s eminar desain dalam industri kreatifsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05...

98
S SEMIN AR DE ESAIN D DALAM M INDU USTRI K KREAT TIF

Upload: ngohanh

Post on 03-Mar-2019

240 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

S

SEMINAR DEESAIN DDALAMM INDUUSTRI KKREATTIF

Page 2: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Page | 1

Prospek Penerimaan Masyarakat Permukiman Rawan Banjir Terhadap Penataan Kembali Lingkungan dan Unit Hunian

Wanda Yovita dan Allis Nurdini Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan

Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10, Bandung

[email protected], [email protected]

Abstrak Banjir yang terjadi di sisi sungai Citarum menjadi kebiasaan bagi penghuni rumah tinggal yang ada di sekitarnya. Khususnya di Kabupaten Bandung yaitu kelurahan Dayeuh kolot dan Kelurahan Andir, banjir sudah membahayakan kehidupan penghuni. Solusi yang ditawarkan adalah relokasi, yangumumnya berlokasi jauh dari tempat tinggal yang ada sekarang. Sampai saat ini masih terdapt kesulitan untuk solusi relokasi ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui solusi lain selain relokasi, yaitu dengan penataan kembali lingkungan hunian hingga ke unit hunian. Kampung Cieunteung merupakan daerah yang terkena dampak banjir yang paling parah, beberapa masyarakat memilih untuk menjual huniannya. Sedangkan yang ada di Kampung Andir, kondisi hunian pada saat banjir tidak separah kampong yang disebutkan sebelumnya sehingga urgensi untuk relokasi masih rendah. Akan tetapi saat ditawarkan perbaikan lingkungan, sebagian besar masyarakat bersikap positif dan menerima, walaupun dengan beberapa konsekuensi agar terwujud lingkungan yang lebih baik. Kata kunci: penataan, lingkungan, banjir, penerimaan 1. Latar Belakang Sungai sebagai sumber penghidupan, merupakan tempat tinggal bagi masyarakat tradisional. Sungai yang mengalirkan air tawar menjadi sumber air untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam pemenuhan air bersih, seperti masak, mandi dan mencuci, selain itu juga sebagai saluran pembuangan limbah cair rumah tangga maupun industry. Hal ini berlangsung terus menerus sehingga menambah beban sungai. Sungai Citarum merupakan sungai terpanjang dan terbesar di provinsi Jawa Barat, melintasi Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bekasi dan bermuara di Kabupaten Karawang. Sungai ini memiliki tingkat ketercemaran yang tinggi di dunia. Dalam Indriatmoko, et al (2004) disebutkan bahwa Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) sudah melebihi ambang batas atau syarat kualitas air tanah tidak terpenuhi. Di sepanjang sisi sungai Citarum khususnya di bagian Kabupaten Bandung, terdapat berbagai macam industry dan pabrik. Sungai ini menjadi tempat pembuangan limbah baik pabrik maupun rumah tangga. Hal ini mengakibatkan pendangkalan sungai yang berujung pada bencana banjir. Dalam satu dekade terakhir, keadaan banjir di wilayah ini semakin parah. Pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk yang memberikan beban berlebihan terhadap daya dukung lingkungan. Hal ini diakibatkan oleh berbagai masalah yakni perilaku manusia di dalam mengelola sumber daya alam seperti penggundulan hutan, pembuangan limbah rumah tangga, peternakan, industri, serta penyalahgunaan tata ruang. Kampung Cieunteung merupakan bagian dari wilayah Dayeuh Kolot yang terkena dampak banjir yang paling berat. Kampung Cieunteung memiliki tinggi permukaan yang lebih rendah daripada sungai Citarum. Hujan yang turun selama dua jam mampu mengakibatkan banjir di kampung ini. Sebagian rumah penduduk sudah tidak lagi ditinggali karena terendam lumpur setiap banjir. Kampung Ciputat di wilayah Andir juga berbatasan langsung dengan sungai Citarum. Kampung ini juga menjadi sasaran banjir apabila sungai Citarum meluap. Kawasan lain di sisi sungai Cieunteung yang sering terkena banjir adalah Kampung Ciputat di kelurahan Andir. Menurut batas administratif, kampung Ciputat merupakan RW 13. Sama halnya seperti di RW

Page 3: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 2

20 Kampung Cieunteung, mata pencaharian penduduk di RW 13 adalah pegawai pabrik. Banjir yang terjadi di RW 13 diperkirakan karena banyaknya saluran yang langsung dialirkan melalui sungi Citarum sehingga pada saat banjir aliran sungai Citarum akan memenuhi saluran tersebut. Akibat banjir terus menerus, harga tanah di daerah ini turun dan menyulitkan penghuni untuk menjual rumah dan pindah ke tempat lain. Daerah ini merupakan salah satu titik terendah di sisi sungai Citarum. Hal ini mengakibatkan seringnya terjadi pusaran air apabila terjadi banjir yang kemudian merusak rumah warga. Berdasarkan rencana tata ruang wilayah, sebagian dari Kampung Cieunteung akan dijadikan waduk. Hingga akhir 2014, sudah 11 rumah dan satu sekolah yang dibebaskan. Masyarakat cenderung enggan untuk pindah karena nilai jual tanah yang menurun dan tidak adanya pilihan tempat lain. Masyarakat justru semakin beradaptasi akibat seringnya frekuensi banjir. Contoh adaptasi ini adalah, menambah lantai ke atas sebagai tempat pengungsian jika ada banjir dan tersedianya perahu yang menjadi transportasi utama saat banjir. Selain mengungsi ke lantai yang lebih tinggi, masyarakat juga mengungsi ke fasilitas publik seperti GOR, Rusun Baleendah atau kelurahan Baleendah. Berdasarkan survei pendahuluan ditemukan bahwa pindah rumah bukan menjadi pilihan masyarakat korban banjir. Mereka memilih tetap berada di tempat tinggal saat ini dengan kemampuan adaptasi mereka lebih tinggi dari sebelumnya. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana preferensi asyarakat yang tinggal di daerah yang rawan banjir terhadap solusi lain selain relokasi, yaitu dengan perbaikan lingkungan yang ditawarkan dalam desain lingkungan hingga unit hunian. 2. Metode Pemikiran bahwa tidak adanya pilihan untuk pindah dari kawasan rawan banjir, mengakibatkan adanya mekanisme adaptasi berhuni masyarakat terhadap tepi sungai berupa perumahan yang responsif terhadapnya. Hal tersebut memungkinkan para penghuni tetap berada di lokasi berhuninya saat ini adalah dengan menjadikan sungai bukan menjadi masalah, melalui perubahan desain perumahan yang dapat diterima oleh para penghuni. Penelitian ini melihat bagaiamana kecenderungan masyarakat setempat terhadap perbaikan lingkungan yang ditawarkan dalam desain yang lebih teratur dan kelengkapan fasos dan fasum. Metode yang dilakukan adalah distribusi frekuensi dari pendapat masyarakat. Hal ini bertujuan untuk mendeskripsikan lokasi menurut pendapat penghuni dan kecenderungan penerimaan terhadap penataan lingkungan. Penelitian ini melihat bagaimana kondisi masyarakat yang tinggal di sekitar sungai Citarum khususnya Kampung Cieunteung yang ada di kelurahan Dayeuh Kolot dan Kampung Ciputat yang ada di Kelurahan Andir. Penelitian dilakukan terhadap 105 responden terdapat di kedua kampung daerah penelitian tersebut 52 dan 53 responden. Penyebaran kuesioner dilakukan acak pada 3 posisi hunian warga yaitu posisi yang berdekatan dengan jalan utama, posisi yang berada di tengah lahan (di dalam gang) dan posisi yang berdekatan atau berbatasan langsung dengan sungai. 3. Analisis Pada survei awal ditemukan daerah-daerah yang sangat sering terkena banjir yaitu kampung Cieunteung dan Ciputat. Kampung Cieunteung berbatasan langsung dengan sungai Citarum. Beberapa rumah sudah hancur akibat banjir dan beberapa tidak dihuni lagi oleh pemiliknya. Kampung Cieunteung RW 20 terdiri dari 4 RT atau 350 KK dan selalu terkena banjir di saat musim hujan. Kebanyakan penghuni di RW 20 merupakan pemilik rumah dan tanah. Sebagian besar pemilik bekerja sebagai karyawan pabrik tekstil yang terdapat di sekitar kampung, dan sudah tidak ada lagi yang berprofesi sebagai petani. Kampung Ciputat RW 13, Kelurahan Andir, merupakan daerah yang mengalami banjir ketika musim penghujan tiba. Pada bagian utara dari kampung Ciputat terdapat sungai Citarum dan anak sungai Ciputat yang apabila banjir daerah ini akan tergenang oleh air akibat luapan dari sungai tersebut. Kampung ini tergolong yang tidak banyak diketahui oleh orang apabila terjadi banjir karena bantuan sangat sulit untuk masuk ke dalam kampung ini. Keadaan kampung memiliki lahan relatif datar yang

Page 4: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 3

membuat air akan tergenang pada kampung ini apabila terjadi banjir. Di selatan lahan terdapat area pertanian yang dijadikan tempat untuk bercocok tanam. Banjir di Kampung Cieunteung sudah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu dan dampaknya masih dirasakan hingga saat ini. Bencana banjir terjadi karena kondisi sungai Citarum yang semakin buruk karena sedimentasi, perubahan tata guna lahan pada daerah hulu sungai, pembuangan limbah industri pabrik, dan tidak adanya saluran drainase yang dapat mengalirkan air ketika banjir. Bencana banjir terparah dirasakan oleh warga pada tahun 2010 yang tingginya mencapai 4 meter dan hingga 11 bulan banjir masih menggenangi rumah warga. Apabila terjadi banjir hingga ketinggian diatas 3 meter, warga mengungsi ke tempat pengungsian terdekat. Dari 283 Kepala Keluarga yang terdapat di RW 20, saat ini sekitar 50 Kepala Keluarga tidak menempati rumahnya kembali karena keadaan rumahnya rusak akibat banjir pada tahun 2010. Secara umum kondisi rumah di Kampung Cieunteung terbagi menjadi 3 bagian, yaitu :

1. Rumah yang saat ini tidak ditempati karena tidak layak untuk dihuni karena telah terbenam lumpur

2. Rumah yang lantai dasarnya telah terbenam lumpur sehingga kegiatan penghuni dilakukan di lantai 2.

3. Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni Kondisi rumah di kampung Ciputat RW 13 tidak seperti di kampung Cieunteung RW 20, kecamatan Baleendah. Hampir keseluruhan lantai rumah dapat digunakan akan tetapi lantai dasar ditinggikan 60 cm dari muka jalan. Akan tetapi beberapa rumah tidak dapat dihuni karena rusak akibat banjir dan tidak diperbaiki.Keadaan di Kampung Ciputat masih lebih baik dibandingkan di Kampung Cieunteung. Jumlah rumah yang tidak dihuni dan rusak akibat banjir tahunan di Kampung Cieunteung jauh lebih banyak. Beberapa usaha penyewaan rumah atau kamar merugi karena biaya perbaikan yang cukup mahal dan hampir tidak ada lagi yang menyewa. Beberapa responden memiliki luas tanah dan bangunan yang cukup luas akan tetapi tidak berfungsi dan tidak mampu menghasilkan pemasukan bagi pemiliknya. Akan tetapi di kedua kampung dan demikian juga di kampung lain di sekitar sungai Citarum, hampir seluruh penghuni telah menaikkan level lantainya, hingga ketinggian lebih dari 2 m. Di kampong Cieunteung, beberapa rumah tidak menggunakan lantai dasar. Lantai dasar digunakan untuk ruang tamu atau ruang keluarga yang sewaktu-waktu tidak digunakan apabila sedang banjir. Beberapa masyarakat di kedua kampung memperbaiki rumahnya dengan meninggikan level bangunannya. Beberapa juga membangun ulang dan memperbaiki bagian bangunan yang lembab dan rapuh akibat banjir.

Gambar 1. Jenis pekerjaan dan pendapat per bulan responden

Sumber : Hasil Penelitian Jenis pekerjaan penghuni sekaligus pemilik rumah sebagian besar adalah karyawan atau buruh industri di sekitar kawasan sungai Citarum. Sejumlah 26% penghuni melakukan usaha sendiri, baik di rumah tinggalnya maupun di kawasan lain. Sejumlah 40% dari 105 responden di kedua area survei memiliki pendapatan berkisar Rp. 1,000,000 hingga Rp. 1,990,000 dan 23% memiliki pendapatan berkisar Rp. 2,000,000 hingga Rp. 2,990,000. Ini menunjukkan lebih dari setengah jumlah responden merupakan

Page 5: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 4

masyarakat berpendapatan rendah yang memiliki daya beli rendah. Keseluruhan masyarakat yang tinggal di kedua kampung berasal dari suku Sunda dan sebagian merupakan kelahiran asli dari masing-masing kampung. Di kampung. Cieunteung kebanyakan responden adalah yang sudah menempati kampung tersebut selama puluhan tahun, sedangkan di kampung. Andir relatif masih lebih baru.

Gambar 2. Site Plan Eksisting Kampung Cieunteung RW 20

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Gambar 3. Site Plan Usulan Kampung Cieunteung RW 20

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Page 6: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 5

Gambar 4. Site Plan Eksisting Kampung Ciputat RW 13

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Gambar 5. Site Plan Usulan Kampung Ciputat RW 13

Sumber : Dokumentasi Pribadi Penataan yang diusulkan kepada masyarakat sebagian besar menerima dengan baik. Akan tetapi pada beberapa responden di kampung Cieunteung, ada keinginan untuk menjual rumahnya dengan harga yang tinggi. Hal ini dikarenakan masyarakat menganggap Kampung Cieunteung merupakan daerah yang strategis. Beberapa masyarakat menganggap banjir bukan karena permukiman di sekitar sungai tapi karena pendangkalan ioleh limbah buangan sepanjang sungai Citarum dan dari anak-anak sungainya. Berbagai masukan dari responden menyebutkan bahwa apabila penataan dilakukan maka hendaknya luas tanah yang dimiliki tidak berkurang.

Gambar 6. Penerimaan masyarakat terhadap ide penataan

Sumber : Hasil Penelitian

Page 7: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 6

4. Kesimpulan Kampung Cieuteung memiliki tingkat urgensi yang lebih tinggi terhadap perbaikan kawasan lingkungan dan perumahannya. Jumlah bangunan yang tidak dihuni dan ditinggalkan penghuninya merupakan salah satu unsur yang memperparah keadaan kampung ini. Sistem polder yang sudah dibangun oleh pemerintah masih tidak mampu mengurangi banjir. Masyarakat kampung Cieunteung memiliki kecenderungan untuk memilih pindah dan mencari rumah baru akan tetapi masih terkendala dana. Sebagian masyarakat memberikan harga terlalu tinggi terhadap tanah dan rumah untuk lingkungan yang sudah rusak. Hal ini mengakibatkan berlarut-larutnya masalah penanganan banjir. Sebagian masyarakat yang tidak memilih pindah mengharapkan apabila ada penataan kembali, tidak dibebankan biaya yang terlalu besar. Kampung Ciputat sendiri tidak terlalu mwmiliki urgensi tinggi terhadap bencana banjir. Hampir seluruh warga telah beradaptasi dengan banjir dengan meninggikan lantai dasar rumahnya terhadap jalan. Bencana banjir juga dianggap masih bisa dihadapi dan tidak separah yang terjadi di kampung Cieunteung. Catatan Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Desain Hunian Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah di Bantaran Sungai Peri Urban Area Bale Endah Kabupaten Bandung: Contingent Valuation Method yang selanjutnya melihat kemampuan masyarakat dalam membayar unit hunian yang adaptif terhadap banjir. Daftar Pustaka [1] Budiharjo, Eko. 1998. Sejumlah Masalah Permukiman Kota. Bandung: Penerbit Alumni. [2] Badan Pusat Statistik/BPS, (2010) Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi

Indonesia. Katalog: 3101015 [3] Hasan, M. Iqbal. 2001. Pokok-pokok Materi Statistik I (Statistik Deskriptif), Bumi Aksara. Jakarta. [4] Indriatmoko R. H. dkk. 2004. Evaluasi Lingkungan Air Tanah di DAS Citarum Hulu. Tek. Ling.

P3TL-BPPT.5.(2).: 82-94 [5] Payne, Geoffrey. 1989. Informal Housing and Subdivisions in Third World Cities: A Review of

the Literature. Oxford: CENDEP.

Page 8: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 7   

Desain Tata Pamer Museum Berkelanjutan dalam Konteks Komunikasi Publik

(Studi Kasus: Museum Negeri Sri Baduga Bandung)

Detty Fitriany Institut Teknologi Nasional Bandung

Institut Seni Budaya Indonesia Bandung [email protected]

ABSTRAK Desain tata pamer di museum berperan sebagai media komunikasi antara museum dengan pengunjungnya. Pada museum berkelanjutan, instalasi pameran dituntut untuk lebih rekreatif dan interaktif untuk memenuhi kebutuhan pengunjung seiring dengan perubahan perilakunya di era teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang saat ini. Tulisan ini berisi tentang kajian desain tata pamer museum berkelanjutan dalam konteks komunikasi publik, meliputi penjabaran unsur-unsur komunikasi, media, proses dan makna-makna komunikasinya dengan mengangkat Museum Negeri Sri Baduga Bandung sebagai studi kasus. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif-analitis dengan pendekatan deduktif. Hasil penelitian berupa uraian konsep dan strategi komunikasi publik bagi kelompok Kritis-Apresiatif, Snobiz-Interaktif dan Partisipatif-Kolektif di Museum Negeri Sri Baduga Bandung dalam upaya merevitalisasi Museum Negeri Sri Baduga Bandung menjadi museum berkelanjutjan di era pascamodern. Kata Kunci : Komunikasi Publik, Museum Berkelanjutan, Museum Paskamodern

ABSTRACT The museum exhibition serves as a medium of communication between the museum and visitors. According to the sustainable museum, the exhibition required to be more recreative and interactive to meet the needs of visitors due to the change of their behavior in the era of information and communication technology development nowdays. This paper contains a study of sustainable museum exhibition in the context of public communication, including the elaboration of the elements of communication, media, processes and meanings in museum communication with The Sri Baduga Public Museum in Bandung as a case study. The research method used is descriptive-analytic method with the deductive approach. The results of the research is a description of the concept and strategies of public communication for the Critical-Appreciative, Snobiz-Interactive and Participatory-Collective public group in The Sri Baduga Public Museum in order to revitalize the museum to become a sustainable museum in postmodern era. Key words : Public Communication, Sustainable Museum, Postmodern Museum

Page 9: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 8   

1. PENDAHULUAN Seiring dengan berjalannya waktu, kedudukan, peranan dan fungsi museum mengalami perubahan dari museum tradisional menjadi museum modern dan museum paskamodern (Magetsari, 2011). Perubahan kedudukan, peranan dan fungsi museum ini juga mempengaruhi proses komunikasi yang terjadi di museum. Proses komunikasi pada museum tradisional yang pada mulanya bersifat satu arah dengan legitimasi penuh berada di pihak museum untuk memilih, memamerkan dan mengkomunikasikan koleksinya kepada publik dan tidak memperhatikan apakah pesan komunikasi dalam pameran tersebut sampai atau tidak kepada pengunjung, pada museum modern berkembang menjadi dua arah dengan melibatkan pengunjung dan komunitasnya untuk turut memilih, memamerkan dan mengkomunikasikan koleksinya. Selanjutnya pada museum paskamodern, desain tata pamer dituntut untuk lebih rekreatif dan interaktif untuk memenuhi kebutuhan pengunjung seiring dengan perubahan perilakunya di era teknologi informasi dan teknologi komunikasi yang berkembang saat ini. Museum berkomunikasi kepada pengunjung melalui pameran. Penerima pesannya adalah pengunjung (publik) dengan latar belakang budaya, sosial dan pendidikan yang berbeda-beda yang dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kelompok publik Kritis-Apresiatif, Snobiz-Interaktif dan Partisipatif-Kolektif. Agar informasi tentang koleksi dapat diterima dengan jelas dan dipahami oleh pengunjung, maka kurator dan seniman/desainer tata pamer museum harus menentukan instalasi pameran yang tepat untuk masing-masing koleksinya sehingga dapat mengakomodir kebutuhan ketiga kategori publik di atas, baik dari sisi informasi, desain dan pemilihan media serta estetika. Instalasi pameran museum berperan sebagai media komunikasi antara koleksi dengan pengunjung museum sebagai penerima pesan. Museum Negeri Sri Baduga Bandung, adalah Museum Negeri Propinsi Jawa Barat yang dibangun di era modern. Berdasarkan hasil observasi lapangan, instalasi pameran di Museum Negeri Sri Baduga merupakan perpaduan instalasi tradisional dan modern namun belum dapat dikatakan telah memenuhi karakteristik instalasi pameran museum paskamodern. Dalam upaya merevitalisasi Museum Negeri Sri Baduga dari museum modern menjadi museum paskamodern, perlu dikaji ulang keberadaan instalasi pameran saat ini sebagai media komunikasi antara museum dengan publiknya dengan perubahan perilaku dan karakteristik publiknya yang terbagi menjadi tiga kelompok tadi. Tulisan ini berisi tentang kajian instalasi pameran museum paskamodern dalam konteks komunikasi publik, meliputi penjabaran unsur-unsur komunikasi, media, proses dan makna-makna komunikasinya di Museum Negeri Sri Baduga Bandung sebagai studi kasus. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif-analitis dengan pendekatan deduktif. Hasil penelitian berupa uraian konsep dan strategi komunikasi publik bagi kelompok Kritis-Apresiatif, Snobiz-Interaktif dan Partisipatif-Kolektif di Museum Negeri Sri Baduga Bandung dalam upaya merevitalisasi museum menjadi museum berkelanjutan di era pascamodern ini.

Page 10: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 9   

2. PEMBAHASAN 2.1. Instalasi Pameran Museum Tradisional, Modern dan Pascamodern

Museum, berdasarkan The 18th General Assembly of International Council of Museums (ICOM) Stavanger, Norway, 7 Juli 1995, didefinisikan sebagai :

‘a non-profit making, permanent institution in the service of society and of its development, and open to the public, which acquires, conserves, reaserches, communicates, and exhibits for the purpose of study, education and enjoyment, material evidence of man, and his environment.’

Menurut definisi di atas, museum adalah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, memperoleh, melestarikan, meneliti, mengkomunikasikan, dan memamerkan artefak-artefak perihal jati diri manusia dan lingkungannya untuk tujuan-tujuan studi, pendidikan dan rekreasi. Museum, menurut Peraturan pemerintah RI No. 66 Tahun 2015 Pasal 1 ayat (1) adalah lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat. Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa museum mengkomunikasikan koleksinya kepada masyarakat melalui pameran. Sistem tata pamer (instalasi pameran) museum ini terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi di berbagai bidang, khususnya di bidang teknologi instalasi, informasi dan komunikasi. Magetsari (2011) membagi museum menjadi tiga kategori yaitu museum tradisional, museum modern dan museum paskamodern yang dapat diuraikan dalam konteks komunikasi berikut ini: a) Instalasi pameran museum tradisional Menurut Magetsari (2011: 1), museum tradisional pertama kali didirikan dengan tujuan untuk kepentingan museum itu sendiri. Pada museum tradisional, koleksi pribadi yang semula dipilih berdasarkan selera pemiliknya setelah menjadi museum kemudian dipamerkan menurut bidang ilmu para kuratornya. Museum tradisional memiliki legitimasi penuh dalam memilih, memamerkan dan mengkomunikasikan koleksi yang dipamerkan tanpa memperhatikan apakah penyajian pameran itu akan dimengerti atau tidak oleh pengunjung atau pesan komunikasi melalui pameran itu sampai atau tidak kepada pengunjung. Instalasi pameran pada museum tradisional lebih berorientasi kepada artefak daripada kepada pengunjung. Kurator dan seniman/desainer pameran memberikan informasi koleksi kepada pengunjung berdasarkan informasi apa yang mereka miliki bukan berdasarkan kepada informasi apa yang pengunjung butuhkan. Proses komunikasi berjalan satu arah sehingga pengunjung harus didampingi oleh pemandu museum jika ingin memperoleh informasi yang lebih lengkap. Media komunikasi yang digunakan umumnya berupa label-label informasi koleksi yang berkaitan dengan benda yang dipamerkan. Contoh instalasi pameran museum tradisional di museum Sri Baduga tampak pada sebagian besar area pamer museum. Di area pamer

Page 11: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 10   

koleksi filologika misalnya, koleksi yang dipamerkan hanya berupa artefak naskah kuno yang dilengkapi dengan label informasi koleksi yang sangat singkat.

Gbr. 1 – Instalasi pameran tradisional di Museum Sri Baduga Bandung (Foto: Koleksi Detty Fitriany, 2016)

Instalasi pameran koleksi filologika terdiri dari sepuluh koleksi naskah kuno beraksara Jawa Kuno dan Cacarakan yang dilengkapi juga dengan sepuluh label koleksi dan satu wall poster berisi ilustrasi umum naskah kuno Jawa Barat. Di area ini, publik tidak memiliki pilihan lain selain menerima pesan singkat yang ditampilkan melalui label koleksi. Dengan demikian, proses komunikasi pada instalasi pameran ini berjalan satu arah.

b) Instalasi pameran museum modern Selanjutnya, Magetsari (2011: 3) menyatakan bahwa museum modern lahir sebagai akibat dari kebutuhan masyarakat sebagai warga negara yang baru merdeka (terutama bekas negara-negara jajahan) yang memerlukan identitas budaya. Museum modern dianggap mampu mengemban misi ini berkat koleksinya yang otentik dan permanen, sehingga dapat diinterpretasikan menjadi narasi budaya maupun sejarah bangsa, yang kemudian disajikan sebagai nilai simbolik identitas tersebut. Berbeda dengan museum tradisional yang hanya membuka koleksinya kepada publik, museum modern memberi makna baru dalam membangun hubungan dengan publiknya. Di Indonesia, munculnya museum modern ditandai dengan dibangunnya museum-museum propinsi sebagai representasi budaya daerah propinsinya masing-masing, termasuk museum Sri Baduga sebagai museum propinsi Jawa Barat.

koleksi 

Label koleksi 

Wall Poster  Ilustrasi koleksi 

Page 12: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 11   

Gbr. 2 – Kedudukan museum Sri Baduga dengan tema instalasi pameran yang kontekstual

dengan penekanan pada pemahaman pesan (Foto : Arbi, 2012: 55)

Instalasi pameran di museum modern tidak hanya cukup menyajikan koleksi sebagai obyek pameran saja melainkan narasi. Narasi ini pun tidak hanya berisi tentang pengetahuan atau informasi saja, melainkan identitas. Namun karena keterbatasan luas ruangan dan teknis, narasi-narasi dan identitas ini tidak dapat dikomunikasikan sepenuhnya dalam instalasi pameran, sehingga pihak museum mengkomunikasikannya melalui cara lain, misalnya pembuatan buku katalog, seminar, workshop, bedah buku/karya, pertunjukan dan kegiatan-kegiatan sejenis lainnya. Namun dalam waktu dekat, museum Sri Baduga akan dilengkapi dengan multimedia digital yang akan dapat mengkomunikasikan lebih banyak narasi-narasi dan identitas budaya Jawa Barat lainnya kepada publik.

Gbr. 3 – Multimedia digital sebagai media baru instalasi pameran museum modern di Museum

Sri Baduga Bandung (Foto: http://m.galamedianews.com, diakses [12/01/16])

Penggunaan multimedia digital di museum Sri Baduga memungkinkan pengunjung untuk memilih informasi sesuai dengan kebutuhannya. Pihak kurator dan seniman/desainer museum juga dapat lebih variatif mengkomunikasikan pesannya sesuai dengan kebutuhan publik pengunjung museum, baik Kritis- Apresiatif, Snobiz-Interaktif maupun kelompok publik Partisipatif-Kolektif. Dalam perkembangannya, beberapa aplikasi yang digunakan dalam multimedia digital ini dapat dibuat interaktif sehingga komunikasi dapat dilakukan dua arah bahkan lenih antara pelaku

Museum Sri Baduga 

Page 13: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 12   

seni di museum dan publiknya. Bagi kelompok publik Snobiz-Interaktif, penggunaan multimedia interaktif ini akan sangat membantu kelancaran penyampaian informasi koleksi karena cukup menghibur dan menyenangkan.

c) Instalasi pameran museum pascamodern Memasuki abad ke-21, museum pascamodern lahir ditengah-tengah kemajuan teknologi komunikasi dan teknologi informasi yang menghilangkan batas ruang dan waktu. Instalasi pameran pada museum pascamodern kini telah dapat diapresiasi kapanpun dan dimanapun tanpa mengharuskan publik datang ke lokasi museum. Kemajuan teknologi telah mampu menghadirkan sarana hiburan dan rekreasi di rumah-rumah yang berdampak pada berubahnya perilaku masyarakat dalam mengisi waktu luangnya. Di era pascamodern, museum bersaing dengan berbagai tempat perbelanjaan dan sarana hiburan lainnya yang mampu menawarkan sarana yang jauh lebih menarik dan nyaman sebagai tempat untuk meluangkan waktu (Magetsari, 2011: 7). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa instalasi pameran museum pascamodern saat ini harus setara dari sisi kualitas rekreasi dan kenyamanannya dengan mall, bioskop atau tempat hiburan lainnya. Museum harus memposisikan dirinya sebagai destinasi yang menarik bagi publik untuk meluangkan waktunya. Di beberapa negara, instalasi pameran museum pascamodern telah berubah menjadi sarana rekreasi walaupun kegiatan utamanya tetap pameran.

Gbr. 4 – Instalasi pameran sebagai media komunikasi dan rekreasi di museum pascamodern

(Foto: http://mahrs.org, diakses [12/01/16])

Tuntutan fungsi baru instalasi pameran museum pascamodern sebagai media komunikasi dan rekreasi harus ditindaklanjuti oleh pelaku seni instalasi pameran di museum agar museum tidak kehilangan perannya di masyarakat. Perlu digarisbawahi bahwa instalasi pameran yang rekreatif tidak harus selalu menggunakan teknologi digital multimedia Instalasi pameran yang rekreatif dapat dibuat sederhana namun unik dan tetap menyenangkan hasil kreativitas kurator dan seniman/desainer museum.

Page 14: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 13   

2.3. Komunikasi Estetik dalam Konteks Komunikasi Publik di Museum Komunikasi dapat didefinisikan sebagai ‘the process of sharing ideas, information, and messages with others in a particular time and place’ (Encarta Encyclopedia). Ada dua pandangan utama dalam komunikasi. Pandangan pertama menganggap ‘communication as the transmission of message’. Pandangan ini mempelajari bagaimana pengirim dan penerima melakukan encode dan dedode, dan bagaimana transmitter menggunakan chanel dan media. Pandangan kedua menganggap ‘communication as the production and exchange of meanings’. Pandangan ini mempelajari bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan masyarakat untuk menghasilkan makna yang memperhatikan peran teks dalam kebudayaan (John Friske, 1994: 2 dalam Aprianingrum, 2008: 8). Lebih lanjut, komunikasi di museum dapat didefinisikan sebagai presentasi koleksi kepada publik melalui pendidikan, pameran, informasi dan pelayanan publik lainnya, termasuk penjangkauan museum oleh masyarakat (Walden, 1921: 27 dalam Hooper-Greenhill, 1996: 28). Komunikasi estetik (komunikasi seni) adalah sebuah peristiwa komunikasi dalam pergelaran seni yang didalamnya terdapat relasi nilai-nilai estetik (keindahan) sebagai pesan yang memiliki makna antara seniman dan publiknya yang menjadi peserta komunikasi. Komunikasi estetik memiliki sifat unik dan khas serta ditentukan oleh pengalaman dan perasaan yang subyektif terkait nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan (Jaeni, 2014:17). Pergelaran seni dapat berupa seni yang dipertunjukan atau seni yang dipamerkan. Seni yang dipamerkan dapat dilakukan di galeri, museum atau ruang pamer lainnya.

Gbr. 5 – Unsur-unsur komunikasi seni di museum

(Foto : Jaeni, 2014: 28) Unsur-unsur dalam komunikasi seni terdiri dari peserta komunikasi (pelaku dan publik), media seni dan pesan (makna & nilai-nilai) (Jaeni, 2014: 28). Unsur-unsur ini selalu ada dalam setiap konteks komunikasi, baik dalam konteks komunikasi intrapersonal, interpersonal,publik, budaya dan transenden. Dalam konteks publik, komunikasi sering dianalogikan dengan komunikasi di depan umum (Devito, 1977: 359 dalam Jaeni, 2012: 208). Menurut West dan Turner (dalam Jaeni, 2012: 208), komunikasi publik biasanya berupa komunikasi dari seseorang ke banyak orang, yang pesannya bersifat persuasif dengan memperhatikan beberapa hal yaitu analisis

Peserta komunikasi ke‐2 : Pengunjung museum 

Peserta komunikasi ke‐1 : Kurator & seniman/desainer museum 

Pameran Museum 

Page 15: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 14   

khalayak, kredibilitas pembicara, dan proses penyampaian pesan yang membujuk. Mulyana (2007: 82) menyatakan bahwa komunikasi publik merupakan komunikasi antara seorang pembicara dengan sejumlah besar orang (khalayak), yang tidak dikenali satu per satu. Menurut Tubbs dan Moss (dalam Mulyana, 2007: 83) ciri-ciri komunikasi publik antara lain adalah: 1) Terjadi di tempat umum (publik); 2) Merupakan peristiwa yang telah direncanakan; 3) Terdapat agenda; dan 4) Beberapa orang ditunjuk untuk menjalankan fungsi-fungsi khusus. Berdasarkan uraian di atas, ciri-ciri komunikasi yang terjadi di museum memenuhi kriteria konteks komunikasi publik. Museum adalah tempat umum (publik) dimana pelaku dan sebagian besar publik seni tidak saling mengenal (kecuali kelompok publik Partisipatif-Kolektif). Walaupun beberapa pengunjung museum datang secara perorangan dan menginterpretasi pameran dalam konteks komunikasi interpersonal, namun pada dasarnya museum berkomunikasi, memberi informasi dan pelayanan bagi masyarakat luas (publik) dengan berbagai latar belakang yang berbeda-beda. Pameran di museum merupakan peristiwa yang telah direncanakan dan diagendakan, sama dengan seni pertunjukan, ada jadwal yang jelas kapan dan dimana pameran itu berlangsung. Di Museum Sri Baduga, pameran dibuka pada hari Selasa-Jumat (pkl. 08.00-15.30) dan hari Sabtu-Minggu (pkl. 08.00-14.00). Hari Senin dan libur nasional museum ditutup untuk publik walaupun kegiatan kantor museum tetap dibuka pada hari Senin. Artinya, komunikasi antara musem dan publiknya memang sudah direncanakan dan diagendakan. Dalam pelaksanaan kegiatan pamerannya, di museum juga terdapat pembagian tugas yang menjalankan fungsi-fungsi khusus, misalnya kurator yang memilih dan meneliti koleksi, seniman/desainer pameran yang membuat instalasi pameran, pemandu (guide) yang membantu menjelaskan informasi koleksi kepada pengunjung dan fungsi-fungsi lainnya yang turut mendukung jalannya pameran. Dilihat dari jenis koleksinya, museum Sri Baduga termasuk museum umum negeri propinsi yang didalamnya berisi tentang koleksi hasil budaya masyarakat di Jawa Barat dan perkembanganya. Sebagai museum etnografi, pesan-pesan komunikasi yang disampaikan lebih banyak berupa pesan kontekstual daripada estetik. Namun demikian, adanya tiga kategori dalam publik seni memungkinkan koleksi-koleksi tersebut diinterpretasi dan diapresiasi oleh pengunjungnya dari berbagai macam sudut pandang, baik dari sisi estetik maupun kontekstual. a) Peserta komunikasi dalam konteks komunikasi publik di museum Peserta komunikasi yang pertama adalah pelaku seni. Pelaku seni di museum adalah kurator dan seniman/desainer pameran. Kurator dan seniman/desainer pameran bekerjasama membuat instalasi pameran sesuai dengan naskah kuratorial dan koleksi serta konsep dan tema lainnya yang telah ditentukan.

Page 16: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 15   

Gbr. 6 – Tahap pembuatan instalasi pameran oleh kurator dan seniman/desainer

pameran sebagai pelaku seni (Foto : Arbi, 2012: 55)

Kurator dan seniman/desainer museum memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan instalasi pameran yang sesuai dengan masing-masing koleksi yang akan dipamerkan. Sejak awal pihak museum harus sudah menentukan pesan yang sebenarnya ingin disampaikan kepada pengunjung dan menyesuaikan media komunikasinya dengan kriteria pengunjung sebagai publik seni kritis-apresiatif, snobiz-interaktif dan partisipatif-kolektif. Sebagai pelaku seni dalam konteks komunikasi publik, kurator dan seniman/desainer pameran di museum Sri Baduga adalah representatif dari masyarakat Jawa Barat yang mengkomunikasikan budayanya melalui pameran.

Gbr. 7 – Bagan komunikasi publik di museum Sri Baduga

Peserta komunikasi seni di museum yang kedua terdiri dari publik seni yang pada saat pameran itu berlangsung, mereka terlibat didalamnya, baik sebagai pembuat, pengamat, kritikus dan golongan penggembira. Jaeni (2014: 29) menjelaskan bahwa publik seni bergeser dari kriteria pandangan Saini KM (awam-apresiatif-kritis) menjadi publik seni kritis-apresiatif, snobiz-interaktif dan partisipatif-kolektif yang lebih terbuka. Di museum, makna pameran berbeda-beda menurut klasifikasi publik/pengunjungnya sebagaimana yang dapat dilihat pada bagan dibawah ini.

Instalasi pameran Budaya  

Jawa Barat 

Kritis‐Apresiatif  Snobiz‐Interaktif 

Partisipatif‐Kolektif  

Kurator, Seniman/Desainer 

Pameran Pelaku Seni  Publik Seni Media Komunikasi 

Page 17: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 16   

Gbr. 8 – Makna pameran museum menurut klasifikasi publiknya

Kelompok publik Kritis-Apresiatif di museum adalah kelompok yang sangat peduli akan informasi yang disampaikan oleh pihak museum namun tidak sampai masuk dan terlibat dalam penyusunan materi pameran dan pembuatan sistem tata pamernya. Kelompok ini hanya menginterpretasi, menerima pesan dari pameran museum dan memaknainya. Komunikasi antara publik Kritis-Apresiatif dengan pelaku seni dan karyanya sebagian besar terjadi di ruang pamer, dimana sistem tata pamer telah selesai dan siap menginformasikan koleksi.

Gbr. 9 – Komunikasi publik Kritis-Apresiatif dengan pemandu museum Sri Baduga

(Foto : www.romulobutar.blogspot.co.id, diakses 12/01/2016) Dalam beberapa kasus, publik seni Kritis-Apresiatif berkomunikasi secara tidak langsung melalui media pameran, tidak didampingi dan berkomunikasi langsung dengan kurator dan seniman/desainer museum. Contoh kelompok publik Kritis-Apresiatif di museum Sri Baduga adalah pelajar, akademisi, ahli sejarah, budayawan, seniman, dsb dengan pemandu museum sebagai perwakilan pelaku seni.

Pemandu museum sebagai pelaku seni

Rombongan murid SD sebagai publik Kritis‐Apresiatif 

Page 18: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 17   

Kelompok publik Snobiz-Interaktif di museum adalah kelompok yang mengunjungi museum dengan tujuan untuk mencari kesenangan dan rekreasi. Bagi kelompok ini, informasi pameran bukan menjadi hal yang utama yang ingin mereka peroleh. Bagi kelompok publik Snobiz-Interaktif, pameran bermakna sebagai sarana aktualisasi diri dan hiburan. Dengan demikian, komunikasi antara publik Snobiz-Interaktif dengan pelaku seni dan karyanya dapat dikatakan sedikit sekali terjadi atau bahkan tidak terjadi sama sekali apabila kurator dan seniman/desainer museum tidak dapat menciptakan sistem tata pamer yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan kelompok publik Snobiz-Interaktif. Contoh kelompok publik Snobiz-Interaktif di museum Sri Baduga adalah pengunjung yang iseng atau sekedar meluangkan waktu untuk “bermain” di museum atau kelompok yang seolah-olah mencari informasi (bisa karena tugas sekolah) namun sebetulnya lebih dominan kegiatan rekreasinya.

Gbr. 10 – Kelompok publik Snobiz-Interaktif di area pamer museum Sri Baduga

(Foto : http://angelwhie.blogspot.co.id dan http://travel.detik.com, diakses 12/01/2016) Kelompok publik Partisipatif-Kolektif di museum adalah kelompok yang berada di sekitar lingkungan museum, bisa individu atau komunitas. Bagi kelompok publik Partisipatif-Kolektif, pameran bermakna sebagai sarana kekeluargaan, solidaritas, leisure time dan hiburan. Dalam beberapa kasus, kelompok ini turut diperbantukan dalam penyusunan materi pameran dan pembuatan sistem tata pamernya. Komunikasi antara publik Partisipatif-Kolektif dengan pelaku seni dan karyanya dapat terjadi sebelum, selama dan sesudah pameran, dimana sistem tata pamer masih didesain dan belum dibuka untuk publik lainnya. Publik seni Partisipatif-Kolektif berkomunikasi secara langsung dengan kurator dan seniman/desainer museum.

Page 19: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 18   

Gbr. 11 – Kelompok publik Partisipatif-Kolektif pada workshop mainan anak tradisional di

museum Sri Baduga (Foto: http://romulobutar.blogspot.co.id, diakses 12/01/2016) Contoh kelompok Partisipatif-Kolektif di museum Sri Baduga adalah komunitas-komunitas pemerhati budaya Sunda, masyarakat yang memiliki koleksi atau memiliki ikatan keluarga tertentu dengan koleksi (misalnya keluarga penyanyi Sunda Upit Sarimanah yang biografi dan peninggalannya dipamerkan di museum Sri Baduga), atau kelompok lain yang turut mendukung program pameran di museum misalnya komunitas Hong yang mendalami permainan anak tradisional Jawa Barat. b) Media komunikasi dalam konteks komunikasi publik di museum Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, instalasi pameran di museum pascamodern adalah media komunikasi antara museum dengan publiknya. Instalasi pameran museum pascamodern selain harus komunikatif juga harus rekreatif dan interaktif agar dapat memenuhi kebutuhan publiknya, baik kelompok kritis-apresiatif, snobiz-interaktif dan partisipatif-kolektif. Berdasarkan hasil pengamatan, dilihat dari usia pengunjung, publik seni kritis-apresiatif dan partisipatif-kolektif rata-rata berusia remaja s.d. dewasa dan publik seni snobiz-interaktif rata-rata berusia anak-anak s.d. remaja. Usia dan kategori publik seni di museum sangat berkaitan dengan kadar dan kedalaman pesan yang dapat diterimanya melalui instalasi pameran. Usia dan kategori ini juga sangat berkaitan dengan pemilihan bentuk, warna dan media pada instalasi pameran. Sebagai contoh, pesan atau informasi koleksi museum yang disampaikan bagi kelompok snobiz-interaktif harus singkat dan jelas, tidak berbentuk narasi panjang dengan desain bentuk dan warna yang menarik dan rekreatif. Penggunaan extended label pada koleksi adalah solusi media komunikasi yang tepat untuk kelompok ini. Extended label adalah label koleksi singkat yang terpisah dari poster informasi utama, berisi kata-kata kunci yang mudah diingat dan dimengerti oleh pengunjung. Extended label biasanya berukuran kecil dan pada beberapa desain dapat dibuat berlapis (berlayer) dan digerakkan (interaktif) untuk menarik perhatian pengunjung museum.

Page 20: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 19   

Gbr. 12 – Extended label sebagai media komunikasi bagi kelompok publik Snobiz-Interaktif di

museum (Foto: koleksi tim materi Museum Islam Nusantara, 2015)

Instalasi pameran sebagai media komunikasi bagi publik museum kelompok Kritis-Apresiatif dan Partisipatif-Kolektif menuntut narasi-narasi penjelasan koleksi yang jelas dan sistematis. Di museum pascamodern, narasi-narasi singkat biasanya ditulis pada media cetak berupa poster dengan ukuran yang disesuaikan dengan koleksi dan kenyamanan pandangan mata pengunjung, sedangkan narasi-narasi yang lebih panjang dimasukkan kedalam multimedia digital yang dapat diakses oleh pengunjung sesuai dengan informasi yang dibutuhkannya.

Gbr. 13 – Poster dan multimedia digital sebagai media komunikasi bagi kelompok publik Kritis-

Apresiatif dan Partisipatif-Kolektif di museum (Foto: Koleksi Museum Geopark Batur, 2014)

Selain harus komunikatif dan informatif, instalasi pameran museum pascamodern juga harus rekreatif bagi pengunjungnya. Rekreatif tidak harus selalu menggunakan teknologi multimedia interaktif. Rekreatif, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah permainan atau hiburan yang menyenangkan hati, menggembirakan, serta menyegarkan kembali pikiran. Sedangkan kata rekreatif adalah kata sifat dari kata rekreasi itu sendiri, yaitu kegiatan yang bersifat menggambarkan kesenangan dan kegembiraan. Komunikasi yang rekreatif adalah komunikasi yang menyenangkan dan menggembirakan. Beberapa kejutan (surprise) dapat disisipkan pada instalasi pameran museum sebagai stimulus untuk memperoleh perasaaan senang dan gembira, misalnya dengan menyisipkan game/puzzle pada instalasi pameran atau menyediakan souvenir kecil tentang suatu koleksi yang dapat dibawa pulang.

Poster untuk narasi singkat 

Multimedia untuk Narasi yang lebih lengkap 

Poster untuk narasi singkat 

Page 21: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 20   

Selain itu, instalasi pameran di museum pascamodern juga harus interaktif. Pada dasarnya, manusia dapat berkomunikasi dengan melibatkan seluruh indera-inderanya. Pada instalasi pameran museum tradisional dan modern, biasanya hanya indera penglihatan dan pendengaran saja yang dianggap dapat menerima pesan dari koleksi yang dipamerkan. Padahal, indera penciuman, perasa dan peraba juga dapat menerima pesan-pesan. Inilah yang menguatkan teori bahwa instalasi pameran yang interaktif tidak selamanya harus menggunakan teknologi multimedia interaktif. Beberapa museum di luar negeri bahkan mulai membuka pagar pembatas antara koleksi museum dengan publiknya, tentunya dengan tetap memperhatikan keamanan koleksi dari pencurian dan vandalisme.

(a) Display alat pikul tradisional (b) Interaksi pengunjung dengan koleksi

(Foto: koleksi Detty Fitriany, 2014) (Foto: http://www.jlintransit.com, 2015)

Gambar 14 – Pengunjung dapat berinteraksi dengan koleksi di Vietnamese Women’s Museum, Vietnam

c) Proses komunikasi dalam konteks komunikasi publik di museum Proses komunikasi di museum terjadi di area pamer dengan instalasi pameran sebagai media komunikasinya. Pada instalasi pameran museum pasca modern, komunikasi dapat berpeluang terjadi dua arah antara pelaku museum dengan publiknya. Instalasi pameran sebagai media komunikasi dengan teknologi multimedia digital dapat dikondisikan untuk dibuka sehingga dapat menerima respon dan umpan balik dari publik museum atau ditutup sehingga pengunjung tidak dapat berkomunikasi dengan pelaku museum (dalam hal ini kurator dan seniman/desainer pameran).

Page 22: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 21   

Gbr. 15 – Proses komunikasi museum dengan media komunikasi

(instalasi pameran) terbuka

Instalasi pameran dengan media komunikasi terbuka memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah sehingga pihak museum juga dapat memperoleh informasi dari pengunjung untuk mengetahui apakah pesan sudah dapat diterima dengan baik dan apakah instalasi pameran perlu diubah atau diperbaharui atau tidak sampai kondisi ideal dapat tercapai. Media komunikasi terbuka ini dapat dikondisikan dengan membuat aplikasi (pada perangkat multimedia digital) yang mengundang publik museum untuk menyampaikan pesan-pesan atau hasil interpretasinya terhadap koleksi yang dipamerkan. d) Makna komunikasi dalam konteks komunikasi publik di museum Menurut Jaeni (2014: 54), komunikasi estetik identik dengan kesenangan. Kesenangan ini merupakan bagian dari proses komunikasi estetik yang terkait dengan perasaan dan individu. Di museum pascamodern, kesenangan juga menjadi hal yang diberikan kepada pengunjungnya. Instalasi pameran sebagai media komunikasi yang rekreatif dan memberi kesenangan secara estetik kepada publiknya dapat ditelusuri maknanya melalui konteks komunikasinya. Makna komunikasi di museum akan diinterpretasikan berbeda-beda oleh publiknya. Bagi kelompok publik Kritis-Apresiatif, pameran akan bermakna sebagai penyampai nilai-nilai sejarah, pendidikan (sumber pengetahuan), cermin kehidupan masyarakat dan hiburan. Bagi kelompok publik Snobiz-Interaktif, pameran akan bermakna sebagai sarana aktualisasi diri serta hiburan, dan bagi kelompok Partisipatif-Kolektif, pameran akan bermakna sebagai sarana kekeluargaan, solidaritas, leisure time dan hiburan. Perasaan dan pengalaman estetik publik seni berbeda-beda satu sama lain. Hal ini akan membuat perbedaan cara memaknai instalasi pameran di museum. Pada akhirnya, publik seni akan melihat tampilan instalasi pameran itu bukan sebagai instalasi pameran, melainkan suatu hal lain yang dapat dimaknai dan dinilai menurut perasaan dan pengalamannya itu. Instalasi pameran yang sebelumnya berperan sebagai media penyampai informasi lebih jauh lagi dapat berperan sebagai media penyampai nilai-nilai.

Makna 

Nilai‐nilai 

Page 23: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 22   

Menurut Yunus Arbi, dkk. (2012:100), yang menjadi tolok ukur keberhasilan dari komunikasi di museum yang tepat adalah sejauh mana efek yang ditimbulkan dari informasi yang disajikan melalui tata pameran di museum, baik dalam tatanan kognitif, afektif, maupun konatif (psikomotorik). Pada tatanan kognitif, pengunjung yang semula tidak memiliki pengetahuan tentang koleksi yang dipamerkan dibuat agar memiliki pengetahuan tersebut. Tatanan ini adalah tahap sampainya pesan dari pelaku museum kepada publiknya. Selanjutnya pada tatanan afektif, setelah mendapatkan informasi tentang museum, melalui instalasi pameran itu diharapkan timbul pengalaman emosi dalam diri mereka. Pada tatanan ini publik mulai dapat memaknai nilai-nilai yang terkandung dibali pesan yang disampaikan oleh koleksi. Terakhir adalah tatanan psikomotorik, dimana pada tatanan ini diharapkan terjadi perubahan sikap maupun tindakan publik museum dalam memandang warisan budaya sebagaimana yang mereka saksikan pada instalasi pameran tersebut. Apabila tatanan-tananan ini tidak tercapai, maka komunikasi antara pelaku museum dengan publiknya melalui media instalasi pameran dikatakan “gagal”. Artinya, informasi yang disajikan pada pameran museum tidak dapat memberikan efek atau dampak apapun kepada pengunjung. Lebih lanjut Yunus Arbi, dkk. menjelaskan bahwa kriteria keberhasilan pameran bagi pengunjung dapat dinilai dari aspek-aspek sebagai berikut : a) Comfort, pengunjung merasa nyaman, baik secara fisik maupun psikis, terutama

kemudahan dalam aksesibilitas b) Competence, pengunjung secara intelektual merasa kompeten, menyangkut alur,

tingkat pengertian, kosa kata dalam label, kandungan visual dan lainnya yang terintegrasi dalam membentuk pengalaman diri mereka.

c) Engagement, pengunjung merasa ada ikatan dengan isi pameran; d) Meaningfulness, ada pemaknaan secara pribadi bagi pengunjung; e) Satisfaction, pengunjung mendapatkan pengalaman yang memuaskan. Dalam kaitannya dengan komunikasi estetik, aspek comfort dan competence berada dalam tatanan kognitif, dimana publik seni berada dalam tahap menerima pesan pameran. Aspek engagement dan meaningfulness berada dalam tatanan afektif, dimana publik seni berada dalam tahap memaknai nilai-nilai dibalik pesan pameran. Terakhir, aspek satisfaction berada dalam tatanan konatif (psikomotorik), dimana publik seni berada dalam tahap merubah sikap dan tindakan akibat pesan pameran.

3. PENUTUP Seni instalasi pameran di museum berperan sebagai media komunikasi antara pelaku seni di museum (kurator dan seniman/desainer museum) dengan pengunjung museum. Instalasi pameran museum tidak hanya dapat menyampaikan pesan-pesan tetapi juga dapat memberikan perasaan dan pengalaman estetik bagi publiknya. Perasaan dan pengalaman estetik ini berbeda-beda antara kelompok kritis-apresiatif, snobiz-interaktif dan partisipatif-kolektif, sehingga akan membuat perbedaan pula dalam mencari dan memaknai nilai-nilai dari pesan pameran tersebut.

Page 24: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 23   

Di sisi lain, perkembangan ilmu dan teknologi permuseuman (khususnya teknologi komunikasi dan informasi membawa paradigma baru pada konteks komunikasi di museum dari museum tradisional menjadi museum modern dan pascamodern. Instalasi pameran museum pascamodern memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah sehingga pihak museum juga dapat memperoleh informasi dan umpan balik dari pengunjung untuk mengetahui apakah pesan sudah dapat diterima dengan baik atau apakah instalasi pameran perlu diperbaharui atau tidak. Tuntutan fungsi baru instalasi pameran museum pascamodern sebagai media komunikasi yang harus rekreatif dan interaktif harus ditindaklanjuti oleh pelaku seni instalasi pameran di museum agar museum tidak kehilangan perannya di masyarakat. Perlu digarisbawahi bahwa instalasi pameran yang rekreatif dan interaktif tidak harus selalu menggunakan teknologi multimedia digital. Instalasi pameran museum pascamodern dapat dibuat sederhana namun tetap menyenangkan karena pada dasarnya manusia dapat berkomunikasi dengan melibatkan seluruh indera-inderanya. Pada instalasi pameran museum pascamodern, selain indera penglihatan dan pendengaran, indera penciuman, perasa dan peraba juga dapat difungsikan untuk menerima pesan-pesan.

DAFTAR PUSTAKA [1] Aprianingrum, Archangela Yudi

2008 “Interpretasi dan Komunikasi di Museum. Studi Kasus: Museum Indonesia”. Proposal Seminar Pra Tesis, Program Magister Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

[2] Arbi, Yunus., dkk. 2012 Konsep Penyajian Museum. Jakarta: Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata

[3] Hooper-Greenhill, Eilean. 1995 Museum, Media, Message. London dan New York: Routledge

[4] Magetsari, Noerhadi 2011 “Museum di Era Pascamodern”. Seminar Towards Indonesian Postmodern Museums, Departemen Arkeologi Universitas Indonesia.

[5] Mulyana, Deddy 2007 Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya

[6] Wastap, Jaeni B. 2007 Komunikasi Seni Pertunjukan. Bandung: Etnoteater Publisher. 2012 Komunikasi Estetik. Bogor: IPB Press 2014 Komunikasi Seni. Bandung: Pascasarjana STSI Bandung

Page 25: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 24

Pendekatan Metafora pada Perancangan Perhiasan Berbahan Perak Mengacu pada Pencitraan Wanita Karir

Dedy Ismail, Sherin Andariyana, Fasya Suryadini Lazuardi dan Fitriyani Arifin Jurusan Desain Produk, Fakultas Seni Rupa dan Desain

Institut Teknologi Nasional Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124

[email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak Perhiasan sangat digemari sebagian wanita sebagai pelengkap penampilan untuk meningkatkan kepercayaan diri dalam sebuah pencitraan. Pencitraan dalam penampilan wanita mengandung makna dan simbol, melalui produk perhiasan, baik yang terlihat maupun yang kasat mata. Perak merupakan salah satu material logam, dipakai dalam pembuatan perhiasan, yang mempunyai ‘nilai’ tersendiri dan diminati oleh wanita. Perhiasan tersebut mampu mengisi dan melengkapi dalam diri wanita, karena sebagai cerminan keindahan dan kecantikan dalam berpenampilan. Terlepas dari nilai atau harga yang muncul dalam perhiasan tersebut, seperti perak atau pun material logam lainnya, mempunyai kesan tertentu. Penampilan sederhana dalam berpakaian, dengan meletakkan perhiasan pada tubuhnya, maka mata akan tertuju pada kemilaunya perhiasan, tanpa menyadari penilaiannya terhadap busana yang dipakai. Untuk tujuan tersebut pendekatan metafora dalam perancangan perhiasan berbahan perak ini, akan diterapkan pada pencitraan seorang wanita karir yang berdampak pada hasil produk yang akan diciptakan. Hasil dari identifikasi wanita karir, menunjukan karakteristik wanita yang dinamis, yang muncul dari perilaku kesehariannya. Peran perhiasan perak dalam penampilan wanita, mempunyai keunikan tersendiri, tidak seperti perhiasan berbahan logam lain dan dilengkapi dengan perpaduan dengan material lain sebagai pelengkap. Bentuk dan pencitraannya, perhiasan berbahan perak cenderung mempunyai karakter yang khas, yang muncul dari salah satu inspirasi karakter wanita karir. Keywords: perhiasan perak, metafora, wanita karir. 1. Pendahuluan Kerajinan perak sangat berkembang pesat di Kotagede Yogyakarta. Munculnya kerajinan perak di kota tersebut, bersamaan dengan berdirinya Kotagede sebagai ibu kota Mataram Islam pada abad ke-16. Pergerakan kerajinan ini ditandai dengan karakteristik desain dengan teknik yang mengandalkan ketelitian. Desain yang dihasilkan lebih inovatif dengan mengkombinasikan berbagai macam bahan material selain perak seperti kulit penyu, kulit kerang, gemstone, dan mutiara. Perhiasan perak Kotagede Yogyakarta merupakan perhiasan dengan teknik pengolahannya memiliki latar belakang warisan budaya Indonesia yang bernilai tinggi dan mampu mengembangkan keahlian sesuai tuntutan zaman. Sejak dahulu sampai sekarang, perhiasan digunakan dalam setiap aktivitasnya. Perhiasan merupakan salah satu pelengkap dari penampilan seseorang, khususnya wanita. Salah satu contohnya yang menggunakan perhiasan di segala aktivitasanya adalah wanita karir. Bagi wanita karir, bukan hanya busana yang dapat menunjang penampilan, namun aksesoris yang digunakan juga dapat menunjang penampilan serta menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi dalam melakukan segala aktivitasnya. Peneliti serta tim, melakukan penelusuran terhadap karakter wanita karir, sebagai inspirasi dalam perancangan perhiasan perak, sehingga hasil yang diciptakan mempunyai peran penting dalam kegiatannya, dengan menelusuri salah satu pengguna (trend setter) yang dijadikan target dengan berbagai aktivitas sehari-hari maupun peristiwa penting, untuk memperkuat karakter.

Page 26: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 25

2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah design by research. Peneliti dan tim melakukan riset data dalam menentukan target pengguna sebelum melakukan analisa data untuk mendapatkan hasil yang objektif. Peneliti mencoba mengkomparasikan antara data dari hasil kuisioner dengan observasi pengguna, serta karakteristik material untuk diaplikasikan terhadap perancangan perhiasan wanita karir dengan menggunakan pendekatan metafora untuk menciptakan citra elegan dalam perancangan perhiasan perak yang dapat digunakan oleh wanita karir untuk aktivitas sehari-hari dan peritiwa khusus. 3. Target User dan Perupaan Wanita adalah sosok yang sangat lembut dan memiliki pandangan yang sangat jauh ke depan. Wanita juga merupakan sosok yang sangat ‘visual’ dalam mengekspresikan diri, sehingga tak heran jika mereka sangat fokus terhadap penampilan, bahkan untuk hal sekecil apapun. Seiring dengan emansipasi, wanita kini sudah berani maju dan menyetarakan hak-hak mereka, termasuk dalam dunia kerja. Kebanyakan wanita memutuskan untuk menjadi wanita karir dikarenakan berbagai alasan, mulai dari alasan ekonomi, pengembangan diri, ataupun dikarenakan wanita karir memang sudah menjadi sebuah trend tersendiri dikalangan wanita. Wanita merupakan makhluk yang tercipta sebagai pribadi yang cantik. Kecantikan yang dimiliki oleh wanita itu tersendiri akan nampak dengan sikap serta penampilan yang tepat. Salah satu cara untuk menunjukkan sisi kecantikan mereka adalah dengan menggunakan pakaian dan aksesoris yang tepat, termasuk dilingkungan kerja. Dengan demikian, pemilihan baju kerja atau acara-acara tertentu merupakan hal yang sangat krusial dan aksesoris yang digunakan juga harus menyeimbangkan outfit yang digunakan saat bekerja.

Gambar 1. Analisis Wanita Karir dikorelasikan dengan Aktivitas dan Perhiasan (kuisioner).

Sumber: Seminar Projek Akhir 2016, Fasya Suryadini L., Sherin Andariyana, Fitriyani Arifin, Dedy Ismail.

Penampilan merupakan salah satu bagian penting dari pembentukan citra profesional. Penampilan bertugas untuk menciptakan kesan pertama siapa diri anda yang akan mempengaruhi proses komunikasi selanjutnya. Sehingga dalam berpenampilan perlu dipahami guna memilih dan memadu busana yang akan dikenakan secara serasi dan seimbang. Wanita karir adalah wanita yang memiliki pekerjaan dan mandiri finansial baik kerja pada orang lain atau usaha sendiri. Disetiap aktivitas yang dilakukan oleh wanita karir merupakan kegiatan yang terjadwal dengan baik, baik kegiatan sehari-hari maupun peristiwa khusus (event). Dari hasil analisis wanita karir yang memiliki usaha sendiri, terdapat beberapa aktivitas yang dilakukan oleh wanita karir di kantor maupun diluar kantor, yang berdampak pada penampilan pada waktu-waktu tertentu.

Page 27: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 26

Gambar 2. Analisis Aktivitas Wanita Karir dengan persepsi penampilan dalam setiap kegiatannya (wawancara).

Sumber: Seminar Projek Akhir 2016, Fasya Suryadini L., Sherin Andariyana, Fitriyani Arifin, Dedy Ismail.

Perhiasan yang digunakan merupakan bagian dari fashion, perhiasan dapat meningkatkan derajat pengguna serta dapat meningkatkan kepercayaan diri saat berkomukasi kepada klien dan berkomunikasi saat menjadi pembicara, dan juga perhiasan yang digunakan dapat memperlihatkan identitas pengguna.

Gambar 3. Proses pendekatan Metafora dalam proses desain.

Sumber: Seminar Projek Akhir 2016, Fasya Suryadini L., Sherin Andariyana, Fitriyani Arifin, Dedy Ismail.

Wanita karir yang dipilih adalah wanita yang memiliki karakteristik yang terlihat kuat, maka untuk memperlihatkan sisi kewanitaannya, dengan memunculkan citra elegan. Elegan yang dimaksud oleh wanita karir tersebut adalah bagaimana cara untuk berperilaku (manner) dalam kesehariaannya, yang terbentuk dari hasrat diri yang diterjemahkan dengan proses perupaan, dengan pendekatan metafora dengan meminjam makna yang muncul dari karakter wanita karir, diaplikasikan lewat produk

Page 28: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 27

perhiasan berbahan perak. Makna yang muncul dari karakter wanita karir mempunyai arti, yang tercermin dalam interaksinya dengan manusia lain, untuk menciptakan keselarasan dan keseimbangan antara jiwa, pikiran, dan tubuh. Maka salah satu dari studi visualisasi yang diangkat dalam proses perupaan adalah mengambil dari kegiatan relaksasi (yoga). Pendekatan metafora dalam proses perupaan, dengan menganalisis hasil visual untuk diterjemahkan melalui analogi desain. Pemikiran dalam proses metafora, menganalogikan dari kata kunci yang ditetapkan, lalu diproses menggunakan pendekatan visual (study board, scale, chart). Hasil proses dan evaluasi perupaan tersebut, digunakan untuk tahap perancangan produk perhiasan dengan beberapa alternatif dan proses pemilihannya. 4. Kesimpulan Pendekatan visual melalui metafora merupakan salah satu proses desain yang sering dipakai dalam perancangan produk, seperti perhiasaan dan aksesoris. Metafora bisa memunculkan makna yang berbeda dari setiap persepsi yang muncul dalam proses perupaan. Proses studi visual bisa menjadi jembatan untuk mengkompromikan persepsi dengan melihat konfensi atau kesepakatan yang muncul dari peminjaman makna dari objek tertentu, sebagai acuan dengan penganalogian melalui objek yang lain. Hasil akhir visualisasi tersebut, merupakan modal dalam perancangan produk perhiasan berbahan perak, untuk memenuhi hasrat pengguna dengan mengambil karakter wanita karir yang diaplikasikan produk fungsional. Daftar Pustaka [1] Andariyana, Sherin. 2016. Perancangan Perhiasan Berbahan Perak Bercitra Elegan untuk Wanita Karir pada Aktivitas Event Menggunakan Pendekatan Metafora dengan Inspirasi Flamingo, Prosiding Seminar Projek Akhir, Institut Teknologi Nasional, Bandung. [2] Lazuardi, Fasya S. 2016. Perancangan Perhiasan Berbahan Perak Bercitra Elegan untuk Wanita Karir pada Aktivitas Event Menggunakan Pendekatan Metafora dengan Inspirasi Pohon, Prosiding Seminar Projek Akhir, Institut Teknologi Nasional, Bandung. [3] Arifin, Fitriyani. 2016. Perancangan Perhiasan Berbahan Perak Bercitra Elegan untuk Wanita Karir pada Aktivitas Event Menggunakan Pendekatan Metafora dengan Inspirasi Burung Bangau, Prosiding Seminar Projek Akhir, Institut Teknologi Nasional, Bandung. [4] Masri, Andry. 2010. Strategi Visual, Bermain dengan Formalistik dan Semiotik untuk

Menghasilkan Kualitas Visual dalam Desain. Jogjakarta, Jalasutra. [5] Olver, Elizabeth. 2004. The Art of Jewelry Design, From Idea to Reality. London, Page One.

Page 29: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 28  

 

Eksplorasi Sampah Botol Plastik Menjadi Produk Elemen Interior Ruangan denganPendekatan Konsep 3R (Reduce – Reuse – Recycle)

Iyus Kusnaedi Jurusan Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain

Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124

[email protected]

Abstrak Permasalahan sampah sampai saat ini masih merupakan masalah utama terutama di perkotaan. Kota besar merupakan penyumbang jumlah sampah yang sangat besar, di samping tingkat konsumsi juga pesatnya pertumbuhan manusia. Selain sampah organik sampah non organic berupa sampah plastik ternyata masih sangat sulit untuk dihancurkan dan membutuhkan waktu untuk bisa mengurainya. Seiring dengan banyaknya sampah, kebutuhan material yang dipakai untuk elemen pembentuk ruang di interior makin lama makin sedikit ketersediaannya, khususnya material hayati. Salah satu solusi untuk mengurangi banyaknya sampah yang dibuang unsur kreatifitas sangatlah diperlukan. Dengan pendekatan konsep 3R (Reduce-Reuse-Recycle) sampah yang ada akan dijadikan produk baru yang berfungsi baru. Material elemen interior yang bersifat hayati lama-lama akan habis dan dibutuhkan material baru sebagai penggantinya. Eksplorasi sampah plastik khususnya sampah botol plastik mampu menjawab tantangan untuk melahirkan material pengganti yang selama ini dipakai di interior yang lebih variatif, mudah didapat dan tentunya memiliki nilai ekonomis. Melalui ekplorasi dengan pendekatan konsep 3R (Reduce-Reuse-Recycle) diharapkan bisa menjadi sebuah industry kreatif yang dapat memberdayakan masyarakat khususnya pengolahan sampah botol plastik menjadi armatur lampu. Dengan eksplorasi bahan dan sentuhan kreatifitas, sampah botol minuman plastik ternyata dapat dieksplor menjadi produk baru yang bermanfaat. Kata Kunci : botol plastik, interior, 3R (Reduce-Reuse-Recycle), armatur lampu 1. Pendahuluan Masalah sampah merupakan masalah yang hampir setiap hari kita temukan dan sampai saat ini masih merupakan permasalahan yang belum bisa diselesaikan dengan baik, khususnya di berbagai daerah di Indonesia. Jumlah sampah terus meningkat di setiap tahunnya. Kesadaran pemerintah dan masyarakat akan sampah harus digali agar terlepas dari permasalahan sampah. Menumpuknya sampah dan kurangnya kesadaran masyarakat dalam mengelolanya menyebabkan kian tahun amapah kian bertambah dan terbuang percuma bahkan sampai mencemari lingkungan. Indonesia merupakan negara dengan urutan ke-2 setelah China dalam daftar 20 negara yang paling banyak membuang sampah plastik di laut. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena Indonesia merupakan negara maritim dan lautnya dipenuhi dengan sampah. Banyak upaya yang dilakukan dari membakar, menghancurkan, mengubur dan juga mendaur ulang sampah sehingga dapat dimanfaatkan kembali. Namun upaya tersebut masih belum bisa menyelesaikan permasalahan penanggulangan sampah. Upaya pemerintah mulai dari perarturan pemerintah sampai Peraturan daerah gencar dilakukan, bahkan terakhir mengupayakan penggunaan plastik berbayar ketika masyarakat membeli barang di retail modern sebagai kantong pembawa barang-barangnya. Di dunia interior, bahan material yang dipakai selain menggunakan bahan material non hayati juga masih mengandalkan bahan material hayati. Namun disadari bahan material hayati tersebut lambat laun akan sangat langka dan mungkin habis. Untuk itu upaya mencari terus bahan material yang berbahan baku murah, mudah didapat dan juga tanpa merusak lingkungan gencar dilakukan. Menurut Sofiana (2010) limbah plastik masih memiliki potensi yang sangat besar. Banyak produk yang telah

Page 30: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 29  

 

dimanfaatkan dari limbah plastik tersebut seperti tas tas dan perlatatan rumah tangga. Tapi belum banyak yang memanfaatkannya sebagai material atau bahan baku yang dapat digunakan didalam mendesain suatu produk, khususnya produk interior, sedangkan karakteristik dari material limbah plastik sangat sesuai digunakan pada produk interior yang membutuhkan kekuatan, fleksibilitas/kelenturan dan berkesan modern. Salah satunya konsep 3R (Reduce-Reuse-Recycle) merupakan upaya untuk mengurangi tingkat bertambahnya terus sampah, menggunakan kembali serta mendaur ulang menjadi material baru sebagai salah satu alternatif pemecahan kebutuhan material baru serta mengurangi masalah kurangnya pengelolaan sampah. Maksud Sebagai salah satu upaya penanggulangan sampah khususnya sampah botol plastik yang dikelola dan dieksplor dan dikembangkan menjadi barang baru yang bermanfaat secara kreatif dengan pendekatan konsep 3R, diharapkan dapat memberikan solusi mengurangi jumlah sampah dan dapat memberikan peluang usaha baru untuk masyarakat. Tujuan - Mengurangi dan memanfaatkan sampah khususnya sampah plastik menjadi bentuk baru yang

bermanfaat khususnya di bidang interior. - Membuat produk baru yang dapat dimanfaatkan kembali dengan fungsi lain yang bersifat recycle - Dengan konsep 3R masyarakat sadar akan pentingnya pemanfaatan sampah yang tidak harus selalu

dibuang. Manfaat - Membantu mengurangi tingkat pembuangan sampah - Membantu memberikan alternatif pengelolaan sampah menjadi bentuk baru yang dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat - Membantu membuka peluang usaha baru bagi masyarakat 2. Bahan & Metode Penelitian Dalam penelitian ini bahan utama yang dijadikan objek penelitian adalah botol minuman kemasan plastik atau polimer berjenis PET (Polyethylene Terephtalate), di mana selain kuat, anti air, mudah ditemui , mempunyai desain yang bagus, murah, ringan juga lentur dan mudah dibentuk. Sampah botol plastik didapat dari sampah kampus Itenas & dari pemulung yang sudah dipilah dan masih bagus dan baik bentuknya. Penelitian ini berfokus pada eksplorasi sampah menjadi karya baru khususnya armatur lampu yang menunjang untuk interior ruang, maka metode pendekatan yang digunakan dengan tahapan sebagai berikut : - Identifikasi dan analisa

Dilakukan untuk mengklasifikasi jenis botol dan memilah jenis-jenis botol yang bisa dikembangkan.

- Observasi dan wawancara Dilakukan dalam rangka studi banding dan mengetahui sejauh mana dan kemungkinan jenis armatur seperti apa yang bisa dibuat dari sampah botol plastik

- Workshop/ Pelatihan Workshop yang melibatkan 15 partisipan dari mahasiswa Desain Interior Itenas dilakukan dengan cara praktik langsung mengeksplor kemungkinan alternatif pengembangan sampah botol plastik mulai dari proses pencarian sampai ke sketsa desain.

- Proses Pembuatan Prototype Pada tahap ini hasil sketsa desain dikembangakan menjadi beberapa prototype

Page 31: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 30  

 

4. Hasil & Pembahasan Eksplorasi dan Potensi Pengembangan Setelah dianalisa peneliti menemukan hasil berupa pemilahan dari satu jenis botol yang dapat dibagi menjadi 5 bagian yang bisa dikembangkan, yaitu :

Gambar 1. Hasil pemotongan botol menjadi segmen yang bisa dikembangkan

No Bagian Gambar Ket

1 Bagian Pantat / bawah

Page 32: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 31  

 

No Bagian Gambar Ket 2 Bagian Badan/

Tengah

3 Bagian leher / Atas

4 Bagian tutup botol

5 Bagian ring tutup botol

Tabel 1. Rencana pemanfaatan botol plastik berdasarkan segmen

Page 33: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 32  

 

Wokshop Keterlibatan mahasiswa sebagai partisipan dalam penelitian ini memudahkan peneliti untuk mengembangkan dalam mengeksplorasi sampah botol plastik menjadi produk baru. Partisipan diarahkan untuk mengeksplor sampah tersebut untuk dijadikan produk baru yang berkaitan dengan elemen interior berupa armartur lampu. Wokshop diselenggarakan pada tanggal 28 Juli 2016 diikuti oleh 15 mahasiswa. Dalam workshop ini , setelah diberikan materi awal & petunjuk khusus , mahasiswa kemudian bereksperimen dan mengeksplor potensi sampah botol untuk bisa dijadikan armatur lampu.

Gambar 2. Workshop eksplorasi sampah botol plastik

Dengan mengeksplor bahan sampah botol plastik dan alat bantu yang disediakan, 15 partisipan miminal dapat mengeksplor 1 alternatif pengembangan armatur lampu.

Gambar 3. Suasana workshop eksplorasi sampah botol plastik

Gambar 4. Beberapa potensi pengembangan dari partisipan

Page 34: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 33  

 

Pengembangan Desain Setelah melakukan eksperimen awal dalam penyelenggaraan workshop , partisipan bersama peneliti bersama-sama mengembangkan desain yang akan dibuat prototype. Beberapa sketsa awal pembuatan armatur lampu, antara lain :

Gambar 5. Beberapa sketsa desain armatur lampu hanging lamp

Gambar 6. Beberapa sketsa desain armatur lampu table lamp

Prototype Setelah sketsa desain dilakukan , maka dilanjutkan dengan pembuatan prototype armatur lampu. Berikut contoh prototype desain armatur lampu:

Page 35: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 34  

 

Gambar 7. Beberapa desain armatur lampu dari badan botol

Gambar 8. Beberapa desain armatur lampu dari ring, ulir dan tutup botol

Gambar 9. Beberapa desain armatur lampu perpaduan dari bokong botol

Dalam proses pembuatan prototype armatur lampu terdapat pengembangan dari sketsa awal, hal ini terbentur mengenai teknis, waktu serta tampilan hasil akhir sehingga dapat meningkatkan nilai dari armatur tersebut, baik nilai ekonomis dan daya jual jika prototype hasil pengembangan ini dipasarkan.

Page 36: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 35  

 

5. Kesimpulan

- Dengan sentuhan kreativitas, sampah plastik khususnya botol plastik memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi produk baru yang lebih bermanfaat.

- Pengembangan desain armatur lampu yang berbahan dasar botol minuman plastik sudah ada , namun kebanyakan peruntukan masih untuk lampu di luar (eksterior), namun dalam penelitian ini desain armatur lampu yang dihasilkan dapat diterapkan dalam interior ruang.

- Tematik dalam pengembangan desain armatur lampu dari bahan sampah botol minuman plastik dapat dilakukan seperti yang dikembangkan oleh penggiat lampion botol plastik.

- Dalam penelitian ini tampilan luar desain armatur dari hasil eksplorasi mampu membuat tampilan berbeda yang memiliki nilai estetis dari tampilan sebelumnya.

- Dengan eksplorasi dan pengolahan yang berbasis kreativitas, diharapkan eksplorasi armatur lampu memiliki nilai jual yang tinggi ketika dipasarkan.

Daftar Pustaka [1] Halliwelll, J., Lambert, B. 2004. Revise for Product Design: graphics with materials

technology. UK: Heinemann Educational publishers. [2] Hermono, Ulli. 2009. Inspirasi dari Limbah Plastik. Kawan Pustaka. Jakarta. [2] Pamungkas, T.A. 2006. Iswanto: Bukan Membuang tapi Mengelola, dalam Sampah Dilema

Manusia Modern dan Krisis Ekologi. Balairung Jurnal Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Edisi 39. Yogyakarta.

[3] Purnama Putra, Hijrah dan Yebi Yuriandala, 2010, Studi Pemanfaatan Sampah Plastik Menjadi Produk dan Jasa Kreatif, Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan, ISSN: 2085‐1227 , Volume 2, Nomor 1, Januari 2010, Halaman 21‐31, Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia.

[4] Puspitawati, Yuni & Mardwi Rahdriawan, 2012. Kajian Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat dengan Konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle) di Kelurahan Larangan Kota Cirebon , Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota Biro Penerbit Planologi Undip Volume 8 (4): 349‐359 Desember 2012

[5] Pravitasari, Anita. 2009. Simbol Daur Ulang pada Botol dan Kemasan Plastik, didownload dari http://majarimagazine.com/2009/02/simbol-daur-ulang-pada-botol-dan-kemasan-plastik/ (diunduh 5 April 2016, 14:10)

[6] Sofia, Yunida. 2010. PEMANFAATAN LIMBAH PLASTIK SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN PELAPIS (UPHOLSTERY) PADA PRODUK INTERIOR, Jurnal INASEA , ISSN: 1411-9129 Vol. 11 No.2, Oktober 2010 hal : 96- 102 , Universitas Bina Nusantara, Jakarta (diunduh20 Oktober 2016, 17:15)

[7] http://www.menlh.go.id/rangkaian-hlh-2015-dialog-penanganan-sampah-plastik/ (diunduh 6 April 2016, 22:35)

[8] http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2015-02-13/indonesia-nomor-2-terbanyak-membuang-sampah-plastik-di-lautan/1414921 (diunduh 6 April 2016, 23:45)

[9] http://geotimes.co.id/2019-produksi-sampah-di-indonesia-671-juta-ton-sampah-per-tahun/ (diunduh 6 April 2016, 23:55)

[10] http://regional.liputan6.com/read/2416636/setiap-hari-200-ton-sampah-plastik-banjiri-kota-bandung (diunduh 8 April 2016, 24:32)

[11] http://finance.detik.com/read/2013/06/16/132439/2274791/68/bob-novandy-sang-raja-lampion-botol-bekas-dari-kebon-jeruk (diunduh 17 Juli 2016, 19:55)

[12] http://www.kaskus.co.id/thread/51d0d8681ad719ad4200000c/bob-novandy-king-of-lampions-botol-bekas-pict/ (diunduh 17 Juli 2016, 22:13)

[13] http://www.merdeka.com/jakarta/cara-bob-novandi-mengolah-botol-sampah-menjadi-berkah.html (diunduh 18 Juli 2016, 22:15)

Page 37: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 36

Kajian Solusi Desain Interior terhadap Pencahayaan Siang Berlebih pada Bukaan Jendela Lebar

Bangunan Berkelanjutan Studi Kasus Gedung KAMPUS PT Dahana Subang

Anwar Subkiman1 1 Jurusan Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITENAS, Bandung

Email: [email protected]

Abstrak Bangunan yang telah menerapkan Prinsip Bangunan Berkelanjutan seperti Gedung KAMPUS PT Dahana di Subang, ternyata masih menyisakan permasalahan ketidaknyaman bagi penghuninya. Desain bangunannya yang unik dengan bukaan jendela yang sangat lebar mampu mengoptimalkan potensi cahaya siang masuk ke dalam bangunan sebagai penerangan interior. Namun karena ada beberapa massa bangunan yang orientasinya yang kurang cermat, yakni menghadap Barat, maka bangunan mendapatkan sinar matahari langsung dengan radiasi panas matahari sore yang biasanya dihindari para perancang. Penelitian ini menunjukan sejauh mana ketidaknyaman tersebut terjadi dan apakah usaha yang dilakukan oleh bangunan sudah dapat memecahkan masalah tersebut. Desain interior, sebagai sub-kompetensi praktik arsitektur mempunyai kewajiban berkontribusi dalam penyelesaian masalah tersebut dengan memberikan perlakuan (treatment) dari pendekatan aspeknya. Selain dari data lapangan, kuesioner, dan wawacara, ketidaknyamanan akibat orientasi bangunan dapat dianalisis dan disimulasikan dengan bantuan perangkat lunak komputer. Begitu pula dengan kajian dan pilihan solusi yang dihasilkan peneleitian ini. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa sulit menyelesaikan masalah fasad bangunan yang menghadap Barat sejauh apapun usaha yang dilakukan bangunan. Apalagi untuk kondisi negara tropis. Untuk itu, seorang perancang harus memperhatikan dengan cermat orientasi bangunannya terkait dengan lintasan matahari dan desain fasad ketika proses perencanaan dilakukan. Desain interior mencoba memberikan solusi perlakuan dengan pendekatan relayout furniture, desain tabir jendela, penggunaan warna dan material elemen interior, bahkan penerpaan indoor planting. Pada dasarnya, penelitian ini mengingatkan kembali para perancang pada berbagai aspek desain demi tercapainya kenyamanan penghuninya. Kata kunci: Bangunan Berkelanjutan, bukaan jendela lebar, pencahayaan siang,kenyamaman, treatment interior.

Abstract Sustainable building like Gedung KAMPUS PT Dahana in Subang apparently still has a problem of uncomfortability. Gedung KAMPUS has a unique design, there are widely window opening which optimizes daylight became to interior ilumination. But, because there are some buildings face to the West, they get direct sun ray and heat radiation from it which usually is avoided. This research try to find how far the uncomfortablity is and to know what they have is enough to solve the problem or not. Interior designer as the part of building designer has the responsibility to give contribution to solves the problem. Beside field data, questioner, and interview, the uncomfortability can be found by computer simulation. Also we can use it to analize and make some option of solutions. This research meets the conclusion that it is hard to solve the building problem which face to the West what ever the treatment to the building. Especially for tropical countries. Therefore, the designer has to consider well the building orientation through the sunpath and how the fasade design is in the design process. Interior designer try to solve the problem by some approaches like relayout, window

Page 38: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 37

shading, changing the color and material of interior elements, and also puting the indoor plant. Basically, this research just try to remaining the designer with aspects which have corellation with occupant comfort. Keywords: sustainable building, widely window opening, daylighting, comfortability, interior treatment. 1. Pendahuluan Gedung KAMPUS (Kantor Manajemen Pusat) PT Dahana di Subang adalah salah satu pelopor bangunan di Indonesia yang mendapatkan Sertifikat Bangunan Hijau dari Green Building Council Indonesia (GBCI) untuk kategori bangunan baru dengan peringkat tertinggi (Platinum) dengan salah satu poin pentingnya adalah karena usahanya mengefisiensikan energi, terutama dalam mengurangi konsumsi listrik untuk penerangan gedung. Kemampuan Gedung KAMPUS menciptakan gedung yang ramah lingkungan ini dikarenakan desain fasadnya memiliki bukaan jendela lebar pada sisi muka dan belakangnya dengan bentuk massa bangunanya yang ramping sehingga cahaya siang (daylight) dapat masuk ke dalam gedung secara optimal. Hasilnya, nyaris sepanjang waktu kerja (antara 09.00 – 17.00) penerangan area kerja cukup dipenuhi oleh pencahayaan siang, tanpa penerangan buatan. Usaha yang dilakukan oleh Gedung KAMPUS ini selaras dengan aplikasi Prinsip Desain Pasif (passive design), yakni pendekatan desain yang menitikberatkan respon bangunan terhadap lingkungan sekitar, seperti tapak bangunan, arah lintasan matahari (sunpath), cuaca/iklim, orientasi bangunan, dll. dan mengintegrasikannya ke dalam proses dan putusan desainnya dengan tetap mempertimbangkan kenyamanan penghuninya [1]. Cahaya siang yang berlimpah dengan lingkungan sekitar yang lapang dimanfaatkan Gedung KAMPUS untuk mengefisiensikan penggunaan energi gedung. Gedung KAMPUS PT Dahana sebetulnya bukan merupakan massa bangunan utuh sebagaimana gedung kantor pada umumnya tetapi terdiri dari lima massa bangunan tipikal terpisah yang dikonfigurasikan melingkar mengelilingi satu massa bangunan lagi sebagai pusatnya (lihat Gbr. 1). Bangunannya tipikal berbentuk unik seperti juring lingkaran yang muncul dari tanah. Bentuknya tipis memanjang dengan lebar 14 meter dan panjang 37 meter, terdiri dari dua lantai, serta memiliki atap hijau (green roof).

Gambar 1. Bentuk bangunan yang unik (gambar kiri) dan site plan konfigurasi gedung (gambar kanan). Gedung 1 adalah Kantor Direksi, Gedung 2 adalah Kantor Sekretariat Perusahaan (sekaligus sebagai bangunan penerimaan), Gedung 3 adalah Gedung Diklat, Gedung 4 Kantor Keuangan dan Perencanaan, dan Gedung 5 Kantor EMC (bagian teknis).

1

2

3 4

5

Page 39: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 38

Kelima gedung mengakomodasi fungsi kantor sesuai bidang/bagian struktur organisasinya, termasuk salah satunya digunakan sebagai kantor direksi. Karena konfigurasi melingkar ini, maka masing-masing gedung memiliki orientasi fasad yang berbeda-beda. Jika dikaitkan dengan bagaimana massing-masing gedung mendapatkan cahaya siang, maka Gedung 1 (Kantor Direksi) memiliki orientasi yang paling baik. Massa bangunannya sejajar dengan arah lintasan matahari Timur-Barat sehingga cahaya siang dapat masuk ke dalam gedung dari kedua sisi (depan dan belakang) namun tanpa sinar matahari langsung masuk ke dalam gedung yang biasanya menimbulkan gangguan silau. Namun tidak demikian dengan bangunan lainnya. Pada kenyataannya, muncul pertanyaan seperti: Apakah bukaan jendela lebar yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan cahaya siang tidak kemudian memunculkan efek berlebihan pada waktu-waktu tertentu? Bagaimana dengan fasad bangunan yang menghadap Barat, yang biasanya dihindari karena radiasi panas matahari sore akan mengganggu kenyamanan penghuninya? Untuk itulah, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana hubungan desain bukaan jendela lebar sebagai usaha penerapan Prinsip Desain Pasif terhadap orientasi bangunan, terutama arah lintasan matahari serta dampaknya pada kenyamanan penghuni. 2. Metodologi 2.1 Desain Pasif. Dari definisi yang telah disebutkan sebelumnya, Prinsip Desain Pasif terdiri dari dua parameter: pertama adalah pemanfaatan kondisi dan potensi lingkungan sekitar bangunan dan kedua adalah faktor kenyamanan yang dihasilkan bagi penghuninya. Berdasarkan itu, penelitian ini menunjukkan sejauh mana Gedung KAMPUS PT Dahana Prinsip Desain Pasif tersebut diterapkan dengan mengacu kepada metode kajian Guzowsky tentang pencahayaan siang yang membaginya menjadi tiga faktor [2]: faktor eksternal, yakni lingkungan sekitar bangunan; faktor internal adalah desain dan kondisi bangunannya; dan terakhir adalah faktor manusia yang berkaitan dengan kenyaman penghuninya. Pendekatan ketiganya ini juga dikomparasi dengan Prinsip Bangunan Berkelanjutan yang diajukan Brenda Vale dan secara praktik sudah diimplementasikan dalam Panduan Teknis Perangkat Penilaian Bangunan Hijau (green buliding rating tool) Greenship versi 1.2 tahun 2013 yang di-release GBCI untuk diberlakukan di Indonesia. Dari lapangan diperoleh data keterkaitan ketiga faktor tersebut seperti ditunjukkan oleh bagan berikut.

Gambar 2. Bagan hubungan ketiga Faktor Pencahayaan Siang Guzowsky. [3]

2.2 Analisis Perangkat Lunak Komputer. Data yang diperoleh tidak hanya yang terekam dari lapangan saja tetapi juga dibantu dengan analisis berbagai perangkat lunak komputer yang lajim digunakan oleh para perancang. Perangkat lunak komputer yang digunakan dapat melengkapi data yang dibutuhkan karena rekam data lapangan tidak dapat dilakukan secara utuh karena keterbatasan ruang dan waktu penelitian ini. Analisis komputer mensimulasi data akurat pencahayaan siang sepanjang tahun dan bagaimana bangunan meresponnya.

FAKTOR EKSTERNAL

- Posisi geografis - Lintasan matahari

(sunpath) - Iklim - Site (urban, sub-urban,

dll.)

FAKTOR INTERNAL

- Orientasi bangunan - Bentuk massa

bangunan - Desain jendela

FAKTOR MANUSIA

- Fungsi vision - Fungsi impresi

emosional - Fungsi estetika - Kenyamanan,

kesehatan, keamanan bekerja.

Page 40: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 39

Selain itu, perangkat lunak komputer ini juga dapat men-simulasikan solusi desain sebagai hasil akhir analisis solusi masalah penelitian ini. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Faktor Eksternal (Lingkungan). Faktor lingkungan yang paling utama berkaitan dengan pencahayaan siang adalah lokasi atau posisi geografis yang biasanya ditunjukkan dengan data latitudinal dan longitudinal. Lokasi geografis akan menentukan kondisi langit yang berbeda antara satu tempat dengan lainnya, seperti kondisi langit belahan bumi Utara atau sub-tropis lebih dinamis (variatif bergantung pada empat musimnya) dibandingkan dengan belahan bumi tropis yang relatif sama sepanjang tahun. Hal ini disebabkan karena perbedaan altitude (ketinggian) matahari. Sinar matahari bagi belahan bumi Utara selalu datang dari Selatan dengan ketinggian yang relatif rendah sepanjang tahun sehingga menghasilkan spektrum cahaya yang lebih variatif. Berbeda dengan belahan bumi tropis, setengah tahun sinar matahari datang dari Selatan dan setengah tahun berikutnya dari Utara dengan ketinggian matahari yang lebih tegak sehingga hanya memiliki spektrum cahaya yang lebih mendekati cahaya putih (daylight white). Lihat Gambar 3.

Gambar 3. Perbedaan altitude matahari di belahan bumi tropis (kiri) dan sub-

tropis, belahan bumi Utara (kanan). Data latitudinal dan longitudinal lokasi Gedung KAMPUS PT Dahana Subang adalah 6°34’14” dan 107°50’30” atau kira-kira enam derajat bergeser ke Selatan dari garis khatulistiwa. Seperti daerah tropis lain pada umumnya, iklim Subang lebih hangat (23° - 33° C) tetapi memiliki kelembaban yang lebih ’basah’ (55 – 97%). Sementara data presipitasi curah hujan pada bulan Juni hingga September (musim kemarau) memiliki rata-rata nilai di bawah 105 mm. Ini menunjukkan kondisi lingkungan yang kering dan panas dengan kondisi langit sedikit berawan1. Namun pada musim hujan (Oktober hingga Mei), Subang memiliki iklim mikro yang cukup ekstrim. Kondisi langit dapat cepat berubah dari panas terik tanpa awan menjadi tiba-tiba mendung dan turun hujan. Hai ini disebabkan karena dataran Kota Subang berada di punggung pegunungan yang menghadap laut (pantura P. Jawa). Sebagai daerah sub-urban, lansekap di lokasi Gedung KAMPUS adalah dataran yang lapang dan luas, sedikit perbukitan dengan sebagian besar berupa sawah dan ladang. Kondisi lansekap ini menjadikan cahaya siang dapat dengan leluasa dimanfaatkan oleh bangunan tanpa terhalang bangunan atau pepohonan di sekitarnya. Bagi perancang, parameter eksternal ini telah diingatkan oleh Tri Harso Karyono bahwa arsitektur tropis harus memperhatikan orientasi bangunan terhadap lintasan matahari agar dapat memaksimalkan pemanfaatan cahaya alami tetapi dengan menghindari radiasi panas matahari yang berlebihan. Orientasi bangunan yang paling ideal adalah Timur-Barat [4]. Dengan memasukkan data latitudinal dan longitudinal pada aplikasi komputer seperti Autodesk Ecotect Analysis® atau Solar Tools®, maka kita akan mendapatkan analisis lintasan matahari

1 Data iklim dapat diunduh dari www.samsamwater/climate tanggal 13 Nov 2016.

Page 41: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 40

sepanjang hari dan sepanjang tahun. Altitude matahari serta bayangan yang terjadi pada bangunan dapat diamati secara akurat. Altitude paling tinggi terjadi pada bulan Maret atau Oktober (posisi matahari dekat dengan garis khatulistiwa) dan terendah pada pertengahan bulan Juni dengan ketinggian 60° (posisi matahari bergeser sedikit ke Utara). Data analisis tersebut ditunjukkan seperti pada Gbr. 4. Terdapat bangunan yang memiliki kondisi ideal terhadap cahaya siang serta tentu saja ada pula gedung yang memiliki kondisi buruk. Dengan perangkat lunak komputer tadi, maka dapat dikaji pengaruh lintasan matahari pada kelima bangunan Gedung KAMPUS. Seperti telah disebutkan bahwa Bangunan 1 Kantor Direksi memiliki orientasai paling ideal. Kemudian dengan gedung lainnya dapat dinilai cukup atau buruk terhadap lintasan matahari seperti ditunjukkan dengan tabel berikut. Hasilnya adalah bahwa Bangunan 3 (Kantor Keuangan) dan Bangunan 4 (Kantor EMC) memiliki orientasi paling buruk. Fasad muka bangunan dengan jendela lebarnya menghadap Barat sehingga mendapatkan sinar matahari langsung dan pencahayaan siang berlebih. Walaupun sebetulnya gedung ini juga mendapatkan sinar matahari langsung pada pagi hari namun cahaya pagi lebih memiliki manfaat kesehatan dibanding cahaya sore yang lebih memiliki radiasi panas tinggi. Kondisi ini juga dikuatkan dengan keluhan para pegawai di bangunan ini berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara. Untuk itulah, maka bangunan Kantor Keuangan ini diteruskan sebagai objek penelitian ini.

Gambar 4. Lintasan matahari (sunpath) dan bayangan yang terjadi pada lokasi geografis Gedung KAMPUS pada tanggal 12 Juni pukul 15.00. Tampilan sperikal (kiri) dan isometri (kanan).

Tabel 1. Perbandingan orientasi kelima bangunan kantor.

Bangunan 1 - Kantor Direksi.

Baik Bangunan 2 - Kantor Sekretariat Perusahaan.

Cukup

Orientasi paling ideal, yakni Timur – Barat.

Orientasi Barat Laut – Tenggara. Fasad muka bangunan menghadap matahari pagi.

Bangunan 3 - Kantor Keuangan/PPL.

Buruk Bangunan 4 - Kantor EMC.

Buruk

Orientasi Barat Laut – Tenggara. Fasad muka bangunan menghadap matahari sore.

Orientasi Timur Laut – Barat Daya. Fasad muka bangunan menghadap matahari sore.

Page 42: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 41

Bangunan 5 - Pusat Diklat.

Cukup

Orientasi Timur Laut – Barat Daya. Fasad muka bangunan menghadap matahari pagi.

3.2 Faktor Internal (Arsitektonis). Faktor internal adalah kondisi desain arsitektur bangunan dalam merespon potensi pencahayaan siang di sekitarnya. Bentuk massa bangunan yang ramping, fasad bukaan jendela lebar, dan orientasi bangunan adalah bukti usaha Desain Pasif yang diterapkan oleh Gedung KAMPUS. Dengan bukaan jendela yang sangat lebar (seluruh sisi panjang bangunan adalah jendela, t=3,1M, dari permukaan lantai hingga plafon setiap lantainya) mendistribusikan cahaya siang dapat masuk ke seluruh permukaan lantai, baik di lantai atas maupun lantai bawah. Berdasarkan syarat rating tools GREENSHIP GBCI bahwa intensitas cahaya siang harus mampu menerangi area kerja sebesar 300 lux dan menyelimuti setidaknya 30% permukaan lantai. Bahkan, dengan bentuk bangunan demikian, maka pencahayaan siang malah menerangi seluruh lantai kerja (100%). Pengukuran intensitas cahaya siang yang dilakukan di lapangan sebagai data primer menggunakan alat lux meter sederhana menghasilkan nilai rata-rata 300 – 500 lux. Kaca jendela menggunakan tipe stopsol 8MM dengan kusen alumunium 8” natural anodize finished. Jarak antarbingkai kusen sangat lebar, 80 – 120 CM sehingga memberikan juga keleluasaan pandangan keluar bangunan. Kedua lantai digunakan untuk ruang kerja kantor. Pada sisi belakang yang menghadap ke bagian dalam konfigurasi, ditempatkan ruang kerja manajer dan ruang rapat. Pada sisi luar justru ditempatkan area kerja para staf dengan open-plan lay-out. Fasilitas pendukung seperti toilet, pantry, dan ruang arsip ditempatkan di ujung bangunan. Kualitas material penutup elemen interiornya mendukung distribusi cahaya siang di dalam ruang. Penutup lantai adalah granite tile dengan permukaan glossy. Partisi dinding interior lebih banyak dari material transparan, dan warna cat dinding dan plafon dominan putih cerah.

Gambar 5. Layout eksisting Lantai Bawah Kantor Gedung 4 Keuangan/PPL.

Page 43: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 42

Gambar 6. Potongan tipikal. Data primer adalah pengamatan langsung kondisi pencahayaan siang yang terjadi pada objek penelitian dengan direkam dengan kamera foto. Sedangkan perangkat lunak yang digunakan adalah SketchUp 2015 dengan rendering VRay for SketchUp untuk mendapatkan permodelan komputer secara akurat. Perbandingan keduanya dapat dilihat pada Gbr. 7 berikut. Penelitian ini telah melakukan rangkaian (sequence) simulasi komputer pencahayaan siang yang terjadi pada bangunan sepanjang tahun, sepanjang hari, pada Gedung 4 Keuangan. Berikut ada salah satu contoh simulasi tersebut. Dari sekuen simulasi dapat diamati bahwa sinar matahari langsung masuk ke dalam bangunan mulai pukul 13.00 dan perlahan-lahan bergerak masuk semakin dalam hingga pukul 16.00 (ketika para pegawai masih bekerja) sinar matahari masuk hampir setengah lebar bangunan! Rangkaian simulasi ini untuk membuktikan kenyataan bahwa pencahayaan siang menjadi berlebihan bagi Gedung 4.

Foto area kerja Lantai Bawah Gedung Kantor Keuangan pada pukul 14.00 tanggal 12 Juni 2015 ketika sinar matahari langsung masuk melalui jendela lebar.

Simulasi peranti lunak komputer untuk menggambarkan kondisi ruang dengan data waktu yang sama seperti gambar di atas.

Gambar 7. Perbandingan kondisi eksisting data primer dengan simulasi yang dilakukan komputer.

Page 44: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 43

Gambar 8. Simulasi komputer sinar matahari langsung pada sore hari (kanan

gambar) masuk ke dalam Gedung 4 Keuangan menggunakan SketchUp®. Tanggal 18 Maret pukul 16.00 (kiri) dan tanggal 18 Oktober pukul 16.00 (kanan).

Dengan demikian, maka diperlukan perlakuan interior yang dapat mengurangi permasalahan yang ditimbulkan oleh pencahayaan siang berlebih. Diperlukan kendali pencahayaan siang yang dijelaskan pada bagian berikut (poin 3.4). 3.3 Faktor Manusia. Sebelumnya, manfaat bukaan jendela lebar dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan pandangan ke luar bangunan demi kesehatan penghuni. Pandangan jarak jauh ke luar bangunan akan mengurangi kelelahan mata seperti juga disyaratkan oleh Greenship GBCI, poin IHC 4 (Indoor Health and Comfort – Pemandangan ke Luar Bangunan) [4]. Selain itu, masih banyak penelitian membuktikan bahwa cahaya siang mempunyai kemampuan menyembuhkan baik secara fisik maupun psikologis. Faktor manusia sebagai tujuan akhir pemanfaatan siang adalah memenuhi standar pencahayaan yang dibutuhkan manusia untuk beraktivitas. Kualitas cahaya siang harus terpenuhi dari aspek vision seperti kecukupan intensitas cahaya, keseimbangan kontras gelap-terang, bidang silau yang terkendali agar penghuni dapat melihat dan bekerja dengan nyaman, sehat, dan aman. Aspek estetika dan impresi emosional juga mendapat perhatian dalam pemanfaatan cahaya siang [5]. Dari hasil kuesioner dan wawancara didapat bahwa para pegawai merasa nyaman dengan ruang kerjanya secara umum. Keluhan hanya terjadi pada pagi hari atau menjelang sore karena sinar matahari langsung masuk ke dalam area kerja sehingga menimbulkan ketidaknyaman: silau dan pantulan pada layar monitor. Seperti ditunjukkan oleh denah perletakan furniture, penempatan area kerja di sisi luar menambah ketidaknyaman pegawai terhadap pencahayaan siang. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pandangan keluar sangat diperlukan oleh para pegawai untuk menurunkan tingkat stres kerja. 3.4 Kendali Pencahayaan Siang.

a. Treatment Jendela. Jendela yang sangat lebar memberikan keuntungan optimalisasi pencahayaan siang serta pandangan bebas penghuni gedung ke luar. Kerugiannya, jika terjadi pada bangunan yang menghadap ke Barat, maka akan terjadi distribusi cahaya siang secara berlebihan, bahkan masuknya sinar matahari langsung yang akan berakibat peningkatan radiasi panas sore hari yang tidak nyaman. Dampak negatif ini kenudian disebut sebagai pencahayaan siang berlebih yang tidak terkendali sehingga diperlukan perlakuan (treatment) arsitektural maupun interior untuk mengatasinya, seperti ditampilkan pada Tabel 2 berikut.

Page 45: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 44

Tabel 2. Treatment yang dilakukan bangunan untuk mengatasi cahaya siang berlebih. Perlakuan Arsitektural Perlakuan Interior

Secondary skin – Menerapkan selubung tambahan semi-transparan untuk menghalangi sinar matahari langsung. Namun penggunaan selubung tambahan ini akan mengurangi intensitas cahaya siang yang masuk ke dalam gedung dan menghalangi pandangan keluar.

Horizontal/vertical blind – Perlakuan yang paling lajim dan mudah adalah menambhakan tabir jendela berupa gorden, vertical/horizontal blind, roller blind, namun tidak praktis karena pengoperasiannya saat diperlukan atau tidak.

Low-E glass – Penggunaan kaca tipe Low-E pada jendela dapat mengurangi dampak negatif cahaya siang dan radiasi panasnya tanpa menggurangi kualitas pandangan keluar bangunan. Namun teknologi kaca ini masih relatif mahal.

Sandblusting sticker – untuk mengatasi jendela yang tidak dapat menggunakan low-E glass, maka kaca dapat dilapisi dengan stiker sandblasting yang memiliki berbagai pola dan kerapatannya untuk mengurangi intensitas cahaya siang berlebih (lihat poin 1 pada Gbr.9).

Sun shading – Menerapkan ambalan atau canopy atau louver namun agak sulit dilakukan pada bangunan yang telah terbangun (eksisting) dan akan mengubah tampilan fasad bangunan.

Interior sun shading – walaupun kurang lajim dilakukan desain interior namun dengan meminjam perlakuan sun shading eksterior ini dapat dilakukan juga di dalam interior. Penerapannya lebih mudah dan dapat menggunakan material pada umumnya, seperti papan gipsum dengan konstruksi rangka metal (lihat poin 2 pada Gbr.9).

Vegetasi – Menanam pepohonan tinggi di depan bangunan akan mengurangi cahaya siang berlebih dan radiasi panas. Diperlukan pemilihan jenis tanaman yang tepat.

Indoor plant – Vegetasi di dalam bangunan yang ditempatkan dekat jendela dapat mengurangi kelebihan cahaya siang dan radiasi panas dengan pemilihan jenis tanaman yang tepat (lihat poin 3 pada Gbr.9).

Sebetulnya, selain perlakuan tersebut, biasanya bangunan menyelesaikan permasalahan ketidaknyamanan ini, terutama kenyamanan thermal dengan memasang air conditioning (AC). Namun penggunaan AC malah akan menimbulkan masalah baru, yakni bertambahnya konsumsi energi listrik, bahkan menjadi tidak ramah lingkungan jika menggunakan bahan refrigeran yang dapat merusak lapisan ozon. Perlakuan interior dapat menjadi pilihan solusi pemecahan masalah pencahayaan berlebih karena relatif lebih mudah dan murah dilakukan. Sebelum diterapkan, studi pilihan ini juga dapat disimulasikan dahulu menggunakan aplikasi komputer agar tepat sasar dan efisien.

b. Relayout Furniture. Penempatan meja kerja sebaiknya tidak menempel pada kedua sisi jendela demi menghindari cahaya langsung dan pantulan pada permukaan meja kerja atau pada layar monitor komputer. Untuk itu, posisi area kerja ditarik lebih ke dalam. Area sisi jendela diperuntukan untuk sirkulasi atau penempatan cradenza filing cabinet. Persis sepanjang sisi jendela dapat ditempatkan indoor plant. Banyak jenis tanaman yang cocok ditempatkan di dalam bangunan dengan dedaunan yang cukup dapat menghalangi sinar matahari langsung tetapi tidak menghalangi pandangan ke luar bangunan. Bahkan ada beberapa jenis tanaman yang dapat berfungsi sebagai air purifer sehingga udara dalam ruangan lebih segar dan memberikan kesan asri.

Page 46: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 45

Gambar 9. Re-layout furniture. Memindahkan area kerja lebih ke dalam dan menempatkan indoor plant pada sisi jendela.

c. Skema Material/Warna.

Pemilihan material dan warna pada bangunan hijau tidak cukup hanya mempertimbangkan fungsi atau estetika semata. Kaitannya dengan pencahayaan material dan warna yang digunakan pada setiap elemen interior harus mendukung distribusi cahaya agar dapat menyelimuti seluruh ruang. Namun tidak berarti melupakan efek samping seperti pantulan cahaya berlebih. Penggunaan granite tile dengan permukaan warna terang dan kualitas glossy memang lajim digunakan untuk lantai perkantoran karena berkesan rapih dan mudah dibersihkan. Namun pada beberapa tempat efek glossy yang memantulkan cahaya dapat mengganggu kenyamanan visual. Demikian juga warna cat dinding sebetulnya dapat dibuat variatif sehingga tidak monoton yang justru akan melelahkan mata. Simulasi koreksi desain dengan alternatif solusi atas permasalahan pencahayaan siang berlebih dapat dilihat pada contoh ruang kerja seperti ditampilkan pada Gbr. 10 berikut.

Gambar 10. Simulasi suasana ruang alternatif solusi pada area kerja Gedung

Keuangan Lantai Bawah.

4. SIMPULAN Masih ada kekurangan yang luput dari perhatian petunjuk teknis maupun peraturan pemerintah [6] dalam penerapan bangunan hijau, terutama di negara tropis, yakni orientasi bangunan terhadap lintasan matahari. Desain bukaan jendela lebar sebagai usaha penerapan Prinsip Desain Pasif, jika tidak memperhatikan iklim tropis, orientasi bangunan, lintasan matahari ternyata masih dapat menimbulkan masalah kenyamanan bagi para penghuninya. Solusi desain interior dapat berkontribusi sebagai antisipasi permasalahan dengan menata ulang tata letak furniture-nya agar tidak terjadi para pegawai menghadap silau cahaya siang dan efek pantulan dari material area kerja atau peralatan

2

1

3

4

5

Page 47: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 46

kerjanya. Selain itu dapat ditambahkan interior shading, baik horizontal maupun vertikal untuk mengurangi cahaya langsung matahari tanpa mengurangi pandangan para pegawai ke luar bangunan. Mengganti warna dan material elemen interior juga memungkinkan untuk dilakukan agar tidak meningkatkan dampak pencahayaan berlebih. Sedangkan penggunaan indoor planting, dengan pemilihan jenis tanaman yang tepat dapat menambah ‘kesegaran’ ruang. Desain interior seharusnya tidak membiarkan kemungkinan ketidaknyamanan terjadi di dalam bangunan akibat permasalahan bangunan walaupun bangunan hijau sekalipun. Keterlibatan pengguna (user) dalam proses desain interior mutlak diperlukan karena berkaitan dengan kenyamanan baik secara fisik: kenyamanan visual, kenyamanan thermal, dan kenyamanan odor; maupun secara psikologis. Penggunaan aplikasi komputer sebaiknya dioptimalkan untuk men-simulasikan putusan desain yang akan diterapkan selama proses perencanaan karena sangat mudah dilakukan pada era komputer saat ini. Ucapan Terima Kasih Penelitian ini dapat terselenggara dengan bantuan hibah penelitian dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat ITENAS tahun 2015. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ketua LPPM dan jajarannya yang telah memberikan kesempatan penulis melakukan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada pihak manajemen PT Dahana yang dengan tangan terbuka menerima dan memberikan kesempatan kepada penulis mendapatkan data yang diperlukan. Tidak lupa juga kepada para reviewer serta kolega di Jurusan Desain Interior ITENAS atas masukan yang sangat bermanfaat. Daftara Pustaka [1] Vale, Brenda dan Robert Vale. 1991. Green Architecture Design for Sustainable Future. London:

Thames and Hudson. [2] Guzowsky, Mary. 1999. Daylighting for Sustainable Design. New York: McGraw-Hill. [3] Subkiman, Anwar. 2014. Kajian Pengaruh Pemanfaatan Pencahayaan Siang pada Interior

Kantor Gedung KAMPUS PT Dahana terhadap Kesadaran Lingkungan Pegawainya sebagai Strategi Penerapan Bangunan Berkelanjutan. Tesis Master Desain. FSRD ITB.

[4] Karyono, Tri Harso. 2010. Green Arcitecture. Pemahaman Arsitektur Hijau di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

[5] Pile, John F. 1987. Interior Design. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. [6] Peraturan Walikota Bandung Nomor 1023 Tahun 2016 tentang Bangunan Hijau.

Page 48: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 47

Rancang Bangun Pengembangan Ruang Pada Rumah Tinggal Tipe 45

Edwin Widia Jurusan Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain

Institut Teknologi Nasional Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124

[email protected]

Abstract Kebutuhan akan rumah tinggal saat ini semakin tinggi begitu juga dengan besar dan jumlah ruang yang dibutuhkan dalam satu hunian, namun standar bangunan pun semakin kecil karena lahan yang semakin sempit dan tingginya permintaan pasar sehingga untuk mendapatkan hunian yang sesuai kebutuhan pun semakin sulit, dengan anggaran yang dimiliki saat ini biasanya kita hanya akan mendapatkan bangunan satu lantai, salah satu tipe standar yang sering dijual oleh pengembang yang biasanya merupakan standar bangunan tipe menengah adalah tipe 45, Namun biasanya bangunan tersebut belum dapat menampung kebutuhan ruang bagi beberapa keluarga, maka dibutuhkan pengembangan bangunan, baik secara horisontal maupun vertikal. Oleh karena itu dibutuhkan desain dengan mempertimbangkan banyaknya keterbatasan agar dapat mengembangkan bangunan tersebut hingga optimal sesuai dengan kebutuhan dan anggaran namun juga dapat menekan proses dari kompleksitas pelaksanaan pekerjaan bangunan. Salah satu pengembangannya adalah dengan cara melakukan penambahan ruang ke atas, namun pengembangan tersebut akan berbiaya besar ketika membuat ruangan dengan lantai beton, oleh karena itu direncanakan lantai atas dengan menggunakan konstruksi ringan namun dapat mengakomodir semua ruangan tambahan. Keywords : Hunian, Ruang, Bangunan, Rumah Tinggal. 1. Latar Belakang Masalah Bangunan standar rumah tinggal yang disediakan oleh pengembang biasanya banyak tipe, namun disini ada tipe standar yang cukup banyak diminati bagi keluarga muda, dan memudahkan pembagian besaran kavling untuk tipe rumah standar pengembang properti. Tipe standar bangunan disini salah satunya adalah tipe 45, dimana luasan bangunan adalah 45m2 dan tanah 90m2. Dengan luasan tersebut biasanya terdiri dari 2 kamar tidur, 1 kamar mandi dan 1 ruang keluarga yang digabung dengan ruang tamu, ruang makan dan dapur. Dengan ruangan yang ada tersebut masih belum dapat mengakomodir kebutuhan ruang dari beberapa keluarga. Oleh karena itu dibutuhkan pengembangan ruang tambahan yang mudah dilakukan dengan tidak mengganggu proses pembangunan standar dari pengembang. Sehingga luasan dari volume yang sediakan developer tetap sesuai sehingga tidak mengganggu skema kpr yang biasanya sudah disesuaikan dengan standar luasan yang disediakan. 2. Identifikasi Masalah Kebutuhan ruang tambahan bagi setiap keluarga sangat penting, kebutuhan ruang tersebut biasanya belum terakomodir oleh pengembang, kebutuhaan ruang tambahan yang biasanya tidak terdapat dalam bangunan tipe 45 adalah, gudang penyimpanan, area setrika, ruang kerja/belajar, kamar tamu. 3. Batasan Masalah Rancang Bangun Pengembangan ruang pada bangunan tipe 45 harus mampu meyesuaikan dengan standar bangunan yang diberikan oleh pengembang.

Page 49: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 48

4. Maksud dan Tujuan Mencari model atau cara untuk mengoptimalisasikan bangunan standar, dengan

mengembangkannya menjadi sesuai dengan kebutuhan yang lebih besar, dengan menekan sekecil mungkin standar bangunan yang diberikan pengembang.

Membuat pengembangan gambar desain bangunan tipe 45.

5. Manfaat Mendapatkan model pengembangan ruang melalui proses rancang bangun pengembangan bangunan tipe 45. 6. Kerangka Berpikir

Kajian Pustaka

Identifikasi masalah

Latar Belakang masalah Kesimpulan

Gambar 1. kerangka berpikir

Page 50: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 49

Bagan Metode Penelitian

7. Persepsi Terhadap rancang bangun Menurut Markus Zahnd (2007, h.25) Pendekatan dalam perancangan arsitektur . Pengetahuan arsitektur berkaitan erat dengan persepsi dari para perancang, karena setiap objek arsitektur dirancang dan digunakan oleh subjek, yaitu orang. dengan mengetahui pendekatan yang akan diterapkan maka, urutan perancangan dapat dimulai dari persipsi utama seperti yang tertuli. Dengan begitu kita bisa mencari data data yang dibutuhkan sesuai dengan dengan persepsi dibawah ini:

Latar Belakang Kebutuhan ruang tambahan pada rumah tinggal tipe 45 semakin

meningkat namun standar bangunan yang disediakan pengembang belum mencukupi

Rumusan Masalah Kebutuhan Ruang bagi keluarga sesuai dengan budaya masyarakat

sekarang dengan keterbatasan ruang dari yang disediakan oleh pengembang dengan tipe 45 sudah jadi standar, oleh karena itu

diperlukan proses pengembangan ruang melalui perencanaan gambar agar dapat menekan tingkat kesalahan, juga dapat mengetahui arah arah

pengembangan melalui analisa desainn

Landasan Teori/ Tinjauan Pustaka Pendekatan dalam perancangan arsitektur

Mencari alat ukur yang digunakan dalam mengembangkan ruang secara arsitektur.

Data Analisa Brosur Denah Tipe 45 yang sering ditemukan, data

didapat dari survey pada pameran properti.

Kesimpulan

Rancang Bangun Desain rumah tinggal yang sesuai dengan pendekatan persepsi

perancangan arsitektur berdasarkan kebutuhan konsumen, dengan tidak banyak menginterupsi desain standar pengembang

Analisa Keadaan ruang yang ada pada denah tipe 45, diambil rata2 pola desain nya kemudian melihat kebutuhan yang diperlukan oleh

konsumen

Page 51: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 50

Persepsi fungsional Persepsi tersebut diterapkan melalui tiga pendekatan.

Fungsi ruang : pendekatan tersebut menekankan cara penggunaan ruang dalam perancangan arsitektur.

Lokasi ruang : pendekatan tersebut menekankan situasi lokasi objek dalam perancangan arsitektur

Wujud ruang : pendekatan tersebut menekankan bentuk objek dalam perancangan arsitektur. Persepsi Visual Persepsi tersebut diterapkan melalui dua pendekatan.

Batasan ruang : Pendekatan tersebut menekankan cara pembatasan ruang dalam perancangan arsitektur.

Urutan ruang ruang : pendekatan tersebut menekankan sambungan ruang-ruang dalam perancangan arsitektur.

Persepsi Struktural Persepsi tersebut diterapkan juga melalui dua pendekatan.

Aturan ruang : pendekatan tersebut menekankan susunan objek dengan lingkunganya dalam perancangan arsitektur

Tata ruang : pendekatan tersebut menekankan pola ruang dalam perancangan arsitektur. Setelah mengetahui persepsi apa saja yang dijadikan acuan dalam perancangan arsitektural maka kita dapat menentukan apa yang dilakukan dalam membuat rancang bangun pengembangan ruang dari tipe standar 45. Persepsi tersebut diterapkan setelah mengetahui potensi potensi area yang masih dapat dikembangkan dari denah eksisting yang telah disediakan oleh pengembang. 8. Analisa area pengembangan lay-out tipe 45 Kavling Tipe 45 dengan lebar tanah 6 meter kali 13 meter, memilki 2 kamar tidur dan 1 kamar mandi dan 1 ruang keluarga

Dari gambar 2, dapat di identifikasi area apa saja yang telah dimiliki bangunan tersebut, yaitu: 2 kamar tidur, 1 kamar mandi dan 1 ruang keluarga, akan tetapi masih ada ruang ruang besar yang masih dapat dikembangkan, sesuai dengan kebutuhan – kebutuhan yang diminta. Dari kondisi denah eksisting diatas, kita juga harus melihat kondisi dilapangan, dengan mengetahui kondisi lapangan maka kita dapat mengetahui potensi lain yang dapat dijadikan peningkatan kualitas dari rancang bangun tersebut.

Gambar 2. brosur gambar tipe 45(grya wiwaha 2 cimuncang)

Page 52: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 51

Dari kondisi eksisting, dapat dilihat kondisi lapangan memiliki kontur tanah yang tinggi, dan adanya dinding penahan tanah diarea belakang, sehingga kondisi bangunan secara tidak langsung sudah berada pada kondisi yang lebih tinggi dari jalan utama, sehingga kita bisa memanfaatkan area entrance bangunan yang berhubungan dengan area carport, kemudian potensi tersebut juga berpengaruh pada pendekatan arsitektur secara visual.

Rancang bangun pengembangan ruang yang akan dilakukan haruslah dapat mengikuti kajian pustaka yang ada, kajian tersebut mengacu pada pendekatan arsitektural yaitu, melalui beberapa pendekatan yang wajib menjadi bagian proses perancangan, seperti ; Persepsi fungsional, Persepsi Visual dan persepsi Struktural.

Potensi Area – area yang masih dapat dikembangkan

Area pengembangan horisontal Area pengembangan horisontal Area pengembangan vertikal Area pengembangan horisontal Area pengembangan horisontal

Gambar 4. brosur gambar tipe 45 (grya wiwaha 2 cimuncang)

Gambar 3. kondisi eksisting

Page 53: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 52

Berangkat dari denah tipe 45 yang terpilih sesuai dengan gambar 2, maka penulis sudah menganalisis kekurangan yang diperlukan, agar dapat memgakomodir kebutuhan pasar diatas, kemudian melalui gambar 3, denah dianalisa potensi potensi area yang dapat dikembangkan. Setelah mengetahui proses Variabel yang direncanakan dalam mengakomodir rancang bangun rumah tipe 45 berdasarkan kebutuhan konsumen dan standar bangun pengembang adalah sebagai berikut.

Permintaan ruang tambahan

Pertimbangan lain yang mendukung perencanaan.

Km Tamu Km/Wc Tamu R. Tamu R. Keluarga R. Belajar Gudang Dapur R. Makan

Pentingnya Penambahan ruang secara Vertikal Pentingnya area terbuka depan dan belakang, sebagai pendukung

sirkulasi udara Pentingnya area dapur dan R. keluarga yang terpisah Pentingnya area servis yang terpisah Pentingnya ruang penyimpanan barang barang tidak terpakai Pentingnya area Belajar yang terpisah Pentingnya area semi publik sebagai sarana interaksi sosial dirumah

tinggal Taman belakang km/wc r. cuci Gudang R.makan Km 1 Void r. setrika Dapur R.Keluarga km/wc Area Belajar Dan Kerja Km 2 Km. Tamu r. tamu

Teras Carport Taman depan

Gambar 6. Denah Lantai 1 Gambar 5. Denah Lantai 2

Page 54: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 53

Gambar 7. isometri

Gambar 9. desain tangga

Gambar 10. tampak muka Gambar 11. area dapur dan taman blkng

9. Kesimpulan Dalam proses pengembangan desain bangunan tetap bersinggungan dengan waktu dan biaya, oleh karena itu sebisa mungkin perencanaan harus matang, salah satunya untuk menekan hal-hal tersebut. Proses pengembangan ini merupakan salah satu strategi yang dikerjakan untuk mengoptimalisasi ruangan yang tersedia, sesuai denga teori pendekatan dalam perancangan arsitektur dimana fungsi, visual dan struktural menjadi dasar utama pengembangan desain., dimana secara fungsi ruangan yang dibutuhkan sudah terakomodir, kemudian secara visual dimana urutan ruang menyesuaikan kebutuhan yaitu area publik dan privat dapat dipisahkan, yang terakhir secara struktural, rangka besi dan multiplek sebagai bahan lantai 2 dapat menjadi alternatif sebagai struktur ringan namun dapat mengakomodir kebutuhan ruang tanpa merusak struktur yang ada.

Optimalisasi ruang dengan mengembangkan beberapa area, sesuai dengan yang direncanakan, area pengembangan tambahan berada pada km/wc di area km.1 kemudian penambahan dapur, dengan menggunakan atap ringan, sehingga tidak memberikan beban yg besar, kemudian pada area lantai 2 dibuat dengan menggunkan rangka besi, yang berdiri diatas ring balok lantai 1, kemudian dilakukan penambahan bata, sesuai kebutuhan, dan kembali ditambahkan ring balok sebagai pengikat dan dudukan dari atap baja ringan yang merupakan standar dari pengembang. Untuk area teras dioptimalisasi dengan merubah arah pintu masuk, dengan tujuan mensiasati agar teras bisa optimalsesuai dengan kontur tanah

Gambar 8. struktur besi lantai 2

Gambar 9. Menjelaskan bagaimana optimalisasi ruang dengan desain tangga dari besi. Gambar 8. Menjelaskan proses pengerjaan rangka besi sebagai lantai pada lantai 2 yang diletakan pada ring balok lantai 1. Gambar 10. Menjelaskan pemanfaatan area belakang sebagai dapur, r. Makan dan tetap menyisakan area taman sebagai area sirkulasi udara. Gambar 11. Menjelaskan tampak muka setelah bangunan jadi 100%.

Page 55: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 54

Daftar Pustaka

[1] Zahnd, Markus. 2009. Pendekatan dalam Perancangan Arsitektur.Metode untuk menganalisis dan merancang arsitektur secara efektif. Kanisius.

Page 56: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 55    

Third Generation of Docking Bike-share in Bandung Tourism Area (Bandung Bike-share, West Java, Indonesia)

Ratriana Aminy

Industrial Design, Bandung Institute of Technology (ITB), Indonesia [email protected]

Abstract Bike sharing program and infrastructures provides friendly-environment transportation and further improves tourism. This program is considered as alternative transportation replacing vehicles and considerably increases urban mobility among people. In general, the deployment of bike-share station in Bandung tourism area is considerably potential. Furthermore, it is also supported by a captivating environmental condition along the entire biking route. However, such program is occasionally utilized by people and considered as unsuccessful. Third generation of bike-Share provides more vast methods for registering users to rental, along with a strengthened security and applies of technology in monitoring the users. Docking spaces are utilized to park and locks the unused bike, the space prefers an effortless for users to check out or docking bikes while gradually adapts to user behaviors and intentionally blends with urban environments. Docking Bar Station of Bike-share is designed in-line for users to insert the bike properly with purposes to improve accountability and bike rental system that serves people in utilizing a more feasible human-empowered transportation. Keywords: bike-share, docking bar, third generation system 1. Introduction The Government of Bandung City has strategic plan for more feasible Humanist transportation in Bandung by conducting and operating bike-sharing program. To endorse the plan, the government then applies the Regional Regulation Number 16 in 2012 regarding the Implementation of Transportation and Redistribution (as per stated that the government is able to build a bike facility such as bike lanes and bike shelter). The Bike-sharing program has the potential to support transportation as tourism and a short-course leisure for tourist attractions where it is inaccessible for other public transport. The scope of problem of this study is usage behavior, especially the bike rental process. Design analysis of the third generation of bike-share docking station is consist of user behavior and characteristic of tourist within area of Bandung. Third generation of Bike sharing has more advanced methods for users to rent, strengthens security, and user monitoring by utilizing technology (Nurrewa, 2015). In every iteration, the essence of bike-share remain simple: anyone can simply pick up a bike in one place and return it to another, making point to point, human – powered transportation more feasible (ITDP, 2011:10). The purpose of this study was to comprehend the design opportunities of the docking bike-share to be applied in Bandung City Area. The development of docking stations strengthens the image of the bike tours in Bandung and improve the culture of cycling. The need for innovative products of bike share docking station with the third-generation system that can provide a solution for the management of bike-share systems that maintains the culture of cycling in Bandung and reduce the use of private vehicles. Based on initial studies, an assumption was found that bike-sharing program is likely to be an alternative to reduce the use of private vehicles for short travel distances within the tourist area of Bandung. Design development of the third generation system in docking station can improve the quality of services and simplify business processes available in a bike rental venue. The Methods of Human Centered Design allows the creation a supporting product in the development process of bike-share system that not solely relied on components.

Page 57: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 56    

Analysis of design includes the size, type and design of the shelter. Most of the deployed bike-sharing programs are currently implements bike sharing with third generation system. Component of the bike - sharing third generation system consists of: 1. Special bike with Docking 2. Docking station 3. Kiosk or User interface technology to rent and return the bike. 4. Smart Card Technology. Based on analysis result, there are two elements in the analyzed problem schemes that need be considered, the ease of use and an appearance of the cycle.

Diagram 1. Element of product design in the bike-sharing element

There are three considerations in determining the type of bike-share docking station that will be applied: a. Manual or Automated b. Modular or Permanent c. Individual or Bar Docking There are three main considerations in determining station type, there are systems, installations and style of the docking stations. Station design is a function of the level of demand, the amount of space available, the cityscape, and the desired visual impact on the urban environment. Aspect of Comparative analysis for docking station in Bandung include the system, quality of bike, low cost production, ease installation, and Tourism Market.

Picture 1. Type of Docking Station

Smart Bike-Share

Behavioral Response

2 Element Product

Design of

Easy to use docking station

Appearance 

of the Cycle 

Main 

problem 

Page 58: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 57    

Picture 2. Comparative analysis in several docking station

After conducted a comparative analysis from several docking stations, it was concluded that docking Station design of Citybike of Liverpool and Ecobici of Mexico are selected as consideration for bike-share design development that will be applied in Bandung. A third generation of Bar Bike sharing system with a modular semi-permanent installation.

Table 1. Comparative Analysis of the docking type

Number System Manual Docking

Automated Docking

1 IT v

2 Security Improvement v

3 Accountability v

3 Easy to use v

5 Low Cost v

Table 2. Comparative analysis of Style Docking

Number Style Individual Docking

Bar Docking

1 IT v v

2 Security Improvement v

3 Configurations v

3 Ease to Install v v

5 Low Cost v

Hence, the comparative analysis result for development system in Bandung will deploy the third generation of Bar Bike sharing system with a modular semi-permanent installation. 2. Process of Creative Studies Studying several aspects are necessary in order to design the products, which is should be in accordance with the study of transportation, Planology and Information Technology as well as aspects of Product Design that mainly focuses on Human Centered Design.

Page 59: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 58    

2.1 Design Identification To design a bike-share docking station that feasible for the city environment and for humans as users, there are several aspects that required to be assessed including: 1. Target users 2. Location of the docking station 3. Type and design of the docking station 4. Ergonomic 5. Interactive concept 6. Product scenario 2.2 Mapping Problems The skyrocketed of tourists that visiting Bandung are significantly affects the outburst of traffic congestion. Bike-share, however, is considered as an alternative solution. Unfortunately, such program is currently in operational constraints, despite of the government strategic plan in realizing the humane transport. There are chances of innovative development of bike-share system, taking into consideration the cost-effectiveness, the lack of available space conditions, as well as increased accountability systems and services. The implementation of the third generation of bike sharing system shall implement the bike-share operations to be more sustainable. 2.3 Identification of Tourism Location Areas and Bike-share facility Based on the analysis, the destination point of tour bike are KAA Alun-Alun Bandung, Braga, Gedung Sate and Cikapayang Park Dago. The selection of location is based on a consideration regarding the flat contour, traveler preferences, and tourism plans. While the point of origin is located within a 2-kilometer radius of the destination point. Travelers who become main targets for the development of this service shall experience a pleasant ride and cycle comfortably without having to be interfered by poor road surface conditions. Several bike spots and necessity numbers of the bike-share station in Bandung indicates that the development of Bandung Bike-share was conducted in accordance to regional territory, due to limitations contours of roads, which is far from ideal for cycling. Therefore, development program of Bandung Bike-share that conducted in several regional areas and connectivity between regional locations of the station are integrated with transport public such as Angkot (public transport), bus, etc. Bike share stations configured to fit in a variety of spaces. A station that uses angled docks is only 45 (in gradientt unit) wide, ideal for narrow sidewalks.

Table 3. Comparison of angled docks

Number Docking Gradient Level Lane used

1 0 1500 mm

2 30 1350 mm

3 45 1200 mm

Page 60: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 59    

Picture 3. Study of Measurement of docking station

2.4 Design Problems Based on identification process of activities initiated from registration process to return of the bike, from either the user or the operator, there are several problems, such as: 1. Required practicality and return of bike rental with more secured accountability. Further, the

bicycle system should be restored at the initial station, rather inconvenient when the user is travelling away from the rental spot of bike-share station.

2. Constraints of operations in form of community, which bike shares were managed by bike.BDG requires an improvement system andmore professional management.

3. Lack of bike-share station space requires an innovative design, which should be adjusted to the cityscape.

2.5 Design Ideas The defined concepts and criteria of objects design that described in this section is the standard that used to evaluate either the target is achieved or not. The relation of products designed with the human as a user and adjust the environmental conditions that minimal space tourist area (livable and low profile). 2.6 Design Alternatives Upon the design development process, the author have created three of alternative design concepts for docking as follows: A. Alternative Design I Applying Individual Docking by providing a specific space for bike, the docking is designed to adjust the docking landscape of the tourist area. Automatic lock use solenoid and hook located on bicycle hub. The terminal is designed separately as signage information.

Page 61: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 60    

Picture 4. Alternative design one

B. Alternative Design II Applying Bar docking, which prioritizes the efficiency for bicycle storage in a numerous amount more than the individual docking. The terminal is designed separately as well as signage information. This is to simplify the production process and compliance with the landscape placement of the bike-share station.

Picture 5. Alternative design II

C. Alternative Design III Applying Bar docking, it is configured to fit in a variety of spaces. A station that uses angled docks is only 45 wide, ideal for narrow sidewalks.

Picture 6. Alternative Design III

Page 62: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 61    

2.7 Design Requirements Design requirements focused on the user behavior, operator services while locking the bike and return a bike in park station, with the installation of bar docking.

Table 4. Design Requirements Number Component Requirement

1 Docking Station

- bar with semi modular permanent installation - Minimum space

2 Technology of Information System

- Third Generation System - Improve Security & Accountability (RFID in

locking Hook and Smart Card)

2.8 Study of Semantic Aspects Based on the initial product concept and background of the problems, the study semantics docking station is more directed at Major Innovation. This is because the bike-sharing system that supporting the tour is still new in Indonesian society especially tourists, hence innovation product requires significant behavior changes from the user (tourist), however applies the tourist values and built upon the basis of tourist consciousness. The modular docking concept was inspired from leaf segments that meets at a sole point between segments, with a converging sense of “feelings” and “identity”. This is consistent with the essential concept of bike-sharing system that create a point-to-point, accessing the tourist areas more efficiently and feasible to the environment.

Picture 7. Leaf segments

Picture 8. Moodboard

Page 63: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 62    

3. Study Results and Discussion From all three designs, the author decided to develop the third design alternative, considering the various advantages and disadvantages compared to other designs. However, the development of this design also correspond to the advantages of first and second design alternative. Development of design chosen was low-profile docking design with purpose to reveal the ‘identity” when deployed in tourist area, this allowing the placement of stations in public space is minimal and ease the process of joining and installation. The final design is developing a bar docking station for efficiency to increase bike capacity and with consideration of production costs to facilitate the installation.

Table 5. Alternative comparison of the docking

No Docking Station Alternative

1 Alternative

2 Alternative 3

1 Usability v v v 2 Livable / Low profile v v 3 Low cost v v 4 Ease to Install v v

5 Minimum space v

Picture 9. Docking design of study result

Picture 10. Configuration study of docking station

Page 64: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 63    

3.1 Final Design

Picture 11. Final Design

Picture 12. Illustration of the docking implementation

3.2 Specifications the docking station Assembling consists of hook for bike main bar, frame bar, and docking. In overall docking modules should resist to tropical conditions in Bandung.

Table 6. Specification of the Docking Station

No Specification Size Material

1 Docking (3x)

Box Dimension 260 mm x 260 mm x 140 mm

Galvanized Steel

2. Bar Docking Bar Tube dimension 160 mm x 3040 mm; diameter 60 mm

Galvanized Steel

3. Frame docking module Bar tube dimension 1160 x 400 mm x 100 mm; diameter 60 mm

Galvanized steel

 Signage 

Terminal 

Docking 

Bar docking 

Page 65: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 64    

No Specification Size Material

4. Signage 25 mm x 40 mm Sheet Galvanized Steel

5. Module PSU (Power Supply Unit)

Box dimension 250 mm x 250 mm x 270 mm

Sheet Galvanized Steel

6. Terminal module Box dimension 250 mm x 250 mm x 130 mm

Galvanized Steel

7. Bar Frame specification

Length 400 mm x height 660 mm

Bollard, concrete, soil, stone

8. Main Bar specification Length 400 mm x height 760 mm

Bollard, concrete, soil, stone

The modular docking concept that applied is inspired from leaf segments that meet at a point between the segments, with the converging sense of ‘feeling’ and ‘identity’. This is consistent with the essential concept of bike-sharing system, which creates a point-to-point, find a sense of cycling experience more meaningful, self-discovery when it perceives of nature, appreciate tourist areas, and maintain the sustainability of Bandung city.

4. Conclusion Docking is an essential part that affects the success of bike-share system performance, especially third generation. The results of final design on The third generation system with docking bar was adjusted to the narrow sidewalk contour in Bandung, resulting in a design that uses angled docks of 45 wide, which is ideal for narrow sidewalks. The Results of docking station design as a means of supporting tourism in Bandung likely to provide innovative development of the bike-share system, which guarantees the security, and accountability of bike-share operations. References Book [1] Bicknell, Julian. et al. 1977. Design for Need: The Social Contribution of Design. New York:

Pergamon Press. [2] Edgell, D. L. 2006. Managing Sustainable Tourism: A Legacy for the Future. The Haworth Press,

Inc. [3] Guidot, Raymond. 2006. Industrial design Techniques and Materials. Paris: Flammarion. [4] Norman, Donald. 2005. Emotional Design: Why We Love (or Hate) Everyday Things. New York:

Basic Books Rodgers, Paul. et al. 2011. Product Design. London: Laurance King Publishing Ltd. [5] Wiyancoko, Dudy. 2010. Desain Sepeda Indonesia: Desain, Sepeda, dan Masyarakat. Jakarta:

Gramedia. [6] ------------------------. 2010. Desain Sepeda Indonesia: Desain Sepeda untuk Semua. Jakarta:

Gramedia. Digital Jurnal [1] Anthropometric Reference Data for Children and Adults. United States, 2007–2010 [2] Lumsdon, L. (2000). Transport and Tourism: Cycle Tourism – A Model for Sustainable

a. Development. Sustainable Tourism [3] NASA-STD-3001. 1995. Volume I - Man-Systems Integration Standards Revision B. NASA -

Johnson Space Center. Houston, TX.

Page 66: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 65    

Guide or Standart [1] Aime, G. et al. (2011) The Bike-share Planning Guide. New York: Institute for Transportation &

Development Policy Venier, Fabio (2010). International Patent: Bicycle Design Station. World Intellectual Property

Legislation [1] Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 01 Tahun 2013 Tentang Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan Daerah Tahun 2012 – 2025 [2] Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 tahun 2014 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2013-2018 [3] Rencana Strategis Dinas Perhubungan Kota Bandung Menuju Transportasi yang Lebih

Humanis Tahun 2016. [4] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Internet [1] http://news.okezone.com/read/2016/02/16/525/1313902/bike-sharing-di-bandung-akan-

dihidupkan-dengan-konsep-baru (diakses pada senin 29 Februari 2016, pukul 11.33 WIB) [2] http://infobandung.co.id/banopolis-luncurkanbike-sharing-pertama-di-indonesia/ (diakses pada

Rabu 08 Juni 2015, pukul 11.00 WIB) http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/05/ketahui-fakta-seputar-bike-sharing (diakses pada Kamis 18 Februari 2016, pukul 13.00 WIB)

[3] http://bikeshare.com/2013/09/a-window-into-hangzhous-monumental-bike-share-program (diakses pada Jumat tanggal 1 April 2016, pukul 09.00 WIB)

Source of information [1] Nurrewa, Anugrah. Kerja Profesi Desain Produk. PT Banopolis Inovasi Kendara. 2015 [2] Jelantik, Bismo. Product Design ITB.2015 [3] Syarief, Achmad. Kuliah Semantika Produk I. Desain Produk ITB. 2012 Thesis [1] Aquarita, D. (2013). Potensi Pengembangan Wisata Sepeda di Kota Bandung Berdasarkan

Persepsi dan Preferensi Wisatawan. [2] Pratiwi, Fahdiana (2014). Studi Penyusunan Rute Wisata Sepeda Dalam Menunjang

Pengembangan Wisata Heritage di Kota Bandung.

Page 67: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 66

Desain Perahu Nelayan Wisata Bahari Berdasarakan Kajian Ergokultural Maritim

Edi Setiadi Putra Jurusan Desain Produk FSRD Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung

Email : [email protected]

Abstrak Di Pangandaran, nelayan pesisir terdiri dari tiga kategori, yaitu nelayan pesisir dan nelayan wisata bahari yang menggunakan perahu cadik tradisional, serta nelayan laut yang menggunakan kapal besar. Nelayan wisata bahari dituntut memenuhi keselamatan berperahu dan kenyamanan perjalanan. Masalahnya adalah, perahu yang digunakan tidak dirancang untuk angkutan wisata. kecelakaan sering terjadi di Pangandaran, yaitu tabrakan kapal dan menggiling perenang di pantai. Nelayan membutuhkan sistem keselamatan transportasi pantai. Melalui pendekatan partisipatif dalam studi etnografi dan ergonomi-budaya, diperoleh kemungkinan menerapkan sistem keselamatan berperahu melalui pengembangan desain cadik dan penggunaan sistem lampu laut. Upaya ini dapat mengurangi terjadinya tabrakan kapal dan kecelakaan di wilayah pesisir. Kata kunci: desain produk, perahu, nelayan, wisata bahari, ergokultural

Abstract In Pangandaran, coastal fishermen consists of three categories, namely coastal fisherman and marine tourist fishermen who use traditional outrigger boat, as well as ocean fisherman that uses a large ship. Fishermen marine tourism prosecuted fullfill of boating safety and travel convenience. The problem is, the boat used is not designed for tourist transport. accidents often occur in Pangandaran, namely collisions boats and grind swimmers on the beach. Fishermen need transportation safety systems beaches. Through a participatory approach in ethnography and ergonomics-cultural studies, obtained the possibility of implementing a boating safety systems through the development of outrigger design and the use of marine lights system. These efforts can reduce the occurrence of ship collisions and accidents in coastal areas. Keywords: product design, boats, fishing, marine tourism, ergokultural

1. PENDAHULUAN Di Pantai Pangandaran, para nelayan tengah berhadapan dengan tiga pilihan untuk mengikuti perubahan, yaitu dari nelayan pencari ikan di kawasan pesisir (coastal fisherman) yang berpenghasilan rendah, menjadi nelayan samudera (oceanic fisherman) yang berpenghasilan cukup tinggi yang difasilitasi dengan kapal nelayan berbobot ≥ 50 gros ton yang mampu menjelajah samudera atau mampu melintas lebih dari 15 mil laut dari garis pantai. Program Pemerintah melalui Kementerian Perikanan dan Kelautan, telah mendorong para nelayan pesisir yang berpenghasilan minim karena hanya mampu menangkap ikan dan udang di sekitar pantai, untuk berkembang menjadi nelayan samudera yang berpeluang menghasilkan hasil tangkapan yang besar dan berlimpah di lepas pantai. Selain itu, terdapat pilihan lain yang ditempuh nelayan tradisional Pangandaran, adalah menjadi pelaku usaha wisata bahari, yang melayani rute perjalanan wisata sekitar pesisir dan muara sungai. Usaha ini cukup banyak dipilih oleh para nelayan, karena mereka masih dapat berbisnis wisata bahari dengan mempergunakan perahu yang ada. Kendala yang dihadapi dalam bisnis wisata bahari adalah banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi nelayan dalam rangka menjamin keselamatan wisatawan asing dan domestik. Persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh para nelayan penyelia jasa wisata bahari, adalah kewajiban untuk memperlengkapi fasilitas keselamatan dalam menggunakan jasa

Page 68: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 67

transportasi perahu (safety boat), serta peningkatan fasilitas kenyamanan berwisata bahari (marine tourism comfortability). Faktor keselamatan dan kenyamanan berwisata merupakan prioritas utama yang harus dipenuhi nelayan ketika memilih profesi baru sebagai penyelia jasa perahu wisata. Nelayan yang bergerak di bidang wisata bahari, pada umumnya tergabung dalam koperasi atau badan usaha dengan ijin khusus Pemerintah. Pengusaha wirausaha bahari atau wirausaha tirta diharuskan melakukan pendaftaran usaha, sesuai tata cara yang diatur oleh Kementerian Pariwisata dan kebudayaan RI. [1] Faktor keselamatan berperahu yang disosialisasikan Dinas Pariwisata kepada para nelayan, merupakan pelaksanaan dari program pengembangan industri pariwisata bahari di Indonesia, yaitu peningkatan pelayanan usaha wisata. [2]. Fasilitas faktor keselamatan wisata bahari yang telah dikenal kalangan nelayan dan masyarakat pariwisata Pangandaran adalah antara lain: penggunaan jaket pelampung (life jacket) untuk setiap wisatawan dan kru nelayan, penggunaan helm (safety helmet), lampu darurat dan komunikasi (emergency light dan sign lighting), suar, komunikasi radio, peralatan SOS (Save Our Soul), dayung, ban pelampung, peralatan reparasi, baterai cadangan, solar cadangan, dan peralatan PPPK. Sedangkan faktor kenyamanan yang secara bertahap diupayakan secara mandiri oleh nelayan adalah kebersihan perahu dari bau amis ikan dan jamur karang, serta ketersediaan sarana duduk, tangga, tempat sampah, atap pelindung kabin dan ruas batang untuk menahan goncangan ombak. Secara khusus Pemerintah mempersiapkan peningkatan faktor keselamatan dan kenyamanan wisata, melalui optimalisasi sarana prasarana dermaga dan pusat-pusat rekreasi, serta meningkatkan standar wisata nasional melalui keberadaan penjaga pantai (coast guard), pengawas pantai (coastal surveillance), dan tim SAR (Search and Rescue). Kondisi pengelolaan wisata bahari di Pantai Pangandaran dan sekitarnya memperlihatkan adanya gap (jurang pemisah), antara pengelolaan mandiri oleh kaum nelayan dengan pengelolaan wisata terpadu yang dikelola pengusaha besar. Atraksi wisata tirta modern pun hadir di Pangandaran, memberikan banyak pilihan bagi para wisatawan domestik dan wisatawan asing. Hal yang sangat menarik adalah terdapat upaya untuk mempertahankan perahu tradisional Pangandaran sebagai daya tarik wisata. Perahu cadik tradisional merupakan artefak budaya pesisir yang menjadi ikon wisata bahari Pangandaran. Perahu nelayan tradisional yang menjadi ikon wisata bahari Pangandaran, berperan sangat penting sebagai subjek budaya yang sarat kearifan lokal dalam kebudayaan maritim Sunda. Kajian terhadap perahu nelayan ini memungkinkan terjadinya inkulturasi budaya yang menghubungkan faktor keselamatan dan kenyamanan (ergonomic factors) dengan faktor budaya, sehingga perahu tradisional ini merupakan produk ergonomis yang layak pakai sebagai sarana transportasi laut yang unik. 2. METODOLOGI Kajian terhadap perahu nelayan tradisional sebagai subjek penelitian, mengharuskan adanya pemahaman tiga unsur inheren (budaya-teknologi-sains) yang memusat pada ’wujud produk’ sebagai unsur konvergen. Pola untuk memahami produk dari tiga sudut pandang (culture-techo-science) ini, dikembangkan melalui pendekatan partisipatori etnografi, dimana dalam memahami suatu produk diperlukan kajian komprehensif untuk mengetahui apa yang diketahui masyarakat nelayan (melalui wawancara), untuk memahami apa yang mereka kerjakan (melalui peran pemagangan atau kegiatan partisipatif sebagai nelayan), dan untuk memahami perilaku dan makna budaya diperlukan observasi lapangan atau kajian etnografi. [3] Karena riset bersifat deskriptif kualitatif yang berfokus pada suatu karya desain produk, maka kajian ini menggunakan partisipatori etnografi, seperti skema berikut:

Page 69: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 68

Gambar 1

Konsep pendekatan partisipatori etnografi (sumber: skema dasar dari http://www.yainal.web.id)

Terkait dengan ilmu pengetahuan (sains) yang dimiliki masyarakat nelayan, dilakukan wawancara langsung terhadap responden yang terdiri dari nelayan aktif. Ilmu pengetahuan kenelayanan (what people say they do) dapat dipahami melalui paparan tutur, percakapan, dan sesuatu yang merupakan referensi. Langkah selanjutnya adalah melaksanakan pendekatan partisipatori (participatory design), yaitu proses memahami teknologi atau sain terapan yang dikembangkan masyarakat nelayan, melalui gerakan partisipasi dalam kegiatan nelayan saat bekerja dan mempergunakan berbagai alat kerjanya (what people make). Langkah berikutnya adalah melakukan kegiatan riset dengan pendekatan etnografi terhadap makna budaya, untuk menyimak apa yang sedang dikerjakan atau apa yang menjadi kebiasaan khas para nelayan (observing what people do). Ketiga gatra kajian ini berfokus pada satu titik kajian, yaitu produk perahu nelayan. Kajian terhadap wujud riil ’perahu nelayan tradisional Pangandaran’, merupakan konsepsi implementasi etnografi yang relevan dalam riset desain produk, sebab terkait dengan perlunya pemahaman tentang perilaku kerja manusia sebagai sudut pandang sosial budaya yang berpengaruh dalam keputusan desain.[4] Sudut pandang lain yang terlibat dalam pembentukan produk adalah berupa kompetensi dalam berkreasi dan berproduksi yang terpadu dengan unsur ilmu pengetahuan berbasis kearifan lokal. Pola kerja masyarakat nelayan yang berlandaskan budaya maritim, dapat dikembangkan sebagai unsur pengetahuan dalam bidang ilmu ergonomi makro, dimana risalah ekosistem, ekologi dan ekonomi terlebur dalam satu cakupan yang menjadi budaya kerja. Prinsip keterhubungan antara bidang ergonomi dan bidang budaya dipelajari dalam kajian ergokultur (ergonomic cultural). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Prinsip Ergokultural Maritim Prinsip ergokultural maritim Sunda yang terpelihara baik di kawasan Pantai Pangandaran dan sekitarnya, tergambar dari pengakuan akan adanya akar budaya Sunda yang mencakup kehidupan nelayan sebagai bagian dari trigatra masyarakat Sunda. Menurut Edi S.Ekajati (2005), peneliti Belanda bernama RW Van Bemmelen (1949) menyebutkan Sunda adalah suatu istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, yang memiliki struktur kemasyarakatan yang disusun berdasarkan kondisi geografis. Masyarakat Sunda terdiri dari kaum nelayan (pamayang) di pesisir, kaum petani (panyawah) di dataran rendah, dan kaum peladang (pahuma) di dataran tinggi. [5]

Page 70: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 69

Gambar 2 Konsep masyarakat Sunda berdasar geografi (visualisasi penulis dari Edi S Ekajati,2005)

Seperti yang juga tercantum dalam naskah kuno ‘Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian’ (1518), disebutkan dalam masyarakat Sunda terdapat “Pancabyapara” atau lima pekerjaan budaya, yang terdiri dari (1) kaum petani (sang Mangukuhan), penggarap bumi untuk mencapai kukuh pancuh atau kekuatan dalam bidang logistik dan pangan, (2) kaum penyadap (sang Kusika)yang mengembangkan hasil bumi dan hasil tambang, (3) kaum pemburu (sang Karungkalah) yang memelihara ekosistem hutan, disebut juga paninggaran atau pamoro sato (4) kaum pedagang (sang Sandanggreba) yang mengembangkan pasar dan distribusi komoditi antar masyarakat, serta (5) kaum pelaut (Sang Patanjala) atau disebut juga pamayang (mayang berarti gelombang, sehingga pamayang berarti manusia ombak atau gelombang) yang menjaga ekosistem laut.[6] Kelima profesi tersebut merupakan pancagatra manunggal yaitu lima segi yang menjadi satu kesatuan, seperti lima kelopak bunga yang mekar.

Gambar 3

Konsep pancabyapara (visualisasi penulis dari Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian, 1518)

Prinsip Pancabyapara terhubung dengan konsep kosmologi Sunda “papat kalima pancer” atau konsep empat sisi keseimbangan konvergen yang terhubung dalam satu titik fokus. Jika fokus pada segi patanjala/pamayang maka keempat sektor lain akan bertindak menjadi pendukung. Atas dasar inilah perkembangan di daratan (rendah dan tinggi), merupakan hasil dari perkembangan masyarakat pesisir, demikian pula sebaliknya. Dalam sejarah peradaban kita, kemajuan masyarakat di tengah pulau merupakan hasil dari perkembangan yang terjadi di masyarakat pesisir. Awal perubahan dimulai dari pesisir adalah karena masyarakat pesisir lebih cepat menjalin hubungan dengan dunia luar[7]. Dalam peranannya sebagai patanjala, nelayan di Pangandaran menempatkan diri sebagai penjaga ekosistem laut, sehingga sangat konservatif dalam memandang laut sebagai bagian dari hidupnya yang harus dijaga dari unsur luar yang merusak. Hal ini terwujud dalam sikapnya yang senantiasa waspada dan hati-hati dalam menerima perubahan.[8] Namun, karena konsep budaya Sunda bersifat paradoks, untuk mengembangkan diri menjadi bangsa yang lebih maju, kaum pamayang/nelayan harus bersedia

Pahuma

Panyawah

Pamayang

Pahuma (pa‐huma) Kaum peladang (huma) nomadik Di Dataran tinggi.  (kawasan mandala) 

Panyawah (pa‐nyawah)Kaum petani sawah Di Dataran rendah. (kawasan nagara) Pamayang (pa‐mayang) 

Kaum nelayan Di pesisir atau pantai (kawasan sagara) 

Page 71: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 70

proaktif menerima perubahan. Konsep paradoks ini kemudian memberikan arti “sineger tengah”, jalan tengah atau jalan keseimbangan (balance), yang menjadi prinsip hidup masyarakat Sunda pada umumnya. Prinsip ergokultural maritim yang terpelihara baik di kawasan wisata Pantai Pangandaran, tidak saja hidup dalam perilaku masyarakat pamayang (nelayan Sunda), tetapi juga dalam ragam bentuk perahu dan komponen fungsi yang terhubung dengan desain perahu. Salah satu komponen pada perahu tradisional Pangandaran yang sangat penting adalah cadik (outrigger). Fungsi cadik adalah sebagai penjaga keseimbangan agar perahu dapat melintasi laut dan bertahan dari hempasan gelombang. a. Prinsip Keseimbangan Cadik Cadik adalah komponen perahu tradisional yang terdapat di kedua sisi perahu. Di antara sisi kiri dan kanan terdapat perahu di mana manusia bekerja. Cadik sebelah kiri dan kanan bersifat simetris sehingga dapat menjaga kestabilan perahu lebih efektif. Cadik juga merupakan simbol perbedaan sekaligus persamaan. Bentuk dan konstruksi cadik di beberapa wilayah ternyata berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa cadik boleh mengalami perubahan disesuaikan dengan perkembangan budaya setempat.

Gambar 4 Prinsip kerja cadik

(Dokumen penulis, model perahu tradisional)

Konsep keseimbangan berasal dari pemahaman masyarakat Sunda terhadap prinsip keseimbangan alam semesta. Produk perahu sebagai benda mati yang bergerak karena daya alam (angin atau gelombang laut) berperan sebagai wahana penghidupan yang memperoleh penghormatan yang tinggi. Keseimbangan dari alam dianalogikan sebagai upaya gerak untuk hidup, karena itu dalam pola berenang, kedua tangan sebagai daya laju juga berperan sebagai penyeimbang dan pengendali, demikian pula yang terjadi pada burung dan sayapnya atau ikan dengan siripnya. Digambarkan sebagai berikut:

Gambar 5 Prinsip kerja cadik : rentang tangan manusia

(Dokumen penulis)

Cadik Kenca (kiri) Penyeimbang arah kanan  

Cadik Katuhu (kanan) Penyeimbang arah kiri  

Page 72: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 71

b. Prinsip Tritangtu Prinsip Tritangtu (tiga ketentuan) Sunda, mencakup tiga aspek kehidupan yaitu dunia bawah, dunia tengah dan dunia atas. Dunia tengah merupakan dunia manusia. Seperti tampak pada gambar di bawah ini :

Gambar 6 Prinsip Tritangtu pada Dimensi Perahu Tradisional

(Dokumen penulis)

3.2. Ergokultural Maritim Terapan Penerapan faktor keselamatan pada perahu nelayan (safety boat), selain berupa perlengkapan marine safety standar yang diperlukan tersedia pada perahu, adalah berupa keberadaan cadik yang multi fungsi. Desain perahu tradisional sepatutnya tidak mengalami sentuhan desain ulang (redesign), karena merupakan produk artefak budaya yang perlu dipertahankan nilai-nilai orisinalitasnya [7]. Sebagian besar turis asing yang mempergunakan perahu nelayan disebabkan oleh keunikan dan keasliannya. Jika perahu tidak dapat dirubah wujudnya, maka komponen cadik merupakan bagian yang paling fleksibel untuk menerima perubahan.

Gambar 7

Plain model produk perahu nelayan (skala 1:5) (dokumen penulis)

Page 73: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 72

Parahu Pangandaran Perahu Jawa/Cilacap Perahu Bali

Perahu Sulawesi Perahu Nusa Tenggara Perahu Sumatera

Gambar 8

Ragam cadik pada produk perahu nelayan Nusantara (dokumen penulis)

Kementerian Perikanan dan Kelautan menyarankan nelayan untuk memperhatikan alur lalu lintas laut dari kapal-kapal besar yang melintas diantara jalur nelayan tradisional. Di beberapa tempat, sering terjadi tubrukan antar kapal, dan pelindasan terhadap perahu nelayan yang melintas jalur laju kapal. Berbagai sekolah pelayaran, mempergunakan pedoman P2TL (Peraturan pencegahan Tubrukan Kapal) yang merujuk pada International Regulation on Prevantion of Collision At Sea 1972. Aturan ini menjelaskan bahwa setiap kapal (termasuk kapal nelayan, kecuali yang berkemampuan untuk berubah haluan secara cepat seperti perahu motor atau speedboat), diwajibkan mengikuti aturan lalu lintas laut, dengan mempergunakan sistem komunikasi dengan lampu/cahaya, suara peluit dan tanda-tanda visual yang disepakati secara internasional. [8] Konsep desain untuk penerapan faktor keselamatan adalah mempergunakan sistem cahaya lampu di bagian cadik sebagai media komunikasi dan informasi lalu lintas laut dan sistem penerangan untuk bagian kabin perahu. Selama ini sistem lampu untuk komunikasi belum pernah ada pada perahu nelayan tradisional manapun. Hal ini disebabkan tidak adanya kewajiban bagi perahu kecil untuk mengikuti aturan P2TL/IRPCA 1972.

Gambar 9

Page 74: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 73

Komponen cadik yang siap menerimap perubahan (Dokumen penulis)

Gambar 10

Komponen sistem lampu cadik (Dokumen penulis)

Pada sistem lalu lintas laut, terdapat aturan penggunaan lampu hijau untuk informasi perahu melaju dalam kecepatan normal, sedangkan warna merah untuk menunjukkan bahwa perahu sedang diam dan dapat membiarkan perahu atau kapal lain melintas jalurnya. Sedangkan di bagian belakang terpasang lampu warna kuning, yang menunjukkan perahu berada di depan dan sedang aktif bergerak. Karena setiap sarana transportasi laut harus memiliki fasilitas untuk melakukan komunikasi dengan sarana transportasi lain dalam lintasan laju laut, maka perahu nelayan pun harus memiliki sistem komunikasi jarak jauh yang mampu dipahami oleh pengguna lintasan laut. Penggunaan lampu isyarat merupakan salah satu fasilitas safety boat yang sangat penting.[9]

Gambar 11

Desain sistem lampu cadik (Dokumen penulis)

Page 75: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 74

4. KESIMPULAN Kajian terhadap unsur-unsur pembentuk budaya Sunda dalam khazanah kemaritiman, diperlukan untuk menggali konsep hidup pamayang yang relevan dengan situasi dan kondisi nelayan wisata bahari di Pantai Pangandaran ini. Masyarakat wisatawan dalam dan luar negeri, dapat memahami kehidupan nelayan dan lingkungannya sangat menarik untuk diapresiasi sebagai suatu wisata budaya yang berkualitas tinggi. Implementasi faktor keselamatan dan kenyamanan wisata bahari, dapat dikembangkan melalui desain cadik, dan komponen fungsi lainnya. Misalnya sebagai media komunikasi antar perahu yang selama ini tidak dipedulikan para nelayan. Banyaknya tabrakan antar kapal dan kecelakaan perahu, menunjukkan perlunya kita memperdulikan semua aturan lalulintas laut.

UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Kemenristek Dikti yang berkenan memberikan hibah penelitian tahun 2016-2017. Semoga penelitian yang masih berlanjut ini memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan kaum nelayan (pamayang), serta keselamatan dan kenyamanan masyarakat wisatawan bahari di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA [1] Peraturan Menteri Pariwisata dan Kebudayaan RI. (2010). Nomor: PM.96/HK.501/MKP/2010

tentang Tata Cara Pendaftaran Wisata Tirta. [2] Priyono, Agus. (2014). Program Pengembangan Industri Pariwisata Bahari di Indonesia.

Direktorat Industri Pariwisata.Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kongres Maritim Indonesia, Yogyakarta 23-24 September 2014.

[3] Fetterman. (1998). Ethnography (2nd edition). Thousand Oak CA: Sage Publication. [4] Agar, M. (1996). Professional Stranger: An Informal Introduction To Ethnography, (2nd ed.).

Academic Press [5] Ekajati, Edi S. 2005. Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah, Jakarta: Pustaka Jaya [6] Danasasmita, Saleh., Ayatrohadi.dkk. 1987. Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang

Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632), Transkripsi dan Terjemahan”, Diterbitkan oleh Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bandung.

[7] Kusnadi. 2000. Nelayan:Strategi Adaptasi & Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press [8] Satria, A. 2012. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologi. Jurnal Makara (Journal

of Social Sciences and Humanities). Series Vol 16 No.1. Juli 2012: 68-78. [9] Peraturan Internasional Pencegahan Tubrukan Kapal di Laut (International Regulation on

Prevantion Of Collision At Sea 1972). Situs: http://hmhasanmuhamad.blogspot.co.id/ 2014/10/p2tl.html. diunduh: 11 november 2016.

Page 76: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 75

Rancangan dan Respons Aktifitas pada Taman Musik Kota Bandung

Eka Virdianti dan Dian Duhita Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknologi Sipil dan Perencanaan

Institut Teknologi Nasional Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124

[email protected]

Abstrak Tematik merupakan salah satu pendekatan responsif yang mempermudah perancang untuk menemukan identitas karya. Taman adalah ruang publik terbuka yang berfungsi sebagai tempat berkumpul komunitas dan penyeimbang iklim mikro lingkungan. Periode 2014, Kota Bandung mencoba menghidupkan taman sebagai ruang publik kota dengan memberikan identitas tematik dan menyediakan elemen/fitur taman yang menarik. Obyek penelitian merupakan Taman yang dipilih karena tema taman mewakili segmentasi umur komunitas muda-mudi kota. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis penerapan disain responsif dan respon aktifitas komunitas di Taman Musik. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan partisipasi-observasi dan metoda analisis deskriptif. Hasil kesimpulan memberikan gambaran bahwa Taman Musik memiliki rancangan yang cukup sesuai dengan tema dan menghasilkan jenis respons yang berbeda. Taman tersebut telah memberikan rancangan yang cukup menarik sehingga mengundang komunitas kota untuk datang ke taman namun pengunjung merespon dengan aktifitas yang tidak sesuai tema. Kata Kunci : Rancangan, Tematik, Respon Aktifitas

Abstract The Thematic is one of responsive approach to help an architect to find identity of their design. A Park is open public spaces which has a function as community gathering place and balance the micro climate. At period 2014, Bandung tried to activated the park as public space by giving the new thematic identity and provide attractive element/features. The Object of study was selected by segmentation thematic community which represented adult of city community. The aim of study is analyzing implementation of responsive design and activities community responses in Taman Music. This study use a qualitative approach with participatory observation and descriptive analitic method. The conclucion describe are Taman Music designed pretty appropriate to the theme and generate the differences respons. These park presented attractive design which invite the adult community to activating in that area. Although the community activity responses is distinct with the theme. Keywords: Design, Thematic, Activity Responses 1. Pendahuluan Taman sebagai ruang publik dapat digambarkan sebagai ruang komunal skala kota dimana masyarakat kota berkunjung sebagai teman, tetangga dan warga kota. Tempat ini memberikan keutamaan untuk kegiatan interaksi antara individu dan antar kultur. Ruang publik menyediakan sesuatu yang menarik secara visual, pengalaman dan perbedaan aktivitas. Aktifitas yang terjadi dalam tempat tersebut menciptakan komunikasi antara lingkungan dan komunitas kota [1]. Terdapat beberapa kriteria keberhasilan ruang publik pada skala aktivitas kota antara lain merupakan kombinasi dari 3 variabel utama yang membentuk makna sebuah tempat, yakni activity, image dan form [2]. Hasil dari kombinasi ketiga faktor tersebut adalah beberapa atribut keberhasilan sebuah ruang publik menjadi tempat yang bermakna, dua diantaranya yaitu comfort and image, dan uses and activity.

Page 77: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 76

Pemerintah Kota Bandung mencoba untuk menghidupkan komunitas-komunitas warga kota melalui kegiatan interaksi dalam ruang publik. Melalui disain Taman, Pemerintah Kota bertujuan memberikan tempat untuk berkegiatan aktif, berkreasi dan berproduksi [3] dimana tempat tersebut diharapkan menciptakan komunikasi antara lingkungan dan komunitas kota. Sebelum dilakukan renovasi, beberapa taman di kota Bandung menjadi rancangan pasif tanpa interaksi komunitas hanya pemberi kenyamanan termal kawasan. Taman dengan rancangan tematik berbasis komunitas diterapkan di beberapa taman kota Bandung sebagai salah satu langkah untuk mengaktifkan fungsi-kegiatan taman. Sebagian dari komunitas kota dijadikan identitas dan tema dari nama Taman Kota. Pada kriteria disain berbasis komunitas dikatakan bahwa “Identifikasi aspek arsitektur berbasis komunitas melalui metode dengan penampil yang mendefinisikan dan mengarahkan dirinya sendiri dalam ruang yang diberikan” [4]. Sisi identitas taman tematik harus direpresentasikan pada sisi penampil dan ruang yang dirancang. Penampil arsitektur dapat diwujudkan dalam elemen pembentuk Taman sebagai bagian dari atribut keberhasilan sisi comfort and image. Secara umum pada teori landscape, terdapat dua kategori elemen pembentuk taman yaitu: (1) Hardscapes yang dapat diidentifikasi dengan sesuatu yang dibuat oleh bahan keras, (2) Softscapes yaitu berlawanan unsur yang sebelumnya, elemen ini terdiri dari hal hidup. Bentuk keberhasilan ruang public lainnya adalah uses and activity. Dari hal tersebut terlihat tautan antara disain dan aktifitas yang merepresentasikan identitas dan tema rancangan Taman. Faktanya, beberapa taman tematik di Kota Bandung memiliki fitur dominan yang bersifat spesifik dan terdefinisikan dengan baik, walaupun di beberapa tempat tidak sesuai dengan identitas taman. Fitur dominan yang menarik mengundang komunitas kota untuk berkunjung. Namun dari tiga tujuan penyediaan taman kota Bandung, hanya tercapai pada kegiatan aktif. Untuk tujuan kegiatan kreatifitas dan produktifitas belum tercapai [5]. Taman Musik merupakan salah satu taman dengan identitas baru sebagai tempat bermain musik. Namun apakah rancangan beridentitas Taman Musik tersebut telah menyediakan elemen disain penampil yang memberikan stimulan sehingga direspon oleh komunitas kota dalam bentuk aktifitas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis rancangan responsif Taman Musik dan respon aktifitas komunitas kota.

2. Metodologi Obyek penelitian dipilih Taman Musik dengan pertimbangan segmentasi komunitas muda-mudi Bandung, direncanakan untuk pengembangan kreatifitas bermusik. Lingkup penelitian berupa beberapa kriteria dari 7 (tujuh) variabel disain responsif [6] yang berkaitan langsung dengan comfort and image dan uses and activity [2], yaitu: (1) Robustness, ada ruang-ruang temporal, dapat difungsikan untuk berbagai aktivitas yang berbeda pada waktu yang berbeda. (2) Visual Approriate, mampu mengidentifikasi fungsi bangunan dengan melihat fisiknya (3) Personalization, melibatkan partisipasi komunitas serta adanya interaksi antara manusia dan lingkungan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metoda pengambilan data partisipatory observation. Data diambil oleh dua tim yang berbeda, tim pertama melakukan observasi dan dokumentasi, tim kedua melakukan wawancara pada responden terpilih. Responden diambil secara purposive sampling dimana partisipan diambil secara acak sesuai pertimbangan observer.Target sampel wawancara pada masing-masing waktu observasi adalah 5 (lima) responden. Waktu observasi diambil pada perkiraan peak time pada saat weekday yaitu 11:00-15:00WIB dan weekend pada saat pagi dan sore yaitu 08:00-10:00 and 15:00 -16.00WIB. Data berupa pengamatan obyektif berdasarkan observer dan data wawancara bersifat subyektif yaitu pengunjung yang berlaku sebagai responden. Data-data tersebut dianalisis dengan metode deskriptif.

Page 78: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 77

(b) (a)

3. Hasil dan Diskusi 3.1 Identitas Taman Musik Taman Musik dikenal juga dengan nama Taman Centrum, terletak di depan (dahulu) Area Permandian Centrum yang sekarang telah beralih fungsi menjadi Café. Berlokasi di jalan Belitung, luas Taman Musik berkisar + 2000 m2 (Peta Garis Kota Bandung), sebelumnya merupakan taman yang sudah beberapa kali dilakukan renovasi, tahun 2014 dilakukan renovasi kedua dengan mengusung tema musik, dapat dilihat pada gambar 1 Keberadaan Taman musik diharapkan digunakan untuk anak-anak muda Bandung dalam mengembangkan kreatifitas dalam bermusik. Tempat itu bisa jadi tempat bagi band musik yang ingin tampil dan bisa digunakan dengan gratis. Persyaratan melalui koordinasi dengan DISKAMTAM Bandung dan Pihak Kepolisian [7].

Dari hasil pengamatan dapat dideskripsikan secara (lihat pada gambar 2) yaitu: (1) Zona Stage : Zona ini berfungsi sebagai stage/panggung. Berbentuk lingkaran dengan elevasi ketinggian yang berbeda sekitar 20cm. Jumlah stage ada 3 (tiga), namun hanya dua yang dapat dipergunakan untuk panggung. (2) Zona Amphiteather: merupakan area tangga yang dapat digunakan sebagai tempat duduk, dirancang melingkar menghadap stage/panggung. (3) Zona Hijau: Area ini merupakan tempat elemen softscape taman berupa pepohonan perdu dan bertajuk sedang. (4) Zona Lapangan Basket Mini: Area ini berada dilengkapi dengan dua ring basket, material perkerasan berupa beton.

Pembagian zona pada Taman Musik secara luasan didominasi pada center taman yaitu area stage. Untuk lingkup batas site/area periferi sebagian digunakan untuk amphitheater, hal tersebut memanfaatkan adanya perbedaan elevasi antara bagian elevasi tengah taman dan jalan sebelah utara, timur dan barat. 3.2 Rancangan Responsif 3.2.1 Robustness Kriteria ini difokuskan pada penyediaan ruang-ruang temporal, dapat difungsikan untuk berbagai aktivitas yang berbeda pada waktu yang berbeda. Taman Musik, memiliki disain yang terbuka dan terdapat zona berbeda, dari sisi batasan zona serta fitur sangat sederhana. Penyebaran area hijau tidak

Gambar 1 (a)Kondisi Sebelum Renovasi [9], (b) Kondisi Sesudah Renovasi

Gambar 2 Pembagian Zona Pada Taman Musik

Page 79: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 78

Gambar 3 Zona Taman dirancang dengan Fleksibilitas Fungsi

Gambar 4 Rancangan Visual yang Terdefinisikan Secara Baik

terlalu dominan di area tengah sehingga dari sisi fungsi, sehingga dapat berfungsi untuk kegiatan yang beragam, lihat gambar 3.

Dari hasil pengamatan, Taman Musik telah menyediakan ruang/area yang dirancang dengan fungsi khusus namun bersifat fleksibel untuk berbagai aktifitas. Seperti zona basket, difungsikan sebagai tempat bermain basket, aktifitas aktif lainnya sampai dengan untuk penempatan booth acara tertentu. 3.2.2 Visual Appropriate Komponen ini dipertimbangkan agar pengunjung mampu mengidentifikasi fungsi bangunan dengan melihat fisiknya Taman Musik berfungsi sebagai taman, ruang interaksi dan perform acara music. Tatanan hardscape dan softscape memenuhi untuk fungsi taman, seperti tergambar pada gambar 4. . Dari sisi fisik rancangan, taman ini dapat diidentifikasi dengan baik sebagai taman dan ruang publik. Fungsi taman teridentifikasi dengan elemen tanaman hidup dengan tajuk pohon yang besar, memberikan kenyamanan termal. Fungsi Publik teridentifikasi dengan rancangan terbuka dan area duduk. Dari sisi identitas-tema, diwakili oleh rancangan stage dan fitur/elemen music namun tidak mendominasi. 3.2.3 Personalization Dinilai dari keterlibatan partisipasi komunitas dalam taman, rancangan Taman Musik dilengkapi dengan beberapa fitur dapat dikatakan mewakili identitas tematik sebagai taman. Interaksi komunitas dilakukan oleh para pelajar yang bersekolah di sekitar taman dan anak-anak (lihat gambar 5).

.

Aktifitas yang terjadi berdasarkan hasil pengamatan seperti gambar di atas, didominasi oleh aktifitas mengobrol, duduk, berolahraga dan menikmati suasana. Dominasi titik kumpul terjadi khususnya pada zona amphitheater/ area duduk sebagaimana dapat dilihat pada gambar 5. Dari analisis di atas, penamaan Taman Musik dengan tema musik dan diharapkan menjadi tempat pengembangan wahana bermusik memberikan dampak identitas rancangan. Dalam rancangan terwakili dengan adanya fitur/elemen alat music, stage dan amphitheater sebagai visual appropriate.

Gambar 5 Penilaian Personalization Taman Musik

Page 80: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 79

Identitas sebagai taman dan tema “Musik’ direspon dengan baik fungsi minimal taman secara umum sebagai pembentuk iklim mikro, tempat mengobrol, duduk, berolahraga dan ragam kegiatan lain, terindikasi pada kriteria robutness. Kekurangan dari rancangan Taman Musik adalah belum dapat memberikan stimulant yang significant pada aktifitas komunitas kota untuk melakukan aktifitas bermusik. Penilaian ini, terlihat pada penilaian disain dari sisi personalization yang membentuk respon aktifitas yang terjadi di Taman. Hasil observasi, taman ini dinilai lebih tersegmentasi untuk kalangan pelajar yang bersekolah di daerah sekitar. 3.3 Respons Aktifitas Komunitas Data yang diamati berupa jumlah pengunjung, segmen umur dan area favorit (lihat tabel 1) yang akan dianalisis untuk mendapatkan segmentasi pengunjung dan zona yang direspon terbaik oleh komunitas. Untuk segmentasi pengunjung, peneliti membagi 4 (empat) kategori umur yaitu: (1) Anak-anak (0-12 thn), (2) Pemuda/i (12-21 thn), (3) Dewasa (21-40 thn), (4) Lansia (40-60 thn).

Tabel 1 Hasil Observasi Pengunjung

No Tanggal

Observasi Waktu (wib)

Jumlah Pengunjung (orang)

Segmen Umur paling Aktif

Area Favorit

0-12

thn

12-2

1 th

n

21-4

0 th

n

40-6

0 th

n

0-12

thn

12-2

1 th

n

21-4

0 th

n

40-6

0 th

n

1 26 Juli 2016

13.3 0 4 2 2

x

area duduk

2 27 Juli 2016

13.15 3 8 4 3

x

area duduk

3 28 Juli 2016

15.57 10 34 6 0

x

area duduk

4 29 Juli 2016

11.50 0 >100 5 0

x

area duduk

5 30 Juli

2016 (pagi) 10.05 0 17 4 2

x

panggung tengah

6 30 Juli

2016 (sore) 16.35 0 17 6 0

x

area duduk, aera

lapangan

7 31 Juli

2016 (pagi) 10.42 4 20 16 0

x

area duduk

8 31 Juli

2016 (sore) 16.47 11 16 3 0 x x

area duduk

9 1 Agustus

2016 12.10 2 3 7 2

x

area duduk

Dari sisi segmen umur yang paling aktif diidentifikasi sesuai dengan tema yang mengarah ke segmentasi pengunjung remaja. Fakta ini menandakan bahwa fitur/elemen dalam taman telah memberikan stimulus yang sesuai dan direspon oleh komunitas remaja secara baik dengan melakukan kegiatan aktif seperti duduk dan berbincang. Kegiatan ini berkesesuaian dengan fungsi taman sebagai area publik yaitu minimal memberikan tempat untuk beraktivitas berbincang, duduk dan melihat. Zona amphitheater dan zona main basket, memberikan stimulan yang direspon secara dominan oleh pengunjung dengan aktivitas yang sesuai. Hal ini sejalan dengan pendapat area favorit yaitu zona amphiteather (area duduk). Taman ini belum dapat difungsikan secara aktif dalam hal kesesuaian aktivitas dengan tema -identitasnya sebagai taman Musik. Peneliti juga melakukan pengambilan data untuk tujuan responden ke taman, untuk mendapatkan gambaran tentang tujuan responden dan kesesuaian rancangan taman atau apakah respon aktifitas pengunjung sesuai dengan identitas taman .(lihat diagram 1)

Page 81: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 80

Diagram 1 Tujuan Pengunjung Taman Musik

Diagram 2 Penilaian Pengunjung/Responden pada Rancangan Taman

Dari diagram 1 di atas diketahui bahwa 76% tujuan pengunjung adalah untuk duduk santai di taman. Tergambarkan bahwa respons pengunjung yang tidak sesuai dengan tema dari Taman yaitu bermain musik. Hasil observasi dapat dilihat pada diagram 2.

Dari hasil tersebut didapatkan sekitar 78% menjawab faktor kenyamanan dan peringkat kedua 9% adalah tempat yang menyenangkan untuk berkumpul. Komunitas kota sebagai pengunjung, menilai Taman Musik merupakan taman yang nyaman dan tempat berkumpul. Hal ini sejalan dengan penelitian di taman tematik lainnya dengan studi kasus berbeda yaitu Taman Lansia [8], dimana responden menilai sisi positif taman lainnya adalah dari sisi kenyamanan.

4. Kesimpulan Taman Musik menyediakan fitur/elemen yang sesuai dengan identitas-tema “Musik” secara minimal. Secara visual appropriate, rancangan penampil identitas terwakili dengan baik oleh beberapa fitur. Kenyamanan taman dinilai oleh responden sebagai alasan untuk datang ke taman tersebut. Untuk kriteria comfort and image, sudah memenuhi. Namun dari rancangan belum dapat memberikan stimulus yang sesuai. rancangan fitur tersebut hanya direspon oleh pengunjung berupa aktifitas pada umumnya yaitu duduk dan berkumpul, tidak secara khusus yaitu bermain musik. Sehingga dari sisi uses and activity tidak berkesesuaian dengan tema. Daftar Pustaka [1] Carr, S., Francis, M., Rivlin, L.G., Stone, A.M. 1995. Public Spaces. Cambridge University Press. [2] Carmona, Matthew, and Heath, Tim. 2003 . Public Places - Urban Spaces. London. Architectural

Press. [3] Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Bandung Tahun 2013– 2018, 2013,

Bappeda Kota Bandung [4] Marcos L. Rosa, 2012, Hand made urbanism, From Community Innitiatives To Participatory

Model, UTE E. WEILAND (ED) [5] Virdianti, 2015, Rancangan Berbasis Komunitas Pada Fitur Dominan dan Penyelenggaraan

Taman Tematik Kota Bandung, publikasi dalam Prosiding Seminar Nasional “Rekayasa dan Desain”, December 1-2, 2015

Page 82: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 81

[6] Bentley, Ian.et all, 2001,Responsive Environment – A Manual For Designers, Architectural Press,Oxford.

[7] http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/destdet.php?id=1085&lang=id di akses 4 agustus 2016

[8] Virdianti, Duhita, 2016, Investigating The Theme, Culture Life-Style and Innovation of The Integrated Design of Lansia Park, publikasi dalam Prosiding “The Third International Conference on Creatives Industries”, November 14-15, 2016.

[9] https://www.google.com/search?q=taman+sma+5+bandung+photos&client=firefoxb&biw=1280&bih=663&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwjvmufezvvOAhVFto8KHbJNBFMQsAQIGw#imgrc=YJbv9S8e3zZ-SM%3A/diakses 6 September 2016

Page 83: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 82

Uji Kekuatan Tarik Sambungan Bambu Dalam Upaya Pencarian Estetika Baru pada Detail Konstruksi Bambu

Studi Kasus: Bangunan Kids Camp di Kawasan Wisata Mekarsari, Bogor

Ardhiana Muhsin

Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknologi Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Nasional

Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124 [email protected], [email protected]

Abstrak Masalah krisis energi ternyata memberikan dampak positif terhadap dunia arsitektur, dimulai dari pencarian material alternatif baru yang lebih sedikit memerlukan energi dalam pembuatannya hingga penggunaan material lokal dalam rangka mengurangi energi yang terbuang untuk keperluan transportasi. Salah satu material alternatif yang menjadi pilihan untuk dikembangkan adalah bambu. Material ini dahulu diyakini sebagai pilihan utama dalam membuat rumah, pagar, jembatan serta peralatan rumah tangga. Bambu dapat menjawab kebutuhan tersebut karena masa tanamnya yang cukup singkat selain ketersediannya yang mudah dijumpai. Pertimbangan itulah yang menjadi dasar bagi beberapa arsitek untuk mulai mengeksplorasi material bambu. Seiring perkembangan kebutuhan manusia, penggunaan material bambu dihadapkan pada tantangan untuk mewujudkan bangunan dalam skala yang lebih besar. Hal ini berdampak langsung terhadap teknik sambungan yang digunakan. Penemuan sambungan memakai mur baut serta adukan atau mortar menjadikan tampilan detail sambungan terlihat lebih “bersih” dibandingkan sambungan yang menggunakan tali ijuk berwarna hitam namun diperlukan pengujian lebih lanjut agar dapat dipertanggungjawabkan kekuatannya dengan tidak mengandalkan estetika saja. Penelitian ini menelaah desain bangunan Kids Camp yang berlokasi di Kawasan Wisata Mekarsari, Bogor. Pemilihan 2 buah jenis sambungan berdasarkan sambungan yang umum dijumpai dalam konstruksi bambu. Setiap sambungan diuji kekuatan tariknya sebanyak 3 (tiga) kali dengan jenis yang sama yaitu bambu petung/betung/awi bitung (Dendrocalamus asper). Hasil pengujian diambil nilai rata-rata sebagai dasar untuk perhitungan struktur selanjutnya.

Kata kunci : bambu, sambungan bambu, uji tarik 1. Pendahuluan Turunnya kondisi lingkungan akhir-akhir ini yang diantaranya disebabkan oleh penebangan hutan serta ekploitasi energi yang tidak terbaharukan menjadikan semacam tuntutan untuk mencari material alternatif pengganti kayu serta upaya pengurangan pemakaian energi tersebut. Bambu mampu menjawab permasalahan tersebut. Kemudahan mendapatkan bahannya sesuai dengan data yang diperoleh bahwa dari 1.200 – 1.300 jenis bambu yang tercatat di dunia, lebih dari 10% atau tepatnya 143 jenis diantaranya terdapat di Indonesia serta 60 jenis bambu diantaranya yang tumbuh di Indonesia tersebut berada di pulau Jawa (Widjaja, 2001). Masa tanam bambu yang pendek (5 tahun untuk keperluan konstruksi) juga turut mendukung ketersediaan material tersebut. Berawal dari latar belakang tersebut, beberapa arsitek tampil berani dengan mengangkat kembali bambu sebagai material pilihan utama dalam arsitekturnya. Di masa lalu, penggunaan material bambu pada bangunan terbatas pada bangunan berskala kecil seperti rumah tinggal dan yang lebih sederhana lagi seperti shelter atau saung dalam bahasa Sunda yang umum dijumpai di tengah persawahan sebagai tempat beristirahat bagi petani. Sambungannya masih sangat sederhana dengan menggunakan bantuan alat sambung seperti tali ijuk seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1.

Page 84: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 83

Gambar 1. Contoh bangunan bambu dengan sambungan pasak dan diikat tali ijuk

Berdasarkan pada masa perkembangan pengetahuan arsitektur bambu, Widyowijatnoko dan Trautz (2009) menggambarkan kondisi ini memiliki kesamaan dengan arsitektur vernakular atau tradisional karena walaupun awalnya dikembangkan oleh ahli bangunan pada masa itu, pengetahuan yang digunakan selebihnya disampaikan secara turun temurun, tanpa intervensi lain dari desainer, arsitek atau ahli bangunan lainnya. Beberapa jenis sambungan pada masa ini dapat dilihat pada gambar 2 berikut.

Perkembangan selanjutnya, arsitektur bambu telah menarik minat desainer, arsitek maupun engineering sehingga perubahannya pun cukup signifikan. Bangunan bambu tidak lagi berskala kecil namun juga dalam hal bentang dan jumlah lantai pun bertambah. Walaupun tidak semua bangunan dapat diterapkan menggunakan material bambu, beberapa bangunan yang telah dihasilkan dapat menjadi preseden yang baik bagi pemecahan masalah lingkungan seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Memasyarakatkan kembali material bambu sebaiknya dimulai dari bangunan-bangunan umum dimana dapat diakses oleh semua orang dari berbagai kalangan (Muhsin, 2012). Memasyarakatkan kembali arsitektur bambu juga berarti dapat mengangkat nilai lokalitas dalam arsitektur sehingga hal ini menjadi menarik untuk dipilih sebagai bahan penelitian dengan pertimbangan sebagai berikut:

‐ Pengetahuan tentang arsitektur bambu masih terbatas pada kalangan tertentu ‐ Standarisasi dalam perhitungan struktur bambu juga belum ditetapkan dan dapat dikatakan saat

ini mengandalkan pengalaman empiris perancangnya. Jenis sambungan bambu yang dikembangkan dari sambungan tradisional memerlukan pengujian agar tidak hanya tampil baik dari segi estetika namun dapat dipertanggungjawabkan juga kekuatan strukturnya. Pemanfaatan bambu untuk struktur bangunan modern sebaiknya memang memperhatikan sistim sambungannya (Morisco, 2009). Di Indonesia, penggunaan sambungan bambu berupa baut dan pengisi (mortar), telah diperlihatkan pada sebuah pameran di Mataram tahun 1995. Begitu pula dengan sebuah jembatan bambu yang memiliki bentang 12 m, terbuat dari bambu galah berdiameter 7-8 cm dengan sambungan plat buhul baja. Jembatan ini mampu dilewati tiga kendaraan ringan seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 2. Contoh Sambungan Bambu Sumber: Dunkelberg, Klaus (1985). IL 31 Bamboo.

Page 85: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 84

Gambar 3. Jembatan Bambu Sumber: Morisco (1996)

Keberhasilan Simon Velez, arsitek Kolombia yang merancang ZERI Pavillion dalam sebuah pameran/expo di Jerman pada tahun 2000, seakan membuka wawasan baru bahwa arsitektur bambu dengan sambungan modern dapat dibuktikan kekuatan strukturnya melalui serangkaian pengujian yang dilakukannya di Manizales, Kolombia, terhadap replika bangunan yang sama sebelum pameran tersebut dimulai (Von Vegesack/Kries, 2000). Velez menggunakan teknik sambungan perpaduan baut mur dan mortar pada ZERI Pavillion. Gambar 4 memperlihatkan replika bangunan yang dimaksud, pertemuan rangkaian kolom dengan balok lantai serta salah satu detail sambungannya yang menggunakan mur dan baut.

Gambar 4. ZERI Pavillion Sumber : Von Vegesack/Kries (2000). Grow Your Own House.

Penelitian ini memiliki dua tujuan utama yaitu:

‐ Memahami sejauh mana sebuah sambungan dapat memenuhi kriteria estetika dalam detail konstruksi bambu

‐ Mengidentifikasi batas kekuatan sambungan bambu dari beban tarik yang dialaminya saat terpasang pada sebuah bangunan

2. Metodologi Penelitian ini menggunakan metoda riset eksperimental dengan cara menguji kekuatan tarik sampel sambungan bambu. Alat yang dapat digunakan guna mendukung kebutuhan tersebut adalah alat UTM (Universal Testing Machine) namun ternyata dari beberapa alat yang tersedia tidak ada yang ukurannya dapat menampung bahan uji sehingga akhirnya pengujian dilakukan secara konvensional, menggantung alat uji dan diberi beban secara bertahap sesuai arah gaya tarik yang dialami sambungan tersebut. Pengujian dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali dengan sampel yang berbeda namun tetap menggunakan bahan yang sama. Hasil pengukuran akan dianalisis bagian kerusakannya untuk diantisipasi penguatan pada detail sambungan tersebut sedangkan nilai yang didapat kemudian diambil nilai rata-ratanya dan dijadikan acuan dalam perhitungan struktur bangunan bambu. Tahapan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut;

- Pembuatan model maket dan model digital 3 dimensi - Pemilihan jenis sambungan - Pengujian dan analisis hasil uji - Kesimpulan

Page 86: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 85

3. Hasil Diskusi Menyinggung masalah estetika dalam arsitektur tentulah bukan merupakan pembahasan yang pendek dan mudah. Kata estetika pada judul seolah terselip dan tidak mengandung makna. Bagaimanapun saat mencoba membuat sebuah detail dari sambungan bambu, arsitek tidak akan melupakan kaidah utama dalam rancangannya yaitu estetika. Jenis sambungan yang akan muncul, digunakan berulang tentu akan mempengaruhi tampilan bangunan secara keseluruhan apabila tidak diperhatikan unsur estetikanya. Menurut Kuypers dalam Utomo (2009), terdapat 3 hal mendasar yang menunjang estetika dalam seni dan arsitektur yaitu: 1). Unsur Keutuhan atau Kebersatuan (unity), 2). Unsur Penonjolan (dominance), 3). Unsur Keseimbangan (balance). Keutuhan yang dimaksud adalah memperlihatkan secara keseluruhan sifat utuh, menunjukkan makna hubungan yang relevan antara komponen yang satu dan lainnya, saling membutuhkan hingga terjadi keterikatan dalam komponen tersebut. Keutuhan dalam menampilkan bambu secara keseluruhan, sesuai dengan karakter yang dimilikinya serta keutuhan dalam memperlihatkan sambungan antara komponen bambunya. Sambungan menggunakan pasak dan pengikat tali ijuk tidak dapat diukur kekuatannya karena bergantung kepada kekuatan penariknya yang akan berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Warna tali ijuk yang kontras dengan warna bambu dianggap menghalangi tampilan rangkaian bambu secara utuh serta seolah menutupi detail yang ada. Tidak semua arsitek yang menggunakan bambu sebagai material utamanya sepakat akan hal tersebut. Beberapa masih tetap menggunakan tali ijuk karena bahan pengikat karena “terlanjur” identik dengan material bambu. Bagaimanapun, pilihan untuk mengembangkan jenis sambungan baru tetap berjalan seiring dengan tuntutan untuk menghadirkan arsitektur bambu dengan bentuk dan fungsi yang berbeda.

Gambar 5. Potongan Bangunan Kids Camp Sumber: Pon S. Purajatnika

Gambar 6. Maket Studi Kids Camp Sumber: Pon S. Purajatnika

Gambar 7. Detail Sambungan 1

Penentuan bahan uji diambil 2 titik sambungan yang dinilai umum dijumpai tidak hanya pada obyek yang diteliti namun juga pada bangunan lainnya. Sambungan pertama adalah sambungan “miring” yang posisinya dapat dilihat pada gambar 5 dan 6 (diberi tanda kuning) sedangkan bentuk detail sambungannya dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 8. Maket Bangunan Bambu 1 Sumber: Pon S. Purajatnika

Gambar 9. Maket Bangunan Bambu 2 Sumber: Pon S. Purajatnika

Gambar 10. Detail Sambungan 2

Page 87: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 86

Sambungan kedua diambil dari bangunan penunjang dikarenakan bangunan ini akan dikembangkan menjadi beberapa bentuk seperti yang diperlihatkan pada gambar 8 dan 9 sedangkan bentuk detail sambungannya dapat dilihat pada gambar 10. Pengujian dilakukan dengan menggantung bahan uji pada kuda-kuda bambu dengan menggunakan kabel slink yang diikatkan pada bagian eye nut diujung besi yang dipasangkan untuk menarik bahan ujinya. Bagian bawah bambu yang diuji juga diberi eye nut lalu kemudian diikatkan dengan tambang sekaligus sebagai perangkai dari batang-batang bambu yang menjadi alas tempat menaruh muatan beban berupa karung pasir dengan berat masing-masing sebesar 50 kg. Beban tersebut ditambahkan sedikit demi sedikit sambil diamati bahan ujinya terutama bagian tumpuan tariknya. Hasil pengujian sambungan tipe 1 dapat dilihat pada tabel 1.

Sambungan Beban (kg)

Tipe 1

250 500 750 1000 1250 1500 1600 1700

✓ ✓ ✓ ✓ ✓* ✓** ✓*** putus Keterangan * kondisi sambungan masih stabil ** mulai terdengar suara berderak, deformasi pada bambu cendani mulai terlihat (0.5 cm) *** deformasi pada bambu cendani mencapai 2 cm

Tabel 1. Hasil Pengukuran pada Sambungan Bambu 1 Dikarenakan pengujian dilangsungkan secara konvensional perubahan yang terjadi tidak segera dapat terdeteksi, satu-satunya petunjuk adalah posisi bambu cendani yang posisinya berubah dari horizontal (gambar 10) membentuk huruf V (gambar 11) hingga akhirnya pecah (gambar 12).

Page 88: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 87

Gambar 11. Proses Pengujian Sambungan Bambu 1

Gambar 12. Kerusakan pada Sambungan Bambu 1 Pasca Pengujian

Gambar 13. Detail Deformasi

Sambungan Beban (kg)

Tipe 2

250 500 750 1000 1250 1300 1400 1500

✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓* ✓** ✓*** Keterangan * terjadi pergeseran dudukan sambungan sebesar 1 cm ** terjadi pergeseran dudukan sambungan sebesar 1,5 cm bambu cendani telah mengalami

perubahan bentuk *** terjadi pergeseran dudukan sambungan sebesar 7 cm Sambungan Tipe 2 tidak diuji sampai putus tetapi dari perubahan bentuk yang terlihat sudah tidak aman untuk menopang beban yang ada

Tabel 2. Hasil Pengukuran pada Sambungan Bambu 2

Gambar 14. Proses

Pengujian Sambungan Bambu 2

Gambar 15. Kerusakan pada Bagian Bawah Sambungan Bambu 2 Selama

Pengujian

Gambar 16. Deformasi pada Bagian Atas Sambungan

Hasil pengukuran untuk Sambungan Tipe 2 dapat dilihat pada Tabel 2 sedangkan proses pengujian dengan deformasi/perubahan yang terjadi dapat dilihat pada gambar 14, gambar 15 dan gambar 16.

Page 89: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

  

 

Desain | 88

4. Kesimpulan Kekuatan sambungan bambu Tipe 1 dan Tipe 2 telah didapatkan hasilnya, untuk faktor keamanan batas akhir dimana posisi dan bentuk sambungan masih stabil dikurangi dengan nilai 100 kg, berarti masing-masing 1250 kg dengan 1150 kg untuk sambungan Tipe 1 dan sambungan Tipe 2. Nilai ini dapat diaplikasikan pada perhitungan struktur yang tidak termasuk dalam lingkup penelitian ini. Daftar Pustaka Pustaka yang berupa majalah/jurnal ilmiah/prosiding : [1] Morisco. 2009. Karakteristik dan Implementasi Bambu dalam Struktur Bangunan Modern. [2] Proceedings of Green Design 2009, Bamboo for Modern Life, Bandung 27 Juni 2009. [3] Widyowijatnoko, Andry dan Trautz, Martin. 2009. Conventional vs. Substitutive Bamboo

Construction: The Classification of Bamboo Construction. Proceedings of 8th World Bamboo Congress (ISSN 2150-1165), Bangkok, Thailand, 16-19 September 2009.

[4] Utomo, Tri Prasetyo. 2009. Estetika Arsitekturdalam Perspektif Teknologi dan Seni. Pendhapa Jurnal Desain Interior. Vol.1, no. 1.P.1-15. (ISSN 2086-8138), Oktober 2009.

Pustaka yang berupa buku : [5] Widjaja, Elizabeth A. 2001. Identikit jenis-jenis bambu di Jawa. Bogor: Puslitbang Biologi –

LIPI. [6] Dunkelberg, Klaus. 1985. IL 31 Bamboo, Institut fur Leichte Flachentragwerke (IL), Germany. [7] Von Vegesack, Alexander/Kries, Mateo. 2000. Grow Your Own House. Vitra Design Museum. Pustaka yang berupa disertasi/thesis/skripsi : [7] Muhsin, Ardhiana. 2012. Pengembangan Arsitektur Bambu Pada Bangunan Umum Studi Kasus :

Stasiun Kota Bandung. Master Thesis, Institut Teknologi Bandung.

Page 90: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 89

Penerapan Metode Eksperimentasi Fisik pada Material Kulit Perkamen

Dengan Studi Kasus Pengembangan Produk Armatur Lampu

Mohamad Arif W, S.Sn., M.Ds

Jurusan Desain Produk Fakultas Senirupa dan Desain Institut Teknologi Nasional, Jl. PKH Mustopha 23 Bandung

E-mail: [email protected] ,

Abstrak Penyamakan kulit perkamen dan penyamakan nabati (vegetable tanning) merupakan teknik pengolahan bahan baku kulit tertua yang pada saat ini sudah banyak ditinggalkan. Hal ini disebabkan karena hasil penyamakan-penyamakan kulit tersebut memiliki karakteristik yang tidak sebaik penyamakan bahan mineral. Penyamakan perkamen dan penyamakan nabati umumnya menghasilkan karakter kulit yang lebih kaku, tebal, kasar serta tidak memiliki varian warna, tekstur, dan motif. Oleh karena itu teknik penyamakan konvensional tersebut lebih sering dilakukan untuk membuat bahan-bahan baku produk atau komponen pendukung seperti bahan sol sepatu, asesoris, komponen mesin, membran “bedug”, atau wayang kulit. Sebagai material, kulit perkamen memiliki beberapa karakteristik yang memungkinkan untuk dimanfaatkan menjadi produk-produk alternatif disamping produk wayang kulit. Maka pada penelitian ini akan dilakukan kegiatan eksplorasi material melalui metode eksperimentasi fisik dengan tujuan menemukan keunikan-keunikan bentuk tertentu. Dengan demikian diharapkan akan menghasilkan peluang kreasi untuk membuat produk-produk alternatif berupa armatur lampu hias. Kata kunci: Kulit perkamen, metode eksperimentasi, armatur lampu hias

Abstract

Parchment leather tanning and vegetable tanning is a skin raw material processing techniques oldest at the moment have a lot left. This is because the results of tanning leather-tanning has characteristics that are not as good as mineral tanning materials. Parchment tanning and vegetable tanning skin generally produces more rigid character, thick, rough and did not have the variant color, texture, and pattern. Therefore, conventional tanning technique is more often done to make the raw materials or component products supporting materials such as soles of shoes, accessories, engine components, membrane of "bedug", or wayang kulit. As a material, parchment skin has several characteristics that allow it to be utilized as alternative products in addition to products shadow puppets. So in this study will be carried out exploration activities material through physical experimentation methods with the aim of finding uniqueness particular shape. Thus creation is expected to generate opportunities to make alternative products such as decorative lighting armature. Keywords: skin parchment, methods of experimentation, the armature lights 1. PENDAHULUAN Permintaan terhadap kulit jenis perkamen semakin berkurang, hal ini dipengaruhi oleh semakin sedikitnya industri pembuatan produk wayang kulit yang nota bene merupakan konsumen utama untuk jenis kulit tersebut seiring laju perkembangan hiburan modern yang membuat kesenian-kesenian tradisional semakin tersisihkan. Oleh karena itu untuk mempertahankan eksistensinya, industri pembuat wayang kulit juga membuat beberapa produk lainnya dengan menggunakan bahan

Page 91: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 90

dan teknik pembentukan seperti yang dilakukan pada pembuatan wayang. Pada hakikatnya bahan perkamen memiliki beberapa karakteristik fisik dan mekanis yang sangat berbeda dengan bahan kulit lainnya, seperti sifat translusen, kekakuan, kemudahan untuk dibentuk, ketebalan dan sifat-sifat lainnya. Namun sifat-sifat tersebut belum banyak dimanfaatkan oleh para pengrajin sehingga produk-produk yang dibuat masih tampak konvensional dan minim kebaruan atau keunikan. Keunikan dari sifat-sifat tersebut dinilai memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi kemampuan pembentukan untuk produk-produk alternatif lainnya 1.1 Tujuan Beberapa hal yang menjadi tujuan dari penelitian ini antara lain : 1. Menemukan peluang pengembangan bentuk dan rupa baru dari objek berbahan kulit perkamen

melalui strategi eksperimentatif. 2. Menemukan peluang-peluang pemanfaatan potensi fisik/ visual dari kulit perkamen untuk

diaplikasikan pada produk-produk lighting. 3. Menemukan teknik-teknik pembentukan baru yang dapat dipelajari oleh para pengrajin kulit

perkamen agar dapat memberikan inspirasi untuk menciptakan produk-produk baru.

1.2 Urgensi Penelitian Penelitian ini menjadi sangat penting untuk dilakukan karena beberapa hal di bawah ini: 1. Diharapkan adanya peningkatan nilai guna kulit perkamen sehingga industri penyamakan kulit

konvensional tersebut dapat bertahan di tengah persaingan dengan industri-industri penyamakan mineral.

2. Dengan dilakukan pengkajian terhadap potensi-potensi sifat teknis dan mekanis material kulit perkamen diharapkan dapat memberikan peluang pengembangan produk-produk baru sebagai produk alternatif.

3. Perlu adanya usaha untuk mengembangkan industri-industri kreatif yang telah menjadi program utama pemerintah untuk mendorong pertumbuhan perekonomian nasional.

2. METODOLOGI Kegiatan pengkajian terhadap kulit perkamen sebagai material alternatif pada suatu produk eksperimental dilakukan dengan cara menganalisis sifat-sifat yang dimiliki material tersebut melalui proses pengujian-pengujian teknis yang tujuan untuk menemukan potensi kebaruan, baik yang bersifat mekanis (kemampuan material dalam menerima pembebanan), fisik (kemampuan material ketika mengalami proses perubahan secara wujud dan visual), dan kimiawi (kemampuan material ketika mengalami terjadinya reaksi kimia tertentu). Pada metode eksperimentatif ini terdapat hal-hal yang menjadi faktor penentu kecepatan dan nilai orisinalitas kebaruan adalah, pertama kegiatan pengkajian membutuhkan pengetahun dan pemahaman yang memadai tentang sifat-sifat teknis material yang menjadi objek kajian seperti pengetahuan tentang kemampuan material ketika ia menerima beban seperti gaya tekan, gaya tarik atau semacamnya. Pengetahuan tentang kemampuan material untuk berdeformasi akibat kegiatan pembentukan yang merubah visual material tersebut sehingga akan memberikan peluang beragam alternatif komposisi bentuk pada benda yang sedang dibuat. Kedua adalah wawasan dan kemampuan pemahaman yang memadai tentang proses-proses pembentukan/ proses prouksi alternatif. Proses pembentukan alternatif yang dimaksud adalah pengetahuan tentang adanya teknik-teknik produksi lainnya yang biasa digunakan untuk membentuk suatu material tertentu yang dinilai memiliki prinsip pembentukan serupa atau dianggap memungkinkan untuk diterapkan pada material yang sdang dikaji. Sebagai contoh teknik anyaman yang biasa diterapkan pada material serat alam, dapat pula dijadikan prinsip pembentukan pada material berbahan plastik atau logam yang berbentuk pita/tali untuk menjadi bentuk bidang seperti halnya anyaman rotan atau bambu. Ketiga adalah kepekaan menangkap peluang kebaruan yang pada hakekatnya ada dalam setiap kegiatan-kegiatan eksperimentasi kreatif. Tujuan dari kegiatan eksperimen kreatif tidak hanya sekedar menguji coba sebuah fenomena teknis untuk menjadi tahu, akan tetapi kegiatan tersebut menuntut adanya proses

Page 92: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 91

berpikir komprehensif antara pengetahuan & keingintahuan, pemahaman sebab-akibat dari suatu tindakan, pemahaman tentang logika teknis dan berpikir imajinasi. 2.1 Kegiatan eksperimentasi Penelitian yang dilakukan ini adalah proses lanjutan dari penelitian-penelitian awal yang pernah dilakukan sebelumnya terhadap material kulit perkamen khususnya penelaahan pada potensi sifat fisik melalui uji pembentukan, pewarnaan, pembentukan tekstur permukaan, hingga kemampuan material untuk meneruskan cahaya. a. Eksperimentasi pembentukan Eksperimentasi yang dilakukan untuk mendapatkan karakteristik fisik dari kulit perkamen ini dilakukan dengan 3 cara yaitu: eksperimen pembentukan, eksperimen penggabungan dan eksperimen pewarnaan. Eksperimen pembentuk dilakukan dengan beberapa teknik yaitu teknik pemotongan (cutting forming), pelipatan (folding forming), pembentukan motif lubang (punch forming),

Gb. 2 Eksperimentasi awal pengembangan

Sifat fisik kulit perkamen

Sumber: dok. pribadi

Gb. 1 Skema korelasi aspek-aspek pendukung percepatan

penemuan unsur kebaruan dalam kegiatan eksperimentasi kreatif

Page 93: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 92

pembentukan tekstur permukaan (surface texturing) dan pengepresan (pressing forming). Sedangkan proses eksperimen penggabungan dilakukan dengan teknik jahit (sewing), pengikatan (knitting) dan pengeleman (bonding). Ekperimen fisik lainnya yang lakukan terhadap bahan kulit perkamen ini adalah eksperimen pewarnaan yang dialkukan dengan teknik pewarnaan celup (coloring), dan pewarnaan permukaan (painting). Proses pembentukan pada kulit perkamen dilakukan dengan cara mempengaruhi kandung unsur air yang ada dalam material tersebut. Kandungan air yang cukup tinggi antara 20 – 30 % dapat membuat perkamen menjadi sangat lentur sehingga dapat dengan mudah dibentuk dengan teknik-teknik pembentukan sederhana.

Seperti juga bahan-bahan lain yang berbentuk lembaran, perkamen juga memiliki kemampuan untuk dibentuk dalam wujud tali/pita yang kemudian jika dianyam atau dikepang maka material tersebut dapat menjadi sebuah bidang 2 dimensi yang memungkinkan untuk menjadi unsur pembentuk benda-benda bervolume. b. Eksperimentasi tekstur permukaan

Gb. 3 Eksperimen fisik

Sumber: dok. pribadi

Gb. 4 Pengujian mekanis sederhana pada pembentukan teknik lipat (folding)

Sumber: dok. pribadi

Gb. 5 Eksperimen pembentukan tekstur permukaan (surface texturing)

dengan menggunakan hand drill & mini grinder

    Sumber: dok. pribadi

Page 94: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 93

Pengujian fisik lainnya adalah perlakuan mekanis pada permukaan perkamen dengan tujuan melihat peluang pembentukkan tekstur pada permukaannya. Hasil dari perlakuan mekanis tersebut menunjukkan adanya kemampuan perkamen merespon proses pengikisan-pengikisan yang dilakukan dengan menghasilkan tekstur permukaan yang cukup unik dan bervariasi.

c. Eksperimentasi pewarnaan Pada pelaksanaan uji pewarnaan ini dilakukan melalui prosedur berdasarkan jenis bahan pewarna yang berasal dari bahan water based dan selvent based yang dikombinasi dengan parameter lama/ frekwensi pencelupan. Pada eksperimen pewarnaan pertama, digunakan pewarna berjenis water based dengan metode pemberian komposisi komponen air dengan pigmen pewarna masing 5%, 10%, dan 30%. Eksperimen lainnya yang berkaitan dengan penelaahan kualitas pewarna pada perkamen adalah pengaruh faktor eksternal berupa kemungkinan terjadinya gesekan dan adanya air yang merupakan pengencer utama zat pewarna yang digunakan.

Gb. 6 Eksperimen pewarnaan

water based dengan komposisi air dan pigmen

Sumber: dok. pribadi

Gb. 8 Eksperimen ketahanan pewarna terhadap pengaruh air dan gesekan:

a. Pengaruh air, b. pengaruh gesekan, dan c. pengaruh gesekan pada perkamen yang telah di opek 

a. b. c. Sumber: dok. pribadi

Gb. 7 Eksperimen pewarnaan dengan metode pengukuran berdasar pada

variabel frekwensi perendaman

Sumber: dok. pribadi

Page 95: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 94

Pada penelahan terhadap kondisi perkamen yang diwarnai oleh pewarna jenis water based, ketika dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa air dan gesekan (gb. a & b) menunjukkan terjadi pengikisan warna pada bagian terluar perkamen. Pigmen yang mengisi pori-pori perkamen di bagian luar dapat dengan mudah terkikis atau larut dalam air sehingga meski masih tersisa warna yang mengisi bagian tengah penampang perkamen, intensitas warna pada perkamen tersebut semakin memudar. Pengikisan pada permukaan terluar pada perkamen dapat ditunjukkan pula pada pengujian gesekan pada perkamen yang telah mengalami pengopekan (pelubangan), yang pada proses pengopekan tersebut telah membentuk permukaan perkamen yang bertekstur kasar(tidak rata) sehingga ketika mengalami peristiwa gesek akan meninggalkan karakter warna usang (rusty) seperti yang ditunjukkan pada gb. c. d. Implementasi hasil esperimen pada produk armatur Hasil eksperimen pembentukan dan pewarnaan yang telah dilakukan sebelumnya kemudian diimplementasikan dalam bentuk desain armatur lampu. Bentuk armatur yang menjadi objek eksperimentasi dikembangkan dengan pendekatan stilasi dari objek flora yang bersifat organis dan objek-objek geometrik yang memiliki unsur akurasi dan repetisi bentuk.

Gb. 9 Objek flora sebagai sumber inspirasi bentuk armatur 

Sumber: internet

Gb. 10 Sketsa produk armatur lighting Dengan bentuk dasar organis

Sumber: dok. pribadi

Page 96: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 95

Gb. 11 b. Objek flora sebagai sumber inspirasi bentuk armatur 

Sumber: dok. pribadi Gb. 12

Sketsa produk armatur lighting Dengan bentuk dasar geometris

Sumber: dok. pribadi

Page 97: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 96

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Proses pembentukan dengan material perkamen Kulit perkamen merupakan material yang memiliki sifat higroskopik dimana material tersebut akan mengalami perubahan dari fase keras menjadi fase lentur pada saat kandungan air yang dikandungnya berjumlah sekitar 20-30%. Sifat mampu menyerap air (absorbsi) dan mengering pada saat yang singkat membuat perkamen memiliki sifat plastis, yaitu mengalami perubahan bentuk yang berbeda pada awal dan akhir dari proses pengeringannya. Sifat ini sangat menguntungkan untuk proses pembentukan karena perkamen dapat diubah dalam beragam varian bentuk pada saat fase basah dan dapat dengan mudah dikeringkan untuk mencapai kestabilan bentuk dalam waktu singkat. Selain itu proses memperlunak dan mengeraskan material tersebut juga sangat mudah dilakukan karena proses pengeringan dapat dilakukan dengan alat pengering sederhana atau dijemur di bawah sinar matahari. 3.2 Proses kreatif pada kegiatan eksperimental Pada proses pemanfaatan kulit perkamen sebagai bahan baku suatu produk memerlukan beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu wawasan yang cukup berkaitan dengan sifat-sifat teknis material, wawasan beragam teknologi produksi dan kepekaan dalam berkreasi. Penguatan ketiga hal tersebut sangat berkaitan dan saling mempengaruhi. Pengetahuan tentang sisf-sifat teknis material tidak akan lepas dari peluang bentukan yang memungkinkan dilakukan oleh teknologi-teknologi produksi. Sedangkan bentuk-bentuk yang ingin dibuat tersebut tentunya akan hadir dalam kebaruan-kebaruan tertentu berdasarkan kepekaan dan imajinasi yang dihasilkan dari proses berpikir kreatif yang dilakukan. Dengan demikian kebaruan-kebaruan dalam sebuah produk akan dihasilkan tidak hanya dari unsur pengetahuan saja, tapi juga aspek-aspek kreatif dari kegiatan berpikir desainernya. 3.3 Pengembangan produk Pada kegiatan implementasi hasil eksperimen telah dihasilkan beberapa varian produk armatur lampu hias yang desainnya dikembangkan melalui pendekatan stilasi bentuk objek alam (natural) dan objek buatan (atificial). Secara umum, penyederhanaan bentuk yang mengadopsi bentuk-bentuk natural membutuhkan proses pembentukan yang lebih rumit dibandingkan dengan stilasi bentuk-bentuk geometrik. Dari hasil eksperimen pembentukan terdahulu telah ditunjukkan bahwa kemampuan bahan perkamen yang wujud awalnya berupa lembaran, masih dimungkinkan untuk dibentuk/ dicetak untuk menjadi bentuk-bentuk organis melalui prosedur seperti yang telah disampaikan sebelumnya. Dengan demikian proses eksplorasi material yang dilakukan dalam penelitian ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan lebih jauh lagi menjadi produk-produk yang memiliki kebaruan khusus baik untuk

Gb. 13 Implementasi bentuk-bentuk geometri pada

produk armatur

Sumber: dok. pribadi

Page 98: S EMINAR DESAIN DALAM INDUSTRI KREATIFsemnas.lp2m.itenas.ac.id/file/prosiding2016/05 Desain_Reduce.pdf · Rumah yang keseluruhan lantainya masih digunakan untuk kegiatan penghuni

Desain | 97

membuat produk armatur, atau produk lainnya yang biasa menggunakan bahan lembaran seperti perkamen tersebut. 4. PUSTAKA [1] Karana, Elvin., Pedgley, Owain., Rognoli, Valentina., 2014, Material Experience”Fundamentals

of Materials and Design”, Butterworth-Heinemann, UK [2] Judoamidjojo, Muljono., 1984, Teknik Penyamakan Kulit untuk Pedesaan, Angkasa, hal 6 [3] Thorstensen, Thomas., 1993, Practical Leather Technology, Krieger Publishing Company,

Malabar, Florida. [4] Waskito, Arif. 2012. Pengkajian Kualitas Sifat Mekanis Material Bambu Laminasi untuk

Diterapkan pada Desain Produk Furnitur yang Berkonstruksi Sambungan Knockdown. Penelitian : Institut Teknologi Nasional.