berkibarlah industri indonesia mimpi menjadi lumbung ... fileberkibarlah industri indonesia s eminar...

1
SENIN, 16 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA | EDISI KHUSUS 18 | Berkibarlah Industri Indonesia S EMINAR dan pameran bertajuk Feed the World yang diusung Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pada awal tahun ini sempat dilihat secara pesimistis oleh banyak pihak. Sebab, boro-boro memasok pangan dunia. Untuk meme- nuhi pangan nasional saja, im- por masih kentara dilakukan. Bermimpikah kita? Entah yang lain, tetapi Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Bayu Krishnamurti justru tegas mengatakan, “Pasok pangan dunia? Kenapa tidak? Faktor kita tak bisa memasok ke se- luruh dunia karena larangan ekspor yang digembar-gem- bor kan. Ekspor sedikit saja dipermasalahkan.” Kekhawatiran dan tarik-ulur di seputar ekspor dan impor bahan pangan memang seakan tiada habisnya. Apalagi, pe- menuhan kebutuhan pangan domestik untuk lima tahun ke depan masih penuh tantangan dan ketidakpastian di tengah anomali iklim seperti saat ini. Statistik laju pertumbuhan penduduk menunjukkan tren lebih tinggi ketimbang produk- si padi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pertum- buhan jumlah penduduk In- donesia sebesar 1,3% dari total jumlah penduduk atau setara 3,5 juta orang per tahun. Sementara itu, kata Guru Besar Ekonomi Pertanian Uni- versitas Lampung Bustanul Arifin, produktivitas padi di Indonesia selama 15 tahun terakhir hanya tumbuh 0,58% per tahun, sedangkan produksi padi tumbuh 1,01%. “Ini bisa jadi masalah serius ke depan,” kata Bustanul. Kekhawatiran serupa juga membuat banyak negara mulai mencari wilayah-wilayah baru untuk berinvestasi di pangan dan energi. Memang, gelom- bang krisis pangan di 2008 memicu banyak negara mulai sadar mengurangi ketergan- tungan pangan dari impor dan memperketat ekspor. Krisis itu, kata Wamentan, juga sekaligus mendorong pa- ra pengambil keputusan me- lirik Merauke, Papua, sebagai wilayah pengembangan pa- ngan baru, bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Program, yang bersambut de ngan niatan lama Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze sejak tahun 2000 itu, tidak hanya diproyeksikan sebagai lumbung pangan lokal, tetapi juga nasional dan bahkan eks- por. Dari segi ketersediaan lahan, Merauke dinilai teramat poten- sial, baik untuk budi daya ta- naman pangan maupun bahan bakar hayati. Berdasarkan ka- jian Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), po- tensi lahan efektif di sana men- capai 1,283 juta hektare (ha). Bagi Dirjen Pengelolaan La- han dan Air Hilman Manan, program ini harus dilaksana- kan segera karena penting un- tuk jangka panjang. “Tidak ha- nya untuk Indonesia, tapi juga dunia,” ujar Hilman kepada Media Indonesia di kantornya, dua pekan lalu. Menurut Hilman, saat ini 60% bahan pangan secara na- sional dihasilkan dari Pulau Jawa. Namun, pulau terpadat di Indonesia itu sudah memiliki beban berat. Alih fungsi lahan- nya paling besar. Program ini sedikitnya mencontoh keber- hasilan program transmigrasi di awal Orde Baru yang me- ratakan produksi pangan ke luar Pulau Jawa. Hasilnya, kita berswasembada beras. Investor asing Saat ini, tingginya dinamika perdagangan pangan dunia membuat Indonesia harus ber- swasembada mulai dari jagung, gula, kedelai, hingga daging. Para investor pun diundang. Pengembangan usaha melibat- kan swasta dan dikelola dengan model perkebunan. Basisnya diutamakan pada komoditas strategis, yakni beras, jagung, kedelai, tebu, dan sawit. Persis pepatah ada gula ada semut, banyak investor asing lantas kepincut melihat potensi pengembangannya yang tinggi, seperti Arab, Korea Selatan, hingga Jepang. “Arab bahkan mau investasi satu juta ha. Kita enggak mau karena melebihi aturan maksimal, 20 ribu ha, tetapi mereka baru rencana,” kata Hilman. Berdasarkan catatan Kemen- terian Pertanian, saat ini ter- dapat 36 investor lokal dan multinasional yang berencana melakukan investasi di Merau- ke, dengan total lahan 2,051 juta ha. Dari jumlah itu, terdapat di antaranya nama-nama beken, seperti Medco, PT Bangun Cip- ta Sarana, dan PT Sumber Alam Sutera (SAS) yang merupakan kelompok usaha Artha Graha Network. Sebagai salah satu pelaku, ujar Direktur PT SAS Heka Widya Hertanto, pihaknya mendukung penuh program itu sebagai terobosan menunjang ketersediaan dan cadangan pangan Indonesia dalam kurun 2020-2025. “Kita enggak bicara hari ini. Sekarang pangan memang cu- kup, tapi bagaimana saat jum- lah penduduk 300 juta di tahun 2020? Belum lagi kebutuhan pakan ternak dan bioenergi,” ujar Heka, Senin (9/8). Sejak September 2008, SAS telah melakukan uji coba pena- naman tiga varietas padi hi- brida Bernas mereka. Jatah pencadangan lahan tahap awal yang mereka dapat seluas 2.500 ha di Distrik Kurik, Kampung Obaka, Merauke. Dari segi prospek ekonomi dan kondisi lahan, ujar Heka, program itu memang menjanji- kan. Saat ini, produktivitas ketiga varietas mereka di sana sudah mencapai 8-10 ton per ha. Itu sama dengan pencapai- an penangkaran benih yang mereka lakukan di Pulau Jawa dan Sumatra. Dia tak memungkiri, sebagai kawasan perawan, kebutuhan modal yang padat telah men- jadi keniscayaan bagi semua investor. Karena itulah, peme- rintah perlu serius mempri- oritaskan pembangunan sarana infrastruktur di sana. Kawasan harus terintegrasi untuk menjadikan usaha esien, mencakup pabrik pupuk, unit pengolahan, pergudangan, pe- labuhan, pembangkit listrik, hingga perumahan. “Ini sama dialami bagi semua investor. Berat kalau pem- bangunan infrastruktur juga dibebankan kepada kami,” kata Heka. Seperti niatan awal pemerin- tah, tentunya sembari mengerja- kan pekerjaan-pekerjaan rumah yang masih tersisa, Merauke memang ideal menjadi titik tolak Indonesia untuk mulai memikirkan feeding the world. Namun, demikian, tutur Bus- tanul, upaya mengamankan ca- dangan pangan domestik harus tetap menjadi prioritas pangan Indonesia. Manajemen cadangan pa- ngan harus tetap dikelola sejak di tingkat lokal melalui meka- nisme pengadaan dan penya- luran yang disepakati. Sebab, bagaimanapun, Indo- nesia harus tetap memperhati- kan urusan pangan rakyatnya sebelum bermimpi menjadi lumbung pangan dunia. “Kalau swasembada belum tercapai, sangat berisiko jika kita memaksakan diri memasok pangan dunia,” ujar Bustanul. Toh, Indonesia baru lepas dari ketergantungan impor be- ras. Jika terulang, ini lampu ku- ning bagi kedaulatan negara di tengah kondisi ketidakpastian iklim yang menjangkiti seluruh dunia. (*/E-1) anindityo @mediaindonesia.com Mimpi Menjadi Lumbung Pangan Dunia Sumber: BPS, Ditjen Perkebunan, Ditjen Peternakan, 2010 FOTO ANTARA/Sahrul Manda Tikupadang/GRAFIS: TIYOK Kinerja Produksi 9 Komoditas Strategis (1.000 ton) No Komoditas 2005 2006 2007 2008 2009 1 Padi 54.151 54.455 57.157 60.326 64.329 2 Jagung 12.524 11.609 13.288 16.317 17.592 3 Kedelai 808 748 593 776 973 4 Kacang tanah 836 838 780 770 777 5 Kacang hijau 321 316 322 298 314 6 Ubi kayu 19.321 19.987 19.988 21.757 22.029 7 Ubi jalar 1.857 1.854 1.887 1.882 2.044 8 Tebu 31.242 30.232 33.289 32.960 32.165 9 Daging sapi lokal 217 259 210 233 250 Gelombang krisis pangan pada 2008 menyadarkan banyak negara untuk mengurangi ketergantungan pangan dari impor dan memperketat ekspor. Anindityo Wicaksono PANEN JAGUNG: Seorang petani jagung mengumpulkan jagung hasil panennya di Kecamatan Bili-Bili, Gowa, Sulsel, beberapa waktu lalu. Jagung tersebut diekspor ke Thailand, Jepang, dan beberapa negara lain. ANTARA/ YUSRAN UCCANG Kalau swasembada belum tercapai, sangat berisiko jika kita memaksakan diri memasok pangan dunia.” Bustanul Arifin Guru Besar Universitas Lampung

Upload: lybao

Post on 22-Jun-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SENIN, 16 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA | EDISI KHUSUS18 | Berkibarlah Industri Indonesia

SEMINAR dan pameran bertajuk Feed the World yang diusung Kamar Dagang dan Industri

(Kadin) Indonesia pada awal ta hun ini sempat dilihat secara pesimistis oleh banyak pihak.

Sebab, boro-boro memasok pa ngan dunia. Untuk meme-nuhi pangan nasional saja, im-por masih kentara dilakukan. Bermimpikah kita?

Entah yang lain, tetapi Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Bayu Krishnamurti justru tegas mengatakan, “Pasok pangan dunia? Kenapa tidak? Faktor kita tak bisa memasok ke se-luruh dunia karena larang an ekspor yang digembar-gem-bor kan. Ekspor sedikit saja dipermasalahkan.”

Kekhawatiran dan tarik-ulur di seputar ekspor dan impor bahan pangan memang seakan tiada habisnya. Apalagi, pe-menuhan kebutuhan pangan domestik untuk lima tahun ke depan masih penuh tantangan dan ketidakpastian di tengah anomali iklim seperti saat ini.

Statistik la ju pertumbuhan pen duduk me nunjukkan tren lebih tinggi ketimbang produk-si padi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pertum-buhan jumlah penduduk In-

donesia sebesar 1,3% dari total jumlah penduduk atau setara 3,5 juta orang per tahun.

Sementara itu, kata Guru Besar Ekonomi Pertanian Uni-versitas Lampung Bustanul Arifin, produktivitas padi di Indonesia selama 15 tahun terakhir hanya tumbuh 0,58% per tahun, sedangkan produksi padi tumbuh 1,01%. “Ini bisa jadi masalah serius ke depan,” kata Bustanul.

Kekhawatiran serupa juga membuat banyak negara mulai mencari wilayah-wilayah baru untuk berinvestasi di pangan dan energi. Memang, gelom-bang krisis pangan di 2008 memicu banyak negara mulai sadar mengurangi ketergan-tungan pangan dari impor dan memperketat ekspor.

Krisis itu, kata Wamentan, ju ga sekaligus mendorong pa-ra pengambil keputusan me-lirik Merauke, Papua, sebagai wilayah pengembangan pa-ngan baru, bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).

Program, yang bersambut de ngan niatan lama Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze sejak tahun 2000 itu, tidak hanya diproyeksikan sebagai lumbung pangan lokal, tetapi juga nasional dan bahkan eks-por.

Dari segi ketersediaan lahan, Merauke dinilai teramat poten-sial, baik untuk budi daya ta-naman pangan maupun bahan bakar hayati. Berdasarkan ka-jian Badan Koordinasi Penataan

Ruang Nasional (BKPRN), po-tensi lahan efektif di sana men-capai 1,283 juta hektare (ha).

Bagi Dirjen Pengelolaan La-han dan Air Hilman Manan, program ini harus dilaksana-kan segera karena penting un-tuk jangka panjang. “Tidak ha-nya untuk Indonesia, tapi juga dunia,” ujar Hilman kepada Media Indonesia di kantornya, dua pekan lalu.

Menurut Hilman, saat ini 60% bahan pangan secara na-sional dihasilkan dari Pulau Jawa. Namun, pulau terpadat di Indonesia itu sudah memiliki beban berat. Alih fungsi lahan-nya paling besar. Program ini sedikitnya mencontoh keber-hasilan program transmigrasi di awal Orde Baru yang me-rata kan produksi pangan ke luar Pulau Jawa. Hasilnya, kita berswasembada beras.

Investor asing Saat ini, tingginya dinamika

per dagangan pangan dunia membuat Indonesia harus ber-swasembada mulai dari jagung, gula, kedelai, hingga daging.

Para investor pun diundang. Pengembangan usaha melibat-kan swasta dan dikelola dengan model perkebunan. Basisnya diutamakan pada komoditas strategis, yakni beras, jagung, kedelai, tebu, dan sawit.

Persis pepatah ada gula ada

semut, banyak investor asing lantas kepincut melihat potensi pengembangannya yang tinggi, seperti Arab, Korea Selatan, hingga Jepang. “Arab bahkan mau investasi satu juta ha. Kita enggak mau karena melebihi aturan maksimal, 20 ribu ha, te tapi mereka baru rencana,” kata Hilman.

Berdasarkan catatan Kemen-terian Pertanian, saat ini ter-dapat 36 investor lokal dan mu ltinasional yang berencana melakukan investasi di Merau-ke, dengan total lahan 2,051 juta ha.

Dari jumlah itu, terdapat di an taranya nama-nama beken, seperti Medco, PT Bangun Cip-ta Sarana, dan PT Sumber Alam Sutera (SAS) yang merupa kan kelompok usaha Artha Graha Network.

Sebagai salah satu pelaku, ujar Direktur PT SAS Heka Widya Hertanto, pihaknya

mendukung penuh program itu sebagai terobosan menunjang ketersediaan dan cadangan pangan Indonesia dalam kurun 2020-2025.

“Kita enggak bicara hari ini. Sekarang pangan memang cu-kup, tapi bagaimana saat jum-lah penduduk 300 juta di tahun 2020? Belum lagi kebutuhan pakan ternak dan bioenergi,” ujar Heka, Senin (9/8).

Sejak September 2008, SAS te lah melakukan uji coba pena-naman tiga varietas padi hi-brida Bernas mereka. Jatah pencadangan lahan tahap awal yang mereka dapat seluas 2.500 ha di Distrik Kurik, Kampung Obaka, Merauke.

Dari segi prospek ekonomi dan kondisi lahan, ujar Heka, program itu memang menjanji-kan. Saat ini, produktivitas ketiga varietas mereka di sana su dah mencapai 8-10 ton per ha. Itu sama dengan pencapai-an penangkaran benih yang mereka lakukan di Pulau Jawa dan Sumatra.

Dia tak memungkiri, sebagai kawasan perawan, kebutuhan modal yang padat telah men-jadi keniscayaan bagi semua investor. Karena itulah, peme-rintah perlu serius mempri-oritaskan pembangunan sarana infrastruktur di sana.

Kawasan harus terintegrasi untuk menjadikan usaha efi sien,

mencakup pabrik pupuk, unit pengolahan, pergudangan, pe-labuhan, pembangkit listrik, hingga perumahan.

“Ini sama dialami bagi semua investor. Berat kalau pem-bangunan infrastruktur juga dibebankan kepada kami,” kata Heka.

Seperti niatan awal pemerin-tah, tentunya sembari mengerja-kan pekerjaan-pekerjaan rumah yang masih tersisa, Merauke memang ideal menjadi titik tolak Indonesia untuk mulai memikirkan feeding the world.

Namun, demikian, tutur Bus-tanul, upaya mengamankan ca-dangan pangan domestik harus tetap menjadi prioritas pangan Indonesia.

Manajemen cadangan pa-ngan harus tetap dikelola sejak di tingkat lokal melalui meka-nisme pengadaan dan penya-luran yang disepakati.

Sebab, bagaimanapun, Indo-nesia harus tetap memperhati-kan urusan pangan rakyatnya sebelum bermimpi menjadi lumbung pangan dunia.

“Kalau swasembada belum tercapai, sangat berisiko jika kita memaksakan diri memasok pangan dunia,” ujar Bustanul.

Toh, Indonesia baru lepas dari ketergantungan impor be-ras. Jika terulang, ini lampu ku-ning bagi kedaulatan negara di tengah kondisi ketidakpastian iklim yang menjangkiti seluruh dunia. (*/E-1)

[email protected]

Mimpi Menjadi Lumbung Pangan Dunia

Sumber: BPS, Ditjen Perkebunan, Ditjen Peternakan, 2010FOTO ANTARA/Sahrul Manda Tikupadang/GRAFIS: TIYOK

Kinerja Produksi 9 Komoditas Strategis(1.000 ton)

No Komoditas 2005 2006 2007 2008 2009

1 Padi 54.151 54.455 57.157 60.326 64.329

2 Jagung 12.524 11.609 13.288 16.317 17.592

3 Kedelai 808 748 593 776 973

4 Kacang tanah 836 838 780 770 777

5 Kacang hijau 321 316 322 298 314

6 Ubi kayu 19.321 19.987 19.988 21.757 22.029

7 Ubi jalar 1.857 1.854 1.887 1.882 2.044

8 Tebu 31.242 30.232 33.289 32.960 32.165

9 Daging sapi lokal 217 259 210 233 250

Gelombang krisis pangan pada 2008 menyadarkan banyak negara untuk mengurangi ketergantungan pangan dari impor dan memperketat ekspor.

Anindityo Wicaksono

PANEN JAGUNG: Seorang petani jagung mengumpulkan jagung hasil panennya di Kecamatan Bili-Bili, Gowa, Sulsel, beberapa waktu lalu. Jagung tersebut diekspor ke Thailand, Jepang, dan beberapa negara lain.

ANTARA/ YUSRAN UCCANG

Kalau swasembada belum tercapai, sangat berisiko jika kita memaksakan diri memasok pangan dunia.”

Bustanul ArifinGuru Besar Universitas Lampung