prosiding seminar nasionaleprints.ulm.ac.id/2033/1/15_prosiding 2014_my paper.pdf · 39 pengaruh...
TRANSCRIPT
INDONESIAAP K RED
BADAN PENGELOLA
REPUBLIK INDONESIAD
ASOSIASI AHLI PERUBAHAN IKLIM DAN KEHUTANAN INDONESIABADAN PENGELOLA REED+KEMENTERIAN KEHUTANAN
JAKARTA
KERJASAMA
Seminar Nasional MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI
Jakarta, 18-19 November 2014
PROSIDINGPROSIDING
ISBN 978-602-73376-0-2
KEMENTERIANKEHUTANAN
Seminar Nasional MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI
Jakarta, 18-19 November 2014
PROSIDING
ISBN 978-602-73376-0-2
Editor:Prof. Dr. Ir. Deddy Hadriyanto, M. AgrProf. Dr. Ir. Hermansah, MS, M.ScProf. Dr. Ir. Agus Kastanya, MSDr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.ScDr. Ir. Markum, M.ScIr. Agus Susatya, M.Sc, Ph.DDr. Ishak Yassir, S.Hut, M. ScDr. Ir. Sabaruddin, M.Sc
Penyusun :Yayan Hadiyan S.Hut, M.ScMuhammad Farid, S.Hut, M. ScKestri AriyantiSumardi S.Hut, M.Sc
Alamat:Jl. Argo No. 1, Bulaksumur Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta Telp. (0274) 512102, 901420 Email : [email protected]
Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK)
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
i
Prosiding Seminar Nasional MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN
LAHAN LESTARI Jakarta, 18-19 November 2014
KERJASAMA
ASOSIASI AHLI PERUBAHAN IKLIM DAN KEHUTANAN INDONESIA
BADAN PENGELOLA REED+
KEMENTERIAN KEHUTANAN
JAKARTA
INDONESIA
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
ii
Prosiding Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari,
18-19 November 2014, Jakarta Indonesia
@Tahun 2015 Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia)
Editor:
Prof. Dr. Ir. Deddy Hadriyanto, M. Agr
Prof. Dr. Ir. Hermansah, MS, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Agus Kastanya, MS
Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.Sc
Dr. Ir. Markum, M.Sc
Ir. Agus Susatya, M.Sc, Ph.D
Dr. Ishak Yassir, S.Hut, M. Sc
Dr. Ir. Sabaruddin, M.Sc
Penyusun :
Yayan Hadiyan S.Hut, M.Sc
Muhammad Farid, S.Hut, M. Sc
Kestri Ariyanti
Sumardi S.Hut, M.Sc
Design dan Tata letak:
Edy Wibowo
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi, cetak,
microfilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau
keperluan non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seperti berikut :
Sitasi:
Hadriyanto, D. et all (EDS). 2015. Mitigasi Dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola
Hutan Dan Lahan Lestari, 8-9 November 2014. Jakarta Indonesia
Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia. Yogyakarta.
ISBN 978-602-73376-0-2
Diterbitkan oleh:
Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia Jl. Argo No. 1, Bulaksumur Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta
Telp. (0274) 512102, 901420 Email : [email protected]
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
iii
KATA PENGANTAR
Hutan sebagai common property adalah sumberdaya bersama yang memiliki fungsi penting
baik dari sisi ekonomi maupun ekologi. Pengelolaan hutan yang selama ini diterapkan masih belum
sepenuhnya bersifat berkelanjutan dan diikuti dengan terjadinya degradasi fungsi, baik secara
ekonomi maupun ekologi. Fungsi hutan menjadi bagian yang sangat penting dalam perubahaan
iklim, karena level carbon dan gas rumah kaca di atmosphir sangat bergantung pada kesetimbangan
pengikatan dan emisi karbon di ekosistim hutan. Urgensi dari pengurangan emisi untuk menjaga
kesetabilan konsentrasi GRK di atmosfer telah mendorong berbagai pemikiran penanganannya,
baik terkait upaya mitigasi maupun adaptasi terhadap perubahan iklim. Berbagai kebijakan
pemerintah terkait penanggulangan perubahan iklim telah dilahirkan untuk mendorong penanganan
yang terintegrasi berbagai sektor. Salah satunya adalah REDD+ (Pengurangan Emisi dari
Deforestasi, Degradasi Hutan, Peran Konservasi, Peningkatan Serapan Karbon dan Pembangunan
Kehutanan yang Berkelanjutan), yang menjadi bagian yang sangat penting dalam upaya
menurunkan emisi karbon sektor kehutanan sebagai mandat COP ke 13 di Bali.
Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia) merupakan
kumpulan mereka yang perhatian dan turut berpartisipasipasi untuk menghimpun, membina,
mengembangkan, dan mengamalkan IPTEK di bidang perubahan iklim dan kehutanan serta
memberikan masukan ilmiah kepada pemerintah untuk memperkuat posisi Indonesia baik di
tingkat nasional dan internasional terkait dengan kebijakan perubahan iklim dan kehutanan.
Asosiasi ini juga merupakan jejaring dari beberapa perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga
diklat serta lembaga swadaya masyarakat di 7 region di Indonesia : region Sumatera, Jawa, Bali
Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Memandang pentingnya persoalan mitigasi, adaptasi dan tata kelola hutan dan lahan, dalam
konteks penanganan perubahan iklim di Indonesia, Apik berkejasama dengan BP-REDD+ telah
melaksanakan Seminar Nasional dengan tema “Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju
Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari ”.
Seminar tersebut telah mejadi sasrana berbagi informasi status perkembangan kebijakan
perubahan iklim Internasional dan Nasional, berbagi informasi status penelitian adaptasi dan
mitigasi penanganan perubahan iklim dan kehutanan di Indonesia, dan telah merumuskan masukan
terkait kebijakan, strategi dan rencana aksi penanganan perubahan iklim ke depan, khususnya
menyongsong implementasi REDD+ di Indonesia.
Pada kesempatan ini, diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kementerian
Kehutanan dan Bp REDD+ yang telah membantu baik operasional maupun pendaaan atas
penyelenggaraan Seminar Nasional tersebut.
Yogyakarta, Agustus 2015
Ketua Umum,
ttd.
Dr. Sastyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.Sc
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
iv
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... v
ADAPTASI....................................................................................................... 1
1 ADAPTASI SPESIES TANAMAN PADA KONDISI EKSTRIM BESERTA
ADAPTASI PENDEKATAN PENANAMANNYA UNTUK ANTISIPASI
PERUBAHAN IKLIM ........................................................................................... 3
2 MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN MERESPON DAMPAK PERUBAHAN
IKLIM: GENDER PERSPEKTIF ................................................................................... 17
3 ADAPTASI JENIS-JENIS POHON PIONIR PADA HUTAN RAWA GAMBUT
YANG TERDEGRADASI BERAT DI OGAN KOMERING ILIR, SUMATERA
SELATAN .................................................................................................................... 29
4 BIODIVERSITAS DAN PERAN MASYARAKAT ADAT DALAM PERUBAHAN
IKLIM DI REGION PAPUA ......................................................................................... 39
5 WHAT DID DRIVE EXTREME DROUGHT EVENTS IN 2014? ................................... 55
6 STRATEGI ADAPTASI DAN MITIGASI DALAM MENGHADAPI BENCANA
PESISIR AKIBAT PERUBAHAN IKLIM ..................................................................... 61
7 ARBORETUM DESA : AKSI LOKAL KONSERVASI JENIS TANAMAN
HUTAN MENDUKUNG PENANGANAN PERUBAHAN IKLIM ................................ 71
8 STATEGI USAHA PERTANIAN PETANI KARET DALAM MENGHADAPI
PERUBAHAN IKLIM DI NAGARI MUARO SUNGAI LOLO KEC. MAPAT
TUNGGUL SELATAN KAB. PASAMAN - SUMBAR .................................................. 81
9 MENGGALI DAN MENEGAKKAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT
ARFAK UNTUK MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM 1 ............................................ 87
10 KEKUATAN KEARIFAN LOKAL DALAM RESTORASI EKOSISTEM TAMAN
NASIONAL GUNUNG MERAPI .................................................................................. 93
MITIGASI .................................................................................................... 101
11 ALIRAN KARBON DAN ENERGi PADA BERBAGAI TUTUPAN LAHAN
SULAWESI TENGAH ................................................................................................ 103
12 ESTIMASI POTENSI CADANGAN DAN SERAPAN KARBON DI PROVINSI
BENGKULU DENGAN MENGGUNAKAN DATA MODIS ........................................ 109
13 STUDI POTENSI BIOMASSA ATAS DAN BAWAH PERMUKAAN TANAH
PADA PSP KPHP UNIT IV DAN KPHL UNIT XIV UNTUK MENDUKUNG
SISTEM MRV STOK KARBON HUTAN DI MALUKU .............................................. 131
14 PERHITUNGAN STOK KARBON PADA DAERAH KAPUR DAN KARST DI
PAPUA BARAT: STRATEGI UNTUK MENDUKUNG KEGIATAN REDD+ .............. 143
15 UPAYA PENURUNAN EMISI CO2 SEKTOR KEHUTANAN DI PROPINSI NUSA
TENGGARA BARAT ................................................................................................. 151
16 PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN
TROPIS DATARAN RENDAH ................................................................................... 161
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
vi
17 POTENSI SERAPAN KARBON PADA BERBAGAI JENIS TEGAKAN HASIL
REHABILITASI HUTAN POLA HUTAN KEMASYARAKATAN: STUDI KASUS
HKM KAB. REJANG LEBONG BENGKULU ............................................................. 169
18 PERUBAHAN POPULASI DAN BIOMASA TEGAKAN DALAM KAITANNYA
DENGAN AKUMULASI CARBON DI KAWASAN HUTAN HUJAN TROPIS
ULU GADUT PADANG SUMATRA BARAT ............................................................. 175
19 REVIEW : VARIASI KANDUNGAN BIOMASA PADA BERBAGAI EKOSISTIM
DI SUMATRA ............................................................................................................ 185
20 ANALISIS PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SEBAGAI UPAYA MITIGASI
PERUBAHAN IKLIM DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
DI SUMATRA UTARA ............................................................................................... 199
21 THE IMPACTs OF FOREST CONCESSIONS ON DEFORESTATION IN
INDONESIA ............................................................................................................... 209
22 PENAKSIRAN BESARNYA STOK KARBON DAN PENURUNAN EMISI
MELALUI PENERAPAN METODE REDUCED IMPACT LOGGING CARBON
(RIL-C) ....................................................................................................................... 221
23 ESTIMASI EMISI LANGSUNG NITRUS OKSIDA (N2O) ASAL APLIKASI
PUPUK NITROGEN AN-ORGANIK PADA PERKEBUNAN SAWIT DI LAHAN
GAMBUT ................................................................................................................... 231
24 MODEL ALOMETRIK PENDUGAAN BIOMASSA DAN KARBON TEGAKAN
HUTAN JENIS KERUING (Dipterocarpus sp) PADA HUTAN ALAM PRODUKSI
DI KALIMANTAN TENGAH ..................................................................................... 237
25 KUANTIFIKASI MASSA KARBON PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI
LANGKAT, SUMATERA UTARA .............................................................................. 245
26 ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) BERDASARKAN
TINGKAT KEBUTUHAN OKSIGEN, ABSORBSI KARBON DIOKSIDA DAN
PENGENDALI IKLIM MIKRO DI WILAYAH PERKOTAAN ..................................... 251
27 PENELITIAN PENDAHULUAN TENTANG KONDISI UDARA DI BALI
SEBAGAI INDIKASI PERUBAHAN IKLIM ............................................................... 265
28 EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI
GORONTALO ............................................................................................................ 269
29 POTENSI KARBON HUTAN NAGARI SIMANCUANG PROVINSI SUMATERA
BARAT SEBAGAI UPAYA MENDUKUNG SISTEM MRV ........................................ 275
30 ESTIMASI NILAI TEGAKAN DI RTHKP KOTA BANJAR BARU .............................. 287
31 ADAPTASI DAN MITIGASI PEMANASAN GLOBAL MELALUI HUTAN JATI
RAKYAT DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA ..................................................... 311
32 MODEL PENGHITUNGAN CADANGAN KARBON HUTAN RAKYAT
BERSERTIFIKAT SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU ................................... 319
33 PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT MELALUI
PROGRAM KULIAH KERJA NYATA MAHASISWA (KUKERTA) ........................... 337
34 KAJIAN KEGIATAN REDD+ DALAM PERSPEKTIF PERUBAHAN IKLIM ............... 343
35 PENGEMBANGAN PARAMETER FRAKSI KARBON YANG HILANG ..................... 359
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
vii
TATA KELOLA .......................................................................................... 366
36 TANTANGAN PELIBATAN MASYARAKAT DALAM MENGELOLA
KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP) DI BENGKULU
UTARA ...................................................................................................................... 367
37 TATA KELOLA KPHP LAKITAN, MANDIRI DENGAN KEMITRAAN
MASYARAKAT ........................................................................................................ 377
38 PERANAN BALAI DIKLAT KEHUTANAN DALAM MITIGASI PERUBAHAN
IKLIM ........................................................................................................................ 387
39 PENGARUH BIOREMEDIASI DAN FITOREMEDIASI MERKURI (Hg)
TERHADAP PENINGKATAN UNSUR HARA TANAH PADA LAHAN PASCA
TAMBANG EMAS ..................................................................................................... 395
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
359
36 PENGEMBANGAN PARAMETER FRAKSI KARBON YANG
HILANG AKIBAT SUBSIDENSI LAHAN GAMBUT
Ahmad Kurnain Bidang Minat Tanah dan Sumber Daya Lahan,
Program Studi Agroekoteknologi dan Program Studi Ilmu Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat
Jalan Jenderal A. Yani km 36 Simpang Empat Banjarbaru 70713
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
Losses of peat mass as a result of peat oxidation is often related to peatland subsidence that subsequently
used in practices to estimate green house gas emission. This logics will result in an overestimate of C loss as
the peat subsidence is not only due to the loss of peat, but also due to compaction and dewatering of peat.
Verification of C loss as peatland subsidence requires a fraction parameter of peatland subsidence due to peat
compaction. The study emphasized on analysis of peat hydro-physics data collected on various types of
peatland uses to estimate a fraction of peatland subsidence due to peat compaction and dewatering. The peat
subsidence could be described proximately through peat compaction as a function of moisture content. At
spesific moisture content of > 2 dm3 kg
-1, the subsidence due to peat compaction dan dewatering
proportionally could be described with a modified equation of Groenevelt and Grant (2004). Fraction of peat
compaction due to dewatering contributed 85 – 95%, and this condition is approximately related with
groundwater depth of 20 – 40 cm. When the groundwater depth drops down more that 40 cm, its fraction
decreases to 20 – 50%. Subsequently a fraction of C loss could be estimated.
Keywords: carbon loss, peatland, subsidence
ABSTRAK
Salah satu sumber emisi gas rumah kaca adalah kehilangan karbon sebagai akibat drainase lahan gambut.
Pendugaan kehilangan karbon pada lahan gambut sering dilakukan dengan menghubungkannya dengan besar
dan laju subsidensi lahan gambut. Subsidensi lahan gambut dapat terjadi sebagai akibat konsolidasi dan
pemadatan gambut (proses fisika), dan oksidasi substansi gambut (proses kimiawi). Proses verifikasi
kehilangan karbon yang diduga dari subsidensi lahan gambut memerlukan parameter fraksi subsidensi akibat
konsolidasi dan pemadatan, dan fraksi subsidensi akibat oksidasi gambut. Parameter fraksi tersebut tersebut
sangat variatif dan masih diperdebatkan, tergantung pada tipe gambut dan kondisi lingkungan lahan gambut.
Kajian ini mencoba mencermati dan menganalisis data hidro-fisik gambut yang dikumpulkan pada berbagai
tipe pemanfaatan lahan gambut untuk menurunkan parameter fraksi subsidensi akibat pemadatan akibat
kehilangan lengas (dewatering). Subsidensi lahan gambut dapat digambarkan secara proksimat melalui
indikator pemadatan dan kadar lengas. Pada kadar lengas spesifik > 2 dm3/kg subsidensi akibat konsolidasi
dan pemadatan secara proporsional dapat digambarkan dengan persamaan modefikasi dari Groenevelt dan
Grant (2004). Fraksi pemadatan substansi akibat kehilangan lengas antara 85 – 95% pada ketinggian muka
air tanah antara 20 – 40cm, dan lebih tinggi dari itu fraksinya antara 25 – 50%. Pada sisi yang lain tentu saja
dapat dihitung parameter fraksi subsidensi akibat kehilangan massa gambut (oksidasi gambut) atau
kehilangan karbon.
Kata kunci: kehilangan karbon, lahan gambut, subsidensi
1. PENDAHULUAN
Lahan gambut merupakan mega-ekosistem daratan (terresterik) yang mengandung
sangat banyak karbon (C). Lahan gambut yang hanya menutupi 3% (4.000.000 km2) dari
luas lahan dunia, menyimpan karbon 550 Gton di dalam gambutnya (Parish et al. 2008).
Banyak pihak mengkaitkan emisi gas rumah kaca (GRK) dengan hilangnya C pada lahan
gambut, termasuk Indonesia yang memiliki luas lahan gambut tidak kurang 14,6 juta
hektar. Pada kondisi alamiah ketika lahan gambut tetap basah, simpanan karbon yang
sangat besar ini tetap terjaga dengan baik.
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
360
Persoalan kemudian muncul manakala lahan gambut alamiah ini dimanfaatkan
untuk berbagai kepentingan seperti pertanian, kehutanan, deforestasi, ekstraksi gambut,
dan pembangunan infrastruktur. Pemanfaatan lahan gambut untuk berbagai kepentingan
tersebut dihadapkan pada karakter hidrologinya yang selalu basah dan tergenang sepanjang
tahun, sehingga menyulitkan pemanfaatannya dan menghambat keterjangkauannya
(aksesibilitas). Oleh karena itu lahan gambut alamiah tersebut harus direklamasi dengan
melakukan pengatusan (drainage) agar dapat dimanfaatkan (Alan Tan & Ritzema 2003;
Kurnain et al., 2001).
Pengatusan lahan gambut tidak hanya menciptakan kondisi hidrologis yang sesuai
(favorable) bagi berbagai pemanfaatan, tetapi juga menimbulkan dampak negatif berupa
penurunan permukaan (subsidensi) lahan gambut. Laju subsidensi dapat dibagi ke dalam
dua fase. Pada fase pertama periode 1 – 3 tahun setelah reklamasi, lajunya berkisar antara 5
– 50 cm tahun-1
, dan pada fase kedua periode berikutnya lajunya diperlambat menjadi 0,5
– 5 cm tahun-1
(Wösten & Ritzema, 2002; Wösten et al., 1997; Hooijer et al., 2010). Laju
subsidensi dua fase ini ditentukan oleh sifat hidro-fisik gambut (Kurnain, 2005; Kurnain et
al., 2006) meliputi kadar lengas, berat volume, kerutan (shrinkage), dan kadar serat.
Subsidensi lahan gambut terjadi melalui dua proses, yaitu pemadatan atau pengerutan
gambut dan kehilangan massa akibat oksidasi gambut (Andriesse, 1988; Kurnain, 2005).
Subsidensi fase pertama lebih banyak ditentukan oleh proses pemadatan, pengerutan, atau
pengawaairan (dewatering) gambut (Kurnain, 2005); dan subsidensi fase kedua lebih
banyak atau hanya ditentukan oleh proses oksidasi gambut (Hooijer et al., 2010).
Kehilangan massa gambut akibat oksidasi gambut berkorelasi langsung dengan
kehilangan karbon pada gambut. Kehilangan karbon seringkali dikaitkan dengan besar dan
laju subsidensi lahan gambut, padahal subsidensi gambut juga ditentukan oleh proses
pemadatan dan pengawaairan. Persoalan yang muncul adalah bagaimana menghitung
fraksi subsidensi akibat pemadatan dan oksidasi gambut. Jawaban atas persoalan tersebut
sangat variatif dan spesifik (local existing condition). Penelitian ini mencoba mencermati
dan menganalisis data hidro-fisik gambut yang dikumpulkan pada berbagai tipe
pemanfaatan lahan untuk menurunkan nilai kadar lengas kritis terjadinya subsidensi
gambut akibat kehilangan massa gambut, sekaligus menunjukkan fraksi subsidensi gambut
akibat pemadatan.
2. METODE PENELITIAN
Data sifat hidro-fisika gambut pada berbagai tipe pemanfaatan lahan gambut
diperoleh dari hasil penelitian Kurnain (2005) dan yang seperti dilaporkan juga pada
Kurnain (2012). Sifat hidro-fisika yang dicermati dan dianalisis meliputi volume spesifik
gambut dan kadar lengas gambut. Volume spesifik gambut ialah sama dengan kebalikan
nilai berat volumenya (McLay et al.,1992; Dexter, 2004). Berat volume dinyatakan dalam
berat setelah pengeringan dalam tanur bersuhu 105 oC selama sedikitnya 4 jam per volume
tanah gambut pada kondisi lapangan saat pencuplikan (volume gambut basah). Karena
satuan berat volume adalah kg dm-3
, maka satuan volume spesifik adalah dm3
kg-1
. Kadar
lengas gambut ditentukan secara gravimetrik, sehingga diperoleh kadar lengas gravimetrik
dengan satuan kg kg-1
.
Karakterisasi pemadatan gambut sebagai akibat kehilangan lengas (dewatering)
mengacu pada McLay et al. (1992), Brandyk et al. (2001) dan Groenevelt & Grant (2004).
Groenevelt dan Grant (2004) menggambarkan pemadatan tanah mineral dengan perubahan
rasio volume pori atas volume padatan (void ratio) menurut fungsi rasio volume lengas
atas volume padatan (moisture ratio). Selain itu, McLay et al. (1992) menggambarkan
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
361
sifat pemadatan gambut dengan perubahan volume spesifik gambut menurut fungsi kadar
lengas gravimetrik. Berdasarkan kombinasi apa yang dilakukan oleh Groenevelt dan Grant
(2004) pada tanah mineral, dan McLay et al. (1992) pada tanah gambut, karakterisasi
pemadatan gambut akibat kehilangan lengas dilakukan dengan menggambarkan perubahan
volume spesisik pori dengan kadar lengas spesifik (Kurnain, 2005). Volume spesifik pori
diperoleh dari selisih volume spesifik gambut dan volume spesifik padatan. Volume
spesifik padatan ialah kebalikan dari berat jenis padatan, yang untuk tanah gambut tropis
rata-ratanya sekitar 1,4 kg dm-3
(Driessen & Rochimah, 1977; Kamiya & Kawabata, 2003),
sehingga nilainya sama dengan 0,7 dm3 kg
-1. Sedang kadar lengas spesifik (dm
3 kg
-1)
diperoleh dari hasil membagi kadar lengas gravimetrik (kg kg-1
) dengan berat jenis lengas
(1 kg dm-3
).
Data volume spesifik pori digambarkan menurut fungsi kadar lengas spesifik, dan
dipadu-serasikan (fitting) dengan persamaan Groenevelt dan Grant (2004) yang telah
dimodifikasi oleh (Kurnain, 2005):
vp(vw) = vp,o + (Vp – vp,o)exp[ko(Vp-n
– vw-n
)]
di mana vp ialah volume spesifik pori, vw kadar lengas spesifik, vp,o volume spesifik pori
tanah kering-tanur, dan Vp ialah volume spesifik pori pada saat udara mulai mengisi pori.
Kadar lengas gambut yang berada pada lapisan gambut tertentu tergantung pada
posisinya terhadap tinggi muka air (Kurnain, 2005). Makin jauh posisinya di atas muka air
tanah, semakin kecil kadar lengasnya. Pola seperti ini terutama terjadi pada rentang nilai
potensial lengas 0 sampai dengan -10 kPa (Puustjärvi, 1973; Lambert, 1995).
Karakterisasi perubahan kadar lengas gambut sebagai fungsi penurunan muka air tanah
didekati dengan membuat kurva penahanan dan pelepasan lengas menurut fungsi potensial
lengas tanah. Pencaran data dipadu-serasikan dengan persamaan kurva menahan lengas
van Genuchten (1980):
θ = θr + {(θs – θr) / [1 + (α.|ψ|)n]
m}
di mana θ ialah kadar lengas volumetrik (m3 m
-3); θs dan θr berturut-turut ialah
kadar lengas volumetrik pada keadaan jenuh dan kadar lengas residu (m3 m
-3); ψ ialah
potensial air (kPa); dan α (kPa-1
), n, dan m ialah parameter bentuk kurva. Parameter m
ditetapkan sama dengan 1-1/n, seperti yang ditunjukkan oleh Tomasella et al. (2000).
Kadar lengas residu (θr) dalam tanah gambut, seperti yang ditunjukkan oleh Uomori &
Yamaguchi (1997) dan Tomasella et al. (2000), adalah kadar lengas pada potensial air -
1500 kPa atau pF 4,2.
Kelengasan tanah gambut juga digambarkan dengan kurva melepas lengas, dan
dipadu-serasikan dengan persamaan modefikasi van Genuchten (Kurnain, 2005):
θwr = θm – { θm / [1 + (α.|ψ|)n]
m}
di mana θwr ialah kadar lengas yang dilepas (m3 m
-3); θm ialah kadar lengas mobil (mudah
lepas) yang nilainya sama dengan θs–θr.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Subsidensi lahan gambut dapat terjadi sebagai akibat konsolidasi dan pemadatan
gambut (proses fisika), dan oksidasi substansi gambut (proses kimiawi). Konsolidasi dan
pemadatan gambut disebabkan oleh pelepasan lengas (dewatering) (Mc Lay et al., 1992;
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
362
Brandyk et al., 2001; Kurnain, 2005; Kurnain, 2012). Karakterisasi pemadatan gambut
menurut fungsi kadar lengas (Gambar 1) menunjukkan bahwa pemadatan substansi gambut
berlangsung dalam tiga fase, yaitu fase struktural, fase normal (proporsional), dan fase
residual (Brandyk et al., 2001; Groenevelt & Grant, 2004). Fase struktural terjadi pada
keadaan jenuh air, sehingga penurunan volume bahan gambut sama dengan volume lengas
yang hilang. Fase normal atau proporsional berlangsung dari saat ruang pori mulai terisi
udara sampai pengerutannya diperlambat untuk memulai fase residual. Pada fase residual,
pemadatan substansi gambut semata-mata akibat oksidasi gambut.
Gambar 1. Kurva pengerutan gambut sebagai fungsi kadar lengas gambut pada beberapa tipe penggunaan
lahan gambut. (Keterangan: garis jenuh 1:1 menunjukkan kurva teoritis pengerutan gambut jika
gambut dijenuhi air dan pengerutannya hanya disebabkan oleh pengawaairan. Kurva kerutan
dicocokkan dengan persamaan 2 . Volume spesifik pori gambut kering-tanur dan saat udara
mulai mengisi ruang pori masing-masing adalah 2,36 dan 9,00 dm3 kg
-1, parameter lainnya: ko
= 7,36 dm3 kg
-1 dan n = 0,60).
Pemadatan substansi gambut pada fase normal diperkirakan berlangsung pada
rentang penurunan lengas setara dengan nilai ko = 7,36 dm3 kg
-1. Penurunan volume tanah
gambut pada fase ini sedikit lebih kecil daripada volume lengas yang hilang, tetapi
penurunannya sebanding dengan penurunan volume lengasnya. Fase normal terbagi dua
sub-fase, yaitu fase normal 1 dan fase normal 2, yang masing-masing berlangsung pada
rentang kadar lengas spesifik gambut 4 – 8 dan 2 – 4 dm3 kg
-1. Pada fase normal 1 fraksi
pemadatan substansi gambut akibat kehilangan lengas diperkirakan 85 – 95%. Sementara
itu pada fase normal 2 fraksinya diperkirakan antara 25 – 50%.
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan kebakaran lahan gambut
menunjukkan adanya kejadian subsidensi lahan gambut seperti yang secara tidak langsung
dapat diamati dari perubahan sifat pemadatan gambut. Implikasi hasil penelitian ini dapat
dikaitkan dengan perhitungan kehilangan karbon akibat deforestasi dan degradasi lahan
gambut. Menurut fungsi kadar lengas gambut, watak dan perilaku subsidensi lahan
gambut secara tidak langsung dapat dijelaskan. Pada kadar lengas spesifik di bawah 2 dm3
kg-1
amblesan sepenuhnya diakibatkan oleh adanya oksidasi gambut atau dengan kata lain
terkait langsung dengan kehilangan karbon.
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
363
Gambar 2. Kurva menahan dan melepas lengas gambut pada (a) hutan gambut dan (b) lahan gambut yang sudah
direklamasi.
Jika dihubungkan dengan kurva retensi dan pelepasan lengas seperti pada Gambar
2, nilai kadar lengas volumetrik secara tidak langsung ditentukan oleh ketinggian muka air
tanah.. Jika dikaitkan dengan karakteristik pemadatan substansi gambut pada fase normal
1, maka kondisi demikian diperkirakan terjadi pada ketinggian muka air tanah antara 20 –
40 cm. Secara teknis hal ini menyiratkan pentingnya pengelolaan tinggi muka air tanah
antara 20 – 40 cm bagi pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan.
4. KESIMPULAN
1. Pemadatan substansi gambut yang merupakan salah satu mekanisme terjadinya
subsidensi lahan gambut berlangsung melalui 3 fase, yaitu fase struktural, fase normal,
dan fase residual.
2. Pada fase struktural, pemadatan substansi gambut semata-mata diakibatkan oleh
kehilangan lengas, sebaliknya pada fase residual semata-mata diakibatkan oleh
kehilangan massa gambut melalui proses oksidasi gambut.
3. Pemadatan substansi gambut pada fase normal terbagi dua, yaitu fase normal 1 dan fase
normal 2. Fraksi pemadatan substansi akibat kehilangan lengas pada fase normal 1
berkisar antara 85 – 95%, dan pada fase normal 2 antara 25 – 50%. Dengan demikian
fraksi subsidensi akibat kehilangan karbon secara tidak langsung dapat dihitung.
4. Pemadatan substansi gambut pada fase normal 1 diperkirakan terjadi pada ketinggian
muka air tanah antara 20 – 40 cm. Ketinggian muka air tanah ini dapat dijadikan
pertimbangan dalam pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih disampaikan pada Proyek Penelitian EUTROP dengan nomor kontrak
ERBIC18CT980260, yang telah mendanai untuk menyediakan data yang diperlukan dalam
penulisan artikel ini. Terima kasih disampaikan pada BP-REDD+ dan APIKIndonesia
yang telah memfasilitasi sehingga artikel ini dapat didesiminasikan pada sebuah seminar.
(a)
(b)
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
364
DAFTAR PUSTAKA
Alan Tan K.C. & Ritzema H.P. 2003. Sustainable Development in Peat land of Sarawak – Water
Management Approach. Int. Conf. on Hydrology and Water Resources in Asia Pacific
Region, Kyoto, Japan, March 13-15, 2003
Andriesse, J.P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. FAO Soil Bulletin 59.
Rome, Italy. 165 halaman.
Brandyk, T., R. Oleszczuk, & J. Szatylowicz. 2001. Investigation of soil water dynamics in a fen
peat-moorsh soil profile. International Peat Journal 11: 15–24.
Défossez, P., G. Richard, H. Boizard, & M.F. O’Sullivan. 2003. Modeling change in soil
compaction due to agricultural traffic as function of soil water content. Geoderma 116:
89–105.
Dexter, A.R. 2004a. Soil physical quality: Part I. Theory, effects of soil texture, density, and
organic matter, and effects on root growth. Geoderma 120: 201–214.
Driessen, P.M., & L. Rochimah. 1977. The physical properties of lowland peats from Kalimantan.
Dalam: Peat and Podzolics Soils and Their Potential for Agriculture in Indonesia.
Proceedings ATA 106 Midterm Seminar. Soil Research Institute, Bogor. Halaman: 56–
73.
Groenevelt, P.H., & C.D. Grant. 2004. Analysis of soil shrinkage data. Soil & Tillage Research
79: 71–77.
Hooijer, A., S. Page, J. Jauhiainen, W.A. Lee, & X. Lu. 2010. Recent findings on subsidence and
carbon loss in tropical peatlands: reducing uncertainties, Workshop on “Tropical Wetland
Ecosystems of Indonesia: Science Needs to Address Climate Change Adaptation and
Mitigation”, Bali, 11-14 April 2010.
Kamiya, M., & S. Kawabata. 2003. Physical properties of peat in Central Kalimantan. Dalam: M.
Osaki, T. Iwakuma, T. Kohyama, R. Hatano, K. Yonebayashi, H. Tachibana, H.
Takahashi, T. Shinano, S. Higashi, H. Simbolon, S.J. Tuah, H. Wijaya, & S.H. Limin.
(eds.), Land Management and Biodiversity in Southeast Asia. Hokkaido University,
Japan dan Research Centre for Biology, The Indonesian Institute of Sciences. Bogor,
Indonesia. Halaman: 341–345.
Kurnain, A. 2005. Dampak kegiatan pertanian dan kebakaran atas watak gambut ombrogen.
Disertasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kurnain, A. 2012. Perhitungan ambelsan (subsidence) dengan pendekatan proksimat dan
hubungannya dengan emisi gas rumah kaca pada lahan gambut. Prosising Seminar
Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan, BBSDLP, Badan Litbang Pertanian,
Kementan, Cimanggu, Bogor: 369 – 378.
Kurnain, A., B. Radjagukguk, & T. Notohadikusumo. 2006. Impact of development and
cultivation on hydro-physical properties of tropical peat soils, Tropics 15(4): 383-389.
Kurnain, A., T. Notohadikusumo, B. Radjagukguk, & Sri Hastuti. 2001. Peat soil properties
related to degree of decomposition under different landuse systems, International Peat
Journal 11: 67-78.
McLay, C.D.A., R.F. Allbrook, & K. Thompson. 1992. Effect of development and cultivation on
physical properties of peat soils in New Zealand. Geoderma 54: 23–37.
Parish, F., A. Sirin, D. Charman, H. Joosten, T. Minaeva & M. Silvius. 2008. Assessment on
peatlands, biodiversity and climate change. Global Environment Centre, Kuala Lumpur
and Wetland International Wageningen, 179p.
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
365
Wösten, J.H.M. & Ritzema, H.P. 2002. Land and water management options for peatland
development in Sarawak, Malaysia. International Peat Journal, 11: 59-66.
Wösten, J.H.M., A.B. Ismail & A.L.M. van Wijk. 1997. Peat subsidence and its practical
implications: a case study in Malaysia. Geoderma 78: 25-36