.3.1. Tahap Pengumpulan Data ....................................... 15 1.7.3.2. Tahap Analisis Data ................................................ 16 1.7.3.3. Tahap Penyajian Hasil Analisis Data ...................... 16

    1.8. Sistematika Penyajian ................................................................. 17

    BAB II DASAR PEMBENTUKAN SAPAAN DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER.

    2.1. Pengantar ..................................................................................... 18 2.2. Nama Diri .................................................................................... 19 2.3. Istilah Kekerabatan ...................................................................... 22 2.4. Gelar ............................................................................................ 25 2.5.Istilah Pertemanan......................................................................... 27 2.6. Kombinasi ................................................................................... 28 2.6.1. Kombinasi Istilah Kekerabatan dan Nama Diri ......... 29

    ix

  • x

    2.6.2. Kombinasi Istilah Kekerabatan dan Jabatan .............. 29 2.6.3. Kombinasi Gelar dan Nama Diri ................................ 31 BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

    PEMAKAIAN SAPAAN DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER.

    3.1. Pengantar ..................................................................................... 33 3.2. Status Sosial ................................................................................ 34 3.3. Keakraban ................................................................................... 38 3.4. Status Perkawinan ....................................................................... 40 3.5. Jabatan ......................................................................................... 42 3.6. Kekerabatan ................................................................................. 44 3.7. Jenis Kelamin .............................................................................. 47 3.8. Etnis ............................................................................................ 49 3.9. Situasi .......................................................................................... 51 3.10. Ranah dan Hubungan Sosial ..................................................... 54 3.10.1. Ranah ....................................................................... 54 3.10.2. Hubungan Sosial ...................................................... 55 BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan ................................................................................. 59 4.2. Saran ............................................................................................ 63 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 64 LAMPIRAN ............................................................................................... 66

    x

  • xi

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1. Kata Ganti ........................................................................................ 13 Tabel 2. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Nama Diri .............................. 22 Tabel 3. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Istilah Kekerabatan ................. 25 Tabel 4. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Gelar........................................ 27 Tabel 5. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Kombinasi............................... 32 Tabel 6. Hubungan Sosial Penutur dan Mitra Tutur ...................................... 58 Tabel 7. Dasar Pembentukan Sapaan dalam Novel Sekali Peristiwa di

    Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer ............................... 59 Tabel 8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemakian Sapaan dalam

    Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer ...................................................................................... 60

    xi

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Dalam skripsi ini dianalisis mengenai penggunaan sapaan dalam novel

    Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Sapaan

    merupakan salah satu jenis kata yang mengandung konsep makna dan mempunyai

    peran di dalam pelaksanaan bahasa. Subiyakto-Nababan (1992: 153) berpendapat

    bahwa kata sapaan adalah kata atau istilah yang dipakai orang kepada lawan

    bicara. Kata sapaan berkaitan erat dan berdasarkan tanggapan atau persepsinya

    atas hubungan pembicara dengan lawan bicara. Chaer (1998: 107) mengatakan

    bahwa kata-kata yang digunakan untuk menyapa, menegur, atau menyebut orang

    kedua, atau orang yang diajak bicara disebut kata sapaan.

    Sapaan muncul tidak hanya dalam suatu tuturan lisan, tetapi juga tuturan

    yang diwujudkan dalam suatu tulisan. Contoh tulisan yang memuat bentuk-bentuk

    sapaan dalam suatu tuturan adalah karya sastra, khususnya naskah drama dan

    novel. Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer

    menjadi sumber data penelitian ini.

    Data penelitian diambil dari tuturan-tuturan yang mengandung bentuk

    sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta

    Toer. Beberapa contoh tuturan yang mengandung bentuk sapaan dalam novel ini

    sebagai berikut:

  • 2

    (1). Ireng muncul di ambang pintu. Bersuara ramah dan agak keras, tetapi nyata suaranya terdengar sumbang:

    Siapa sih panggil-panggil itu? O, Juragan Musa. Duduk, Gan! Tanpa menoleh ke belakang Musa menyambut: Mulai kapan sih, pura-pura tak kenal aku? Ireng merapihkan bale bambu sambil menjawab: Bukannya pura-pura tak kenal, Gan. Memang tidak tahu sih. (hlm.

    16) (2). Ranta bangun dan duduk, ditariknya tangan Ireng dan dengan lemahlembutnya berkata dengan kata-kata yang keluar satu-satu, jelas, pelahan, dan penuh kasih sayang: Ada waktunya, Reng, kita akan hidup baik dan senang. Nanti. Insya Allah, Pak. Kita sudah cukup bekerja –kita berdua. Tetapi rejeki masih juga di tangan Tuhan. (hlm. 19) (3). Nyonya tak dapat menjawab, hanya menyembunyikan mukanya ke dalam kedua belah telapak tangannya. Dari balik telapak tangan itu terdengar suaranya yang kacaubalau: Apa yang mesti kukatakan, Pak Komandan? Komandan itu tak mengambil pusing Nyonya dan kemudian mendesak Juragan Musa; Dengar, Juragan Musa. Daerah sini daerah paling kacau. Sudah kuusahakan bermusyawarah dengan orang-orang terkemuka di sini… (hlm. 66)

    (4). Paduan suara yang demikian terdengar berulang-ulang akhirnya terdengar serumpun percakapan diselangseling tawa dan canda: … Ayoh, tinggal satu pasak lagi. Ayoh, kawan-kawan, habiskan. Tinggal satu. (hlm. 110)

    Sapaan yang terdapat dalam penggalan dialog di atas dicetak tebal.

    Contoh (1) mengandung sapaan yang dibentuk berdasarkan gelar, yaitu

    Gan yang merupakan penggalan sapaan Juragan. Sapaan yang dibentuk

    berdasarkan nama diri dan istilah kekerabatan terkandung dalam contoh (2), yaitu

    Reng yang merupakan penggalan sapaan yang berupa nama diri Ireng dan Pak

    merupakan penggalan istilah kekerabatan bapak. Contoh (3) mengandung sapaan

    yang dibentuk berdasarkan kombinasi, antara lain: Pak komandan dan Juragan

  • 3

    Musa. Sapaan kawan-kawan dalam contoh (4) merupakan sapaan yang dibentuk

    berdasarkan sapaan lain. Istilah ini muncul karena sapaan kawan-kawan tidak

    dapat diklasifikasikan ke dalam dasar pembentukan sapaan lainnya.

    Ada dua hal yang akan dianalisis dalam penelitian ini, yaitu analisis

    terhadap dasar pembentukan sapaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi

    pemakaian sapaan. Analisis terhadap dasar pembentukan sapaan dilakukan untuk

    membuktikan penggunaan istilah tertentu (perbendaharaan kata bidang tertentu)

    sebagai sapaan. Hal ini berdasarkan pendapat Chaer (1998: 107) bahwa kata-kata

    sapaan ini tidak mempunyai perbendaharaan kata sendiri, tetapi menggunakan

    kata-kata dari perbendaharaan kata nama diri dan kata nama perkerabatan.

    Penggunaan sapaan yang bervariasi, seperti beberapa contoh di atas,

    merupakan alasan utama menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi

    pemakaian sapaan dalam penelitian ini. Hal ini berdasarkan anggapan bahwa ada

    faktor tertentu yang mempengaruhi seseorang memakai sapaan tertentu dalam

    pelaksanaan bahasa.

    Sapaan merupakan salah satu fenomena unik yang sering muncul dalam

    tuturan. Dikatakan unik karena lawan bicara dapat disapa dengan nama diri,

    istilah kekerabatan, gelar, kombinasi, atau istilah sapaan lain. Misalnya, lawan

    bicara yang seorang dokter laki-laki bernama Rudi dapat disapa Rudi, Pak, Dok,

    Dokter Rudi, atau Rekan. Hal ini tergantung hubungan pembicara dengan mitra

    bicara.

    Selain itu, identifikasi latar belakang etnis, jabatan, status perkawinan, dan

    jenis kelamin seseorang dapat ditunjukkan melalui sapaan. Misalnya, wanita dari

  • 4

    masyarakat keturunan Cina biasa disapa Cik. Seorang camat disapa Pak Camat.

    Istri seorang camat disapa Bu Camat. Sapaan Cik dan Bu menunjukkan bahwa

    orang yang disapa tersebut berjenis kelamin perempuan. Sapaan Pak

    menunjukkan orang yang disapa berjenis kelamin laki-laki.

    1.2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini

    dapat dirumuskan sebagai berikut:

    1.2.1. Apa dasar pembentukan sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten

    Selatan karya Pramoedya Ananta Toer?

    1.2.2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel

    Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer?

    1.3. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:

    1.3.1. Mendeskripsikan dasar pembentukan sapaan dalam novel Sekali Peristiwa

    di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer.

    1.3.2. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan

    dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta

    Toer.

    1.4. Manfaat Penelitian

  • 5

    Penelitian ini merupakan penerapan teori linguistik terhadap realitas

    penggunaan bahasa yang diwujudkan dalam bentuk karya sastra, khususnya novel

    Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Penelitian ini

    diharapkan dapat membantu pembaca novel tersebut dalam membedakan antara

    sapaan dengan kata ganti dan panggilan.

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk

    mengetahui dasar-dasar pembentukan sapaan dalam novel tersebut. Selain itu,

    pembaca diharapkan terbantu dalam memahami faktor-faktor yang mempengaruhi

    pemakaian sapaan yang ada dalam novel tersebut melalui hasil penelitian ini.

    Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu bahasa dan

    menambah perbendaharaan kepustakaan ilmu bahasa, khususnya sosiolinguistik.

    Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan membantu analisis-analisis sapaan

    selanjutnya.

    1.5. Tinjauan Pustaka

    Pada tahun 1986, Wirastri telah melakukan penelitian dengan topik

    sapaan. Penelitian ini berjudul ”Kata Sapaan dalam Bahasa Indonesia: Tinjauan

    Deskriptif tentang Pemakaian Kata Sapaan dalam Bahasa Indonesia Menurut

    Lingkungan, Perasaan, dan Hubungan Antarpemakai Bahasa”. Dari hasil

    penelitian ini, Wirastri (1986: 132-133) menyimpulkan empat hal. Kata sapaan

    dapat berupa kata sapaan asli (kata ganti orang) dan kata sapaan pinjaman. Kata

    ganti orang biasanya bersifat netral, tidak menunjukkan lingkungan, perasaan

    serta hubungan antarpemakai bahasa, tetapi ada beberapa kata ganti orang yang

  • 6

    menunjukkan lingkungan, perasaan serta hubungan antarpemakai bahasa. Kata-

    kata itu biasanya berasal dari kata sapaan pinjaman tetapi sudah tidak terasa

    sebagai kata sapaan pinjaman (misalnya: saya, kami, kamu). Kata sapaan

    pinjaman lebih sering digunakan daripada kata sapaan asli. Sebutan dan ganti

    nama sebagai kata sapaan pinjaman lebih dapat menunjukkan lingkungan dan

    perasaan serta hubungan antarpemakai bahasa. Ada beberapa sapaan yang

    mengalami perubahan kelas yang disebabkan oleh seringnya dipakai dan karena

    pinjaman dari kelas lain.

    Analisis sapaan dalam novel pernah dilakukan oleh Maria Enny Hirawati

    pada tahun 1997 dalam skripsinya yang berjudul ”Analisis Bentuk Sapaan dalam

    Tuturan Antartokoh Cerita Novel Para Priyayi karya Umar Kayam (Pendekatan

    Sosiolinguistik)”. Dari hasil penelitian tersebut, Hirawati menyimpulkan bahwa

    ada 86 bentuk sapaan dan jenis sapaan yang terdapat dalam tuturan antartokoh

    cerita novel Para Priyayi karya Umar Kayam, ada 97 macam bentuk relasi antara

    penyapa dan pesapa yang terdapat dalam tuturan antartokoh cerita novel Para

    Priyayi karya Umar Kayam yang dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok,

    yaitu betuk relasi kekerabatan dan nonkekerabatan (1997: 274-285). Faktor-faktor

    yang mempengaruhi penentuan bentuk sapaan, antara lain: participant, jenis

    kelamin, keintiman hubungan, hubungan kekerabatan, usia, ends, status sosial,

    hubungan nonkekerabatan, setting, scene, norm of interactin and interpretation,

    act of sequence, ketidakintiman hubungan, key, genre, dan status perkawinan. Ada

    beberapa bentuk sapaan yang pemakaiannya tidak sesuai dengan SPEAKING-nya,

  • 7

    relasi antarpeserta tutur, dan norma komunikasi masyarakat Jawa (Hirawati, 1997:

    xxii).

    Suhardi dkk. pada tahun 1984-1985 melakukan penelitian terhadap sistem

    sapaan bahasa Jawa. Dari hasil penelitian tersebut, Suhardi dkk. menyimpulkan

    lima hal. Pertama, bentuk-bentuk sapaan bahasa Jawa berhubungan erat dengan

    sistem perkerabatan, dan beberapa di antaranya berkaitan dengan gelar

    kebangsawanan. Kedua, pemilihan bentuk-bentuk sapaan di dalam tindak

    komunikasi ditentukan oleh berbagai faktor yang berhubungan dengan penutur,

    lawan bicara, dan situasi bicara. Ketiga, penuturan bentuk-bentuk sapaan bahasa

    Jawa menampakkan berbagai bentuk, setiap perubahan bentuk bertalian erat

    dengan keakraban dan penghormatan. Keempat, karena luasnya pemakaian

    bahasa, kata-kata sapaan bahasa Jawa tidak jarang mengalami perubahan

    (perluasan dan penyempitan) arti sehingga sering sangat sulit dirunut bentuknya

    secara etimologis. Kelima, eratnya pemakaian bahasa Jawa dengan bahasa

    Indonesia dan bahasa asing menyebabkan masuknya beberapa kata sapaan kedua

    bahasa itu ke dalam bahasa Jawa (Suhardi dkk., 1985: 102).

    Penelitian terhadap sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan

    karya Pramoedya Ananta Toer ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah

    diuraikan di atas. Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya

    Ananta Toer ini menjadi sumber data penelitian ini. Dalam penelitian ini, sapaan

    dibedakan dari kata ganti orang (pronomina persona) dan panggilan.

  • 8

    1.6. Landasan Teori

    1.6.1. Sapaan

    Chaer (1998: 107) mengatakan bahwa kata-kata yang digunakan untuk

    menyapa, menegur, atau menyebut orang kedua, atau orang yang diajak bicara

    disebut kata sapaan. Kata-kata sapaan ini tidak mempunyai perbendaharaan kata

    sendiri, tetapi menggunakan kata-kata dari perbendaharaan kata nama diri dan

    kata nama perkerabatan. Chaer (1998: 109) juga memberikan catatan bahwa kata

    Bapak dalam kalimat ”Pak, apakah Bapak tahu ..?” adalah sebagai kata benda,

    bukan kata sapaan.

    Kata sapaan yaitu kata atau istilah yang dipakai menyapa lawan bicara.

    Sapaan terdiri atas nama kecil, gelar, istilah perkerabatan, nama keluarga (bagi

    suku bangsa yang mempunyai sistem itu), nama hubungan perkerabatan dengan

    nama seorang kerabatnya (disebut tektonimi), kombinasi dari yang di atas. Kata

    sapaan yang dipakai orang kepada lawan bicara berkaitan erat dengan, dan

    berdasarkan, tanggapan atau persepinya atas hubungan pembicara dengan lawan

    bicara (Subiyakto-Nababan, 1992: 153).

    Suhardi dkk (1985: 6, 12) –mengutip pendapat Bloomfield- menyebutkan

    bahwa sapaan itu termasuk kalimat minor yang dioposisikan dengan kalimat

    lengkap, sapaan berupa kalimat minor, bukan klausa, dan masuk dalam konstruksi

    yang lebih besar secara parataktik. Parataksis adalah hubungan antara dua kalimat,

    klausa, frase, atau lebih, yang mempunyai tataran yang sama; koordinasi antara

    klausa-klausa (Kridalaksana, 1980: 120). Sapaan itu ada dalam tataran yang sama

  • 9

    dengan klausa, sapaan tidak merupakan pendukung makna inti dalam keseluruhan

    kalimat (Suhardi dkk, 1985: 10)

    Jadi, sapaan adalah kata atau gabungan kata yang dipakai untuk menyebut

    orang yang diajak bicara. Sapaan berbeda dengan kata ganti karena bukan

    pendukung makna inti dalam suatu tuturan. Sapaan berbeda dengan panggilan

    karena dioposisikan dengan kalimat.

    1.6.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Sapaan

    “Language varies according to its uses as well as its users, according to

    where it is used and to whom, as well as according to who is using it” (Holmes,

    2001: 223). ”The speaker’s relatioship to the addressee is crucial in determining

    the appropiate style of speaking. And how you know someone or how close you

    feel to them –relative social distance/ solidarity- is important dimension of social

    relationship. Many factors may contribute in determining the degree af social

    distance or solidarity between people –relative age, gender, social roles, whether

    people work together, or are part of the same family, and so on. These factors

    may also be relevant to people’s relative social status.” (Holmes, 2001: 224).

    Supriyanto dkk. (1986: 9) -mengutip pendapat Tarner- mengatakan bahwa

    dalam tindak bahasa pada hakikatnya seorang penutur telah mengambil

    keputusan untuk memilih suatu variasi tertentu yang berupa bentuk-bentuk

    linguistik. Pengambilan keputusan ini sebenarnya melalui suatu proses yang

    banyak ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang menentukan ialah:

    jarak sosial, situasi, dan topik pembicaraan.

  • 10

    Jarak sosial dapat dilihat dari sudut vertikal ataupun horisontal. Dimensi

    vertikal akan menunjukkan apakah seseorang itu berada di atas atau di bawah

    (berkedudukan tinggi atau lebih rendah). Dimensi vertikal ini merupakan sebuah

    alat untuk menempatkan seseorang dalam kontinum hormat dan tidak hormat.

    Dimensi sosial ini misalnya kelompok umur, kelas, status perkawinan. Sedangkan

    dimensi horisontal menunjukkan kontinum akrab dan tidak akrab. Misalnya

    derajat persahabatan, jenis kelamin atau seks, latar belakang etnik atau agama,

    latar belakang pendidikan, jarak tempat tinggal.

    Suhardi dkk. (1985: 6) -mengutip pendapat Suseno Kartomihardjo-

    mengatakan bahwa faktor-faktor yang menentukan pemilihan sapaan, yaitu

    situasi, etnik, kekerabatan, keintiman, status, umur, jenis kelamin, status

    perkawinan, dan asal. Suhardi dkk. (1985: 60) mengatakan bahwa munculnya

    kata-kata sapaan itu dalam suatu peristiwa atau tindak komunikasi biasanya

    ditentukan oleh berbagai faktor yang erat berkaitan dengan penutur, lawan bicara,

    dan situasi penuturan.

    Situasi adalah unsur-unsur luar bahasa yang berhubungan dengan ujaran

    atau wacana sehingga ujaran atau wacana tersebut bermakna (Kridalaksana, 1982:

    115). Etnis merupakan hal-hal yang berkaitan dengan suku bangsa atau ras

    (Soekanto, 1983: 172). Kekerabatan adalah hubungan sosial, baik karena

    keturunan darah, akibat perkawinan, maupun karena wasiat (Mansur, 1988: 21).

    Keintiman adalah keakraban atau kemesraan ( KBBI, 1995: 384). Status sosial

    (kedudukan sosial) adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat

  • 11

    sehubungannya dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya,

    prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya (Soekanto, 1990: 265).

    Jabatan adalah pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi

    (KBBI, 1995: 392). Umur adalah lama waktu hidup atau ada, sejak dilahirkan atau

    diadakan (KBBI, 1995: 1103). Kelamin merupakan sifat jasmani ataupun rohani

    yang memebedakan dua makhluk sebagai betina dan jantan, atau wanita dan pria

    (Suyono, 1985: 187). Perkawinan adalah suatu hubungan antara pria dan wanita

    yang sudah dewasa yang saling mengadakan ikatan hukum adat, atau agama

    dengan maksud bahwa mereka saling memelihara hubungan tersebut agar

    berlangsung dalam waktu yang relatif lama (Suyono, 1985: 315). Asal adalah

    tempat dibuat atau dilahirkan (KBBI, 1995: 59).

    1.6.3. Ranah (Domain)

    Ranah merupakan konstelasi antara partisipan (paling tidak dua orang),

    lokal, dan topik. ”The large-scale aggregative regularities that obtain between

    varieties and societally recognized functions are examined via the construct

    termed domain” (Fishman, 1971: 248).

    “Domain is clearly a very general concept which draws three important factors in code choice –participant, setting, and topic. It is useful for capturing broad generalistions about any speech community. Using information about the domains of use in a community it is possible to draw a very simple model summarising the norms of language use for the community” (Holmes, 2001: 23).

    Greenfield –mengutip pendapat Fishman- menyebutkan “Relevan domains for

    decribing language use in many relatively complex multi lingual societies would

    probably include family, friendship, religion, education, work sphere, and

    government” (1972: 18).

  • 12

    1.6.4. Konteks

    Konteks adalah satu situasi yang terbentuk karena terdapat setting,

    kegiatan dan relasi. Setting meliputi waktu dan tempat situasi itu terjadi. Kegiatan

    merupakan semua tingkah laku yang terjadi dalam interaksi bahasa. Relasi

    merupakan hubungan antara peserta bicara dan tutur. Hubungan itu dapat

    ditentukan oleh (1) jenis kelamin, (2) umur, (3) kedudukan: status, peran, prestasi,

    prestise, (4) hubungan kekeluargaan, (5) hubungan kedinasan: umum, militer,

    pendidikan, kepegawaian, majikan dan buruh, dan sebagainya. Konteks terjadi

    jika terjadi interaksi antara tiga komponen tersebut (Parera, 2004: 227-229).

    1.6.5. Panggilan

    Suhardi dkk. –mengutip pendapat Poerwadarminta- menyebutkan bahwa

    kata panggilan dipakai lebih luas daripada kata sapaan (1985: 10). Memanggil

    (KBBI, 1995: 724) berarti mengajak (meminta) datang (kembali, mendekat, dsb)

    dengan menyerukan nama, mengundang atau menyilakan datang, menyebut atau

    menamakan. Panggilan (KBBI, 1995: 724) adalah imbauan, ajakan, undangan, hal

    (perbuatan, cara) memanggil, sebutan atau nama.

    Kridalaksana (1982: 119) menyebutkan bahwa panggilan adalah kalimat

    minor bukan klausa berupa nama, gelar atau pangkat orang yang dipanggil, benda

    yang dibawa. Kalimat minor bukan klausa berbentuk berupa kata tunggal atau

    frase yang tidak mengandung predikat tetapi mempunyai intonasi final

    (Kridalaksana, 1982: 73).

    1.6.6. Kata Ganti

  • 13

    Kata benda yang menyatakan orang sering kali diganti kedudukannya di

    dalam pertuturan dengan sejenis kata yang lazim disebut kata ganti (Chaer, 1998:

    91). Pronomina persona adalah pronomina (kata yang dipakai untuk mengacu ke

    nomina lain) yang dipakai untuk mengacu ke orang. Pronomina persona dapat

    mengacu pada diri sendiri-pronomina persona pertama-, mengacu pada orang

    yang diajak bicara-pronomina persona kedua-, atau mengacu mengacu pada orang

    yang dibicarakan-persona ketiga (Depdikbud, 1988: 172).

    Makna Jamak Persona Tunggal Netral Eklusif Inklusif

    Pertama saya, aku, daku, ku-, -ku

    kami kita

    Kedua engkau, kamu, Anda, dikau, kau, -mu

    kalian, kamu (sekalian), Anda sekalian

    Ketiga ia, dia, beliau, -nya mereka, -nya

    Tabel 1. Kata Ganti

    1.6.7. Hubungan Antarmanusia

    Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang

    perorangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan

    sistem serta bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada

    perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang

    telah ada. Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial. Interaksi sosial

    merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial

    merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan

    antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun

    antara orang perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 1990: 66-67).

  • 14

    Organisasi sosial mencakup pranata-pranata yang menentukan kedudukan

    lelaki dan perempuan dalam masyarakat, dan dengan demikian menyalurkan

    hubungan pribadi mereka. Kategori ini pada umumnya dibagi lagi menjadi dua

    jenis, yaitu pranata yang tumbuh dari hubungan kekerabatan dan pranata yang

    merupakan hasil dari ikatan antara perorangan berdasarkan keinginan sendiri,

    berdasarkan jenis kelamian, umur, atau kepentingan bersama (Herskovits, 1987

    :82).

    1.7. Metode Penelitian

    1.7.1. Jenis Penelitian

    . Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang

    memerikan objek penelitian berdasarkan fakta yang ada (Sudaryanto, 1988: 62).

    Penelitian ini dilaksanakan dengan cara mendeskripsikan fakta yang disusul

    dengan analisis.

    1.7.2. Pendekatan

    Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah sosiolinguistik.

    Sosiolinguistik (Nababan, 1984: 2) ialah studi atau pembahasan dari bahasa

    sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. Boleh juga

    dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek-aspek

    kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan (variasi) yang terdapat dalam

    bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial).

    1.7.3. Metode dan Teknik Penelitian

    1.7.3.1. Tahap Pengumpulan Data

  • 15

    Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

    metode simak, yaitu menyimak penggunaan bahasa. Dalam penelitian ini

    dilakukan penyimakan terhadap sapaan yang terkandung dalam tuturan yang

    terdapat dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta

    Toer.

    Dalam tahap penyimakan ini digunakan teknik sadap, dilanjutkan dengan

    tekni simak bebas libat cakap. Kegiatan menyadap dilakukan dengan tidak

    berpartisipasi ketika menyimak. Peneliti tidak terlibat dalam dialog, konversasi,

    atau imbal wicara. Kemudian dilanjutkan lagi dengan teknik catat, yaitu dengan

    melakukan pencatatan pada kartu data yang segera dilanjutkan dengan klasifikasi

    (Sudaryanto, 1993: 133-135).

    Data penelitian merupakan satuan lingual yang berada pada tataran yang

    lebih tinggi daripada objek penelitian. Data dimengerti sebagai fenomen lingual

    yang mengandung dan berkaitan langsung dengan masalah yang dimaksud

    (Sudaryanto, 1993: 5-6). Dari sumber data yang ada diharapkan data dapat

    ditemukan, dianalisis, dan dijelaskan. Sumber data penelitian ini adalah novel

    Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Data penelitian

    ini berupa tuturan-tuturan yang mengandung sapaan dalam novel Sekali Peristiwa

    di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer.

    Data yang akan dianalisis dibatasi dengan penentuan sampel secara tidak

    acak, berdasarkan kriteria tertentu. Dalam penelitian ini digunakan penentuan

    sampel bertujuan, yaitu pembatasan data berdasarkan tujuan penelitiannya. Dalam

  • 16

    hal ini sumber data yang dipilih adalah data yang memang benar-benar

    mengandung data yang diperlukan.

    1.7.3.2. Tahap Analisis Data

    Dalam tahap ini digunakan metode padan referensial dan metode padan

    pragmatis. Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya dari

    luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan.

    Alat penentu dalam metode padan referensial ialah kenyataan yang ditunjuk oleh

    bahasa atau referent bahasa, sedangkan alat penentu metode padan pragmatis

    adalah orang yang menjadi mitra wicara (Sudaryanto, 1993: 13).

    Kedua metode ini dilaksanakan dengan teknik pilah unsur penentu (teknik

    PUP) sebagai teknik dasar dan teknik hubung banding menyamakan (teknik HBS)

    sebagai teknik lanjutan. Teknik PUP dilakukan pemilahan terhadap data dengan

    menggunakan daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh peneliti

    (Sudaryanto, 1993: 21). Teknik HBS dilakukan untuk menentukan identitas objek

    sasaran penelitian (Sudaryanto, 1993: 27). Kedua teknik tersebut dipakai untuk

    memecahkan permasalahan dalam penelitian ini.

    1.7.3.3. Tahap Penyajian Hasil Analisis Data

    Hasil analisis data berupa kaidah penggunaan sapaan dalam novel Sekali

    Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Hasil analisis tersebut

    disajikan dengan metode penyajian informal dan formal. Metode penyajian

    informal yaitu perumusan kaidah tersebut dengan kata-kata, walaupun dengan

    terminologi yang teknis sifatnya. Metode penyajian formal adalah perumusan

    kaidah dengan tanda dan lambang (Sudaryanto, 1993: 145).

  • 17

    1.8. Sistematika Penyajian

    Hasil penelitian ini akan disajikan dalam empat bab. Bab I berupa

    pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,

    manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,

    sistematika penyajian, jadwal penelitian, dan rencana anggaran. Bab II berisi

    pembahasan dasar pembentukan kata sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di

    Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Bab III berisi pembahasan tentang

    faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan kata sapaan dalam novel Sekali

    Peristiwa di Baten Selatan karya Premoedya Ananta Toer. Bab IV merupakan

    Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

  • 18

    BAB II

    DASAR PEMBENTUKAN SAPAAN

    DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN

    KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

    2.1. Pengantar

    Dalam bab ini dianalisis mengenai dasar pembentukan sapaan dalam novel

    Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Analisis

    terhadap dasar pembentukan sapaan dilakukan untuk membuktikan penggunaan

    perbendaharaan kata bidang tertentu sebagai sapaan. Hal ini dilakukan

    berdasarkan pendapat Chaer (1998: 107) yang menyatakan bahwa kata sapaan

    tidak mempunyai perbendaharaan kata sendiri, tetapi menggunakan kata-kata dari

    perbendaharaan kata nama diri dan kata nama perkerabatan. Sedangkan

    Subiyakto-Nababan (1992: 153) mengatakan bahwa sapaan terdiri atas nama

    kecil, gelar, istilah perkerabatan, nama keluarga (bagi suku bangsa yang

    mempunyai sistem itu), nama hubungan perkerabatan dengan nama seorang

    kerabatnya (disebut tektonimi), kombinasi dari yang di atas.

    Sapaan adalah kata atau gabungan kata yang dipakai untuk menyebut

    mitra tutur. Sapaan dioposisikan dengan kalimat, tetapi bukan pendukung makna

    inti. Chaer (1998: 109) memberikan catatan bahwa kata Bapak dalam kalimat

    ”Pak, apakah Bapak tahu ..?” adalah sebagai kata benda, bukan kata sapaan.

  • 19

    Berdasarkan hasil analisis, dasar pembentukan sapaan dalam novel Sekali

    Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, antara lain: nama diri,

    istilah kekerabatan, gelar, istilah pertemanan dan, kombinasi.

    2.2. Nama Diri

    Sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri sering dipakai dalam suatu

    percakapan. Sapaan ini dibentuk berdasarkan nama diri orang yang disapa atau

    lawan bicara. Nama diri adalah nama yang dipakai untuk menyebut diri seseorang

    (KBBI, 1995: 681). Dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya

    Pramoedya Ananta Toer, sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri dipakai

    untuk menyebut tokoh yang memiliki nama tersebut.

    (5). Dengan menunduk kepala, membongkok sedikit, dan lemah lunglai, Ranta keluar dari rumah melewati pintu. Dengan air muka muram, tak senang hati dan segan ia menghadap Musa. Dan dengan suara bernada bersalah ia memulai: Saya, Gan. Mengapa tak dari tadi-tadi muncul? Ranta tak menjawab, hanya menjatuhkan pandangan lebih dalam Tak baik pura tak dengar. Biasanya kau tak begitu, Ranta. Saya, Gan. Nah, Ireng, aku mau bicara dengan lakimu, pergilah. (hlm. 17)

    (6). Kini Juragan Musa menatap Djameng den berkata: Cukup Djameng. Pergi kau. (hlm. 51)

    Nama diri yang dipakai sebagai sapaan dalam contoh (5) Ranta dan Ireng.

    dalam novel ini, sapaan Ranta dan Ireng dipakai untuk menyebut tokoh Ranta

    dan tokoh Ireng. Contoh (6) menunjukkan pemakaian sapaan yang dibentuk

    berdasarkan nama diri Djameng. Dalam novel ini, sapaan Djameng dipakai untuk

  • 20

    menyebut tokoh Djameng. Nama diri dalam contoh (5) dan (6) dipakai secara utuh

    sebagai sapaan. Sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri lebih sering dipakai

    secara tidak utuh atau dipenggal. Beberapa contoh sapaan yang dibentuk

    berdasarkan nama diri yang tidak utuh atau dipenggal, sebagai berikut:

    (7). Ranta maju sedikit dan berdiri di samping Musa agak di belakangnya. Dengan suara mencoba-coba ramah ia menyilakan: Duduk, Gan. Tetapi Musa pura-pura tak dengar. Ia menerawang langit. Berkata: Mau hujan. Lihat, tu. Ah-ah, waktu baik, musim baik. Bukan, Ta? (hlm. 17)

    (8). Ranta tak mempedulikan kata-kata Yang Kedua. Cepat ia berpaling pada istrinya dan berkata: Reng, ambil semua pakaian. Kalau sudah kunci pintunya. (hlm. 37)

    (9). ... Juragan Musa menarik keris pusaka dari ... Tiba-tiba ia bangkit berdiri. Tangan kanannya terangkat ke atas dan mulutnya bersuara: Allaikumsalam! Masuk, Meng! (hlm. 49)

    (10). Mendengar suara itu Rodjali berdiri diam-diam mendengarkan. Setelah ucapan Ireng selesai, Rodjali bertanya: Sudah sadar, Bu? Ireng menjawab dari dalam rumah: Kasihan. Belum, Djali. Sudah tengah malam, belum, Djali? Hampir subuh, Bu. Kukira masih sore. Djali mesti pergi cari Pak Lurah, Bu? Tidak! Urus mayat-mayat itu, Li. (hlm.99)

    (11). ... Segera juragan Musa menatap istrinya dan bertanya: Kau mau mengikuti aku dalam senang sengsara, bukan, Nah? Kau sendiri dengar bagaimana janji nikahku. Cuma soalnya, bagaimana yang sana? Biar aku ceraikan. Nyonya menatap suaminya dengan kasih sayangnya. Aku dalam kesulitan, Nah. Nyonya tersenyum tak percaya. Tetapi Juragan Musa meneruskan dengan keterangannya: Benar, Nah. Maafkan segala kata-kata yang terlanjur tadi. (hlm. 48)

  • 21

    Sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri yang dipakai secara tidak

    utuh atau dipenggal dalam contoh (7) yaitu Ta, merupakan penggalan dari sapaan

    yang dibentuk berdasarkan nama diri Ranta. Reng dalam contoh (8) merupakan

    penggalan sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri Ireng. Sapaan dalam

    contoh (9), yaitu Meng, merupakan bentuk penggal dari sapaan yang dibentuk

    berdasarkan nama diri Djameng. Sapaan Djali dan Li dalam contoh (10)

    merupakan penggalan dari sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri Rodjali.

    Dalam novel ini, sapaan Djali dan Li dipakai untuk menyebut tokoh Rodjali.

    Untuk sapaan Nah dalam contoh (11), meskipun dalam keterangan teks

    tidak disebutkan bentuk utuhnya, dianggap merupakan bentuk penggalan nama

    diri. Dalam novel ini, sapaan Nah dipakai untuk menyebut tokoh Nah. Sapaan ini

    biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari untuk menyapa seseorang yang

    memiliki nama dengan suku akhir –nah, misalnya Fatonah, Marsinah, dan

    sebagainya.

    Berdasarkan analisis di atas, pemenggalan nama diri yang dipakai sebagai

    sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta

    Toer memiliki ciri tertentu. Pemenggalan nama diri ini sesuai dengan suku kata

    pembentuknya, biasanya suku kata terakhir yang dipakai sebagai sapaan.

    Misalnya, suku kata ran- dan –ta merupakan pembentuk nama diri Ranta.

    Suku kata ran- merupakan suku kata pertama atau awal, suku kata –ta adalah suku

    kata akhir. Jadi, pemakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten

    Selatan karya Pramoedya Ananta Toer yang dibentuk dari pemenggalan nama diri

    Ranta adalah Ta.

  • 22

    Untuk nama diri yang dibentuk lebih dari dua suku kata yang dipakai

    sebagai sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya

    Ananta Toer, bentuk penggalnya memakai suku kata terakhir atau gabungan dua

    suku kata terakhir. Nama diri yang terdiri lebih dari dua suku kata yang dipakai

    sebagai sapaan lebih bervariasi bentuk penggalnya. Misalnya, nama diri Rodjali

    terdiri dari suku kata ro-, -dja-, -li. Suku kata akhir dari nama diri Rodjali adalah –

    li dan dua suku kata terakhirnya adalah –dja- dan –li, digabung menjadi -djali.

    Bentuk penggal sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri Rodjali dalam novel

    Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu Djali dan

    Li, seperti dalam contoh (10).

    No Nama diri (nama tokoh) Sapaan 1. Ranta Ranta, Ta 2. Ireng Ireng, Reng 3. Djameng Djameng, Meng 4. Rodjali Djali, Li 5. Nah Nah

    Tabel 2. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Nama Diri

    2.3. Istilah Kekerabatan

    Istilah kekerabatan merupakan dasar pembentukan sapaan yang juga sering

    dipakai dalam suatu percakapan. Mansur -mengutip pendapat Eggan-

    menyebutkan bahwa kekerabatan adalah hubungan sosial, baik karena keturunan

    darah, akibat perkawinan, maupun karena wasiat (1988: 21). Dalam analisis ini,

    istilah kekerabatan yang dimaksud adalah kata-kata yang menunjukkan hubungan

    keluarga.

    (12). Yang Pertama kini duduk di antara banyak orang. Sedang orang banyak memperhatikan tubuhnya dari atas ke bawah dan

  • 23

    sebaliknya, dan akhirnya pandangan mereka berhenti pada mulutnya. Kemudian Yang Pertama memulai: Begini, Pak. Mula-mula abdi nyatakan penyesalan abdi telah langgar larangan itu. Karena pelanggaran itu abdi dikeroyok dan dirampas gerombolan, Pak. Semua modal habis. Yang tinggal cuma celana dalam. Abdi dipukuli setengah mati. Komandan itu menegakkan badannya dan bertanya: ... Baru berapa bulan kita mau kerjasama? Lihat sendiri, sudah begitu banyak kita dapat perbuat. Yang Pertama menunduk, kemudian menjawab: Ya, Pak. Abdi sendiri memang salah, Pak. Jangan minta maaf padaku, berjanji pada saudara-saudaramu itu! Yang Pertama diam saja, dan makin menunduk. Apa kau malu kerjasama dengan saudara-saudaramu sendiri? Tidak, Pak. Mengapa tak juga bicara pada mereka? Yang Pertama menegakkan badannya, memandang ke sekelilingnya, mula-mula pada Ranta, kemudian pada Komandan, Prajurit, kemudian pada kerumunan pekerja sukarela, dan akhirnya memperdengarkan suaranya: Sudara-sudara, aku berjanji akan kerjasama dengan kalian, dalam segala usaha yang bermanfaat. (hlm. 115-116) (13). Isteri Ranta tak senggup menjawab. Rodjali mengetok-ngetok dari luar. Dengan suara gemetar perempuan itu bertanya: Si-a-pa? Rodjali, Bu, Cuma Rodjali! Ireng, isteri Ranta, mendengar jawaban Rodjali serta-merta mengusap-usap dada dan menyebut: Astaga! Cuma Rodjali? Buat kaget orang saja, kau, Li. Terdengar tertawa pendek di luar yang menyatakan sukacita, kemudian menyusul suaranya: Benar-benar kaget, Bu? (hlm. 95)

    (14). Ireng menghampiri dan membangunkan: Pak! Aku kira pergi. ... Nampak Yang Pertama terlompat dari bale, mengocok matanya, menatap Ireng kemudian membeliakkan matanya yang belum awas dan dengan kagetnya berseru: Maaf, Mpok. Kami menginap di sini semalam. Kami sudah... (hlm. 23) (15). Tanpa mereka duga-duga, datang Yang Pertama, Yang Kedua, membawa seorang teman Yang Ketiga. Yang Ketiga adalah

  • 24

    seorang setengah baya bertubuh kecil, pendek, tetapi gesit tingkahlakunya.

    Kang, tegur Yang Petama, ini kawanku. Sudah……. (hlm. 36) Beberapa contoh tuturan di atas mengandung sapaan yang dibentuk

    berdasarkan istilah kekerabatan. Dalam novel ini, sapaan yang dibentuk

    berdasarkan istilah kekerabatan adalah Pak, Sudara-sudara, Bu, Mpok, Kang.

    Sapaan-sapaan ini dipakai untuk menyebut tokoh-tokoh dalam novel tersebut.

    Misalnya, sapaan Pak dalam contoh (12) dipakai untuk menyebut tokoh

    Komandan.

    Contoh (12) menunjukkan penggunaan sapaan yang dibentuk berdasarkan

    istilah kekerabatan berupa Pak dan Sudara-sudara. Pada contoh (13), sapaan

    dibentuk berdasarkan istilah kekerabatan adalah Bu. Sapaan yang dibentuk

    berdasarkan istilah kekerabatan dalam contoh (14), yaitu Mpok. Sapaan Kang

    dalam contoh (15) juga dibentuk berdasarkan istilah kekerabatan.

    Sapaan Pak dalam contoh (12) merupakan penggalan istilah kekerabatan

    bapak yang bersuku kata ba- dan -pak. Bapak adalah sebutan untuk orang tua

    kandung laki-laki. Sapaan Bu dalam contoh (13) merupakan penggalan istilah

    kekerabatan ibu yang ber suku kata i- dan -bu. Ibu adalah sebutan untuk orang tua

    kandung perempuan.

    Sapaan Kang dalam contoh (15) merupakan pengalan istilah kekerabatan

    akang (bahasa Sunda) atau kakang (bahasa Jawa) yang berarti saudara tua (kakak)

    laki-laki. Akang bersuku kata a- dan –kang, sedangkan kakang bersuku kata ka-

    dan –kang. Sapaan Mpok dalam contoh (14) merupakan variasi pemakaian istilah

  • 25

    kekerabatan Empok. Empok adalah istilah untuk saudara tua (kakak) perempuan

    dalam bahasa Betawi.

    Sapaan Sudara-sudara dalam contoh (12) merupakan bentuk ulang dari

    istilah kekerabatan sudara (variasi pemakaian istilah kekerabatan saudara sebagai

    sapaan karena keterbatasan kemampuan pengucapan pembicaranya). Kata

    saudara dipakai untuk menunjukkan adanya hubungan kekerabatan. Namun,

    sapaan ini dapat dipakai untuk menyebut mitra tutur yang tidak yang tidak

    berkerabat dengan penutur. Sapaan yang menggunakan bentuk perulangan

    menunjukkan bahwa lawan yang disapa jamak.

    No. Istilah kekerabtan Sapaan 1. Bapak Pak 2. Ibu Bu 3. Empok Mpok 4. Akang Kang 5. Saudara Saudara-saudara, sudara- suadara

    Tabel 3. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Istilah Kekerabatan

    2.4. Gelar

    Pengunaan sapaan yang dibentuk berdasarkan gelar dalam novel Sekali

    Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer cukup banyak. Gelar

    merupakan sebutan kehormatan atau keilmuan yang biasanya ditambahkan pada

    nama orang; nama tambahan sesudah nikah atau setelah tua (sebagai kehormatan);

    sebutan (julukan) yang berhubungan dengan keadaan atau tabiat orang ( KBBI,

    1995: 301). Beberapa contoh sapaan yang dibentuk berdasarkan gelar dalam novel

    ini, sebagai berikut:

    (16). Juragan Musa tak menggubris Nyonya. Dengan mendelik ia bertanya pada Djali:

  • 26

    Dari rumah Ranta? Saya, Juragan. Tidak lihat tasku ketinggalan di sana? Tidak, Juragan. Tongkatku? Tidak, Juragan. Pergi lagi ke rumah Ranta! Saya, Juragan. Minta tas dan tongkatku dari dia. Saya, Juragan. Kalau dia tak mau kasih, bunuh dia! Tapi orangnya tak ada, Juragan. Tidak ada? Rumahnya terkunci, Juragan. Ke mana? Kau tahu? Tidak, Juragan. Ya, Allah, ya Allah(hlm. 47)

    (17). Ranta berhenti di tengah-tengah ruangan, dan tanpa menengok pada Nyonya, ia menyambut: Baiklah, Nyonya. Rumah ini tidak akan rusak atau kehilangan perabotnya. Kalau Nyonya datang kembali, semua masih dalam keadaan utuh. Tapi ngomong-ngomong, Nyonya, bagaimana perasaan Nyonya sekarang? Terdengar nyata Nyonya menghela nafas panjang, kemudian baru menjawab: Aku kira sama sajalah dengan perasaan perempuan lain kalau ditinggalkan suaminya. Dan tentang aku sendiri—ditinggalkan dalam keadaan bagaimana! (hlm. 80)

    Sapaan yang dibentuk berdasarkan gelar dalam novel Sekali Peristiwa di

    Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu Juragan dalam contoh (16)

    dan Nyonya dalam contoh (17). Dalam novel ini, sapaan Juragan dipakai untuk

    menyebut tokoh Musa, sedangkan sapaan Nyonya dipakai untuk menyebut tokoh

    Nah. Kedua gelar yang dipakai sebagai sapaan ini dipakai secara utuh. Juragan

    merupakan kata untuk menyebut orang yang memiliki usaha tertentu atau

    kekayaan, baik berupa tanah, hewan, dan lainnya. Nyonya adalah kata untuk

    menyebut wanita dewasa yang berstatus sosial tinggi.

  • 27

    Penggalan sapaan Juragan dan Nyonya dipakai juga dalam novel ini.

    Beberapa contoh pemakaian bentuk penggal sapaan Juragan dan Nyonya dalam

    novel ini, yaitu:

    (18). Ranta berdiam diri, menggaruk-garuk tengkuk dan leher, kemudian, setelah merasa pandangan Musa ditimpakannya pada keningnya, tangannya yang menggaruk-garuk jatuh lunglai. Musa memulai: Tahun yang lalu kau juga yang kusuruh ambil bibit karet. Sekarang kau juga yang kusuruh. Apa susahnya? Juragan tahu sendiri, Gan, dulu hampir-hampir tertangkap. Goblok! Apa perlunya otak dalam kepalamu itu! Saya, Gan. Jadi berangkat nanti malam. Aku tunggu jam tiga pagi di rumah. Saya, Gan. (hlm. 18)

    (19). Tanpa menjawab ia menghadap Nyonya lewat pintu dalam. Melihat Rodjali sudah ada di hadapannya, Nyonya bertanya dengan suara cepat: Juragan tidak pesan apa-apa tadi? Setelah menyekakan kedua belah telapak tangan pada sampingmenyamping celana piama, Rodjali menjawab: Ada, Nya. Katanya pergi ke rumah Ranta. (hlm. 41)

    Dalam contoh (18), sapaan Juragan (dari suku kata ju-, -ra-, -gan) dipakai

    hanya suku kata akhirnya saja, yaitu Gan, sebagai sapaan. Sapaan Nya Dalam

    contoh (19) merupakan bentuk penggal dari sapaan Nyonya yang bersuku kata

    nyo- dan -nya.

    Aturan pemenggalan sapaan dalam novel ini berdasarkan suku kata. Suku

    kata yang dipakai sebagai sapaan yang berupa penggalan ini adalah suku kata

    akhir dan kombinasi dua suku kata terakhir.

    No. Gelar Sapaan 1. Juragan Juragan, Gan 2. Nyonya Nyonya, Nya

    Tabel 4. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Gelar

  • 28

    2.5. Istilah pertemanan

    Sapaan yang dibentuk berdasarkan istilah pertemanan dalam novel Sekali

    Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer sangat terbatas.

    Pertemanan (friendship, persahabatan) adalah hubungan yang erat atau akrab

    antara pihak-pihak tertentu (Soekanto, 1983: 196). Sapaan lain ini hanya ada satu

    saja dan tidak banyak dipakai dalam novel ini.

    (20). Dari kursinya Lurah Ranta berseru: Ayoh, masuk, kawan-kawan! Beberapa orang masuk ke dalam dengan berkalung sarung tenun, berpeci, tanpa alas kaki. Semua bercelana hitam kolor di bawah lutut tetapi sebagian dari mereka berbaju kaos buntung dan sebagian lagi berbaju teluk belanga. Seorang bertelanjang dada. Mereka semua berdiri di hadapan Pak Lurah, menunggu perintah. (hlm. 84)

    Dalam contoh (20), sapaan yang di bentuk berdasarkan istilah sapaan lain

    yang terdapat dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya

    Ananta Toer, yakni kawan-kawan. Berdasarkan tuturan di atas, sapaan kawan-

    kawan dipakai untuk menyebut tokoh warga desa yang digambarkan sebagai

    orang-orang yang berkalung sarung tenun, berpeci, tanpa alas kaki. Sapaan

    kawan-kawan biasa dipakai untuk menyebut orang yang memiliki hubungan

    dekat atau akrab tetapi tidak berkerabat.

    2.6. Kombinasi

    Dasar pembentukan sapaan lainnya yang terdapat dalam novel Sekali

    Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer berupa kombinasi atau

    gabungan istilah-istilah yang menjadi dasar pembentukan sapaan di atas.

    Kombinasi ini, antara lain istilah kekerabatan dan nama diri, istilah kekerabatan

  • 29

    dan jabatan, gelar dan nama diri. Sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi ini

    sangat terbatas pemakaiannya dalam novel ini. Analisis sapaan yang dibentuk

    berdasarkan kombinasi sebagai berikut:

    2.6.1. Kombinasi Istilah kekerabatan dan Nama diri

    Sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi istilah kekerabatan dan

    nama diri dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya

    Ananta Toer sangat terbatas. Sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi istilah

    kekerabatan dan nama diri dalam novel ini, yaitu:

    (21). Tak berjawab, Pak Komandan menebarkan pandangan ke keliling, dan akhirnya matanya berhenti pada Pak Lurah. Bertanya: Pak Lurah bisa baca tulis? Tidak, Pak. Mau belajar? Tentu saja, Pak. Nah. Buat apa bisa baca-tulis, Bu Ireng? Ah, Pak, lebih baik daripada tidak, kan? (hlm. 122)

    Contoh (21) menunjukkan pemakaian sapaan yang dibentuk berdasarkan

    kombinasi istilah kekerabatan dan nama diri, yaitu Bu Ireng. Dalam novel ini,

    sapaan Bu Ireng dipakai untuk menyebut tokoh Ireng. Sapaan tersebut dibentuk

    berdasarkan kombinasi istilah kekerabatan Bu yang merupakan bentuk penggal

    dari ibu dan nama diri Ireng yang dipakai secara utuh.

    2.6.2. Kombinasi Istilah kekerabatan dan Jabatan.

    Sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi istilah kekerabatan dan

    Jabatan sering dipakai dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya

    Pramoedya Ananta Toer. Dalam analisis ini yang dimaksud dengan jabatan adalah

    pekerjaan dalam pemerintahan atau organisasi (KBBI, 1990: 342). Dalam novel

    ini, sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi istilah kekerabatan dan jabatan

  • 30

    dipakai untuk menyebut tokoh-tokoh yang memiliki jabatan atau kedudukan

    tertentu.

    (22). Juragan Musa menunduk kepalanya dan berkata tak bertenaga: Apa yang mesti kuakui, Pak Komandan? Bukan aku yang msti mengaku, tapi mereka yang memanggil aku begitu. Tetapi Pak Komandan mendesak terus tanpa menggubris irama suara Juragan Musa yang meminta dibelaskasihani: Sudah tiga bukti menyatakan, kau Residen DI. Pertama-tama isterimu sendiri menyebut kau pembesar DI. Kedua Pak Lurah sini, yang sekarang baru ketahuan orang DI juga, dan ketiga surat-surat dalam tas Juragan sendiri. (hlm. 65)

    (23). Pak Kasan, yang tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya, akhirnya menghampiri Juragan Musa sambil bertanya canggung: Pak Residen, barangkali membutuhkan bantuanku? Dengan suara mendesis murka Juragan Musa menjawab gagap: Pecahkan kepala perempuan murtad ini! Mendengar itu Pak Kasan terpaku termangu-mangu. Dengan mata membelalak ia tatap... Tiba-tiba Pak Kasan dapat menguasai dirinya kembali dan berkata dalam sikap resmi: Pak Residen, tugas akan kami dahulukan. Laporan: Ranta tidak ada di rumah. Tas dan tongkat Pak Residen tak ada di sana. Rumah yang berkepentingan itu telah kami....... (hlm. 68)

    (24). Semua yang hadir diam-diam dengan gayanya masing-masing karena tenggelam dalam pikiran. Tetapi tidak lama karena ketenangan segera diganggu oleh datangnya Yang Pertama. Pada muka, kaki, dan tangannya manpak bekas luka-luka karena senjata tajam. Segera ia ditegur oleh Pak Lurah waktu ia berdiri termangu-mangu: Nah, apa kabar? Sudah lama tidak kelihatan Yang Pertama tersenyum malu, kemudian menerangkan; Pulang dari rumahsakit, Pak lurah. Rumahsakit mana? Pelabuhan Ratu? Benar, Pak Lurah. Tidak jadi ke Jakarta? Mau apa lagi, Pak Lurah? Ayoh, duduk sini beramai-ramai. Ceritakan Pengalamanmu. (hlm. 114-115)

    (25). Nyonya menatap Ireng sejenak, kemudian menjawab:

  • 31

    Menurut pendapatku, begini. Sebaiknya tanah liar itu kita garap beramai-ramai. Kami, kaum wanita, lebih banyak memikir tentang anak dan keturunan. Ya, kita semua bukan bekerja untuk diri sendiri semata. Kita bekerja terutama sekali buat anak dan keturunan. Bukan begitu, Bu Lurah? Tiba-tiba kerumunan itu meledakkan kegembiraan mendengar jawaban Nyonya. Di antaranya terdengar pekikan nyaring di antara kerumunan itu: Bagaimana pendapatmu. Bu Lurah? Ireng tersenyum bahagia kemudiandengan malu-malu berkata: Sampai sebegitu jauh, Tuhan telah... (hlm. 125)

    Dalam novel ini, sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi istilah

    kekerabatan dan jabatan adalah Pak Komandan, Pak Residen, Pak Lurah, dan

    Bu Lurah. Sapaan Pak Komandan dipakai untuk menyebut tokoh Komandan,

    sapaan Pak Residen dipakai untuk menyebut tokoh Musa, sapaan Pak Lurah

    dipakai untuk menyebut tokoh Ranta. Sapaan kombinasi ini dibentuk dari

    penggabungan antara penggalan istilah kekerabatan, yaitu: Pak dan Bu, dengan

    jabatan yang dipakai secara utuh, yaitu: Komandan, Residen, dan Lurah.

    Komandan merupakan sebutan pemimpin pasukan dalam bidang militer.

    Residen merupakan kepala suatu wilayah yang terdiri dari gabungan beberapa

    kabupaten, tetapi bukan setingkat provinsi yang dikepalai oleh gubernur. Jabatan

    ini telah dihapus dari sistem pemerintahan. Lurah merupakan jabatan tertinggi di

    tingkat desa.

    2.6.3. Kombinasi Gelar dan Nama Diri.

    Sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi gelar dan nama diri dalam

    novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer tidak

    banyak dipakai. Nama diri lebih luas pemakaiannya daripada gelar. Gelar dapat

  • 32

    menjadi bagian dari nama diri. Salah satu contoh sapaan yang dibentuk

    berdasarkan kombinasi gelar dan nama diri, sebagai berikut:

    (26). Tiba-tiba dari luar terdengar bunyi burung—alamat yang disuarakan oleh orang-orang OKD, menandakan ada seseorang datang. Semua prajurit yang ada di kamar tamu melihat keluar, kemudian Komandan memberi perintah: Ada orang datang. Sembunyi semua! Kau, Juragan Musa, kalau lari aku tembak dari belakang pintu. Kau mesti sambut tamumu seperti biasa. Mengerti? Turunkan tanganmu! Juragan Musa mengangguk. Semua prajurit sembunyi di balik-balik pintu, sedangkan Komandan sendiri, setelah mengambil keris pusaka dari meja berkata pada Nyonya: Nyonya, kami tidak main-main. Terima tamu Nyonya seperti biasa. Kalau Nyonya menyulitkan kami. Kami bisa bertindak dari belakang pintu itu. (hlm. 62)

    Dalam contoh (26), sapaan yang dibentuk dari kombinasi gelar dan nama

    diri, yaitu Juragan Musa. Dalam novel ini, sapaan Juragan Musa dipakai untuk

    menyebut tokoh Musa. Sapaan ini dibentuk dari kombinasi gelar Juragan dan

    nama diri Musa. Kombinasi gelar dan nama diri dipakai secara utuh sebagai

    sapaan. Juragan merupakan kata untuk menyebut orang yang memiliki usaha

    tertentu atau kekayaan, baik berupa tanah, hewan, dan lainnya.

    No. Kombinasi Sapaan 1. Istilah kekerabatan dan nama diri Bu Ireng 2. Istilah kekerabatan dan jabatan Pak Komandan, Pak Lurah, Pak

    Residen, Bu Lurah 3. Kombinasi gelar dan nama diri Juragan Musa

    Tabel 5. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Kombinasi

  • 33

    BAB III

    FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

    PEMAKAIAN SAPAAN

    DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN

    KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

    3.1 Pengantar

    Dalam bab ini dianalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

    pemakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya

    Pramoedya Ananta Toer. Analisis ini dilakukan untuk membuktikan adanya

    faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi pemakaian bentuk-bentuk linguistik,

    dalam hal ini sapaan, dalam suatu peristiwa komunikasi.

    Sapaan yang terdapat dalam novel Sekali Peristiwa di Baten Selatan karya

    Pramoedya Ananta Toer sangat bervariasi. Variasi pemakaian sapaan yang

    terkandung dalam tuturan yang ada di novel ini dipengaruhi oleh faktor-faktor

    yang berkaitan erat dengan penutur, mitra tutur, dan situasi.

    Variasi pemakaian bahasa dapat disebabkan oleh hubungan sosial antara

    penutur dengan mitra tutur serta ranah tuturan. Hubungan sosial tersebut

    ditunjukkan melalui tingkat keakraban dan penghormatan pentutur terhadap mitra

    tutur serta jenis kelamin mitra tutur. ranah merupakan kaitan antara partisipan,

    setting, dan topik pembicaraan.

  • 34

    Menurut Suhardi dkk. (1985: 6) -mengutip pendapat Suseno

    Kartomihardjo- faktor-faktor yang menentukan pemilihan sapaan, yaitu situasi,

    etnik, kekerabatan, keintiman, status, umur, jenis kelamin, status perkawinan, dan

    asal. Namun, berdasarkan hasil analisis, ada faktor yang tidak mempengaruhi

    pemakaian sapaan dalam novel ini. Meskipun demikian, ada faktor lain yang tidak

    disebut di atas yang mempengaruhi pemilihan sapaan, yaitu jabatan. Jadi, faktor-

    faktor yang mempengaruhi pamakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di

    Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu, status sosial, keakraban,

    status perkawinan, jabatan, hubungan kekerabatan, jenis kelamin, etnis, dan

    situasi. Setiap sapaan dalam novel ini dipengaruhi beberapa faktor sekaligus

    karena faktor-faktor tersebut bukan faktor tunggal.

    3.2. Status Sosial

    Faktor status sosial mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali

    Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Status sosial

    (kedudukan sosial) adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat

    sehubungannya dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya,

    prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya (Soekanto, 1990: 265).

    Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor status sosial menunjukkan adanya

    perbedaan atau kesejajaran status sosial penutur dan mitra tutur. Perbedaan atau

    kesejajaran status sosial berdasarkan kekayaan, hubungan kedinasan, atau

    kedudukan penutur dan mitra tutur.

  • 35

    Dasar pembentukan sapaan yang dipengaruhi faktor status sosial yang

    terdapat dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta

    Toer cukup bervariasi, antara lain: nama diri, gelar, istilah kekerabatan, serta

    kombinasi gelar dan nama diri. Beberapa contoh pemakaian sapaan yang

    dipengaruhi faktor status sosial dalam novel ini, sebagai berikut:

    (27) Ireng muncul di ambang pintu. Bersuara ramah dan agak keras, tetapi nyata suaranya terdengar sumbang: Siapa sih panggil-panggil itu? O, Juragan Musa. Duduk, Gan. Tanpa menoleh ke belakang Musa menyambut: Mulai kapan sih, pura-pura tak kenal aku? Ireng merapihkan bale bambu sambil menjawab: Bukannya pura-pura tak kenal, Gan. Memang tidak tahu, sih. Musa memutar-mutar tongkatnya, dan tanpa menengok pada Ireng meneruskan kata-katanya sambil tersenyum: Mana Ranta! Belum datang, Gan. Dengan suara setengah berbisik Musa mendesak: Jangan bohong. Sudah kulihat tadi dia pulang. Ta! Ranta. Benar, Gan, belum pulang. (hlm. 16)

    Sapaan Gan dalam contoh (27) menunjukkan adanya pengaruh faktor

    status sosial dalam pemakaiannya. Pemakaian sapaan Gan dalam contoh di atas

    menunjukkan adanya perbedaan status sosial antara penutur dan mitra tutur.

    Dalam hal ini, status sosial tokoh Ireng sebagai penutur lebih rendah daripada

    tokoh Musa sebagai mitra tutur.

    Perbedaan status sosial antara tokoh Ireng dan tokoh Musa ini berdasarkan

    kekayaan. Hal ini ditunjukan melalui keadaan rumah kedua tokoh tersebut.

    Rumah tokoh Ireng berupa gubuk yang terbuat dari bambu yang beratap rumbia

    (Toer, 2004: 11). Sedangkan rumah tokoh Musa digambarkan memiliki ruang

    tamu lebar yang terang benderang dengan sepasang sice tua setengah antik yang

  • 36

    terpelihara baik terpasang di dekat dinding, sebuah almari pajangan berisikan

    berbagai barang pecah belah yang tersusun dengan rapi, lampu gantung yang

    indah model lama tergantung di tengah-tengah ruang tamu (Toer, 2004: 40).

    (28) Sekarang komandan menganggapi tubuh bagian belakang sambil bertanya dengan mulut dihampirkan pada kuping tangkapannya: Apa gunanya keris pusaka di bawa ke mana-mana, Juragan? Biar hati aman, Pak. Komandan tertawa senang dan segera menyambut: O, mengerti aku sekarang. Jadi selamanya hati Juragan tidak aman, eh? Mengapa selamanya tidak aman, Juragan? (hlm. 59)

    Sapaan Juragan dan Pak dalam contoh (28) menunjukkan adanya

    kesejajaran status sosial berdasarkan kedudukan penutur dan mitra tutur.

    Berdasarkan contoh di atas, sapaan Gan dipakai untuk menyebut tokoh Musa,

    sedangkan sapaan Pak dipakai untuk menyebut tokoh Komandan. Tokoh Musa

    berkedudukan sebagai tuan tanah. Hal ini ditunjukkan dalam tuturan tokoh Ranta

    yang menyebutkan bahwa tokoh Musa adalah seorang tuan tanah. Tanah milik

    tokoh Musa tersebut merupakan hasil rampasan dari para pekerja yang ikut

    roomusya (Toer, 2004: 81). Tokoh Komandan berkedudukan sebagai pemimpin

    pasukan yang bertugas menjaga keamanan di daerah tersebut (Toer, 2004: 65, 73).

    Keduanya memiliki status sosial yang sama tinggi.

    (29) Komandan menghampiri dan bertanya: Kami berterimakasih padamu, Ranta. Atas nama Tentara dan Pemerintahan, kami pun mengucapkan terimakasih pada jasamu……… Ranta hanya menggeleng-gelengkan kepala. Melihat itu segera Komandan mendesak dengan pertanyaan yang bersungguh-sungguh: Mengapa, Ranta? Nampaknya kau tak bersenanghati.

  • 37

    Ranta menengadahkan mukanya memandangi gambar-gambar di dinding dan setelah mengeluh berat ia berkata lambat-lambat setengah memperingatkan: Memang dengan tertangkapnya orang-orang ini daerah kita menjadi aman, Pak. Tapi sampai berapa lama? Sambil menunjuk tangkapan-tangkapan ia meneruskan: Orang-orang ini takkan jera-jeranya mengacaukan keamanan kita. Mereka tidak sendirian, mereka akan membalas dendam. Terutama abdi yang akan dimusuhi mereka, Pak. (hlm. 71,72)

    Sapaan Ranta dan Pak dalam contoh (29) menunjukkan adanya pengaruh

    perbedaan status sosial berdasarkan kedudukan penutur dan mitra tutur.

    Berdasarkan contoh di atas, sapaan Ranta dipakai oleh tokoh Komandan untuk

    meyebut tokoh Ranta yang berkedudukan lebih rendah kerena hanya seorang

    warga biasa, sedangkan tokoh Ranta memakai sapaan Pak untuk menyebut tokoh

    Komandan yang berkedudukan lebih tinggi.

    (30) Pasar diobrakabrik DI. Sudah tahu, Ta? Jadi binimu juga gagal. Nah, waktu baik, musim baik. Malam ini, Ta, ingat-ingat, nanti jam sebelas malam. Pekerjaan apa, Gan? Ambil bibit karet, ya? Susah membawanya, Gan? Susah mana sama lapar, Ta? (hlm. 18)

    Sapaan Gan dan Ta dalam contoh (30) menunjukkan adanya perbedaan

    status sosial berdasarkan hubungan kedinasan. Hubungan kedinasan yang

    dimaksud adalah hubungan antara penutur dan mitra tutur yang terjadi karena

    pekerjaan. Berdasarkan contoh di atas, terdapat hubungan kedinasan antara atasan

    dan bawahan. Tokoh Musa menyebut tokoh Ranta dengan menggunakan sapaan

    yang dibentuk berdasarkan nama diri, yaitu Ta. Sebaliknya, tokoh Ranta

    menyebut tokoh Musa dengan menggunakan kata sapaan yang dibentuk

    berdasarkan gelar, yaitu: Gan yang merupakan penggalan dari sapaan Juragan.

  • 38

    Hubungan kedinasan kedua tokoh tersebut ditunjukkan melalui tuturan

    yang menyebutkan bahwa tokoh Musa memerintah tokoh Ranta untuk mengambil

    bibit karet. Dalam hubungan kedinasan ini, tokoh Musa sebagai atasan dan tokoh

    Ranta sebagai bawahan.

    Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor status sosial dalam beberapa

    contoh tuturan di atas dipengaruhi juga oleh faktor lain. Misalnya, pemakaian

    sapaan Pak dalam contoh (29) dipengaruhi juga faktor jenis kelamin. Sapaan Pak

    dipakai tokoh Ranta untuk menyebut tokoh Komandan yang berjenis kelamin

    laki-laki.

    3.3. Keakraban

    Faktor keakraban mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali

    Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya ananta Toer. Faktor ini dibagi

    menjadi dua, yaitu akrab dan tidak akrab. Akrab menunjukkan penutur dan mitra

    tutur telah saling mengenal dengan baik. Tidak akrab menunjukkan bahwa

    penutur dan mitra tutur belum saling mengenal dengan baik atau tidak saling

    mengenal.

    Sapaan yang dipengaruhi faktor keakraban dalam novel Sekali Peristiwa di

    Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer dibentuk berdasarkan istilah

    kekerabatan dan sapaan lain. Contoh sapaan yang dipengaruhi faktor keakraban

    dalam novel ini, sebagai berikut:

    (31) Dari kursinya Lurah Ranta berseru: Ayoh, masuk, kawan-kawan! Bebrapa orang masuk ke dalam dengan berkalung sarung tenunan, berpeci, tanpa alaskaki. Semua bercelana hitam kolor

  • 39

    di bawah lutut tetapi sebagian dari merka berbaju kaos buntung dan sebagian berbaju teluk belanga. Seorang telanjang dada. Mereka semua berdiri di hadapan Pak Lurah, menunggu perintah. Pak Lurah tersenyum puas. Berkata: Jadi sudah datang semua. Bagus. Nah, saudara-saudara, kalian semua ketua Rukuntetangga di sini didirikan buat bantu pemerintah desa, dan pemerintah desa dipulihkan buat bantu saudara semua. Kita Cuma tahu bantu-membantu, gotongroyong, gugurgunung, kerjabakti, bersaudara, satu dengan yang lain, satu dengan semua, semua yang satu. Semua itu saudara-saudara sudah hafal. Nah, sekarang ada soal penting. Dengarkan baik-baik: Gerombolan akan datang menyerang lagi. Tentara yang ditempatkan di desa terpencil ini cuma sedikit. Kita semua harus ikut melawan. (hlm. 84,85)

    Sapaan kawan-kawan dan saudara-saudara dalam contoh (31)

    menunjukkan adanya pengaruh faktor keakraban. Berdasarkan tuturan di atas,

    sapaan kawan-kawan dan saudara-saudara dipakai oleh tokoh Ranta yang

    berkedudukan sebagai lurah untuk menyebut mitra bicara yang berkedudukan

    sebagai ketua Rukun Tetangga. Keakraban antara tokoh Ranta dengan tokoh para

    ketua Rukun Tetangga ditunjukkan melalui teks dalam contoh (31) yang

    menyebutkan bahwa mereka telah terbiasa bantu-membantu, bergotong royong,

    bahkan telah beranggapan telah saling bersaudara. Hal ini menunjukkan bahwa

    mereka telah lama saling mengenal.

    (32) Yang Pertama menghampiri pintu dan menyapa: Pak, Pak! Bukan DI ini, orang baik-baik. Boleh nginap sini, Pak? Tak berjawab Mereka letakkan bawaannya masing-masing di dekat pintu kemudian tidur di atas bale. (hlm. 21,22)

    Sapaan Pak dalam contoh (32) menunjukkan adanya pengaruh faktor

    keakraban yang menunujukkan ketidakakraban. Berdasarkan contoh di atas,

    sapaan Pak dipakai tokoh Yang Pertama untuk menyebut pemilik rumah yang

  • 40

    belum dikenalnya. Tokoh Yang Pertama memperkenalkan diri sebagai orang baik-

    baik dan bukan anggota DI kepada pemilik rumah yang belum dikenalnya.

    Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor keakraban dalam beberapa

    contoh tuturan di atas dipengaruhi juga oleh faktor lain. Misalnya, pemakaian

    sapaan kawan-kawan dan saudara-saudara dalam contoh (31) dipengaruhi juga

    faktor situasi. Situasi tidak resmi dalam tuturan tersebut menyebabkan tokoh

    Ranta memakai sapaan kawan-kawan dan saudara-saudara untuk menyebut

    para tokoh ketua Rukun Tetanga yang berbeda status sosialnya.

    3.4. Status Perkawinan

    Faktor status perkawinan mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel

    Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Anata Toer. Perkawinan

    adalah suatu hubungan antara pria dan wanita yang sudah dewasa yang saling

    mengadakan ikatan hukum adat, atau agama dengan maksud bahwa mereka saling

    memelihara hubungan tersebut agar berlangsung dalam waktu yang relatif lama

    (Suyono, 1985: 315). Sapaan yang dipengaruhi faktor ini menunjukkan bahwa

    orang yang disapa telah menikah atau kawin. Sapaan yang dipengaruhi faktor

    status perkawinan yang terdapat dalam novel ini dibentuk berdasarkan gelar dan

    kombinasi istilah kekerabatan dengan jabatan.

    Sapaan yang dipengaruhi faktor status perkawinan dalam novel Sekali

    Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer dipakai untuk

    menyebut tokoh yang berkedudukan sebagai istri. Beberapa contoh sapaan yang

    dipengaruhi faktor status perkawinan dalam novel ini, sebagai berikut:

  • 41

    (33) Nyonya menatap Ireng sejenak, kemudian menjawab: Menurut pendapatku, begini. Sebaiknya tanah liar itu kita garap beramai-ramai. Kami, kaum wanita, lebih banyak memikir tentang anak dan keturunan. Ya, kita semua bukan bekerja untuk diri sendiri semata. Kita bekerja terutama bekal buat anak dan keturunan, bukan begitu, Bu Lurah? Tiba-tiba kerumunan itu meledakkan kegembiraan mendengar jawaban Nyonya. Di antaranya terdengar pekikan nyaring di antara kerumunan itu: Bagai mana pendapatmu, Bu Lurah? (hlm. 125)

    Sapaan Bu Lurah dalam tuturan (33) menunjukkan adanya pengaruh

    faktor status perkawinan. Dalam novel ini, Sapaan Bu Lurah dipakai untuk

    menyebut tokoh Ireng, istri tokoh Ranta. Tokoh Ranta berkedudukan sebagai

    lurah darurat di desa tersebut (Toer, 2004: 83). Namun, sapaan Bu Lurah dalam

    komunikasi sehari-hari dapat dipakai untuk untuk menyebut seorang wanita yang

    telah atau belum menikah yang menjabat sebagai lurah.

    (34) Ranta mengawasi Nyonya sebentar, kemudian berkata: Tentu saja bukan ancaman. Nyonya, bagaimana sekarang pendapat Nyonya tentang suami Nyonya? Nyonya mempermain-mainkan ujungjarinya sambil dengan ragu-ragu menjawab: Kalau dia DI, tentu saja dia mesti ditangkap. Tapi Pak Lurah jangan lupa, bagaimanapun juga dia suamiku. Pak Lurah Ranta menyambar: Nah, itulah Nyonya, justru karena suami Nyonya itulah aku bertanya: setujukah Nyonya suami Nyonya masuk DI? (hlm. 80,81)

    Sapaan Nyonya dalam contoh (34) menunjukkan adanya pengaruh faktor

    status perkawinan. Sapaan tersebut dipakai untuk menyapa wanita dewasa yang

    memiliki kedudukan yang tinggi, misalnya istri seorang tuan tanah. Dalam novel

    ini, sapaan Nyonya dipakai untuk menyebut tokoh Nah, istri tokoh Musa.

    Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor status perkawinan dalam

    beberapa contoh tuturan di atas dipengaruhi juga faktor lain. Misalnya, pemakaian

  • 42

    sapaan Nyonya dalam contoh (34) dipengaruhi juga faktor jenis kelamin. Sapaan

    Nyonya dipakai mitra tutur yang berjenis kelamin perempuan.

    3.5. Jabatan

    Faktor jabatan mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali

    Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Jabatan adalah

    pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi (KBBI, 1995: 392). Sapaan

    yang dipengaruhi faktor jabatan yang terdapat dalam novel ini dibentuk

    berdasarkan kombinasi istilah kekerabatan dan jabatan.

    Sapaan yang dipengaruhi faktor jabatan dalam novel Sekali Peristiwa di

    Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer dipakai untuk menyebut tokoh

    yang memiliki jabatan tertentu. Beberapa contoh sapaan yang dipengaruhi faktor

    jabatan yang terdapat dalam novel ini, sebagai berikut:

    (35) Pak Kasan, yang tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya menghampiri Juragan Musa sambil bertanya canggung: Pak Residen, barangkali membutuhkan bantuanku? Dengan suara mendesis murka Juragan Musa menjawab gagap: Pecahkan kepala perempuan murtad ini! (hlm.67,68)

    Sapaan Pak Residen dalam contoh (35) menunjukkan adanya pengaruh

    faktor jabatan. Sapaan tersebut dipakai untuk menyebut mitra tutur yang menjabat

    sebagai pemimpin wilayah keresidenan. Dalam novel ini, sapaan Pak Residen

    dipakai untuk menyebut tokoh Musa, seorang pembesar atau pejabat yang

    membawa dokumen-dokumen penting organisasi DI (Toer, 2004: 65). Selain itu,

  • 43

    sapaan Pak Residen yang dipakai juga menunjukkan kemungkinan bahwa tokoh

    Musa menjabat sebagai pemimpin organisasi DI dalam suatu wilayah keresidenan.

    (36) Semua yang hadir diam-diam dengan gayanya masing-masing karena tenggelam dalam pikiran. Tetapi tidak lama kerena ketenangan segera diganggu oleh datangnya Yang Pertama. Pada muka, kaki, dan tangannya nampak bekas luka-luka kena senjata tajam. Segera ia ditegur oleh Pak Lurah waktu ia berdiri termangu-mangu: Nah, apa kabar? Sudah lama tidak kelihatan. Yang Pertama tersenyum malu, kemudian menerangkan: Pulang dari rumahsakit, Pak Lurah. Rumahsakit mana? Pelabuhan Ratu? Benar, Pak Lurah. Tidak jadi ke Jakarta? Mau apa lagi, Pak Lurah? (hlm. 114, 115)

    Sapaan Pak Lurah dalam contoh (36) menunjukkan adanya pengaruh

    faktor jabatan. Sapaan tersebut dipakai untuk menyebut mitra tutur yang menjabat

    sebagai kepala desa. Dalam novel ini, sapaan Pak Lurah dipakai untuk menyebut

    tokoh Ranta yang menjabat sebagai lurah darurat di desa tersebut (Toer, 2004:

    83).

    (37) Nyonya tak dapat menjawab, hanya menyembunyikan mukanya ke dalam kedua belah telapak tangannya. Dari balik telapak tangan itu terdengar suaranya yang kacaubalau: Apa yang mesti kukatakan, Pak Komandan? Komandan itu tak mengambil pusing Nyonya dan mendesak Juragan Musa; Dengar, Juragan Musa. Daerah sini daerah paling kacau. Sudah kuusahakan bermusyawarah dengan orang-orang terkemuka di sini dan Pak Lurah, tapi… Sekali lagi terdengar bunyi burung dari luar rumah, suatu isyarat yang disuarakan OKD, yang memberi alamat bahwa ada datang orang banyak. Komandan itu meninjau kelilingnya. Dengan terburu-buru ia memberikan perintah suami-isteri itu: Sekarang gerombolan akan datang. Juragan Musa, Nyonya, perbuat seperti Juragan dan Nyonya perbuat terhadap Pak Lurah tadi. Gerakgerik Juragan dan Nyonya kami awasi terus. (hlm. 67)

  • 44

    Sapaan Pak Komandan dalam contoh (37) menunjukkan adanya

    pengaruh faktor jabatan. Sapaan tersebut dipakai untuk menyebut lawan bicara

    yang menjabat sebagai komandan suatu pasukan dalam miter. Dalam novel ini,

    sapaan Pak Komandan dipakai untuk menyebut tokoh Komandan yang menjabat

    sebagai pimpinan prajurit yang bertugas menjaga keamanan di daerah tersebut

    (Toer, 2004: 65, 73).

    Pemakaian sapaan yang dipengaruhi oleh faktor jabatan dalam beberapa

    contoh tuturan di atas dipengaruhi juga oleh faktor lain. Misalnya, pemakaian

    sapaan Pak Komandan dalam sapaan (37) dipengaruhi juga oleh faktor jenis

    kelamin. Sapaan Pak Komandan dipakai untuk menyebut mitra tutur yang

    berjenis kelamin laki-laki.

    3.6. Kekerabatan

    Faktor kekerabatan mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali

    Peristiwa di Benten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Pemakaian sapaan

    yang dipengaruhi faktor kekerabatan menunjukkan adanya hubungan kekerabatan

    antara penututur dengan mitra tutur. Mansur -mengutip pendapat Eggan-

    menyebutkan bahwa kekerabatan adalah hubungan sosial, baik akibat dari

    keturunan darah, perkawin