s1-2015-192525-introduction

5
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Ortodonti adalah kajian tentang variasi pertumbuhan dan perkembangan dari struktur wajah, rahang dan gigi, serta pengaruhnya terhadap oklusi gigi geligi (Grist, 2010). Pertumbuhan adalah proses peningkatan ukuran pada makhluk hidup, sedangkan perkembangan adalah proses menuju kematangan (Profitt, 2000). Sperber (1976) mengemukakan bahwa pertumbuhan sebagai proses yang tidak berlangsung secara konstan, akan tetapi bervariasi dalam struktur, proporsi, dan ukuran. Selama proses pertumbuhan berlangsung, arah pertumbuhan, kecepatan, dan pertambahan besar pertumbuhan dapat berubah. Pola pertumbuhan menurut Mitani (1977) adalah penggambaran terjadinya perubahan dalam bentuk, ukuran, proporsi, struktur, komposisi dan hubungan antar komponen tubuh yang menunjukkan perubahan ukuran setiap periode umur dan puncak maupun laju pertumbuhan (growth spurt). Penjelasan hubungan dentofasial dengan morfologi wajah normal dan abnormal merupakan salah satu pengetahuan yang paling umum dibahas dalam literatur ortodonti (Fields dkk., 1984). Pertumbuhan wajah meliputi arah vertikal, anteroposterior, dan lateral (De Rossi dkk., 2010). Wajah atau viserokranium berkembang lebih lambat dibandingkan neurokranium atau tulang pembentuk kranial yang berisi otak. Tinggi wajah berkembang lebih cepat dibandingkan lebar wajah sejak kehidupan fetus hingga usia dewasa (Salzmann, 1966). Tinggi wajah dapat bertambah sebagai hasil dari pertumbuhan. Graber dan Swain (1975) mengemukakan bahwa tinggi wajah anterior dibagi menjadi dua yaitu tinggi wajah anterior bagian atas (N-ANS) dan

Upload: realseptiadymadrid3532

Post on 03-Feb-2016

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

introduction

TRANSCRIPT

Page 1: S1-2015-192525-introduction

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Ortodonti adalah kajian tentang variasi pertumbuhan dan perkembangan

dari struktur wajah, rahang dan gigi, serta pengaruhnya terhadap oklusi gigi geligi

(Grist, 2010). Pertumbuhan adalah proses peningkatan ukuran pada makhluk

hidup, sedangkan perkembangan adalah proses menuju kematangan (Profitt,

2000). Sperber (1976) mengemukakan bahwa pertumbuhan sebagai proses yang

tidak berlangsung secara konstan, akan tetapi bervariasi dalam struktur, proporsi,

dan ukuran. Selama proses pertumbuhan berlangsung, arah pertumbuhan,

kecepatan, dan pertambahan besar pertumbuhan dapat berubah. Pola pertumbuhan

menurut Mitani (1977) adalah penggambaran terjadinya perubahan dalam bentuk,

ukuran, proporsi, struktur, komposisi dan hubungan antar komponen tubuh yang

menunjukkan perubahan ukuran setiap periode umur dan puncak maupun laju

pertumbuhan (growth spurt). Penjelasan hubungan dentofasial dengan morfologi

wajah normal dan abnormal merupakan salah satu pengetahuan yang paling

umum dibahas dalam literatur ortodonti (Fields dkk., 1984). Pertumbuhan wajah

meliputi arah vertikal, anteroposterior, dan lateral (De Rossi dkk., 2010).

Wajah atau viserokranium berkembang lebih lambat dibandingkan

neurokranium atau tulang pembentuk kranial yang berisi otak. Tinggi wajah

berkembang lebih cepat dibandingkan lebar wajah sejak kehidupan fetus hingga

usia dewasa (Salzmann, 1966). Tinggi wajah dapat bertambah sebagai hasil dari

pertumbuhan. Graber dan Swain (1975) mengemukakan bahwa tinggi wajah

anterior dibagi menjadi dua yaitu tinggi wajah anterior bagian atas (N-ANS) dan

Page 2: S1-2015-192525-introduction

tinggi wajah anterior bagian bawah (ANS-Me). Berdasarkan penelitian Arwelli

(2008) mendapatkan bahwa proporsi tinggi wajah anterior atas terhadap tinggi

wajah anterior bawah adalah 46% : 54%. Ligthelm-Bakker dkk. (1992)

menemukan korelasi negatif antara tingkat pertumbuhan rerata tinggi wajah

anterior atas dengan tinggi wajah anterior bawah, terlihat pertumbuhan tinggi

wajah bagian bawah lebih cepat daripada tinggi wajah bagian atas. Proporsi wajah

anterior merupakan alat yang dapat digunakan dalam diagnosis ortodonti (Janson

dkk., 1994). Pengaruh perawatan ortodontik pada tinggi wajah adalah faktor

penting yang harus diketahui oleh dokter gigi. Kulkarni (2011) mengatakan

bahwa keberhasilan perawatan orthodontik dilihat dari studi antropometrik wajah

yang melibatkan tinggi wajah.

Tsunori dkk. (1998) melaporkan bahwa tipe wajah dalam hal ini pendek,

rata-rata dan panjang wajah merupakan faktor penting yang harus

dipertimbangkan dalam perawatan ortodontik dikarenakan prediksi pertumbuhan

wajah berpengaruh dalam sistem maksilofasial yang digunakan selama perawatan

ortodontik. Perawatan ortodontik berguna untuk mendapatkan hubungan gigi

geligi normal, overbite dan overjet optimal, mengatur kedudukan gigi dan

mendapatkan oklusi dan artikulasi yang optimal, mengoreksi maloklusi,

memperbaiki fungsi dan estetis (Yasadhana dan Sadoso, 1977). Menurut

Ackerman (2007), tujuan utama perawatan ortodontik adalah memperbaiki

susunan gigi geligi yang tidak teratur sehingga tercapai oklusi normal serta

estetika yang baik. Salah satu hasil perawatan ortodontik adalah adanya

perubahan dalam arah anteroposterior, dalam hal ini adalah curve of spee

Page 3: S1-2015-192525-introduction

(Bishara, dkk., 1985). Andrew (1972) dalam tulisannya yang berjudul Six Key to

Normal Occlusion, mengatakan bahwa salah satu syarat dalam menentukan oklusi

normal yaitu adanya curve of spee yang normal. Bagi dokter gigi, pencapaian

oklusi normal adalah hal yang sukar dicapai. Oklusi normal mempunyai overbite

tidak lebih dari sepertiga arah insisal mahkota klinis gigi insisivus bawah oleh gigi

insisivus atas atau 2-3 mm dan overjet 2-4 mm. Maloklusi Klas I Angle

dikarakteristikkan sebagai hubungan normal antar lengkung rahang. Menurut

Foster (1997), Maloklusi Klas I pengklasifikasian Angle mempunyai overjet

insisal sebesar 3 mm. Umumnya maloklusi ini hanya terdapat sedikit malposisi

gigi individual. Maloklusi ini dapat disertai dengan ketidakteraturan pada gigi,

seperti crowding, spacing, dan rotasi.

Curve of spee merupakan salah satu karakteristik penting dalam lengkung

mandibular (Lie dkk., 2006), yang melengkung ke arah anteroposterior yang

menyentuh ujung tonjol bukal gigi posterior dan tepi insisal dari gigi insisivus

(Trevisi, 2007). Perkembangan kurva ini merupakan kombinasi pertumbuhan

struktur orofasial, erupsi gigi, perkembangan sistem neuromuskular (Marshall

dkk., 2008). Pada manusia, peningkatan kedalaman curve of spee sering terlihat

pada orang dengan bentuk kepala brakisefalik dan mandibula yang pendek (Salem

dkk.,2003). Peningkatan overbite dan overjet secara signifikan berpengaruh pada

kedalaman curve of spee pada lengkung mandibula (Ahmed dkk., 2011). Menurut

Baydas (2004), curve of spee normal 2-4 mm, sementara menurut Ahmed dkk.

(2011), curve of spee normal 2-3 mm. Semakin dalam curve of spee maka nilai

overjet dan overbite semakin meningkat. Overjet dan overbite mengacu pada

Page 4: S1-2015-192525-introduction

hubungan di bidang sagital dan vertikal. Overbite dipengaruhi oleh derajat

perkembangan secara vertikal yang kemudian berpengaruh pada tinggi wajah

(Foster, 1997). Farella dkk. (2002) mengatakan bahwa kedalaman curve of spee

terlihat nyata pada individu yang memiliki wajah pendek dengan kecenderungan

deep bite dibandingkan dengan individu yang memiliki wajah panjang dengan

kecenderungan memiliki open bite. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan

bahwa tinggi wajah memiliki hubungan terhadap kedalaman curve of spee.

Bangsa Indonesia khususnya suku Jawa termasuk ke dalam ras Mongoloid

yang umumnya mempunyai kepala brakisefalik atau mesosefalik, dengan dahi

lebih lebar, muka lebar dan datar dengan hidung yang sedang atau lebar, akar

hidungnya dangkal (Poesponegoro dan Notosusanto, 1984). Suku Jawa adalah

penghuni terbesar yang tinggal di Indonesia. Menurut penelitian Rahmawati dkk.

(2003) yang meneliti ciri fisik suku Jawa di Yogyakarta didapatkan bahwa suku

Jawa memiliki bentuk kepala antara lonjong dan bulat, bermuka sempit, dan dahi

yang lebar. Sukadana (1976) mengatakan suku Jawa memiliki ciri-ciri antara lain:

bentuk kepala braki-meso-dolikosefalik, bentuk wajah euri-meso-leptoprosop,

bibir agak tebal, profil hidung konkaf, rambut hitam lurus dan berombak, dan

rambut tubuh jarang.

B. Permasalahan

Dari latar belakang yang sudah dijelaskan dapat diambil suatu

permasalahan apakah terdapat hubungan tinggi wajah terhadap kedalaman curve

of spee pada maloklusi klas I Angle orang Jawa?

Page 5: S1-2015-192525-introduction

C. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai curve of spee sebelumnya pernah dilakukan oleh

banyak peneliti. Farella (2002) melakukan penelitian untuk menyelidiki tentang

hubungan curve of spee dan kraniofasial morfologi wajah pada orang Itali. Hasil

yang didapatkan bahwa curve of spee berhubungan dengan rasio anterior tinggi

wajah. Sementara Cheon dkk. (2008) meneliti pada orang Korea dihasilkan bahwa

pengukuran secara vertikal wajah tidak saling berhubungan dengan kedalaman

curve of spee. Peneliti sejauh ini belum menemukan penelitian terkait hubungan

tinggi wajah terhadap kedalaman curve of spee pada suku Jawa.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan tinggi

wajah terhadap kedalaman curve of spee pada maloklusi klas I Angle orang Jawa

mahasiswa di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapakan dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi mengenai hubungan tinggi wajah terhadap

kedalaman curve of spee pada maloklusi klas I Angle orang Jawa.

2. Hasil penelitian diharapkan dapat membantu dalam menetapkan diagnosis

dan rencana perawatan ortodontik maloklusi klas I Angle orang Jawa

dengan mempertimbangkan hubungan antara tinggi wajah dengan

kedalaman curve of spee.