ruang | kreativitas tanpa batas...

70
RUANG KOMUNITAS VOL. 1 A K S I 9

Upload: trinhdan

Post on 15-Apr-2018

224 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

1

ruang | kreativitas tanpa batas

RUANG KOMUNITAS VOL. 1

A K S I

9

2

edisi #9: Komunitas

3

ruang | kreativitas tanpa batas

RUANG #9: KOMUNITAS

vol. 1: Aksi

#DONOTSETTLE

Rian Afriadi

Alex Lee

Maria Dewi

Putu Ayu Amita Sari

Muh. Darman

Rofianisa Nurdin

Yusni Aziz

tidak akan terwujud tanpa kontribusi dari:

PEMBUKARUANG

Setiap individu terlahir dalam sebuah kehidupan kolektif yang dikenal dengan nama “komunitas.” Secara eksplisit maupun implisit; ilmu, budaya, dan cara hidup sebuah komunitas akan tercetak dalam diri individu.

Dalam upaya para kontributor menjawab call-for-paper Ruang edisi 9 bertema “komunitas,” kami mendapat sebuah gambaran pemaknaan saat ini tentang istilah tersebut; yang kerap disandang, disematkan, bahkan barangkali diklaim oleh mereka yang punya misi meredefinisi kungkungan perencanaan dan otoritas formal dengan berupaya melakukan segala sesuatu dari lingkaran terkecil di sekitar mereka. Serangkaian gerilya. Sebagian dari mereka memaknai komunitas sebagai potensi; objek. Bagi yang lain, komunitas adalah jiwa; penggerak subjek.

Kontributor untuk Ruang edisi 9 ini datang dari beragam konteks. Hal ini diharapkan akan memperluas pemahaman terhadap “komunitas” dari ranah arsitektur yang berusaha tidak terbatas pada satu ruang berpikir dan profesi tertentu. Penggunaan bahasa Inggris dalam beberapa artikel dari kontributor asing pun juga bagian dari membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas. Semoga diversitas bahasa dalam satu wadah ini tidak membuat kami kehilangan konsistensi tema dalam kandungan informasi yang kami sampaikan.

Kami berhasil mengumpulkan 17 artikel yang terbagi ke dalam dua volume berdasarkan kategori: “Aksi” dan “Refleksi.” Kategori “Aksi” diperuntukkan bagi artikel yang membuka pencarian, aktualisasi, dan implementasi yang mengamini nilai-nilai yang diimani. Kemudian, artikel-artikel dalam kategori “Refleksi” hadir sebagai sekumpulan konsepsi yang mengevaluasi hal-hal yang telah terjadi.

Tujuh pemasukan dalam kategori “Aksi” datang dari para pelaku komunitas di berbagai konteks ruang dan pemahaman. #donotsettle membuka rangkaian wacana dengan pengalaman mereka mengokupasi ruang publik di ketinggian garis langit kota Shanghai dalam artikel “Architects Don’t Sit, Architects Walk.” Kemudian Rian Afriadi menawarkan perspektifnya terhadap komunitas pecinta Jepang dari balik lensa kameranya dalam esai foto bertajuk “Ruang untuk Menjadi Orang Lain.” Sementara Alex Lee, seorang pegerilya urban yang berasal dari Perak, Malaysia, bercerita tentang gerakannya mengintervensi sistem bus di Ipoh yang berjudul “Ipoh Bus Project: Placemaking Through the Transit Community as A Grassroot Effort.” Selanjutnya, sebuah wawancara dengan Jorge Anzorena oleh Maria Dewi akan memaparkan tentang seluk-beluk organisasi Slum Dweller International. Sementara Putu Ayu Amita Sari membagi pengalamannya di LSM Habitat for Humanity Indonesia cabang Batam dalam artikel “Membangun Bersama Masyarakat: Sebuah Cerita dari Kaum Pinggiran.” Muh. Darman dari Ruang17 kemudian bercerita tentang Spedagi dan kisah di baliknya yang berjudul “Village is A Future Community: Sebuah Catatan Berdasarkan Presentasi Singgih S Kartono.” Hingga akhirnya, “Bincang Siang Bersama Marco Kusumawijaya: Komunitas sebagai Alternatif Masa Depan” oleh Rofianisa Nurdin dan M. Yusni Aziz menutup rangkaian wacana volume “Aksi” yang dapat memberi gambaran untuk volume selanjutnya, yaitu “Refleksi.”

Dalam euforia memaknai kebebasan bicara dan berwacana secara lantang di ruang publik, fenomena di atas sedikit banyak memberi andil dalam melahirkan beragam subkultur yang memperkaya kehidupan di ruang kota. Meski pada akhirnya, bagaimana kita memaknai kehadiran mereka, akan kembali lagi kepada keberpihakan kita kepada nilai-nilai yang mereka bawa.

Selamat memilih sudut pandang, selamat menikmati Ruang!

Architects Don’t Sit, Architects Walk#donotsettle

Ruang untuk Menjadi Orang LainRian Afriadi

Ipoh Bus Project: Placemaking Through the Transit Community as A Grassroot EffortAlex Lee

A Talk with Jorge Anzorena: On Letters for the Community ArchitectsMaria Dewi

Membangun Bersama Masyarakat: Sebuah Cerita dari Kaum PinggiranPutu Ayu Amita Sari

Village is A Future Community: Sebuah Catatan Berdasarkan Presentasi Singgih S KartonoMuh. Darman

Bincang Siang Bersama Marco Kusumawijaya: Komunitas sebagai Alternatif Masa DepanRofianisa Nurdin dan Yusni Aziz

ISIvol.1: Aksi

esai

esai foto

esai

wawancara

esai

esai

wawancara

12

14

20

25

34

40

55

1. #DONOTSETTLEThe Duo-notsettle: Wahyu Pratomo was born in Indonesia (July 1989). He moved and practiced architecture in Shanghai and moved to the Netherlands to complete his master in Urbanism. His interest to walk and stroll around the city brought him to #donotsettle together with his partner. Graphic design, video and music have a big affect on his creativity. Working with a grand scheme to create big ideas is always tantalizing for him. He believes that being expectation less and blind is the best way to make friends. To achieve that, with his fun and upbeat nature, he takes risks by always trying something new and exciting. For him, life is either a great journey or nothing at all. Kris Provoost is a Belgian architect/designer (July 1987) who has been working in China for the past 4 years. After graduation he relocated to Beijing to work for world- renowned architecture offices on projects spread around Asia. He eventually relocated to Shanghai and started #donotsettle. He is a vivid fan of traveling around the globe with main focus on Asia. He grew up in a small village before moving to a 20 million city and not leaving ever since. He likes the bustling nature of megacities and feels immediately right at home. Takes everything that comes his way with open arms, because it’s not about the destination, it’s about the journey.

K O N T R I B U T O R

3

5

2

4

2. RIAN AFRIADI@afriadirian . Mencintai perpajakan dan street photography. Dalam waktu dekat akan menerbitkan photobook pertamanya, “A New Sun In The Sky”.

3. MARIA BERNADET KARINA DEWIA graduate student at Urban Engineering Department, the University of Tokyo. Her field of research is in disaster recovery. She has deep interest in community participation and been involved in several activities in the countries she has been living in.

4. ALEX LEEAlex Lee is an urban explorer, DIY dude & greenie. He is constantly exploring, observing and apply interventions to cities to create conversations. Pint-sized but feisty, Alex believes the city is a living thing.

5. AMITA SARISetelah lulus dari Universitas Udayana, Bali tahun 2012, sempat bekerja di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif selama 1,5 tahun. Ketertarikan pada arsitektur-komunitas dimulai saat mengikuti program Jakarta Vertical Kampung oleh SHAU dan Erasmus Huis. Dari situlah mulai mengikuti panggilan hati untuk bekerja bersama masyarakat akhirnya memilih untuk bekerja di NGO Habitat for Humanity Indonesia-Cabang Batam. Menyukai dinamika arsitektur-komunitas, bagaimana merancang dan membangun bersama-sama dengan masyarakat.

1

K O N T R I B U T O Rtravels to several countries every year to observe the progress of community participation activity for low-income housing. It is mainly done in Asia, and also some other parts of the world. For many years, he has been sharing his experiences through his newsletter, SELAVIP. He is one of the important figures in the early times of ACHR (Asian Coalition of Housing Rights), together with Johan Silas from Indonesia. During 1990s, ACHR was focusing on housing rights and problems of eviction in Asian cities. He has also been involved in the Slum Dwellers International. I always wanted to visit him to discuss about community participation. To have this opportunity is a very valuable experience.

10. MARCO KUSUMAWIJAYAHe is the founder and director of RUJAK Center of Urban Studies. Marco likes everything about city. He is an urbanist. He is trained as an architect (Parahyangan University’s Architecture Department Bandung, Indonesia; and Post Graduate Ventre Human Settlements, Catholic University of Leuven, Belgium). He likes to write his own pre-mortem obituary, as much as to walk and count his breath, and his blessings, at the same time. He is based in the subjecut of his curiosity, the metropolis Jakarta.

6. MUH. DARMANSeorang blogger, beberapa liputannya tentang arsitektur dipublikasikan melalui blog ruang17 - (www.ruang17.com) sebuah blog arsitektur yang dibuatnya sejak tahun 2010. Tak hanya mengisi dengan liputannya sendiri, blog ruang17 juga menerima kontributor dari rekan-rekan yang membagikan informasi secara gratis untuk peningkatan mutu bacaan dan informasi arsitektur di Indonesia.

7. ROFIANISA NURDINMenjadi sarjana Arsitektur ITB pada tahun 2012. Menggemari literasi dan arsitektur, dan diam-diam berkhayal ingin mengambil kuliah filologi. Salah satu penggagas Vidour pada tahun 2011 dan saat ini bekerja sebagai architectural designer di RAW Architecture Pte. Ltd., Jakarta. Tulisan-tulisan lainnya seputar arsitektur kota bisa ditemukan di jongarsitek.com, rujak.org, juga betterciti.es.

8. YUSNI AZIZAlumnus dari double-degree bachelor program kerjasama antara ITS dan Saxion Hogeschool of Applied Sciences. Kemudian menyelesaikan riset di Berlage Institute pada tahun 2013. Saat ini menjadi pengajar di UPH, dan melakukan riset pribadi.

N A R A S U M B E R

9. JORGE ANZORENAFather Jorge Anzorena is an Argentinian Jesuit (Society of Jesus) priest, based in Japan. He

7

9

8

10

6

R U A N GEditorial Board :

Ivan Kurniawan NasutionMochammad Yusni Aziz

Rofianisa Nurdin

web : www.membacaruang.comfacebook : /ruangarsitekturtwitter : @ruangarsitektur

tumblr : ruangarsitektur.tumblr.comemail : [email protected]

segala isi materi di dalam majalah elektron-ik ini adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing penulis. penggunaan gambar untuk keperluan tertentu harus atas izin pe-

nulis.

Foto: Rofianisa Nurdin Desain: Yusni Aziz

ARCHITECTS DON’T SIT,ARCHITECTS WALK

#donotsettle is 2 architects/designers/urban en-thusiasts that are attempting to change the way we see the city. Both originating from a totally different background (Indonesia and Belgium), their unique multicultural ensemble results in an original fresh set of eyes in which the city and its architecture are seen.

©#donotsettle

ESSAY

ENGLISH

#donotsettle, Place-making, Shanghai, Urban Interven-tion

by #donotsettle

8

edisi #9: Komunitas

Be Yourself

Be where you want to be and move. Do not sit still. Allow yourself to be yourself.

And this is exactly what we did, by building an international community on the side. Architects are usually glued to their desk endlessly revising office layouts or quickly sketching something for the long ignored backside MEP enclosure. We can simply not accept this. This project is our aim to redefine “being architects.”

#donotsettle is about creating a group of urban explorers. With the rising globalization and urbanization, we use social media to build a framework for like-minded people to share their explorations. #donotsettle creates a platform where exploring, motivation, and adventure are keywords.

We are creating a new vision. Out with the old, say hi to the new architect. This is a new ambition to recreate something by observing, failing and standing up. Over and over again, because we do not settle.

©#donotsettle

9

ruang | kreativitas tanpa batas

Multicultural Ensemble

#donotsettle is Wahyu and Kris: two Shanghai-based architects who are attempting to change the way we see the city. We are both originating from a totally different background (Indonesian and Belgian), growing up in countries on opposite sides of our globe. This unique and previously unseen multicultural ensemble results in an original fresh set of eyes in which the city and its architecture are seen. This created an opportunity to learn from each other and think differently. We each brought different influences to the table and envisioned a project that has no limitations or boundaries.

A new ambition calls for a new name. Brainstorming about a term that is stronger than architects or urbanists, we started calling ourselves “urban enthusiasts.” The city is our playground. We observe, recognize and perceive the city through our eyes.

With an educational and professional background in architecture, we bring our knowledge to the table and correlate between theory and the built environment. We discuss between our global community and ourselves about the changes happening and predict the future.

©#donotsettle

10

edisi #9: Komunitas

Explore More

What started as an escape plan from our architectural design work grew into an opportunity to change the way we see the city. We go exploring because we are eager to witness the transformation of the city. Beyond “feeling” the ground we have a big interest in top-view supervision. Everybody wants to get surprised or amazed by new or old things. We are letting the amazement overtake us when we see new discoveries in architecture or urbanism. We are exploring from new angles and go up, way up. Cities are experienced visually and everything is different from up there: speed, sound, scale, form, and feel. Rooftops have long been inaccessible and neglected, usually only used as a place to store mechanical equipment, however these platform open up a new opportunity to study the rapid change happening in this world’s financial hub. Our observations show the rich history of Shanghai’s urbanism and reveal the unfair fight currently happening where Shanghai’s heritage is losing against the overpowering pressure of the shiny skyscrapers.

Rooftops are a representation of an unseen platform and they are not the subject. We show the people, with our photographic research, that the city is bigger than they think. The result is a gallery of photos showing the endlessness of a city like Shanghai, which is the world’s most populous city. Being on top of a skyscraper leaves you with a double feeling. At first you feel small, and keep growing smaller the more you look, because the city is a huge mechanism where you are just a character in an extremely oversized puppet show. However, secondly, you feel yourself grow bigger because you feel the extremities and can capture the environment completely instead of limiting to a certain view. You are able to relate yourself and put things in proportion. We are living in a world that is too big to grasp. However, when you go higher you are starting to handle this.

Step by step. We go higher, we go wider and we go bigger every day.

Diverse layers of Shanghai seen from rooftops.. ©#donotsettle

11

ruang | kreativitas tanpa batas

Break Your Limitations

We both don’t have a background in photography. We are designers. With this background we go out and bring some simple tools along on our explorations. No expensive set-ups, no professional cameras are needed to capture what we see. All of our photos were taken with the latest iPhone and some cheap pocket cameras. For us it is not about how you take the photo, it is about why you take this particular photo. To create some variations, we always bring pen, paper, small tripod/monopod and sunglasses. What can be seen as a limitation (no photography background or expensive setup), turned into an opportunity to think differently and try harder. When a limitation comes our way we brainstorm to find a way through. When you get pushed against a wall, break the wall.

One thing we haven’t broken yet is door or lock. We intend to keep it this way.

Who Seeks Shall Find

The research is a combination of individual interests and common objectives about the city. We learn about urbanism by discovering and growing a sense of knowledge about the environment, informality, infrastructure, alienation, demolition, wilderness, architectural form, (resi)-density, and familiarity amongst other. We call our explorations “spontaneous observations.” By walking 15 kilometers on average for every day of exploring, we reached 22 rooftops and snapped 2500 pictures of Shanghai. These photos are arranged in sets revolving around different topics. Is it possible to make non- architects excited about our built environment? By sharing our explorations on Instagram and other social media, we aim to share excitement. Social media gives us the flexibility to get recognized by people from around the world.

When we are ready to end the day, we go explore some more. It is non-stop.

12

edisi #9: Komunitas

Community

In the beginning, we were captivated to capture the unforeseen of urban spaces with our architectural interpretation. Once we started sharing our work, we were embraced with motivation from other people who started seeing the city from a new point of view. There is a certain warming feeling when somebody who you had no connection with before, walked up to you and said: “You gave me inspiration to take my camera out again.”

Cities are changing and grow larger than they ever were before. This requires a new ambition to redefine urbanism, as we know it. Cities which developed for this generation need more different meanings and ideas. A global community gives us a platform to initiate discussion panel that can result in a better understanding of our cities and why things happen the way they happen.

Exponential

Our battlefield is Shanghai. As the largest city and the financial heart of China, there is plenty to explore. With nearly 25 million people living in the city, there is no slowing down in sight yet. With a huge crowd of individuals and a huge surface of high-rise buildings, this is the perfect context to be. Shanghai is Asia’s urbanism at its maximum. Being rambunctious and energetic, change is seen every single minute of every day. With a vibrant fusion of old and new, the city is a more than welcome backdrop in every photo. We learn about city restoration and foresight reaction at the same time.

Today we live in the age of icons. Every city around the world is creating their iconic view. It is their mark on the map, their marketing material to be sent in postcard form to loved ones on opposite corners of the world. Our urban explorations put these familiar views in a new limelight. This is the start of a new platform, full of energy that can be applied to every city in the world because cities are there to be seen and observed 24 hours a day.

©#donotsettle

13

ruang | kreativitas tanpa batas

We learned things that we could not imagined before. We started as simple photos grew in an opportunity to tell a story of our experiences living in this mega-city; but even so, it is becoming a way to motivate ourselves and our community to keep going. Don’t look back, just keep walking. Accept every challenge with open arms.

Visual Archive

Cities don’t stand still, they change overnight at high speed. The past months we have consolidated our explorations in a book format. This is our visual archive of how the city was at the moment, because we are not capable to hold the change. Instead we embrace the change and try to understand the facts.

Combining 99 of our best photographs with our observations in architecture, this book is our representation of unsettledness, a new action concept in the city. Divided into four chapters: Identification, Recognition, Transformation, and Perception; we talk about architecture, urbanism, and the mind. This is how we feel living in world’s most populated city in the world.

Next

We feel this is just the start. By using photography, video, text and other forms of media we are building a network of urban explorers who share the same ambition. That is where we need you. Give us a look on Instagram account @donotsettle, post your explorations with hashtag #donotsettle, or write us an email to say hi to [email protected]. More of our tag explorations can be seen on: www.donotsettle.co.

*

Wahyu and Kris

©#donotsettle

Ruang Untuk Menjadi Orang Lain

Tidak seperti komunitas lain yang dapat berkumpul dan mengekspresikan keinginan mereka kapan saja, komunitas Cosplay membutuhkan ruang dan waktu khusus untuk bertransformasi menjadi karakter impian mereka.

ESAI FOTO

INDONESIA

Cosplay, Komunitas, Jakarta

by Rian Afriadi

16

edisi #9: Komunitas

Tidak seperti penggemar karaoke yang bisa menyanyi kapan pun ia bisa, tidak mungkin bagi penggemar cosplay untuk berkostum Sailormoon sembari membeli sikat gigi di toko kelontong di mulut gang atau saat memperpanjang SIM di kepolisian.

Hebohnya kostum anime tidak akan membuat orang mengernyitkan dahi jika ada dua puluh lima orang lainnya yang berkostum anime. Kumpulan orang ini membutuhkan suatu event khusus di tempat khusus untuk mengekspresikan diri.

Jakarta, sebagai kota yang dikenal tidak banyak memiliki ruang publik dan tidak terlalu ramah bagi kebebasan berekspresi, ternyata cukup memiliki ruang bagi komunitas cosplay. Dalam setahun, cukup banyak event yang bisa mewadahi para cosplayer untuk datang, saling memamerkan kostum, berbicara tentang anime, berbicara tentang artis Jepang favorit, dan yang paling penting : menjadi orang lain, menjadi tokoh yang kita idolakan, walau itu hanya untuk beberapa jam saja.

17

ruang | kreativitas tanpa batas

18

edisi #9: Komunitas

19

ruang | kreativitas tanpa batas

“Dalam setahun, cukup banyak event yang bisa mewadahi para cosplayer untuk datang... dan yang paling penting: menjadi orang lain... walau itu hanya untuk beberapa jam saja.”

Rian Afriadi

IPOH BUS PROJECT:Placemaking Through the Transit Community as A Grassroots Effort

Ipoh Bus Project is a movement about buses, the bus system and the possibilities of placemaking through the bus system and its com-munity.

Ipoh Bus Project Logo ©Alex Lee

ESSAY

ENGLISH

Place-making, Ipoh, Bus Sys-tem, Community Movement

by Alex Lee

22

edisi #9: Komunitas

The project started out as a personal initiative in my own neighbourhood where a bus stop stood unmaintained for 20 over years. Growing old with mold, rust and neglect, a group of family and friends from the neighbourhood bought a can of cheery yellow enamel paint and painted it. No permission sought. We felt it was the right thing to do. We only polled enough money for one can of paint and comically had to paint scallops that resembled clouds because we ran out of paint. We gave the bus stop a name, the name the locals call the stop, and painted a bus on both sides for legibility and semiotic issues.

Coming to see the bus stop looking different than the day before, people talked, few if any knew who did it. Many were happy, some saw it as an act of defiance against the languid maintenance of the city council. Few months after, all bus stops on the street were renovated and renewed. We achieved what we set out to change, with only a can of paint and some brushes.

From here we knew that Ipoh needs us and we needed to do more for Ipoh. Since we started out on buses, we continued on buses.

23

ruang | kreativitas tanpa batas

Ipoh

As with many small cities, Ipoh is an ordinary city with an easy attitude which has seen better days in the past and is now overshadowed by larger cities in its close region. Pitted between the economic and cultural powerhouses of Kuala Lumpur and Penang, Ipoh has a language and flavour but sees itself in a dilemma as it seeks to compete head-on with the larger cities in the region. An underdog city, bleeding demographically through the imbalanced migration of young minds to larger cities.

The project itself is set in the temporal and transitional space of the city. The space and time that exists on the bus between two points in a city. This is where possibilities abound and lives cross; the links and the nodes in a living bus system.

With bus users made up of schoolchildren to senior citizens; the car-less working class to the migrant workers; the project is a focused search towards placemaking from the grassroots that balances but does not seek to antagonise the car-oriented society. The city belongs not to one group but to everybody.

24

edisi #9: Komunitas

Narrative Building

“A story is not something of this world. A real story requires a kind of magical

baptism to link the world on this side of the world on the other side.”

- Haruki Murakami, Sputnik Sweetheart.

As with most community efforts, the first step is narrative building. By making good use of the wide community base and tapping into existing intangible memories, the bus project links nostalgia of the old bus system with the present needs of commute. The paper buses and pin badges are meant to be a tangible key that unlocks memories and conversations of bus experiences. Similar to what a souvenir does when it becomes a centrepiece of a conversation.

At the Art Market. ©Alex Lee

Ipoh Bus souvenirs.©Alex Lee

25

ruang | kreativitas tanpa batas

New and experienced users using the bus system will be able to use the bus guides that will feature bus routes, and other important content complementing the system map. It is this information that makes the Ipoh Bus Project guide different. It features content on localised neighbourhood attractions, cottage industries, and food stalls. Promoting local and everything on the scale of the neighbourhood. The Ipoh Bus Project guide is a map that guides people to a journey of discovery, telling enough and keeping some hidden lest the joy of discovery is lost.

Bus Guide

A step ahead of narrative building is the functional purpose of the project. Some undoubtedly wish to hold on to the nostalgia of the air-ventilated buses, rickety ride and colourful decals but the bus system is functional and must place present commuting needs ahead. With little information on bus routes and system in Ipoh, it only makes sense to create a comprehensive bus guide. This in return will widen the commuter base and ridership. A win-win situation for bus companies, the city streets and the project.

Being part of a city, content is important. The Ipoh Bus Project opens a door to the city’s rich existing and fresh content. The project possibilities are limitless and it’s goals are long term. We are on a journey with the city on the bus. The experience of the journey is an act of self-discovery for Ipoh through the eyes and ears of it’s citizens and is more important than the destination. There is a word in Spanish, ‘vacilando’. It means one is going somewhere, but does not greatly care whether or not he gets there, although he has direction.

Come visit Ipoh someday, let’s ride the bus together.

*

Facebook: ipohbusprojectEmail: [email protected]

26

edisi #9: Komunitas

Working draft of the bus guide. ©Alex Lee

A TALK WITH JORGE ANZORENA: ON LETTERS FOR THECOMMUNITY ARCHITECTS

Through his newsletter, SELAVIP, Jorge Anzorena become one of the influential figures for commu-nity development movement around the world. Maria Dewi got the opportunity to dig deeper on his view on architect’s position, Indonesia’s com-munity movement, and many more.

INTERVIEW

ENGLISH

Community Development, Jorge Anzorena, Internation-al Organization, SELAVIP

by Maria Dewi

Fr. Jorge Anzorena ©Maria Dewi

28

edisi #9: Komunitas

Along the way to his house, the morning-glory flowers started to bloom. They cheered me up after getting lost on the way to find his residence. He welcomed me with a warm and sincere smile, and invited me to enter his work-space. It was a humble pavilion facing the yard with shady trees and comfortable sunshine. Father Jorge Anzorena is an Argentinian Jesuit (Society of Jesus) priest, based in Japan. He travels to several countries every year to observe the progress of community participation activity for low-income housing. It is mainly done in Asia, and also some other parts of the world. For many years, he has been sharing his experiences through his newsletter, SELAVIP.

He is one of the important figures in the early times of ACHR (Asian Coalition of Housing Rights), together with Johan Silas from Indonesia. During 1990s, ACHR was focusing on housing rights and problems of eviction in Asian cities. He has also been involved in the Slum Dwellers International. I always wanted to visit him to discuss about community participation. To have this opportunity is a very valuable experience.

M: How did your involvement with community development start in the very beginning?

A: First I need to tell you about my educational background. At first, I studied civil engineering in Argentina. Afterwards I joined the Jesuits. Then I taught for two years in France before I came to Japan. In Japan, I started to learn the language for two years, and finished my master doctorate in architecture for two years. I also studied theology for four years and at the same time also joining the Hongo Tokyo University.

After finishing my master doctorate, I began to teach at Sophia University at human and architecture program. During my master study, I did a research on how the change of behaviour in universities could change the physical aspects or the other way around. The basic idea is that the universities should be the place for development of yourself, not only to prepare your job for the society.

One thesis that I put in my book is the Tamariya, a place you could stay. People would feel at home; you are not running all the time. Then, you have the attachment to the university. When you are in a big university like Meiji, you finished class and you are out in the streets, it’s nothing. I tried to find out where people would relax inside.

Because when students are passive, they don’t grow. They need to find what they want to do in the universities, in life. It was a very interesting moment because they start to think about the future, began to see the meaning of their life. They just need to find something, which make them, as young people, become more active.

After ten years finishing the program, I went to Germany. It was a time for reflections. I wanted to see for one side what are the things that motivate young people to be more active and also about poverty.

29

ruang | kreativitas tanpa batas

It was in 1973-1974 that I eventually heard about Mother Teresa, even though she was not yet very well known. Someone said there was an interesting work in Calcutta when I was in Tokyo University. I tried, and I went over there for one month with her.

M: So you have worked with Mother Teresa?

A: Yes, I stayed with them. We were at the Kaligati Temple in which they collected dying people in the streets and tried to have a kind of decent last moments for them.

And then I said to myself “if you have a doctorate in architecture for instance and you see people dying in the streets, is not very useful for them to be with a doctor in architecture for their life”. Sometimes I asked, “In Japan, what could I do?”. I saw that tremendous need for help. They’re very poor. There was no architect, not much interest.

Afterwards, I went back to teach and tried to find a chance to make contact. Finally, there was one group of Jesuit, which has an office called Human Development. This Human Development office is related with the growing poverty in Asia. They are a group of bishops – Catholics and Protestants – who want to help people who are evicted. For eviction were very radical in Asia.

They ask for the disciples of Saul Alinsky to come and help organizing it. Afterwards, they also went to Phillipines. It was a big problem during Marcos’s dictatorship. He wanted to move 300.000 people to make some beautiful things.

M: So what kind of project you had in your beginning years of community development?

A: Well, this organization was able to make 100.000 families to remain in their place. There was also Dennis Murphy, other Jesuit at the time. He had some experiences in Latin America. He was invited there and saw that for organizing the people’s housing you need to put a lot of energy. He didn’t know what happens in Asia and he wanted to do some research about what the poor doing to improve themselves. That was the first project. I read that and I wrote to him if I could help something from Japan. That was 1976.

Then I started to work for him and he said, “Please come to Asia, to Philippines. During the vacation of the university”. Afterwards, during the Jesuits meeting, they also said, “Why don’t you take care of this project?”. I said, “I was just teaching in a university and it is not that easy”. The bishops wrote to the University of Sophia, asking if they could lend me for two years for this. The university said OK, and I went over there.

30

edisi #9: Komunitas

M: So did you execute you first project inside or outside Japan?

A: The first is not really a project but trying to see what happens, to record what happens in different countries. On what activities the people are doing in different countries. Not the problems but what is happening in Asia.

I made several contacts with some independent or government-related groups. After these contacts, I began to make small notes, a kind of rudimentary newsletter that says what I see, what things happen, etc. I began to send it to the people I met. Because I learned from them and I said, “This is what I learned from you and other people.” Basically it was trying to record what’s happening. Practically at the time, I was continuously moving to most of the cities for two years.

M: What keeps you doing it until now?

A: Because it was very interesting: people you see, the activities, and so on. Afterwards, I went back to the university. They gave me other two years of working. But you know, if you are a full time teacher you need to really teach. So I tried to find a way to work on this during my vacation.

M: During your journey from that time until right now, did you see some ideal situation between the government and the community?

A: I feel it doesn’t exist much but it happens. Practically in the beginning, most of the groups were independent from the government. Even in the 80’s some groups were saying that the government is not doing nothing, so just do something by yourself. In Pakistan, they even began to build sewer systems by themselves. The Orangi Pilot project. It was very difficult because that was a sewer system.

M: Do you have some role in connecting all of the practitioners of community development between countries?

A: Well, because I am the only one who was moving around from the beginning. When ACHR (Asian Coalition for Housing Rights) was formed, it was my network. In the newsletter, you have the address, you can just go there, you don’t need to go through me. We began to have a kind of connections and they decide to be together.

M: Do you have some role in connecting all of the practitioners of community development between countries?

A: Well, because I am the only one who was moving around from the beginning. When ACHR (Asian Coalition for Housing Rights) was formed, it was my network. In the newsletter, you have the address, you can just go there, you don’t need to

31

ruang | kreativitas tanpa batas

go through me. We began to have a kind of connections and they decide to be together.

M: Which countries that are you focusing in?

A: Asia. What happens in Asia. From the very beginning the scope was Asia. But then after 24 years, they asked me to go to the southern part of Africa. What I experienced is the groups of Asia were helping them. Now my movements are mostly in Asia, and one month in Africa.

M: So as you were seeing the situation of many countries’ community development, how did you see the local aspects in it?

A: Different people are working for different things. Usually when I go to one place, I try to meet the people, to understand and write about them, and see what they are doing. For that, usually I stay one month. When they are doing something interesting, I go the next year. Some groups I go every year. Usually I try to learn from them more than to say. If they ask me, there are groups that

Orangi Pilot Project in Karachi, Pakistan. Volunteers were constructing sanitation facilities. Source: www.diplomatonline.com

32

edisi #9: Komunitas

do similar things, then I talk. Usually I learn. More or less I began to understand what they tried to do and I see the relations that they have with the people. I record it, so later I could give some advices. There are people who will oppose the government, or there are who will cooperate or accepted. Hasan Purbo and Mangunwijaya were accepted by everybody. Robi Sularto was a very good architect, who lived in Bali. Even though afterwards he fought the government.

M: And then, I read in one of your paper that you mention the importance of self-help attitude from the community in the approach of building local housing. So what makes it more successful than the ones executed in top-down action?

A: Well depends. Sometimes, from bottom up is good but it’s very slow. For instance in Brazil, they call the Mutirao self-help project, very good and very cheap, but it goes slowly. If you have the money, sometimes it’s much faster if you go from the top. It’s not the best way but it’s the most effective way.

We could have a lot of money, but if we have a very well structured government, it could go faster. It is related to millions of people. We need them involved to give land or permission. Self-help attitude would takes a lot of time, its best to go opposite when its related to improvement of millions.

M: Do you have some working experience in Indonesia?

A: Robi Sularto was doing something about earthquake in Bali. He was working through the carpenters, not through the companies. Mangunwijaya was very quiet and became good friends with the people in the neighborhood. He began to do this very quietly and he did a good job with the poor houses. The government wanted to destroy it but Aga Khan gave their awards to him. I was learning tremendously with him.

Johan Silas thought that the government was very autocratic at that time. Surabaya didn’t have any technical support. He thought that the support from the government is necessary for the community development. I saw that he was trying to prove that it’s possible. He did something to the floors. And will try to defend even everything, even the wrong things he will try to defend. That is his way, his approach. But afterwards he is recognized for the good things he has done.

M: How is your opinion on Indonesian community architecture and community development?

A: I don’t know, because there are the new groups. I don’t have much contact with them. You have very capable people, but things in Indonesia move slowly.

33

ruang | kreativitas tanpa batas

Kali Code ©Maria Dewi

34

edisi #9: Komunitas

The government is very careful in making moves. I remember Silas able to do his thing because he was in Surabaya. It is more complicated in Jakarta. They were very difficult to move things. But maybe now its possible after the 1998 reform.

M: How do you see the rule of architect towards the people, regarding some architects’ individual desires in which they create iconic buildings, or becoming famous ?

A: They need to work. You cannot work for the people. Very few which are very competent people can do it and make a living of that. When you are young, you can become idealistic just like you. But when you are married you start to develop families, etc. You have to compromise.

I think it is very difficult for an architect to make a living and working in this. Everybody feels much better working with the poor because they think its more creative, etc. But how they could survive is the problem. I met many architects who like to do that, and sometimes they would provide free services to the people. One guy was telling me when he was making a thesis, “I cannot make a thesis about the poor in Tokyo University, because normally the teacher will not accept it.” But now perhaps things are changing.

But it’s evolution. For myself, not what I should become. I cannot say what Maria should do in the future. Maria should find out what she really wants and decides to do from inside herself. You need to be free, free to develop yourself. When you go inside, you will find something that is acceptable to you. From outside it’s very

Mutirao self-help housing project.

Source: http://incrementalhouse.

blogspot.com

35

ruang | kreativitas tanpa batas

difficult. It sometimes works, but only very few times.

M: I am very agree with that. During your 24 years of experience, what is your most important lesson in practicing?

A: Well you know, it’s a process to be open to the difference. For us it’s very difficult. For example when I came to Japan, it’s a very different country. But if you are able to open yourself a little to Japanese, you would find out that you become a little more understanding, more tolerant. There are things that you don’t like but I think this is a process which exist.

It’s not something to say, “This is my way” because you are used to it. The other people around you have other ways, and that is a friction. Sometimes you get angry and even upset.

M: Last question. What is your hope towards the future of community development?

A: It’s people. Hope is the people. Usually we are not completely free because we have a lot of fears: fears of the future, fears of the people, and fears of the family. If you are more competent and more free, do something which you are called to do. This is extremely important. I think this is the most important thing that exist.

M: It’s the freedom of doing and thinking perhaps, and expressing ourselves.

A: Yes. For instance you have 40 students, they’re very enthusiastic. But from them, perhaps who will remain as community architects for longer time only 2. The others will try to go to other university etc. It depends on themselves you know. I think it’s the freedom of people, that more people become free. I think this is the hope.

It’s a process, and it also needs to be done by people. Not only the architects but also the communities. But I think the good process is when community begins to develop people, who really begin to care for others. When the community begins to think about the poor people in any community.

From the group of community architects itself, it depends on what ideas that tie them together. If you establish a group, you have to keep open to everyone. Do not becoming a dictator. When you are going around in 3 continents, you find things happen. Some groups of community architects develop, other groups die. That depends very much of the core group or the core beliefs that you have. If you are selfish, this will appear sooner or later. These things are, for myself: when you think there is something that is higher than you, and this: you are not the center of the world but this is the center, you just participate.

Jorge Anzorena

“You are not the center of the world but this is the center, you just participate.”

Jorge Anzorena

Membangun Bersama Masyarakat: Sebuah Cerita dari Kaum Pinggiran

Komunitas terbentuk oleh tujuan bersama untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Kultur perkotaan dikombinasikan dengan semangat kebersamaan warga kampung menjadi sebuah modal dalam menghadapi permasalahan masyarakat yang kompleks.

ESAI

INDONESIA

Komunitas, Pengabdian Masyarakat, Kolektivitas

oleh Amita Sari

38

edisi #9: Komunitas

Seseorang akan berkata ‘A’ sementara yang lain ‘B’ untuk satu hal yang sama. Permasalahannya bukan salah atau benar.

Namun, melihat dari berbagai sudut pandang dan pemikiran. Itulah keunikan dinamika sebuah komunitas.

Matahari seakan tidak memberi ampun pada geliat kehidupan di Kota Batam. Teriknya terasa membakar kulit. Betapa beruntungnya menemukan sebuah laguna penampungan air hujan di tengah-tengah kota Batam; seperti melihat sebuah danau kecil diantara bukit-bukit gersang.

BATAM, dulu dan kini, entah bagaimana nanti…

39

ruang | kreativitas tanpa batas

Walau terletak di sebuah pulau kecil, banyak hal yang dapat dipelajari dari kota ini. Sudut-sudut kotanya tidak pernah habis untuk dijelajahi. Batam, sebuah kota administratif setingkat Kabupaten, memiliki sejarah perkembangan kehidupan kota yang cukup menarik. Sejarah kejayaan masa lampau tidak banyak berbicara tentang pulau ini – hanya ada sekelumit kisah kerjaan Tumasek, perebutan wilayah antara Belanda dan Inggris, juga tempat asal tokoh nasional Laksamana Hang Nadim yang namanya diabadikan menjadi nama Bandar Udara Internasional di Batam.

Dahulu, pulau ini hanyalah sebuah tanah kering berwarna merah tanpa tanda-tanda manusia mampu bertahan hidup. Namun, karena lokasinya yang strategis (berdekatan dengan Singapura dan Malaysia), kota ini berkembang pesat menjadi sebuah kota perdagangan. Batam diharapkan menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara untuk menyaingi Singapura, karenanya kota ini memiliki perencanaan yang matang. Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan, daerah pertokoan sedikit demi sedikit mulai berkembang. Kini, Batam dibanjiri investor, perusahaan asing serta imigran yang mencari peruntungan. Daerah yang dulunya tanpa nyawa sekarang menjadi sebuah kota yang ramai dan sedang berkembang pesat.

Di tengah-tengah geliat ini, muncul berbagai permasalahan seperti kebutuhan pangan yang meningkat, tuntutan ekonomi yang semakin sulit, dan kebutuhan akan perumahan. Awalnya, pemerintah mengalami kesulitan untuk membendung pertumbuhan rumah liar di sepanjang daerah strategis tadi. Sebagaimana permasalahan di kota-kota lainnya, keberadaan rumah liar membuat wajah kota tidak sedap dipandang mata. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah kota bersama-sama dengan pihak berwajib membuat kebijakan untuk merelokasi rumah-rumah liar tadi dengan kompensasi sebuah tanah kaveling di lahan baru.

Namun, penyediaan tanah kaveling siap bangun juga menimbulkan permasalahan baru. Letaknya tidak strategis, belum tersedianya infrastruktur listrik dan air bersih, juga mental masyarakat yang tidak taat pada aturan membuat perkembangannya berjalan lambat. Bahkan, beberapa warga mencari keuntungan dengan menjual lahan kaveling yang diterimanya dengan cuma-cuma dan kembali bertempat tinggal di perumahan liar.

40

edisi #9: Komunitas

Andaikata penduduk tinggal di kaveling ini, mereka juga harus menghadapi tantangan ketersediaan air bersih dan listrik. Hasilnya banyak ditemui rumah-rumah dengan penataan wilayah yang tidak beraturan, akses jalan yang buruk, dan tidak memiliki saluran irigasi. Hal ini menyerupai susunan perumahan liar yang lahannya telah dilegalkan oleh pemerintah.

Batam tidak patut ditangisi atau ditinggalkan berdiam diri untuk menghadapi segala permasalahan yang ada. Tidak menyerah karena kondisi yang ada merupakan suatu kunci untuk hidup lebih baik. Geliat pagi begitu terasa saat kami (para relawan) masuk ke kaveling kumuh di daerah pinggiran kota Batam. Pemandangan ini tidak biasa ditemui, apalagi bagi relawan asal Singapura yang turut membantu dalam pembangunan partisipatif di lokasi tersebut. Berasal dari negara maju, tidak membuat mereka sungkan untuk berkotor-kotor untuk memasuki kaveling yang tidak berbentuk tadi.

Seorang ibu tua, terlihat menitikan air mata menyambut kehadiran kami. Suaminya telah tiada bertahun-tahun lamanya, anak perempuannya meninggal beberapa bulan yang lalu. Hanya tinggal dirinya dan anak laki-lakinya yang bekerja serabutan untuk menghidupi keluarga. Sang ibu juga berusaha mencari penghidupan dengan bekerja sebagai buruh cuci. Jangankan untuk membenahi rumahnya, untuk makan sehari-hari pun mereka kesulitan. Pilu hati kami mendengarnya. Tanpa sungkan, bersama dengan warga sekitar, kami membantu pembangunan rumahnya. Tak peduli tua-muda, pria-wanita, semua terlihat senang membantu sang pemilik rumah. Pekerjaan memotong besi, membuat adukan mortar, menggali tanah, dan memasang batako yang biasa dilakukan oleh tukang bangunan, menjadi pekerjaan pokok saat membantu keluarga penerima bantuan. Pekerjaan ini sangat menyenangkan, di sela-sela menyelesaikan target pekerjaan hari itu, kadangkala kami malah bermain-main dengan cipratan mortar. Tidak ada yang mengeluh dalam bekerja keras, hanya ada tawa, senyum, dan canda saat bekerja. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan.

Menjadi tukang bangunan sehari sebagai pengalaman yang tak terlupakan

41

ruang | kreativitas tanpa batas

42

edisi #9: Komunitas

Ini adalah proses pembentukan komunitas yang dibangun dengan landasan kepercayaan dan pengabdian kepada masyarakat. Kultur masyarakat urban Batam yang dikombinasikan dengan kehidupan kampung membentuk sebuah tatanan baru. Berpikir dan bertindak sebagai masyarakat kota dengan jiwa dan semangat kebersamaan yang terikat kuat.

Sebuah komunitas terbentuk dengan berbagai dinamika dan kompleksitas permasalahan yang dihadapinya. Bukan sebuah komunitas hi-tech, cyber, terpelajar, ataupun memiliki kesamaan hobi sering nongkrong di mall/cafe, kesamaan visi, atau hal hebat yang lainnya. Meski bukan sebuah komunitas modern, mereka tetap akan berteriak dengan lantang di ruang publik apabila ada yang tidak sesuai dengan yang seharusnya. Mereka adalah orang-orang yang sederhana, namun berdedikasi untuk mengorganisir dan menggerakan kegiatan pembangunan rumah. Mereka memiliki harapan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat untuk hidup dengan layak. Rumah adalah tempat di mana segalanya berawal. Mulai dari tempat berlindung hingga tempat tumbuh kembangnya anak, pengajaran pendidikan keluarga. Sebuah kebutuhan primer untuk keluarga agar hidup layak.

Selain pembangunan rumah, hal yang tak kalah pentingnya adalah pemberdayaan komunitas. Bukan hanya memberikan bantuan secara cuma-cuma, tapi bagaimana

Komunitas adalah tempat belajar

43

ruang | kreativitas tanpa batas

membuat komunitas tersebut bisa berdikari dan mampu menghidupi diri mereka sendiri. Belajar bersama-sama adalah kuncinya. Perlu saling tukar pengalaman antar-individu untuk membuka wawasan. Komunitas bukanlah objek, tetapi kumpulan subjek. Masyarakat terpinggir adalah individu yang patut didengar dan didukung untuk menggali dan memecahkan permasalahan mereka sendiri. Kami (para relawan) hanyalah orang luar yang memfasilitasi. Mereka adalah pemilik lingkungan setempat yang mengetahui semua seluk beluknya, maka dari itu buatlah mereka mencintai lingkungan mereka sendiri.

Di hari itu, kami (para relawan dan masyarakat) sama-sama belajar mengenai perilaku hidup bersih dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada guru, tidak ada murid. Tidak ada yang lebih tahu antara fasilitator ataupun masyarakat. Di hari itu juga, kami menemukan tujuan bersama untuk menggali permasalahan kebersihan di daerah tersebut dan menyelesaikannya bersama-sama. Awalnya, tidak ada yang menganggap serius tujuan awal itu. Namun, setelah berdialog dengan dipandu salah satu tokoh lokal, keadaan mencair. Walaupun tidak semua anggota masyarakat hanyut dalam diskusi, namun, kemauan dan keterlibatan semua orang membuat proses belajar ini tidak membosankan. Lama kelamaan, mereka menyadari keadaan lingkungan yang buruk; banyak warga yang masih buang sampah sembarangan. Hal ini dikarenakan tidak adanya fasilitas pembuangan sampah yang layak dan sebuah sistem terpadu untuk menyelesaikannya. Pada akhirnya, masyarakat berkomitmen untuk menjalankan solusi temuan mereka.

44

edisi #9: Komunitas

Kami benar-benar takjub dengan terciptanya sebuah diskusi antar-warga dalam sebuah komunitas. Mereka mau bekerja demi kebaikan bersama dan memperbaiki lingkungannya. Arsitek, urban desainer, atau bidang ilmu lainnya yang kompeten, masihlah kurang tanpa semangat dari komunitas itu sendiri. Tidak ada lagi egoisme sang arsitek dalam membangun, sebaliknya kepentingan bersama layak untuk didahulukan daripada kepuasan pribadi. Namun, jangan sekali-sekali menggurui mereka, biarkan mereka berkembang dengan sendirinya.

Mulai dari pembangunan rumah bersama-sama dengan sukarela hingga komunitas sebagai tempat belajar, bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat, terutama anak-anak sebagai penerus generasi bangsa ini. Perlunya rumah sebagai tempat tinggal yang layak, tempat belajar yang nyaman, serta tempat tujuan untuk ayah pulang bekerja dan anak yang kembali dari sekolah. Rumah adalah sebuah tempat yang dimiliki oleh sebuah keluarga. Komunitas akan terbentuk dari kumpulan rumah-rumah yang mempunyai satu visi untuk kebaikan lingkungan mereka. Dalam kesederhanaan, tanpa hingar bingar modernitas berlebihan, dalam tawa dan canda, tapi dapat hidup dengan layak dan bersahaja.

Mereka akan terus berkembang,Hidup,Dan melakukan perubahan untuk menuju keadaan yang lebih baik.

Pada akhirnya, tujuan kami semua sama… untuk melihat senyum di wajah mereka

45

ruang | kreativitas tanpa batas

...hal yang tak kalah pentingnya adalah pemberdayaan komunitas. Bukan hanya memberikan bantuan secara cuma-cuma, tapi bagaimana membuat komunitas tersebut bisa berdikari dan mampu menghidupi diri mereka sendiri. Belajar bersama-sama adalah kuncinya.

Amita Sari

Village is a Future Community(sebuah catatan atas presentasi Singgih S Kartono)

Desa adalah sebuah komunitas yang otonom dan self-sufficient. Memfokuskan terhadap pengembangan berbagai potensi yang dimiliki sebuah desa dapat memberikan sebuah model alternatif dari sebuah kehidupan yang berkelanjutan dan lestari.

ESAI

INDONESIA

Potensi Desa, Kehidupan Berkelanjutan, Komunitas

oleh Muh. Darman

48

edisi #9: Komunitas

Jum’at 23 Agustus 2013.

Di rumahnya di desa Kandangan, Pak Singgih mengajak saya duduk melihat sejumlah slide presentasinya. Ia ingin menceritakan beberapa

pemikirannya seputar komunitas Desa, yang ia sebut sebagai “a Future Community,”

Dan mulailah ia bercerita;

“Pada dasarnya semua aktifitas saya itu berkisar pada bagaimana sebuah desa bisa berkembang sesuai dengan potensinya, jadi di presentasi ini saya tulis; I believe, Village is the answer.

Menjawab apa sebenarnya? Terutama menjawab gambaran kehidupan yang sustainable dan lestari. Ya, sebenarnya komunitas lestari itu lebih bisa diwujudkan dalam komunitas desa.

49

ruang | kreativitas tanpa batas

Salah satu yang membuat saya kembali ke desa adalah pernyataan ini:

“Someday, there will be many people work in remote areas, but they connected internationally cause of advancement on information and telecommunication technology.” (Alvin Toffler, 1970)

Suatu saat akan banyak orang bisa bekerja di tempat-tempat terpencil dan terkoneksi secara internasional karena kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi.

Hal ini sudah terbukti dan menjadi suatu penguat bahwa kita tidak selalu harus berkumpul di kota; desa-desa pun bisa berkembang. Kenapa orang berkumpul di kota? karena semua informasi ada di kota, hal ini membuat komunikasi di kota menjadi lebih mudah.

Nah, sekarang kondisinya sudah berubah. Di samping banyak hal yang lain, yang menjadi permasalahan saat ini adalah kelestarian lingkungan dan kelestarian kehidupan itu sendiri.

Kenapa desa? Karena saya lahir di desa, sehingga saya mengenal komunitas ini dengan baik.

Temanggung Desa Kandangan

50

edisi #9: Komunitas

KEMUDIAN desa adalah suatu komunitas yang sangat lengkap. Walau berukuran kecil, desa memiliki wilayah, pemerintahan, aktifitas ekonomi, bahkan budaya sendiri.

Kemudian ini berdampak pada kekuatan komunitas itu sendiri. Desa hampir mampu untuk self-sufficient, kalau memang betul-betul dikonsepkan seperti itu. Contohnya Badui Dalam. Badui Dalam itu sangat kuat, mereka tidak pernah kekurangan beras karena mereka membuat suatu sistem yang melarang memperjual-belikan beras.

Kemudian, pada ekstrim yang lain, hampir sebagian besar kebutuhan kota itu di-impor. Ya, memang kelihatannya kota memiliki banyak industri, tapi bahan-bahan industri itu didatangkan dari tempat lain.

Yang bisa betul-betul self-sufficient itu sedikit!

Dalam konteks sebuah komunitas: Kota dan Desa. Desa itu kuat. Kota itu lemah.

KEMUDIAN, desa itu bisa menjadi apa saja sih? Atau apa yang bisa dikembangkan di desa?

Misalnya pertanian dapat dikembangkan jadi organic farming, argo forestry. Ini sebenarnya sudah ada, kayak kebun-kebun kopi atau yang lain.

Kemudian desa juga bisa membangun sumber energi terbarukan, seperti pembangkit listrik di aliran sungai. Kalau pemerintah Indonesia serius dan melihat desa sebagai sebuah potensi, dan tidak ingin ada suatu masalah atau bencana listrik nasional, mereka seharusnya membangun sistem energi di tiap desa, misalnya energi surya atau lainnya yang lebih mandiri.

Kemudian local clothing industry, sebenarnya orang di komunitas desa bisa membuat pakaian sendiri. Dan lagi-lagi orang-orang Badui sudah melakukannya sendiri.

Kemudian Architecture construction, manusia membutuhkan tempat bernaung atau shelter. Namun hal berkembang lebih jauh, tidak hanya untuk tempat berteduh, tapi menjadi bagian dari kebudayaan manusia itu sendiri. Bahkan arsitektur di desa kemudian memberikan wajah yang sangat kuat bagi desa itu sendiri.

Ini menjadi suatu hal yang sangat menantang!

51

ruang | kreativitas tanpa batas

Kemudian contextual education, pendidikan itu sebenarnya “core” dari sebuah komunitas. Jadi kita harus membuat suatu sistem pendidikan yang kontekstual. Apa sih yang dibutuhkan oleh komunitas ini? pendidikan itu harus di-set-up sesuai konteks dan tidak perlu “Ngoyo Woro” atau kemana-mana, alias nggak jelas. Tidak fokus dan ke sana kemari. Ya, pendidikan sekarang itu ngoyo woro.

Kemudian eco-socio-culture tourism, ya contohnya Spedagi.

Kemudian village bank, desa sebenarnya punya kekuatan finansial tersendiri. Ini bisa dibuktikan dengan keberadaan bank-bank yang tumbuh pesat di pedesaan, seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Hal ini menunjukkan bahwa di desa ada uang, yang terkumpul karena orang membutuhkan uang tunai dan dia harus mengembalikannya lagi. Cara seperti itu ternyata bisa mengumpulkan dana yang cukup besar. Bagaimana jika BPR ini dimiliki oleh masyarakat? Nah, itu sebenarnya ide dasar yang sangat bagus, tapi untuk merealisasikannya dibutuhkan strategi-strategi yang membantu mengarahkan masyarakat untuk membangun kekuatan finansial desa.

Village is the Future of a Community (Illustrasi. Dok. Singgih S Kartono)

52

edisi #9: Komunitas

Di desa juga bisa dibuat creative industry, misalnya Magno.

Kemudian processing industry, desa menghasilkan pertanian dari argo foresty atau organic farming, dia bisa mengaktifkan processing industry-nya. Industri ini perlu untuk mengamankan harga hasil argo foresty dan organic farming. Jadi misalnya, sayur atau bahan makanan yang sifatnya segar itu waktunya cuma sebentar, tapi kalau dia diproses, dia akan punya waktu yang lebih panjang. Industri pengolahan itu sendiri akan memberikan lapangan kerja bagi masyarakat Desa.

Kemudian alternative healthcare, yang dibutuhkan adalah bagaimana agar masyarakat menjadi lebih sehat. Kalau seseorang memakan makanan organik, kehidupan tempat tinggalnya bebas polusi, tentu dia akan lebih sehat. Sehingga fasilitas kesehatan tidak menjadi beban bagi komunitas itu sendiri. Lalu karena penyakitanya itu penyakit kelas “teri”, diobati dengan herbal pun sembuh, jadi nggak perlu “obat apa lah”.

INI SAYA sebut village is a future community. Kita sebenarnya bisa membuat hal ini. Semacam sesuatu hal yang sebenarnya luar biasa ya, karena di kota itu nggak bisa bikin argo foresty kecuali kalau maksain. Desa memiliki lebih banyak potensi untuk melakukan itu. Nah, kalau kita ngobrol tentang isu kelestarian bumi, ini juga harus

Village sustainable living (Illustrasi. Dok. Singgih S Kartono)

53

ruang | kreativitas tanpa batas

menyangkut bagaimana kita menjaga populasi manusia tidak bertambah terus menerus. Dan itu pun bisa dilakukan melalui komunitas kecil, yah misalnya Desa.

Jadi, misalnya pertumbuhan di desa stabil, kemudian diaplikasi di banyak desa, ya tentu saja populasi total suatu negara atau dunia bisa terjaga. Tanpa, dibutuhkan perang, atau bencana alam yang “dibuat” untuk membunuh manusia agar populasi menjadi stabil.”

Slide presentasinya kemudian menampilkan pengalamannya mengikuti acara konfrensi Internasional yang pada tahun 2012 diadakan di Thailand.

Ia lanjut bercerita;“International Conference of Design for Sustainability (ICDS) adalah acara dua tahun sekali, tahun 2012 kemarin diadakan di Thailand. Kami diajak ekskursi, mengunjungi kuil dan desa tradisional, ketemu biksu dan belajar aspek spiritual. Kemudian kami membuat suatu diskusi yang kemudian disimpulkan dalam presentasi tiap kelompok. Nanti di ICDS Kandangan pun akan seperti itu, malah lebih karena kita punya project-project yang sedang berlangsung dan memang dibuat khusus.Nah, pada diskusi di Thailand tadi, kelompok saya berkesimpulan bahwa sustainable

Urban sustainable living (Illustrasi. Dok. Singgih S Kartono)

54

edisi #9: Komunitas

living itu sebenarnya suatu yang terkait dengan alam. Ini hal yang paling dasar. Kemudian kita belajar kehidupan yang lebih simpel. Kehidupan para biksu. Dari sini kita dapat gambaran akan kehidupan yang lestari.

Ada beberapa point penting terkait sustainable living. Nah, kalau di desa, desa harus direvitalisasi atau digiatkan kembali. Kalau di kota, kita dapat membuat urban village, tapi kata kuncinya tetap Desa.

Ini gambaran di desa, sustainable living di Desa, kemudian ini ada gambar tentang sungai, pohon-pohon. Ya ini untuk menggambarkan suatu komunitas itu adalah sesuatu yang utuh dengan segala aktifitas yang saling terkait. Kemudian di kota, kita mesti membuat bangunan buatan, karena keadaan lahan yang terbatas.

Jadi komunitasnya berupa gedung, dan orang bisa membuat pertanian vertikal yang dapat menampung air hujan di bagian atas kemudian digunakan untuk proses komunitas di bawahnya dan diputar lagi. Ini suatu siklus atau rantai hidup yang dibuat.

55

ruang | kreativitas tanpa batas

UNTUK SPEDAGI sendiri, tujuannya adalah untuk menarik external resources. Agar sumber daya yang ada bisa datang ke Desa untuk membantu perkembangan

(komunitas) Desa yang lebih baik.”

---

Slide-slide presentasinya telah habis. Malam kini benar-benar semakin larut. Kami sudah sama-sama menguap dan kantuk. Saya kembali ke sofa untuk tidur. Mata sudah terpejam tapi beberapa slide yang baru saja selesai ia perlihatkan masih terbayang. Sesuatu yang menarik tak lekas dilupakan.

“Someday, there will be many people work in remote areas, but they connected internationally cause of advancement on information and telecommunication technology.”

Alvin Toffler

BINCANG SIANG BERSAMAMARCO KUSUMAWIJAYA: Komunitas Sebagai Alternatif Masa Depan

Wawancara tim Ruang dengan Marco Kusumawijaya, arsitek dan urbanis pendiri Rujak Center for Urban Studies di tahun 2010. Tahun 2012, Rujak bersama dengan Arkom Yogya dan Kunci Cultural Studies Center memprakarsai sebuah pusat pembelajaran kelestarian bernama Bumi Pemuda Rahayu di Dlingo, Bantul, Yogyakarta.

Marco Kusumawijaya di sebuah kantin belakang kampus almamaternya di Bandung. ©Rofianisa Nurdin

ESAI

INDONESIA

Arsitektur Komunitas, Bumi Pemuda Rahayu, Rujak Center for Urban Studies

by Rofianisa Nurdin & Yusni Aziz

58

edisi #9: Komunitas

Kami bertemu Marco Kusumawijaya di kampus ITB, Bandung, dalam sebuah bagian rangkaian acara konferensi di mana sebagian besar orang yang hadir punya keterkaitan dengan sebuah istilah yang belakangan tak asing: “komunitas.” Ia menjadi salah satu panelis di sana. Setelah acara selesai dan kerumunan orang-orang yang ingin bersosialisasi berhasil dilalui, kami mencegat taksi dan bertolak ke utara, menuju daerah Ciumbuleuit. Perbincangan mengalir sepanjang perjalanan di taksi dan di kantin belakang kampus Unpar, dengan pemandangan rumah-rumah di lembah dan udara khas Bandung yang sejuk

Kami beruntung gayung bersambut ketika mengutarakan keinginan untuk berbincang dengannya untuk edisi Komunitas. Marco adalah arsitek dan perencana kota lulusan Universitas Katolik Parahyangan dan Post-graduate

Center Human Settlement, K.U. Leuven, Belgia, yang lebih banyak berkecimpung dalam isu perkotaan dalam praktiknya. Ia mendirikan Rujak Center for Urban Studies di tahun 2010 bersama sekitar 10-11 orang dari berbagai disiplin ilmu dan profesi: akademisi, arsitek, sosiolog, perencana kota, budayawan, juga ahli lingkungan. Mereka membangun Rujak sebagai lembaga non-profit yang menjadi wadah untuk berbagi gagasan, tindakan, pertanyaan, tantangan, dan solusi; demi membuat Jakarta menjadi metropolis yang lebih baik dan berkelanjutan.

Tahun 2012, Rujak bersama dengan Arkom Yogya dan Kunci Cultural Studies Center memprakarsai sebuah pusat pembelajaran kelestarian bernama Bumi Pemuda Rahayu di Dlingo, Bantul, Yogyakarta.

Marco Kusumawijaya di arte-polis5.©Rofianisa Nurdin

59

ruang | kreativitas tanpa batas

Rofianisa (R): Sebenarnya, apa itu Bumi Pemuda Rahayu (BPR), Pak? Apa posisinya di Rujak?

Marco (M): BPR adalah salah satu fasilitas untuk menjalankan misi kita membantu kota dan wilayah untuk memasuki abad ekologi di mana orang bisa bertukar pikiran, menggali kembali kearifan lokal, mengembangkan praktek-praktek atau pemikiran baru berdasarkan apa yang ada dan apa saja yang sedang berkembang. Pada saat yang sama, kita melakukan (misi ini) juga melalui kesenian, jadi BPR merupakan satu fasilitas untuk Rujak bekerja sama dengan kesenian untuk menjalankan misi tersebut.

R: Lalu, mengapa memilih lokasi di Bantul?

M: Sebenernya banyak alternatif lain, hanya saja di Bantul kita menemukan tempat yang memenuhi syarat, dan kebetulan ada hubungan dengan teman-teman Arsitek Komunitas Yogyakarta (Arkom Yogya).

Jadi dulu mereka (desa Bantul) adalah korban gempa, lalu dibantu oleh teman-teman Arkom Yogya. Kemudian ketika gunung Merapi meletus, gantian mereka yang membantu. Ada hubungan yang panjang (antara keduanya). Jadi ketika kita mencari tanah, mereka (Arkom Yogya) membantu kita untuk mendapatkannya. Tentu membeli, tapi soal tanah kalau orang beli tapi gak mau ngasih, kan ya gak bisa.

Lokasinya memenuhi syarat. Terletak di desa, tapi tidak jauh dari kota. Jadi di situ ada isu yang sangat penting dalam perubahan menuju abad ekologi, yaitu hubungan kota-desa yang harus direkonstruksi. Misalnya hubungan (pasokan) makanan, juga transportasi. Di sana setelah gempa, semua orang naik motor, angkot collapsed. Mengerikan, gak?

Nah jadi ada masalah di sana, (tapi juga) ada potensi.

Potensi soal pertanian mereka punya produk unggulan, yaitu ubi kayu (singkong) dan kacang tanah. Lalu mereka (warga desa Bantul) punya kemampuan pertukangan kayu, yang kita ingin (lakukan) kerjasama supaya menghasilkan inovasi, plus pelatihan ekologis. Kita sudah coba punya furnitur sendiri dari kayu bekas, kombinasi dengan bambu. Bengkel dan alat-alat bengkel kayu sudah ada.

”Tahun 2012, Rujak bersama dengan Arkom Yogya dan Kunci Cultural Studies Center memprakarsai sebuah pusat pembelajaran kelestarian bernama Bumi Pemuda Rahayu di Dlingo, Bantul, Yogyakarta.”

60

edisi #9: Komunitas

Yusni (Y): Jadi harapannya BPR itu ingin memberikan kontribusi kepada masyarakat?

M: Dengan sendirinya. Kita harus belajar dari mereka. Karena perubahan baru nyata jika ada orang dan tempat yang nyata. Suatu laboratorium. Meski istilah laboratorium sebenarnya agak mengerikan, ya.

Y: BPR ini kan tidak hanya eksklusif untuk arsitek, tapi ia menggabungkan beberapa profesi, itu tujuannya apa? Apa yang ingin dicapai dari sana? Mengapa harus multi-disiplin?

M: Kami (BPR) tidak berpikir dengan kerangka arsitektur (saja). Dengan sendirinya, hidup itu musti multi-disiplin, tidak bisa dipisah-pisah.

Kita mencari kombinasi. Pada residensi terakhir komposisinya adalah arsitek, musisi (pembuat alat musik), penulis fiksi, videografer, dan grup Papermoon Puppet Theater. (Latar belakang mereka) beda-beda, supaya mereka berinteraksi.

Marco Kusumawijaya© Rofianisa Nurdin

61

ruang | kreativitas tanpa batas

Y: Apa harapan untuk para residen ketika mengikuti program BPR dan setelah kembali ke komunitas masing-masing?

M: Bagi mereka sendiri, (kami berharap mereka) belajar sesuatu dalam hal kelestarian. Kita melihat kelestarian itu bukan hanya sesuatu yang murni (ideal), selalu banyak masalah (yang muncul dari sana). Seperti nampak di tempat kami (BPR), kontradiksi ada di mana-mana. Misalnya tentang penggunaan plastik; penduduk sekitar di pos jaga tiap malam ngumpul, banyak sampah plastik segala macam. Idealnya, sampah yang kita bawa dari kota (Yogyakarta), harus dibawa lagi ke kota. Tapi kita pelan-pelan belajar. Maksudnya (menghadapi kontradiksi itu) bukan untuk putus asa, melainkan untuk mencari solusi.

Marco Kusumawijaya© Rofianisa Nurdin

Yang kedua untuk masyarakat agar belajar sesuatu. mereka mulai tahu bahwa vetsin itu buruk. Karena ada program videografer yang memfasilitasi ibu-ibu yang saling mendokumentasikan masakannya. Kita sendiri hampir tidak menggunakan minyak goreng, makanannya kukusan.

Belajar itu dua arah. Baik residen maupun masyarakat lokal, saling melengkapi satu sama lain.

Tujuan jangka panjang, kita menghasilkan sesuatu untuk siapa saja; entah inovasi pemikiran, praktek, atau produk. Tapi itu proses, kita tidak punya target yang rigid. Tapi kita berusaha dalam setiap apa yang kita buat kita pikirkan. Ada yang berhasil 10 persen, 20 persen, ada juga yang gagal total.

Marco Kusumawijaya© Rofianisa Nurdin

62

edisi #9: Komunitas

Y: Adakah perbedaan tentang pembangunan partisipatif dengan pengorganisasian masyarakat? Lalu dalam BPR pendekatannya lebih seperti apa?

M: Pengorganisasian itu artinya menyiapkan masyarakat untuk terbiasa pada cara-cara pengambilan keputusan bersama secara demokratis. Ada dua hal yang terkait. Satu tentang kebiasaan, mental. Kedua tentang struktur ; harus ada yang memimpin rapat, pandangan harus dianalisis, ada organisasi, ada fungsi. Menyiapkan itu berbeda dengan langsung proses partisipasi. Jika orangnya belum punya struktur, agak berantakan jadinya.

Banyak (masyarakat) yang belum terbiasa dengan berdebat, berdiskusi; tetapi ada juga yang sudah terbiasa. Masyarakat Wakatobi itu sebenarnya sudah terbiasa (dengan proses partisipasi), karena sekian tahun bupatinya menerapkan demikian terhadap program-program yang diterapkan di sana.

Arsitek sering salah ketika melakukan perencanaan partisipatif ketika masyarakatnya belum terbiasa. Harus disadari (oleh arsitek ketika memutuskan untuk melakukan metode partisipasi). Tapi arsitek bisa melakukan keduanya (partisipasi maupun pengorganisasian masyarakat). Tapi kita harus sadar sebagai arsitek kita sebenarnya tidak terlatih untuk itu. Jadi kalau kita mau melakukan itu ya mbok belajar dulu, atau magang, atau minta orang lain, hahaha.

Waktu di Aceh (program rekonstruksi pasca bencana tsunami), asumsinya kami tidak tahu apapun tentang pengorganisasian, jadi tim sosial yang melakukannya, meskipun karena keterbatasan jumlah orang akhirnya ikut jadi fasilitator, menginap di rumah penduduk, bergaul.

Intinya, jadi perlu membedakan, tapi tidak berarti orang harus bisa atau tidak bisa. Hanya harus dipahami.

Y: Tentang partisipasi masyarakat melalui sistem digital, seperti misalnya Solo Kota Kita, bagaimana pendapat Pak Marco?

M: Sistem tersebut perlu disikapi dengan kritis. Karena pelajaran dalam hidup saya segala hal ada baik dan buruknya. Kita harus mencegah buruknya, perbaiki positifnya. Yang punya hp kan tidak semua orang, gimana yang ga punya. Kalau kita mau melibatkan orang tua atau anak-anak kan susah. Tidak semua hal bisa lewat hp. Kadang tatap muka menjadi penting.

Politisi tertentu saya pilih karena saya kenal, pernah tatap muka. Kalo gak mungkin saya tidak pilih. Jadi ada hal yang tidak bisa digantikan. Tapi itu tidak berarti alat (komunikasi digital) tidak dipakai, harus bijak menyikapinya. Harus dipakai dengan tepat. Pisau saja ada bermacam-macam; ada yang berfungsi untuk memotong, menyayat, mengoles roti.

63

ruang | kreativitas tanpa batas

Marco Kusumawijaya© Rofianisa Nurdin

Kami terus menerus mencoba berbagai alat; membuat website, aplikasi Lapor! (www.lapor.ukp.go.id), klikJkt (www.klikjkt.or.id). Tapi ternyata ada perbedaan membuat dengan mempopulerkannya. Aplikasi tersebut sudah dibuat, tapi belum populer. Perlu ada dana khusus untuk mempublikasikan aplikasi tersebut untuk dipakai masyarakat.

64

edisi #9: Komunitas

Y: Posisi ideal arsitek terhadap komunitas itu seperti apa? Apa harus bergerak sendiri atau justru harus memperhatikan komunitas setempat?

M: Ada beberapa cara melihat. Pertama, komunitas sebagai klien arsitek. Bedanya hanya di struktur pendanaan. Komunitas tidak mampu membayar sendiri-sendiri. Jika misalnya kita membangun fasilitas bersama, tentu dibayarnya bukan oleh 1-2 orang. Tapi intinya ada di struktur pendanaan, bagaimana arsitek harus bisa bekerja di situasi yang struktur pendanaannya tidak biasa. Bukan taunya dibayar saja, 10% saja. Ini berbeda.

Lalu cara pandang kedua adalah melihat komunitas sebagai suatu masa depan. Arsitek harus meningkatkan perannya tanpa harus merasa ini kue yang kita harus dapat. (Kita sebaiknya)

membantu komunitas karena idealisme bahwa komunitas adalah alternatif masa depan. Saya bilang alternatif karena mungkin tidak semua orang setuju. Barangkali semua orang inginnya seperti Singapura, tidak ada komunitas, semua diambil alih oleh negara.

Komunitas yang saya maksud adalah komunitas yang bekerja secara mandiri. Yang sebanyak mungkin memenuhi kebutuhannya dengan kemampuannya sendiri tanpa harus tergantung kepada negara. Makin dia mandiri, kuat terhadap intervensi. Saya merasa komunitas adalah bentuk alternatif dari kehidupan bersama, tanpa harus bergantung kepada negara/pemerintah.

*www,rujak.org

www.bumipemudarahayu.org

Marco Kusumawijaya© Rofianisa Nurdin

65

ruang | kreativitas tanpa batas

“Komunitas yang saya maksud adalah komunitas yang bekerja secara mandiri. Yang sebanyak mungkin memenuhi kebutuhannya dengan kemampuannya sendiri tanpa harus tergantung kepada negara. Makin dia mandiri, kuat terhadap intervensi.”

Marco Kusumawijaya

KOMUNITAS VOLUME 1 AKSI

KOMUNITAS VOLUME 1 AKSI

68

edisi #9: Komunitas

RUANGKREATIVITAS TANPA BATAS

©2014