risiko keracunan merkuri (hg) pada pekerja...
TRANSCRIPT
RISIKO KERACUNAN MERKURI (Hg)
PADA PEKERJA PENAMBANGAN EMAS TANPA IZIN (PETI)
DI DESA CISARUA KECAMATAN NANGGUNG KABUPATEN BOGOR
TAHUN 2013
SKRIPSI
Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Dosen Pembimbing :
OLEH :
NITA RATNA JUNITA
109101000027
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013 M/ 1434 H
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, 8 November 2013
Nita Ratna Junita, NIM : 109101000027
Risiko Keracunan Merkuri (Hg) pada Pekerja Penambangan Emas Tanpa Izin
(PETI) di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor Tahun 2013
xxiii + 112 halaman, 19 tabel, 5 gambar, 3 bagan, 4 lampiran
ABSTRAK
Merkuri merupakan logam berat yang dikelompokkan kedalam golongan yang
memiliki tingkat toksik tinggi (Widowati et. al., 2008). Penggunaan merkuri dalam
proses pengolahan emas dapat menimbulkan efek negatif bagi kesehatan yaitu berupa
kejadian keracunan merkuri. Hal tersebut diindikasikan dengan mengacu pada
ketentuan batas normal kadar merkuri total yang telah ditetapkan WHO dengan
menggunakan pengukuran biomarker. Untuk batas normal pada rambut adalah 1-2
ppm. Berdasarkan studi pendahuluan, dari 10 pekerja PETI di Desa Cisarua
Kecamatan Nanggung terdapat 8 pekerja yang mengalami keracunan merkuri.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan Cross
Sectional. Sampel pada penelitian ini adalah 40 orang pekerja PETI di Desa Cisarua
Kecamatan Nanggung. Sampel diambil dengan menggunakan teknik accidental
sampling. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah umur, status gizi, massa kerja,
jam kerja, jenis aktivitas, dan konsumsi ikan. Adapun variabel terikatnya adalah
kejadian keracunan merkuri. Data yang diperoleh diolah dengan mengunakan uji
statistik t independent, mann withey wil. dan chi square pada α 5%.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 24 orang pekerja
(60%) terdeteksi mengalami keracunan merkuri, sedangkan yang tidak mengalami
keracunan merkuri adalah sebanyak 16 pekerja (40%). Selanjutnya berdasarkan hasil
analisis bivariat diketahui bahwa terdapat dua variabel independen yang berhubungan
secara signifikan terhadap keracunan merkuri, yaitu variabel massa (p value=0,0005)
dan jam kerja (p value=0,035).
Dari hasil penelitian, disarankan bagi pemerintah dan pihak terkait sebaiknya
memberikan penyuluhan kepada masyarakat terkait merkuri dan dampaknya terhadap
kesehatan dan lingkungan sekitar. Kemudian, untuk mengurangi risiko kejadian
iii
keracunan merkuri pada pekerja sebaiknya dianjurkan untuk menggunakan Alat
Pelindung Diri (APD) yaitu berupa masker, sarung tangan karet, dan baju lengan
panjang selama proses pengolahan emas. Selanjutnya, untuk penelitian berikutnya
diharapkan dapat melakukan pengukuran terhadap faktor lingkungan, yaitu terkait
kadar merkuri yang terdapat baik di air, udara, tanah, maupun makanan.
Kata kunci: Pekerja PETI, Keracunan merkuri, Desa Cisarua, Kecamatan Nanggung
Daftar bacaan: 55 (2000-2013)
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Final Test, 8 November 2013
Nita Ratna Junita, NIM : 109101000027
The Risk of Mercury Poisoning (Hg) in the workers of illegal gold mining
(PETI) at Cisarua Village, Nanggung Subdistrict, Bogor District Year 2013
xxiii + 112 pages, 19 tables, 5 pictures, 3 charts, 4 attactments
ABSTRACT
Mercury is a heavy metal which is grouped into categories that have high
level of toxicity (Widowati et. al., 2008). The use of mercury in gold processing can
cause health effect, such as incident of mercury poisoning. That was indicated with
reference of the normal limit of total mercury that was established by WHO. That was
determined by using biomarker measurements. The normal level in hair is 1-2 ppm.
Based on preliminary studies of 10 workers mining at Cisarua Village Nanggung
Subdistrict, there were 8 workers who have mercury poisoning.
This research was a quantitative research with cross sectional approach. The
samples of this study were 40 workers of illegal gold mining at Cisarua Village,
Nanggung Subdistrict. The samples were taken with using accidental sampling
technique. The independent variables in this study were age, nutritional status,
working period per year, working time in a day, working activity, and consumption of
fish. The dependent variable was the incidence of mercury poisoning. The data were
processed by using independent t, mann withey wil. dan chi square test at α 5%.
The results of this research indicate that were 24 workers (60%) have mercury
poisoning, while that were 16 workers (40%) haven’t mercury poisoning. Then, based
on the results of bivariate analysis was known that there were two independent
variables have significant correlation with mercury poisoning. That variables were
working period per year (p value=0,0005) and working time in a day (p
value=0,035).
Based on The results, there is a advisable for the government and relevant
parties, should give the information to the community about mercury and its impacts
for health and environment. Then, the workers should be using personal protective
v
equipments to reduce the risk of mercury poisoning, such as masks, rubber gloves
and long clothes. Then, for the next study is expected to take measurement of
mercury levels in the environmental (water, air, soil, and food).
Keywords: PETI workers, Mercury poisoning, Cisarua Village, Nanggung Subdistrict
Bibliography: 55 (2000-2013)
vi
vii
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama : Nita Ratna Junita
Tempat, Tanggal Lahir : Ambon, 07 Juni 1991
Alamat : Jl. Maritim No.2A RT 01/005 Cilandak Barat,
Cilandak, Jaksel. Kode pos: 12430
Agama : Islam
No. Telp : 085697323975
Email : [email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
1997 – 2003 : SDN 04 Pagi Jakarta
2003 – 2006 : SMPN 68 Jakarta
2006 – 2009 : SMAN 70 Jakarta
2009 – sekarang : S1 – Peminatan Kesehatan Lingkungan
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat serta
ridho-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke
zaman yang terang saat ini, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Skripsi ini disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana
Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak arahan,
bimbingan, serta masukan dan motivasi/dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, peneliti ingin mengucapakan terima kasih kepada:
1. Papa dan Mama yang tiada hentinya memberikan kasih sayang, doa serta
semangat kepada penulis agar dapat menjadi individu yang sukses dan
bermanfaat bagi semua orang, bangsa, dan agama. Serta kakakku
(Ismawantini), adikku (Nisrina Nabila), kakak iparku (Wahyu), mbak aan dan
keluarga besar Muhammad serta Yakub yang selalu memberikan motivasi dan
senantiasa membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
x
2. Bapak Prof. Dr. (Hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Ir. Febrianti, M. Si, selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM, M. Kes, selaku dosen pembimbing I dan
Penanggung Jawab Pemintaan Kesehatan Lingkungan, yang dengan setia dan
tanpa lelah memberikan arahan, masukan, serta bimbingan kepada penulis
baik dalam hal penyusunan skripsi maupun dalam hal pembentukkan
kematangan dan kedewasaan diri penulis dalam menyongsong masa depan.
5. Ibu Ela Laelasari, SKM, M.Kes, selaku dosen pembimbing II, yang dengan
sabar dan setia selalu memberikan arahan, masukan, bimbingan, serta
motivasi dan semangat kepada penulis.
6. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM, Bapak Ir. Untung Suryanto, MSc dan Bapak
dr.Yuli P. Satar, MARS selaku dosen penguji pada sidang skripsi yang telah
memberikan kritik dan saran yang membangun untuk menjadikan skripsi ini
lebih baik lagi.
7. Bapak Zulkifli Rangkuti selaku dosen Peminatan Kesehatan Lingkungan yang
menjadi sumber inspirasi penulis, serta seluruh dosen yang telah berbagi
ilmunya kepada penulis sehingga menambah wawasan dan cara pandang
penulis dalam penyusunan skripsi ini.
xi
8. Bapak Idris, selaku Kepala Desa Cisarua beserta istri dan keluarganya yang
telah memberikan izin penelitian di Desa Cisarua dan telah menerima penulis
serta membantu penulis dalam penelitian.
9. Agung, Heni, Yudi, dan Rudi yang telah membantu saya pada saat turun
lapangan.
10. Seluruh pekerja penambang emas di Desa Cisarua, selaku responden dalam
penelitian ini, yang telah memberikan kerja sama yang baik terhadap penulis.
11. Teman-teman ENVIHSA UIN Jakarta dan seluruh teman mahasiswa/i
Kesehatan Masyarakat angkatan 2009 (khususnya untuk Malik, Desi, Imah,
Ratna, dan Vita) yang selalu berbagi baik senang maupun duka.
12. Para sahabat karang taruna MBS yang telah memberikan motivasi kepada
penulis.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh
sebab itu dibutuhkan saran, kritik serta masukan dari semua pihak demi terciptanya
kebaikan bersama. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis serta yang
membacanya. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan keberakahan dalam
hidup kita. Amin.
Jakarta, Oktober 2013
Nita Ratna Junita
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN
LEMBAR PERNYATAAN............................................................... i
ABSTRAK.......................................................................................... ii
ABSTRACT........................................................................................ iv
LEMBAR PERSETUJUAN.............................................................. vi
LEMBAR PENGESAHAN............................................................... vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP.......................................................... viii
KATA PENGANTAR....................................................................... ix
DAFTAR ISI....................................................................................... xii
DAFTAR TABEL............................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR.......................................................................... xv
DAFTAR BAGAN….......................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................... 7
1.3 Pertanyaan Penelitian........................................................... 8
xiii
1.4 Tujuan Penelitian................................................................. 9
1.4.1 Tujuan Umum............................................................ 9
1.4.2 Tujuan Khusus........................................................... 9
1.5 Manfaat Penelitian............................................................... 9
1.5.1 Bagi Pemerintah daerah............................................. 9
1.5.2 Bagi Pekerja………………....................................... 10
1.5.3 Bagi Peneliti Lain...................................................... 10
1.6 Ruang Lingkup Penelitian.................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................ 11
2.1 Merkuri (Hg)...................................................................... 11
2.1.1 Definisi dan Sifat Fisik-Kimia Merkuri..................... 11
2.1.2 Jenis Merkuri............................................................. 11
2.1.3 Penggunaan Merkuri................................................. 12
2.1.4 Merkuri di Lingkungan.............................................. 13
2.1.5 Batas Aman Merkuri................................................. 15
2.1.6 Metabolisme Merkuri di dalam Tubuh...................... 16
2.1.6.1 Absorbsi dan Distribusi ................................ 16
2.1.6.2 Ekskresi ........................................................ 17
2.1.7 Toksisitas Merkuri..................................................... 18
2.1.7.1 Keracunan Merkuri........................................ 19
xiv
2.1.7.1.1 Keracunan Akut........................... 20
2.1.7.1.2 Keracunan Kronis........................ 21
2.2 Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI).............................. 22
2.2.1 Definisi PETI............................................................. 22
2.2.2 Kegiatan PETI........................................................... 22
2.2.3 Pencemaran Merkuri dari Kegiatan PETI................. 26
2.2.4 Paparan Merkuri terhadap Pekerja PETI.................. 28
2.2.5 Paradigma Pajanan Merkuri terhadap
Pekerja PETI.............................................................
29
2.2.6 Biomarker Pajanan Merkuri..................................... 31
2.2.7 Metode Analisis........................................................ 34
2.2.8 Upaya Pencegahan dan Penanggulangan.................. 35
2.3 Faktor-faktor Pemaparan Pekerja PETI terhadap
Keracunan Merkuri (Hg) ...................................................
36
2.3.1 Faktor Internal........................................................... 36
2.3.2 Faktor Pekerjaan........................................................ 38
2.3.3 Faktor Perilaku.......................................................... 43
2.3.4 Faktor Lainnya........................................................... 47
2.5 Kerangka Teori................................................................... 48
xv
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL,
DAN HIPOTESIS................................................................
49
3.1 Kerangka Konsep............................................................... 49
3.2 Definisi Operasional........................................................... 51
3.3 Hipotesis............................................................................. 54
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN......................................... 55
4.1 Jenis Penelitian................................................................... 55
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian............................................. 55
4.3 Populasi dan Sampel........................................................... 55
4.4 Metode Pengumpulan Data................................................ 58
4.5 Metode Pengukuran Ikan…................................................ 58
4.6 Sampling Rambut............................................................... 59
4.6.1 Alat dan Bahan yang Digunakan............................... 59
4.6.2 Teknik Sampling Rambut.......................................... 60
4.7 Instrumen Penelitian........................................................... 60
4.8 Pengolahan dan Analisis Data............................................ 63
4.8.1 Pengolahan Data....................................................... 63
4.8.2 Analisis Data............................................................. 64
4.8.2.1 Analisis Univariat........................................ 64
4.8.2.2 Analisis Bivariat........................................... 64
xvi
BAB V HASIL PENELITIAN........................................................... 66
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian................................... 66
5.1.1 Geografis................................................................... 66
5.1.2 Profil Penambangan Emas di Desa Cisarua.............. 68
5.2 Analisis Univariat............................................................... 69
5.2.1Gambaran Karakteristik Pekerja Berdasarkan
Tingkat Pendidikan..................................................
69
5.2.2 Gambaran Keracunan Merkuri (Hg)
pada Pekerja PETI....................................................
70
5.2.3 Gambaran Umur Pekerja PETI.................................. 71
5.2.4 Gambaran Status Gizi Pekerja PETI........................ 71
5.2.5 Gambaran Masa Kerja Pekerja PETI......................... 72
5.2.6 Gambaran Jam Kerja Pekerja PETI........................... 72
5.2.7 Gambaran Jenis Aktivitas Pekerja PETI................... 73
5.2.8 Gambaran Konsumsi Ikan Pekerja PETI................... 74
5.3 Analisis Bivariat................................................................. 74
5.3.1 Hubungan antara Umur dengan
KeracunanMerkuri.....................................................
74
5.3.2 Hubungan antara Status Gizi dengan
KeracunanMerkuri.....................................................
75
xvii
5.3.3 Hubungan antara Masa Kerja dengan
Keracunan Merkuri....................................................
76
5.3.4 Hubungan antara Jam Kerja dengan
Keracunan Merkuri....................................................
77
5.3.5 Hubungan antara Jenis Aktivitas dengan
Keracunan Merkuri....................................................
77
5.3.6 Hubungan antara Konsumsi Ikan dengan
Keracunan Merkuri....................................................
79
5.4 Gambaran Gangguan Kesehatan Pekerja .......................... 79
BAB VI PEMBAHASAN................................................................... 81
6.1 Keterbatasan Penelitian...................................................... 81
6.2 Keracunan Merkuri............................................................. 81
6.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Keracunan Merkuri.............................................................
84
6.3.1 Faktor internal............................................................ 84
6.3.2 Faktor pekerjaan........................................................ 90
6.3.3 Faktor prilaku............................................................ 95
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN.......................................... 100
7.1 Kesimpulan......................................................................... 100
xviii
7.2 Saran................................................................................... 101
7.2.1 Bagi Pemerintah Daerah............................................ 101
7.2.2 Bagi Pekerja............................................................... 101
7.2.3 Bagi Peneliti Lain...................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 103
xix
DAFTAR TABEL
HALAMAN
2.1 Batasan Kadar Hg di Lingkungan 14
2.2 Konsentrasi Hg pada Beberapa Organ Induk dan Janin 19
2.3 Peristiwa Keracunan Merkuri di Seluruh Dunia (1960-an) 19
2.4 Alur Kontaminasi Merkuri ke Tubuh Penambang 29
2.5 Batas IMT di Indonesia 37
5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Pekerja PETI Berdasarkan Tingkat
Pendidikan di Desa Cisarua Tahun 2013
70
5.2 Distribusi Frekuensi Keracunan merkuri (Hg) pada Pekerja PETI di
Desa Cisarua Tahun 2013
70
5.3 Distribusi Frekuensi Umur Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013 71
5.4 Distribusi Frekuensi IMT Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013 71
5.5 Distribusi Frekuensi Masa Kerja Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun
2013
72
5.6 Distribusi Frekuensi Jam Kerja Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun
2013
73
5.7 Distribusi Frekuensi Jenis Aktivitas Pekerja PETI di Desa Cisarua
Tahun 2013
73
5.8 Distribusi Frekuensi Konsumsi Ikan Pekerja PETI di Desa Cisarua
Tahun 2013
74
5.9 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Umur Pekerja PETI di
Desa Cisarua Tahun 2013
74
xx
HALAMAN
5.10 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan IMT Pekerja PETI di
Desa Cisarua Tahun 2013
75
5.11 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Masa Kerja Pekerja PETI
di Desa Cisarua Tahun 2013
76
5.12 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Jam Kerja Pekerja PETI
di Desa Cisarua Tahun 2013
77
5.13 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Jenis Aktivitas Pekerja
PETI di Desa Cisarua Tahun 2013
78
5.14 Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Konsumsi Ikan Pekerja
PETI di Desa Cisarua Tahun 2013
79
xxi
DAFTAR GAMBAR
HALAMAN
2.1 Penggunaan Merkuri pada Kegiatan Pengolahan Emas 23
2.2 Gelundungan 24
2.3 Tahap Pencucian dan Pemerasan 25
2.4 Alat yang Digunakan pada Tahap Pembakaran 26
5.1 Peta Lokasi Desa Cisarua 67
xxii
DAFTAR BAGAN
HALAMAN
2.1 Paradigma Pajanan Merkuri (Teori Simpul) 48
3.1 Kerangka Konsep 50
4.1 Flowchart Pengukuran dengan metode CV-AAS 61
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian Skripsi
Lampiran 2 Kuesioner Penelitian
Lampiran 3 Hasil Analisis Data
Lampiran 4 Lembar Pernyataan
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Potensi produksi pertambangan emas di Indonesia termasuk dalam kategori
cukup besar. Total produksi selama tahun 1990-2011 adalah sebesar 2501849,73 kg,
sedangkan produksi tambang emas rata-rata adalah sebesar 113720,4423 kg per tahun
(Sultan, 2011). Hal tersebut sejalan dengan nilai ekspor hasil industri penghasil emas,
yang termasuk cukup besar juga. Menurut data Kementerian Perindustrian RI (2013),
ekspor kelompok hasil industri penghasil emas (khususnya emas dalam batang,
tuangan dan keranjang) memiliki nilai tertinggi diantara industri perhiasaan dan
kerajinan dari logam lainnya, yaitu puncaknya pada tahun 2011 sebesar dalam US$
2.224.205.514 dan nilainya selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu dari tahun 2007
sampai tahun 2011. Selain itu, diketahui juga bahwa persentasi peran ekspor dari
kelompok industri penghasil emas terhadap total ekspor hasil industri pada tahun
2011 berada di posisi tertinggi, yaitu sebesar 1,82%.
Sejalan dengan peningkatan yang terjadi pada produksi dan kegiatan ekspor
hasil industri penghasil emas tersebut, terjadi pula peningkatan kegiatan pada sektor
pertambangan emas baik legal maupun non-legal, salah satunya yaitu kegiatan
Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang biasa dilakukan oleh penambang emas
2
tradisional. Meningkatnya jumlah penambang emas tradisional ini salah satunya
terjadi di kawasan Gunung Pongkor, Kabupaten Bogor. Selama kurun waktu 1998-
2000, daerah tambang Pongkor yang luasnya sekitar 4.000 ha ini menjadi lahan mata
pencaharian baru bagi ribuan orang; pada puncaknya diperkirakan mencapai 26.000
orang (McMahon et al., 2000; Kartodihardjo & Suntana, 2010). Selanjutnya,
berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Bogor tahun 1999 jumlah Penambangan
Emas Tanpa Izin (PETI) yang melakukan penambangan di ruas Sungai Cikaniki
diperkirakan berjumlah 6000 orang (Anonim, 2000; Yoyok Sudarso et al., 2009).
Penduduk lokal turut berpartisipasi dalam kegiatan pertambangan rakyat ini, terutama
yang bermukim di tiga desa yang berbatasan langsung dengan Gunung Pongkor, yaitu
Desa Bantar Karet, Cisarua, dan Malasari. Diperkirakan sekitar 30% dari para
penambang adalah penduduk lokal (Zulkarnain et al., 2004; Kartodihardjo & Suntana,
2010).
Bila ditinjau dari segi administratif kegiatan PETI menjadi permasalahan
karena tidak memiliki izin penambangan (Sujatmiko, 2012). Izin penambangan
tersebut dikenal dengan sebutan IPR (Izin Pertambangan Rakyat) seperti yang
tercantum dalam UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan
Batubara. Begitu pula halnya apabila ditinjau dari segi lingkungan dan kesehatan.
Kegiatan PETI dapat memberikan kontribusi negatif berupa pencemaran lingkungan
karena penggunaan bahan kimia yang bersifat toksik bagi manusia. Salah satu bahan
kimia yang digunakan adalah merkuri.
3
Dari hasil survei pendahuluan diketahui bahwa kegiatan pengolahan emas
yang dilakukan di Desa Cisarua masih secara tradisional dan menggunakan teknik
amalgamasi yang menggunakan merkuri dalam proses pengolahannya, Biji emas
hasil penambangan di kawasan Gunung Pongkor tersebut, digiling dengan alat
gelundungan yang telah ditambahkan merkuri, sampai menjadi serbuk pasir lalu
dicampur dengan merkuri dan diperas dengan menggunakan kain sehingga sebagian
merkuri dan air keluar dari pori-pori kain. Setelah itu, dilakukan pemijaran atau
pembakaran, kemudian ditumbuk.
Apabila ditinjau dari segi lingkungan, sumber pencemaran dapat terjadi dari
setiap tahapan pengolahan emas. Pada tahap penggilingan, unsur merkuri dapat
terlepas dari gelundung sehingga jatuh dan dapat mencemari tanah sekitar dan dapat
pula mencemari sungai (Juliawan, 2006). Pada tahap pencucian dan pemerasan,
limbah cair yang mengandung merkuri dari hasil kegiatan tersebut dapat tercecer di
sekitar area pengolahan emas sehingga dapat mecemari tanah. Selanjutnya, pada
tahap pembakaran,, uap merkuri yang dihasilkan dari kegiatan ini dapat mencemari
udara dan kemudian mengendap di permukaan tanah (Juliawan, 2006).
Dari hasil analisis lingkungan juga mengindikasikan adanya pencemaran oleh
merkuri yang ditimbulkan akibat adanya kegiatan PETI. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya hasil analisis terhadap sedimen aktif di lokasi PETI didaerah Pongkor, yaitu
di Pasir Jawa, Ciguha, Cikoret dan beberapa lokasi pengolahan emas, yaitu di Sungai
Cipanas, Cikawung dan Cimarinten, telah mengalami .pencemaran Hg sebesar 10,5-
4
241,6 ppm. Sedangkan pada Sungai Cikaniki yang merupakan hilir, dimana semua
sungai bermuara, konsentrasi Hg berkisar antara 6-18,5 ppm (Juliawan, 2006;
Widowati et al., 2008). Bila dibandingkan dengan baku mutu air sungai golongan B
dalam KepMen LH No 2 Tahun 1998, maka diketahui bahwa Sungai Cipanas,
Cikawung, Cimarinten, dan Cikaniki sudah melewati baku mutu untuk parameter
merkuri, yaitu sebesar 0,001 mg/L (ppm).
Selanjutnya, diketahui juga kandungan Hg pada beras dari sawah, dimana
menggunakan air limbah penambangan emas tradisional sebagai sistem irigasinya di
Nunggul Pongkor mencapai 0,45 ppm dan di Kalongliud Pongkor mencapai 0,25
ppm (Sutono, 2002; Widowati et al., 2008). Jika dibandingkan dengan baku mutu
yang terdapat dalam peraturan KepBPOM No. 3725/B/SK/VII/89 terkait kadar
merkuri dalam bij-bijian, diketahui bahwa kandungan beras yang didapat dari sawah
di Nunggul dan Kalongliud Pongkor yang menggunakan air limbah penambangan
emas tradisional sebagai sistem irigasinya, telah melewati batas aman yang telah
ditetapkan, yaitu 0,05 mg/kg (ppm).
Logam merkuri yang terdapat di lingkungan tersebut dapat memasuki tubuh
melalui beberapa cara, seperti melalui kontak langsung dengan kulit, menghirup uap
merkuri, dan memakan ikan yang telah terkontaminasi merkuri (Lestarisa, 2010).
Paparan terhadap merkuri ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan
manusia, khususnya kesehatan pekerja PETI. Dampak negatif tersebut dapat berupa
keracunan merkuri baik bersifat akut maupun kronis. Proses pengolahan emas dimana
5
pekerjanya tidak menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) tersebut dapat
memperbesar risiko terjadinya keracunan merkuri. Keracunan merkuri tersebut dapat
ditandai dengan gejala seperti sakit kepala, sukar menelan, penglihatan menjadi
kabur, daya dengar menurun, merasa tebal di bagian kaki dan tangan, mulut terasa
tersumbat oleh logam, gusi membengkak, serta diare (Wardhana, 2001; Subanri,
2008).
Keracunan oleh merkuri anorganik utamanya dapat mengakibatkan
terganggunya fungsi ginjal, hati, serta sistem enzim. Sedangkan, untuk merkuri
organik, yaitu metil merkuri, dapat menembus plasenta dan merusak janin, serta dapat
mengganggu saluran darah ke otak hingga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
otak (Herman, 2006). Keracunan merkuri juga dapat menyebabkan kelainan psikiatri
berupa insomnia, nervus, pusing, mudah lupa, tremor dan depresi (Sudarmaji et al.,
2006).
Mekanisme keberadaan merkuri hingga dapat menimbulkan efek terhadap
kesehatan manusia, berupa keracunan tersebut dapat ditinjau dari paradigma
kesehatan lingkungan yang disebut dengan teori simpul (Achmadi, 2011). Dalam
paradigma tersebut, besarnya pajanan merkuri pada pekerja PETI dapat dipengaruhi
oleh variabel berupa umur, jenis kelamin, status gizi, lama kerja, masa kerja, jenis
aktivitas PETI, dan konsumsi ikan. Besarnya pajanan tersebut dapat diketahui melalui
pemeriksaan biomonitoring dengan menggunakan biomarker berupa rambut.
6
Menurut WHO (1991) rambut merupakan media indikator yang berguna
untuk menggambarkan orang yang keracunan Hg. Hal tersebut dikarenakan rambut
merupakan salah satu jaringan tubuh yang dapat mengakumulasi berbagai logam
berat, termasuk merkuri, sehingga dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat
kontaminasi merkuri di dalam tubuh manusia yang terpapar terus-menerus
(Tritugaswati et al., 1986; Cakrawati, 2002). Indikator keracunan merkuri dapat
dilihat dengan menbandingkan kadar merkuri pada rambut dengan ketetapan dari
WHO (1990), yang menyatakan bahwa kadar normal Hg dalam rambut berkisar
antara 1-2 mg/kg atau 1-2 ppm.
Terdapat beberapa penelitian terkait merkuri yang sebelumnya telah
dilakukan, salah satunya adalah penelitian terkait Status Kontaminasi Merkuri di
Ruas Sungai Cikaniki, Jawa Barat pada tahun 2010 yang disusun oleh Tri Suryono
dkk. Variabel yang diteliti adalah kadar merkuri total yang terdapat di air dan yang
terakumulasi di sedimen. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa kontaminasi
logam khususnya merkuri total pada daerah uji ruas Sungai Cikaniki baik di air
maupun di sedimen menunjukkan sudah tergolong tercemar sedang hingga berat.
Pada penelitian tersebut diketahui pula bahwa kontaminasi merkuri total pada air di
ruas sungai Cikaniki, yaitu Desa Cisarua sudah tergolong tercemar berat pada bulan
Agustus 2008, sedangkan kontaminasi merkuri total pada sedimen tergolong tercemar
berat pada bulan Juni 2008.
7
Selanjutnya, berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada
10 pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor, diperoleh
kadar merkuri rata-rata adalah sebesar 16,338 ppm. Dari 10 pekerja yang diteliti
terdapat 8 orang yang mengalami keracunan merkuri. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa paparan merkuri akibat dari kegiatan PETI di Desa Cisarua Kecamatan
Nanggung Kabupaten Bogor berada diatas kadar normal yang telah ditetapkan oleh
WHO (1990), yaitu sebesar 1-2mg/kg atau 1-2 ppm.
Dengan pertimbangan berbagai masalah pencemaran merkuri yang terjadi
serta dampak negatif yang ditimbulkan dari pemakaian merkuri dengan adanya
kegiatan PETI tersebut maka sebaiknya dilakukan penelitian mengenai pajanan
merkuri dan dampaknya terhadap kesehatan, yang dalam hal ini adalah berupan risiko
keracunan merkuri terhadap pekerja penambangan emas tanpa izin tersebut. Hal
tersebut juga dipertegas dengan pernyataan dari WHO (2012) yang menyatakan
bahwa merkuri merupakan salah satu dari sepuluh kelompok kimia yang menjadi
perhatian utama bagi kesehatan masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Kegiatan PETI yang memiliki andil terhadap terjadinya pencemaran merkuri
dapat mempengaruhi kesehatan, seperti keracunan merkuri. Berdasarkan studi
pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada 10 pekerja PETI di Desa Cisarua
Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor, diperoleh kadar merkuri rata-rata adalah
8
sebesar 16,338 ppm. Dari 10 pekerja yang diteliti terdapat 8 orang yang mengalami
keracunan merkuri. Hal tersebut mengindikasikan bahwa paparan merkuri akibat dari
kegiatan PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor berada diatas
kadar normal yang telah ditetapkan oleh WHO (1990), yaitu untuk kadar pada rambut
sebesar 1-2mg/kg atau 1-2 ppm. Untuk itu perlu dilakukan suatu analisis mengenai
pemaparan terhadap risiko keracunan merkuri pada pekerja PETI sehingga dapat
diketahui besarnya pajanan merkuri pada pekerja dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran keracunan merkuri (Hg) pada pekerja PETI di
Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013?
2. Bagaimana gambaran tingkat pendidikan, umur, status gizi, masa kerja,
jam kerja, jenis aktivitas, konsumsi ikan, dan gangguan kesehatan pada
pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
tahun 2013?
3. Bagaimana hubungan variabel umur, status gizi, massa kerja, jam kerja,
jenis aktivitas dan konsumsi ikan terhadap keracunan merkuri (Hg) pada
pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
tahun 2013?
9
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Menganalisis risiko keracunan merkuri (Hg) pada pekerja PETI di Desa
Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran keracunan merkuri (Hg) pada pekerja PETI di
Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013.
2. Diketahuinya gambaran tingkat pendidikan, umur, status gizi, masa
kerja, jam kerja, jenis aktivitas, konsumsi ikan dan gangguan kesehatan
pada pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten
Bogor tahun 2013.
3. Diketahuinya hubungan antara variabel umur, status gizi, massa kerja,
jam kerja, jenis aktivitas dan konsumsi ikan terhadap keracunan merkuri
(Hg) pada pekerja PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung
Kabupaten Bogor tahun 2013.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Pemerintah Daerah
Sebagai informasi dan masukan bagi pemerintah daerah dan instansi-
instansi yang terkait, seperti BLH Kabupaten Bogor dalam pengambilan
keputusan dan perencanaan lingkungan.
10
1.5.2 Bagi Pekerja
Menambah pengetahuan dan informasi mengenai dampak merkuri yang
dihasilkan dari kegiatan pengolahan emas yang menggunakan merkuri
tersebut.
1.5.3 Bagi Peneliti Lain
1. Sebagai informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
kadar merkuri pada rambut dan gangguan kesehatan yang terjadi di
masyarakat sekitar area penambangan emas tanpa izin
2. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif mengenai risiko keracunan
merkuri (Hg) pada pekerja Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Cisarua
Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013. Objek penelitian ini adalah
rambut dan pemaparan pekerja yang mempengaruhi keracunan merkuri melalui
rambut tersebut. Penelitian dilakukan oleh mahasiswa Peminatan Kesehatan
Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Merkuri (Hg)
2.1.1. Definisi dan Sifat Fisik-Kimia Merkuri
Merkuri atau air raksa (Hg) adalah salah satu jenis logam sebagai senyawa
organic dan anorganik yang banyak dtemukan di alam dan tersebar dalam batu-
batuan, biji tambang, tanah, air, dan udara (BPOM, 2004). Merkuri (Hg) merupakan
logam yang dalam keadaan normal berbentuk cairan dengan warna abu-abu dan tidak
berbau (BPOM, 2004). Merkuri memiliki sifat mudah menguap pada suhu ruangan
dan dapat memadat pada tekanan 7.640 Atm. Merkuri juga dapat larut dalam asam
sulfat atau asam nitrit, tetapi tahan terhadap basa. Sifat kimia dari merkuri yang
lainnya adalah merkuri memiliki nomor atom 80 dengan berat atom 200,59 g/mol.
Selain itu, merkuri mempunyai titik lebur -38,9oC dan titik didih sebesar 356,6
oC
Widowati et.al. (2008).
2.1.2. Jenis Merkuri
Merkuri dibagi dalam tiga bentuk, yaitu:
a) Merkuri elemental atau metalik
Merkuri elemental (Hg0) merupakan logam perak-putih, berkilau, dan
berbentuk cairan pada suhu kamar. Merkuri elemental biasa digunakan
12
dalam termometer, lampu neon dan beberapa saklar listrik (EPA, 2013).
Merkuri elemental merupakan bentuk merkuri yang paling mudah
menguap (WHO, 2003). Menurut EPA, paparan merkuri elemental dapat
menguap pada suhu kamar dan memiliki sifat tidak terlihat, tidak berbau,
serta beracun.
b) Merkuri inorganik
Senyawa merkuri inorganik (dengan simbol kimia Hg (II) atau Hg2+
)
berbentuk garam merkuri dan bubuk yang umumnya berwarna putih atau
kristal, kecuali merkuri sulfida yang berwarna merah. Senyawa merkuri
inorganik biasa digunakan pada fungisida, antiseptik atau disinfektan.
Selain itu, biasa digunakan pula pada beberapa krim pencerah kulit serta
beberapa obat-obatan tradisional (EPA, 2013).
b) Merkuri organik
Senyawa merkuri organik yang paling umum ditemukan di lingkungan
adalah metilmerkuri (dengan rumus kimia MeHg) yang terbentuk pada
saat merkuri bergabung dengan karbon. Organisme renik mengkonversi
merkuri inorganic menjadi metilmerkuri. Metilmerkuri dapat terakumulasi
dalam rantai makanan, seperti pada ikan (EPA, 2013).
2.1.3. Penggunaan Merkuri
Merkuri memiliki manfaat bagi kehidupan manusia, terutama di berbagai
industri. Industri farmasi menghasilkan produk yang mengandung merkuri yang
13
digunakan untuk antiseptic, diuretic, katartik serta penggunaan senyawa merkuri
anorganik dan organik untuk pengobatan sifilis. Industri listrik menggunakan merkuri
pada lampu floresens, saklar lampu tidak berbunyi dan pada lampu jalan. Merkuri
juga digunakan pada industri emas dan perak untuk proses amalgamasi. Untuk alat
kedokteran, merkuri digunakan pada alat tekanan darah, thermometer, dan
pacemaker. Selain itu, merkuri anorganik juga terdapat pada pigmen, cat, bahan
pencelup, bahan tattoo, pembalseman, pengawet kayu, herbisida, insektisida, jeli
spermisidal, cat kuku, germisidal pada sabun, pemadam api, dan baterai merkuri yang
tahan lama (Sari, 2002).
2.1.4 Merkuri di Lingkungan
Merkuri merupakan unsur alami yang dapat ditemukan di udara, air, dan tanah
yang dapat didistribusikan ke seluruh lingkungan baik secara alami maupun karena
adanya kegiatan manusia (antropogenik) (UNEP dan WHO, 2008). Menurut
Widowati et.al. (2008), Hg yang masuk dalam lingkungan perairan dapat dalam
bentuk:
a) Hg anorganik: berasal dari air hujan atau aliran sungai, memiliki sifat stabil
pada pH yang rendah.
b) Hg organik: berasal dari kegiatan pertanian, yaitu penggunaan pestisida
c) Terikat: suspended soil
d) Logam Hg: berasal d ari kegiatan industri (Budiono, 2002)
14
Sebagian besar merkuri yang berada di atmosfer dalam bentuk Hg0 uap, yang
dapa berada/beredar di atmosfer hingga satu tahun, sehingga dapat tersebar ribuan mil
dari sumber emisi. Sebagian besar merkuri dalam air, tanah, sedimen, atau tanaman
dan hewan berada dalam bentuk merkuri ionik (seperti merkuri klorida) (US EPA,
1997; UNEP dan WHO, 2008). Sedangkan untuk metilmerkuri utamanya terdapat
dalam ikan. Merkuri dapat berakumulasi di rantai makanan, sehingga dapat
dinyatakan bahwa semakin tinggi suatu organisme dalam rantai makanan yang secara
otomatis semakin tinggi juga tingkat trofiknya, maka akan menyebabkan semakin
tinggi pula konsentrasi metilmerkuri pada organisme tersebut (Watras et al., 1998;
UNEP dan WHO, 2008).
Terdapat berbagai peraturan mengenai batasan kadar Hg di lingkungan,
begitupun halnya yang berlaku di Indonesia. Peraturan mengenai batasan kadar Hg di
lingkungan yang berlaku di Indonesia dijelaskan pada tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.1. Batasan Kadar Hg di Lingkungan
No. Peraturan Kadar Hg yang diperbolehkan
1. Kadar Hg dalam air minum pada
Permenkes No. 907/ 2002 0,001 mg/l
2. Kadar Hg dalam air bersih pada
Permenkes No. 416/ 1990 0,001 mg/l
3. Kadar Hg dalam udara tempat kerja
Kepmenkes No. 261/ 1998 0,1 mg/l
15
No. Peraturan Kadar Hg yang diperbolehkan
4.
Kadar Hg dalam makanan dan
minuman pada KepBPOM No.
3725/B/SK/VII/89
Dalam ikan segar: 0,5 mg/kg
Dalam sayur-sayuran: 0,03 mg/kg
Dalam biji- bijian: 0,05 mg/kg
5. Kadar Hg dalam air sungai Kepmen
LH No. 02/ 1998
Golongan A (baku mutu air minum):
0,001 mg/l
Golongan B (untuk perikanan): 0,001 mg/l
Golongan C (untuk pertanian): 0,002 mg/l
Golongan D (yang tidak termasuk
golongan A, B dan C): 0,005 mg/l
Sumber: Inswiasri (2008)
2.1.5. Batas Aman Merkuri
Menurut WHO dan UNEP (2008), kadar merkuri normal dalam darah rata-
rata berkisar antara 5-10 mg/L, untuk rambut berkisar antara 1-2 ppm, sedangkan
untuk urin konsentrasi merkuri maksimum adalah 50 mg/g kreatinin. Kadar merkuri
pada urin orang yang pekerjaannya tidak terpapar merkuri jarang melebihi 5 ug/g
kreatinin.
Batas aman dari segi konsumsi makanan atau minuman yang mengandung
merkuri telah ditetapkan oleh The Joint FAO/WHO Expert Committee on Food
Additives (JECFA). JECFA menetapkan konsumsi mingguan yang ditoleransi untuk
total merkuri adalah sebesar 5 mg/kg berat badan, sedangkan untuk metilmerkuri
16
sebesar 1,6 mg/kg berat. Sedangkan, menurut US EPA dosis metilmerkuri per-hari
adalah 0,1 mg/kg berat badan dan dosis merkuri klorida per-hari adalah 0,3 mg/kg
berat badan (WHO dan UNEP, 2008).
Menurut EPA (2007), dosis letal akut merkuri inorganik untuk orang dewasa
adalah 1-4 gram atau 14-57 mg/kg berat badan untuk seseorang yang memiliki berat
badan sebesar 70 kg. Sedangkan, dosis letal minimum metilmerkuri untuk seseorang
yang memiliki berat badan sebesar 70 kg adalah berkisar antara 20-60 mg/kg berat
badan.
2.1.6. Metabolisme Merkuri di dalam Tubuh
Kontak yang terjadi antara merkuri dengan individu dapat melalui inhalasi,
kulit, atau saluran cerna (tertelan) yang kemudian diabsorbsi (diserap) untuk
kemudian didistribusikan oleh darah ke seluruh tubuh dan nantinya akan mengalami
proses ekskresi melalui beberapa rute yaitu lewat urin, keringat, air liur, air susu,
feses, kuku dan rambut (W. Hartono, 2003).
2.1.6.1 Absorbsi dan Distribusi
Untuk merkuri elemental (Hg0) tidak diabsorbsi secara signifikan atau diubah
oleh sistem pencernaan manusia. Akan tetapi, untuk paparan melalui inhalasi
penyerapan Hg0 terjadi secara efisien dan cepat melalui paru-paru karena sekitar 80%
dari uap yang terhirup akan diserap oleh jaringan paru-paru (UNEP dan WHO, 2008).
Di dalam darah, merkuri terdapat pada plasma dan sel darah merah. Sebagian masuk
17
ke jaringan otak tanpa teroksidasi, dan sebagian lagi mengalami oksidasi dalam
bentuk ion dan berakumulasi di ginjal. Untuk merkuri elemental dan organik
cenderung berakumulasi di syaraf, sedangkan merkuri anorganik di ginjal (Matsuo et
al., 1989; W. Hartono, 2003). Merkuri elemental memiliki sifat larut dalam lemak
yang tinggi. Karena sifatnya tersebut, maka merkuri elemental dengan mudah dapat
melewati sawar otak dan plasenta (Larry et. al., 2002; BPOM, 2004).
2.1.6.2 Ekskresi
Merkuri ionik utamanya diekskresikan melaui urin dan tinja, tetapi dapat pula
melalui ASI. Sedangkan, untuk metil merkuri, ekskresi utama melalui feses, rambut
dan kurang dari sepertiga dari total ekskresi melalui urin, tetapi dapat pula melalui
ASI dengan kadar yang lebih rendah (UNEP dan WHO, 2008). Pada proses ekskresi
yang terjadi sangat dipengaruhi dengan waktu paruhnya. Adapun pengertian waktu
paruh yang dimaksud adalah waktu yang dibutuhkan untuk ekskresi sehingga
mencapai separuh kadar yang ada di dalam tubuh. Waktu paruh merkuri secara
biologik sekitar 60 hari atau antara 35-90 hari (W. Hartono, 2003). Pengeluaran
merkuri terutama dalam bentuk urine dan feses memiliki waktu paruh 40-60 hari.
Empedu dan feses merupakan jalur utama ekskresi metil merkuri yang memiliki
waktu paruh sekitar 70 hari (Cakrawati, 2002).
18
2.1.7. Toksisitas Merkuri
Pengaruh toksisitas merkuri terhadap manusia tergantung dari bentuk
komposisi merkuri, rute masuknya kedalam tubuh dan lamanya terpajan. Toksisitas
uap merkuri pada tubuh melalui saluran pernafasan biasanya menyerang sistem syaraf
pusat, sedangkan toksisitas kronik dapat menyerang ginjal (Darmono, 2001; Iman .R,
2005). Pekerja yang peka dan terpajan dengan uap merkuri sebesar 0,05 mg/m3 di
udara secara terus-menerus, dapat menimbulkan gejala nonspesifik berupa
neuroasthenia (Idris, 1998). Menurut ATSDR (2011), merkuri dapat menembus
darah-otak dan plasenta. Diketahui pula bahwa pada anak-anak peningkatan risiko
toksisitas pada paru-paru mungkin terjadi dan dapat berkembang menjadi gangguan
dalam pernafasan (sulit bernafas).
Menurut Silalahi (2005), Hg berpengaruh terhadap proses ateroskelorsis
(penyempitan dan penebalan pembuluh darah) karena Hg dapat membentuk radikal
bebas yang dapat merusak sel. Kandungan merkuri tinggi, yaitu sebesar > 2,0 mg/g
pada rambut pria dewasa dapat berkolerasi dengan peningkatan risiko PJK, dan atau
infarksi miokardial 2-3 kali lipat dibandingkan dengan yang memiliki kandungan
merkuri rendah.
19
Tabel 2.2. Konsentrasi Hg pada Beberapa Organ Induk dan Janin
Organ Hg pada induk (µg/g) Hg pada janin (µg/g)
Ginjal
Paru-paru
Hati
Cerebrum
Cerebellum
Jantung
Limpa
Darah
518
77,5
8
10,9
5,8
3,2
5,2
15 µg/100 ml
5,8
0,6
10,1
0,05
0,24
0,15
1,8
2,35 µg/100 ml
Sumber: Widowati et.al. (2008)
2.1.7.1 Keracunan Merkuri
Paparan merkuri dapat menimbulkan efek negatif bagi kesehatan, yaitu berupa
keracunan merkuri. Peristiwa keracunan merkuri tersebut telah terjadi di berbagai
Negara dan memakan banyak korban, baik yang cidera maupun korban yang
meninggal. Hal ini seperti yang dijelaskan pada table di bawah ini:
Tabel 2.3. Peristiwa Keracunan Merkuri di Seluruh Dunia (1960-an)
Lokasi Tahun Akibat
Minamata-Jepang 1953-1960 111 orang meninggal cidera
Irak 1961 35 orang meninggal 321 orang cidera
Pakistan Barat 1963 4 orang meninggal 34 orang cidera
20
Lokasi Tahun Akibat
Guatemala 1966 20 orang meninggal 45 orang cidera
Nigata-Jepang 1968 5 orang meninggal 25 orang cidera
Sumber: Heryando Palar (1994)
Keracunan oleh logam merkuri tersebut dibagi menjadi dua jenis, yaitu keracunan
merkuri akut dan kronis.
2.1.7.1.1. Keracunan Akut
Keracunan akut terjadi karena adanya pemaparan merkuri secara langsung dan
dalam dosis yang besar (Irwan, 2009). Gejala yang ditimbulkan dari kejadian
keracunan akut adalah pharyngitis (peradangan tekak), dyspaghia, sakit pada bagian
perut, mual-mual dan muntah, murus disertai dengan darah dan shok. Apabila gejala
tersebut tidak diatasi, maka dapat terjadi efek lanjutannya yaitu pembengkakan pada
kelenjaran ludah, radang ginjal (nephritis) dan radang pada hati (hepatitis) (Palar,
1994). Menurut Kamitsuka et al. (1984) dalam W. Hartono (2003), beberapa kasus
Keracunan merkuri akut telah terjadi pada pekerja tambang emas tradisional yang
sedang mengekstraksi emas dan pada neonates yang terinhalasi merkuri dari
thermometer yang pecah, dengan gejala seperti batuk, nyeri dada, sesak nafas,
bahkan dapat menimbulkan bronchitis dan pneumonitis.
Di dalam tubuh, senyawa atau garam-garam merkuri yang merupakan penyebab
dari keracunan akut akan mengalami proses ionisasi. Akibat dari adanya proses
21
ionisasi tersebut adalah daya racun dari senyawa atau garam-garam merkuri tersebut
dapat menjadi berlipat ganda. Adapun proses ionisasi yang terjadi adalah sebagai
berikut (Palar, 1994):
Hg(CN)2 Hg2+
+ CN
dalam tubuh
2.1.7.1.2. Keracunan Kronis
Keracunan kronis adalah kejadian keracunan yang terjadi dalam kurun waktu
yang lama dengan kadar merkuri yang sedikit dan terjadi secara perlahan-lahan dan
terus-menerus, sehingga dapat mengendap dalam tubuh dan menimbulakan gejala
keracunan. Keracunan ini dapat terjadi karena menghirup uap atau debu merkuri atau
melakukan kontak dengan merkuri melalui kulit. Tanda-tanda yang ada pada pekerja
yang terpajan merkuri secara kronik meliputi: pengeluaran ludah berlebih
(hipersaliva), sariawan, gigi menjadi tanggal, guratan biru pada gusi, nyeri dan mati
rasa pada bagian kaki dan tangan, nephritis, diare, gelisah, sakit kepala, penurunan
berat badan, anoreksia, jiwa tertekan, halusinasi, dan kemunduran mental secara jelas
(W. Hartono, 2003).
Selain itu, menurut Widowati (2008), toksisitas kronis dapat berupa gangguan
sistem pencernaan, gingivitis (radang gusi), dan sistem syaraf, berupa tremor,
parkinson, gangguan lensa mata berwarna abu-abu sampai abu-abu kemerahan, serta
anemia ringan. Hal tersebut juga sejalan dengan Palar (1994), yang menyatakan
22
bahwa secara umum terdapat dua organ yang akan mengalami gangguan akibat
keracunan kronis tersebut, yaitu sistem pencernaan dan sistem syaraf. Gejala dapat
berupa gingivitis, tremor ringan dan parkinsonisme disertai dengan tremor pada otot
sadar. Gejala tremor dimulai dari ujung jari tangan/ kaki dan menjalar sampai otot
wajah dan pangkal tenggorokan.
2.2. Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI)
2.2.1. Definisi PETI
PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin) adalah kegiatan penambang emas
yang dilakukan oleh para penambang emas atau yang secara lokal biasa disebut
dengan gurandil atau penambang emas tradisional yang tidak memiliki izin
penambangan (Sujatmiko, 2012). Izin penambangan tersebut dikenal dengan sebutan
IPR (Izin Pertambangan Rakyat). Seperti yang tercantum dalam UU No. 4 Tahun
2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Izin Pertambangan Rakyat (IPR)
adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan
rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
2.2.2. Kegiatan PETI
Kegiatan penambangan di daerah Pongkor, salah satunya di Desa Cisarua,
dilakukan dengan sistem penambangan bawah tanah, yaitu dengan membuat
terowongan yang mempunyai tinggi sekitar 1 meter dan mempunyai kedalaman yang
bervariasi (Juliawan, 2006). Hasil dari penambangan emas berupa batu-batuan yang
23
mengandung emas (bijih) tersebut dibawa untuk dilakukan pengolahan. Dari hasil
studi pendahuluan, secara umum diketahui bahwa pengolahan emas yang terdapat di
Desa Cisarua menggunakan teknik amalgamasi, yaitu dengan menggunakan merkuri.
.
Gambar 2.1. Penggunaan Merkuri pada Kegiatan Pengolahan Emas
Teknik amalgamasi tersebut memanfaatkan sifat dari merkuri itu sendiri, yang
dapat melarutkan berbagai jenis logam (misalnya: emas) sehingga membentuk
amalgam. Biji emas yang dicampur dengan merkuri akan berfungsi melarutkan emas
dan karena merkuri memiliki massa yang lebih berat, maka batuan dan bahan
pengotor lainnya akan mengapung di permukaan air sehingga dapat dengan mudah
dipisahkan (Silalahi, 2005). Adapun pengolahan yang dilakukan terdiri dari: tahap
penumbukan awal, tahap penggilingan, tahap pencucian dan pemerasan, tahap
pembakaran, serta tahap penumbukan akhir (finishing). Adapun penjelasan dari
masing-masing tahapannya adalah sebagai berikut.
24
a) Tahap penumbukan awal
Batu-batuan yang mengandung emas (bijih) dari hasil penambangan
tersebut, ditumbuk sampai hancur sehingga mempunyai ukuran yang
lebih kecil untuk dimasukkan ke amalgamator atau gelundung.
b) Tahap penggilingan
Proses penggilingan diproses di dalam amalgamator atau gelundung
yang telah diberi merkuri. Pada masing-masing gelundung terdapat
besi atau disebut dengan pelor yang berfungsi untuk menghancurkan
dan mengubah bijih emas tersebut menjadi butiran yang lebih halus
dan membentuk amalgam. Selain itu, proses penggilingan juga
berfungsi untuk memisahkan bijih emas dengan pengotor lainnya.
Tenaga penggerak gelundung terdiri dari 3 jenis, yaitu yang
mennggunakan kincir air, tenaga listrik, dan tenaga generator diesel
(Rohmana, Suharsono Kamal dan Suhandi, 2006). Proses
penggilingan tersebut berlangsung selama sekitar 8 jam.
Gambar 2.2. Gelundungan
25
c) Tahap pencucian dan pemerasan
Amalgam yang dihasilkan dari proses penggilingan, kemudian dicuci
dan diperas dengan menggunakan kain. Hal ini bertujuan untuk
membersihkan dari pengotor lain (seperti tanah dan sebagainya) dan
mengurangi kandungan merkuri yang masih terdapat pada amalgam
basah tersebut. Sisa-sisa merkuri keluar dari pori-pori kain dan jatuh
ke tempat penampungan untuk pencucian tersebut. Merkuri dari hasil
pencucian dan pemerasan yang mengendap di tempat pencucian,
nantinya akan digunakan kembali untuk proses pengolahan emas.
Gambar 2.3. Tahap Pencucian dan Pemerasan
d) Tahap pembakaran atau penggarangan
Proses pembakaran/penggarangan dilakukan untuk menghilangkan
unsur merkuri yang masih tertinggal pada amalgam tersebut.
Pembakaran yang dilakukan pada proses pengolahan emas ini
26
menggunakan alat yang sederhana, seperti yang terdapat pada gambar
dibawah ini.
Gambar 2.4. Alat yang Digunakan pada Tahap Pembakaran
Pada tahap pembakaran ini, merkuri yang ada pada amalgam
menguap keudara. Bola amalgam yang tadinya berwarna perak
berubah menjadi berwarna emas. Setelah proses pembakaran didapat
kadar emas sekitar 30-60%.
e) Tahap penumbukan akhir (finishing)
Pada tahap ini emas hasil dari pembakaran ditumbuk dan dibentuk
sesuai dengan permintaan pasar atau konsumen.
2.2.3. Pencemaran Merkuri dari Kegiatan PETI
Kegiatan pengolahan emas yang dilakukan secara amalgamasi dari kegiatan
PETI ini dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan baik di air, tanah,
maupun udara. Hal tersebut sejalan dengan Herman (2006) dalam Widowati et.al.
(2008) yang menyatakan bahwa salah satu penyebab pencemaran lingkungan oleh Hg
27
adalah berasal dari pengolahan emas secara amalgamasi yang menghasilkan buangan
berupa tailing. Dari hasil proses tersebut sebagian Hg akan membentuk amalgam
dengan logam lain, seperti Au, Ag dan Pt; dan sebagian Hg akan hilang dalam proses
pengolahan emas tersebut.
Pada tahun 2003, diketahui penggunaan merkuri dari kegiatan PETI sebesar ±
16,2 ton perbulan (Senny Sunanisari, 2008). Diperkirakan 4,8 ton larutan merkuri
dibuang ke Sungai Cikaniki oleh PETI setiap tahunnya (Anonim, 2009; Yoyok
Sudarso dkk, 2009). Sungai Cikaniki, Sub DAS Cisadane yang merupakan sungai
yang alirannya melewati lokasi pertambangan telah tercemar logam merkuri (Hg)
cukup berat, bila dibandingkan batas maksimum Baku Mutu Air dalam PP No. 20
Tahun 1995. Pencemaran oleh merkuri tersebut berasal dari kegiatan pertambangan
emas tanpa izin di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor (Margaret Bunga A. S.,
2010). Sama halnya dengan Sungai Cikaniki, Status kontaminasi logam merkuri pada
air Sungai Cisadane relatif tinggi hingga mencapai 3,33 ppb (Anonim, 2000) (Yoyok
Sudarso dkk, 2009).
Selain itu, kegiatan PETI tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran
lingkungan. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa sedimen aktif di lokasi PETI
didaerah Pongkor, yaitu di Pasir Jawa, Ciguha, Cikoret dan beberapa lokasi
pengolahan emas, yaitu di Sungai Cipanas, Cikawung dan Cimarinten, telah
mengalami .pencemaran Hg sebesar 10,5-241,6 ppm. Selanjutnya, pada Sungai
Cikaniki yang merupakan hilir, dimana semua sungai bermuara, konsentrasi Hg
28
berkisar antara 6-18,5 ppm (Juliawan, 2006; Widowati et al., 2008). Selain itu, dari
hasil penelitian diketahui kandungan Hg pada beras dari sawah, dimana
menggunakan air limbah penambangan emas tradisional sebagai sistem irigasinya di
Nunggul Pongkor mencapai 0,45 ppm dan di Kalongliud Pongkor mencapai 0,25
ppm (Sutono, 2002; Widowati et al., 2008).
2.2.4. Paparan Merkuri terhadap Pekerja PETI
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, seluruh rangkaian kegiatan
pengolahan emas dilakukan pekerja tanpa menggunakan APD (Alat Pelinding Diri).
Sedangkan para pekerja mempunyai risiko untuk terpapar merkuri baik melalui
kontak langsung, yaitu pada tahap pencampuran merkuri baik yang digunakan untuk
amalgamator, maupun yang digunakan untuk proses pemerasan amalgam. Pada tahap
pemerasan juga terjadi kontak langsung antara pekerja dengan merkuri. Dari hasil
observasi dan wawancara diketahui bahwa pekerja tidak menggunakan sarung tangan
pada tahap tersebut. Selanjutnya, paparan juga dapat terjadi pada proses
penggarangan atau pembakaran, dimana uap merkuri hasil pembakaran dapat terhirup
langsung oleh para pekerja, mengingat pekerja tersebut tidak menggunakan masker
pada saat melakukan proses pembakaran.
29
Tabel 2.4. Alur Kontaminasi Merkuri ke Tubuh Penambang
Jalan Masuk Mekanisme
Melalui inhalasi Terhirup melalui hidung kemudian menembus alveoli dengan
cara terdisfusi dan masuk ke dalam peredaran darah
Melalui kulit Senyawa merkuri bersifat lipofilik, karena kulit mengandung
kelenjar sebasea yang dapat melepaskan asam lemak maka
merkuri akan diabsorpsi ke dalam kulit. Setelah itu, masuk
melalui kapiler darah dibawah kulit dan didistribusikan ke
seluruh tubuh
Sumber: Hartono (2003)
2.2.5. Paradigma Pajanan Merkuri terhadap Pekerja PETI
Mekanisme keberadaan merkuri hingga dapat menimbulkan efek terhadap
kesehatan manusia dapat ditinjau dari paradigma kesehatan lingkungan. Paradigma
tersebut menjelaskan hubungan interaksi antara komponen lingkungan yang
berpotensi menimbulkan penyakit terhadap manusia. Hal ini dapat digambarkan
dalam teori simpul, yang terbagi atas lima simpul, yaitu: sumber penyakit, media
transmisi penyakit,perilaku pemajanan, kejadian penyakit dan variabel supra sistem
(Achmadi, 2011).
Pada simpul satu, yaitu sumber penyakit merupakan titik yang mengeluarkan
agent penyakit. Dalam hal ini diketahui agent penyakit berupa merkuri atau air raksa
30
(Hg) yang berada di lingkungan. Keberadaan merkuri ini salah satunya dapat
disebabkan karena adanya kegiatan PETI.
Pada simpul dua, media transmisinya dapat berupa udara, air, tanah
(sedimen), dan pangan. Orang dapat terpajan uap Hg bila bernafas dalam lingkungan
yang terkontaminasi oleh uap merkuri (Hg), menelan/makan makanan atau minum air
yang terkontaminasi oleh merkuri (Hg), dan melalui kulit yang kontak dengan
merkuri (Hg). (ATSDR, 1999; WHO, 2001; Inswiasri, 2008).
Besarnya jumlah kontak yang diterima manusia dari lingkungannya yang
mengandung agent penyakit tergantung dari perilaku pemajan, yaitu pada simpul tiga
(Inswiasri, 2008) (Achmadi, 2011). Dalam hal ini variabel pada simpul ketiga dapat
berupa: umur, jenis kelamin, status gizi, lama kerja, masa kerja, penggunaan APD,
kadar pemakaian merkuri/ hari, jenis aktivitas PETI, konsumsi ikan, kebiasaan mandi
di sungai, konsumsi air yang terkontaminasi merkuri, dan pemakaian kosmetik.
Sebagai contoh keterkaitan variabel tersebut terhadap pemajan merkuri, yaitu adanya
kontak langsung melalui kulit dalam hal ini dapat terjadi ketika seseorang memiliki
kebiasaan mandi di sungai yang telah terkontaminasi dengan merkuri (Hg). Untuk
mengukur atau memperkirakan besarnya pajanan yang diterima dapat diukur melalui
biomarker atau tanda biologi. Biomarker pajanan yang umum dilakukan untuk
pemeriksaan kadar Hg salah satunya adalah rambut (Inswiasri, 2008).
31
Simpul empat merupakan outcome dari adanya hubungan interaktif antara
individu dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya, sehingga menimbulkan
kejadian penyakit (Achmadi, 2011). Kejadian penyakit yang disebabkan oleh merkuri
tersebut, yaitu keracunan merkuri atau tidak. Penetapan kejadian keracunan ini adalah
berdasarkan pengukuran pada biomarker berupa rambut pekerja. Setelah hasil
pengukuran laboratorium didapat, kemudian kadar merkuri pada masing-masing
rambut dibandingkan dengan ketetapan WHO (1990), yang menyatakan bahwa kadar
normal Hg dalam rambut berkisar antara 1-2 mg/kg atau 1-2 ppm.
Simpul lima merupakan variabel supra sistem yang juga harus diperhitungkan
dalam setiap upaya analisis kejadian penyakit (Achmadi, 2011). Dalam lingkup
kejadian keracunan merkuri akibat dari adanya kegiatan PETI, variabel yang juga
harus diperhitungkan dapat berupa kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah
dapat mempengaruhi baik simpul 1, 2, 3, maupun simpul 4.
2.2.6. Biomarker Pajanan Merkuri
Biomarkers atau biologicalmarkers dapat diartikan sebagai penanda biologis
atau jaringan tubuh yang berfungsi untuk mengukur paparan polutan terhadap
manusia. Biomarkers merupakan indeks yang sensitif dari paparan merkuri pada
masing-masing individu (IPCS, 2000; WHO, 2008). Hasil pengukuran merkuri
melalui biomarker yang dilakukan pada pekerja dapat memberikan gambaran pajanan
atau pemaparan dari suatu hazard, yang dalam hal ini adalah merkuri, terhadap
32
kesehatan pekerja tersebut. Pajanan atau pemaparan akibat kerja tersebut
dihubungkan dengan proses kerja yang disebut dengan indeks atau indikator pajanan
(Idris, 1998).
Menurut UNEP dan WHO (2008), biomarkers yang dapat digunakan untuk
mengetahui adanya paparan merkuri terhadap manusia adalah rambut, darah. jaringan
dan darah plasenta, urin, kuku dan air susu manusia (ASI). Kadar merkuri dalam
darah menunjukkan adanya paparan yang baru atau untuk kasus jangka pendek. Hal
ini disebabkan karena waktu paruh merkuri dalam darah hanya 3 hari. Dengan
pertimbangan tersebut maka diperlukan pengambilan sampel sesegera mungkin
setelah terjadinya paparan (IPCS, 2003). Begitupun halnya untuk darah pada plasenta
dan jaringan plasenta yang juga dapat digunakan untuk mengetahui paparan
terakhir/saat ini. Untuk urin, merupakan biomarker yang tepat untuk paparan merkuri
anorganik, tetapi tidak untuk merkuri organic. Hal ini dikarenakan merkuri organik
direpresentatifkan hanya sedikit pada urin (IPCS, 2003). Sedangkan, rambut dapat
digunakan untuk mengetahui paparan jangka panjang, khususnya untuk
methylmercury. Hal tersebut dikarenakan merkuri yang telah berada di rambut tidak
kembali lagi ke darah (UNEP dan WHO, 2008).
Rambut merupakan salah satu jaringan tubuh yang dapat mengakumulasi
berbagai logam berat, termasuk merkuri, sehingga dapat digunakan untuk
menunjukkan tingkat kontaminasi merkuri di dalam tubuh manusia yang terpapar
terus-menerus (Tritugaswati et al., 1986; Cakrawati, 2002). Hal tersebut sejalan
33
dengan Soepanto et al. (1992) dalam Cakrawati (2002) yang menyatakan bahwa
tingkat kandungan merkuri di dalam rambut merupakan salah satu indicator tingkat
kandungan merkuri di tubuh. Selain itu, kandungan merkuri di dalam rambut dapat
digunakan untuk menilai kondisi penduduk yang berkaitan dengan pemaparan
merkuri.
Pada rambut, konsentrasi merkuri dapat meningkat dengan adanya paparan
dari uap merkuri di lingkungan. Hal tersebut dikarenakan adanya adsorbsi langsung.
Selain itu, pemeriksaan rambut sangat penting dilakukan untuk pajanan metil merkuri
dari makanan (IPCS, 1990). Menurut WHO (1991) dalam Warsono. S (2000), rambut
merupakan media indikator yang berguna untuk menggambarkan orang yang
keracunan Hg. Hal tersebut dikarenakan konsentrasi Hg di rambut kepala yang terjadi
pada saat pembentukan rambut, setara dengan konsentrasi Hg di dalam darah. Akan
tetapi belum diketahui hubungan antara konsentrasi rambut, darah, dan urin. Selain
itu, menurut WHO (1996) merkuri juga merupakan indikator spesimen yang sangat
baik pada rambut, dibanding logam-logam lain (W. Hartono, 2003).
Rambut lebih banyak digunakan sebagai indikator akumulasi merkuri. Hal
tesebut berdasarkan kadar merkuri dalam rambut yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar merkuri dalam urin, keringat, tinja maupun darah. Selain
itu, rambut secara unik juga dapat digunakan untuk membedakan antara kontaminasi
internal dengan eksternal. Untuk mengetahui adanya kontaminasi internal
ditunjukkan dengan rambut bagian dalam yang selalu tertutup rapat oleh pakaian.
34
Sedangkan kontaminasi eksternal ditujukan untuk kontaminasi total, yaitu
kontaminasi internal dan eksternal (Sasmito dan Kamal, 2002).
2.2.7 Metode Analisis
Terdapat banyak metode yang tersedia untuk menganalisis kadar merkuri
dengan menggunakan biomarker yang salah satunya berupa rambut. Beberapa
metode yang digunakan, seperti Atomic Fluorescence Spectrometry (AFS), Neutron
Activation Analysis (NAA), dan Cold Vapour Atomic Absorption Spectrometry
(CVAAS). Akan tetapi, metode yang paling banyak digunakan adalah Cold Vapour
Atomic Absorption Spectrometry (CVAAS) (ATSDR, 1999; IPCS, 2003; UNEP dan
WHO, 2008).
CVAAS ini memiliki sensitivitas yang memadai untuk pengukuran merkuri
pada tingkat sub-ppm, juga ke tingkat sub-ppt dibandingkan dengan Neutron
Activation Analysis (NAA), yang memiliki batas deteksi kurang bagus. Oleh karena
tingginya tingkat sensitivitas yang dimiliki oleh CVAAS, maka sampel berupa
rambut yang dibutuhkan hanya sedikit (beberapa helai) saja. Sedangkan, untuk
metode Atomic Fluorescence Spectrometry (AFS) memiliki kelemahan, yaitu
memerlukan sampel berupa rambut yang cukup banyak. Sampel yang dibutuhkan
untuk dianalisis adalah sekitar 5-10 mg, sedangkan untuk mendapatkan resolusi
spasial (untuk tujuan biomonitoring), dibutuhkan sekitar 100-150 helai rambut.
35
Besarnya jumlah sampel tersebut dapat mengganggu responden (UNEP dan WHO,
2008).
2.2.8. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Menurut Widowati et.al. (2008), upaya pencegahan yang harus dilakukan
terhadap pencemaran limbah merkuri sebagai dampak dari kegiatan PETI diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Menerapkan sistem pertambangan tertutup dengan tujuan memperkecil
keluaran Hg dari dalam tanah. Hal ini adalah sebagai bentuk dari
pemilihan teknik penggalian yang ramah lingkungan.
2. Mengganti penggunaan Hg dalam proses pengolahan emas menjadi
menggunakan mikroba, contohnya adalah Thiobacillus feroxidans
(Bapeldada Sulut, 2002).
Adapun cara yang perlu dilakukan sebagai bentuk penanggulangan terhadap
pencemaran limbah merkuri di lingkungan sebagai dampak dari kegiatan PETI adalah
diantaranya adalah sebagai berikut (Widowati et.al., 2008):
1. Memindahkan sedimen yang telah tercemar oleh Hg dan
mengisolasinya dengan membuat bak pengendap yang selain berfungsi
sebagai tempat pengisolasi sedimen, tetapi juga dapat menjadi tempat
isolasi bagi material lainnya yang telah tercemar oleh Hg . Untuk uap
36
merkuri yang dilakukan di ruangan yang tertutup dapat pula dialirkan
masuk kedalam bak pengendap yang tertutup rapat.
2. Melakukan treatment terhadap tanah dan air yang telah tercemar, salah
satunya dengan menerapkan fitoremediasi, yaitu pengolahan bahan
pencemar dengan menggunakan tanaman. Tanaman yang dapat
digunakan seperti Stelaria setacea atau eceng gondok (Siswoyo,
2011), Selain itu, dapat juga menerapkan bioremediasi, yaitu
penggunaan mikroorganisme untuk mengabsorpsi polutan Hg,
contohnya adalah Pseudomonas syringae.
2.3. Faktor-faktor Pemaparan Pekerja PETI terhadap Keracunan Merkuri (Hg)
2.3.1. Faktor Internal
a. Umur
Menurut Hamid (1991) dan Tugaswati (2006) salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap logam berat adalah
umur. Janin, anak yan baru lahir dan masih berusia muda sangat rentan
terhadap paparan merkuri karena sensitivitas dari perkembangan syaraf.
Selain itu, neonatus juga dapat terpapar dari konsumsi ASI yang telah
terkontaminasi merkuri (ATSDR, 1999; UNEP dan WHO, 2008).
Konsentrasi metilmerkuri dalam darah janin adalah sekitar 1,5
sampai 2 kali lipat lebih besar dibandingkan ibunya, karena transport aktif
37
metilmerkuri ke janin melalui plasenta (NRC, 2000; IPCS, 1990; UNEP
dan WHO, 2008). Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Eto (1999) dan
Sudarmaji et. al. (2006) bahwa efek keracunan merkuri tergantung dari
kepekaan individu, yakni anak dalam kandungan (prenatal), bayi, anak-
anak, dan orang tua.
b. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang sebagai akibat dari
konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2009).
Pengukuran status gizi berdasarkan pada rumus:
[ ]
Hasil dari pengukuran IMT tersebut dibandingkan dengan batasan IMT
yang telah ditetapkan untuk mengetahui keadaan/status gizi seseorang.
Batasan IMT yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:
Tabel 2.5. Batas IMT di Indonesia
Keadaan Gizi IMT (Kg/m2)
Kurus Sekali < 17,0
Kurus 17,0-18,4
Normal 18,5-25,0
Gemuk 25,1-27,0
Gemuk Sekali > 27,0
Sumber: Depkes RI (2003), Harahap (2005)
38
Pada dasarnya apabila seseorang memiliki status gizi yang kurang
baik maka akan menjadi rentan terhadap penyakit (Inswiasri dan
Sintawati, 2011). Hal tersebut juga sejalan dengan Suma’mur (1996), yang
menyatakan bahwa tingkat gizi seorang pekerja memiliki hubungan yang
sangat erat dengan kesehatan dan daya kerja. Selain itu, status gizi juga
dapat mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang terhadap paparan logam
berat ke tubuh. Diketahui kadar Cad dan Fe yang tinggi dalam makanan
yang dikonsumsi oleh seseorang, akan menurunkan penyerapan tubuh
terhadap logam berat (Fergusson, 1991). Kemudian, menurut Silalahi
(2005) diketahui bahwa vitamin E dan antioksidan dapat mengurangi
toksisitas merkuri.
2.3.2. Faktor Pekerjaan
a. Masa Kerja
Pengaruh masa kerja dengan kadar merkuri pada area kerja yang
memiliki risiko tinggi terhadap paparan merkuri, adalah berkaitan dengan
akumulasi merkuri dalam tubuh. Apabila semakin lama orang tersebut
bekerja, maka semakin sering pula orang tersebut terpapar dengan
merkuri. Hal tersebut sejalan dengan Suma’mur (1996), yang menyatakan
bahwa semakin lama seseorang bekerja maka semakin banyak paparan
bahaya yang ditimbulkan dari area tempat kerjanya.
Pada umumnya, para penambang terpapar merkuri melalui kontak
langsung dengan kulit dan inhalasi, yaitu dengan menghirup uap merkuri
39
pada saat proses pengolahan emas. Pada paparan melalui inhalasi dengan
saluran pernapasan sebagai jalur utamanya merupakan cara penyerapan
merkuri dalam bentuk unsur di tubuh dengan persentasi akumulasi yang
tinggi, yaitu sekitar 80%. Hal ini dikarenakan sifat merkuri yang dapat
larut dalam lipida (Berlin, 1979; Alfian, 2006; Maywati, 2011)
b. Jam Kerja
Jam kerja dapat menentukan tingkat keterpajanan pekerja terhadap
kontaminasi bahan kimia di lingkungan kerja. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Lestarisa pada pekerja PETI di Kecamatan
Kurun tahun 2010, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan
bermakna antara jam kerja terhadap keracunan merkuri dengan p value
sebesar 0,002. Dinyatakan pula bahwa pekerja dengan jam kerja >8 jam
dalam sehari berisiko tinggi mengalami keracunan merkuri dibandingkan
dengan pekerja dengan jam kerja ≤ 8 jam/hari.
Kemudian, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Rianto (2010) pada 60 penambang emas tradisional di Desa Jendi
Kecamatan Selogiri, diketahui pula bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara jam kerja dalam sehari dengan keracunan merkuri
dengan p value sebesar 0,047. Serta, diperoleh hasil dari 7 orang
penambang dengan jam kerja >8 jam, didapat 7 orang (100%) yang
mengalami keracunan. Sedangkan penambang dengan lama kerja 8 jam
dari 53 orang penambang, terdapat 33 orang (62,3%) yang mengalami
40
keracunan merkuri dan 20 orang (37,7%) tidak mengalami keracunan
merkuri.
Jam kerja juga terkait dengan lama keterpaparan pekerja di
lingkungan kerjanya dalam sehari. Hal ini dinyatakan dalam Nilai
Ambang Batas (NAB), dimana menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi RI No. 13 Tahun 2011, definisi dari NAB adalah standar
faktor bahaya di tempat kerja sebagai kadar/intensitas rata-rata tertimbang
waktu (time weighted average) yang dapat diterima tenaga kerja tanpa
mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan
sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa penentuan lama jam kerja tergantung dari
besarnya paparan/kadar unsur kimia di udara yang berada pada tempat
kerja tersebut.
Terkait merkuri (Hg), berdasarkan lampiran dari Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 13 Tahun 2011 diketahui bahwa
NAB di udara lingkungan kerja untuk senyawa merkuri anorganik
ditetapkan sebesar 0,025 mg/m3. Sedangkan untuk
Paparan Singkat
Diperkenankan (PSD)/ Kadar Tertinggi Diperkenankan (KTD) dari Hg
adalah 0,03mg/m3. Adapun definisi dari Paparan Singkat Diperkenankan
(PSD) adalah kadar zat kimia di udara di tempat kerja yang tidak boleh
dilampaui agar tenaga kerja yang terpapar pada periode singkat yaitu tidak
41
lebih dari 15 menit masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan iritasi,
kerusakan jaringan tubuh maupun terbius yang tidak boleh dilakukan lebih
dari 4 kali dalam satu hari kerja. Sedangkan, Kadar Tertinggi
Diperkenankan (KTD) adalah kadar bahan kimia di udara tempat kerja
yang tidak boleh dilampaui meskipun dalam waktu sekejap selama tenaga
kerja melakukan pekerjaan.
c. Penggunaan APD
Alat Pelindung Diri yang direkomendasikan untuk pekerja
penambang dan pengolahan emas adalah masker, sarung tangan karet dan
baju lengan panjang. Masker dapat mengurangi paparan Hg lewat
pernafasan. Pada saat uap Hg terhirup, 80% Hg masuk ke aliran darah
melalui paru-paru dan menyebar ke organ tubuh lain, termasuk otak dan
ginjal. Sedangkan, sarung tangan karet dan pakaian lengan panjang
mampu mengurangi paparan Hg lewat kulit. Beberapa senyawa air raksa
(II) organik dan anorganik dapat diabsorpsi melalui kulit (Setiyono dan
Maywati, 2010).
d. Kadar Pemakaian Merkuri/ hari
Menurut Parkhut dan Thaxton (1973) dalam Widiana (2007),
besarnya toksisitas merkuri berbanding lurus dengan konsentrasi. Makin
besar konsentrasinnya maka makin besar tingkat toksisitasnya.
42
e. Jenis Aktivitas PETI
Aktivitas atau jenis kegiatan yang dilakukan oleh PETI terdiri dari
menambang dan mengolah emas hasil dari kegiatan pertambangan.
Pengolahan emas tersebut dibagi lagi menjadi kegiatan mengerakkan
gelundung sehingga menjadi serbuk emas, membuat amalgram dimana
terjadi proses pencampuran merkuri dan pemerasan emas yang telah
dicampur dengan air dan merkuri dengan menggunakan kain, pemijaran
atau pembakaran, dan penumbukkan emas menjadi lempengan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Trilianty Lestarisa
(2010), diketahui bahwa sebagian besar penambang yang mempunyai
aktivitas berupa pencampuran merkuri dan membakar amalgram
mempunyai presentase tertinggi terkena keracunan merkuri. Hal ini
disebabkan karena pada pencampuran merkuri terjadi kontak langsung
dengan penambang melalui kulit. Hal tersebut dapat diperparah apabila
penambang tidak menggunakan sarung tangan. Selain itu, uap hasil dari
pembakaran amalgram dapat langsung terhirup oleh penambang melalui
saluran pernapasan akan masuk kedalam paru-paru. Setelah itu, merkuri
tersebut dapat berikatan dengan darah dan didistribusikan ke seluruh
tubuh (Lestarisa, 2010)
43
2.3.3. Faktor Perilaku
a. Konsumsi Ikan
Konsumsi ikan merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya keracunan merkuri pada manusia. Hal tersebut
karena merkuri merupakan logam berat yang tidak dapat didegradasi
sehingga dapat menimbulkan bioakumulasi pada mahluk hidup yang salah
satunya adalah ikan. Menurut Arsentina (2008) dalam Agustina (2010),
definisi dari bioakumulasi yakni peningkatan zat kimia yang terjadi pada
tubuh mahluk hidup dalam waktu yang cukup lama dibandingkan dengan
konsentrasi zat kimia yang berada di alam.
Dalam perairan dan sedimen, merkuri dabat berubah menjadi
bentuk organik, yaitu metilmerkuri (CH3Hg) karena adanya aktivitas
bakteri. Bentuk senyawa metilmerkuri (CH3Hg) dapat dengan mudah
berdifusi dan berikatan dengan protein biota akuatik. Hal tersebut
termasuk pada protein jaringan otot ikan (Bureau of Nutritional Sciences,
Food Directorate, Health Products and Food Branch Canada, 2007;
Athena dan Inswiasri, 2009). Diketahui pula ion metil merkuri yang telah
termakan akan larut dalam lipida dan ditimbun dalam jaringan lemak pada
ikan. Metil merkuri dapat ditimbun dalam jaringan lemak pada ikan
sampai kadar 3000 kali dari kadar yang ada di air, namun ikan tersebut
tidak menunjukkan gangguan merkuri atau menderita sakit (Polii dan
44
Sonya, 2002). Sehingga apabila manusia mengkonsumsi ikan yang
terkontaminasi oleh merkuri maka dapat terjadi peningkatan risiko untuk
terjadinya keracunan merkuri.
Ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi kadar merkuri
yang terkandung dalam ikan, salah satunya adalah umur ikan tersebut.
Kandungan merkuri akan meningkat sesuai dengan umur ikan. Hal
tersebut berarti ikan-ikan yang berukuran besar sebagai ujung dari rantai
makanan memiliki konsentrasi merkuri yang paling tinggi (Athena dan
Inswiasri, 2009).
Biomarker berupa rambut dapat digunakan untuk mengetahui
pajanan metilmerkuri (UNEP, 2008). Dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh R. Kowalski dan J. Wierciński (2006) yang berjudul Determination
of Total Mercury Concentration in Hair of Lubartów-Area Citizens
(Lublin Region, Poland)., diketahui bahwa konsentrasi merkuri dari
rambut masyarakat tersebut menegaskan adanya pengaruh frekuensi
konsumsi ikan dengan konsentrasi merkuri. Tingginya konsentrasi
merkuri ditemukan pada rambut individu yang banyak mengkonsumsi
ikan.
Selanjutnya, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Andri et.al.
(2011) pada masyarakat sekitar PETI di Kecamatan Mandor, diketahui
45
bahwa variabel konsumsi ikan >3 kali/minggu memiliki hubungan yang
signifikan terhadap kadar merkuri pada rambut masyarakat dengan p value
sebesar 0,007.
b. Kebiasaan Mandi di Sungai
Masuknya merkuri ke dalam tubuh dapat disebabkan karena
melakukan kegiatan yang memiliki risiko untuk terpapar merkuri.
Beberapa masyarakat yang tinggal di desa terkadang memiliki kebiasaan
mandi di sungai. Pada saat mandi, air sungai yang terkontaminasi merkuri
dapat masuk ke tubuh dengan adanya kontak langsung melalui kulit.
Rutinitas menggosok gigi pada saat mandi juga dapat menjadi alur masuk
merkuri ke dalam tubuh . Selain itu, akibat dari adanya reaksi penguapan
merkuri dalam air dapat berisiko untuk masuk ke tubuh melalui saluran
pernafasan (Andri DH et al., 2011).
c. Konsumsi air yang terkontaminasi merkuri
Seperti yang telah dijelaskan bahwa masuknya merkuri ke dalam
tubuh dapat melalui saluran pencernaan. Menurut Andri DH et al. (2011),
masyarakat yang mengkonsumsi air sungai yang telah terkontaminasi oleh
merkuri dengan konsentrasi yang tinggi, cenderung memiliki kadar
merkuri yang tinggi juga dalam tubuhnya.
46
d. Pemakaian Kosmetik
Pemakaian kosmetika yang mengandung merkuri dapat
menyebabkan terjadinya penyerapan merkuri melalui kulit, sehingga dapat
mempengaruhi kadar merkuri pada tubuh. Penambahan bahan merkuri
pada kosmetika tersebut bertujuan untuk memutihkan atau mencerahkan
kulit (W. Hartono, 2003). Produk pencerah kulit termasuk sabun dan krim
memiliki perkiraan kadar merkuri yang berbeda-beda. Untuk sabun,
mengandung sekitar 1-3% iodida merkuri dan mempunyai konsentrasi
merkuri sebesar 31 mg/kg. Sedangkan untuk krim terdiri dari 1-10%
ammonium merkuri dan mempunyai konsentrasi merkuri sebesar 33.000
mg/kg (WHO, 2011).
Walaupun peredaran kosmetik yang mengandung merkuri telah
dilarang peredarannya di Indonesia, tetapi pada peredarannya masih
ditemukan merk tertentu yang mengandung merkuri. Beberapa merk
terdaftar yang mengandung merkuri adalah; chiumien pearl cream, cupid
pearl nourishing cream, albani cream, jeany pearl cream, contra B, ultra
cream dosha, fair check pearl cream, deluxe dosha, dan UE cream. Selain
itu terdapat pula beberapa merk kosmetika yang tidak terdaftar, yaitu: UB
formula 99 AA whitening pearl cream, AQL cream, BQL cream,dan
chiumin bleaching pearl cream (W. Hartono, 2003).
47
2.3.4. Faktor Lainnya
a. Kebijakan Pemerintah
Merkuri yang terdapat di lingkungan, baik di udara, tanah, air,
maupun makanan dapat disebabkan oleh penggunaannya yang tidak
terkendali. Penggunaan merkuri ini dapat berasal dari aktifitas PETI
(Nimitch, 2012). Kebijakan pemerintah terkait merkuri erat kaitannya
dengan peraturan yang menjadi landasan guna mengendalikan pencemaran
serta dampak yang ditimbulkan dari kegiatan PETI tersebut. Aspek yang
dibahas pada peraturan yang berlaku di Indonesia tersebut baik dari segi
peredaran dan penggunaanya, baku mutu pada lingkungan, keterpaparan
terhadap pekerja, maupun batas aman yang diterima tubuh. Peraturan
tersebut diantaranya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan LH, PP
RI No. 74 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan
Beracun, Kepmen LH No. 02/ 1998 Tentang Penetapan Pedoman Baku
Mutu Lingkungan, dan sebagainya.
48
2.5. Kerangka Teori
Bagan 2.1. Paradigma Pajanan Merkuri (Teori Simpul)
Sumber: Teori Modifikasi dari Achmadi (2011), Lestarisa (2010), Fergusson (1991),
Maywati (2011), Athena dan Inswiasri (2009), R. Kowalski dan J. Wierciński (2006),
Andri DH et al. (2011), W. Hartono (2003), Nimitch (2012).
Merkuri
(Hg)
Udara
Air
Pangan
Tanah
Faktor internal: umur,
status gizi (IMT)
Faktor pekerjaan: masa
kerja, jam kerja,
penggunaan APD,
kadar pemakaian
merkuri/ hari, jenis
aktivitas PETI
Faktor perilaku:
konsumsi ikan,
kebiasaan mandi di
sungai, konsumsi air,
pemakaian kosmetik
Keracunan
Merkuri / tidak
(Biomarker:
rambut, darah.
jaringan dan
darah plasenta,
urin, kuku dan
air susu
manusia
(ASI))
Kebijakan Pemerintah
49
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Konsep
Mengacu pada tinjauan pustaka yang telah dijelaskan sebelumnya, diketahui
bahwa terdapat berbagai macam faktor-faktor yang mempengaruhi keracunan
merkuri. Faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor internal, faktor pekerjaan, faktor
perilaku dan faktor lainnya. Adapun faktor internal terdiri dari: umur dan status gizi.
Faktor pekerjaan terdiri dari: lama kerja, masa kerja, penggunaan APD, kadar
pemakaian merkuri/ hari, dan jenis aktivitas pekerja. Faktor perilaku terdiri dari:
konsumsi ikan, kebiasaan mandi di sungai, konsumsi air yang terkontaminasi
merkuri, dan pemakaian kosmetik. Sedangkan faktor lainnya yang juga berpengaruh
terhadap keracunan merkuri adalah kemiringan dan jenis aliran sungai, serta jenis
tanah.
Dengan berbagai pertimbangan, maka peneliti menetapkan beberapa variabel
saja yang akan diteliti dari PETI di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten
Bogor. Variabel yang dimaksud adalah untuk variabel independen berupa: umur,
status gizi, masa kerja, lama kerja, jenis aktivitas, dan konsumsi ikan. Sedangkan
untuk variabel dependen berupa keracunan merkuri. Ada berbagai macam
pertimbangan atau alasan yang mendasari pengambilan keputusan tersebut. Variabel
50
penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) tidak diteliti karena dari hasil studi
pendahuluan terhadap 10 responden, diketahui bahwa tidak ada pekerja yang
menggunakan APD dalam melakukan aktivitas pengolahan emas. Dari hasil studi
pendahuluan tersebut juga diketahui bahwa tidak ada pekerja yang mandi di sungai.
Sedangkan, alasan variabel konsumsi air tidak diteliti karena dikhawatirkan data yang
didapat bias. Hal tersebut dikarenakan peneliti tidak mengukur sample air minum
yang dikonsumsi pekerja. Variabel pemakaian kosmetik tidak diteliti karena semua
PETI berjenis kelamin laki-laki. Variabel kebijakan pemerintah tidak diteliti tetapi
hanya dijadikan acuan penelitian.
Bagan 3.1. Kerangka Konsep
Faktor internal:
Umur
Status Gizi (IMT)
Faktor pekerjaan:
Masa kerja
Jam Kerja
Jenis Aktivitas
Faktor perilaku:
Konsumsi Ikan
Merkuri Total
Keracunan merkuri :
> 2ppm
Normal:
≤ 2ppm
(WHO, 1990)
51
3.2. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat
Ukur Hasil Ukur Skala
1. Keracunan
merkuri
Kadar merkuri total
responden yang melebihi
batas normal dengan
biomarker rambut, yaitu
>2ppm (WHO, 1990)
Dengan
mengambil
sample
rambut
responden
Flow
Injection
Mercury
System
Keracunan: > 2ppm
Normal: ≤ 2ppm
(WHO, 1990)
Ordinal
2. Umur
Usia responden yang tertera
di Kartu Tanda Penduduk
dalam hitungan tahun
sampai dengan waktu
dilakukan wawancara.
Observasi Kuesioner …..tahun Rasio
52
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat
Ukur Hasil Ukur Skala
3. Status gizi
Keadaan gizi responden
yang ditetapkan berdasarkan
nilai Indeks Massa Tubuh
(IMT)
Observasi
Microtoise
dan
timbangan
berat
badan
Skor Rasio
4. Masa
kerja
Rentang waktu responden
bekerja mulai dari menjadi
pekerja PETI sampai
dengan waktu penelitian
berlangsung yang
dinyatakan dalam hitungan
tahun (Rianto, 2010)
Wawancara Kuesioner …..tahun Rasio
5. Jam kerja
Jumlah jam responden per
hari dalam melakukan
pekerjaan sebagai PETI
(Lestarisa, 2010)
Wawancara Kuesioner …..jam Rasio
53
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat
Ukur Hasil Ukur Skala
6. Jenis
aktivitas
Jenis kegiatan yang
dilakukan oleh responden
yang termasuk dari proses
pengolahan emas
Wawancara Kuesioner
0: melakukan salah satu kegiatan
yang kontak langsung dengan
merkuri (tahap pencucian/
pemerasan, atau pembakaran
amalgam)
1: tidak melakukan kegiatan
yang kontak langsung dengan
merkuri. (Lestarisa, 2010)
Ordinal
7. Konsumsi
ikan
jumlah berat ikan yang
dikonsumsi dalam 1 minggu Wawancara
Kuesioner
dan
food
model
….gram Rasio
54
3.3. Hipotesis
1. Risiko keracunan merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang
berusia lebih tua dibandingkan dengan yang muda di Desa Cisarua
Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013.
2. Risiko keracunan merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang
memiliki status gizi tidak normal dibandingkan dengan yang normal di
Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013.
3. Risiko keracunan merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang
memiliki masa kerja lebih lama dibandingkan dengan yang tidak lama di
Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013.
4. Risiko keracunan merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang
memiliki jam kerja lebih lama dibandingkan dengan yang tidak lama di
Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013.
5. Risiko keracunan merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang
memiliki aktivitas kontak langsung terhadap merkuri dibandingkan
dengan yang tidak kontak langsung di Desa Cisarua Kecamatan
Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013.
6. Risiko keracunan merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang
sering mengkonsumsi ikan dibandingkan dengan yang tidak sering di
Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013.
55
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional yang bersifat
kuantitatif, dimana peneliti ingin mengetahui keterkaitan antara variabel independen
terhadap variabel dependen melalui uji hipotesis dengan melakukan penyebaran
kuesioner dan uji laboratorium dan menganalisis hasilnya. Cara pendekatan yang
digunakan adalah dengan rancangan cross sectional (potong lintang), dimana variabel
sebab (risiko) dan akibat (kasus) yang terdapat dalam penelitian tersebut diukur atau
dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2010).
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium ALS Indonesia dan pengambilan
sampel dilakukan di Desa Cisarua, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari-September 2013.
4.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja PETI di Desa Cisarua
Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor. Jumlah pekerja PETI tidak diketahui secara
pasti. Hal ini dikarenakan pekerja bersifat illegal sehingga tidak terdata secara resmi.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pekerja PETI yang masih aktif
bekerja hingga saat diwawancara dengan masa kerja minimal 1 tahun.
56
Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan metode uji beda
satu proporsi dengan rumus sebagai berikut (Lameshow, 1990; Ariawan, 1998):
* √ ( ) √ ( ) ( ) +
( )
[( ) ( )]
( )
Keterangan:
n : Jumlah sampel minimal yang diperlukan
P1 : Proporsi pekerja PETI yang mengalami keracunan merkuri diambil
dari penelitian Lestarisa (2010) dengan proporsi 90,6% (lama kerja
> 8 jam per hari)
P2 : Proporsi pekerja PETI yang tidak mengalami keracunan merkuri
Diambil dari penelitian Lestarisa (2010) dengan proporsi 44,4%
(lama kerja = 8 jam per hari)
P : Rata-rata proporsi (( )
) = 0,675
Z1-α : Nilai Z pada derajat kemaknaan α pada one tail, yaitu 5% = 1,64
Z1-β : Nilai Z pada kekuatan uji 1-β pada one tail, yaitu 90% = 1,28
57
Dari perhitungan diatas diketahui bahwa jumlah sampel minimal dalam
penelitian ini adalah sebesar 16. Untuk menghindari adanya sampel yang tidak
memenuhi syarat, maka sampel penenlitian ini dibulatkan menjadi 40. Pemilihan
sampel tersebut diambil dengan menggunakan teknik accidental sampling, dimana
pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil responden yang kebetulan ada di
lokasi penelitian (Notoatmodjo, 2010). Sampel tersebut ditentukan berdasarkan
kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. Adapun kriteria inklusi dan
eksklusi yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Kriteria Inklusi
Kriteria atau syarat yang harus dipenuhi oleh responden untuk menjadi
sampel dalam penelitian ini. Kriterianya adalah sebagai berikut:
a. Bersedia menjadi responden penelitian
b. Merupakan pekerja PETI yang masih aktif dan berjenis kelamin laki-
laki
c. Masa kerja pekerja minimal 1 tahun
2. Kriteria Eksklusi
Kriteria atau syarat yang tidak terpenuhi oleh responden sehingga tidak
bisa dijadikan sampel. Kriterianya adalah sebagai berikut:
a. Tidak bersedia menjadi responden penelitian
b. Masa kerja pekerja dibawah 1 tahun
58
4.4. Metode Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data primer didapat dengan melakukan wawancara, observasi dan
pengukuran terhadap kadar merkuri pada sampel rambut pekerja PETI di
desa cisarua, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Adapun wawancara
yang dilakukan terhadap pekerja dengan menggunakan kuesioner yang
berisikan tentang masa kerja, jam kerja, jenis aktivitas, dan konsumsi ikan.
Sedangkan yang terkait dengan observasi adalah untuk mengetahui umur
dan status gizi responden. Data lainnya yang diperoleh dari wawancara
adalah tingkat pendidikan dan data kesehatan.
2. Data Sekunder
Data sekunder meliputi pengumpulan data dan informasi terkait
dengan materi kegiatan, antara lain data mengenai kependudukan, profil
daerah dan gambaran demografi yang diperoleh dari data kelurahan Desa
Cisarua, serta terkait pekerja PETI. Selain itu, data sekunder lainnya
berupa informasi dari berbagai literatur dan hasil peneletian terdahulu.
4.5. Metode Pengukuran Ikan
Terkait variabel independen yang akan diteliti pada penelitian ini, yaitu
mengenai konsumsi ikan, maka diperlukan penetapan terhadap jumlah konsumsi
ikan/minggu dalam satuan gram. Hal ini membutuhkan metode untuk penentuan berat
59
konsumsi ikan per porsi seperti yang tercantum pada kuesioner penelitian. Adapun
metode penentuan berat konsumsi ikan per porsi tersebut adalah dengan
membandingkannya terhadap food model. Dimana food model tersebut berupa contoh
ikan dengan ukuran 1 porsi konsumsi, yaitu sebesar 40 gram.
4.6. Sampling Rambut
4.6.1. Alat dan Bahan yang Digunakan
Alat dan bahan yang digunakan pada saat melakukan sampling rambut adalah
sebagai berikut:
1. Gunting stainless steel
2. Alkohol 70%
3. Label
4. Sisir
5. Sarung tangan plastik
6. Pinset
7. Timbangan Digital
8. Amplop
9. Plastik klip
10. Tissue
11. Wadah pencuci
12. Alumunium foil
60
4.6.2. Teknik Sampling Rambut
Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel berupa rambut responden
adalah dengan cara memotong rambut kepala dengan menggunakan gunting steril
yang telah dibilas dan dibersihkan dengan menggunakan alkohol 70%.
Pengguntingan dilakukan pada bagian dalam rambut dengan berat sekitar 0,5-2,0
gram. Pemotongan dilakukan di dekat kulit kepala. Untuk rambut yang sangat pendek
dan tipis, alternatifnya adalah dengan cara memasukkan rambut ke amplop dan
memotongnya sehingga rambut yang terpotong langsung masuk di dalam amplop.
Setelah itu, rambut dibungkus dengan menggunakan alumunium foil, ditutup rapat,
diberi label (berisikan nama responden, nomor sampel dan waktu pengambilan) dan
dimasukkan kedalam plastik klip. Kemudian sampel dikirim ke laboratorium untuk
diukur kadar merkurinya menggunakan alat berupa flow injection mercury system
dengan menggunakan metode CVAAS sesuai dengan referensi dari US EPA 3050 B,
APHA 3112 B.
4.7. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, timbangan
berat badan, microtoise, food model, flow injection mercury system dan form
pengukuran. Kuesioner tersebut berisikan identitas tentang PETI dan terkait dengan
pertanyaan-pertanyaan mengenai variabel independen yang akan diteliti, yaitu umur,
masa kerja, jam kerja, jenis aktivitas, dan konsumsi ikan. Penggunaan timbangan dan
61
microtoise berguna untuk menentukan status gizi responden. Selanjutnya, food model
digunakan untuk menentukan jumlah konsumsi ikan dalam satuan gram. Sedangkan
untuk pengukuran terhadap kadar merkuri dengan biomarker rambut menggunakan
flow injection mercury system dengan menggunakan metode CVAAS. Hasilnya
pengukurannya akan dicatat di form pengukuran. Pengukuran tersebut berfungsi
sebagai indikator keracunan merkuri. Adapun tahapan pengukurannya adalah sebagai
berikut:
Bagan 4.1. Flowchart Pengukuran dengan metode CVAAS
a) Preparasi sampel rambut
Sampel rambut dipotong untuk kemudian direndam dengan alkohol dan dicuci
dengan larutan asam nitrat, kemudian dibilas dan dilakukan pengeringan
dengan menggunakan oven. Contoh rambut yang telah kering dilarutkan
dengan HNO3 pada masing-masing tabung. Kemudian dilakukan pemanasan
Standarisasi
Analisis sampel
Operasi alat FIM
Preparasi sampel rambut
62
kembali dengan hot plate dan dilakukan pengenceran dengan akuades
(Susanna dan Samin, 2007).
b) Operasi alat
Atur panjang gelombang menjadi 253,7 nm, instal absorption cell dan
menyelaraskannya pada cahaya untuk memberikan transmisi yang maksimum.
Hubungkan peralatan terkait ke absorption cell dengan tabung kaca atau
plastik vinyl. Hidupkan dan sesuaikan laju alir udara sampai 2L/menit.
c) Standarisasi
Bagi 100 mL dari masing-masing 1, 2, dan 5 µg/L larutan standar Hg dan 100
mL air ke labu Erlenmeyer 250 mL. Tambahkan 5 mL konsentrasi H2SO4 dan
2,5 mL konsentrasi HNO3 ke dalam masing-masing labu. Tambahkan 15 mL
larutan KMnO4 ke dalam masing-masing tabung dan diamkan sekitar 15
menit. Tambahkan 8 mL larutan K2S208 dan panaskan selama 2 jam pada
temperatur 95oC. Tambahkan larutan NaCl-hidroksil-amin dan 5 mL larutan
SnCl2 atau SnSO4, kemudian pasang alat aerasi. Hg yang diuapkan dibawa ke
absorption cell. Keluarkan sumbat penghambat dari labu reaksi dang anti
dengan labu yang berisi air. Lakukan flush system dan jalankan standar
selanjutnya dengan cara yang sama. Kemudian, buat kurva standarnya.
d) Analisis sampel
Masukkan 100 mL larutan sampel ke dalam labu reaksi yang berisi 100 mL
kandungan 5 µg Hg/L. Lakukan seperti pada point b.Total Hg pada sampel
akan diserap dan dideteksi kadarnya.
63
4.8. Pengolahan dan Analisis Data
4.8.1. Pengolahan Data
Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan menggunakan alat bantu
komputer dengan program olah data statistik. Langkah-langkah pengolahan
data tersebut meliputi:
1. Editing
Merupakan kegiatan pengecekan data yang berupa kuesioner, untuk
memastikan semua data sudah lengkap terisi.
2. Coding
Merupakan kegiatan yang dilakukan untuk merubah data yang
berbentuk huruf menjadi angka untuk mempermudah dalam meng-
entry data serta menganalisis data tersebut.
3. Entry data
Merupakan kegiatan memasukkan atau meng-entry dengan
menggunakan program (software) olah data statistik.
4. Cleaning
Merupakan kegiatan pemeriksaan kembali terhadap data yang telah di-
entry agar tidak terjadi kesalahan.
64
4.8.2. Analisis Data
Data yang telah diolah tersebut kemudian dianalisis yang juga
menggunakan alat bantu komputer dengan program olah data statistik.
Kegiatan analisis data tersebut dilakukan secara univariat dan bivariat.
4.8.2.1 Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik
masing-masing variabel yang telah diteliti, baik variabel
independen maupun dependen. Dalam penelitian ini variabel yang
akan dideskripsikan dengan analisis univariat adalah variabel
independen berupa: umur, tingkat pendidikan, status gizi, masa
kerja, lama kerja, jenis aktivitas, dan konsumsi ikan; serta variabel
dependen berupa keracunan merkuri pada pekerja PETI.
4.8.2.2. Analisis Bivariat
Analisis bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen terhadap variabel dependennya. Dalam penelitian ini
untuk mengetahui variabel independen yang berjenis numerik
(umur, status gizi (IMT), masa kerja, jam kerja dan konsumsi ikan)
terhadap variabel dependen berjenis kategorik (keracunan merkuri)
menggunakan uji T independen (uji beda dua mean independen)
apabila didapat distribusi data yang normal setelah uji normalitas
65
pada α 5%. Sedangkan, apabila melalui uji normalitas pada α 5%
distribusi data tidak normal, maka dilakukan uji mann withey wil.
Selanjutnya, untuk mengetahui hubungan variabel independen yang
berjenis kategorik dengan dua kategorik (jenis aktivitas) terhadap
variabel dependen berjenis dua kategorik juga (keracunan merkuri)
menggunakan uji chi square dengan tabel kontigensi 2x2 dan
dengan odd ratio (OR).
66
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
5.1.1. Geografis
Desa Cisarua merupakan salah satu desa yang termasuk dalam kawasan
Gunung Halimun yang terdapat pada Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
Provinsi Jawa Barat. Desa Cisarua berada pada ketinggian 600 m di atas permukaan
laut, dengan curah hujan 2813 mm/tahun dan suhu rata-rata sebesar 22,8-320C. Batas
administrasi Desa Cisarua meliputi (Data Desa Cisarua, 2011):
Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Curug Bitung
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Desa Malasari
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Desa Curug Bitung
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Bantar Karet
Peta lokasi Desa Cisarua tersebut dapat dilihat pada gambar 5.1.
Bedasarkan data monografi desa tahun 2002, Desa Cisarua memiliki luas
wilayah mencapai 1411 Ha. Wilayah ini dihuni oleh 9741 jiwa, yang terdiri dari 2597
KK dengan komposisi 5138 laki-laki dan 4603 perempuan yang tersebar di
67
32 kampung, 6 Rukun Warga (RW) dan 33 Rukun Tetangga (RT). Sebagian besar
warga memiliki mata pencaharian bertani dengan persentasi sebesar 68,01%.
Kemudian sebagian besar warga (75%) juga memiliki tingkat pendidikan sampai SD
(Data Desa Cisarua, 2011).
Gambar 5.1 Peta Lokasi Desa Cisarua
Sumber: Peta Bumi Edisi 1 (1999) dalam Basyir (2008)
Lokasi
Penelitian
68
5.1.2. Profil Penambangan Emas di Desa Cisarua
Kegiatan penambangan emas di Desa Cisarua dilakukan di kawasan Gunung
Pongkor dengan sistem penambangan bawah tanah, yaitu dengan membuat
terowongan yang mempunyai tinggi sekitar 1 meter dan mempunyai kedalaman yang
bervariasi. Penambangan bijih di wilayah Pongkor dilakukan di 4 urat kuarsa, yakni
urat Ciurug-Cikoret, Kubang Cicau, Ciguha, dan Pasir Jawa (Juliawan, 2006).
Kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Cisarua bersifat illegal
karena tidak memiliki izin penambangan dari pemerintah setempat. Kegiatan tersebut
dikenal dengan sebutan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI). Karena sifatnya yang
illegal, maka tidak terdapat data yang cukup baik terkait pekerja PETI ini.
Kegiatan PETI dilakukan secara berkelompok dengan menggunakan alat yang
sederhana. Tempat pengolahan emas yang terdapat gelundungannya dimiliki oleh
pemilik modal, dimana pemilik modal tersebut membawahi kelompok pekerja.
Kelompok pekerja tersebut memiliki tugas yang terdiri dari menambang dan
mengolah emas. Para pekerja tidak mempunyai jadwal kerjatetap setiap harinya, hal
ini tergantung oleh kegiatan penambangan yang dilakukan. Kegiatan penambangan
umumnya dilakukan 2-4 hari. Kegiatan tersebut menghasilkan batu-batuan hasil
tambang dan ditaruh pada setiap karung. Batu-batuan yang mengandung bijih emas
hasil penambangan tersebut diangkut dan dibawa menuju desa untuk dilakukan
pengolahan.
69
Dari hasil observasi, diketahui bahwa pengolahan emas yang terdapat di Desa
Cisarua menggunakan teknik amalgamasi, yaitu dengan menggunakan merkuri untuk
mengikat emas. Adapun proses pengolahannya terdiri dari tahap penumbukan,
penggilingan, pencucian/pemerasan, dan pembakaran. Batu-batuan yang mengandung
emas (bijih) dari hasil penambangan, ditumbuk sampai hancur sehingga mempunyai
ukuran yang lebih kecil untuk dimasukkan ke gelundung. Proses penggilingan
tersebut berlangsung selama sekitar 8 jam.
Amalgam yang dihasilkan dari proses penggilingan, kemudian dicuci dan
diperas dengan menggunakan kain. Tahap selanjutnya adalah dilakukan pembakaran
dan penumbukkan kembali. Pada setiap kegiatan pengolahan emas umumnya
dilakukan pekerja tanpa menggunakan APD. APD yang terditi dari sepatu boot karet
dan sarung tangan, hanya digunakan pada saat menambang saja.
5.2. Analisis Univariat
5.2.1. Gambaran Karakteristik Pekerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Gambaran karakteristik pekerja PETI berdasarkan tingkat pendidikan di Desa
Cisarua Tahun 2013 dapat dilihat melalui tabel 5.1.
70
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Pekerja PETI Berdasarkan Tingkat Pendidikan di
Desa Cisarua Tahun 2013
Tingkat Pendidikan Frekuensi
N %
Tidak sekolah 3 7.5
Tidak tamat SD 2 5.0
SD 19 47.5
SMP 13 32.5
SMA/sederajat 3 7.5
Total 40 100
Berdasarkan tabel 5.1 dari 40 responden yang diteliti, diketahui bahwa sebagian besar
pekerja berpendidikan terakhir lulus SD, yaitu sebesar 19 orang (47,5%).
5.2.2. Gambaran Keracunan Merkuri (Hg) pada Pekerja PETI
Gambaran keracunan merkuri (Hg) pada Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun
2013 dapat dilihat melalui tabel 5.2 di bawah ini:
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Keracunan merkuri (Hg) pada Pekerja PETI di Desa Cisarua
Tahun 2013
Keracunan Merkuri Frekuensi
N %
Ya 24 60
Tidak 16 40
Total 40 100
71
Berdasarkan tabel 5.2 dari 40 responden yang diteliti, diketahui bahwa pekerja yang
mengalami keracunan merkuri (Hg) memiliki jumlah yang lebih besar, yaitu
sebanyak 24 orang (60%), dibandingkan dengan pekerja yang tidak mengalami
keracunan merkuri.
5.2.3. Gambaran Umur Pekerja PETI
Gambaran umur dari pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013 dapat dilihat
melalui tabel 5.3 di bawah ini:
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Umur Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013
Variabel Mean Median SD Min-Max
Umur (tahun) 34,05 30,50 11,422 18-68
Berdasarkan tabel 5.3 dari 40 responden yang diteliti, diketahui bahwa rata-
rata pekerja PETI berumur 34,05 tahun dengan median 30,50 dan standar deviasi
11,422. Pekerja termuda berumur 18 tahun, sedangkan yang tertua berumur 68 tahun.
5.2.4. Gambaran Status Gizi Pekerja PETI
Status gizi pekerja dapat diketahui dari skor IMT masing-masing pekerja
tersebut. Gambaran IMT dari pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013 dapat dilihat
melalui tabel 5.4 di bawah ini:
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi IMT Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013
Variabel Mean Median SD Min-Max
IMT 21,469 21,390 2,7937 17,3-28,5
72
Berdasarkan tabel 5.4 dari 40 responden yang diteliti, diketahui bahwa rata-
rata pekerja PETI memiliki skor IMT sebesar 21,469; sehingga dapat diketahui
bahwa rata-rata pekerja memiliki status gizi normal sesuai dengan batas IMT menurut
Depkes RI. Diperoleh pula median sebesar 21,390 dan standar deviasi 2,7937. Skor
IMT terendah yang dimiliki oleh pekerja adalah sebesar 17,3 yang termasuk dalam
kelompok kurus; sedangkan yang tertinggi adalah sebesar 28,5 yang termasuk dalam
kelompok gemuk sekali.
5.2.5. Gambaran Masa Kerja Pekerja PETI
Gambaran masa kerja dari pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013 dapat
dilihat melalui tabel 5.5 di bawah ini:
Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Masa Kerja Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013
Variabel Mean Median SD Min-Max
Masa Kerja (tahun) 8,70 6,50 6,944 2-40
Berdasarkan tabel 5.5 dari 40 responden yang diteliti, diketahui bahwa rata-
rata pekerja PETI memiliki masa kerja sebesar 8,70 tahun dengan median 6,50 dan
standar deviasi 6,944. Masa kerja terendah yang dimiliki oleh pekerja adalah sebesar
2 tahun, sedangkan yang tertinggi sebesar 40 tahun.
5.2.6. Gambaran Jam Kerja Pekerja PETI
Gambaran jam kerja dari pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013 dapat
dilihat melalui tabel 5.6.
73
Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Jam Kerja Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013
Variabel Mean Median SD Min-Max
Jam Kerja (jam) 8,30 6,00 3,582 3-18
Berdasarkan tabel 5.6 dari 40 responden yang diteliti, diketahui bahwa rata-
rata pekerja PETI bekerja selama 8,30 jam dengan median 6,00 dan standar deviasi
3,582. Jam kerja paling singkat yang dimiliki oleh pekerja, yaitu 3 jam, sedangkan
yang terlama adalah 18 jam.
5.2.7. Gambaran Jenis Aktivitas Pekerja PETI
Gambaran jenis aktivitas dari pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013 dapat
dilihat melalui tabel 5.7 di bawah ini:
Tabel 5.7
Distribusi Frekuensi Jenis Aktivitas Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013
Jenis aktivitas Frekuensi
N %
Kontak langsung 14 35
Tidak 26 65
Total 40 100
Berdasarkan tabel 5.7 dari 40 responden yang diteliti, diketahui bahwa pekerja
yang memiliki aktivitas kontak langsung dengan merkuri, yaitu sebanyak 14 orang
(35%). Dari tabel tersebut diketahui juga bahwa lebih banyak pekerja yang tidak
memiliki aktivitas kontak langsung, yaitu sebesar 26 orang (65%).
74
5.2.8. Gambaran Konsumsi Ikan Pekerja PETI
Gambaran konsumsi ikan dari pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013
dapat dilihat melalui tabel 5.8 dibawah ini:
Tabel 5.8
Distribusi Frekuensi Konsumsi Ikan Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013
Variabel Mean Median SD Min-Max
Konsumsi Ikan (gram) 446 320 3,94 0-1680
Berdasarkan tabel 5.8 dari 40 responden yang diteliti, diketahui bahwa rata-
rata konsumsi ikan dari pekerja PETI adalah sebesar 466 gram dengan median 320
dan standar deviasi 3,94. Konsumsi ikan terkecil adalah 0 gram, sedangkan yang
terbesar adalah 1680 gram.
5.3. Analisis Bivariat
5.3.1. Hubungan antara Umur dengan Keracunan Merkuri
Gambaran hubungan umur terhadap keracunan merkuri dari pekerja PETI di
Desa Cisarua Tahun 2013 dapat dilihat melalui tabel 5.9 di bawah ini:
Tabel 5.9
Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Umur Pekerja PETI di Desa Cisarua
Tahun 2013
Umur (tahun) N Mean SD P value
Keracunan Merkuri
- Ya 24 36.04 11.476 0,09
- Tidak 16 31.06 11.018
75
Berdasarkan tabel 5.9 diketahui bahwa pekerja yang mengalami keracunan
merkuri adalah sebanyak 24 orang dengan rata-rata umur sebesar 36.04 tahun dan
standar deviasi sebesar 11,476. Sedangkan, pekerja yang tidak mengalami keracunan
merkuri adalah sebanyak 16 orang dengan rata-rata umur sebesar 31.06 tahun dan
standar deviasi sebesar 11.018. Dari hasil uji statistik t independent tersebut diperoleh
p value sebesar 0,09. Artinya pada α 5% tidak terdapat perbedaan yang bermakna
antara umur dengan keracunan merkuri.
5.3.2. Hubungan antara Status Gizi dengan Keracunan Merkuri
Status gizi pekerja dapat diketahui dari skor IMT masing-masing pekerja
tersebut. Gambaran hubungan IMT terhadap keracunan merkuri dari pekerja PETI di
Desa Cisarua Tahun 2013 dapat dilihat melalui tabel 5.10 di bawah ini:
Tabel 5.10
Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan IMT Pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun
2013
IMT N Mean Rank Sum of Ranks P value
Keracunan Merkuri
- Ya 24 19,81 475,50
0,325 - Tidak 16 21,53 344,50
Total 40
Berdasarkan tabel 5.10 diketahui bahwa pekerja yang mengalami keracunan
merkuri menunjukkan rata-rata peringkat sebesar 19,81 dari total peringkat 475,50.
Sedangkan, pekerja yang tidak mengalami keracunan merkuri menunjukkan rata-rata
peringkat sebesar 21,53 dari total peringkat 344,50. Dari hasil uji statistik mann
76
withey tersebut diperoleh p value sebesar 0,325. Artinya pada α 5% tidak terdapat
perbedaan yang bermakna antara status gizi dengan keracunan merkuri.
5.3.3. Hubungan antara Masa Kerja dengan Keracunan Merkuri
Gambaran hubungan antara masa kerja dengan keracunan merkuri dari
pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013 dapat dilihat melalui tabel 5.11 di bawah
ini:
Tabel 5.11
Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Masa Kerja Pekerja PETI di Desa Cisarua
Tahun 2013
Masa Kerja (tahun) N Mean Rank Sum of Ranks P value
Keracunan Merkuri
- Ya 24 25,35 608,50
0,0005 - Tidak 16 13,22 211,50
Total 40
Berdasarkan tabel 5.11 diketahui bahwa pekerja yang mengalami keracunan
merkuri menunjukkan rata-rata peringkat sebesar 25,35 dari total peringkat 608,50.
Sedangkan, pekerja yang tidak mengalami keracunan merkuri menunjukkan rata-rata
peringkat sebesar 13,22 dari total peringkat 211,50. Dari hasil uji statistik mann
withey tersebut diperoleh p value sebesar 0,0005. Artinya pada α 5% risiko
keracunan merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang memiliki masa kerja
lebih lama dibandingkan dengan yang tidak lama.
77
5.3.4. Hubungan antara Jam Kerja dengan Keracunan Merkuri
Gambaran hubungan antara jam kerja dengan keracunan merkuri dari pekerja
PETI di Desa Cisarua Tahun 2013 dapat dilihat melalui tabel 5.12 di bawah ini:
Tabel 5.12
Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Jam Kerja Pekerja PETI di Desa Cisarua
Tahun 2013
Jam Kerja (jam) N Mean Rank Sum of Ranks P value
Keracunan Merkuri
- Ya 24 23,10 554,50
0,035 - Tidak 16 16,59 265,50
Total 40
Berdasarkan tabel 5.12 diketahui bahwa pekerja yang mengalami keracunan
merkuri menunjukkan rata-rata peringkat sebesar 23,10 dari total peringkat 554,50.
Sedangkan, pekerja yang tidak mengalami keracunan merkuri menunjukkan rata-rata
peringkat sebesar 16,59 dari total peringkat 265,50. Dari hasil uji statistik mann
withey tersebut diperoleh p value sebesar 0,035. Artinya pada α 5% risiko keracunan
merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang memiliki jam kerja lebih lama
dibandingkan dengan yang tidak lama.
5.3.5. Hubungan antara Jenis Aktivitas dengan Keracunan Merkuri
Gambaran hubungan antara jenis aktivitas dengan keracunan merkuri dari
pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013 dapat dilihat melalui tabel 5.13.
78
Tabel 5.13
Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Jenis Aktivitas Pekerja PETI di Desa
Cisarua Tahun 2013
Jenis
Aktivitas
Keracunan Merkuri Total PR
95% CI p value Ya Tidak
N % N % N %
Kontak
Langsung 10 71,4 4 28,6 14 100,0
1,327
0,816-2,157 0,2285
Tidak 14 53,8 12 46,2 26 100,0
Total 24 60,0 16 40,0 40
Berdasarkan tabel 5.13 diketahui bahwa ada sebanyak 10 dari 24 (71,4 %)
pekerja yang melakukan aktivitas berupa kontak langsung dan mengalami keracunan
merkuri. Sedangkan diantara pekerja yang tidak melakukan aktivitas berupa kontak
langsung, terdapat 14 dari 24 (53,8%) pekerja yang mengalami keracunan merkuri.
Dari hasil uji statistik chi square diperoleh p value sebesar 0,2285. Artinya pada α 5%
tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara jenis aktivitas dengan keracunan
merkuri. Dari hasil analisis tersebut diketahui pula nilai rasio prevalensi sebesar 1,327
(CI 95% 0,816-2,157) artinya jenis aktivitas pekerja belum dapat dikatakan sebagai
faktor risiko.untuk terjadinya keracunan merkuri.
79
5.3.6. Hubungan antara Konsumsi Ikan dengan Keracunan Merkuri
Gambaran hubungan antara konsumsi ikan dengan keracunan merkuri dari
pekerja PETI di Desa Cisarua Tahun 2013 dapat dilihat melalui tabel 5.14 di bawah
ini:
Tabel 5.14
Distribusi Keracunan Merkuri Berdasarkan Konsumsi Ikan Pekerja PETI di Desa
Cisarua Tahun 2013
Konsumsi Ikan (gram) N Mean Rank Sum of Ranks P value
Keracunan Merkuri
- Ya 24 21,92 526,00
0,172 - Tidak 16 18,38 294,00
Total 40
Berdasarkan tabel 5.14 diketahui bahwa pekerja yang mengalami keracunan
merkuri menunjukkan rata-rata peringkat sebesar 21,92 dari total peringkat 526,00.
Sedangkan, pekerja yang tidak mengalami keracunan merkuri menunjukkan rata-rata
peringkat sebesar 18,38 dari total peringkat 294,00. Dari hasil uji statistik mann
withey tersebut diperoleh p value sebesar 0,172. Artinya pada α 5% tidak terdapat
perbedaan yang bermakna antara konsumsi ikan dengan keracunan merkuri.
5.4. Gambaran Gangguan Kesehatan Pekerja
Berdasarkan hasil wawancara terhadap para pekerja diketahui bahwa beberapa
pekerja mengalami gangguan kesehatan, seperti: tremor, sering kesemutan, otot
wajah kaku, letih, pegal, nyeri di dada, gatal-gatal, iritasi mata, sakit pada pinggang
80
dan tangan, sakit kepala, rasa logam pada mulut, otot terasa sakit dan kejang, kulit
telapak tangan dan kaki menebal, pusing, darah tinggi, flu, batuk, serta magh.
Berdasarkan data tersebut dapat diindikasikan bahwa terdapat beberapa dampak dari
penggunaan merkuri pada proses pengolahan yang dilakukan oleh pekerja. Dampak
tersebut dilihat dari beberapa gangguan kesehatan yang telah dialami yaitu tremor,
sering kesemutan, otot wajah kaku, iritasi mata, rasa logam pada mulut, otot terasa
sakit dan kejang, kulit telapak tangan dan kaki menebal, serta sakit kepala.
81
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu sebagai berikut:
1) Tidak ditelitinya faktor lingkungan, sehingga alternatifnya adalah dengan
menggunakan data sekunder dari berbagai literatur mengenai status
kontaminasi merkuri di lingkungan.
2) Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional, dimana faktor risiko
dan efek diukur dalam waktu yang bersamaan. Dimana pajanan/exposure dan
outcome diukur dalam satu waktu yang sama, sehingga hubungan merupakan
keterkaitan antar variabel bukan sebab akibat.
3) Data mengenai gejala penyakit hanya berdasarkan ingatan dan sepengetahuan
responden saja, tanpa dilakukan pemeriksaan kesehatan yang sesuai standar.
Sehingga, diagnosis terkait efek dari keracunan merkuri belum dapat
dipastikan pada pekerja PETI.
6.2. Keracunan Merkuri
Merkuri merupakan logam berat yang dikelompokkan kedalam golongan yang
memiliki tingkat toksik tinggi (Widowati et. al., 2008). Efek negatif bagi kesehatan
yang dapat ditimbulkan dengan adanya paparan merkuri terhadap para pekerja PETI
82
yaitu berupa kejadian keracunan merkuri. Hal tersebut diindikasikan dengan mengacu
pada ketentuan batas normal kadar merkuri total yang telah ditetapkan WHO dengan
menggunakan pengukuran terhadap biomarker. Untuk batas normal pada rambut
adalah sebesar 1-2 ppm.
Dari hasil penelitian mengenai gambaran keracunan merkuri pada pekerja
PETI di Desa Cisarua, diketahui bahwa pekerja yang mengalami keracunan merkuri
(Hg) memiliki jumlah yang lebih besar, yaitu dengan persentasi 60%, dibandingkan
dengan pekerja yang tidak mengalami keracunan merkuri. Hal tersebut menunjukkan
bahwa sebagian besar pekerja sudah terkontaminasi dan menerima paparan merkuri
pada tubuhnya yang melebihi ambang batas yang telah ditetapkan. Diketahui juga
bahwa terdapat responden dengan kadar merkuri tertinggi yaitu sebesar 68 ppm dan
terendah sebesar 0,28 ppm.
Apabila ditelusuri lebih mendalam diketahui bahwa responden yang memiliki
kadar merkuri tertinggi memiliki massa kerja 15 tahun dengan jenis aktivitas kontak
langsung, sehingga memiliki risiko untuk terjadinya keracunan merkuri. Sedangkan,
untuk yang memiliki kadar merkuri terendah salah satu respondennya memiliki massa
kerja 3 tahun dengan jenis aktivitas tidak kontak langsung, sehingga memungkinkan
bahwa kadar merkuri pada tubuhnya masih dalam batas normal merkuri dalam tubuh.
Pada saat dilakukannya wawancara, responden dengan kadar merkuri yang
tinggi tersebut belum menunjukkan adanya gangguan kesehatan yang berarti akibat
83
keracunan merkuri tersebut. Hal ini dapat terjadi karena diduga terdapat faktor lain
yang dapat mempengaruhinya yaitu faktor genetik yang tidak diteliti pada penelitian
ini. Dimana terdapatnya perbedaan genetik dalam metabolisme atau biotransformasi
dari masing-masing individu, sehingga terdapat perbedaan juga terhadap kerentanan
tubuh dalam proses penyerapan dan mempertahankan unsur toksik tersebut yang
salah satunya adalah merkuri (Whitfield et al., 2010).
Kejadian keracunan merkuri pada pekerja PETI dapat diakibatkan dari
penggunaan merkuri dalam proses pengolahan emas. Para pekerja mempunyai risiko
untuk terpapar merkuri secara langsung. Paparan tersebut dapat terjadi pada tahap
pencampuran merkuri yang digunakan untuk amalgamator (gelundungan), dan pada
proses pemerasan amalgam. Dari hasil observasi dan wawancara diketahui bahwa
pekerja tidak menggunakan sarung tangan pada tahap tersebut. Selanjutnya, paparan
juga dapat terjadi pada proses pembakaran, dimana uap merkuri hasil pembakaran
dapat terhirup langsung oleh para pekerja, mengingat pekerja tersebut tidak
menggunakan masker pada saat melakukan proses pembakaran. Selain adanya
paparan langsung, kontaminasi merkuri pada tubuh pekerja dapat berasal dari
konsumsi ikan.
Walaupun diagnosis terkait efek dari keracunan merkuri belum dapat
dipastikan pada pekerja PETI, namun berdasarkan wawancara dan pengisian
kuesioner diketahui beberapa gejala yang dapat mengindikasikan efek toksik dari
merkuri. Gejala tersebut berupa: tremor, sering kesemutan, otot wajah kaku,, iritasi
84
mata, rasa logam pada mulut, otot terasa sakit dan kejang, kulit telapak tangan dan
kaki menebal, serta sakit kepala. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wardhana (2001)
dan Subanri (2008) yang menyatakan bahwa keracunan merkuri dapat ditandai
dengan gejala seperti sakit kepala, sukar menelan, penglihatan menjadi kabur, daya
dengar menurun, merasa tebal di bagian kaki dan tangan, mulut terasa tersumbat oleh
logam, gusi membengkak, serta diare.
Kemudian menurut Widowati (2008), toksisitas kronis dapat berupa gangguan
sistem pencernaan, gingivitis (radang gusi), dan sistem syaraf, berupa tremor. Selain
itu, menurut Widowati (2008) dan Palar (1994), toksisitas kronis dapat berupa
gangguan sistem syaraf berupa tremor. Diketahui juga gangguan kesehatan terbesar
yang dialami responden adalah berupa kesemutan. Hal tersebut sejalan dengan
Inswiasri (2008) yang menyatakan bahwa gejala awal dari keracunan kronik salah
satunya adalah rasa kesemutan.
6.3. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keracunan Merkuri
6.3.1. Faktor internal
a. Umur
Menurut Hamid (1991) dan Tugaswati (2006) salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap logam berat adalah umur. Dari hasil uji
bivariat pada tabel 5.9 dapat diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara umur dengan keracunan merkuri. Hal ini tidak sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hartono (2003) pada 45 orang pekerja
85
laboratorium di Bandar lampung. Diperoleh hasil bahwasanya terdapat hubungan
yang bermakna antara variabel umur pekerja dengan kadar merkuri pada
rambutnya (p value = 0,02). Diketahui pula pekerja dengan umur >35 tahun
mempunyai kemungkinan 5,678 kali memiliki kadar merkuri pada rambutnya
melebihi 2ppm, dibandingkan dengan pekerja dengan umur ≤ 35 tahun (95% CI
OR = 1,318-24,536).
Hal ini dapat terjadi karena diduga dipengaruhi oleh faktor lain, yakni
faktor pekerjaan yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan paparan
merkuri ke tubuh. Faktor yang dapat berpengaruh tersebut seperti massa kerja.
Bahwasanya semakin lama seseorang bekerja di area yang memiliki risiko tinggi
terhadap paparan merkuri, maka semakin sering pula orang tersebut terpapar
dengan merkuri. Sehingga semakin meningkat akumulasi merkuri dalam
tubuhnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suma’mur (1996) yang menyatakan
bahwa semakin lama seseorang bekerja maka semakin banyak paparan bahaya
yang ditimbulkan dari area tempat kerjanya. Pada umumnya, para penambang
terpapar merkuri melalui kontak langsung dengan kulit dan inhalasi, yaitu dengan
menghirup uap merkuri pada saat proses pengolahan emas (Berlin, 1979; Alfian,
2006; Maywati, 2011).
Dari hasil uji bivariat tersebut juga diketahui bahwa baik pekerja yang
mengalami keracunan merkuri maupun tidak, memiliki rata-rata umur yang masih
tergolong usia produktif. Sedangkan, menurut Eto (1999) dan Sudarmaji et. al.
86
(2006) menyatakan bahwa efek keracunan merkuri tergantung dari kepekaan
individu, yakni anak dalam kandungan (prenatal), bayi, anak-anak, dan orang tua.
Hal ini juga sejalan dengan pernyataan ATSDR (1999), UNEP dan WHO
(2008) yang menyatakan bahwa baik janin, anak yang baru lahir maupun masih
berusia muda sangat rentan terhadap paparan merkuri karena sensitivitas dari
perkembangan syaraf. Selain itu, neonatus juga dapat terpapar dari konsumsi ASI
yang telah terkontaminasi merkuri. Sehingga memungkinkan bahwa usia pekerja
PETI di Desa Cisaruayang tergolong usia produktif, tidak memiliki pengaruh atau
hubungan yang signifikan terhadap kejadian keracunan merkuri pada pekerja
PETI tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa lama bekerja memiliki
pengaruh terhadap paparan merkuri terhadap pekerja. Akan tetapi, lama kerja
tersebut tergantung dari besarnya paparan/kadar unsur kimia di udara yang berada
pada tempat kerja. Seperti yang dikemukakan pada Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RI No. 13 Tahun 2011, NAB di udara lingkungan kerja
untuk senyawa merkuri anorganik ditetapkan sebesar 0,025 mg/m3. Sedangkan
untuk Paparan Singkat Diperkenankan (PSD)/ Kadar Tertinggi Diperkenankan
(KTD) dari Hg adalah 0,03 mg/m3. Berdasarkan hal tersebut maka untuk
penelitan selanjutnya, sebaiknya dilakukan pengukuran terhadap variabel
lingkungan, terutama kadar merkuri di udara pada lingkungan kerja.
87
b. Status gizi
Indeks Massa Tubuh (IMT) yang digunakan sebagai indikator penentu
status gizi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kejadian
keracunan merkuri pada pekerja PETI. Berdasarkan hasil analisis bivariat
diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara status gizi
dengan keracunan merkuri dengan p value sebesar 0,325. Hal ini sejalan dengan
hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Andri et.al (2011) yang menyatakan
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kadar
merkuri pada rambut respoden dengan p value sebesar 0,330.
Berbeda dengan teori yang menyatakan apabila seseorang memiliki status
gizi yang kurang baik maka akan menjadi rentan terhadap penyakit (Inswiasri dan
Sintawati, 2011). Kemudian pernyataan dari Suma’mur (1996), yang menyatakan
bahwa tingkat gizi seorang pekerja memiliki hubungan yang sangat erat dengan
kesehatan dan daya kerja.
Berdasarkan teori, merkuri memiliki sifat larut pada lipida (lemak), yakni
merkuri elemental. (Larry et. al., 2002; BPOM, 2004). Merkuri elemental
memiliki sifat larut dalam lemak yang tinggi (U.S. EPA, 1997; BPOM, 2004).
Karena sifatnya tersebut, maka kadar lemak yang tinggi dalam tubuh seseorang
dapat berpengaruh terhadap absorbsi dan ekskresi merkuri dalam tubuhnya. Hal
ini dikarenakan lemak berlebihan dan merkuri yang terlarut didalamnya akan
tersimpan dalam jaringan tubuh (Andri et. al., 2011). Menurut Hartono (2003),
88
kulit mengandung kelenjar sebasea yang dapat melepaskan asam lemak sehingga
merkuri akan diabsorpsi ke dalam kulit. Setelah itu, masuk melalui kapiler darah
dibawah kulit dan didistribusikan ke seluruh tubuh.
Menurut hasil analisis univariat, diketahui bahwa rata-rata pekerja
memiliki IMT sebesar 21,469; sehingga dapat diketahui bahwa rata-rata pekerja
memiliki status gizi normal. Karena rata-rata IMT pekerja masih tergolong pada
batas yang normal, maka kadar lemak masih dalam batasan normal. Sehingga,
dimungkinkan absorbsi merkuri (khususnya merkuri elemental melalui kulit)
dalam lemak masih pada ambang batas simpanan lemak dalam lapisan kulit
(Andri et. al., 2011).
Selanjutnya, apabila dilakukan analisis lebih lanjut, maka dapat diperoleh
hasil yang menyatakan bahwa baik pekerja yang mengalami keracunan, maupun
yang tidak, memiliki status gizi normal dengan masing-masing IMT sebesar
21,217 dan 21,847. Hal ini mengindikasikan bahwa pekerja dengan status gizi
normal pun mengalami keracunan merkuri. Hal ini mungkin terjadi karena
dimungkinkan pekerja tidak hanya terpapar merkuri melalui kontak langsung
lewat kulit saja, tetapi dapat melalui jalur masuk inhalasi serta oral.
Melalui inhalasi, merkuri (khususnya yang berasal dari uap hasil dari
pembakaran amalgram) dapat terhirup melalui hidung kemudian menembus
alveoli dengan cara terdisfusi dan masuk ke dalam peredaran darah (Hartono,
89
2003 dan Lestarisa, 2010). Sedangkan melalui oral, khususnya dapat melalui
konsumsi ikan. Hal ini karena dalam perairan dan sedimen, merkuri dabat
berubah menjadi bentuk organik, yaitu metilmerkuri (CH3Hg) karena adanya
aktivitas bakteri dan dengan mudah berdifusi, sertaberikatan dengan protein biota
akuatik. Hal tersebut termasuk pada protein jaringan otot ikan (Bureau of
Nutritional Sciences, Food Directorate, Health Products and Food Branch
Canada, 2007; Athena dan Inswiasri, 2009).
Diketahui pula ion metil merkuri yang telah termakan akan larut dalam
lipida dan ditimbun dalam jaringan lemak pada ikan. Metil merkuri dapat
ditimbun dalam jaringan lemak pada ikan sampai kadar 3000 kali dari kadar yang
ada di air, namun ikan tersebut tidak menunjukkan gangguan merkuri atau
menderita sakit (Polii dan Sonya, 2002). Sehingga apabila manusia
mengkonsumsi ikan yang terkontaminasi oleh merkuri maka dapat terjadi
peningkatan risiko untuk terjadinya keracunan merkuri.
Salah satu cara detoksifikasi merkuri pada tubuh adalah dengan
mengonsumsi vitamin E dan antioksidan. Menurut Silalahi (2005) diketahui
bahwa vitamin E dan antioksidan dapat mengurangi toksisitas merkuri. Hal ini
mengarah pada hipotesis bahwa selenium yang juga bersifat sebagai antioksidan
dapat meredam radikal bebas yang dipicu oleh merkuri sehingga dapat
melindungi sel-sel dalam tubuh.
90
6.3.2. Faktor pekerjaan
a. Masa kerja
Masa kerja merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kejadian keracunan merkuri pada pekerja PETI. Hal ini berkaitan seringnya
pekerja terpapar oleh merkuri di lingkungan kerjanya yang menyebabkan
meningkatnya akumulasi merkuri dalam tubuh. Dari hasil analisis bivariat
menunjukkan bahwa risiko keracunan merkuri lebih besar terjadi pada pekerja
PETI yang memiliki masa kerja lebih lama dibandingkan dengan yang tidak lama
dengan p value sebesar 0,0005.
Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hartono
(2003) pada 45 orang pekerja laboratorium di Bandar lampung. Diperoleh hasil
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara var masa kerja dengan kadar
merkuri pada rambutnya dengan p value sebesar 0,005. Diketahui pula pekerja
dengan masa kerja >15 tahun mempunyai kemungkinan terpapar Hg sebesar 7,5
kali kadar merkuri pada rambutnya > 2ppm dibandingkan dengan pekerja yang
mempunyai masa kerja < 1-15 tahun (95% CI OR = 1,830-30,728).
Hal tersebut sejalan dengan Suma’mur (1996), yang menyatakan bahwa
semakin lama seseorang bekerja maka semakin banyak paparan bahaya yang
ditimbulkan dari area tempat kerjanya. Kemudian, berdasarkan konsep teori yang
dikemukakan oleh magos et, al.(1978) dalam Hartono (2003), bahwa tidak hanya
konsentrasi maksimum yang mempengaruhi efek intoksikasi merkuri, tetapi juga
tergantung lamanya paparan merkuri yang terjadi.
91
Pada umumnya, para penambang terpapar merkuri melalui kontak
langsung dengan kulit dan inhalasi, yaitu dengan menghirup uap merkuri pada
saat proses pengolahan emas. Pada paparan melalui inhalasi dengan saluran
pernapasan sebagai jalur utamanya merupakan cara penyerapan merkuri dalam
bentuk unsur di tubuh dengan persentasi akumulasi yang tinggi, yaitu sekitar
80%. Hal ini dikarenakan sifat merkuri yang dapat larut dalam lipida (Berlin,
1979; Alfian, 2006; Maywati, 2011)
Besarnya risiko keracunan merkuri akibat massa kerja tersebut dapat
semakin besar apabila diikuti dengan tidak menggunakannya APD. Berdasarkan
hasil observasi diketahui bahwa rata-rata pekerja tidak menggunakan APD pada
saat proses pengolahan emas. Sedangkan, diketahui bahwa salah satu cara untuk
mengurangi terjadinya paparan merkuri di lingkungan kerja tersebut adalah
dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) secara benar dan kontinyu.
Adapun APD yang direkomendasikan untuk pekerja penambang dan pengolahan
emas adalah masker, sarung tangan karet dan baju lengan panjang (Setiyono dan
Maywati, 2010).
Masker dapat mengurangi paparan Hg lewat pernafasan. Pada saat uap Hg
terhirup, 80% Hg masuk ke aliran darah melalui paru-paru dan menyebar ke
organ tubuh lain, termasuk otak dan ginjal. Sedangkan, sarung tangan karet dan
pakaian lengan panjang mampu mengurangi paparan Hg lewat kulit. Beberapa
92
senyawa air raksa (II) organik dan anorganik dapat diabsorpsi melalui kulit
(Setiyono dan Maywati, 2010).
b. Jam kerja
Jam kerja merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kejadian
keracunan merkuri pada pekerja PETI. Jam kerja terkait dengan lama
keterpaparan pekerja di lingkungan kerjanya dalam sehari. Dari hasil analisis
bivariat menunjukkan bahwa risiko keracunan merkuri lebih besar terjadi pada
pekerja PETI yang memiliki jam kerja lebih lama dibandingkan dengan yang
tidak lama dengan p value sebesar 0,035. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Lestarisa pada pekerja PETI di Kecamatan Kurun tahun 2010,
yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara jam kerja terhadap
keracunan merkuri dengan p value sebesar 0,002. Dinyatakan pula bahwa pekerja
dengan jam kerja >8 jam dalam sehari berisiko tinggi mengalami keracunan
merkuri dibandingkan dengan pekerja dengan jam kerja ≤ 8 jam/hari.
Kemudian, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rianto
(2010) pada 60 penambang emas tradisional di Desa Jendi Kecamatan Selogiri,
diketahui pula bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jam kerja dalam
sehari dengan keracunan merkuri dengan p value sebesar 0,047. Serta, diperoleh
hasil dari 7 orang penambang dengan jam kerja >8 jam, didapat 7 orang (100%)
yang mengalami keracunan. Sedangkan penambang dengan lama kerja 8 jam dari
53 orang penambang, terdapat 33 orang (62,3%) yang mengalami keracunan
merkuri dan 20 orang (37,7%) tidak mengalami keracunan merkuri.
93
Berdasarkan hasil dari analisis univariat, diketahui bahwa rata-rata jam
kerja yang dimiliki oleh pekerja adalah 8,3 jam. Hal tersebut telah melebihi jam
kerja standar dalam sehari. Menurut Suma’mur (1996), pada umumnya lama
bekerja seseorang dalam sehari sebaiknya 6-8 jam. Pekerjaan biasa (tidak terlalu
ringan atau berat) yang dilakukan setelah 4 jam bekerja dapat menurunan
produktivitas kerja dan sejalan dengan menurunnya kadar gula dalam darah. Hal
ini dapat terkait dengan status gizi seseorang. Pada dasarnya apabila seseorang
memiliki status gizi yang kurang baik maka akan menjadi rentan terhadap
penyakit (Inswiasri dan Sintawati, 2011).
Hal tersebut juga sejalan dengan Suma’mur (1996), yang menyatakan
bahwa tingkat gizi seorang pekerja memiliki hubungan yang sangat erat dengan
kesehatan dan daya kerja.Sehingga, diperlukannya istirahat setelah 4 jam kerja
secara terus-menerus sekitar setengah jam. Karena tingkat gizi seorang pekerja
(terutama pekerja berat dan kasar), merupakan faktor penentu derajat
produktivitas kerjanya. Sehingga, beban kerja yang berat umumnya disertai
dengan penurunan berat badan.
c. Jenis Aktivitas
Jenis aktivitas yang dilakukan oleh PETI terdiri dari menambang dan
mengolah emas hasil dari kegiatan pertambangan. Pengolahan emas tersebut
dibagi lagi menjadi kegiatan mengerakkan gelundung sehingga menjadi serbuk
emas, membuat amalgram dimana terjadi proses pencampuran merkuri dan
94
pemerasan emas yang telah dicampur dengan air dan merkuri dengan
menggunakan kain, pemijaran atau pembakaran, dan penumbukkan emas menjadi
lempengan.
Dari hasil uji bivariat pada tabel 5.13 dapat diketahui bahwa tidak terdapat
perbedaan yang bermakna antara jenis aktivitas dengan keracunan merkuri
dengan p value sebesar 0,2285. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Setiyono dan Maywati (2010) yang menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kegiatan pekerja terhadap kadar
Hg dengan p value sebesar 0,058.
Berbeda dengan Lestarisa (2010) yang menyatakan bahwa sebagian besar
penambang yang mempunyai aktivitas berupa pencampuran merkuri dan
membakar amalgram mempunyai presentase tertinggi terkena keracunan merkuri.
Hal ini disebabkan karena pada pencampuran merkuri terjadi kontak langsung
dengan penambang melalui kulit. Hal tersebut dapat diperparah apabila
penambang tidak menggunakan sarung tangan. Selain itu, uap hasil dari
pembakaran amalgram dapat langsung terhirup oleh penambang melalui saluran
pernapasan akan masuk kedalam paru-paru. Setelah itu, merkuri tersebut dapat
berikatan dengan darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh (Lestarisa, 2010).
Hal ini mugkin dapat terjadi karena berdasarkan hasil analisis univariat,
diketahui bahwa proporsi pekerja yang memiliki aktivitas tidak kontak langsung
lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang memiliki aktivitas kontak
langsung. Hal ini dapat mempengaruhi perhitungan statistik yang dilakukan.
95
Selain itu, diduga pula adanya pengaruh jam kerja. Apabila pekerja yang memiliki
jenis aktivitas tidak kontak langsung namun memiliki jam kerja yang lama maka
mereka memiliki risiko yang besar pula untuk terpapar merkuri di lingkungan
kerjanya, khususnya dari uap merkuri yang mengontaminasi udara di area kerja.
Selain itu, peneliti juga menduga bahwa jalur masuk merkuri dapat terjadi
melalui faktor lainnya selain dari lingkungan kerja, yaitu seperti dari pangan
(khususnya dari konsumsi ikan). Hal tersebut juga sejalan dengan pernyataan dari
R. Kowalski dan J. Wierciński (2006) yang menyatakan bahwa konsentrasi
merkuri dari rambut masyarakat tersebut menegaskan adanya pengaruh frekuensi
konsumsi ikan dengan konsentrasi merkuri.
6.3.3. Faktor prilaku
a. Konsumsi ikan
Salah satu faktor yang diduga dapat mempengaruhi kejadian keracunan
merkuri pada pekerja PETI adalah jumlah konsumsi ikan. Berdasarkan analisis
bivariat diketahui tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara konsumsi ikan
dengan keracunan merkuri. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian dari Andri
et.al. (2011) pada masyarakat sekitar PETI di Kecamatan Mandor, diketahui
bahwa variabel konsumsi ikan yang berasal dari daerah setempat >3 kali/minggu
memiliki hubungan yang signifikan terhadap kadar merkuri pada rambut
masyarakat dengan p value sebesar 0,007.
96
Selanjutnya, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh R. Kowalski dan J.
Wierciński (2006) yang berjudul Determination of Total Mercury Concentration
in Hair of Lubartów-Area Citizens (Lublin Region, Poland), diketahui bahwa
konsentrasi merkuri dari rambut masyarakat tersebut menegaskan adanya
pengaruh frekuensi konsumsi ikan dengan konsentrasi merkuri. Tingginya
konsentrasi merkuri ditemukan pada rambut individu yang banyak mengkonsumsi
ikan.
Hal tersebut dilandasi dengan teori yang menyatakan bahwa merkuri
merupakan logam berat yang tidak dapat didegradasi sehingga dapat
menimbulkan bioakumulasi pada mahluk hidup yang salah satunya adalah ikan.
Dalam perairan dan sedimen, merkuri dabat berubah menjadi bentuk organik,
yaitu metilmerkuri (CH3Hg) karena adanya aktivitas bakteri. Bentuk senyawa
metilmerkuri (CH3Hg) dapat dengan mudah berdifusi dan berikatan dengan
protein biota akuatik. Hal tersebut termasuk pada protein jaringan otot ikan
(Bureau of Nutritional Sciences, Food Directorate, Health Products and Food
Branch Canada, 2007; Athena dan Inswiasri, 2009).
Diketahui pula ion metil merkuri yang telah termakan akan larut dalam
lipida dan ditimbun dalam jaringan lemak pada ikan. Metil merkuri dapat
ditimbun dalam jaringan lemak pada ikan sampai kadar 3000 kali dari kadar yang
ada di air, namun ikan tersebut tidak menunjukkan gangguan merkuri atau
menderita sakit (Polii dan Sonya, 2002). Sehingga apabila manusia
97
mengkonsumsi ikan yang terkontaminasi oleh merkuri maka dapat terjadi
peningkatan risiko untuk terjadinya keracunan merkuri.
Tidak sejalannya hasil penelitian ini dengan penelitian-penelitian
sebelumnya dan teori yang ada, karena dimungkinkan terjadinya bias pada saat
wawancara terkait konsumsi ikan kepada responden. Hal ini dikarenakan
keterbatasan responden dalam mengingat konsumsi ikan rata-rata dalam
seminggu. Kemudian, berat ikan pun tidak diukur secara rinci, melainkan hanya
berdasarkan asumsi dengan membandingkan terhadap food model.
Hal ini didasari dengan pernyataan Jansen S. (2005) bahwa mengonsumsi
ikan dalam jumlah yang banyak, terutama ikan yang memiliki umur panjang dan
berukuran besar, memiliki kadar merkuri sebesar 400 mikrogram per kg sel darah.
Hal ini juga sejalan dengan Athena dan Inswiasri (2009), yang menyatakan bahwa
salah satu faktor yang mempengaruhi kadar merkuri yang terkandung dalam ikan,
adalah umur ikan tersebut. Kandungan merkuri akan meningkat sesuai dengan
umur ikan. Hal tersebut berarti ikan-ikan yang berukuran besar sebagai ujung dari
rantai makanan memiliki konsentrasi merkuri yang paling tinggi.
Selain itu, peneliti juga menduga bahwa jalur masuk merkuri dapat terjadi
melalui faktor lainnya selain dari pangan, yaitu dapat berasal dari udara. Pada
umumnya, para penambang terpapar merkuri salah satunya melalui inhalasi, yaitu
dengan menghirup uap merkuri pada saat proses pengolahan emas. Pada paparan
98
melalui inhalasi dengan saluran pernapasan sebagai jalur utamanya merupakan
cara penyerapan merkuri dalam bentuk unsur di tubuh dengan persentasi
akumulasi yang tinggi, yaitu sekitar 80% (Berlin, 1979; Alfian, 2006; Maywati,
2011).
Besarnya risiko akibat terpapar merkuri yang salah satunya dapat berasal
dari paparan uap tersebut dapat dipengaruhi oleh lamanya paparan yang terjadi
pada saat proses pengolahan emas. Sehingga, diduga adanya keterkaitan dengan
faktor pekerjaan, yakni masa dan jam kerja. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Lestarisa pada pekerja PETI di Kecamatan Kurun tahun
2010, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara jam kerja
terhadap keracunan merkuri. Dinyatakan pula bahwa pekerja dengan jam kerja >8
jam dalam sehari berisiko tinggi mengalami keracunan merkuri dibandingkan
dengan pekerja dengan jam kerja ≤ 8 jam/hari.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwasanya merkuri merupakan
logam berat yang tidak dapat didegradasi sehingga dapat menimbulkan
bioakumulasi pada mahluk hidup yang salah satunya adalah ikan. Sehingga,
pencegahan yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan tidak membuang
limbah hasil pengolahan ke lingkungan sekitar sekitar secara langsung, dengan
membuat penampungan tailing dan melakukan fitoremediasi.
99
Fitoremediasi adalah pengolahan bahan pencemar dengan menggunakan
tanaman. Tanaman yang dapat digunakan seperti Stelaria setacea (Widowati
et.al., 2008). Selain itu, dapat menggunakan eceng gondok untuk air limbah yang
terkontaminasi merkuri (Siswoyo, 2011). Hal ini bertujuan agar tidak terjadinya
pesebaran kontaminasi merkuri di lingkungan sekitar, khususnya pada sungai
sehingga tidak mengontaminasi biota air, khususnya ikan.
100
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
1. Gambaran keracunan merkuri pada pekerja PETI di Desa Cisarua tahun
2013 adalah terdapat 24 orang (60%) yang mengalami keracunan merkuri.
2. Gambaran tingkat pendidikan pekerja PETI di Desa Cisarua tahun 2013
adalah rata-rata memiliki pendidikan terakhir lulus SD. Kemudian, rata-rata
pekerja berumur 34,05 tahun, status gizi normal, masa kerja 8,70 tahun; dan
jam kerja 8,30 jam. Pekerja yang tidak memiliki aktivitas kontak langsung
sebesar 26 orang (65%); dan rata-rata konsumsi ikan pada pekerja adalah
sebesar 466 gram. Selanjutnya, gambaran gangguan kesehatan pada pekerja
diantaranya adalah tremor, sering kesemutan, otot wajah kaku, letih, pegal,
nyeri di dada, gatal-gatal, iritasi mata, sakit pada pinggang dan tangan, sakit
kepala, rasa logam pada mulut, otot terasa sakit dan kejang, kulit telapak
tangan dan kaki menebal, pusing, darah tinggi, flu, batuk, serta magh.
3. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara umur dengan keracunan
merkuri (p value = 0,09). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara
status gizi dengan keracunan merkuri (p value = 0,325). Risiko keracunan
merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang memiliki masa kerja
lebih lama dibandingkan dengan yang tidak lama (p value = 0,0005). Risiko
keracunan merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang memiliki jam
101
kerja lebih lama dibandingkan dengan yang tidak lama (p value = 0,035). Tidak
terdapat perbedaan yang bermakna antara jenis aktivitas dengan keracunan merkuri
dengan (p value = 0,2285). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara konsumsi
ikan dengan keracunan merkuri (p value = 0,172).
7.2. Saran
7.2.1. Bagi Pemerintah Daerah
1. Sebaiknya mendaftarkan semua pekerja PETI dengan tujuan untuk
memberikan jaminan kesehatan dan proteksi dari timbulnya penyakit
yang disebabkan oleh paparan merkuri (Hg) melalui pemeriksaan
kesehatan berkala.
2. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan terhadap status persebaran
kontaminasi merkuri di lingkungan (air, tanah, udara, dan
makanan/pangan) secara berkala.
3. Sebaiknya menerapkan program budidaya tanaman Stelaria setacea dan
mensosialisasikan ke masyarakat.
7.2.2. Bagi Pekerja
1. Sebaiknya sering mengonsumsi vitamin E dan antioksidan berfungsi
untuk detoksifikasi merkuri pada tubuh.
2. Sebaiknya dapat menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yaitu berupa
masker, sarung tangan karet, dan baju lengan panjang selama proses
102
pengolahan emas yang berfungsi untuk mengurangi paparan merkuri
terhadap tubuh.
3. Sebaiknya pekerja melakukan istirahat sekitar setengah jam, setelah
berkutat selama 4 jam kerja secara terus-menerus.
4. Sebaiknya tidak membuang limbah hasil pengolahan ke lingkungan
sekitar secara langsung, dengan membuat penampungan tailing dan
melakukan fitoremediasi dengan menggunakan tanaman, seperti eceng
gondok.
7.2.3. Bagi Peneliti Lain
1. Sebaiknya dapat melakukan pengukuran terhadap faktor lingkungan,
yaitu terkait kadar merkuri yang terdapat baik di air, udara, tanah,
maupun makanan.
2. Penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan desain penelitian case
control agar dapat diketahui hubungan antara sebab dan akibat pada
penelitian ini.
3. Sebaiknya dapat menggunakan biomarker lainnya dalam menentukan
status keracunan merkuri seperti dengan menggunakan darah, urine dan
sebagainya.
103
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fahmi. 2011. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta:
Rajawali Pers.
Agency for Toxic Subtances & Disease Registry. 2011. Medical Management
Guidelines for Mercury. Sumber:
http://www.atsdr.cdc.gov/MMG/MMG.asp?id=106&tid=24. Diunduh pada
tanggal 31 Mei 2013.
Ariawan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Depok:
FKM UI.
Athena dan Inswiasri. 2009. Analisis Risiko Kesehatan Masyarakat Akibat Konsumsi
Hasil Laut yang Mengandung Merkuri (Hg) di Kabupaten Kepulauan Seribu,
Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 8 No. 1, Maret 2009: h. 849-859.
Basyir, Dani Abdurrahman. 2008. Evaluasi Keberlanjutan Masyarakat Desa di
Aliran Sungai Cisadane Menuju Ecovillage. Bogor: Skripsi IPB.
BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia). 2004. Info POM.
Jurnal Vol. 5, No. 4, Juli 2004.
Cakrawati, Cucu. 2002. Analisis Faktor Karakteristik Responden dan Kebiasaan
Makan Ikan terhadap Kadar Merkuri dalam Rambut pada Masyarakat Kota
104
Pontianak Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2000. Depok: Tesis Universitas
Indonesia.
DH, Andri; Anies dan Suharyo H. 2011. Kadar Merkuri pada Rambut Masyarakat di
Sekitar Penambangan Emas Tanpa Ijin. Jurnal Media Medika Indonesia, Vol.
45, No. 3, Tahun 2011. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan
Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Jawa Tengah.
Gibney, Michael .J; Barrie M. Margetts dan John M. Kearney. Public Health
Nutrition (Gizi Kesehatan Masyarakat) diterjemahkan oleh Andry Hartono.
2009. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sumber:
http://books.google.co.id/books?id=1ki_JWJb9wC&pg=PA96&dq=status+giz
i+adalah&hl=en&sa=X&ei=M4p_Ua3QDonOrQex34GICw&redir_esc=y#v=
onepage&q=status%20gizi%20adalah&f=false. Diunduh pada tanggal 30
April 2013.
Harahap, Heryudarini; Yekti Widodo dan Sri Mulyati. 2005. Penggunaan Berbagai
Cut Off Indeks Massa Tubuh sebagai Indikator Obesitas terkait Penyakit
Degeneratif di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan
Makanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes.
Hartono, Budi. 2004. Distribusi Risiko Kesehatan Logam Merkuri di Lokasi
Pertambangan Emas Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara
Tahun 2004. Depok: Tesis FKM UI.
105
Hartono, Wahyu. 2003. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kadar Merkuri
dalam Rambut pada Pekerja Laboratorium di Balai Laboratorium Kesehatan
Bandar Lampung Tahun 2003. Depok: Tesis FKM UI.
Hastono, Sutanto Priyo. 2001. Modul: Analisis Data. Depok: Universitas Indonesia
Herman, Danny Zulkifli. 2006. Tinjauan terhadap Tailing Mengandung Unsur
Pencemar Arsen (As), Merkuri (Hg), Timbal (Pb), dan Kadmium (Cd) dari
Sisa Pengolahan Biji Logam. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 1 Maret
2006: h. 31-36.
Idris, Fachmi. 1998. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kadar Merkuri dalam
Urin Perawat Gigi Puskesmas di Wilayah Jakarta Selatan. Depok: Tesis
Universitas Indonesia.
Iman R, Firman. 2005. Tingkat pencemaran Logam Berat Merkuri pada Air Sumur di
Daerah Penambangan Emas Tanpa Izin (Kecamatan Nanggung, Jawa Barat,
Tahun 2005. Depok: Skripsi FKM UI.
Inswiasri. 2008. Paradigma Kejadian Penyakit Pajanan Merkuri (Hg). Jurnal
Ekologi Kesehatan Vol. 7 No. 2, Agustus 2008: h. 775-785.
Inswiasri dan Sintawati, F.X. 2009. Kesehatan Masyarakat Sekitar Lokasi Tambang
di Nusa Tenggara Barat. Artikel Media Litbang Kesehatan Vol. XIX No. 1
Tahun 2009.
106
International Programme Chemical Safety. 1990. Methylmercury. Environmental
Health Criteria 101. http://www.Inchem.org/documents/ehc/ehc/ehc101.htm.
Diunduh pada tanggal 30 April 2013.
International Programme on Chemical Safety. 2003. Elemental Mercury and
Inorganic Mercury Compounds: Human Health Aspects. Geneva.
Irwan, Syaputra. 2009. Toksisitas dan Transformasi Merkuri. Sumber:
http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/kimia_anorganik1/khelasi-
merkuri/toksisitas-dan-transformasi-merkuri/. Diunduh pada tanggal 1 Mei
2013.
Juliawan, Nixon. 2006. Pendataan Penyebaran Merkuri pada Wilayah
Pertambangan di Daerah Pongkor, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Proceeding Pemaparan Hasil-hasil Kegiatan Lapangan dan Non- Lapangan,
Pusat Sumberdaya Geologi.
Kartodihardjo, H., & Suntana, A. S. 2010. Penataan dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam: Gagasan Prof. Emil Salim dan Implementasinya. Pembangunan
berkelanjutan: peran dan kontribusi Emil Salim, 433.
http://www.books.google.com.
Kowalski .R dan J. Wierciński. 2006. Determination of Total Mercury Concentration
in Hair of Lubartów-Area Citizens (Lublin Region, Poland). Polish Journal of
Environmental Study. Vol. 16, No. 1 (2007), 75-79.
107
Lestarisa, Trilianty. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keracunan
Merkuri (Hg) pada Penambang Emas Tanpa Ijin (PETI) di Kecamatan
Kurun, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Semarang: Tesis
Universitas Diponegoro.
Lubis, Halinda Sari. 2002. Toksisitas Merkuri dan Penanganannya. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. USU Digital Library.
Nimitch, Mosyan. 2012. Penerapan Unsur Penyalahgunaan dan Peredaran Merkuri
dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang-Undang
Lingkungan Hidup dan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor
4 Tahun 2007 (Studi Terhadap Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Bengkayang Nomor: 26/PTS.Pid.B/2010/PN.BKY). Jurnal Nestor Magister
Hukum. Vol. 2 No. 2 (2012).
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Palar, Heryando. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Polii, Bobby J. dan Desmi N. Sonya. 2002. Pendugaan Kandungan Merkuri dan
Sianida di Daerah Aliran Sungai (DAS) Buyat Minahasa. Ekoton Vol.2, No.
1: 31-37, April 2002.
108
Rianto, Sugeng. 2010. Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keracunan
Merkuri pada Penambang Emas Tradisional di Desa Jendi Kecamatan
Selogiri Kabupaten Wonogiri. Semarang: Tesis Universitas Diponegoro.
Rohmana, Suharsono Kamal dan Suhandi. 2006. Pendataan Penyebaran Unsur
Merkuri pada Wilayah Pertambangan Emas Daerah Gunung Gede,
Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Proceeding Pemaparan Hasil-hasil
Kegiatan Lapangan dan Non Lapangan Pusat Sumberdaya Geologi Tahun
2006.http://www.dim.esdm.go.id/kolokium%202006/konservasi/penyebaran
%20 merkuri%20g%20gede.pdf.
S, Warsono. 2000. Pengaruh Bahan Tambal Amalgam Terhadap Kadar Merkuri
pada Darah, Urine, Tinja Dan Rambut Kepala. Jurnal Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia Vol. 7 No. 1: h. 23-30 (2000).
Sasmito dan Zainul Kamal. 2002. Hubungan Warna Rambut dan Jenis Kelamin
dengan Penentuan Kadar Merkuri dalam Rambut Manusia dengan Teknik
Aktivasi Neutron. Jurnal Kedokteran Yarsi Vol. 10 No. 2: h. 45-50 (2002).
Setiyono, Andik dan Annisa Djaidah. 2012. Pengaruh Konsumsi Ikan dan Hasil
Pertanian terhadap Kadar Hg Darah. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 7,
No. 2, Tahun 2012: h. 104-110. Sumber:
http://journal.unnes.ac.id/index.php/kemas. Diunduh pada tanggal 2 Mei
2013.
109
Setiyono, Andik dan Sri Maywati. 2010. Hubungan Jenis Pekerjaan terhadap Kadar
Merkuri Darah pada Masyarakat di Sekitar Penambangan Emas Tanpa Ijin
di Desa Jendi Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri. Jurnal Kesehatan
Komunitas Indonesia, Vol. 6, No. 2, September 2010.
Silalahi, Jansen. Merkuri dan Pencemaran Lingkungan. Jurnal Kedokteran dan
Farmasi Medika, Vol. XXXI, No. 3 Agustus 2005: h. 525-528.
Siswoyo, Eko. 2011. Pengolahan Air Limbah Laboratorium dengan Menggunakan
Sistem Kombinasi Adsorpsi dan Fitoremediasi. Yogyakarta: Tesis Universitas
Gajah Mada.
Subanri. 2008. Kajian Beban Pencemaran Merkuri (Hg) terhadap Air Sungai
Menyuke dan Gangguan Kesehatan pada Penambang sebagai Akibat
Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kecamatan Menyuke Kabupaten
Landak Kalimantan Barat. Semarang: Proposal Tesis Universitas
Diponegoro.
Sudarmaji et.al. 2006. Toksikologi Logam Berat B3 dan Dampaknya Terhadap
Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.2, No.2, Januari 2006: 129-
142.
Sudarso, Yoyok et. al. 2009. Pengaruh Aktivitas Antropogenik di Sungai Cikaniki
(Jawa Barat) terhadap Komunitas Fauna Makrobentik. Jurnal LIMNOTEK,
2009, Vol. XVI, No. 2, h. 153-166.
110
Sujatmiko, Bambang. 2012. Penambangan Emas Tanpa Izin di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Arut Kecamatan Arut Utara Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Antakusuma, Februari 2012,
Vol. 4, No. 1.
Suma’mur. 1996. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Toko
Gunung Agung.
Suryono, Tri et. al. 2010. Status Kontaminasi Merkuri di Ruas Sungai Cikaniki, Jawa
Barat. Jurnal LIMNOTEK, 2010, Vol. 17, No. 1, h. 37-48.
Susanna T.S. dan Samin. 2007. Unjuk Kerja Metode Uji Total Merkuri (Hg) dalam
Contoh Bahan Biologis Menggunakan Alat CV-AAS. Pusat Teknologi
Akselerator dan Proses Bahan BATAN.
Tugaswati, Tri et. al. 1997. Studi Pencemaran Merkuri dan Dampaknya terhadap
Kesehatan Masyarakat di Daerah Mundu Kabupaten Indramayu. Jakarta:
Balitbangkes Vol. 25, No. 2.
UNEP (United Nations Environment Programme) and WHO (World Health
Organization). 2008. Guidance for Identifying Populations at Risk from
Mercury Exposure. UNEP DTIE Chemicals Branch Geneva, Switzerland
diunduh dari
http://www.who.int/foodsafety/publications/chem/mercuryexposure.pdf.
111
U.S. Environmental Protection Agency. 2007. Mercury Compounds. Sumber:
http://www.epa.gov/ttnatw01/hlthef/mercury.html. Diunduh pada tanggal 31
Mei 2013.
Whitfield, John B. et al. 2010. Genetic Effects on Toxic and Essential Elements in
Human: Arsenic, Cadmium, Copper, Lead, Mercury, Selenium, and Zinc in
Erythrocytes. Jurnal EHP (Environmental Health Perspectives), Juni 2010;
118 (6): 776-782.
Widiana, Nina. 2007. Konsentrasi Merkuri di Lingkungan dan Rambut serta
Gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku penambang dan penduduk di
wilayah PETI Pongkor, Kabupaten Bogor Tahun 2007. Depok: Skirpsi
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Widowati, Wahyu, et. al. 2008. Efek Toksik Logam: Pencegahan dan
Penanggulangan Pencemaran. Yogyakarta.
World Health Organization. 2011. Mercury in Skin Lightening Products. Geneva.
Sumber:
http://www.who.int/ipcs/assessment/public_health/mercury_flyer.pdf.
Diunduh pada tanggal 1 Mei 2013.
World Health Organization. Software: Sample Size Determination in Health Studies
112
______, 2012. Peran Ekspor Kelompok Industri Penghasil Emas, Perak, Logam
Mulia, Perhiasan dan lain-lain Terhadap Total Ekspor Hasil Industri.
http://www.kemenperin.go.id/statistik/peran_kelompok.php?kel=6&ekspor=1.
Diunduh pada tanggal 28 April 2013.
KUESIONER PENELITIAN
RISIKO KERACUNAN MERKURI (Hg)
PADA PEKERJA PENAMBANGAN EMAS TANPA IZIN (PETI)
DI DESA CISARUA KECAMATAN NANGGUNG KABUPATEN BOGOR
TAHUN 2013
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Saya mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta bermaksud untuk melakukan penelitian mengenai
risiko keracunan merkuri (Hg) pada pekerja Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di
Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor tahun 2013. Penelitian yang
akan saya lakukan ini adalah merupakan tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana
Kesehatan Masyarakat. Untuk itu, saya mengharapkan kesediaan Saudara untuk
menjadi responden dalam penelitian ini. Dimana saudara diminta untuk mengisi
kuesioner ini dengan sebenar-benarnya dan akan diukur kadar merkurinya melalui
pengambilan contoh rambutnya. Adapun identitas saudara akan dirahasiakan. Atas
perhatian dan kerjasama Saudara, saya mengucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Bogor, Maret 2013
Peneliti Responden
Nita Ratna Junita (….……..…………..)
LEMBAR KUESIONER
Nomor Responden:
Pertanyaan Pendahuluan
Apakah Anda masih aktif bekerja sebagai
pekerja PETI / penambang emas tradisional?
Apakah pekerjaan PETI sudah Anda lakukan
selama minimal 1 tahun?
Data Wilayah
Nama Jalan
RT, RW dan Nomor Rumah
Nama Kampung/Dusun
A. Data Responden
A1 Nama/ No Telp.
A2 Umur
A3 Berat dan Tinggi Badan (diisi
peneliti)
……. kg
……. cm
IMT:
A4 Pendidikan Formal Terakhir
1. Tidak Sekolah
2. Tidak Tamat Sd
3. SD
4. SMP
5. SMA/sederajat
6. Perguruan Tinggi
B. Data Pekerjaan
B1
Sudah berapa lama Anda melakukan pekerjaan
sebagai PETI? ……. tahun
B2 Berapa jam dalam sehari Anda melakukan
kegiatan pengolahan emas? ……. jam/hari
B3
Jenis kegiatan apa yang Anda lakukan pada saat
pengolahan emas? (jawaban boleh lebih dari satu)
1. Pencampuran dan pencucian (pemerasan)
dengan merkuri
2. Pembakaran amalgram
3. Penumbukan emas
4. Menambang
99. Lainnya, sebutkan …………
[ ] [ ]
C. Data Konsumsi Ikan
C1
Apakah Anda sering mengkonsumsi ikan?
1. Ya, sebutkan jenis ikan yang dikonsumsi….
2. Tidak (langsung ke D1)
C2 Berapa hari dalam seminggu Anda mengkonsumsi
ikan? ……. hari/minggu
C3 Berapa porsi ikan yang sering anda konsumsi
dalam sehari? ……. porsi/hari
C4 Berapa jumlah ikan yang dikonsumsi dalam
seminggu? (diisi oleh peneliti) ……. porsi/minggu
C5 Berapa berat rata-rata ikan yang dikonsumsi?
(diisi oleh peneliti) ……. gram
C6
Darimana Anda memperoleh ikan?
1. Pasar
2. Tambak
3. Warung
99. Lainnya, sebutkan …………
[ ] [ ]
E. DATA KESEHATAN
E1
Apakah Anda mengalami gangguan kesehatan
sekarang atau 1 bulan terkahir?
1. Ya
2. Tidak (langsung ke E3)
[ ] [ ]
E2
Gangguan kesehatan apa yang dirasakan?
1. Tremor
2. Rasa sakit yang hebat pada syaraf
3. Gatal-gatal
4. Sering kesemutan
5. Iritasi mata
6. Otot wajah kaku
7. Rasa logam pada mulut
8. Gusi bengkak
9. Kepekaan indera perasa dan pembau turun
10. Otot terasa sakit dan kejang
11. Kulit telapak tangan dan kaki menebal
99. Lainnya, sebutkan …………
[ ] [ ]
HASIL ANALISIS DATA
Uji Univariat
Krcnnhg
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Ya 24 60.0 60.0 60.0
Tidak 16 40.0 40.0 100.0
Total 40 100.0 100.0
Statistics
umur imt masakrj jamkrj knsmsiikn
N Valid 40 40 40 40 40
Missing 0 0 0 0 0
Mean 34.05 21.469 8.70 8.30 446.0000
Median 30.50 21.390 6.50 6.00 320.0000
Std. Deviation 11.422 2.7937 6.944 3.582 3.93960E2
Minimum 18 17.3 2 3 .00
Maximum 68 28.5 40 18 1680.00
Jnsaktv
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid kntklgsg 14 35.0 35.0 35.0
Tdk 26 65.0 65.0 100.0
Total 40 100.0 100.0
Pddkn
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tdksklh 3 7.5 7.5 7.5
tdktamatsd 2 5.0 5.0 12.5
Sd 19 47.5 47.5 60.0
Smp 13 32.5 32.5 92.5
Sma 3 7.5 7.5 100.0
Total 40 100.0 100.0
Uji Normalitas
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
umur .139 40 .051 .931 40 .017
imt .146 40 .032 .960 40 .173
masakrj .178 40 .003 .760 40 .000
jamkrj .290 40 .000 .854 40 .000
knsmsiikn .200 40 .000 .860 40 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Bivariat
Group Statistics
Krcnnhg N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
umur Ya 24 36.04 11.476 2.342
tidak 16 31.06 11.018 2.754
Independent Samples Test
Levene's
Test for
Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
umur Equal
variances
assumed
.135 .715 1.366 38 .180 4.979 3.646 -2.402 12.360
Equal
variances not
assumed
1.377 33.21
3 .178 4.979 3.616 -2.376 12.334
Ranks
krcnnhg N Mean Rank Sum of Ranks
imt ya 24 19.81 475.50
tidak 16 21.53 344.50
Total 40
masakrj ya 24 25.35 608.50
tidak 16 13.22 211.50
Total 40
jamkrj ya 24 23.10 554.50
tidak 16 16.59 265.50
Total 40
knsmsiikn ya 24 21.92 526.00
tidak 16 18.38 294.00
Total 40
Test Statisticsb
imt masakrj jamkrj knsmsiikn
Mann-Whitney U 175.500 75.500 129.500 158.000
Wilcoxon W 475.500 211.500 265.500 294.000
Z -.456 -3.253 -1.810 -.946
Asymp. Sig. (2-
tailed) .649 .001 .070 .344
Exact Sig. [2*(1-
tailed Sig.)] .652
a .001
a .084
a .359
a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: krcnnhg
jnsaktv * krcnnhg Crosstabulation
Krcnnhg
Total ya tidak
jnsaktv kntklgsg Count 10 4 14
% within jnsaktv 71.4% 28.6% 100.0%
tdk Count 14 12 26
% within jnsaktv 53.8% 46.2% 100.0%
Total Count 24 16 40
% within jnsaktv 60.0% 40.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square 1.172a 1 .279
Continuity Correctionb .554 1 .457
Likelihood Ratio 1.200 1 .273
Fisher's Exact Test .329 .230
Linear-by-Linear
Association 1.143 1 .285
N of Valid Casesb 40
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
5.60.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for jnsaktv (kntklgsg /
tdk) 2.143 .532 8.625
For cohort krcnnhg = ya 1.327 .816 2.157
For cohort krcnnhg = tidak .619 .245 1.563
N of Valid Cases 40