rt.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Transfusi darah adalah proses menyalurkan darah atau produk berbasis darah
dari satu orang ke sistem peredaran orang lainnya. Transfusi darah berhubungan
dengan kondisi medis seperti kehilangan darah dalam jumlah besar
disebabkan trauma, operasi, syok dan tidak berfungsinya organ pembentuk sel darah
merah. Transfusi darah pada hakekatnya adalah suatu proses pemindahan darah dari
seorang donor ke resipien. Untuk memastikan bahwa transfusi darah tidak akan
menimbulkan reaksi pada resipien maka sebelum pemberian transfusi darah dari
donor kepada resipien, perlu dilakukan pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus
serta uji silang serasi antara darah donor dan darah resipien. Walaupun golongan
darah donor dan pasien sama, ternyata dapat terjadi ketidakcocokan(inkompatibilitas)
pada uji silang serasi.Sehingga perlu dilakukan analisis penyebab ketidakcocokan
pada uji silang serasi antara darah donor dan pasien.
Sekitar 400 antigen golongan darah telah di laporkan. Makna klinis golongan
darah dalam transfusi darah adalah bahwa individu yang tidak mempunyai suatu
antigen golongan darah tertentu mungkin menghasilkan antibodi yang bereaksi
dengan antigen tersebut, yang kemungkinan menyebabkan reaksi transfusi. Antigen-
antigen golongan darah yang berbeda tersebut memiliki makna klinis yang sangat
bervariasi, dan yang terpenting adalah golongan darah ABO dan rhesus (Rh).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Pengertian Reaksi Tranfusi
Reaksi transfusi adalah suatu pengrusakan secara imunologik sel-sel darah merah
yang inkompatibel yang diperoleh melalui transfusi darah. Reaksi yang terjadi dapat
berupa reaksi pirogen, reaksi alergi, reaksi hemolitik, atau transmisi penyakit-penyakit
infeksi.
2.2 Anatomi dan Fisiologi Sel Darah
a) PENGERTIAN
Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali
tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang
dibutuhkan oleh jaringan tubuh, mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme,
dan juga sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri. Istilah medis yang
berkaitan dengan darah diawali dengan kata hemo- atau hemato- yang berasal dari
bahasa Yunani haima yang berarti darah. Darah memiliki warna merah yang berasal
dari kandungan oksigen dan karbon dioksida di dalamnya. Adanya oksigen dalam
darah diambil dengan jalan bernafas, dan zat ini sangat berguna pada peristiwa
pembakaran/metabolisme di dalam tubuh.
b) KARAKTERISTIK DARAH
Darah adalah sejenis jaringan ikat yang sel-selnya (elemen pembentuknya)
tertahan dan berada dalam matriks cairan (plasma). Darah lebih berat dan lebih kental
dari pada air yaitu memiliki berat jenis 1,041-1,067 dengan temperatur 380C dan PH
7,37-7,45. Warna darah bervariasi dari merah terang sampai merah tua kebiruan,
tergantung pada kadar oksigen yang di bawa sel darah merah. Darah pada tubuh
manusia mengandung 55% plasma darah (cairan darah) dan 45% sel-sel darah (darah
padat). Jumlah darah pada tubuh orang dewasa sebanyak kira-kira 1/13 dari berat
badan atau sekitar 4-5 liter. Jumlah darah tersebut pada setiap orang berbeda-beda.
Tergantung kepada umur, ukuran tubuh, dan berbanding terbalik dengan jumlah
jaringan adiposa pada tubuh.
c) KOMPONEN DARAH
Plasma 55 % dari volume darah
Sel darah 45 % dari volume darah
PLASMA DARAH
— Air (90-92 %) : sebagai pelarut, absorbsi dan pelepasan panas
— Protein ( 3%) :
Albumin : dihasilkan di hati berfungsi mempertahankan tekanan
osmotik agar normal (25 mmHg)
Globulin : berfungsi untuk respon imun. Berisi serum darah
(Cairan yang tidak mengandung unsur fibrinogen). Protein dalam
serum inilah yang bertindak sebagai Antibodi terhadap adanya
benda asing (Antigen). Zat antibodi adalah senyawa Gama Þ
Globulin. Tiap antibodi bersifat spesifik terhadap antigen dan
reaksinya bermacam-macam.
- Antibodi yang dapat menggumpalkan antigen Þ Presipitin.
- Antibodi yang dapat menguraikan antigen Þ Lisin.
- Antibodi yang dapat menawarkan racun Þ Antitoksin.
Fibrinogen ; berfungsi untuk pembekuan darah.
Mineral 0,9% (natrium klorida, natrium bikarbonat, garam
fosfat, magnesium, kalsium dan zat besi)
Bahan Organik 0,1% (glukosa, lemak, asam urat, kreatinin,
kolesterol, gliserin dan asam amino)
Zat hasil produksi sel, meliputi :
o hormon
o enzim
o antibodi
Zat hasil sisa metabolisme, meliputi :
o urea
o asam ureat
Gas-gas pelepasan, meliputi :
o O2
o CO2
o N2
SEL DARAH
Gambar : Sel Darah Manusia
Eritrosit
Merupakan
bagian utama dari
sel darah. Berupa
cakram kecil
bikonkaf, cekung
pada kedua sisinya, sehingga dilihat dari samping nampak seperti dua
buah bulan sabit yang saling bertolak belakang. Berdiameter 8
mikron, dan mempunyai ukuran ketebalan sebagai berikut: pada
bagian yang paling tebal, tebalnya 2 mikron, sedangkan pada bagian
tengah tebalnya 1 mikron atau kurang. Volume rata-rata sel darah
merah adalah sebesar 83 mikron kubik. Dalam setiap millimeter
kubik darah terdapat 5.000.000 sel darah. Strukturnya terdiri atas
pembungkus luar atau stroma, berisi massa hemoglobin.
Hemoglobin merupakan protein kompleks terdiri atas protein,
globin dan pigmen hem (mengandung besi). Jadi besi penting untuk
Hb. Kebutuhan besi pria dan wanita berbeda karena pria hanya
kehilangan 1 mg besi/hari sedangkan wanita kehilangan sampai 20
mg besi selama menstruasi normal. Hemoglobin dirombak kemudian
dijadikan pigmen Bilirubin (pigmen empedu).
Konsentrasi sel-sel darah merah di dalam darah pada pria
normal jumlah rata-rata sel-sel darah merah per millimeter kubik
adalah 5.200.000 dan pada wanita normal jumlahnya 4.700.000 .
Eritrosi
Leukos
Tromboasist
Jumlah sel-sel darah merah ini bervariasi pada kedua jenis kelamin,
perbedaan umur, ketinggian tempat seseorang.
Fungsi sel darah merah antara lain :
1. Sel darah merah berfungsi mengedarkan O2 ke seluruh tubuh. Sel
darah merah akan mengikat oksigen dari paru–paru untuk
diedarkan ke seluruh jaringan tubuh dan mengikat karbon
dioksida dari jaringan tubuh untuk dikeluarkan melalui paru–
paru. Pengikatan oksigen dan karbon dioksida ini dikerjakan oleh
hemoglobin yang telah bersenyawa dengan oksigen yang disebut
oksihemoglobin (Hb + oksigen 4 Hb-oksigen) jadi oksigen
diangkut dari seluruh tubuh sebagai oksihemoglobin yang
nantinya setelah tiba di jaringan akan dilepaskan: Hb-oksigen Hb
+ oksigen, dan seterusnya. Hb tadi akan bersenyawa dengan
karbon dioksida dan disebut karbon dioksida hemoglobin (Hb +
karbon dioksida Hb-karbon dioksida) yang mana karbon dioksida
tersebut akan dikeluarkan di paru-paru.
2. Berfungsi dalam penentuan golongan darah.
3. Eritrosit juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Ketika sel
darah merah mengalami proses lisis oleh patogen atau bakteri,
maka hemoglobin di dalam sel darah merah akan melepaskan
radikal bebas yang akan menghancurkan dinding dan membran
sel patogen, serta membunuhnya.
4. Eritrosit juga melepaskan senyawa S-nitrosothiol saat hemoglobin
terdeoksigenasi, yang juga berfungsi untuk melebarkan
pembuluh darah dan melancarkan arus darah supaya darah
menuju ke daerah tubuh yang kekurangan oksigen.
Leukosit
Rupanya bening dan tidak berwarna, bentuknya lebih besar dari
sel darah merah, tetapi jumlahnya lebih kecil. Jumlah sel pada orang
dewasa berkisar antara 6000 – 9000 sel/cc darah. Jumlah sel tersebut
bergantung dari bibit penyakit/benda asing yang masuk tubuh.
Peningkatan jumlah leukosit merupakan petunjuk adanya infeksi.
Lekopeni (berkurangnya jumlah leukosit sampai di bawah 6000 sel/cc
darah), Lekositosis (Bertambahnya jumlah leukosit melebihi normal
di atas 9000 sel/cc darah).
Fungsi sel darah putih antara lain :
Mengepung daerah yang terkena infeksi atau cedera
Menangkap organisme hidup dan menghancurkannya
Menyingkirkan bahan lain seperti kotoran-kotoran, serpihan
kayu, benang jahitan (catgut), dll dengan cara yang sama.
Sebagai tambahan granulosit memiliki enzim yang dapat
memecah protein, yang memungkinkan merusak jaringan tubuh,
menghancurkan dan membuangnya. Dengan ini jaringan yang
sakit atau terluka dapat dibuang dan dimungkinkan sembuh.
Sebagai hasil kerja fagositik dari sel darah putih,
peradangan dapat dihentikan sama sekali. Bila kegiatannya tidak
dapat berhasil dengan sempurna, maka dapat terbentuk nanah.
Nanah berisi “jenazah” dari kawan dan lawan. Fagosit yang
terbunuh dalam perjuangannya melawan kuman yang menyerbu
masuk disebut sel nanah.
Jenis Leukosit
Granulosit Þ Lekosit yang di dalam sitoplasmanya memiliki
butir-butir kasar (granula). Berasal dari sel induk di sumsum
tulang merah dari mieloblas menjadi mielosit sebelum
berdiferensiasi menjadi salah satunya Jenisnya adalah eosinofil,
basofil dan netrofil.
— Netrofil : (ada dua jenis sel yaitu netrofil batang dan netrofil
segmen). Disebut juga sebagai sel-sel PMN (Poly Morpho
Nuclear). Berfungsi sebagai fagosit. fungsi utamanya
melindungi terhadap benda asing yang masuk tubuh
khususnya kuman dan melenyapkan bahan limbah. Sel-sel
ini tertarik ketempat infeksi ke tempat infeksi oleh
substansi kimia yang dilepaskan oleh sel-sel cedera
— Eosinofil : mengandung granola berwama merah (warna
eosin) disebut juga asidofil. Berfungsi pada reaksi alergi
(terutama infeksi cacing). Banyak diantaranya bermigrasi
keluar pembuluh darah menuju daerah tubuh yang terpapar
misalnya jaringan ikat dibawah kulit, membran mukosa
saluran nafas dan cerna, pelapis vagina dan rahim. Fungsi
eosinofil melindungi tubuh terhadap bahan asing (parasit).
— Basofil : mengandung granula berwarna biru (warna basa).
Berfungsi pada reaksi alergi. Sel ini menggetahkan
histamin, yang menimbulkan vasodilatasi dan
meningkatkan permeabilitas dinding kapiler. Hal ini
mempermudah fagosit dan substansi protektif lain spt zat
anti, tiba dicelah jaringan bersama sel mast mengumpul
didaerah radang yang menyembuh.
Agranulosit Þ Lekosit yang sitoplasmanya tidak memiliki
granola. Jenisnya adalah limfosit dan monosit.
— Monosit : sel mononuklir besar asal sumsum tulang merah.
Beredar di dalam darah, berfungsi terutama di jaringan
sesudah berkembang menjadi makrofag. Keduanya
menghasilkan interleukin 1 yang bekerja pada hipotalamus,
menaikkan suhu badan pada infeksi dengan kuman,
merangsang pembentukan globulin oleh hati dan
meningkatkan produksi limfosit T aktif.
— Limposit : ada dua jenis limposit
Limposit-T, diaktifkan o/ timosin dalam kel timus
Limposit-B, diaktifkan dalam jaringan limpoid.
Sebagian beredar dalam darah dan lainnya menetap di
jaringan limpoid, bila limposit aktif
bertemu anti gen maka masing2
dapat berkembang menjadi sel
efektor yang menghadapi anti gen
itu dan sel memori yang menetap
dalam jaringan limpoid (apabila
serangan kedua, sudah dikenali).
Trombosit
Trombosit merupakan keping darah, asalnya dari sel
megakariosit dalam sumsum tulang merah. Jumlah normalnya berkisar
antara 200.000 – 350.000 per mm3 darah. Fungsinya yaitu memegang
peranan penting dalam pembekuan darah. Jika banyaknya kurang dari
normal, maka apabila terdapat luka dan darah tidak segera membeku
sehingga timbul pendarahan yang terus menerus. Trombosit lebih dari
300.000 disebut trombositosis. Trombosit yang kurang dari 200.000
disebut trombositopenia. Di dalam plasma darah terdapat suatu zat
yang turut membantu terjadinya peristiwa pembekuan darah, yaitu
Ca2+ dan fibrinogen. Fibrinogen mulai bekerja apabila tubuh
mendapat luka.
Di dalam trombosit terdapat banyak sekali faktor pembeku
(Hemostasis) antara lain adalah Faktor VIII (Anti Haemophilic Factor)
Þ Jika seseorang secara genetis trombositnya tidak mengandung faktor
tersebut, maka orang tersebut menderita Hemofili. Pada penyakit
demam berdarah, jumlahnya sangat menurun (dikatakan
trombositopeni) dan pasien cenderung berdarah dibawah kulit
(purpura) atau di selaput lendir.
2.3 Klasifikasi Reaksi Tranfusi
Reaksi transfusi di klasifikasikan sebagai tipe Akut (cepat) dan Delayed
(lambat), dimana masing-masing dari tipe tersebut terdiri dari reaksi akibat Respon
Imun dan Respon Non Imun (2,8).
A. Reaksi Transfusi akut :
Imunologi :
1. Reaksi Hemolitik Akut
2. Reaksi Alergi.
3. Reaksi Demam Non Hemolitik
4. Reaksi Anafilaksis
5. Kerusakan Paru akut akibat Transfusi
Non Imunologi :
1. Reaksi Hemolitik Non Imunologi
2. Kelebihan Beban Sirkulasi
3. Emboli Gas/Udara
4. Keracunan Sitrat
5. Gangguan Irama Jantung
6. Tromboflebitis
7. Gangguan Hemostatis
B. Reaksi Transfusi Delayed (Lambat) :
Imunologi :
1. Reaksi Hemolitik Lambat
2. Sensitisasi imun terhadap antige Rhesus D
3. Purpura Pasca Transfusi
Non Imun :
1. Reaksi Penularan Infeksi
2. Siderosis Transfusi
2.4 Etiologi
a) Reaksi pirogen
Disebabkan oleh sensitivitas terhadap sel darah putih, trombosit, atau protein
plasma donor. Sering dijumpai pada penderita yang pernah ditransfusi
sebelumnya atau wanita yang pernah melahirkan anak.
b) Reaksi alergi
Penyebab reaksi ini diperkirakan akibat sensitivitas terhadap protein darah
yang ditransfusikan, atau transfer pasif antibodi dari donor yang bereaksi
dengan berbagai antigen yang dipaparkan kepada resipien.
c) Reaksi hemolitik
Dapat disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah, inkompatibilitas
plasma atau serum, dan pemberian cairan nonisotonik.
d) Transmisi penyakit infeksi
Penyakit yang dapat ditularkan melalui transfusi darah meskipun telah
dilakukan penyaringan donor dan pengujian darah sebelum transfusi, antara
lain:
Hepatitis
Malaria
Sindrom Imunodefisiensi Didapat (AIDS)
2.5 Patofisiologi Reaksi Transfusi
2.6 Faktor resiko
2.7 Gejala Klinis Reaksi Transfusi
2.7.1 Reaksi Transfusi Akut
A. REAKSI IMUNOLOGI
a. Reaksi Hemolitik Akut (Acute Hemolytic Reaction)
Tanda dan Gejala
rasa panas di muka (flushing),
nyeri di tempat infuse, nyeri dada atau punggung,
gelisah,
cemas,
mual, atau diare,
dispnea.
Tanda berupa demam dan menggigil serta temuan khas pada syok dan gagal
ginjal.
Pada pasien koma atau dalam anestesi, indikasi pertama mungkin
hemoglobulinuria, atau perdarahan generalisata akibat koagulasi intravaskuler
diseminata.
b. Reaksi Alergi
Tanda dan Gejala
Urtikaria disertai gatal, biasanya timbul segera mulainya transfusi.
Dapat disertai demam, sakit kepala dan muntah.
Edema pada muka, bibir, dan kelopak mata.
Edema laring jarang, namun bila timbul merupakan komplikasi yang berat.
Dapat timbul gejala – gejala asma bronchial.
Jarang terjadi reaksi anafilakik dengan gejala shok, tetapi bila ada, maka
tanda awalnya adalah takikardi, impotensi dan sesak nafas.
c. Reaksi Demam Non Hemolitik / Aloimunisasi
Tanda dan Gejala
- Demam timbul secara tiba – tiba. Biasanya ½ - 3 jam mulainya transfusi. Suhu
badan sekitar 38° C – 40° C.
- Biasanya disertai menggigil, penderita gelisah, sakit kepala dan disertai mual
dan muntah.
- Jarang menimbulkan bahaya pada penderita, kecuali bila penderita dengan
keadaan umum buruk.
d. Reaksi Anafilaksis
Tanda dan Gejala
- Batuk – batuk dengan kesulitan bernafas, disertai bronkospasme.
- Mual, muntah terkadang disertai dengan diare dan dengan abdominal cramps
- Penurunan kesadaran, hipotensi, bradikardi, dan shok.
- Tampak beberapa saat setelah diberikannya transfusi.
e. Kerusakan Paru akut akibat Transfusi (Transfusion-Related Acute Lung Injury =
TRALI)
Umumnya berupa ”respiratory distress” berat yang tiba-tiba, disebabkan oleh
sindrom edema pulmonal non kardiogenik. Menggigil, panas, nyeri dada, hipotensi
dan sianosis, sebagaimana umumnya edema paru.
B. Reaksi Non Imunologi
a. Reaksi Hemolitik Non Imun
Tanda dan Gejala
Cepat dan beratnya gejala bervariasi, ada yang baru 40 – 50 ml sudah timbul
gejala, ada yang setelah 1-2 jam transfusi dihentikan. Pada yang cepat, gejalanya
biasanya berat. Pada reaksi yang berat memberikan gejala yang klasik yakni :
Penderita gelisah, takut, rasa sesak, mual, munah, sakit pada region
lumbal, kaki dan prekordial.
Menggigil, demam, takikardi dan shok.
Dapat disusul oliguria dan anuria akibat kegagalan ginjal mendadak.
Dapat timbul gangguan hemostatis berupa perdarahan yang abnormal dari
vena punksi atau luka operasi.
Pada penderita yang sedang dalam pembiusan tanda dan gejala sering tidak
tampak. Harus dicurigai adanya reaksi hemolitik bila nadi meningkat
dengan cepat, tekanan darah yang tiba-tiba menurun serta perdarahan yang
sukar diatasi.
Gejala - gejala setelah melewati fase akut yaitu danya ikterus dan uremia
akibat kegagalan ginjal mendadak.
Terjadinya kegagalan ginjal mendadak dan gangguan hemostatis
disebabkan oleh proses koagulasi intravaskuler (DIC)
b. Kelebihan beban sirkulasi
Tanda dan Gejala
Seperti gejala dekompensasi kordis mendadak, timbul selama transfusi
atau segera setelah transfusi dihentikan.
Penderita sesak, ortopnoe, sianosis, batuk – batuk dengan dahak kemerah –
merahan.
Tekanan vena sentralis meningkat.
Pada auskultasi terdengar rhonki basah halus dan krepitasi.
c. Emboli Udara
Tanda dan Gejala
Sesak nafas, sianosis dan gelisah
Takikardi dan tekanan darah menurun
Syncope terjadi oleh karena adanya tanda-tanda tersebut dan terjadi begitu
cepat sehingga penderita dapat mendadak iskemia serebral.
Pingsan dan dapat disusul dengan kematian.
d. Keracunan Sitrat
Tanda dan Gejala
Tremor
Perubahan EKG : ST segmen memanjang
2.7.2 REAKSI TRANSFUSI DELAYED (LAMBAT)
A. REAKSI IMUNOLOGI
a. Reaksi Hemolitik Lambat
Tanda dan Gejala
Gejala yang timbul dapat berupa Sakit kepala (berdenyut), sakit pinggang,
panas, muka kemerahan, kelesuan yang hebat, sakit dada, respirasi menjadi cepat dan
pendek, urtikaria, anemia, kadang – kadang hipotensi dan takikardi, dapat pula
mengakibatkan gagal ginjal akut.
b. Sensitisasi imun terhadap antigen Rhesus D
Tanda dan Gejala
Klinis yang tampak berupa malaise, ikterus serta demam dijumpai pada 1:500
pasien yang ditransfusi, biasanya ringan dan timbul 5-10 hari setelah transfusi. Syok
dan penyulit ginjal jarang terjadi. Sekitar 1 dari 150 pasien asimptomatik akan
membentuk antibody baru setelah 1 minggu transfusi, dan menunjukkan peningkatan
amnestik antibody yang sebelumnya tidak terdeteksi oleh rangsangan transfusi.
Walaupun jarang, pasien dapat menghancurkan semua sel yang ditransfusikan tanpa
memperlihatkan adanya sel antibody.
B. REAKSI NON IMUNOLOGI
a. Reaksi penularan Penyakit
Tanda dan Gejala
Pada darah yang mengalami kontaminasi berat akan menyebabkan sepsi akut
dan syok endotoksin dengan didahului demam, menggigil, berkeringat, mual, muntah,
takikardi disusul penurunan tekanan darah. Kadang – kadang sulit dibedakan dengan
reaksi hemolitik. Kematian dapat terjadi sesudah transfusi. Untuk membedakannya
secara sederhana :
Ambil darah penderita, diamkan sejenak dan dilihat bila plasmanya berwarna
merah merah oleh adanya hemoglobinemia, berarti adanya hemolisis
Buat preparat hapus dari sisa darah botol transfusi dan diwarnai menurut gram, bila
terlihat kuman berarti darah yang mengalami kontaminasi kuman.
2.8 Diagnosis Reaksi Transfusi
2.9 Komplikasi Reaksi Transfusi
2.10 Penatalaksanaan dan Pencegahan Reaksi Transfusi
2.10.1 Reaksi Transfusi akut
A. REAKSI IMUNOLOGI
a. Reaksi Hemolitik Akut (Acute Hemolytic Reaction)
Penatalaksanaan hemolisis akibat reaksi transfusi
Segera menghentikan transfusi, lakukan terapi simptomatik dengan anti piretik
oral/supp dan/atau anti histamine iv, setelah 15-30 menit berikan hidrokortison
dan epinefrin iv kemudian infuse manitol 10 % yang diteruskan dengan
pemberian bikarbonat natrikus serta diuretika (1). Buatlah laporan kepada Bank
Darah untuk pemeriksaan akan sebab-sebab reaksi.
Pencegahan Hemolisis akibat Reaksi transfusi
Dilakukan pemeriksaan teliti identitas donor dan resipien
b. Reaksi Alergi
Penatalaksanaan
Bila gejala alergi ringan berupa urtikaria, transfusi diperlambat dan diberikan
antihistamin iv.
Bila timbul gejala – gejala berat, transfusi dihentikan dan diberikan adrenalin,
antihistamin dan kortikosteroid.
Pencegahan
Pada penderita dengan riwayat alergi sesudah transfusi atau penyuntikan, reaksi
ini dapat dicegah dengan pemberian eritrosit yang telah dicuci.
Dapat diberikan antihistmin dan korikosteroid sebelum transfusi darah.
Dapat dilakukan skin test sebelumnya dengan plasma donor. Hasil negative
belum tentu bebas reaksi karena dapat pula terjadi “false negative”. Namun hasil
positif dapat dipastikan akan terjadi reaksi bila transfusi dilakukan.
c. Reaksi Demam Non Hemolitik / Aloimunisasi
Penatalaksanaan
Selimuti penderita agar tidak kedinginan
Anti piretika dan anti histamin dan/atau kortikosteroid.
Sedativa bila penderita gelisah.
Transfusi diperlambat, Bila tidak ada perbaikan transfusi dihentikan atau diganti
Pencegahan
Pada penderita – penderita anemia yang hanya membutuhkan erirosit, eritrosit
saja yang diberikan sedang plasma dan yang banyak mengandung leukosit dan
trombosit tidak diberikan.
Pada penderita – penderita yang telah terbukti adanya antibody terhadap leukosit
dan trombosit, sebaiknya diberikan washed red cells (eritrosit cuci).
d. Reaksi Anafilaksis
Penatalaksanaan
Hentikan transfusi
Prinsipnya ABC, yaitu dengan bebaskan jalan nafas dan berikan bantuan nafas
serta sirkulasi agar tetap stabil.
Berikan epinepherin (0,4 ml dari 1:1000 solution) sc/im
Berikan cairan koloid jika memungkinkan
Jangan berikan kembali transfusi, lakukan pemantauan tanda – tanda vital secara
intensif sampai stabil.
Pencegahan
Pada penderita yang memiliki antibody terhadap molekul IgA, sebaiknya
ditangani dengan komponen darah defisiensi IgA dari saudara atau daftar donor.
Dapat dilakukan skin test sebelumnya dengan plasma donor. Hasil negative
belum tentu bebas reaksi karena dapat pula terjadi false negative. Namun
hasil positif dapat dipastikan akan terjadi reaksi bila transfusi dilakukan.
e. Kerusakan Paru akut akibat Transfusi (Transfusion-Related Acute Lung Injury =
TRALI)
Penanganan dengan tindakan mengatasi edema paru dan hipoksia, termasuk
bantuan pernafasan bila diperlukan. Dosis tinggi kortikosteroid mungkin
menguntungkan, karena menghambat agregrasi granulosit.
B. REAKSI NON IMUNOLOGI
a. Reaksi Hemolitik Non Imun
Penatalaksanaan
Transfusi segera dihentikan
Diganti dengan darah yang kompatibel atau plasma ekspader untuk mengatasi
shok.
Kortikosteroid dan noradrenalin dapat diberikan
Untuk merangsang diuresis dapat diberikan manitol atau pemberian diuretika
furosemid dosis tinggi.
Bila ada gangguan hemostatis pengobatan seperti DIC.
Pada penderita yang menetap dengan anuria atau oligouria dirawat dengan
kegagalan ginjal akut.
Pencegahan :
Penyimpanan darah yang baik
Teliti dalam mengambil darah dengan memperhatikan tanggal (lama)
penyimpanan darah.
Pada setiap botol darah, awasi menit – menit pertama pemberian transfusi,
sebab gejala yang berat dapat terjadi 40-50 ml pertama.
b. Kelebihan beban sirkulasi
Penatalaksanaan
Transfusi segera dihentikan dan penderita ditegakkan.
Berikan Diuretika (furosemid iv), Digitalis iv.
Oksigenasi
Torniket keempat ekstremitas dilonggarkan secara bergantian
Phlebotomi.
Pencegahan
Pada pengobatan anemia sebaiknya hanya diberikan packed red cell saja.
Pengawasan vena sentralis.
Pada penderita yang diduga mudah terjadi komplikasi ini, transfusi sebaiknya
secara perlahan – lahan.
Pemberian diuretika sebelum/selama transfusi.
c. Emboli Udara
Penatalaksanaan
Selang segera di klem
Penderita segera dimiringkan ke kiri (jika memungkinkan) dan kepala
direndahkan sedang tungkai ditinggikan dengan demikian udara diharapkan
tertahan di ventrikel kanan, tidak ikut aliran darah ke paru.
Oksigenasi.
Pencegahan
Pantau dan pastikan selang transfusi bebas dari udara.
Perhatikan jika kantong darah sudah akan habis, untuk mencegah masuknya
udara.
d. Keracunan Sitrat
Penatalaksanaan
Pemberian glukonas kalsikus 10 % 4 – 8 cc setiap pemberian transfusi 1
unit kolf darah.
e. Gangguan Irama Jantung
Penatalaksanaan
Berikan obat Anti Aritmia
Apabila terjadi cardiac arrest lakukan resusitasi jantung – paru
Bila penyebab adalah intoksikasi sitrat lakukan terapi seperti pada intoksikasi
sitrat
Pencegahan :
Hiperkalemi. Usahakan gunakan darah yang belum terlalu lama disimpan.
Keracunan sitrat dapat dihindari dengan pemberian 10 ml 10 % larutan kalsium
glukosa setiap liter darah pada transfusi yang masif.
Memanaskan darah sampai suhu tubuh, tetapi hati-hati terjadinya over heating
karena dapat terjadi hemolisis.
f. Thrombo Flebritis
Penatalaksanaan
Anti inflamasi, phenylbutazon 3 x 100 mg/hari, memberikan hasil yang baik.
Antibiotika terutama bila ditakutkan terjadinya infeksi
Pencegahan
Transfusi setiap 48 jam harus dipindahkan ke vena yang lain.
Pengawasan, bila ada tanda-tanda peradangan, harus segera dipindahkan.
g. Gangguan Hemostatis
Penatalaksanaan dan Pencegahan :
Pada transfusi yang masif sebaiknya diselingi pemberian darah segar yang
masih cukup mengandung trombosit dan faktor-faktor pembekuan.
Bila ada tanda-tanda D.I.C, lakukan terapi D.I.C
2.10.2 Reaksi Tranfusi Delayed (Lambat)
A. REAKSI IMUNOLOGI
a. Reaksi Hemolitik Lambat
Terapi (Seperti terapi pada reaksi hemolitik yang lain)
Transfusi segera dihentikan
Diganti dengan darah yang kompatibel atau plasma ekspader untuk mengatasi
shok.
Kortikosteroid dan noradrenalin dapat diberikan
Untuk merangsang diuresis dapat diberikan manitol atau pemberian diuretika
furosemid dosis tinggi.
Bila ada gangguan hemostatis pengobatan seperti DIC.
Pada penderita yang menetap dengan anuria atau oligouria dirawat dengan
kegagalan ginjal akut.
b. Sensitisasi imun terhadap antigen Rhesus D
Penatalaksanaan
Pasien yang mengalami hemolisis ekstravaskuler akibat sensitisasi imun
terhadap rhesus D harus di tangani secara konservatif. Transfusi lebih lanjut harus
ditunda sampai serologi pasien dapat ditentukan dengan jelas, kecuali bila nyawa
pasien terancam. Penanganan yang lainnya bersifat simptomatik seperti pada
penatalaksanaan reaksi hemolisis yang lain.
Pencegahan
Anti-D bertanggung jawab untuk sebagian besar problem klinis yang
bersamaan dengan system ini oleh karena itu skrinning orang – orang terhadap rhesus
D positif atau rhesus D negative memberikan maksud klinik terhadap pencegahan
kasus ini.
c. Reaksi penularan Penyakit
Transfusi dengan darah yang telah kejangkitan kuman sangat berbahaya,
apalagi telah lama disimpan dapat menyebabkan syok sampai kematian. Untungnya
kejadian ini jarang terjadi, meskipun darah diambil secara steril mungkin, umumnya
akan terjadi kontaminasi dengan kuman yang ada di kulit atau diudara, tetapi darah
segar bersifat bakterisid sehingga kuman yang terkontaminasi sebagian besar akan
mati, sedang kuman yang tidak mati, bila darah yang akan diambil dilakukan
penyimpangan dengan baik (dengan segera dimasukkan dalam refrigerator). Kuman
tersebut tidak akan berkembang biak dan tidak akan memberikan gejala klinis. Tetapi
bila penyimpanan tidak baik atau darah dibiarkan dengan temperature ruangan maka
kuman akan cepat berkembang. Yang paling banyak ditemukan ialah kuman gram (-),
yang menimbulkan gejala – gejala syok akibat endotoksin.(1,9).
Diagnosa diperkuat dengan pemeriksaan kultur darah dari sisa darah yang
diberikan dan dari darah penderita. Adapun penularan penyakit yang dilaporkan oleh
peneliti dan para ahli Hematologi adalah sebagai berikut (1) :
`1. Sebab Viral: a. Hepatitis (HAV, HBV, HDV, NANB)
b. Cito Megalo Virus
c. EBV
d. AIDS
2. Sebab Triponema (sifilis)
3. Sebab Protozoa: a. Malaria
b. Chaga’s Disease
c. Tryponemiasis
d. Kala Azar
4. Sebab Bakterial: a. Bakteremia
b. Kontaminasi :
- Coliform Sp
- Pseudomonas
- Proteus
Untuk mengurangi potensi penularan penyakit, dilakukan penapisan faktor
risiko donor berdasarkan riwayat medis dan pemeriksaan dengan serangkaian uji
laboratorium. Telah digunakan teknik sterilisasi untuk beberapa komponen plasma
dan produk fraksional, namun belum diciptakannya metode untuk melakukan
sterilisasi terhadap komponen sel. Di bawah ini kami jelaskan sedikit tentang
beberapa penyakit yang kami anggap perlu dan umum untuk dilakukan pemeriksaan.
Hepatitis
Risiko hepatitis virus (non-A, non-B,C,D) kira-kira 1:3.000 sampai1:5.000
pemajanan donor . Risiko transfusi terhadaphepatitis B kira-kira 1:171.000 tiap unit transfusi. ).
Risiko transfusiterhadap hepatitis C kira-kira 1:1.613.000 tiap unit transfuse. Insiden hepatitis
B yang berkaitan dengan transfusi saat ini sangatlah rendah, dan tersedia vaksin
hepatitis B untuk pasien rentan yang diperkirakan akan mendapatkan transfusi kronik.
Sebagian besar hepatitis yang ditularkan melalui transfusi adalah hepatitis C.
Hepatitis C biasanya hanya akan menimbulkan sedikit gejala dan tanda, tetapi bukti
serologi baru dapat dideteksi pada minggu ke 2-26 setelah transfusi. Walaupun
insidennya rendah dan frekuensinya menurun tetapi hepatitis C merupakan masalah
kesehatan yang serius, karena 50 % pasien yang terinfeksi berkembang menjadi
penyakit hati kronik. Selain itu bukti statistic mengaitkan HBV dan HCV dengan
karsinoma hepatoseluler.
Infeksi Retrovirus
Beberapa retrovirus manusia mudah ditularkan melalui transfusi darah.
Human Immunodeficiency Virus tipe 1 (HIV-1), penyebab AIDS, menginfeksi sekitar
90 % pasien yang mendapat darah tercemar. Risiko transfusi terkait HIV mendekati nol,
dengan perkiraan berkisar antara 1:300.000 sampai 1: 1.000.000 pemajanan donor. Sebelum
dilakukan uji rutin untuk donor darah, transfusi merupakan penyebab pada 2-3 %
kasus AIDS total. Perbaikan kriteria seleksi donor dan uji penapisan spesifik,
tampaknya telah secara bermakna menurunkan angka ini. Risiko infeksi saat ini
diperkirakan 1: 225.000 unit yang ditransfusikan. Virus serupa, HIV-2, dikaitkan
dengan AIDS, walupun belum pernah dilaporkan kasus yang berkaitan dengan
transfusi di Amerika Serikat, saat ini dilakukan juga pemeriksaan terhadap virus
tersebut pada donor darah.
Infeksi lain
CMV, biasanya merupakan virus herpes yang tidak berbahaya, dapat menjadi
patogen penting pada perempuan hamil, bayi premature dan pasien dengan cacat
kekebalan. Pasien ini harus mendapat komponen seronegatif atau darah yang telah
diolah untuk menghilangkan leukositnya. Jarang terjadi pada darah yang disimpan
pada suhu yang dingin, namun unit darah yang tercemar dengan Staphylococcus
aureus atau oleh organisme gram negative tertentu seperti Yersinia enterocolitica dan
spesies Citrobacter yang tumbuh baik pada 4°C dan dalam darah bersitrat dapat
menimbulkan syok dan kematian. Berbagai bakteri dan spiroketa dapat tumbuh baik
pada konsentrat trombosit yang disimpan dalam suhu kamar. Malaria dan penyakit
Chagas adalah penyakit menular terpenting yang merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan transfusi.
Penatalaksanaan
Pasien dengan darah terinfeksi mencakup penatalaksanaan syok. Terapi
antibiotika yang sesuai harus dimulai segera setelah didiagnosis disebut dan sebelum
hasil kultur diketahui.
2. Hemosiderosis Transfusi
Hemosiderosis akibat transfusi merupakan tertimbunnya zat besi dalam
jaringan – jaringan yang dapat terjadi pada transfusi yang berulang – ulang pada
penderita anemia yang bukan kekurangan besi. Anak yang menderita talesemia minor
merupakan satu-satunya kelompok yang terkena, tetapi cukup banyak anak yang
menderita anemia kongenital dan orang dewasa dengan anemia refrakter yang diterapi
secara intensif juga beresiko.
Setiap milliliter sel darah merah mengendapkan 1,08 mg besi di jaringan
sewaktu sel darah merah menua atau mati. Deposit besi mulai mempengaruhi fungsi
endokrin, hati dan jantung bila beban tubuh total naik mencapai lebih dari 20 gram,
ekivalen dengan sekitar 100 unit sel darah merah. Penyulit jantung letal terjadi pada
beban 60 gram atau sekitar 300 unit. Terapi kelasi besi harus dipertimbangkan untuk
semua pasien yang diperkirakan memerlukan pemberian sel darah intensif.
BAB III
KESIMPULAN
1. Transfusi Darah adalah proses pemindahan darah dari seseorang yang sehat
(donor) ke orang sakit (respien). Darah yang dipindahkan dapat berupa darah
lengkap dan komponen darah
2. Pemberian transfusi darah dan komponen – komponen darah lainnya dari donor
kepada resipien, dapat memberikan reaksi dari yang paling ringan sampai yang
paling berat bahkan sekali-kali dapat menyebabkan kematian.
3. Reaksi transfusi di klasifikasikan sebagai tipe Akut (cepat) dan Delayed (lambat),
dimana masing-masing dari tipe tersebut terdiri dari reaksi akibat Respon Imun
dan Respon Non Imun
4. Penyulit yang mungkin timbul pada transfusi darah dapat berakibat fatal. Dengan
pemantauan yang ketat selama dan setelah transfusi, penyulit yang timbul dapat
segera diketahui, dan dengan penatalaksanaan yang cepat dan tepat dapat dicegah
terjadinya hal-hal yang tidak diingini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pengertian Transfusi Darah. posted by Unit Transfusi Darah Daerah. Available
at: http://utdd-pmijateng.blogspot.com/2007/08/pengertian-transfusi -darah.html
2. Bambang Hariadi, Reaksi Transfusi Darah, Laboratorium FK UNDIP, RS Dr
Kariadi Semarang.
3. Blood Transfusion Reaction-Blood Book, available at:
http://www.bloodbook.com/reaction.html
4. Pretransfusion Testing. Medline plus Medical Encyclopedia Transfusion
Reaction.htm, Update Date: 3/13/2007 Updated by: Mark Levin, M.D.,
Hematologist and Oncologist. Available at: http://www.nlm.nih.gov/
medlineplus /ency/article/001303.htm
5. Harrison, Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam, Vol 4, EGC, 2000, hal 1990-
1994.
6. Golongan darah, Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa
Indonesia. Available at: http://id.wikipedia.org/wiki/Golongan_darah
7. Transfusion Reaction Review Date: 3/13/2007 Reviewed By: Mark Levin, M.D.,
Hematologist and Oncologist, Newark, NJ. Review provided by VeriMed
Healthcare Network.. Available at :http://adam.about.com/
encyclopedia/infectiousdiseases/Transfu-sion-reaction.htm
8. A.V. Hoofbrand, J.E. Petit, Kapita Selekta Haematologi (Essential Haematology),
EGC, 1996
9. Lawrance, D.Petz. Clinical Practice of Transfusion Medicine, second Ed. 1989.
page 713-733.
10. Sudoyo, Aru.W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Pusat Penerbitan, Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, edisi IV,
2006.hal 691-695
11. Said A Latief, Petunjuk Praktis Anestesiologi, FKUI, 2001, hal 141-145.
12. Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, FKUI, 1999.
13. Transfusion Reactions, Article Last Updated: Jan 18, 2007, Eric Kardon, MD,
FACEP. Available at: http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC603.HTM
14. Health Technology Assesment. Reaksi Transfusi. Available at:
http://www.yanmedik-depkes.net/hta/Hasil%20Kajian%20HTA/2003/ Transfusi
%20Komponen%20Darah%20Indikasi%20dan%20Skrining.doc