s1-2015-187251-introduction
DESCRIPTION
dsdadasddTRANSCRIPT
14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan
kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan yang berulang-ulang
yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh
jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang
berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis
yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya m uatan listrik abnormal sel-sel
otak (Gofir dan W ibowo, 2006)
Dewasa ini epilepsi didefinisikan sebagai suatu gangguan atau terhentinya fungsi
otak secara periodik yang disebabkan oleh terjadinya pelepasan muatan listrik secara
berlebihan dan tidak teratur oleh sel-sel otak dengan tiba-tiba, sehingga penerimaan
dan pengiriman impuls antara bagian otak dan dari otak ke bagian lain tubuh
terganggu (Mutiawati, 2008). Menurut Gibbs epilepsi ia lah suatu “ paroxysmal
cerebral dysrhytmia”, dengan gejala-gejala klinis seperti di atas. Dasar disritmia ini
ialah elektrobiokim iawi (Maramis, 2005).
Epilepsi adalah kelainan neurologis kronik yang terdapat di seluruh dunia.
Epilepsi dapat terjadi pada pria maupun wanita dan pada semua umur. Ins iden
epilepsi di dunia berkisar antara 33-198 tiap 100.000 penduduk tiap tahunnya. (WHO,
2006) Insiden ini tinggi pada negara-negara berkembang karena faktor risiko untuk
15
terkena kondisi maupun penyakit yang akan mengarahkan pada cedera otak adalah
lebih tinggi dibanding negara industri (WHO, 2001; WHO, 2006).
Prevalensi epilepsi di Indonesia berkisar antara 0,5-2% (Paryono dkk, 2003).
Sekitar 1,1 juta hingga 1,3 juta penduduk Indonesia mengidap penyakit epilepsi
(Depkes, 2006).
Pengobatan Epilepsi diantaranya bertujuan untuk membuat penderita terbebas dari
serangan, khususnya serangan kejang, sedini/seawal mungkin tanpa mengganggu
fungsi normal saraf pusat dan penderita dapat melakukan tugas tanpa bantuan. Terapi
meliputi terapi kausal, terapi dengan menghindari factor pencetus, dan memakai obat
anti konvulsi (Hendra Utama, 2007).
Penggunaan Obat Anti Epilepsi (OAE) pada kasus epilepsi rawat jalan
memerlukan kesadaran pasien untuk secara rutin melakukan kunjungan ke Rumah
Sakit dan mendapatkan pengobatan yan g sesuai. Penggunaan dosis serendah
mungkin, kepatuhan minum obat, kedisiplinan pasien untuk konsultasi dengan dokter
dan mendapatkan kemajuan pengobatan belum cukup efektif untuk mengatasi
bangkitan epilepsi. Pasien baru diberikan obat anti epilepsi yang umum dan tersedia
di instalasi farmasi sebagai obat pilihan yang paling banyak digunakan.
Evaluasi terhadap pengendalian gejala oleh obat yang menunjukkan respon baik
akan dipertahankan dengan pertimbangan kecocokan pasien terhadap obat. Pasien
lama yang menunjukkan kepatuhan lebih banyak mendapatkan pengobatan yang
sama pada setiap kunjungan. Penggantian obat (switching) dipertimbangkan jika
pengobatan sebelumnya tidak menampakkan hasil. Kecenderungan politerapi masih
16
lebih tinggi daripada penggantian dengan obat anti epilepsi (OAE) golongan lain.
Gambaran pola pengobatan sangat diperlukan untuk mengetahui efektifita s terapi dan
kaitannya pada peningkatan kualitas hidup pasien.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti berkesimpulan perl unya
dilakukan penelitian mengenai pola penggunaan obat anti epilepsi pada pasien
epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Terapi
pengobatan yang baik dan benar akan sangat menguntungkan bagi pasien terutama
dari segi peningkatan kualitas hidup pasien.
Dalam menjalankan profesinya seorang farmasis dituntut untuk mengetahui
kerasionalan sebuah pengobatan dengan penyakit yang diderita. Pharmaceutical care
digunakan sebagai landasan dan filosofi dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai
seorang farmasis untuk memastikan bahwa terapi yang didapatkan oleh pasien sesuai
dengan indikasi, efektif dan aman.
B. Perumusan Masalah
Masalah yang dapat dirumuskan berdasarkan uraian di atas adalah:
1. Bagaimana karakteristik pasien epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta?
2. Bagaimana pola penggunaan obat anti epilepsi (OAE) pada pasien epilepsi
di Instalasi Rawat Jalan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta?
17
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui karakteristik pasien epilepsi di Instalasi Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta.
2. Mengetahui pola penggunaan obat anti epilepsi (OAE) pada pasien
epilepsi di Instalasi Rawat Jalan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang karakteristik pasien
dan pola penggunaan obat anti epilepsi pada pasien Epilepsi di Instalasi Rawat Jalan
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang kemudian dapat bermanfaat sebagai
berikut:
1. Bahan masukan dan evaluasi bagi pelayanan kefarmasian (pharmaceutical
care) RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dalam melaksanakan terapi
pada pasien epilepsi yang menggunakan obat anti epilepsi (OAE), baik
monoterapi maupun politerapi.
2. Bahan masukan dan evaluasi bagi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta
dalam melaksanakan terapi pada pasien epilepsi termasuk di antaranya
terkait ketersediaan obat-obatan anti epilepsi (OAE) yang pada akhirnya
dapat meningkatkan kualitas hidup pasien serta mutu dan kualitas
pelayanan Rumah Sakit.
3. Bahan bacaan bagi rekan sejawat dan acuan penelitian yang berkaitan
dalam rangka mengembangkan pelayanan kefarmasian yang lebih baik.
18
E. Tinjauan Pustaka
1. Epilepsi
a. Definisi Epilepsi
Kata “epilepsi” berasal dari kata Yunani “epilambanein” yang berarti serangan
(Harsono,1999). Penyakit epilepsi pertama kali ditemukan Hippocrates, seorang
dokter dari Yunani pada tahun 400 SM. Pada waktu itu orang-orang Yunani
menganggap, epilepsi merupakan penyakit kutukan dari Tuhan. Dalam bukunya yang
berjudul “On the Sacred Disease”, Hippocrates menolak paradigma tersebut dan
menyatakan bahwa epilepsi merupakan penyakit akibat terjadinya kerusakan pada
otak. Selanjutnya pada tahun 1859-1906, ahli neurologi dari Inggris mendefinisikan
epilepsi sebagai penyakit yang terjadi karena ketidakstabilan dan kerusakan pada
jaringan saraf di otak, sehingga mempengaruhi kesadaran dan tingkah laku penderita.
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh
terjadinya bangkitan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked)
dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat
mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat
sinkron dan berirama. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk bangkitan yang
terjadi selama penyakit akut berlangsung, dan occasional provoked seizures misalnya
kejang atau bangkitan pada hipoglikemi (Harsono, 2007).
Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epi leptik
yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy
(ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan
19
kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epilepsi, perubahan neurobiologis,
kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini
membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya. Sedangkan
bangkitan epilepsi didefinisikan sebagai tanda dan atau gejala yang tim bul sepintas
(transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
a. Epidemiologi Epilepsi
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, pada orang tua bahkan
bayi yang baru lahir. Di Amerika Serikat, satu dari 100 populasi (1%) penduduk
terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan
pada lima tahun terakhir.
Dalam kepustakaan prevalensi epilepsi di Indonesia, yaitu sebanyak 5 -10%.
Dapat diperkirakan bahwa di Indonesia yang berpenduduk hampir 200 juta,
sedikitnya terdapat 1.000.000-2.000.000 orang penyandang epilepsi (Harsono, 1999).
Insidensi epilepsi pada anak-anak dan remaja diperkirakan berkisar antara 50
sampai 100 per 100.000 anak (Hauser, 1994). Penelitian Heaney dkk (2002) di
Inggris dilakukan secara prospektif terhadap 369.283 orang-tahun pengamatan.
Sepanjang pengamatan dijumpai 190 kasus baru (angka insidensi : 51,5/1000000,
95% CI : 44,4-59,3). Diantaranya 190 kasus baru epilepsi, 65 diantaranya (34, 2%)
dimulai saat pada usia < 14 tahun.
20
b. Etiologi Epilepsi
Kejang disebabkan oleh banyak faktor. Faktor tersebut meliputi penyakit
serebrovaskuler (stroke iskemik atau stroke hemoragi), gangguan neurodegeneratif,
tumor, trauma kepala, gangguan metabolik, dan infeksi SSP (sistem saraf pusat).
Beberapa faktor lainnya adalah gangguan tidur, stimulasi sensori atau emosi (stres)
akan memicu terjadinya kejang. Perubahan hormon, sepeti menstruasi, puberitas, atau
kehamilan dapat meningka tkan frekuensi terjadinya kejang. Penggunaan obat-obat
yang menginduksi terjadinya kejang seperti teofilin, fenotiazin dosis tinggi,
antidepresan (terutama maprotilin atau bupropion), dan kebiasaan minum alkohol
dapat meningkatkan resiko kejang.
c. Klasifikasi Epilepsi
Terapi epilepsi tidak hanya didasarkan atas diagnosa yag tepat. Lebih dari itu,
jenis serangan juga harus ditentukan. Menurut Gidal dkk (2005) klasifikasi epilepsi
berdasarkan tanda-tanda klinik dan data EEG, dibagi menjadi:
1) Kejang umum (generalized seizure)
Jika aktivasi terjadi pada kedua hemisfere otak secara bersama -sama.
Kejang umum terbagi atas:
a) Absense (Petit mal)
Jenis yang jarang dijumpai ini umumnya hanya terjadi pada masa
anak-anak atau awal remaja. Kesadaran hilang beberapa detik,
ditandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat. Penderita
21
tiba-tiba melotot atau matanya berkedip-kedip dengan kepala
terkulai.
b) Tonik-klonik (grand mal)
Merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi, biasanya
didahului oleh suatu aura. Pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas
terengah-engah, dan keluar air liur. Bisa terjadi juga sianosis,
ngompol, atau menggigit lidah. Serangan ini terjadi beberapa
menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau
tidur.
c) Mioklonik
Serangan ini biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur
pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba.
d) Atonik
Serangan tipe Atonik ini jarang terjadi. Pasien tiba -tiba kehilangan
kekuatan otot yang mengakibatkan pasien terjatuh, namun dapat
segera pulih kembali.
2) Kejang parsial
Serangan parsial merupakan perubahan-perubahan klinis dan
elektroensefalografik yang menunjukan aktivitas sistem neuron yang
berbatas di salah satu bagian otak (Harsono, 1999).
Kejang parsial ini terbagi menjadi:
22
a) Simple partial seizure
Pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran. Terjadi sentakan-
sentakan pada bagian tertentu dari tubuh.
b) Complex partial seizure
Pasien mengalami penurunan kesadaran. Pada penderita dengan
penurunan kesadaran maka dapat terjadi perubahan tingkah laku
misalnya automatisme.
3) Kejang tak terklasifikasikan
Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung
oleh data yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan
epilepsi pada neonatus misalnya gerakan mata ritm is, dan gerakan
mengunyah serta berenang.
d. Patofisiologi Epilepsi
Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal akibat
penghambatan neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara
neurotransmiter eksitatori dan inhibitori. Defisiensi neurotransmiter inhibitori seperti
Gamma Amino Butyric Acid (GABA) atau peningkatan neurotransmiter eksitatori
seperti glutamat menyebabkan aktivitas neuron tidak normal. Neurotransmiter
eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu, glutamat, aspartat, asetil kolin,
norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin, peptida, sitokin dan
hormon steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat neuron) yaitu,
23
dopamin dan Gamma Amino Butyric Acid (GABA). Serangan kejang juga
diakibatkan oleh abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal i on, dan defisiensi
ATPase yang berkaitan dengan transport ion, dapat menyebabkan ketidak stabilan
membran neuron.
Aktivitas glutamat pada reseptornya (AMPA) dan (NMDA) dapat memicu
pembukaan kanal Na+. Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh pembukaan kanal Ca
2+,
sehingga ion-ion Na+ dan Ca
2+ banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi
pengurangan perbedaan polaritas pada membran sel atau yang disebut juga dengan
depolarisasi. Depolarisasi ini penting dalam penerusan potensial aksi sepanjang sel
syaraf. Depolarisasi berkepanjangan akibat peningkatan glutamat pada pasien epilepsi
menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus menerus dan memicu aktivitas sel -
sel syaraf. Beberapa obat-obat antiepilepsi bekerja dengan cara memblokade atau
menghambat reseptor AMPA (alpha amino 3 Hidroksi 5 Methylosoxazole- 4-
propionic acid) dan menghambat reseptor NMDA (N-methil D-aspartat). Interaksi
antara glutamat dan reseptornya dapat memicu masuknya ion-ion Na+ dan Ca
2+ yang
pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya potens ial aksi. Namun felbamat
(antagonis NMDA) dan topiramat (antagonis AMPA) bekerja dengan berikatan
dengan reseptor glutamat, sehingga glutamat tidak bisa berikatan dengan reseptornya.
Efek dari kerja kedua obat ini adalah menghambat penerusan potensial aks i dan
menghambat aktivitas sel-sel syaraf yang teraktivasi. Patofisiologi epilepsi meliputi
ketidakseimbangan kedua faktor ini yang menyebabkan instabilitas pada sel -sel
syaraf tersebut.
24
e. Gejala Klinis
Gejala kejang yang spesifik, tergantung pada jenis ke jang. Jenis kejang pada
setiap pasien dapat bervariasi, namun cenderung sama.
a. Somatosensori atau motor fokal terjadi pada kejang kom pleks parsial.
b. Kejang kompleks parsial terjadi gangguan kesadaran.
c. Kejang absens mempunyai efek yang ringan dengan gangguan kesadaran yang
singkat.
d. Kejang tonik-klonik umum mempunyai episode kejang yang lama dan terjadi
kehilangan kesadaran.
g. Penatalaksanaan terapi
Menurut Shorvon (2001), pertimbangan untuk memulai pemberian obat anti
epilepsi memperhatikan faktor-faktor atau kondisi-kondisi yang mempengaruhi dan
perlu dipertimbangkan, yakni:
1) Diagnosa.
2) Risiko bangkitan ulang setelah kejang pertama.
3) Etiologi; adanya lesi struktural otak atau epilepsi sim tomatik, idiopatik
atau kriptogenik.
4) Elektroensefalogram.
5) Umur; risiko ulang lebih besar pada usia di bawah 16 tahun atau di
atas 60 tahun.
6) Tipe kejang.
7) Jenis, waktu dan frekuensi bangkitan.
25
8) Jenis epilepsi; beberapa sindroma epilepsi benigna mempunyai
prognosis yang baik tanpa terapi, dan tidak memerlukan terapi jangka
panjang.
9) Kepatuhan berobat; keputusan untuk memberi pengobatan perlu
dipertimbangkan kembali pada semua keadaan dimana kepatuhan
berobat diragukan.
10) Bangkitan reflektoris dan bangkitan simtomatik akut; kadang-kadang
bangkitan timbul hanya pada keadaan spesifik atau oleh adanya
pemicu terrtentu (misal fotosensitif, kelelahan, alkohol).
11) Harapan penderita; tergantung sudut pandang penderita, perlu
diterangkan keuntungan dan kerugian relatif apabila menggunakan
atau tanpa pengobatan (Husni, 2002).
Penatalaksanaan epilepsi ada anak-anak sedikit lebih kompleks dibanding
kelompok populasi lainnya dan memerlukan perhatian yang khusus. Penentuan
diagnosis epilepsi masa anak-anak yang tepat akan sangat membantu dalam
menentukan terapi, meramalkan prognosis, dan pemberian informasi kepada pasien
dan keluarganya (Murphy & Dehkhargani, 1994).
26
b. Obat Anti Epilepsi (OAE)
a. Penggolongan Obat Anti Epilepsi
1). Hidantoin : Fenitoin
Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik -
klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf. Keuntungan
dari obat ini yaitu bekerja sebagai antikonvulsif kuat dan berbeda dari barbiturat,
hanya bersifat sedatif lemah, malahan kadang-kadang bersifat stimulan. (Mutschler,
1991)
Fenitoin berefek stabilisasi pada semua membran neuronal, termasuk saraf
perifer dan m ungkin pada membran yang eksitabel maupun yang tidak eksitabel.
Fenitoin menurunkan aliran ion Na yang tersisa maupun aliran ion yang mengalir
selama aksi potensial atau depolarisasi karena proses khemis. Fenitoin menunda
aktifasi aliran ion K keluar selama aksi potensial menyebabkan kenaikan periode
„refractory’ dan menurunnya cetusan ulangan. Dosis Fenitoin dewasa diberikan
dengan dosis awal 3-4 mg/kg BB/hari. Pemberian intravena tidak boleh melebihi 50
mg/menit. (Gofir dan W ibowo, 2001)
2). Barbiturat : Fenobarbital
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-
klonik. Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan
fenobarbital obat yang penting unTuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya
serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak -anak telah
mengurangi penggunaannya sebagai obat utama. Aksi utama fenobarbital terletak
27
pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital
menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langs ung terhadap reseptor GABA
(aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan reseptor GABA A
dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain itu, fenobarbital juga
menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic GABAergic
inhibition. Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis
pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari. Efek samping SSP merupakan hal yang
umum terjadi pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi
adalah kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada
anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan
kemerahan kulit, dan Stevens-Johnson syndrome.
3). Deoksibarbiturat : Primidon
Primidon digunakan untuk terapi kejang par sial dan kejang tonik-klonik.
Primidon mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori. Efek anti kejang
primidon hampir sama dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh
primidon dirubah menjadi metabolit aktif yaitu fenobarbital dan feniletilmalonamid
(PEMA). PEMA dapat meningkatkan aktifitas fenobarbotal. Dosis primidon 100-125
mg 3 kali sehari.
Efek samping yang sering terjadi antara lain adalah pusing, mengan tuk,
kehilangan keseim bangan, perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan impotensi.
28
4). Karbamazepin
Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik.
Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan
tonik-klonik. Karbamazepin menghambat kanal Na+, yang mengakibatkan influk
(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya
potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis pada anak dengan
usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal
200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan pada anak usia
lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari.
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah
gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual,
goyah (tidak dapat berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping
tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan usia.
5). Okskarbazepin
Okskarbazepin merupakan analog keto karbamazepin. Okskarbazepin merupakan
prodrug yang didalam tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk aktifnya, yaitu suatu
turunan 10-monohidroksi dan dieliminasi melalui ekskresi ginjal. Okskarbazepin
digunakan untuk pengobatan kejang parsial. Mekanisme aksi okskarbazepin m irip
dengan mekanisme kerja karbamazepin. Dosis penggunaan okskarbazepin pada anak
usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2 kali sehari sedangkan pada dewasa, 300 mg 2 kali
sehari.
29
Efek samping penggunaan okskarbazepin adalah pusing, mual, muntah, sakit
kepala, diare, konstipasi, dispepsia, ketidak seimbangan tubuh, dan kecemasan.
Okskarbazepin memiliki efek samping lebih ringan dibanding dengan fenitoin, asam
valproat, dan karbamazepin. Okskarbazepin dapat menginduksi enzim CYP450.
6). Suksimid : Etosuksimid
Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens. Kanal kalsium merupakan
target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca2+
tipe
T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang diperan tarai oleh ion
Ca2+
tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan
mengurangi sentakan pada kejang absens. Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6
tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20 mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan.
Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6 tahun dan dewasa 500 mg/hari.
Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual dan muntah, efek samping
penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk,
gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan.
6). Asam valproat
Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang
absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat
meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis
GABA. Asam valproat juga berpotensi terhadap respon GABA post sinaptik yang
langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi kanal kalium . Dosis
penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari. Efek samping yang sering terjadi adalah
30
gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual, muntah, anorexia, dan peningkatan
berat badan.
Efek samping lain yang m ungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan
keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat mempunyai efek
gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang berat dari penggunaan asam
valproat adalah hepatotoksik. Hyperammonemia (gangguan metabolisme yang
ditandai dengan peningkatan kad5r amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%,
tetapi tidak sampai menyebabkan kerusakan hati.
Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah
terkait penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat secara
bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek
sedasi yang dihasilkan. Valproat sendiri juga dapat menghambat metabolisme
lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin. Obat yang dapat menginduksi enzim dapat
meningkatkan metabolisme valproat. Hampir 1/3 pasien mengalami efek samping
obat walaupun hanya kurang dari 5% saja yang menghentikan penggunaan obat
terkait efek samping tersebut.
7). Benzodiazepin
Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang. Benzodiazepin merupakan agonis
GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi
pembukaan reseptor GABAA. Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5
mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3 mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 m g/kg, dan
dewasa 4-40 mg/hari.
31
Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah
cemas, kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit,
konstipasi, dan mual.
F. KETERANGAN EMPIRIK
Melalui penelitian ini diharapkan mendapatkan hasil berupa karakteristik pasien
dan pola pengobatan epilepsi dari penggunaan obat anti epilepsi yang pada pasien di
Instalasi Rawat Jalan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.