sanitasi
TRANSCRIPT
Pendahuluan
Agroindustri adalah industri yang memberi nilai tambah pada produk pertanian dalam arti
luas termasuk hasil laut, hasilk hutan, peternakan dan perikanan (Handito Hadi Joewono).
Kelapa sawit merupakan salah satu produk perkebunan yang memiliki nilai tinggi dan
industrinya termasuk padat karya. Negara-negara yang dapat mengolah kelapa sawit dengan baik
bisa mendapatkan hasil yang sangat menguntungkan dari industri produk ini.
Indonesia sebagai negara yang tanahnya subur jika ditanami kelapa sawit memiliki potensi
yang sangat besar untuk berperan dalam industry kelapa sawit, terlebih lagi di tahun 2007
Indonesia tercatat sebagai penghasil dan pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia.
CPO (Crude Palm Oil) adalah hasil gilingan dari daging sawit yang merupakan jenis
minyak kelapa sawit yang menjadi unggulan ekspor Indonesia dengan penggunaan utamanya
sebagai bahan pangan (contohnya minyak goreng, sabun, dan margarine) dan oleokimia (bahan
kimia yang mengandung lemak) seperti Fatty Acid, Fatty Alkohol, Glyserine, dan Stearic Acid.
Dibanding CPO, produk oleochemical memiliki nilai tambah lebih tinggi dan harga yang stabil,
namun sebagian besar CPO di Indonesia tersebut diekspor dalam bentuk mentah, sehingga kita
tidak mendapatkan nilai tambah lebih lanjut dari pengolahan produk hilir CPO.
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tumbuhan tropis golongan
plasma yang termasuk tanaman tahunan. Tanaman kelapa sawit ini terbagi atas tiga tipe
berdasarkan karakter ketebalan cangkang buahnya, yaitu dura (D), tenera (T) dan pisifera (P).
Jenis dura memiliki cangkang yang tebal (2-5 mm), tenera memiliki ketebalan cangkang 1-2,5
mm dan pisifera hampir tidak memiliki inti dan cangkang. Ketebalan cangkang ini sangat erat
kaitannya dengan persentase mesokarp/buah (berasosiasi dengan kandungan minyak) dan
persentase inti/buah (berasosiasi dengan rendemen inti).
Buah merupakan bagian tanaman kelapa sawit yang bernilai ekonomi dibanding bagian
lain. Tanaman kelapa sawit mulai menghasilkan buah pada umur 30 bulan setelah tanam. Buah
pertama yang keluar (buah pasir) belum dapat diolah di PKS karena kandungan minyaknya yang
masih rendah. Buah kelapa sawit normal berukuran 12-18 g/butir yang duduk pada bulir, dan
bulir-bulir ini menyusun tandan buah yang berbobot rata-rata 20-30 kg/tandan. Buah sawit yang
dipanen dalam bentuk tandan disebut dengan tandan buah sawit. Setiap TBS berisi sekitar 2000
buah sawit, dan TBS inilah yang dipanen dan diolah di Pabrik Kelapa Sawit menjadi CPO
(Crude Palm Oil) (PPKS, 2004).
Semua komponen buah sawit dapat dimanfaatkan. Pelepah dan batang sawit bisa dijadikan
pulp dan kertas, pakan ternak serta furniture. Tandan kosong dapat dimaanfaatkan sebagai pupuk
kompos, pulp dan kertas, karbon, dan rayon. Cangkang inti sawit dapat digunakan sebagai bahan
bakar dan karbon, sedangkan ampas inti sawit bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Serat
mesokarp dapat diolah menjadi medium density fibre-board dan bahan bakar. CPO dan PKO
dapat diolah menjadi produk pangan dan non pangan. Produk pangan antara lain minyak goreng,
margarin, shortening, emulsifier, minyak makan merah, susu kental manis, vanaspati,
confectioneries, es krim, dan yoghurt. Sedangkan produk non pangan antara lain biodiesel,
pelumas, lilin, senyawa ester, kosmetik, farmasi, dan lain-lain (PPKS, 2005).
Kelapa sawit memiliki beberapa keunggulan, diantaranya adalah potensi produksi minyak
kelapa sawit/ha tanaman sebesar 7-25 kali lebih besar dibandingkan sumber minyak nabati
lainnya, sehingga biaya produksinya akan lebih murah dibandingkan minyak nabati lainnya,
harga minyak sawit jauh lebih murah dibandingkan dengan jenis minyak nabati lainnya, industri
hilir yang berbahan baku minyak sawit sangat banyak dan beragam baik untuk keperluan pangan
maupun non pangan, minyak sawit dapat digunakan sebagai minyak pelumas yang filmis (merata
tanpa bolong) sehingga banyak diaplikasikan di industri logam sebagai rolling oil, serta
kandungan vitamin A dan E yang cukup besar dalam minyak sawit yang sangat bermanfaat
dalam dunia kesehatan.
Lahan tanaman kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup tinggi.
Tahun 1991, luas perkebunan sawit mencapai 1.311 ribu hektar. Dan tahun 2000, luas lahan
kelapa sawit mencapai 3.393 ribu hektar.
Pada tahun 2006, Indonesia memproduksi 15,9 juta ton CPO, dan 11,6 juta ton diantaranya
diekspor. Sampai Oktober 2007, produksi CPO sudah mencapai 16,9 juta ton, dan diprediksi bisa
mencapai 17,2 ton tahun ini. Dengan lahan tanaman 6 juta hektar, Indonesia melaju melewati
angka produksi Malaysia (Kurniawan, 2007).
Produk utama tanaman kelapa sawit adalah minyak sawit (palm oil) dan minyak inti sawit
(kernel oil) yang berasal dari pengolahan tandan buah segar (TBS). Minyak sawit diperoleh dari
daging buah kelapa sawit bagian mesokarp, sedangkan minyak inti sawit diperoleh dari biji buah
kelapa sawit. Minyak sawit diperoleh melalui proses ekstraksi dan proses pemurnian.
Dalam kenyataannya, minyak sawit merupakan minyak yang cukup luas untuk dikonsumsi
sebagai minyak pangan, terutama dalam bentuk minyak gorenng, margarine, minyak hidrogenasi
dan shortening. Secara umum, Naibaho (1998) mengelompokkan empat macam industri
pengolahan yang menggunakan minyak dan inti sawit sebagai bahan baku, yaitu : industri
pangan, farmasi, sabun dan kosmetika, serta oleokimia.
Secara singkat pengolahan kelapa sawit dapat dilihat dari diagram dibawah ini :
Proses produksi CPO memiliki beberapa tahap,
proses dimulai dari tahap penerimaan tandan sawit segar (TBS) yang dilakukan di loading ramp.
Tahap berikutnya adalah sterilisasi, yaitu perebusan buah dengan steam.Steam yang digunakan
bertekanan 3 kg/cm2dansuhu 140oC selama 75-90 menit. Setelah sterilisasi, buah dipisahkan
dari tandan. Tahap ini dikenal sebagai pemipilan atau treshing. Buah yang telah dipisahkan dari
tandan dilumatkan menggunakan steam pada suhu 90oC dengan menggunakan digester. Pada
tahap berikutnya, minyak diekstrak dari serat. Proses terakhir adalah pemurnian. Selain
menghasilkan CPO, PKS juga menghasilkan minyak inti kelapa sawit (PKO).
SANITASI LINGKUNGAN KELAPA SAWIT
Sudah merupakan sifat alamiah manusia untuk berusaha mengubah lingkungan dengan
cara-cara tertentu untuk menghasilkan kondisi yang paling menguntungkan baginya. Salah satu
contoh dari usaha ini tercakup dalam ilmu sanitasi (sanitary science). Secara luas ilmu sanitasi
adalah penerapan prinsip-prinsip tersebut yang akan membantu dalam memperbaiki,
mempertahankan atau mengembalikan kesehatan yang baik pada manusia.
Konsep Zero Emissions seyogyanya dapat diterapkan pada Industri Kelapa sawit, karena
konsep ini mempunyai falsafah dasar yang menyatakan bahwa proses industry seharusnya tidak
menghasilkan limbah dalam bentuk apapun karena limbah tersebut merupakan bahan baku bagi
industry lain. Melalui penerapan konsep ini, proses-proses industry akan menghemat sumber
daya alam, memperbanyak ragam produk, menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru serta
mecegah pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Limbah yang dihasilkan dari produksi kelapa sawit diantaranya adalah limbah padat dan
limbah cair. Limbah padat umumnya digunakan untuk sumber pakan ternak, selain sumber pakan
ternak dapat juga digunakan sebagai pupuk organik tanaman kelapa sawit. Volume sumber
limbah padat di perkebunan kelapa sawit cukup besar, berasal dari daun, pelepah, dan tandan.
Keberhasilan pengembangan peternakan sangat ditentukan oleh penyediaan pakan ternak
(Djaenudin, et al., 1996). Ketersediaan pakan akan menentukan keberlanjutan usaha peternakan
pada suatu wilayah. Di Indonesia sumber pakan ternak cukup banyak variasinya, antara lain dari
pelepah sawit, dan bungkil sawit.
Dari setiap produk limbah cangkang sawit, 12 persennya dimanfaatkan sebagai pakan
ternak, dan sisanya diproses dijadikan kompos untuk pemupukan kelapa sawit. Pembuatan
kompos sebagai sumber pupuk, dengan cara memanfatkan bungkil sawit ditambah dengan
kotoran sapi (Deva et al., 2010). Salah satu limbah yang dihasilkan dari produksi kelapa sawit
diantaranya adalah tandan kosong kelapa sawit. Menurut Ditjen PPHP Departemen Pertanian
(2006), tandan kosong kelapa sawit umumnya dapat langsung dibuang ke lingkungan atau
dimanfaatkan tanpa harus diolah terlebih dahulu. Tandan kosong kelapa sawit biasanya
dimanfaatkan sebagai mulsa di lahan perkebunan yang berfungsi sebagai penambah nutrisi tanah
dan membantu mengurangi dampak yang kurang baik terhadap pertumbuhan tanaman serta
produksi pada saat kemarau. Tingkat polusi lingkungan telah dapat diminimalisir setelah
pelarangan pembakaran tandan kelapa sawit kosong.
Manfaat perkebunan kelapa sawit yang sudah banyak dirasakan oleh peternak terutama
adalah potensi hijauan yang tumbuh sebagai gulma di areal tanaman sawit. Limbah kebun sawit
yang cukup potensial bagi produksi ternak adalah pelepah dan daun tanaman sawit yang oleh
perusahaan dibuang setiap pemanenan tandan buah sawit. Kebun sawit dapat menghasilkan
limbah pelepah sebesar 10,5 ton/Ha Limbah kelapa sawit dapat digunakan sebagai pakan
tambahan sumber energi dan protein. Harga limbah kelapa sawit umumnya masih relatif sangat
murah. Namun dalam pemanfaatannya perlu dicermati kandungan nutrisi dan bentuk fisiknya
yang dapat mempengaruhi pemanfaatan dan nilai ekonominya, seperti: pelepah atau daun sawit
banyak mengandung serat kasar dan lignin (Deva et al., 2010). Dalam sistem produksi
peternakan, disamping kualitas bibit, pakan merupakan komponen utama yang menentukan
tingkat produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan.
Limbah cair kelapa sawit digunakan sebagai pupuk. Metode aplikasi limbah cair yang
umumnya diunakan adalah sistem flatbed, yaitu dengan mengalirkan limbah melalui pipa yang
dialirkan ke parit. Limbah cair pabrik kelapa sawit telah banyak digunakan di perkebunan kelapa
sawit baik perkebunan negara maupun perkebunan swasta. Penggunaan limbah cair mampu
meningkatkan produksi TBS 16-60%. Limbah cair tidak menimbulkan pengaruh yang buruk
terhadap air tanah di sekitar areal aplikasinya (Hidayanto, 2007).
Untuk menghasilkan CPO, PKS juga menghasilkan limbah. Limbah yang keluar dari PKS
berbentuk padatan, gas, dan cair. Limbah yang keluar dari PKS sebenarnya belum bisa dikatakan
100% sebagai limbah, lebih tepat dikatakan produk samping atau side product.
Limbah padat yang keluar dari PKS meliputi tandan kosong (tankos) dengan persentase
sekitar 23% terhadap TBS, abu boiler (sekitar 0.5% terhadap TBS), serat (sekitar 13.5% terhadap
TBS) dan cangkang (sekitar 5.5% terhadap TBS).
Limbah padat yang keluar dari PKS umumnya tidak memerlukan penanganan yang rumit.
Limbah padat dapat digunakan lagi sebagai bahan bakar, pupuk, pakan ternak, dan juga bisa
dijual untuk menghasilkan pendapatan tambahan.
Serat, cangkang dan tankos bisa digunakan sebagai bahan bakar. Abu boiler dapat
diaplikasikan langsung sebagai sumber pupuk kalium, tankos sebagai pupuk dengan cara
menjadikan mulsa dan pengomposan. Ampas inti digunakan sebagai pakan ternak.
Terdapat dua sumber pencemaran gas yang keluar dari PKS yaitu boiler yang
menggunakan serat dan cangkang sebagai bahan bakar dan juga incinerator yang membakar
tankos untuk mendapatkan abu kalium. Pada saat ini incinerator sudah mulai ditinggalkan.
Limbah yang menjadi perhatian di PKS adalah limbah cair atau yang lebih dikenal dengan
POME (palm oil mill effluent). POME ialah air buangan yang dihasilkan oleh pabrik kelapa
sawit utamanya berasal kondensat rebusan, air hidrosiklon, dan sludge separator. Setiap ton TBS
yang diolah akan terbentuk sekitar 0,6 hingga 1 m3 POME. POME kaya akan karbon organik
dengan nilai COD lebih 40 g/L dan kandungan nitrogen sekitar 0,2 dan 0,5 g/L sebagai nitrogen
ammonia dan total nitrogen.
Teknologi pengelolaan POME umumnya dengan menggunakan teknologi kolam terbuka
yang terdiri dari kolam anaerobik, fakultatif dan aerobik dengan total waktu retensi sekitar 90-
120 hari. Teknologi kolam terbuka ini memerlukan lahan yang luas (5-7 ha), biaya pemeliharaan
yang cukup besar dan menghasilkan emisi gas metana ke udara bebas.
Saat ini pengelolaan POME dengan hanya menggunakan kolam terbuka mulai dianggap
kurang efisien dan kurang ramah lingkungan. Para pemilik atau pengelolan PKS sudah mulai
merubah dengan memodifikasi kolam yang ada dengan teknologi pengelolaan lainnya. Ada
beberapa teknologi pengolahan POME yang baru saat ini, diantara teknologi yang baru itu adalah
membran dan terakhir terdengar dengan elektrokoagulasi. Munculnya atau adanya
perkembangan teknologi pengelolaan POME ini disebabkan oleh beberapa maksud dan tujuan
tertentu.
Dalam pengembangan agroindustri kelapa sawit ternyata menimbulkan beberapa masalah.
Masalah tersebut antara lain di perkebunan kelapa sawit dan pada proses pembuangan limbah.
Perluasan perkebunan kelapa sawit yang sangat ekspansif ternyata membawa berbagai dampak
positif dan negatif. Dari berbagai literatur dampat disimpulkan beberapa dampak negatif dari
pengembangan kelapa sawit, antara lain:
1. Penggunaan lahan gambut untuk perkebunan lahan sawit yang salah, ternyata sangat besar
pengaruhnya terhadap pemanasan global.
2. Hutan alam menjadi sangat monokultur. Hutan alam yang seharusnya menjadi sumber
penangkap carbon menjadi berkurang kemampuannya dalam menangkap carbon yang dapat
mempengaruhi pemanasan global (Efek Rumah Kaca).
3. Terganggunya Keseimbangan ekologis. Hilangnya berbagai flora dan fauna yang khas dan unik
menyebabkan keseimbangan menjadi terganggu.
4. Kebutuhan tanaman kelapa sawit yang sangat haus akan air tanah.
Beberapa dampak negatif inilah yang antara lain menjadi alasan berbagai pihak yang
menuding agroindustri kelapa sawit terutama pada saat pembukaan lahan baru sangat
mempengaruhi pemanasan global.
AMDAL merupakan singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. AMDAL
merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap
perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Hal-hal yang dikaji dalam proses
AMDAL: aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat
sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
Kehadiran kebun kelapa sawit dan pabrik pengolahannya ternyata menimbulkan dampak
negatif dan positif. Pada proses pengolahan tandan buah sawit (TBS) menjadi minyak sawit
(CPO), akan mengahasilkan limbah dalam bentuk padat, cair maupun gas. (PPKS,2004). Hal ini
ditambahkan Kurniawan (2007) yang mengemukakan beberapa kasus penyimpangan dalam
industri kelapa sawit, seperti : pembakaran lahan hutan untuk dijadikan kebun kelapa sawit,
adanya residu agrochemical (pestisida, pupuk, dan lain-lain) pada kelapa sawit, tata letak
penanaman kelapa sawit yang menyebabkan erosi dan longsor pada bibir sungai, adanya limbah
padat PKS (tandan kosong, cangkang, serat) cair (air kondensat, sisa minyak) dan gas
(PAH/polyaromatic hydrocarbon) yang tidak diolah/di-treatment terlebih dahulu sebelum
dibuang. Beberapa kasus tersebut menyebabkan adanya permintaan konsumen, khususnya
konsumen luar negeri dan lembaga-lembaga peduli lingkungan yang menuntut adanya
ketelusuran yang jelas mengenai asal produk, baik kebun, pabrik, hingga sampai ke konsumen.
Agar pelaksanaan AMDAL dberjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan,
pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL
secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para
pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin
usaha/kegiatan. AMDAL digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/
pemberian ijin usaha dan/atau kegiatan. Dokumen AMDAL terdiri dari :
1. Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
2. Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
3. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
4. Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi
Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau
kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk
diberi ijin atau tidak.
Untuk mencapai industri kelapa sawit yang berkelanjutan diperlukan penerapan standar
ISO 14000 dengan konsisten. Perlu ditekankan bahwa penerapan ISO 14000 ini seharusnya
bukan merupakan beban, akan tetapi justru sebagai investasi bagi perusahaan untuk meraih
keuntungan yang lebih besar akibat penerimaan konsumen yang lebih baik terhadap produk yang
telah disertifikasi.
Beberapa tujuan yang akan dicapai dalam penerapan ISO 14000:
Optimalisasi produktivitas dan penghematan biaya (efisiensi)
Mengurangi resiko lingkungan
Meningkatkan image organisasi
Meningkatkan kepekaan terhadap perhatian publik
Memperbaiki proses pengambilan keputusan
Manajemen lingkungan merupakan manajemen yang tidak statis melainkan sesuatu yang
dinamis, sehingga diperlukan adaptasi atau suatu penyesuaian bila terjadi perubahan di
perusahaan, yang mencakup sumberdaya, proses, dan kegiatan perusahaan. Diperlukan pula
penyesuaian seandainya terjadi perubahan di luar perusahaan, misalnya perubahan peraturan
perundang-undangan dan pengetahuan yang disebabkan oleh perkembangan ekologi.
Produksi Bersih merupakan salah satu sistem pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan
secara sukarela (voluntary) sebab penerapannya bersifat tidak wajib. Konsep Produksi Bersih
perlu diterapkan di agroindustri kelapa sawit karena bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan
dengan lebih bersifat proaktif.
Produksi Bersih merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan pendekatan secara
konseptual dan operasional terhadap proses produksi dan jasa, dengan meminimumkan dampak
terhadap lingkungan dan manusia dari keseluruhan daur hidup produknya.
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal, 1995) mendefinisikan Produksi Bersih
sebagai suatu strategi pengelolaan lingkungan yang preventif dan diterapkan secara terus-
menerus pada proses produksi, serta daur hidup produk dan jasa untuk meningkatkan eko-
efisiensi dengan tujuan mengurangi risiko terhadap manusia dan lingkungan.
Strategi Produksi Bersih mempunyai arti yang sangat luas karena di dalamnya termasuk
upaya pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan melalui pilihan jenis proses yang
akrab lingkungan, minimisasi limbah, analisis daur hidup produk, dan teknologi bersih.
Pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan adalah strategi yang perlu diprioritaskan
dalam upaya mewujudkan industri dan jasa yang berwawasan lingkungan, namun bukanlah
merupakan satu satunya strategi yang harus diterapkan. Strategi lain seperti program daur ulang,
pengolahan dan pembuangan limbah tetap diperlukan, sehingga dapat saling melengkapi satu
dengan lainnya (Bratasida, 1997).
Berikut ini salah satu contoh teknologi pengelolaan limbah hasil penelitian PPKS (2004)
yang merupakan bagian dari produksi bersih. Teknologi tersebut adalah pengelolaan Limbah
Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS). LCPKS sifatnya sangat merusak kualitas ekologi perairan
tempat pembuangannya. Karena itu harus dikelola dikelola dengan baik sehingga
jumlah/debitnya dan kualitasnya layak untuk dibuang ke perairan umum.
Beberapa pendekatan yang diterapkan dalam pengelolaan atau pengendalian LCPKS
adalah:
a. Konservasi air:
b. Pemisahan dan daur ulang air pendingin turbin, air kondensat dari boiler, overflow/tumpaan dari
pengering vakum
c. Pengaturan penggunaan ar dengan efektif (Good in-house keeping)
d. Upaya menurunkan BOD dibawah batas maksimum yang ditetapkan pemerintah, misalnya
menjadi 50 mg/l, pemisahan minyak yang ikut bersama LCPKS, mereduksi BOD dengan cara
kimia, fisik dan biologis.
SANITASI DI PT. AGRICINAL
Upaya-upaya penerapan program Zero Emissions telah cukup banyak dikembangkan oleh
Industriawan perkelapasawitan di Indonesia seperti dilaksanakan di PT. Agricinal, dimana salah
satu upayanya adalah melakukan atau menerapkan Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit (SISS).
Dalam SISS kegiatan pada Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PMKS) dengan mengutip materi
organik tersuspensi pada limbah cair yang keluar dari Continous Settling Tank PMKS untuk
kemudian difermentasikan menjadi pakan ternak. Dan produk samping dari kegiatan perkebunan,
yaitu pelepah dan daun sawit dapat digunakan sebagai pakan ternak.
Pakan ternak yang dihasilkan tersebut tidak untuk dijual, tetapi digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pakan ternak di perkebunan kelapa sawit PT. Africinal untuk mendukung SISS yang
diterapkan di Agricinal dan perkebunan plasma masyrakat binaan PT. Agricinal. Sehingga ternak
sapi dapat dijadikan sumber investasi dan tambahan pemasukan bagi pemilik sapi, dimana pada
perkebunan PT. Agricinal dan plasmanya, permanen adalah pemilik sapi.
Secara ekologis, sistem pencernaan sapi akan mempercepat proses dekomposisi material
organic dalam limbah cair yang akan mempercepat atau membuat siklus material menjadi siklik
dan cepat.
Pada proses pengelolaan limbah baru ada 4 unit pengolahan limbah (decanter dan
membrane keramik untuk pengolahan heavy phase, inti penukar panas dan tangki pengendap
kontinyu untuk pengolahan kondensat) serta 2 unit kegiatan baru yang ditambahkan, yaitu pabrik
pakan ternak dan pabrik PKO. Di dalam decanter , terjadi pengutipan padatan (solid) dan light
phase dari limbah heavy phase yang keluar dari continous settling tanks, sehingga dapat
mengurangi komposisi bahan pencemar limbah sebanyak 17.6% (minyak dalam light phase dan
cake). Non Oil Solid (blondo) yang dikutip decanter dapat dijadikan sumber pakan ternak. Dari
setiap 30000 TBS setiap jamnya dapat dihasilkan NOS yang terdapat pada cake (236.24 Kg) dan
heavy phase 537.51 Kg.
Heavy Phase yang keluar dari decanter yang memiliki ukuran solid yang sangat halus
dapat dikutip dengan menggunakan membrane keramik. Solid yang didapat dari pengutipan
dengan decanter akan difermentasikan dengan menggunakan Aspergilus niger sehingga ada
peningkatan kadar protein, penurunan kadar air dan pengawetan bahan.
Pada akhirnya melalui penerapan konsep Produksi Bersih maupun Zero Emissions
diharapkan terjadi efisiensi dalam proses produksi yang senantiasa memperhatikan aspek
kelestarian lingkungan. Dalam kondisi krisis moneter seperti saat ini, sector agroindustri yang
merupakan salah satu tulang punggung pertumbuhan ekonomi dapat lebih berdaya saing dalam
menghadapi era perdagangan bebas.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Pedoman Pengelolaan Limbah Industri Kelapa Sawit. Subdit Pengelolaan Lingkungan
Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta.
Kurniawan, Wawan. 2009. Jurnal Teknik Industri : Urgensi Pembangunan A groindustri Kelapa Sawit
Berkelanjutan Untuk Menguangi Pemanasan Global. Universitas Trisakti. Jakarta.
PPKS. 2004. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Medan.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Pedoman Umum : Program Revitalisasi Perkebunan (Kelapa
Sawit, Karet, Kakao). Jakarta: Departemen Pertanian.
Bratasida, Liana. 1996. Prospek Pengembangan Sistem Manajemen Lingkungan di Indonesia.
BAPEDAL. Jakarta.
Hadiwiardjo, Bambang, 1997. ISO 14001- Panduan Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan.
Gramedia. Pustaka Utama. Jakarta.
Hermawan T. 2005. Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Jakarta:
PT. Bumi Aksara.
Soekartawi. 2001. Pengantar Agroindustri. Radjagrafindo Persada. Yogyakarta.
Deva, C.,S.Martini, dan Marimin. 2010. Sistem penunjang keputusan untuk optimalisasi pemanfaatan
limbah padat kelapa sawit. J. Tek. Ind. Pert. 20(2):130-142.
Hidayanto, M. 2007. Limbah sawit sebagai sumber pupuk organic dan pakan ternak. Seminar
Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industry Olahannya sebagai Pakan
Ternak. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur. Hal. 84-90.
Diposkan oleh AnanTo di 18.24
Label: Kelapa, Kelapa Sawit, Limbah, Limbah Cair, Limbah Padat, Lingkungan, Manajemen Lingkungan Industri, Sanitasi, Sawit