ringkasan materi uts (fachry 41211010010) (word)

26
Ringkasan Materi Ir. Jimmy S. Juwana, MSAE. - Sistem Bangunan Tinggi Bab 7 – Pencegahan dan Penanggulangan Kondisi Darurat BAB 7: PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KONDISI DARURAT 7.1. Bahaya Api Titik api pada bahan organik terjadi jika ada tiga faktor, yaitu bahan bakar, oksigen, dan panas yang hadir dalam jumlah tertentu. Jika oksigen, panas dan bahan bakar yang ada dapat dikurangi di bawah tingkat tertentu, maka titik api dapat dicegah. Prinsip ini adalah dasar yang digunakan dalam praktik pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran. Intensitas api tergantung dari jumlah bahan bakar yang ada dalam bangunan, biasanya bahan bakar untuk api tersedia dalam bentuk kertas, kayu, dan plastik. Tingkat kemudahan bahan-bahan ini untuk dapat terbakar tergantung pada seberapa kecil atau halusnya bahan-bahan ini, serta bagaimana kondisi permukaan bahan-bahan ini terhadap kemungkinan kehadiran oksigen dan panas. Hal ini dapat mudah dilihat dari betapa cepatnya sehelai kertas terbakar dibandingkan dengan lambatnya sebuah buku yang tebal terbakar. Jika titik api telah timbul, maka penyebaran api ke seluruh bangunan gedung dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi (Gambar 7.1). Program Studi Arsitektur - Universitas Mercu Buana | 1

Upload: fachry18

Post on 14-Sep-2015

22 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Ringkasan MateriIr. Jimmy S. Juwana, MSAE. - Sistem Bangunan TinggiBab 7 Pencegahan dan Penanggulangan Kondisi Darurat

Bab 7: Pencegahan dan Penanggulangan Kondisi Darurat7.1. Bahaya ApiTitik api pada bahan organik terjadi jika ada tiga faktor, yaitu bahan bakar, oksigen, dan panas yang hadir dalam jumlah tertentu. Jika oksigen, panas dan bahan bakar yang ada dapat dikurangi di bawah tingkat tertentu, maka titik api dapat dicegah. Prinsip ini adalah dasar yang digunakan dalam praktik pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran.Intensitas api tergantung dari jumlah bahan bakar yang ada dalam bangunan, biasanya bahan bakar untuk api tersedia dalam bentuk kertas, kayu, dan plastik. Tingkat kemudahan bahan-bahan ini untuk dapat terbakar tergantung pada seberapa kecil atau halusnya bahan-bahan ini, serta bagaimana kondisi permukaan bahan-bahan ini terhadap kemungkinan kehadiran oksigen dan panas. Hal ini dapat mudah dilihat dari betapa cepatnya sehelai kertas terbakar dibandingkan dengan lambatnya sebuah buku yang tebal terbakar.Jika titik api telah timbul, maka penyebaran api ke seluruh bangunan gedung dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi (Gambar 7.1).

Konduksi terjadi jika panas dipindahkan langsung melalui suatu bentuk struktur dari sumber api yang terdekat, bagaimana yang terjadi pada pengurangan kekuatan tulangan baja pada struktur beton bertulang jika suhu meningkat di atas 400 C.Konveksi terjadi jika gas/udara panas meningkat di dalam gedung, di mana api dengan mudah menjalar dari tanah ke lantai di atasnya melalui lubang tangga atau lubang saluran (shaft).

Radiasi merupakan penjalaran api menurut garis lurus dari bahan yang terbakar ke bahan terdekat yang mudah terbakar. Jendela kaca merupakan tempat penjalaran radiasi, juga gedung yang letaknya berdekatan.

Pada saat terjadi kebakaran, ada empat hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan bahaya api, yaitu penghuni bangunan (manusia), isi bangunan (harta), struktur bangunan, dan bangunan yang letaknya bersebelahan.

Tiga hal yang pertama berkaitan dengan bahaya api yang ada pada bangunan yang terbakar, sedang hal yang terakhir merupakan pertimbangan bagi bangunan lainnya dan lingkungan komunitas secara keseluruhan.

Bahaya utama bagi manusia adalah keracunan akibat terhidupnya asap (non termal). Sekitar 75% kematian manusia pada bangunan yang terbakar diakibatkan oleh asap, sedang sekitar 25% kematian disebabkan oleh panas yang ditimbulkan oleh api (termal).

Intensitas api perlu dikendalikan, agar memungkinkan petugas pemadam kebakaran untuk dapat mematikan apinya dengan menggunakan peralatan yang ada padanya. Hal ini dimungkinkan jika luas lantai dibatasi dengan sistem kompartemen, keberadaan bahan yang dapat terbakar diketahui secara pasti, dan struktur bangunan dapat tahan terhadap api.

Kemudahan penjalaran api di dalam, dan dari suatu bangunan tertentu, tergantung dari banyaknya bahan-bahan yang mudah terbakar, kemampuan struktur bangunan untuk dapat bertahan terhadap api dan lokasi gedung terhadap sumber api. Adapun klasifikasi bangunan terhadap kemungkinan bahaya kebakaran dapat dikelompokkan menjadi:

a. Bahaya Kebakaran RinganBangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar rendah dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas rendah, dan kecepatan menjalarnya api lambat.b. Bahaya Kebakaran Rendah Kelompok I

Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar rendah, penimbunan bahan yang mudah terbakar sedang dengan tinggi tidak lebih dari 2,50 meter dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang, penjalaran api sedang. Contoh: bangunan yang fungsinya bukan bangunan industry, dan memiliki ruangan terbesar tidak melebihi 125 m.c. Bahaya Kebakaran Sedang Kelompok II

Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar sedang, penimbunan bahan yang mudah terbakar dengan tinggi tidak lebih dari 4,00 meter dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang, sehingga penjalaran api sedang. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah bangunan komersial dan industri yang berisi bahan-bahan yang dapat terbakar.d. Bahaya Kebakaran Sedang Kelompok III

Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar tinggi dan apabila terjadi kebakaran, melepaskan panas yang tinggi, sehingga menjalarnya api cepat.e. Bahaya Kebakaran Berat

Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar tinggi, apabila terjadi kebakaran akan melepaskan panas yang tinggi dan penjalaran api yang cepat. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah bangunan komersial dan bangunan industri yang berisi bahan-bahan yang mudah terbakar, seperti karet busa, cat, spiritus, dan bahan bakar lainnya.

Berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) nomor 3 tahun 1992, ketentuan penanggulangan bahaya kebakaran di wilayah DKI Jakarta untuk bangunan dibagi dalam beberapa klasifikasi:

a. Bangunan Rendah (< 14 meter atau 4 lapis)

b. Bangunan Menengah (< 40 meter)

c. Bangunan Tinggi (> 40 meter)

d. Bangunan Pabrik

e. Bangunan Umum dan Perdagangan

f. Bangunan Perumahan

g. Bangunan Campuran

Sedangkan, berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum nomor 02/KPTS/1985, ketentuan pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran pada bangunan gedung dibagi dalam beberapa klasifikasi, yaitu:

a. Bangunan Kelas ABangunan yang komponen struktur utamanya harus tahan terhadap api sekurang-kurangnya tiga jam.b. Bangunan Kelas BBangunan yang komponen struktur utamanya harus tahan terhadap api sekurang-kurangnya dua jam.

c. Bangunan Kelas CBangunan yang komponen struktur utamanya harus tahan terhadap api sekurang-kurangnya setengah jam.d. Bangunan Kelas DBangunan yang tidak tercakup dalam kelas A, B, dan C, tidak diatur dalam ketentuan ini, tetapi diatur secara khusus, seperti: instalasi nuklir dan bangunan-bangunan yang digunakan sebagai gudangnya bahan-bahan yang mudah meledak.Untuk pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan secara rinci diuraikan dalam:

a. SK Meneg Pekerjaan Umum nomor 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung

b. SNI 03-6571-2000 tentang Pengendalian Asap Kebakaran pada Bangunan Gedung

c. SNI 03-1746-2000 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan Sarana Jalan Keluar untuk Penyelamatan terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung

d. SNI 03-3989-2000 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan Sistem Sprinkler Otomatis untuk Pecegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung7.2. Sistem Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya Kebakaran Pasif

Sistem pencegahan secara pasif bertumpu pada rancangan bangunan yang memungkinkan orang keluar dari bangunan dengan selamat pada saat terjadi kebakaran atau kondisi darurat lainnya.

7.2.1. Konstruksi Tahan Api

Konsep konstruksi tahan api terkait pada kemampuan dinding luar, lantai, dan atap untuk dapat menahan api di dalam bangunan atau kompartemen. Dahulu, sistem yang mengukur ketahanan terhadap kebakaran dihitung dalam jumlah jam, dan kandungan bahan struktur tahan api. Namun sekarang, hal ini dianggap tidak cukup, dan spesifikasi praktis yang digunakan adalah suatu konstruksi yang mempunyai tingkat kemampuan untuk bertahan terhadap api. Definisi ini menyatakan beberapa ketentuan yang terkait pada kemampuan struktur untuk tahan tehadap api tanpa mengalami perubahan bentuk (deformasi) yang berarti, dan mencegah menjalarnya api ke seluruh bangunan.Dengan demikian, setiap komponen bangunan, dinding, lantai, kolom, dan balok harus dapat tetap bertahan dan dapat menyelamatkan isi bangunan, meskipun bangunan dalam keadaan terbakar.

Meskipun bahan baja tidak dapat terbakar (fire proof), baja akan meleleh jika terkena panas yang tinggi (non-fire resistant). Oleh karenanya perlu dilindungi agar panas yang ditimbulkan oleh api dapat dihambat penjalaran panasnya, terutama pada kolom bangunan (Gambar 7.2). Untuk balok baja, dapat digunakan pendekatan yang sama, atau bisa juga kita menggunakan langit-langit yang dapat mencegah perambatan api/panas.7.2.2. Pintu KeluarBeberapa syarat yang perlu dipenuhi oleh pintu keluar (Gambar 7.3), diantaranya adalah:

a. Pintu harus tahan terhadap api sekurang-kurangnya dua jam.

b. Pintu harus dilengkapi dengan minimal tiga engsel.

c. Pintu juga harus dilengkapi dengan alat penutup pintu otomatis (door closer).

d. Pintu dilengkapi dengan tuas/tungkai pembuka pintu yang berada di luar ruang tangga (kecuali tangga yang berada di lantai dasar, berada di dalam ruang tangga), dan sebaiknya menggunakan tuas pembuka yang memudahkan, terutama dalam keadaan panik (panic bar).

e. Pintu dilengkapi tanda peringatan: TANGGA DARURAT TUTUP KEMBALI.

f. Pintu dapat dilengkapi dengan kaca tahan api dengan luas maksimal 1 m dan diletakkan di setengah bagian atas dari daun pintu.g. Pintu harus dicat dengan warna merah.

Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah lokasi pintu keluar dan jarak dari pintu keluar ke tempat yang aman di luar bangunan, sebagaimana tertera pada Tabel 7.1.

7.2.3. Koridor dan Jalan KeluarKoridor dan jalan keluar harus dilengkapi dengan tanda yang menunjukkan arah dan lokasi pintu keluar (Gambar 7.4). Tanda EXIT atau KELUAR dengan anak panah menunjukkan arah menuju pintu keluar atau tangga kebakaran/darurat, dan harus di tempatkan pada setiap lokasi di mana pintu keluar terdekat tidak dapat langsung terlihat.

Tanda EXIT harus dapat dilihat dengan jelas, diberi lampu yang menyala pada kondisi darurat, dengan kuat cahaya tidak kurang dari 50 lux dan luas tanda minimum 155 cm serta ketinggian huruf tidak kurang dari 15 cm (tebal huruf minimum 2 cm).

7.2.4. Kompartemen

Kompartemen merupakan konsep yang penting dalam usaha penyelamatan manusia dalam menghadapi bahaya kebakaran. Gagasan dasarnya adalah menahan dan membatasi penjalaran api agar dapat melindungi penghuni atau pengguna bangunan dan barang-barang dalam bangunan untuk tidak secara langsung bersentuhan dengan sumber api. Pada bangunan tinggi, kompartemen dapat menyediakan penampungan sementara bagi penghuni atau pengguna bangunan untuk menunggu sampai api dipadamkan atau sudah aman (Gambar 7.5).

7.2.5. Evakuasi Darurat

a. Tangga Darurat/Tangga KebakaranPada saat terjadinya kebakaran atau kondisi darurat, terutama pada bangunan tinggi, tangga kedap api/asap merupakan tempat yang paling aman dan harus bebas dari gas panas dan beracun. Ruang tangga yang bertekanan (presurized stair well) diaktifkan secara otomatis pada saat kebakaran (Gambar 7.6).

Pengisian ruang tangga dengan udara segar bertekanan positif akan mencegah menjalarnya asap dari lokasi yang terbakar ke dalam ruang tangga. Tekanan udara dalam ruang tangga tidak boleh melampaui batas aman, karena jika tekanan udara dalam ruang tangga terlalu tinggi, justru akan menyebabkan pintu tangga sulit/tidak dapat dibuka. Pada gedung yang sangat tinggi perlu ditempatkan beberapa kipas udara (blower) untuk memastikan bahwa udara segar yang masuk ke dalam ruang tangga jauh dari kemungkinan masuknya asap. Di samping itu, bangunan yang sangat tinggi perlu dilengkapi dengan lift kebakaran (Gambar 7.7).

b. Evakuasi Darurat pada Bangunan Tinggi

Suatu sistem yang dikembangkan baru-baru ini di Amerika Serikat merupakan fasilitas evakuasi sebagai upaya yang terakhir jika orang terperangkap pada bangunan tinggi. Teknologi ini bergantung pada tahanan udara dinamik. Pada saat evakuasi darurat, di mana tangga dan lift tidak lagi berfungsi, maka penghuni/pengguna bangunan akan menggunakan sejenis sabuk pengaman yang dikaitkan pada gulungan kabel. Begitu gulungan ini terkunci pada sistem inti, yang merupakan perangkat kipas udara yang kokoh dan diangkur pada bangunan, maka orang dapat melompat dan mendarat di tanah dengan selamat (Gambar 7.8). Tahanan dari bilah baling-baling kipas udara akan berputar pada saat gulungan kabel terurai pada kecepatan di bawah 3,7 m/det.

Sistem inti yang terlihat pada Gambar 7.8 ini terdiri dari kipas udara dengan empat bilah baling-baling yang lebarnya 30 cm di mana ujung yang satu terkunci pada sumbu gulungan. Rangka utama ini dilengkapi dengan landasan luncur yang menjorok sekitar 30 cm keluar bukaan jendela atau balkon.

Evakuasi darurat lain yang dapat digunakan adalah menggunakan semacam kantong peluncur (chute system) yang ditempatkan pada ruang tangga (Gambar 7.9). Chute system ini dapat digunakan dengan aman oleh orang cacat untuk mencapai lantai dasar dengan aman dan cepat.

7.2.6. Pengendalian AsapUntuk mencegah terjadinya panjalaran asap secara horizontal, dalam gedung perlu dipasang tirai penghalang asap (Gambar 7.10) agar mengurai menimbulkan titik api baru dan efektivitas sistem sprinkler. Selain itu pengaliran asap panas akan menghambat petugas pemadam kebakaran untuk memadamkan api karena udara di dalam bangunan akan semakin panas dan menghalangi pandangan mata sehingga tidak mengetahui titik pemasalahan secara tepat.

Beberapa media yang dapat digunakan untuk mengendalikan asap sangat tergantung dari fungsi dan luas bangunan, di antaranya:

a. Jendela, pintu, dinding/partisi dan lain-lain yang dapat dibuka sebanding dengan 10% luas lantai.

b. Saluran ventilasi udara yang merupakan sistem pengendalian asap otomatis. Sistem ini dapat berupa bagian dari sistem tata udara atau ventilasi dengan peralatan mekanis (exhaust fan atau blower) sebagaimana terlihat pada Gambar 7.11.

c. Ventilasi di atap gedung dapat secara permanen terbuka atau dibuka dengan alat bantu tertentu atau terbuka secara otomatis (Gambar 7.12).

d. Sistem penyedotan asap melalui saluran kipas di atas bangunan.

Sebelum tahun 1982, atrium dilarang pada bangunan tinggi, karena atrium dikuatirkan dapat menjadi cerobong asap bagi penjalaran api dan asap ke seluruh bangunan. Tetapi sekarang banyak bangunan tinggi mempunyai atrium di dalamnya. Hal ini diijinkan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagaimana yang terlihat pada Gambar 7.13.

Disamping itu, terdapat tambahan persyaratan yang perlu diperhatikan, yaitu:

a. Pintu keluar yang berada pada sekeliling atrium harus menggunakan pintu tahan api.

b. Bangunan dengan fungsi hotel, apartemen, dan asrama hanya boleh mempunyai atrium maksimal 110 m dan dilengkapi dengan pintu keluar yang tidak menuju atrium.c. Adanya pemisahan vertikal, sehingga lubang atrium maksimal terbuka setinggi tiga lantai.d. Pemisahan vertikal ini berlaku pula bagi ruang pertemuan dengan kapasitas 300 orang atau lebih dan perkantoran yang berada di bawah apartemen, hotel, atau asrama.e. Mesanin dibuat dengan bahan yang tahan api sekurang-kurangnya dua jam.f. Ruangan yang bersebelahan dengan mesanin dibuat dengan bahan tahan api sekurang-kurangnya satu jam.g. Jarak dari lantai dasar ke lantai mesanin sekurang-kurangnya adalah 2,2 meter.h. Mesanin tidak boleh terdiri dari dua lantai.i. 10% dari luas mesanin dapat ditutup (misalnya untuk kamar kecil, ruang utilitas, dan kompartemen).j. Ruang mesanin yang tertutup harus mempunyai dua pintu keluar.k. Jarak tempuh antar pintu keluar maksimum adalah 35 meter.Pengendalian asap dapat dilakukan dengan beberapa cara:

a. Dengan jendela dan pintu yang dapat dibuka (sistem A).

b. Terintegrasi dengan sistem tata udara (sistem B).

c. Menggunakan ventilasi atap (sistem C).

d. Penghisapan asap melalui saluran udara buang (exhaust fan) di atas bangunan (sistem D).Berikutnya diperlihatkan beberapa tipikal tangga kedap asap, baik yang menggunakan ventilasi alamiah (Gambar 7.14.a dan Gambar 7.14.b) maupun menggunakan ventilasi mekanik (Gambar 7.14.c).

7.3. Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya Kebakaran Aktif

7.3.1. Alat Penginderaan/Peringatan Dini (Detektor)

Ada beberapa jenis detektor yang dapat digunakan dalam gedung (Gambar 7.15). Detektor ionisasi umumnya ditempatkan di dapur atau ruangan yang berisi gas yang mudah terbakar atau meledak. Detektor ini akan memberikan peringatan jika terjadi kebocoran gas pada tingkat tertentu, sebelum terjadinya kebakaran. Detektor asap merupakan alat yang diaktifkan oleh fotoelektrik/fotoelektronik atau sel ion sebagai sensornya, sedang detektor panas terdiri dari sebuah elemen yang sensitive terhadap perubahan suhu dalam ruangan, yang diaktifkan oleh sirkuit elektronik. Selanjutnya, detektor ini dihubungkan dengan alarm dan juga papan indikator untuk mengetahui lokasi sumber api.7.3.2. Hidran dan Selang Kebakaran

Berdasarkan lokasi penempatan, jenis hidran kebakaran dibagi atas:

a. Hidran Bangunan (Kotak Hidran Box Hydrant)

Lokasi dan jumlah hidran dalam bangunan diperlukan untuk menentukan kapasitas pompa yang digunakan untuk menyemprotkan air. Hidran perlu ditempatkan pada jarak 35 meter satu dengan yang lainnya, karena panjang selang kebakaran dalam kotak hidran adalah 30 meter, ditambah sekitar 5 meter jarak semprotan air. Pada atap bangunan yang tingginya lebih dari 8 lantai, perlu juga disediakan hidran untuk mencegah menjalarnya api ke bangunan yang bersebelahan (Gambar 7.16).

Hidran/selang kebakaran harus diletakkan di tempat yang mudah terjangkau dan relatif aman, dan pada umumnya diletakkan di dekat pintu darurat (Gambar 7.17).

b. Hidran Halaman (Pole Hydrant)Hidran ditempatkan di luar bangunan pada lokasi yang aman dari api (Gambar 7.18) dan penyaluran pasokan air ke dalam bangunan dilakukan melalui katup siamese (Gambar 7.19).

c. Hidran Kota (Fire Hydrant)Hidran kota bentuknya sama dengan Hidran halaman, tetapi mempunyai dua atau tiga lubang untuk selang kebakaran.

Untuk hidran kebakaran, diperlukan persyaratan teknis sesuai ketentuan sebagai berikut:

a. Sumber persediaan air untuk hidran harus diperhitungkan minimum untuk pemakaian selama 30 menit.

b. Pompa kebakaran dan peralatan listrik lainnya harus mempunyai aliran listrik tersendiri dan sumber daya listrik darurat.

c. Selang kebakaran dengan diameter minimum 1,5 inci (3,8 cm) harus terbuat dari bahan yang tahan panas, dengan panjang maksimum 30 meter.

d. Harus disediakan kopling penyambung yang sama dengan kopling dari Barisan/Unit Pemadam Kebakaran.

e. Semua peralatan hidran harus dicat dengan warna merah.

7.3.3. Sprinkler

Dibeberapa Negara maju, sprinkler otomatis disyaratkan untuk dipasangkan pada bangunan yang tingginya lebih dari 25 meter. Di Indonesia, paduan pemasangan sistem sprinkler untuk pencegahan bahaya kebakaran bangunan ditentukan berdasarkan Standar Konstruksi Bangunan Indonesia (SKBI): 3.4.53.1987 yang disahkan dengan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum nomor 378/KPTS/1987, sebagaimana tertera pada Tabel 7.2.

Sprinkler dipasang pada jarak tertentu dan dihubungkan dengan jaringan pipa air bertekanan tinggi (minimum 0,5 kg/cm). Kepala sprinkler dirancang untuk berfungsi jika panas telah mencapai suhu tertentu (Gambar 7.20).

Umumnya sprinkler dirancang untuk suhu 68 C dan air akan memancar pada radius sekitar 3,50 meter. Suhu kerja sprinkler dapat dilihat dari warna cairan yang ada dalam tabung gelas pada Kepala Sprinkler (Tabel 7.3) sedangkan untuk sprinkler yang menggunakan segel kita dapat merujuk pada Tabel 7.4.

Susunan pemasangan pipa sprinkler dapat berupa:

a. Susunan cabang tunggal dengan kepala sprinkler dan pemasokan air di tengah (Gambar 7.21.a).

b. Susunan cabang tunggal dengan tiga kepala sprinkler dan pemasokan air di ujung (Gambar 7.21.b).

c. Susunan cabang ganda dengan tiga kepala sprinkler dan pemasokan air di tengah (Gambar 7.21.c).

d. Susunan cabang ganda dengan tiga kepala sprinkler dan pemasokan air di ujung (Gambar 7.21.d).

7.3.4. Pasokan Air

Sejumlah cadangan air diperlukan untuk hidran dan sistem sprinkler, dan umumnya disimpan dalam tempat penyimpanan air tertentu (reservoir). Jika memungkinkan, suatu tangki penyimpanan air dapat difungsikan ganda, baik untuk keperluan keseharian maupun untuk keperluan pemadaman api. Agar di dalam tangki selalu tetap tersedia cadangan air yang dapat dipergunakan jika sewaktu-waktu terjadi kebakaran, maka lubang pasokan (outlet) untuk kebutuhan keseharian dibedakan dengan lubang untuk keperluan pemadaman api (Gambar 7.22).

Pasokan air dari luar harus ditanam di dalam tanah dan jika seandainya dipasang di atas permukaan tanah, maka pipa perlu ditopang oleh struktur yang tidak akan runtuh pada saat terjadi kebakaran.

a. Tangki Air

Tangki dengan kapasitas 25 m cukup untuk memasok kebutuhan dua hidran yang beroperasi selama sekitar 30 menit.

b. Tekanan Air

Untuk efektivitas pengoperasian, tekanan hidran harus dapat menjangkau ketinggian antara 26-66 meter (0,5 kg/cm).2 International Seminar Enhancing...May 2010 ISBN no..Program Studi Arsitektur - Universitas Mercu Buana | 1