ruang dan kekuasaan: peranan director of …kc.umn.ac.id/6559/1/skripsi.pdfruang dan kekuasaan:...

103
RUANG DAN KEKUASAAN: PERANAN DIRECTOR OF PHOTOGRAPHY UNTUK MEMVISUALISASIKAN RELASI ANTAR KARAKTER DALAM FILM PENDEK BABA Skripsi Penciptaan Ditulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn.) Nama : Jonathan Juan NIM : 00000018584 Program Studi : Film dan Televisi Fakultas : Seni & Desain UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA TANGERANG 2018

Upload: others

Post on 25-Oct-2019

23 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

RUANG DAN KEKUASAAN: PERANAN DIRECTOR OF

PHOTOGRAPHY UNTUK MEMVISUALISASIKAN RELASI

ANTAR KARAKTER DALAM FILM PENDEK BABA

Skripsi Penciptaan

Ditulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn.)

Nama : Jonathan Juan

NIM : 00000018584

Program Studi : Film dan Televisi

Fakultas : Seni & Desain

UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

TANGERANG

2018

ii

LEMBAR PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Jonathan Juan

NIM : 00000018584

Program Studi : Film dan Televisi

Fakultas : Seni & Desain

Universitas Multimedia Nusantara

Judul Skripsi:

RUANG DAN KEKUASAAN: PERANAN DIRECTOR OF PHOTOGRAPHY

UNTUK MEMVISUALISASIKAN RELASI ANTAR KARAKTER DALAM

FILM PENDEK BABA

dengan ini menyatakan bahwa, skripsi dan karya penciptaan ini adalah asli dan

belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar sarjana, baik di Universitas

Multimedia Nusantara maupun di perguruan tinggi lainnya.

Karya tulis ini bukan saduran/terjemahan, murni gagasan, rumusan dan

pelaksanaan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali

arahan pembimbing akademik dan nara sumber.

Demikian surat Pernyataan Orisinalitas ini saya buat dengan sebenarnya,

apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan serta ketidakbenaran dalam

pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan

iv

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

RUANG DAN KEKUASAAN: PERANAN DIRECTOR OF PHOTOGRAPHY

UNTUK MEMVISUALISASIKAN RELASI ANTAR KARAKTER DALAM

FILM PENDEK BABA

Oleh

Nama : Jonathan Juan

NIM : 00000018584

Program Studi : Film dan Televisi

Fakultas : Seni & Desain

Tangerang, 22 Januari 2018

Ketua Program Studi

Kus Sudarsono, S.E., M.Sn.

Penguji

Ina Listyani Riyanto, S.Pd., M.A.

Ketua Sidang

Kemal Hasan S.T., M.Sn.

Pembimbing I

Jason Obadiah, S.Sn., M.Des.Sc.

Pembimbing II

Dra. Setianingsih Purnomo, M.A.

v

KATA PENGANTAR

Dalam proses pengerjaan skripsi penulis sebagai DoP dalam film Baba

(Hetarie,2018), yang dimulai dari tahap pra-produksi hingga tahap produksi,

penulis mengalami berbagai tantangan. Tantangan tersebut berupa waktu yang

terlalu singkat dalam proses diskusi dengan sutradara maupun dosen pembimbing

karya, proses perancangan tata kamera dan tata cahaya yang kurang maksimal, serta

penulis kurang mendapatkan referensi skripsi sebelumnya yang membahas antara

kekuasaan dengan teknik komposisi kedalaman ruang. Namun, tantangan-

tantangan tersebut dapat dilalui dengan baik berkat dukungan pihak-pihak yang

membantu penulisan skripsi ini.

Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Paulus Ali Setiadarma dan Lucia Maria Suryani S selaku orang tua penulis.

2. Ina Listyani Riyanto, S.Pd., M.A. selaku Dekan Fakultas Seni dan Desain

Universitas Multimedia Nusantara.

3. Kus Sudarsono, S.E., M.Sn. selaku Ketua Program Studi Film dan Televisi

Universitas Multimedia Nusantara.

4. Jason Obadiah, S.Sn., M.Des.Sc. selaku dosen pembimbing 1 dalam

penulisan skripsi ini.

5. Dra. Setianingsih Purnomo, M.A. selaku dosen pembimbing 2 dalam

penulisan skripsi ini.

6. Yosep Anggi Noen, S. I. P. dan Bayu Prihantoro Filemon, S.I. Kom. selaku

dosen pembimbing dalam pembuatan karya.

7. Kemal Hasan S.T., M.Sn. selaku dosen pembimbing akademik penulis.

vi

8. Brandon Omar Hetarie, Agnes Andrea, Gloria Lestari, Boby Halimawan,

dan Hendrik Wijaya selaku teman-teman yang berjuang bersama di APK

Films dalam menyelesaikan karya dan skripsi.

9. Edelin Sari Wangsa, S.Ds., Yoan Aldila, Novia Puspa Sari, Irene

Alexandra, dan Jennifer Karina Suwito selaku teman-teman yang selalu

memberikan dukungan moral kepada penulis selama pembuatan skripsi.

10. Rafael Ricky Gunawan, Muhammad Aditya Ramadhan, Andy William,

Elvan P., dan seluruh teman-teman yang membantu dalam pembuatan karya

di APK Films.

Tangerang, 5 Januari 2018

Jonathan Juan

vii

ABSTRAKSI

Keluarga Tionghoa baik yang tinggal di Republik Rakyat Tiongkok maupun perantauan seperti di Indonesia, masih menerapkan sistem patriarki. Sistem patriarki menurut Renzetti dan Curan yang dikutip dari Sarwono (2013), yaitu sistem gender di mana laki–laki mendominasi kaum perempuan dan apa yang dipertimbangkan laki–laki dianggap lebih bernilai daripada apa yang dipertimbangkan perempuan. Ini menimbulkan dominasi ayah dibandingkan ibu dalam sebuah keluarga. Dalam film Baba (Hetarie, 2018) diperlihatkan bagaimana Papa mendidik anak-anaknya dengan cara pandang kuno melalui kekerasan hingga pengusiran anak.

Penulis sebagai DoP dalam film ini ingin menunjukkan relasi kekuasaan antara karakter super ordinasi dengan karakter subordinasi melalui teknik komposisi kedalaman ruang. Penulis tertarik dengan bahasan ini karena frame merupakan ruang dua dimensi. Padahal, ada sumbu ketiga yaitu sumbu z yang memberikan kesan kedalaman ruang dan dapat digunakan untuk penyampaian cerita.

Metode penelitian dalam skripsi ini yaitu metode penelitian kualitatif yang dijelaskan oleh Creswell (2007). Metode ini cocok untuk menjabarkan hasil penerapan teori yang digunakan penulis dalam proses pra-produksi dan produksi. Sumber data dalam penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan berkas–berkas pra-produksi seperti shotlist dan floorplan, serta materi visual hasil produksi. Setelah menganalisis, penulis menemukan bahwa proses penyampaian cerita melalui kedalaman ruang dapat dilakukan. Namun, untuk mencapai hal tersebut diperlukan kombinasi dengan teknik pencahayaan agar lebih maksimal.

Kata kunci : patriarki, director of photography, dominasi, subordinasi, kekuasaan.

viii

ABSTRACT

A Chinese family, either living in The Republic of China or in Indonesia, still uses the patriarchy sytem. The patriarchy system according to Renzetti and Curan, as stated by Sarwono (2013), is that the gender system is dominated by female and what is considered as male is said to be more worth than female.. As a result, there is a dominance from the father of the family than the mother. In the film Baba (Hetarie, 2018) shows how Papa educated his children with this traditional way of thinking through harsh actions and even eviction.

The writer as a DoP in this film hopes to show the relation of power between the super ordinate character and the subordinate character through the application of depth cues. The writer finds interest in this topic because a frame is 2 dimensional. But there is a third axis that is the z axis which gives a sense of depth that can be used in the storytelling

There is also the method of research used is the qulitative method that is explained by Creswell (2007). This research methos fits because it can explain the theory results that has been done by the writer in the pre-production and production. The source of data in this research is from the collection of files from the preproduction, like shotlist and floorplan, including the visual result of the production. After making an analysis, the writer find that storytelling can be done through the depth of the room. But lighthing techniques is needed to achieve a maximum result.

Keywords: patriarchy, director of photograph, dominance, subordinate, power

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT ..................... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................. iv

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv

ABSTRAKSI ....................................................................................................... vii

ABSTRACT ......................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii

DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .................................................................................. 3

1.3. Batasan Masalah .................................................................................... 3

1.4. Tujuan Skripsi ........................................................................................ 4

1.5. Manfaat Skripsi ...................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 5

2.1. Sistem Patriarki ...................................................................................... 5

2.1.1. Sistem Patriarki dalam Keluarga Tionghoa ...................................... 9

2.1.2. Kekuasaan Super Ordinasi dan Subordinasi ................................... 11

x

2.2. Peranan Director of Photography ........................................................ 13

2.3. Mise-en-Scene ....................................................................................... 15

2.3.1. Ruang dalam Film ........................................................................... 17

2.4. Komposisi .............................................................................................. 19

2.4.1. Kedalaman Ruang ........................................................................... 23

BAB III METODOLOGI .................................................................................. 27

3.1. Gambaran Umum ................................................................................ 27

3.1.1. Sinopsis ........................................................................................... 29

3.1.2. Posisi Penulis .................................................................................. 30

3.1.3. Peralatan .......................................................................................... 30

3.2. Tahapan Kerja ...................................................................................... 35

3.2.1. Pra-produksi .................................................................................... 35

3.2.2. Produksi .......................................................................................... 36

3.3. Acuan ..................................................................................................... 45

BAB IV ANALISIS ............................................................................................. 49

4.1. Kekuasaan Papa dalam Mendidik Anak ........................................... 49

4.2. Kekuasaan dan Kewajiban Papa sebagai Kepala Keluarga ............ 56

4.3. Kekuasaan Papa di dalam Rumah ..................................................... 63

4.4. Anton menjadi Super Ordinat dalam Rumah ................................... 68

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 73

xi

5.1. Kesimpulan ........................................................................................... 73

5.2. Saran ...................................................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ xvii

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Komposisi tidak seimbang ................................................................ 18

Gambar 2.2 Komposisi seimbang ......................................................................... 18

Gambar 2.3 Film dengan ilusi kedalaman ruang (depth cues) .............................. 19

Gambar 2.4 Sumbu-sumbu dalam frame .............................................................. 21

Gambar 2.5 Contoh penerapan elemen cerita melalui sumbu z ............................ 22

Gambar 2.6 Analisa foreground, middle-ground, background dalam film Citizen

Kane ...................................................................................................................... 23

Gambar 2.7 Contoh perbandingan ukuran objek untuk menciptakan kedalaman

ruang ..................................................................................................................... 24

Gambar 2.8 Contoh teknik tumpang tindih untuk menciptakan kedalaman ruang 25

Gambar 3.1 Kamera Sony Alpha 7S Mark II ....................................................... 31

Gambar 3.2 Contoh video look – iklan Belvita ..................................................... 32

Gambar 3.3 Contoh film look – American Beauty ................................................ 32

Gambar 3.4 Lensa Nikon NIKKOR 50mm f/1.2 .................................................. 33

Gambar 3.5 Hasil gambar menggunakan lensa Nikon NIKKOR 50 mm f/1.2 .... 33

Gambar 3.6 Proses produksi dengan menggunakan tripod .................................. 34

Gambar 3.7 Proses produksi dengan menggunakan spider rig ............................. 34

Gambar 3.8 Proses diskusi penulis dengan sutradara ........................................... 36

Gambar 3.9 Floorplan adegan 1 ........................................................................... 38

Gambar 3.10 Proses shooting adegan 1 ................................................................ 39

Gambar 3.11 Floorplan adegan 4A ...................................................................... 40

Gambar 3.12 Proses shooting adegan 4A ............................................................. 41

xiii

Gambar 3.13 Floorplan adegan 9 ......................................................................... 42

Gambar 3.14 Proses shooting adegan 9 ................................................................ 43

Gambar 3.15 Floorplan adegan 17 ....................................................................... 44

Gambar 3.16 Proses recce adegan 17 ................................................................... 44

Gambar 3.17 Potongan gambar film Citizen Kane ............................................... 45

Gambar 3.18 Potongan gambar film Goodbye South, Goodbye ........................... 47

Gambar 4.1 Shot 3 adegan 1 ................................................................................. 49

Gambar 4.2 Potongan naskah adegan 1 ................................................................ 52

Gambar 4.3 Analisa sumbu-sumbu dalam frame shot 2 adegan 1 ........................ 54

Gambar 4.4 Analisa foreground, middle-ground, background pada shot 2 adegan

1 ............................................................................................................................. 54

Gambar 4.5 Shot 2 adegan 4A .............................................................................. 56

Gambar 4.6 Potongan naskah adegan 4A ............................................................. 60

Gambar 4.7 Analisa sumbu-sumbu dalam frame shot 2 adegan 4A ..................... 61

Gambar 4.8 Analisa foreground, middle-ground, background pada shot 2 adegan

4A .......................................................................................................................... 62

Gambar 4.9 Shot 4 adegan 9 ................................................................................. 63

Gambar 4.10 Potongan naskah adegan 9 .............................................................. 65

Gambar 4.11 Analisa sumbu-sumbu dalam frame shot 4 adegan 9 ...................... 66

Gambar 4.12 Analisa foreground, middle-ground, background pada shot 4 adegan

9 ............................................................................................................................. 66

Gambar 4.13 Shot 3 adegan 17 ............................................................................ 68

Gambar 4.14 Potongan naskah adegan 17 ............................................................ 70

xiv

Gambar 4.15 Analisa sumbu-sumbu dalam frame shot 3 adegan 17 .................... 71

Gambar 4.16 Analisa foreground, middle-ground, background pada shot 3 adegan

17 ........................................................................................................................... 71

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Shotlist adegan 1 .................................................................................... 38

Tabel 3.2 Shotlist adegan 4A ................................................................................. 40

Tabel 3.3 Shotlist adegan 9 .................................................................................... 42

Tabel 3.4 Shotlist adegan 17 .................................................................................. 44

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A: KARTU BIMBINGAN.......................................................... xxi

LAMPIRAN B : FLOORPLAN....................................................................... xxiv

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Film merupakan media ekspresi pembuat film untuk menyampaikan pandangannya

terhadap suatu isu. Untuk menyampaikan pandangan tersebut, diperlukan bahasa

visual agar pembuat film dapat berkomunikasi secara langsung dengan

penontonnya. Dalam merancang komponen visual ini, diperlukan seorang Director

of Photography (DoP) yang cakap. Adapun menurut Rea dan Irving (2010), tugas

dari seorang DoP yaitu menerjemahkan ide dari sutradara pada setiap adegannya

menjadi tampilan dan emosi cerita (hlm. 159).

Dalam skripsi ini, penulis berperan sebagai DoP dalam film Baba (Hetarie,

2018). Film Baba bercerita bagaimana seorang anak tengah, Denny (13 tahun)

melihat keluarganya yang tidak harmonis karena Papa (48 tahun) mengusir anak

sulungnya, Anton (18 tahun) dari rumah. Film ini memiliki latar belakang keluarga

keturunan Tionghoa Benteng. Orang-orang Tionghoa- baik yang tinggal di negara

Republik Rakyat Tiongkok maupun perantauan seperti di Indonesia, masih

menerapkan sistem patriarki. Sistem patriarki menurut Renzetti dan Curan yang

dikutip dari Sarwono (2013), yaitu sistem gender di mana laki–laki mendominasi

kaum perempuan dan apa yang dipertimbangkan laki–laki dianggap lebih bernilai

daripada apa yang dipertimbangkan perempuan. Hal ini menimbulkan adanya pihak

yang mendominasi (super ordinat) dan pihak yang didominasi (subordinat). Selain

itu, keluarga Tionghoa, termasuk Tionghoa Benteng juga mewariskan marganya

2

(she) pada anak laki-laki sehingga sosok Ayah memiliki tugas penting untuk

menjaga anak laki-lakinya sebagai penerus marga.

Dalam film Baba, Papa merupakan karakter yang mendominasi

keluarganya termasuk Anton dan Denny. Papa memiliki kekuatan dan kekuasaan

yang besar dalam rumah, sehingga ia dapat menentukan apa yang harus dilakukan

oleh anak-anaknya. Terkadang kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki Papa,

ditunjukkan dengan cara yang tidak membuat anak-anaknya merasa nyaman dan

aman. Misalnya mendidik dengan cara memaki dan mengusir anaknya dari rumah.

Hal-hal tersebut masih dianggap sebagai hal pantas dilakukan oleh seorang ayah

untuk menunjukkan dominasinya. Padahal menurut Liong (2017), sistem patriarki,

kini lebih menekankan sosok ayah yang memperlihatkan kasih sayang, peduli, dan

dekat dengan anak-anaknya sehingga batas gender antara ibu dan ayah semakin

melebur (hlm. 4-6).

Pada kehidupan modern, Xu (2016) mengatakan bahwa pepatah “yan fu ci

mu” (ayah yang keras, ibu yang baik) tidak lagi sepenuhnya benar dan terjadi pada

kebanyakan keluarga Tionghoa (hlm. 15, 31). Namun hal ini tidak berlaku pada

keluarga Tionghoa yang diangkat dalam film ini. Dalam film ini diperlihatkan

bagaimana Papa mendidik anak-anaknya dengan cara pandang kuno, yang mana

masih banyak kepala keluarga menganggap lazim kebiasaan itu. Papa

memperlakukan anak-anaknya dengan keras dan kasar hanya untuk mendapatkan

rasa takut dan kepatuhan dari anak-anaknya. Oleh karena itu, penulis sebagai DoP

ingin menunjukkan relasi antara karakter super ordinasi dan subordinasi yang

3

terjadi pada keluarga Tionghoa dalam film ini. Sehingga, skripsi ini diharapkan

dapat membuat pembaca memahami pentingnya peranan DoP dalam film.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, bagaimana peran Director of Photography

dalam menunjukkan relasi kekuasaan antara karakter super ordinasi dan

subordinasi melalui susunan komposisi kedalaman ruang dalam film pendek Baba?

1.3. Batasan Masalah

Dalam skripsi ini, Rumusan Masalah dibatasi pada:

1. Penerapan teknik komposisi kedalaman ruang (foreground, middle ground,

background) untuk menempatkan karakter super ordinasi dan karakter

subordinasi dalam satu frame.

2. Penempatan karakter menggunakan teknik komposisi pada karakter laki-laki

yaitu Denny, Anton, dan Papa.

3. Repetisi komposisi pada shot 2 adegan 1, shot 2 adegan 4A, shot 4 adegan

9, dan shot 3 adegan 17 untuk menunjukkan perbandingan tingkatan

kekuatan karakter super ordinasi dan subordinasi.

4. Istilah-istilah penting yang digunakan dalam skripsi ini :

a. Frame adalah gambar dua dimensi yang terdiri dari sumbu x dan y.

b. Shot adalah unit terkecil dalam bahasa film yang berisi rangkaian

frame, dan berjalan dengan rentang waktu tertentu hingga momen itu

dipotong dalam tahap editing.

4

c. Adegan (Scene) adalah rangkaian shot yang terjadi dalam waktu dan

tempat yang sama.

1.4. Tujuan Skripsi

Penulis bertujuan untuk mendeskripsi dan menganalisis peranan DoP serta

menunjukkan relasi kekuasaan antara karakter super ordinasi dan subordinasi

melalui susunan komposisi kedalaman ruang dalam film pendek Baba.

1.5. Manfaat Skripsi

Manfaat skripsi ini bagi penulis yaitu memahami pemanfaatan aspek–aspek visual

seperti aspek komposisi sebagai elemen penyampaian cerita, serta mempelajari

penerapan teknik komposisi untuk menunjukkan posisi karakter super ordinasi dan

subordinasi. Bagi pembaca, diharapkan skripsi ini dapat menambah pengetahuan

dan mampu diaplikasikan dalam karya pembaca. Bagi universitas, terutama

peminatan studi Film, sebagai referensi pustaka dan referensi produksi film

mahasiswa berikutnya.

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Untuk menunjang pembahasan mengenai hierarki kekuasaan dalam keluarga

melalui aspek sinematografi, maka pada bab ini penulis menjabarkan teori-teori

yang berkaitan dengan hal tersebut. Pada bagian awal, penulis memaparkan teori-

teori sistem patriarki secara umum. Kemudian lebih spesifik ke dalam sistem

patriarki dalam keluarga Tionghoa, serta bagaimana penjelasan teori kekuasaan

yang berkaitan dengan sistem patriarki. Pada bagian selanjutnya, penulis

menjelaskan peranan Director of Photography (DoP) dalam film. Salah satu

peranan DoP yaitu melakukan perancangan komposisi melalui elemen mise-en-

scene. Untuk itu, penulis menjelaskan teori mise-en-scene yang salah satunya

terdapat penjelasan ruang dalam film. Pada bagian akhir, penulis menjelaskan teori

komposisi pada film, serta salah satu aspek pentingnya, kedalaman ruang.

2.1. Sistem Patriarki

Nelmes (2012) mengatakan bahwa dalam beberapa dekade, terdapat peningkatan

ketertarikan bagaimana masyarakat memahami perbedaan gender dalam kaitannya

dengan film. Menurutnya, cara film menceritakan perbedaan gender merupakan

pencerminan atas kekhawatiran dan kecemasan dalam masyarakat tentang

perbedaan ini melalui narasi cerita (hlm. 263). Dijelaskan oleh Henslin (2007),

gender merupakan perilaku dan sikap yang dianggap pantas bagi laki-laki maupun

perempuan oleh suatu kelompok. Ia menambahkan bahwa pemahaman terhadap

6

gender dapat berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Selain

itu, menurutnya gender merupakan suatu perangkat yang digunakan oleh

masyarakat untuk mengendalikan anggotanya. Hal-hal yang dikendalikan tersebut

antara lain kekuasaan, prestise, dan kepemilikan. Ia juga menambahkan bahwa

konsep gender lebih merujuk kepada maskulinitas dan feminisme (hlm. 42).

Menurut Renzetti dan Curan yang dikutip dari Sarwono (2013)

mengatakan, bahwa patriarki adalah sistem gender di mana laki–laki mendominasi

kaum perempuan dan apa yang dipertimbangkan laki–laki dianggap lebih bernilai

daripada apa yang dipertimbangkan perempuan. Menurut mereka, budaya patriarki

dalam masyarakat menimbulkan kekuasaan laki-laki pada perempuan yang

menyebabkan inferioritas gender (hlm. 49-50). Ditambahkan oleh Hobson dan

Morgan yang dikutip dari Xu (2016) patriarki adalah istilah yang berhubungan

dengan hak, kewajiban, tanggung jawab dan status yang melekat pada sosok ayah

(hlm. 46). Menurut Xu (2016), patriarki merupakan konstruksi sosial yang dapat

berubah seiring waktu, konteks, dan budaya (hlm. 46). Sedangkan menurut Hong

yang dikutip dari Henslin (2007), sistem patrilineal adalah sistem garis keturunan

yang hanya ditarik dari garis ayah dan tidak berhubungan dengan keluarga dari ibu

(hlm. 117).

Awal sistem patriarki menurut Huber yang dikutip dari Henslin (2007)

dimulai pada awal sejarah manusia yang tidak dapat bertahan hidup hingga tua,

sehingga untuk melakukan regenerasi harus melahirkan banyak anak.

Dijelaskannya, pada masa itu kaum perempuan yang dapat hamil, harus mengurusi

hal-hal yang berhubungan dengan menyusui, merawat, dan segala pekerjaan yang

7

berhubungan dengan rumah dan pengasuhan anak. Ia juga menambahkan bahwa

prestise yang dimiliki laki-laki jauh lebih tinggi dari perempuan. Hal ini disebabkan

karena laki-laki pulang dari berburu dan membawa tawanan perang atau makanan

besar bagi suku. Sedangkan menurutnya, kaum perempuan dianggap tidak memiliki

prestise karena hanya melakukan pekerjaan rutin sehari-hari di rumah. Ia

menjelaskan, hal ini menyebabkan laki-laki menjadi dominan (hlm. 50).

Pada masa yang sudah lebih berkembang, menurut Henslin (2007), laki-laki

tetap merasa secara hakiki lebih unggul. Ia juga menambahkan bahwa budaya yang

kini berkembang juga didesain untuk membenarkan dominasi laki-laki (hlm. 50).

Budaya tersebut salah satunya dapat dilihat pada perfilman era Hollywood klasik.

Pada masa itu, maskulinitas dianggap sebagai acuan utama dan feminisme hanya

sebagai tambahan. Ia mencontohkan misalnya pada film-film Hollywood klasik,

sosok laki-laki sering digambarkan sebagai sosok yang sangat kuat dibandingkan

perempuan (Nelmes, 2012, hlm. 283-284).

Ditambahkan oleh Sarwono (2013), konstruksi sifat feminin dan maskulin

memberikan dampak pada peran yang harus dilakukan oleh laki-laki dan

perempuan. Menurutnya, perempuan dipandang untuk berperan dalam sektor

domestik, sedangkan laki–laki pada sektor publik. Ia menambahkan, hal ini

berdampak pada tugas laki–laki yang mencari nafkah dan memberi perlindungan

pada keluarga dipandang sebagai budaya yang sudah sepantasnya (hlm. 50).

Sarwono (2013) juga mengatakan bahwa pemilahan sifat dan peran tersebut

mengakibatkan terjadinya dominansi dan subordinasi. Menurutnya, karena sifat

perempuan yang feminin, perempuan membutuhkan perlindungan dari laki–laki

8

yang maskulin. Ia menjelaskan, hal ini menimbulkan terjadinya dominasi laki–laki

terhadap perempuan (hlm. 50).

Dalam sistem patriarki, Liong (2017) mengungkapkan bahwa tanggung

jawab utama dari seorang ayah adalah pemenuhan ekonomi. Menurutnya, sifat

maskulinitas dapat mendorong seorang laki–laki untuk bekerja lebih giat dan

mencari uang ketika ia sadar akan memiliki seorang anak. Sebaliknya, menurutnya

seorang laki–laki yang tidak bekerja akan memiliki kecenderungan untuk tidak

memiliki anak karena sifat alamiahnya. Ia juga mengatakan bahwa pemenuhan

kebutuhan keluarga oleh seorang ayah bukan hanya sekedar pemenuhan materi

untuk keluarganya, namun juga untuk peningkatan kesehatan, pendidikan, dan

kesejahteraan anak. Ia menyimpulkan, bahwa kekuatan finansial seorang ayah

dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan fisik, kebudayaan, sosial, dan

mencerminkan kekuatan finansial anak (hlm. 77). Dalam kondisi kesulitan

keuangan, Liong (2017) berpendapat bahwa seorang ayah rela mengorbankan

keuntungan pribadinya dan tujuan hidupnya demi memenuhi kebutuhan

keluarganya, terutama anak. Ia menambahkan bahwa pemenuhan kebutuhan

ekonomi terhadap keluarga adalah bentuk kasih sayang ayah terhadap keluarganya.

Menurutnya, hal ini yang membuat seorang ayah rela mengorbankan berbagai

macam hal untuk memenuhi kebutuhan keluarganya demi menunjukkan kasih

sayangnya. Selain itu, ia menambahkan bahwa pemenuhan kebutuhan ekonomi

adalah bentuk keberhasilan seorang laki-laki menjadi seorang ayah (hlm. 78-80).

9

2.1.1. Sistem Patriarki dalam Keluarga Tionghoa

Liong (2017) mengatakan konstruksi gender dalam budaya Tionghoa, memberikan

otoritas pada sosok ayah. Menurutnya, ayah sebagai kepala keluarga memiliki

kuasa atas ibu dan anak, termasuk mengambil keputusan penting (hlm. 12). Hal ini

didukung oleh pepatah Tionghoa yang dikutip oleh Xu (2016) yang menyatakan

“Nan zhu wai, nv zhu nei” yang berarti laki–laki mengurus hal–hal di luar keluarga,

perempuan mengurus hal–hal dalam keluarga. Xu berpendapat bahwa hal ini

menimbulkan pandangan bahwa perempuan lebih rendah dibanding derajat laki–

laki. Selain itu, Xu juga mengutip pepatah Tionghoa lain yang berbunyi “chu jia

cong fu”, artinya seorang perempuan yang sudah menikah harus menuruti perintah

suaminya. Menurutnya, seorang perempuan dalam budaya Tionghoa harus

mengurus keluarganya, namun mereka tidak dapat menempuh pendidikan ataupun

mewarisi harta benda orang tuanya (hlm. 3).

Xu (2016) mengutip salah satu pepatah Tionghoa yang berbunyi “Zi bu jiao,

fu zhi guo” yang berarti bahwa seorang ayah dinyatakan bersalah apabila ia tidak

mendidik anaknya dengan benar (hlm. 4). Hal ini menjelaskan mengapa dalam

keluarga Tionghoa sosok ayah dianggap berjarak dengan anak dan tidak ramah,

sedangkan sosok ibu lebih mengasuh dan mendukung (Liong, 2017, hlm.12). Liong

(2017) menjelaskan bahwa hubungan patriarki yang dianggap ideal adalah sosok

ayah yang menyayangi anaknya dan anak yang patuh terhadap orang tuanya.

Namun, menurutnya dalam budaya Tionghoa menekankan kedisiplinan dan

pengajaran yang keras sehingga sosok ayah sering dianggap otoriter dan tidak

penyayang. Ia menambahkan, seorang ayah memiliki tugas utama untuk mendidik

10

dan mendisiplinkan anaknya, meskipun dengan cara-cara seperti memaki dan

memukul anaknya (hlm. 12-13).

Liong (2017) menambahkan bahwa seorang anak memiliki tugas untuk

hormat, berbakti, dan tunduk pada orang tuanya terutama ayahnya. Selain itu, ia

juga mengatakan bahwa seorang anak harus membawa kehormatan bagi

keluarganya, meskipun tidak diberikan imbalan. Sebaliknya, apabila anak tersebut

melakukan kesalahan, ia akan diberikan hukuman (hlm. 13). Menurut pernyataan

Chuang, dkk. yang dikutip dari Liong (2017) sistem patrilineal dan ideologi

patriarki membuat hubungan ayah dan anak laki-laki jauh lebih penting

dibandingkan hubungan pernikahan dan anak perempuan dalam keluarga.

Menurutnya, hal ini yang membuat seorang ayah memiliki harapan yang tinggi

pada anak laki-lakinya sehingga ia mendidiknya dengan keras (hlm. 13). Meskipun

sosok ayah memiliki kuasa yang besar terhadap anak, hal ini tidak menutup

kemungkinan terjadinya konflik pada masa kehidupan modern. Menurut Xu (2016),

seorang anak pada masa kehidupan modern memiliki gaya hidup yang lebih

nyaman dan kesempatan belajar yang lebih tinggi sehingga sulit bagi ayah untuk

mengejar ketertinggalannya. Hal ini memungkinkan terjadinya konflik antara ayah

dan anak terutama dalam waktu anak mencari kemandirian dan identitas diri (hlm.

32).

Liong (2017) juga mengatakan bahwa dalam sistem patriarki Tionghoa,

pencarian nafkah dan pendidikan adalah hal yang penting. Menurutnya, sosok Ayah

meskipun tetap harus fokus pada kariernya, ia juga tetap bertanggung jawab pada

pendidikan anaknya. Ia menekankan bahwa sosok ayah bertanggung jawab agar

11

anaknya dapat sukses di sekolah dan meraih pendidikan yang lebih tinggi, serta

mendidik secara moral (hlm. 14). Xu (2016) menyebutkan bahwa dalam keluarga

Tionghoa modern, peran laki–laki sebagai pencari nafkah tetap dominan. Ia

menambahkan, ketika pemerintah Republik Rakyat Tiongkok memberlakukan

kebijakan hanya memiliki satu anak (one child policy) pada tahun 1979 dan terjadi

peningkatan partisipasi perempuan sebagai pekerja, seorang ayah tampak lebih

dekat secara emosional dengan anaknya. Ia menambahkan bahwa hal ini

menegaskan bahwa pepatah “yan fu ci mu” (ayah yang keras, ibu yang baik) tidak

lagi sepenuhnya terjadi pada kebanyakan keluarga Tionghoa dalam masa

kehidupan modern. (hlm. 15, 31). Didukung oleh Liong (2017) yang mengutip

pernyataan Chuang, dkk., bahwa pada suatu masa terjadi peningkatan jumlah

wanita yang bekerja, ayah lebih menunjukkan cinta dan kasih sayang, meskipun

tidak ditunjukkan dalam ruang umum melainkan hanya dalam ruang privat seperti

dalam keluarga (hlm. 14).

2.1.2. Kekuasaan Super Ordinasi dan Subordinasi

Salah satu teori yang menjelaskan mengenai super ordinasi dan subordinasi

dijelaskan oleh Georg Simmel. Simmel yang dikutip dari Johnson (1986)

menjelaskan bahwa bentuk-bentuk super ordinasi dan subordinasi merupakan salah

satu contoh dari “sosiasi”. Dijelaskan olehnya, sosiasi merupakan cara pendekatan

Simmel yang meliputi identifikasi dan analisa pola-pola atau interaksi timbal balik

dalam masyarakat. Ia menjelaskan, dalam hal ini interaksi tersebut berupa interaksi

ketaatan subordinasi pada super ordinasi yang memiliki kedudukan lebih tinggi dan

saling mempengaruhi satu sama lain. Johnson menjelaskan, Simmel berpendapat

12

bahwa super ordinat memikirkan kebutuhan dari subordinat, meskipun hal tersebut

hanya bertujuan untuk menekankan kekuasaan (hlm. 262).

Simmel membagi pola interaksi super ordinasi dengan subordinasi menjadi

tiga. Tiga hal tersebut yaitu subordinasi di bawah seorang individu dan struktur,

subordinasi di bawah lebih dari satu orang, dan subordinasi di bawah suatu prinsip.

Salah satu pola interaksi tersebut yaitu subordinasi di bawah seorang individu.

Simmel menjelaskan bahwa pola ini dapat menyatukan seluruh pihak subordinat

menjadi sebuah kesatuan. Ia mencontohkan, seorang pemimpin mampu membuat

para anggotanya menjadi sebuah kelompok yang kompak dengan tujuan yang sama.

Namun, ia mengatakan bahwa pola interaksi ini dapat menciptakan timbulnya pihak

lawan (oposisi). Ia menambahkan, pihak lawan yang terdiri dari para subordinat

dapat bersatu dan melawan pihak super ordinat (Johnson, 1986, hlm. 263). .

Simmel juga menjelaskan bahwa terdapat bentuk-bentuk yang lebih spesifik

dalam pola subordinasi di bawah seorang individu yaitu melalui penyamarataan dan

gradasi. Pada pola penyamarataan, Simmel menjelaskan bahwa pola ini

menghilangkan perbedaan-perbedaan sikap kekuasaan kepada subordinat. Ia

menambahkan bahwa pola ini membuat semua subordinat memiliki status yang

sama dalam mengabdi kepada super ordinat. Ia juga menambahkan bahwa pola ini

dapat menimbulkan pihak super ordinat yang bersifat sewenang-wenang terhadap

para bawahannya (despotik). Dijelaskan olehnya, hal ini dapat terjadi karena

seluruh pihak subordinat berada pada status yang sama dan menghindar dari upaya

untuk memperoleh posisi yang lebih tinggi (Johnson, 1986, hlm. 263).

13

Seorang sosiolog Jerman, Max Webber menjelaskan mengenai keteraturan

sosial yang berlangsung karena adanya pola-pola dominansi melalui struktur

otoritas. Ia menjelaskan bahwa otoritas adalah hak untuk mempengaruhi orang lain

yang didukung oleh peraturan dan norma. Sedangkan menurutnya, kekuasaan

adalah kemampuan untuk melaksanakan kemauan seseorang meskipun

mendapatkan perlawanan. Webber membagi cara penerimaan seseorang terhadap

suatu aturan menjadi tiga bagian, yaitu otoritas tradisional, otoritas karismatik, dan

otoritas legal-rasional. Salah satunya, otoritas tradisional yaitu kepercayaan

seseorang terhadap suatu aturan yang sudah dan selalu ada. Menurutnya, orang-

orang yang mengikuti pola ini berasal dari satu kelompok yang sama dan memilih

menggunakan suatu aturan yang dihormati sepanjang waktu. Dalam bentuk ini,

Webber menjelaskan bahwa biasanya para bawahan memiliki hubungan yang

bersifat pribadi dengan para pemilik otoritas, misalnya dalam keluarga. Webber

mencontohkan, salah satu bentuk pola ini terlihat dalam patriarki yang dipimpin

oleh satu orang yang memiliki otoritas dalam keluarga (Johnson, 1986, hlm. 227).

2.2. Peranan Director of Photography

Brown (2012) menjelaskan, sinematografi adalah proses mengambil ide, tindakan,

kata-kata, emosi, dan bahasa nonverbal diterjemahkan menjadi bahasa visual (hlm.

2). Dijelaskan oleh Wheeler (2006), seorang Director of Photography (DoP)

merupakan salah satu dari kepala departemen yang bertanggung jawab pada

sutradara. Menurutnya, pekerjaan utama dari DoP adalah menciptakan perasaan

visual dalam film, terutama melalui penggunaan cahaya. Ia menambahkan bahwa

seorang DoP memiliki pandangan terhadap naskah yang diterjemahkan melalui

14

gambar, sehingga akan menimbulkan interpretasi penonton terhadap makna cerita

(hlm. 3). Box (2010) mengatakan seorang DoP merupakan tangan kanan sutradara.

Menurutnya, seorang DoP adalah orang yang membantu sutradara memutuskan

keputusan–keputusan sulit, terutama pada mewujudkan bayangan atau gambaran

sutradara. Selain itu, seorang DoP memiliki tanggung jawab untuk menciptakan

waktu, tempat, atmosfer yang tepat dengan pencahayaan, sudut kamera, maupun

pergerakan kamera agar proses penyampaian cerita menjadi efektif (hlm. 1).

Brown (2012) menjelaskan, seorang DoP bertugas untuk menciptakan

dunia visual milik karakter. Ia menambahkan bahwa dunia visual ini merupakan

sebuah bagian penting dari cerita agar penonton dapat memahami motivasi karakter

dan sifat karakter itu sendiri (hlm. 2). Selain itu, menurutnya seorang DoP

bertanggung jawab untuk mewujudkan keinginan sutradara, serta mewujudkan

aspek sinematografi berdasarkan kesepakatan bersama (hlm. 289). Didukung oleh

Rea dan Irving (2010), tugas dari seorang DoP yaitu menerjemahkan ide dari

sutradara pada setiap adegannya menjadi tampilan dan emosi cerita. Mereka

menambahkan bahwa hubungan kerja sama yang baik antara sutradara dan DoP,

menjadi kunci keberhasilan sebuah film (hlm. 159).

Sedangkan menurut Rabiger dan Hurbis-Cherrier (2013) tugas DoP yaitu

bertanggung jawab dalam segala aspek sinematografi, misalnya menentukan

pencahayaan dan peralatan kamera, lensa, dan hal-hal terkait. Menurut mereka,

seorang DoP adalah orang yang paling penting setelah sutradara. Mereka

menjelaskan bahwa DoP bertanggung jawab sebagai pemimpin kinerja kru ketika

sutradara sedang berkonsentrasi pada aktor. Selain itu, mereka juga menjelaskan

15

bahwa DoP harus bekerja sama dengan sutradara untuk menentukan kamera,

pencahayaan, dan peralatan untuk menciptakan sinematografi. Mereka

menambahkan, seorang DoP harus memiliki kecakapan dalam teori maupun praktik

dalam hal teknik dan peralatan. Selain itu, menurutnya seorang DoP yang baik

adalah orang yang tidak mudah membuat bingung. Mereka menjelaskan, bahwa

seorang DoP harus memiliki pengetahuan dan sumber ilmu dalam berimprovisasi

untuk menghadapi masalah teknis maupun logistik yang mungkin sulit dihadapi

(hlm. 340-341).

Untuk dapat mencapai tugas seorang DoP, menurut Wheeler (2006)

terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pada masa pra-produksi,

menurutnya seorang DoP perlu membaca naskah berulang kali sebelum

mendiskusikan dengan sutradara. Setelah itu, bersama sutradara ia harus

memutuskan alur emosi dari naskah untuk mewujudkan emosi dan perasaan dari

cerita itu. Selain itu, ia perlu memeriksa departemen–departemen lain, seperti

kostum, make-up, production designer untuk menyepakati hal–hal yang terkait

dengan warna dan tekstur (hlm. 4-5). Brown (2012) menambahkan, selain bekerja

dengan kru di bawahnya, seorang DoP harus mampu bekerja dengan divisi lain

terutama production designer. Seorang DoP harus membahas kemungkinan

penempatan pencahayaan dalam set, saat production designer sedang melakukan

perencanaan dan bukan saat sudah dibangun (hlm. 303).

2.3. Mise-en-Scene

Sebuah film terdiri dari susunan–susunan gambar yang berisi berbagai informasi.

Dalam setiap potongan, gambar tersebut harus berisi mengenai informasi yang

16

berguna bagi penonton dan dapat dicerna secara bertahap (Brown, 2012, hlm.38).

Hal ini dipertegas oleh Thomson dan Bowen (2009), seorang pembuat film harus

memutuskan sejak awal apa yang harus dilihat oleh penonton dan bagaimana

penonton melihat informasi, detail, adegan, dan kejadian (hlm. 4). Salah satu teknik

dalam film yang paling diingat dan diperhatikan oleh penonton adalah mise-en-

scene (Bordwell, Thompson, dan Smith, 2017, hlm. 113). Menurut Bordwell,

Thompson, dan Smith (2017), mise-en-scene merupakan kata dalam bahasa

Perancis yang berarti memasukkan sesuatu ke dalam adegan (putting into scene).

Mereka menambahkan bahwa pada awalnya, mise-en-scene diterapkan hanya pada

teater, namun oleh para pembuat film, mise-en-scene diterjemahkan menjadi

kewenangan sutradara untuk mengatur hal-hal apa saja yang ditampilkan pada

frame. Selain itu, menurut mereka mise-en-scene dapat digunakan oleh para

pembuat film untuk membuat realisme, menciptakan setting yang tampak asli, dan

membuat aktor tampil secara alami (hlm. 113).

Terdapat beberapa komponen utama yang dapat diatur oleh pembuat film

melalui mise-en-scene. Komponen tersebut antara lain kostum, dekorasi, properti,

aktor, dan pencahayaan (Gibbs, 2002, hlm. 5). Gibbs (2002) menambahkan selain

komponen–komponen tersebut, terdapat komponen lain yang tidak terlepas dari

bagaimana penonton melihat sebuah adegan. Menurutnya, komponen lain tersebut

yaitu framing, pergerakan kamera, pemilihan lensa, dan teknik-teknik lain yang

berhubungan dengan keputusan pengambilan gambar. Ia menjelaskan bahwa mise-

en-scene bukan hanya sekedar menunjukkan bagaimana penonton melihat, tetapi

bagaimana penonton diajak untuk masuk ke dalam sebuah adegan (hlm. 5).

17

2.3.1. Ruang dalam Film

Ruang dalam film merupakan salah satu komponen mise-en-scene yang ekspresif

dan berguna bagi pembuat film (Gibbs, 2002, hlm. 17). Bordwell, Thompson, dan

Smith (2017) membagi ruang dalam film menjadi dua bagian yaitu ruang dalam

layar (screen space) dan ruang dalam adegan (scene space). Pada penjelasan ruang

dalam layar (screen space), mereka mengatakan bahwa mise-en-scene memiliki

kegunaan penting untuk mengarahkan perhatian penonton serta menekankan

elemen-elemen dalam frame. Mereka juga menjelaskan bahwa setidaknya terdapat

dua cara untuk menunjukkan ruang dalam layar yaitu komposisi seimbang dan

komposisi tidak seimbang. Pada penerapan komposisi seimbang, menurut mereka

para pembuat film sering menempatkan seorang figur di tengah frame dan membagi

sisi kiri-kanan frame dengan besaran yang sama. Sedangkan pada komposisi yang

tidak seimbang, mereka menjelaskan bahwa shot ini dapat diciptakan dengan

menempatkan beberapa orang dalam satu sisi dan satu orang dalam sisi yang lain.

Menurut mereka, hal ini sering digunakan dengan tujuan menyampaikan makna

yang kuat kepada penonton mengenai sosok orang yang sendirian tersebut (hlm.

143).

18

Gambar 2.1 Komposisi tidak seimbang

(Cuarón, 2006)

Gambar 2.2 Komposisi seimbang

(Anderson, 2014)

Ruang dalam adegan (scene space) dijelaskan oleh Bordwell, Thompson,

dan Smith (2017) sebagai cara bagi penonton agar mudah memahami bentuk-

bentuk dalam film yang bersifat dua dimensi seolah-olah menjadi bentuk tiga

dimensi. Menurut mereka, elemen dalam gambar yang membentuk impresi

penonton ini disebut dengan ilusi kedalaman ruang (depth cues). Mereka

menjelaskan bahwa ilusi kedalaman ruang ini mampu membuat penonton

19

memahami ruang dalam film, sehingga tampak seperti ruangan yang asli dan hidup.

Ditambahkan oleh mereka, ilusi kedalaman ruang ini dapat diciptakan melalui

mise-en-scene seperti pencahayaan, setting, kostum, dan staging.

Gambar 2.3 Film dengan ilusi kedalaman ruang (depth cues)

(Kubrick, 1968)

2.4. Komposisi

Mascelli (1965) mengatakan bahwa pengarahan elemen–elemen gambar menjadi

sebuah kesatuan dan harmoni dapat menciptakan sebuah komposisi yang baik.

Menurutnya, penempatan subjek serta pergerakannya dalam setting, harus

direncanakan secara matang agar dapat menghasilkan respons penonton yang

diinginkan pembuat film. Ia juga menjelaskan bahwa pengalaman menonton

gambar bergerak merupakan pengalaman emosional yang memberi dampak dari

bagaimana sebuah gambar diarahkan secara baik dalam segi komposisi,

pencahayaan, pengeditan sehingga dapat memotivasi reaksi penonton. Ia juga

menambahkan bahwa seorang DoP yang memiliki pengetahuan yang luas serta

pengetahuan yang dalam tentang seni, dapat menghasilkan sebuah komposisi yang

20

baik dan berasal dari hati (hlm. 197). Mascelli (1965) juga mengatakan bahwa

sebuah adegan yang baik merupakan hasil dari pemikiran komposisi yang bijaksana

dan pergerakan kamera dan subjek yang signifikan (hlm. 198).

Brown (2012) mengungkapkan bahwa melalui komposisi, pembuat film

memberitahukan kepada penonton, mana yang harus dilihat dan mana yang harus

dilihat terlebih dahulu (hlm. 38). Hal ini diperjelas oleh pernyataan Mercado (2011)

yang menyatakan bahwa hal sekecil apa pun yang termasuk dalam komposisi

sebuah shot, akan diterjemahkan oleh penonton sebagai sesuatu yang ada di sana

untuk alasan tertentu dan bermakna dalam mendukung penyampaian informasi

cerita (hlm. 2). Brown (2012) mengungkapkan bahwa melalui elemen komposisi,

seorang pembuat film dapat menghasilkan gambar yang bermakna. Gambar

tersebut menurutnya harus mampu mengungkapkan makna, mode, gaya, atmosfer,

dan subtext dari gambar itu sendiri, tanpa perlu bantuan dari narasi, dialog, suara,

maupun penjelasan lain (hlm. 38).

Mercado (2011) menjelaskan bahwa sebuah frame merupakan ruang dua

dimensi yang didefinisikan oleh 2 sumbu yaitu sumbu x dan y. Dalam sebuah frame,

terdapat sumbu ketiga yang mendefinisikan kedalaman ruang yaitu sumbu z (hlm.

6). Dijelaskan oleh Van Sijll (2005), sumbu x merupakan garis yang memotong

frame secara horizontal. Menurutnya, sumbu ini memiliki kecenderungan untuk

dilihat penonton dari sisi kiri ke kanan karena menimbulkan kenyamanan.

Sedangkan, apabila sebaliknya, penonton akan merasa kurang nyaman apabila

harus melihat dari sisi kanan ke kiri. Ia juga menjelaskan bahwa sumbu y

merupakan garis yang membagi frame secara vertikal. Menurutnya, apabila

21

pembuat film menggerakkan objek dari atas ke bawah, akan menimbulkan persepsi

adanya tarikan gravitasi. Sebaliknya, menurutnya apabila objek bergerak dari

bawah ke atas, menimbulkan persepsi kesulitan karena melawan gaya gravitasi.

Sedangkan sumbu z, ia menjelaskan bahwa sumbu ini terbentang dari foreground

ke background atau sebaliknya yang memberi kesan ruang tiga dimensi (hlm. 2-3).

Gambar 2.4 Sumbu-sumbu dalam frame

Mercado (2011) menambahkan bahwa seorang pembuat film biasanya

memiliki kecenderungan untuk melakukan komposisi dalam kedalaman ruang atau

menggunakan sumbu z agar meniadakan kesan datar dan menimbulkan kedalaman

ruang (hlm. 6). Van Sijll (2005) menambahkan terdapat tiga teknik yang dapat

digunakan untuk memanfaatkan sumbu z, yaitu menciptakan ilusi kedalaman

ruang, menampilkan adegan melalui sumbu z, dan perubahan fokus. Salah satu

teknik tersebut yaitu menampilkan adegan melalui sumbu z. Ia menjelaskan bahwa

seorang pembuat film dapat melakukan penempatan elemen cerita melalui tiga

bidang gambar sepanjang sumbu z yaitu foreground, middle-ground, dan

background. Menurutnya, dengan menempatkan elemen cerita pada tiga bidang ini,

22

seorang pembuat film dapat menempatkan kesan lama dan baru. Ia juga

mencontohkan dalam film Dolores Claiborne (1995, Hackford), Dolores melihat

masa lalunya pada belakang tubuh anaknya yang berada di bidang background

(hlm. 12-13).

Gambar 2.5 Contoh penerapan elemen cerita melalui sumbu z

(Hackford, 1995)

Berdasarkan ketiga sumbu tersebut, Thomson dan Bowen (2009) membagi

tiga bagian ruang berdasarkan jarak kamera dengan subjek melalui sumbu z, yaitu

foreground, middle-ground, dan background (hlm. 63). Thomson dan Bowen

(2009) menjelaskan bahwa foreground merupakan area antara kamera dengan area

subject of interest. Menurut mereka tidak selamanya area ini perlu diisi dengan

objek tertentu. Namun, apabila seorang pembuat film ingin meletakkan subjek atau

objek pada area ini, tidak boleh mengaburkan atau menghalangi objek utama di

belakangnya (hlm. 63). Middle-ground menurut Thomson dan Bowen (2009),

merupakan area utama di mana memungkinkan terjadinya adegan utama dan

dialog. Menurut mereka, area ini memungkinkan semua kegiatan yang dilakukan

subjek dalam frame dapat terlihat. Dengan begitu, para penonton dapat menerima

23

banyak informasi apabila adegan utama diletakkan pada area ini (hlm. 64).

Ditambahkan oleh Edgar-Hunt, Marland, dan Rawle (2010), middle-ground

merupakan area yang paling kuat. Menurut mereka, apabila seorang karakter

diletakan dalam bagian tengah frame, mereka seakan–akan diberikan kekuasaan

atas seluruh objek atau subjek lain yang berada di pinggir frame (hlm. 125).

Menurut Thomson dan Bowen (2009) background adalah area di belakang subjek

utama (hlm. 64).

Gambar 2.6 Analisa foreground, middle-ground, background dalam film Citizen Kane

(Welles, 1941)

2.4.1. Kedalaman Ruang

Dunia yang sesungguhnya merupakan ruang tiga dimensi yang memiliki tinggi,

lebar, dan kedalaman. Sedangkan frame merupakan ruang dua dimensi. Penonton

harus dapat menerima apa yang dilihatnya dalam film yang dua dimensi, sebagai

representasi dunia sesungguhnya yang tiga dimensi (Block, 2008, hlm. 14).

Thomson dan Bowen (2009) mengatakan bahwa foreground, middle-ground, dan

background dapat membantu menciptakan ilusi kesan tiga dimensi dalam sebuah

24

frame (hlm. 65). Hal ini didukung oleh Mercado (2011) yang mengatakan bahwa

salah satu cara untuk menghilangkan kesan dua dimensi sebuah frame adalah

menciptakan kesan kedalaman, sehingga dapat membentuk sebuah frame yang

dinamis. Menurutnya, terdapat dua hal yang biasa dilakukan oleh seorang pembuat

film, yaitu dengan membuat perbandingan ukuran objek dan membuat objek saling

tumpang tindih (hlm. 9).

Mercado (2011) menjelaskan bahwa dengan membuat salah satu objek

berukuran lebih besar dari objek lainnya, dapat menciptakan ilusi kedalaman ruang.

Menurutnya, hal tersebut dapat terjadi karena objek yang lebih kecil dipersepsikan

oleh penonton sebagai objek yang lebih jauh (hlm. 9). Hal ini didukung oleh

pernyataan Thomson dan Bowen (2009) yang menjelaskan bahwa apabila sebuah

obyek yang sering dilihat penonton seperti gedung pencakar langit, akan

diasumsikan sebagai sesuatu yang besar dan berada dalam zona background.

Menurut mereka, hal ini dapat menciptakan kesan ilusi perspektif dan ukuran yang

dapat menipu mata dan otak (hlm. 65).

Gambar 2.7 Contoh perbandingan ukuran objek untuk menciptakan kedalaman ruang (Hallström, 2017)

25

Pada teknik tumpang tindih (overlapping), Mercado (2011) menjelaskan

bahwa salah satu objek yang berada dalam frame dibuat menutupi objek lainnya.

Menurutnya, penonton akan memersepsikan salah satu objek yang tertutup berada

di belakang sebuah objek, sehingga menimbulkan impresi tiga dimensi (hlm. 9).

Sedangkan menurut Thomson dan Bowen (2009), zona foreground, middle-ground,

dan background berperilaku seperti lapisan–lapisan. Mereka mencontohkan,

apabila ada sebuah ranting di foreground akan menghalangi objek pada bagian

middle-ground dan background. Adegan utama pada middle-ground akan

menghalangi background. Mereka menyimpulkan, seperti di dunia nyata, apabila

terdapat sebuah objek yang diam atau bergerak di depan objek lain, hal tersebut

dapat membuat ilusi kedalaman ruang (hlm. 65).

Gambar 2.8 Contoh teknik tumpang tindih untuk menciptakan kedalaman ruang

(Jenkins, 2016)

Block (2008) juga mengatakan sama seperti tokoh sebelumnya, bahwa ilusi

ruang tiga dimensi dapat diciptakan melalui perspektif ruang dan perbedaan ukuran

objek (hlm. 15-27). Namun, ia menambahkan beberapa teknik lain yang juga dapat

menimbulkan ilusi tiga dimensi. Teknik–teknik tersebut antara lain melalui elemen

26

pergerakan objek, pergerakan kamera, difusi tekstur, difusi area, perubahan bentuk,

pemisahan tingkat kegelapan, pemisahan warna, dan fokus (hlm. 28-42). Salah satu

teknik yang cukup penting yaitu pergerakan objek dalam frame. Menurutnya,

terdapat dua hal dasar pergerakan objek di depan kamera yaitu pergerakan paralel

dan pergerakan tegak lurus. Ia menjelaskan, pergerakan paralel dapat berupa

gerakan kiri-kanan, atas-bawah, diagonal, maupun memutar. Menurutnya, sebuah

objek yang bergerak paralel tidak dapat menciptakan ilusi kedalaman. Ilusi

kedalaman hanya dapat diciptakan apabila terdapat dua benda atau lebih yang

berada di bidang berbeda bergerak ke bidang gambar (hlm. 28-29).

Block (2008) juga menjelaskan bahwa kedalaman ruang dapat diciptakan

dengan pergerakan tegak lurus objek terhadap bidang gambar. Pergerakan ini dapat

berupa pergerakan objek menuju kamera, atau sebaliknya dari dekat kamera

menuju kedalaman bidang gambar. Ia menjelaskan bahwa objek yang bergerak

menuju kamera akan memberi kesan objek tersebut semakin cepat. Sebaliknya,

apabila objek bergerak menjauhi kamera, maka akan terkesan semakin melambat.

Menurutnya, perubahan kecepatan ini merupakan ilusi kedalaman ruang yang

timbul akibat pergerakan objek yang tegak lurus terhadap bidang gambar (hlm. 30).

Berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan dari beberapa sumber untuk

melakukan analisa, penulis membutuhkan metode dalam melakukan penelitian.

Untuk itu, penulis menjelaskan metodologi yang digunakan pada bab selanjutnya.

27

BAB III

METODOLOGI

Pada bab ini, penulis menjelaskan metode yang dilakukan dalam menganalisis

bahasan dengan menggunakan teori yang sudah dijabarkan pada bab sebelumnya.

Selain itu, penulis akan menjelaskan sinopsis film ini secara singkat, posisi penulis

pada produksi film ini, dan peralatan yang digunakan dalam produksi. Pada bagian

selanjutnya, penulis menjabarkan tahapan kerja yang dilakukan dalam perancangan

di tahap pra-produksi, hingga penerapan di tahap produksi.

3.1. Gambaran Umum

Film Baba merupakan sebuah film pendek fiksi bergenre drama keluarga yang

bercerita mengenai bagaimana Denny (13 tahun), seorang anak tengah dalam

melihat kondisi keluarganya yang tidak harmonis akibat Papa (48 tahun) mengusir

kakaknya, Anton (18 tahun) dari rumah. Film yang berlatar keluarga Tionghoa

Benteng ini, menggambarkan bagaimana seorang ayah menunjukkan dominasi dan

kekuasaan sebagai pemberi nafkah bagi keluarganya; namun dengan cara kasar dan

keras dalam mendidik anak-anaknya. Dalam hal ini, karakter Papa berperan sebagai

super ordinasi yang mendominasi anak–anak, terutama Anton dan Denny. Untuk

menunjukkan posisi ini, penulis menerapkan teknik komposisi untuk menempatkan

karakter dalam bidang yang berbeda yaitu foreground, middle-ground, dan

background.

28

Dalam melakukan penelitian film ini, penulis melakukan pengambilan data

dengan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Creswell (2007),

yaitu metode penelitian yang diawali dengan asumsi dan pandangan peneliti untuk

mempelajari suatu masalah yang timbul dari kehidupan sosial atau manusia yang

dilihat melalui pandangan teori. Ia menambahkan, hasil akhir dari penelitian

kualitatif dapat berupa laporan tertulis maupun presentasi, berisi tentang pandangan

penulis terhadap suatu masalah, memperluas bahan bacaan, maupun ajakan untuk

memulai sebuah gerakan (hlm. 37).

Creswell (2007), juga mengatakan terdapat beberapa karakteristik metode

penelitian kualitatif, seperti peneliti sebagai kunci utama, sumber yang beragam,

serta analisa melalui pandangan teori. Ia menjelaskan bahwa peneliti sebagai kunci

utama, mengumpulkan data melalui pemeriksaan dokumen dan mengumpulkan

data yang dilakukannya sendiri, bukan bergantung pada penelitian orang lain.

Selain itu, ia mengatakan bahwa peneliti tidak hanya bergantung pada satu sumber,

melainkan dari beberapa sumber melalui pengamatan maupun mempelajari

dokumen-dokumen. Creswell juga menambahkan, seorang peneliti akan

melakukan analisa masalah yang dipelajarinya melalui pandangan teori (hlm. 38-

39). Metode penelitian ini dirasa cocok karena dapat menjabarkan hasil penerapan

teori yang telah dilakukan penulis dalam proses pra-produksi dan produksi. Adapun

sumber data dalam penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan berkas–berkas

pra-produksi dan materi visual hasil produksi.

29

3.1.1. Sinopsis

Pada suatu pagi, Denny (13 tahun) sedang membantu Mama (41 tahun)

memasukkan kue-kue dagangan ke dalam kotak–kotak di dapur. Tiba-tiba, pintu

belakang terbuka dengan cepat. Anton (18 tahun) masuk tergesa-gesa dengan wajah

yang lebam. Papa (48 tahun) yang mengetahui hal tersebut, segera menghampiri

Anton. Papa menarik Anton, serta memarahinya. Papa merasa tindakan Anton

sudah melewati batas wajar, maka Papa mendidik Anton dengan keras melalui

pengusiran. Novi (5 tahun) sempat sedikit melihat kejadian itu, segera diajak pergi

oleh Mama.

Denny hanya dapat menatap kepergian Anton dari rumah. Denny tidak

mampu melawan kuasa Papa. Denny menganggap Anton sebagai kakak yang

melindungi sekaligus teman. Untuk itu, Denny hanya bisa membantu Anton

semampunya dengan membiarkan Anton menyelinap masuk ke kamarnya. Setelah

beberapa hari, Denny mulai menyadari perbedaan Papa yang menghisap rokok

lebih banyak dari biasanya, serta sering melamun. Namun, Denny tidak berani

menanyakan hal itu kepada Papa.

Pada suatu saat ketika rumah sedang dalam keadaan kosong, Anton

menyelinap masuk. Ia melihat makanan di meja dan menyantapnya dengan nikmat.

Kemudian Anton mandi. Setelah membersihkan dirinya, ia melihat rokok milik

Papa yang berada di atas meja. Ia mengambil dan menghisapnya. Anton merasakan

kebebasan dalam rumah yang jarang ia dapatkan. Tiba-tiba pintu depan terbuka.

Papa masuk dan melihat sebatang rokok masih menyala. Papa mematikan rokok itu

dan berjalan ke dapur. Ia melihat pakaian Anton berserakan di lantai. Papa

30

memungut baju-baju itu dan memasukkannya ke dalam mesin cuci. Sambil

menunggu, Papa membuka pintu dan merokok. Terlihat Papa sebenarnya

merindukan Anton untuk kembali pulang, namun terhalang oleh egoisme masing-

masing.

3.1.2. Posisi Penulis

Dalam skripsi ini, penulis berperan sebagai Director of Photography yang bertugas

untuk melakukan perancangan secara visual dalam penyampaian cerita. Dalam

proses pembuatan karya, penulis tidak melakukan secara individu, melainkan

bersama kelompok yang berjumlah 6 orang. Selain itu, untuk menyampaikan mise-

en-scene dan narasi cerita secara tepat, maka penulis perlu bekerja sama dengan

departemen lain seperti sutradara, production designer, dan sound designer.

3.1.3. Peralatan

Dalam melakukan pengerjaan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa peralatan

untuk menunjang proses produksi. Peralatan utama yang digunakan dalam proses

produksi yaitu kamera dan lensa. Sedangkan tripod dan spider rig, merupakan

peralatan pendukung yang membantu proses produksi. Kamera digunakan sebagai

alat perekam gambar yang sangat penting dalam melakukan pengambilan gambar.

Kamera yang digunakan pada film ini yaitu Sony Alpha 7s Mark II. Kamera ini

dipilih karena penulis merasa sudah berpengalaman dengan alat ini, sekaligus

kamera ini dapat menghasilkan gambar yang mendekati tampilan film, bukan video.

Tampilan film yang dimaksud yaitu warna, tekstur, dan detail gambar yang tidak

terlalu tajam (over sharp) dan mendekati hasil kamera profesional.

31

Gambar 3.1 Kamera Sony Alpha 7S Mark II

Selain kamera, peralatan kedua yang menjadi mata kamera dan vital yaitu

lensa. Lensa yang digunakan dalam keseluruhan film ini yaitu lensa manual Nikon.

Sedangkan penulis memilih menggunakan lensa manual Nikon NIKKOR dengan

ukuran 50 mm untuk pengambilan shot yang dibahas dalam skripsi ini. Pemilihan

lensa manual Nikon dikarenakan bentuk karakteristik gambar yang dihasilkan,

tidak terlalu jernih dan halus. Sebaliknya, lensa ini menghasilkan gambar yang

sedikit memiliki artefak (grain) berupa tekstur gambar yang sedikit kasar. Hal ini

bertujuan agar gambar mendekati hasil seperti film (film look). Lensa ukuran 50

mm dipilih untuk shot dibahas dalam skripsi ini karena proporsi objek yang

dihasilkan tidak terlalu jauh dari pandangan mata manusia. Hal ini dibutuhkan

karena penulis ingin menampilkan beberapa shot ini sebagai tampilan apa adanya

dan tampak nyata.

32

Gambar 3.2 Contoh video look – iklan Belvita

(BelVita Breakfast Indonesia TVC, 2016)

Gambar 3.3 Contoh film look – American Beauty

(Mendes , 1999)

33

Gambar 3.4 Lensa Nikon NIKKOR 50mm f/1.2

(Nikon NIKKOR 50mm f/1.2 Lens, n.d.)

Gambar 3.5 Hasil gambar menggunakan lensa Nikon NIKKOR 50 mm f/1.2

(APK Films, 2017)

Sedangkan pemilihan peralatan pendukung seperti tripod atau spider rig,

disesuaikan dengan mise-en-scene adegan yang ingin disampaikan. Misalnya pada

adegan yang tenang, penulis cenderung memilih tripod agar gambar terkesan tidak

34

terlalu dinamis. Sedangkan sebaliknya, pada adegan yang dinamis dan bergejolak

penulis menggunakan spider rig untuk menciptakan gambar yang hidup.

Gambar 3.6 Proses produksi dengan menggunakan tripod

Gambar 3.7 Proses produksi dengan menggunakan spider rig

35

3.2. Tahapan Kerja

Dalam melakukan pembuatan film pendek ini, terdapat dua tahapan kerja utama

yang dilakukan oleh penulis. Dua tahapan tersebut yaitu proses perancangan visual

dalam pra-produksi dan proses penerapan rancangan visual dalam produksi.

3.2.1. Pra-produksi

Pada tahap pra-produksi, penulis melakukan beberapa tahapan yaitu diskusi dengan

sutradara, survei lokasi, pencarian referensi shot, perancangan shotlist dan

floorplan, serta melakukan recce. Pada tahap pertama, penulis melakukan diskusi

dengan sutradara untuk mengetahui statement detail mengenai film ini sendiri.

Statement sutradara diperlukan bagi penulis untuk mengetahui apa yang ingin

disampaikan oleh sutradara melalui film ini. Setelah mengetahui statement film ini,

penulis mengajukan ide perancangan visual untuk mendukung penyampaian

statement. Setelah ide ini disepakati bersama, penulis bersama sutradara dan

production designer melakukan survei lokasi shooting yang sudah diselesaikan

perijinannya oleh produser. Tujuan survei lokasi ini adalah untuk mengetahui

secara detail kondisi kelistrikan yang ada, serta bagaimana kamera diletakkan

dalam lokasi tersebut.

36

Gambar 3.8 Proses diskusi penulis dengan sutradara

Tahap selanjutnya, penulis bersama sutradara mencari beberapa sumber

referensi shot dari film-film yang telah diproduksi oleh para pembuat film nasional

ataupun internasional. Tujuan dari pencarian referensi ini adalah untuk mempelajari

bagaimana cara penyampaian statement film secara visual dengan efektif. Setelah

menemukan referensi yang sesuai, penulis melakukan pembuatan shotlist dan

floorplan yang dilakukan bersama sutradara. Rancangan shotlist dan floorplan ini,

kemudian diuji coba pada recce untuk mengetahui kekurangan-kekurangan yang

mungkin terjadi dalam tahap perancangan. Kekurangan-kekurangan yang

ditemukan dalam recce kemudian direvisi bersama sutradara, dan disepakati untuk

memasuki tahap produksi.

3.2.2. Produksi

Pada tahap ini, penulis berusaha menerapkan rancangan visual yang telah disusun

pada tahapan pra-produksi. Penerapan tersebut berupa penempatan kamera dengan

37

jarak tertentu dari aktor sesuai shotlist. Peletakan posisi pencahayaan sesuai

rancangan adegan. Pemilihan penggunaan tripod maupun spider rig untuk

mendukung mise-en-scene. Serta melakukan pengambilan gambar selama tiga hari.

Dalam melakukan produksi, setiap adegan memiliki proses yang berbeda. Penulis

akan menjelaskan proses produksi 4 buah adegan yang menjadi bahasan dalam

skripsi ini.

1. Adegan 1

Pada tahap produksi adegan ini, penulis menunggu persiapan production

designer dalam meletakkan properti dan peralatan artistik sesuai

perancangan. Setelah tim art selesai, penulis bersama gaffer atas

persetujuan production designer meletakkan lampu yang sekaligus menjadi

properti (practical light). Selanjutnya, penulis dibantu asisten kamera

mempersiapkan kamera serta spider rig. Setelah siap, kamera diletakkan

pada tempat yang sudah dirancang melalui floorplan. Kemudian gaffer

meletakkan lampu dalam set. Lampu yang digunakan antara lain; lampu

fresnel 1500 kwh sejumlah 2 buah, 2 buah led panel bi-colour, dan 2 buah

lampu rumah led tungsten. Setelah semua lampu diletakkan, penulis

menyalakan kamera dan melakukan sedikit penyesuaian tata letak lampu

agar cahaya yang diinginkan sesuai dengan perancangan awal. Hal

berikutnya, sutradara memasuki set dan melihat framing kamera serta

sedikit melakukan penyesuaian gambar bersama penulis apabila

dibutuhkan. Setelah semua siap, sutradara membawa masuk aktor ke dalam

38

set. Tahap selanjutnya, perekaman adegan dimulai. Penulis dibantu asisten

kamera untuk melakukan penyesuaian fokus kamera. Perekaman dilakukan

berdasarkan shotlist yang telah dipersiapkan pada tahap pra-produksi.

Tabel 3.1 Shotlist adegan 1

Gambar 3.9 Floorplan adegan 1

39

Gambar 3.10 Proses shooting adegan 1

(Dokumentasi APK Films, 2017)

2. Adegan 4A

Dalam adegan 4A, penulis melakukan persiapan untuk perekaman adegan

dengan memberi arahan pada asisten kamera untuk mempersiapkan kamera

dengan tripod dan diletakkan sesuai floorplan. Sedangkan pada saat yang

bersamaan, gaffer memasang lampu jalan yang menjadi practical light

bersama production designer. Gaffer bersama penulis juga memasang

lampu untuk adegan interior. Proses perekaman gambar dimulai pukul

17.50 pada saat matahari mulai tenggelam sebagian sehingga langit tampak

berwarna kebiruan. Setelah adegan eksterior selesai, kamera dipindahkan

ke halaman rumah untuk melakukan pengambilan gambar shot selanjutnya.

40

Tabel 3.2 Shotlist adegan 4A

Gambar 3.11 Floorplan adegan 4A

41

Gambar 3.12 Proses shooting adegan 4A

(Dokumentasi APK Films, 2017)

3. Adegan 9

Pada adegan 9, penulis memulai proses produksi dari ruang makan (ruang

keluarga) kemudian bergeser ke pintu rumah. Sebelum melakukan

pemasangan lampu, penulis menunggu production designer selesai

melakukan perancangan ruang. Kemudian penulis melakukan arahan pada

gaffer untuk memasang lampu fresnel led 1500 kwh sebanyak 2 buah di

ruang makan, dan 1 buah di halaman rumah. Serta 2 buah led panel bi-

colour di dalam rumah dan 1 buah di halaman rumah. Setelah lampu siap,

kamera diletakkan di atas tripod dan penulis bersama gaffer melakukan

penyesuaian lampu. Setelah semua siap, sutradara memasuki set bersama

aktor dan memulai pengambilan gambar sesuai shotlist.

42

Tabel 3.3 Shotlist adegan 9

Gambar 3.13 Floorplan adegan 9

43

Gambar 3.14 Proses shooting adegan 9

(Dokumentasi APK Films, 2017)

4. Adegan 17

Pada adegan ini setelah production designer selesai melakukan pengaturan

set, penulis bersama asisten kamera mempersiapkan kamera yang dipasang

dengan spider rig. Gaffer melakukan pemasangan 1 buah led panel bi-

colour pada ruang keluarga. Sedangkan di halaman rumah, gaffer

memasang 1 buah lampu fresnel 1500 kwh yang diletakkan di depan jendela

rumah untuk menciptakan garis-garis yang menyerupai matahari, serta 1

buah led panel bi-colour sebagai cahaya utama karakter Papa. Setelah

semua siap, sutradara melakukan pengecekan akhir dan memulai

perekaman adegan sesuai shotlist.

44

Tabel 3.4 Shotlist adegan 17

Gambar 3.15 Floorplan adegan 17

Gambar 3.16 Proses recce adegan 17 (Dokumentasi APK Films, 2017)

45

3.3. Acuan

Dalam melakukan perancangan film Baba dari tahap pra-produksi hingga tahap

produksi, penulis memiliki referensi visual yang berasal dari dua buah film. Film

tersebut yaitu Goodbye South, Goodbye (1997, Hou Hsiao-Hsien) dan Citizen Kane

(1941, Orson Welles). Kedua film ini dipilih karena film ini mampu melakukan

penyampaian cerita menggunakan unsur kedalaman ruang.

Gambar 3.17 Potongan gambar film Citizen Kane

(Welles, 1941)

Film Citizen Kane bercerita tentang Charles Foster Kane yang baru saja

meninggal di istana Xanadu. Pada saat ia meninggal, Kane menggenggam sebuah

mainan bola salju dan berkata “Rosebud”. Kematian Kane menjadi berita

internasional yang membuat wartawan dan masyarakat penasaran tentang maksud

perkataan Kane pada detik-detik kematiannya. Jerry Thompson, seorang reporter

ditugaskan oleh kantornya untuk melakukan investigasi kepada orang-orang yang

46

pernah dekat dengan Kane. Termasuk salah satu mantan istri Kane, Susan

Alexander Kane yang memiliki sebuah klub, menolak untuk membicarakan tentang

mantan suaminya. Thompson kemudian mengunjungi sebuah ruang arsip milik

Walter Parks Thatcher. Di situ, Thompson membaca sebuah catatan yang

mengisahkan kehidupan kecil Kane.

Thompson menemukan bahwa semasa kecil, Kane hidup dalam kemiskinan.

Thompson kemudian melakukan wawancara dengan berbagai sumber. Pada

akhirnya ia memutuskan bahwa kata-kata terakhir Kane tetap menjadi misteri. Pada

akhir film, penonton ditunjukkan arti kata “Rosebud” yang dimaksud Kane. Kata

tersebut merupakan merek kereta salju milik Kane saat usia delapan tahun, yang

dimainkannya di Colorado ketika ia diajak pergi untuk meninggalkan orang tuanya.

Dalam film Citizen Kane, kedalaman ruang sering dimanfaatkan sebagai

elemen penyampaian narasi cerita. Salah satu adegan yang paling sering dibahas

adalah ketika Kane dijual oleh ibunya. Pada saat itu, Kane berusia delapan tahun.

Ibunya menandatangani sebuah surat perjanjian kepada pihak bank milik Walter

Parks Thatcher. Ayahnya berusaha untuk menghentikan hal tersebut, namun ia

tidak memiliki kuasa atas keputusan istrinya. Dari jendela, terlihat Kane yang masih

polos bermain salju dengan senang. Karakter ibu berada dalam zona foreground

atau paling dekat dengan kamera bersamaan dengan Thatcher. Sedangkan ayah

pada zona middle-ground dan Kane berada dalam zona background. Hal ini ingin

menunjukkan bahwa karakter ibu memiliki kuasa paling besar, ayah tidak terlalu

memiliki kuasa, sedangkan Kane paling tidak berkuasa. Sosok yang paling

47

berkuasa ditempatkan pada zona foreground dan semakin ke dalam, zona

background ditempatkan karakter yang paling tidak berkuasa.

Gambar 3.18 Potongan gambar film Goodbye South, Goodbye

(Hsiao-Hsien , 1996)

Film Goodbye South, Goodbye karya sutradara Hou Hsiao-Hsien bercerita

tentang Kao; adik Kao, Flat Head; serta pacar Flat Head, Pretzel. Film ini dibuka

dengan kisah bagaimana Flat Head mengacaukan bisnis perjudian yang dijalankan

oleh Kao di pinggir rel kereta. Kao memiliki rencana besar untuk meningkatkan

penghasilannya dengan membuka bisnis hiburan disko di pusat kota. Penghasilan

tersebut ingin digunakannya untuk melamar Ying, pacarnya. Namun, usaha Kao

untuk membuka tempat disko terhalang oleh regulasi pemerintah yang sulit dan

korup, sehingga membutuhkan uang yang banyak.

Mereka kemudian memutuskan untuk beralih ke bisnis lain. Mereka

menemukan sebuah lahan yang tidak diperhatikan oleh pemerintah. Di atas tanah

tersebut terdapat ribuan babi. Mereka menjual ribuan babi tersebut yang dibeli

dengan harga murah, sehingga mereka mendapatkan untung besar. Pada suatu

48

ketika, Flat Head menghampiri pamannya untuk meminta bagian warisan. Hal ini

menimbulkan masalah baru karena sepupu Flat Head, Ming merupakan polisi. Flat

Head akhirnya dipukuli dan dipenjara.

Salah satu adegan yang memanfaatkan kedalaman ruang sebagai elemen

penyampaian narasi cerita yaitu ketika Flat Head dipukuli oleh Ming setelah

meminta warisan pada pamannya. Pada adegan itu, paman Flat Head diletakkan

dalam zona foreground, sedangkan Flat Head yang sedang dipukuli ditempatkan di

zona background. Hal ini ingin menujukan adegan kekerasan berupa pengeroyokan

Flat Head dijauhkan dari penonton dengan ditempatkan di zona background.

Setelah menyaksikan kedua film ini, penulis melakukan analisis terhadap

adegan dan shot yang mendekati film yang akan diproduksi oleh penulis. Analisis

tersebut berupa pemahaman terhadap statement dan narasi cerita yang ingin

disampaikan oleh sutradara. Kemudian bagaimana statement tersebut ditampilkan

melalui elemen visual berupa mise-en-scene shot. Selanjutnya, bersama sutradara,

penulis merancang mise-en-scene serta shotlist berdasarkan referensi kedua film

ini. Penulis akan melakukan analisa bahasan pada bab selanjutnya berdasarkan

teori-teori yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya.

49

BAB IV

ANALISIS

Untuk menunjukkan hierarki kekuasaan dalam keluarga Tionghoa Benteng pada

film ini, penulis sebagai DoP mempertimbangkan pemakaian teknik-teknik kamera

dan menganalisis beberapa hal yang dijelaskan dalam bab ini.

4.1. Kekuasaan Papa dalam Mendidik Anak

Gambar 4.1 Shot 3 adegan 1

(APK Films, 2017)

Adegan 1 dalam film Baba bercerita pada suatu pagi, Denny (13 tahun) sedang

membantu Mama (41 tahun) memasukkan kue ke kotak-kotak di dapur. Tiba-tiba

Anton masuk dari pintu belakang dengan wajah yang lebam. Papa yang mengetahui

hal tersebut, langsung menghampiri Anton, memarahi, dan mengusirnya dari

rumah. Film ini memiliki latar belakang keluarga Tionghoa Benteng yang

menerapkan sistem patriarki. Seperti dikatakan oleh Renzetti dan Curan yang

50

dikutip dari Sarwono (2013) patriarki merupakan sistem gender di mana pemikiran

laki-laki dianggap lebih penting daripada pemikiran perempuan (hlm. 49).

Papa melakukan pengusiran terhadap Anton untuk menunjukkan kuasanya

(super ordinat) kepada keluarga terutama anaknya, Anton (subordinat). Bentuk-

bentuk super ordinasi dan subordinasi ini menurut Simmel yang dikutip dari

Johnson (1986) merupakan bentuk-bentuk sosiasi. Simmel mengatakan bahwa

sosiasi merupakan analisa pola-pola interaksi dalam masyarakat (hlm. 262). Hal ini

juga terjadi dalam hubungan antara Papa dalam hal menegaskan posisinya sebagai

pihak super ordinat yang memerlukan peran Anton dan Denny sebagai pihak

subordinat untuk menerapkan dan menekankan kuasanya. Selain itu, interaksi Papa

dengan Anton dan Denny termasuk dalam dua pola subordinasi yang dijelaskan

oleh Simmel. Pola pertama, subordinasi di bawah seorang individu yaitu Papa yang

berkuasa seorang diri di dalam keluarga, menyatukan dan memimpin seluruh

orang-orang dalam keluarga. Pola kedua, subordinasi di bawah suatu prinsip atau

sistem patriarki.

Sistem patriarki ini secara turun-temurun diwariskan dalam keluarga

Tionghoa, sehingga dapat dikatakan keluarga Tionghoa menerapkan pola otoritas

tradisional. Menurut Webber yang dikutip dari Johnson (1986), otoritas tradisional

yaitu suatu kepercayaan sekelompok orang atau individu terhadap suatu aturan

yang sudah dan selalu ada sejak dahulu (hlm. 227). Penerapan sistem patriarki

dalam keluarga Tionghoa ini juga didukung oleh pernyataan Liong (2017) yang

mengatakan bahwa dalam keluarga Tionghoa, otoritas terletak pada sosok ayah,

sehingga seorang ayah berkuasa untuk mengambil keputusan penting terhadap istri

51

dan anaknya (hlm. 12). Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut, Papa memiliki dasar

yang kuat sebagai kepala keluarga untuk mengatur hidup anak-anaknya

dibandingkan Mama.

Dalam sistem patriarki, garis keturunan ditarik dari garis ayah (Henslin,

2007, hlm 117). Seorang anak juga memiliki kewajiban agar dapat membawa

kehormatan bagi keluarganya (Liong, 2017, hlm. 13). Oleh karena itu, Papa

berusaha menjaga nama baik keluarga yang salah satunya diteruskan oleh Anton.

Hal ini juga didukung oleh salah satu pepatah Tionghoa, “Zi bu jiao, fu zhi guo”

yang berarti bahwa seorang ayah dianggap salah apabila ia tidak mendidik anaknya

dengan benar (Xu, 2016, hlm. 4). Anton dianggap sudah melewati batas wajar

pergaulan seorang anak dan dianggap tidak dapat membawa kehormatan bagi

keluarga, sehingga Papa dalam upaya mendidik Anton, Papa memakai kekerasan

verbal yang berakhir dengan pengusiran.

52

Gambar 4.2 Potongan naskah adegan 1

Proses kreatif perancangan adegan 1 ini, dimulai dengan melakukan analisa

naskah. Penulis bersama sutradara, Brandon, membaca naskah secara bersama-

sama. Setelah itu, sutradara menentukan statement yang ingin disampaikan melalui

adegan ini, yaitu otoritas sosok ayah dalam keluarga Tionghoa Benteng. Otoritas

ayah yang dimaksud oleh sutradara yaitu cara mendidik anak dalam keluarga ini

yang masih menggunakan pengusiran. Sutradara kurang menyetujui tindakan ini,

sehingga untuk menyampaikan statement tersebut diperlukan sebuah susunan

53

komposisi karakter dan ruang. Dalam adegan ini, penulis bersama sutradara

memutuskan untuk menggunakan shot yang menunjukkan kesan kedalaman ruang

melalui sumbu z ini hanya pada bagian naskah yang tercantum dalam gambar. Hal

ini diputuskan karena pada bagian naskah ini, terdapat poin penting di mana Papa

mendidik dengan memaki hingga mengusir Anton.

Setelah penulis bersama sutradara menentukan tipe shot dan peletakan

posisi kamera, penulis melakukan uji coba di lokasi secara langsung dalam tahap

recce. Kendala yang ditemukan yaitu perbedaan bayangan ruang penulis bersama

sutradara terhadap lokasi yang sebenarnya. Penulis tidak dapat meletakkan kamera

tepat pada posisi yang sudah direncanakan. Oleh karena itu, penulis meminta

bantuan divisi art atas seizin production designer untuk memindahkan beberapa

properti dalam ruangan dapur dan kembali melakukan penyesuaian titik kamera

bersama sutradara. Kendala selanjutnya yaitu peletakan lampu-lampu yang ingin

digunakan untuk merancang pencahayaan adegan. Peletakan lampu-lampu dalam

dapur ini cukup sulit karena ruangan yang tidak terlalu besar. Penulis melakukan

diskusi bersama gaffer, serta boomber agar bayangan boom tidak jatuh ke dalam

set.

54

Gambar 4.3 Analisa sumbu-sumbu dalam frame shot 2 adegan 1

Gambar 4.4 Analisa foreground, middle-ground, background pada shot 2 adegan 1

Penulis sebagai DoP merancang shot 2 pada adegan 1 ini melalui scene

space, dengan menempatkan sosok Papa jauh di belakang frame atau dalam zona

background. Sedangkan dalam zona foreground¸ terdapat Denny yang hanya dapat

55

melihat kakaknya diusir dari rumah. Shot ini dirancang sedemikian rupa, untuk

menunjukkan bahwa Papa yang memiliki kekuasaan (dominasi) terhadap anak-

anaknya diletakkan jauh di belakang frame. Papa diletakkan pada zona background

untuk menegaskan statement sutradara yang kurang menyetujui cara Papa mendidik

anaknya melalui pengusiran. Hal ini dilakukan berdasarkan pada film acuan

Goodbye South, Goodbye karya sutradara Hou Hsiao-Hsien pada adegan ketika

Flat Head dipukuli oleh Ming setelah meminta warisan pada pamannya. Dalam film

ini, ditunjukkan bahwa adegan kekerasan berupa pengeroyokan Flat Head

dijauhkan dari penonton dengan ditempatkan di zona background.

Selain itu, penulis bersama sutradara ingin mendekatkan penonton pada

sosok Denny yang lebih lemah. Oleh karena itu, Denny diletakkan lebih dekat

dengan penonton – pada zona foreground. Peletakan karakter Denny dalam zona

foreground, yang tidak jauh dari dominasi zona middle-ground yang berada tepat

di belakangnya, membuat sosok Denny menjadi lebih dekat di mata penonton. Hal

ini didasari atas pernyataan Edgar-Hunt, Marland, dan Rawle (2010), yang

mengatakan bahwa middle-ground merupakan area yang paling kuat, serta seakan-

akan diberikan kuasa atas seluruh subjek lain di dalam frame (hlm. 125). Hal ini

juga didukung oleh Thomson dan Bowen (2009) yang juga mengatakan bahwa

dalam area middle-ground, penonton dapat menerima banyak informasi apabila

adegan atau subjek ditempatkan dalam area ini (hlm. 64). Berdasarkan kedua

pernyataan ini, secara teori komposisi Denny lebih memiliki kedekatan dengan

penonton, sehingga diharapkan penonton dapat memberikan simpati kepada Denny.

56

Selain itu, melalui shot ini, penulis juga ingin menunjukkan bahwa tindakan

Papa dalam mendidik anaknya melalui pengusiran, dianggap Papa sebagai cara

yang paling tepat agar Anton dapat lebih dewasa dalam berpikir dan menjaga nama

baik keluarga. Meskipun, pada masa kini menurut Xu (2016) perilaku ayah terjadi

perubahan, yang mana seorang ayah tampak lebih dekat secara emosional dengan

anaknya. Sehingga menurut Xu, pepatah “yan fu ci mu” (ayah yang keras, ibu yang

baik) tidak lagi sepenuhnya terjadi dalam masa kehidupan modern di kebanyakan

keluarga Tionghoa (hlm. 15,31). Hal ini juga didukung oleh Liong (2017) yang

mengutip pernyataan Chuang, dkk., bahwa perubahan sikap ayah dengan

menunjukkan cinta dan kasih sayang terhadap keluarga, tidak ditunjukkan dalam

ruang umum melainkan hanya dalam ruang privat seperti dalam keluarga (hlm. 14).

4.2. Kekuasaan dan Kewajiban Papa sebagai Kepala Keluarga

Gambar 4.5 Shot 2 adegan 4A

(APK Films, 2017)

57

Adegan 4A terjadi pada sore hari ketika suara adzan magrib mulai terdengar. Denny

berjalan pulang bersama kedua temannya, kemudian kedua temannya pamit pulang.

Denny berjalan memasuki rumah dan duduk di depan pintu untuk membuka sepatu.

Mama sedang berdoa menghadap meja sembahyang di dekat pintu. Pada ruang

makan, tampak Papa sedang membelakangi pintu dan menghitung uang hasil

pekerjaannya di bengkel. Mama yang mengetahui Denny duduk di depan pintu,

langsung menegur dan memintanya untuk segera masuk. Mama dan Denny sempat

berbincang mengenai kondisi Anton yang tidak berkabar, serta perihal kondisi Papa

setelah mengusir Anton pada pagi hari. Mama hanya menjawab tidak mengetahui

kondisi Anton, serta tidak berani membicarakan keributan yang terjadi pada pagi

hari antara Anton dengan Papa. Denny kemudian berjalan masuk dan ingin

membicarakan Anton kepada Papa. Namun, Denny tidak berani berbicara sedikit

pun ke Papa. Sedangkan Papa masih sibuk menghitung uang hasil kerjanya tanpa

memerhatikan keberadaan Denny.

Pada adegan ini, Papa sebagai karakter super ordinasi menunjukkan

posisinya sebagai kepala dalam keluarga yang menganut sistem patriarki. Hal ini

didukung oleh pernyataan Liong (2017) yang mengatakan bahwa seorang ayah

memiliki otoritas dalam keluarga Tionghoa untuk mengambil keputusan penting

terhadap istri dan anaknya (hlm. 12). Sedangkan Mama memiliki posisi sebagai

karakter subordinat yang kurang berkuasa terhadap Papa. Mama tidak memiliki

otoritas dan keberanian untuk membahas keputusan Papa mengusir Anton yang

dilakukan pada pagi hari. Hal ini dianggap sebagai sesuatu yang lazim dalam

keluarga Tionghoa. Seperti dikatakan dalam pepatah Tionghoa “Nan zhu wai, nv

58

zhue nei” yang berarti bahwa laki-laki mengurus hal-hal di luar keluarga, sedangkan

perempuan mengurus hal-hal dalam keluarga. Serta pepatah Tionghoa lain yang

berbunyi “chu jia cong fu” yang berarti seorang perempuan yang sudah menikah

harus menuruti perintah suaminya (Xu, 2016, hlm. 3). Hal ini juga didukung oleh

Sarwono (2013) yang mengatakan bahwa konstruksi sifat feminin dan maskulin

menimbulkan pandangan peran perempuan yang berada dalam daerah domestik,

sedangkan laki-laki dalam sektor publik (hlm. 50). Berdasarkan beberapa

pernyataan ini, dapat ditarik sebuah kesimpulan yaitu dalam keluarga Tionghoa,

sosok laki-laki jauh dianggap lebih memiliki kuasa dari perempuan.

Papa juga mengukuhkan posisinya sebagai karakter super ordinasi yang

berkuasa dengan memegang uang hasil kerjanya. Seperti dijelaskan oleh Liong

(2017), tanggung jawab utama dari seorang ayah adalah pemenuhan ekonomi

terhadap keluarga yang juga menunjukkan bentuk kasih sayang ayah terhadap

keluarganya. Adapun Liong menambahkan bahwa, pemenuhan kebutuhan ekonomi

adalah bentuk keberhasilan seorang laki - laki menjadi seorang ayah (hlm. 78-80).

Dengan memegang dan memberikan nafkah bagi keluarga, Papa menganggap

dirinya telah melakukan kewajibannya sebagai kepala keluarga.

Bentuk interaksi Papa sebagai karakter super ordinasi dengan Denny dan

Mama sebagai karakter subordinasi dalam adegan ini, termasuk dalam pendekatan

sosiasi yang dijelaskan oleh Simmel. Simmel yang dikutip dari Johnson (1986),

mengatakan bahwa ketaatan pihak subordinasi pada pihak super ordinasi yang

memiliki kedudukan lebih tinggi, saling mempengaruhi satu sama lain. Simmel

berpendapat bahwa pihak super ordinat tetap mementingkan kebutuhan dari pihak

59

subordinat, meskipun hal tersebut hanya bertujuan untuk menekankan kekuasannya

(hlm. 262). Dalam konteks keluarga pada film ini, Papa sebagai karakter super

ordinat memikirkan kebutuhan finansial dari Denny dan Mama sebagai karakter

subordinat yang perlu diberi nafkah untuk menjalani hidup. Selain itu, interaksi

antara Papa yang berkuasa terhadap Denny dan Anton dalam keluarga termasuk

dalam pola penyamarataan. Simmel menjelaskan bahwa pola ini menghilangkan

perbedaan-perbedaan sikap kekuasaan pada subordinat, sehingga seluruh

subordinat menghindar dari upaya untuk memperoleh posisi yang lebih tinggi

(Johnson, 1986, hlm. 263). Dalam hal ini, Papa tidak memberikan kekuasaannya

kepada siapa pun dalam keluarga untuk berkuasa, selain dirinya sendiri. Sehingga,

baik Denny maupun Anton, tidak berusaha mengambil kekuasaan dari Papa.

60

Gambar 4.6 Potongan naskah adegan 4A

Dalam adegan 4A ini, penulis bersama sutradara melakukan analisis naskah

dengan membaca bersama-sama, kemudian menentukan tipe shot yang akan

digunakan. Penulis bersama sutradara memutuskan menggunakan tipe shot yang

menunjukkan kesan kedalaman ruang (sumbu z) pada naskah bagian ini (gambar

4.5). Adapun statement yang ingin disampaikan oleh sutradara pada adegan ini

yaitu menunjukkan kekuasaan Papa di dalam keluarga karena kemampuannya

61

untuk menafkahi keluarga. Hal tersebut disampaikan melalui framing karakter Papa

yang berada di belakang karakter Denny, sehingga menimbulkan kesan pada

penonton bahwa Papa berkuasa atas Denny. Selain itu, penulis bersama sutradara

juga ingin mendekatkan karakter Denny kepada penonton, dibandingkan karakter

Papa.

Dalam melakukan produksi adegan ini, penulis sedikit mengalami kendala

pada peletakkan karakter Papa dalam frame. Penulis mencoba meletakkan karakter

Papa sesuai floorplan yang telah dirancang. Namun dalam frame , Papa terlihat

sangat kecil dan sama sekali tidak terlihat aktivitas yang sedang dilakukan. Oleh

karena itu, penulis atas seizin sutradara dan bekerja sama dengan production

designer, menggeser meja dan properti di sekitar Papa mendekati arah kamera

(cheating). Atas tindakan tersebut, karakter Papa dapat diposisikan di tengah frame

antara Denny dan Mama, serta tidak terlalu kecil dalam ukuran. Namun, aktivitas

Papa tetap tidak dapat terlihat secara jelas karena berada jauh di area background.

Gambar 4.7 Analisa sumbu-sumbu dalam frame shot 2 adegan 4A

62

Gambar 4.8 Analisa foreground, middle-ground, background pada shot 2 adegan 4A

Dalam shot 2 adegan 4A ini penulis meletakkan Denny sebagai karakter

subordinasi yang paling lemah dibandingkan kedua orang tuanya pada zona

foreground. Denny kemudian bergerak ke zona background dalam durasi yang

lebih singkat. Sedangkan karakter Mama sepanjang adegan ini tetap berada dalam

zona middle-ground. Meskipun Mama sama seperti Denny berada dalam posisi

subordinat dalam keluarga, Mama lebih memiliki kekuasaan dibandingkan Denny.

Namun, Mama tidak memiliki kekuasaan yang melebihi Papa. Karakter Papa

sebagai karakter super ordinasi karena memiliki uang di tangannya, diletakkan jauh

dari kamera dan berada pada zona background.

Perancangan penempatan karakter Denny pada zona foreground menuju

middle-ground bersama Mama bertujuan untuk mendekatkan karakter Denny

dengan penonton. Hal ini dilakukan agar penonton fokus pada pembicaraan yang

63

dilakukan antara Denny dengan Mama, sekaligus mendorong penonton untuk

melihat adegan dalam pandangan Denny. Perancangan ini didasari oleh pernyataan

Thomson dan Bowen (2009) yang mengatakan bahwa middle-ground merupakan

area utama yang memungkinkan terjadinya adegan utama dan dialog. Mereka juga

mengatakan bahwa penonton dapat menerima banyak informasi yang diletakkan

pada area ini (hlm. 64). Selain itu, perancangan shot ini juga bertujuan untuk

kembali menegaskan statement sutradara dari shot 3 adegan 1, yang kurang

menyetujui tindakan ayah sebagai super ordinat dalam rumah dengan mendidik

melalui pengusiran. Penegasan ini dilakukan karena perasaan yang ingin diciptakan

pada adegan ini, masih terpengaruh dari adegan 1, di mana Papa masih memiliki

jarak dengan Mama maupun Denny.

4.3. Kekuasaan Papa di dalam Rumah

Gambar 4.9 Shot 4 adegan 9

(APK Films, 2017)

64

Adegan 9 terjadi pada pagi hari di dalam rumah. Pada saat itu, Novi sedang duduk

di meja makan mengenakan seragam sekolah dan menonton video di telepon

genggamnya. Sedangkan Denny yang sudah mengenakan seragam sekolah,

berjalan dari dapur sambil membawa kotak dagangan Mana yang sudah terisi penuh

kue bolu kukus. Papa sedang bersandar di depan pintu rumah sambil melamun dan

merokok. Denny berjalan mendekati ayahnya. Ia melihat ayahnya menikmati

sebatang rokok, sedangkan ia harus berangkat sekolah sambil membawa kotak kue

dagangan.

Papa sebagai kepala keluarga dan sebagai karakter super ordinat memiliki

kewajiban untuk memberi nafkah kepada anak-anaknya. Seperti dijelaskan oleh

Liong (2017), tanggung jawab utama dari seorang ayah adalah pemenuhan ekonomi

terhadap keluarga. Namun pada adegan ini, Papa terlihat sedang merokok dan

melamun. Selain itu, menurut Liong (2017) sosok Ayah meskipun tetap harus fokus

pada kariernya, ia juga tetap bertanggung jawab pada pendidikan anaknya. Ia

menekankan bahwa sosok ayah bertanggung jawab agar anaknya dapat sukses di

sekolah dan meraih pendidikan yang lebih tinggi, serta mendidik secara moral (hlm.

14). Dalam hal ini, Papa tidak menunjukkan secara langsung kepeduliannya pada

pendidikan Denny. Ia terlihat hanya fokus pada rokok yang dihisapnya, namun

tidak memperhatikan kondisi Denny yang harus bersekolah sambil berdagang.

Papa sebagai karakter super ordinat dalam keluarga menerapkan tindakan

kekuasaan pola subordinasi di bawah seorang individu dengan penyamarataan yang

dijelaskan oleh Simmel. Simmel mengungkapkan bahwa pola ini dapat

menimbulkan kekuasaan pihak super ordinat yang bersifat sewenang-wenang

65

terhadap pihak subordinat (Johnson, 1986, hlm 263). Dalam hal ini, Papa memiliki

kekuasaan penuh atas tindakan yang dilakukannya di dalam rumah. Misalnya,

dalam adegan ini Papa tidak terlihat sebagai sosok produktif yang menghasilkan

uang, namun merokok yang menghabiskan uang. Sedangkan Denny sebagai pihak

subordinat, tidak berani menegur maupun melawan tindakan ayahnya tersebut.

Gambar 4.10 Potongan naskah adegan 9

Proses kreatif perancangan adegan 9 dilakukan bersama sutradara untuk

memutuskan shot pada bagian naskah ini. Sutradara bersama penulis memutuskan

hanya pada bagian naskah ini yang menggunakan komposisi kedalaman ruang

melalui sumbu z untuk menyampaikan kesan kontras dan ironi. Sutradara bersama

penulis ingin menyampaikan statement melalui shot ini yaitu seorang anak yang

memiliki kewajiban untuk belajar, namun ia harus membantu keluarganya mencari

nafkah dengan membantu ibunya berdagang. Sedangkan ayahnya yang memiliki

kewajiban memberi nafkah dan memperhatikan pendidikan anaknya, hanya

melamun dan merokok. Hal ini memperlihatkan kekuasaan Papa di dalam rumah

yang dapat melakukan berbagai kegiatan yang disukainya, seperti merokok,

meskipun kegiatan itu menghabiskan uang. Sedangkan Denny berupaya membantu

keluarganya untuk mendapatkan uang. Kontras dan ironi ini yang ingin

66

disampaikan kepada penonton agar penonton merasa tergugah untuk menyadari

kejanggalan dalam keluarga ini.

Gambar 4.11 Analisa sumbu-sumbu dalam frame shot 4 adegan 9

Gambar 4.12 Analisa foreground, middle-ground, background pada shot 4 adegan 9

Perancangan shot ini berdasar pada film acuan, Citizen Kane (Welles, 1941)

pada adegan Kane dijual oleh ibunya yang menempatkan Kane- sosok paling lemah

67

pada zona background dan ibunya yang lebih berkuasa pada zona foreground.

Berdasarkan teori komposisi dan film acuan, zona foreground merupakan area yang

lebih kuat dibandingkan dengan zona background, oleh karena itu Papa sebagai

karakter super ordinasi ditempatkan pada zona foreground. Namun, berdasarkan

teori sistem patriarki, sosok ayah merupakan orang yang memiliki kewajiban

memberi nafkah dalam keluarga. Sedangkan Papa, dalam adegan ini tidak

melakukan kewajiban-kewajiban yang seharusnya. Oleh karena itu, dalam adegan

ini Papa berada dalam tingkat kekuasaan yang rendah.

Di sisi lain, Denny yang masih berusia 13 tahun dan memiliki kewajiban

untuk belajar harus membantu Mama menjual kue. Hal ini membuat karakter

Denny sebagai subordinat memiliki kekuasaan yang lebih kuat dibandingkan

ayahnya. Perancangan shot 4 dalam adegan ini, dilakukan dengan menempatkan

karakter Papa dalam zona foreground. Sedangkan, Denny diletakkan pada zona

background. Hal ini dilakukan untuk mendukung statement utama yaitu karakter

yang memiliki kekuasaan lebih besar berada dalam zona background, sebaliknya

karakter yang memiliki kekuasaan lebih rendah ditempatkan pada zona foreground.

68

4.4. Anton menjadi Super Ordinat dalam Rumah

Gambar 4.13 Shot 3 adegan 17

(APK Films, 2017)

Adegan 17 bercerita mengenai suatu siang ketika rumah sedang dalam keadaan

kosong, Anton baru saja selesai mandi. Ia duduk di sofa tempat yang biasanya

diduduki oleh Papa. Di atas meja, terdapat rokok milik Papa. Anton mengambil

sebatang rokok dari dalam kotak itu. Ia menyalakan rokok dan mulai

menghisapnya. Anton yang tidak terbiasa menghisap rokok kretek (tanpa filter)

pada awalnya sedikit terbatuk-batuk, namun ia mulai menikmatinya. Selama

beberapa saat, ia menikmati kebebasannya di dalam rumah. Hingga pada suatu saat,

Anton harus segera meninggalkan rumah karena ia menyadari Papa pulang.

Pada adegan ini, Anton yang biasanya menjadi karakter subordinat di dalam

keluarga, ingin merasakan menjadi karakter super ordinat yang berkuasa dalam

rumah. Hal tersebut mungkin terjadi, ketika karakter super ordinat dalam keluarga,

69

Papa tidak berada di daerah kekuasaannya. Oleh karena itu, Anton menjadi karakter

super ordinat dan berkuasa terhadap ruang di sekitarnya, ketika rumah dalam

keadaan kosong. Melalui shot 3 adegan 17, penulis ingin menunjukkan sifat

maskulinitas seorang laki-laki dalam budaya patriarki meskipun belum menjadi

seorang kepala keluarga. Penulis juga ingin menunjukkan keinginan Anton untuk

berkuasa atas dirinya sendiri dan tidak diatur oleh orang tuanya, terutama ayahnya.

Anton sebagai seorang anak memiliki kewajiban-kewajiban yang harus

dilakukannya kepada orang tua. Menurut Liong (2017) kewajiban seorang anak

yaitu hormat, berbakti, dan tunduk pada orang tuanya terutama ayahnya. Liong juga

mengatakan bahwa seorang anak bertugas untuk menjaga nama baik keluarganya

(hlm. 13). Anton dianggap Papa belum mampu untuk melakukan kewajiban-

kewajiban ini, sehingga Papa masih mendominasi keluarga terutama dalam

mendidik dan menentukan jalan hidup Anton. Konflik Papa dan Anton juga dapat

disebabkan karena perbedaan latar belakang pendidikan dan kondisi sosial masa

kini. Seperti yang dikatakan oleh Xu (2016), seorang anak pada masa kini dapat

menempuh pendidikan yang lebih tinggi serta memiliki gaya hidup yang lebih

nyaman (hlm. 32). Sehingga, perbedaan ini memungkinkan terjadinya konflik

antara Papa dan Anton yang sedang dalam proses pencarian jati diri.

70

Gambar 4.14 Potongan naskah adegan 17

Proses kreatif dalam adegan ini dimulai dengan melakukan analisa pada

naskah bersama sutradara. Penulis bersama sutradara memutuskan untuk membuat

sebuah shot utama (master shot) pada keseluruhan adegan ini, kemudian

ditambahkan dengan beberapa shot yang menunjukkan detail aktivitas Anton.

Dalam adegan ini, sutradara bersama penulis ingin menunjukkan aktivitas Anton di

saat Papa tidak menguasai rumah. Untuk itu, penulis tetap menggunakan teknik

komposisi kedalaman ruang melalui sumbu z untuk melakukan repetisi shot dari

adegan-adegan sebelumnya. Pada proses produksi adegan ini, penulis tidak

menemukan kendala berarti yang mengganggu karena sudah dirancang secara

matang dan mempelajari kesalahan-kesalahan produksi adegan sebelumnya.

71

Gambar 4.15 Analisa sumbu-sumbu dalam frame shot 3 adegan 17

Gambar 4.16 Analisa foreground, middle-ground, background pada shot 3 adegan 17

Perancangan shot ini dilakukan dengan meletakkan kamera pada titik yang

sama seperti shot 4 adegan 9 dan shot 2 adegan 4A. Karakter Anton ditempatkan

jauh dari kamera-pada zona background. Hal ini bertujuan untuk menampilkan

72

karakter Anton sebagai super ordinat dalam rumah yang biasanya selalu ditempati

oleh karakter Papa. Melalui shot ini, penonton dipaparkan bagaimana seorang anak

merasa bebas untuk menentukan keputusannya seorang diri. Selain itu, penulis juga

ingin menunjukkan Anton sebagai sosok laki-laki yang sedang dalam proses

pendewasaan diri. Penulis menarik kesimpulan serta memberikan saran atas

pembahasan skripsi ini yang tercantum dalam bab selanjutnya

73

BAB V

PENUTUP

Pada bab ini, penulis akan menarik kesimpulan atas pembahasan yang telah

dilakukan pada bab sebelumnya. Kemudian dari kesimpulan tersebut, penulis akan

menyampaikan beberapa saran yang mungkin dapat dilakukan oleh pembaca.

5.1. Kesimpulan

DoP memiliki peranan penting dalam proses produksi sebuah film, terutama untuk

mewujudkan visi film dan statement yang ingin disampaikan oleh sutradara kepada

penonton. Seperti yang dikatakan oleh Wheeler (2006), bahwa seorang DoP

memiliki pandangan terhadap naskah yang diterjemahkan menjadi elemen visual

untuk menciptakan interpretasi penonton terhadap makna cerita (hlm. 3). Untuk

mencapai hal tersebut, seorang DoP perlu berdiskusi dengan sutradara demi

mencapai kesepakatan bersama dalam penyampaian visi dan statement melalui

elemen visual. Proses diskusi ini perlu dipersiapkan secara matang dalam tahap pra-

produksi. Pernyataan ini didukung oleh Rea dan Irving (2010) yang berpendapat

bahwa kunci utama keberhasilan sebuah film adalah hubungan kerja sama yang

baik antara sutradara dan DoP (hlm. 159). Seorang DoP dapat memanfaatkan

elemen visual sebagai media penyampaian cerita melalui beberapa peralatan visual,

misalnya pemilihan lensa, penempatan kamera, komposisi aktor, dan lain-lain.

Film Baba (Hetarie, 2018) mengangkat sebuah cerita yang terjadi dalam

keluarga Tionghoa Benteng. Dalam keluarga Tionghoa, otoritas terletak pada sosok

ayah yang memiliki kuasa atas istri dan anak (Liong, 2017, hlm. 12). Dalam film

74

Baba ini, Papa berusaha mendidik anak-anaknya dengan cara-cara yang kurang

membuat anak-anaknya merasa aman dan nyaman, misalnya melalui pengusiran.

Tindakan ini merupakan cara Papa untuk mendidik anak-anaknya sebagai penerus

marga. Seperti yang dikatakan oleh Henslin (2007), sistem patrilineal adalah sistem

garis keturunan yang hanya ditarik dari garis ayah (hlm. 117). Hal ini juga didukung

oleh pepatah Tionghoa yang berbunyi “Zi bu jiao, fu zhi guo”, artinya seorang ayah

dinyatakan bersalah apabila ia tidak mendidik anaknya dengan benar (Xu, 2016,

hlm. 4). Interaksi Papa sebagai karakter super ordinasi dengan anak-anaknya

sebagai karakter subordinasi, merupakan bentuk-bentuk sosiasi atau interaksi

timbal balik dalam masyarakat yang dijelaskan oleh Simmel. Papa membutuhkan

dan memikirkan kebutuhan anak-anaknya untuk menekankan kekuasaannya

sebagai kepala keluarga yang memberikan nafkah bagi keluarganya (Johnson,

1986, hlm. 262).

Dalam upaya menunjukkan relasi antara Papa sebagai karakter super ordinasi

dengan Anton dan Denny sebagai karakter subordinasi, penulis sebagai DoP

merancang komposisi kedalaman ruang melalui sumbu z. Perancangan ini berupa

penempatan karakter pada zona foreground, middle-ground, dan background.

Penulis merasa tertarik untuk menyampaikan cerita melalui sumbu z karena frame

sebenarnya hanya merupakan ruang dua dimensi yang terdiri dari sumbu x dan y.

Padahal, terdapat sumbu ketiga yaitu sumbu z yang menciptakan kesan kedalaman

ruang yang memungkinkan untuk digunakan sebagai medium untuk bercerita

(Mercado, 2011, hlm. 3). Penulis berupaya untuk mewujudkan statement sutradara

yang kurang menyetujui tindakan Papa dalam mendidik anak-anaknya dengan

75

kekerasan yang berujung pengusiran. Untuk itu, penulis meletakkan karakter Papa

sebagai karakter super ordinasi pada zona yang jauh dari penonton dan kurang

berdaya yaitu background. Sedangkan karakter Denny, diletakkan pada zona

foreground untuk meraih simpati penonton.

Melalui komposisi kedalaman ruang ini, diharapkan penonton dapat

merasakan dan memahami mise-en-scene terutama dari elemen komposisi dan

statement yang ingin disampaikan. Berdasarkan analisa teori-teori serta

pengaplikasian yang dilakukan dalam tahap produksi, penulis menyimpulkan

bahwa teknik penyampaian elemen cerita melalui kedalaman ruang (sumbu z) dapat

dilakukan dan cukup berhasil. Meskipun, penonton mungkin tidak dapat

memahami maksud yang ingin disampaikan pembuat film secara keseluruhan. Hal

ini dapat disebabkan oleh penulis kurang mendapatkan referensi skripsi

sebelumnya yang terkait pada penyampaian cerita melalui komposisi kedalaman

ruang, serta penulis tidak melakukan riset sendiri mengenai hal ini. Berdasarkan

pengalaman ini, penulis ingin mengajukan beberapa saran kepada pembaca.

5.2. Saran

Dalam tahap pra-produksi hingga produksi, penulis menemukan bahwa sebaiknya

persiapan dilakukan lebih matang agar apa yang ingin disampaikan sutradara dapat

diolah oleh DoP melalui elemen visual. Persiapan tersebut dapat berupa diskusi

dengan sutradara yang lebih mendalam dengan durasi yang lebih panjang.

Kemudian hasil diskusi tersebut di uji coba dalam tahap recce, dan kembali

dilakukan analisa terhadap hasil uji coba tersebut. Penulis ingin melakukan survei

singkat menggunakan video hasil uji coba tersebut kepada sejumlah orang,

76

sehingga dapat diketahui tingkat efektivitas penyampaian elemen cerita melalui

komposisi kedalaman ruang.

Penulis juga berharap pembaca dapat mengerti penyampaian relasi karakter

super ordinasi dan subordinasi melalui teknik kedalaman ruang yang juga

dikombinasikan dengan teknik pencahayaan melalui film ini. Kombinasi dengan

teknik pencahayaan ini, misalnya dapat dilakukan dengan pemberian intensitas

cahaya maupun warna cahaya yang berbeda pada setiap karakter. Penulis berharap,

dengan adanya penambahan teknik pemisahan bidang gambar (foreground, middle-

ground, background) melalui elemen pencahayaan dapat menambah kesan relasi

kekuasaan karakter super ordinasi dan subordinasi. Selain itu, penulis berharap

pembaca juga dapat melakukan studi mengenai efektivitas penggunaan teknik

kedalaman ruang sebagai elemen penyampaian cerita kepada penonton. Hal ini

bertujuan agar dikemudian hari dapat diketahui tingkat keberhasilan penyampaian

cerita melalui teknik kedalaman ruang.

xvii

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, W. (Sutradara). (2014). The Grand Budapest Hotel [Motion picture].

USA: FoxSearchlight.

BelVita Breakfast Indonesia TVC [Video file]. (2016, April 8). Diambil dari

https://www.youtube.com/watch?v=F85scYxH8_s

Block, B. (2008). The Visual Story Creating: Creating The Visual Structure Of

Film, Tv And Digital Media (2nd ed.). Oxford, UK: Focal Press.

Box, H. C. (2010). Set Lighting Technician’s Handbook (4th ed.). Oxford, UK:

Focal Press.

Brown, B. (2012). Cinematography Theory and Practice (2nd ed.). Oxford, UK:

Focal Press.

Cuarón, A. (Sutradara). (2006). Children of Men [Motion picture]. USA:

Universal Pictures.

Creswell, J. W. (2007). Qualitative inquiry & research design: choosing among

five approaches (2nd ed.). London, UK: Sage Publications.

Edgar-Hunt, R., Marland, J., Rawle, S. (2010). Basic Filmmaking: The Language

of Film. Switzerland: AVA Publishing SA.

Hackford, T. (Sutradara). (1995). Dolores Claiborne [Motion picture]. USA:

Castle Rock Entertainment.

xviii

Hallström, L. (Sutradara). (2017). A Dog's Purpose [Motion picture]. USA:

Amblin Entertainment.

Henslin, J. M. (2007). Sosiologi dengan Pendekatan Membumi (K. Sunarto,

Trans.). Jakarta, IND: Penerbit Erlangga. (Karya asli terbit pada tahun

2006).

Hsiao-Hsien, H. (Sutradara). (1996). Goodbye, South, Goodbye [Motion picture].

Taiwan: 3H Films.

Jenkins, B. (Sutradara). (2016). Moonlight [Motion picture]. USA: A24.

Johnson, D. P. (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern (R. M. Z. Lawang,

Trans.). Jakarta, IND: PT. Gramedia. (Karya asli terbit pada tahun 1981).

Kubrick, S. (Sutradara). (1968). 2001: A Space Odyssey [Motion picture]. UK:

Metro-Goldwyn-Mayer.

Liong, M. (2017). Chinese Fatherhood, Gender and Family. London, UK:

Macmillan Publishers Ltd.

Mascelli, J. V. (1965). The Five C’s of Cinematography. USA: Silman-James

Press.

Mendes, S. (Sutradara). (1999). American Beauty [Motion picture]. USA:

DreamWorks.

Mercado, G. (2011). The Filmmaker’s Eye. Oxford, UK: Focal Press.

xix

Nelmes, J. (Ed.). (2012). Introduction to Film Studies (5th ed.). Abigdon, UK:

Routledge.

Nikon NIKKOR 50mm f/1.2 Lens. (n.d.). Diakses pada 17 Desember 2017, dari

https://www.bhphotovideo.com/c/product/36976-

USA/Nikon_1435_NIKKOR_Normal_50mm_f_1_2.html

Rabiger, M. (2008). Directing Film Techniques and Aesthetics (4th ed.). Oxford,

UK: Focal Press.

Rabiger, M., & Hurbis-Cherrier, M. (2013). Directing Film Techniques and

Aesthetics (5th ed.). Burlington, MA: Focal Press.

Rea, P. W., & Irving, D. K. (2010). Producing and Directing the Short Film and

Video (4th ed.). Oxford, UK: Focal Press.

Sarwono, B. K. (2013). Saatnya Media Pro Perempuan: Perspektif Gender

Dalam Kajian Media. Depok, IND: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP

Universitas Indonesia.

Thompson, R., & Bowen, C. J. (2009). Grammar of The Shot (2nd ed.). Oxford,

UK: Focal Press.

Van Sijll, J. (2005). Cinematic Storytelling: the 100 most powerful film

conventions every filmmaker must know. Studio City, CA: Michael Wiese

Productions.

Welles, O. (Sutradara). (1941). Citizen Kane [Motion picture]. USA: RKO Radio

Pictures.

xx

Wheeler, P. (2006). Practical Cinematography (2nd ed.). Burlington, MA: Focal

Press.

Xu, Q. (2016). Fatherhood, Adolescence and Gender in Chinese Families.

London, UK: Macmillan Publishers Lt

xxi

LAMPIRAN A: KARTU BIMBINGAN

xxii

xxiii

xxiv

LAMPIRAN B : FLOORPLAN

xxv

xxvi

xxvii