rpi 15 pengelolaan sumber daya lahan dan air pendukung

270
SINTESIS HASIL LITBANG 2010-2014 RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi email : [email protected] web : www.puskonser.or.id

Upload: duongduong

Post on 31-Dec-2016

260 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

SINTESIS HASIL LITBANG 2010-2014

RPI 15

Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air

Pendukung Pengelolaan DAS

Kementerian Kehutanan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi email : [email protected]

web : www.puskonser.or.id

Page 2: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 3: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

RINGKASAN EKSEKUTIF

SINTESIS RPI 15

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR

PENDUKUNG PENGELOLAAN

DAERAH ALIRAN SUNGAI

KOORDINATOR:

PROF. RIS. DR. IR. PRATIWI, M.Sc.

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN

BOGOR 2014

Page 4: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 5: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

i

RINGKASAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan

mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang

batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah

perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7 Tahun 2004). Dengan demikian karakteristik pantai selain dipengaruhi oleh sifat laut juga dipengaruhi sifat yang

berasal dari wilayah hulu, baik sedimen maupun bahan terlarut dan terangkut lainnya.

Faktor utama yang menghubungkan bagian hulu (pegunungan dan perbukitan) dengan hilir (wilayah pantai) dalam suatu DAS adalah siklus/daur hidrologi. Oleh karena itu, perubahan

penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk

fluktuasi debit air, kualitas air dan transpor sedimen serta bahan-bahan terlarut di

dalamnya. Pengelolaan lahan dan air adalah vital dalam sistem pengelolaan DAS. Adanya peningkatan jumlah penduduk maka akan meningkatkan kebutuhan akan sandang, pangan

dan papan serta energi. Akibatnya akan terjadi peningkatan pengurangan areal hutan untuk

keperluan lain. Peningkatan intensitas perubahan alih fungsi hutan ini akan berpengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis DAS seperti menurunnya resapan air ke dalam tanah,

meningkatnya debit puncak, fluktuasi debit antar musim, meningkatnya aliran permukaan,

banjir dan kekeringan. Pengelolaan lahan dan air merupakan suatu kegiatan yang menjaga fungsi daya dukung lahan dan air bagi kehidupan flora ,fauna dan manusia. Pengelolaan

lahan dan air dilakukan antara lain dengan senantiasa menjaga penggunaan lahan dan air

yang disesuaikan atau tidak melebihi daya dukungnya agar sistem lahan dan air tidak rusak

dan jasa sistem tersebut optimal dan terus menerus (sustainable) bagi kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, untuk memperbaiki lahan-lahan yang terdegradasi terutama di

daerah hulu, dapat dilakukan dengan merehabilitasi lahan-lahan tersebut, agar kualitas

lingkungan di daerah hilir dapat menjadi lebih baik. Untuk itu diperlukan pengelolaan sumberdaya lahan dan air di dalam DAS dari hulu sampai ke hilir yang dilakukan secara

terpadu oleh semua pihak dengan mempertimbangkan aspek biofisik, sosial dan ekonomi.

Kata kunci: pengelolaan sumberdaya lahan dan air, pengelolaan DAS, rehabilitasi,

konservasi tanah dan air

Page 6: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 7: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

KATA PENGANTAR

Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No. SK. 23/VIII-SET/2009 tentang

Penanggungjawab Program Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Tahun 2010-2014,

Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) mengemban tanggung jawab pelaksanaan 7

(tujuh) Rencana Penelitian Integratif (RPI) dari 25 RPI Badan Litbang Kehutanan, yakni 3 RPI sebagai komponen dari Program Litbang Hutan Alam, 2 RPI komponen dari Program Litbang

Biodiversitas dan 2 RPI komponen dari Program Litbang Pengelolaan DAS. Setiap RPI dielaborasi

ke dalam beberapa kegiatan penelitian untuk menjawab tujuan (ultimate objectives), sasaran (specific objectives) dan luaran (outputs) RPI yang telah ditetapkan sebagai satu kesatuan yang

utuh. Seluruh kegiatan penelitian pada setiap RPI sudah selayaknya dapat disintesis luarannya

untuk menghasilkan informasi ilmiah, teknologi dan input kebijakan yang utuh.

Salah satu RPI Puskonser yang telah ditetapkan dalam Renstra Puskonser Tahun 2010-2014 (Revisi) adalah Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS. Sampai

akhir 2014, RPI tersebut telah menyelesaikan 92 kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan

menyediakan informasi dan teknologi tepat guna, untuk menunjang kelestarian pengelolaan sumberdaya lahan dan air, khususnya yang terkait dengan rehabilitasi lahan terdegradasi sehingga

dapat berfungsi kembali sebagai habitat flora, fauna dan secara keseluruhan sebagai penyangga

kehidupan dengan sasaran meliputi teknik pengelolaan sumberdaya lahan dan air wilayah daratan,

gambut dan pantai. Kegiatan penelitian telah dilaksanakan oleh Puskonser, BBPD Samarinda, BPK Aek Nauli, BPTKPDAS Solo, BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK

Makassar dan BPK Manokwari. Output dari kegiatan penelitian tersebut perlu disintesis untuk

melihat capaian kinerja RPI yang sesuai dengan tujuan dan sasaran RPI sampai akhir tahun 2014. Dalam buku sintesis disajikan hasil-hasil penelitian penting di bidang pengelolaan sumber daya

lahan dan air pendukung pengelolaan DAS berdasarkan out put yang sudah direncanakan dalam

RPI. Hal ini perlu dilakukan mengingat kegiatan penelitian RPI ini spektrumnya sangat luas dan variatif.

Sebagaimana ditetapkan dalam Renstra Kementerian Kehutanan 2010-2014, RPI ini lebih

difokuskan untuk menghasilkan teknik reklamasi lahan bekas tambang, maka sintesis ini lebih

banyak menyajikan informasi ilmiah dan teknik reklamasi lahan bekas tambang emas, teknik reklamasi lahan bekas tambang batubara dan timah. Dengan demikian pada akhir 2014 telah

terpenuhi Indikator Kinerja Kegiatan berupa tersedianya teknik reklamasi lahan bekas tambang.

Sintesis akhir RPI Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS tahun 2014 yang berkualitas dan dapat mendorong terwujudnya pengelolaan sumber daya lahan

dan air pendukung pengelolaan DAS yang berkelanjutan, khususnya reklamasi lahan bekas

tambang. Dari sintesis ini, kita dapat melihat berbagai output dalam bentuk penggunaan peta

perwilayahan sebaran jenis untuk kepentingan rehabilitasi hutan dan lahan, modeling optimalisasi lahan di DAS bagian hulu dan demplot-demplot penanaman jenis lokal dan cepat tumbuh pada

areal tambang timah, emas dan lahan kritis lainnya sekitar DAS. Koordinator RPI beserta tim

penelitinya juga memperkaya sintesis antara ini dengan pool of knowledge yang ada. Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih kepada Koordinator RPI Pengelolaan Sumber

Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS beserta tim penelitinya yang telah menunaikan

tugasnya dengan baik menyusun sintesis ini. Semoga sintesis ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukan dan menjadi baseline penyusunan rencana pengelolaan dalam bidang pengelolaan

sumber daya lahan dan air pendukung pengelolaan DAS secara berkelanjutan.

Kepala Pusat,

Ir. Adi Susmianto, M.Sc.

NIP. 19571221 198203 1 002

Page 8: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 9: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

iii

DAFTAR ISI

RINGKASAN ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

DAFTAR TABEL ................................................................................................. v

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii

I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2. Tujuan ........................................................................................................... 3

II. PERMASALAHAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN

AIR ....................................................................................................................... 4

III. UPAYA PENELITIAN DALAM MENJAWAB PERMASALAHAN .................. 5

3.1. Upaya Penelitian yang Telah Dilakukan ......................................................... 5

3.2. Capaian Hasil Penelitian ................................................................................. 5

IV. PENGEMBANGAN HASIL PENELITIAN DALAM MENDUKUNG

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR ...................................... 7

4.1. Relevansi hasil penelitian dengan kebijakan yang telah dibuat ........................ 7

4.2. Pemanfaatan hasil penelitian untuk pengguna ................................................. 8

4.3. Pengembangan hasil penelitian ke aplikasi lapangan skala luas ................................. 8

V. PENUTUP ............................................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 13

LAMPIRAN ..................................................................................................................... 14

Page 10: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 11: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

v

DAFTAR TABEL

Tabel Hal.

1. Demplot Penelitian dalam RPI 15 .......................................................................... 6

Page 12: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 13: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Hal.

1. Daftar Sintesa/Buku .............................................................................................. 14

Page 14: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 15: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu

kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,

menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut

secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut

sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7

Tahun 2004). Dengan demikian karakteristik pantai selain dipengaruhi oleh sifat laut

juga dipengaruhi sifat yang berasal dari wilayah hulu, baik sedimen maupun bahan

terlarut dan terangkut lainnya (Wardoyo, 2007). Suatu DAS terdiri atas dua bagian

utama yaitu daerah tadahan (catchment area) yang membentuk daerah hulu dan

daerah kepala sungai, dan daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah

tadahan. Daerah penyaluran air dapat dibagi dua yaitu daerah tengah dan daerah hilir

(Notohadiprawiro, 1981). Dari definisi DAS tersebut maka wilayah DAS meliputi

wilayah pegunungan sampai dengan pantai. Faktor utama yang menghubungkan

bagian hulu (pegunungan dan perbukitan) dengan hilir (wilayah pantai) dalam suatu

DAS adalah siklus/daur hidrologi (Wardoyo, 2007). Oleh karena, itu perubahan

penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam

bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transpor sedimen serta bahan-bahan

terlarut di dalamnya.

Daerah Aliran Sungai dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa

stok dengan ragam kepemilikan (private, common, state property) dan berfungsi

sebagai penghasil barang dan jasa,baik bagi individu dan atau kelompok masyarakat

maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak,

individu dan atau kelompok masyarakat (Kartodihardjo et al., 2004). Dengan

demikian, DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem, dimana dalam suatu DAS

terdapat berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lainnya. Oleh karena itu

perlu adanya pengelolaan yang holistik dan terpadu terhadap suatu DAS.

Komponen sumber daya alam yang terdapat dalam DAS antara lain hutan, lahan

dan air serta jasa-jasa lingkungan. Pengelolaan lahan dan air adalah vital dalam

sistem pengelolaan DAS. Oleh karena itu, lahan dan air merupakan komponen pokok

yang menunjang kehidupan yang berada di dalam sistem DAS tersebut. Kehidupan

dalam sistem DAS yang terdiri dari flora, fauna dan manusia sangat tergantung pada

jasa tanah dan air dalam sistem penunjang kehidupan. Oleh karena itu tanah,air dan

kehidupan tidak pernah dapat dipisah-pisahkan. Kehidupan dapat membentuk

komunitas flora dan fauna (hutan, tanah, lahan pertanian, dan sebagainya) dan

masyarakat manusia (desa, kota) dengan berbagai perangkatnya yang berada di

dalam sistem DAS. Komunitas flora dan fauna serta masyarakat manusia senantiasa

bergantung kehidupannya pada tanah dan air dalam sistem lahan. Oleh karena itu,

pengelolaan DAS tidak pernah dapat dipisahkan dengan pengelolaan lahan dan air.

Page 16: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 2

Karena DAS meliputi wilayah dari pegunungan sampai dengan pantai, maka DAS

meliputi wilayah daratan, pantai dan pegunungan.

Agar sistem DAS dapat berfungsi secara lestari maka pengelolaan DAS harus

ditunjang sepenuhnya oleh pengelolaan lahan dan air yang senantiasa

mempertimbangkan daya dukungnya.

Adanya peningkatan jumlah penduduk maka akan meningkatkan kebutuhan

akan sandang, pangan, papan dan energi. Akibatnya akan terjadi peningkatan

pengurangan areal hutan untuk pemenuhan kebutuhan di luar sektor kehutanan.

Peningkatan intensitas perubahan alih fungsi hutan ini akan berpengaruh negatif

terhadap kondisi hidrologis DAS seperti menurunnya resapan air ke dalam tanah,

meningkatnya debit puncak, fluktuasi debit antar musim, meningkatnya aliran

permukaan, banjir dan kekeringan.

Pembukaan tajuk hutan tropika basah seperti di Indonesia menyebabkan erosi

tanah yang akhirnya dapat menurunkan kualitas tanah baik sifat fisik maupun

kimianya. Akibat erosi ini adalah meluasnya lahan terdegradasi. Total lahan

terdegradasi di Indonesia tercatat seluas 100,5 juta ha yang terdiri dari 59 juta ha (di

dalam kawasan hutan) dan 41,5 juta ha (di luar kawasan hutan) (Departemen

Kehutanan, 2008). Lahan terdegradasi ini tersebar di berbagai tipe dan fungsi hutan.

Semakin luas lahan terdegradasi, semakin menyebabkan siklus air terganggu.

Penyebab meluasnya lahan terdegradasi, antara lain adalah: penebangan liar,

penyerobotan lahan hutan, kebakaran hutan, penambangan liar dan kebakaran hutan.

Akibatnya adalah hutan menjadi terdeforestasi. Laju deforestasi di Indonesia dari

tahun 1982-1990 diperkirakan sebesar 1,6-2 juta ha/th (Anonymous, 2000).

Kemudian periode tahun 1997-2000 menjadi 3,8 juta ha (Departemen Kehutanan,

2003). Sedangkan data terakhir menunjukkan bahwa dari tahun 2000-2005, laju

deforestasi untuk tujuh pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku,

Papua, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara tercatat rata-rata 1,09 juta ha/th (Departemen

Kehutanan, 2008).

Salah satu upaya untuk menghadapi degradasi hutan dan lahan terutama di

daerah hulu adalah dengan merehabilitasi lahan-lahan tersebut, agar kualitas

lingkungan di daerah hilir dapat menjadi lebih baik. Untuk itu diperlukan

pengelolaan sumberdaya lahan dan air di dalam DAS dari hulu sampai ke hilir yang

dilakukan secara terpadu oleh semua pihak dengan mempertimbangkan aspek

biofisik, sosial dan ekonomi.

Pentingnya posisi pengelolaan sumberdaya lahan dan air sebagai unit

perencanaan yang utuh memiliki tujuan untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan

sumberdaya hutan, tanah dan air dalam sistem DAS. Dalam upaya menciptakan

pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu

yang didukung oleh pengelolaan sumberdaya lahan dan air dari hulu sampai hilir.

Page 17: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 3

Pengelolaan lahan dan air merupakan suatu kegiatan yang menjaga fungsi daya

dukung lahan dan air bagi kehidupan flora,fauna dan manusia. Pengelolaan lahan dan

air dilakukan antara lain dengan senantiasa menjaga penggunaan lahan dan air yang

disesuaikan atau tidak melebihi daya dukungnya agar sistem lahan dan air tidak rusak

dan jasa sistem tersebut optimal dan terus menerus (sustainable) bagi kesejahteraan

masyarakat. Pengelolaan lahan dan air bertujuan untuk mengatur pemanfaatan

sumber daya lahan secara optimal, mendapatkan hasil maksimal dan

mempertahankan kelestarian sumberdaya lahan dan air itu sendiri.

Sebenarnya pengelolaan lahan dan air melalui kegiatan rehabilitasi telah banyak

dilakukan, namun keberhasilannya masih rendah. Di sisi lain, kemampuan

pemerintah untuk merehabilitasi hutan/lahan terdegradasi hanya berkisar 1-2 juta ha

per tahun, itu pun kalau semuanya dinilai berhasil untuk dapat menutupi lahan yang

terbuka (Rustam, 2003 dalam Darwo, 2007).

Rendahnya tingkat keberhasilan pengelolaan lahan antara lain adalah kurangnya

informasi mengenai teknologi untuk merehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi.

Disamping itu, sebagian besar masyarakat setempat yang dilibatkan dalam kegiatan

tersebut hanya sebagai kerja upahan dan tidak diajak berperan aktif dalam analisis

masalah dan pengambilan keputusan. Agar rehabilitasi hutan dan lahan dapat

berhasil dengan baik, juga diperlukan upaya yang seksama dalam menerapkan teknik

konservasi tanah dan air, serta pemilihan jenis pohon yang sesuai/dapat beradaptasi

dengan lingkungan yang kurang menguntungkan serta perbaikan kondisi fisik dan

kimia tanah sebelum revegetasi. Jika hal ini dapat dilakukan, maka diharapkan

pengelolaan sumberdaya lahan dan air dapat menunjang pengelolaan DAS sehingga

DAS dapat berfungsi secara lestari.

1.2. Tujuan

Sehubungan dengan latarbelakang tersebut di atas, maka Rencana Penelitian

Integratif mengenai ”Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Pendukung

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai” bertujuan untuk menyediakan informasi dan

teknologi tepat guna, untuk menunjang kelestarian pengelolaan sumberdaya lahan

dan air, khususnya yang terkait dengan rehabilitasi lahan terdegradasi ,agar

sumberdaya lahan dan air yang terdegradasi dapat berfungsi kembali sebagai habitat

flora,fauna dan secara keseluruhan sebagai penyangga kehidupan, termasuk di

dalamnya dapat meningkatkan perekonomian rakyat dengan meningkatkan

partisipasi masyarakat dari mulai perencanaan, kegiatan pelaksanaan dan

pengelolaan pasca rehabilitasi lahan.

Page 18: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 4

II. PERMASALAHAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA

LAHAN DAN AIR

Masalah yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan air adalah

rendahnya produktivitas lahan kawasan hutan dan adanya kemiskinan karena

kelebihan tenaga kerja di subsistem sosial. Atas dasar tersebut maka perlu

peningkatan produktivitas kawasan hutan, baik ditinjau dari aspek hasil hutan kayu

maupun non kayu, maupun untuk menjaga kelestarian dan perlindungan sumberdaya

alam serta lingkungan hidup.

Di lain pihak kemampuan daya dukung lahan relatif rendah, sehingga jika

pemanfaatan lahan melebihi kapasitas produksinya,maka yang terjadi adalah lahan-

lahan terdegradasi. Lahan terdegradasi banyak dijumpai baik pada wilayah darat,

gambut maupun pantai. Pada wilayah darat, lahan terdegradasi ini sebagian besar

akibat adanya kegiatan-kegiatan: penambangan yang tidak mengikuti aturan yang

ada, penebangan hutan secara illegal, perambahan kawasan hutan, bencana alam, dan

sebagainya. Sedangkan pada wilayah gambut degradasi lahan umumnya karena

adanya penebangan jenis-jenis kayu komersial yang melebihi kapasitas produksinya,

kebakaran hutan, kemampuan/daya dukung yang rendah dan spesifik terhadap

tumbuhan, dan sebagainya. Di wilayah pantai, degradasi lahan selain karena adanya

pemanfaatan wilayah pantai untuk bangunan dan tambak ikan/udang, juga

disebabkan karena adanya penebangan jenis-jenis kayu komersial. Meningkatnya

lahan terdegradasi ini menyebabkan fungsi hutan baik sebagai penghasil kayu/bukan

kayu dan pengatur siklus hidroorologi menjadi menurun. Untuk itu perlu dicari

upaya-upaya memperbaiki lahan yang terdegradasi.

Salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi lahan-lahan terdegradasi adalah

dengan merehabilitasi lahan tersebut, melalui berbagai pendekatan. Salah satu

caranya adalah mengkombinasikan teknik-teknik rehabilitasi lahan dan pengelolaan

tanah dan air yang sesuai dengan kondisi lahan dan merangsang partisipasi aktif

(peran serta) masyarakat di sekitar kawasan hutan. Agar masyarakat yakin bahwa

kegiatan tersebut memberi manfaat terhadap mereka,maka kegiatannya dapat

dilakukan dengan partisipasi aktif masyarakat sejak perencanaan sampai pelaksanaan

dan monitoringnya. Demonstrasi plot (demplot) perlu dibuat sebagai sarana untuk

mempermudah meyakinkan masyarakat.

Page 19: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 5

III. UPAYA PENELITIAN DALAM MENJAWAB

PERMASALAHAN

3.1. Upaya Penelitian yang Telah Dilakukan

Untuk menjawab permasalahan degradasi sumberdaya lahan dan air untuk

mendukung pengelolaan DAS diperlukan beberapa upaya antara lain melalui

penelitian yang dapat menjawab permasalahan tersebut.

Dalam rangka mendapatkan informasi “Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air

untuk Mendukung Pengelolaan DAS”, maka penelitian dikelompokkan kedalam 3

(tiga) kelompok yaitu:

- Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Daratan;

- Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut; dan

- Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai.

Beberapa penelitian yang terkait dengan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan

Air Wilayah Daratan meliputi:

Kesesuaian Jenis Pohon untuk Rehabilitasi Lahan pada Unit DAS;

Teknologi Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang (emas, batubara, timah);

Model Rehabilitasi Lahan Partisipatif (termasuk penerapan mikrohidro dan

agroforestry);

Teknik Mitigasi Tanah Longsor; dan

Tataguna Lahan untuk Optimalisasi Tataair

Sedangkan untuk Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut

penelitian yang mendukung adalah Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air

Wilayah Gambut, khususnya yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan gambut

untuk pertanian.

Penelitian yang terkait dengan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah

Pantai antara lain penelitian tentang pengelolaan lahan pantai baik itu pantai berpasir

maupun pantai berlumpur, khususnya mengenai pengelolaan wilayah pantai yang

dikaitkan dengan kerusakan lingkungan sekitar pantai serta upaya rehabilitasi pantai-

pantai yang terdegradasi dengan menerapkan beberapa teknologi.

3.2. Capaian Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang diperoleh kemudian disusun dalam bentuk sintesis untuk

memudahkan para pengguna dan juga untuk mencari gaps antara kebijakan-

kebijakan pemerintah terkait dengan pengelolaan sumberdaya lahan dan air dengan

kegiatan-kegiatan penelitian yang telah dilakukan yang menunjang kebijakan-

kebijakan tersebut. Karena Daerah Aliran Sungai meliputi wilayah pantai sampai

dengan pegunungan, maka hasil penelitian dikelompokkan dalam tiga (3) kelompok,

yaitu:

Page 20: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 6

a. Wilayah Daratan, yang meliputi:

- Pengelolaan lahan bekas tambang (emas, timah, batubara)

- Sebaran Spasial Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon untuk

Mendukung Keberhasilan Rehabilatasi Hutan dan Lahan dalam Unit DAS di

Jawa

- Pola Penggunaan Lahan dalam Mendukung Kelestarian Tataair

- Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan air

(mikrohidro, agroforestry)

- Pengelolaan lahan daerah rawan longsor

b. Wilayah Gambut

- Pengelolaan lahan gambut untuk usaha pertanian

c. Wilayah Pantai

- Pengelolaan lahan pantai berpasir

Dalam pembuatan sintesis hasil terdapat beberapa kegiatan yang belum bisa

dibuat sintesisnya karena penelitian masih belum memberikan hasil yang utuh,

sehingga hasil-hasil penelitian ini disajikan dalam kumpulan judul-judul penunjang.

Masing-masing capaian tersebut disajikan dalam Lampiran (Buku I,II,III,IV,V,VI,

dan VII).

Selain hasil sintesa tersebut di atas, penelitian-penelitian yang ada dalam lingkup

Rencana Penelitian Integratif ini juga menghasilkan demplot di beberapa daerah,

seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Demplot Penelitian dalam RPI 15

No. Demplot kegiatan Luas Lokasi

1. Teknik Reklamasi Lahan Bekas

Tambang Timah

2 ha Koba, Bangka

Tengah

2. Teknik Reklamasi Lahan Bekas

Tambang Emas

2 ha Pongkor, Jawa Barat

3. Teknik Reklamasi Lahan Bekas

Tambang Batubara

4 ha Kalimantan Timur

4. Teknik Rehabilitasi Lahan dengan

Jenis Lokal

2 ha Gunung Muria , Jawa

Tengah

5. Teknik Rehabilitasi Lahan dengan

Pola Tanam Agroforestry

2 ha NTT

6. Model Perancangan RLKT Partisipatif 2 ha Sulawesi Selatan

7. Teknik Rehabilitasi Lahan

Terdegradasi di Gunung Botak

2 ha Papua

8.

Pola Pemanfaatan Lahan dengan

Sistem Agroforestry di Pertanaman

Kelapa

2 ha Manado

Page 21: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 7

IV. PENGEMBANGAN HASIL PENELITIAN DALAM

MENDUKUNG PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN

AIR

4.1. Relevansi hasil penelitian dengan kebijakan yang telah dibuat

Hasil-hasil penelitian sangat mendukung kebijakan yang telah dibuat seperti:

Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Daratan, antara lain:

A. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan no. 146/1999 tentang Pedoman

reklamasi bekas tambang dalam kawasan hutan.

B. Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman

penilaian keberhasilan reklamasi hutan. .

C. Peraturan Pemerintah RI no: 78/2010 tentang Reklamasi pasca tambang

D. Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.39/Menhut-II/2010 tentang Pola umum,

kriteria, dan standar rehabilitasi dan reklamasi hutan

E. Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya pasal 2,3 dan 18

terkait dengan pengelolaan air

F. Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai antara lain:

A. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10/Men/2002 tentang

pedoman umum perencanaan pengelolaan pesisir terpadu,

B. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:P.35/Menhut-II/2012

(PP No.35/Tahun 2010) tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan

No.32/Menhut II/ 2009 tentang tatacara penyusunan Teknik Rehabilitasi Hutan

dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS) pada ekosistem mangrove

dan sempadan pantai (seperti yang tercantum dalam Lampiran II PP

No.35/Tahun 2010)

C. UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan

Ekosistemnya; UU no.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil

D. Peraturan Pemerintah RI No 16 tahun 2004 tentang penatagunaan tanah.

Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut antara lain:

A. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

B. Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 tentang Pengendalian kerusakan

tanah untuk produksi biomassa

C. Peraturan Pemerintah RI No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian kerusakan dan

atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan

atau lahan

Page 22: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 8

D. Peraturan Menteri Pertanian No.14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman

pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit

E. Keputusan Menteri Kehutanan RI No. SK.3706/Menhut-VII/IPSDH/2014

tentang Penetapan peta indikatif penundaan izin baru pemanfaatan hutan,

penggunaan kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan dan areal

penggunaan lain (Revisi VI)

F. Peraturan Pemerintah RI No. 24 tahun 2010 tentang Penggunaan kawasan hutan

yang dirubah dengan Peraturan Pemerintah RI No. 61 tahun 2012

4.2. Pemanfaatan hasil penelitian untuk pengguna

Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan dan dibuat sintesanya sangat

bermanfaat bagi pengguna antara lain: informasi dan teknologi tepat guna, untuk

menunjang kelestarian pengelolaan sumberdaya lahan dan air, khususnya yang

terkait dengan rehabilitasi lahan terdegradasi. Diharapkan informasi dan teknologi

yang diperoleh dapat dipakai dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan air guna

mendukung pengelolaan DAS sehingga fungsi DAS menjadi lestari.

Informasi tersebut antara lain:

- teknik rehabilitasi lahan bekas tambang (emas,timah, batubara);

- informasi mengenai kesesuaian jenis pohon dalam unit DAS;

- modelling tataguna lahan yang memberikan tataair optimal;

- pengembangan model2 RLKTA di lahan-lahan terdegradasi dengan pendekatan

partisipatif;

- teknik mitigasi longsor; dan

- pengelolaan sumberdaya lahan dan air wilayah gambut dan pantai.

Hasil-hasil penelitian tersebut diharapkan dapat dipakai oleh pengguna dalam

rangka pengelolaan sumberdaya lahan dan air dalam suatu DAS khususnya di lahan-

lahan terdegradasi.

4.3. Pengembangan hasil penelitian ke aplikasi lapangan skala luas

Dengan diperolehnya beberapa informasi dan teknologi dari kegiatan-kegiatan

penelitian dalam Rencana Penelitian Integratif ini, maka diharapkan pengguna dapat

memanfaatkan hasil-hasil penelitian yang telah diperoleh.

Pemanfaatan hasil penelitian ini dapat dilakukan dengan mengembangkan

teknologi yang diperoleh tersebut dalam skala yang lebih luas.

1.Pengembangan Teknologi Reklamasi Lahan Bekas Tambang

a. Emas

Pemanfaatkan lumpur tailing dilakukan dengan memanipulasi sifat kimia

lumpur tailing yang bersifat racun dengan sistem chelate melalui penambahan

bahan organik. Caranya sangat sederhana, mudah diterapkan dan tidak memerlukan

Page 23: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 9

input biaya yang tinggi jika tersedia limbah tailing dan pupuk kandang/bahan

organik yang cukup.

Informasi mengenai pemanfaatan lumpur tailing dapat dikembangkan oleh

perusahaan sebagai filler dalam campuran media semai maupun media tanam.

Pemanfaatan lumpur tailing ini dapat mengurangi penggunaan top soil.

Pengetahuan mengenai jenis-jenis yang bertahan hidup dan mampu menyerap

unsur-unsur beracun seperti: Pb,Cu,Mn, Fe dan sebagainya sangat membantu dalam

upaya rehabilitasi daerah yang terdegradasi di sekitar penambangan emas tersebut.

Jenis-jenis tersebut antara lain manglid (Michelia montana), suren (Toona sureni)

dan sonokeling (Dalbergia latifolia) dapat dikembangkan dalam skala yang lebih

luas dengan memanfaatkan media tersebut.

b. Timah

Permasalahan di lahan bekas tambang timah antara lain adalah adanya

banyaknya hamparan tailing kuarsa dan hamparan campuran bahan overburden.

Tailing kuarsa merupakan sisa-sisa pemrosesan pemisahan bijih timah dengan bahan-

bahan lainnya dan tersisa bahan/limbah berupa kuarsa. Sedangkan bahan campuran

overburden merupakan campuran bahan-bahan/material di atas bijih timah. Ke dua

hamparan ini tingkat kesuburannya sangat rendah, karena partikel liat dan bahan

organik rendah sehingga buffer capacity terhadap unsur-unsur hara rendah. Oleh

karena itu pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden sebagai

filler/pengisi media semai dan media tanam dengan menambah bahan ameliorant

berupa top soil dan bahan organik akan sangat membantu dalam mengatasi masalah

tersebut.

Pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden oleh pengguna

akan mengurangi penggunaan top soil, baik untuk penyediaan bibit maupun dalam

upaya mereklamasi lahan bekas tambang timah di kedua hamparan tersebut.

Jenis-jenis tumbuhan yang cocok untuk kedua hamparan tersebut yaitu:

Eucalyptus urophylla, Eugenia garcinaefolia, Enterolobium cyclocarpum dapat

dikembangkan dalam skala yang lebih luas di kedua hamparan tersebut dengan

memanfaatkan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden sebagai media semai

dan media tanam.

c. Batubara

Permasalahan pada lahan bekas tambang batubara adalah kesuburan tanah

rendah dan beberapa tempat yang mengandung batuan pirit dan batuan pirit ini

terekspose maka akan terjadi oksidasi dan akan muncul fenomena air asam tambang.

Oleh karena itu hanya beberapa jenis tanaman yang mampu tumbuh dan berkembang

di daerah ini.

Hasil penelitian mengenai pemanfaatan arang kelapa sawit, kompos, dan asam

humat yang dapat dipakai sebagai bahan ameliorant baik di persemaian maupun di

Page 24: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 10

lapangan dapat dikembangkan dalam skala yang lebih luas. Demikian juga informas

mengenai jenis-jenis tanaman yang cocok di lahan bekas tambang batu bara seperti:

jenis-jenis pioner seperti: (waru gunung (Hibiscus sp.), gmelina (Gmelina arborea)

,trembesi (Samanea saman) ,johar (Cassia siamea), dan sengon (Paraserianthes

falcataria) dapat dipakai pada awal rehabilitasi dan jika telah tercipta iklim mikro

yang baik (sekitar 4 tahun) dapat dikembangkan jenis-jenis Dipterocarpa seperti:

Shorea artinervosa, S. agamii, S. balangeran, Parashorea smythiesii dan

Cotylelobium burkii. Jenis-jenis Dipterocarpa lain yang dapat dikembangkan antara

lain Drybalanops lanceolata, Shorea macrophylla dan Shorea smithiana. Jenis lokal

lainnya yang dapat dikembangkan di lahan bekas tambang batubara antara lain:

mahang (Macaranga sp.),pulai (Alstonia scholaris), laban (Vitex pinnata), nyawai

(Ficus variegate), puspa (Schima wallichii), Ficus sp., medang (Litsea sp.), dao

(Dracontomelon dao), salam (Syzygium sp.) dan terap (Artocarpus dadah).

2.Pengembangan dan pemanfaatan peta kesesuaian jenis pohon untuk rehabilitasi

hutan dan lahan dalam unit DAS

Peta mengenai kesesuaian jenis pohon untuk rehabilitasi hutan dan lahan dalam

unit DAS sangat membantu dalam pemilihan jenis-jenis pohon yang akan

dikembangkan dalam suatu wilayah. Informasi ini diharapkan dapat membantu

upaya rehabilitasi hutan dan lahan terutama di DAS yang termasuk dalam kategori

kritis.

3.Pola Pengelolaan Tataguna Lahan dalam Mendukung Optimalisasi Tataair

Informasi mengenai pola pengelolaan tata guna lahan dalam mendukung

optimalisasi tata air sangat ditentukan oleh dinamika/perubahan dinamis terkait

pertumbuhan penduduk, perubahan sosial ekonomi budaya dan perkembangan

teknologi. Informasi ini dapat dikembangkan terutama dalam pengelolaan DAS dari

hulu sampai dengan hilir dengan tetap memperhatikan faktor ekologi sebagai faktor

utama. Disamping itu informasi pemilihan jenis tegakan hutan tanaman yang tepat

untuk mendukung rehabilitasi hutan dan lahan dalam wilayah DAS yang

bersangkutan dapat dikembangkan agar tidak terjadi kekeringan.

4.Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut

Lahan gambut merupakan lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan

organik (C-org >18%) (USDA, 2010). Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah

gambut dikenal sebagai Organosol atau Histosols. Bahan organik penyusun tanah

gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena

kondisi jenuh air. Oleh karena itu lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa

belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Agus, 2012).

Lahan gambut merupakan salah satu lahan yang dianggap marginal dan sampai

dengan saat ini dijadikan tumpuan bagi perluasan lahan pertanian (Agus et al., 2012)

maupun perkebunan. Oleh karena itu lahan gambut banyak yang mengalami

Page 25: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 11

degradasi sehingga upaya pengelolaannya sangat diperlukan. Permasalahan lain yang

sering muncul adalah adanya kebakaran hutan dan juga hilangnya fungsi gambut

sebagai penyimpan air saat musim kemarau.

Pengalaman pengelolaan oleh masyarakat berupa pengaturan drainase dengan

pembuatan saluran mikro, memperbaiki sistem drainase yang telah ada seperti

pembuatan kanal bloking diharapkan dapat meningkatkan fungsi hidrologis gambut.

Pengembangan teknologi berdasarkan pengalaman masyarakat tersebut dapat

dilakukan di lahan sekitarnya, sehingga kelestarian gambut dapat terjaga.

5.Pengembangan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai Berpasir

Lahan pantai berpasir merupakan salah satu sumber daya lahan yang potensial

untuk dikembangkan baik untuk produksi pangan maupun sebagai area untuk

agroecoturisme. Namun demikian pengembangan lahan ini perlu mendapat perhatian

khusus, karena kesuburan tanah pada lahan ini relatif rendah sehingga perlu input

teknologi untuk meningkatkan produktivitasnya. Pengembangan teknologi yang

diperoleh dapat dilakukan di daerah lain dengan melibatkan masyarakat dengan

aturan-aturan yang mendukung.

Page 26: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 12

V. PENUTUP

Daerah Aliran Sungai meliputi wilayah pantai sampai dengan pegunungan.

Dengan demikian karakteristik pantai selain dipengaruhi oleh sifat laut juga

dipengaruhi sifat yang berasal dari wilayah hulu, baik sedimen maupun bahan

terlarut dan terangkut lainnya. Faktor utama yang menghubungkan bagian hulu

(pegunungan dan perbukitan) dengan hilir (wilayah pantai) dalam suatu DAS adalah

siklus/daur hidrologi. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan di daerah hulu

akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas

air dan transpor sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya.

Penggunaan lahan yang melebihi kapasitas produksi suatu lahan dalam DAS

akan mengakibatkan munculnya lahan terdegradasi. Oleh karena itu diperlukan

upaya pengelolaan lahan yang baik agar lahan terdegradasi dapat diperbaiki.

Teknologi yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh

pengguna sehingga pengelolaan DAS dapat berjalan dengan baik.

Page 27: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 13

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2000. Combating Land Degradation in Indonesia. National Report on

the Implementation of United Nations Convention to Combat Desertification

(UNCCD). For submission at the fourth session of Conference of the Parties.

Bonn, Germany.

Darwo. 2007. Strategi Peningkatan Program Gerhan. (Studi Kasus Gerhan di Sekitar

Daerah Tangkapan Air Danau Toba).Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian:

Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan. Padang, 20 September 2006.

Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. p.249-258.

Departemen Kehutanan. 2003. Kebijakan Penyusunan Masterplan Rehabilitasi Hutan

dan Lahan. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan dan JICA.

Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen

Kehutanan. Jakarta. 204 p.

Kartodihardjo, H., K.Murtilaksono., dan U.Sudadi. 2004. Institusi Pengelolaan

Daerah Aliran Sungai (Konsep dan Pengantar Analisa Kebijakan). Fakultas

Kehutanan IPB. Bogor.

Notohadiprawiro, T. 1981. Pengelolaan DAS dan Program Penghijauan. Jurusan

Ilmu Tanah, Faperta, Universitas Gadjah Mada. 35 p.

UU No.7 Tahun 2004. Tentang Sumberddaya Air.

Wardoyo, W. 2007. Perlunya Penyamaan Persepsi dan Peningkatan Komitmen

dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Keynote Speech pada

Lokakarya Sistem Informasi Pengelolaan DAS: Inisiatif Pengembangan

Infrastuktur Data., F-MIPA – IPB dan CIFOR, 5 September 2007.

Page 28: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 14

LAMPIRAN 1. Daftar Sintesa/Buku

Sintesa/

BUKU Judul

I Reklamasi Tambang

II Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon Pada Unit DAS di Jawa

III Modelling Tataguna Lahan untuk Optimalisasi Tataair

IV Pengelolaan Lahan Gambut untuk Usaha Pertanian

V Pengelolaan Lahan Pantai Berpasir

VI Kegiatan Penunjang

- Pengelolaan Lahan Pantai Berlumpur

- Teknologi Hydroseeding

- Metode Penyediaan Bibit dengan Sistem Karpet Sabut Kelapa

- Evaluasi Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Lahan di DAS

Mahakam

- Rehabilitasi lahan dengan jenis lokal di Gunung Muria, Jawa

Tengah

- Teknik Rehabilitasi Lahan Kritis Secara Partisipatif

- Integrasi Kesesuaian Lahan dengan Tabel Volume

- Teknik Mitigasi Tanah Longsor

Page 29: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

BUKU I

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR

PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

(ASPEK: REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG)

PENYUSUN:

PROF. RIS. DR. IR. PRATIWI, M.Sc.

DR. I WAYAN SUSI DHARMAWAN, M.Si.

BUDI HADI NARENDRA, S.Hut, M.Sc.

SEPTI ASIH WIDURI, S.Si.

BURHANUDIN ADMAN, S.Hut, M.Sc.

NILAMSARI, S.Hut.

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN

BOGOR 2014

Page 30: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 31: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

SUSUNAN TIM PENELITI

Koordinator : Prof. Dr. Ir.Pratiwi, M.Sc.

Tim Pelaksana : Dr. I Wayan Susi Dharmawan, M.Si.

Budi Hadi Narendra, S.Hut, M.Sc.

Septiasih Widuri, S.Si.

Burhannudin, S.Hut, M.Si.

Nilam Sari, S.Hut.

Page 32: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 33: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

i

DAFTAR ISI

Hal.

DAFTAR ISI ........................................................................................................ i

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii

I. PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ................................................................................................ 1

1.2. Tujuan ............................................................................................................ 2

1.3. Luaran ............................................................................................................ 2

II. KEBIJAKAN REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DI

KEMENTERIAN KEHUTANAN ..........................................................................

3

2.1. Identifikasi regulasi yang ada ........................................................................... 3

2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi ................................ 4

2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan .................................................... 5

III. REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DAN PEMULIHANNYA

UNTUK KELESTARIAN LINGKUNGAN ..........................................................

7

3.1. Bekas Tambang Emas ...................................................................................... 7

3.2. Bekas Tambang Timah .................................................................................... 10

3.3. Bekas Tambang Batubara ................................................................................ 15

IV. PENUTUP ............................................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 21

Page 34: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

ii

Page 35: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal.

1. Lumpur tailing tambang emas, Pongkor – Jawa Barat ............................................ 7

2. Pemanfaatan lumpur tailing sebagai media semai dan media tanam

tanaman manglid (Michelia montana) ....................................................................

10

3. Hamparan tailing kuarsa dan hamparan campuran bahan overburden .................... 10

4. Percobaan pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden di

persemaian ............................................................................................................

12

5. Tanaman sengon buto dan ubak di hamparan tailing kuarsa (umur 5 bulan) ........... 13

6. E.urophylla umur 5 bulan dan umur 15 bulan di hamparan overburden ................. 14

7. Perlakuan mikoriza pada beberapa jenis bibit tanaman .......................................... 15

8. Tanah dan batuan disposal yang ditemukan di lahan bekas tambang

batubara ................................................................................................................

16

9. Pemanfaatan kompos dan asam humat di persemaian Pentace sp ........................... 17

10. Pemanfaatan kelapa sawit untuk media tanam di lapangan ..................................... 17

11. Tanaman waru gunung (Hibiscus sp.) sebagai tanaman pioneer di lahan

bekas tambang batubara .........................................................................................

18

12. Jenis-jenis Dipterocarpaceae yang dapat tumbuh bagus dengan

intensitas cahaya ....................................................................................................

19

Page 36: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 37: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu

kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,

menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut

secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut

sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7

Tahun 2004). Dengan demikian karakteristik pantai selain dipengaruhi oleh sifat laut

juga dipengaruhi sifat yang berasal dari wilayah hulu, baik sedimen maupun bahan

terlarut dan terangkut lainnya (Wardoyo, 2007). Suatu DAS terdiri atas dua bagian

utama yaitu daerah tadahan (catchment area) yang membentuk daerah hulu dan

daerah kepala sungai, dan daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah

tadahan. Daerah penyaluran air dapat dibagi dua yaitu daerah tengah dan daerah hilir

(Notohadiprawiro, 1981). Faktor utama yang menghubungkan bagian hulu

(pegunungan dan perbukitan) dengan hilir (wilayah pantai) dalam suatu DAS adalah

siklus/daur hidrologi (Wardoyo, 2007). Oleh karena, itu perubahan penggunaan

lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi

debit air, kualitas air dan transpor sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya.

Salah satu perubahan penggunaan lahan adalah adanya perubahan penggunaan

lahan hutan menjadi areal penambangan. Areal penambangan tersebut antara lain

adalah areal-areal yang diambil tambangnya seperti emas, timah dan batubara yang

banyak terjadi di Indonesia. Adanya perubahan penggunaan lahan hutan ini

seringkali mengakibatkan lahan menjadi terdegradasi.

Degradasi lahan adalah hilangnya atau berkurangnya kegunaan atau potensi

kegunaan lahan untuk mendukung kehidupan. Adanya degradasi lahan menyebabkan

menurunnya fungsi ekosistem lahan tersebut, dan akan berdampak baik bagi

manusia maupun makhluk hidup lainnya. Dampak tersebut antara lain: penurunan

produktivitas sehingga menyebabkan berkurangnya produksi bahan baku pangan,

sandang dan papan. Disamping itu hal yang sangat penting adalah hilangnya

keanekaragaman hayati karena rusaknya habitat dan ekosistem lainnya. Selain itu

degradasi lahan akan berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang

bergantung pada lahan sebagai sumber penghidupannya sehingga angka kemiskinan

akan meningkat (Barrow, 1991). Dengan demikian degradasi lahan merupakan

proses penurunan produktivitas lahan, baik yang sifatnya sementara maupun tetap

(Dariah et al., 2009). Di sisi lain dengan adanya lahan terdegradasi di dalam DAS

ini maka akan berpengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis DAS seperti

menurunnya resapan air ke dalam tanah, meningkatnya debit puncak, fluktuasi debit

antar musim, meningkatnya aliran permukaan, banjir dan kekeringan. Oleh karena

itu diperlukan beberapa upaya untuk mengatasi degradasi lahan, agar kualitas lahan

menjadi lebih baik.

Page 38: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 2

Salah satu upaya adalah dengan mereklamasi lahan-lahan bekas tambang

tersebut, dengan menerapkan teknologi yang ada. Menurut Peraturan Menteri

Kehutanan Republik Indonesia No. P.04/Menhut-II/2011 tentang Pedoman

Reklamasi, reklamasi hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan

kembali lahan dan vegetasi yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai

peruntukannya. Lingkup kegiatan reklamasi menurut Peraturan Menteri Energi dan

Sumber Daya Mineral No.18 tahun 2008 meliputi: penatagunaan lahan, revegetasi,

pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, dan pekerjaan sipil (Permen

ESDM No. 18 tahun 2008).

Agar reklamasi lahan bekas tambang dapat berhasil dengan baik, juga

diperlukan upaya yang seksama dalam menerapkan teknik konservasi tanah dan air,

serta pemilihan jenis pohon yang sesuai/dapat beradaptasi dengan lingkungan yang

kurang menguntungkan serta perbaikan kondisi fisik dan kimia tanah sebelum

revegetasi. Jika hal ini dapat dilakukan, maka diharapkan pengelolaan lahan bekas

tambang dapat menunjang pengelolaan DAS sehingga DAS dapat berfungsi secara

lestari.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka diperlukan informasi mengenai

teknologi reklamasi lahan bekas tambang termasuk informasi mengenai kebijakan

yang berkaitan dengan reklamasi tambang dan beberapa langkah yang diperlukan

agar lahan bekas tambang dapat berfungsi seperti semula. Oleh karena itu maka

pengelolaan lahan bekas tambang harus ditunjang sepenuhnya oleh beberapa

teknologi dan aturan-aturan yang mendukung.

1.2. Tujuan

Tujuan penulisan sintesa yang terkait dengan reklamasi lahan bekas tambang

adalah menyediakan informasi dan teknologi tepat guna yang didasarkan pada

penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menunjang

keberhasilan reklamasi lahan bekas tambang agar lahan bekas tambang yang

terdegradasi dapat berfungsi kembali sebagai habitat flora, fauna dan secara

keseluruhan sebagai penyangga kehidupan, termasuk di dalamnya dapat

meningkatkan perekonomian rakyat dengan meningkatkan partisipasi masyarakat

dari mulai perencanaan, kegiatan pelaksanaan dan pengelolaan pasca rehabilitasi

lahan bekas tambang.

Sehubungan dengan tujuan tersebut di atas, maka untuk tahun 2010-2014,

teknologi yang disusun difokuskan pada tiga jenis lahan bekas tambang yaitu: emas,

timah dan batubara.

1.3. Luaran

Luaran kegiatan ini adalah informasi dan teknologi tepat guna, untuk menunjang

reklamasi lahan bekas tambang, khususnya tambang emas,timah dan batubara serta

beberapa informasi kebijakan reklamasi lahan bekas tambang.

Page 39: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 3

II. KEBIJAKAN REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DI

KEMENTERIAN KEHUTANAN

Sehubungan dengan kebijakan reklamasi lahan bekas tambang di Kementerian

Kehutanan, beberapa regulasi telah disusun. Namun demikian implementasi di

lapangan agaknya belum sepenuhnya dilaksanakan.

2.1. Identifikasi regulasi yang ada

Kementerian Kehutanan telah mengambil kebijakan reklamasi lahan bekas

tambang melalui berbagai Keputusan Menteri Kehutanan. Keputusan tersebut antara

lain:

A. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan no. 146/1999 tentang pedoman

reklamasi bekas tambang dalam kawasan hutan. Keputusan ini berisi tentang

kewajiban perusahaan untuk membuat perencanaan reklamasi dan melaksanakan

reklamasi kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan

dan energi dalam jangka waktu tertentu dan menyampaikan laporan kemajuannya

secara berkala.

B. Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman

penilaian keberhasilan reklamasi hutan. Peraturan ini berisi tentang kriteria

keberhasilan reklamasi hutan yang meliputi aspek penataan lahan, pengendalian

erosi dan sedimentasi, serta revegetasi atau penanaman pohon. Selain itu juga

berisi tentang prosedur penilaian dan pihak-pihak yang terkait serta tata cara

pelaporan hasilnya.

C. Peraturan Pemerintah RI no: 78/2010 tentang Reklamasi pasca tambang yang

mengatur rencana reklamasi dan rencana pasca tambang baik pada tahap

eksplorasi dan tahap produksi. Diatur juga tentang jaminan reklamasi dan pasca

tambang serta sanksi administratif yang dapat dikenakan.

D. Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.39/Menhut-II/2010 tentang Pola umum,

kriteria, dan standar rehabilitasi dan reklamasi hutan yang mengatur prinsip-

prinsip dasar bagi penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan serta reklamasi

hutan, meliputi :

1. Sistem penganggaran yang berkesinambungan (multi years);

2. Kejelasan kewenangan;

3. Pemahaman sistem tenurial;

4. Andil biaya (cost sharing);

5. Penerapan sistem insentif;

6. Pemberdayaan masyarakat dan kapasitas kelembagaan;

7. Pendekatan partisipatif; dan

8. Transparansi dan akuntabilitas.

Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan serta reklamasi hutan tersebut

dilaksanakan dengan pendekatan aspek politik, sosial, ekonomi, ekosistem, dan

Page 40: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 4

kelembagaan organisasi. Dalam melaksanakan reklamasi, harus menggunakan

kriteria dan standar antara lain:

a. Karakteristik lokasi kegiatan;

b. Jenis kegiatan;

c. Penataan lahan;

d. Pengendalian erosi dan limbah;

e. Revegetasi; dan

f. Pengembangan sosial ekonomi.

E.Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.04/Menhut-II/2011 tentang Pedoman

reklamasi hutan yang berisi acuan lebih detail bagi pelaksana dalam melakukan

kegiatan reklamasi hutan pada areal bekas penggunaan kawasan hutan. Hal-hal

yang diatur dalam peraturan ini meliputi:

a. Inventarisasi lokasi;

b. Penetapan lokasi;

c. Perencanaan;

d. Pelaksanaan;

e. Kelembagaan;

f. Pemantauan dan pembinaan teknis,

g. Mekanisme pelaporan pelaksanaan reklamasi hutan; dan

h. Sanksi.

2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi

Sesuai dengan yang diamanatkan dalam peraturan perundangan, kegiatan

reklamasi yang baik harus diawali dengan penyusunan rencana reklamasi. Untuk

menunjang perencanaan reklamasi tersebut, diperlukan kegiatan penelitian guna

menentukan:

a. Teknik pengendalian erosi dan sedimentasi yang tepat (pengaturan bentuk lahan,

jenis bangunan konservasi, jenis cover crop).

Kegiatan reklamasi merupakan kegiatan pasca tambang untuk mencapai kondisi

mendekati saat sebelum ditambang atau menjadi lahan yang produktif. Kegiatan

reklamasi ini diawali dengan pekerjaan sipil teknis untuk membenahi bentang

lahan seperti perataan, pengembalian top soil, pengaturan drainase agar lahan

mudah dikelola dan menerapkan teknik konservasi tanah untuk pengendalian

erosi, longsor, dan sedimentasi. Pemilihan teknik yang digunakan tergantung pada

kondisi setempat seperti cekdam, dam penahan, pengendali jurang, saluran

pembuangan air, bangunan terjunan air, dan penanaman cover crop. Pemilihan

jenis dan jumlah bangunan yang tepat akan memberi manfaat optimal dalam

konservasi tanah.

b. Jenis tanaman dan pola tanam yang sesuai untuk revegetasi meliputi jenis

tanaman perintis, jenis tanaman cepat tumbuh, jenis tanaman lokal

Pemilihan jenis tanaman didasarkan pada kondisi biofisik lahan, persyaratan

tumbuh tanaman, fungsi dan peruntukan kawasan. Untuk tahap awal, perlu

Page 41: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 5

dilakukan analisis jenis tanaman pionir dan jenis cepat tumbuh yang sesuai,

selanjutnya dapat digunakan tanaman unggulan lokal, tanaman eksotik, atau

tanaman serbaguna atau multi purpose trees species (MPTS) tergantung fungsi

dan peruntukan kawasan.

c. Teknik pengelolaan top soil dan perbaikan media tanam (jenis bahan dan

komposisinya).

Untuk mencapai persentase hidup dan kesehatan/pertumbuhan tanaman yang baik,

perlu diperhatikan kondisi fisik, kimia, dan nutrisi untuk pertumbuhan tanaman

melalui pengelolaan top soil dan perlakuan media tanam. Mengingat bervariasinya

kondisi lahan pasca penambangan, perlu di lakukan penelitian formulasi yang

sesuai untuk setiap jenis tambang.

2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan

Sebenarnya berbagai peraturan dan kebijakan reklamasi telah disusun oleh

Kementerian Kehutanan, namun dalam pelaksanaannya masih banyak permasalahan

yang ditemukan di lapangan seperti:

a. Tambang timah:

a.1. Beberapa hasil penelitian telah menghasilkan teknologi reklamasi terutama

dalam pembenahan media tanam pada lahan bekas tambang timah. Namun

lahan bekas tambang timah yang telah berhasil direklamasi seringkali

mengalami kerusakan akibat adanya penambangan illegal/PETI yang

dilakukan oleh masyarakat pada lokasi reklamasi, karena masih adanya

potensi timah di lahan tersebut. Diperlukan strategi penanganan/peraturan

perundangan yang mencegah terjadinya hal demikian.

a.2. Adanya tailing kuarsa dan bahan campuran overburden yang di hamparkan di

lapangan masih belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal kedua bahan ini

dapat dimanfaatkan sebagai campuran media persemaian dan penanaman,

sehingga dapat mengurangi penggunaan top soil.

b. Tambang emas:

Kegiatan penelitian telah menghasilkan formulasi pemanfaatan tailing tambang

emas sebagai media tanam, namun volume tailing yang dihasilkan melebihi

pemanfaatannya sebagai media pengisi lubang tanam maupun media semai

sehingga daya tampung dam tailing seringkali tidak memadai. Diperlukan skala

pemanfaatan yang lebih besar dan jenis pemanfaatan lainnya agar dapat

mengimbangi timbunan tailing.

c. Tambang batubara

c.1.Teknologi reklamasi pada lahan bekas tambang batubara perlu terus

dikembangkan terutama dalam pencegahan dan penanganan air asam

tambang (AAT). Penanganan yang dilakukan masih dirasa kurang efektif dan

memerlukan biaya tinggi. Penelitian untuk menghasilkan teknologi

Page 42: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 6

pemanfaatan air asam tambang, diharapkan dapat mengubah limbah

pertambangan ini menjadi sesuatu yang bernilai guna dan mendatangkan

keuntungan finansial bagi perusahaan.

c.2. Pengembangan model agroforestri dalam reklamasi tambang batubara dapat

dijadikan alternatif model reklamasi yang efektif dan efisien.

Page 43: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 7

III. REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DAN

PEMULIHANNYA UNTUK KELESTARIAN LINGKUNGAN

3.1. Bekas tambang emas

Permasalahan utama dalam tambang emas adalah hasil pemisahan bijih emas

dengan bahan-bahan lainnya menghasilkan lumpur yang memiliki kandungan logam

berat cukup tinggi dan beracun seperti: Pb,Cu,Zn dan Fe. Limbah ini ditampung di

dalam dam yang cukup luas yang disebut sebagai tailing dam. Persoalan lain yang

muncul adalah adanya beberapa tanah longsor di sekitar dam yang dikhawatirkan

akan menambah sedimentasi di dalam dam tersebut. Oleh karena itu diperlukan

upaya untuk mengurangi lumpur tailing tersebut dan merehabilitasi daerah-daerah

yang longsor di sekitar dam.

Penambangan merupakan salah satu contoh kegiatan yang dapat menyebabkan

kerusakan tanah dan tumbuhan secara ekstrem. Pemadatan tanah, penurunan unsur

hara, toksisitas lahan dan kemasaman lahan merupakan fenomena umum yang terjadi

pada tanah di tambang emas. Untuk mengatasi kerusakan akibat penambangan

diperlukan strategi pengelolaan lahan dengan cara mencari teknik atau pemilihan

jenis yang tahan hidup pada daerah tersebut, mencari sumber mikroba yang mampu

mengembalikan kesuburan tanah dan bahan organik yang mampu memperkaya

kandungan unsur hara pada lahan tersebut.

A. Pemanfaatan limbah/tailing sebagai pengisi media tanam

Limbah padat dalam bentuk lumpur tailing merupakan salah satu limbah yang

muncul pada proses penambangan emas (Gambar 1). Oleh karena tingginya

kandungan beberapa logam seperti Pb, Cu, Mn, dan Fe serta jumlah massa yang

sangat besar yang diendapkan di kolam atau dam, maka lumpur tailing berpotensi

menjadi polutan jika tidak dikelola secara benar.

Gambar 1. Lumpur tailing tambang emas, Pongkor – Jawa Barat (Foto: Siregar dan

Dharmawan)

Page 44: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 8

Manipulasi sifat kimia lumpur tailing dengan menekan aktivitas ion-ion logam

pada larutan tanah sehingga daya racunnya tertekan dapat merubah bahan ini menjadi

tanah yang tidak beracun. Salah satu teknik yang dapat diandalkan dalam meredam

aktivitas ion-ion logam dalam larutan tanah adalah melalui mekanisme atau proses

kelat (chelate) dimana gugus fungsional bahan organik bereaksi dengan ion-ion

logam tersebut. Beberapa penelitian telah dilakukan di PT. Antam untuk

memformulasikan teknik manipulasi sifat kimia lumpur tailing yang bersifat racun

dengan memanfaatkan pupuk kandang dan arang untuk dijadikan media tanaman

dalam rangka memperbaiki sifat kimia dan fisik kesuburan media tanam.

Penambangan emas di PT. Antam, Pongkor menghasilkan limbah tailing dengan

kandungan Pb yang tinggi sebesar 110 ppm. Tingginya Pb tersebut karena PT.

Antam menggunakan sianida (CN) dalam memisahkan emas dan tanah tambang.

Unsur sianida tersebut dapat meningkatkan mobilitas ion logam Pb dalam media

tailing. Tingginya kandungan Pb dalam tailing juga dapat dilihat di lokasi lain yaitu

di penambangan emas Ma On Shan, Hongkong dengan kandungan Pb sebesar 151

ppm (Wong et. al., 1977) dan penambangan emas di Barraba, New South Wales,

Australia dengan kandungan Pb sebesar 100 ppm (Meyer, 1980). Menurut Balkema

(1997), tailing merupakan komposit mineral-mineral / logam-logam berat yang

berasal dari kegiatan penambangan, memiliki tekstur berpasir dan tidak bernilai

ekonomis. Namun demikian sebenarnya lumpur tailing sebagai hasil limbah

pengolahan emas dapat dijadikan sebagai filler/pengisi media tanam (Gambar 2).

Lumpur tailing tersebut harus dicampur dengan pupuk kandang atau bahan organik

lainnya untuk menekan kandungan logam berat Pb, Cu, Mn dan Fe. Komposisi

terbaik media tailing dengan bahan organik sebesar 1:1 (v/v) (Siregar dan

Dharmawan, 2010). Selanjutnya Widianto (1996) menambahkan bahwa pemanfaatan

tailing sebagai media dengan menambahkan bahan organik, dan penggunaan

cendawan endomikorhiza ke dalam media tailing dapat mengurangi kelarutan Pb.

Pupuk organik merupakan bahan organik yang dapat memperbaiki sifat fisik tanah

sehingga tanah menjadi remah, mengurangi kelarutan ion-ion logam berat dalam

tanah dan merangsang hidupnya mikroba-mikroba dalam tanah sehingga tanah

menjadi lebih subur. Dengan adanya penambahan pupuk organik yang mengandung

berbagai macam mineral, vitamin, enzim, asam-asam organik seperti asam humat

dan sumber nutrisi lainnya, dapat merangsang hidupnya mikroba tanah seperti

mikorhiza maupun mikroba lainnya, mengikat ion-ion logam berat (sebagai chelating

agent), meningkatkan agregasi tanah dan memperbaiki struktur tanah (Russo, 1994 ;

Turk, 1995).

Pemanfaatan tailing sebagai media pertumbuhan tanaman Paraserianthes

falcataria telah dilakukan juga dengan cara penambahan pupuk organik dan

penggunaan cendawan endomikorhiza kedalam media tailing. Hasil pemanfaatan ini

menunjukkan bahwa komposisi media (tailing : pupuk organik kascing, rasio 1:1,

v/v) memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan tinggi, pertumbuhan diameter

Page 45: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 9

dan berat kering total masing-masing sebesar 15.7 cm, 0.5 cm dan 9.2 gr

(Dharmawan, 2007).

Penggunaan lumpur tailing sebagai filler media tanam dapat mengurangi

tekanan terhadap penggunaan topsoil untuk rehabilitasi lahan kritis baik itu lahan

kritis bekas penambangan maupun lahan kritis akibat gangguan lainnya.

B. Uji kesesuaian jenis-jenis pohon untuk rehabilitasi lahan bekas longsoran

di sekitar tailing dam tambang emas

Di sekitar tailing dam umumnya terdapat beberapa lahan terdegradasi antara lain

akibat longsoran. Jika hal ini dibiarkan, maka tanah akan tergerus dan

mengakibatkan sedimen hasil erosi tanah tersebut masuk ke dalam tailing dam.

Dikhawatirkan jika hal ini dibiarkan maka akan menimbulkan jebolnya dam. Untuk

menghindari hal tersebut maka perlu upaya rehabilitasi. Upaya rehabilitasi dapat

dilakukan dengan memanfaatkan tailing lumpur sebagai filler /pengisi media tanam.

Komposisi media yang telah ditemukan seperti yang tersebut di atas dapat

diterapkan dalam rehabilitasi lahan terdegradasi dengan beberapa tahapan. Tahapan

rehabilitasi tambang emas sangat sederhana, mudah diterapkan dan tidak

memerlukan input biaya yang tinggi jika tersedia limbah tailing dan pupuk

kandang/bahan organik yang cukup. Tahapannya sebagai berikut (Siregar dan

Dharmawan, 2010):

1) Pembuatan lubang tanaman dalam bentuk pot dengan ukuran

50cmx50cmx50cm ;

2) Pengisian media lumpur tailing dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 :1 ;

3) Lubang tanam dibiarkan seminggu agar media dapat beradaptasi ;

4) Penanaman semai tanaman dengan tinggi 50 cm dengan jarak tanam 3mx2m ;

dan

5) Pemeliharaan tanaman seperti pembersihan gulma dan pemupukan dasar NPK

tiap 3 bulan.

Pemilihan jenis harus menggunakan spesies lokal yang telah cocok dengan

kondisi iklim dan geografis setempat. Jenis manglid (Michelia montana) memiliki

pertumbuhan yang bagus dengan menggunakan media tailing : pupuk kandang (1:1,

v/v). Selain itu, jenis tanaman tersebut merupakan jenis lokal yang adaptif dengan

kondisi setempat. Jenis tanaman lain seperti: suren (Toona sureni) dan sonokeling

(Dalbergia latifolia) juga memberikan pertumbuhan cukup bagus dan mampu

menyerap logam berat Cu dan Pb secara optimal.

Page 46: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 10

Gambar 2. Pemanfaatan lumpur tailing sebagai media semai (kiri) dan media tanam

(kanan) tanaman manglid (Michelia montana)(Foto: Siregar dan Dharmawan)

3.2. Bekas tambang timah

Sistem pertambangan di Indonesia umumnya menerapkan teknik penambangan

permukaan (surface mining), seperti yang dilakukan di pertambangan timah.

Akibatnya adalah terjadi perubahan lanskap dan permukaan tanah, hilangnya lapisan

atas tanah serta berubahnya habitat flora dan fauna. Perubahan ini menyebabkan

sistem hidrologi dan kestabilan landskap berubah. Apabila lahan bekas tambang ini

tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan permasalahan lingkungan baik

di dalam areal pertambangan (on site) maupun di luar areal penambangan (off site).

Hal ini dapat diamati pada kegiatan pertambangan timah di Bangka (Djakamihardja

dan Noviardi, 2009; Herlina, 2004; Rahmawaty, 2002; Yani, 2005). Bekas

penambangan ini meninggalkan lahan-lahan berupa hamparan tailing pasir kuarsa

dan campuran bahan-bahan overburden (Gambar 3).

Gambar 3. Hamparan tailing kuarsa (kiri) dan hamparan campuran bahan overburden

(kanan)(Foto: Pratiwi)

Tailing kuarsa merupakan hasil dari pemisahan bijih timah dengan bahan-bahan

lainnya. Permasalahan yang muncul adalah kualitas hamparan tailing kuarsa

memiliki pH rendah (4-5), kandungan mikroba dan unsur hara juga rendah sehingga

tingkat kesuburannya rendah. Rendahnya tingkat kesuburan ini karena tailing kuarsa

mengandung lebih dari 95 % pasir kuarsa, sedangkan partikel liat serta bahan

organiknya sangat rendah. Karena partikel liat dan bahan organik sangat rendah,

Hamparan tailing kuarsa Hamparan overburden

Page 47: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 11

maka kapasitas sangga (buffer capacity) tailing ini menjadi sangat rendah (Pratiwi et

al., 2012). Oleh karena itu untuk memperbaiki kesuburan tanah ini perlu dilakukan

penambahan bahan liat dan bahan organik sebagai bahan pembenah (ameliorant) dan

bahan lain sebagai bahan pupuk seperti kapur.

Disamping itu bahan campuran overburden yang dihamparkan di beberapa area

juga menunjukkan tingkat kesuburan tanahnya yang rendah. Bahan campuran

overburden ini mempunyai pH 3,5 karena overburden mengandung bahan sulfidic

(mineral pirit/calco pirit) yang mengandung besi dan sulfida dalam kondisi reduksi.

Pada saat bahan ini menjadi kering (berkurang kadar airnya), bahan sulfidic

mengalami oksidasi yang melarutkan Fe+2

dan S2-

. Ion-ion ini teroksidasi dan

terhidrolisis dan menghasilkan ion H+ dalam jumlah banyak (Pratiwi, 2012). Oleh

karena itu overburden ini mempunyai pH rendah dan diperlukan bahan ameliorant

untuk memperbaiki kesuburannya.

A. Pemanfaatan tailing kuarsa dan campuran bahan overburden sebagai media

tanam untuk perbaikan kualitas tanah bekas tambang timah

Tailing kuarsa dan bahan campuran overburden dapat dimanfaatkan untuk media

tanam dalam rangka perbaikan kualitas tanah bekas tambang timah dengan

menambahkan bahan organik, top soil, kapur, dan pupuk NPK.

Hasil penelitian Pratiwi et al., 2011 dan Pratiwi et al., 2012, menunjukkan

bahwa media tanam dengan komposisi:

1. Kombinasi 20% bahan organik + 20% top soil+ + 5% kapur + 1% NPK + 54%

tailing kuarsa, memberikan pertumbuhan yang bagus untuk tanaman Eucalyptus

urophylla, uba (Eugenia garcinaefolia), sengon buto (Enterolobium cyclocarpum)

dan trembesi (Samanea saman).

2. Kombinasi 20% bahan organik + 20% top soil + 10% kapur + 1% NPK + 49 %

bahan campuran overburden memberikan pertumbuhan yang bagus untuk

tanaman E. urophylla, uba (Eugenia garcinaefolia), dan sengon buto

(Enterolobium cyclocarpum)

Bahan organik dapat meningkatkan kesuburan baik fisik, kimia maupun biologi

tanah. Dengan penambahan bahan organik di dalam media tersebut, maka struktur

tanah menjadi lebih baik, daya simpan air meningkat, dan juga meningkatnya KTK

tanah (Soepardi, 1983; Hardjowigeno, 1992). Dengan meningkatnya KTK tanah

maka daya sangga (buffer capacity) terhadap unsur-unsur hara meningkat.

Disamping itu diversitas mikroorganisme di dalam tanah juga meningkat, sehingga

dapat membantu proses pelapukan bahan organik di dalam media tersebut. Di

samping itu pemberian top soil dalam media sangat bermanfaat, karena di dalam top

soil kandungan unsur-unsur haranya relatif masih tinggi dibandingkan dengan

lapisan tanah di bawahnya. Dengan demikian pemberian bahan organik (kompos)

dan top soil dapat meningkatkan kesuburan tanah, sehingga pertumbuhan tanaman

akan menjadi lebih bagus (Gambar 4).

Page 48: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 12

Gambar 4. Percobaan pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden di

persemaian (Foto: Pratiwi)

Pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden untuk media

persemaian, dapat mengurangi pemakaian top soil. Hasil komposisi media tersebut

dapat diterapkan di lapangan khususnya di hamparan tailing kuarsa dan hamparan

bahan campuran overburden.

B. Uji kesesuaian jenis-jenis pohon untuk reklamasi lahan bekas tambang

timah

Komposisi media tailing kuarsa maupun bahan campuran overburden seperti

tersebut di atas dapat diterapkan di lapangan, yaitu untuk media tailing kuarsa

diterapkan di hamparan tailing kuarsa dan untuk komposisi media campuran bahan

overburden diterapkan di hamparan overburden (Pratiwi et al., 2011 dan Pratiwi et

al,, 2012) .

Tahapan penerapan di hamparan tailing kuarsa adalah sebagai berikut:

1. Pembuatan lubang tanaman dalam bentuk pot dengan ukuran

50cmx50cmx50cm ;

2. Pengisian lubang tanam dengan media campuran antara top soil dan bahan

organik masing-masing dengan perbandingan 20 %, kapur 5%, NPK 1% dan

54% tailing kuarsa;

Page 49: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 13

3. Lubang tanam dibiarkan seminggu agar media dapat beradaptasi ;

4. Penanaman semai tanaman dengan tinggi 50 cm dengan jarak tanam 3mx2m ;

dan

5. Pemeliharaan tanaman seperti pembersihan gulma dan pemupukan dasar NPK

tiap 3 bulan.

6. Pada hamparan tailing kuarsa sampai tanaman berumur 18 bulan, jenis-jenis

yang menunjukkan pertumbuhan cukup bagus adalah trembesi (Samanea

saman), uba (Eugenia garcinaefolia) dan sengon buto (Enterolobium

cyclocarpum)(Gambar 5).

Tahapan penerapan di hamparan overburden adalah sebagai berikut:

1. Pembuatan lubang tanaman dalam bentuk pot dengan ukuran

50cmx50cmx50cm ;

2. Pengisian lubang tanam dengan media campuran antara top soil dan bahan

organik masing-masing dengan perbandingan 20 %, kapur 10%, NPK 1% dan

49% tailing kuarsa;

3. Lubang tanam dibiarkan seminggu agar media dapat beradaptasi ;

4. Penanaman semai tanaman dengan tinggi 50 cm dengan jarak tanam 3mx2m ;

dan

5. Pemeliharaan tanaman seperti pembersihan gulma dan pemupukan dasar NPK

tiap 3 bulan. Pada hamparan overburden sampai tanaman berumur 18 bulan,

jenis-jenis yang menunjukkan pertumbuhan cukup bagus adalah E. urophylla ,

uba (Eugenia garcinaefolia) dan sengon buto (Enterolobium cyclocarpum)

(Gambar 6).

Gambar 5. Tanaman sengon buto (kiri) dan ubak (kanan) di hamparan tailing kuarsa

(umur 5 bulan)

Page 50: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 14

Gambar 6. E.urophylla umur 5 bulan (kiri) dan umur 15 bulan (kanan) di hamparan

overburden

C. Pemanfaatan mikoriza dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman

Kendala utama yang dihadapi dalam kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang

secara umum adalah rendahnya unsur hara, toksisitas aluminium, fiksasi P yang

tinggi, pH sangat asam, dan rendahnya bahan organik (Santoso et al, 2006). Unsur

Phosphat merupakan salah satu unsur esensial disamping N yang diperlukan dalam

fotosintesis dan perkembangan akar. Salah satu alternatif untuk meningkatkan

efisiensi penyerapan unsur P tersebut adalah dengan menggunakan mikoriza dalam

penyediaan bibitnya. Mikoriza ini berperan dalam penyerapan unsur Phosphor yang

tidak dapat diserap oleh tanaman karena diikat oleh Fe dan Al, melalui bantuan

enzim alkalin fosfat yang dihasilkan oleh Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian mikoriza memberikan

pertumbuhan yang lebih bagus dibandingkan tanpa mikoriza terhadap lima jenis

tanaman di persemaian yaitu: ekaliptus (Eucalyptus urophylla), jabon

(Anthocephalus cadamba), trembesi (Samanea saman), uba (Eugenia garcinaefolia)

dan sengon (Paraserianthes falcataria). Sedangkan hasil uji kompatibiliti

menunjukkan jenis mikoriza Glomus sp. memberikan pertumbuhan relatif bagus

dibandingkan tanpa perlakuan dan maupun dengan mikoriza Gigaspora sp. pada

tanaman jabon (Anthocephalus cadamba) dan balsa (Ochroma bicolor) (Gambar 7).

Page 51: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 15

Gambar 7. Perlakuan mikoriza pada beberapa jenis bibit tanaman

3.3. Bekas tambang batubara

Teknik penambangan batubara dilakukan dengan teknik penambangan terbuka

(open pit mining) (Darmawan dan Irawan, 2009; Subandrio et al., 2009). Dengan

sistem ini maka terjadi pengupasan bagian yang ada di atas bahan tambang, dan

menghasilkan bahan-bahan bukan batubara dalam jumlah besar dan ditimbun di

tempat lain yang disebut sebagai overburden. Bahan-bahan tersebut terdiri dari

campuran tanah dan bahan induk tanah seperti batuliat (claystone), batu lanau

(siltstone), batu pasir (sandstone) atau tufa volkan, yang memiliki sifat fisik dan

kimia jelek, dan seringkali mengandung nsur-unsur beracun (Balai Penelitian Tanah,

2006) (Gambar 8). Jika hal ini berlangsung terus menerus, maka akan

mengakibatkan degradasi lingkungan.

Dengan mikoriza Tanpa mikoriza

Dengan mikoriza

Tanpa mikoriza

Page 52: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 16

(Foto: Adman, 2010) (Foto: Adman, 2010)

(Foto: Pratiwi, 2009) (Foto: Pratiwi, 2009)

Gambar 8. Tanah dan batuan disposal yang ditemukan di lahan bekas tambang

batubara

Persoalan lain yang muncul di lahan bekas tambang batubara khususnya di

daerah dengan overburden mengandung batuan pirit adalah adanya fenomena air

asam tambang (AMD-Acid Mined Drainage). Jika pirit ini teroksidasi, akan

menghasilkan Fe+3

dan SO4-2

. SO4-2

ini bersifat masam dan mengakibatkan pH

menjadi sekitar 3. Akibatnya tanah menjadi masam (pH sekitar 3), dan kelarutan

unsur-unsur logam meningkat (Al, Fe, Mn, dan sebagainya). Kondisi ini akan

beracun bagi tumbuhan.

Dengan demikian secara umum permasalahan areal bekas tambang batubara

adalah bahwa produktivitas lahan sangat rendah, karena aktivitas penambangan tidak

mengikuti susunan tanah seperti semula dan juga di beberapa tempat muncul adanya

air asam tambang. Upaya rehabilitasi dapat dilakukan sepanjang kesuburan tanah

dari lahan bekas tambang tersebut mendukung pertumbuhan tanaman. Manipulasi

sifat fisik, kimia dan biologi tanah sangat diperlukan.

Tanah bekas

tambang Batuan disposal

Hamparan overburden

Batuan disposal

Page 53: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 17

A. Peningkatan kualitas tanah bekas tambang batubara

Kualitas tanah bekas tambang batubara dapat ditingkatkan dengan

memanfaatkan kompos dan asam humat (di persemaian) dan arang kelapa sawit (di

lapangan).

Pemanfaatan kompos dan asam humat di persemaian dilakukan dengan

mencampurkan kompos dan tanah bekas tambang dengan perbandingan 1:2 dan

pemberian asam humat 100 ml per polibag (ukuran diameter 5 cm dan tinggi 10 cm)

yang menghasilkan pertumbuhan bagus terhadap tanaman Pentace sp. (Widuri,

2011) (Gambar 9).

Gambar 9.Pemanfaatan kompos dan asam humat di persemaian Pentace sp.

(Widuri, 2011)

Pemanfaatan arang aktif kelapa sawit pada lubang tanam dilakukan dengan

menambahkan arang kelapa sawit sebanyak 1 sampai 3,5 liter per lubang tanam

berukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm. Dengan dosis ini, tanaman Ficus variegata

menghasilkan pertambahan tinggi, pertambahan diameter, dan kemampuan hidup

tanaman yang lebih baik dibanding kontrol/tanpa pemberian arang hayati kelapa

sawit (Widuri, 2011) (Gambar 10).

Gambar 10. Pemanfaatan kelapa sawit untuk media tanam di lapangan (Foto: Widuri,

2011)

Kontrol

Kompos + A.Humat

Page 54: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 18

B. Pemilihan jenis tanaman untuk rehabilitasi lahan bekas tambang batubara

Dalam pemilihan jenis tanaman untuk rehabilitasi lahan bekas tambang batubara

(di PT. Kitadin), pada fase awal seyogyanya menggunakan jenis pioner seperti: waru

gunung (Hibiscus sp.), gmelina (Gmelina arborea), trembesi (Samania saman), johar

(Cassia sp.) dan sengon buto (Enterolobium cyclocarpum) (Iriansyah et al., 2008)

(Gambar 11). Setelah tanaman pelindung ini bertajuk cukup rindang, yaitu setelah

tanaman berumur sekitar 4 tahun, dimana iklim mikro telah mengalami perbaikan,

maka dapat dilakukan penanaman jenis-jenis Dipterocarpa seperti: Shorea

artinervosa, S. agamii, S. balangeran, Parashorea smythiesii dan Cotylelobium

burkii (Sari et al.,2011). Selanjutnya Sari (2014) menyatakan bahwa jenis-jenis

Dipterocarpaceae lain yang dapat tumbuh bagus di lahan bekas tambang batubara

dengan intensitas cahaya 95 % berturut-turut adalah Dryobalanops lanceolata,

Shorea macrophylla dan S.smithiana (Gambar 12).

Di PT. Jembayan Muarabara (Adman et al., 2011) jenis-jenis mahang

(Macaranga sp.), pulai (Alstonia sp.), laban (Vitex pinnata), nyawai (Ficus

variegata), puspa (Schima wallichi), Ficus sp., medang (Litsea sp.), dao/sengkuang

(Dracontomelon dao), dan salam (Syzygium sp.) yang ditanam di lahan bekas

tambang batubara dapat tumbuh dengan kemampuan hidup di atas 80%. Sedangkan

terap (Arthocarpus dadah) dapat tumbuh dengan kemampuan hidup diatas 75 %.

Jenis-jenis tersebut dapat direkomendasikan sebagai jenis lokal yang dapat

dikembangkan dalam rehabilitasi bekas tambang batubara. Selanjutnya disarankan

bahwa masalah pemadatan tanah perlu diatasi dengan penambahan bahan organik

tanah (pupuk kandang maupun mulsa) secara teratur untuk melindungi tanaman dari

kekeringan.

Gambar 11. Tanaman waru gunung (Hibiscus sp.) sebagai tanaman pioneer di lahan

bekas tambang batubara (Foto: Maming Iriansyah dan Amiril Saridan)

Page 55: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 19

A B

C D

Gambar 12. Jenis-jenis Dipterocarpaceae yang tumbuh bagus dengan intensitas

cahaya 95% (A= Shorea macrophylla; B,D=Dryobalanops lanceolata; C=Shorea

smithiana) (Sumber: Sari, 2014)

Dari hasil yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa:

1. Pengembangan tanaman waru gunung, gmelina, trembesi, johar, sengon buto,

terap, johar, nyatoh, mahang, pulai, nyawai, dao, medang, salam, Ficus sp., puspa,

dan laban sebagai tanaman pelindung sangat bermanfaat untuk mereklamasi lahan

bekas tambang batubara. Jika tanaman ini telah berkembang, maka iklim mikro

menjadi lebih baik, sehingga dapat menunjang pertumbuhan jenis-jenis lain yang

akan dikembangkan (Iriansyah et al., 2008; Adman, 2010). Jenis-jenis lain yang

bisa dikembangkan antara lain jenis-jenis Dipterocarpaceae (Sari et al., 2011).

2. Masalah pemadatan tanah perlu diatasi dengan penambahan bahan organik tanah

(pupuk kandang maupun mulsa) secara teratur untuk melindungi tanaman dari

kekeringan.

3. Perusahaan penambangan dalam melakukan praktek penambangan seharusnya

mengikuti aturan yang telah ditetapkan dalam Pedoman Reklamasi Lahan Bekas

Tambang. Penimbunan lahan bekas tambang harus mengikuti susunan tanah

semula. Operator perlu dilatih mengenal tanah lapisan atas (top soil), lapisan

bawah (sub soil) dan lapisan bahan induk. Selama ini tanah hasil pengupasan

(disposal) dicampur dengan bahan induk tanah yang berupa batuan, sehingga

terjadi pemadatan tanah.

Page 56: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 20

IV. PENUTUP

Perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lain seperti untuk

pertambangan, seringkali menyebabkan berbagai masalah seperti: perubahan

lanskap, permukaan tanah, hilangnya lapisan atas tanah serta berubahnya habitat

flora dan fauna. Perubahan ini menyebabkan sistem hidrologi dan kestabilan

landskap berubah. Apabila lahan bekas tambang ini tidak dikelola dengan baik, maka

akan menimbulkan permasalahan lingkungan baik di dalam areal pertambangan (on

site) maupun di luar areal penambangan (off site).

Upaya reklamasi lahan bekas tambang timah perlu dilakukan dengan

memanfaatkan teknologi yang telah tersedia.

Agar kegiatan reklamasi lahan bekas tambang dilakukan oleh perusahaan

tambang, maka perlu dibuat aturan yang mengatur kegiatan tersebut. Beberapa aturan

yang telah ada seringkali tidak diterapkan oleh perusahaan tambang sehingga hasil

rehabilitasi masih jauh dari yang diharapkan.

Page 57: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 21

DAFTAR PUSTAKA

Adman, B., A.W. Nugroho, Mujianto. 2010.Pemanfaatan jenis-jenis lokal untuk

rehabilitasi lahan bekas tambang batubara di Kalimantan Timur. Laporan Hasil

Penelitian. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi.

Balai Penelitian Tanah, 2006. Bisakah lahan bekas tambang batubara untuk

pengembangan pertanian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Vol.28.No.2.2006.

Barrow, C. J. 1991. Land degradation: Development and breakdown of terrestrial

environments. New York: Cambridge University Press.

Darmawan, A., dan M. A. Irawan. 2009. Reklamasi Lahan Bekas Tambang

Batubara PT Berau Coal, Kaltim. Prosiding Workshop IPTEK Penyelamatan

Hutan Melalui Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batubara. Balai Besar

Penelitian Dipterokarpa. Samarinda.

Dariah, A., A.Rachman dan U.Kurnia. 2009. Erosi dan Degradasi Lahan Kering di

Indonesia. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/buku/

lahankering/berlereng1.pdf. Diakses tanggal 5 Agustus 2012.

Djakamihardja, A.S., dan R.Noviardi. 2009. Rehabilitasi Lahan Paska Tambang

Timah di Kabupaten Bangka Barat: Alternatif Pemanfaatan Sampah Organik.

http://dspace.1pk.lipi.go.id/space/handle/123456789/450. Diakses tanggal 30

Januari 2010.

Dharmawan, I. W. S. 2007. Application of Endomycorrhizal Fungi and Organic

Matter in Tailing Media to Increase Paraserianthes falcataria Seedling

Growth. Journal of Widya Riset LIPI.

Dharmawan, I. W. S. dan Siregar, C. A. 2010. Uji coba jenis-jenis Dalbergia

latifolia, Maesopsis eminii, Podocarpus imbricatus dan Toona sureni pada

areal bekas penambangan emas. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian

dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Badan Litbang Kehutanan.

Hanafiah, K.A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Divisi Buku Perguruan Tinggi. PT.

Raja Grafindo Persada. Jakarta. 360 halaman.

Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Edisi ketiga. PT. Mediyatama Sarana Perkasa.

Jakarta. 233 halaman.

Herlina. 2004. Melongok Aktivitas Pertambangan Batu Bara Di Tabalong,

Reklamasi 100 Persen Mustahil. Banjarmasin Post: 24 Maret 2004,

Banjarmasin.

Page 58: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 22

Meyer, D.R. 1980. Nutritional problems associated with the establishment of

vegetation on tailings from an asbestos mine. Mellanby, K. (Editor).

Environmental Pollution Vol. 23 No. 1. Applied Science Publishers Ltd.

London.

Notohadiprawiro, T. 1981. Pengelolaan DAS dan Program Penghijauan. Jurusan

Ilmu Tanah, Faperta, Universitas Gadjah Mada. 35 p.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. No. 18/2008 mengenai

reklamasi tambang dan penutupan tambang.

Pratiwi, E.Santoso, dan M.Turjaman. 2011. Teknik Rehabilitas Lahan Bekas

Tambang Timah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Konservas dan

Rehabilitasi. Bogor.

Pratiwi, E.Santoso., dan M.Turjaman. 2012. Penentuan dosis bahan ameliorant

untuk perbaikan tanah dari tailing pasir kuarsa sebagai media tumbuh tanaman.

Jurnal Hutan dan Konservasi Alam, in press.

Rahmawaty, 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang berdasarkan Kaidah Ekologi,

Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Russo, R. O. 1994. Effects of a new humic-algal-vitamin biostimulant (Roots TM

)

on vegetative growth of coffee seedlings. Dissertation abstract. Yale

University, School of Forestry and Environmental Studies. New Haven,

Connecticut.

Santoso, E., M.Turjaman dan R.S.B.Irianto. 2006. Aplikas mikoriza untuk

meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Prosiding

Ekspose Hasil-hasil Penelitian, Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.

Sari, N., R.Handayani., S.Soegiharto., dan R.Felani. 2011. Teknologi Rehabilitasi

dan Restorasi Lahan Bekas Tambang Batubara. Laporan Tahunan. Pusat

Litbang Konservasi dan Rehabilitasi.

Sari, N. 2014. Teknologi Rehabilitasi dan Restorasi Lahan Bekas Tambang

Batubara. Sintesis Hasil Penelitian.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Subandrio, A., Sukarman dan R. T. Tambunan. Pelaksanaan Reklamasi di PT Adaro

Indonesia. Prosiding Workshop IPTEK Penyelamatan Hutan Melalui

Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batubara. Balai Besar Penelitian

Dipterokarpa. Samarinda.

UU No.7 Tahun 2004. Tentang Sumberdaya Air.

Page 59: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 23

Wardoyo, W. 2007. Perlunya Penyamaan Persepsi dan Peningkatan Komitmen

dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Keynote Speech pada

Lokakarya Sistem Informasi Pengelolaan DAS: Inisiatif Pengembangan

Infrastuktur Data., F-MIPA – IPB dan CIFOR, 5 September 2007.

Widianto, R. 1996. Membuat stek, cangkok dan okulasi. P. T. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Wong, M. H. and F. Y. Tam. 1977. Soil and vegetation contamination by iron-ore

tailings. Mellanby, K. (Editor). Environmental Pollution Vol. 14 No. 1.

Applied Science Publishers Ltd. London.

Yani, M. 2005. Reklamasi lahan bekas tambang dengan penanaman jarak pagar.

Seminar Nasional Pengembangan JarakPagar (Jatropha curcas Linn) Untuk

Biodiesel dan Minyak Bakar, Bogor, 22 Desember 2005. Institut Pertanian

Bogor.

Page 60: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 61: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

BUKU II

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR

PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

(ASPEK: KESESUAIAN TEMPAT TUMBUH JENIS-JENIS

POHON PADA UNIT DAS)

PENYUSUN:

PROF. RIS. DR. IR. PRATIWI, M.Sc.

BUDI HADI NARENDRA, S.Hut, M.Sc.

DR. I WAYAN SUSI DHARMAWAN, M.Si.

MANJELA EKO HARTOYO, G.S.Si

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN

REHABILITASI

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN

BOGOR 2014

Page 62: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 63: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................... i

DAFTAR TABEL ................................................................................................. iii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ v

I. PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................................... 1

1.2. Tujuan ........................................................................................................... 1

1.3. Luaran ........................................................................................................... 1

II. KEBIJAKAN PENENTUAN JENIS POHON DALAM

REHABILITASI LAHAN ..................................................................................... 2

2.1. Identifikasi regulasi yang ada .......................................................................... 2

2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi ............................... 2

2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan ................................................... 3

III. KESESUAIAN JENIS POHON PADA UNIT DAS .............................................. 4

3.1. DAS di Jawa Tengah ...................................................................................... 5

3.2. DAS di Jawa Timur ........................................................................................ 8

3.3. DAS di Jawa Barat ......................................................................................... 14

IV. PENUTUP ............................................................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 20

Page 64: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 65: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

iii

DAFTAR TABEL

Tabel Hal.

1. Kodefikasi jenis pohon untuk analisis kesesuaian tempat tumbuh .......................... 8

2. Kode kesesuaian tempat tumbuh di DAS Citanduy ................................................ 15

Page 66: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 67: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal.

1. Diagram alir analisis kesesuaian jenis tanaman ...................................................... 4

2. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Bodri ............................... 5

3. Legenda Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Bodri ................. 5

4. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Juwana ............................ 6

5. Legenda Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Juwana ............. 6

6. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Comal ............................. 7

7. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Balong ............................. 7

8. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Lesti ................................ 10

9. Kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Marmoyo ............................ 11

10. Kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Konto .................................. 12

11. Kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Widas ................................. 13

12. Peta kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Citanduy ...................... 14

Page 68: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 69: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Adanya penggunaan lahan dalam DAS yang melebihi daya dukungnya seringkali

menimbulkan berbagai masalah, seperti munculnya lahan-lahan kritis dalam DAS

tersebut. Upaya rehabilitasi lahan kritis sudah banyak dilakukan di Indonesia namun

hasilnya belum optimal, seperti pada pelaksanaan tahun 2003 yang menunjukkan

persentase keberhasilan tanaman secara nasional berdasarkan penilaian lembaga penilai

independen (LPI) sebesar 59,58% (Departemen Kehutanan, 2007). Banyak faktor yang

menyebabkan kegagalan rehabilitasi lahan kritis, salah satunya disebabkan oleh

karakteristik tanaman yang tidak sesuai dengan kondisi lahan. Oleh karena itu perlu

dilakukan pemilihan jenis pohon sebelum melakukan rehabilitasi di daerah tersebut.

Keputusan untuk menentukan suatu jenis yang akan dikembangkan tergantung pada

tiga prinsip utama, yaitu : tujuan penanaman, kemampuan jenis yang akan

dikembangkan dan persyaratan tempat tumbuhnya. Menurut Pratiwi (2003), rehabilitasi

lahan dapat diawali dengan penutupan lahan dengan tanaman yang disesuaikan dengan

kondisi lokal areal tersebut dan tujuan penanamannya. Tujuan penanaman ada berbagai

macam, seperti : 1) untuk konservasi tanah, air dan lingkungan secara umum, 2) sebagai

penghasil kayu dan non kayu atau produk lain dan 3) berkaitan dengan fungsi sosial

untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dengan demikian tahapan penting dalam

awal rehabilitasi lahan adalah pemilihan jenis tumbuhan yang akan dikembangkan,

dimana hal ini akan sangat menentukan sistem silvikultur yang akan diterapkan dan juga

penggunaan serta pengelolaan tanaman tersebut.

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini untuk memperoleh data dan informasi tentang jenis-jenis

pohon yang sesuai pada lahan-lahan kritis pada Suatu DAS yang dituangkan dalam peta

kesesuaian tempat tumbuh jenis pohon dengan pendekatan berdasarkan kondisi fisik

lahan kritis tersebut.

1.3. Luaran

Luaran penelitian ini berupa peta kesesuaian jenis pohon yang dapat dijadikan

pertimbangan dalam penentuan jenis yang akan dipilih pada kegiatan rehabilitasi lahan

kritis dalam suatu DAS

Page 70: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 2

II. KEBIJAKAN PENENTUAN JENIS POHON DALAM

REHABILITASI LAHAN

2.1. Identifikasi regulasi yang ada

Peraturan Pemerintah RI No.76 TAHUN 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi

Hutan

Dalam peraturan ini, untuk menyelenggarakan rehabilitasi dan reklamasi hutan perlu

ditetapkan pola umum, kriteria, dan standar rehabilitasi dan reklamasi hutan. Salah

satu aspek dalam kriteria dan standar rehabilitasi hutan adalah aspek teknologi

meliputi penerapan teknologi yang ditentukan oleh kesesuaian lahan atau tapak

setempat, tingkat partisipasi masyarakat, dan penyediaan input yang cukup.

Pengaturan kesesuaian jenis tanaman yang dipilih hanya bersifat umum misalnya

dalan rehabilitasi hutan pada hutan konservasi harus memilih jenis tumbuhan asli

setempat dan sesuai keadaan habitat setempat.

Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman teknis

Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Dalam peraturan ini telah disebutkan bahwa pemilihan jenis tanaman untuk

rehabilitasi harus sesuai dengan rancangan yang telah disusun dan didasarkan pada

minat masyarakat, kesesuaian agroklimat serta permintaan pasar. Namun kesesuaian

ini lebih banyak menekankan pada kesesuaian peran pohon yang dipilih seperti

memiliki daur panjang, perakaran dalam, evapotranspirasi rendah, atau sesuai

sebagai penghasil kayu/getah/ kulit/buah.

Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor P. 32/MENHUT-II/2009 tentang Tata cara

penyusunan rencana teknik rehabilitasi hutan dan lahan daerah aliran sungai

(RTkRHL-DAS)

Dalam keputusan ini, langkah-langkah yang diperlukan dalam Penyusunan

RTkRHL-DAS antara lain pengumpulan dan penyusunan data dan pemetaan

termasuk di dalamnya memetakan kesesuaian jenis tanaman (Zonasi tanaman).

2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi

Beberapa regulasi telah menyebutkan pentingnya pemilihan jenis tanaman yang

sesuai untuk kegiatan rehabilitasi. Namun demikian pedoman pemilihan kesesuaian

jenis tanaman belum tersedia sehingga melalui hasil penelitian ini dapat dikembangkan

suatu pedoman pemilihan jenis tanaman yang akan memudahkan pihak pengambil

keputusan dalam merencanakan jenis tanaman rehabilitasi sesuai kondisi lahannya.

Melalui penentuan jenis yang tepat, keberhasilan kegiatan rehabilitasi yang antara lain

ditunjukkan oleh kemampuan hidup tanaman akan meningkat.

Penelitian metode kesesuaian jenis tanaman ini masih harus terus dikembangkan

mengingat hanya sebagian kecil jenis tanaman hutan yang telah diketahui persyaratan

Page 71: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 3

tumbuhnya. Dengan mengetahui persyaratan tumbuh untuk tiap jenis tanaman hutan,

akan memudahkan dalam analisis kesesuaian dan hasilnya akan lebih akurat.

2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan

Permasalahan yang masih sering dijumpai di lapangan adalah pemilihan jenis yang

digunakan dalam kegiatan rehabilitasi meskipun telah sesuai dengan kondisi lahan,

namun belum tentu membawa keberhasilan kegiatan rehabilitasi tersebut. Hal ini antara

lain dikarenakan jenis tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau tidak

dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Faktor lain adalah

ketersediaan benih atau bibit yang berkualitas sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan. Oleh karena itu penentuan kesesuaian jenis hendaknya diikuti oleh

sosialisasi atau survey tentang kondisi masyarakat, dan didukung oleh penyediaan bibit

berkualitas.

Page 72: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 4

III. PETA KESESUAIAN JENIS POHON PADA UNIT DAS

Peta kesesuaian jenis pohon dihasilkan dari analisis spasial yang dilakukan dengan

teknik matching antara persyaratan tumbuh tiap jenis pohon dengan data karakteristik

tanah, curah hujan dan ketinggian tempat. Diagram alir metode penelitian ini dapat

dilihat pada Gambar 1.

Parameter

curah hujan

Syarat

tumbuh

tanaman

Parameter

elevasi

Parameter

tanah

Peta sistem

lahan

Survey lahanAnalisis

tanah

Karakteristik

tanah

Pengolahan

data (input dan

matching)

Kesesuaian

jenis tanaman

berdasarkan

karakteristik

tanah

Curah

hujan

tahunan

Interpolasi

Klasifikasi

Kesesuaian jenis

tanaman berdasarkan

curah hujan

Digital

elevation

model

Klasifikasi

Kesesuaian

jenis tanaman

berdasarkan

elevasi

Overlay

Peta tingkat

kekritisan

lahan

Peta batas

administrasi

kecamatan

Kesesuaian jenis tanaman

pada tiap tingkat

kekritisan lahan di tiap

kecamatan

Gambar 1. Diagram alir analisis kesesuaian jenis tanaman

Dalam kajian ini peta yang dihasilkan adalah Peta Kesesuaian Tempat Tumbuh

untuk Jenis-jenis Pohon di DAS Kritis. Penuangan informasi ke dalam peta dilakukan

berdasarkan pada persyaratan tempat tumbuh bagi suatu jenis pohon berdasarkan

topografi, jenis tanah dan tipe iklim (curah hujan).

Page 73: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 5

3.1. DAS di Jawa Tengah

Penentuan kesesuaian jenis pohon di Jawa Tengah dilakukan pada DAS-DAS

utama yang tingkat kekritisannya tinggi, yaitu DAS Bodri, Juwana, Comal, dan Balong.

Hasil analisisnya masing-masing disajikan pada peta beserta legendanya.

Gambar 2. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Bodri

Gambar 3. Legenda Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Bodri

Page 74: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 6

Gambar 4. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Juwana

Gambar 5. Legenda Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Juwana

Page 75: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 7

Gambar 6. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Comal

Gambar 7. Kesesuaian tempat tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Balong

Page 76: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 8

3.2. DAS di Jawa Timur

Berbeda dengan di Jawa Tengah, analisis kesesuaian di Jawa Timur

dilakukan pada satu DAS Besar yaitu DAS Brantas. DAS ini memiliki 15 Sub

DAS dan fokus kajian dilakukan pada sub DAS yang dikategorikan kritis dan

sangat kritis yaitu Sub DAS Lesti, Marmoyo, Konto, dan Widas. Keempat Sub

DAS ini yang merupakan daerah kritis di DAS Brantas mengalirkan airnya ke

sungai utama yaitu Sungai Brantas.

Jenis pohon yang dianalisis mencapai 60 jenis sehingga diperlukan

pengkodean tiap jenis vegetasi guna memudahkan proses querying. Kode untuk

tiap jenis vegetasi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kodefikasi jenis pohon untuk analisis kesesuaian tempat tumbuh

No Kode Nama jenis No Kode Nama jenis

1 A1 Alpukat

(Persea Americana)

31 K11 Kiacret

(Spathodea campanulata)

2 A2 Aren

(Arenga pinnata)

32 L1 Lamtoro

(Leucaena leucocephala)

3 A3 Asam

(Tamarindus indica)

33 L2 Lamtoro merah

(Acacia vilosa)

4 B1 Balsa

(Ochroma bicolor)

34 L3 Lengkeng

(Dimocarpus longan)

5 B2 Bambu

(Bambusa bambos)

35 M1 Mahoni

(Swietenia macrophylla)

6 B3 Bayur

(Pterospermum javanicum)

36 M2 Mangga

(Mangifera indica)

7 B4 Benuang laki

(Duabanga moluccana)

37 M3 Medang

(Litsea firma Hook)

8 B5 Bungur

(Lagerstroemia speciosa)

38 M4 Melur

(Podocarpus sp.)

9 B6 Benuang bini

(Octomeles sumatrana)

39 M5 Merbau

(Intsia palembanica)

10 C1 Cemara gunung

(Casuarina junghuniana)

40 M6 Mindi

(Melia azedarach)

11 C2 Cengkeh

(Eugenia aromatic)

41 N1 Nangka

(Artocarpus heterophyllus)

12 C3 Cermai

(Phyllanthus acidus)

42 N2 Nyatoh

(Palaquium sp.)

13 D1 Dadap

(Erythrina variegata)

43 N3 Nyawai

(Ficus variegata)

14 D2 Durian

(Durio zibenthinus)

44 P1 Pasang

(Lithocarpus sp.)

15 F1 Flamboyan

(Delonix regia)

45 P2 Pinus

(Pinus merkusii )

16 G1 Gamal

(Gliricidia sepium)

46 P3 Pulai

(Alstonia scholaris)

17 J1 Jabon

(Anthocephalus chinensis)

47 P4 Pasang2

(Quercus sp.)

Page 77: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 9

No Kode Nama jenis No Kode Nama jenis

18 J2 Jati

(Tectona grandis)

48 S1 Secang

(Caesalpinia sappan)

19 J3 Jati putih

(Gmelina arborea)

49 S2 Sengon

(Paraserianthes falcataria)

20 J4 Johar

(Cassia siamea)

50 S3 Sengon buto

(Enterolobium cyclocarpum)

21 K1 Kaliandra

(Callyandra calothyrsus)

51 S4 Sindur

(Sindora javanica)

22 K2 Kapuk randu

(Ceiba petandra)

52 S5 Sonokeling

(Dalbergia latifolia)

23 K3 Kayu manis

(Cinnamomum burmanii)

53 S6 Sukun

(Artocarpus altilis)

24 K4 Kecapi

(Sandoricum koetjape)

54 S7 Suren

(Toona sureni)

25 K5 Kemiri

(Aleurites moluccana)

55 T1 Terap

(Artocarpus elasticus)

26 K6 Kenari

(Canarium vulgare)

56 T2 Tekik

(Albizia lebbeck)

27 K7 Keruing

(Dipterocarpus hasseltii)

57 T3 Terentang

(Campnosperma coriaceum)

28 K8 Kesambi

(Schleicera oleosa)

58 T4 Trembesi

(Samanea saman)

29 K9 Ketapang

(Terminalia catappa)

59 W1 Waru

(Hibiscus tiliaceus)

30 K10 Khaya

(Khaya anthotheca)

60 W2 Waru gunung

(Hibiscus similis)

Page 78: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 10

Gambar 8. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon di DAS Lesti

Page 79: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 11

Gambar 9. Kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Marmoyo

Page 80: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 12

Gambar 10. Kesesuaian tempat tumbuh jJenis-jenis pohon di DAS Konto

Page 81: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 13

Gambar 11. Kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Widas

Page 82: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 14

3.3. DAS di Jawa Barat

Analisis kesesuaian jenis pohon di Jawa Barat dilakukan pada unit DAS yang

merupakan DAS prioritas untuk direhabilitasi. Hasil analisis menghasilkan unit-

unit lahan yang memiliki beragam kombinasi jenis tanaman yang sesuai. Ada unit

lahan yang hanya sesuai untuk satu atau dua jenis pohon, namun ada juga unit

lahan yang sesuai untuk 36 jenis pohon. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi

lahan yang terdiri faktor tanah, curah hujan, dan ketinggian tempatnya. Jika pada

suatu unit lahan ketiga faktor tersebut berada pada kisaran yang baik bagi tanaman

maka akan lebih banyak jenis tanaman yang sesuai untuk tumbuh di unit lahan

tersebut. Sebaliknya pada kondisi-kondisi yang ekstrim, jenis tanaman yang

sesuai akan terbatas.

Gambar 12. Peta kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Citanduy

Page 83: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 15

Peta tersebut berisi kode-kode unit lahan dimana tiap kode kesesuaian berisi

informasi kombinasi jenis-jenis pohon yang sesuai. Tiap jenis pohon dilambangkan

dengan kode sesuai pada Tabel 1. Informasi luasan tiap unit lahan dan jenis pohon yang

sesuai dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kode kesesuaian tempat tumbuh di DAS Citanduy

Kode

Kese-

suaian

Kode Jenis Pohon Luas

( Ha)

1 B1 B2 B3 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K8 K9 K10 M1M3 M5 N1 N2 N3

P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3

511.43

2 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1

P2 P3 S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3

11,101.46

3 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S1 S2 T1 12.00

4 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S2 T1 2.45

5 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K3 K5 K7 K9 K10 M1 M3 M5 N1 N2

N3 P1 P2 P3 S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3

147.99

7 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S1

S2 T1

2.07

8 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S2

T1

1.28

9 B1 B2 B3 C1C2 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K8 K9 K10 M1M3 M5 N1 N2

N3 P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3

7.26

10 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1

P2 P3 S2 S5 S7 S6 T1 T3

375.70

14 A1 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S2

T1

10,067.54

15 A1 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K9 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1

P2 P3 S2 S5 S6 T1 T3

6.08

16 A1 B1 B2 F1G1J1 J3 K1 K2 K11 K9 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1

P2 P3 S2 S5 T1T3

1,219.01

17 A1 B1 B2 F1G1J1 J3 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 P3 S2 T1 3,296.41

22 A1 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K2K11 K5 K7 K9 K10 M1 M3 M5 N1 N2

N3 P1 P2 P3 S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3

26.10

23 A1 B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K3 K5 K7 K8 K9 K10 M1

M3 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3

1.39

25 A1 B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K5 K8 K9 K10 M1 M3 M5

N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3

409.93

26 A1 B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K8 K9 K10 M1 M3 M5 N1

N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3

459.66

27 A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K3 K7 K9 K10 M1 M3 M5 N1

N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3

11,976.61

28 A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K3 K5 K7 K9 K10 M1 M3 M5

N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3

11,127.46

29 A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K3 K5 K7 K9 K10 M1 M3 M5 5.96

Page 84: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 16

Kode

Kese-

suaian

Kode Jenis Pohon Luas

( Ha)

N1 N2 N3 P1 P2 P3 S2 S5 S7 S6 T1 T3

30 A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K3 K7 K9 K10 M1 M3 M4 M5

N1 N2 N3 P1 P2 P3 S2 S5 S7 S6 T1 T3

5,416.92

33 A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K3 K7 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2

N3 P1 P3 S2 T1

3,552.49

34 A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3

P1 P3 S1 S2 T1

5,688.06

35 A1 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3

P1 P3 S2 T1

463.72

37 A1 B1 B2 B3 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K5 K8 K9 K10 M1 M3 M5 N1

N2 N3 P1 P2 P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3

1.35

38 A1 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 K1 K2 K11 K9 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3

P1 P2 P3 S2 S5 S6 T1 T3

4,081.62

39 A1 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 K1 K2 K11 K9 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3

P1 P2 P3 S2 S5 S7 S6 T1 T3

43.59

40 A1 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K9 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1

P2 P3 S2 S5 S7 S6 T1 T3

4,809.44

41 A1 B2 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K6 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1 4,008.71

42 A1 B2 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K6 K7 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1 1,894.18

43 A1 B2 G1 J1 J2 J3 K2 K11 K5 K6 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1 2,818.15

44 A1 B2 G1 J1 J2 J3 K2K11 K5 K6 K7 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1 111.77

45 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K3 K5 K7 K9 K10 K11 M1 M3 M5 N1

N2 N3 P1

141.65

47 B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K5 K8 K9 K10 K11 M1 M3 M5

N1 N2 N3 P1

58.39

48 B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K8 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M4

M5 N1 N2 N3 P1

12.67

49 B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K8 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M5

N1 N2 N3 P1

118.80

50 B1 B2 B3 C1 C2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K8 K9 K10 K11 M1 M3 M5 N1

N2 N3 P1

1,278.33

52 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K5 K7 K9 K10 K11 M1 M3 M5

N1 N2 N3 P1

10,006.07

53 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K7 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2

N3 P1

11,929.62

54 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 51,397.42

55 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K7 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M4

M5 N1 N2 N3 P1

1,801.97

56 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K7 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M5

N1 N2 N3 P1

1,320.76

57 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K7 K9 K10 K11 M1 M3 M5 N1

N2 N3 P1

7,229.12

Page 85: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014| 17

Kode

Kese-

suaian

Kode Jenis Pohon Luas

( Ha)

59 B1 B2 B3 C1 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K3 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 108.79

61 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K5 K7 K9 K10 K11 M1 M3 M5 N1 N2

N3 P1

22.24

62 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 18.20

63 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K7 K9 K10 K11 M1 M3 M5 N1 N2 N3

P1

14,091.51

64 B1 B2 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K7 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 4,696.07

65 B1 B2 B3 F1 G1 J1 K2 K3 K6 K7 K10 M4 M5 N1 N2 N3 595.85

66 B1 B2 B3 F1 G1 J1 K2 K3 K6 K7 K10 M5 N1 N2 N3 3,000.93

67 B1 B2 B3 F1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 36.98

68 B1 B2 B3 F1 J1 J2 J3 J4 K2 K3 K10 M1 M3 M5 N1 N2 N3 P1 916.70

71 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K7 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N2 N3 P1 6,811.80

72 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K7 K9 K10 K11 M5 N1 N2 N3 832.83

73 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K7 K9 K10 K11 M5 N1 N2 N3 P1 3,850.62

74 B1 B2 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K7 K10 M1 M5 N1 N2 N3 P1 7.41

75 B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M1 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3

S1 S2 S5 S7 S6 T1 T3

4,056.05

76 B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M1 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3

S2 S5 S7 S6 T1 T3

1,115.86

78 B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S1

S2 S5 S7 S6 T1 T3

8,092.92

79 B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3 S2

S5 S7 S6 T1 T3

2,581.83

80 B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M5 N1 N2 N3 P2 P3 S1 S2

S5 S7 S6 T1 T3

1,846.70

81 B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K7 K9 K10 M5 N1 N2 N3 P2P3 S2 S5 S7

S6 T1 T3

974.69

82 B1 B3 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K8 K9 K10 M5 N1 N2 N3 P1 P2 P3

S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3

335.46

83 B1 B3 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K8 K9 K10 M5 N1 N2 N3 P2 P3 S1

S2S3S5 S7 S6 T1 T3

36.24

84 B1 B3 C2 F1 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K8 K9 K10 M1 M5 N1 N2 N3 P1 P2

P3 S1 S2 S3 S5 S7 S6 T1 T3

366.96

85 B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K1 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M4 M5 N1 N2

N3 P1

607.48

86 B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 20,798.37

87 B1 B3 F1 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M4 M5 N1 N2 N3

P1

931.48

88 B1 B3 F1 G1 J1 J3 J4 K2 K1 K9 K10 K11 M1 M2 M3 M4 M5 N1 N2 N3

P1

74.82

89 B1 B3 F1 G1 J1 J3 J4 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 2,271.19

92 B2 F1 G1 K1 K2 K10 M1 M4 M5 N1 N3 P1 S2 S5 T1 503.22

Page 86: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 18

Kode

Kese-

suaian

Kode Jenis Pohon Luas

( Ha)

93 B2 F1 G1 K1 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 S2 S5 T1 T3 1,950.98

94 B2 F1 G1 K1 K2 K10 M1 M4 M5 N1 N2 N3 P1 S2 S5 T1 T3 719.20

95 B2 F1 G1 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 S2 T1 4,800.49

96 B2 F1 G1 K2 K10 M1 M4 M5 N1 N2 N3 P1 S2 T1 1,606.94

97 B2 F1 G1 K2 K10 M1 M4 M5 N1 N3 P1 S2 T1 2,358.14

98 B2 F1 K2 M1 M4 M5 P1 S2 T1 757.44

99 B2 F1 K2 M1 M4 M5 P1 T1 959.57

100 B2 F1 M1 M4 M5 P1 T1 324.51

101 B2 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K6 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1 2,510.71

103 B2 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K6 K7 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1 57.52

104 B2 M1 M4 M5 P1 93.31

106 B3 F1 G1 K2 K1 K10 M1 M2 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 6.64

107 B3 F1 G1 K2 K10 M1 M4 M5 N1 N2 N3 P1 501.71

108 B3 F1 G1 K2 K10 M1 M3 M4 M5 N1 N2 N3 P1 1,886.97

109 B3 F1 G1 K2 K10 M1 M4 M5 N1 N3 P1 245.12

110 B3 F1 K2 M1 M4 M5 P1 4.25

111 B3 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K5 K6 K7 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1 74.30

112 B3 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K5 K6 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1 173.15

113 B3 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K6 K10 M1 M5 N1 N3 P1 116.73

114 B3 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K6 K7 K10 M1 M5 N1 N3 P1 1,155.70

115 B3 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K6 K7 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1 5.83

116 B3 G1 J1 J2 J3 J4 K2 K6 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1 26.01

118 B3 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K7 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1 370.81

121 B3 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1 701.57

124 C1 G1 M1 10,236.58

125 C1C2 G1 M1 214.57

126 C2 G1 1,277.19

127 C2 G1 M1 1,660.22

128 G1 7,518.09

129 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K7 K9 K10 K11 M5 N1 N3 20,562.34

131 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K7 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1 1,234.34

132 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K7 K9 K10 K11 M5 N1 N3 P1 8,164.74

134 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K9 K10 K11 M1 M5 N1 N3 P1 1,302.14

135 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K9 K10 K11 M5 N1 N3 4,833.12

136 G1 J1 J2 J3 J4 K5 K6 K9 K10 K11 M5 N1 N3 P1 4,494.89

137 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K6 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1 746.80

139 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K6 K7 K9 M5 N1 N3 P1 P3 S2 S5 S6 T1 83.71

140 G1 J1 J2 J3 K11 K5 K6 K9 M5 N1 N3 P3 S2 S5 S6 T1 93.82

142 G1 M1 15,521.79

146 J1 J2 J3 K5 K6 K9 M5 N1 N3 1.02

147 J1 J2 J3 K5 K6 K9 M5 N1 N3 P3 S2 S5 S6 T1 2.38

148 M1 M4 M5 P1 1.56

Page 87: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014| 19

IV. PENUTUP

Peta hasil analisis kesesuaian tempat tumbuh dapat disajikan secara utuh untuk satu

DAS maupun secara terpisah untuk tiap sub DAS sesuai dengan kebutuhan atau

prioritas penanganan lahan kritis dalam suatu DAS. Peta kesesuaian ini diharapkan

dapat memberi arahan kepada pengelola hutan di lapangan. Dengan demikian

pemanfaatan sumber daya alam dalam DAS tersebut dapat dilaksanakan secara optimal.

Setiap jenis pohon, mempunyai persyaratan tempat tumbuh yang spesifik, dan hal

tersebut dicerminkan dari kondisi lingkungan dimana jenis pohon tersebut berada. Oleh

karena itu pengetahuan dan informasi mengenai kesesuaian tempat tumbuh bagi jenis-

jenis pohon yang akan dikembangkan sangat berarti dalam pengembangan jenis-jenis

pohon tersebut, terutama dalam menunjang program rehabilitasi hutan dan lahan. Jika

informasi ini telah diketahui, maka keberhasilan program rehabilitasi hutan dan lahan

secara teknis diharapkan dapat berhasil.

Page 88: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 20

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan. (2007). Resume data informasi rehabilitasi hutan dan lahan

Tahun 2007. Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Departemen

Kehutanan. http://www.dephut.go.id/uploads/files/Resume %20Data%20Infor-

masi%20RHL_2007.pdf. Diakses 28 April 2014.

Direktorat Jenderal Planologi. (2010). Data spasial DAS. Kementerian Kehutanan,

Jakarta.

Pratiwi. (2003). Rehabilitasi lahan dan hutan dengan pendekatan partisipatif. Buletin

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Vol.4. No.2, 2003,99-109.

PROSEA. 1994. (1) Timber trees: Major commercial timbers. I. Soerianegara and

R.H.M.J. Lemmens (Eds.). Plant resources of South-East Asia No 5 (1).

PROSEA. 1994. (2) Timber trees: Minor commercial timbers. I. Soerianegara and

R.H.M.J. Lemmens (Eds.). Plant resources of South-East Asia No 5 (1).

PROSEA. 1994. (3) Timber trees: Lesser-known timbers. I. Soerianegara and R.H.M.J.

Lemmens (Eds.). Plant resources of South-East Asia No 5 (1).

Page 89: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

BUKU III

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR

PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN

SUNGAI

(ASPEK: MODELLING TATA GUNA LAHAN UNTUK

OPTIMALISASI TATA AIR)

PENYUSUN:

DR. I WAYAN SUSI DHARMAWAN, M.Si.

PROF. RIS. DR. IR. PRATIWI, M.Sc.

DRS. UGRO HARI MURTIONO, M.Si.

DR. AGUNG BUDI SUPANGAT, M.Si.

IR. PURWANTO BUDI SANTOSO, M.Si.

DRS. RAHARDYAN ADI, M.Si.

IR. LA ODE ASIR, M.Si.

BUDI HADI NARENDRA, S.Hut, M.Sc.

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN

BOGOR 2014

Page 90: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 91: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................... i

DAFTAR TABEL ................................................................................................. iii

I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2. Tujuan dan Sasaran ....................................................................................... 2

1.3. Luaran ........................................................................................................... 2

II. KEBIJAKAN TERKAIT TATA AIR ................................................................... 4

2.1. Identifikasi regulasi yang ada ......................................................................... 4

2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi ............................... 5

2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan .................................................. 6

III. TATA GUNA LAHAN DAN PEMILIHAN JENIS DALAM

MENDUKUNG OPTIMALISASI FUNGSI TATA AIR ....................................... 10

3.1. Tata Guna Lahan Dalam Mendukung Optimalisasi Tata Air .......................... 10

3.2. Pemilihan Jenis Dalam Mendukung Optimalisasi Tata Air ............................. 15

IV. PENUTUP ............................................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 23

Page 92: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 93: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

iii

DAFTAR TABEL

Tabel Hal.

1. Proporsi Grid berdasarkan Tipe Penutupan Lahan Model Baseline di

DAS Cisadane bagian hulu ............................................................................... 10

2. Perubahan Persentase Penutupan Lahan di DAS Cisadane bagian hulu ............. 10

3. Rekapitulasi Output Simulasi Skenario Model Sub DAS Cisadane Hulu ........... 11

4. Proporsi Grid berdasarkan Tipe Penutupan Lahan Model Baseline di

DAS Cisadane bagian tengah ............................................................................ 11

5. Perubahan Persentase Penutupan Lahan di DAS Cisadane bagian tengah

.......................................................................................................................... 12

6. Rekapitulasi Output Simulasi Skenario Model Sub DAS Cisadane

Bagian Tengah .................................................................................................. 12

7. Analisis Sensitivitas Model di DAS Cisadane bagian tengah ............................. 13

8. Limpasan Permukaan (m3/ha) dan Erosi pada masing-masing plot

penelitian pada setiap kemiringan lereng ........................................................... 13

9. Lolosan tajuk (througfall), aliran batang (stemflow) dan intersepsi hujan

pada masing-masing umur tanaman E. pellita di Riau ....................................... 17

10. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman kayu putih terhadap 22 erosi dan

neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten

Gunung Kidul, DIY ..........................................................................................

18

11. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman sengon terhadap erosi dan neraca

air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Wonosobo,

Jawa Tengah .....................................................................................................

18

12. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman akasia terhadap erosi dan neraca

air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Wonogiri,

Jawa Tengah .....................................................................................................

18

13. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman mahoni terhadap erosi dan neraca

air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Ngawi, Jawa

Timur ...............................................................................................................

19

14. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman nyamplung terhadap erosi dan

neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten

Karanganyar, Jawa Tengah ...............................................................................

19

15. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman eukaliptus terhadap erosi dan

neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 ............................................ 19

Page 94: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 95: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014| 1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Berbagai jenis pola penggunaan lahan secara langsung berpengaruh terhadap

karakteristik tanah dan tata air pada suatu bentang lahan tertentu (specific

landscape). Pada saat ini banyak dilakukan revisi tata ruang yang mengakibatkan

berubahnya tata guna lahan tidak sesuai dengan kemampuan lahan itu sendiri,

akibatnya kualitas tanah dan tata air menjadi turun. Selain itu, dampak dari adanya

perubahan iklim adalah terjadinya amplitudo debit air pada musim kering dan

musim penghujan yang sangat besar. Meskipun sampai saat ini belum diketahui

secara pasti apakah disebabkan oleh perubahan iklim atau tidak. Banyak kajian dan

studi yang menyatakan bahwa adanya pola penggunaan lahan yang berbeda

menyebabkan perubahan pola tata air. Untuk itu, diperlukan suatu penelitian dan

analisis mendalam tentang seberapa besar pengaruh perubahan lahan memberikan

tata air yang optimal.

Perubahan tata guna lahan akan mempengaruhi kelestarian DAS sehingga terjadi

perubahan terhadap keseimbangan tata air pada suatu unit lahan dengan

mempertimbangkan tingkat debit dan sedimentasi (Asdak, 2005). Untuk

mengurangi terjadinya erosi, sedimentasi dan banjir, optimasi pengelolaan lahan

merupakan hal yang sangat penting dalam prinsip konservasi yang diaplikasikan

untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan berkelanjutan.

Pengelolaan DAS adalah suatu usaha untuk mengatur sumberdaya alam utama

yaitu tanah dan air. Suatu pengelolaan DAS yang baik untuk penggunaan tanah dan

air seharusnya memperhitungkan prinsip konservasi untuk mencapai hasil yang

optimum. Pengelolaan DAS yang tidak tepat akan mengakibatkan banjir di musim

hujan dan kekeringan di musim kemarau. Tata guna lahan termasuk jenis dan

kerapatan tanaman merupakan komponen utama yang mempengaruhi kapasitas

tanah untuk menyerap air (Budi Indra, 1999). Kerapatan tanaman adalah hal yang

lebih penting dibandingkan jenis tanaman, dimana telah terbukti dengan

menurunnya laju dan kapasitas infiltrasi pada unit lahan yang mempunyai kerapatan

vegetasi rendah (Budi Indra, 1999).

Proses hidrologi menggambarkan suatu rantai fenomena alam yang

menghubungkan erosi, sedimentasi dan limpasan. Bagian dari siklus hidrologi yang

disebut hujan, kondisi tanah dan vegetasi mempunyai peranan penting dalam proses

erosi, sedimentasi dan limpasan. Erosi adalah peristiwa pindahnya tanah dari suatu

tempat ke tempat lain dengan media alam (Budi Indra, 1999; Arsyad, 2000).

Menurut Frevert et al. (1963), erosi tanah didefinisikan sebagai kehilangan tanah

lebih cepat dari proses erosi geologi. Menurut Baver et all. (1972) terjadinya erosi

tanah tergantung dari beberapa faktor yaitu karakteristik hujan, kemiringan lereng,

tanaman penutup dan kemampuan tanah untuk menyerap dan melepas air ke dalam

Page 96: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 2

lapisan tanah dangkal. Dampak dari erosi tanah dapat diklasifikasikan dalam dua

kategori : 1) menurunnya produktifitas lahan seiring dengan kehilangan lapisan

tanah bagian atas yang subur, dan 2) terjadi sedimentasi di sungai yang

menyebabkan kerusakan saluran dan berkurangnya kapasitas tampungan.

Kajian terkait erosi, limpasan permukaan dan evapotranspirasi dikaitkan dengan

neraca air sangatlah penting dilakukan untuk memperoleh hasil yang komprehensif.

Informasi ilmiah yang berkaitan dengan pengaruh beberapa jenis tegakan terhadap

hasil air (water yield) suatu kawasan belum merupakan faktor pendukung dalam

penentuan jenis tegakan hutan (pemilihan spesies) yang akan ditanam di kawasan

yang akan direboisasi. Lebih detil lagi, informasi tentang nilai evapotranspirasi dan

hasil air dari berbagai jenis tegakan hutan yang merupakan jenis tanaman prioritas

belum semuanya tersaji, baik pada tingkat tapak (site) maupun lingkungan

ekologinya. Aspek ekologis yang dimaksud adalah pengaruh dari jenis tegakan

tertentu terhadap tata air dalam suatu kawasan. Hal tersebut dimaksudkan untuk

mengetahui seberapa besar kebutuhan air yang diperlukan oleh jenis tanaman

tertentu untuk pertumbuhannya.

Kajian terkait tata air dan neraca air secara komprehensif sangat bermanfaat bagi

penentu kebijakan, khususnya dibidang kehutanan, yaitu dalam rangka menunjang

program pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan (sustainable forest

management) serta penyediaan kebutuhan air bagi masyarakat sekitar

lokasi/kawasan pengembangan jenis tanaman tertentu.

1.2. Tujuan dan sasaran

Tujuan penulisan sintesa yang terkait dengan aspek tata air adalah:

a) Mengetahui pola-pola pengelolaan lahan yang dapat memberikan tata air optimal.

b) Mengetahui pengaruh beberapa jenis tegakan tanaman (kayu putih, eukaliptus,

akasia, sengon, mahoni dan nyamplung) terhadap hasil air (water yield)

Sasaran penulisan sintesa ini adalah :

a) Tersedianya informasi pola-pola pengelolaan lahan yang dapat memberikan tata

air optimal terhadap para pihak pengelola lahan hutan, agroforestry, pertanian dan

perkebunan.

b) Tersedianya data erosi, limpasan, evapotranspirasi dan neraca air pada suatu areal

yang ditanami jenis-jenis kayu putih, eukaliptus, akasia, sengon, mahoni dan

nyamplung.

1.3. Luaran

Luaran kegiatan ini adalah :

a) Pembangunan model pola tata guna lahan terhadap tata air yang optimal pada

DAS Cisadane.

Page 97: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 3

b) Data dan informasi erosi, limpasan, evapotranspirasi dan neraca air pada suatu

areal yang ditanami jenis-jenis kayu putih, eukaliptus, akasia, sengon, mahoni dan

nyamplung.

Page 98: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 4

II. KEBIJAKAN TERKAIT TATA AIR

Pengelolaan lahan dan pemilihan jenis tegakan dalam suatu kawasan tidak

terlepas dari konsep pengelolaan DAS terpadu semua sektor dari hulu ke hilir.

Berbagai peraturan/regulasi telah dibuat terkait proses perencanaan, pelaksanaan dan

monitoring-evaluasi pengelolaan DAS.

Kelestarian hutan dapat meningkatkan daya dukung DAS yang memberikan

manfaat selain kedalam kawasan hutan (hulu) juga kepada kawasan diluar hutan

(hilir) yang meliputi: pemasok air, pengendali banjir, pengendali erosi tanah,

pengurangan sedimentasi waduk/sungai/saluran air/bangunan air vital lainnya.

Kementerian Kehutanan telah menargetkan pembangunan hutan tanaman seluas

5 juta ha sampai dengan tahun 2010. Untuk menjawab target tersebut perlu

didukung dengan upaya-upaya penelitian melalui input teknologi yang tepat dalam

pemilihan jenis tanaman (Murtiono et al., 2012). Hal ini didasarkan pada

munculnya perdebatan di kalangan masyarakat bahwa pemilihan jenis tanaman cepat

tumbuh pada program pembangunan hutan tanaman bisa berpengaruh negatif

terhadap fungsi hidrologi/tata air di Daerah Aliran Sungai (DAS).

2.1. Identifikasi regulasi yang ada

Beberapa kebijakan terkait pola pengelolaan lahan dan kelestarian tata air antara

lain:

a. Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan pasal 2 menyebutkan bahwa

pemanfaatan sumber daya alam diselenggarakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan

hidup secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional.

Demikian juga sumber daya hutan yang merupakan modal pembangunan nasional

bagi kehidupan dan penghidupan bangsa, pengelolaannya diselenggarakan

berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan

dan keterpaduan.

b. Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan pasal 3 menyebutkan bahwa

penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

yang berkeadilan dan berkelanjutan melalui: a) menjamin keberadaan hutan

dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; b) meningkatkan daya

dukung Daerah Aliran Sungai (DAS).

c. Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan pasal 18 menyebutkan bahwa

untuk menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran

proporsional maka pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan

luasan kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap DAS dan atau pulau

minimal 30% dengan sebaran proporsional. Konsekuensi pasal ini sebenarnya

mengarah kepada persentase luasan DAS ditentukan oleh kondisi iklim (curah

Page 99: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 5

hujan), geologi, bentuk lahan, topografi, tanah dan sosial ekonomi masyarakat

sekitar.

d. Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang salah satunya

mengatur pentingnya meningkatkan pasokan air melalui kegiatan rehabilitasi

hutan dan lahan, pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam dan kawasan

pelestarian alam.

Pengelolaan tata air dalam suatu areal DAS sangat tergantung dari koordinasi

dan sinkronisasi semua pihak sehingga pemahaman bersama tentang pengelolaan

DAS sebagai One Watershed One Management dapat lebih meningkat dan tepat

sasaran.

2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi

Untuk menjawab amanat dari peraturan/regulasi tersebut, dari sisi ilmiah

diperlukan kegiatan-kegiatan penelitian terkait tata air sebagai berikut:

a. Pola penggunaan lahan yang memberikan tata air optimal pada tingkat DAS dari

bagian hulu, tengah dan hilir

Perubahan tata guna lahan akan mempengaruhi kelestarian DAS sehingga terjadi

perubahan terhadap keseimbangan tata air pada suatu unit lahan dengan

mempertimbangkan tingkat debit dan sedimentasi (Asdak, 2005)). Untuk

mengurangi terjadinya erosi, sedimentasi dan banjir, optimasi pengelolaan lahan

merupakan hal yang sangat penting dalam prinsip konservasi yang diaplikasikan

untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan berkelanjutan. Pengelolaan DAS

adalah suatu usaha untuk mengatur sumberdaya alam utama yaitu tanah dan air.

Suatu pengelolaan DAS yang baik untuk penggunaan tanah dan air seharusnya

memperhitungkan prinsip konservasi untuk mencapai hasil yang optimum.

Pengelolaan DAS yang tidak tepat akan mengakibatkan banjir di musim hujan dan

kekeringan di musim kemarau.

Berbagai model skenario pola penggunaan lahan yang memberikan tata air

optimal perlu diuji coba dan divalidasi di lapangan untuk mendapatkan hasil yang

reliable dan valid. Hal ini sesuai dengan sasaran pengelolaan DAS menurut

Keputusan Menteri Kehutanan No. 52/Kpts-II/2001 yaitu untuk menciptakan kondisi

hidrologis yang optimal disertai dengan peningkatan produktivitas lahan dalam

rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.

b. Kajian erosi dan evapotranspirasi dari berbagai jenis vegetasi sebagai dasar

pemodelan tata air

Penelitian ini sangat penting dilakukan untuk menjawab UU No. 7 tahun 2004

tentang Sumber Daya Air terutama aspek peningkatan pasokan air melalui

rehabilitasi hutan dan lahan. Dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan diperlukan

pemilihan jenis tanaman untuk mendukung tata air yang optimal. Aspek ekologis

yang dimaksud adalah pengaruh dari jenis tegakan tertentu terhadap tata air dalam

Page 100: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 6

suatu kawasan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar

kebutuhan air yang diperlukan oleh jenis tanaman tertentu untuk pertumbuhannya.

Kajian terkait tata air dan neraca air secara komprehensif sangat bermanfaat bagi

penentu kebijakan, khususnya dibidang kehutanan, yaitu dalam rangka menunjang

program pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan (sustainable forest

management) serta penyediaan kebutuhan air bagi masyarakat sekitar

lokasi/kawasan pengembangan jenis tanaman tertentu.

2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan

Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar

sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di

DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa

lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS.

Pengelolaan DAS pada prinsipnya adalah pengaturan tata guna lahan atau

optimalisasi penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan secara rasional serta

praktek lainnya yang ramah lingkungan sehingga dapat dinilai dengan indikator

kunci (ultimate indicator) kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran sungai pada titik

pengeluaran (outlet) DAS. Jadi salah satu karakteristik suatu DAS adalah adanya

keterkaitan biofisik antara daerah hulu dengan daerah hilir melalui daur hidrologi.

Implementasi pengelolaan DAS sebagai one watershed one management masih jauh

dari harapan. Pola koordinasi dan keterpaduan pengelolaan DAS dari hulu sampai

dengan hilir masih banyak menemui kendala dan konflik kepentingan antar pihak.

Untuk itu diperlukan kesadaran dan pemahaman bersama antar semua pihak dalam

merancang pola tata guna lahan yang dapat memberikan tata air optimal di wilayah

hulu sampai dengan hilir.

Faktor lain yang menyebabkan pengelolaan DAS belum berhasil dengan baik

adalah kurangnya keterpaduan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan

pengelolaan DAS termasuk dalam hal pembiayaannya. Hal ini karena banyaknya

instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS seperti Departemen Kehutanan,

Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri,

Bakosurtanal dan Kementerian Lingkungan Hidup, perusahaan swasta dan

masyarakat.

Permasalahan serta tantangan dalam pengelolaan DAS kedepan terkait pola tata

guna lahan dan pemilihan jenis tanaman untuk meningkatkan pasokan air dalam

kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan meliputi:

1. Degradasi hutan dan lahan

Luas kawasan hutan pada tahun 2007 adalah sekitar 133,695 juta hektare (Badan

Planologi Kehutanan, tahun 2007) dan jumlah penduduk Indonesia lebih dari 220

juta. Degradasi hutan dan lahan semakin meluas sebagai akibat penambahan jumlah

penduduk yang memerlukan lahan untuk sandang, pangan, papan dan energi.

Page 101: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 7

Pengurangan areal hutan untuk pertanian dan konversi lahan pertanian untuk

bangunan akan menurunkan resapan air hujan dan meningkatkan aliran air

permukaan sehingga frekuensi bencana banjir dan tanah longsor semakin tinggi.

Degradasi hutan dan lahan terutama di hulu DAS harus bisa direhabilitasi dengan

adanya pengelolaan DAS yang dilakukan secara terpadu oleh semua pihak yang ada

pada DAS dengan memperhitungkan biofisik dan semua aspek sosial ekonomi.

Degradasi hutan dan lahan selama kurun waktu 2000-2005 sangat memprihatinkan

yaitu rata-rata 1,089 juta hektar per tahun. Degradasi di lahan pertanian terus terjadi

akibat erosi tanah yang tinggi sehingga memicu semakin luasnya lahan kritis dan

meningkatnya sedimentasi pada waduk-waduk yang akan berdampak pada

berkurangnya daya tampung dan pasokan air untuk irigasi serta Pembangkit Listrik

Tenaga Air (PLTA). Apabila tidak dilakukan upaya-upaya untuk mencegah

degradasi hutan dan lahan serta upaya untuk memulihkannya, maka DAS akan

semakin menurun kualitasnya. Karena itu pengelolaan DAS di masa yang akan

datang harus mampu mengkonservasi, merehabilitasi dan meningkatkan

produktivitas hutan dan lahan yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk terhadap

barang dan jasa lingkungan yang semakin meningkat.

2. Ketahanan pangan, energi dan air

Keberhasilan Pengelolaan DAS berdampak terhadap ketahanan pangan di masa

mendatang. Saat ini luas areal irigasi tanaman padi di Indonesia berjumlah ± 7,2 juta

hektar dan sebagian besar ada pada hilir DAS, banyak areal pertanian yang subur

dikonversi menjadi bangunan atau infrastuktur yang mengurangi lahan pangan

produktif dan menurunkan fungsi hidrologis DAS. Terjadinya banjir akibat

pengelolaan DAS yang tidak optimal akan menyebabkan daya tampung waduk

irigasi berkurang karena sedimentasi, dan pada musim hujan cenderung banjir

sehingga areal-areal irigasi pada hilir DAS akan tergenang yang pada gilirannya

menurunkan produksi beras nasional. Disamping itu kekeringan pada musim

kemarau menyebabkan areal irigasi yang dapat dialiri berkurang sehingga produksi

padi berkurang. Dengan semakin mahalnya energi minyak bumi, maka diperlukan

energi alternatif berupa energi yang bisa diperbaharui seperti kayu bakar, bio-disel,

pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Dengan bertambahnya penduduk dan

berkembangnya kegiatan ekonomi, maka kebutuhan air untuk berbagai kepentingan

seperti air baku, pertanian, perindustrian dan PLTA akan semakin besar. Karena itu

pengelolaan DAS dimasa yang akan datang seharusnya bisa mendukung ketersediaan

pangan, air dan energi alternatif tersebut baik melalui manajemen kawasan lindung

maupun kawasan budidaya.

3. Kesadaran dan kemampuan para pihak

Pengelolaan DAS melibatkan banyak pihak mulai unsur pemerintahan, swasta,

dan masyarakat. Ada indikasi bahwa kesadaran dan kemampuan para pihak dalam

melestarikan ekosistem DAS masih rendah, misalya masih banyak lahan yang

Page 102: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 8

seharusnya berupa kawasan lindung atau resapan air masih digunakan untuk fungsi

budidaya yang diolah secara intensif atau dibangun untuk pemukiman baik secara

legal maupun illegal, sehingga meningkatkan resiko erosi, longsor dan banjir. Dalam

aliran sungai sendiri sering dijumpai sampah dan limbah dari berbagai sumber yang

menyebabkan pendangkalan, penyumbatan, dan pencemaran air sungai sehingga

kualitas air dan palung sungai menjadi rusak yang pada akhirnya merugikan

lingkungan dan kehidupan masyarakat. Rendahnya kesadaran, kemampuan dan

partisipasi para pihak dalam pengelolaan DAS menjadi tantangan bagi para

pengelola DAS dan unsur lain yang terkait dengan pendidikan, pelatihan dan

penyuluhan kepada masyarakat secara luas.

4. Otonomi daerah

Era otonomi pemerintahan daerah bisa membuat masalah pengelolaan DAS

semakin kompleks karena tidak semua pemerintah daerah memahami konsep

pengelolaan DAS yang berbasis ekosistem dan lintas batas administrasi. Sikap

mementingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga akan menyebabkan konsep

pengelolaan DAS terpadu yang mementingkan pelestarian ekosistem akan terabaikan

karena penggunaan sumberdaya alam DAS yang tidak proporsional dan rasional.

Dengan demikian mendesak dibentuk Forum Pengelolaan DAS yang menjadi forum

kosultasi antar pihak untuk melakukan sinergitas dalam pemanfaatan sumberdaya

alam. Keterlibatan secara aktif para pihak (stakeholders) akan membangun rasa

memiliki, memanfaatkan secara arif, dan memelihara sumberdaya secara bersama-

sama.

5. Kebijakan nasional

Pengelolaan DAS yang melibatkan banyak pihak dan lintas wilayah administrasi

dapat menyebabkan konflik kepentingan antar para pihak yang terlibat dalam

memanfaatkan sumberdaya alam dan jasa lingkungan DAS. Hal ini memerlukan

regulasi dan kebijakan pada berbagai tingkat baik pada tingkat nasional, propinsi

maupun tingkat kabupaten/kota bahkan kadang-kadang sampai tingkat desa. Karena

upaya penanganan permasalahan DAS memerlukan sumberdaya yang banyak dan

waktu yang panjang maka pengelolaan DAS harus dimasukkan sebagai salah satu

program nasional, dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah

(RPJP dan RPJM). Dengan demikian program pengelolaan DAS tersebut menjadi

arus utama dalam kegiatan dan alokasi penganggaran di tingkat nasional, propinsi

dan kabupaten/kota.

6. Isu lingkungan global

Peningkatan kegiatan pembangunan ekonomi global selama ini telah

menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sehingga terjadi

pemanasan global yang membawa dampak negatif terhadap ekosistem dan kehidupan

manusia. Kegiatan ekonomi yang pesat juga menyebabkan terjadinya degradasi lahan

dan penurunan keanekaragaman hayati di banyak tempat di Indonesia. Dengan

Page 103: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 9

meningkatnya kejadian bencana yang terkait iklim seperti banjir, longsor dan

kekeringan maka pengelolaan DAS menjadi sangat penting sebagai upaya Adaptasi

menghadapi perubahan iklim tersebut. Selain itu pengelolaan DAS juga merupakan

upaya Mitigasi perubahan iklim dan isu global lainnya seperti konservasi hutan dan

vegetasi permanen lainnya, upaya rehabilitasi hutan dan lahan, penggunaan teknologi

pertanian tepat guna dan ramah lingkungan.

Page 104: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 10

III. TATA GUNA LAHAN DAN PEMILIHAN JENIS DALAM

MENDUKUNG OPTIMALISASI FUNGSI TATA AIR

3.1. Tata guna lahan dalam mendukung optimalisasi tata air

A. Studi penelitian di DAS Cisadane (Jawa Barat)

A.1. DAS Cisadane bagian hulu

Kondisi DAS Cisadane Bagian Hulu (Sub DAS Cisadane Hulu dan Cipeucang)

sudah sangat kritis. Hal ini terlihat dari persentase penutupan lahannya yang

didominasi oleh ladang, perkebunan dan semak belukar (Tabel 1). Kondisi ini

meningkatkan limpasan dan besarnya erosi yang terjadi pada Sub DAS Cisadane

Hulu dan Cipeucang. Model pemanfaatan lahan untuk hutan (30%), kebun rakyat

(30%), sawah (30%) dan pemukiman (10%) memberikan tata air yang optimal di

DAS Cisadane Bagian Hulu yang terindikasi dari penurunan erosi dan sedimentasi.

Hal ini menjadi temuan signifikan dalam upaya meningkatkan kegiatan rehabilitasi

di daerah Sub DAS Cisadane Hulu dan Cipeucang.

Tabel 1. Proporsi Grid berdasarkan Tipe Penutupan Lahan Model Baseline

No. Jenis Penutupan Lahan Persentase (%)

1. Hutan 5,73

2. Kebun 27,44

3. Ladang 46,43

4. Pemukiman 2,71

5. Sawah 2,31

6. Semak 15,38

Perubahan luasan/persentase penggunaan lahan disajikan pada Tabel 2.

Rekapitulasi output simulasi skenario model Sub DAS Cisadane Hulu ditampilkan

pada Tabel 3.

Tabel 2. Perubahan Persentase Penutupan Lahan

No Simulasi

Persentase Penutupan Lahan (%)

Hutan Kebun Ladang Pemu-

kiman Sawah Semak Kampung

1. Baseline 5,73 27,44 46,43 2,71 2,31 15,38 0,00

2. Skenario 1 30,00 30,00 30,00 3,00 7,00 0,00 0,00

3. Skenario 2 45,00 25,00 25,00 5,00 0,00 0,00 0,00

4. Skenario 3 45,00 0,00 25,00 0,00 25,00 0,00 5,00

5. Skenario 4 45,00 25,00 25,00 0,00 0,00 0,00 5,00

6. Skenario 5 30,00 30,00 30,00 10,00 0,00 0,00 0,00

7. Skenario 6 30,00 0,00 30,00 0,00 0,00 30,00 10,00

8. Skenario 7 30,00 30,00 0,00 0,00 0,00 30,00 10,00

Page 105: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 11

Tabel 3. Rekapitulasi Output Simulasi Skenario Model Sub DAS Cisadane Hulu

No.

Simulasi

Output Model Persentase

Limpasan

(mm)

Erosi

(kg/Ha) % Limpasan % Erosi

1. Baseline 2,812 4770 0 0

2. Skenario 1 2,633 3161 6,366 33,732

3. Skenario 2 2,735 2330 2,738 51,153

4. Skenario 3 3,196 3570 -13,656 25,157

5. Skenario 4 2,135 3073 24,075 35,577

6. Skenario 5 2,449 3000 12,909 37,107

7. Skenario 6 2,977 2037 -5,868 57,296

8. Skenario 7 2,451 1889 12,838 60,398

Keterangan : tanda negatif (-) pada tabel, menandakan bahwa terdapat sejumlah kenaikan

pada output model bila dibandingkan dengan baselinenya. Persentase limpasan merupakan

perbandingan jumlah limpasan dengan jumlah curah hujan.

Pada dasarnya, penggunaan lahan yang optimal untuk mengurangi limpasan dan

erosi adalah penggunaan lahan yang memungkinkan air hujan terinfiltrasi ke dalam

tanah, dan menjaga permukaan tanah tidak mengalami pembongkaran.

A.2. DAS Cisadane bagian tengah

Kondisi Sub DAS Cisadane Bagian Tengah sudah sangat kritis. Hal ini terlihat

dari persentase penutupan lahannya yang mayoritas terdiri dari kebun dan

pemukiman penduduk (Tabel 4). Luasnya permukaan tanah yang tidak tertutup dan

sering diolah meningkatkan limpasan dan erosi yang terjadi.

Tabel 4. Proporsi Grid berdasarkan Tipe Penutupan Lahan Model Baseline

No. Jenis Penutupan Lahan Persentase (%)

1. Agroforestri 13,3

2. Kebun 48,3

4. Pemukiman 22,7

5. Hutan Tanaman 16

Perubahan luasan/persentase penggunaan lahan disajikan pada Tabel 5.

Rekapitulasi output simulasi skenario model Sub DAS Cisadane Bagian ditampilkan

pada Tabel 6.

Page 106: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 12

Tabel 5. Perubahan Persentase Penutupan Lahan

No. Skenario

Persentase Penutupan Lahan (%)

Agroforestry Kebun Pemukiman Hutan

Tanaman Belukar

1. Baseline 13,3 48,3 22,7 16 -

2. I 15 30 40 15 -

3. II 30 15 55 - -

4. III 30 15 40 - 15

5. IV 30 30 40 - -

6. V - 30 40 30 -

7. VI 30 - 40 30 -

8. VII 20 30 30 20 -

9. VIII 15 30 30 25 -

Tabel 6. Rekapitulasi Output Simulasi Skenario Model Sub DAS Cisadane Bagian

Tengah

No.

Simulasi

Output Model Persentasi

Limpasan

(mm)

Erosi

(kg/Ha) % Limpasan % Erosi

1. Baseline 17,888 1289 32,95 0

2. Skenario 1 18,047 1267 33,26 -1,70

3. Skenario 2 18,286 1749 33,7 35,68

4. Skenario 3 19,561 1576 36,0 -1,00

5. Skenario 4 18,148 1779 33,4 38,01

6. Skenario 5 17,935 1700 33,0 31,88

7. Skenario 6 17,945 969 33,1 -24,82

8. Skenario 7 18,044 1213 33,26 -5,97

9. Skenario 8 17,970 1181 33,12 -8,38

Ket : * tanda negatif (-) didepan nilai erosi menandakan persen penambahan dibandingkan

dengan baseline. Persentase limpasan merupakan perbandingan jumlah limpasan dengan

jumlah curah hujan.

Untuk mendukung Jabar Green Province maka Pemda Jabar membuat aturan

diperlukan minimal 45% KL (Kawasan Lindung) yang terdiri dari Kawasan Hutan

Konservasi dan Hutan Lindung sesuai dengan SK Menteri Kehutanan. Berdasarkan

analisis diprediksi pada tahun 2025 kebutuhan air di Jawa Barat adalah 28.179,26

juta m3/th, sementara itu pada tahun 2025 ketersediaan air sungai hanya mencapai

14.150,2 juta m3/th (hanya dapat memenuhi 50 % dari kebutuhan). Kondisi tersebut

diperparah lagi dengan jumlah 22 DAS (total 41 DAS) di Jawa Barat adalah sangat

kritis, kualitas air sungai di 7 DAS utama dengan nilai COD dan BOD yang melebihi

ambang batas serta perubahan tutupan lahan Jawa Barat 1994-2005 banyak yang

tidak sesuai dengan peruntukannya sehingga semakin menurunkan daya dukung

lahan pada unit DAS (Sudarna, 2012). Kebijakan luasan Kawasan Lindung seluas

45% di Jawa Barat diperlukan untuk: mengembalikan fungsi hidroorologis,

Page 107: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 13

diorientasikan kepada kemampuan daya tampung wilayah, pertimbangan penurunan

daya dukung lingkungan, menjaga kestabilan tanah dan erosi, kemampuan daya

dukung sumber daya alam yang tersedia dan menjaga keseimbangan ekosistem antar

wilayah berbasis DAS.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane sebagai salah satu DAS sangat kritis di

Jawa Barat memiliki posisi strategis untuk mendukung pemenuhan kebutuhan air di

wilayah Bogor, Tangerang dan Depok. Model penggunaan lahan 30% untuk

agroforestri, 30% untuk hutan tanaman dan 40% untuk pemukiman merupakan

model yang ideal untuk diterapkan di wilayah DAS Cisadane Bagian Tengah karena

memberikan tingkat limpasan dan erosi yang paling kecil. Dengan menggunakan

model penggunaan lahan tersebut diharapkan produktivitas air akan semakin

meningkat pada wilayah DAS Cisadane Bagian Tengah sehingga kelestarian air tetap

terjamin untuk memenuhi konsumsi air bagi warga sekitar DAS Cisadane Bagian

Tengah.

A.3. Analisis sensitivitas model perubahan lahan dari hulu sampai hilir

Perubahan penutupan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu dan Cipeucang serta

DAS Cisadane bagian tengah semestinya menjadi perhatian serius para pemangku

kepentingan terutama Pemerintah Daerah setempat dalam mengatur penggunaan

lahan yang dapat meningkatkan daya dukung Sub DAS Cisadane Hulu dan

Cipeucang, serta DAS Cisadane bagian tengah. Upaya pengaturan penggunaan lahan

untuk meningkatkan daya dukung DAS telah diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang

No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa Pemerintah

menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan minimal 30% dari

luas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Regulasi ini mengamanahkan bahwa tataguna hutan harus mengusahakan keberadaan

dan keamanan kawasan hutan disetiap DAS minimal 30 % dari luas DAS. Upaya

pengelolaan hutan yang didasarkan pada Undang-Undang Kehutanan tersebut

mempersyaratkan bahwa untuk mencapai pengelolaan hutan secara lestari perlu

dibuat perencanaan hutan dengan melalui perencanaan tataguna hutan berdasarkan

peruntukan fungsinya dimana dalam pelaksanaannya mempertimbangkan DAS

sebagai unit analisis ekosistem (Rachman, 2010).

Peningkatan persentase penutupan lahan hutan menjadi 30% dan 45%

diharapkan dapat meningkatkan fungsi hidrologi Sub DAS Cisadane Hulu dan

Cipeucang yang terlihat dari menurunnya limpasan dan erosi yang terjadi. Sementara

itu, peningkatan areal hutan menjadi 25% sampai dengan 30% di DAS Cisadane

bagian tengah dapat meningkatkan fungsi hidrologis yang terlihat dari menurunnya

nilai limpasan dan erosi yang terjadi. Hasil analisis fleksibilitas model terhadap

perubahan lahan menunjukkan bahwa lahan hutan dan kebun rakyat merupakan dua

bentuk penggunaan lahan yang peruntukannya harus diprioritaskan dan

dipertahankan keberadaannya. Semakin kecil nilai S maka semakin memperlihatkan

Page 108: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 14

semakin besarnya pengaruh parameter tersebut terhadap hasil ouput. Parameter

penutupan lahan mempunyai nilai S yang lebih kecil dibanding yang lainnnya yang

menunjukkan bahwa pengaruh parameter pengelolaan lebih berpengaruh terhadap

parameter sifat tanah (Tabel 7).

Tabel 7. Analisis Sensitivitas Model di DAS Cisadane bagian tengah

No. Variabel Parameter Input Output

S Limpasan Erosi

1. Limpasan Tanah 12,34 13,76 0,10

Tata Guna Lahan 12,44 13,33 0,07

2. Erosi Tanah 704 959 0,30

Tata Guna Lahan 831 837 0,07

Pertimbangan aspek ekonomi dalam pengelolaan sumber daya lahan di DAS

Cisadane bagian tengah tetap perlu memperhatikan keseimbangan fungsi ekologis

terutama fungsi hidrologis DAS yang memberikan jaminan tata air yang masih

berfungsi secara optimal.

B. Studi penelitian di Sub DAS Limboto dan Sub DAS Tondano bagian hulu

(Sulawesi Utara)

B.1. Sub DAS Limboto

Hasil analisis data pengamatan tinggi kadar sedimentasi terjebak dalam rorak

yang dipasang pada plot kontrol, menunjukkan bahwa besaran erosi rata-rata sebesar

16,54 ton/ha/tahun dengan curah hujan 1.095 mm/th, atau ekivalen dengan 1,2 mm

lapisan tanah. Besarnya erosi menurun jika dibandingkan pada tahun 2008 yaitu

sebesar 21,15 ton/ha/tahun dengan curah hujan sebesar 2.766 mm/tahun. Hal ini

kemungkinan tanaman ujicoba telah memberikan pengaruh terhadap sistem tata air di

lokasi kegiatan, dan secara visual telah muncul beberapa mata air di daerah bagian

bawah, namun untuk lebih memastikannya hal ini diperlukan penelitian lebih lanjut.

B.2. Sub DAS Tondano

Berdasarkan analisis data, besarnya limpasan yang terukur selama penelitian

pada masing-masing plot penelitian pada setiap kemiringan lereng dapat dilihat pada

Tabel 8 di bawah ini:

Tabel 8. Limpasan Permukaan (m3/ha) dan Erosi pada masing-masing plot

penelitian pada setiap kemiringan lereng

Perlakuan CH

(mm)

B I B II B III

Limp.Perm

(m3/ha)

Erosi

(ton/ha)

Limp.Perm

(m3/ha)

Erosi

(ton/ha)

Limp.Perm

(m3/ha)

Erosi

(ton/ha)

P0 1.067 248,571 0,1048 403,546 0,1124 548,434 0,1564

P1 1.067 268,753 0,1231 334,750 0,1386 424,167 0,1452

P2 1.067 234,145 0,1056 221,545 0,1021 412,856 0,1234

Page 109: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 15

Keterangan perlakuan:

P0 : Bedengan + bunga kol + jagung (kontrol/sesuai petani setempat)

P1 : Bedengan + mulsa vertikal + bunga kol + jagung

P2 : Bedengan + mahoni + cempaka + mulsa vertikal + bunga kol + jagung

B I : Kemiringan lereng 22 % sebagai wakil kemiringan lereng 15 - 30 %

B II : Kemiringan lereng 33 % sebagai wakil kemiringan lereng 30 - 45 %

B III : Kemiringan lereng 46 % sebagai wakil kemiringan lereng > 45 %

Berdasarkan Tabel 8 rata-rata limpasan pada masing-masing perlakuan yang

dicobakan (P0, P1 dan P2) tertinggi terjadi pada P0 yaitu 548,434 m3/ha. Sedangkan

limpasan terendah terjadi pada P2 sebesar 233,559 m3/ha.

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa limpasan permukaan paling kecil

terjadi pada P2 dibandingkan dengan dua perlakuan lainnya. Hal ini berarti bahwa

perlakuan yang dicobakan memberikan hasil yang baik dalam menekan limpasan

permukaan (run off) dalam meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah. Hal ini

diperkirakan adanya aplikasi mulsa dan perkembangan dari akar tanaman tahunan

yang ditanam di lokasi uji coba, sehingga jumlah curah hujan yang turun lebih

banyak menjadi air infiltrasi.

Dari hasil analisis, rata-rata erosi pada masing-masing perlakuan yang dicobakan

(P0 P1 dan P2) tertinggi terjadi pada perlakuan teknik konservasi tanah berupa

bedengan yaitu 0,1723 ton/ha. Sedangkan perlakuan teknik konservasi tanah

bedengan yang di kombinasi mulsa vertikal dan penanaman tanaman bunga kol,

jagung, cempaka dan mahoni menghasilkan erosi terendah sebesar 0,083 ton/ha.

3.2. Pemilihan jenis dalam mendukung optimalisasi tata air

A. Kajian erosi dan neraca air pada berbagai jenis vegetasi sebagai basis

pemodelan tata air

Beberapa jenis tegakan hutan tanaman yang diujicoba dalam penelitian ini

adalah akasia, sengon, mahoni, kayu putih, nyamplung dan eukaliptus. Jenis-jenis

tersebut memiliki karakteristik vegetasi dan berpengaruh spesifik terhadap nilai

erosi, limpasan permukaan, evapotranspirasi dan neraca air dalam suatu kawasan.

A.1. Karakteristik vegetasi

Keberadaan vegetasi pada suatu wilayah akan memberikan dampak positif bagi

keseimbangan ekosistem dalam skala yang lebih luas antara lain dengan pengaturan

keseimbangan karbon dioksida dan oksigen dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia,

dan biologis tanah, pengaturan tata air kawasan, pengendalian erosi, dan sebagainya.

Berkaitan dengan fungsi pengaturan tata air dan pengendalian erosi, setiap tipe

vegetasi menunjukkan pengaruh yang berbeda karena struktur dan komposisinya

bervariasi. Pada umumnya peran tanaman dinilai positif terhadap kelestarian sumber

daya air kawasan baik kualitas maupun kuantitasnya. Beberapa informasi

menunjukkan bahwa kelestarian sumber daya air tergantung dari kondisi hutan pada

kawasan tersebut. Pada saat hutan ditebang hasil air pada awalnya akan meningkat

Page 110: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 16

karena berkurangnya evapotranspirasi, namun lama kelamaan hasil air tersebut akan

berkurang karena jumlah air yang tersimpan di dalam tanah juga berkurang. Hal ini

disebabkan karena air hujan yang jatuh pada areal hutan yang telah terbuka, sebagian

besar langsung menjadi aliran permukaan. Seyhan (1990) mengemukakan bahwa

penggunaan vegetasi penutup hutan akan dapat memperbaiki fluktuasi aliran air.

Banyaknya air hujan yang tidak langsung dapat mencapai permukaan tanah

tergantung pada karakteristik tanaman penutup yang meliputi bentuk dan ukuran

daun, bentuk dan kerapatan tajuk, kekasaran kulit batang dan kelurusan batang pohon

(Pramono, 2006 dalam Purwanto dan Rahardyan, 2011). Air yang dapat mencapai

permukaan tanah sebagian meresap ke dalam tanah dan sebagian akan mengisi

ledok ledok permukaan tanah (depression storage), dan sisanya akan mengalir

sebagai limpasan (runoff). Banyaknya air yang meresap ke dalam tanah tergantung

pada sifat sifat fisik tanah terutama tekstur dan stuktur tanah, keadaan topografi

permukaan dan keadaan relief mikro permukaan tanah.

A.1.1. Tanaman sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen)

Tanaman sengon memiliki peran yang sangat penting dalam mengatur tata air

atau neraca air dalam suatu areal hutan. Tanaman sengon memiliki tajuk berbentuk

seperti payung namun porous (lolos cahaya/angin/air) yang sangat baik untuk

pertumbuhan tanaman bawah karena bentuk tajuk tersebut masih memberi ruang

bagi jenis-jenis tumbuhan lain yang berada di bawahnya untuk bisa tumbuh, terlebih

ditunjang dengan peran tanaman sengon tersebut yang juga sebagai peningkat

kesuburan tanah. Penelitian hutan tanaman sengon umur 5-6 tahun di Ubrug-

Jatiluhur (Nambiar and Brown, 1997 dalam Sukresno et al., 2010) menunjukkan

bahwa besarnya air hujan yang jatuh yang diintersepsi oleh tajuk tanaman sengon

sebesar 18% atau air hujan yang lolos dari tajuk (throughfall) sebesar 82%.

Penelitian lainnya menunjukkan bahwa pada hutan tanaman sengon umur 8 tahun

(lebih tua) memiliki air yang diintersepsi sebesar 23% atau yang menjadi throughfall

sebesar 77% (Nambiar and Brown, 1997 dalam Sukresno et al., 2010). Dengan fakta

tersebut mengindikasikan bahwa semakin besar umur tanaman sengon, air lolos atau

throughfall semakin kecil sehingga selanjutnya dapat memperkecil air limpasan

permukaan. Tanaman sengon memiliki perkembangan akar yang banyak ke arah

horizontal sehingga memungkinkan terjadinya persaingan untuk memperoleh air

antar tanaman sengon dengan tanaman semusim yang dibudidayakan jika

ketersediaan air yang ada terbatas jumlahnya.

A.1.2. Tanaman akasia (Acacia mangium)

Salah satu komponen penting tanaman akasia terkait pengaturan tata air adalah

dihasilkannya serasah daun akasia dilantai hutan. Lapisan serasah pada lantai hutan

mampu mencegah jatuhnya air hujan langsung sebelum mencapai permukaan tanah.

Serasah dapat menghindari titik air hujan jatuh langsung ke permukaan tanah dan

Page 111: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 17

mampu mengurangi aliran permukaan serta dapat meningkatkan infiltrasi ke dalam

tanah (Sukresno et al., 2010).

A.1.3. Tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum L.)

Tanaman nyamplung mudah dibudidayakan, tumbuh baik pada ketinggian 0-800

meter dpl seperti di hutan, pegunungan dan rawa-rawa, curah hujan antara 1000-5000

mm per tahun, pH tanah 4,0-7,4, tahan pada tanah tandus, daerah pantai yang kering

dan berpasir atau digenangi air laut.

A.1.4. Tanaman mahoni (Swietenia macrophylla)

Mahoni dapat tumbuh dengan subur di pasir payau dekat dengan pantai dan

menyukai tempat yang cukup sinar matahari langsung. Tanaman ini termasuk jenis

tanaman yang mampu bertahan hidup di tanah gersang sekalipun. Walaupun tidak

disirami selama berbulan-bulan, mahoni masih mampu untuk bertahan hidup. Syarat

lokasi untuk budidaya mahoni diantaranya adalah ketinggian lahan maksimum 1.500

meter dpl, curah hujan 1.524-5.085 mm/tahun, dan suhu udara 11-36OC.

A.1.5. Tanaman kayu putih (Melaleuca cajuputi)

Keistimewaan tanaman kayu putih adalah mampu bertahan hidup di tempat yang

kering, di tanah yang berair, atau di daerah yang banyak memperoleh guncangan

angin atau sentuhan air laut. Tanaman ini tumbuh liar di daerah berhawa panas.

Tanaman kayu putih tidak memerlukan syarat tumbuh yang spesifik. Pohon kayu

putih dapat mencapai ketinggian 45 kaki. Dari ketinggian antara 5 - 450 m di atas

permukaan laut, terbukti bahwa tanaman yang satu ini memiliki toleransi yang cukup

baik untuk berkembang.

A.1.6. Tanaman eukaliptus (Eucalyptus pellita)

Tanaman eukaliptus yang memiliki karakteristik tajuk mengerucut dan daun

yang rapat menghasilkan aliran air throughfall, stemflow dan intersepsi sebagaimana

Tabel 9 berikut ini:

Tabel 9. Lolosan tajuk (througfall), aliran batang (stemflow) dan intersepsi hujan

pada masing-masing umur tanaman E. pellita di Riau (Supangat, 2012)

Umur

tanaman

Curah

Hujan

(mm)

n

Tf

(throughfall)

(mm) / (%)

Sf

(stemflow)

(mm) / (%)

I (intersepsi)

(mm) / (%)

2 th 1054 45 847,4 (80,4) 39,3 (3,7) 167,4 (15,9)

3 th 1008 40 783,6 (77,7) 36,1 (3,6) 188,3 (18,7)

4 th 797 43 633,9 (79,5) 32,5 (4,1) 130,6 (16,4)

5 th 824 46 684,6 (83,1) 32,5 (3,9) 106,9 (13,0)

6 th 765 44 634,6 (83,0) 28,3 (3,7) 102,1 (13,3)

Page 112: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 18

A.2. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman terhadap erosi dan neraca air

Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman kayu putih, sengon, akasia, mahoni,

nyamplung dan eukaliptus terhadap erosi dan neraca air selama tahun 2008 sampai

dengan 2012 disajikan pada Tabel 10, Tabel 11, Tabel 12, Tabel 13, Tabel 14 dan

Tabel 15 sebagai berikut:

Tabel 10. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman kayu putih terhadap erosi dan

neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Gunung Kidul, DIY

No Parameter Tahun

Jmlh Rata

-rata 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

1. Curah Hujan (mm) 895 1667 775 1982 - 1976 1969 9264 1544

2. Evapotranspirasi

(mm) 505 798 370 554 - 632 787 3646 608

3. Hasil Air (mm) 501 650 418 971 - 674 979 4193 699

4. Koefisien aliran 0,56 0,39 0,54 0,49 - 0,34 0,50 2,82 0,47

Keterangan : Curah hujan th 2006 : mulai bulan April – Desember 2006

Tabel 11. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman sengon terhadap erosi dan neraca air

selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah

No Parameter Tahun

Jmlh Rata-

rata 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

1. Curah Hujan (mm) 1254 3292 - 3474 2487 10507 2627

2. Evapotranspirasi

(mm) 467 938 - 764 708 2877 719

3. Erosi (kg/ha) 18,47 28,64 - 37,96 - 85,07 28,35

4. Hasil Air (mm) 448 1267 - 1546 1454 4750 1179

5. Koefisien aliran 0,36 0,38 - 0,44 0,58 1,76 0,44

Keterangan : Erosi th 2012 : dalam proses penyelesaian

Tabel 12. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman akasia terhadap erosi dan neraca air

selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah

No Parameter Tahun

Jmlh Rata-

rata 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

1. Curah Hujan (mm) 1994 1455 - 1663 2045 7157 1789

2. Evapotranspirasi

(mm) 503 321 - 470 596 1890 472

3. Erosi (kg/ha) 20,05 12,56 - 3,204 - 35,814 11,93

4. Hasil Air (mm) 697 438 - 691 894 2720 680

5. Koefisien Aliran 0,35 0,30 0,41 0,44 1,5 0,37

Keterangan : Erosi th 2012 : dalam proses penyelesaian

Page 113: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 19

Tabel 13. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman mahoni terhadap erosi dan neraca

air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur

No Parameter Tahun

Jmlh Rata-

rata 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

1. Curah Hujan (mm) 1218 2051 - 2142 1665 7076 1769

2. Evapotranspirasi

(mm) 406 774 - 573 531 2284 571

3. Erosi (kg/ha) 21,56 24,12 - 26,74 - 72,42 24,14

4. Hasil Air (mm) 437 948 - 792 393 2570 642

5. Koefisien Aliran 0,36 0,46 - 0,37 0,59 1,78 0,44

Keterangan : Erosi th 2012 : dalam proses penyelesaian

Tabel 14. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman nyamplung terhadap erosi dan

neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012 di Kabupaten Karanganyar, Jawa

Tengah

No Parameter Tahun

Jmlh Rata-

rata 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

1. Curah Hujan (mm) 2686 1192 - 1955 1983 7816 1954

2. Evapotranspirasi

(mm) 859 572 - 542 442 2415 604

3. Erosi (kg/ha) 27,84 18,72 - 15,98 - 62,54 20,84

Keterangan : Erosi th 2012 :- dalam proses penyelesaian,

- tidak ada SPAS – data hasil air dan koefisien tidak ada.

Tabel 15. Pengaruh jenis tegakan hutan tanaman eukaliptus terhadap erosi dan

neraca air selama tahun 2008 sampai dengan 2012

Parameter Neraca Air Tahun

2008 2009 2010 2011 2012

Umur tanaman (th) 2 3 4 5 -

Curah hujan, P (mm) 2.813 2.679 2.783 1.663 2.219

Limpasan, Q (mm) 1.467,6 1.245,9 948,7 474,6 1.134,1

Evapotranspirasi, ET (mm) 1.345,4 1.433,1 1.834,3 1.188,4 1.084,9

% ET terhadap Hujan 47,8 53,5 65,9 71,5 48, 9

Jenis tanaman eukaliptus menghasilkan nilai evapotranspirasi paling tinggi yaitu

berkisar antara 1.084,9 mm sampai dengan 1.834,3 mm. Penanaman eukaliptus

harus hati-hati dengan mempertimbangkan ketersediaan air di dalam tanah untuk

mencegah kekurangan air. Eukaliptus hendaknya ditanam pada areal/wilayah yang

memiliki tingkat ketersediaan airnya tinggi untuk mengimbangi tingginya

evapotranspirasi. Tanaman akasia menghasilkan nilai rata-rata erosi paling kecil

yaitu 11,93 kg/ha. Hal ini disebabkan oleh timbunan serasah daun akasia yang cukup

tebal di lantai hutan sehingga dapat mengurangi aliran limpasan dan material tanah

Page 114: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 20

yang terbawa oleh air. Rata-rata hasil air paling tinggi ditunjukkan pada jenis

tanaman sengon sebesar 1.179 mm. Dengan demikian, tanaman sengon ini dapat

ditanam pada lahan-lahan kritis untuk meningkatkan pasokan air kedalam tanah.

B. Kajian dampak penanaman jenis kayu pertukangan terhadap tata air

Dalam proses hidrologi, tidak semua masukan yang berupa curah hujan akan

langsung menjadi luaran berupa limpasan (runoff). Curah hujan yang turun pada

suatu kawasan akan melalui eberapa proses sebelum akhirnya menjadi limpasan

(runoff). Dalam proses hidrologi pada suatu kawasan tersebut, tidak semua masukan

yang berupa curah hujan akan langsung menjadi luaran berupa limpasan (runoff). Hal

ini disebabkan karena air hujan akan mengalami proses kehilangan air yang

disebabkan karena beberapa hal yaitu evaporasi, transpirasi, gabungan antara

evaporasi dan transpirasi atau yang sering disebut dengan evapotranspirasi dan

kebocoran pada sistem airtanah. Disamping itu dalam sistem siklus hidrologi terdapat

sebagian air yang tertahan sementara di dalam tanah dan baru akan dikeluarkan/

dilepaskan ke sistem sungai pada suatu waktu/rentang waktu tertentu. Besaran waktu

atau rentang waktu dilepaskannya air dari dalam tanah tergantung dari banyak hal,

antara lain jenis tanahnya, tekstur tanahnya, jenis batuan (kondisi geologi) dan

sebagainya. Dengan demikian pada umumnya dalam sistem siklus hidrologi besarnya

luaran akan selalu lebih kecil dari masukannya. Namun demikian dalam kasus

tertentu dimungkinkan volume luaran justru lebih besar dari masukannya, hal ini

mungkin saja terjadi pada wilayah-wilayah dengan kondisi geologi tertentu.

Kegiatan kajian dampak penanaman jenis kayu pertukangan terhadap tata air

difokuskan pada areal ujicoba SILIN (Silvikultur Intensif) pada 2 plot dengan

karakteristik plot sebagai berikut:

Plot 1: Kemiringan 24,43o, tumbuhan bawah kurang, serasah tebal, penutupan

tajuk 16,7% (8-74 %), tinggi tanaman 3,9 m, diameter tanaman 3,4 cm dan lebar

tajuk 2,2 m.

Plot 2: Kemiringan 19,28o, tumbuhan bawah alang-alang, serasah kurang,

penutupan tajuk 6 % (1-12%), tinggi tanaman 2,5 m, diameter tanaman 1,6 cm

dan lebar tajuk 1,6 m.

Hasil kajian pada kedua plot tersebut menunjukkan bahwa (Purwanto dan

Rahardyan, 2011):

Erosi lahan pada plot 1 (vegetasi tanaman bawah tidak ada, seresah tebal) =

0,0804 Kg/ha/16 hari pengamatan sedangkan pada plot 2 (vegetasi tanaman

bawah alang-alang, tidak ada seresah) = 0,0226 kg/ha/16 hari pengamatan.

Sedangkan limpasan permukaan pada plot 1 = 37,10 m3/ha/16 hari pengamatan

sedangkan pada plot 2 limpasan permukaannya = 21,74 m3/ha/16 hari

pengamatan.

Page 115: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 21

Aliran batang pada Pohon A = 0,0069 mm/16 hari pengamatan, Pohon B = 0,0121

mm/ 16 hari pengamatan, dan Pohon C = 0,0076 mm/16 hari pengamatan.

Sedangkan besarnya air lolos pada Pohon A = 16,9 mm/16 hari pengamatan,

Pohon B = 24,54 mm/16 hari pengamatan, dan Pohon C = 28,10 mm/16 hari

pengamatan

Curah Hujan di lokasi penelitian = 14,8 mm/16 hari pengamatan

Debit aliran sungai Jupoi = 79,63 ltr/detik selama 16 hari pengamatan

Page 116: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 22

IV. PENUTUP

Pola pengelolaan tata guna lahan dalam mendukung optimalisasi tata air sangat

ditentukan oleh dinamika/perubahan dinamis terkait pertumbuhan penduduk,

perubahan sosial ekonomi budaya dan perkembangan teknologi. Konsep

pengelolaan DAS dari hulu sampai dengan hilir perlu memperhatikan prioritas

sensitivitas penggunaan lahan yang berbeda-beda dari tingkat hulu, tengah dan hilir

dengan tetap memperhatikan faktor ekologi sebagai faktor utama.

Pemilihan jenis tegakan hutan tanaman yang tepat untuk mendukung rehabilitasi

hutan dan lahan dalam wilayah DAS sangatlah penting dalam menjaga pasokan air

didalam tanah agar tidak terjadi kekeringan. Untuk itu kriteria jenis yang dipilih

adalah evapotranspirasi rendah, hasil air tinggi, erosi rendah dan aliran limpasan

rendah.

Page 117: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 23

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 2000. Konservasi tanah dan air. IPB Press.

Asdak, C. 2005. Hidrologi dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

Badan Planologi Kehutanan. 2007. Statistik kehutanan. Departemen Kehutanan.

Jakarta.

Baver, L.D. 1972. Soil Physics. John Wiley and Son Inc. New York. Charles E.

Tuttle Company. Modern Asia Edition. Third Edition.

Frevert, R.K, G.O. Schwab, T.W. Edminster, and K.K. Barness. 1963. Soil and

Water Conservation Engineering (Third Edition) John Wiley and Son Inc.

New York.

Murtiono, U.H., Supangat, A.B., Sulasmiko, E. dan Budiono, A. 2012. Kajian erosi

dan neraca air pada berbagai jenis vegetasi sebagai basis pemodelan tata air.

Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan

Daerah Aliran Sungai. Surakarta.

Purwanto, B.S. dan Rahardyan, A. 2011. Kajian dampak penanaman jenis kayu

pertukangan terhadap tata air. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.

Kalimantan Selatan.

Rachman, S. 2010. Kebijakan dan Upaya Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dari

Sektor Kehutanan. Bunga Rampai II Masyarakat Konservasi Tanah dan Air

Indonesia. Jakarta.

Setiawan, Budi Indra. 1999. Land Use Planning For Cigulung Maribaya Sub

Watershed Using ANSWERS Model. Proceeding of International Workshop

on Sustainable Resource Management for Cidanau Watershed. RUBRD-

UT/IPB. Bogor.

Seyhan, E., 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta

Sudarna, A. 2012. Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Puncak Dalam Perspektif

Kebijakan Tata Ruang Provinsi Jawa Barat . Bahan presentasi disampaikan

pada Acara Diskusi Kelompok Terbatas Arahan Pemanfaatan Ruang

Kawasan Puncak, Oktober 2012. Bogor.

Supangat, A.B. 2012. Neraca air hutan tanaman Eucalyptus pellita di Riau.

Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Kuok. Riau.

Sukresno, Murtiono, U.H., Miardini, A., Sulasmiko, E., Sumardi dan Sugianto, A.

2010. Penelitian dampak hutan tanaman terhadap erosi, evapotranspirasi dan

hidrologi. Balai Penelitian Kehutanan Solo.

Page 118: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 119: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

BUKU IV

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

ASPEK : EVALUASI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT

UNTUK USAHA TANI DI KALIMANTAN TENGAH

PENYUSUN:

BUDI HADI NARENDRA, S.Hut, M.Si, M.Sc.

Dr. I WAYAN SUSI DHARMAWAN, S.Hut, M.Si

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN

BOGOR 2014

Page 120: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 121: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................... i

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii

I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2. Tujuan dan Sasaran ....................................................................................... 2

1.3. Luaran ........................................................................................................... 2

II. KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT .......................................... 3

2.1. Identifikasi regulasi yang ada ......................................................................... 3

2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi ............................... 4

2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan .................................................. 4

III. EVALUASI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT UNTUK USAHA

TANI .................................................................................................................... 5

3.1. Karakteristik Lahan Gambut Kalampangan .................................................... 5

3.2. Usaha tani masyarakat di lahan gambut .......................................................... 7

3.3. Kearifan lokal pengelolaan lahan gambut ....................................................... 8

IV. PENUTUP ............................................................................................................ 10

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 11

Page 122: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 123: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal.

1. Contoh tanah yang diambil dengan bor gambut (kiri) dan ring sampel

(kanan) ................................................................................................................. 5

2. Beberapa komoditas pada pertanian intensif .......................................................... 8

3. Saluran drainase mikro (kiri) dan saluran drainase utama (kanan) ......................... 10

Page 124: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 125: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dicirikan oleh

adanya akumulasi bahan organik yang berlangsung dalam kurun waktu

lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan

laju penimbunan bahan organik yang terdapat di lantai hutan lahan basah. Indonesia

merupakan negara dengan kawasan gambut tropika terluas di dunia, yaitu antara 13.5

– 26.5 juta ha, maka 50% gambut tropika dunia yang luasnya sekitar 40 juta ha

berada di Indonesia (Najiyati dkk., 2005).

Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam tata air suatu DAS karena mampu

menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya. Kerusakan ekosistem gambut

berdampak besar terhadap lingkungan setempat (in situ) maupun lingkungan

sekelilingnya (ex situ). Kejadian banjir di hilir DAS, kebakaran, hilangnya plasma

nutfah merupakan beberapa dampak dari rusaknya ekosistem gambut (Indriastuti,

2010).

Pemanfaatan lahan gambut dengan cara mempertahankannya sebagai habitat

ratusan species tanaman hutan, merupakan suatu kebijakan yang sangat tepat.

Disamping kawasan gambut tetap mampu menyumbangkan fungsi ekonomi bagi

manusia di sekitarnya (produk kayu dan non kayu) secara berkelanjutan, fungsi

ekologi hutan rawa gambut sebagai pengendali suhu, kelembaban udara dan tata air

kawasan akan tetap berlangsung sebagai konsekuensi dari ekosistemnya tidak

berubah. Pemanfaatan lahan gambut untuk tanaman pertanian, perkebunan, dan

kehutanan yang bukan dari jenis endemik tergolong sangat rawan, terutama jika

dilaksanakan pada gambut tebal di daerah pedalaman karena mengharuskan adanya

upaya menyesuaikan kondisi air lahan atau mengeringkan lahan dengan cara

membuat saluran drainase atau kanal (Limin, 2006). Pengelolaan yang terlanjur

salah pada areal ini, seperti adanya penebangan baik legal maupun illegal, adanya

pembukaan kanal/parit yang berlebihan, pola penguasaan kanal/parit, dan terjadinya

kebakaran menyebabkan turunnya fungsi penting areal ini yang pada akhirnya

berdampak pada kesejahteraan masyarakat sekitar.

Berbagai upaya rehabilitasi kerusakan lahan gambut telah banyak dilakukan,

namun tidak semuanya dapat berhasil. Menurut Barkah (2009), pelaksanaan

rehabilitasi perlu memperhatikan aspek tata guna lahan, aspek sosial ekonomi

masyarakat, aspek biofisik areal, dan aspek pengelolaan areal. Aspek fisik areal yang

harus dikuasai sebagai salah satu kunci keberhasilan rehabilitasi antara lain meliputi

tipe tutupan, penyebab degradasi, klasifikasi dan luasan areal degradasi, kondisi tata

air dan genangan, kemampuan regenerasi alam, karakteristik gambut, dan kesesuaian

lahan serta jenis tanaman yang akan digunakan, termasuk juga faktor ancaman

terhadap kelestarian hutan.

Page 126: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 2

1.2. Tujuan dan sasaran

Sintesis ini bertujuan menyajikan hasil kajian pengaruh pola pemanfaatan usaha

tani lahan gambut terhadap kondisi tanah dan tata air. Sasarannya adalah model

pengelolaan lahan gambut yang optimal pada berbagai kondisi lapisan gambut dan

tata airnya.

1.3. Luaran

Paket data dan informasi teknik pengelolaan lahan gambut untuk usaha tani yang

sesuai dengan kondisi lapisan gambut dan tata airnya.

Page 127: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 3

II. KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT

Sehubungan dengan kebijakan di Kementerian Kehutanan mengenai pengelolaan

gambut, beberapa regulasi telah disusun. Namun demikian implementasi di lapangan

agaknya belum sepenuhnya dilaksanakan.

2.1. Identifikasi regulasi yang ada

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

Dalam UU ini ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi

kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan

iklim yang di dalamnya termasuk kriteria baku kerusakan gambut.

Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 tentang Pengendalian kerusakan

tanah untuk produksi biomassa

Peraturan Pemerintah ini antara lain mengatur kriteria baku kerusakan tanah di

lahan basah (gambut) dengan merinci parameter yang digunakan, ambang

kritisnya, metode pengukuran, dan peralatan yang digunakan.

Peraturan Pemerintah RI No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian kerusakan dan

atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan

atau lahan

Peraturan Pemerintah ini mengatur upaya pencegahan, penanggulangan, dan

pemulihan serta pengawasan terhadap pengendalian kerusakan dan atau

pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau

lahan termasuk di dalamnya yang terjadi pada lahan gambut.

Peraturan Menteri Pertanian No.14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman

pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit

Pedoman ini mengatur pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit

sebagai upaya mewujudkan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan

dengan tetap memerhatikan kelestarian fungsi lingkungan, dengan tujuan

mengembangkan, memelihara kelestarian fungsi lahan gambut, dan meningkatkan

produksi dan pendapatan produsen kelapa sawit.

Keputusan Menteri Kehutanan RI No. SK.3706/Menhut-VII/IPSDH/2014 tentang

Penetapan peta indikatif penundaan izin baru pemanfaatan hutan, penggunaan

kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan dan areal penggunaan

lain (Revisi VI)

Keputusan ini mengatur tentang penggunaan kawasan hutan yang di dalamnya

juga terdapat lahan gambut

Page 128: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 4

Peraturan Pemerintah RI No. 24 tahun 2010 tentang Penggunaan kawasan hutan

yang dirubah dengan Peraturan Pemerintah RI No. 61 tahun 2012

Peraturan ini mengatur penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk

kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan

peruntukan kawasan hutan tersebut dengan mempertimbangkan batasan luas dan

jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan

Undang-undang Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Gambut. Undang-

undang ini mengatur aspek teknis kriteria dan indikator dalam melakukan

pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut secara lestari dan berkelanjutan.

2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi

Untuk mendukung kelestarian pemanfaatan lahan gambut, kebijakan yang

diambil perlu didukung oleh hasil penelitian yang akurat. Beberapa aspek teknis

pengelolaan gambut dapat diformulasikan secara nasional namun aspek lainnya akan

bersifat spesifik tergantung kondisi lokasi lahan gambut. Penetapan aspek teknis

yang masih perlu mendapat dukungan data hasil penelitian antara lain:

- Karakteristik gambut yang sesuai untuk budidaya tanaman

- Tinggi muka air optimal untuk kelestarian produksi tiap jenis tanaman yang

diusahakan dan kelestarian fungsi ekosistem gambut

- Batasan kedalaman drainase lahan gambut untuk kegiatan budidaya yang tetap

memberikan tata air optimal, baik itu untuk tanaman perkebunan, pertanian

maupun hutan tanaman industri

- Metode penyiapan lahan yang sesuai

- Pengaruh pola pemanfaatan lahan gambut terhadap karakteristik gambut dan

fungsi tata air

2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan

Permasalahan yang masih sering dijumpai di lapangan adalah tidak

terkendalinya kejadian kebakaran hutan dan hilangnya fungsi gambut sebagai

penyimpan air di saat musim kemarau. Hal tersebut masih terjadi meskipun telah ada

pengaturan tinggi muka air melalui pembuatan pintu-pintu air namun kenyataannya

saat musim kemarau tinggi muka air di gambut sangat jauh dari permukaan bahkan

berada di bawah lapisan gambut. Hal ini mengakibatkan terjadinya kerusakan pada

karakteristik gambut dan sangat rentan terhadap kebakaran.

Page 129: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 5

III. EVALUASI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT UNTUK

USAHA TANI

3.1. Karakteristik Lahan Gambut Kalampangan

Lahan gambut ini terletak diantara dua sungai yaitu Sungai Kahayan dan Sungai

Sebangau. Bentuk lahannya berupa dataran alluvial dari endapan bahan-bahan

alluvial berupa liat, bahan organik, atau pasir dari sungai. Ketebalan gambut dapat

mencapai 12 m dengan lapisan di bawah gambut didominasi pasir kuarsa. Gambut di

Kalampangan termasuk tipe ombrogen oligotropik yang dicirikan oleh reaksi tanah

yang masam sampai sangat masam, kapasitas tukar kation yang tinggi dan rendahnya

unsur hara tersedia bagi tanaman. Tanah gambut ini diklasifikasikan ke dalam

tropohemist dengan bahan induk didominasi sisa-sisa vegetasi berupa kayu (Tim

Fakultas Pertanian IPB, 1986).

Analisis gambut di tiap titik pengamatan menunjukkan gambut di Kalampangan

termasuk gambut kategori dalam (200 – 300 cm) atau sangat dalam (> 300 cm)

sehingga sangat sulit memanfaatkannya sebagai lahan pertanian tanpa adanya saluran

drainase. Analisis contoh gambut yang dilakukan dengan bor gambut seperti tampak

di Gambar 2 pada kedalaman berjenjang tiap 50 cm menunjukkan berbagai variasi

warna gambut yang dijumpai mulai dari 2.5Y 2/1 (hitam) hingga 10YR 5/6 (coklat

kekuningan). Pada lahan-lahan pertanian, warna gambut yang lebih gelap umumnya

dijumpai pada lapisan permukaan, sedangkan pada tutupan hutan, warna gelap dapat

dijumpai secara bervariasi di lapisan atas, tengah, atau bawah.

Gambar 1. Contoh tanah yang diambil dengan bor gambut (kiri) dan ring sampel

(kanan)

Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut digolongkan menjadi gambut

fibrik, hemik, dan saprik berturut-turut mulai dari tingkat kematangan rendah hingga

tinggi (Agus et.al., 2012). Pada lahan gambut pembanding yang berupa tutupan

hutan, masih dijumpai gambut fibrik (gambut mentah) yaitu pada lapisan 0-50 cm,

selebihnya didominasi jenis hemik. Pada lahan pertanian, lapisan 50 cm pertama

hingga kedua didominasi jenis saprik, selebihnya adalah jenis hemik kecuali pada

lokasi ketiga dan keenam, lapisan gambut terakhir meripakan jenis saprik.

Page 130: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 6

Analisis karakteristik kimia terhadap gambut di tiga macam penutupan lahan

telah dilakukan dan hasil analisis laboratorium menunjukkan pH gambut baik di

lokasi pertanian intensif, non intensif, maupun di hutan adalah sangat masam (< 4,5).

Adanya proses oksidasi dan penambahan bahan-bahan yang digunakan sebagai input

dalam pengolahan tanah hanya mampu sedikit meningkatkan pH tanah. Di lokasi

pertanian intensif, rata-rata pH yang diperoleh adalah 3,6 sedangkan pH pada lapisan

permukaan terukur sebesar 3,7. Nilai pH ini sesuai dengan ph pada hasil penelitian

Halim (1987) yang menunjukkan ph tanah gambut di lokasi pertanian ini berkisar

3,25 sampai 3,60. pH gambut berkaitan erat dengan keberadaan asam-asam organik

yaitu asam humat dan asam fulvat (Miller dan Donahue, 1990). Pada pengamatan di

lapangan, hingga dasar lapisan gambut tidak ditemukan adanya lapisan pirit.

Semakin tebal lapisan gambut, kandungan Ca, Mg, dan K menurun dan reaksi tanah

menjadi semakin masam. Kandungan basa-basa yang rendah disertai KTK yang

tinggi menyebabkan ketersediaan basa-basa menjadi rendah. Tingginya KTK di

gambut sebagian besar ditentukan oleh vegetasi penyusun gambut yang didominasi

kayu-kayuan dimana kandungan ligninnya dalam proses dekomposisinya akan

menghasilkan asam-asam fenolat (Stevenson, 1994).

Analisis karakteristik fisik terhadap contoh terusik menunjukkan beberapa

variabel pada lahan pertanian menunjukkan besaran yang berbeda nyata terhadap

kontrol (tutupan hutan). Pengolahan lahan gambut menjadi lahan pertanian secara

nyata telah meningkatkan bobot basah, bobot kering, bulk density, serta menurunkan

kandungan airnya. Pengeringan gambut pada lahan pertanian melalui drainase dan

adanya penambahan abu dan tanah mineral telah meningkatkan kepadatan (bulk

density) gambut. Perubahan kepadatan gambut ini berpengaruh terhadap kemampuan

gambut dalam menyerap dan memegang/menyimpan air (water holding capacity).

Dari selisih total gambut basah dengan total gambut kering dapat dihitung

kemampuan gambut memegang air. Gambut pada lahan pertanian dapat menyerap air

hingga delapan kali bobot keringnya sedangkan gambut dengan tutupan hutan

mampu hingga sembilan kali.

Karakteristik fisik tanah pada lapisan permukaan dilakukan dengan menganalisis

contoh tanah tak terusik yang diambil dengan ring sample menunjukkan pengolahan

gambut pada pertanian intensif secara nyata meningkatkan variabel bulk density dan

particle density serta menurunkan pori drainase cepat dan permeabilitas. Selain

peningkatan bulk density dan penurunan pori drainase, aktifitas di lahan pertanian

juga dapat mengakibatkan pemadatan gambut (Mustamo, et.al., 2013). Perubahan-

perubahan pada bagian lapisan permukaan gambut ini menyebabkan perubahan

serapan gambut terhadap air sehingga dalam skala yang luas akan mempengaruhi tata

air melalui penurunan simpanan air tanah dan meningkatkan limpasan permukaan

dan debit sungai. Hasil analisis ini sejalan dengan hasil penelitian hidrologi gambut

di DAS Sebangau, Palangkaraya (Delinom, et.al., 2003) yang menunjukkan bahwa

lahan gambut yang digunakan untuk pertanian intensif, secara nyata mengakibtkan

Page 131: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 7

turunnya laju infiltrasi. Sedangkan penggunaannya untuk kegiatan pertambangan

telah mengakibatkan lapisan gambut menjadi hampir kedap air. Gambut yang

didrainase secara berlebihan ditambah dengan terbakarnya lapisan permukaannya

mengakibatkan turunnya kemampuan gambut dalam menyimpan air sehingga

menimbulkan respon hidrologi yang komplek. Efeknya dapat dilihat dengan

meningkatnya limpasan permukaan yang akan disertai peningkatan erosi,

peningkatan debit puncak aliran dasar pada sungai. Dampak lainnya adalah

terjadinya subsidensi akibat pemampatan/pengkerutan gambut dan oksidasi gambut

di atas muka air tanah (Price, et.al.,2003). Volume gambut akan menyusut bila lahan

gambut diberi drainase, sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden).

Selain karena penyusutan volume, subsiden juga terjadi karena adanya proses

dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut diberi drainase,

laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6

cm/tahun tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase (Agus

et.al., 2012).

Penurunan fungsi hidrologis gambut juga ditunjukkan oleh menurunnya

konduktivitas hidrolik (hydraulic conductivity) gambut hasil pengukuran di lapangan

hingga 280 kali lipat. Penurunan ini berbanding terbalik dengan peningkatan

kepadatan tanah (bulk density) yang akibatnya akan memperlambat pergerakan air

dalam gambut baik secara vertikal maupun horisontal sehingga akan mempengaruhi

neraca air daerah gambut (Sarkkola et.al., 2010). Namun demikian seberapa besar

penurunan fungsi gambut terdrainase dalam neraca air suatu DAS masih sulit

ditentukan secara pasti mengingat penetapan volume (ketebalan gambut) tidak bisa

dibatasi berdasarkan topografi permukaan bumi (Whitfield et.al., 2009).

3.2. Usaha tani masyarakat di lahan gambut

Di Kalampangan, lahan pertanian gambut dibuka tahun 1979 sebagai bagian

program transmigrasi sebanyak 500 kepala keluarga. Sepuluh tahun pertama

merupakan masa-masa tersulit bagi para transmigran dalam mengolah lahannya.

Sebagian transmigran, di daerah asalnya merupakan petani namun dengan kondisi

lahan yang jauh berbeda dengan lahan gambut. Di lahan gambut tersebut awalnya

mereka berusaha menanam padi namun selalu gagal dan mulai beralih ke tanaman

sayuran atau hortikultura dan mencapai keberhasilan hingga saat ini.

Pada lahan pertanian intensif petani menggunakan lahannya sepanjang tahun

hingga empat kali penanaman. Jenis tanaman yang dibudidayakan antara lain bayam,

kangkung, sawi, salad, mentimun, kacang panjang, jagung, cabe, tomat, bawang

merah, nenas, jambu, dan belimbing. Pada musim kemarau tanaman disiram dari air

yang berasal dari sumur bor. Lahan pertanian non intensif merupakan lahan pertanian

yang ditanami hanya sekali setahun, atau lahan yang vakum pengolahan selama

beberapa tahun namun masih tetap akan digunakan sebagai bidang olah tanaman

pertanian.

Page 132: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 8

Gambar 2. Beberapa komoditas pada pertanian intensif

Panen tanaman biasanya dilakukan tiap kapling tanaman berukuran 20 x 30 m

atau dilakukan tiap jalur/bedeng tanam dimana satu kapling terdiri dari 30 jalur

tanam. Harga komoditas yang dipanen tergantung harga di pasar yang ditentukan

oleh kelimpahan produk serupa di pasaran. Jagung dapat menghasilkan panenan

seharga 25 juta/ha, cabe 50 juta/ha, seledri 600 ribu/jalur, sawi 300 ribu/jalur, terong

200 ribu/jalur.

3.3. Kearifan lokal pengelolaan gambut

Kendala yang dihadapi petani di lahan gambut umumnya berupa kemampuan

hidup tanaman yang rendah akibat rendahnya unsur hara dan adanya asam-asam

organik dari gambut. Selain itu secara fisik mereka terkendala dengan banyaknya

tunggak pohon yang masih menutupi permukaan lahan dan sifat fisik gambut

terdrainase yang cenderung kekurangan air saat kemarau. Untuk mengatasi hal ini

petani di Kalampangan mengumpulkan sisa-sisa kayu atau tunggak yang masih

tersisa di lahan. Kayu-kayu tersebut dikumpulkan bersama sisa-sisa tanaman dan

gulma selanjutnya dibakar untuk mendapatkan abu sebagai input sebelum

penanaman.

Abu adalah masukan yang paling utama untuk memperbaiki pH, kesuburan dan

menekan pengaruh racun dari gambut dan jumlah yang diperlukan sebagai

amandemen sangat besar maka diperlukan tehnologi yang efisien dalam membuat

Page 133: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 9

dan memanfaatkan abu bakar atau mencari alternatif penggantinya. Abu sebagai

salah satu input utama diperoleh dengan melalui pembakaran terkendali yang

biasanya dilakukan di atas lapisan tanah mineral sebagai alasnya. Hal ini dilakukan

untuk mencegah merambatnya api kearah samping atau bawah.

Kebutuhan abu untuk tiap kali tanam berbeda untuk tiap jenis tanaman seperti

pada jagung 16 ton/ha, seledri 117 ton/ha, bayam 93 ton/ha, sawi 18 ton/ha, dan

kangkung 43 ton/ha (Jentha, 2003). Selain input abu, mereka biasa menambahkan

kapur, pupuk kandang, tanah mineral, atau pupuk kimia berupa urea, TSP, dan KCl.

Dalam setahun kapur dapat ditambahkan sebanyak 0,5 ton/ha sedangkan pupuk

kandang dari kotoran sapi sebanyak 2,5 ton/ha. Urea diaplikasikan langsung pada

tanaman dengan dosis hingga 200 gram per tanaman tergantung jenis tanamannya

sedangkan pupuk P dan K diaplikasikan dengan menyemprotkan pada daun.

Pengolahan tanah dilakukan dengan pencangkulan hingga lapisan 30 cm.

Hasil analisis statistik menunjukkan pengelolaan lahan yang intensif telah secara

nyata memperbaiki kondisi gambut dengan mengingkatnya unsur P tersedia, K

tersedia, Ca, dan K. Beberapa unsur lain juga mengalami perubahan namun tidak

nyata perbedaannya terhadap kontrol (tutupan hutan). Penambahan abu tanaman

secara nyata dapat meningkatkan ketersediaan P. Meningkatnya kandungan basa-

basa dapat ditukar pada lahan pertanian juga dipengaruhi oleh pemupukan dan

pemberian abu (Lubis et.al., 1993).

Pembakaran untuk menghasilkan abu memiliki risiko terbakarnya lahan gambut

disekitarnya dan adanya kabut asap. Alternatif dari penggunaan abu telah

diformulasikannya Pupuk Khusus Lahan Gambut (PUGAS) sebagai penyubur tanah

sebelum diolah yakni campuran abu vulkanik dan pupuk KCL (Kalium Clorida) dan

Urea oleh peneliti BPPT. Selain itu, Balai Penelitian Tanah juga mengeluarkan

produk PUGAM-A dari yaitu pupuk slow release berbentuk granul yang berperan

untuk mensuplai hara tanaman, juga berfungsi sebagai amelioran untuk mengurangi

pengaruh buruk asam organik beracun, mengurangi pencucian hara P dan efektif

menekan menekan emisi CO2. Pugam efektif mengurangi pencucian P karena

memiliki sifat slow release dan membentuk tapak jerapan positif pada gambut

sehingga mampu menahan pencucian P.

Dalam pengaturan tata air, petani setempat menjaga kedalaman muka air tanah

pada kisaran 25 – 40 cm. Selain adanya saluran drainase utama berukuran besar

dengan lebar hingga 3 meter, petani juga membuat saluran drainase mikro selebar

30-50 cm seperti pada Gambar 3.

Page 134: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 10

Gambar 3. Saluran drainase mikro (kiri) dan saluran drainase utama (kanan)

Drainase mikro dibuat sekeliling petak lahan dilengkapi dengan penutup

saluran dengan tujuan menjaga muka air tanah dan mengumpulkan/mengendapkan

partikel tanah yang terangkut aliran permukaan.

Page 135: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 11

IV. PENUTUP

Lahan gambut di Kalampangan yang diolah sebagai lahan pertanian merupakan

gambut pedalaman dengan ketebalan lebih dari 3 m dan dominansi gambut saprik

pada lapisan permukaan. Pengolahannya dilakukan dengan mengatur drainase

melalui pembuatan saluran mikro, penambahan input abu, pupuk, dan tanah mineral.

Adanya perubahan tutupan lahan dari hutan ke pertanian selain menghentikan suplai

bahan organik dari suatu tutupan hutan, juga akan mempengaruhi komponen

evapotranspirasi dalam neraca air. Saat musim kemarau muka air tanah akan jauh

dari permukaan lahan sehingga tanaman akan kekeringan dan mengakibatkan daerah

ini rentan bahaya kebakaran.

Pengelolaan lahan yang intensif secara nyata memperbaiki kesuburan gambut

dengan mengingkatnya pH, unsur P tersedia, K tersedia, dan unsur lainnya,

sebaliknya pengolahan tersebut secara nyata telah menurunkan fungsi hidrologis

gambut seperti ditunjukkan dengan meningkatkan bobot basah, bobot kering, bulk

density, menurunkan kandungan airnya dan konduktivitas hidrolik.

Upaya perbaikan kondisi lahan gambut kritis akibat praktek drainase yang

berlebihan atau akibat konversi tutupan lahan dapat dilakukan antara lain dengan

memperbaiki sistem drainase yang telah ada seperti pembuatan kanal bloking.

Pemanfaatan lahan yang akan difokuskan pada penggunaannya sebagai lahan usaha

tani hendaknya tetap mempertahankan sebagian tutupan lahannya sebagai vegetasi

hutan seperti penerapan teknologi agroforestri. Pada tahap awal, jenis pohon yang

dipilih hendaknya yang mudah beradaptasi dengan kondisi aktual gambut seperti

jenis-jenis pioneer atau jenis lokal (indigenuos tree species) yang tetap

memperhatikan aspek pemanfaatan atau nilai ekonominya. Penerapan teknologi ini

diharapkan dapat mengakomodir kepentingan ekonomi petani lokal dengan tetap

menjaga kelestarian lahan gambut.

Page 136: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 12

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F, IGM Subiksa, dan Wahyunto. 2012. Pengelolaan lahan gambut dalam

Membangun kembali Aceh: Belajar dari hasil penelitian dan program

rehabilitasi Aceh pasca Tsunami. Kumpulan Hasil Penelitian, Pembelajaran

dan Rekomendasi untuk Kemajuan dan Rehabilitasi di Aceh Barat dan

Sekitarnya. Janudianto, Mulyoutami E, Moeis L, Juita R, Pribadi ARA, and

Roshetko JM (eds.). World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional

Office, Bogor.

Barkah, B.S. 2009. Panduan Teknis Penutupan Kanal (Canal Blocking) dan

pengelolaannya bersama masyarakat di areal Hutan Rawa Gambut MRPP

Kabupaten Musi Banyuasin. SOP No. 03. PSF Rehabilitation. Rev 0. MRPP-

GTZ. Palembang - Sumatera Selatan

Foth, H.D.1994. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Terjemahan: Adisoemarto, Soenartono.

Erlangga. Jakarta.

Halim, A. 1987. Pengaruh pencampuran tanah mineral dan basa dengan tanah

gambut pedalaman Kalimantan Tengah dalam budidaya tanaman kedelai.

Disertasi. Institut Pertanian Bogor.

Hardjowigeno, S. 1996. Pengembangan lahan gambut untuk pertanian: suatu peluang

dan tantangan. Orasi ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian

IPB, Bogor.

Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi tanah dan pedogenesis. Akademika presindo.

Jakarta.

Indriastuti. 2010. Optimalisasi pengelolaan lahan dalam upaya menekan pemanasan

global mendukung pendidikan berbasis pembangunan berkelanjutan. Makalah

Semiloka Nasional. Medan, 12-13 Pebruari 2010.

Jentha. 2003. Pemanfaatan Abu sebagai Pupuk oleh Petani di Kalampangan. Laporan

Ketrampilan Profesi. Fakultas Pertanian. Universitas Palangka Raya

Limin, S.H. 2006. Pemanfaatan lahan gambut dan permasalahannya. Masukan

singkat dalam workshop gambut. Jakarta, 22 November 2006.

Lubis, A.M., Z.Abidin, dan A.Wahid. 1993. Pengaruh abu tanam-tanaman terhadap

padi sawah di tanah gambut. Prosiding Seminar Gambut II. Himpunan Gambut

Indonesia – BPPT. 14 – 15 Januari 1993. Jakarta.

Miller, M.H. dan R.L. Donahue. 1990. Soils. An introduction to soils and plant

growth. Prenticenhall Englewood cliffs. New Jersey.

Mustamo, P., M.Hyvarinen, A.Ronkanen, and B.Klove. 2013. Peat hydraulic

conductivity in different landuses. Geophysical Research Abstracts. Vol.15

EGU2013-4219.

Page 137: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 13

Najiyati, S., L.Muslihat dan I N.N.Suryadiputra. 2005. Panduan pengelolaan lahan

gambut untuk pertanian berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and

Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan

Wildlife Habitat Canada. Bogor

Price, J.S., A.L.Heathwaite dan A.J.baird. 2003. Hydrological processes in

abandoned and restored peatland: An overview of management approaches.

Wetlands Ecology and Management 11:65-83.

Puja, I.N. 2008. Penuntun praktikum fisika tanah. Jurusan Tanah, Fak Pertanian

Universitas Udayana. Denpasar.

Stevenson, F.J. 1994. Humus chemistry. Genesis, composition, and reaction. John

wiley and sons inc. New York.

Tim Fakultas Pertanian IPB. 1986. Gambut pedalaman untuk lahan pertanian. Dinas

pertanian tanaman pangan Propinsi Dati I Kalimantan Tengah – Fakultas

Pertanian IPB. Bogor.

Whitfield, P.H., A.S.Hilaire, and G.Kamp. 2009. Improving hydrological prediction

in peatlands. Canadian Water Resources Journal 34(4):467-478.

Page 138: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 139: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

BUKU V

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR

PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

(ASPEK:PENGELOLAAN LAHAN PANTAI BERPASIR)

PENYUSUN:

IR. BENNY HARYADI, M.Sc.

PROF. RIS. DR. IR. PRATIWI, M.Sc.

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN

BOGOR 2014

Page 140: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 141: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................... i

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii

DAFTAR TABEL ................................................................................................. v

I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................................... 1

1.2.Tujuan ............................................................................................................. 2

1.3.Luaran ............................................................................................................. 2

II KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PANTAI (PESISIR) ............................ 3

2.1. Identifikasi regulasi yang ada ......................................................................... 3

2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi ............................... 4

2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan .................................................. 4

III. PENGELOLAAN LAHAN PANTAI BERPASIR DAN

PEMULIHANNYA UNTUK KELESTARIAN LINGKUNGAN .........................

6

3.1. Pengembangan tanaman cemara laut (Casuarina equisetifolia) sebagai

tanggul angin ................................................................................................

6

3.2. Rehabilitasi Lahan Pantai Berpasir ................................................................. 7

3.3. Pengembangan Agroecotourism di Lahan Pantai Berpasir .............................. 9

IV. PENUTUP ............................................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 12

Page 142: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 143: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

iii

DAFTAR TABEL

Tabel Hal.

1. Kebutuhan untuk pengembangan tanaman cemara laut dan tanaman

semusim ................................................................................................................ 8

Page 144: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 145: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal.

1. Tanaman hortikultura yang ditanam di belakang tanaman tanggul angin ............... 10

2. Cemara laut hasil cangkok (A) dan cemara laut hasil dari bibit (B) ........................ 10

Page 146: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 147: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai

(DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut dengan

kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000).

Menurut Bloom, 1979 kondisi pantai di Indonesia berdasarkan bentuk lahan

(landform) terdiri dari pantai berlumpur (muddy shores), pantai berpasir (sandy

shores), dan pantai berbatu karang atau andesit. Selanjutnya Harjadi et al., 2010

menyatakan bahwa khusus untuk pulau Jawa di daerah utara didominasi pantai

berlumpur sehingga di daerah utara ada intrusi air asin dari laut masuk pesisir,

sebaliknya untuk pantai pasir Selatan Jawa didominasi formasi batuan kapur

sehingga air di pesisir kondisinya tawar.

Berdasarkan Keputusan Menteri Perikanan dan Kelautan No 10 th 2002, pantai

berpasir adalah pantai yang material penyusunnya terdiri dari pasir bercampur batu,

yang umumnya berasal dari daratan dibawa oleh aliran sungai ataupun yang berasal

dari hulu daratan. Material yang menyusun pantai ini dapat juga berasal dari berbagai

jenis biota laut seperti terumbu karang yang ada di daerah pantai itu sendiri.

Permasalahan lahan pantai di Indonesia meliputi pengurangan garis pantai akibat

abrasi, degradasi lahan akibat erosi angin, pendangkalan muara dan sedimentasi, dan

kerusakan lingkungan. Harjadi (2012) menyatakan bahwa kerusakan pantai meliputi:

erosi, abrasi, pendangkalan muara dan sedimentasi, kerusakan lingkungan

(pemukiman, pencemaran air laut, kerusakan terumbu karang, kerusakan hutan

mangrove, bangunan). Dengan permasalahan diatas akibatnya adalah lahan pantai

menjadi terdegradasi.

Degradasi lahan adalah hilangnya atau berkurangnya kegunaan atau potensi

kegunaan lahan untuk mendukung kehidupan. Adanya degradasi lahan menyebabkan

menurunnya fungsi ekosistem lahan tersebut, dan akan berdampak baik bagi

manusia maupun makhluk hidup lainnya. Selain itu degradasi lahan akan berdampak

pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang bergantung pada lahan sebagai

sumber penghidupannya sehingga produktivitas lahan menurun dan angka

kemiskinan akan meningkat (Barrow, 1994). Permasalahan lahan terdegradasi ini

juga terjadi di lahan pantai berpasir. Oleh karena itu diperlukan upaya pengelolaan

lahan pantai berpasir agar fungsi lahan ini menjadi optimal dan lestari.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka diperlukan informasi mengenai

pengelolaan lahan pantai berpasir termasuk informasi mengenai kebijakan yang

berkaitan dengan pengelolaan lahan pantai berpasir dan beberapa langkah yang

diperlukan agar lahan pantai berpasir dapat berfungsi kembali seperti semula. Oleh

karena itu maka pengelolaan lahan pantai berpasir harus ditunjang sepenuhnya oleh

beberapa teknologi dan aturan-aturan yang mendukung.

Page 148: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 2

1.2. Tujuan

Tujuan penulisan sintesa yang terkait dengan pengelolaan lahan pantai berpasir

adalah menyediakan informasi dan teknologi tepat guna untuk pengelolaan lahan

pantai berpasir yang didasarkan pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan.

Diharapkan informasi hasil penelitian yang telah dilakukan dapat menunjang

pengelolaan lahan pantai berpasir, sehingga lahan pantai berpasir yang terdegradasi

dapat berfungsi kembali sebagai habitat flora, fauna dan secara keseluruhan sebagai

penyangga kehidupan, termasuk di dalamnya dapat meningkatkan perekonomian

rakyat.

Sehubungan dengan tujuan tersebut di atas, maka sintesa hasil penelitian ini

disusun didasarkan pada penelitian-penelitian mengenai pengelolaan lahan pantai

berpasir yang difokuskan pada lahan pantai berpasir di daerah Jawa.

1.3. Luaran

Luaran kegiatan ini adalah informasi pengelolaan lahan pantai berpasir,

khususnya di daerah Jawa.

Page 149: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014| 3

II. KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PANTAI (PESISIR)

Sehubungan dengan kebijakan pengelolaan lahan pantai berpasir beberapa

regulasi telah disusun. Namun demikian implementasi di lapangan agaknya belum

sepenuhnya dilaksanakan.

2.1. Identifikasi regulasi yang ada

1. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10/Men/2002 tentang

pedoman umum perencanaan pengelolaan pesisir terpadu, bahwa hendaknya

pemanfaatan lahan pantai berpasir dilakukan secara baik dan benar sehingga dapat

berfungsi ganda, yaitu untuk mengendalikan erosi (angin) dan untuk meningkatkan

pendapatan masyarakat melalui usaha budidaya tanaman semusim yang sesuai dan

bernilai ekonomis.

2. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:P.35/Menhut-II/2012

(PP No.35/Tahun 2010) tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan

No.32/Menhut II/ 2009 tentang tatacara penyusunan Teknik Rehabilitasi Hutan

dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS) pada ekosistem mangrove dan

sempadan pantai (seperti yang tercantum dalam Lampiran II PP No.35/Tahun

2010): bahwa sasaran lokasi penyusunan RTk RHL DAS untuk mangrove dan

sempadan pantai dalam kawasan hutan adalah ekosistem mangrove dan/atau

sempadan pantai yang kritis (telah rusak dan/atau rusak berat, pada hutan lindung

, pada hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional dan hutan

produksi yang tidak dibebani hak dan tidak dicadangkan /diproses perizinan untuk

pembangunan hutan tanaman (HTI/HTR). Sedangkan sasaran di luar kawasan

hutan adalah ekosistem mangrove dan/atau sempadan pantai yang kritis.

3. UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan

Ekosistemnya; menyatakan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam

hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya

peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

4. UU no.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-Pulau Kecil:

menyebutkan antara lain bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil dilaksanakan dengan tujuan melindungi, mengonservasi, merehabilitasi,

memanfaatkan, dan memperkaya Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta

sistem ekologisnya secara berkelanjutan.

5. Peraturan Pemerintah RI No 16 tahun 2004 tentang penatagunaan tanah. PP ini

menyatakan bahwa lahan di kawasan pantai yang tidak dibebani hak milik,

dikuasai oleh negara dan digunakan sesuai peruntukan/fungsinya untuk

kemakmuran rakyat. Peralihan status lahan dari lahan negara menjadi lahan yang

dilekatkan hak yang bukan tanah negara ditempuh dengan proses pelepasan atau

pembebasan hak sebagaimana diatur dalam UU Pokok Agraria.

Page 150: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 4

2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi

Sesuai dengan yang diamanatkan dalam peraturan perundangan, kegiatan

pengelolaan lahan pantai berpasir yang baik harus diawali dengan penyusunan

rencana pengelolaannya. Untuk menunjang perencanaan pengelolaan tersebut,

diperlukan kegiatan penelitian guna menentukan:

a. Jenis-jenis yang dapat dikembangkan pada lahan pantai berpasir, untuk

rehabilitasi lahan-lahan pantai berpasir yang terdegradasi. Kondisi fisik lahan

pantai berpasir termasuk marginal sehingga tidak sesuai untuk usaha budidaya

tanaman tertentu .Hal ini disebabkan oleh perbedaan suhu yang ekstrim pada

siang dan malam hari, udara yang sangat kering, kencangnya hembusan angin,

kandungan unsur hara rendah dan uap air yang mengandung garam sehingga

mengganggu pertumbuhan tanaman.Oleh karena itu diperlukan informasi

mengenai jenis-jenis tanaman budidaya yang sesuai dan perbaikan sifat fisik

kimia tanahnya.

b. Lahan pantai berpasir merupakan ekosistem yang unik sehingga perlu didorong

untuk meningkatkan kawasan lahan pantai berpasir melalui pengembangan

agroecotourism. Dalam pengembangannya perlu melibatkan masyarakat serta

para tokoh agama dan tokoh masyarakat.

c. Adanya kegiatan penambangan pasir besi, clay vertisol atau bentonit diperlukan

upaya reklamasi lahan bekas penambangan tersebut. Untuk itu diperlukan

informasi jenis-jenis tanaman yang cocok untuk reklamasi.

d. Lahan pantai berpasir merupakan lahan marjinal yang sangat rendah tingkat

kesuburannya, untuk itu perlu diketahui cara meningkatkan kesuburan lahan

tersebut.

e. Peran masyarakat dalam memaksimalkan fungsi lahan pantai berpasir dengan

mengoptimalkan produktivitas lahan dan menurunkan degradasi lahan sangat

diperlukan. Oleh karena itu perlu keterlibatan masyarakat dalam setiap tahap

kegiatan tersebut.

2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan

Sebenarnya berbagai peraturan dan kebijakan terkait dengan pengelolan lahan

pantai telah disusun oleh Kementerian Kehutanan dan Kementerian lain, namun

dalam pelaksanaannya masih banyak permasalahan yang ditemukan di lapangan.

Beberapa permasalahan tersebut antara lain:

a. Rehabilitasi lahan pantai berpasir

Beberapa hasil penelitian telah menghasilkan teknologi rehabilitasi lahan pantai

berpasir terutama dalam hal peningkatan produktivitas lahan tersebut. Namun

demikian masih banyak ditemukan lahan pantai berpasir yang terdegradasi akibat

ditelantarkan dan ditambang pasir besinya. Oleh karena itu diperlukan strategi

Page 151: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014| 5

penanganan/peraturan perundangan yang mendorong kegiatan rehabilitasi lahan

pantai berpasir.

b. Pengembangan tanaman tanggul angin

Secara umum lahan pantai berpasir memiliki kesuburan yang sangat rendah dan

tidak sesuai untuk budidaya tanaman. Hal ini disebabkan selain oleh rendahnya

bahan organik, kandungan liat dan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman juga

karena perbedaan suhu yang ekstrim pada siang dan malam hari, udara yang

sangat kering, kencangnya hembusan angin. Kandungan unsur hara yang rendah

dan uap air yang mengandung garam-garaman sangat mengganggu pertumbuhan

tanaman (Harjadi dan Miardini,2010). Oleh karena itu perlu dikembangkan jenis

tanaman khas pantai yang dapat menjadi tanaman penahan angin.

c. Ketersediaan air tanah sangat terbatas di lahan pantai berpasir karena suhu yang

ekstrim sehingga evapotranspirasi tinggi. Walaupun musim hujan namun pada

pagi hari tanaman harus disiram karena jika tidak disiram tanaman akan mati.

Hal ini disebabkan adanya suhu tinggi dari atas permukaan tanah yang masuk ke

dalam tanah melalui pori-pori tanah akan menyebabkan akar tanaman terbakar

sehingga mematikan tanaman. Oleh karena itu diperlukan sumur renteng untuk

mensuply air agar air menjadi berlebih sehingga uap air yang ada di sekitar

perakaran segera turun. Jika uap air turun maka suhu di daerah perakaran menjadi

normal kembali. Pembangunan sumur renteng perlu dilakukan untuk menjaga

ketersediaan air di lahan pantai berpasir yang ditanami tanaman baik pohon

maupun tanaman semusim (Haryadi dan Miardini, 2010)..

d. Persepsi masyarakat tentang pantai berpasir bahwa selama ini beranggapan lahan

pantai berpasir tidak produktif. Untuk meyakinkan masyarakat tidak mudah

sehingga perlu studi banding dengan melihat fakta di lapangan. Disamping itu

perlu pendampingan kelompok tani melalui pertemuan rutin minimal sebulan

sekali dan keterlibatan masyarakat pada saat penanaman. Dengan demikian perlu

upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar terlibat dalam pengelolaan

lahan pantai berpasir.

Page 152: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 6

III. PENGELOLAAN LAHAN PANTAI BERPASIR DAN

PEMULIHANNYA UNTUK LINGKUNGAN

3.1. Pengembangan tanaman cemara laut (Casuarina equisetifolia) sebagai

tanggul angin

Lahan pantai berpasir memiliki kesuburan tanah yang rendah karena selain

kandungan bahan organik,liat dan unsur hara yang rendah, juga kondisi fisik lahan

pantai berpasir seperti suhu kurang mendukung pertumbuhan tanaman. Menurut

Harjadi dan Miardini (2010), perbedaan suhu yang ekstrim pada siang dan malam

hari, udara yang sangat kering,kencangnya hembusan angin, kandungan unsur hara

yang rendah dan uap air yang mengandung garam akan sangat mengganggu

pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu pengembangan jenis-jenis pohon yang dapat

tumbuh di daerah ini perlu dilakukan.

Salah satu jenis tanaman yang dapat dikembangkan di daerah ini selain untuk

meningkatkan kesuburan lahan pantai berpasir, juga dapat berfungsi sebagai tanggul

angin adalah cemara laut atau cemara udang. Pengalihan cemara laut dari nama

sebenarnya cemara udang merupakan strategi keamanan agar tanaman tidak dicuri

oleh masyarakat yang tahu bahwa cemara udang berfungsi sebagai tanaman hias.

Cemara laut merupakan jenis tanaman khas pantai yang potensial untuk rehabilitasi

lahan dan konservasi tanah (RLKT) pantai berpasir. Jenis ini mampu menahan angin

laut dan uap air. Dengan teknik rehabilitasi menggunakan cemara laut, lahan pantai

berpasir yang semula gersang, kering, tandus dan tidak dimanfaatkan, dapat

meningkat produktivitasnya sehingga mendatangkan keuntungan bagi masyarakat.

Penanaman tanaman cemara laut adalah salah satu teknik konservasi tanah

secara vegetatif dan bersifat permanen. Teknik ini berhasil diterapkan di Kebumen,

JawaTengah dengan partisipasi aktif Kelompok Tani Pasir Makmur mulai dari

perencanaan,pelaksanaan, pemeliharaan dan evaluasi (Haryadi dan Octavia, 2008).

Tanaman cemara laut yang dikembangkan berasal dari perbanyakan generatif.

Bibit dari perbanyakan generatif menghasilkan penampilan cemara laut dewasa yang

lebih kokoh dan tajuk yang indah dibandingkan bibit dari cangkok. Bibit cemara laut

yang dipakai adalah bibit yang berasal dari induk yang sehat, dengan kriteria

memiliki batang coklat, daun hijau gelap dan ukuran diameter batang ½ cm atau

keliling batang sekitar 2 cm dengan umur bibit sekitar 6 bulan sampai satu tahun.

Adanya cemara laut dapat meningkatkan infiltrasi karena dapat meningkatkan

granulasi dan infiltrasi tanah, memperbaiki unsur hara, dan mempertahankan kadar

air tanah di bawah tegakan. Perbaikan kondisi tanah dan iklim mikro tersebut

menyebabkan lahan pantai berpasir pada zona setelah tegakan cemara laut dapat

digunakan untuk budidaya tanaman semusim dan hortikultura.

Page 153: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014| 7

Disamping itu tegakan cemara laut yang rimbun dapat menciptakan suasana

yang sejuk sehingga dapat menambah daya tarik untuk wisata pantai. Menurut

Harjadi et al, 2009 tercatat selama 4 tahun telah terjadi peningkatan kunjungan

sebesar 21%. Hal tersebut terjadi karena setelah umur 4 tahun, tanaman cemara laut

dapat berfungsi sebagai tanaman peneduh sinar matahari bagi wisatawan yang

mengunjungi pantai tersebut.

Dalam aplikasinya, penanaman cemara laut dapat dilakukan dengan sistem strip

cropping, yaitu melakukan penanaman secara baris (larikan). Penanaman berbaris

tegak lurus terhadap arah aliran air atau arah angin dengan jarak 5 x 5 m setiap

jalurnya. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam pengembangan tanaman ini

agar upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air pada lahan pantai berpasir

dapat berhasil.

3.2. Rehabilitasi lahan pantai berpasir

Upaya rehabilitasi lahan pantai berpasir dilakukan untuk mengendalikan erosi

angin, memperbaiki iklim mikro dan meningkatkan produktivitas lahan. Untuk

melakukan rehabilitasi lahan pantai berpasir, tanaman yang ditanam pertama kali adalah

tanaman yang dapat mengendalikan erosi angin agar tanaman yang ada di belakangnya

dapat tumbuh dengan baik. Berdasarkan uji coba yang telah dilakukan oleh Haryadi

dan Octavia (2008), pada lahan pantai berpasir di Desa Karanggadung, Kecamatan

Petanahan, Kabupaten Kebumen tanaman yang tepat sebagai tanggul angin

permanen adalah cemara laut (Casuarina equisetifolia).

Cemara laut (Casuarina equisetifolia) sebagai tanaman tanggul angin permanen

dapat ditanam di tepian pantai dari jarak air pasang 50 m sepanjang 750 m searah

garis pantai dengan lebar 25 m. Tanaman tersebut berfungsi sebagai tanaman

penghijauan untuk melindungi tanaman budidaya yang ditanam di antara jalur

tanaman tanggul dari pengaruh erosi pasir, tiupan angin dan kadar garam. Metode

tanam tanaman tanggul tersebut dilakukan dengan jarak tanam 5 m x 5 m setiap

jalurnya, dengan model “nguntu walang“ (‘gigi belalang’) dengan 5 jalur tanam .

Penanaman cemara laut sebaiknya sore hari (jam 15.00- 18.00), agar tidak terjadi

layu akibat pengeringan mendadak setelah ditanam (Harjadi et al., 2009). .

Penanaman cemara laut paling cocok ditanam pada bulan Januari dan September

dimana suhu udara pada siang hari turun paling rendah mencapai 24 oC. Pada kedua

bulan tersebut juga ditunjang kondisi kecepatan angin tertinggi yang menyebabkan

suhu menurun yaitu pada bulan Januari 21 m/det dan bulan September 14 m/det.

Musim penghujan juga merupakan faktor pendukung penanaman dilakukan pada

kedua bulan tersebut yaitu bulan-bulan setelah penanaman curah hujan mengalami

peningkatan. Pada bulan Januari maka curah hujan akan mulai meningkat di bulan

Februari yang seblumnya pada saat awal tanaman stres kekurangan air. Begitu juga

pada bulan September akan diikuti bulan-bulan berikutnya dengan curah hujan yang

semakin meningkat sampai bulan Desember (Harjadi et al., 2009). Kebutuhan air

Page 154: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 8

musim kemarau dan musim penghujan berbeda dengan cara menghitung dari ukuran

gembor 5 liter dan diulang 3 kali setiap pagi dan sore, jadi kebutuhan air untuk

tanaman per 14 m2

adalah 5 dm3x 2 x 2 = 20 dm3 atau 30 liter atau setebal = 20/100

m3 : 14 m2 = 0,0014 m = 1,4 mm (Harjadi et al., 2009). Secara garis besar,

kebutuhan tanaman cemara laut dan tanaman semusim untuk pertumbuhannya

disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kebutuhan untuk pengembangan tanaman cemara laut dan tanaman semusim

No Kebutuhan Keterangan

1

2.

Cemara laut

- Air /tanaman (disiram pagi dan sore)

- Jarak tanam

- Bulan penanaman

- Waktu penanaman

- Kecepatan angin

- Mikoriza

- Biomassa/Serasah

- Bahan organik/lobang tanam

- Pupuk kimia komposit

Tanaman semusim

- Ameliorant/tanah liat

- Pupuk kimia ZA,Urea,KCl, TSP

30 liter

5x5 m

Januari dan September

Sore hari (15.00-18.00)

14-21 m/detik

1 ember tanah di perakaran

1 ember (1 kg)

3 kg

200 kg/ha (1/2kg/tanaman)

20 ton/ha unt MT I

200 kg/ha

Sumber: Beny et al., 2009

Ketersediaan air dalam rehabilitasi lahan pantai berpasir sangat menentukan

keberhasilan tanaman untuk tumbuh dan berkembang. Mengingat kondisi iklim yang

ekstrim panas, curah hujan yang rendah, kondisi tanah yang kurang subur dan

ketersediaan air rendah perlu dilakukan upaya penyediaan air yang cukup bagi tanaman.

Adapun penyediaan air dengan sarana pengairan menggunakan bak tampung dari besi

beton yang dipasang secara berentengan. Sumur renteng tersebut dipakai untuk

persediaan cadangan air tawar sepanjang waktu, khususnya pada masa pertumbuhan

tanaman yang diperlukan penyiraman air tawar rutin sehari dua kali pagi dan sore.

Tanaman budidaya yang bisa dikembangkan di lahan pantai berpasir adalah

bawang merah, cabe merah, jagung, pepaya California dan semangka dengan

beberapa kombinasi.

Tanaman budidaya ini ditanam di antara jalur tanaman tanggul angin. Adapun

kebutuhan bibit per hektar dari masing-masing tanaman budidaya tersebut, yaitu: a)

Bawang merah sebanyak 200 kg, b) Cabe merah keriting sebanyak 50 pak (5 kg),

dan c) benih jagung 20 kg.

Dosis ameliorat pupuk kandang untuk meningkatkan produktivitas tanaman-

tanaman budidaya tersebut sebanyak 20 t/ha untuk MT I, untuk dosis pupuk kimia per

hektar seperti ZA, urea, KCl, dan TSP masing-masing sebanyak 200 kg.

Page 155: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014| 9

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa mengingat lahan pantai

berpasir memiliki kesuburan tanah yang rendah, kondisi lingkungan terutama

temperatur yang ekstrim dan kecepatan angin yang cukup tinggi maka perlu dicari

solusi pemecahannya untuk meningkatkan produktivitas lahan pantai berpasir

tersebut. Peningkatan produktivitas tersebut dapat dilakukan dengan pemberian

perlakuan penambahan bahan ameliorant seperti: pupuk kandang, top soil, NPK,

TSP, Urea, ZA, KCl. Untuk membantu penyerapan bahan nutrisi dalam tanah, maka

diperlukan bibit yang bermikoriza atau dengan cara mengambil tanah sekitar

perakaran tanaman yang sudah ada di pantai, misalnya pada tanaman pandan berduri

atau pada tanah sekitar tanaman gamal.

Pupuk kandang yang merupakan pupuk organik biasa digunakan dalam

pertanian sangat berperan dalam meningkatkan kesuburan tanah dengan peningkatan

ketersediaan unsur hara, seperti nitrogen yang ditangkap bakteri dalam tanah.

Disamping itu dengan adanya pupuk kandang maka organisme yang lebih tinggi

dapat hidup dari jamur dan bakteri dalam rantai kehidupan yang membantu jaring

makanan tanah. Top soil sangat diperlukan karena top soil mengandung liat yang

cukup tinggi sehingga akan meninggatkan buffer capacity (kemampuan menyangga)

unsur hara tinggi sehingga hara akan tersedia dalam tanah tersebut. Pupuk kimia

sangat diperlukan terutama untuk ketersediaan hara-hara seperti: N,P,K.

Selain kebutuhan tersebut di atas, kebutuhan air juga sangat diperlukan dalam

rehabilitasi lahan pantai berpasir. Pemberian air pada lahan pantai berpasir harus

dilakukan setiap saat karena sebagai perawatan tanaman di pantai berpasir yang

sangat berperanan adalah ketersediaan air yang cukup. Tanaman yang ditanam di

pantai berpasir butuh penyiraman rutin sehari 2 kali pagi dan sore. Penyiraman harus

segera dilakukan sehabis turun hujan, sebab kalau tidak dilakukan penyiraman

sehabis hujan maka panas dari bawah tanah akan naik ke atas permukaan dan

menyebabkan akar terbakar dan daun-daun menjadi layu. Ketersediaan air dapat

dilakukan melalui pembangunan sumur berenteng.

Karena di lahan pantai berpasir tingkat evapotransirasi tinggi, maka perlu dijaga

kelembabannya. Salah satu caranya adalah dengan pemberian mulsa. Mulsa yang

berasal dari biomasa serasah daun-daun yang berguguran untuk menjaga kelembaban

tanah dan mengurangi evaporasi tanah, sehingga kondisi tanah berpasir tetap lembab

mengandung air. Pemberian mulsa ini dimaksudkan untuk menciptakan iklim mikro

yang nyaman dan sejuk bagi pertumbuhan tanaman.

3.3. Pengembangan agroecotourism di lahan pantai berpasir

Pengembangan agroecotourism di lahan pantai berpasir mempunyai prospek

yang cukup menjanjikan. Penelitian yang telah dilakukan oleh Harjadi dan Octavia

(2008) di desa petanahan kebumen menunjukkan bahwa dengan potensi alamnya

yang unik yaitu adanya sand dune (bukit pasir), yang terbentuk dari akumulasi pasir

yang terbawa oleh angin, daerah ini memiliki prospek yang cukup bagus untuk

Page 156: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 10

agroecotourism. Keindahan bukit ini tidak hanya bentuknya tetapi juga tekstur

permukaan yang unik akibat hembusan angin.

Pengembangan tanaman tanggul angin yaitu tanaman Casuarina equisetifolia di

lahan yang akan dijadikan obyek wisata sangat diperlukan. Tanaman ini berfungsi

sebagai filter terhadap percikan air garam, mengurangi kecepatan angin dan

memberikan dampak yang nyata dalam perbaikan iklim mikro daerah setempat.

Di belakang tanaman tanggul angin ini dapat ditanam beberapa tanaman

hortikultura seperti cabe, semangka, jagung, dan tanaman-tanaman lain (Gambar 1

dan 2). Sebenarnya lahan ini sangat marginal namun dengan pengolahan tanah yang

relatif intensif, ternyata dapat meningkatkan produktivitas lahannya. Perbaikan

kondisi biofisik lahan dilakukan dengan cara penambahan ameliorant, pupuk

kandang dan kompos yang pada akhirnya dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia

tanah (Tabel 1).

Gambar 1.Tanaman hortikultura yang ditanam di belakang tanaman tanggul angin

(Harjadi et al., 2009)

A B

Gambar 2. Cemara laut hasil cangkok (A) dan cemara laut hasil dari bibit (B) (Foto:

Harjadi et al., 2009)

Page 157: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 12

DAFTAR PUSTAKA

Bloom, A. L. 1979. Geomorphology: A Systematic Analysis of Late Cenozoic

Landforms. Prentice-Hall of India, ND 110001.

Barrow, C.J.1994..Land Degradation. Cambridge University Press. (2nd

edition).316 p.

Harjadi, B. dan A.Miardini. 2009. Cemara laut, mengubah pantai berpasir yang

marginal menjadi potensial. Leaflet. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan

Pengelolaan DAS (BPTKPDAS) Solo.

Harjadi, B., dan A. Miardini. 2010. Penanaman Cemara Laut (Casuarina

equisetifolia LINN) Sebagai Upaya Pencegahan Abrasi di Pantai Berpasir

Harjadi, B., Purwanto., A.Miardini., Gunawan., Siswo., dan A.Budiono. 2009.

Pengembangan agroekosistem pada lahan pantai berpasir. Balai Penelitian

Kehutanan Solo. Surakarta.

Harjadi, B., dan Octavia, D., 2008. Penerapan teknik konservasi tanah di pantai

berpasir untuk agrowisata. Info Hutan Vol. V, No. 2, Tahun 2208. Dephut.,

Balitbanghut, Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA). Bogor.

PP. No.10/Tahun 2002. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:

Kep.10/Men/2002 Tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir

Terpadu. Jakarta 9 April 2009.

PP. No 16/Tahun 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun

2004, Tentang Penatagunaan Tanah.

PP. No. 35/Tahun 2010. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor :

P. 35/Menhut-Ii/2010, Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor P.32/Menhut-Ii/2009 Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik

Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS).

UU. No. 27/Tahun 2007. Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 27 Tahun

2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Andi Mattalatta).

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84.

Page 158: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 159: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

BUKU VI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR

PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

(PENELITIAN PENUNJANG)

Page 160: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 161: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

DAFTAR ISI

JUDUL / PENULIS Hal.

1. INTEGRASI KESESUAIAN LAHAN DAN TABEL VOLUME

TANAMAN JENIS ANDALAN SETEMPAT / DR. TYAS

MUTIARA BASUKI ..................................................................................... 1

2. REHABILITASI LAHAN TERDEGRADASI DENGAN JENIS

LOKAL / GUNARDJO TJAKRAWARSA .................................................. 7

3. TEKNIK REHABILITASI LAHAN KRITIS SECARA

PARTISIPATIF / Ir. NINING WAHYUNINGRUM, M.Sc ......................... 33

4. SISTEM MITIGASI TANAH LONGSOR DALAM

PENGELOLAAN DAS / BENY HARJADI ................................................. 55

5. PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR

PENDUKUNG / DEWI ALIMAH, S. Hut., RUSMANA, S. Hut.,

Drs. RAHARDYAN NUGRAHA ADI ......................................................... 63

6. KAJIAN DAMPAK PENANAMAN JENIS PENGHASIL KAYU

TERHADAP TATA AIR / Drs. RAHARDYAN NUGROHO ADI,

DIAN CAHYO BUWONO ........................................................................... 69

7. TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT / BINA

SWASTA SITEPU, S.Hut ............................................................................. 77

8. KAJIAN KELAYAKAN TEKNIK AERIAL SEEDING

(FORMULASI BAHAN PERLAKUAN BENIH UNTUK TEKNIK

AERIAL SEEDING) / Ir. HERMIN TIKUPADANG, MP ........................... 85

9. PENDEKATAN PARTISIPATIF DALAM PENGEMBANGAN

MODEL RKTA PADA DAS MIKRO JENEBERNG DAN

SADDANG / Ir. M. KUDENG SALLATA, M.Sc ........................................ 93

10. Evaluasi Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Wilayah DAS Mahakam (2011) Strategi Peningkatan Partisipasi

Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan Wilayah DAS

Mahakam (2012) Pembangunan Model Kemitraan Rehabilitasi Hutan

dan Lahan di KHDTK Samboja (2013-2014) / FAIQOTUL FALAH,

S.Hut, M.Si .................................................................................................... 103

Page 162: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 163: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 1

JUDUL PENELITIAN : INTEGRASI KESESUAIAN LAHAN DAN TABEL

VOLUME TANAMAN JENIS ANDALAN SETEMPAT

PELAKSANA : DR. TYAS MUTIARA BASUKI

INSTANSI : BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI KEHUTANAN

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelaksanaan pembangunan hutan dalam rangka rehabilitasi maupun penghijauan lahan

sering terkendala dengan adanya keengganan masyarakat pemilik lahan untuk berpartisi-

pasi. Hal tersebut disebabkan oleh penanaman dengan tanaman kayu-kayuan menurut

mereka belum dapat memberikan hasil yang pasti. Kepastian hasil ini merupakan masalah

klasik dari kegiatan pembangunan hutan karena jangka waktu pemungutan hasilnya yang

relatif lebih lama dibandingkan dengan tanaman pertanian.

Ketidak pastian hasil ini salah satunya berkaitan dengan adanya kegagalan yang

diakibatkan oleh ketidaksesuaian jenis tanaman yang dikembangkan dengan kondisi se-

tempat, maupun ketidak pastian berapa hasil kayu yang bisa dipungut. Pada umumnya

masyarakat menginginkan hasil yang pasti, yang dapat memberi manfaat untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya. Seorang petani pemilik lahan, dihadapkan pada masalah tentang

pemilihan jenis tanaman yang dibudidayakan sekaligus prediksi pendapatan yang dapat

diperoleh dari usaha tersebut.

Hasil penelitian Nathan (2009) menunjukkan bahwa jenis Gmelina arborea dan

Paraserienthes falcataria sangat baik pertumbuhannya pada seri tanah berpasir yang porus

dengan kelembaban tanah dan kapasitas tukar kation tingkat sedang. Dilain pihak, Manson

et al. (2013) mendapatkan bahwa Eucalyptus grandis dan Eucalyptus pellita memberikan

respon pertumbuhan yang kuat terhadap variasi rata-rata hari hujan tiap bulan. Untuk

mengetahui variabel atau parameter mana yang berpengaruh terhadap pertumbuhan

tanaman, Martin et al. (2010) menggunakan stepwise analysis dalam penelitiannya.

Berdasarkan analisis regresi tersebut diperoleh bahwa indikator kualitas lahan mempunyai

pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan tergantung speciesnya. namun demikian

posisi tegakan di dalam suatu lereng dan sifat-sifat tanah berpengaruh kuat terhadap enam

jenis tegakan yang diteliti

B. Tujuan

Tujuan penelitian adalah mengintegrasikan konsep kesesuaian lahan sebagai pengganti

bonita dengan tabel tegakan.

II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT JUDUL

PENELITIAN

A. Identifikasi Regulasi yang Ada

Upaya rehabilitasi dan reklamasi hutan telah ditetapkan dengan PP. 76 Tahun 2008.

Dalam Pasal 4 tentang pola umum rehabilitasi dan reklamasi hutan disebutkan bahwa

Page 164: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 2

penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan harus memperhatikan ekosistem

setempat. Dalam penjelasan PP tersebut diterangkan bahwa yang dimaksud dengan “aspek

ekosistem”, adalah bahwa dalam rangka pengelolaan DAS harus memperhatikan daya

dukung lahan (land capability) dan kesesuaian lahan (land suitability) serta memperhatikan

keanekaragaman jenis dan tingkat kerentanan terhadap hama penyakit. Selanjutnya dalam

buku Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai RTkRHL-DAS

(Peraturan Menetri Kehutanan RI No. P.32/Menhut-II/2010) disebutkan bahwa dalam

rangka rehabilitasi lahan kritis dan peningkatan produktivitas lahan perlu didukung dengan

analisis kemampuan dan kesesuaian penggunaan lahan serta memetakan kesesuaian jenis

tanaman.

B. Analisis Kebutuhan Penelitian

Pemilihan jenis tanaman dapat menggunakan informasi yang berkaitan dengan

kesesuaian lahan jenis-jenis tanaman tertentu seperti yang terdapat dalam buku Pedoman

Teknis Klasifikasi Kemampuan Penggunaan dan Kesesuaian Lahan (Wahyuningrum et al,

2003). Dari informasi tersebut diperoleh alternatif jenis-jenis yang dapat dikembangkan di

suatu lokasi dengan kondisi biofisik lahan tertentu. Namun demikian belum dapat dipre-

diksi berapa hasilnya (volume) pada jangka waktu tertentu pada kondisi lahan tertentu.

Untuk memprediksi volume tegakan, dapat memanfaatkan tabel volume suatu jenis tanam-

an seperti pada buku Tabel Tegakan Sepuluh Jenis Kayu Industri (Herbagung, 2010; Pus-

litbang Hutan, 1993). Pada buku ini dapat diperoleh informasi tabel prediksi pertumbuhan

suatu jenis tanaman pada kelas bonita tertentu pada periode umur tanaman. Namun

demikian kelas bonita disini tidak menjelaskan dengan rinci kondisi biofisik lahannya.

Dalam aplikasi di lapangan tabel ini akan sulit diterapkan, karena indikator bonita ditentu-

kan oleh peninggi tanaman, dengan demikian akan mustahil digunakan pada lokasi lahan

yang masih kosong tanpa tegakan.

Berdasarkan kelebihan dan kekurangan masing-masing metode tersebut, maka dalam

penelitian ini dilakukan pengintegrasian antara metode kesesuaian lahan dan metode kelas

bonita. Dalam pengintegrasian ini dianalisis pertumbuhan tegakan pada berbagai kondisi

biofisik yang berbeda, terutama sifat-sifat tanah, kondisi lahan secara umum (lereng,

fisiografi, dsb), dan kondisi iklim.

III. SINTESIS HASIL PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan pada tahun 2013-2017.

Lokasi. Kesesuaian lahan untuk tanaman Mahoni dilaksanakan di KPH Gundih, Kabupaten

Grobogan (DAS Tuntang) dan BKPH Candiroto, KPH Kedu Utara, Kabupaten Temang-

gung (DAS Serayu). Untuk jenis sengon penelitian dilakukan di KPH Kedu Selatan,

Kabupaten Wonosobo (DAS Serayu). Tegakan mahoni yang diteliti di BKPH Gundih

umur 13 sd 43 tahun, sedangkan di BKPH Candiroto umur 3 sd 61 tahun. Tanaman sengon

yang diteliti umur 1 s/d 11 tahun.

Page 165: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 3

Rancangan Penelitian. Rancangan peneltian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Penentuan jenis-jenis andalan setempat yang banyak diusahakan dan menguntungkan.

b. Identifikasi penyebaran jenis-jenis yang diteliti pada berbagai kondisi biofisik yang

berbeda.

c. Penentuan lokasi prioritas yang diteliti.

Pada prinsipnya kegiatan evaluasi menentukan kelas kesesuaian lahan untuk jenis

tertentu merupakan kegiatan survei dan interpretasi dari kondisi iklim, lahan, tegakan dan

informasi lain yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman (Wahyuningrum,

2008). Kegiatan penelitian dilakukan dengan metode survei dengan pembuatan petak ukur.

Survei dilakukan dengan membuat petak ukur yang disesuaikan dengan kondisi di

lapangan pada lahan yang sudah ditumbuhi tanaman dan diketahui umurnya. Dalam petak

ukur tersebut dideskripsikan parameter lahan dan diukur parameter tegakan. Kelas kese-

suaian lahan dinilai berdasarkan metode yang ada pada buku pedoman penilaian kelas

kesesuaian lahan oleh Lembaga Penelitian Tanah (CSR/FAO, 1983) dan disesuaikan de-

ngan pedoman yang dibuat Wahyuningrum et al. (2003).

A. Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang disampaikan saat ini merupakan hasil sementara karena peneliti-

an baru mulai dilaksanakan pada tahun 2013.

1. Tanaman Mahoni

Untuk mendapatkan variasi tempat tumbuh tanaman mahoni maka data dari BKPH

Candiroto dan dari BKPH Gundih diintegrasikan untuk membangun persamaan regresi.

Lokasi di BKPH candiroto mempunyai ketinggian 250 hingga 830 m dpl dan solum tanah

dalam (>120 cm), sedangkan di BKPH Gundih ketinggian tempat hanya berkisar antara 90

s/d 135 m dpl, dengan solum tanah yang dangkal mayoritas 20 s/d 30 cm.

Hasil analisis hubungan antara pertumbuhan tegakan dengan kondisi lahan tanpa

menyertakan informasi kondisi lereng dan iklim diperoleh kelas sesuai, sesuai marjinal,

dan tidak sesuai. Tiga kelas kesesuaian juga diperoleh pada waktu variabel lereng diinte-

grasikan dalam analisis. Selain kedua analisis di atas juga dilakukan analisis tegakan

dengan menyertakan variabel iklim tanpa mengikutkan lereng. Hasil yang diperoleh hanya

kelas sesuai marjinal dan tidak sesuai. Demikian juga pada waktu variabel lereng dan iklim

digunakan dalam analisis, hanya dua kelas kesesuaian yang diperoleh.

Konsistensi hasil, yakni pertumbuhan tertinggi dicapai pada kelas sesuai, diikuti sesuai

marjinal, dan tidak sesuai jika variabel kedalaman tanah, lereng, dan iklim diikut-sertakan

atau variabel kedalaman tanah dan iklim diikutkan dalam analisis. Dalam hal ini kemung-

kinan karena variabel lereng yang diukur adalah lereng makro, dan secara umum terlihat

adanya terasering sehingga bidang olah yang ditanamai mahoni sesungguhnya tidak begitu

miring dan tidak berpengaruh secara nyata pada pertumbuhan tanaman mahoni.

Kondisi lahan di KPH Gundih pada petak-petak ukur yang dijadikan penelitian

menunjukkan ketidak sesuaian untuk tanaman mahoni, terutama karena solum tanahnya

yang dangkal. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tegakan tersebut dapat

tumbuh dengan cukup baik sampai umur yang cukup tua, dalam penelitian ini 43 tahun.

Jika dibandingkan dengan tabel tegakan yang disusun oleh Pusat Litbang Hutan dalam

Page 166: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 4

Herbagung (2010), terlihat bahwa pertumbuhan yang ada di KPH Gundih yang secara teo-

ritis berdasarkan kriteria yang digunakan tergolong sesuai marginal dan tidak sesuai pada

beberapa plot yang diukur mempunyai pertumbuhan diameter yang menyerupai diameter

tegakan pada bonita II untuk pertumbuhan diameternya, namun pada pertambahan tinggi

hanya menyerupai sampai dengan umur kurang dari 20 tahun.

0

20

40

60

80

0 20 40 60 80

Dia

me

ter

(cm

)

Umur (tahun)

Bonita I

Bonita II

Sesuai Marginal

0

10

20

30

40

0 20 40 60 80Ti

ngg

i to

tal (

m)

Umur (tahun)

Bonita I

Bonita II

Sesuai Marginal

0

20

40

60

80

0 20 40 60 80

Dia

me

ter

(cm

)

Umur (tahun)

Bonita I

Bonita II

Tidak Sesuai0

10

20

30

40

0 20 40 60 80

Tin

ggi t

ota

l (m

)

Umur (tahun)

Bonita I

Bonita II

Tidak Sesuai

Hasil analisis kesesuaian lahan dengan data sekunder untuk DAS Tuntang menunjuk-

kan bahwa hanya sebagian kecil arealnya yang sesuai untuk tanaman mahoni. Pembatas

utama yang sering dijumpai adalah kombinasi antara drainase dan kemasaman tanah, pem-

batas berikutnya adalah kedalaman tanah. Oleh karena kenyataan di lapangan tanaman

mahoni tetap dapat tumbuh pada lahan-lahan yang tergolong marginal dengan solum yang

dangkal, maka kriteria kelas kesesuaian lahan untuk tanaman mahoni perlu dikaji ulang.

2. Tanaman Sengon

Karakteristik lahan yang merupakan hambatan utama untuk pengembangan tanaman

sengon pada lokasi penelitian Wonosobo adalah lereng makro. Berdasarkan kriteria yang

digunakan, di lokasi penelitian dijumpai tiga kelas kesesuaian, yaitu sesuai, sesuai marji-

nal, dan tidak sesuai. Oleh karena faktor iklim dan sifat-sifat tanah bukan merupakan suatu

Gambar 2. Hubungan diameter (a) dan tinggi total (b) dengan umur tegakan mahoni pada

kelas lahan tidak sesuai, serta perbandingannya dengan tabel bonita.

Gambar 1. Hubungan diameter (a) dan tinggi total (b) dengan umur tegakan mahoni pada

kelas lahan sesuai marginal, serta perbandingannya dengan tabel bonita.

a b

a b

Page 167: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 5

hambatan, maka dalam analisis kesemua variabel-variabel tersebut digunakan secara bersa-

maan.

Pertumbuhan diameter tegakan sengon pada kelas sesuai dan sesuai marginal terlihat

mirip dengan kelas bonita II (Gambar 3.) untuk pertambahan diameternya, sedangkan un-

tuk total tinggi hanya sampai dengan umur sekitar tujuh tahun. Untuk kelas tidak sesuai

mempunyai pertumbuhan yang mirip dengan bonita II pada waktu umur kurang dari 4

tahun.

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15

Dia

met

er (cm

)

Umur (tahun)

Sesuai dan sesuai

marginal

Bonita II

0

10

20

30

40

0 5 10 15T

ing

gi t

ota

l (m

)Umur (tahun)

Sesauai dan sesuai

marginal

Bonita II

0

10

20

30

40

50

0 5 10 15

Dia

met

er (cm

)

Umur (tahun)

Tidak sesuai

Bonita II0

10

20

30

40

0 5 10 15

Tin

gg

i to

tal (

m)

Umur (tahun)

Tidak sesuai

Bonita II

Untuk kelas kesesuaian sengon di DAS Serayu hanya sebagian kecil lahannya yang

termasuk kelas sesuai, walau kenyataannya tanaman sengon tersebut banyak diusahakan di

DAS Serayu. Jenis faktor pembatas yang paling banyak didapati pada kelas sesuai marjinal

maupun tidak sesuai adalah kombinasi antara w (wetness), s (soil) dan sd (soil depth).

Faktor w merupakan kondisi drainase tanah, s dapat berupa kemiringan lahan, tekstur,

persentase batuan permukaan dan batuan singkapan, sedangkan sd merupakan kondisi

kedalaman tanah.

IV. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian yang bisa diterapkan nantinya adalah tabel kelas kesesuaian lahan de-

ngan pertumbuhan tanaman sengon dan mahoni berdasarkan grafik yang dibuat. Namun

demikian penelitian ini masih memerlukan banyak informasi pertumbuhan tanaman yang

diteliti dengan berbagai variasi biofisik.

a b

Gambar 3. Hubungan diameter (a) dan tinggi total (b) dengan umur tegakan sengon pada kelas lahan

sesuai dan sesuai marginal, serta perbandingannya dengan tabel bonita.

Gambar 4. Hubungan diameter (a) dan tinggi total (b) dengan umur tegakan sengon pada kelas

lahan tidak sesuai serta perbandingannya dengan tabel bonita.

Page 168: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 6

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Tanaman mahoni dan sengon yang diteliti tergolong baik pertumbuhannya, namun

lahan tempat tumbuhnya diklasifikasikan kedalam kelas tidak sesuai. Oleh karena itu perlu

dilakukan pencermatan kembali kriteria yang digunakan dalam klasifikasi kesesuaian

lahan. Dalam hal ini pembagian kedalaman solum, mengingat tanaman yang diusahakan

adalah tanaman tahunan yang pada waktu besar perakarannya dapat menembus lapisan

tanah yang dalam. Selain itu juga kemiringan lereng apakah yang dimasukan lereng makro

atau lereng dimana tanaman tumbuh pada bidang olah.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan. 2010. Rencana teknik rehabilitasi hutan dan lahan daerah aliran

sungai (RTkRHL-DAS.

CSR/FAO., 1983. Reconnaice land resources surveys 1:250000. Scale, Atlas Format

Procedures. Ministry of Agriculture and FAO/UNDP. Bogor, 106 p.

Herbagung, 2010. Teknik dan perangkat pengaturan hasil: Sintesa Hasil Penelitian

Kuantifikasi Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Hutan Tanaman. Pusat Penelitian

dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.

Manson, D.G., Schimdt, S., Bristow, M., Erskine, P.D., 2013. Species-site matching in

mixed species plantations of native trees in tropical Australia. Agroforestry

Systems 87 (1): 233 – 250.

Nathan, R., 2009. Species-site matching and growth prediction of three forest palntation

species Tawau, sabah, malaysia. MSc. Thesis. Faculty of Forestry, Universiti

Putra Malaysia.

Priyono, C.N.S., Savitri, E., 1999. Pedoman teknis kesesuaian lahan dan jenis-jenis HTI.

Pedoman Teknis. Balai Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan., 1993. Tabel tegakan sepuluh jenis kayu

industri. Cetakan kedua. Puslitbang Hutan, Bogor. 39 p.

Wahyuningrum, N., Priyono, C.N.S., Haryadi, B., Savitri, E., Sudimin, dan Sudirman.,

2003. Pedoman teknis klasifikasi kemampuan penggunaan lahan dan

kesesuaian lahan. Info DAS No.15:1-13.

Wahyuningrum, N., 2008. Evaluasi lahan: Kesesuaian dan kemampuan lahan. Prosiding

Gelar Teknologi: 34-40.

Page 169: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 7

JUDUL PENELITIAN : REHABILITASI LAHANTERDEGRADASIDENGAN

JENIS LOKAL

PELAKSANA : GUNARDJO TJAKRAWARSA

INSTANSI : BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI KEHUTANAN

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keterbatasan lahan, pertambahan penduduk dan konversi lahan hutan menjadi lahan

pertanian maupun peruntukan lain memicu penyusutan luas kawasan hutan. Di sisi lain

praktek pengolahan memperhatikan aspek-aspek konservasitanah menyebabkan degradasi

lahan yang berimplikasi pada bertambahnya lahan kritis.

Lahan terdegradasi adalah lahan yang telah mengalami penurunan atau kehilangan

seluruh kapasitas alami untuk menghasilkan tanaman yang sehat dan bergisi, kapasitas pro-

duktivitasnya atau potensi pengelolaan lingkungannya (Scherr dan Yadav, 1996) sebagai

akibat erosi, pembentukan lapisan padas (hardpan) dan akumulasi bahan kimia beracun

(toxic), disamping penurunan fungsi sebagai media tata air (Paimin, Sukresno dan Pur-

wanto, 2010). Di Indonesia lahan terdegradasi disebabkan oleh erosi. Rehabilitasi lahan

merupakan solusi tepat dalam mengatasi masalah degradasi lahan. Rehabilitasi lahan di-

maksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi lahan sehingga

daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidup-

an tetap terjaga.

Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan RI, luas lahan sangat kritis dan lahan

kritis pada akhir Pelita VI (awal tahun 1999/2000) seluas 23.242.881 ha terdiri dari 35%

dalam kawasan hutan dan 65 % luar kawasan hutan. Laju deforestasi Indonesia tahun 1985

– 1997 adalah sebesar 1,8 juta ha/th (FWI/GFW, 2001). Laju deforestasi Indonesia tahun

1997 – 2000 adalah sebesar 2,84 juta ha/th (Departemen Kehutanan Republik Indonesia,

2005). Laju deforestasi Indonesia tahun 2000-2009 adalah 1,51 juta ha/th (Forest Watch

Indonesia, 2011). Luas lahan kritis di Indonesia tahun 2012 adalah 27.294.842 ha (Statistik

Kehutanan Indonesia 2012).

Kawasan Gunung Muria menjadi sumber mata air sejumlah aliran sungai dan diha-

rapkan mampu memainkan fungsi hidro-orologis, pengendali banjir, pencegah kekeringan,

pencegah erosi dan pertahankan kesuburan tanahyang menjadi andalan sumber kebutuhan

air bersih warga Kabupaten Kudus. Debit air kecil, warna air keruh, dan di sana-sini terjadi

pendangkalan aliran sungai yang disebabkan oleh kerusakan hutan di lereng Gunung Muria

(Sugita, 2010).

Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi degradasi lahan maka perlu dilakukan

kegiatan rehabilitasi lahan dengan memperhatikan aspek konservasi tanah. Rehabilitasi

lahan dalam bentuk penanaman jenis–jenis lokal yang diminati masyarakat, yang sesuai

dengan tempat tumbuhnya, dan sesuai kaidah teknik konservasi tanah dan air, berpotensi

mendukung keberhasilan rehabilitasi lahan. Dari kegiatan rehabilitasi lahan secara

Page 170: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 8

vegetatif diharapkan fungsi lahan sebagai media tumbuh dan tata air serta keseimbangan

antara produktivitas, kelestarian, dan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan.

B. Tujuan

Tujuan penelitian adalah:

1. Meningkatkan fungsi lingkungan dan ekonomi masyarakat melalui model rehabilitasi

lahan dan konservasi tanah dan air (RLKTA) berupa kombinasi teknik rehabilitasi lahan

vegetatif dan mekanis melalui pendekatan agroforestri.

2. Mengendalikan erosi dan memelihara kesuburan tanah melalui teknik rehabilitasi lahan

vegetatif.

3. Membangun kelembagaan kelompok tanin Konservasi Tanah dan Air sebagai

pendukung kegiatan agroforestri yang dikembangkan.

II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT DENGAN JUDUL

PENELITIAN

A. Identifikasi Regulasi yang Ada

Dalam Bab VI UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, tentang Penelitian dan

Pengembangan, Pendidikan dan Latihan serta Penyuluhan Kehutanan, bagian kedua

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pasal 53: angka (1) Penelitian dan pengembang-

an kehutanan dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan nasional serta budaya ilmu

pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan hutan; (2) Penelitian dan pengembang-an

kehutanan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengurusan hutan dalam mewu-

judkan pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan nilai tambah hasil hutan; dan (4)

Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung peningkatan kemam-

puan untuk menguasai, mengembangkan, dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan tekno-

logi kehutanan.

Penelitian rehabilitasi lahan terdegradasi dengan jenis lokal dilaksanakan untuk me-

menuhi amanat Undang-undang RI No. 41 tahun 1999 Pasal 40, 41 dan 53, serta PP RI No.

37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, pasal 39 huruf b. yang mene-

kankan pentingnya penguasaan/kemampuan nasional pengurusan hutan khususnya tekno-

logi pengelolaan DAS dalam hal rehabilitasi lahan terdegradasi.

Dalam Bab V UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pengelolaan Hutan

Bagian Keempat, tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, Pasal 40 disebutkan bahwa

Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan me-

ningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya

dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Pasal 41, ayat 1, menye-

butkan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan: a) reboisasi,

b) penghijauan, c) pemeliharaan, d) pengayaan tanaman, atau e) penerapan teknik konser-

vasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif.

Dalam pasal 40 ayat 1 PP RI No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai disebutkan bahwa pelaksanaan kegiatan Pengelolaan DAS yang akan dipu-lihkan

daya dukungnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf a, meliputi: a) optimalisasi

penggunaan lahan sesuai dengan fungsi dan daya dukung wilayah; b) penera-pan teknik

Page 171: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 9

konservasi tanah dan air dilakukan dalam rangka pemeliharaan kelangsungan daerah

tangkapan air, menjaga kualitas, kuantitas, kontinuitas dan distribusi air; dan c)

pengelolaan vegetasi dilakukan dalam rangka pelestarian keanekaragaman hayati,

peningkatan produktivitas lahan, restorasi ekosistem, rehabilitas dan reklamasi lahan.

Sedangkan dalam Pasal 39 huruf b PP RI No. 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah

Aliran Sungai disebutkan bahwa pelaksanaan kegiatan Pengelolaan DAS yang

dipertahankan daya dukungnya meliputi: a) menjaga dan memelihara produktivitas dan

keutuhan ekosistem dalam DAS secara berkelanjutan; b) bimbingan teknis dan fasilitasi

dalam rangka penerapan teknik konservasi tanah dan air demi kelangsungan daerah

tangkapan air, untuk menjaga kualitas, kuantitas, kontinuitas dan distribusi air; c)

peningkatan koordinasi, inte-grasi, sinkronisasi dan sinergi antar sektor dan wilayah

administrasi dalam rangka memper-tahankan kelestarian vegetasi, keanekaragaman hayati

dan produktivitas lahan; dan/atau d) peningkatan kapasitas kelembagaan Pengelolaan DAS

untuk meningkatkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi lintas sektor dan

wilayah administrasi.

B. Analisis Kebutuhan Penelitian

Kegiatan rehabilitasi lahan yang bertujuan untuk memulihkan, mempertahankan, dan

meningkatkan fungsi lahan telah banyak dilakukan. Penebangan hutan menurut Kusmana,

Istomo, Dahlan dan Onrizal (2004) dapat meningkatkan aliran permukaan antara 6-971 %,

yang berarti bahwa penambahan luas hutan akan mengurangi aliran air. Aliran air mening-

kat tajam segera setelah penebangan dan menurun setelah hutan tumbuh kembali. Di

daerah tropis peningkatan aliran air 4,5 mm/tahun akibat penguranan setiap 1 % pengu-

rangan luas hutan. Hasil reboisasi di beberapa negara menunjukkan bahwa penurunan

aliran air bervariasi antara 28-197 %. Penghijauan yang hanya menanam pohon yang tinggi

tanpa memperhatikan adanya tumbuhan bawah dan serasah justru akan menaikkan erosi.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penghijauan: 1) pohon yang ditanam mem-

punyai ujung penetes yang sempit, dan 2) ada tumbuhan bawah dan serasah, tumbuhan

bawah dapat berupa rumput. Kusmana et.all. (2004) menyatakan bahwa laju erosi pada

berbagai kondisi penutupan lahan di Indonesia adalah seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Laju erosi pada berbagai kondisi penutupan lahan di Indonesia

No. Penutupan Lahan Laju Erosi (ton/ha/th) Lokasi

1. Hutan lebat 0,02 -

2. Tanah berumput 0,54 -

3. Tanah gundul 514 -

4. Semak 2,09 Singaparna, Tasikmalaya

5. Hutan tanaman

a. Pinus (umur 29 tahun 5,46 Singaparna, Tasikmalaya

b. Tegakan Campuran 24,32 Kulon Progo

c. Pinus (umur 13 tahun) 24,50 Singaparna, Tasikmalaya

d. Mahoni 26,89 Kulon Progo

e. Kayu Putih 30,68 Kulon Progo

f. Agathis 240,4 Gunung Walat

g. Puspa 690,4 Gunung Walat

6. Hutan Produksi

a. Jalan sarad 120,1 PT Sarang Sapta Putra

b. Jalan cabang 44,7 PT Sarang Sapta Putra

c. Bekas TPN 65,5 PT Sarang Sapta Putra

Page 172: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 10

No. Penutupan Lahan Laju Erosi (ton/ha/th) Lokasi

d. Bekas tebangan 15,7 PT Sarang Sapta Putra

e. Bekas ladang 17,1 PT Sarang Sapta Putra

f. Jalan utama 49,7 PT Sarang Sapta Putra

g. Lahan rehabilitasi 22,9 PT Sarang Sapta Putra

h. Hutan 0,5 PT Sarang Sapta Putra

Keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan tersebut tergantung pada kesesuaian jenis

dengan lokasi, adoptabilitas masyarakat dan kemampuan teknik yang diterapkan dalam

menekan limpasan permukaan dan erosi. Untuk itu adalah penting menguji model yang

mengakomodasi ketiga aspek tersebut dalam menekan limpasan permukaan dan erosi serta

meningkatkan pendapatan masyarakat.

III. SINTESIS HASIL PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Waktu Penelitian. Waktu penelitian dari tahun 2011 sampai dengan Desember 2014.

Lokasi. Penelitian dilaksanakan di Blok Duren Bayi, Desa Gunungsari, Kecamatan

Tlogowungu, Kabupaten Pati. Lokasi penelitian termasuk kedalam Sub-sub DAS Gang

Wedi, Sub DAS Juwana. Luas plot penelitian 6 hektar yang melibatkan 13 petani pemilik

dan penggarap lahan.Lokasi penelitian termasuk kedalam Sub-sub DAS Gang Wadi, Sub

DAS Juwana.

Rancangan Penelitian. Rancangan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Bahan: bibit sengon, jabon, manggis, petai, manglid, randu, lamtoro, duku, dan

glerisidia.

b. Penelitian ini dilaksanakan untuk menguji model-model:

Model A = Sengon + Manggis + Petai + Manglid + Randu + Lamtoro

Model B = Jabon + Duku + Petai + Manglid + Randu + Glerisida

Model C = Sengon + Jabon + Manggis + Duku + Petai + Manglid + Randu +

Lamtoro + Glerisidia.

K = kontrol

Jarak tanam tanaman pokok 4 x 4m dengan kemiringan lahan 40-45 %.Parameter

yang diamati: curah hujan, limpasan permukaan dan erosi, pH, kadar C organik,

Nitrogen total, Ca, Mg, K, Na, CEC, BS and C/N, diameter dan tinggi sengon dan

jabon. Sifat fisika tanah yang diamati adalah struktur, drainase, dan penutupan lahan.

Sedangkan pengambilan sampel tanah meliputi sampel tanah tidak terusik/dalam ring

guna analisis permeabilitas tanah di laboratorium dan sampel tanah terusik untuk

analisis kimia/kesuburan tanah. Limpasan permukaan dan erosi diukur dengan

menggunakan plot erosi berukuran 4 m x 22 m. Data limpasan permukaan, erosi dan

pertumbuhan tinggi dan diameter diolah mengunakan prosedur Paired-Sample t-Test.

Analisis data Sosial ekonomi kelembagaan untuk aspek peluang dan tantangan

pengembangan plot agroforestri konservasi tanah menggunakan SWOT (Strength

Weaknesses Opportunities Threats) yang didahului dengan identifikasi posisi plot

agroforestri konservasi tanah melalui evaluasi nilai faktor internal dan eksternal; aspek

Page 173: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 11

penilaian alternatif produk agroforestri konservasi tanah menggunakan Model

Perbandingan Potensial (Marimin, 2004). Untuk menentukan strategi pengembangan

agroforestri berbasis konservasi tanah digunakan analisis SWOT. Analisis terhadap

tingkat adopsi dilakukan secara deskriptif. Untuk melihat potensi produk unggulan di

daerah penelitian yang dapat dikembangkan dengan menggunakan Model Perbandingan

Potensial (Marimin, 2004 dalam BPTKPDAS, 2012). Analisis data tingkat partisipasi

menggunakan metode besaran, seperti dirumuskan oleh Sugiyono dalam Manule, 2002.

Data yang terkumpul dianalisis dengan metode diskriptif kualitatif dan klasifikasi para

pihak dengan pendekatan power (kekuasaan/wewenang) dan interest (kepentingan)

menggunakan 4 klasifikasi Mintzberg (1999) dalam BPKSolo (2009.

B. Hasil Penelitian

1. Curah Hujan dan Kelembaban Udara

Curah hujan yang turun selama tahun 2013 adalah sebesar 3.798,9 mm. Hari hujan

bulanan berkisar antara 2 sampai 26 hari, curah hujan maksimum berkisar antara 33,0 mm

(29 November) sampai 112,0 mm (31 Desember) sedangkan curah hujan minimum

berkisar antara 0,4 (9 Februari) sampai 6,5 mm (24 juli).

Kelembaban udara yang tercatat di lokasi penelitian berkisar antara 83% (2 Februari)

sampai dengan 99% yang terjadi pada tanggal 18 Mei.

2. Limpasan Permukaan dan Erosi

Limpasan permukaan tertinggi selama periode Januari sampai dengan Desember 2013

terdapat pada Kontrol (Samadi) sebesar 232,1 mm dan terendah pada Model A

(Suparjo/12,2 mm). Tingkat erosi tertinggi juga pada Kontrol (Samadi) sebesar 18,033

ton/ha/th dan terendah pada Model A sebesar 0,172 ton/ha/th. Nilai erosi ini lebih rendah

dibandingkan dengan nilai erosi tegakan campuran di Kulon Progo sebesar 24,32 ton/ha/th

(Kusmana, Istomo, Dahlan dan Onrizal, 2004). Limpasan permukaan dan erosi

selengkapnya terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2. Limpasan permukaan dan erosi

Model Curah hujan Limpasan

(mm)

Erosi

(ton/ha/th)

Dari kontrol ke model

Penurunan

limpasan (mm/th)

Penurunan erosi

(ton/ha/th)

A 3.798,9 12,204 0,172 219,92 17,86

B 105,028 7,024 127,09 11,01

C 72,492 17,206 159,63 0,83

K 232,121 18,033

Model A adalah model terbaik karena mampu menurunkan limpasan permukaan dan

tingkat erosi tertinggi sebesar 219,92 mm/th (94,74%) dan 17,86 ton/ha/th (99,04%)

dibanding Kontrol. Tingkat erosi yang diukur menggunakan metode stik berkisar antara

9,067 ton (Kamat) sampai dengan 50,387 ton (Pomo). Sedangkan dengan menggunakan

metode rorak erosi yang terjadi berkisar antara 0,00 ton (Sutarji) dan tertinggi pada Sukawi

(261,76 ton ha). Hasil limpasan permukaan dan erosi tahun 2013 menunjukkan

kecenderungan yang sama dengan hasil tahun 2012 dimana limpasan permukaan dan

tingkat erosi model perlakuan A menunjukkan nilai terendah dibandingkan dengan kontrol.

Page 174: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 12

Hasil uji statistik prosedur Paired-Sample t-Test pada limpasan permukaan

menunjukkan bahwa limpasan permukaan seluruh Model menunjukkan perbedaan pada

tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan hasil uji Paired sample T-test pada erosi antara

Model A dan C, antara Model B dan C, antara Model B dan Kontrol dan antara Model C

dan Kontrol menunjukkan perbedaan tidak nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil uji

statistik prosedur Paired-Sample t-Test pada erosi menunjukkan bahwa tingkat erosi antara

Model A dan B dan antara Model A dan Kontrol menunjukkan perbedaan yang nyata pada

tingkat kepercayaan 95%. Hasil uji statistik tahun 2013 ini menunjukkan perbedaan bila

dibandingkan dengan uji Paired-Sample t-Test tahun 2012 yang menunjukkan bahwa

limpasan permukaan dan tingkat erosi ketiga perlakuan Model A, B dan C tidak berbeda

nyata dengan Kontrol.

3. Kesuburan Tanah

a. pH, C org, N tot, P tsd, K tsd, KPK dan tekstur awal

Keasaman (pH tanah) Model A, B, C dan Kontrol berkisar antara 4,9 – 5,98 (rendah-

sedang). Kandungan C organik 0,74-1,39 (sangat rendah-rendah). Kandungan Nitrogen

total 0,04-0,11 (sangat rendah-rendah). P tersedia: 9,06-200,85 (rendah-tinggi). K tersedia

0,15-1,14 (rendah-tinggi). Kapasitas pertukaran kation: 5,18-10,91 (rendah). Tekstur

Model A: lempung berat–geluh lempungan, Model B: geluh lempungan-geluh pasiran,

Model C: geluh–lempung, Kontrol: geluh lempungan- lempung.

Karakteristik umum tanah awal sesuai ciri tanah ultisol yang dikemukakan oleh

Notohadiprawiro (1986) menyatakan bahwa pH tanah Ultisol masam dan kandungan bahan

C organik rendah (1,0-2,0%) dan Nitrogen total (0,1-0,2 %) yang menyebabkan kendala

bagi tanaman. Notohadiprawiro (1973) menyatakan bahwa kejenuhan basa rendah; kadar

bahan organik dan Nitrogen yang rendah tersebut teronggok dalam lapisan permukaan tipis

(horizon A), Daya simpan air terbatas; Derajat agresi rendah dan kemantapan agregat

lemah. Prasetyo dan Suriadikata (2006) menyatakan bahwa kendala pengelolaan ulisol

untuk dilakukan dengan penerapan teknologi seperti pengapuran, pemupukan, dan

pengelolaan bahan organik oleh petani.

b. Kemasaman (pH) Tanah

Kemasaman (pH) tanah pada seluruh model menunjukkan penurunan dari awal

penanaman sampai dengan akhir tahun kedua, kecuali Kontrol yang meningkat pada tahun

kedua. Sampai dengan akhir tahun pertama penurunan pH tertinggi terdapat pada kontrol

18,92 % dan terendah pada Model A (0,39 %). Penurunan pH ini diduga berkorelasi positif

dengan tingkat erosi yang terjadi pada kontrol sebesar 61,37 ton/ha dan terendah pada

Model A sebesar 0,379 ton/ha (November-Desember 2012) (BPTKPDAS, 2012). Namun

pada tahun kedua pH seluruh model yang diuji menunjukkan penurunan sedangkan kontrol

menunjukkan peningkatan. Penurunan tertinggi terdapat pada Model C 6,97 % dan

terendah Model A 3,33 %. Guna meningkatkan pH perlu dilakukan pengapuran sehingga

pH meningkat sehingga hara tanah dapat diserap oleh tanaman walaupun praktek ini akan

menimbulkan biaya mahal.

Page 175: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 13

c. Kadar C Organik

Kadar C organik seluruh model perlakuan dan kontrol menunjukkan kecenderungan

yang sama (meningkat dari awal penelitian sampai akhir tahun pertama dan menurun

sampai akhir tahun kedua) dengan kontrol, namun dengan besaran yang berbeda.

Peningkatan kadar C organik tertinggi pada tahun pertama terdapat pada Model A (82,8 %)

dan terendah pada Model C (22,76 %). Sedangkan penurunan kadar C organik pada tahun

kedua tertinggi terdapat pada kontrol (-71,73 %) dan terendah terjadi pada perlakuan B (-

64,46 %). Peningkatan kadar C organik tertinggi pada model A, diduga disebabkan sengon

(tanaman pokok Model A) menghasilkan serasah yang mudah terurai (mineralisasi)

dibandingkan dengan model-model lainnya. Selain itu proyeksi tutupan lahan Model A

menunjukkan terbaik dalam melindungi lahan dari proses erosi dan terbanyak dalam

memberikan sisa tanaman. Sedangkan penurunan kadar C organik tertinggi pada kontrol

diduga disebabkan pencucian akibat tingginya erosi pada kontrol. Tingkat erosi pada tahun

kedua kontrol 18,033 ton/ha/th, Model C 17,206 ton/ha/th, Model B 7,024 ton/ha/th dan

Model 0,172 ton/ha/th (BPKTKPDAS, 2013). Hal ini sesuai dengan pendapat Fließbach et

al. (2007) yang menyatakan bahwa penambahan bahan organik dalam tanah dalam bentuk

pupuk kandang atau limbah panen dapat meningkatkan kandungan N dan C dalam tanah.

d. Kadar Nitrogen Total

Sampai dengan akhir tahun pertama kadar Nitrogen total Model A dan B meningkat

masing-masing 28,57% dan 69,57%; Model C tetap, dan Kontrol menurun sebesar 39,39%.

Terlihat bahwa penurunan pH menyebabkan peningkatan N total. Hal ini sesuai dengan

pendapat gang Li (2007) yang menyatakan bahwa peningkatan pH meningkatkan

mineralisasi Nitrogen yang berarti bahwa penurunan pH akan menurunkan N total. Hal

sama terlihat juga pada tahun kedua dimana tingginya kenaikan N total pada Model B

(220,51%) disebabkan oleh komulatif dari rendahnya dekomposisi serasah Model B dan

rendahnya penurunan pH.

Atmojo (2003) menyatakan bahwa Nitrogen adalah hasil proses mineralisasi bahan

organik yang relatif banyak dan dapat diserap oleh tanaman. Protein sebagai sumber

nitrogen pada mulanya akan mengalami proses aminisasi (peruraian menjadi asam-asam

amino), yang dilanjutkan dengan proses amonifikasi (penguraian oleh sejumlah besar

mikrobia heterotrofik menjadi ammonium). Amonifikasi ini dapat berlangsung hampir

pada setiap keadaan, sehingga amonium merupakan bentuk nitrogen anorganik (mineral)

yang utama dalam tanah (Tisdel dan Nelson, 1974). Nasib dari amonium ini antara lain

dapat secara langsung diserap dan digunakan tanaman untuk pertumbuhannya, atau oleh

mikroorganisme untuk segera dioksidasi menjadi nitrat yang disebut dengan proses

nitrifikasi. Nitrifikasi adalah proses bertahap yaitu proses nitritasi yang dilakukan oleh

bakteri Nitrosomonas dengan menghasilkan nitrit, yang segera diikuti oleh proses oksidasi

berikutnya menjadi nitrat yang dilakukan oleh bakteri Nitrobacter yang disebut dengan

nitratasi. Nitrat merupakan hasil proses mineralisasi yang banyak disukai atau diserap oleh

sebagian besar tanaman budidaya. Namun nitrat ini mudah tercuci melalui air drainase dan

menguap ke atmosfer dalam bentuk gas (pada drainase buruk dan aerasi terbatas) (Killham,

1994 dalam Atmojo, 2003 ).

Page 176: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 14

e. Perbandingan Carbon Nitrogen (C/N)

Perbandingan C/N tiga model yang diuji menunjukkan penurunan sampai akhir tahun

pertama sedangkan Kontrol meningkat (7,18%). Penurunan tertinggi terdapat Model C

(20,13%) dan terrendah pada Model B (20,13%). Pada tahun kedua hanya Model B yang

menunjukkan perbandingan C/N yang menurun (35,18%) sedangkan perlakuan yang lain

menunjukkan peningkatan (tertinggi Model A 16,561%).

Rehabilitasi lahan vegetatif dimaksudkan untuk meningkatkan kesuburan tanah

melalui peningkatan kandungan bahan organik dan Nitrogen total dari dekomposisi serasah

yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Notohadiprawiro (1986) yang menyatakan

bahwa penambahan bahan organik ke dalam tanah lebih kuat pengaruhnya ke arah

perbaikan sifat-sifat tanah, khususnya untuk meningkatkan unsur hara di dalam tanah.

Pada tahun kedua secara alami kadar unsur-unsur Ca, Mg, K, Na, dan nilai KTK dan

KB pada lahan menunjukkan penurunan yang ditunjukkan nilai parameter Kontrol (seiring

dengan meningkatnya tingkat erosi). Kontrol adalah pengelolaan lahan yang ditanami ubi

kayu namun tidak menerapkan teknik konservasi tanah yang seharusnya.

Model A, B, C mampu meningkatkan kadar Ca dan KB, Model B dan C mampu

meningkatan kadar Mg, Model B untuk kadar Na. Namun semua Model tidak mampu

mengendalikan penurunan Nilai KTK. Peningkatan Ca, Mg, dan K tertinggi terdapat pada

Model C, sedangkan peningkatan Na dan KPK (tahun pertama) Model A, tahun kedua

Model B, serta peningkatan kejenuhan basa tertinggi terdapat pada Model C.

Atmojo (2003) menyatakan bahwa pengaruh bahan organik terhadap kesuburan kimia

tanah antara lain terhadap kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH

tanah, daya sangga tanah dan terhadap keharaan tanah. Penambahan bahan organik akan

meningkatkan muatan negatif sehingga akan meningkatkan kapasitas pertukaran kation

(KPK). Bahan organik memberikan konstribusi yang nyata terhadap KPK tanah.

4. Pertumbuhan Tanaman

a. Persen Hidup Tanaman

Persen hidup tanaman pada umur satu bulan setelah tanam (bst) adalah 96% (tanaman

mati, layu dan patah sebesar 4,2%). Namun demikian 9,7% dari total tanaman terserang

hama (hama ulat pada jabon dan kutu putih pada sengon) yang cukup parah. Persen

tumbuh sengon dan jabon sampai enam bulan setelah tanam masing-masing menurun 0,96

dan 3,84% per bulan, tetapi relatif lebih stabil setelahnya sampai umur 18 bulan dengan

penurunan persen tumbuh masing-masing 0,27 dan 0,23% per bulan. Persen tumbuh umur

18 bulan adalah 88 dan 74% masing-masing untuk sengon dan jabon.

b. Pertumbuhan Tinggi dan Diameter

Pertumbuhan tinggi dan diameter adalah dua variabel yang umum digunakan dalam

menilai perkembangan tanaman (pohon). Hasil pengukuran tinggi dan diameter secara

lengkap disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Page 177: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 15

Tabel 3. Rata-rata tinggi pohon (cm) umur satu, enam, dan 18 bulan setelah tanam.

Kombinasi perlakuan Jenis 1 Bln 6 Bln 18 Bln

Model A Sengon 99,4±24,89 143,6±75,39 451,3±88,88

Model C Sengon 99,6±24,11 192,8±95,68 463,2±98,72

Model B Jabon 84,3±19,37 124,3±37,06 249,4±54,16

Model C Jabon 83,3±25,18 117,7±81,74 249,4±108,23

Tinggi rata-rata tanaman sengon Model A dan C sampai umur enam bulan setelah

tanaman masing-masing naik 8,84 dan 18,64 cm per bulan dan relatif seragam setelahnya

dengan pertumbuhan sampai 18 bulan sebesar 25,64 dan 22,53 cm/bulan. Sampai dengan

umur enam bulan setelah tanam Model C menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik

dibandingkan Model A, sedangkan sampai umur 18 bulan yang terjadi sebaliknya.

Pertumbuhan tinggi sampai 18 bulan tidak berbeda secara nyata dengan increment 20,70

dan 21,39 cm/bulan masing-masing untuk model A dan C.

Tinggi rata-rata tanaman jabon model B dan C sampai enam bulan setelah tanam

relatif sama masing-masing naik 8,00 dan 6,88 cm/bulan, demikian juga setelahnya dengan

pertumbuhan sampai 18 bulan sebesar 10,43 dan 10,98 cm/bulan. Rendahnya tinggi awal

pada umur satu bulan diduga menyebabkan rendahnya pertumbuhan tinggi jabon sampai

dengan umur enam bulan setelah tanam, walaupun pada pertumbuhan berikutnya

rendahnya tinggi awal dapat menunjukkan pertumbuhan tinggi yang lebih baik.

Pertumbuhan tinggi sampai 18 bulan berbeda nyata dengan increment 9,71 dan 9,77

cm/bulan masing-masing untuk model B dan C.

Tabel 4. Diameter pohon (mm) umur 1 (satu), 6 (enam) dan 18 (delapan belas) bulan setelah tanam

Kombinasi Perlakuan Jenis 1 Bln 6 Bln 18 Bln

Model A Sengon 7,7±0,25 18,5±4,57 52,7±0,96

Model C Sengon 8,1±0,32 17,7±0,77 51,7±0,74

Model B Jabon 14,1±0,68 19,7±0,74 42,0±1,16

Model C Jabon 11,7±0,41 18,8±3,05 43,3±1,12

Diameter rata-rata tanaman sengon model A dan C sampai enam bulan setelah tanam

masing-masing naik 2,16 dan 1,92 mm/bulan dan relatif seragam setelahnya dengan

pertumbuhan sampai 18 bulan sebesar 2,85 dan 2,83 m/bulan. Pertumbuhan diameter

sampai 18 bulan tidak berbeda secara nyata dengan increment 2,65 dan 2,56 mm/bulan

masing-masing untuk model A dan C. Tinggi rendahnya diameter awal tidak secara

konsisten menentukan besarnya pertumbuhan diameter sengon sampai 6 dan 18 bulan

setelah tanam.

Diameter rata-rata tanaman jabon model B dan C sampai enam bulan setelah tanam

masing-masing naik 1,12 dan 1,42 mm/bulan, meningkat setelahnya dengan partumbuhan

sampai 18 bulan sebesar 1,86 dan 2,04 mm/bulan. Pertumbuhan tinggi sampai 18 bulan

tidak berbeda secara nyata dengan increment 1,64 dan 1,86 mm per bulan masing-masing

untuk model B dan C. Diameter awal diduga berpengaruh pada pertumbuh-an diameter

jabon sampai umur 6 bulan dan 18 bulan setelah tanam.

Dalam kaitan pertumbuhan Tisdale et al. (1985) mengemukakan bahwa pertumbuhan

tanaman dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara terutama nitrogen. Hal ini disebabkan

oleh fungsi nitrogen yang mendorong pertumbuhan merupakan pengatur penggunaan

Page 178: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 16

kalium, fosfat dan penyusun lainnya. Apabila kekurangan N, tanaman tidak dapat

melakukan metabolisme dan pertumbuhan tinggi juga terhambat (tanaman bisa menjadi

kerdil). Tanaman harus memperoleh cukup N untuk dapat tumbuh baik dan membentuk

sel-sel baru.

c. Hasil Analisis paired t-test

Hasil analisis paired t-test terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter sengon dan

jabon menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi dan diameter sengon Model A dan C tidak

berbeda nyata, sedangkan pertumbuhan tinggi jabon Model B dan C berbeda nyata pada

tingkat kepercayaan 95% dan pertumbuhan diameter jabon Model B dan C menunjukkan

tidak berbeda nyata. Hasil analisis paired t-test selengkapnya terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil analisis paired t-test

Paired Samples Test

Paired Differences

t df Sig. (2-

tailed)

Mean

Std.

Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

Pair 1 TS – TSCamp 2.0322 7.2334 0.5867 0.8730 3.1915 3.464 151 0.001

Pair 1 DS – DSCamp 5.2836 21.8396 1.7714 1.7836 8.7835 2.983 151 0.003

Pair 1 TJ – Tjcamp -0.1047 2.4946 0.2051 -0.5100 0.3005 -0.511 147 0.61

Pair 1 DJ – Djcamp -1.5237 13.0291 1.0710 -3.6402 0.5929 -1.423 147 0.157

5. Sosial Ekonomi

a. Dampak Sosial Ekonomi Degradasi Lahan

Degradasi lahan di Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu, Pati selama empat

tahun terakhir berdampak pada penurunan produksi ubikayu dengan kisaran antara 1- 2

ton/ha/th. Nilai penurunan produksi tersebut tertolong dengan meningkatnya harga ubikayu

per kilonya sehingga rata-rata pendapatan petani sebesar naik sebesar 2,35% sampai

dengan 13,29% (Tabel 6). Kenaikan pendapatan petani tersebut belum diperhitungkan

dengan nilai inflasi dan kenaikan harga sembako selama 4 tahun dan nilai ekonomi tanah

yang tererosi. Kecilnya kenaikan pendapatan petanin ini menyebabkan para petani mulai

menerapkan pola agroforestri yaitu menanam pohon sengon di antara ubikayu, walaupun

menanam ubikayu masih merupakan prioritas utama di desa Gunungsari.

Tabel 6. Rata-rata produksi ubikayu dan pendapatan petani di desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu -

Pati

Tahun Produksi (ton/ha) Pendapatan (Rp/ha)

2010 25, 40 6.351.000

2011 23, 02 7.195.000

2012 21, 98 7.695.000

2013 19, 09 7.876.000

Sumber: analisis data primer 2013

Page 179: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 17

b. Pola Agroforestri untuk Ketahanan Pangan

Responden mengusahakan lahan pertanian dengan pola monokultur maupun polikultur

(mix-farming) seperti pola agroforestri. Tanaman monokultur yang banyak diusahakan

adalah ubikayu. Untuk pola agroforestri, yang dikembangkan dan diusahakan oleh

responden berpola: ubikayu + jagung (30,00%), kopi+ kayu + jagung (16,67%), kopi +

kayu (40,00%), dan ketela saja (13,33%). Seperti pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Pola agroforestri di lokasi penelitian

Pola agroforestri kopi + kayu paling banyak diusahakan. Tanaman kopi merupakan

tanaman perkebunan yang cocok di daerah penelitian dengan ketinggian 600 meter dpl.

Tanaman kopi membutuhkan naungan sehingga diperlukan tanaman kayu (pohon).

Tanaman kayu yang ditanam sebagai naungan kopi antara lain adalah sengon (Albizia

chinensis), jabon (Anthocephalus cadamba), lamtoro (Leucaena leucocephala). Sedangkan

tanaman gamal (Glericidia sepium), manggis (Garcinia mangostana L.), durian (Durio

zibethinus), duku (Lansium domesticum Corr) ditanam di antara tanaman jagung dan kopi,

atau ditanam sebagai tapal batas pemilikan tanah.

Tanaman: kopi, ubikayu, jagung, sengon, jabon, manggis dan duku cocok

pertumbuhan dan perkembangannya serta pasar terbuka lebar untuk produk-produk dari

tanaman ini. Tanaman ubikayu tetap dipertahankan karena mempunyai beberapa

keuntungan yaitu produksinya terserap pasar berapapun jumlahnya sebagai bahan baku

industri tapioka, untuk usahatani ubikayu tidak membutuhkan modal besar dan merupakan

keahlian turun temurun serta tidak membutuhkan perawatan yang intensif sehingga petani

masih memiliki waktu untuk berusahatani lainnya. Dari segi konservasi tanah, tanaman

ubikayu ini memacu terjadinya erosi karena ditanam pada lahan yang miring, terbuka dan

tanpa teras serta waktu panen pada musim penghujan dengan cara dicabut sehingga

merusak kepadatan tanah.

c. Agroforestri Solusi Ketahanan Pangan Keluarga

Berkaitan dengan ketahanan pangan rumah tangga, pola agroforestri dapat

menghasilkan berbagai produk pangan selain kayu. Penggunaan produksi usahatani dan

potensi yang terkait dengan ketahanan pangan disajikan pada Tabel 7.

Pola agroforestri menghasilkan selain produk pangan untuk menjamin ketahanan

pangan, juga menghasilkan produk kayu yang dapat dijual sebagai tabungan keluarga.

Peningkatan pendapatan keluarga dapat meningkatkan daya beli rumah tangga petani

Page 180: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 18

seperti untuk pengadaan sarana transportasi keluarga (sepeda motor) dan peralatan rumah

tangga. Kontribusi agroforestri terhadap pendapatan total rumah tangga petani dapat

diperiksa pada Tabel 8.

Tabel 7. Potensi produk usahatani untuk ketahanan pangan di Desa Gunungsari

No Produk usahatani Produksi (ton/th) Penggunaan

1 Padi 446 Cadangan dan bahan pangan serta dijual

2 Jagung 121 Cadangan pangan dan dijual

3 Ubi kayu 24,715 Dijual

4 Kacang tanah 46 Dijual

Sumber: Kecamatan Tlogowungu Dalam Angka, 2011.

Tabel 8. Pendapatan dan kontribusi pola usahatani agroforestri

No Pola usahatani Pendapatan

(Rp/KK)

Kontribusi terhadap pendapatan total

(%/KK)

1 Ketela + jagung 7.096.669 84,27

2 Kopi + kayu + Jagung 5.975.000 83,98

3 Kopi + Kayu 6.322.085 84,43

4 Ketela 7.446.252 80,87

Rerata 6.646.500 83,30

Sumber: analisis data primer 2013

Rata-rata sumbangan pendapatan agroforestri terhadap pendapatan rumah tangga

petani sebesar Rp. 6.646.500,00/tahun atau sekitar 83,30% terhadap total pendapatan

rumah tangga. Tingginya kontribusi pendapatan agroforestri menunjukkan peran agrofo-

restri terhadap ekonomi rumah tangga dan ketahanan pangan rumah tangga yang besar.

Pada saat ini pendapatan finansial dari polikultur (mix farming) ubikayu yang

dicampur dengan tanaman jagung memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan

dengan tanaman kayu dan tanaman pangan. Namun dengan berjalannya waktu, pendapatan

finansial dari tanaman kayu akan lebih tinggi dari tanaman pangan (ubikayu dan jagung).

Rata-rata seorang petani memiliki 30 tanaman sengon di lahannya. Harga satu tanaman

sengon di lahan, umur 5 tahun Rp 200.000,00 - 300.000,00 tergantung pertumbuhan

tanamannya. Sehingga pendapatan keluarga dari kayu antara Rp 6.000.000,00 -

9.000.000,00.

d. Peluang dan Tantangan Pengembangan Agroforestri Konservasi Tanah di Hulu

Sub DAS Gandusuwaduk, Pati – Jawa Tengah

1) Karakteristik Responden

Responden merupakan para petani pemilik lahan yang digunakan untuk plot

agroforestri konservasi tanah dan para petani pemilik lahan disekitar plot agroforestri

konservasi tanah di Desa Gunungsari. Responden merupakan para petani lahan kering

yang berusahatani tanaman ubi kayu monokultur yang belum menerapkan kaidah

konservasi tanah. Karakteristik responden dapat diperiksa pada Tabel 9.

Rerata usia responden adalah 46 tahun yang mengindikasikan berada pada usia

produktif. Pendidikan responden rata-rata sekolah dasar dengan tanggungan keluarga

sebesar 4 orang. Tingkat pendidikan formal petani yang masih rendah dapat diatasi

dengan menjadi anggota kelompok tani yang aktif, berdiskusi dengan penyuluh

pertanian-kehutanan pada saat pertemuan dan melakukan kunjungan pribadi atau

Page 181: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 19

kelompok yang terkait dengan agroforestri, sehingga memiliki sikap inovatif.

Menurut Soekartawi (1998 dalam Edwina dan Maharani, 2010), petani yang berada

dalam pola hubungan yang kosmopolit, kebanyakan dari mereka lebih cepat

melakukan adopsi inovasi. Rerata luas hutan yang dikelola tiap responden 0,25 ha

yang merupakan hutan milik Perum Perhutani. Pola usahatani yang diterapkan adalah

pola agroforestri antara pinus dan kopi. Di Desa Gunungsari luas hutan milik Perum

Perhutani 1.000 hektar (Monografi Desa Gunungsari, 2012).

Tabel 9. Karakteristik responden di Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati

No Uraian Rerata Maksimum Minimum

1 Umur (tahun) 46 70 30

2 Pendidikan Sekolah Dasar Sekolah dasar Tidak sekolah

3 Jumlah tanggungan (orang) 4 7 2

4 Luas lahan (Ha)

5 - Sawah 0,06 1,25 0

- Tegal 0,43 2,00 0,15

- Hutan 0,25 1,50 0

- Pekarangan 0,02 0,05 0,01

2) Partisipasi Petani Terhadap Teknologi Agroforestri Konservasi Tanah

Dalam upaya rehabilitasi lahan dengan plot agroforestri konservasi tanah maka

ditanam tanaman yang diminati masyarakat baik yang endemik maupun eksotik. Jenis

eksotik adalah tanaman jenis penghasil kayu dan telah beradaptasi dengan lingkungan:

adalah sengon dan jabon. Jenis endemik/lokaladalah cempaka (Mangleatia glauca).

Jenis eksotik penghasil HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) yang telah beradaptasi yaitu

petai, duku, manggis, dan randu. Penanaman pohon legum seperti lamtoro (Leucaena

leucocephala), gamal (Glericidia sepium), kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan

tanaman legum penutup tanah seperti koro benguk (Mucuna pruriens), kacang asu

(Colopogonium mucunoides) dan centro (Centrocema pubescens) berfungsi sebagai

pupuk hijau akan membantu pengembalian bahan organik ke dalam tanah dan

membantu meningkatkan pH tanah.

Hasil penelitian BPTKPDAS (2011-2012) menunjukkan bahwa pada tahap awal

pembangunan agroforestri konservasi tanah BPTKPDAS ditanggapi oleh para pemilik

lahan dengan sangat antusias karena adanya bantuan dan insentif yang diberikan untuk

pembangunan agroforestri tersebut. Pada tahun pertama (2011) pembangunan plot

agroforestri konservasi tanah belum terlihat pengaruh model penanaman terhadap

kecenderungan erosi tanah dan kesuburan tanah. Partisipasi masyarakat akan

agroforestri konservasi tanah dan kemauan untuk mengembangkan, tergantung pada

manfaat apa yang diperoleh petani, bagaimana dampak ekonomi dalam jangka pendek,

apa pilihan-pilihan peluang ekonomi yang tersedia dibandingkan dengan pola

monokultur ubikayu. Partisipasi masyarakat juga cukup positif yang ditunjukkan

dengan dipeliharanya agroforestri konservasi tanah oleh para petani pemilik lahan dan

masyarakat sekitarnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 10.

Pada tahun pertama pengembangan plot agroforestri konservasi tanah, tingkat

partisipasi responden terhadap plot agroforestri konservasi tanah, dalam hal

perencanaan masih rendah (74,50%), pelaksanaan tingkat sedang (71,10%), penerima

Page 182: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 20

manfaat tingkat tinggi (62,10%) dan monitoring evaluasi yang rendah (71,10%). Pada

tahun 2012, tingkat partisipasi terhadap plot agroforestri konservasi tanah dalam

perencanaan termasuk sedang (40,60%), dalam pelaksanaan masih tinggi (55,90%),

penerima manfaat tinggi (76,10%) dan monitoring evaluasi termasuk sedang (46,80%)

(BPTKPDAS, 2011, 2012). Dari Tabel 11 tersebut terlihat bahwa terjadi peningkatan

kualitas tingkat partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat terhadap kegiatan plot

agroforestri konservasi tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya tingkat rata-rata

partisipasi yang semakin menyebar, menunjukkan bahwa masyarakat telah

menanggapi pembangunan plot agroforestri konservasi tanah BPTKPDAS dengan

cukup baik.

Tabel 10. Perbandingan Tingkat Partisipasi Responden tahun 2011 dan 2012

No Uraian 2011 2012

1 Perencanaan: tingkat rendah*)

74,50% 40,60%

2 Pelaksanaan: tingkat sedang*)

71,10% 55,90%

3 Penerimaan: tingkat tinggi*)

62,10% 76,10%

4 Monev: tingkat rendah*)

71,10% 46,80%

*) Tingkat partisipasi yang paling banyak nilainya pada tahun 2011 dibandingkan tahun 2012

Tabel 11. Persepsi masyarakat terhadap plot agroforestri berdasarkan kontan

No Uraian Persentase (%)

1 Pemahaman konservasi tanah dan air (KTA)

- Tahu

- Tidak tahu

95

5

2 Sumber informasi KTA

- Penyuluh

- Tetangga

- Media informasi

- Sumber lain

100

0

0

0

3 Paham yang disampaikan penyuluh

- Paham

- Tidak paham

95

5

4 KTA yang dilakukan sekarang

- Saluran pembuangan air (SPA)

- Penguat teras

- Penanaman menurut kontur

- Agroforestri

- Teras gulud

85

25

15

50

10

5 Bantuan dalam penerapan KTA

- Bibit tanaman pohon/buah

- Tenaga kerja

- Pupuk anorganik

90

25

10

Ubikayu menjadi tanaman andalan, meskipun hasil uji kesuburan tanah

menunjukkan bahwa tanah pada demplot telah mengalami degradasi yang ditunjukkan

dengan rendahnya kandungan karbon C organik dan bahan organik (1-2%) serta

rendahnya kandungan N total tanah (< 0,1%). Selain itu KPK tanah juga rendah (5-11

me/100g) dan tanah sebagaian besar tergolong masam (BPTKPDAS, 2011). Pada

kondisi tersebut usaha tani ubikayu sudah tidak sesuai diusahakan apalagi pada lahan

miring. Meskipun petani memberi pupuk urea namun tidak membantu meningkatkan

produktivitas apabila tidak disertasi dengan pengembalian bahan organik ke tanah.

Page 183: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 21

Banyak penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang secara tunggal

maupun dikombinasikan dengan pupuk buatan/mineral akan lebih efektif

meningkatkan bahan organik tanah dibandingkan dengan hanya pupuk mineral saja

(Gong et al., 2009).

3) Analisis SWOT

Dari matriks evaluasi faktor internal (IFE) dan evaluasi faktor eksternal (EFE)

dapat diketahui bahwa posisi internal dan eksternal plot agroforestri konservasi tanah

dalam posisi kuadran I (pertama) dengan nilai 4,974 ; 5,060. Posisi kuadran I

menandakan bahwa situasi ini sangat menguntungkan, karena memiliki peluang dan

kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang diterapkan

adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (Marimin, 2004).

Berbagai Peluang

Kuadran III

(mendukung

strategi turn-

around)

Kuadran I

(4,974 ; 5,060)

(mendukung strategi

agresif)

Kelemahan

Internal

Kekuatan

Internal

Kuadran IV

(mendukung

strategi defensif)

Kuadran II

(mendukung strategi

diversifikasi)

Berbagai

Ancaman

Gambar 2. Gambar Posisi Plot Agroforestri Konservasi Tanah BPTKPDAS

Strategi yang harus di terapkan dalam mendukung kebijakan pertumbuhan yang

agresif adalah melakukan kerjasama atau kemitraan yang baik dengan para petani

melalui Kelompok Tani yang ada di Desa Gunungsari. Sebagai peluangnya adalah

meningkatkan sosialisasi agroforestri konservasi tanah bersama petugas Penyuluh

Pertanian dan Kehutanan dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati. Sebagai

tantangannya adalah memperluas pola agroforestri konservasi tanah BPTKPDAS di

lahan milik petani yang belum menerapkannya.

4) Penilaian Alternatif Produk Agroforestri Konservasi Tanah

Pola agroforestri konservasi tanah merupakan usahatani campuran antara pohon

dan ubikayu. Petani mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan pertumbuhan

tanaman pohon dan ubi kayu. Periksa Tabel 12 dan 13.

Tabel 12. Penilaian Alternatif Produk Agroforestri Tradisional di Gunungsari.

No Kriteria Bobot Nilai Produk

Pohon/kayu Ubikayu Pakan Ternak

1 Potensi pasar 9 8 8 5

2 Kondisi bahan baku 8 7 8 6

3 Nilai tambah produk 6 7 6 6

4 Daya serap tenaga kerja 7 7 8 5

5 Teknologi yang sudah dipakai 5 6 6 5

6 Dampak terhadap lingkungan 5 8 7 6

7 Kondisi sosial budaya 7 6 7 5

Sumber: diolah dari data primer, 2013

Page 184: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 22

Tabel 13. Hasil Perhitungan Prioritas Produk Agroforestri Tradisional Potensial di Gunungsari

Prioritas Alternatif pilihan Nilai MPE

1 Ubikayu 153.986.878

2 Pohon/kayu 141.244.201

3 Pakan ternak 3.921.548

Sumber: diolah dari data primer, 2013

Tanaman ubi kayu tetap menjadi tanaman andalan, meskipun hasil uji kesuburan

tanah menunjukkan bahwa tanah pada demplot telah mengalami degradasi yang

ditunjukkan dengan rendahnya kandungan karbon C organik dan bahan organik (1-

2%) serta rendahnya kandungan N total tanah (< 0,1%). Selain itu KPK tanah juga

rendah (5-11 me/100g) dan tanah sebagaian besar tergolong masam (BPTKPDAS,

2011). Kondisi lahan usaha tani ubi kayu sudah tidak sesuai untuk diusahakan apalagi

pada lahan dengan kemiringan antara 30% - 45%. Meskipun petani memberi pupuk

Urea dan pupuk organik (pupuk kandang) namun tidak membantu meningkatkan

produktivitas tanpa disertasi dengan usaha konservasi tanah.

Dilihat dari perkembangan kelembagaan berkaitan dengan persepsi dan adopsi

maka pada tahun pertama, partisipasi pemilik lahan sangat rendah. Pada tahun

berikutnya dibuat kelompok tani konservasi tanah dan air. Namun lembaga ini mati

suri dan tidak melakukan pertemuan rutin lagi. Petani berpersepsi bahwa yang

membutuhkan dan berkepentingan dengan plot agroforestri adalah peneliti dan

pembangun plot bukan petani sendiri. Persepsi ini menyebabkan kegiatan bulanan

kelompok tani tidak berjalan optimal. Beberapa penye-bab yang diidentifikasi antara

lain jumlah anggota sangat sedikit, domisili tersebar, memi-liki lahan garapan lain

yang lebih luas, jauh dari rumah, kegiatan yang tidak terkoordinir, tidak ada modal.

Laporan penelitian BPTKPDAS 2012 menyatakan bahwa gagal berkem-bangnya

kelompok tani tersebut karena jumlah anggota yang sedikit dan tersebar. Namun

pencermatan menunjukkan bahwa pemaksaan pembuatan organisasi baru dan tidak

ada rasa kebutuhan/nasib yang sama akan perlunya pembuatan kelompok tani

konservasi tanah yang membuat gagalnya lembaga ini. Keputusan yang dibuat

selanjutnya bersama peneliti adalah mengabungkan kelompok tani konservasi tanah

dan air dengan kelompok tani Wana Lestari yang beranggotakan 100 orang.

Kelompok tani tersebut memiliki pertemuan rutin setiap bulan dengan agenda arisan

dan penyuluhan dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati.

5) Adopsi Agroforestri Berkonservasi Tanah dan Air

Inovasi merupakan segala sesuatu baik berupa ide, cara ataupun obyek yang

dipersepsikan oleh seorang sebagai sesuatu yang baru. Pemahaman petani akan

inovasi teknologi tentu membutuhkan kesiapan mental sampai mengambil keputusan

untuk adopsi teknologi yang bermanfaat dan diterapkan melalui proses persepsi (Ishak

dan Afrizon, 2011). Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide

baru sebagai cara bertindak yang paling baik. Keputusan inovasi merupakan proses

mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan

untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya (Suprapto dan

Fahrianoor, 2004).

Page 185: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 23

Petani belum mengadopsi model plot agroforestri dalam usahataninya. Petani

menanam pohon di tengah-tengah lahan ubikayu tanpa jarak tanam dan jumlahnya

sedikit (kurang dari 20 batang dalam luasan 2000 m2). Petani berkepentingan terhadap

tanaman ubikayu, namun plot model agroforestri yang dikembangkan peneliti kurang

mengakomodir hal tersebut dan lebih mengedepankan upaya peningkatan kesuburan

lahan dan penurunan erosi.

Menurut Rogers (1983), tingkat adopsi dari suatu inovasi tergantung pada

persepsi adopter tentang karakteristik inovasi teknologi tersebut. Atribut yang

mendukung penjelas-an tingkat adopsi dari suatu inovasi meliputi: (1) keunggulan

relatif, (2) tingkat kesesuaian, (3) tingkat kerumitan, (4) dapat dicoba, dan (5) dapat

diamati. Inovasi teknologi agroforestri yang dikembangkan di plot dapat memenuhi

karakter inovasi teknologi yang dikemukakan oleh Rogers. Namun adopsi terhadap

agroforestri tergantung keputusan petani sebagai pengambil keputusan atas

usahataninya. Hal ini sesuai pendapat Siregar (2006) bahwa masyarakat sebagai

pengguna inovasi teknologi harus lebih selektif dalam memilih teknologi yang

digunakan karena berkaitan dengan biaya. Selain itu Gumbira dan Intan (2001)

menunjukkan bahwa penentuan jenis teknologi ditentukan oleh skala usaha, jenis,

biaya, sumberdaya manusia serta kebutuhan.

6) Peran Parapihak

Dalam menentukan suatu lembaga mempunyai kekuasaan/wewenang, perlu

dilakukan identifikasi dari indikator-indikator: pengaruh, kontrol terhadap sumberdaya

alam dan manusia, kepemilikan pengetahuan dan ketrampilan, keterlibatan dalam

strategi pelaksanaan dan kontrol terhadap lingkungan (Mintzberg,1999 dalam

BPKSolo, 2009). Berdasarkan hasil analisis para pihak, maka para pihak yang terlibat

dalam usahatani konservasi tanah dan air dapat dilihat dari matrik Mintzberg (1999)

di bawah ini.

Keep Statisfied

Pemerintah Desa Gunungsari

Pemerintah Kecamatan Tlogo

wungu.

Key players

Dinas Pertanian dan Kehutanan

Kabupaten Pati

Perum Perhutani KPH Regaloh- Pati

Minimal Effort

Kelompok Masyarakat lainnya

(perkumpulan pedagang

pengumpul, persatuan tukang

ojek, kelompok buruh tani, dll)

Keep Informed

Kelompok Tani KTA

Lembaga Masyarakat Desa Hutan

Gabungan Kelompok Tani

(GAPOKTAN)

Gambar 3. Matriks power dan enterest

Keep Informed. Keep Informed adalah parapihak yang mempunyai kepentingan besar

namun kekuasaan/wewenangnya kecil, atau merupakan pihak utamayang dipengaruhi

atau merasakan akibat dari kegiatan pihak lain. Lembaga ini mempunyai kepentingan

High

Level of Power

Level of Interest Low High

Low

Page 186: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 24

yang besar dalam mengajak anggotanya untuk menerapkan usahatani berbasis

konservasi tanah dan air dalam rangka mengurangi erosi di wilayahnya namun tidak

mempunyai wewenang dalam membuat kebijakan atau peraturan menuju kelestarian

hutan tanah dan air.

Key Players. Key Players mempunyai kekuasaan yang besar dan mempunyai

wewenang yang besar untuk melakukan sesuatu seperti membuat aturan atau

melaksanakan kegiatan membangun suatu kelompok tani berbasis konservasi tanah

dan air. Lembaga ini mempunyai kekuasaan atau kewenangan yang besar dalam

melestarikan sumberdaya alam melalui program atau kegiatan pelestarian hutan,

konservasi tanah dan air serta membina kelompok-kelompok tani sebagai mitra

kerjanya.

Keep Statisfied. Keep Statisfied adalah pihak yang mempunyai kepentingan kecil akan

tetapi wewenangnya besar. Lembaga ini mempunyai wewenang untuk membuat

kebijakan atau aturan-aturan untuk melaksanakan program atau kegiatan dari instansi

yang terkait dengan usahatani berbasis konservasi tanah dan air.

Minimal Effort. Minimal Effort adalah pihak yang mempunyai kepentingan kecil dan

wewenangnya kecil. Merupakan lembaga yang kurang atau tidak terkait dalam

usahatani konservasi tanah dan air.

Dengan demikian program parapihak yang termasuk dalam Key Players dapat

menyelaraskan program dari lembaga masyarakat yang telah ada di Desa Gunungsari.

Sehingga diperlukan kerjasama antar lembaga. Kemampuan lembaga-lembaga yang

terkait dengan pemberdayaan masyarakat harus ditingkatkan untuk lebih mendukung

pelaksanaan usahatani berbasis konservasi tanah dan air.

7) Lembaga yang Terkait Konservasi Tanah dan Air

Lembaga yang terkait dalam kegiatan usahatani konservasi tanah dan air di desa

Gunungsari, kecamatan Tlogowungu kabupaten Pati Jawa Tengah antara lain Dinas

Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah -

BKPH Regaloh, Pemerintah Desa Gunungsari, Pemerintah Kecamatan Tlogowungu,

Kelompok Tani Wana Lestari, dll. Digambarkan melalui diagram Venn seperti pada

Gambar 4 dibawah ini.

Gambar 4. Diagram Venn untuk lembaga yang terkait pengelolaan DAS di desa Gunungsari.

Dinas Pertanian Kehutanan

Bappeda

Pemerintah Desa

Kel.TaniKontan

Pemerintah Kecamatan

BKPH Regaloh

Kel.Masy

Pedagang Pengumpul

Kel. Tani Wana Lestari

Per Bankan

masyarakat desa Gunungsari, kec.Tlogowungu, kab.Pati – Jawa Tengah

LMDH

Page 187: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 25

Pemerintah Desa digambarkan besar dan berada dalam lingkaran, yang berarti

mempunyai peran besar terhadap masyarakat dan dekat dengan masyarakat.

Pemerintah Desa merupakan motor dari pembangunan SDM di wilayahnya termasuk

menangani semua urusan kemasyarakatan warganya.

Pemerintah Kecamatan digambarkan jauh dan kecil, mempunyai arti pengaruh

dan peran di dalam pembangunan masyarakat desa Gunungsari lebih kecil diban-

dingkan pemerintah Desa. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) digambarkan

besar dan di dalam lingkaran, yang berarti lembaga ini dekat dengan masyarakat dan

berperan/berpengaruh besar terhadap pembangunan masyarakat. Pedagang pengumpul

digambarkan berada di lingkaran, yang berarti dekat dengan masyarakat dan diper-

lukan dalam menopang pembangunan SDM terutama dalam pemasaran hasil bumi.

Renternir atau tengkulak atau lintah darat; digambarkan ada di dalam lingkaran besar,

yang menunjukan kedekatan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Sementara per-Bank-an

digambarkan di luar lingkaran masyarakat, yang berarti kurang dekat dengan

masyarakat, kurang dibutuhkan. Kelompok Tani Wana Lestari dan Kelompok Tani

Konservasi Tanah dan Air berada di dalam lingkaran masyarakat; namun berbeda

besarannya. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pati digambarkan berada di

luar laingkaran masyarakat dan jaraknya dekat. Hal ini menunjukan bahwa kegiatan

instansi ini mendukung pembangunan bidang pertanian dan kehutanan di desa

Gunungsari, seperti kegiatan Gerakan penghijauan (Gerhan) dan Kebun Bibit Desa

(KBD). BKPH Regaloh digambarkan dekat dengan lingkaran masyarakat, menunjukan

bahwa keberadaannya dekat dengan masyarakat dan cukup berperan dalam menunjang

pembangunan LMDH di desa Gunungsari.

Peran aktif Kelompok Tani yang sudah terbentuk dibutuhkan oleh masyarakat

tani desa Gunungsari yang digunakan sebagai sarana untuk saling berbagi pengalaman

dan berbagi informasi, terutama informasi pemasaran hasil usahatani sehingga dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

8) Membangun Kelembagaan

Membangun kelembagaan merupakan proses jangka panjang, meski tidak

berurutan tetapi harus ada untuk sebuah proses membangun pemberdayaan masyarakat

(Awang, dkk. 2008). Membangun kelembagaan dalam hal ini kelompok konservasi

tanah dan air, diawali dengan pertemuan multi pihak di tingkat desa untuk menentukan

kriteria siapa pelaku atau anggota masyarakat yang lahannya akan digunakan untuk

lokasi penelitian usahatani berbasis konservasi tanah dan air. Lokasi penelitian ini

disamping sebagai plot percobaan juga sebagai plot percontohan bagi petani di

sekitarnya. Penentuan anggota masyarakat yang lahannya dijadikan plot penelitian

usahatani konservasi tanah dan air menggunakan kriteria yang telah disepakati

bersama. Penentuan lokasi penelitian tidak lepas dari kepentingan berbagai pihak,

namun hal itu penting dirumuskan secara bersama, antara para peneliti Balai Peneltian

Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTKPDAS) dengan petani

pemilik lahan. Oleh sebab itu proses pertama penentuan petani pemilik lahan untuk

bersedia lahannya dijadikan plot penelitian menjadi penting. Proses awal inilah yang

akan menentukan anggota masyarakat mana yang akan terlibat dalam proses-proses

Page 188: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 26

selanjutnya. Menurut Awang,dkk (2008), metode Pendekatan Aksi Partisipatif (PAP)

berguna dalam proses memahami dan membangun kebersamaan. PAP menunjukkan

adanya hubungan aktif antara petani terpilih yang berjumlah 13 orang kepala keluarga

dengan para peneliti BPTKPDAS yang difasilitasi oleh ketua Kelompok Tani Wana

Lestari I bapak Ngarjono, untuk melakukan kegiatan usahatani konservasi tanah dan

air di masing-masing lahannya sesuai perlakuan penelitian yang telah ditentukan.

Kemudian dilanjutkan pada tahap merumuskan visi dan misi bersama. Hal ini

menunjukkan bahwa visi dan misi itu bukan bersifat angan-angan semata, namun

menjadi cita-cita bersama dan akan dicapai dengan tindakan bersama. Setelah

terbentuk sebuah kelompok tani pemilik lahan yang digunakan sebagai sarana

penelitian secara partisipatif, maka kelompok ini diberi nama: Kelompok Tani

Konservasi Tanah dan Air dengan Ketua bapak Ngarjono. Jumlah anggota 13 orang.

Langkah selanjutnya adalah penyusunan aturan internal yaitu berupa Anggaran Dasar

(AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) kelompok tani. Sebuah lembaga atau

kelompok tani di tingkat apapun pada bidang apapun membutuhkan AD dan ART

sebagai aturan yang disusun dan berlaku dalam lembaga/kelompok. Namun sebelum

AD dan ART kelompok tani tersusun, lembaga ini sudah mati suri, tidak ada

pertemuan rutin lagi. Kendala yang dihadapi kelompok tani ini, antara lain: jumlah

anggotanya sedikit, berdomisili tersebar, memiliki lahan garapan lain yang lebih luas

dan jauh dari rumahnya. Sehingga untuk berkumpul dan bertemu sebulan sekali terasa

sulit.

Kemudian diadakan pertemuan bersama antara anggota kelompok tani konservasi

tanah dan air dengan peneliti BPTKPDAS sebagai pendamping, maka diperoleh

kesepakat-an bahwa kelompok ini bubar dan anggotanya bergabung dengan kelompok

tani Wana Lestari yang jumlah anggotanya lebih banyak yaitu mencapai 100 orang.

Aset kelompok tani Wana Lestari sudah mencapai 100 juta lebih yang diperoleh dari

iuran anggota dan bantuan pemerintah, antara lain oleh Dinas Pertanian dan

Kehutanan Kabupaten. Pengem-bangan ekonomi kelompok tani dirasa penting karena

kelompok tani membutuhkan dana untuk berbagai kegiatan. Sementara kelompok tani

konservasi tanah dan air belum memiliki dana untuk berbagai kegiatannya. Namun

kelompok tani Wana Lestari sudah memiliki kegiatan ekonomi antara lain simpan

pinjam uang anggota, menyewakan alat untuk prosesing kopi.

Hal ini sesuai dengan pendapat Hindra (2006), bahwa peran pendamping dari

instansi sangat diperlukan untuk mendorong dan membimbing masyarakat agar

mampu bekerja-sama di bidang ekonomi secara berkelompok. Anggota kelompok

haruslah terdiri dari masyarakat yang saling mengenal, saling percaya dan mempunyai

kepentingan yang sama, sehingga akan tumbuh kerjasama yang kompak dan serasi.

Bantuan kemudahan diberikan oleh instansi pembina atau pihak lain untuk

menumbuhkan keswadayaan dan kemandirian kelompok.

Proses pembangunan kelembagaan konservasi tanah dan air memiliki peran yang

pen-ting dalam pengelolaan lahan lestari. Pengelolaan lahan lestari harus mengikuti

kaidah konservasi tanah dan air yang dilakukan melalui kerja bersama kelompok, hasil

dari musyawarah mufakat anggota kelompok untuk meningkatkan produksi.

Page 189: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 27

IV. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN

Implikasi kebijakan yang dapat diambil adalah:

1. Degradasi lahan di kawasan Gunung Muria pada usaha tani ubikayu telah menurunkan

produksi selama empat tahun terakhir. Untuk itu maka model rehabilitasi lahan yang

dikembangkan perlu mempertimbangan kondisi biofisik lokasi target rehabilitasi lahan,

tingkat degradasi dan kebutuhan masyarakat akan pengelolaan lahan (komoditi). Dari

ketiga kondisi tersebut disusun model agroforestri yang mampu menurunkan limpasan

permukaan dan erosi serta memberikan nilai tambah pendapatan bagi masyarakat.

2. Model A, kombinasi sengon + manggis + petai + manglid + randu + lamtoro adalah

model terbaik karena mampu menurunkan limpasan permukaan dan tingkat erosi

tertinggi sebesar 219,92 mm/th (94,74%) dan 17,86 ton/ha/th (99,04%) dibanding

Kontrol. Model ini merupakan alternatif penggunaan lahan dalam konteks pengelolaan

DAS Juwana. Diharapkan model agroforestri ini dapat berperan mendukung ketahanan

pangan. Kebijakan yang diperlukan dalam pengembangan agroforestri tersebut antara

lain peningkatan pendidikan baik formal maupun non formal dan adopsi teknologi

pengelolaan DAS serta pemberdayaan kelompok tani untuk pengembangan agroforestri.

3. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap usahatani konservasi tanah dan

air, yang pada saat tingkat partisipasinya rendah sampai sedang, perlu pendampingan

oleh petugas lapangan Penyuluh Pertanian dan Kehutanan dalam pelibatan masyarakat

mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penerimaan manfaat hingga monitoring evaluasi.

4. Teknik agroforestri berkonservasi tanah dan air yang dikembangkan telah memberi

persepsi pada petani akan pentingnya penerapan teknik konservasi tanah dan air pada

lahan usahataninya. Tingkat persepsi tersebut akan menentukan adopsi teknik agrofores-

tri dan kemauan adopsinya tergantung pada manfaat apa yang dapat diperoleh petani,

dampak ekonomi terutama dalam jangka pendek, pilihan-pilihan peluang ekonomi yang

tersedia dibandingkan dengan plot agroforestri.

5. Proses membangun kelembagaan konservasi tanah dan air dilakukan melalui kerja

bersama antara instansi/lembaga kepada kelompok tani, kerjasama antar anggota dalam

kelompok tani dan kerjasama dengan masyarakat desa dalam pengelolaan lahan lestari

berbasis konservasi tanah dan air untuk meningkatkan produksi dan meningkatkan

pendapatan. Lembaga yang berperan penting dalam membangun kelembagaan tingkat

petani adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten lewat Petugas Penyuluh

Pertanian (PPL) sebagai pendamping kelompok tani dan Perum Perhutani KPH Regaloh

lewat Ketua RT merangkap Ketua Sub LMDH dan Kelompok Tani Wana Lestari lewat

para anggotanya, berperan dalam merencanakan, melaksanakan dan memonitor serta

mengevaluasi kegiatan konservasi tanah dan air di desa Gunungsari. Peran aktif Ke-

lompok Tani Wana Lestari dibutuhkan sebagai tempat untuk saling berbagi pengalaman

dan berbagi informasi, terutama informasi pemasaran hasil usahatani sehingga dapat

meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Page 190: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 28

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Dampak sosial ekonomi degradasi lahan di kawasan Gunung Muria pada usaha tani

ubikayu adalah penurunan produksi selama empat tahun terakhir.

2. Semua model perlakuan yang diuji mampu menurunkan limpasan dan erosi. Model

perlakuan terbaik adalah Model A karena mampu menurunkan limpasan permukaan

sebesar 219,92 mm/th (94,74%) dan tingkat erosi sebesar 17,86 ton/ha/th (99,04%).

3. Pertumbuhan tinggi sengon sampai umur 18 bulan model A 20,70 cm per bulan dengan

pertumbuhan diameter sengon model A sebesar 2,83 mm per bulan.

4. Sampai dengan tahun pertama Model A mampu meningkatkan kadar C organik dan

Nitrogen total tertinggi masing-masing sebesar 1,203% (45,29%) dan 0,02 % (22,22%)

namun semua model tidak mampu mengendalikan penurunan kadar C organik dan

Nitrogen total pada tahun kedua. Dari tahun pertama ke tahun kedua Model A juga

mampu meningkatkan kadar Ca (0,79 cmol/kg), Na (0,03 cmol/kg) dan Kejenuhan basa

(7,06%).

5. Tingkat partisipasi masyarakat terhadap usahatani konservasi tanah dan air rendah

sampai sedang.Teknik agroforestri berkonservasi tanah dan air yang dikembangkan

telah memberi persepsi pada petani akan pentingnya penerapan teknik konservasi tanah

dan air pada lahan usahataninya. Tingkat persepsi tersebut akan menentukan adopsi

teknik agroforestri dan kemauan adopsinya tergantung pada manfaat apa yang dapat

diperoleh petani, dampak ekonomi terutama dalam jangka pendek, pilihan-pilihan

peluang ekonomi yang tersedia dibandingkan dengan plot agroforestri.

6. Proses membangun kelembagaan konservasi tanah dan air dilakukan melalui kerja

bersama antara instansi/lembaga kepada kelompok tani, kerjasama antar anggota dalam

kelompok tani dan kerjasama dengan masyarakat desa dalam pengelolaan lahan lestari

berbasis konservasi tanah dan air untuk meningkatkan produksi dan meningkatkan

pendapatan.

B. Saran

Sampai dengan tahun kedua Model A: kombinasi sengon+manggis+ petai+manglid+

randu+lamtoro+teras merupakan model terbaik yang dapat disarankan sebagai salah satu

alternatif teknik Konservasi Tanah dan Air di Kabupaten Pati. Penelitian pertumbuhan

sengon dan jabon yang menginjak tahun kedua ini perlu dilanjutkan sehingga dampak

Model A pada umur 5-6 tahun terhadap limpasan permukaan, erosi, kesuburan tanah dan

produksi agroforesti dapat diketahui.

Pengembangan agroforestri konservasi tanah di lokasi penelitian akan efektif apabila

dilakukan secara berkelompok untuk meningkatkan kesadaran bagi para petani akan

konservasi tanah dalam rangka mempertahankan kesuburan tanah. Pengembangan agrofo-

restri konservasi tanah di lokasi penelitian dapat diakselerasi dengan peningkatan kerja-

sama dengan petani dan penyuluh, sosialisasi agroforestri yang lebih intensif, dan

koordinasi antar stakeholder dalam pengembangan agroforestri. Diperlukan pendampingan

oleh petugas lapangan dan diberikan insentif berupa pohon dan ternak kambing agar petani

lebih berpartisipatif melestarikan lingkungan pada umumnya dan konservasi tanah dan air

Page 191: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 29

pada khususnya. Pembinaan kelompok yang sudah terbentuk perlu ditingkatkan dengan

pembobotan materi pertemuan lebih kearah teknik usahatani konservasi tanah dan air.

Kemampuan para pihak perlu ditingkatkan dan kegiatannya harus terpadu dengan kegiatan

masyarakat dalam mendukung pelaksanaan usahatani berbasis konservasi tanah dan air.

DAFTAR PUSTAKA

Abisono, F.G. 2002. Dinamika kebijakan pangan orde baru: otonomi negara vs pasar

global. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 5 (3): 271-294.

Awang, San Afri dkk.2008. Panduan Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan

(LMDH). CIFOR.Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati.

Balai Penelitian Kehutanan Solo. 2009. Kajian Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat

di Jawa Tengah. Laporan Hasil Penelitian. Surakarta.

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. 2011.

Rehabilitasi lahan terdegradasi dengan jenis lokal. Laporan penelitian. Badan

Litbang Kehutanan. Tidak dipublikasikan. Surakarta.

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. 2012.

Rehabilitasi lahan terdegradasi dengan jenis lokal. Laporan penelitian. Badan

Litbang Kehutanan. Tidak dipublikasikan. Surakarta.

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. 2013.

Rehabilitasi lahan terdegradasi dengan jenis lokal. Laporan penelitian. Badan

Litbang Kehutanan. Tidak dipublikasikan. Surakarta.

Badan Pusat Statistik. 2011. Kecamatan Tlogowungu dalam Angka. Monografi Desa

Gunungsari.Pati.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati. 2011. Kecamatan Tlogowungu dalam angka 2011.

BPS Kabupaten Pati. Pati.

Bentuk-bentuk_Partisipasi & Tipe_Partisipasi id.wikipedia.org/wiki/Partisipasi.Diunduh

tanggal 25 Januari 2012.

Billy Hindra.2006. Potensi dan Kelembagaan Hutan Rakyat .Prosiding Seminar Hasil

Litbang Hasil Hutan 2006 : 14-23

BPDAS Pemali Jeratun. 2008. Grand Design Rehabilitasi Kawasan Gunung Muria.Balai

Pengelolaan DAS. Departemen Kehutanan. Semarang.

Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 2005. Rekalkulasi Penutupan Lahan

Indonesia tahun 2005. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan.

Jakarta. 204 p.

Edwina, S dan E. Maharani. 2010. Persepsi petani terhadap teknologi pengolahan pakan di

Kecamatan Kerinci Kanan Kabupaten Siak. Indonesian Journal of Agricultural

Economics, 2 (1): 169-183

Estu Suryowati. 2014. Tanpa Ada Pembenahan dari Hulu ke Hilir, Bencana Akan Terus

Habiskan Triliunan Rupiah. Kompas. 12 Pebruari 2014. Jakarta.

Fidi Mahendra.2009. Sistem Agroforestri dan Aplikasinya. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Page 192: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 30

Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch, 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia.

Forest Watch Indonesia dan Washington DC: Global Forest Watch. Bogor.

Forest Watch Indonesia, 2005. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2000-2009. Edisi

Pertama. Forest Watch Indonesia. Bogor.

Gong, W., X. Yan, J. Wang, T. Hu dan Y. Gong. 2009. Long term manure and fertilizer

effects on soil organic matter fractions and microbes under a wheat-maize cropping

system in northern China. Geoderma 149: 318-319.

Gumbira, S dan A. H. Intan. 2001. Manajemen Agribisnis. PT. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Irawan,E.2011. Analisis Ex Ante Partisipasi Petani dalam Proyek Hutan Rakyat untuk

Mitigasi Perubahan Iklim di Kabupaten Wonosobo. Prosiding Expose Hasil

Penelitian dan Pengembangan. Surakarta.

Ishak, A Afrizon. 2011. Persepsi dan tingkat adopsi petani padi terhadap penerapan system

of rice intensification (SRI) di Desa Bukit Peninjauan I, Kecamatan Sukaraja,

Kabupaten Seluma. Informatika Pertanian, Vol. 20 No.2, Desember 2011: 76-80.

Kementerian Kehutanann 2013. Statistik Kehutanan Indonesia 2012. Kementerian

Kehutanan. Jakarta.

Kementerian Pertanian.2008.Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16/Permentan/OT.140/2

/2008, tanggal 11 Pebruari 2008. Tentang Pedoman Umum Proyek Usaha Agribis-

nis Perdesaan (PUAP).

Manule, R.M. 2002. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Saddang Bagian Hilir di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Tesis S2. Unhas.

Tidak dipublikasikan. Makassar.

Mahendra, F. 2009. Sistem agroforestri dan aplikasinya. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Marimin. 2004. Teknik dan aplikasi pengambilan keputusan kriteria majemuk.

PT.Gramedia. Jakarta.

Nanang, M dan G. Simon Devung. 2004. Panduan Pengembangan Peran dan Partisipasi

Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. ISBN 4-88788-007-3.Institute for Global

Environmental Strategies (IGES). KABUPATEN KUTAI BARAT

Notohadiprawiro, T. 1986. Ultisol, Fakta dan Implikasi Pertaniannya. Bulletin Pusat

Penelitian Marihat. No. 6. Repro: Ilmu Tanah Universitas Gajah mada (2006).

Paimin, Sukresno dan Purwanto, 2010. Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sunia.

Pusat penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.

Pemerintahan Desa Gunungsari. 2012. Monografi Desa Gunungsari. Desa Gunungsari,

Kecamatan Tlogowungu. Pati. Tidak dipublikasikan.

Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor 8 Tahun 2011 tentang RENCANA

PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH KABUPATEN PATI

TAHUN 2005–2025. Lembaran Daerah Kabupaten Pati Tahun 2011 Nomor 8.

Pati. www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/KAB_PATI_5_2012.pdf

Rangkuti, F. 2004. Analisis SWOT Teknik membedah kasus bisnis. Gramedia. Jakarta.

Rogers, E.M. 1983. Diffution of Innovations. The Free Press, New York.

Singarimbun, M dan E. Sofian. 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta.

Siregar, C. 2006. Analisis Sosiologi Terhadap Inovasi Teknologi. Jurnal Sosio Teknologi

Edisi 9 Tahun 5, Desember 2006.

Page 193: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 31

Suprapto, T. dan Fahrianoor. 2004. Komunikasi Penyuluhan dalam Teori dan Praktek.

Arti Bumi Intaran. Yogyakarta.

Scherr, S.J. and S. Yadav. 1996. Land Degradationin the Developing World: Implications

for Food, Agriculture, and the Environment to 2020. International Food Policy

Research Institute. 1200 Seventeenth Street, N.W. Washington, D.C. 20036-3006

U.S.A. May 1996. Food, Agriculture, and the Environment Discussion Paper 14

Sudaryono, 2009. Tingkat Kesuburan Tanah Ultisol Pada Lahan Pertambangan Batubara

Sangatta, Kalimantan Timur. J. Tek. Ling Vol.10 No.3 Hal. 337 - 346 Jakarta, Sept

2009 ISSN 1441-318X.

Sugita. B. 2010. Ikon Baru Kota Kudus. Suara Merdeka.

Suntoro W. Atmojo. 2008. Peran Agroforestri dalam Menanggulangi Banjir dan Longsor

DAS. Seminar Nasional Pendidikan Agroforestry Sebagai Strategi Menghadapi

Pemanasan Global di Fakultas Pertanian, UNS. Solo.

Syahyuti. 2006. Partisipasi. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan

Pertanian. PT.Bina Rena Pariwara. Jakarta.

Yudi Lastiantoro.C dan S. Andy Cahyono. 2013. Peran Pengelolaan DAS dalam

Pengembangan Agribisnis untuk Mendukung Kedaulatan Pangan. Seminar Nasio-

nal Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Purwokerto.

Yudi Lastiantoro.C dan S.Andy Cahyono. 2013. Kontribusi Agroforestri terhadap

Ekonomi Rumah Tangga Petani dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Desa

Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati. Seminar Nasional

Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012. Tentang Pangan. Jakarta.

Wibowo,H.A.2005.Partisipasi Kelompok Petani Dalam Usaha Konservasi Tanah Di Desa

Medini Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus. Skripsi Fakultas Ilmu Sosial.

Universitas Negeri Semarang. www.pustakaskripsi.com/partisipasi-kelompok-

petani-dalam-usaha-konservasi-tanah-di-desa-medini-kecamatan-undaan-

kabupaten-kudus-2931.html diunduh tgl. 24 Juli 2012.

Wikipedia. 2014. Degradasi Lahan. Ensiklopedia bebas. http://id.wikipedia.org/wiki/

Degradasi_lahan. Diunduh tanggal 26-2-2014.

Page 194: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 195: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 33

JUDUL PENELITIAN : TEKNIK REHABILITASI LAHAN KRITIS SECARA

PARTISIPATIF

PELAKSANA : Ir. NINING WAHYUNINGRUM, M.Sc

INSTANSi : BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI KEHUTANAN

PENGELOLAAN DAS

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Degradasi lahan di Indonesia umumnya diakibatkan erosi oleh air hujan (Dariah dkk.,

2004). Hal ini disebabkan oleh tingginya curah hujan yang jatuh pada lahan yang berlereng

curam dan kurangnya penerapan konservasi tanah. Lahan berlereng curam dan marjinal

masih banyak digunakan untuk budidaya tanaman semusim sebagai akibat kebutuhan pen-

duduk untuk mencukupi kebutuhan pangan.

Erosi pada dasarnya merupakan proses penggerusan permukaan kulit bumi, yang

dimulai dari penghancuran agregat tanah, pengangkutan dan pengendapan partikel-partikel

tanah yang terlepas dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Di alam ada dua

penyebab utama yang aktif dalam proses ini yakni angin dan air (Utomo, 1994). Menurut

Weischmeier dan Smith (1978), erosi dipengaruhi oleh faktor hujan, topografi, sifat fisik

tanah, penutupan dan pengelolaan lahan. Aktifitas manusia dapat mengendalikan erosi

dengan mengurangi pengaruh faktor topografi, sifat fisik tanah, penutupan dan pengelolaan

lahan dengan teknik konservasi tanah vegetatif maupun mekanis. Pengolahan lahan juga

berpengaruh pada erosi meskipun efeknya tidak secara cepat dapat dilihat seperti halnya

erosi oleh air dan angin (Oost dkk., 2006). Erosi oleh air menimbulkan masalah serius,

terutama pada lahan-lahan pertanian. Penutupan lahan oleh vegetasi mempunyai dampak

positif terhadap pengurangan erosi karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap ta-

nah (Kefi dkk., 2011). Selain menyebabkan sedimentasi, erosi juga juga akan menyebab-

kan berkurangnya ketebalan tanah (solum) dan berkurangnya tingkat kesuburan tanah di

wilayah hulu (on site) (Sutrisno dkk., 2012).

Salah satu hulu DAS Bengawan Solo terletak di Kabupaten Wonogiri. Luas Kabupa-

ten Wonogiri sekitar 182.232 hektar, dengan penutupan lahan yang dominan adalah tegal

(31,6%), diikuti oleh pekarangan (20,5%), sawah (16,9%). Sedangkan hutan negara dan

hutan rakyat mempunyai luas yang sama yaitu 8,9%. Sisanya merupakan penutupan lahan

lain-lain (13,1%). Jika dilihat dari topografi maka sebagian besar (65%) daerah Wonogiri

berbentuk perbukitan dengan lereng yang terjal, areal landai (30%) dan hanya 5%

merupakan areal datar (http://www.wonogiri.go.id/). Pada lereng yang terjal ini umumnya

digunakan untuk tanaman semusim yang rawan menyebabkan erosi.

Studi yang dilakukan oleh JICA (2007) menyebutkan bahwa sumber sedimentasi di

Waduk Gajahmungkur berasal dari erosi tanah pada pengolahan lahan tegalan dan kawasan

pemukiman. Erosi tanah yang tinggi disebabkan oleh konsekuensi pengelolaan lahan yang

buruk dan pengembangan usaha pertanian oleh petani setempat di lahan-lahan yang secara

topografis rentan terhadap degradasi karena pada lahan lereng gunung terjal. Pemanfaatan

lahan demikian sebagai akibat kemiskinan dan terbatasnya lapangan kerja di luar pertanian.

Page 196: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 34

Sub DAS Keduang merupakan penyumbang sedimentasi terbesar (1.218.580 m3/tahun) ke

dalam Waduk Gajahmungkur dibanding Sub DAS – Sub DAS lainnya, sedangkan sumber

erosi terbesar berasal dari lahan tegalan (53%) dan lahan tegalan di kawasan pemukiman

(22%) (JICA, 2007).

Dari hal-hal tersebut di atas dapat diduga bahwa penyebab banjir dan tingginya

sedimentasi hasil adalah pemanfaatan lahan yang kurang sesuai dengan kemampuannya

terutama pada daerah-daerah dengan kemiringan terjal. Untuk mengatasi itu maka

pengembangan hutan tanaman sebagai tindakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah

(RLKT) metode vegetatif, merupakan salah satu alternatif yang direkomendasikan. Selain

untuk mengatasi banjir dan sedimentasi, pola hutan tanaman yang sesuai dapat

meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga lingkungan terjaga dan masyarakat

sejahtera.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari kegiatan ini adalah : a) Menemukan metode RLKT untuk mengurangi

besarnya erosi; dan b) Menemukan metode RLKT untuk mengendalikan banjir.

Tujuan ini mendukung tujuan RPI 15 (Teknologi Pengelolaan Sumber Daya Lahan

dan Air Pendukung Pengelolaan DAS) yaitu menyediakan informasi dan tekonologi tepat

guna untuk menunjang kelestarian pengelolaan sumber daya lahan, khususnya yang terkait

dengan rehabilitasi lahan terdegradasi agar sumberdaya lahan dan air yang terdegradasi

dapat berfungsi kembali sebagai habitat flora, fauna dan secara keseluruhan sebagai

penyangga kehidupan termasuk didalamnya dapat meningkatkan perekonomian rakyat

dengan meningkatkan partisipasi masyarakat mulai dari perencanaan, kegiatan pelaksanaan

dan pengelolaan pasca rehabilitasi lahan

II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT DENGAN JUDUL

PENELITIAN

A. Identifikasi Regulasi yang Ada

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan

Daerah Aliran Sungai (Anonymous, 2012)

B. Analisis Kebutuhan Penelitian

--

III. SINTESIS HASIL PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Waktu Penelitian. Penelitian diselenggarakan pada tahun 2007 s/d tahun 2012.

Lokasi. Lokasi penelitian secara administratif terletak di Dusun Dungwot Desa Ngadipiro,

Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri dan secara geografis terletak pada 110o

59’52’’BT; 7o53’8’’LS. Lokasi penelitian ini dipilih karena merupakan lahan kering

berlerang curam dengan curah hujan rata-rata pertahun 1.976,6 mm dengan jumlah bulan

basah (Schmidt dan Fergusson, 1951) 6 bulan. Di lokasi yang terjal dan bersolum dangkal

ini kegiatan pertanian tanaman semusim masih dilakukan.

Page 197: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 35

Rancangan Penelitian. Penelitian didahului dengan survey (tahun 2007) untuk menentu-

kan batas Sub DAS dan melihat kondisi biofisik, yang meliputi kelerengan, jenis penutup-

an lahan, jenis konservasi tanah, kedalaman tanah, tekstur dan struktur tanah, drainase dan

permeabilitas tanah, pH tanah, jenis erosi, besarnya erosi (% luas). Parameter biofisik ini

digunakan untuk menentukan jenis tanaman yang sesuai dan jenis konservasi tanah.

Berdasarkan parameter biofisik, lahan dikelompokkan menjadi satuan-satuan lahan dengan

ciri-ciri yang relatif seragam. Selanjutnya Sub DAS ini disebut Sub DAS perlakuan. Pada

tahun 2009, telah dilakukan pengukuran dan survei biofisik Sub DAS baru sebagai pem-

banding dengan penutupan lahan dominan hutan (Gambar 1). Dengan demikian mem-

bentuk sub DAS berpasangan dengan luas masing-masing yaitu 10,82 ha dan 11,12 ha.

Gambar 2. Lokasi pengambilan sampel tanah pada Sub DAS

Perlakuan dan Kontrol.

Gambar 1. Lokasi DAS mini perlakuan dan kontrol

Page 198: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 36

Analisis dilakukan dalam satuan lahan yang terbentuk berdasar kesamaan karakter

biofisik seperti jenis penutupan lahan, kedalaman tanah dan kelas lereng. Pembatasan DAS

dilakukan secara terestris dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). Titik

koordinat yang tercatat diolah dengan ArcMap 9.2 (Crosier dkk., 2004) menjadi shape file,

yang merupakan peta digital dari penutupan lahan, kedalaman tanah dan kelas lereng.

Tumpang susun (overlay) peta-peta tersebut dilakukan untuk menentukan/mengelom-

pokkan menjadi satuan lahan yang mempunyai ciri biofisik yang relatif seragam. Data

biofisik dikumpulkan melalui survei inventarisasi sumber daya lahan (Fletcher dan Gibb,

1990). Data yang dikumpulkan meliputi jenis penutupan lahan, jenis tanah, kedalaman

solum, tekstur tanah, kemiringan lahan. Selain itu dilakukan pengambilan sampel tanah.

Pengambilan sampel tanah dilakukan pada setiap satuan lahan pada kedalaman 0-20 cm.

Pengambilan sampel secara komposit, masing-masing satuan lahan diambil 3 sampel yang

dicampur menjadi satu.

Pengukuran tegakan dilakukan untuk mengetahui nilai index pengelolaan tanaman

(C). Pengukuran dilakukan dengan membuat petak ukur (PU) berjari-jari 16 m. Dengan

intensitas sampel lebih kurang 10%, PU dibuat secara purposive yaitu pada lokasi yang

ditumbuhi tanaman keras. Data yang dikumpulkan meliputi tinggi tanaman total, tinggi

bebas cabang, diameter batang, jari-jari tajuk, jumlah tanaman dan prosentase penutupan

tajuk. Dalam PU juga diamati secara visual persentase penutupan lahan oleh tanaman

semusim, semak, seresah dan kerikil permukaan.

Pengamatan erosi dan aliran permukaan dilakukan dengan membuat plot erosi beru-

kuran 22 m x 4 m pada sub DAS perlakuan. Jenis perlakuan yang diterapkan meliputi :

1. Lahan pertanian tanaman semusim milik masyarakat

Plot A1: tanaman jati, mangga, dan jambu mete tanpa teras (lereng 39%)

Plot B1: tanaman jati, mangga, dan pete dengan teras bangku dengan batu terawat

dan penguat teras rumput (lereng 34%)

Plot C1: tanaman jati, mangga, mete, dan pete dengan teras bangku tak terawat

(lereng 39%). Tanaman jati, mangga, pete dan mete merupakan tanaman tahun 2008

dengan jarak tanam 4 m x 4 m

2. Tumpang sari di lahan hutan milik Perum Perhutani

Plot A4: tanaman jati, mangga, jambu mete dan penguat teras rumput gajah (lereng

34%)

Plot B4: tanaman jati, mangga, pete dengan teras bangku dengan penguat lamtoro

(lereng 39%)

Plot C4: tanaman jati, mangga, jambu mete, pete dengan teras bangku (lereng 39%)

3. Lahan hutan murni (tanpa tanaman semusim) (kontrol), lahan milik Perum Perhutani

Plot K1: Jati 5 th (lereng 31%)

Plot K2: Gmelina (lereng 34%)

Plot K3: Jati 10 th (lereng 37%)

Pengukuran erosi on site dilakukan pada plot erosi dengan Metode Pengendapan

Tanah Terangkut (Priono, 1996).

Page 199: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 37

Untuk mengetahui pengaruh penutupan lahan terhadap tata air dilakukan dengan

memasang AWLR atau logger yang berfungsi mencatat fluktuasi tinggi muka air

(Sukresno dkk., 2003) pada masing-masing sub DAS.

Pengamatan partisipasi masyarakat kegiatan RLKT dilakukan dengan melakukan

focuse group discussion.

Analisis data dilakukan dengan:

Data hasil pengukuran erosi dan hasil air akan dianalisis metode deskriptif. Dengan

demikian akan diperoleh RLKT, baik teknik sipil maupun vegetatif yang efektif

mengendalikan erosi dan banjir. Erosi aktual ini juga dibandingkan dengan erosi hasil

prediksi dengan metode USLE.

Analisis Kemampuan Penggunaan Lahan (KPL) dilakukan dengan metode

(Wahyuningrum dkk., 2003) untuk mengetahui kesesuain penggunaan lahan aktual

dengan klas KPL

Analisis Fisika dan kimia tanah dilakukan untuk mengetahui dampak penggunaan lahan

dan erosi terhadap kesuburan tanah.

Analisis hidrograf pada beberapa kejadian banjir dan pada masing-masing subDAS.

Analisis dilakukan pada sub DAS yang dilengkapi peralatan pemantau TMA otomatis

(AWLR dan Logger), untuk melihat respon sub DAS terhadap banjir

Analisis tingkat partisipatis masyarakat dilakukan secara deskriptif

B. Hasil Penelitian

1. Erosi dan Limpasan

a. Lahan Pertanian Tanaman Semusim

Dari analisis data pada bulan Maret 2009, 2010 dan 2011 dengan intensitas hujan

tertentu, maka jumlah limpasan dan erosi pada masing-masing plot adalah seperti pada

Gambar 3 dan 4. Dengan intensitas hujan yang sama, diharapkan masing-masing plot akan

memberikan respon yang berbeda sesuai dengan perlakuan.

Pada lahan milik rakyat, plot B1, C1 dan A1, erosi terbesar banyak di temui pada plot

A1 yaitu Plot tanaman jati, mangga, dan jambu mete tanpa teras, diikuti oleh C1 (tanaman

jati, mangga, mete, dan pete dengan teras bangku tak terawat dan B1 (tanaman jati,

mangga, dan pete dengan teras bangku dengan batu terawat dan penguat teras rumput).

Pada plot C1 meskipun teras dalam kondisi tidak terawat, tetapi selama satu tahun dalam

kondisi bera (tidak ditanami) sehingga lebih banyak tertutup oleh semak maupun kerikil

permukaan (65%). Bulan Maret, adalah musim pengolahan lahan untuk ditanam menjadi

tanaman semusim. Dengan demikian akan dijumpai pada B1 mempunyai nilai erosi yang

lebih tinggi, karena pada plot B1 ada pengolahan lahan (Gambar 3).

Limpasan atau aliran permukaan merupakan media pembawa partikel tanah yang

sudah terpecah dari agregatnya, sehingga semakin besar aliran permukaan, semakin besar

erosi permukaan. Aliran air memberikan tenaga untuk memecah partikel tanah dan

membawanya ke dalam aliran (Gambar 4).

Page 200: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 38

(a) (b)

(c)

Gambar 3. Erosi pada lahan pertanian tanaman semusim pada bulan Maret tahun 2009 (a), 2010 (b) dan

2011 (c) masing-masing pada intensitas hujan yang sama.

Sejalan dengan erosi, limpasan terbesar berturut-turut ditemui pada plot A1, C1 dan B1.

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

5000

7 16 25

Lim

pa

san

(R

un

off

) (l

t)

hujan harian (daily rainfall) (mm)

B1

C1

A1

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

51 64 6 10 12 72 2 57

Lim

pa

san

(R

un

off

) (l

t)

hujan harian (daily rainfall) (mm)

B1

C1

A1

(a) (b)

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

5000

4 48 2 7 15 17 7

Lim

pas

an(r

un

off

) (l

t)

hujan harian (daily rainfall) (mm)

A1

B1

C1

(c)

Gambar 4. Limpasan pada pertanian tanaman semusim pada bulan Maret tahun 2009 (a), 2010 (b) dan

2011, masing-masing pada intensitas hujan yang sama.

Page 201: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 39

b. Tumpang Sari di Lahan Hutan

Gambar 5. dan Gambar 6. memperlihatkan erosi dan limpasan pada lahan hutan yang

ditanami tanaman semusim (singkong, kacang tanah, jagung) dengan sistem tumpang sari.

Erosi dan limpasan terbesar terdapat pada plot C4 (tanaman jati, mangga, jambu mete,

pete dengan teras bangku tanpa penguat teras). Dari sini terlihat bahwa peranan penguat

teras sangat penting dalam mengendalikan erosi. Penguat teras lamtoro dan rumput gajah

memberi efek positif dalam mengendalikan erosi dan limpasan.

Pada Gambar 7. dapat dilihat kondisi teras pada plot A4 dan B4, yaitu penguat teras

lamtoro dan rumput gajah. Pada kedua plot ini nilai erosi dan limpasan relatif lebih kecil

daripada plot-plot lainnya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Prakosa dan Nugroho

(1996) dan Djaengsastro dkk (1999) yang menyatakan bahwa kombinasi sekat rumput dan

legume efektif dalam mengendalikan erosi dan penanaman tanaman strip rumput gajah,

efektif didalam rnengurangi laju erosi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wardojo

(1995) juga menunjukkan bahwa sekat rumput dengan jenis Setaria spacelata dapat

menurunkan erosi rata-rata 39% dan menurunkan aliran permukaan sebesar 32,5%.

(a) (b)

(c)

Gambar 5. Erosi pada tumpang sari di lahan hutan pada bulan Februari tahun 2009 (a), 2010 (b) dan 2011 (c)

masing-masing pada intensitas hujan yang sama

Page 202: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 40

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

6 51 24 12 35 12 69 25

Lim

pa

san

(ru

no

ff)

(lt)

hujan harian (daily rainfall) (mm)

A4

B4

C4

0

100

200

300

400

500

600

39 3 10 5 10

Lim

pa

san

(ru

no

ff)

(lt)

hujan harian (daily rainfall) (mm)

A4

B4

C4

(a) (b)

0

100

200

300

400

500

600

48 42 42 32 23 40 16

Lim

pas

an (

run

off

) (l

t)

hujan hatian (daily rainfall) (mm)

A4

B4

C4

(c)

Gambar 6. Limpasan pada tumpang sari di lahan hutan pada bulan Februari tahun 2009 (a), 2010 (b) dan

2011 (c) masing-masing pada intensitas hujan yang sama

(a) (b)

Gambar 7. Penguat teras lamtoro (a) dan penguat teras rumput (b)

Tindakan konservasi tanah harus dilakukan secara simultan, seperti yang terlihat pada

plot C1, meskipun mempunyai teras bangku yang tidak terpelihara, tetapi menhasilkan

nilai erosi dan limpasan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan plot B1 yang berteras

batu dan berpenguat rumput. Hal ini disebabkan karena ada proses pengolahan lahan pada

plot B1 sedangkan plot C1 dalam kondisi bera. Pengolahan lahan berfungsi untuk

mempersiapkan lahan untuk ditanami benih, membasmi gulma, menstabilkan kondisi

Page 203: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 41

permukaan tanah dengan meningkatkan infiltrasi dan mengontrol erosi, selain itu

pengolahan lahan juga dapat meningkatkan efek yang tidak diinginkan seperti pemadatan

tanah, percepatan dekomposisi bahan organik dan meningkatkan kepekaan tanah terhadap

erosi (Troeh dkk, 2004). Tumbuhan bawah dan materi penutupan lahan (kerikil), ikut

berperan juga dalam mengendalikan laju erosi dan limpasan permukaan. Prosentase

tumbuhan bawah dan kerikil permukaan pada plot C1 lebih besar dibandingkan dengan

prosentase pada plot B1. Pengolahan lahan mempengaruhi penutupan lahan ini. Lahan

menjadi terbuka, sehingga lebih peka terhadap erosi.

Banyaknya kerikil di permukaan dan tajuk tanaman keras juga berpengaruh terhadap

limpasan. Perbandingan limpasan pada lahan hutan (tumpang sari) dengan plot kontrol

(hutan murni), menunjukkan bahwa limpasan pada plot C4 memiliki nilai yang besar

dibandingkan dengan plot-plot yang lainnya. C4 adalah plot dengan tanaman jati, mangga ,

jambu mete dan pete dengan teras bangku, tanpa penguat teras (Gambar 6). Dari Tabel 1

terlihat bahwa dibandingkan dengan plot A4, B4, K1, K2 dan K3, plot C4 memiliki

penutupan oleh tanaman keras dan kerikil permukaan yang paling sedikit. Dari aspek erosi,

perbedaan tidak tampak menonjol antar lahan tumpang sari dengan kontrol.

Hasil analisis tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Supangat dkk (2002)

yang menyebutkan bahwa tanaman semusim yang ditanam di bawah tegakan hutan rakyat

sengon dan kopi dapat meningkatkan erosi namun demikian dengan konservasi tanah yang

sesuai erosi dapat ditekan. Selain itu, Triwilaida (2000) mengemukakan bahwa makin

tinggi penutupan tajuk oleh tanaman kayu-kayuan, nilai faktor C semakin kecil. Selain

penutupan lahan, hal lain yang menentukan besarnya nilai faktor C yaitu luasan tanah yang

terbuka tanpa perakaran halus (bare land), penutupan oleh tajuk tanarnan semusim dan

penutupan oleh batuan di permukaan. Dari Tabel 1 terlihat bahwa pada lahan tumpang sari

maupun kontrol (hutan murni) secara umum lahan relatif tertutup baik oleh tajuk tanamn

hutan, tumbuhan bawah maupun oleh kerikil permukaan. Triwilaida (2000) juga

menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara nilai C dan prosen penutupan

tajuk. Hubungan antara erosi dengan penutupan vegetasi berbentuk “curvilinear”, ada

perbedaan erosi yang sangat sedikit pada penutupan 100% dan 60%, demikian pula halnya

dengan aliran permukaan.

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

41 19 41 15 9 12

Lim

pa

san

(ru

no

ff)

(lt)

hujan harian (daily rainfall) (mm)

A4

B4

C4

K1

K2

K3

(a) (b)

Gambar 8. Perbandingan erosi (a) dan limpasan (b) pada lahan umpangsari dan kontrol pada bulan Januari

2010, dengan intesitas hujan yang sama

Page 204: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 42

Hasil pengukuran erosi aktual pada beberapa plot berbeda dengan hasil prediksi

dengan model USLE (Gambar 9). Hasil yang mirip diperoleh pada plot A4, B4 dan C4.

Pada plot B1 erosi actual sangat berbeda nyata karena pada plot ini selalu terdapat aliran

sub-surface dari teras yang ada diatasnya meskipun tidak ada hujan.

0

20

40

60

80

100

120

Plot A1

Plot B1

Plot C1

Plot A4

Plot B4

Plot C4

Plot K1

Plot K2

Plot K3

Erosi (USLE)

Erosi (aktual)

Gambar 9. Perbandingan erosi hasil prediksi dengan model USLE

dibandingkan dengan erosi aktual

2. Nilai C

Peranan penutupan tajuk oleh tanaman keras terhadap erosi dapat dihitung

efektifitasnya. Efektifitas tajuk dalam mengendalikan erosi permukaan dapat dinyatakan

dalam factor tanaman (factor crop) atau C. Perhitungan nilai C untuk tanaman keras (kayu-

kayuan) dihitung menurut prosedur yang dikemukakan Perhitungan nilai C tanaman keras

dengan rumus Dissmeyer dan Foster (1984).

Tabel 1. Perhitungan nilai C tanaman keras pada plot erosi

Plot Tinggi

Tajuk (m) BO

Tumbuhan

Bawah

(%)

Tanah

Terbuka

(%)

Luas

Tajuk

(m2)

Persen

Tajuk

(%)

SFPH SFT C

Plot A1 5,70 0,027 85 15 12,56 14,27 2,40 0,98 0,06

Plot B1 5,67 0,032 30 70 12,56 14,27 0,25 0,98 0,01

Plot C1 4,67 0,025 55 45 12,56 14,27 0,69 0,97 0,02

Plot A4 2,71 0,034 80 20 0,79 0,89 1,92 0,01 0,00

Plot B4 4,69 0,058 80 20 0,79 0,89 1,92 0,01 0,00

Plot C4 2,63 0,036 80 20 13,85 15,74 1,92 0,94 0,07

Plot K1 6,83 0,032 70 30 40,69 46,24 1,38 0,94 0,04

Plot K2 16,20 0,033 60 40 36,30 41,25 0,92 0,93 0,03

Plot K3 6,29 0,034 30 70 22,89 26,01 0,25 0,97 0,01

Rerata C 0,03 Keterangan : Tinggi Tajuk = tinggi tajuk tanaman keras; BO = Bahan Organik (%); Luas Tajuk = luas tajuk tanaman

keras (m2); Tanah Terbuka = tanah terbuka dengan perakaran halus (%); Persen Tajuk = persentase

perbandingan luas tajuk terhadap luas plot; SFPH = sub faktor perakaran halus; SFT = sub faktor tajuk.

Perhitungan faktor C pada plot dapat dilakukan dengan nilai tertimbang dari masing-

masing jenis penutupan yang ditemui dalam plot tersebut.

Tabel 2. Nilai C pada masing-masing plot

Plot Tumbuhan Bawah C Tertimbang Tanaman Keras C Tertimbang Total Nilai

Plot A1 85 0,0009 10 0,003 0,004

Plot B1 30 0,0003 10 0,003 0,003

Plot C1 55 0,0006 10 0,003 0,004

Plot A4 80 0,0008 5 0,002 0,002

Page 205: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 43

Plot Tumbuhan Bawah C Tertimbang Tanaman Keras C Tertimbang Total Nilai

Plot B4 80 0,0008 10 0,003 0,004

Plot C4 80 0,0008 10 0,003 0,004

Plot K1 70 0,0007 20 0,006 0,007

Plot K2 60 0,0006 70 0,021 0,022

Plot K3 30 0,0003 80 0,024 0,024

Rerata C (tanaman keras + tnaman bawah) 0,008

Keterangan : Nilai C pada semak belukar = 0,01; pada serasah = 0,05; pada tanah terbuka = 1; pada tanaman keras = 0,03

3. Sifat Fisika dan Kimia Tanah

Tanah di lokasi penelitian, secara umum mempunyai pH rendah (5,6-6,5) demikian

juga dengan P tersedia sangat rendah sampai dengan rendah (<7 dan 7-16 mg/kg)

(Lampiran 2). Unsur P banyak digunakan tanaman, terutama dalam sintesis protoplasma

(Mas'ud,1992). Kondisi kemasaman tanah akan mempengaruhi keterlarutan P. Kemasaman

(pH) tanah yang sangat rendah (<5,5) dapat mempengaruhi ketersediaan P (Mas'ud, 1992).

Pengapuran dengan dolomit dan batuan kapur dapat menaikkan pH, dengan demikian

dapat meningkatkan ketersediaan P. Pemupukan dengan bahan organik (Centrosema

pubescen) juga dapat meningkatkan pH dan ketersediaan P (Djuniwati dkk., 2007).

Unsur lain yang penting bagi pertumbuhan tanaman adalah K. Kalium berperan untuk

memberi ketahanan tanaman terhadap penyakit dan meningkatkan sistem perakaran selain

itu juga berperan dalam pembentukkan karbohidrat dan translokasi gula (Buckman dan

Brady, 1982). Kandungan K di lokasi kajian sangat rendah (<10 %) (Lampiran 2). Untuk

menanggulangi kekurangan K, salah satu cara adalah dengan menerapkan sistem multiple

cropping yang dapat meningkatkan penyerapan K dan secara cepat mengurangi kandungan

K tersedia dalam tanah (Mas'ud, 1992).

Unsur hara yang relatif banyak diambil setiap tahun melalui pemanenan adalah unsur

N. Selain itu, unsur ini mudah menguap dan jumlahnya dalam tanah amat sedikit

(Buckman dan Brady, 1982). Pada Tabel 7 terlihat bahwa kandungan N ada pada tingkat

sedang (86%) dan tinggi (8,5%). Erosi hanya sedikit berpengaruh terhadap kandungan N

dibandingkan dengan unsur P dan K.

Tabel 3. Kandungan N pada beberapa jenis penutupan lahan yang berbeda dan tingkat erosi tanah (N content

in different land cover types)

Penutupan Lahan

(Land cover)

Kandungan N Total (Total N content) Luas (Area) (%)

S T (blank)

Ut1 4,60 0,00 0,00 4,60

Ut2 11,65 0,00 0,00 11,65

Ut3 36,57 8,51 0,00 45,08

Ut4 25,67 0,00 0,00 25,67

Ut5 4,60 0,00 0,00 4,60

Ut6 3,84 0,00 4,55 8,39

Luas (Area) (%) 86,94 8,51 4,55 100,00 Keterangan (Remarks) : S = sedang (moderate); T = tinggi (high).

Kandungan C organik yang tergolong rendah sebanyak 4,29% dan yang termasuk

kategori sangat tinggi sebesar 14,18% dijumpai pada penutupan lahan Ut3 (Tabel 8).

Karbon merupakan penyusun umum bahan organik. Sumber utama bahan organik tanah

adalah jaringan tumbuhan (Buckman dan Brady, 1982). Jaringan tumbuhan dapat berasal

Page 206: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 44

dari akar pohon, semak-semak dan tumbuhan tingkat rendah lainnya. Selain jaringan

tanaman, hewan-hewan seperti cacing tanah juga dapat menghasilkan bahan organik.

Pengolahan lahan yang intensif dapat mempengaruhi unsur hara dan meningkatkan

kandungan bahan organik, terutama pada lereng bagian bawah (Oost dkk., 2006; Fucheng

dkk., 2012). Penurunan kandungan bahan organik tanah dapat mengakibatkan penurunan

makroporositas tanah. Apabila kondisi ini terjadi pada lahan miring dengan penutupan

lahan yang kurang rapat akan berpotensi meningkatkan limpasan permukaan dan erosi

(Hairiah dkk., 2012).

Pemberian pupuk hijau dengan koro benguk (Mucuna sp.) dapat meningkatkan

kandungan C organik (Prakosa dan Priyono, 1996). Selain itu dengan pemberian mulsa

dengan bahan-bahan dari bagian tanaman seperti daun dan ranting mampu untuk

memberikan tambahan unsur hara secara bertahap sejalan dengan proses dekomposisinya

(Basuki, 2002).

Tabel 4. Kandungan C organik pada beberapa jenis penutupan lahan yang berbeda dan tingkat erosi tanah (C

organic content in different land cover types).

Penutupan Lahan

(Land cover)

Kandungan C organik (C organic content) Luas (Area)

(%) R S T ST (blank)

Ut1 0,00 4,60 0,00 0,00 0,00 4,60

Ut2

11,65 0,00 0,00 0,00 11,65

Ut3 4,29 14,60 12,01 14,18 0,00 45,08

Ut4 0,00 0,00 2567 0,00 0,00 25,67

Ut5 0,00 4,60 0,00 0,00 0,00 4,60

Ut6 0,00 3,84 0,00 0,00 4,55 8,39

Luas (Area) (%) 4,29 39,31 37,68 14,18 4,55 100,00 Keterangan (Remarks) : R = rendah (low); S = sedang (moderate); T = tinggi (high); ST = sangat tinggi (very high).

Apabila kandungan bahan organik tanah tinggi maka akan mempunyai porositas

tinggi dengan demikian akan meningkatkan kapasitas infiltrasi (Hairiah dkk., 2012).

Siklus bahan organik berpengaruh terhadap erodibilitas tanah, kondisi ini sangat

dipengaruhi oleh karakter vegetasi penutup lahan dan fauna tanah (Bryan dkk., 1989).

Bahan organik yang berupa seresah, ranting dan sebagainya yang belum terdekomposisi

juga merupakan pelindung tanah dari daya rusak butiran hujan, sekaligus dapat

mengurangi aliran permukaan.

Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan nilai yang menunjukkan kemampuan atau

kapasitas koloid tanah untuk memegang kation. Kapasitas ini secara langsung tergantung

pada jumlah muatan negatif dari koloid tanah dan sangat ditentukan oleh tipe koloid yang

terdapat di dalam tanah. Semakin tinggi KTK tanah, semakin subur tanah tersebut

(Prakosa dan Priyono, 1996); sebaliknya semakin rendah KTK tanah, maka semakin

kurang subur tanahnya. Nilai KTK pada taraf sedang terdapat di hampir semua jenis

penutupan lahan seluas lebih kurang 58% (Tabel 9). Nilai KTK selain dipengaruhi oleh

kandungan clay juga dipengaruhi oleh kandungan bahan organik. Pada penutupan lahan

Ut3 kandungan bahan organik yang tergolong tinggi hingga sangat tinggi cukup luas,

sejalan dengan hal tersebut terlihat KTK pada lahan tersebut juga termasuk tinggi.

Peningkatan KTK dapat dilakukan dengan cara pemberian pupuk hijau seperti koro

benguk (Mucuna sp.) (Prakosa dan Priyono, 1996).

Page 207: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 45

Tabel 5. Kapasitas Tukar Kation tanah pada beberapa jenis penutupan lahan yang berbeda dan tingkat erosi

tanah (Soil Cation Exchange Capacity in different land cover types).

Penutupan Lahan

(Land cover)

Kapasitas Tukar Kation

(Cation exchange capacity) Luas (Area) (%)

S T (blank)

Ut1 4,60 0,00 0,00 4,60

Ut2 11,65 0,00 0,00 11,65

Ut3 12,76 32,32 0,00 45,08

Ut4 25,67 0,00 0,00 25,67

Ut5 0,00 4,60 0,00 4,60

Ut6 3,84 0,00 4,55 8,39

Luas (Area) (%) 58,53 36,92 4,55 100,00 Keterangan (Remarks) : S = sedang (moderate); T = tinggi (high).

Kejenuhan basa (KB) menunjukkan perbandingan jumlah kation basa dengan

jumlah seluruh kation yang terikat pada kation tanah dalam satuan persen. Kation basa

adalah unsur hara yang diperlukan tanaman dan sangat mudah tercuci oleh aliran air

sehingga tanah yang mempunyai kejenuhan basa yang tinggi menunjukkan ketersediaan

hara yang tinggi. Artinya, tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian. Setengah

(58,79%) dari DAS mikro yang diteliti mempunyai nilai KB pada tingkat sedang (Tabel 6)

dan hanya 28% pada tingkat tinggi.

Tabel 6. Kejenuhan Basa pada beberapa jenis penutupan lahan yang berbeda dan tingkat erosi tanah (Base

saturation in different land cover types)

Penutupan Lahan

(Land cover)

Kejenuhan basa (Base saturation) Jumlah (Total)

R S T (blank)

Ut1 0,00 4,60 0,00 0,00 4,60

Ut2 8,25 3,40 0,00 0,00 11,65

Ut3 0,00 21,28 23,81 0,00 45,08

Ut4 0,00 25,67 0,00 0,00 25,67

Ut5 0,00 0,00 4,60 0,00 4,60

Ut6 0,00 3,84 0,00 4,55 8,39

Jumlah (Total) 8,25 58,79 28.41 4,55 100,00 Keterangan (Remarks) : R = rendah (low); S = sedang (moderate); T = tinggi (high).

Walaupun di lokasi penelitian mempunyai lereng curam dan bersolum dangkal namun

sifat kimia dan fisik tanah masih tergolong baik. Tingkat erosi rendah disebabkan oleh

tekstur dan kandungan bahan organik serta penutupan lahan yang didominasi dengan

vegetasi permanen dan tumbuhan bawah.

4. Evaluasi Kemampuan Penggunaan Lahan

Lahan sebagai sumber daya alam dengan jumlah yang sangat tebatas memerlukan

perencanaan yang matang dalam penggunaannya sehingga dapat digunakan secara lestari

ditinjau dari aspek lingkungan maupun ekonomi. Untuk dapat merencanakan penggunaan

lahan agar sesuai dengan kondisinya perlu dilakukan evaluasi karakter biofisiknya. Hal ini

dilakukan agar penggunaan lahan dapat disesuaikan dengan kondisi aktualnya sehingga

tidak memicu terjadinya degradasi lahan yang pada akhirnya akan menurunkan

produktifitasnya. Akibat dari ketidak sesuai penggunaan lahan akan berakibat pada

penurunan kualitas lahan misalnya perubahan pada lahan pertanian tanaman semusim

menjadi tanaman hutan dapat menyebabkan penurunan beberapa sifat fisika dan kimia

Page 208: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 46

tanah, seperti hasil penelitian Mao dan Zeng (2010). Hasil penelitian mereka menyebutkan

bahwa ada penurunan sifat kimia tanah seperti kandungan C total, N total, mineralisasi

potensial N, dan penurunan bulk density akibat erosi. Sifat-sifat tersebut akan kembali

membaik seperti halnya lahan pertanian setelah umur tanaman Populus euramericana cv

berumur 15 tahun (Mao dan Zeng, 2010).

Selain itu penurunan produktifitas lahan dapat diakibatkan oleh adanya erosi dan

sedimentasi. Perubahan penggunaan akan berakibat pada erosi dan sedimentasi seperti

hasil penelitian Nunes dkk. (2011), yang menyatakan bahwa adanya dinamika

pertumbuhan vegetasi merupakan kunci dalam mengendalikan erosi sehingga erosi dapat

dikendalikan dengan merubah penggunaan lahan dengan meningkatkan penutupan lahan.

Selain itu Kefi dkk. (2011) mengemukakan tentang pentingnya vegetasi dalam melindungi

tanah dari erosi oleh air. Hairiah dkk. (2012) juga menyimpulkan bahwa perubahan lahan

hutan menjadi sistem agroforestri berbasis kopi meyebabkan perubahan sifat fisik tanah

yang akan berdampak pada erosi. Secara ekonomi erosi menyebabkan kerugian, seperti

yang dikemukakan oleh Rivera dkk. (2011) bahwa akibat dari erosi 40 ton/ha/th pada lahan

pertanian mengakibatkan kehilangan unsur hara senilai $1000/ha/th.

Oleh karena kondisi lahan secara alami sangat bervariasi, maka perlu dikelompok-kan

agar mudah disesuaikan dengan penggunaannya.Variasi kondisi lahan ini biasaya bersifat

sistematis, berdasar sifat fisik tertentu dapat dikelompokkan ke dalam area yang relatif

lebih seragam. Pengelompokkan karakter lahan ini akan memudahkan untuk penentuan

pemanfaatannya. Pengelompokan kedalam berbagai penggunaan lahan aktual ini dapat

dijadikan dasar untuk perencanaan jenis pengelolaan lahan yang sesuai dengan kondisi

biofisik. Hasil evaluasi lahan juga dapat memperlihatkan faktor-faktor fisik yang ditengarai

menyebabkan penurunan fungsi lahan, dengan demikian dapat direncanakan tindakan

konservasi yang sesuai (FAO, 1976).

Analisis KPL menujukkan bahwa lebih kurang 50 % area Sub DAS Perlakuan

didominasi oleh Kelas VIIg (Tabel 7), sehingga penggunaan yang paling tepat adalah

untuk hutan produksi terbatas (Wahyuningrum dkk., 2003). Menurut Fletcher dan Gibb

(1990) pada klas VII, lahan tidak sesuai untuk kegiatan penananaman tanaman semusim

maupun agroforestri dan klas ini antara lain ditandai oleh kombinasi beberapa pembatas

fisik, yaitu kepekaan terhadap erosi berat seperti longsor atau pengaruh erosi berat pada

masa lampau dan lereng yang terjal (45-85%).

Kondisi aktual di lapangan menunjukkan penutupan lahan agroforestri yang

mengkombinasikan tanaman keras dengan tanaman semusim. Kondisi penggunaan lahan

yang tidak sesuai dengan klas KPL ini yang berpotensi mengakibatkan degradasi lahan

yang ditandai dengan nilai tingkat erosi berat dan sangat berat. Prediksi tingkat erosi sangat

berat (SB) paling luas terdapat pada Ut3 dan berat (B) pada Ut4 dengan kelas KPL VIIg

(Tabel 7).

Keberadaan tanaman keras sudah sesuai, namun dibeberapa lokasi masih dijumpai

kegiatan penanaman tanaman semusim meskipun pada lereng yang terjal yang merupakan

faktor pembatas dari klas VIIg. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan menerapkan teknik

konservasi tanah sipil teknis dan vegetatif. Konservasi tanah sipil teknis dengan pembuatan

teras yang lebih stabil sedangkan metode vegetatif dengan mengoptimalkan penutupan

lahan dan penanaman penguat teras. Seperti hasil penelitian yang dilakukan Donie (1995)

Page 209: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 47

yang menyimpulkan bahwa faktor yang dominan mempengaruhi erosi adalah faktor lereng

dan pengelolaan (CP).

Tabel 7. Persentase luas lahan masing-masing KPL (The percentage area of each land capability classes)

Penutupan lahan

(Land cover)

Kelas kemampuan lahan (Land capability class) (KPL) Jumlah (Total)

% IIIc IIIg IVe IVg VIg VIIg VIIIs

Ut1 4,60 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4,60

Ut2 3,40 8,25 0,0 0,00 0,00 0,00 0,00 11,65

Ut3 0,00 0,00 3,8 1,28 20,27 19,25 0,30 45,08

Ut4 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 25,67 0,00 25,67

Ut5 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4,60 0,00 4,60

Ut6 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 8,39 8,39

Jumlah (Total) 8,00 8,25 3,98 1,28 20,27 49,52 8,70 100,00

Prioritas penanganan lahan kritis diutamakan pada lokasi dengan nilai TBE tingkat B

dan SB. Kondisi solum yang tipis dengan erosi berat akan memperburuk kualitas lahan

apabila tidak ada tindakan perlindungan. Usaha perlindungan dilakukan melalui penurunan

laju erosi dengan cara mengelola faktor-faktor yang berpengaruh terhadap erosi yang

manageable tersebut. Dengan demikian maka perbaikan teras pada Ut3 (klas VIIg) perlu

dilakukan yaitu dengan memperbaiki teras batu dan teras tanah yang sudah ada. Batuan

keras mudah diperoleh di beberapa lokasi, dengan demikian teras batu lebih diprioritaskan

mengingat solum tanah di lokasi sudah dangkal. Bila tidak terdapat batuan, alternatif

penggunaan strip rumput dapat diaplikasikan, sekat rumput rumput terbukti efektif

mengendalikan erosi (Donie dan Sudradjat, 1996). Penggunaan sekat-sekat rumput dapat

aliran permukaan dan mengurangi erosi. Strip/sekat rumput gajah (Pennisetum purpureum)

dan vetiver (Vetivera zizanoides) efektif mengendalikan erosi (Donie dan Sudradjat, 1996;

Prakosa dan Priyono, 1996). Kombinasi strip rumput gajah dan temulawak juga efektif

mengedalikan erosi (Djaingsastro dkk., 1999). Penggunaan sekat tanaman juga dapar

mereduksi erosi sehingga tidak menimbulkan kerugian akibat kehilangan unsure hara

(Rivera dkk., 2011).

Hasil simulasi prediksi erosi dengan Rumus USLE yaitu dengan melakukan perubahan

nilai P menghasilkan penurunan TBE pada beberapa lokasi (Tabel 8). Koreksi nilai P

dilakukan dengan memperbaiki teras dari kondisi teras buruk, sehingga nilai P diubah

menjadi 0,04. Dengan demikian memberikan hasil perhitungan erosi yang lebih kecil,

sehingga TBE juga menurun (Tabel 8) Bila dibandingkan Tabel 7 dengan Tabel 8, terlihat

penurunan luas klas TBE berat dan sangat berat. Penurunan TBE ini sesuai dengan hasil

penelitian Munibah dkk.(2010) yang menyatakan bahwa dengan memodifikasi C dan P

dapat menurunkan erosi potensial.

Penggunaan lahan yang direkomendasikan untuk setiap jenis KPL menurut Fletcher

dan Gibb (1990) adalah, apabila Kelas I-IV maka sesuai untuk pertanian tanaman semusim

dengan teras dan akan meningkat pembatasnya bila tidak menggunakan teras, penanaman

rumput pakan ternak, agroforestry dan kehutanan. Untuk KPL kelas VI sesuai untuk

pertanian tanaman semusim bila kedalaman tanah, kedalaman regolith dan kelerengan

memungkinkan untuk pembuatan teras bangku. Kelas tersebut juga sesuai untuk

penanaman rumput pakan ternak, agroforestry dan kehutanan. Kelas VII tidak sesuai untuk

pertanian tanaman semusim maupun agroforestry, hanya sesuai untuk penanaman rumput

Page 210: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 48

pakan ternak, dan kehutanan. Kegiatan pertanian tidak diperkenankan di lokasi ini sejalan

dengan hasil penelitian Oost dkk, (2006) yang menyimpulkan bahwa proses pengolahan

lahan dapat merubah sifat tanah dan siklus hara serta berpotensi menimbulkan erosi.

Tabel 8. Persentase luas area yang mengalami penurunan TBE akibat perbaikan teknik konservasi tanah (The

percentage area decreased in degree of erosion hazard resulted from development of soil

conservation measure).

Tingkat bahaya erosi

(Degree of erosion hazard)

Tingkat bahaya erosi terkoreksi

(Corrected degree of erosion hazard)

S B SB

S 37,18 0,00 0,00

B 20,27 10,30 0,00

SB 23,85 3,84 4,55

Jumlah (Total) 81,30 14,15 4,55

Gambaran umum lokasi penelitian yang didominasi oleh lereng terjal dan bersolum

dangkal, secara fisik tidak sesuai untuk kegiatan pertanian tanaman semusim, namun oleh

karena desakan kebutuhan petani, maka lahan milik dengan kondisi yang tidak

menguntungkan seperti tersebut di atas masih diolah untuk budidaya tanaman semusim.

Optimalisasi penggunaan lahan perlu dilakukan dengan pemilihan jenis tanaman keras dan

penentuan jarak tanam yang sesuai yang tidak menganggu tanaman semusim. Jenis

tanaman tahan naungan seperti empon-empon sangat direkomendasikan. Tanaman empon-

empon seperti kencur, mampu mengendalikan erosi 53,5 % dan mempunyai nilai jual

tinggi (Subandrio dkk., 1995).

5. Banjir

Karakteristik banjir suatu DAS dicirikan oleh besarnya debit puncak, waktu mencapai

puncak dan waktu terjadinya aliran. Hidrograf adalah grafik yang menggambarkan

hubungan antara waktu dan debit aliran. Ada tiga faktor yang dilihat dari hidrograf untuk

mengetahui kondisi hidrologi suatu DAS yaitu debit puncak (qp) waktu mencapai puncak

(tp), dan waktu dasar (tb). Suatu DAS disebut baik atau sehat jika debit puncaknya rendah,

waktu puncaknya lama dan waktu dasarnya panjang demikian pula sebaliknya.

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan konservasi tanah dan air serta penanaman di

Sub DAS Dungwot maka dilihat hidrografnya dari waktu ke waktu. Hidrograf yang

dibandingkan adalah hidrograf aliran langsung, dimana aliran dasarnya sudah dipisahkan.

Hidrograf aliran yang terjadi pada tanggal 7 Januari 2009 menunjukkan pola yang

cukup baik, dimana puncak banjirnya hanya sekitar 10 lt/dt dan waktu banjirnya juga

cukup lama yaitu sekitar 42 menit. Dari hidrograf aliran ini dibuat hidrograf satuannya,

hasilnya menunjukkan bahwa puncak hidrograf satuannya adalah 0,5 lt/dt ditempuh dalam

waktu 18 menit sedangkan waktu alirannya (time base) adalah 36,3 menit.

Pada Februari 2010 menunjukanbahwa kondisi hidrologi th 2009 masih lebih baik.

Hasil analisis hidrograf satuan th 2010 menunjukkan bahwa debit puncak mencapai 3,5

lt/dt ditempuh dalam waktu 18 menit sedangkan aliran dasar mencapai 36 menit.

Kondisi Sub DAS perlakuan pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2011

mengalami penurunan kualitas. Pada tahun 2011 ini terlihat dari hidrograf satuan bahwa

puncak banjir adalah 8,7 lt/dtk, yang dicapai dalam waktu 36 menit dan waktu aliran

Page 211: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 49

dasarnya adalah tak terhingga. Hal ini dapat terjadi karena ketika tanah masih jenuh air,

masih diikuti oleh hujan. Pada tahun 2012, sub DAS perlakuan mengalami perbaikan yang

ditunjukkan penurunan Tp (21 menit) dan Tb (41 menit), namun demikian Qp mengalami

kenaikkan (Tabel 9).

Tabel 9. Perbandingan unsur-unsur hidrograf Sub DAS perlakuan dan Kontrol.

Unsur Perlakuan Kontrol

2009 2010 2011 2012 2011 2012

Tp (menit) 18 18 36 21 36 20

Qp (lt/detik) 0,5 3,5 8,7 48,48 37,5 15,39

Tb (menit) 36,3 36 100 41 48 36

Suatu DAS dikatakan mengalami perbaikan respon apabila :

- Tp makin lama: waktu mencapai puncak makin lama

- Qp makin kecil: debit puncak makin kecil

- Tb makin lama: waktu dasar makin lama

Dari Tabel 10 terlihat bahwa dari unsur Tp dan Tb Sub DAS perlakuan mengalami

perbaikan kualitas:

- Tp makin kecil (dari 18 ke 36 ke 21 menit): memburuk

- QP sedikit naik (dari 0.5 ke 8.7 ke 48.48 lt/dt): memburuk

- TB makin lambat (dari 36.3 ke tak terhingga ke 41): membaik

Dilihat dari parameter tersebut, Sub DAS kontrol mempunyai kualitas yang kurang

baik bila dibandingkan dengan Sub DAS Perlakuan. Pada Sub DAS kontrol waktu yang

diperlukan untuk mencapai debit puncak sebesar 37,5 lt/dtk adalah 36 menit, dan waktu

mencapai dasar adalah 48 menit. Keadaan ini pada tahun 2012 mengalami perbaikan

dilihat dari masing-masing unsur hidrograf (Tabel 9).

Efektifitas jenis penutupan lahan terhadap erosi dalam sub DAS Perlakuan dan Sub

DAS Kontrol menunjukkan bahwa nilai C tanaman keras pada sub DAS perlakuan (0.043)

lebih besar dari pada nilai C tanaman keras pada Sub DAS Kontrol (0,019). Hal ini berarti

bahwa tanaman keras pada sub DAS perlakuan kurang efektif dalam mengendalikan erosi

dibandingkan dengan sub DAS Kontrol. Kondisi ini dapat disebabkan oleh perbedaan

kondisi parameter tegakan seperti: diameter batang, tinggi, jari-jari dan luas tajuk.

Meskipun kerapatan tegakan pada sub DAS perlakuan lebih rapat dibanding sub DAS

Kontrol, tetapi rata-rata diameter, tinggi, jari-jari dan luas tajuk tanaman pada sub DAS

control relative lebih besar. (Lampiran 3).

6. Aspek Sosial Ekonomi Kegiatan RLKT

Secara keseluruhan proses (identifikasi masalah, perencanaan, pelaksanaan,

monitoring dan evaluasi) partisipasi dalam kegiatan RLKT ini tergolong partisipasi untuk

insentif (Partisipation for Material Incentives). Adapun partisipasi untuk Insentif

(Partisipation for Material Incentives) adalah partisipasi rakyat melalui dukungan berupa

sumber daya, misalnya tenaga kerja, dukungan pangan, pendapatan atau insentif material

lainnya. Petani menyediakan lahan dan tenaga, tetapi mereka dilibatkan dalam proses

percobaan-percobaan dan pembelajaran. Kelemahan dari model partisipasi ini adalah

Page 212: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 50

apabila insentif habis maka teknologi yang digunakan dalam program juga tidak akan

berlanjut (Hobley,1996).

Kegiatan penanaman dengan jenis tanaman mangga, pete dan jambu mete sudah

banyak dilakukan oleh petani sebelumnya. Begitu juga kegiatan konservasi tanah seperti

pembuatan teras, bagi masyarakat sudah bukan merupakan hal baru lagi. Karena

sebelumnya pada tahun 1989/1990 pernah ada proyek bantuan terasering seluas 17 ha.

Sehingga sekarang petani tinggal meneruskan saja dan melakukan perbaikan. Apalagi di

lahan petani yaitu di lahan milik kemiringan lahannya tidak seterjal di lahan Perhutani

yang mempunyai kemiringan lebih dari 45%. Sehingga lahan milik masyarakat yang

cenderung landai tidak begitu memerlukan teras, hanya pengaturan guludan saja.

Merupakan hal baru bagi masyarakat adalah dalam pembuatan SPA (Saluran Pembuangan

Air). Dulu pernah ada tapi petani belum tahu manfaatnya dan cara pembuatannya. Bagi

mereka SPA di lahan Perhutani sangat bermanfaat dalam pengaturan air, karena air selalu

cepat turun kebawah, sehingga pernah menimbulkan banjir. (kapan?) Untuk tingkat adopsi

masyarakat sebenarnya sudah dalam taraf menerapkan (adoption), dimana petani sudah

melakukan kegiatan konservasi tanah, pembuatan penguatan teras, SPA dan penanaman

dengan menggunakan jarak yang lebih lebar mencontoh seperti demplot. Tetapi kegiatan

yang merupakan hal baru bagi petani adalah adanya pembuatan jarak tanam. Sehingga

petani bisa melakukan penanaman tumpang sari di bawah tegakan. Sebelumnya petani

melakukan penanaman tanpa menghiraukan jarak tanam. Mereka menanam di lahan

dengan jarak yang tidak beraturan.

Dari analisis finansial yang telah dilakukan, dengan discount rate 12%, diperoleh

bahwa teknik RLKT yang diterapkan tidak layak. Pada Plot A1 meskipun diperoleh NPV

positif, tetapi BCR negatif, dan IRR di bawah discount rate yang digunakan. Begitu juga

pada plot B1 dan C4. Sedangkan plot lainnya NPV dan BCR negatif, sedangkan IRR

dalam kondisi berapa pun ratenya tidak memberikan nilai yang layak. Sehingga kegiatan

RLKT ini hanya untuk meningkatkan nilai lingkungannya, karena secara finansial tidak

layak.

IV. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN

Pembangunan hutan tanaman dengan system agroforestri dapat menjadi solusi untuk

mengendalikan erosi dan banjir dalam suatu DAS, terutama di lahan kritis yaitu lahan

miring dan bersolum dangkal. Sistem agroforestri tersebut mengkombinasikan tanaman

semusim dengan tanaman keras seperti jati, mete, pete, mangga serta mengkombinasikan

teknik konservasi sipil teknis dan vegetatif. Pembuatan teras bangku perlu diperkuat

dengan tampingan teras berupa batu mapun rumput agar lebih efektif mengendalikan erosi.

Pembuatan strip-strip rumput dan mulsa sisa-sisa tanaman juga dapat memproteksi tanah

dari terpaan hujan serta mengendalikan laju aliran permukaan. Keberadaan vegetasi

permanen harus tetap dipertahankan, Karena dalam periode pengolahan tanah, sangat

rawan terhadap tenaga kinetik air hujan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Teras bangku lebih efektif mengendalikan erosi dan limpasan bila diberi penguat

Page 213: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 51

teras (lamtoro/rumput)

2. Besarnya aliran permukaan dan erosi sangat tergantung pada kondisi penutup tanah

seperti tajuk tanaman keras, tanaman semusim, semak belukar, kerikil permukaan dan

seresah.

3. Pengolahan lahan untuk tanaman semusim dapat meningkatkan kepekaan erosi,

meskipun sudah dilakukan penterasan.

4. Konservasi tanah dilakukan secara simultan sehingga factor-faktor pemicu terjadinya

erosi dapat dikendalikan.

5. Meskipun didominasi oleh lereng terjal, erosi yang terjadi di lokasi penelitian masih

pada taraf sangat ringan hingga ringan (>50%). Hal ini dapat disebabkan oleh jenis

penutupan lahan yang berupa hutan jati dan gamal yang mempunyai nilai C rendah

(0,006).

6. Tingkat erosi ringan mempengaruhi kandungan P dan K dengan memberikan nilai

rendah-sangat rendah. Sedangkan untuk N, C organik, KTK dan KB tidak begitu

berpengaruh karena ada pada tingkat sedang-tinggi-sangat tinggi.

7. Penutupan lahan yang relatif banyak ditumbuhi vegetasi permanen merupakan sumber

bahan organik berupa seresah dan ranting-ranting tanaman.

8. Modifikasi faktor P (konservasi tanah) dapat menurunkan erosi dan tingkat bahaya

Erosi

9. Sub DAS perlakuan mengalami perbaikan kualitas dari unsur waktu dasar (TB):

- Tp makin kecil (dari 18 ke 36 ke 21 menit): memburuk

- QP sedikit naik (dari 0.5 ke 8.7 ke 48.48 lt/dt): memburuk

- TB makin lambat (dari 36.3 ke tak terhingga ke 41): membaik

10. Sub DAS Kontrol mempunyai unsur hidrograf yang lebih baik dibandingkan dengan

sub DAS Perlakuan. Hal ini disebabkan karena adanya efektifitas dari penutupan tajuk

pada sub DAS Kontrol yang lebih baik dibandingkan dengan Sub DAS perlakuan.

11. Secara keseluruhan proses partisipasi ini tergolong partisipasi untuk insentif

(Partisipation for Material Incentives). Adapun partisipasi untuk Insentif

(Partisipation for Material Incentives) adalah partisipasi rakyat melalui dukungan

berupa sumber daya, misalnya tenaga kerja, dukungan pangan, pendapatan atau

insentif material lainnya.

12. Tingkat adopsi masyarakat sudah dalam taraf menerapkan (adoption), dimana petani

sudah melakukan kegiatan konservasi tanah, dengan menggunakan jarak tanam yang

lebih lebar mencontoh seperti demplot.

13. Kegiatan RLKT ini hanya untuk meningkatkan nilai lingkungan, karena secara

finansial tidak layak.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. (2012). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tentang

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Basuki, T.M., (2002), Penggunaan Mulsa Organik untuk Konservasi Tanah di Areal Hutan

Tanaman, InfoDAS Vol. 13.

Page 214: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 52

Bryan, R.B., Scarborough G. Govers dan J. Poesen, L., (1989), The Concept of Soil

Erodibility and Some Problems of Assessment and Application, CATENA Vol. 16,

Hal. 393-412.

Buckman, H.O. & Brady, N.C., (1982), Ilmu Tanah. PT. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.

Crosier, S., Booth, B. dkk, (2004), Arcis 9, Getting Started with ArcGis.

Dariah, A., Subagyo, H., Tafakresnanto, C. dan Marwanto, S., (2004), Kepekaan Tanah

Terhadap Erosi. Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian

dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Dissmeyer, G.E. dan Foster, G.R., (1984), A Guide for Predicting Sheet and Rill Erosion

on Forest Land. USDA, Forest Service, Southern Region Atlanta, Ga.

Djaingsastro, N., Prakosa, D. dan Triwilaida, (1999), Efektivitas Sekat Tanaman dalam

pengendalian Erosi di Lahan Pertanian: Studi Kasus di DTW Sermo, Daerah

Istimewa Yogyakarta, Buletin Pengelolaan DAS Vol. Volume 1.

Djuniwati, S., Pulunggono, H.B. dan Suwarno, (2007), Pengaruh pemberian bahan organik

(Centrosema pubescens) dan fosfat alam terhadap aktivitas fosfatase dan fraksi P

tanah latosol di Darmaga, Bogor, Jurnal Tanah dan Lingkungan Vol. 9, Hal. 10-15.

Donie, S., (1995), Tingkat Erosi Beberapa Pola Usaha Tani Lahan Kering pada Kondisi

Lahan di Sub DAS Wuryantoro, Jurnal Pengelolaan DAS Vol. II No. 2, Hal. 27-44.

Donie, S. dan Sudradjat, R., (1996), Vetiver Grass as Erosion and Land Productivity

Control, Jurnal Pengelolaan DAS Vol. Volume II No. 3.

FAO, (1976), A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bulletin FAO and Agriculture

Organization of the United Nations Rome.

Fletcher, J.R. dan Gibb, R.G., (1990), Land Resource Survey Handbook For Soil

Conservation Planning In Indonesia. Ministry of Forestry Directorate General

Reforestation and Land Rehabilitation Indonesia and Department of Scientific and

Industrial Research DSIR Land Resources Palmerston North New Zealand.

Fucheng, L., Jianhui, Z. dan Zhengan, S., (2012), Changes in SOC and Nutrients under

Intensive Tillage in Two Types of Slope Landscapes J. Mt. Sci. Vol. 9, Hal. 67-76.

Hairiah, K., Suprayogo, D. dkk, (2012), Alih Guna Lahan Hutan menjadi Lahan

Agroforestri Berbasis Kopi: Ketebalan Seresah, Populasi Cacing Tanah dan

Makroporositas Tanah, 29 Juni, 2012,

http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Publications/files/book/BK0063-04/BK0063-

04-9.pdf

JICA, (2007), Studi Penanganan Sedimentasi Waduk Serbaguna Wonogiri. Nippon Koei

and Yachiyo Engineering Co. Ltd., Jakarta.

Kefi, M., Yoshino, K. dkk, (2011), Assessment of the effects of vegetation on soil erosion

risk by water: a case of study of the Batta watershed in Tunisia, Environ Earth Sci

Vol. 64, Hal. 707-719.

Mao, R. dan Zeng, D.-H., (2010), Changes in Soil Particulate Organic Matter, Microbial

Biomass, and Activity Following Afforestation of Marginal Agricultural Lands in a

Semi-Arid Area of Northeast China, Environmental Management Vol. 46, Hal.

110-116.

Mas'ud, P., (1992), Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa, Bandung.

Page 215: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 53

Munibah, K., Sitorus, S.R.P. dkk, (2010), Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terha-

dap Erosi di DAS Cidanau, Banten, Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 32, Hal.55-69.

Nunes, A.N., de Almeida, A.C. dan Coelho, C.O.A., (2011), Impacts of land use and cover

type on runoff and soil erosion in a marginal area of Portugal, Applied Geography

Vol. 31, Hal. 637-699.

Oost, K.V., Govers, G., Alba, S.d. dan Quine, T.A., (2006), Tillage erosion: a review of

controlling factors and implications for soil quality, Progress in Physical

Geography Vol. 30, Hal. 443-466.

Prakosa, D. dan Priyono, C.N.S., (1996), Pengaruh Sekat Rumput dan Tanaman Legume

terhadap Pengendalian Erosi dan Perubahan Sifat Tanam pada Lahan Bekas

Letusan Gunung Berapi, Jurnal Pengelolaan DAS Vol. Volume I No.3, Hal.

Priono, C.N.S., (1996), Pengukuran Erosi di Lahan Pertanian. Balai Teknologi Pengelolaan

DAS, Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan, Surakarta, pp. 1-20.

Rivera, S., Ferreira, O.I., Anguta, P.M.d. dan Espinal, F.M., (2011), Soil and Economic

Loss Evaluation on Small Hillside Farms in the Central Mountains of Honduras,

Journal of Sustainable Forestry Vol. 30, Hal. 57-78.

Schmidt, F.H.A. dan Fergusson, J.H.S., (1951), Rainfall Type Based on Wet and Dry

Periods of Ratios from Indonesia with Western New Guinea. Directorate

Meteorology and Geophysics, Jakarta.

Subandrio, B., Lastiantoro, Y. dan Kusnadi, D., (1995), Kajian Aspek Konservasi dan

Ekonomi Tanaman Empon-empon sebagai Tanaman Bawah pada Hutan Rakyat di

Madura, Jurnal Pengelolaan DAS Vol. Volume II No.l, Hal.

Sukresno, Supangat, A.B. dan Gunarti, (2003), Pedoman Teknis Pendayagunaan Stasiun

Pengamat Arus Sungai (SPAS) untuk Pemantauan dan Evaluasi Tata Air, Info DAS

Vol. No. 16, Hal. 1-26.

Sutrisno, J., Sanim, B., Saefuddin, A. dan Sitorus, S.R.P., (2012), Valuasi Ekonomi Erosi

Lahan Pertanian di Sub Daerah Aliran Sungai Keduang Kabupaten Wonogiri,

SEPA Vol. 8, Hal. 51-182.

Utomo, W.H., (1994), Erosi dan Konservasi Tanah. Penerbit IKIP Malang, Malang.

Wahyuningrum, N., Priyono, C.N.S. dkk, (2003), Pedoman Teknis Klasifikasi

Kemampuan dan Penggunaan Lahan, Info DAS Vol. 15, Hal. 1-103, Badan

Litbang Kehutanan, Puslit PHKA.

Weischmeier, W.H. dan Smith, D.D., (1978), Predicting Rainfall Erosion Losses; A Guide

to Conservation Planning. In: Agriculture, U.S.D.o. (Ed.), Agriculture Handbook.

Science and Education Administration.

Page 216: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 54

Lampiran 1. Jenis Penutupan Lahan di Sub DAS Perlakuan

No Simbol Penutupan Lahan

(Land cover symbols) Keterangan (Remarks)

Luas (ha)

(Area) (ha) %

1 Ut1 Tanaman jati (5 – 10 th) monokultur, teras diperkuat

dengan batu dan tidak terawat

0,50 4,60

2 Ut2 Tanaman jati (5 - 10 th)tumpangsari dengan

tanaman palawija, banyak teras yang tidak terawat)

1,26 11,65

3 Ut3 Tanaman jati (1 – 2 th) tumpangsari dengan palawija, 4,88 45,08

campuran antara teras batu dan tanah yang tidak

terawat.

4 Ut4 Tanaman Gliricidia monokultur, sebagian besar

tidak berteras

2,78 25,67

5 Ut5 Tanaman Gliricidia tumpangsari dengan tanaman

palawija, teras diperkuat dengan batu tetapi kurang

terawat.

0,50 4,60

6 Ut6 Tidak ada tanamannya, sebagian besar sejenis

lumut dan rumput liar.

0,91 8,39

Jumlah (Total) 10,82 100,00

Lampiran 2. Hasil Analisis Tanah

No.

SL

Tekst

ur*

pH

N

Total

%

C.

Org

%

BO

%

P Tsd

ppm

K

%

Na

%

Ca

%

Mg

%

KTK

%

KB

%

1 Gp Saat ini sedang ditanami jati umur 8 – 15 tahun (monokultur) sehingga tidak dijadikan lokasi

model perlakuan

2 Gp 6,19 0,38 1,72 2,97 5,91 0,26 0,16 6,99 4,19 23,20 49,94

3 Gp 6,35 0,32 1,07 1,85 6,58 0,25 0,24 6,18 3,68 20,40 49,22

4 Gp 5,87 0,32 1,50 2,59 6,31 0,27 0,15 6,17 3,78 25,20 58,84

5 Gp 5,75 0,26 1,72 2,96 6,58 0,30 0,16 6,46 3,83 16,00 32,84

6 Gp 0,25 1,72 2,97 7,85 0,38 0,16 6,57 4,06 30,00 62,78

7 Gp 6,21 0,22 3,44 5,93 5,78 0,43 0,10 7,87 4,36 24,00 46,85

8 Gp Saat ini berwujud hamparan batuan tersingkap, tidak dijadikan lokasi model perlakuan

9 Gp 5,68 0,46 2,57 4,44 7,85 0,27 0,15 4,85 4,16 26,00 63,71

10 Gp Saat ini berwujud hamparan tanaman gliricidea dan tanahnya sangat tipis , tidak dijadikan

lokasi model

11 Gp 5,48 0,45 2,79 4,81 6,51 0,44 0,15 6,46 4,00 19,60 43,64

12 Gp Saat ini berwujud hamparan batuan tersingkap, tidak dijadikan lokasi model perlakuan

13 Gp 6,05 0,25 2,79 4,81 7,13 0,39 0,25 6,14 4,22 28,15 60,19

14 Gp 6,33 0,56 1,29 2,22 5,71 0,33 0,17 6,61 4,09 29,60 62,20

15 Gp 6,05 0,36 3,87 6,68 11,26 0,26 0,19 6,18 3,44 26,00 61,26

16 Gp 5,85 0,52 6,01 10,36 5,24 0,25 0,15 6,24 3,88 24,00 56,16

17 Gp 6,07 0,37 2,36 4,08 6,18 0,24 0,15 6,42 4,16 28,00 60,19

Catatan (Remarks): Gp = Geluh pasiran (Sandy Loam)

Page 217: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 55

JUDUL PENELITIAN : SISTEM MITIGASI TANAH LONGSOR DALAM

PENGELOLAAN DAS

PELAKSANA : BENY HARJADI

INSTANSI : BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI KEHUTANAN

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bencana Longsor menurut Permen PU No. 22 tahun 2007 adalah bencana yang

diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam berupa

tanah longsor. Berdasarkan tipologi kawasan rawan longsor maka zonasi bencana tanah

longsor dibagi menjadi 3 zona yaitu zona berpotensi longsor tipe A (lereng>40%), tipe B

(lereng 21-40%) dan tipe C (lereng<20%).

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada ujicoba teknologi pengendalian tanah berpotensi

longsor, khususnya pada lahan-lahan terdegradasi, dengan beberapa metode dan teknik

yang telah ada, seperti: 1) teknik penutupan retakan tanah dengan tanah liat, 2) teknik

pengendalian lereng secara mekanis, 3) teknik perbaikan sifat-sifat fisik tanah, 4) teknik

pengendalian aliran air permukaan, 5) teknik pengendalian rembesan air bawah

permukaan/drainase tanah, dan 6) teknik pengendalian lereng dengan metode vegetasi

dengan jenis yang sesuai (Abramson et.al., 1996).

II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT DENGAN JUDUL

PENELITIAN

A. Identifikasi Regulasi yang ada

Akhir-akhir ini kondisi sumberdaya hutan dan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS)

cenderung menurun, yang menimbulkan dampak negatif seperti banjir, kekeringan dan

tanah longsor yang terjadi di berbagai tempat di tanah air, sehingga peranannya sebagai

penyangga kehidupan kurang optimal.

Untuk memulihkan dan menjaga kelestarian fungsi hutan, Departemen Kehutanan

dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 22/Menhut-V/2007 Tanggal : 20 Juni

2007 telah menetapkan lima kebijakan prioritas, antara lain Rehabilitasi dan Konservasi

Sumber Daya Hutan. Dalam kerangka implementasinya, ditetapkan Rehabilitasi Hutan dan

Lahan (RHL) dalam Rencana Strategis dan Fokus Kegiatan Pembangunan Kehutanan.

B. Analisis Kebutuhan Penelitian

Penyimpangan iklim di Indonesia dengan meningkatnya besar intensitas curah hujan

menyebabkan peningkatan frekuensi kejadian bencana banjir-kekeringan dan tanah longsor

(Koesmaryono et. al.., 1999). Bencana alam tanah longsor ini makin sering terjadi, pada

periode 1997-2004 di Indonesia tercatat 219 kali kejadian, dengan korban jiwa 435 orang

Page 218: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 56

meninggal dan kerugian harta benda lebih dari 30 miliyar rupiah (Bakornas, 2004 dalam

DPRRI, 2006). Dampak yang ditimbulkan tersebut tidak hanya berupa kerugian harta

benda yang berujud materiil namun juga korban jiwa manusia. Bencana tanah longsor

seperti yang terjadi di Desa Kemanukan, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo pada

tanggal 5 Oktober 2000 menewaskan 22 orang; di Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu,

Kabupaten Banjarnegara pada tanggal 4 Januari 2006 menewaskan 28 orang.

III. SINTESIS HASIL PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Waktu Penelitian. Penelitian dimulai sejak tahun 2006 dimulai saat terjadi bencana

longsor di Desa Sijeruk Banyarmangu Banjarnegara sampai tahun 2013.

Lokasi. Lokasi dipilih pada daerah yang berpotensi longsor karena daerah di sekitarnya

sering terjadi longsor yaitu di Karanganyar, Purworejo dan Banjarnegara. Mulai tahun

2013 Karanganyar di pindah ke Gombong, Kebumen (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi Penelitian Longsor di Banjarnegara (Sub DAS Merawu), Purworejo (Sub DAS

Gesing), dan di Gombong (Sub DAS Silengkong)

Rancangan Penelitian. Pelaksanaan kajian longsor sejak tahun 2006 dilakukan melalui

tahapan kegiatan sebagai berikut:

• Memberikan informasi kepada masyarakat tentang peringatan dini dari alat extensometer

jika terjadi rekahan tanah >15 cm (Siaga 1).

• Melakukan identifikasi penyebab masalah terjadinya bencana longsor, antara lain oleh

beberapa faktor seperti : bencana alam, faktor tetap dan faktor dinamis (Gambar 2).

• Mengindentifikasi faktor-faktor (biogeofisik) di daerah berpotensi longsor di Kabupaten

Purworejo, Banjarnegara, dan Gombong-Kebumen dengan menggunakan bantuan citra

Page 219: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 57

satelit (landsat) untuk waktu yang berbeda dengan peta topografi dan peta daerah rawan

longsor/geologi sebagai peta dasar

• Memetakan kondisi biogeofisik (geologi, geomorfologi, tanah, kelerengan, kerapatan

drainase, dan penutupan lahan) dan hujan di lokasi rawan tanah longsor.

• Melakukan pemeliharaan dan pengamatan plot longsor berupa alat pemantau tingkat

gerakan tanah (metode inklinometer), pemeliharaan dan pengamatan tingkat kandungan

air bawah permukaan tanah (rembesan)

• Mengamati kondisi vegetasi (pertumbuhan tanaman) dari beberapa teknik vegetatif

(RLKT) yang diterapkan untuk pengendalian lereng pada tanah berpotensi longsor yang

sesuai dengan kondisi lokasi dan tingkat longsorannya.

Gambar 2. Diagram Alur Identifikasi Masalah di Lapangan dengan Pengumpulan Data Kondisi Biofisik Lapangan untuk Kegiatan Mitigasi Longsor

Page 220: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 58

B. Hasil Penelitian

Kondisi tingkat longsor untuk tiga lokasi berurutan dari yang tertinggi Banjarnegara

(3,8) dan Purworejo (3,6) yaitu dua lokasi mendekati agak tinggi (4) dan satu lokasi di

Gombong (3,0) termasuk sedang. Ketiga lokasi termasuk daerah dengan formasi geologi

sama dan sama-sama dilewati garis sesar, sehingga faktor yang berpengaruh terhadap

tingkat longsor antara lain: curah hujan dan kemiringan lereng serta penggunaan lahan.

Penggunaan lahan sebagian besar di tegal, pemukiman dan hutan lindung di Banjarnegara.

Sub DAS Gesing di Purworejo merupakan daerah yang berbukit dan lereng

didominasi dari miring sampai curam dengan penutupan lahan agroforestry (duren,

sengon, akasia), pekarangan dan persawahan. Sub DAS Merawu di Banjarnegara sebagian

besar tanah labil karena dilewati sesar dan sebagian besar lahan curam sampai terjal pada

hutan lindung. Penutupan lahan lainnya untuk kebun sayur, agroforestry (Kapulogo, Salak

dan Sengon) dan terbuka. Sub DAS Silengkong didominasi perbukitan dengan lereng

miring sampai curam, dengan dominasi penutupan lahan untuk tegalan, pemukiman dan

hutan pinus.

Kadar lengas tanah merupakan kandungan air (moisture) yang terdapat dalam pori

tanah. Kadar lengas dinyatakan dalam satuan persen berat atau persen volume. Kadar

lengas secara umum ada tiga jenis: (a) lengas tanah (soil moisture), bentuk campuran gas

(uap air) dan cairan; (b) air tanah (soil water), air dalam bentuk cair dalam tanah sampai

lapisan kedap air; (c) air tanah dalam (ground water), lapisan air tanah yang berada di

tanah bagian dalam (Handayani, 2009).

Kadar lengas di daerah longsor tertinggi di Banjarnegara, diikuti Purworejo dan

Gombong. Semakin tinggi kadar lengas seperti di Banjarnegara (82,49%) maka paling

berpotensi terjadinya longsor. Banjarnegara yang paling rawan terjadi longsor ditunjukkan

oleh kadar lengas untuk partikel tanah 2 mm dan 5 mm tertinggi yaitu 12,39%.

Di Indonesia banyak tanah marginal yang mempunyai kandungan pasir tinggi seperti

tanah vulkan berpasir kasar dan tanah berpasir pantai. Tanah berpasir seperti itu memiliki

struktur yang jelek, berbutir tunggal lepas, berat volumenya tinggi, serta kemampuan

menyerap dan menyimpan air rendah sehingga kurang mendukung dalam usaha bercocok

tanam. Disamping itu, tanah jenis ini peka terhadap pencucian unsur hara dan peka

terhadap erosi air maupun angin. Dalam kaitannya dengan daya menyimpan air, tanah

berpasir memiliki daya pengikatan terhadap lengas tanah yang relatif kecil karena

permukaan kontak antar tanah berpasir didominasi oleh pori-pori mikro. Oleh karena itu,

air yang jatuh ke tanah jenis ini akan segera mengalami perlokasi dalam air kapiler dan

mudah lepas karena evaporasi (Mukhid, 2007). Kadar lengas tanah yang yang rendah

seperti pada kondisi tanah pasir diatas relatif tahan terhadap erosi longsor.

Beberapa faktor yang mempengaruhi kandungan lengas dalam tanah antara lain

perubahan cuaca, kandungan bahan organik, fraksi liat, topografi, dan adanya bahan

penutup tanah baik organik maupun anorganik (Walker and Paul, 2002). Bahan organik

bisa berfungsi dan memperbaiki sifat kimia, fisika, biologi tanah sehingga ada sebagian

ahli menyatakan bahwa bahan organik di dalam tanah memiliki fungsi yang tak tergantikan

(Sutanto, 2005). Tanah dengan kandungan bahan organik tinggi mempunyai kapasitas

penyangga yang rendah apabila basah. Kemampuan tanah untuk menyimpan air salah

Page 221: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 59

satunya air hujan menentukan juga spesies apa yang tumbuh. Kadar lengas merupakan

salah satu sifat fisika tanah untuk mengetahui kemampuan penyerapan air dan ketersediaan

hara pada setiap jenis tanaman (Handayani, 2009).

Dari hasil penelitian longsor di tiga lokasi maka dapat disimpulkan, bahwa faktor yang

berpengaruh terhadap longsor antara lain: kondisi tanah, kemiringan lereng, arah lereng,

tekstur tanah, bobot isi, kemasaman tanah, kesuburan tanah, sesar, struktur, solum,

regolith, permeabilitas dan faktor luar terutama hujan dan gempa bumi.

Berkaitan dengan istilah air dalam tanah, secara umum dikenal 3 jenis, yaitu (a)

lengas tanah (soil moisture) adalah air dalam bentuk campuran gas (uap air) dan cairan;

(b) air tanah(soil water) yaitu air dalam bentuk cair dalam tanah, sampai lapisan kedap air,

(c) air tanah dalam (ground water) yaitu lapisan air tanah kontinu yang berada ditanah

bagian dalam (Handayani, 2009). Semakin tinggi kandungan liat dalam tanah akan banyak

menyerap air dan tanah menjadi berat dan mudah terjadi longsor. Begitu juga air tanah

yang tidak segera di drainase dakhil (penampang profil tanah) lewat perkolasi maka tanah

akan cepat jenuh akibat pori makro tanah yang sedikit. Pada daerah yang ada batuan padu

atau di dominasi batuan metamorf yang berbentuk lapis-lapis maka selain menjadi bidang

luncur juga tanah mudah jenuh akibat air yang tidak segera lolos kebawah.

Kondisi tanaman yang mendominasi pada penutupan lahan akan berpengaruh terhadap

mudah tidaknya tanah mengalami longsor. Misalnya pada daerah yang miring yang di

dominasi tanaman sayur-sayuran dan persawahan seperti di Banjarnegara akan berpotensi

terjadinya longsor. Masyarakat yang mengalami longsor dan telah di relokasi ke daerah

yang aman longor telah mengalihkan komoditi yang cocok untuk ke daerah rawan longsor

berupa salak dan kapologo, disamping itu kedua komoditi tersebut mudah dalam

pemasarannya. Tanaman sengon dan akasia yang ada di Purworejo (daerah berpotensi

longsor) sebaiknya diganti dengan komoditi lain terutama pada daerah yang sangat miring

sampai terjal. Gombong untuk daerah longsor yang selama ini ditanami sengon, singkong

dan pinus dengan tanaman bawah rumput-rumputan.

Kondisi iklim perlu diketahui untuk mendeteksi daerah berpotensi longsor atau tahan

terhadap longsor. Parameter iklim yang perlu dicatat di lapangan antara lain kelembaban

udara (rh), Suhu udara dan Suhu tanah. Suhu tanah diamati pada kedalaman yang berbeda

dari top soil (30 cm), solum (60 cm) dan regolith (150 cm). Pada daerah yang mengalami

fluktuasi yang tinggi untuk kelambaban dan suhu maka akan berpotensi terjadinya longsor.

Proses terjadinya longsor tersebut dikarenakan perubahan drastis suhu maupun

kelembaban akan menyebabkan tanah retak dan berptoensi terjadinya longsor, jika

didukung faktor longsor lainnya.

Mitigasi dimaksudkan untuk mengurangi korban jiwa akibat bencana longsor.

Sehingga dengan demikian masyarakat sekitar daerah yang berpotensi longsor faham akan

tanda-tanda tanah longsor. Hal-hal yang perlu diamati selain curah hujan yang tinggi

berturut-turut selama tiga hari, juga mencermati aliran sungai apabila tiba-tiba aliran air

sungai menjadi kecil, tidak seperti biasanya. Gejala ini menunjukkan kemungkinan aliran

air sungai terbendung/tertahan oleh timbunan tanah longsor pada palung sungai sehingga

aliran air mendadak surut. Jika hujan datang berlimpah lebih banyak lagi maka seperti

lahar dingin akan menjadi banjir bandang karena membawa material longsor dan barang/

benda-benda lain.

Page 222: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 60

Disamping hal-hal diatas juga perlu diwaspadai jika aliran sungai lebih keruh dari

biasanya. Indikasi ini menunjukkan kemungkinan aliran air melewati timbunan tanah

longsor (over topping) yang menyumbat palung sungai dengan membawa sedimentasi hasil

gerusan pada sumbatan tersebut. Dengan demikian bila terjadi hujan lebat dan aliran air

semakin deras maka sumbatan dapat jebol dan menimbulkan banjir bandang di hilir.

Masyarakat yang pernah mengalami longsor mereka sudah faham akan tanda-tanda

terjadinya longsor, yaitu penyebab utama selain daerahnya sudah berpotensi juga hujan

yang deras berturut-turut lebih dari 3 hari curah hujan > 300 mm. Sebelum longsor terjadi,

tanah sering bergerak setiap kali ada hujan seperti di Banjarnegara, dan saat longsor datang

maka suara sangat gemuruh seperti lahar dingin. Longsor terjadi disaat hujan masih turun

dan biasanya pada malam hari karena tidak adanya evapotranspirasi sehingga tanah sangat

jenuh setelah hujan berturut-turut selama tiga hari.

Peta longsor dari peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) dengan analisis SIG (Sistem

Informasi Geografis) untuk ketiga lokasi longsor (Banjarnegara, Purworejo dan Gombong)

menunjukkan penyebaran tingkat longsor dari yang ringan sampai yang berat.

Dari peta kerawanan longsor di DAS Merawu termasuk dalam kategori tingkat

sedang, namun pengelolaan lahan dan konservasi tanah yang kurang tepat akan

memperbesar tingkat kerawanan longsor. Pada daerah yang tingkat kerawanannya agak

tinggi walaupun tidak terlalu luas perlu mewaspadai longsor yang datang secara tiba-tiba

yang akan menyebabkan korban jiwa.

IV. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN

A. Metode (Teknik, Prosedur, dll)

Teknik pengamatan longsor dapat dilakukan dengan cara sederhana dari menggunakan

tali klaim plastik, kemudian berkembang menjadi tali sling besi ukuran 3 mm, dan juga

dapat dengan alat pengamatan otomatis (extensometer). Alat pemantau longsor akan

memberi kabar lewat SMS pada aparat, pengamat, atau petugas jika rekahan lebih dari 10

cm (tergantung pengaturan kita). Tapi masyarakat lebih mudah dan murah dengan tali sling

dan bandul untuk mengetahui terjadinya longsor atau tidak. Untuk tanah yang bergerak

maka bandul akan naik dan jika tanah atas yang bergerak maka bandul akan menurun.

B. Input Kebijakan

Antisipasi daerah yang rawan longsor juga dilihat satu kesatuan sistem DAS untuk

diketahui masyarakat secara terpadu, holistik dan terintegrasi. Kondisi penggerusan tebing

atau erosi tebing sungai yang banyak meander dan aliran dendritik seperti cabang pohon

yang mudah dihantam oleh arus pada daerah kelokan merupakan daerah yang berpotensi

longsor sebagai streambank erosion. Penutupan lahan yang membebani tanah yang sudah

berpotensi longsor akan mempercepat terjadinya longsor misalnya tanaman yang tinggi

dan perkarannya tidak dalam dan tidak mempunyai banyak akar serabut, seperti Sengon

dan Akasia. Masyarakat di Banjarnegara sudah mengalihkan tanaman Salak dan Kapologo,

sedangkan di Gombong dengan tanaman Sengon, Kelapa dan Pinus, dan di Purworejo

dengan berbagai macam tanaman buah-bahan seperti durian, manggis. Perakaran vertikal

atau akar tunggang dari bibit yang berasal dari biji membantu kestabilan tanah.

Page 223: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 61

Perbandingan volume akar dengan volume batang harus sebanding, sebab jika volume

batang lebih besar maka tanaman akan mudah tumbang.

Penguatan tanah dapat juga dilakukan untuk daerah longsor yang tidak dilewati sesar,

yaitu dengan sering menambahkan pupuk organik dan memperbanyak tanaman bawah.

Hal tersebut untuk memperkuat agregat struktur tanah,meningkatkan pori makro dan

mempercepat drainase dan aerasi tanah.

C. Produk (formula, dll)

Koordinasi dengan berbagai pihak yang terkait harus sering dilakukan dari tingkat

kabupaten, kecamatan sampai ke desa. Di tingkat desa didirikan Pos Info untuk memberi

tahu kepada masyarakat jika terjadi longsor, dan juga perlu disosialisasikan kepada

masyarakat lewat pertemuan rutin bulanan. Disamping itu juga untuk pembelajaran kepada

masyarakat upaya mitigasi tanah longsor melalui pengetahuan informasi daerah yang

rawan longsor, dan tanda-tanda awal jika akan terjadi longsor juga upaya mengevakuasi

jika longsor datang secara tiba-tiba.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Metode dan teknik rehabilitasi lahan terdegradasi pada lahan berpotensi longsor yang

efektif dan efisien dengan memilih jenis tanaman yang perakarannya kuat dan menyebar

dan vigor tanaman tidak membebani lahan. Seperti misalnya di daerah Sijeruk

Banjarnegara sudah banyak yang beralih dari tanaman Sengon ke tanaman Salak dan

Empon-empon. Selanjutnya dari hasil penelitian ini disosialisasikan kepada masyarakat

lewat Pos Info yang sudah ditetapkan pada setiap lokasi dan juga telah berkoordinasi

dengan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) setempat yaitu di BPBD

Purworejo, BPBD Kebumen, dan BPBD Banjarnegara. BPBD banyak berharap dari

lembaga penelitian banyak melakukan kegiatan penelitian untuk mendeteksi daerah-daerah

yang berpotensi bencana (kebakaran, longsor, banjir, angin ribut dll). Info keberadaan

tanah berpotensi longsor dimaksudkan untuk mengurangi korban jiwa dan diinformasikan

pada masyarakat sejak awal, yaitu lewat pertemuan rutin warga atau dengan memasang

spanduk dan menunjuk salah satu rumah untuk dijadikan Pos Info (Pusat Informasi dan

Evakuasi).

Beberapa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap longsor antara lain : kondisi tanah,

kemiringan lereng, arah lereng, tekstur tanah, bobot isi, kemasaman tanah, kesuburan

tanah, sesar, struktur, solum, regolith, permeabilitas dan faktor luar terutama hujan dan

gempa bumi. Faktor-faktor yang berpengaruh untuk mitigasi daerah berpotensi longsor

disuatu DAS antara lain: Metode dan teknik rehabilitasi lahan terdegradasi pada lahan

berpotensi longsor yang efektif dengan penanaman jenis tanaman yang memiliki perakaran

kuat dan lebat serta memiliki akar tunjang. Pada lahan dengan regolit yang dalam > 2 m

pada lahan miring dengan dominasi tekstur liat dan kadar lengas tanah yang tinggi

diperlukan tanaman yang tidak berkayu dan membebani tanah seperti tanaman kapulogo,

empon-empon dan rumput gajah.

Dari ketiga lokasi yang berpotensi longsor berurutan dari yang paling berpotensi

adalah Banjarnegara (3,8=agak tinggi), Purworejo (3,6=agak tinggi), dan Gombong

Page 224: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 62

(3,0=sedang). Namun ketiga lokasi ada juga kesamaan antara lain kemiringan lereng yang

curam dan kandungan liat tinggi, dan dilewati sesar.

DAFTAR PUSTAKA

Abramson, L.W., T.S. Lee, S. Sharma, and G.M. Boyce. 1996. Slope Stability and

Stabilization Method. John Wiley & Sons, Inc., NY., 629p

Brook, K.N., P. F. Ffolliott, H.M. Gregersen, and J.K. Thames. 1991. Hydrology and The

Management of Watersheds. Iowa State University Press, Ames, USA.

Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2004. Peta Zona Kerentanan

Gerakan Tanah Jawa Bagian Tengah. Ditjen Geologi dan Sumberdaya Mineral,

Dep. Energi dan Sumberdaya Mineral, Bandung.

DPRRI. 2006. Naskah Akademik RUU Tentang Penanggulangan Bencana. Jakarta.

Hirmawan, F. 1994. Pemahaman Sistem Dinamis Kestabilan Lereng untuk Mitigasi

Kebencanaan Longsor. Makalah Penunjang No. 17 Simposium Nasional

Mitigasi Bencana Alam. Kerjasama F-Geografi UGM-Bakornas Penanggulangan

Bencana, Yogyakarta

Koesmaryono, Y., R. Boer, H. Pawitan, Yusmin dan I. Las. 1999. Pendekatan IPTEK

dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim. Prosiding Diskusi Panel Strategi

Antisipasi Menghadapi Gejala Alam La-Nina dan El-Nino untuk Pembangunan

Pertanian, PERHIMPI-FMIPA IPB-PPTA-ICSA, Bogor.

Murniati, 2010. Arsitektur Pohon, Distribusi perakaran dan Pendugaan Biomassa Pohon

dalam Sistem Agroforestry. Jurnal penelitian Hutan dan Konservasi Alam.

Baltibanghut.P3HKA, vol. VIII no.2 tahun 2010, Bogor.

Tjojudo, S. 1994. Teknik Penentuan Bidang Longsoran. Makalah Penunjang No. 13

Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam. Kerjasama F-Geografi UGM-

Bakornas Penanggulangan Bencana, Yogyakarta.

Permen PU No.22/PRT/M/2007. Pedoman Penataan Ruang. Kawasan Rawan Bencana

Longsor. Departemen Pekerjaan Umum. Dirjen Penataan Ruang. Jakarta.

Permenhut P.22/Menhut-V/2007. PEDOMAN TEKNIS GERAKAN NASIONAL

REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN (GN-RHL/Gerhan). Departemen

Kehutanan dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 22/Menhut-V/2007

Tanggal : 20 Juni 2007.

Page 225: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 63

JUDUL PENELITIAN : UJI COBA JENIS SPESIES TANAMAN DAN MEDIA

TANAM PEMBUNGKUS BENIH UNTUK

AEROSEEDING

PELAKSANA : DEWI ALIMAH, S. Hut., RUSMANA, S. Hut., Drs.

RAHARDYAN NUGRAHA ADI

INSTANSI : BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI KEHUTANAN

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

ABSTRAK

Permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan aeroseeding dalam rangka rehabilitasi

lahan terdegradasi adalah tingkat keberhasilan tumbuh benih yang masih sangat rendah.

Penelitian ini bertujuan mengetahui jenis spesies tanaman dan media pembawa benih yang

cocok digunakan sebagai materi rehabilitasi lahan rawa gambut terdegradasi pada metode

aeroseeding (simulasi), mengetahui pengaruh jenis spesies tanaman dan media pembawa

terhadap tingkat keberhasilan perkecambahan biji dan pertumbuhan anak semaitanaman,

dan mengetahui tingkat keberhasilan aeroseeding pada berbagai tipe vegetasi yang telah

dilakukan di Hutan Kota Palangkaraya (kerjasama dengan Tim Pokja Kalteng). Penelitian

ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 (dua) perlakuan, yaitu jenis

spesies tanaman endemik lahan rawa gambut dan media pembawa sebagai enkapsulat

benih. Jenis spesies tanaman yang diujicobakan yang terdiri atas 4 (taraf), yaitu jelutung

(Dyera lowii), mandarahan (Knema laurina), gerunggang (Cratoxylon spp.),dan belangeran

(Shorea belangeran) sedangkan media pembawa yang diujicobakan terdiri atas 5 (lima)

taraf, yaitu tanpa media pembawa (kontrol), jiffy pellet, tanah liat, tanah gambut, dan talk

dicampur fungisida. Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah daya berkecambah

benih, pertumbuhan tinggi, diameter batang, persentase hidup, kecepatan berkecambah,

dan kerapatan benih. Hasil menunjukkan bahwa pada penelitian ini belum diketahui jenis

spesies tanaman dan media pembawa yang cocok digunakan sebagai materi rehabilitasi

lahan rawa gambut terdegradasi pada metode aeroseeding (simulasi). Begitu pula dengan

pengaruh keduanya terhadap tingkat keberhasilan aeroseeding.

Kata kunci : aeroseeding, lahan gambut, rehabilitasi, enkapsulasi

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbagai upaya untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis telah dilakukan

pemerintah, salah satunya adalah dengan memanfaatkan teknologi aeroseeding/aerial

seeding. Percobaan aeroseeding merupakan teknologi yang terispirasi dari penyebaran

benih tumbuhan melalui udara dengan bantuan pesawat terbang itu kini terus diintensifkan.

Penggunaan teknologi ini juga dinilai bisa menjadi jalan keluar untuk rehabilitasi lahan di

remote area, yaitu lahan kritis yang sangat sulit dijangkau, terpencil, terisolir, kelerengan

sangat terjal dan lain-lain. Permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan aeroseeding ini

adalah keberhasilan tumbuh benih yang masih sangat rendah. Saat ini tingkat keberhasilan

tumbuh yang ditargetkan oleh Kementerian Kehutanan baru pada kisaran 20% saja. Hal ini

disebabkan terutama oleh kondisi tanah tandus pada lahan kritis yang menghambat proses

perkecambahan biji dan pertumbuhan anak semai tanaman. Keberhasilan aeroseeding

Page 226: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 64

sangat bergantung pada beberapa faktor antara lain kualitas benih, sifat benih (rekalsitran

atau ortodok), dan kondisi lahan. Kondisi lahan yang bervegetasi rapat akan menyulitkan

benih jatuh sampai ke lantai hutan (tanah/gambut) dibanding dengan kondisi vegetasinya

jarang dan pendek (MKI, 2010).

Studi kelayakan aeroseeding di lahan gambut diharapkan dapat membantu mengatasi

masalah persentase tumbuh bijitanaman yang langsung ditanam pada tanah tandus dan

miskin hara. Studi ini dilakukan melalui suatu rangkaian kegiatan percobaan untuk

mengetahui pengaruh jenis spesies tanaman asli yang cocok sebagai materi rehabilitasi

lahan rawa gambut terdegradasi pada metode aeroseeding (simulasi) dan media tanam

sebagai pembungkus benih (enkapsulat) terhadap tingkat keberhasilan perkecambahan biji

dan pertumbuhan anak semai tanaman.

Pada penelitian ini direncanakan uji coba terhadap 4 (empat) jenis benih, yaitu

jelutung (Dyera lowii), mandarahan (Knema laurina), gerunggang (Cratoxylon spp.), dan

belangeran (Shorea belangeran). Jenis-jenis spesies tersebut merupakan jenis tanaman

berkayu yang endemik di areal hutan rawa gambut. Sementara itu, media tanam yang akan

diujicobakan terdiri atas 4 (empat) macam, yaitu jiffy pellet, tanah liat, tanah gambut, dan

talk. Benih dibungkus dengan media tanam yang dibentuk sedemikian rupa dan diberi

bekal nutrisi agar bisa tumbuh. Pembentukan media tanam ini dinilai cocok sebagai media

persemaian benih dan penambahan berat dari media tanam tersebut diyakini bisa

membawa benih yang disebar menerobos alang-alang yang biasanya tumbuh di lahan kritis

serta untuk mencegah serangan hama. Selain itu, penelitian tentang studi kelayakan

hydroseeding/aeroseeding di lahan gambut juga bekerjasama dengan Tim Pokja Kalteng

dalam melakukan pengamatan dan pendataan hasil aeroseeding yang telah dilakukan oleh

tim tersebut di Hutan Kota Palangkaraya.

B. Tujuan dan Sasaran

Tujuan penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui jenis spesies tanaman dan media tanam yang cocok digunakan

sebagai materi rehabilitasi lahan rawa gambut terdegradasi pada metode aeroseeding

(simulasi).

2. Untuk mengetahui pengaruh jenis spesies tanaman dan media tanam terhadap tingkat

keberhasilan perkecambahan biji dan pertumbuhan anak semai tanaman.

3. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan aeroseeding pada berbagai tipe vegetasi yang

telah dilakukan di Hutan Kota Palangkaraya (kerjasama dengan Tim Pokja aeroseeding

Palangkaraya).

Sasaran penelitian adalah:

1. Diperoleh data dan informasi jenis spesies tanaman dan media tanam sebagai

pembungkus (enkapsulat) benih yang cocok digunakan sebagai materi rehabilitasi

lahan rawa gambut terdegradasi pada metode aeroseeding (simulasi).

2. Diperoleh data dan informasi pengaruh jenis spesies tanaman dan media tanam

terhadap tingkat keberhasilan perkecambahan biji dan pertumbuhan anak semai

tanaman.

Page 227: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 65

3. Diperoleh data dan informasi tingkat keberhasilan aeroseeding pada berbagai tipe

vegetasi (kerjasama dengan Tim Pokja aeroseeding Palangkaraya)

II. METODE PENELITIAN

Orientasi dan Penetapan Lokasi. Lokasi plot penelitian yang dipilih dan menjadi

prioritas dalam penelitian ini adalah lahan rawa gambut terdegradasi berat yaitu

bervegetasi ringan (jarang) dan pendek (<2 m) yang didominasi oleh jenis pakis

(Nephrolepis bisserata) dan/atau kalakay (Stenochlaena polustris) dan lahan-lahan yang

sering terjadi kebakaran tahun sebelumnya dengan kondisi vegetasinya pendek atau tanpa

vegetasi.

Pengadaan dan Seleksi Benih (biji) Tanaman. Benih tanaman untuk uji coba teknik

aeroseeding diperoleh melalui pembelian benih kepada masyarakat atau pedagang dengan

syarat benih tersebut memiliki viabilitas tinggi (>70%). Benih diperoleh dalam bentuk

buah dan dilakukan ekstraksi sesuai karakter dan diseleksi berdasarkan kondisi fisiknya.

Benih yang bernas/berisi saja yang digunakan untuk uji coba ini sedangkan benih hampa

dan sampah benih (kulit, tangkai) dibuang.

Perlakuan Benih dan Simulasi Penyebaran. Benih dibungkus dengan media tanam

berupa jiffy pellet, tanah liat, tanah gambut, dan talk hingga berbentuk sedemikian rupa

seperti bola kecil berukuran diameter ± 2–3 cm dan kemudian dikeringkan (jika basah).

Simulasi penaburan dilakukan dengan cara dilempar pada lahan yang telah ditetapkan

sesuai perlakuan uji jenis.

Pengamatan dan Pengukuran. Pengamatan dan pengukuran dilakukan di lapangan dan di

laboratorium, yaitu sebagai berikut :

a. Pengamatan dan Pengukuran di Lapangan. Data dikumpulkan melalui pengamatan dan

pengukuran terhadap contoh uji pengamatan setiap perlakuan yang ditunjuk secara

random dengan luas 1 m x 1 m sebanyak 4 kali. Parameter yang diukur adalah daya

kecambah benih, pertumbuhan tinggi, diameter batang dan persentase hidup serta

kerapatan benih tumbuh yang ditebar.

b. Pengamatan dan Pengukuran di Laboratorium. Pengamatan dan pengukuran yang

dilakukan di laboratorium ini terdiri atas 2 (dua) pengujian, yaitu pengujian kadar air

benih dan pengujian daya perkecambahan.

Kajian Aeroseeding di Hutan Kota Palangkaraya. Kajian dilakukan terhadap

keberhasilan aeroseeding yang telah dilakukan oleh Tim Pokja Kalteng yang dikelola oleh

BUMS PT. Hutan Amanah Lestari, Universitas Hasanudin Makasar, Universitas

Palangkaraya, Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Balai Perbenihan Tanaman

Hutan (BPTH) Kalimantan, dan Pemerintah Kota Palangkaraya. Pengumpulan data

dilakukan dengan cara diskusi dan mempelajari hasil laporan Tim Pokja tersebut.

III. HASIL YANG DICAPAI

Plot penelitian ini berlokasi di lahan milik penduduk Desa Tumbang Nusa, tepatnya di

Page 228: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 66

tepi jalan raya antar provinsi Kalimantan Tengah – Kalimantan Selatan. Plot ini terdiri atas

6 petak dengan ukuran 50 x 40 m memanjang ke belakang seluas 1,2 ha. Di dalam plot

banyak dijumpai Acacia mangium dan beberapa tumbuhan bawah seperti pakis/kelakai,

karamunting, bejakah, dan purun.

Pada penelitian ini telah dilakukan pengamatan dan pengukuran di lapangan terhadap

ballseed (benih yang dibungkus media tanam) yang berumur 2 (dua) minggu sejak ditabur.

Hasil pengamatan persentase tumbuhpada uji jenis dan berbagai media tanam pembungkus

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Persentase tumbuh pada uji jenis dan berbagai media tanam pembungkus benih untuk eroseeding

umur 2 (dua) minggu

Jenis Ulangan (N) Gambut Tanah Liat Jiffy Pellet Talk Kontrol

Jelutung 6 0 0 - 0 0

Gerunggang 6 0 0 - 0 0

Mandarahan 6 - - - - -

Belangeran 6 - - - - -

Dari Tabel 1 di atas diketahui bahwa di plot aeroseeding umur 2 (dua) minggu

dihitung sejak penaburan belum dijumpai perkecambahan biji. Kondisi tersebut terjadi

pada biji jelutung dan gerunggang baik yang dibungkus dengan tanah gambut, tanah liat,

maupun talk. Begitu halnya dengan kontrol (biji tanpa pembungkus), dimana biji jelutung

dan gerunggang setelah dua minggu ditabur belum menunjukkan adanya perkecambahan.

Pada penelitian ini perlakuan pembungkusan biji dengan jiffy pellet tidak jadi

dilaksanakan. Hal ini dikarenakan tidak tersedianya produk jiffy pellet di pasaran lokal

sehingga harus impor. Selain itu, harga produk dan biaya impor barang termasuk mahal.

Jadi, dapat dikatakan bahwa perlakuan pembungkusan biji dengan jiffy pellet ini cenderung

kurang ekonomis jika dilaksanakan. Begitu pula dengan biji untuk jenis mandarahan yang

tidak bisa diadakan. Dari hasil survei diketahui bahwa biji mandarahan ini sulit untuk

diperoleh karena pada tahun 2012, vegetasi jenis ini tidak mengalami musim buah.

Sementara itu, benih/biji belangeran yang diperoleh viabilitasnya sudah tidak bagus lagi

untuk ditanam sehingga tidak dilakukan penelitian pada aeroseeding di tahun 2012. Kadar

air biji jelutung dan gerunggang berturut-turut adalah sebesar 8,13% dan 12,48%.

Uji jenis dan formula pembungkus aeroseeding tim pokja Kalteng di Palangkaraya

dilakukan terhadap 9 (sembilan) jenis spesies tanaman yaitu pasir-pasir, asam-asam, tumih,

gerunggang, sengon, bungur, dan galam. Untuk formula pembungkusnya berupa tanah liat,

gambut, dan pupuk kandang.Persentase tumbuh benih aeroseeding yang telah dilakukan

oleh Tim Pokja Kalteng dapat dilihat pada Tabel 2.

Dari Tabel 2 diketahui bahwa biji galam memiliki persentase tumbuh paling tinggi

bila dibandingkan dengan spesies lainnya. Persentase tertinggi ini terutama dimiliki oleh

biji galam yang dibungkus dengan formula media tanam berupa pupuk kandang sebesar

71,8%. Namun secara kseseluruhan baik biji galam yang dibungkus dengan formula pupuk

kandang, tanah liat maupun gambut cenderung memberikan persentase tumbuh yang lebih

tinggi bila dibandingkan dengan biji dari jenis spesies lainnya.Sementara itu, persentase

Page 229: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 67

tumbuh paling rendah dijumpai pada jenis pasir-pasir, asam-asam, dan sungkai, dimana

ketiganya memberikan persentase tumbuh biji sebanyak 0%.

Tabel 2. Persentase tumbuh uji jenis dan formula pembungkus hasil aeroseeding kerjasama tim pokja

kalteng di palangkaraya umur 8 (delapan) minggu

No. Jenis Jumlah

Biji

Formula Pembungkus Kontrol

Tanah Liat Gambut Pupuk Kandang

Σ % Σ % Σ % Σ %

1 Pasir-pasir (stek) 500 0 0 0 0 0 0 0 0

2 Asam-asam (stek) 500 0 0 0 0 0 0 0 0

3 Sungkai (stek) 600 0 0 0 0 0 0 0 0

4 Tumih 500 3 0,6 2 0,4 1 0,2 2 0,4

5 Gerunggang 500 8 1,6 11 2,2 1 0,2 7 1,4

6 Sengon 500 3 0,6 20 4 4 0,8 17 3,4

7 Pulai 500 19 3,8 8 1,6 16 3,2 0 0

8 Bungur 500 9 1,8 6 1,2 3 0,6 8 1,6

9 Galam 500 94 18,8 57 11,4 359 71,8 10 2

Tingginya persentase pertumbuhan biji (perkecambahan biji) pada galam dikarenakan

oleh adanya sifat dari spesies itu sendiri yang sangat cocok tumbuh di lingkungan tanah

rawa gambut yang memiliki tingkat keasaman yang cukup tinggi. Diketahui pula bahwa

galam merupakan salah satu jenis tanaman berkayu yang endemik di areal hutan rawa

gambut. Adanya tambahan pupuk kandang sebagai media pembungkus biji menjadikan

persentase pertumbuhan biji galam semakin tinggi.Kandungan unsur haranya yang lengkap

seperti natrium (N), fosfor (P), dan kalium (K) membuat pupuk kandang cocok untuk

dijadikan sebagai media tanam.Unsur-unsur tersebut penting untuk pertumbuhan dan

perkembangan tanaman.Selain itu, pupuk kandang memiliki kandungan mikroorganisme

yang diyakini mampu merombak bahan organik yang sulit dicerna tanaman menjadi

komponen yang lebih mudah untuk diserap oleh tanaman.

Sementara itu, untuk jenis biji seperti sengon, pulai, bungur, dan lainnya meskipun

memberikan persentase pertumbuhan, namun nilainya masih cukup rendah. Hal ini bisa

dikarenakan biji dari jenis di atas mempunyai struktur kulit biji yang keras sehingga

diperlukan pelunakan kulit biji (stratifikasi) sebelum dikecambahkan supaya air mudah

menembus kulit biji sehingga benih cepat berkecambah.Ketidaksesuaian lingkungan

tempat tumbuh juga mampu mempengaruhi rendahnya persentase pertumbuhan biji.

Seiring berjalannya waktu dimungkinkan pertumbuhan biji akan terus bertambah sehingga

perlu dilakukan monitoring dan evaluasi lebih lanjut.

IV. KESIMPULAN

Pada penelitian ini belum diketahui jenis spesies tanaman dan media tanam yang

cocok digunakan sebagai materi rehabilitasi lahan rawa gambut terdegradasi pada metode

aeroseeding (simulasi). Begitu pula dengan pengaruh keduanya terhadap tingkat

keberhasilan aeroseeding.

Pada kajian aeroseeding yang telah dilakukan oleh Tm Pokja Kalteng di Palangkaraya

diketahui bahwa benih galam memiliki persentase tumbuh paling tinggi bila dibandingkan

dengan spesies lainnya yaitu sebesar 71,8% dengan media tanam berupa pupuk kandang.

Page 230: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 68

Lampiran

.

Gambar 1.

Plot Aeroseeding 201

Gambar 2.

Pengujian kadar air biji

gerunggang dan jelutung Plot

Aeroseeding 201

Gambar 3.

Formula dan hasil

pembungkusan benih dengan

media tanam

Gambar 4.

Pembuatan ballseed

Gambar 5.

Pengamatan aeroseeding

Page 231: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 69

JUDUL PENELITIAN : KAJIAN DAMPAK PENANAMAN JENIS PENGHASIL

KAYU TERHADAP TATA AIR

PELAKSANA : Drs. RAHARDYAN NUGROHO ADI, DIAN CAHYO

BUWONO

INSTANSI : BALAI PENELITIAN KEHUTANAN BANJARBARU

KALIMANTAN SELATAN

ABSTRAK

Hutan tanaman berupa jenis-jenis tanaman penghasil kayu yang ditanam dalam skala

luas memiliki dampak terhadap lingkungan khususnya tata air. Dari aspek lingkungan,

hutan tanaman penghasil kayu akan meningkatkan penutupan lahan oleh tajuk tanaman

sehingga memperkecil resiko terjadinya erosi dan limpasan permukaan dan tajuk tanaman

juga berfungsi untuk menahan pukulan air hujan secara langsung ke permukaan tanah

melalui proses aliran batang (stemflow) dan intersepsi. Penelitian dampak penanaman jenis

penghasil kayu terhadap tata air, dilakukan pada jenis meranti dan atau tanaman kayu

pertukangan jenis nyawai. Pada tahun 2012 ini masih melanjutkan penelitian pada tahun

2012. Metode penelitian erosi dilakukan dengan plot erosi berukuran 22 x 4 meter dan

penelitian tata air (intersepsi, limpasan permukaan dan hasil air) menggunakan mikro DAS

dengan luasan ± 10 Ha yang dilakukan pada jenis meranti. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui kondisi tata air (limpasan permukaan, aliran batang, intersepsi,

evapotranspirasi, hasil air dan kualitas air) dan erosi tanah di bawah jenis tanaman

penghasil kayu jenis meranti.

Kata kunci : tata air, erosi tanah, tanaman peghasil kayu

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada saat ini sedang

mengembangkan beberapa jenis tanaman kayu-kayuan yang merupakan jenis prioritas dan

unggulan di wilayah Kalimantan Selatan. Tujuannya adalah untuk mendukung pelaksanaan

pembangunan hutan tanaman. Namun demikian beberapa jenis kayu yang dikembangkan

oleh BPK Banjarbaru, Kalimantan Selatan belum dilengkapi dengan penelitian yang

mengkaji tentang aspek ekologis dari jenis tanaman kayu tersebut. Lebih khusus lagi,

dalam pengembangan jenis kayu pertukangan perlu didukung dengan data intersepsi, erosi,

limpasan permukaan, evapotranspirasi dan hasil air. Hasil dari kajian ini diharapkan akan

menjadi informasi penting bagi penentu kebijakan, khususnya di bidang kehutanan, yaitu

dalam rangka menunjang program pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan

(sustainable forest management) serta terutama penyediaan kebutuhan air.

B. Tujuan Dan Sasaran

Tujuan penelitian adalah mendapatkan informasi besarnya nilai intersepsi, erosi,

limpasan permukaan, evapotranspirasi dan hasil air jenis tanaman penghasil kayu. Sasaran

kajian adalah tersedianya data intersepsi, erosi, limpasan permukaan, evapotranspirasi dan

hasil air jenis tanaman penghasil kayu.

Page 232: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 70

Lubang pembuang

an

Lubang pembuangan

Selang plastik

Lubang pembagi

Drum II

Petak ukur erosi : 22 x 4 m

II. METODE PENELITIAN

Untuk memudahkan pengamatan di lapangan, masing-masing parameter yang diamati,

plot pengamatannya ditempatkan pada lokasi yang sama atau paling tidak berdekatan satu

sama lain.

Untuk pengamatan intersepsi dilakukan pada tegakan meranti alam di lokasi

penelitian. Pengamatan dilakukan pada 3 (tiga) tegakan meranti alam yang telah dewasa

dan mempunyai diameter batang yang hampir sama dan dipilih secara purposif di lokasi

penelitian. Pengamatan aliran batang dilakukan dengan menampung aliran air dari batang

pada masing-masing tegakan. Kemudian untuk pengamatan air lolos dilakukan dengan

menampung air lolos tersebut dengan kolektor yang ditempatkan secara purposif di bawah

masing-masing tegakan. Disamping itu dilakukan juga deskripsi secara detail terhadap

tegakan yang diamati aliran batang dan air lolosnya.

Gambar 1. Plot Pengamatan Aliran Batang dan Air Lolos

Kemudian untuk pengamatan erosi dan limpasan permukaan dilakukan dengan

menggunakan plot erosi ukuran standar (22 x 4 meter) yang dilengkapi dengan bak

penampung. Penempatan plot erosi dilakukan pada jalur tanaman meranti yang ditanam

dengan metode silin. Plot erosi ditempatkan pada 2 jalur tanaman meranti yang ditanam

dengan metode silin dengan kemiringan lereng dan penutupan lantai hutan yang berbeda.

Gambar 2. Desain Pengkuran Erosi dan Limpasan Permukaan

Drum I

Page 233: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 71

Selanjutnya untuk pengamatan hasil air dilakukan dengan pendekatan mikro DAS

dengan luasan 10 - 20 ha. Pengamatan hasil air dilakukan dengan menggunakan stasiun

pengamat aliran sungai (SPAS) yang dilengkapi dengan AWLR (Automatic Water Level

Recorder). Tipe SPAS yang digunakan dalam pengamatan ini adalah V-Notch Wier

dengan sudut 90° yang dilengkapi dengan pemantau tinggi muka air otomatis berupa

logger.

Gambar 3. SPAS Tipe V-Notch Weir sudut 90°

Untuk pengamatan evapotranspirasi dilakukan dengan menggunakan lisismeter (4 x 4

x 2 meter). Lisimeter akan dibuat sebanyak 2 buah, 1 buah akan ditanami dengan jenis

meranti, dan 1 buah lagi akan dibiarkan kosong untuk kontrol. Parameter yang diamati

adalah curah hujan, tinggi muka air pada kolektor penampung limpasan permukaan, dan

tinggi muka air pada kolektor penampung aliran dasar.

Gambar 4. Lisimeter

Kemudian juga dilakukan pengambilan sampel tanah pada daerah tangkapan air sungai

Jupoi yang diamati hasil airnya. Pengambilan sampel tanah dilakukan secara purposif

sebanyak delapan (8) sampel. Di samping itu juga dilakukan pengukuran infiltrasi dengan

menggunakan double ring infiltrometer pada jalur silin, di bawah tegakan meranti.

Selanjutnya untuk analisis parameter-parameter hidrologi yang akan diteliti dilakukan

dengan prosedur sebagai berikut :

1) Perhitungan volume aliran batang dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai

berikut:

Sfi = Vi/li ( cm) = Vi /li (cm) x 10 (mm) ..................................... (1)

Page 234: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 72

Keterangan:

Sfi = tinggi aliran batang ke-i (mm)

Vi = volume aliran batang ke-i (cm3)

Li = Luas tajuk pohon ke-i (cm2) (Arrijani, 2006)

2) Volume curahan tajuk yang tertampung selanjutnya dikonversi ke dalam satuan mm

dengan persamaan sebagai berikut:

Sfi = Vi/li ( cm) = Vi /li (cm) x 10 (mm) ..................................... (2)

Keterangan:

Tfi = Tinggi curahan tajuk ke-i (mm)

Vi = Volume curahan tajuk ke-i (cm3)

Li = Luas penampungan ke-i (cm2) (Arrijani, 2006)

3) Pengukuran aliran permukaan :

Pengukuran limpasan permukaan dan dilakukan dengan mengukur ketinggian air yang

berada dalam drum kolektor dengan menggunakan meteran kayu dalam satuan cm.

Dari kedalaman air tersebut dapat diketahui volume airnya dengan persamaan :

V = A x D ............................... (3) Keterangan :

V = volume air dalam drum (cm3)

D = kedalaman air dalam drum (cm)

A = luas penampang drum (cm2)

Volume air dalam drum II juga diukur seperti drum I, kemudian dari hasil pengukuran

akan diperoleh hasil berupa volume total dengan persamaan sebagai berikut :

Vt = V1 + ( n x V2) .............................. (4)

Keterangan :

Vt = volume air total

V1 = volume air pada drum I (pertama)

V2 = volume pada drum II (kedua)

n = jumlah lobang pada drum I (pertama) , sebanyak 12 buah

Hasil pengukuran aliran permukaan didapatkan volume total dan kemudian dikonversi

ke dalam satuan m3/ha/bulan.

4) Pengukuran tanah yang tererosi

Penentuan berat tanah tererosi yang dilakukan dengan cara mengambil contoh air dari

drum I dan II untuk setiap perak ukur dengan terlebih dahulu mengaduk seluruh isi

drum sampai homogen, kemudian contoh air disaring dengan menggunakan kertas

saring yang telah diketahui berat keringnya. Kertas saring berserta endapannya

kemudian dioven pada suhu 105oC sampai konstan, kemudian ditimbang. Berat tanah

tererosi adalah:

Wtc = W1 + W2 ................................ (5) Keterangan:

Wtc = berat tanah tererosi (g)

W1 = berat tanah dalam drum I

W2 = berat tanah dalam drum II

W1 atau W2 = Vd / Vs x (Wkse – Wks)

Vd = volume air dalam drum (liter)

Vs = volume air yang tersaring (liter)

Wkse = berat kertas saring beserta endapan (g)

Wks = berat kertas saring (g)

Page 235: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 73

5) Pengukuran evapotranspirasi dilakukan dengan menggunakan lisimeter berukuran 4 x 4

x 2 meter. Prinsip menghitung evapotranspirasi dengan lisimeter adalah dengan

menghitung curah hujan dikurangi rembesan ke dasar ditambah air yang mengalir di

permukaan lisimeter, kelembaban tanah, dan evaporasi. Dalam bentuk matematis

ditulis sebagai berikut

E = I – O S Keterangan :

E = evapotranspirasi (mm)

I = inflow, adalah curah hujan (mm)

O = outflow, adalah air yang meresap dan air yang mengalir di permukaan Lisimeter (mm)

S = kelembaban tanah dalam lisimeter

Atau :

E = P – (R1 + R2) S Keterangan :

P = curah hujan (mm)

R1 = aliran diatas permukaan lisimeter (mm)

R2 = air yang meresap di dasar lisimeter (mm)

6) Pengukuran laju infiltrasi dilakukan dengan menggunakan double ring infiltrometer.

Infiltrasi yang diukur adalah laju infiltrasi rata-rata dalam satuan volume/luas/waktu

(ml/cm2/menit).

7) Sampel tanah yang diambil selanjutnya dianalisis di laboratorium untuk mengetahui

sifat fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian.

III. HASIL YANG DICAPAI

A. Erosi dan Limpasan Permukaan

Tabel 1. Erosi tanah pada Plot I Tabel 2. Erosi tanah pada Plot 2

No Bulan Berat Erosi Tanah

(kg/ha/bln)

No Bulan

Berat Erosi Tanah

(kg/ha/bln)

1 Desember 2011 0,01 1 Desember 2011 0,03

2 Januari 0,09 2 Januari 0,06

3 Februari 0,09 3 Februari 0,07

4 Maret 0,16 4 Maret 0,08

5 April 0,21 5 April 0,09

6 Mei 0,12 6 Mei 0,03

7 Juni 0,03 7 Juni 0,03

B. Intersepsi

Tabel 3. Air lolos (Trough fall)

No. Bulan

Paralon A Paralon B Paralon C

Rata-rata Rata-rata Rata-rata

Vol (cm3) TF (mm) Vol (cm

3) TF (mm) Vol (cm

3) TF (mm)

1 Desember 2011 746, 25 16,90 1.083,75 24,25 1.241,00 28,10

2 Januari 1.178,40 26,64 1.508,75 34,17 1.395,00 31,59

3 Februari 1.204,42 27,28 1,273,25 28,84 1.391,60 31,52

4 Maret 2.059,40 46,64 2.491,25 56,42 2.446,00 55,39

5 April 2.305,15 52,20 2.615,00 59,22 2.446,00 55,85

6 Mei 1.234,35 27,95 1.341,25 30,38 1.299,00 29,42

7 Juni 1.086,80 24,61 1.228,75 27,83 1.235,00 27,97

Page 236: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 74

Tabel 4. Aliran batang (Stem flow)

No. Bulan

Paralon A Paralon B Paralon C

Rata-rata Rata-rata Rata-rata

Vol (cm3) TF (mm) Vol (cm

3) TF (mm) Vol (cm

3) TF (mm)

1 Desember 2011 8.470 0,02 15.890 0,02 7.369 0,01

2 Januari 8.510 0,02 18.670 0,02 9.615 0,02

3 Februari 8.750 0,02 16.205 0,02 8.595 0,02

4 Maret 22.055 0,04 40.320 0,05 36.350 0,07

5 April 28.750 0,62 38.265 0,05 36.310 0,08

6 Mei 7.575 0,02 21.125 0,03 13.590 0,03

7 Juni 10.170 0,02 15.600 0,02 12.275 0,02

C. Hasil Air

Tabel 5. SPAS Jupoi

No Bulan Debit (ltr/detik)

1 Desember 2011 13,21

2 Januari 265,99

3 Februari 191,38

4 Maret 400,80

5 April 582,18

6 Mei 93,27

7 Juni 105,58

D. Evapotranspirasi

Untuk pengamatan evapotranspirasi baru dilaksanakan pada tahun anggaran 2013

sehingga hasil pada tahun 2012 adalah pembuatan sarana pengamatan (lysimeter) dan

penanaman jenis meranti di dalam lysimeter.

E. Infiltrasi

Titik

Sampel

Infiltrasi awal

(f0) (cm)

Infiltrasi

konstan (ft)

(cm)

W (menit

1 0,29 0,29 20

2 0,1 0,10 23

3 1,52 1,52 23

4 1 1,00 16

5 2 2,00 19

6 0,3 0,03 26

F. Sampel Tanah

Hasil analisis sampel tanah belum dapat disampaikan karena sampel belum selesai

dianalisis di laboratorium. Perkiraan hasil analisis sampel tanah selesai pada akhir

bulan januari 2013 sehingga hasil analisis sampel tanah baru akan disampaikan pada

laporan lengkap kegiatan penelitian.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Hasil sementara sampai dengan akhir kegiatan tahun 2012 adalah sebagai berikut :

- Hasil perhitungan erosi dan limpasan permukaan di kedua plot pengamatan nilainya

relatif kecil namun demikian masih perlu dibandingkan dengan nilai erosi yang

Page 237: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 75

diperkenankan di lokasi penelitian.

- Beitu juga untuk hasil perhitungan intersepsi pada jenis meranti di lokasi penelitian

juga nilainya relative kecil.

- Untuk perhitungan laju infiltrasi pada jalur silin belum dapat tersaji lengkap karena

perhitungan kapasitas infiltrasi belum dapat dilaksanakan karena hasil analisis

sampel tanah belum selesai dilakukan.

Page 238: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 76

Page 239: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 77

JUDUL PENELITIAN : TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT

(Keberhasilan Pertumbuhan Tanaman di Areal

Rehabilitasi Lahan Gambut di Kalimantan Tengah,

Kondisi Biofisik Lahan Gambut Setelah Penabatan Kanal

di Taman Nasional Sebangau)

PELAKSANA : BINA SWASTA SITEPU, S.Hut

INSTANSI :

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengelolaan lahan gambut meliputi pemanfaatan dan perlindungan lahan gambut.

Setelah berlangsung sekian lama pemanfaatan lahan gambut ternyata menimbulkan

kerusakan pada ekosistem lahan gambut. Akibat pembukaan areal gambut dan pembuatan

saluran-saluran pada areal gambut, terjadi penurunan muka air tanah gambut dan

kedalaman gambut secara drastis dan menimbulkan dampak yang serius bagi daur

ekosistem yang selama ini sudah terjaga dan menjaga dengan baik (Suryadiputra et al.,

2005).

Kerusakan ekosistem lahan gambut tanpa disadari menimbulkan bahaya yang tidak

sedikit. Pelepasan gas rumah kaca, hilangnya sumberdaya hayati dan terganggunya sistem

hidrologi yang menyebabkan banjir merupakan beberapa akibat dari kerusakan lahan

gambut (Las et al., 2009). Sebagai upaya perbaikan lahan gambut terdegradasi dilakukan

kegiatan penanaman jenis-jenis tumbuhan asli lahan gambut dan penabatan

(pembendungan) saluran-saluran air buatan.

Lahan gambut yang memiliki karakteristik unik, akan membutuhkan perlakuan khusus

pada setiap sifat lahannya. Untuk kegiatan rehabilitasi di lahan gambut, ketebalan gambut

yang sangat bervariasi, kondisi dan kematangan gambut serta sistem hidrologi akan

memberikan perlakuan yang bermacam-macam dalam pemilihan jenis, teknik penyiapan

lahan serta teknik penanaman maupun pemeliharaannya (Daryono, 2005; Wibisono et al.,

2005). Selain itu, kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar lahan gambut juga dapat

memberikan kontribusi terhadap keberhasilan rehabilitasi (Subagyo et al., 2003).

Kegiatan rehabilitasi di lahan gambut yang telah dilaksanakan tercatat di Kalimantan

Tengah, Sumatera Selatan dan Jambi (Rachmanadi et al., 2002, Wildlife Habitat Canada,

2004, Falah et al., 2004, , Dohong, 2006 ). Namun belum diketahui status keberhasilan dari

setiap lokasi rehabilitasi tersebut.

Salah satu upaya perbaikan ekosistem gambut yang dilakukan adalah penabatan

(pembendungan) kanal atau saluran air pada lahan gambut. Tujuan dari penabatan ini

adalah mencegah limpasan air secara langsung dari lahan gambut ke sungai atau badan air

alami lain yang menjadi tempat pengeluaran air. Diharapkan setelah kanal ditabat, tinggi

muka air permukaan di lahan gambut akan naik sehingga gambut tetap basah dan

mengurangi subsidensi.

Penabatan kanal di lahan gambut telah dilakukan di Sumatera dan Kalimantan

(Suryadiputra, et al, 2005). Salah satu areal yang di tabat adalah saluran eks HPH PT.

Page 240: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 78

Sanitra Sebangau Indah (SSI), di Taman Nasional Sebangau. Namun masih minim sekali

didapatkan informasi biofisik lahan gambut di lokasi tersebut setelah kegiatan penabatan.

Di lokasi lain, kegiatan penabatan diketahui memberikan dampak positif terhadap tinggi

muka air permukaan dan kualitas air (Istomo, et al, 2007).

Untuk itu penelitian tentang pengelolaan lahan gambut, khususnya pada lahan gambut

terdegradasi dengan mengambil fokus pada keberhasilan petumbuhan tanaman rehabilitasi

dan kondisi biofisik lahan gambut setalah penabatan kanal perlu dilakukan untuk

mendukung managemen pengelolaan lahan gambut.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi pengelolaan lahan

gambut, khususnya data keberhasilan pertumbuhan tanaman di lahan gambut dan informasi

kondisi biofisik lahan gambut setelah penabatan kanal.

II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT DENGAN JUDUL

PENELITIAN

A. Identifikasi Regulasi yang Ada

Instruksi Presiden RI No. 2 Tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan

Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.

B. Analisis Kebutuhan Penelitian

-----

III. SINTESIS HASIL PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Waktu Penelitian. Penelitian dilaksanakan dari tahun 2011-2013

Lokasi. Penelitian dilaksanakan di Kalimantan Tengah, khususnya di daerah eks PLG 1

juta hektar ( Kab. Kapuas, Kab. Pulang Pisau, Taman Nasional Sebangau)

Rancangan Penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan metode survey di areal lahan

gambut terdegradasi. Untuk keberhasilan pertumbuhan tanaman dilakukan dengan metode

survei tanaman di areal rehabilitasi lahan gambut. Dibuat plot-plot pengamatan berukuran

20 m x 50 m pada areal rehabilitasi lahan gambut. Parameter yang diukur dari tanaman

adalah daya hidup dan kondisi pertumbuhan tanaman berupa diameter dan tinggi tanaman.

Untuk kondisi biofisik lahan gambut setelah penabatan, dibuat titik –titik pengamatan

tinggi muka air tanah, sifat fisik gambut dan penutupan vegetasi.

B. Hasil

1. Keberhasilan pertumbuhan tanaman di areal rehabilitasi lahan gambut

Dari 7 lokasi rehabilitasi lahan gambut, didapatkan hasil sebagai berikut :

No

Plot Desa Jenis Tanaman

Penambahan

zat kimia

Perbaikan

Tapak

Persen

hidup

MAI

Diameter

(cm)

MAI

Tinggi

(m)

1 Gohong Shorea balangeran Urea Guludan 20.65 1.55 0.91

Page 241: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 79

No

Plot Desa Jenis Tanaman

Penambahan

zat kimia

Perbaikan

Tapak

Persen

hidup

MAI

Diameter

(cm)

MAI

Tinggi

(m)

2 Sebangau

Permai Shorea balangeran Urea Tidak ada 85.53 1.01 0.76

3 Lunuk Ramba 1 Dyera lowii Kapur + Guludan 91.31 1.99 1.12

4 Lunuk Ramba 2

Dyera lowii,

Durio sp.,

Hevea Brasiliensis

Kapur Gundukan 78.94

1.7

2.74

2.05

1.07

1.84

1.18

5 Tambun Raya Hevea brasilensis Kapur Gundukan 45.47 1.98 1.75

6 Pulau Kupang Paraserianthes

falcataria Urea Guludan 76.64 3.1 4.3

7

Resort Mangkok

Taman Nasional

Sebangau

Dyera lowii

Shorea balangeran Urea Tidak ada 74.37

0,53

0.92

0.50

0.90

Dari data diatas terlihat bahwa lokasi di Gohong dan Tambun Raya memiliki persen

hidup yang paling rendah. Berdasarkan informasi dan pengamatan di lapangan, faktor

penyebab rendahnya nilai persen hidup tanaman Shorea balangeran di desa Gohong

adalah akibat kebakaran yang terjadi pada tahun 2009 akibat kelalaian masyarakat di

sekitar areal rehabilitasi lahan gambut yang membakar sampah tanpa membuat sekat atau

menjaga api agar tidak merambat. Akibat kelalaian ini, api yang membakar sampah

merambat hingga areal rehabilitasi lahan gambut dan membakar tanaman rehabilitasi.

Akibat kebakaran ini, ketebalan lapisan gambut yang sebelumnya mencapai 1 meter, pada

saat pengukuran hanya mencapai 30 cm, bahkan beberapa lokasi pengukuran tidak terdapat

lagi lapisan gambutnya.

Di desa Tambun Raya, rendahnya persen hidup tanaman Hevea brasiliensis

diperkirakan disebabkan oleh pengaruh kondisi asam dan tingginya tekanan dari tanaman

liar terutama Stenochlaena palustris yang mendominasi di areal lokasi. Pada lokasi ini

didapatkan kecenderungan bahwa tanaman yang menggunakan sistem gundukan dan

secara rutin dibersihkan dari tanaman liar menunjukkan persen hidup yang lebih baik.

Namun sebagian besar tanaman yang diamati tidak menggunakan gundukan dan tidak

adanya perlakuan pembersihan dari petani pemilik lahan, hal ini terlihat dari empat plot

yang diambil ada dua plot yang >80 % tanamannya mati semua dan memberikan nilai

persen hidup yang rendah untuk lokasi secara keseluruhan.

Di lima lokasi lainnya, diperoleh nilai persen hidup yang melebihi batas minimum

nilai persen hidup untuk evaluasi keberhasilan kegiatan rehabilitasi yaitu 70%. Kecuali di

Desa Sebangau Permai dan resort mangkok TNS, perlakuan penggunaan gundukan atau

galuran dan pembersihan areal rehabilitasi yang diterapkan memberikan efek postif untuk

nilai persen hidup. Dari wawancara dengan petani pemilik lahan, pembuatan gundukan

dilakukan sebelum dilakukan penanaman dan pembersihan dilakukan minimal 1 tahun

sekali dengan menggunakan sistem mekanis atau kimia.

Untuk desa Sebangau Permai dan Resort Mangkok, TNS, pemilihan jenis S.

balangeran yang asli tanaman rawa gambut memberikan daya tahan terhadap kondisi asam

dan periode banjir yang menjadi ciri khas lahan gambut. Selain itu, lokasi areal rehabilitasi

yang jauh dari pemukiman dan areal pertanian masyarakat menurunkan resiko kebakaran

Page 242: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 80

yang disebabkan oleh kelalaian manusia, hal ini terlihat sejak tahun penanaman tidak ada

kebakaran yang terjadi di lokasi kegiatan.

Dari hasil pengamatan, didapatkan jenis Paraserianthes falcataria memiliki diameter

dan tinggi rata-rata tertinggi serta MAI terbesar walaupun umurnya baru 2 tahun tanam.

Hal ini sesuai dengan sifat jenis tersebut yang termasuk dalam kelompok jenis cepat

tumbuh. Nilai pertumbuhan ini juga masih lebih baik dibandingkan dengan hasil penelitian

Purwanto dkk (2003) di desa sungai Pantai, kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan

yang memiliki kondisi mirip pada umur 5 tahun, namun diameter rata-rata + 10 cm dan

tinggi 5,7 meter. Walaupun demikian, dari syarat tempat tumbuh yang ditetapkan bagi

sengon menurut Beccking (1944) dalam Alrasyid (1979), Sengon sebenarnya memiliki

keterbatasan pada areal yang memiliki permukaan air tanah dangkal atau tergenang dan

keasaman <5. Hal ini berlawanan dengan kondisi di lapangan yang memiliki periode banjir

dan tinggi muka air tanah yang dapat mencapai 0,1 cm dari permukaan tanah. Selain itu

pada beberapa lokasi di Kelurahan Pulau Kupang ditemukan kondisi keasaman tanah (pH)

kurang dari 5 (4, 80).

Jenis Hevea brasiliensis merupakan salah satu jenis tanaman pilihan masyarakat dalam

kegiatan rehabilitasi di lahan hak. Alasan pemilihan jenis ini dikarenakan manfaat getah

yang dapat disadap oleh petani pemilik lahan untuk pendapatan sehari-hari. Jenis ini di

tanam pada dua lokasi yaitu desa Tambun Raya dan desa Lunuk Ramba. Pertumbuhan

Hevea brasiliensis desa Tambun Raya lebih rendah dibandingkan dengan di desa Lunuk

Ramba. Seperti penjelasan pada persen hidup tanaman, kurangnya perawatan dan teknologi

yang berbeda menyebabkan adanya perbedaan tersebut. Di desa Lunuk Ramba, jenis

Hevea brasiliensis dicampur dengan Dyera lowii dan Durio zibethinus dalam satu

hamparan yang merupakan kegiatan penanaman tanaman model dari BPDAS Kahayan

dengan sistem gundukan atau guludan.

Untuk Jenis Durio zibethinus, informasi yang didapatkan dari petani pemilik lahan dan

petugas dari BPDAS Kahayan menyatakan pertumbuhan jenis ini sangat lambat jika

dibandingkan dengan jenis Hevea brasiliensis dan Dyera lowii dengan perlakuan

perawatan dan teknologi yang sama. Dari 371 individu di lokasi pengamatan, durian hanya

berjumlah 11 buah, dan menunjukkan kecenderungan pertumbuhan tinggi yang melambat

atau stagnan. Bahkan pada jalur tanaman Durio sp. lebih banyak disisip dengan tanaman

Hevea brasiliensis atau Dyera lowii pada awal tahun penanaman. Ketidak sesuaian kondisi

lahan yang masam dan sering tergenang diperkirakan menjadi penyebab rendahnya

pertumbuhan tanaman ini.

Di desa Lunuk Ramba, Nilai MAI diameter jenis Dyera Lowii antara 1,71-1,99 cm

pertahun sama dengan nilai pengamatan dari Bastoni dan Riyanto (1999) dalam Bastoni

dan Lukman (2005) 1,55-2,00 cm/tahun. Sebagai jenis asli di lahan rawa gambut, Dyera

lowii memiliki adaptasi yang baik, dengan kondisi keasaman tanah yang rendah dan

periode banjir tahunan di lahan rawa gambut juga dapat bertahan pada kondisi lahan

terbuka akibat penebangan atau kebakaran. Didesa lunuk ramba juga dilakukan perbaikan

tapak dengan cara membuat guludan pada jalur tanaman. Penggunaan sistem semi intensif

diperkirakan dapat menambah MAI diameter mencapai 2,5 cm/tahun. Namun di Resort

Mangkok, Taman Nasional Sebangau, MAI diameter Dyera lowii hanya mencapai 0.53 cm

pertahun. Hal ini diperkirakan disebabkan kondisi tapak rehabilitasi yang tidak diperbaiki

Page 243: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 81

sehingga pada saat musim banjir yang lama di DAS Sebangau, tanaman menjadi terhambat

pertumbuhannya.

Pertumbuhan jenis Shorea balangeran pada Ketiga lokasi pengamatan yaitu desa

Gohong, Sebangau Permai dan Resort Mangkok, TNS, menunjukkan nilai MAI diameter

yang berbeda. Pengaruh ketebalan dan kematangan gambut diperkirakan memepengaruhi

perbedaan ini. Pada lahan Gambut yang dangkal dan telah matang, diketahui memiliki

unsur hara yang lebih banyak dibandingkan dengan lahan gambut yang tebal dan belum

matang (Wahyunto dkk, 2005). Ini ditunjukkan dengan MAI dan diameter rata-rata di desa

Gohong yang lebih besar daripada di desa Sebangau Permai dan Resort Mangkok, TNS,

yang memiliki kondisi lahan gambut lebih tebal.

2. Kondisi Biofisik lahan gambut setelah penabatan kanal.

Dari pengamatan kematangan gambut, secara umum areal gambut yang berada di

bagian bawah dan di atas tabat memiliki kamatangan hemik dan saprik. Namun di plot

pengamatan terakhir yang paling dekat dengan sungai sebanagau dan paling jauh dari

tabat, memiliki kamatangan gambut tingkat saprik. Ketiadaan lapisan humik yang

ditandakan dengan adanya material serasah atau bagian tumbuhan yang belum terurai

diduga disebabkan oleh minimnya tumbuhan yang hadir di plot pengamatan. Sehingga

material pengisi lapisan gambut juga cenderung sangat sedikit atau mudah terbawa air

pasang ke dan hanyut ke sungai dibandingkan tertahan di lahan gambut dan membentuk

lapisan baru diatas lapisan gambut yang terbakar.

Pengamatan tinggi muka air dilakukan mulai bulan September 2013. Areal bagian atas

tabat memiliki tinggi muka air tanah antara +6,6 s/d – 64,1 cm. Tinggi muka air areal

diatas tabat terpengaruh oleh tinggi rendah air di kanal yang bergantung pada kondisi air di

hulu kanal. Sedangkan bagian bawah tabat selain oleh air di hulu kanal, juga dipengaruhi

oleh kondisi air di sungai Sebangau. Pada bulan Desember, saat musim penghujan, kondisi

tinggi muka air di plot pengamatan yang paling dekat dengan sungai Sebangau mengalami

peningkatan tinggi muka air tanah mencapai + 66,33 cm dan paling rendah adalah -0.7 cm.

Berbeda dengan kondisi plot pengamatan di atas tabat, ketinggian muka air tanah antara

3.67 s/d 32.1 cm di bawah permukaan gambut.

Secara umum, vegetasi penutup areal lahan gambut di bagian atas dan bawah tabat

terlihat berbeda. Dari menara pengamatan di Camp Penelitian SSI, terlihat bahwa areal di

bagian atas tabat memiliki tutupan yang lebih luas dibandingkan di bagian bawah tabat.

Informasi dari Balai Taman Nasional Sebangau, pada awalnya hampir seluruh areal di

sekitar tabat adalah areal bekas kebakaran Tahun 2004. Setelah kebakaran, hanya tersisa

jenis Combretocarpus rotundatus dan Shorea balangeran, khususnya yang terletak di

dekat sungai Sebangau dan beberapa tegakan di tengah areal gambut yang terbakar.

Di atas tabat, hanya ditemui 2 individu tegakan tingkat pohon, yaitu Hopea sp. dan

Diospyros sp., lebih sedikit jika dibandingkan dengan areal di bawah tabat yang diisi oleh

15 individu Shorea balangeran dan 2 individu Combretocarpus rotundatus. Keberadaan

tegakan tingkat pohon yang berbeda ini dikaitkan dengan kondisi areal setelah kebakaran

pada tahun 2004. Shorea balangeran, Combretocarpus rotundatus adalah jenis yang

mampu bertahan hidup setelah kebakaran tahun 2004. Sedangkan di bagian atas tabat yang

jauh dari sungai kedua jenis ini sangat miskin, khususnya pada tingkat pohon. Tingkatan

Page 244: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 82

tegakan yang mendominasi di areal lahan gambut bagian atas tabat adalah tingkatan

pancang dengan 26 jenis dan tiang dengan 12 jenis. Sedangkan di bawah tabat hanya

ditemukan 7 jenis tegakan tingkat pancang dan 2 jenis tegakan tingkat tiang. Keberadaan

habitat lahan gambut yang masih di belakang areal bekas kebakaran (+ 300 m dari tepi

kanal di atas tabat) juga memberikan pengaruh terhadap keragaman jenis, berbeda dengan

dibawah kanal yang relatif terbuka dan jauh dari areal lahan gambut yang masih baik.

IV. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN

A. Metode (Teknik, prosedur, dll)

Pemilihan jenis untuk kegiatan rehabilitasi di lahan gambut terdegradasi difokuskan

pada dua jenis yang telah diketahui memiliki persen hidup, MAI diameter dan tinggi

yang baik dalam kaitannnya dengan sifat fisik lahan gambut terdegradasi yang memiiki

banyak faktor pembatas, yaitu Shorea balangeran dan Dyera lowii.

Perbaikan tapak yang diimplementasikan melalui pembuatan guludan maupun

gundukan dapat dilakukan pada area rehabilitasi yang memiliki kedalaman gambut

dangkal dan jenis tanaman utama Dyera lowii. Pembuatan guludan/gundukan selain

untuk menghindari genangan pada tanaman pokok juga dapat dipergunakan untuk

tanaman semusim pada sistem rehabilitasi dengan pola agroforestry.

Pelaksanaan penabatan kanal diketahui memiliki pengaruh yang positif terhadap proses

revegetasi secara alami maupun buatan manusia.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian selama tiga tahun ( 2011 – 2013) dapat disimpulkan bahwa

pengelolaan lahan gambut, khususnya yang terdegradasi, dilakukan melalui rehabilitasi

lahan dan perbaikan kondisi fisik lahan gambut yang diimplementasikan melalui penabatan

kanal pada areal lahan gambut yang memiiliki kanal buatan. Ada dua jenis tumbuha asli

lahan gambut yang menunjukkan keberhasilan pertumbuhan yang baik dan dapat menjadi

jenis pilihan dalam kegiatan revegtasi lahan gambut secara buatan, yaitu Shorea

balangeran dan Dyera lowii. Penabatan kanal di lahan gambut juga memberikan dampak

yang baik untuk proses suksesi alami dibandingkan dengan suksesi pada lahan gambut

yang kanalnaya tidak ditabat. Untuk informasi kondisi fisik lahan gambut, masih akan

dilakukan pengamatan lanjutan hingga tahun 2014 ini untuk mendapatkan hasil

komperhensip selama setahun sebagai dasar penilaian pengaruh penabatan kanal terhadap

lahan gambut terdegradasi.

Dari hasil penelitian selama tiga tahun ini, disarankan untuk menggunakan dua jenis

yaitu Shorea balangeran dan Dyera lowii sebagai jenis pilihan dalam kegiatan rehabilitasi

lahan gambut. Perbaikan kondisi fisik lahan gambut terdegradasi melalui penabatan kanal

mutlak dilakukan dalam rangka perbaian kondisi lahan gambut dalam hal ini yang telah

teramati yaitu proses suksesi alami yang lebih baik dibandingkan dengan lahan gambut

yang kanalnya tidak ditabat.

Kegiatan penelitian lanjutan diarahkan pada pengelolaan lahan gambut terdegradasi

yang diusahakan oleh masyarakat meliputi konservasi tanah dan air pada lahan gambut

yang dikelola dan perlindungan lahan gambut dari kebakaran lahan.

Page 245: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 83

DAFTAR PUSTAKA

Daryono, Herman. 2006. Pemanfaatan Lahan Secara Bijaksana dan Revegetasi dengan

Jenis Pohon Tepat Guna di Lahan Rawa Gambut Terdegradasi. Proseding

Seminar Hasil-Hasil Penelitian. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor

Dohong, Aloe. 2006. Laporan Akhir (Final report) Climate Change, forest and Peatland in

Indonesia. Proyek Climate Change, Forest and Peatland in Indonesia. Wetland

International-Indonesia Program. Bogor

Falah, Faiqotul, Wahyu Catur Adinugroho, Suhardi, Hari Hadiwibowo. 2004. Kajian

Teknologi dan Kelembagaan Rehabilitasi Lahan Gambut dengan Pola

Perhutanan Sosial di Kawasan Eks PLG, Kalimantan Tengah. Laporan Hasil

Penelitian. Loka Litbang Satwa Primata. Samboja.

Las, I. K. Nugroho, dan A. Hidayat, 2009. Strategi Pemanfaatan Lahan Gambut untuk

Pengembangan Pertanian Berkelanjutan. Majalah Pengembangan Inovasi

Pertanian. Bogor

Muslihat, L. dan Sri Najiyati. 2005. Seri Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut;

Mengenal Tipe Lahan Rawa Gambut. Wetlands International – Indonesia

Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor

Subagyo, H, dan Indra Arinal. 2003 Uji Coba Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Bekas

Kebakaran di Lokasi Taman Nasional Berbak Bersama Kelompok Masyarakat

Desa Pematang Raman. Prosiding lokakarya Pengelolaan Lahan Gambut

Berkelanjutan. Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor

Suryadiputra, I N.N., A. Dohong, Roh, S.B. Waspodo, L. Muslihat, .I. R. Lubis, F

Hasudungan, dan I. T.C. Wibisono. 2005. Panduan Penyekatan Parit dan Saluran

di Lahan Gambut Bersama Masyarakat. Proyek Climate Change, Forests and

Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan

Wildlife Habitat Canada. Bogor.

Wibisono, I.T.C., L. Siboro dan I N.N. Suryadiputra. 2005. Panduan Rehabilitasi dan

Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and

Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan

Wildlife Habitat Canada. Bogor.

Wahyunto, S. Ritung, Suparto, H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan

Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change, Forests and

Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan

Wildlife Habitat Canada. Bogor.

Wildlife Habitat Canada. 2004. Annual Report April 2003 – March 2004 Workplan April

2004 – March 2005. Wildlife Habitat Canada. Canada

Page 246: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 84

Page 247: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 85

JUDUL PENELITIAN : KAJIAN KELAYAKAN TEKNIK AERIAL SEEDING

(FORMULASI BAHAN PERLAKUAN BENIH UNTUK

TEKNIK AERIAL SEEDING)

PELAKSANA : Ir. HERMIN TIKUPADANG, MP.

INSTANSI :

ABSTRAK

Setiap tahun lahan kritis meningkat 1,08 juta ha (Anonim, 2009). Jumlah DAS

prioritas meningkat sampai tahun 2009 ada 62 DAS yang masuk dalam ketegori DAS

prioritas. Salah satu kendala adalah tersebarnya lahan kritis pada topografi berat dan sulit

terjangkau (aksesibilitas rendah) sehingga upaya rehabilitasi konvensional susah dila-

kukan. Salah satu alternatif metode yang bisa diterapkan adalah teknik penanaman aerial

seeding. Selanjutnya salah satu faktor yang perlu dikaji dalam teknik penanaman aerial

seeding adalah perlakuan terhadap benih yang bertujuan untuk membantu sampainya benih

ke permukaan tanah, melindungi benih dan mendukung perkecambahannya. Jenis perla-

kuan benih yang diterapkan pada aerial seeding adalah pelapisan benih atau coating benih.

Kegiatan penelitian meliputi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan untuk formulasi

komposisi coating benih dan penelitian uji coba di lapangan berupa penaburan benih yang

telah dicoating dengan komposisi yang direkomendasikan dari tahap sebelumnya. Kegiatan

ini dilakukan untuk mensimulasi daya tembus benih/kemampuan benih sampai ke

permukaan tanah pada berbagai kerapatan penutupan dan peletakan benih pada permukaan

tanah pada berbagai kondisi lapisan permukaan. Dari hasil pengamatan yang dilakukan

diketahui coating benih yang tidak pecah adalah pada komposisi K1 dan K2, persentase

coating benih berkecambah tertinggi pada K1B1 yaitu 95%, persentase benih berkecambah

tertinggi pada K2B4 yaitu 56,6%. Coating benih yang ditabur dari atas pohon semuanya

sampai kepermukaan tanah dan persentase kecambah benih yang diletakkan tertinggi pada

rumput yaitu 10,89%.

Kata kunci: aerial seeding, coating benih, rehabilitasi, lahan kritis

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai lahan kritis yang luas. Data

terakhir menunjukkan bahwa dari 30 juta ha lahan kritis, 19,5 juta berada di dalam

kawasan dan 10,5 juta di luar kawasan hutan (Anonim, 2009a). Untuk menekan laju

perluasan lahan kritis, berbagai kegiatan rehabilitasi lahan baik berupa penanaman di

dalam kawasan hutan (reboisasi) maupun di luar kawasan hutan (penghijauan) dan

kegiatan konservasi tanah dan air telah dilakukan secara simultan sejak tahun 70’an

melalui kegiatan penyelamatan hutan, tanah dan air maupun yang sejak tahun 2003

digalakkan oleh pemerintah dalam bentuk gerakan masal GERHAN. Namun pada

kenyataannya kecepatan peningkatan lahan kritis lebih tinggi dari kemampuan pemerintah

dan masyarakat untuk merehabilitasi lahan ktiris yang sudah ada. Setiap tahunnya di

Indonesia luas lahan kritis meningkat 1,08 juta ha (anonim, 2009b). Jumlah DAS prioritas

yang mencerminkan kondisi wilayah yang kritis dari tahun ke tahun bukannya turun tetapi

Page 248: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 86

malah meningkat. Pada tahun 1984 pemerintah menetapkan 22 DAS sebagai super

prioritas, sepuluh tahun kemudian 1994 menjadi 39 DAS dan tahun ini data tarakhir dari

website Departemen Kehutanan sejumlah 62 DAS termasuk dalam kategori DAS prioritas

I. Dari kondisi tersebut tercermin bahwa upaya sistematis yang dilakukan belum optimal

untuk menekan perluasan lahan kritis. Dari berbagai kendala yang ada, salah satu kendala

yang menonjol adalah tersebarnya lahan-lahan kritis pada daerah bertopografi berat dan

susah dijangkau (aksesibilitas rendah) sehingga upaya konvensional seperti penanaman

masal dan serempak menghadapi hambatan.

Terkait dengan kendala tersebut, dalam suatu kesempatan Wakil Presiden Jusuf Kalla

menyampaikan perlunya ada upaya rehabilitasi hutan dan lahan khususnya penanaman

dengan menerapkan metoda yang dapat menjangkau sasaran berskala luas dan serempak

guna mengimbangi cepatnya laju degradasi dan deforestasi yang terjadi, sekaligus sebagai

percepatan upaya konvensional yang telah dilaksanakan selama ini. Salah satu metode

yang memungkinkan adalah dengan menerapkan metoda penanaman aerial seeding, yaitu

penyebaran benih melalui udara.

B. Rumusan Masalah

Setiap tahunnya di Indonesia luas lahan kritis meningkat 1,08 juta ha (anonim, 2009b).

Jumlah DAS prioritas yang mencerminkan kondisi wilayah yang kritis dari tahun ke tahun

bukannya turun tetapi malah meningkat. Pada tahun 1984 pemerintah menetapkan 22 DAS

sebagai super prioritas, sepuluh tahun kemudian 1994 menjadi 39 DAS dan tahun ini data

tarakhir dari website Departemen Kehutanan sejumlah 62 DAS termasuk dalam kategori

DAS prioritas I. Dari kondisi tersebut tercermin bahwa upaya sistematis yang dilakukan

belum optimal untuk menekan perluasan lahan kritis. Dari berbagai kendala yang ada,

salah satu kendala yang menonjol adalah tersebarnya lahan-lahan kritis pada daerah

bertopografi berat dan susah dijangkau (aksesibilitas rendah) sehingga upaya konvensional

seperti penanaman masal dan serempak menghadapi hambatan.

Untuk itu perlu ada upaya rehabilitasi hutan dan lahan khususnya penanaman dengan

menerapkan metoda yang dapat menjangkau sasaran berskala luas dan serempak guna

mengimbangi cepatnya laju degradasi dan deforestasi yang terjadi, sekaligus sebagai

percepatan upaya konvensional yang telah dilaksanakan selama ini. Salah satu metode

yang memungkinkan adalah dengan menerapkan metoda penanaman aerial seeding, yaitu

penyebaran benih melalui udara. Pada teknik penanaman aerial seeding, salah satu faktor

yang perlu dikaji adalah perlakuan terhadap benih. Perlakuan benih bertujuan untuk

membantu sampainya benih di permukaan tanah, melindungi benih dan mendukung

perkecambahan. Salah satu perlakuan benih yang dapat diterapkan pada teknik aerial

seeding adalah dengan pelapisan benih (coating).

Coating benih bertujuan untuk meningkatkan perkecambahan, memfasilitasi

penyebaran udara yang akurat, dan meningkatkan efisiensi penanaman mekanis. Pelapisan

atau coating benih dilakukan dengan cara menutupi benih dengan suatu bahan sebelum

ditabur. Benih dapat dilapisi bahan yang mengandung perekat atau tanpa perekat. Benih

yang telah dilapis menjadi lebih besar, lebih berat dan ukuran lebih seragam sehingga

memudahkan penanganan. Bahan pelapis yang berfungsi untuk melindungi benih dan

mendorong perkecambahan dapat digunakan dalam pelapisan benih, misalnya: pupuk, zat

Page 249: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 87

pengatur tumbuh, fungisida dan insektisida, pencegah tikus dan burung dan mikrosimbion

(mikoriza, rhizobia dan frankia).

Dengan demikian pada coating benih diperlukan komposisi tepat untuk setiap bahan

penyusunnya. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian mengenai formulasi bahan

coating benih perlu dilakukan sehingga diperoleh formula yang tepat dan memberikan

hasil seperti yang diharapkan. Pada akhirnya hasil penelitian ini dapat mendukung

keberhasilan teknik penanaman denga metode aerial seeding.

C. Tujuan dan Sasaran

Tujuan adalah untuk mendapatkan formula bahan coating benih untuk teknik aerial

seeding. Sasarannya adalah tersedianya data persen tumbuh benih yang diperlakukan

dengan coating.

II. METODOLOGI

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan di Rumah Kaca Balai

Penelitian Kehutanan Makassar untuk percobaan pendahuluan dan untuk percobaan di

lapangan dilakukan di KHDTK Mengkendek Kabupaten Tana Toraja. Penelitian

dilaksanakan mulai bulan Januari sampai Desember 2013.

B. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih sengon laut, isolat

rhizobium, isolat FMA, tanah liat, kompos/pupuk kandang, fungisida, bak plastik, sarung

tangan, timbangan digital, GPS, altimeter, parang, sprayer, bambu, buku dan alat tulis.

C. Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan melalui 2 tahap, yiatu:

1. Uji pendahuluan formulasi coating benih

Benih yang digunakan adalah benih tanaman legum yaitu sengon laut (Paraserianthes

falcataria), berkuran kecil (jumlah per kilo lebih dari 5000 benih) dan bertipe ortodoks.

Perlakuan coating benih berupa presentase peningkatan berat benih dan komposisi coating

benih. Perlakuan presentase peningkatan berat benih teridiri: 4.000 – 7.000% dari berat

benih asli (ditentukan berdasarkan hasil yang didapatkan dari percobaan pendahuluan

tahun 2012). Komposisi coating benih berbahan dasar tanah liat dan gipsum yang

diterapkan adalah seperti pada Tabel 1. Pengamatan dilakukan terhadap coating benih yang

rusak dan jumlah benih yang tumbuh atau berkecambah.

Tabel 1. Perlakuan komposisi coating benih berbahan dasar tanah liat, gipsum dan kompos

Komposisi Persentase (%)

K1 K2 K3 K4

Tanah liat 6 65

Gipsum - - 50 45

Kompos 35 30 45 50

mikoriza+rhizobium 4 4 4 4

Fungisida+Pestisida 1 1 1 1

Page 250: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 88

Tabel 2. Persentase penambahan terhadap berat benih

Persentase penambahan berat

(%) Simbol

4000 B1

5000 B2

6000 B3

7000 B4

Kombinasi perlakuan yang diterapkan berjumlah 4 x 4 = 16 kombinasi perlakuan,

dengan ulangan masing-masing adalah 20 buah. Dengan demikian jumlah unit

percobaannya adalah 320 buah. Dalam tiap coating diisi dengan 3 buah benih sengon laut.

Pengamatan dilakukan terhadap jumlah coating benih yang pecah setelah coating kering

dan persen kecambah benih.

2. Uji coba di lapangan

Kegiatan uji coba di lapangan bertujuan untuk menguji komposisi coating benih yang

merupakan hasil seleksi pada tahap penelitian pendahuluan. Kegiatan ini meliputi dua

percobaan yaitu:

a. Simulasi penaburan benih

Penaburan benih akan dilakukan secara manual, yaitu benih dilempar atau ditabur dari

ketinggian tertentu pada berbagai tingkat tutupan vegetasi (terbuka, jarang dan rapat). Ada

dua komposisi coating benih yang dicoba yaitu K1B1 dan K1B2. Kombinasi perlakuan

yang dicoba berjumlah 2 x 3 = 6 kombinasi perlakuan dengan ulangan masing-masing tiga

dan jumlah coating yang ditabur pada setiap ulangan adalah 60 buah. Pengamatan

dilakukan terhadap jumlah coating benih benih yang sampai permukaan tanah dan yang

tinggal dalam plot berukuran 10 x 10 meter.

b. Peletakan benih

Kegiatan bertujuan untuk mengetahui kemampuan tumbuh/persen kecambah benih

apabila sudah sampai permukaan tanah. Peletakan benih merupakan pendekatan untuk

mengasumsi bahwa benih sudah mampu menembus tutupan tajuk atau tumbuhan bawah

dan sampai kepermukaan tanah. Benih yang telah diperlakukan dengan beberapa

komposisi coating hasil uji pendahuluan (formulasi) dipilih satu komposisi yaitu K1B1

(salah satu dari komposisi yang telah dicoba untuk simulasi penaburan), diletakkan secara

langsung pada berbagai karakter lapisan permukaan tanah (berbatuan, seresah, rumput dan

tanah). Pengamatan dilakukan terhadap jumlah benih yang tumbuh/kecambah.

III. HASIL PENELITIAN

Hasil pengamatan sifat fisik coating benih dan perkecambahan benih dalam coating

tersaji dalam Tabel 3.

Tabel 3. Persen coating benih yang pecah dan persen benih yang berkecambah

Komposisi % Peningkatan

Berat Benih

% coating benih

yg pecah

% coating benih

yg berkecambah

% kecambah

benih sengon laut

K1

B1 0 95 51,67

B2 5 85 51,67

B3 0 60 33,33

Page 251: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 89

Komposisi % Peningkatan

Berat Benih

% coating benih

yg pecah

% coating benih

yg berkecambah

% kecambah

benih sengon laut

B4 0 65 40

K2

B1 0 55 30

B2 0 80 46,67

B3 0 75 46,67

B4 0 80 56,67

K3

B1 25 0 0

B2 30 5 1,67

B3 15 0 0

B4 20 0 0

K4

B1 30 0 0

B2 15 0 0

B3 20 0 0

B4 10 0 0

K5

B1 - 35 15

B2 - 35 13,3

B3 - 40 13,33

B4 - 40 13,33

K6

B1 - 5 1,67

B2 - 40 16,67

B3 - 20 8,33

B4 - 20 6,67

Hasil pengamatan terhadap penaburan coating benih yang sampai di tanah adalah 100%

sedang yang tinggal dalam plot 10 x 10 m disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Persen coating benih yang tinggal dalam plot 10 x 10 m

Komposisi Tingkat

penutupan

Jlh coating

benih yang

ditabur

Rata-rata

coating yg ada

dalam plot

% coating yg

ada dalam plot

K1B1

Terbuka 60 55 91,67

Jarang 60 53,33 88,89

Rapat 60 55 91,67

K1B2

Terbuka 60 53,67 89,44

Jarang 60 54,67 91,11

Rapat 60 56,33 93,89

Hasil pengamatan persen kecambah benih yang diletakkan pada empat karakteristik lapisan

tanah disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Persen kecambah benih yang diletakkan pada empat karakter lapisan tanah

Karakter

lapisan

tanah

Rerata persen kecambah benih hari ke (%)

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

Tanah 1,56 16,22 12,44 12,44 1,11 1,33 1,11 0,89 1,56 1,56 1,56 1,78 1,78 2,00

Rumput 0,67 14,89 9,11 9,11 9,11 4,89 3,56 3,33 6,22 5,78 5,78 8 8 10,89

Serasah 4,89 1,11 1,11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Berbatu 0,22 3,56 6,00 5,56 5,33 3,56 2,44 2,22 4,00 4,00 4,00 4,00 4,00 4,00

Page 252: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 90

IV. KESIMPULAN

1. Coating benih yang tidak pecah adalah pada komposisi K1 (tanah liat 60% + kompos 35% +

mikoriza dan rhizobium 4% + fungisida dan pestisida 1%) dan K2 (tanah liat 65% + kompos

30% + mikoriza dan rhizobium 4% + fungisida dan pestisida 1%).

2. Persentase coating benih berkecambah tertinggi adalah pada K1B1 yaitu 95% dan terendah pada

K3 (gipsum 50% + kompos 45% + mikoriza dan rhizobium 4% + fungisida dan pestisida 1%)

dan K4 (gipsum 45% + kompos 50% + mikoriza dan rhizobium 4% + fungisida dan pestisida

1%) dan persentase benih berkecambah tertinggi pada K2B4 yaitu 56,67%.

3. Coating benih yang ditabur dari atas pohon 100% jatuh di permukaan tanah, tetapi yang ada

dalam plot 10 x 10 m adalah 88,89 – 93,89%.

4. Persentase benih berkecambah yang diletakkan setelah empat minggu tertinggi pada rumput

yaitu 10,89% dan terendah pada serasah yaitu 0%.

Page 253: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 91

LAMPIRAN

Kegiatan penaburan coating benih

dari atas pohon

Coating benih yang jatuh di atas

serasah pinus

Peletakan benih (coating benih) pada

tempat berbatu Coating benih yang mulai hancur di

atas serasah setelah hujan

Benih sengon laut yang

tumbuh/berkecambah pada

tempat berbatu

Page 254: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung
Page 255: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 93

JUDUL PENELITIAN : PENDEKATAN PARTISIPATIF DALAM

PENGEMBANGAN MODEL RKTA PADA DAS

MIKRO JENEBERNG DAN SADDANG

PELAKSANA : Ir. M. KUDENG SALLATA, M.Sc

INSTANSi : BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MAKASSAR

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rendahnya tingkat keberhasilan RKTA disebabkan antara lain adalah kurangnya

informasi teknologi dan pendekatan yang kurang holistik terhadap masyarakat sasaran.

Masyarakat sasaran hanya dilibatkan sebagai pekerja upahan dan tidak diajak berperan

aktif dalam analisis masalah dan pengambilan keputusan untuk melaksanakan RKTA pada

lahan miliknya dan lahan tergradasi yang berada disekitarnya. Dampak yang lebih parah

lagi adalah munculnya emage masyarakat terhadap program RKTA hanya suatu proyek

pemerintah saja sebagai tempat mendapat upah/uang, akibatnya selesai proyek selesai pula

kegiatannya tanpa mereka peduli terhadap tujuan utama yaitu untuk rehabilitasi lahan kritis

sehingga kembali berfungsi melestarikan ekosistem DAS secara keseluruhan. Partisipasi

masyarakat dapat digiatkan apabila secara mental, emosional dan juga secara fisik

masyarakat terlibat dalam kegiatan RLKTA. Pelibatan masyarakat niscaya dapat terlaksana

apabila msayarakat mampu melihat, memahami dan merasakan manfaat dan resiko dalam

melakukan kegiatan RLKTA tidak hanya pada saat kegiatan dilaksanakan namun juga

sampai bertahun-tahun kedepan (Yudono dan Sallata, 2012).

Tanpa adanya pendekatan sosial,ekonomi, budaya dan kelembagaan, kegiatan RKTA

yang selama ini diprogramkan tidak akan berhasil mencapai tujuan lestari. Oleh karena itu

penelitian penerapan teknik RKTA dengan pendekatan partisipatif dari masyarakat sangat

dibutuhkan untuk menjaga penggunaan lahan tidak melebihi daya dukungnya dengan

mempertimbangkan aspek biofisik, sosial dan ekonomi serta budaya terutama di DAS

mikro. Model perancangan penerapan teknik RKTA partisitif perlu dibangun bersama

masyarakat. Metode PRA,RRA dan PAR (Participased Action Researh) digunakan untuk

pendekatan kepada masyarakat sasaran, setelah diperoleh kesepakatan ditentukan lokasi

yang menjadi areal demontrasi plot (demplot) RKTA untuk dibangun bersama.

Untuk menguji dan mengetahui sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat melalui

model perancangan RKTA maka sejak 2010 telah dilakukan pembangunan plot

demonstrasi dengan melibatkan masyarakat secara langsung di Datara, Kelurahan Garassi,

Kecamatan Tinggi Moncong, Kab. Gowa seluas 2 ha dan pada tahun 2011 dibangun di

Mararin, Lembang Pakala, Kecamatan Mengkendek, Kab. Tana Toraja Provinsi Sulawesi

Selatan seluas 2,5 ha. Kegiatan penelitian tahun 2013 merupakan kelanjutan dari penelitian

tahun sebelumnya pada kedua lokasi tersebut terus diadakan pemantauan, pengamatan,

pemeliharaan, pendampingan dan penambahan serta introduksi teknologi RKTA yang

dibutuhkan untuk terbentuknya plot RKTA yang lestari.

Page 256: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 94

B. Tujuan dan Sasaran

Tujuan penelitian adalah menyusun model perancangan teknik RKTA partisipatif pada

wilayah DAS mikro dengan membangun demonstrasi plot. Sasaran penelitian adalah:

a. Aplikasi tehnik-tehnik RKTA partisipatif pada demplot wilayah DAS mikro

b. Tersedianya data dan informasi indikator biofisik dan social-ekonomi

C. Luaran

Luaran penelitian adalah :

a. Draf Model perancangan teknik RKTA partisipatif pada DAS mikro

b. Demplot pola-pola RKTA pendektan partisipatif

c. Paket data dan informasi indikator teknik RKTA partisipatif

II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT DENGAN JUDUL

PENELITIAN

A. Identifikasi Regulasi yang melatarbelakangi Sbb:

Peraturan perundangan yang digunakan sebagai penuntun penelitian adalah Undang-

undang no. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia No.3888; dalam pasal 2 diamanatkan pemanfaatan SDA sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup secara

seimbang yang pengelolaannya berazaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan,

kebersamaan, keterbukaan,dan keterpaduan. Dalam praktek pengelolaan hutan tidak hanya

berorientasi hasil kayu dan bukan kayu saja tetapi berorientasi pada seluruh potensi hutan

berbasis pada pemberdyaan masyarakat. Ps 3 disampaikan meningkatkan dayadukung

DAS yang meliputi semua aspek baik biopfisik maupun hidrologi.Undang-Undang No.7

Tahun 2004 tentang sumberdaya air, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.

4377 yang antara lain mengamanatkan: rehabilitasi hutan dan lahan, dan pelestarian hutan

lindung, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Undang-undang 32 tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun No.12.

Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan; Peraturan

Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daera Kabupaten/Kota; dalam

pelaksanaannya masih cenderung mementingkan kebutuhan sektoral masing-masing yang

membuat pengelolaan DAS semakin carut-marut. Peraturan Pemerintah No.76 Tahun 2008

tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan;Peraturan Pemerintah no. 44 tahun 2004 tentang

perencanaan kehutanan;Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2008 tentang pengelolaan

Sumber daya air; Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2012, tentang Pengelolaan Daerah

Aliran Sungai. Tambahan lembaran negara no.5292.Surat Keputusan Menteri Kehutanan

No.52/Kpts-II/2011 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Departemen Kehutanan;

Keputusan Menteri Kehutanan RI No. Sk.163/Menhut-II/2009 tentang Roadmap Penelitian

dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025. Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor

SK.323/Menhut-II/2009 tentang penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas dalam

rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah(RPJM) Tahun 2010-2014.

Page 257: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 95

B. Analisis Kebutuhan Penelitian

Upaya mewujudkan pengelolaan DAS yang tepat terutama untuk menekan erosi dan

mengurangi sedimentasi serta pemenuhan kebutuhan air, maka peraturan perundangan

tersebut diatas perlu ditindaklanjuti didalam bidang penelitian dan pengembangan untuk

menemukan teknologi yang dapat mendukung khususnya teknologi konservasi tanah dan

air yang sesuai dengan kondisi biofisik wilayah yang efektif, efisien dan dapat diterima

oleh masyarakat sekitarnya.Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukungnya,

saat ini banyak terjadi akibat desakan kebutuhan masyarakat yang semakin padat akan

meningkatkan kerusakan lingkungan. Sehubungan dengan itu rancangan penelitian perlu

mengakomodasi perioritas kebutuhan masyarakat baik jangka pendek maupun jangka

panjang dengan mempertimbangkan karakteristik lingkungan yang ada. Dengan

keterbatasan dana dan daya maka kebijakan kementerian kehutanan telah mengatur skala

perioritas baik lokasi DAS berdasarkan tingkat kekritisan maupun kegiatan penelitian

berdasarkan kebutuhan teknologi dalam raodmap penelitian. DAS mikro yang menjadi

lokasi penelitian merupakan unit terkecil dalam pengelolaan DAS namun sampai saat ini

belum ada standar pengelolaan yang baik.

III. SINTESIS HASIL PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Waktu Penelitian. Kegiatan Penelitian ini direncanakan untuk dilakukan lima tahun

(multiyears) yang dimulai 2010 sampai 2014.

Lokasi. Tempat pelaksanaan penelitian tahun 2010 berlokasi pada DAS Mikro Datara

termasuk Sub DAS Jeneberang Kabupaten Gowa dan pada tahun 2011 dibangun di DAS

Mikro Mararin bagian dari SubDAS Saddang Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi

Selatan.

Rancangan Penelitian. Untuk merumuskan teknologi dan kelembagaan Rehabilitasi dan

konservasi tanah dan air (RKTA) dengan pendekatan partisipatif maka dibutuhkan

pengetahuan mengenai : 1) karakter penduduk, 2) karakter tanah, 3) karakter iklim dan

altitude, 4) karakter topografi, 5) karakter fungsi lahan, 6) karakter kelembagaan, 7)

karakter kebijakakan, 8) karakter pasar. Metode participatory rural appraisal (PRA), rapid

rural appraisal (RRA) digunakan untuk pendekatan kepada masyarakat sasaran. Untuk

membimbing kelompok, teknik RKTA telah dibangun secara partsipatif dalam demplot

seluas 2 ha pada DAS mikro Datara (Sub Das Jeneberang) dan 2,5 ha pada DAS mikro

Mararin (SubDas Saddang).

B. Hasil Penelitian

Untuk menguji dan mengetahui sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat melalui

model perancangan RKTA maka telah dilakukan pembangunan plot demonstrasi

(DEMPLOT) pada 2010 di Datara. Rancangam model RKTA yang diujicoba-kan terdiri

atas komponen partisipasi masyarakat, tanaman kayu-kayuan, tanaman kebutuhan pakan

ternak, dan kebutuhan pangan sehari-hari.

Page 258: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 96

Hasil komunikasi dengan masyarakat terbentuk kelompok tani turbin sipakainga’

dengan anggota 48 KK. Terdapat 6 KK yang secara sukarela memberi lahannya untuk

dijadikan lokasi DEMPLOT. Berdasarkan hasil kesepakatan dalam rapat kelompok untuk

kebutuhan kayu disepakati dan telah ditanam 197 bibit Mahoni (Switenia mahagoni) dan

300 bibit Suren (Taona sinensis) serta 800 bibit rumput untuk kebutuhan pakan ternak.

Selain itu mereka tetap memelihara tanaman kopi dan kakao yang telah ditanam

sebelumnya. Lahan pada kelerengan dalam demplot secara bertahap dibangun teras gulut.

Perkembangan tingkat partisipasi masyarakat pada awalnya tidak 100%, untuk semua

kegiatan dalam demplottetapi sesuai kemampuan dan tidak merasa rugi baik tenaga

maupun lahan untuk demplot atau tahap “co-operative” (Syahyuti, 2006). Untuk

meningkatkan partisipasi lebih tinggi diperlukan faktor pemicu yang lebih tinggi

manfaatnya bagi masyarakat yaitu listrik mikrohidro. “Figur yang dihormat”i sangat

diperlukan untuk memicuh keaktifan kelompok.

Pengolahan lahan pada musim hujan dapat meningkatkan laju sedimentasi dari 55%-

80% di saluran air (Gullyplug) yang lebih lanjut akan masuk ke sungai utama DAS.

Disarankan tidak membangun terasering pada musim hujan karena dapat meningkatkan

sedimentasi pada sungai-sungai.

Pada tahun 2011 selain melanjutkan kegiatan demplot di DAS Mikro Datara juga

membangun Demplot di DAS mikro Mararin dengan hasil yaitu tingkat partisipasi

masyarakat yang muncul bervariasi dari sedang sampai tinggi (60%-95%) pada kedua

lokasi.

Partisipasi nampaknya banyak dipengaruhi oleh besarnya manfaat yang akan diperoleh

dari hasil kegiatan. Teknik Konservasi tanah berupa bangunan teras dan tanaman rumput

serta tanaman pohon-pohonan secara bertahap mempengaruhi runoff dan erosi ditunjukkan

oleh ketebalan sedimentasi pada gullyplug semakin berkurang dan debit aliran fuktuasinya

semakin stabil. Untuk meningkatkan partisipasi yang lebih tinggi diperlukan pemicu yang

lebih tinggi manfaat bagi masyarakat misalnya listrik mikrohidro dan wibawa figur ketua

kelompok.

Hasil penelitian tahun 2012 pada tingkat partisipasi masyarakat yang muncul belum

juga 100 % bahkan ada kegiatan yang menurun partisipasinya mencapai tingkat rendah

yaitu penglolahan lahan. Untuk kedua lokasi tingkat partisipasi muncul mulai dari tingkat

rendah, sedang sampai tinggi. Tingkat partisipasi yang tergolong tinggi adalah partisipasi

perseorangan pada kegiatan pemeliharaan rumput pada bibir teras karena didorong oleh

kebutuhan pakan ternak. Terjadi kesan “kejenuhan” atau “kebingungan” pada anggota

kelompok dalam melakukan kegiatan dalam kebunnya masing-masing. Sangat terbukti

listrik mikrohidro sebagai faktor pendorong yang tinggi karena dalam tahun 2012 ada

beberapa bulan Turbin tidak jalan akibat faktor teknis.

Tingkat perkembangan tanaman pohon semakin tinggi untuk tanaman suren telah

mencapai tinggi rata-rata 108,35 cm dengan diameter rata-rata 17,32 mm serta lebar tajuk

rata-rata 91,7 cm dan untuk tanaman mahoni mencapai tinggi rata-rata 108,10 cm dengan

diameter 18,94 mm serta lebar tajuk 74,25 cm. Demikian juga tingkat penutupan lahan

secara bertahap berpengaruh terhadap erosi dan limpasan permukaan dengan angka stabil.

Page 259: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 97

Hasil penelitian sampai tahun 2013 sebagai berikut:

Tingkat partisipasi yang muncul ternyata memberikan respon berbeda dari masyarakat

sasaran. Hal tersebut terutama dipengaruhi oleh kebiasaan lokal masyarakat yang pada

umumnya menjadi patokan atau pegangan dalam memutuskan kegiatan baik kelompok

maupun perorangan. Tingkat partisipasi masyarakat yang muncul masih tetap bervariasi

dari rendah, sedang sampai tinggi pada kedua lokasi. Hanya 40% partisipasi individu

dalam demplot di datara dan partisipasi kelompok turun menjadi 60% sedang di Mararin

partisipasi indvidu dalam demplot 50% sedang kelompok hanya 30% sepanjang 2013.

Partisipasi nampaknya banyak dipengaruhi oleh besarnya manfaat yang akan diperoleh dari

hasil kegiatan yang dilaksanakan.

Teknik Konservasi tanah berupa bangunan teras dan tanaman rumput serta tanaman

pohon-pohonan secara bertahap telah mempengaruhi runoff dan erosi ditunjukkan oleh

ketebalan sedimentasi pada gullyplug dan bak penampung semakin berkurang dan debit

aliran fuktuasinya semakin stabil. Rata-rata penurunan petambahan lapisan sedimen

dibandingkan tahun sebelumnya bervariasi 45–65 %. Pelaksanaan kegiatan dalam demplot

merupakan hasil kegiatan kelompok yang terbentuk, sehingga perkembangan tanaman dan

kegiatan secara keseluruhan dalam demplot dapat menggambarkan perilaku anggota

kelompok.

Untuk meningkatkan partisipasi yang lebih tinggi diperlukan pemicu yang lebih tinggi

manfaat bagi masyarakat misalnya listrik mikrohidro. Menurut Syahyuti (2006), bahwa

yang dimaksud “partisipasi” adalah proses tumbuhnya kesadaran terhadap kesaling-

hubungan di antara stakeholders yang berbeda dalam masyarakat yaitu antara kelompok-

kelompok sosial dan komunitas dengan pengambil kebijakan dan lembaga-lembaga jasa

lain.

Sehubungan dengan itu maka yang dimaksud penelitian “Perancangan Model RKTA

Partisipatif” disini yaitu proses yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh

keputusan subtansial yang berkenaan dengan kehidupan mereka. Jadi, dalam partisipasi,

siapapun yang terlibat didalam kegiatan dapat memainkan peranan secara aktif, memiliki

control terhadap kehidupannya sendiri, mengambil peran dalam kegiatan yang disepakati

serta menjadi lebih terlibat dalam kegiatan model RKTA partisipatif yang sedang

dilaksanakan. Tujuan akhir dari seluruh rangkaian penelitian “Perancangan Model RKTA

Partisipatif” adalah adanya perubahan perilaku dari masyarakat yang dilibatkan terutama

pada tiga aspek yaitu pengetahuan (aspek kognitif), sikap (sikap afektif) dan keterampilan

(aspek psikomotorik). Dengan kata lain bertambahnya perbendaharaan informasi,

tumbuhnya keterampilan serta timbulnya sikap mental dan motivasi yang lebih kuat sesuai

dengan yang dikehendaki (Yustina dan Sudrajat.2003).

Berdasarkan pengamatan berjalannya proses penelitian pada kedua lokasi yaitu

“Datara” dan “Mararin” terdapat hal-hal penting yang merupakan faktor penentu

munculnya partisipasi pada masyarakat yang dilibatkan yaitu:

1. Perlu faktor pendorong; partisipasi masyarakat akan tumbuh cepat apabila terdapat

faktor/unsur yang dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka misalnya listrik bersumber

dari pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH), bibit tanaman yang mereka harapkan

memberi manfaat yang besar. Hal ini berdasarkan pengamatan pada kedua lokasi

Page 260: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 98

demplot. Keaktifan kelompok sangat dipengaruhi oleh adanya pasokan listrik mikro

hidro, apabila turbin berjalan baik maka keaktifan kelompok juga berjalan baik dan

sebaliknya turbin rusak akan mempengaruhi keaktifan kelompok.Demikan juga jenis

tanaman yang ditanam baik didemplot maupun yang dibagikan kepada anggota

kelompok ,ternyata dapat menggairahkan semangat mereka apabila diberi jenis

tanaman sesuai yang diharapkan mereka.

2. Perlu figur yang disegani anggota; partisipasi masyarakat akan tumbuh dan

berkelanjutan apabila terdapat figur dalam kelompok yang mempunyai charisma,

disegani dan dihormati serta berperan mendorong terjadinya kerjasama misalnya kerja-

gotongroyong, hadiri pertemuan kelompok. Adanya figur ketua kelompok (Dg jarum)

di Datara yang dapat mendorong keaktifan anggota kelompok, sebaliknya tidak adanya

figur di Mararin yang menjadi panutan sehingga anggota kelompok menjadi malas

bertemu karena figur yang pernah menjadi pendorong pindah tugas karena menjadi

PNS (peawai negeri sipil) di Lembang lain dan yang menggantikan ternyata tidak

mempunyai kapasitas seperti figure sebelumnya.

3. Perlu insentif baik berupa jasa maupun modal; partisipasi masyarakat akan tumbuh

baik apabila mereka mendapat jasa dan modal kerja yang cukup misalnya jasa listrik

dari Turbin PLMH, modal bibit tanaman yang dibutuhkan, dan teknologi pembuatan

pupuk kompos. Mereka tetap berharap adanya dukungan dari pemerintah berupa jasa

maupun modal dalam menggerakkan segala aktivitasnya.

4. Membuat terasering pada musim hujan meningkatkan sedimentasi; berasarkan hasil

pengamatan pada gullyplug dan V-notche wier yang dipasang bagian bawah daerah

tangkapan (Catchment area) dapat diketahui peningkatan ketebalan sedimentasi dalam

sungai akibat erosi yang terjadi pada bagian hulu yang sementara dibangun terasering.

Dapat dimengerti karena partikel tanah terlepas mudah dibawa oleh aliran permukaan

seperti yang terjadi di Datara awal pembentukan demplot 2010 karena kegiatan dipacuh

meskipun saat itu musim hujan untuk memenuhi target.

5. Pembuatan teras gulud (contour terrace) pada kemiringan lereng > 45% efektif

mengurangi erosi apabila ditanami rumput pakan ternak pada bibir teras, dari

pengamatan dapat diketahui bahwa teras pematang yang sederhana yang ditanami

pakan ternak berupa rumput gajah pada bibir teras dapat mengurangi erosi tanah pada

kemiringan lereng > 45 %. Hasil pengamatan pada kedua demplot dapat memberikan

gambaran bahwa sedimen yang terjadi pada gullyplug menjadi menurun karena adanya

pertumbuhan rumput yang cepat menutup teras.

6. Masyarakat sasaran harus menjadi subjek dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan.

Partisipasi masyarakat mempunyai semangat kerja yang tinggi apabila dalam

perencanaan dan pelaksanaan kegiatan mereka dilibatkan dan mengakomodir semua

kepentingannya, namun sesuai dengan kondisi lingkungannya.

7. Masyarakat membutuhkan hasil sebagai bukti kegiatan. Terbagunnya teras pematang

yang sederhana,efisien, efektif, hemat tenaga dan ditumbuhi rumput pakan ternak

dengan biaya yang murah terbukti dapat mengurangi erosi dan runoff dibandingkan

Page 261: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 99

teras bangku yang selama ini diwajibkan dibangun pada kemiringan lereng > 30% yang

membutuhkan biaya tinggi. Mereka dapat menjawab berapa hasil yang telah didapatkan

walaupun mereka tidak merasakan berapa modal yang dimasukkan.

8. Masyarakat masih membutuhkan pendampingan yang secara kontinyu. Masyarakat

sangat mudah terombang-ambing dengan issu kegiatan yang datang ke desanya

sehingga sangat mudah berubah pola pikirnya, oleh karena itu diperlukan pendamping

yang dapat memberi pengertian untuk tidak mudah berubah terutama dalam

melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan oleh kelompok.

IV. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN

A. Metode (Tehnik, procedure, dll)

Tehnik pendekatan dalam implementasi hasil penelitian RKTA untuk membangun

pastisipasi masyarakat sasaran dengan mengikuti prosedur yang telah dilaksanakan dalam

penelitian ini yaitu: memperkenalkan teknologi KTA yang akan digunakan dengan hasil

yang akan dicapai melalui metode PRA dan RRA baik kepada aparat pemerintah setempat

maupun masyarakat tani yang menjadi sasaran.Apabila masyarakat sasaran telah sepakat

dan setuju untuk menerima dan melibatkan diri dalam kegiatan RKTA.

Untuk mempermudah komunikasi disarankan membentuk kelompok, kalau belum ada

atau menggabungkan program kedalam program kelompok yang telah ada sebelumnya.

Prosedur yang digunakan dalam implementasi hasil penelitian RKTA adalah melalui

kelompok tani yang telah terbentuk disesepakati dan diputuskan untuk melaksanakan

teknik konservasi tanah dan air secara vegetatif dan mekanik. Melakukan teknik koservasi

tanah dan air secara vegetatif menurut hasil penelitian ini adalah menanam jenis Mahoni

dan Suren (sesuai kebutuhan masyarakat dan kesesuaian lahan) sebagai penghasil kayu

bangunan, menanam rumput untuk penghasil pakan ternak, menanam tanaman pangan dan

kopi kakao (jenis tanam perkebunan) untuk kebutuhan harian dan ekonomi berupa uang

belanja harian.

Untuk teknik konservasi tanah dan air secara mekanis dibagun teras gulud mengikuti

garis kontour pada lahan miring untuk mengendalikan aliran permukaan dan erosi tanah,

membuat saluran pembuangan air (SPA).Pemanfaatan bahan dari materi sederhana yang

banyak tersedia disekitar lokasi misalnya batang bambu dan batang gamal seperti dalam

penelitian ini untuk tulang teras dan SPA. Pemanfaatan rumput hasil pembersihan dan

semak belukar yang telah ditebas menjadi potong-potongan pendek sebagai mulsa untuk

menambah bahan organik tanah. Membangun bendungan kecil (gullyplug) dalam saluran

air sebagai pengendali sedimen dengan memasang stik besi yang berskala pada bagian

genangan untuk mengetahui dampak kegiatan pengelolaan lahan pada sedimentasi. Untuk

menjadi bahan monitoring petani (self monitoring) pengelola hanya dengan melihat

ketebalan sedimen dalam bendungan maka mereka mengetahui langsung dampak

kegiatannya terhadap sedimentasi.

B. Input Kebijakan

Penerapan teknik konsevasi tanah dan air yang dilaksanakan dengan mengikuti DAS

Prioritas sesuai Keputusan Menteri Kehutanan RI No.SK.323/Menhut-II/2009 belum

Page 262: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 100

sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat karena lemahnya

kelembagaan pengelola DAS mikro. Pemanfaatan DAS mikro sebagai unit terkecil dalam

hierarki pengelolaan DAS perlu diperjelas kelembagaannya melalui kebijakan pemerintah

sehingga penerapan teknik konservasi tanah dan air lebih mendekati kepada kondisi

biofisik dan sosial ekonomi masyarakat.

C. Produk (formula dll)

Model Partisipatif RLKTA pada DAS Mikro Jeneberang dan Saddang yang didasari

oleh 8 (delapan) karakter yaitu kondisi penduduk termasuk kebutuhannnya, kondisi

topographi, kondisi iklim termasuk ketinggian tempat, jenis tanaman, fungsi lahan,

kebijakan, pasar dan kelembagaan masyarakat untuk menemukan paling tidak 5 (lima)

kesesuaian lahan, kesesuaian jenis tanaman, kesesuaian sosial-budaya, kesesuaian pasar,

dan kesesuaian kelembagaan. Model yang telah terbangun dapat diimplementasi didaerah

yang membutuhkan hanya ada penyesuaian jenis tanaman dan kebutuhan masyarakat.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pengamatan berjalannya proses penelitian pada kedua lokasi yaitu

“Datara” dan “Mararin” terdapat hal-hal penting yang merupakan faktor penentu

munculnya partisipasi pada masyarakat yang dilibatkan yaitu:

a. Perlu faktor pendorong; partisipasi masyarakat akan tumbuh cepat apabila terdapat

faktor/unsur yang dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka misalnya listrik bersumber

dari pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH), bibit tanaman yang mereka harapkan

memberi manfaat yang besar.

b. Perlu figur yang disegani anggota; partisipasi masyarakat akan tumbuh dan

berkelanjutan apabila terdapat figur dalam kelompok yang mempunyai charisma,

disegani dan dihormati serta berperan mendorong terjadinya kerjasama misalnya kerja-

gotongroyong, hadiri pertemuan kelompok.

c. Perlu insentif baik berupa jasa maupun modal; partisipasi masyarakat akan tumbuh baik

apabila mereka mendapat jasa dan modal kerja yang cukup misalnya jasa listrik dari

Turbin PLMH, modal bibit tanaman yang dibutuhkan, dan teknologi pembuatan pupuk

kompos. Mereka tetap berharap adanya dukungan dari pemerintah berupa jasa maupun

modal dalam menggerakkan segala aktivitasnya.

d. Membuat terasering pada musim hujan meningkatkan sedimentasi; berasarkan hasil

pengamatan pada gullyplug dan V-notche wier yang dipasang bagian bawah daerah

tangkapan (Catchment area) dapat diketahui peningkatan ketebalan sedimentasi dalam

sungai akibat erosi yang terjadi pada bagian hulu yang sementara dibangun terasering.

e. Pembuatan teras gulud (contour terrace) pada kemiringan lereng > 45% efektif

mengurangi erosi apabila ditanami rumput pakan ternak pada bibir teras, dari

pengamatan dapat diketahui bahwa teras pematang yang sederhana yang ditanami pakan

ternak berupa rumput gajah pada bibir teras dapat mengurangi erosi tanah pada

kemiringan lereng > 45 %.

f. Masyarakat sasaran harus menjadi subjek dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan.

Partisipasi masyarakat mempunyai semangat kerja yang tinggi apabila dalam

Page 263: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 101

perencanaan dan pelaksanaan kegiatan mereka dilibatkan dan mengakomodir semua

kepentingannya, namun sesuai dengan kondisi lingkungannya.

g. Masyarakat membutuhkan hasil sebagai bukti kegiatan. Terbagunnya teras pematang

yang sederhana,efisien, efektif, hemat tenaga dan ditumbuhi rumput pakan ternak

dengan biaya yang murah terbukti dapat mengurangi erosi dan runoff dibandingkan

teras bangku yang selama ini diwajibkan dibangun pada kemiringan lereng > 30 % yang

membutuhkan biaya tinggi. Mereka dapat menjawab berapa hasil yang telah didapatkan

walaupun mereka tidak merasakan berapa modal yang dimasukkan.

h. Masyarakat masih membutuhkan pendampingan yang secara kontinyu. Masyarakat

sangat mudah terombang-ambing dengan issu kegiatan yang datang ke desanya

sehingga sangat mudah berubah pola pikirnya, oleh karena itu diperlukan pendamping

yang dapat memberi pengertian untuk tidak mudah berubah terutama dalam

melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan oleh kelompok.

KESESUAIAN LAHAN UNTUK KONSERVASI

TANAH TERTENTU

ANALISIS BENTUK, PANJANG DAN

KEMIRINGAN LERENG

KARAKTER TOPOGRAFI

KARAKTER IKLIM DAN ALTITUDE

KARAKTER PENDUDUK

ANALISIS CH

ANALISIS SUHU

ANALISIS KECEPATAN ANGIN

ALTITUDE

KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN

TERTENTU

KARAKTER FUNGSI LAHAN

FUNGSI BUDIDAYA

FUNGSI LINDUNGKARAKTER TANAH

ANALISIS MEKANIK TANAH

POTENSI MEKANIK TANAH

ANALISIS FISIKA, BIOLOGI DAN KIMIA TANAH

POTENSI FISIKA, BIOLOGI DAN KIMIA TANAH

KESESUAIAN SOSIAL BUDAYA/

KEPENTINGAN/ DAN KEBUTUHAN

PREDIKSI KEBUTUHAN

PREDIKSI KEPENTINGAN

ANALISIS SOSIAL BUDAYA/ ADAT

ISTIADAT

ANALISIS KEPENDUDUKAN

ANALISIS PENDAPATAN

ANALISIS KONSUMSI DASAR

KARAKTER KEBIJAKAN

KARAKTER PASAR

ATURAN PERUNDANGAN

KOMODITAS UNGGULAN

TATA RUANG

KESESUAIAN PASAR UNTUK TANAMAN

TERTENTU

PERMINTAAN/ PENYEDIAAN

KOMODITAS POTENSIAL

HARGA-HARGAKARAKTER KELEMBAGAAN

KESESUAIAN KELEMBAGAAN

UNTUK KEGIATAN TERTENTU

RLKTA PARTISIPATIF

Pedekatan partsipatif dalam penerapan model RKTA pada DAS Mikro.

Page 264: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 102

DAFTAR PUSTAKA

Yudono, H.SHN .2010. Perancangan Model RLKT dengan Pendekatan Sosial Forestry di

Gowa (Sulawesi Selatan) dan Mamasa (Sulawesi Barat). Prosiding Hasil-Hasil

Litbang Mendukung Rehabilitasi dan Konservasi Hutan Untuk Kesejahteraan

Masyarakat, Makassar 22 Juni 2010. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi.

Bogor.

Suyuthi. 2006. Tiga puluh (30) konsep dalam pembangunan pedesaan dan pertanian,

konsep, istilah dan indikator serta variabel. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara.

Page 265: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 103

JUDUL PENELITIAN : Evaluasi Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi

Hutan dan Lahan Wilayah DAS Mahakam (2011)

Strategi Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam

Rehabilitasi Hutan dan Lahan Wilayah DAS Mahakam

(2012) Pembangunan Model Kemitraan Rehabilitasi

Hutan dan Lahan di KHDTK Samboja (2013-2014)

PELAKSANA : FAIQOTUL FALAH, S.Hut, M.Si

INSTANSi : BALAI PENELITIAN KEHUTANAN SAMBOJA

I. PENDAHULUAN

A. Identifikasi Regulasi yang ada

No Peraturan Perihal

1. Peraturan Presiden RI No 89/2003 Gerakan Nasional RHL

2. Peraturan Pemerintah No 76 Tahun 2008 Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan

3. Permenhut RI No P.70/Menhut-II/2008

diubah dengan Permenhut RI No

P.26/Menhut-II/2010

Pedoman Teknis RHL

4. Permenhut RI No P.32/Menhut-II/2009

diubah dengan Permenhut RI No

P.35/Menhut-II/2010

Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik RHL

DAS

5. Permenhut RI No P.37/Menhut-II/2010 Tata Cara Penyusunan Rencana Rehabilitasi

dan Reklamasi Lahan

6. Permenhut RI No P.39/Menhut-II/2010 Pola Umum, Kriteria, dan Standar

Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan

7. Permenhut RI No P.12/Menhut-II/2011 Pedoman Penyelenggaraan RHL tahun 2011

8. Permenhut RI No P.61/Menhut-II/2011 Panduan Penanaman Satu Miliar Pohon

9. Permenhut RI No P.42/Menhut-II/2012 Penyuluh Kehutanan Swasta dan Penyuluh

Kehutanan Swadaya Masyarakat

10. Permenhut RI No P.46/Menhut-II/2012 Metode dan Materi Penyuluhan Masyarakat

11. Permenhut RI No P.3/Menhut-II/2012 Rencana Kerja pada Usaha Pemanfaatan

Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat

12. Permenhut RI No P.14/Menhut-II/2012 Pedoman Penyelenggaraan RHL 2012

13. Permenhut RI No .14/Menhut-II/2012 Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat

14. Permenhut No P.18/Menhut-II/2012 Ganti Rugi Hasil RHL

B. Analisis Kebutuhan Penelitian

1. Kajian Kebijakan Teknis Penyelenggaraan RHL yang Bersumber dari Dana

Pemerintah di Lahan Milik ( Perencanaan, Penanaman, Pemeliharaan, Evaluasi, dan

Monitoring)

2. Kajian Kebijakan Tata Niaga Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu Hutan Tanaman

Rakyat

3. Analisis Kebutuhan Bimbingan Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Page 266: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 104

II. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT JUDUL

PENELITIAN

A. Identifikasi Regulasi yang ada

No Peraturan Perihal

1. Permenhut RI No P.70/MenhutII/2008

diubah dengan Permenhut RI No

P.26/Menhut-II/2010

Pedoman Teknis RHL

2. Permenhut RI No P.32/MenhutII/2009

diubah dengan Permenhut RI No

P.35/Menhut-II/2010

Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik RHL DAS

3. Permenhut RI No P.37/MenhutII/2010 Tata Cara Penyusunan Rencana Rehabilitasi dan

Reklamasi Lahan

4. Permenhut RI No P.39/MenhutII/2010 Pola Umum, Kriteria, dan Standar Rehabilitasi

dan Reklamasi Hutan

5. Permenhut RI No P.12/MenhutII/2011 Pedoman Penyelenggaraan RHL tahun 2011

6. Permenhut RI No P.61/MenhutII/2011 Panduan Penanaman Satu Miliar Pohon

7. Permenhut RI No P.42/MenhutII/2012 Penyuluh Kehutanan Swasta dan Penyuluh

Kehutanan Swadaya Masyarakat

8. Permenhut RI No P.46/MenhutII/2012 Metode dan Materi Penyuluhan Masyarakat

9. Permenhut RI No P.3/Menhut-II/2012 Rencana Kerja pada Usaha Pemanfaatan Hasil

Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat

10. Permenhut RI No P.14/MenhutII/2012 Pedoman Penyelenggaraan RHL 2012

11. Permenhut RI No .14/Menhut-II/2012 Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat

12. Permenhut RI No P.70/MenhutII/2008

diubah dengan Permenhut RI No

P.26/Menhut-II/2010

Pedoman Teknis RHL

B. Analisis Kebutuhan Penelitian (Rancangan Penelitian)

Topik Metode

Kajian Kebijakan Teknis Penyelenggaraan

RHL yang Bersumber dari Dana Pemerintah di

Lahan Milik

Studi pustaka, wawancara parapihak untuk

mengetahui kesenjangan implementasi,

penyusunan strategi dengan SWOT, AHP

Kajian Kebijakan Tata Niaga Hasil Hutan

Kayu dan Non Kayu Hutan Tanaman Rakyat

Studi pustaka, wawancara parapihak mengenai

kesenjangan implementasi dan jalur tata niaga,

penyusunan strategi dengan SWOT, AHP

Analisis Kebutuhan Bimbingan Teknis

Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Studi pustaka, wawancara parapihak mengenai

kebutuhan metode, materi dan jumlah penyuluh,

penyusunan strategi dengan SWOT, AHP

III. KEBIJAKAN KEMENTERIAN KEHUTANAN TERKAIT JUDUL

PENELITIAN

A. Identifikasi Regulasi yang ada

No Peraturan Perihal

1. Permenhut RI No P.70/MenhutII/2008

diubah dengan Permenhut RI No

P.26/Menhut-II/2010

Pedoman Teknis RHL

Page 267: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 105

No Peraturan Perihal

2. Permenhut RI No P.32/MenhutII/2009

diubah dengan Permenhut RI No

P.35/Menhut-II/2010

Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik RHL

DAS

3. Permenhut RI No P.37/MenhutII/2010 Tata Cara Penyusunan Rencana Rehabilitasi

dan Reklamasi Lahan

4. Permenhut RI No P.39/MenhutII/2010 Pola Umum, Kriteria, dan Standar Rehabilitasi

dan Reklamasi Hutan

5. Permenhut RI No P.12/MenhutII/2011 Pedoman Penyelenggaraan RHL tahun 2011

6. Permenhut RI No P.61/MenhutII/2011 Panduan Penanaman Satu Miliar Pohon

7. Permenhut RI No P.42/MenhutII/2012 Penyuluh Kehutanan Swasta dan Penyuluh

Kehutanan Swadaya Masyarakat

8. Permenhut RI No P.46/MenhutII/2012 Metode dan Materi Penyuluhan Masyarakat

9. Permenhut RI No P.3/Menhut-II/2012 Rencana Kerja pada Usaha Pemanfaatan Hasil

Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat

10. Permenhut RI No P.14/MenhutII/2012 Pedoman Penyelenggaraan RHL 2012

11. Permenhut RI No .14/Menhut-II/2012 Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat

12. Permenhut RI No P.70/MenhutII/2008

diubah dengan Permenhut RI No

P.26/Menhut-II/2010

Pedoman Teknis RHL

B. Analisis Kebutuhan Penelitian (Rancangan Penelitian)

Topik Metode

Kajian Kebijakan Teknis

Penyelenggaraan RHL yang Bersumber

dari Dana Pemerintah di Lahan Milik

Studi pustaka, wawancara parapihak untuk

mengetahui kesenjangan implementasi, penyusunan

strategi dengan SWOT, AHP

Kajian Kebijakan Tata Niaga Hasil Hutan

Kayu dan Non Kayu Hutan Tanaman

Rakyat

Studi pustaka, wawancara parapihak mengenai

kesenjangan implementasi dan jalur tata niaga,

penyusunan strategi dengan SWOT, AHP

Analisis Kebutuhan Bimbingan Teknis

Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Studi pustaka, wawancara parapihak mengenai

kebutuhan metode, materi dan jumlah penyuluh,

penyusunan strategi dengan SWOT, AHP

IV. SINTESIS HASIL PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Waktu Penelitian 2011 2012 2013

Lokasi Penelitian Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai

Timur, Kabupaten Kutai Barat

Desa Semoi Dua

Kec. Sepaku Kab.

Penajam Paser Utara

Rancangan

Penelitian

Survey persepsi

parapihak mengenai

RHL yang telah

dilaksanakan untuk

mengetahui tingkat

partisipasi dan faktor-

faktor yang

berpengaruh

Wawancara

persepsi parapihak

mengenai opsi jenis,

pola tanam, lokasi

tanam, bimbingan

teknis, dan perjanjian

kemitraan

Pembangunan model

kemitraan rehabilitasi

hutan dengan masya-

rakat di KHDTK

Samboja

Page 268: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 106

V. HASIL PENELITIAN

A. Evaluasi Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan Wilayah

DAS Mahakam (2011)

Berdasarkan tahapan yang diikuti, tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL

di wilayah DAS Mahakam merupakan partisipasi fungsional (berpartisipasi tidak dalam

seluruh tahapan), yaitu tinggi pada tahap perencanaan lokasi, penanaman, pemeliharaan,

dan pemanfaatan hasil, bertingkat sedang untuk perencanaan jenis, pola dan jarak tanam,

rendah pada tahap perencanaan anggaran, serta monitoring dan evaluasi kegiatan.

Berdasarkan jenis pendekatan termasuk dalam induced participation (partisipasi dengan

dorongan/arahan dan berdasarkan iming-iming/imbalan). Sementara strategi partisipasi

yang digunakan selama ini cenderung pada strategi kekuasaan

Faktor-faktor internal seperti usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan luas

lahan ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap keberhasilan RHL. Faktor-faktor internal

yang berpengaruh terhadap keberhasilan RHL antara lain : 1) nilai budaya bertani yang

dianut (budaya mengolah tanh, menanam dan memelihara tanaman secara intensif, budaya

pemanfaaatan lahan kososng serta budaya produktif/pemanfaatan waktu luang); 2)

pengetahuan tentang fungsi dan teknik RHL; dan 3) adanya nilai/tradisi memelihara

sumber air dengan jalan memelihara hutan. Faktor eksternal yang berpengaruh adalah : 1)

kondisi internal kelompok tani; 2) adanya bimbingan; dan 3) kebijakan tata ruang

pemerintah daerah setempat.

Sebagian responden (94,9%) melaksanakan kegiatan RHL karena motif ekonomi,

hanya 5,1% yang bermotifasi melestarikan hutan/sumber air.

Hasil penelitian di atas mengenai faktor tingkat pendidikan dan pendapatan yang tidak

signifikan mempengaruhi keberhasilan RHL ternyata tidak sesuai dengan pendapat

Sastropoetro (1988) dan Pangesti (1995) yang diacu oleh Setyowati (2010). Namun

Sastropoetro (1988) juga menyatakan bahwa program pembangunan pemerintah

menentukan keberlanjutan partisipasi masyarakat. Sementara Pangesti (1995) juga

menyatakan bahwa kegiatan penyuluhan mempengaruhi partisipasi masyarakat

Perlu mengubah strategi peningkatan partisipasi menjadi strategi fasilitas dan edukasi

sesuai dengan strategi pemberdayaan masyarakat menurut Harper (1995 dalam Trison

2005).

B. Strategi Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan dan

Lahan Wilayah DAS Mahakam (2012)

Strategi fasilitasi dan edukasi memerlukan fasilitator lokal, materi bimbingan meliputi

penguatan kelompok, teknik penanaman, pemeliharaan, pemanenan, budidaya, dan

pemasaran, metode lisan dan tertulis, 30% teori dan 70 % praktek, ada plot percontohan

Pola tanam yang paling diminati adalah jenis karet sebagai tanaman pokok dan

tanaman kayu dan buah-buahan sebagai tanaman tepi, dengan prioritas lokasi RHL pada

lahan sepanjang tepi sungai dan berlereng curam

Ketentuan kerja sama: a) volume target adalah jumlah tanaman yang tumbuh setelah

tiga tahun tanam b) jumlah anggota kelompok tani 5-10 orang; c) berada pada lokasi lahan

kritis, ada bukti penguasaan lahan, biaya ganti rugi tanam tumbuh apabila terjadi alih

Page 269: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 107

fungsi lahan; d) jangka waktu bantuan minimal 4 tahun; e) bantuan swakelola, besarnya

dana swadaya masyarakat minimal 40% anggaran; f) monitoring dan evaluasi setiap 6

bulan selama masa pemeliharaan; g) hasil penanaman 100% untuk petani

C. Pembangunan Model Kemitraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di KHDTK

Samboja (2013-2014)

Dalam proses pembangunan model kemitraan rehabililitasi hutan di KHDTK Hutan

Penelitian Samboja, proses pendekatan ke masyarakat mengalami hambatan karena

tekanan sosial yang tinggi akibat konflik perambahan, sement[ara target luasan dan waktu

tetap harus dipenuhi (sebagai proyek pemerintah). Dilaksanakan penanaman KHDTK

Hutan Penelitian Samboja yang telah dirambah seluas 10 hektar. Jenis-jenis yang ditanam

pada areal model adalah kesepakatan tim peneliti Balitek KSDA KSDA dan anggota

kelompok tani yaitu jenis yang bisa diambil manfaat non kayunya (karet, lai, kemiri), jenis-

jenis tanaman kayu (ulin, gaharu, dan agathis), dengan tanaman sela padi gunung

Surat Perjanjian Kemitraan ditandatangani oleh Kepala Balitek KSDA, sedang Pihak

Kedua adalah petani warga Desa Semoi Dua (perorangan), antara lain berisi kesepakatan

berikut : a) Tujuan kerja sama adalah menjalin mitra kerja untuk merehabilitasi dan

memelihara, serta melindungi kawasan hutan sekaligus meingkatkan penghasilan

masyarakat serta produktivitas kawasan hutan; b) Lokasi lahan rehabilitasi berada di

wilayah KHDTK Hutan Penelitian Samboja, seluas 1 (satu) sampai 1,5 hektar. Pihak

Kedua telah membuka lahan tersebut untuk berladang sebelum kegiatan penelitian

dilakukan. Lahan tetap dalam status hukum semula, dan Pihak Kedua dilarang memperluas

pembukaan lahan di KHDTK Samboja

Hasil analisis finansial menunjukkan potensi pendapatan dari hasil hutan non kayu

sebesar Rp 3.196.869.820 per hektar selama 25 tahun, dengan biaya pembangunan model

untuk bahan lapangan dan tenaga kerja serta bimbingan teknis selama 4 tahun sebesar Rp

14.608.000/hektar.

VI. IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN

1. Metode : pembangunan model kemitraan rehabilitasi hutan dan lahan di lahan milik

maupun lahan negara (dalam proses), dengan model agroforestry karet dengan jenis-

jenis tanaman asli Kalimantan.

2. Input kebijakan : perlunya revisi kebijakan mengenai target proyek RHL dari luasan

tertanam (ekstensif) menjadi jumlah tanaman yang hidup (intensif), serta kebijakan

teknis metode dan materi penyuluhan/bimbingan RHL.

3. Produk : demo plot seluas 10 hektar, surat perjanjian kemitraan, dan karya tulis

ilmiah

DAFTAR PUSTAKA

Arnstein, S.R. 1969. A Ladder of Citizen Participation. Journal of the American Institute

of Planners Vol 35 No 4: 216-224.

Page 270: RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung

Sintesis 2010-2014 | 108

Murniati. 2007. Rehabilitasi Hutan dan Lahan : Sejarah, Karakteristik, dan Upaya

Mencapai Kegiatan Berkelanjutan. Makalah pada Ekspose dan Gelar Teknologi

Hasil-Hasil Penelitian ”IPTEK untuk mendukung Pembangunan Daerah dan

Kesejahteraan Masyarakat Provinsi Kalimantan Barat”. Pontianak. 11-13 Desember

2007.

Setyowati, E. 2010. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Desa

Surodadi, Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Tesis Sekolah Pascasarjana IPB.

Bogor

Trison, S. 2005. Pengembangan Partisipasi masyarakat dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan.

Tesis Program pascasarjana IPB. Bogor