rosasea fix
DESCRIPTION
lkjlkjlkTRANSCRIPT
1
ROSASEA
Daniela Selvam, S.Ked
Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UNSRI / RSUPMH Palembang
2015
PENDAHULUAN
Rosasea adalah penyakit kulit kronis pada daerah sentral wajah yang menonjol atau
cembung yang ditandai dengan kemerahan pada kulit dan telangiektasi disertai episode
peradangan ditandai erupsi papul, pustul, dan edema. Selain itu, pada periode tertentu wajah
tampak kemerahan dan terasa panas terbakar yang terjadi hanya dalam beberapa menit
(flushing).
Rosasea lebih sering terjadi pada populasi kulit putih, namun dapat terjadi pada populasi
Afrika dan Asia. Berdasarkan National Rosacea Society (NRS) diperkirakan terjadi pada 14
juta orang Amerika. Rosasea dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki, dimana
perempuan berisiko dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan laki-laki. Rosasea sering
terjadi pada usia 30 sampai 50 tahun, namun dapat pula terjadi pada anak-anak, remaja, dan
dewasa muda. Diagnosis awal serta kombinasi terapi tabir surya dan topikal yang cepat dan
tepat dapat mengurangi risiko terapi oral dan biaya untuk terapi laser dan sinar.
Rosasea telah banyak diketahui secara umum, tetapi masih menjadi suatu kontroversi
terutama pada ahli dermatologi, disebabkan patofisiologi yang belum jelas dan variasi gejala
klinisnya. Sebagian besar para ahli meyakini bahwa perubahan vaskular, terutama flushing
merupakan suatu gambaran yang khas dan konstan yang diikuti dengan progresifitas ke arah
inflamasi (papul dan pustul) dan adanya limfederma kronik, penebalan kulit, dan rhinofima
merupakan suatu komplikasi lanjut.
Referat ini membahas mengenai rosasea meliputi epidemiologi, etiologi, patogenesis,
gambaran klinis, diagnosis, diagnosis banding, terapi, prognosis dan kesimpulan. Berdasarkan
Standar Kompetensi Dokter Indonesia, kompetensi pada kasus ini adalah 3A yaitu dokter
umum mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik, pemeriksaan-
pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan lab atau x-ray, memutuskan dan memberi terapi
pendahuluan serta merujuk ke spesialis yang relevan.
2
DEFINISI
Rosasea adalah suatu penyakit peradangan yang bersifat kronik pada kulit, berbentuk
seperti akne yang umumnya terjadi pada kelenjar pilosebaseus di wajah dan dapat merusak
kontur wajah sehingga tampak lebih cembung, terutama pada bagian hidung, pipi, dagu, dan
dahi. Penyakit ini ditandai juga dengan adanya eritema yang berkepanjangan dan
telangiektasis disertai dengan papul atau pustul.Selain itu, pada periode tertentu wajah tampak
kemerahan dan terasa panas terbakar yang terjadi hanya dalam beberapa menit (flushing).
Pada kenyataannya tidak semua kasus sesuai dengan gambaran ini, di mana tidak
semua ciri-ciri selalu muncul. Penelitian terbaru ini untuk menentukan kriteria diagnosis
menyimpulkan bahwa adanya satu atau lebih dari tanda-tanda berikut pada bagian sentral
wajah dipikirkan sebagai rosasea yaitu flushing (kulit kemerahan dan terasa panas terbakar),
eritema non transient, papul, pustul, dan telangiektasis.
EPIDEMIOLOGI
Rosasea lebih sering terjadi pada ras kulit putih tetapi kemungkinan ras Afrika dan ras
Asia juga dapat menderita rosasea. Insiden terjadinya pada usia 30-50 tahun, dengan insiden
puncak antara 40-50 tahun tetapi dapat pula terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa
muda.
Berdasarkan jenis kelamin, pada umumnya rosasea lebih sering terjadi pada perempuan
dibanding laki-laki dimana perempuan berisiko dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan
laki-laki. Rhinophyma merupakan salah satu jenis rosasea lebih sering menyerang laki-laki
dibanding perempuan. Data insiden rosasea pada kelompok etnik yang berbeda sangat
bervariasi ras Asia dan insiden terendah pada populasi berkulit hitam. Rosasea bukan
penyakit yang mengancam jiwa, tetapi perkembangannya yang meliputi papul, pustul, dan
rinophima mempunyai dampak negatif terhadap kualitas hidup dari penderitanya. Survei yang
dilakukan oleh National Rosasea Society (NRS) melaporkan bahwa sampai 70% pasien
rosasea menyatakan penyakit tersebut berpengaruh terhadap rasa percaya diri dan kehidupan
sosial mereka.
ETIOLOGI
Etiologi rosasea tidak diketahui secara pasti. Ada berbagai hipotesis mengenai faktor
penyebab, yaitu:
1. Makanan dan minuman
3
Alkohol dan makanan berbumbu pedas diduga merupakan penyebab rosasea. Bahkan
konstipasi, penyakit gastrointestinal dan penyakit kelenjar empedu telah pula dianggap
sebagai faktor penyebab terjadi rosasea.
2. Psikis/emosional
Belum banyak penelitian mengenai hubungan psikis dengan insiden terjadinya rosasea
tetapi diduga terjadi akibat stres berlebihan sehingga mengganggu fungsi kerja hormon
yang memicu reaksi inflamasi.
3. Obat-obatan
Adanya peningkatan bradikinin yang dilepaskan oleh adrenalin pada saat kulit kemerahan
diduga peran disebabkan berbagai obat, baik sebagai penyebab maupun yang dapat
digunakan sebagai terapi rosasea. Obat-obat yang berperan untuk kulit kemerahan adalah
seperti calcium channel blockers, nicotinic acid (niacin), morphine, amyl dan butyl nitrate,
cholinergic drugs, bromocriptine, thynoid releasing hormone, tamoxifen, cyproterone
acetate, systemic steroids dan cyclosporine. Obat-obat yang berkombinasi dengan alkohol
yang berperan untuk kulit kemerahan adalah cephalosporins, phentolamine, disulfiram dan
chlorpropamide. Amiodarone juga menyebabkan kulit kemarahan.
4. Infeksi
Organisme comensal seperti Propionibacterium acnes dan Demodex follicurolum, yang
berada di folikel rambut dan kelenjar sebasea, memicu inflamasi papul folliculocentric
pada pasien rosasea masih belum jelas tetapi reaksi hipersensitivitas mungkin dipicu oleh
mikroba atau oleh bakteri tungau terkait seperti Bacillus Oleronius.
5. Musim/iklim
Kerusakan pembuluh darah akibat sinar matahari dianggap sebagai faktor etiologi dan
solar elastosis adalah gejala khas rosasea.
6. Imunologi
Pada pemeriksaan histopatologi kulit penderita rosasea, pada lapisan dermoepidermal
ditemukan deposit imunoglobulin sedangkan di kolagen papiler ditemukan antibodi
antikolagen dan antinuklear antibodi sehingga ada dugaan faktor imunologi pada rosasea.
PATOGENESIS
Patogenesis rosasea adalah multifaktorial, tetapi sangat jelas hubungannya dengan
hiperaktivitas vaskular. Eritema pada rosasea ini disebabkan oleh dilatasi pembuluh darah
superfisial wajah. Diduga terjadi atrofi pars papilare dermis yang menyebabkan visualisasi
kapiler kulit menjadi lebih jelas. Pasien rosasea memberikan riwayat wajah yang mudah
4
memerah dan mengeluhkan warna kulit yang memerah sedikit demi sedikit. Makanan dan
obat-obatan yang menginduksi vasodilatasi wajah terlihat sejalan dengan perkembangan
rosasea. Pasien dengan rosasea memiliki kulit yang mudah teriritasi. Sebagai contoh, pasien
sering mengeluh mengalami rasa perih dan terbakar jika menggunakan kosmetik dan obat-
obatan topikal. Vasodilatasi pasien rosasea lebih besar dan persisten dibandingkan yang
terlihat pada orang normal. Stimulasi suhu adalah penyebab dari food-induced flushing pada
kebanyakan pasien, misalnya suhu kopi dan teh yang panas dapat menyebabkan wajah
kemerahan. Walaupun rosasea tidak secara umum dianggap sebagai penyakit neurokutaneus,
penting diketahui bahwa flushing atau wajah kemerahan dimediasi oleh suatu fungsi neural
dan dengan demikian rosasea pun memiliki dasar neurologi.
Didapatkan a danya hubungan yang erat antara sistem vaskular dan sistem imun, sama
seperti pemberian anti inflamasi yang pada kenyataan cukup efektif sebagai terapi rosasea.
Hal ini memberi kesan bahwa sel-sel radang seperti neutrofil dan mediator inflamasi lainnya
merupakan faktor utama patofisiologi terjadinya rosasea. Ketidakstabilan pembuluh darah
(vascular instability/vascular lability) terjadi karena faktor hormon, stres emosional,
makanan, paparan sinar matahari, pelepasan substansi vasoaktif dan infestasi Demodex
folliculorum. Hal ini mengakibatkan terjadi pelepasan mediator inflamasi, di antaranya yaitu
sitokin yang akan menginduksi terjadinya proses inflamasi.
Flushing atau rasa panas pada rosasea lebih sering dimediasi oleh pelepasan substansi
vasoaktif daripada mekanisme refleks saraf, tetapi hal ini belum dapat ditetapkan sebagai
dasar patofisiologi dan kedua mekanisme ini pun dapat berperan penting. Mediator inflamasi
yang dimaksud termasuk serotonin, bradikinin, prostaglandin, substansi P, peptida opiod dan
gastrin. Kadar substansi P dalam darah meningkat pada beberapa pasien tetapi tidak selalu
terjadi. Peptida opiod dikemukakan sebagai mediator dari flushing pada rosasea berdasarkan
aksi supresi dari antagonis opiod, nalokson. Sering pula dianggap bahwa rosasea berhubungan
dengan gejala-gejala pada gastrointestinal, walaupun hanya sedikit bukti nyata yang
mendukung pendapat ini.
Demodex folliculorum seringkali ditemukan pada folikel pustul yang meradang pada
hidung penderita rosasea. Demodex folliculorum merupakan suatu tungau yang hidup dalam
lumen folikel glandula sebasea pada kepala yang diduga sebagai penyebab rosasea pada usia
pertengahan. Spesies Demodex (tungau yang secara normal hidup pada folikel rambut
manusia) mungkin berperan dalam patogenesis rosasea. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa Demodex folliculorum menyukai daerah kulit yang merupakan predileksi rosasea
seperti hidung dan pipi. Demodex folliculorum ini terlihat lebih banyak pada pasien rosasea
5
papulopustular dibandingkan dengan individu normal. Selain itu, folikel yang didiami oleh
tungau ini dapat memberikan respon inflamasi lokal.
Banyak peneliti juga mengemukakan bahwa terjadi infiltrasi respon imun sel T-helper
yang mengelilingi antigen Demodex folliculorum pada pasien rosasea. Walaupun demikian,
penelitian lain menunjukkan pula hal yang sebaliknya. Penelitian tersebut menyatakan bahwa
Demodex folliculorum tidak menyebabkan respon inflamasi pada rosasea. Oleh sebab itu,
diperlukan lebih banyak penelitian dan studi untuk menentukan apakah Demodex folliculorum
bersifat patogen. Kerusakan jaringan yang disebabkan oleh photoaging/solar aging akibat
paparan sinar matahari juga berperan dalam patogenesis rosasea karena terjadi aktivasi sistem
imun yang dapat mengakibatkan inflamasi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, paparan
sinar matahari juga dapat mengakibatkan ketidakstabilan vaskular yang akhirnya menginduksi
pelepasan mediator-mediator inflamasi. Degradasi aktinik pada vaskular dan kolagen
perivaskular serta jaringan elastis secara langsung menurunkan integritas mekanik pembuluh
darah dan meningkatkan hiperesponsif pembuluh darah kecil di wajah.
Angiogenesis yang dicetuskan oleh inflamasi dapat pula dihubungkan dengan
timbulnya telangiektasis. Faktor angiogenik disimpan dalam matriks ekstraselular dilepaskan
oleh protease neutrofil atau dilepaskan dan diaktivasi oleh makrofag. Proses inflamasi
selanjutnya berperan dalam patogenesis eritema dan telangiektasis. Enzim-enzim degradasi,
termasuk protease seperti elastase yang dilepaskan dari neutrofil yang teraktivasi akan
merusak jaringan ikat yang mengelilingi pembuluh darah.
Solar elastosis dapat pula menyebabkan kegagalan sistem limfatik. Ketika volume
eksudat protein berlebih dalam drainase sistem limfatik, cairan ekstraseluler terakumulasi
pada kulit bagian superfisial. Hal ini mengakibatkan terjadinya edema pada kulit dan
peradangan, dimana seringkali didahului dengan hipertrofi jaringan ikat. Neutrofil ini
melepaskan protein yang mendegradasi protein matriks, menyebabkan fibroplasias, suatu
proses awal terjadinya rhinophyma.
GAMBARAN KLINIS
Predileksi rosasea pada sentral wajah, yaitu hidung, pipi, dagu, kening, dan alis. Dapat
meluas ke leher dan pergelangan tangan atau kaki. Lesi umumnya simetris.Gejala utama
rosasea adalah eritema, telangiektasia, papul, edema, dan pustul. Komedo tidak ditemukan
dan jika ada mungkin kombinasi dengan akne. Adanya eritema dan telangiektasia adalah
persisten pada setiap episode dan merupakan gejala khas rosasea. Papul kemerahan pada
6
rosasea tidak nyeri, berbeda dengan akne vulgaris. Pustul hanya ditemukan pada 20%
penderita, edema dapat menghilang atau menetap antara episode rosasea.
Rosasea terdiri atas stadium I-III berdasarkan Plewig-Kligman. Pada tahap awal
(stadium I) rosasea dimulai dengan timbulnya eritema tanpa sebab atau akiba sengatan
matahari. Eritema ini menetap lalu diikuti timbulnya beberapa telangektasia. Pada tahap
kemudian (stadium II) dengan diselingi episode akut yang menyebabkan timbulnya papul,
pustul dan edema, terjadilah eritema persisten dan banyak telengietasia, papul dan pustul.
Pada tahap lanjut (stadium III) terlihat eritema persisten yang dalam banyak telangektasia,
papul, pustul, nodul, dan edema.
KLASIFIKASI
NRS Commitee, pada tahun 2002 menetapkan klasifikasi rosasea ke dalam 4 tipe, yaitu
eritematotelangiektasis, papulopustular, phymatous dan okular.
1. Tipe eritematotelangiektasis (ETR)
Rosasea tipe eritematotelangiektasis (ETR) ditandai oleh rasa perih pada bagian
sentral wajah dan sering disertai dengan rasa panas dan terbakar. Kulit kemerahan
biasanya terdapat di sekitar mata. Pasien dengan rosasea tipe ini memiliki kulit
bertekstur baik dengan penurunan kualitas kelenjar sebasea. Area eritem pada wajah
terlihat kasar dan berbatas yang merupakan suatu proses yang kronik, seperti dermatitis
ringan. Faktor pencetus yang paling sering menyebabkan rasa panas atau terbakar ini
termasuk stres emosional, minuman panas, alkohol, makanan berbumbu pedas,cuaca
dingin atau panas.
Gambar 1.Rosasea tipe eritematotelangiektasis (ETR)
2. Tipe papulopustular (PPR)
7
Rosasea tipe papulopustular (PPR) merupakan bentuk klasik rosasea.Kebanyakan
pasien adalah wanita berusia pertengahan dengan keluhan papul dan pustul pada bagian
sentral wajah (central portion).Telangiektasis yang terjadi agak sulit dibedakan dengan
eritema.
Gambar 2. Rosasea tipe papulopustular (PPR)
3. Rosaseaphymatous
Rosasea tipe phymatous merupakan rosasea dengan penebalan pada kulit dan
permukaan terdapat nodul iregular di daerah hidung, dagu, dahi, satu atau kedua telinga,
dankelopak mata. Terdapat empat pembagian tipe rhinophyma yaitu suatu perubahan
pada hidung) secara histologis yaitu tipe glandula (akibat hiperplasia kelenjar sebasea
dan merupakan tipe yang lebih dominan, tipe fibrosa akibat hiperplasia jaringan
konektif, tipe fibroangiomatosis yaitu hiperplasia jaringan ikat dan pelebaran pembuluh
darah, dan tipe aktinik akibat massa nodular jaringan elastis.
Gambar 3. Rosasea tipe phymatous
4. Rosasea okular
8
Manifestasi rosasea okular meliputi blefaritis, konjungtivitis, peradangan pada
kelopak mata dan kelenjar Meibom, hiperemis konjungtiva interpalpebra dan
telangiektasis konjungtiva.Pasien mungkin mengeluh mata terasa perih atau terbakar,
kering, dan seperti ada sensasi benda asing atau sensasi cahaya.Rosasea okular hampir
mirip dengan rosasea phymatous. Oleh karena itu, harus ditanyakan pada pasien tentang
keluhan dan gejala okular dan dilakukan pemeriksaan fisik untuk menentukan tipe
rosasea.
Gambar 4. Rosasea tipe okular
Plewig dan Kligman mengklasifikasikan rosasea berdasarkan stadium sebagai
berikut:
1. Stadium I : eritema persisten dengan telangiektasis
2. Stadium II : eritema persisten, telangiektasis, papul, pustul kecil
3. Stadium III : eritema persisten yang dalam, telangiektasis yang tebal, papul, pustul,
nodul, jarang ada edema padat/keras pada bagian sentral wajah.
Pada klasifikasi ini, stadium I analog dengan tipe eritematotelangiektasis, stadium
II dengan tipe papulopustular, dan stadium III analog dengan tipe phymatous.Progresi dari
satu stadium ke stadium lain tidak selalu terjadi. Rosasea dapat dimulai dengan stadium II
atau III dan stadium-stadium itu dapat terjadi bersamaan.
DIAGNOSIS
Tidak ada uji diagnostik yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis rosesa.Penegakan
diagnosis dilakukan dengan melihat gejala primer dan sekunder dari rosasea.Biopsi kulit
dapat dilakukan hanya untuk menyingkirkan diagnosis banding.
a. Gambaran primer
9
Diagnosis rosasea ditegakkan bila pada wajah bagian sentral ditemui satu atau lebih
tanda-tanda:
Kemerahan kulit (eritema transien)
Eritema nontransien
Papul dan pustul. Papul merah berbentuk kubah dengan atau tanpa disertai pustul,
dapat pula disertai dengan nodul.
Telangiektasis.
b. Gambaran sekunder
Tanda dan gejala di bawah sering muncul dengan satu atau lebih gambaran primer, tapi
beberapa pasien dapat mengalaminya secara terpisah.
Rasa terbakar dan pedih
Plak
Kulit kering.
Edema.
Manifestasi okular.
Lokasi perifer.
Perubahan fimatous.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding rosasea terbagi atas dua kelompok gejala klinik rosasea yaitu
papul/pustul wajah dan flushing atau eritema.
1. Papul atau pustul pada wajah
a. Akne vulgaris
Akne vulgaris dapat terjadi pada remaja dengan kulit seborhoe, klinis komedo, papul,
pustul, nodus, kista. Tempat predileksi muka, leher, bahu, dada, dan punggung bagian
atas.Tidak ada telangiektasis. Sedangkan pada rosasea, tidak terdapat komedo,
ditemukan dilatasi vaskular, terjadi pada usia pertengahan, dan umumnya terbatas
pada 2/3 wajah.
10
Gambar 5. Akne vulgaris
b. Dermatitis perioral
Dermatitis perioral terjadi pada wanita muda, tempat predileksi sekitar mulut dan
dagu, lesi polimorfik tanpa telangiektasis dan keluhan gatal.Berbeda dengan rosasea,
pada dermatitis perioral tidak terdapat telangiektasis dan flushing. Dermatitis perioral
biasanya disebabkan oleh penggunaan steroid topikal.
Gambar 6. Dermatitis perioral
2. Flushing atau eritema pada wajah
a. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik sering terjadi bersama-sama dengan rosasea, tetapi yang
membedakannya yaitu pada dermatitis seboroik terdapat skuama berminyak dan agak
gatal. Tempat predileksi di area seboroik yaitu : retroaurikular, alis mata, dan sulkus
nasolabialis.
11
Gambar 7. Dermatitis seboroik
b. Acute Cutaneous Lupus Eritematous (ACLE)
Meskipun ACLE dapat menstimulasi terjadinya rosasea, namun klinis terlihat eritema
dan atrofi pada pipi dan hidung dengan batas tegas dan berbentuk kupu-kupu. Lesi
pada ACLE tidak mengenai sulkus nasolabialis, biasanya lebih fotosensitif.
Gambar 8. Lupus eritematosus sistemik
c. Dermatomiositis
Dermatomiositis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik yang menyerang kulit
dan atau otot rangka.Dermatomiositis ditandai oleh adanya edema dan inflamasi
periorbita, eritema pada wajah, leher, dan bagian atas tubuh.
12
Gambar 9.Dermatomiositis
PENATALAKSANAAN
Topikal
Penatalaksanaan awal yang dapat dilakukan adalah menjauhkan dari bahan – bahan
yang dapat mengiritasi seperti sabun, alkohol, larutan obat, dan yang dapat merusak kulit.
Hanya sabun tertentu yang dapat digunakan. Melindungi diri dari sinar matahari sangat
penting dilakukan yaitu dengan faktor pelindung 15 atau yang lebih tinggi selalu di
rekomendasikan seperti spektrum UVA dan UVB.
Biasanya antibiotik efektif pada pasien dengan akne. Tetracycline, Eritromycin dan
Klindamycin dengan konsentrasi 0,5% - 2% sering diberikan. Metronidazole adalah derivate
synthetic antibacteri dan antiprotozoa. Dari peneitian klinis, metronidazole 0,75% gel tropikal
atau krim 1% dapat menyembuhkan lesi hingga 68% – 91%. Bentuk gel adalah yang paling
efektif untuk papul dan pustul rosasea.
Imidazole juga biasa digunakan untuk rosasea. Mekanisme kerjanya adalah sebagai
anti inflamasi dan imunosupresan dan bactericidal. Efek toksin imidazole sangat rendah dan
bisa mentoleransi kulit pasien yang sensitif. Adapalene Neftoic acid derivate terbaru dengan
poten retinoid acid reseptor agonis dan anti inflamasi. Adapalene terbukti aman sebagai
penatalaksanaan topikal untuk akne dan kulit yang teriritasi. Adapalene gel 0,1% berefek kuat
pada papul dan pustul tapi kurang signifikan pada eritem dan telangiektasis.
Retinoid topikal adalah pilihan lain. Contohnya isotretinoin 0,2% yang mengurangi iritasi dan
inflamasi lesi di stage II dan stage III. Topikal kortikosteroid bisa digunakan kecuali untuk
rosasea fulminant.
13
Sistemik
Rosasea sangat berespon baik terhadap antibiotik oral. Eritromycin biasanya efektif
tetapi tetracyclin yang paling efektif. Tetracyclin-HCL, oxytetracyclin, doxyciclin dan
minocycline biasanya efektif dalam mengontrol papul dan pustul dari rosasea dan mengurangi
eritem. Dapat dimulai dengan dosis 1 – 1,5 g tetracyclin-HCL dan oxytetracyclin per hari,
serta 50 g minocycline dan doxyciclyn diberikan dua kali sehari. Tetracyclin oral efektif pada
roasea oftalmica.(1, 2, 6, 11, 12)
Isotretionin juga efektif meskipun mempunyai resiko yang lebih daripada tetracyclin.
Obat ini bisa digunakan untuk rosasea yang resisten terutama yang tidak berespon terhadap
antibiotik, seperti rosasea lupoid, rosasea stage III, rosasea gram negatif, rosasea conglobate,
rosasea fulminant. Dosisnya 0,5 – 1 mg/kg/hari. Efek samping pada mata yang paling sering
terjadi.(1, 2, 5, 6, 11-13)
Pemberian kortikosteroid biasanya diberikan pada rosasea fulminant contohnya
prednisolon 1 mg/kg/hari diberikan selama 7 hari.(11, 12)
Terapi Tambahan
Terapi secara topikal dan oral terkadang tidak berhasil mengurangi eritema pada rosasea
tipe tertentu. Perawatan dengan intense-pulsed light dan long-pulsed dye lasers memberikan
hasil efektif dalam mengurangi eritema dan telangiektasis pada rosasea, terapi tersebut mahal
dan tidak dapat menghilangkan eritema atau telangiektasis secara permanen.
KESIMPULAN
Rosasea adalah suatu penyakit peradangan kronik pada kulit yang umumnya terjadi
pada kelenjar pilosebaseus di wajah dan dapat merusak kontur wajah sehingga tampak lebih
cembung, terutama pada bagian hidung, pipi, dagu, dan dahi. Klinis terdapat eritema, papul,
pustul, telangiektasis dan hipertrofi kelenjar sebasea dan atau manifestasi okular yang
persisten selama berbulan-bulan atau lebih. Perbandingan antara wanita dan laki-laki 3
banding 1, sering terjadi pada usia 30 sampai 50 tahun, namun dapat pula terjadi pada anak-
anak, remaja, dan dewasa muda. Rosasea terdiri atas subtipe eritematotelangiektasis, papul,
pustul, phymatous, dan okular. Diagnosis pada rosasea ditegakkan melalui dengan
menghindari faktor pencetus rosasea, pemberian obat topikal, obat sistemik, dan terapi
tambahan lain berupa terapi.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Pelle MT. Rosacea. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
Wolf K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York:
McGraw-Hill Companies Inc; 2012. P 918-925.
2. Wolf K, Johnson RA.Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology.
6th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2009. P 8-10.
3. Jones JB.Rosacea, Perioral Dermatitis, and Similar Dermatoses, Flushing and Flushing
Syndrome. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffths C, editors. Rook’s Text Book of
Dermatology. 7th ed. Blackwell Publishing Company; 2004. P 2199-2217.
4. Wasitaatmajaya SM. Rosasea. Akne, Erupsi, Akneiformis, Rosasea, Rinofima. In:
Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. P 260-262.
5. James MD, Berger TG, Gilston DM, editors. Connective Tissue Disease. Andrew’s
Disease of The Skin Clinical Dermatology. 11th ed. Philadelphia: Saunders Company;
2011. P 241-244.
6. Wilkin J, Chair, Dahl M, Detmar M, Drake L, Liang MH, et al. Standard grading
system for rosacea: Report of the National Rosacea Society Expert Committee on the
Classification and Staging of Rosacea. J Am Acad Dermatol. 2004;50:907.
7. Bolognia JL, Jorizzo J, Rapini RP. Rosacea. Acne and Acneiform Dermatoses. In:
Callen JP, Horn TD, Mancini AJ, Salasche SJ, Schaffer JV, Schwarz T, et al., editors.
Dermatology. 2nd ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1985. P 561-569.
8. Crawford GH, Pelle MT, James WD. Rosacea: I. Etiology, pathogenesis, and subtype
classification. J Am Acad Dermatol. 2004;51:327-41.
9. Q James, Rosso D, et al. Comprehensive Medical Management of Rosacea. An Interim
Study Report and Literature Review. J Clin Aesthetic Derm. 2008;1(1):20-25.