s1-2015-298182-introduction.pdf

20
1 BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Survei batimetri merupakan proses untuk mendapatkan data kedalaman dan kondisi topografi dasar laut, termasuk lokasi obyek-obyek yang mungkin membahayakan. Pembuatan peta batimetri ada tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data, pengolahan data dan penyajian data (Rismanto,2011). Untuk memperoleh peta batimetri yang akurat di perairan, diperlukan pengamatan pasut dan survei batimetri yang sesuai spesifikasi pekerjaan. Hal tersebut dilakukan agar kedalaman yang terdapat dalam peta batimetri terdefinisi dengan baik terhadap MSL atau bidang referensi. Pemetaan batimetri merupakan kebutuhan dasar dalam penyediaan informasi spasial dalam perencanaan, kegiatan dan pengambilan keputusan terkait informasi di bidang kelautan (Soeprapto,2001). Peta batimetri dalam aplikasinya memiliki banyak manfaat dalam bidang pekerjaan rekayasa, antara lain penentuan jalur pelayaran yang aman, perencanaan bangunan pinggir pantai, pendeteksian adanya potensi bencana tsunami di suatu wilayah, dan pertambangan minyak lepas pantai. Selain itu, peta batimetri diperlukan untuk mengetahui kondisi morfologi suatu daerah perairan. Peta batimetri harus selalu diperbaruhi sesuai dengan perubahan dan perkembangan kondisi perairan tersebut, hal ini dikarenakan kondisi laut yang sangat dinamis. Salah satu metode yang diterapkan pada pengukuran batimetri yaitu dengan menggunakan teknologi akustik dasar laut. Akustik dasar laut mempunyai keterkaitan antara lain dalam proses perambatan suara pada medium air yang mampu memberikan informasi dasar perairan, komunikasi dan penentuan posisi di perairan. Salah satu teknologi akustik dalam pemetaan batimetri yaitu dengan menggunakan echosounder, dalam kegiatan aplikatif ini pengukuran kedalaman menggunakan alat multibeam echosounder. Alat ini memiliki kelebihan dalam hal pengukuran

Upload: ovinkhiciheafy

Post on 17-Dec-2015

12 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    I. 1 Latar Belakang

    Survei batimetri merupakan proses untuk mendapatkan data kedalaman dan

    kondisi topografi dasar laut, termasuk lokasi obyek-obyek yang mungkin

    membahayakan. Pembuatan peta batimetri ada tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan

    data, pengolahan data dan penyajian data (Rismanto,2011). Untuk memperoleh peta

    batimetri yang akurat di perairan, diperlukan pengamatan pasut dan survei batimetri

    yang sesuai spesifikasi pekerjaan. Hal tersebut dilakukan agar kedalaman yang

    terdapat dalam peta batimetri terdefinisi dengan baik terhadap MSL atau bidang

    referensi.

    Pemetaan batimetri merupakan kebutuhan dasar dalam penyediaan informasi

    spasial dalam perencanaan, kegiatan dan pengambilan keputusan terkait informasi di

    bidang kelautan (Soeprapto,2001). Peta batimetri dalam aplikasinya memiliki banyak

    manfaat dalam bidang pekerjaan rekayasa, antara lain penentuan jalur pelayaran yang

    aman, perencanaan bangunan pinggir pantai, pendeteksian adanya potensi bencana

    tsunami di suatu wilayah, dan pertambangan minyak lepas pantai. Selain itu, peta

    batimetri diperlukan untuk mengetahui kondisi morfologi suatu daerah perairan. Peta

    batimetri harus selalu diperbaruhi sesuai dengan perubahan dan perkembangan

    kondisi perairan tersebut, hal ini dikarenakan kondisi laut yang sangat dinamis.

    Salah satu metode yang diterapkan pada pengukuran batimetri yaitu dengan

    menggunakan teknologi akustik dasar laut. Akustik dasar laut mempunyai

    keterkaitan antara lain dalam proses perambatan suara pada medium air yang mampu

    memberikan informasi dasar perairan, komunikasi dan penentuan posisi di perairan.

    Salah satu teknologi akustik dalam pemetaan batimetri yaitu dengan menggunakan

    echosounder, dalam kegiatan aplikatif ini pengukuran kedalaman menggunakan alat

    multibeam echosounder. Alat ini memiliki kelebihan dalam hal pengukuran

  • 2

    kedalaman pada daerah yang luas dan juga memiliki nilai kedalaman yang tinggi.

    Dengan alat multibeam echosounder ini, cakupan area yang harus 100% terukur

    dapat dijangkau karena memiliki nilai jarak kedalaman yang rapat, tidak seperti

    singlebeam yang harus mengambil sampling jarak tertentu dalam pemerumannya.

    Hal ini biasanya diperlukan dalam kegiatan rekayasa atau engineering, seperti

    pemasangan pipa dasar laut, peletakan kabel bawah air, deteksi kapal karam, deteksi

    pesawat karam dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan rekayasa yang sebagaimana

    telah disebutkan tersebut harus dilakukan mengikuti standarisasi IHO SP-44 tahun

    2008 Orde Spesial.

    Proses pengolahan data multibeam echosounder beserta koreksi-koreksinya

    sangat berpengaruh penting pada keakuratan dan ketelitian data hasil pemrosesan.

    Hal ini disebabkan oleh adanya dinamika laut dan pergerakan kapal yang terjadi pada

    saat pengukuran. Beberapa data yang harus dikoreksikan diantaranya data

    pengamatan pasut, data pengukuran Sound Velocity Profile (SVP) dan data

    pergerakan kapal. Data-data tersebut harus diukur dan diolah dengan baik agar

    mendapatkan kualitas yang diharapkan.

    Proses pengolahan data multibeam echosounder beserta koreksinya pada

    setiap perangkat lunak memiliki prosedur, kemampuan dan keterbatasan masing-

    masing. Untuk mengetahui kemampuan perangkat lunak tersebut perlu dilakukan

    studi. Caris Hips and Sips merupakan perangkat lunak bawaan alat yang digunakan

    dalam pengolahan data hasil pengukuran batimetri ini.

    Dalam kegiatan aplikatif ini, diharapkan penggunaan perangkat lunak Caris

    Hips and Sips dapat menyelesaikan pengolahan data hasil pengukuran dengan nilai

    ketelitian yang baik dan dapat menyajikan informasi dasar laut dengan nilai

    kedalaman akurat yang kualitasnya baik, mengacu pada ketentuan IHO SP-44 Orde

    Spesial tahun 2008.

    I. 2 Lingkup Kegiatan

    Lingkup kegiatan pada pekerjaan aplikatif ini meliputi hal-hal sebagai berikut:

  • 3

    1. Pada kegiatan ini, data pengukuran batimetri dengan alat multibeam

    echosounder Seabat Reson T20P.

    2. Pengukuran dilakukan di sebagian perairan Selat Sunda dilakukan oleh

    Dishidros TNI-AL, yang diukur pada 13 Desember 2013.

    3. Pengolahan data hasil pengukuran batimetri dengan menggunakan perangkat

    lunak Caris Hips and Sips versi 6.1.

    4. Referensi ketinggian yang digunakan adalah muka surutan terendah selama

    pengamatan pasut yang dilakukan 4 hari.

    5. Kontrol dan uji kualitas data yang dipakai mengikuti aturan IHO SP-44 Orde

    Spesial tahun 2008.

    6. Hasil dari pekerjaan ini berupa peta batimetri sebagian dasar perairan Selat

    Sunda.

    I. 3 Tujuan

    Kegiatan aplikatif yang dikerjakan ini bertujuan untuk mengolah dan

    menyajikan data hasil pengukuran multibeam echosounder menggunakan perangkat

    lunak Caris Hips and Sips untuk pemetaan batimetri.

    I. 4 Manfaat

    Manfaat dari kegiatan aplikatif ini adalah agar dapat diketahui tahap

    pengolahan dan cara pemrosesan data hasil pengukuran multibeam echosounder,

    yang menghasilkan peta batimetri dengan kedalaman terkoreksi dan teruji oleh IHO

    agar dapat digunakan sebagai informasi kedalaman dalam keperluan rekayasa laut.

    I. 5 Landasan Teori

    I.5.1 Survei Batimetri

    Survei batimetri merupakan suatu proses dan aktivitas dalam menentukan

    posisi titik-titik di dasar permukaan air laut dengan sistem koordinat tertentu,

    sehingga dari data hasil survei tersebut didapatkan model bentuk topografi dasar

  • 4

    permukaan air laut yang divisualisasikan atau dituangkan dalam peta (Parikesit,

    2008).

    Sebuah peta batimetri umumnya menampilkan relief lantai atau dataran

    dengan garis-garis kontur yang disebut dengan kontur kedalaman (depth contours

    atau isobath) dan dapat memiliki informasi tambahan berupa informasi navigasi

    permukaan. Namun pada dasarnya, peta yang menampilkan titik-titik kedalaman

    beserta nilai kedalamannya dengan koordinat yang sudah tereferensi sesuai

    standarnya merupakan peta batimetri yang sesungguhnya.

    Pengukuran survei batimetri mencakup sepanjang koridor survei dengan lebar

    yang bervariasi. Peralatan survei batimetri berupa echosounder yang digunakan

    untuk mendapatkan data kedalaman optimum yang mencakup seluruh kedalaman

    terdalam area survei.

    Agar memenuhi syarat kualitas peta batimetri yang baik, dijelaskan pada

    publikasi khusus SP-44 tahun 2008, bahwa survei batimetri harus mengacu pada

    standar minimum ketelitian International Hydrographic Organization (IHO). Ada

    tiga tahap pembuatan peta batimetri, yaitu tahap pengumpulan data, pengolahan data

    dan penyajian informasi (Rismanto,2011).

    I.5.2 Pengukuran Batimetri

    I.5.2.1 Pengukuran Kedalaman dengan Multibeam Echosounder

    Kedalaman laut merupakan jarak antara dasar laut pada suatu tempat terhadap

    permukaan lautnya. Tujuan dari pengukuran kedalaman adalah untuk mendapatkan

    nilai titik-titik kedalaman topografi dasar laut. Pengukuran dilakukan dengan metode

    gelombang akustik yang dipancarkan oleh tranduser (pemancar) yang dipasang

    dibawah vessel menuju permukaan dasar perairan yang kemudian dipantulkan

    kembali menuju hidrofon (penerima) sehingga didapatkan nilai kedalaman

    berdasarkan selang waktu tempuh gelombang akustik pergi-pulang. Alat yang

    digunakan dalam kegiatan aplikatif ini adalah multibeam echosounder.

    Prinsip yang digunakan oleh multibeam echosounder sama dengan konsep

    pada singlebeam echosounder, yang membedakan adalah jumlah beam yang

    dipancarkan yaitu lebih dari satu pancaran untuk multibeam echosounder. Pola yang

  • 5

    dipancarkan adalah melintang dan melebar terhadap badan kapal. Setiap beam yang

    dipancarkan akan mendapatkan satu titik kedalaman. Multibeam menggunakan

    sistem penyapuan ketika kapal bergerak maju untuk menghasilkan luasan yang

    menggambarkan permukaan dasar laut dari hasil titik-titik kedalaman yang didapat

    dari tiap beam yang dipancarkan tersebut seperti pada Gambar I.1 (Shelf, 2011).

    Gambar I.1 Sapuan multibeam echosounder (Shelf, 2011)

    Konfigurasi tranduser merupakan gabungan beberapa stave yang tersusun

    seperti matriks (array). Stave adalah bagian dari tranduser yang dimiliki multibeam

    echosounder, yang memiliki fungsi sebagai saluran untuk memancarkan dan

    menerima pulsa akustik yang dipantulkan dari dasar laut. Selanjutnya, gelombang

    akustik yang dipantulkan dari dasar laut tersebut akan diinisialisasi oleh tranduser

    untuk dapat membedakan gelombang pantul yang datang.

    Kesalahan sering kali terlihat pada hasil sudut pancaran beam terluar karena

    adanya lintasan gelombang akustik yang jaraknya lebih panjang. Kesalahan tersebut

    dapat memperbesar kesalahan refraksi sudut. Setiap stave pada multibeam

    echosounder akan memancarkan sinyal pulsa akustik dengan kode tertentu, sehingga

    kode sinyal antara stave yang satu dengan stave yang lain berbeda walaupun

    frekuensinya sama. Tranduser multibeam echosounder menggunakan tiga metode

  • 6

    pendeteksian untuk mendeteksi arah datangnya sinyal yang dipantulkan dari dasar

    laut, yaitu pendeteksian amplitudo, fase dan interferometrik (sudut).

    Multibeam echosounder umumnya menggunakan teknik interferometrik

    untuk mendeteksi arah datangnya gelombang pantul sebagai fungsi dari waktu.

    Pendeteksian interferometrik digunakan untuk menentukan sudut sinyal datang.

    Dengan menggunakan akumulasi sinyal akustik yang diterima pada dua array yang

    terpisah, suatu pola interferensi akan terbentuk. Pola ini menunjukkan hubungan fase

    tiap sinyal yang diterima. Berdasarkan hubungan yang ada, suatu arah akan dapat

    ditentukan. Bila informasi ini dikombinasikan dengan jarak, akan dihasilkan data

    kedalaman.

    Pada prinsipnya pengukuran multibeam echosounder yang digunakan adalah

    pengukuran selisih fase pulsa, sama dengan singelbeam echosounder. Teknik

    pengukuran yang digunakan selisih fase pulsa merupakan fungsi dari selisih pulsa

    waktu pemancaran dan penerimaan pulsa akustik serta sudut datang dari sinyal tiap

    tranduser. Persamaan (I.1) adalah persamaan kedalaman singlebeam echosounder

    yang merupakan fungsi dari selang waktu:

    t ........................................................................................................... (I.1)

    Keterangan:

    D = kedalaman yang diukur

    v = cepat rambat gelombang akustik tergantung pada STP ( 1500 m/s)

    t = selang waktu antara saat gelombang akustik yang dipancarkan dengan saat

    penerimaan kembali gelombang pantulnya

    Selisih fase pulsa dalam multibeam echosounder artinya sebagai fungsi dari

    selisih fase waktu pemancaran dan waktu penerimaan. Kemudian perhitungan waktu

    tempuh dan arah sudut pancaran setiap stave yang ditentukan dari pengukuran selisih

    fase pulsa multibeam echosounder. Multibeam echosounder memiliki dua macam

    sistem pemancaran gelombang yaitu sistem sweep dan sistem swath. Sistem sweep

    atau multi-single beam bekerja dengan memancarkan banyak gelombang single,

    sedangkan sistem swath bekerja dengan satu pancaran gelombang yang memiliki

    lebar dan panjang yang membentuk sebuah kolom dan dapat juga dipakai sebagai

    side scan sonar (de Jong dkk, 2002). Sistem swath akan menghasilkan area lebih

  • 7

    besar pada perairan dalam, namun pada perairan dangkal kedua sistem tersebut

    menghasilkan cakupan area yang sama. Pengukuran kedalaman di dasar laut dengan

    sistem swath dan sistem sweep diilustrasikan pada Gambar I.2.

    Gambar I.2 Ukuran jejak multibeam echosounder dengan sudut swath (de Jong

    dkk, 2002)

    Berikut adalah persamaan-persamaan untuk menentukan kedalaman maupun

    posisi objek:

    Persamaan (I.2) digunakan dalam menentukan kedalaman (D) dari objek dan

    persamaan (I.3) digunakan untuk menentukan posisi across track (y) (de Jong dkk,

    2002).

    t.cos .................................................................................................. (I.2)

    t.sin .................................................................................................. (I.3)

    Keterangan:

    y = posisi across track

    = sudut swath

  • 8

    I.5.2.2 Sound Velocity Profile

    Multibeam echosounder menembakkan gelombang akustik kedalam dasar

    perairan dengan kecepatan rambat normal sekitar 1500 m/s, namun dalam kondisi

    tertentu kecepatan dapat berubah menjadi lebih cepat atau lebih lambat. Hal ini

    adalah suatu alasan mengapa pada saat pengolahan data multibeam perlu

    didefinisikan nilai yang benar dari SVP pada saat pengukuran.

    SVP atau profil kecepatan suara merupakan gambaran dari perambatan

    gelombang akustik di dalam air. Di setiap perairan tertentu memiliki SVP yang

    berbeda-beda tergantung pada salinitas, suhu dan tekanan yang ada pada perairan

    tersebut. Nilai kecepatan meningkat seiring meningkatnya salinitas, suhu dan

    tekanan. Kecepatan akan meningkat 3 m/s setiap kenaikan suhu, 1,2 m/s setiap

    kenaikan 1 ppt (part per thousand) dan 0,5 m/s setiap perubahan 30 m kedalaman

    (Schmidt dkk, 2003). Oleh sebab itu, maka perambatan gelombang akustik di dalam

    perairan tidak pernah konstan. Gambar I.3 menampilkan contoh dari profil kecepatan

    suara secara vertikal.

    Gambar I.3 Contoh profil kecepatan suara secara vertikal (Survei G., 2011)

    Pada Gambar I.3 terjadi perubahan bentuk di setiap kenaikan kedalaman, dan

    sedikit lengkungan di tengah yang biasanya diakibatkan oleh perubahan suhu atau

    salinitas, sedangkan untuk perubahan tekanan akan konstan seiring bertambahnya

    kedalaman. Perubahan salinitas terjadi karena beberapa faktor, seperti penumpukan

    sedimen atau pengaruh pasut yang menyebabkan terjadinya penumpukan garam. Hal

  • 9

    ini menyebabkan salinitas menjadi tinggi dan mempengaruhi kenaikan kecepatan

    gelombang suara. Perubahan temperatur dipengaruhi oleh pemanasan dari matahari,

    perubahan suhu menjadi dingin saat malam hari atau adanya pengaruh hujan.

    Dalam pemrosesan data multibeam, SVP sangat penting, jika terjadi

    kesalahan pada SVP maka akan menyebabkan jalur menjadi tidak horisontal atau

    melengkung. Kesalahan ini dapat terjadi karena kesalahan dalam menentukan nilai

    SVP dalam sebuah perairan yang dapat mengganggu perhitungan waktu tembakan

    dan penerimaan beam, sehingga kedalaman yang tercatat menjadi tidak valid. Arah

    dari perambatan gelombang akustik dalam air akan berubah seiring dengan

    perubahan dari kecepatan gelombang akustik tersebut. Ketika gelombang suara

    merambat dari area dengan kecepatan yang tinggi mengarah ke kecepatan yang

    rendah maka arah dari gelombang akan membelok ke arah bawah, begitu pula

    sebaliknya seperti ilustrasi pada Gambar I.4.

    Gambar I.4 Perubahan arah gelombang akustik karena pengaruh perbedaan

    kedalaman (L-3, 2000)

    I.5.2.3 Pengamatan Pasut

    Pasut merupakan suatu fenomena naik turunnya permukaan air laut secara

    periodik yang disebabkan oleh pengaruh gaya gravitasi benda-benda langit (matahari

    dan bulan). Pasut biasanya diamati sebagai gerakan vertikal naik dan turun dari

    lautan yang mempunya periode 12,4 jam atau 24,8 jam (de Jong dkk, 2002). Karena

  • 10

    fenomena ini merupakan fenomena periodik, pasut dapat diprediksi menggunakan

    teori keseimbangan yang dikembangkan oleh Newton. Menurut Newton, gaya tarik

    menarik yang bekerja antara dua benda berbanding langsung dengan perkalian massa

    kedua benda dan berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya. Maka gaya tarik oleh

    bulan dan matahari yang bekerja pada tempat yang berbeda letaknya di bumi akan

    berbeda pula pengaruhnya. Faktor inilah yang menjadi sebab timbulanya pasut.

    Tujuan dari pengamatan pasut adalah untuk mencatat gerakan vertikal

    permukaan air laut secara periodik untuk menentukan referensi kedalaman seperti

    muka rata-rata air laut (MSL) atau muka surutan (chart datum). Data pasut yang

    diamati juga digunakan sebagai koreksi hasil pengukuran kedalaman pada peta

    batimetri.

    Untuk keperluan pemetaan batimetri yang menyangkut suatu wilayah yang

    cukup luas, penentuan chart datum tidaklah cukup hanya didasarkan pada suatu

    stasiun pengamatan pasut saja. Hal tersebut terkait dengan sifat pasut di suatu

    perairan tidak akan sama dengan sifat pasut di tempat lain. Sehingga chart datum di

    suatu tempat tidak dapat diterapkan untuk tempat lain yang jaraknya cukup jauh.

    Untuk mendapatkan nilai pasut yang valid, dilakukan pengamatan pasut pada

    umumnya 15-29 hari dimana pada selang waktu tersebut mencakup hari dimana

    survei tersebut dilakukan. Secara umum nilai chart datum ditentukan dengan

    persamaan (I.4):

    CD = MSL konstanta utama .............................................................................. (I.4)

    MSL adalah permukaan yang didefinisikan sebagai hasil rata-rata tinggi

    permukaan laut setiap saat. Sedangkan muka surutan peta atau chart datum adalah

    suatu bidang permukaan pada suatu daerah perairan yang didefinisikan terletak di

    bawah permukaan air laut terendah yang mungkin terjadi di daerah yang

    bersangkutan, atau dengan kata lain permukaan air laut tidak pernah menyentuh

    muka surutan peta. Chart datum ditentukan setelah mengetahui data-data yang

    diamati pada saat pengamatan pasut muka air laut. Muka surutan harus ditetapkan

    sedemikian rupa agar air rendah yang mungkin terjadi tidak lebih rendah dari muka

    surutannya. Sedangkan menurut de Jong dkk, sounding datum adalah datum yang

  • 11

    dipilih selama survei berlangsung dengan menggunakan rata-rata nilai air terendah

    atau diambil menggunakan nilai terendah seketika itu juga. Hal ini dipilih sewenang-

    wenang agar dapat memfasilitasi saat survei pemeruman, dan mungkin atau tidak

    mungkin tetap dianggap sebagai chart datum. Gambar I.5 mengilustrasikan

    mengenai kedudukan chart datum.

    Gambar I.5 Kedudukan muka surutan peta dan sounding datum (Soeprapto, 2001)

    Muka surutan peta sering disebut sebagai bidang nol pada peta batimetri,

    sedangkan sounding datum merupakan surutan peta terendah selama dilakukan

    pekerjaan sounding (pemeruman) (Soeprapto, 2001). Kedudukan muka surutan peta

    ditunjukkan oleh jarak surutan peta (Zo) yang dihitung dari duduk tengah (So)

    sampai bidang tertentu. Untuk pekerjaan yang sifatnya teknis, dimana pada daerah

    yang dilakukan survei belum diketahui muka surutan petanya, maka sebagai

    pengganti muka surutan peta digunakan sounding datum.

    I.5.2.4 Pergerakan Kapal

    Kesalahan kedalaman sapuan jejak terukur dengan sudut swath besar maupun

    sudut swath kecil keduanya disebabkan oleh efek gerak roll dan kesalahan refraksi

    akustik. Untuk membatasi ukuran jejak dan kesalahan kedalaman terukur, banyak

    sistem yang secara otomatis akan mengurangi sudut swath seiring meningkatnya

    kedalaman. Parameter roll, pitch dan yaw dari sikap pergerakan kapal dan heave

    (gerak vertikal kapal) diperlukan secara realtime oleh multibeam echosounder.

    Persyaratan akurasi adalah fungsi dari sistem kinerja, dimana untuk sistem kinerja

  • 12

    yang tinggi, roll dan pitch biasanya diperlukan dengan akurasi 0,05. Sedangkan

    heave yang dibutuhkan adalah dengan akurasi 5-10 cm. Tiga atau empat sistem

    antenna GPS memberikan komponen roll dan pitch dengan akurasi yang dibutuhkan

    (de Jong dkk, 2002).

    Motion Reference Unit (MRU) adalah sensor yang digunakan untuk

    mengukur gerakan pitch, roll, yaw dan heave, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar

    I.6. Sensor tersebut diletakkan berada dekat dengan tranduser, dimana mid-range

    MRU terintegrasi dengan sistem DGPS.

    Gambar I.6 Ilustrasi pergerakan kapal (BoatSafe, 2000)

    Efek dari rollbias r ditunjukkan pada Gambar I.7 dimana kesalahan pancaran

    beam R menjadi R. Kesalahan tersebut mengakibatkan berubahnya sumbu X dari

    sapuan beam menjadi X. Untuk mendapatkan nilai sudut rollbias r, maka

    dirumuskan persamaan (I.5) (L-3, 2009).

    ..................................................................................................... (I.5)

    Keterangan:

    Dr = jarak kesalahan X terhadap X

  • 13

    Gambar I.7 Geometri residu rollbias r (L-3, 2009)

    Untuk kesalahan pitchbias p dapat diilustrasikan pada Gambar I.8 dimana efeknya

    tertulis dalam persamaan (I.6).

    ............................................................................................................ (I.6)

    Keterangan:

    R = kesalahan pancaran beam

    D = kedalaman sebenarnya

    p = kesalahan sudut pitchbias

    Untuk pitchbias p kecil maka ditulis persamaan (I.7)

    ................................................................................................... (I.7)

    Keterangan:

    x = jarak kesalahan antara D terhadap R

    Gambar I.8 menunjukkan kesalahan D dan x sebagai fungsi dari kesalahan

    pitchbias p.

  • 14

    Gambar I.8 Geometri residu pitchbias p (de Jong dkk, 2002)

    Sebuah residu kesalahan yaw y menghasilkan kesalahan dalam x dan arah y seperti

    yang ditunjukkan oleh Gambar I.9 yang diperoleh persamaan (I.8)

    .................................................................................................... (I.8)

    Keterangan:

    y = pancaran beam sebenarnya

    y = kesalahan pancaran beam

    x = jarak kesalahan antara y dan y

    y = kesalahan yawbias

    Gambar I.9 Geometri residu yawbias y (de Jong dkk, 2002)

  • 15

    I.5.2.5 Penentuan Posisi Peruman

    Tujuan dari penentuan peruman adalah untuk mengetahui koordinat

    horisontal pengukuran batimetri. Pada pengukuran batimetri dilakukan diatas

    wahana yang bergerak, baik disebabkan oleh wahana tersebut maupun karena

    permukaan air laut itu sendiri yang selalu bergerak vertikal ataupun horisontal.

    Dengan demikian, dalam setiap pengukuran kedalaman perlu ditentukan posisinya

    pada saat bersamaan. Maka tiap angka kedalaman (z) yang didapat akan ditentukan

    posisinya (x,y). Dalam penentuan koordinat horisontal menggunakan sistem

    Differensial GPS dengan metode Real Time Differential GPS. Metode tersebut

    digunakan untuk objek yang bergerak (kapal), dan menggunakan titik referensi dari

    stasiun referensi terdekat secara otomatis.

    Poerbandono dan Djunarsjah (2005), mengatakan bahwa RTDGPS adalah

    sistem penentuan posisi secara real time differential dengan menggunakan data

    pseudorange. Stasiun monitor mengirimkan koreksi differensial secara real time

    menggunakan sistem komunikasi data ke kapal.

    Real time berarti proses yang dilakukan untuk menampilkan koordinat pada

    saat itu juga. Diperlukan minimum dua receiver GPS yaitu di stasiun referensi dan di

    stasiun pengamat. Stasiun referensi adalah stasiun yang telah diketahui koordinatnya,

    sedangkan stasiun pengamat adalah stasiun yang akan ditentukan posisinya. Data

    hasil pengukuran yang didapatkan berupa posisi satelit, jarak satelit ke penerima,

    informasi waktu dan lain sebagainya.

    Sistem koordinat kapal digambarkan dengan sistem tegak lurus yang

    terbentuk dari sumbu x, y dan z seperti pada Gambar I.10.

  • 16

    Gambar I.10 Sistem koordinat kartesian kapal (Parikesit, 2008)

    Keterangan:

    1. Sumbu x diambil dari arah haluan kapal, dihitung positif kearah gerak majunya

    kapal.

    2. Sumbu y diambil dari arah kedua sisi kapal, dihitung positif kearah sisi bagian

    kanan kapal.

    3. Sumbu z diambil dari kedalaman laut, dihitung positif sesuai dengan

    meningkatnya kedalaman laut.

    4. Permukaan laut diasumsikan sebagai bidang datar.

    I.5.3 Orde Ketelitian Survei Hidrografi

    Standarisasi yang dijadikan acuan dalam penentuan posisi mengacu pada

    IHO SP-44 tahun 2008 pada Tabel I.1.

  • 17

    Tabel I.1 Standarisasi penentuan posisi

    Orde Spesial 1a 1b 2

    Contoh area yang

    dipetakan

    Pelabuhan,

    tempat

    berlabuh,

    dan saluran-

    saluran kritis

    dengan

    hambatan

    sarat kapal

    minimum.

    Pelabuhan,

    pelabuhan

    yang

    mendekati

    terusan, jalur

    anjuran, dan

    daerah

    perairan

    dengan

    kedalaman

    hingga 100

    m.

    Daerah yang

    tidak tercakup

    dalam Orde

    Khusus atau

    Orde 1 atau

    daerah

    dengan

    kedalaman

    hingga 200

    m.

    Daerah yang

    tidak tercakup

    dalam Orde

    Khusus atau

    Orde 1 dan 2.

    Ketelitian Hz dan

    V (Tingkat

    kepercayaan =

    95%)

    2 m dan

    a = 0,25 m

    b = 0,0075

    5 m 5%

    dan

    a = 0,5 m

    b = 0,013

    20 m 5%

    dan

    a = 1,0 m

    b = 0,023

    150 m 5%

    dan

    a = 1 m

    b = 0,023 m

    Posisi alat bantu

    navigasi tetap dan

    fitur penting bagi

    navigasi

    2 m 2 m 2 m 2 m

    Menurut standar teknis pelaksanaan survei hidrografi terdapat beberapa

    klasifikasi derajat ketelitian yang dibedakan menjadi 4 orde ketelitian yaitu Orde

    Spesial, Orde 1a, Orde 1b dan Orde 2 (IHO SP-44, 2008). Pada kegiatan aplikatif ini

    menggunakan derajat ketelitian Orde Spesial.

    Orde spesial survei hidrografi mendekati standar ketelitian survei rekayasa

    dan digunakan secara terbatas di daerah-daerah kritis dimana kedalaman di bawah

    permukaan air laut sangat minim dan dalam hal ini, karakteristik dasar airnya

    berpotensi membahayakan kapal. Daerah-daerah kritis tersebut ditentukan secara

    langsung oleh instansi yang bertanggung jawab dalam masalah kualitas survei.

    Contohnya berupa pelabuhan tempat sandar dan alur masuknya. Semua sumber

    kesalahan harus dibuat seminimal mungkin.

  • 18

    Orde spesial membutuhkan penggunaan yang berkaitan dengan side scan

    sonar, multi transducer atau multibeam echosounder beresolusi tinggi dengan jarak

    antar lajur perum yang rapat untuk mendapatkan gambaran dasar air 100%. Harus

    diyakinkan bahwa setiap benda dengan ukuran lebih besar dari 1 meter persegi dapat

    terlihat oleh peralatan perum yang digunakan. Penggunaan side scan sonar dan

    multibeam echosounder mungkin diperlukan di daerah-daerah dimana benda-benda

    kecil dan rintangan bahaya mungkin dapat ditemukan atau untuk survei keperluan

    investigasi.

    I.5.4 Uji Kualitas Data

    Uji kualitas data multibeam dilakukan pada daerah lajur pertampalan yang

    harusnya memiliki nilai kedalaman yang sama. Tetapi tidak ada pengukuran yang

    tidak luput dari koreksi kesalahan. Uji kualitas data pertampalan yang dilakukan ini

    mengacu pada standar IHO SP-44 Orde Spesial. Nilai toleransi kesalahan

    pertampalan antara lajur kiri dan lajur kanan dihitung menggunakan persamaan (I.9)

    dengan tingkat kepercayaan 95%.

    ................................................................................................ (I.9)

    Keterangan :

    a : kesalahan independen (jumlah kesalahan yang bersifat tetap)

    b : faktor kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah kesalahan yang bersifat

    tidak tetap)

    d : kedalaman rata-rata

    (bxd) : kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan kedalaman

    yang dependen)

    Nilai konstanta a dan b dalam persamaan (I.10) harus disesuaikan sesuai

    dengan orde survei yang diacu, yaitu orde spesial. Pada tabel I.1 di sub bab

    sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada orde spesial, nilai konstanta a = 0,25 dan b

    = 0,0075.

  • 19

    Data kedalaman pertampalan dari kedua lajur yang berbeda harus dilakukan

    uji statistik agar dapat diketahui apakah memenuhi standar toleransi dengan tingkat

    kepercayaan 95% (1,96) atau tidak. Pada uji statistik ini dilakukan dengan metode

    sampling, dimana dilakukan pemilihan 40 sampel data secara acak dari jalur yang

    saling bertampalan. Sampel ini mengambil 2 titik di area bertampalan yang masing-

    masing titik merupakan data dari jalur kanan dan jalur kiri dengan posisi berdekatan

    atau pada posisi yang sama. Uji ini dilakukan dengan asumsi bahwa H1 (kedalaman

    lajur 1) sama nilainya dengan H2 (kedalaman lajur 2) yang saling bertampalan.

    Nilai H1 dan H2 yang didapat lalu dihitung selisihya dan dilakukan

    perhitungan nilai rata-rata dan standar deviasi. Persamaan (I.10) menjelaskan

    mengenai perhitungan rata-rata, sedangkan persamaan (I.11) menjelaskan tentang

    perhitungan nilai standar deviasi (Boediono & Koester , 2004).

    ........................................................................................................ (I.10)

    ....................................................................................................... (I.11)

    Keterangan :

    S : standar deviasi

    H1 : kedalaman lajur 1

    H2 : kedalaman lajur 2

    : rata-rata

    Hi : beda nilai kedalaman antara lajur 1 dan lajur 2

    n : banyaknya sampel

    Sehingga menurut acuan IHO, data akan diterima atau ditolak jika:

    a. Data ditolak, jika *Ztabel > + atau *Ztabel < -

    b. Data diterima, jika *Ztabel > - atau *Ztabel < +

  • 20

    Keterangan:

    * Ztabel = standar deviasi X 1,96 (Ztabel)

    I.5.5 Penyajian Informasi

    Informasi dari sebuah data kedalaman hasil pengolahan dapat disajikan

    dengan berbagai cara, seperti penyajian melalui visualisasi secara 3 dimensi atau 2

    dimensi dan melalui pembuatan peta batimetri. Hasil akhir penyajian informasi pada

    kegiatan aplikatif ini adalah peta batimetri. Penyajian peta batimetri berupa data

    spasial yang berisi informasi kedalaman suatu daerah perairan. Informasi batimetri

    dapat menggambarkan tentang kondisi struktur dan bentuk dasar perairan dari suatu

    daerah dengan data kontur beserta persebaran titik-titik kedalaman yang sudah

    terolah dan terkoreksi terhadap chart datum (Setiawan dkk, 2014).

    BAB IPENDAHULUANI. 1 Latar BelakangI. 2 Lingkup KegiatanI. 3 TujuanI. 4 ManfaatI. 5 Landasan TeoriI.5.1 Survei BatimetriI.5.2 Pengukuran BatimetriI.5.2.1 Pengukuran Kedalaman dengan Multibeam EchosounderGambar I.1 Sapuan multibeam echosounder (Shelf, 2011)Gambar I.2 Ukuran jejak multibeam echosounder dengan sudut swath (de Jong dkk, 2002)

    I.5.2.2 Sound Velocity ProfileGambar I.3 Contoh profil kecepatan suara secara vertikal (Survei G., 2011)Gambar I.4 Perubahan arah gelombang akustik karena pengaruh perbedaan kedalaman (L-3, 2000)

    I.5.2.3 Pengamatan PasutGambar I.5 Kedudukan muka surutan peta dan sounding datum (Soeprapto, 2001)

    I.5.2.4 Pergerakan KapalGambar I.6 Ilustrasi pergerakan kapal (BoatSafe, 2000)Gambar I.7 Geometri residu rollbias r (L-3, 2009)Gambar I.8 Geometri residu pitchbias p (de Jong dkk, 2002)Gambar I.9 Geometri residu yawbias y (de Jong dkk, 2002)

    I.5.2.5 Penentuan Posisi PerumanGambar I.10 Sistem koordinat kartesian kapal (Parikesit, 2008)

    I.5.1I.5.2I.5.3 Orde Ketelitian Survei HidrografiTabel I.1 Standarisasi penentuan posisi

    I.5.4 Uji Kualitas DataI.5.5 Penyajian Informasi