ringkasan eksekutif - berkas.dpr.go.id fileuntuk mengetahui gambaran bentuk pola pengasuhan anak...
TRANSCRIPT
RINGKASAN EKSEKUTIF
PERLINDUNGAN ANAK DI PANTI ASUHAN
(Studi Kasus di Kabupaten Tabanan Provinsi Bali dan
Daerah Istimewa Yogyakarta
2018 Peneliti:
Mohammad Teja
PUSAT PENELITIAN
BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
1
Pendahuluan
Keterbatasan negara dalam memenuhi dan memberikan perlindungan kepada
anak tentunya memberikan kesempatan kepada setiap orang, atau sekelompok
masyarakat untuk ikut bertanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan dan hak tumbuh
kembang setiap anak yang ada di negara ini. Sebenarnya, pengasuhan anak terbaik
adalah anak tersebut diasuh, dilindungi, dibina, dirawat dan dibimbing proses tumbuh
kembangnya terpenuhi dari kedua orang tuanya. Tetapi, ketidakberuntungan dan pola
pengasuhan yang salah, sering menjadi persoalan yang mendasar bagi anak sehingga
menempatkan anak dalam situasi tidak bisa memilih dimana dan pada siapa mereka
tinggal.
Penelitian yang dilakukan oleh Protection Specialist Save The Children1 pada
2007 tentang Kualitas Pengasuhan di Panti Asuhan Anak Indonesia, bahwa 90 persen
anak di panti asuhan yang diteliti masih memiliki paling tidak salah satu orang tua dan
56 persen diantaranya masih memiliki kedua 0rang tua. Dan 6 persennya lah anak yang
benar-benar yatim piatu, dan 4 persen lagi adalah mereka yang tidak mengetahui
keberadaan orang tuanya. ini berarti, panti asuhan hanya sebagai penyedia akses
pendidikan, tempatinggal dan pemenuhan kebuhutuhan hidup anak. Sementara, BPS
juga mengatakan bahwa 60 juta anak Indonesia yang berumur kurang dari 5 tahun, 2,15
juta diantaranya tidak hidup dengan orang tuanya. padahal 72,5 persen dari 2,15 juta
anak itu masih memiliki satu orang tua, dan hanya 10 persen yang yatim piatu.
Panti asuhan tentunya menjadi upaya terakhir dan favorit bagi orang tua yang
ingin “melepaskan” tanggung jawabnya dari hak-hak anaknya. Ketersediaan panti
asuhan yang cukup banyak di Indonesia seperti yang dicatat Ditjen Rehsos saat ini
terdapat sekitar 8000 panti sosial dan yayasan sosial milik pemerintah, daerah dan
swasta, 2000 diantaranya belum mengantongi ijin resmi.2 Banyak kasus yang terjadi di
tahun kebelakang tentang pelanggaran hak-hak anak yang dilakukan oleh panti asuhan
atau yayasan sosial, oleh karena itu salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh panti
adalah sumber daya manusia yang faham terhadap Standar Nasional Pengasuhan Anak
dalam Lembaga (Peraturan Menteri Sosial No. 30 Tahun 2011)
1 Republika, “Waduh mayoritas anak di panti asuhan punya orang tua”,
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/12/15/152513-waduh-mayoritas-anak-di-panti-asuhan-punya-orang-tua, diakses pada 10 April 2018. 2Kemsos verivikasi keberadaan panti dan yayasan sosial, http://www.beritasatu.com/pendidikan/168081-
kemsos-verifikasi-keberadaan-panti-dan-yayasan-sosial.html, diakses pada 10 April 2018.
2
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
perlindungan anak melalui pola pengasuhan anak di beberapa panti asuhan/ lembaga
pengasuhan yang ada di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan berbagai pola
pengasuhan yang beragam. Disatu sisi, ada lembaga pengasuhan yang melakukan
pengasuhan dengan pola memperhatikan tumbuh kembang anak, sebaliknya ada juga
lembaga pengasuhan yang kurang memperhatikannya, walaupun banyak sebab yang
bisa melatarbelakanginya. Kedua pola pengasuhan tersebut menarik untuk diteliti.
Penelitian ini berupaya untuk memotret pola pengasuhan anak di panti asuhan. Adapun
permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana perlindungan
dan pola pengasuhan anak yang dilakukan oleh panti asuhan?, apakah pola pengasuhan
tersebut dapat memberikan perlindungan dan kesempatan kepada anak untuk tumbuh
kembang dengan baik?
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui gambaran bentuk pola pengasuhan anak yang diberikan oleh
lembaga/yayasan panti asuhan dalam memperhatikan tumbuh kembang anak, dan
mengetahui gambaran bentuk kegiatan pola pengasuhan anak yang memberikan
kesempatan kepada anak untuk tumbuh kembang.dengan baik oleh lembaga
pengasuhan.
Hasil penelitian diharapkan memiliki kegunaan atau signifikansi baik praktis
ataupun akademis. Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran bagi upaya anggota DPR RI, bagaimana bentuk pola pengasuhan
lembaga pengasuhan anak sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia,
penelitian ini pula dapat memberikan pemahaman kepada pemerintah, masyarakat dan
khususnya kepada institusi keagamaan dalam memberikan perlindungan terhadap
anak. Sedangkan dari segi akademis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan
daya kritis dan daya nalar sekaligus menambah pengetahuan wawasan ilmiah penulis,
sehingga dapat meningkatkan kemampuan dalam memahami teori-teori dan sekaligus
memahami fakta empirik mengenai perlindungan anak.
Kerangka Pemikiran
Untuk memberikan tempat bagi anak sebagai generasi yang siap menghadapi
dan mempersiapkan kehidupannya, masyarakat dan negara sudah mulai harus
memperhatikan hak dasar yang dimiliki anak sebagaimana tercantum dalam UUD 1945
3
berdasarkan Pasal 28B (ayat 2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, maka dapat dipastikan bahwa anak
mempunyai hak konstitusional dan negara wajib menjamin serta melindungi
pemenuhan hak anak yang merupakan hak asasi manusia (HAM).
Setiap anak sebagai individu memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi.
Huttman dalam Huraerah merinci kebutuhan anak antara lain (i) kasih sayang orang
tua; (ii) stabilitas emosional; (iii) pengertian dan perhatian; (iv) pertumbuhan
kepribadian; (v) dorongan kreatif; (vi) pembinaan kemampuan intelektual dan
keterampilan dasar; (vii) pemeliharaan kesehatan; (viii) pemenuhan kebutuhan
makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat dan memadai; (ix) aktifitas reaksional
yang konstruktif dan positif; serta (x) Pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan3.
Sebagai bagian dari warga negara, anak memiliki hak dasar sebagaimana
tercantum dalam UUD 1945 berdasarkan Pasal 28B (ayat 2) UUD 1945, yang
menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, maka
dapat dipastikan bahwa anak mempunyai hak konstitusional dan negara wajib
menjamin serta melindungi pemenuhan hak anak yang merupakan hak asasi manusia
(HAM).
Kebutuhan dasar tersebut merupakan bagian dari hak anak yang harus dipenuhi
lembaga pengasuhan anak. harapannya adalah agar pertumbuhan fisik, mental, juga
perkembangan intelektualnya tidak terganggu. Selain itu, pola pengasuhan anak juga
harus mencukupi semua kebutuhan anak akan haknya. Secara jelas hak dan kebutuhan
anak dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Kebutuhan Anak
Setiap anak sebagai individu memiliki kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi. Huttman dalam Huraerah merinci kebutuhan anak antara lain (i) kasih
sayang orang tua; (ii) stabilitas emosional; (iii) pengertian dan perhatian; (iv)
pertumbuhan kepribadian; (v) dorongan kreatif; (vi) pembinaan kemampuan
intelektual dan keterampilan dasar; (vii) pemeliharaan kesehatan; (viii)
pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat dan
3 Huraerah,., Abu, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung, Penerbit Nuansa 2006, hal. 26
4
memadai; (ix) aktifitas reaksional yang konstruktif dan positif; serta (x)
Pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan.4
Layaknya kebutuhan pokok, apabila kebutuhan dasar tidak terpenuhi
maka tentunya akan berdampak negatif pada kegagalan dalam proses
pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, mental, dan sosial. Kondisi
tersebut menyebabkan anak akan mengalami kerentanan fisik akibat gizi dan
kualitas kesehatan yang buruk, melainkan pula mengalami hambatan mental,
lemah daya nalar dan bahkan perilaku maladaptif seperti autisme, nakal, sukar
diatur, yang kelak mendorong mereka menjadi manusia tidak normal dan
perilaku kriminal.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Soetarso dalam Huraerah
mengungkapkan bahwa kesejahteraan fisik intelektual, emosional, dan sosial
anak akan mengalami hambatan apabila anak mengalami (i) kekurangan gizi dan
tanpa perumahan yang layak; (ii) tidak mendapat bimbingan dan asuhan; (iii)
sakit dan tidak mendapatkan perawatan medis yang tepat; (iv) diperlakukan
salah secara fisik; (v) diperlakukan salah dan dieksploitasi secara seksual; (vi)
tidak memperoleh pengalaman normal yang menumbuhkan perasaan dicintai,
diinginkan, aman, dan bermartabat (vii) terganggu secara emosional karena
pertengkaran keluarga yang terus menerus, perceraian yang emmepunyai orang
tua yang menderita gangguan sakit jiwa; dan (ix) dieksploitasi, bekerja
berlebihan, terpengaruh oleh kondisi yang tidak sehat dan demoralisasi. Oleh
karenanya kebutuhan dasar tentunya harus diberikan dan dipastikan diperoleh
oleh anak.5
b. Pemenuhan Hak Anak
Sesuai dengan prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam piagam PBB, hak
anak merupakan hak asasi untuk anak, yaitu pengakuan atas martabat yang
melekat dan tidak dapat dicabut oleh siapa pun. Anak-anak berhak untuk hidup,
memperoleh pendidikan, kesehatan, perlindungan, dan hak untuk menyatakan
pandangannya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi
4 Abu Huraerah. Kekerasan terhadap Anak. Bandung: Penerbit Nuansa. 2006, hal. 26.
5 Ibid, hal 28.
5
kehidupannya.6 Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) PBB pada tahun 1989
dinyatakan bahwa setiap anak yang berada di dalam yurisdiksi mereka, tanpa
diskriminasi apa pun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis,
atau asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang lain dari
anak atau orang tua anak atau wali hukum anak. KHA kemudian diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.
KHA menyebutkan bahwa setiap negara harus mengambil semua langkah
yang tepat untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk
diskriminasi atau hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat yang
diutarakan atau kepercayaan orang tua anak, wali hukum anak atau anggota
keluarga anak.
Sementara Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam
pasal 4 yang kemudian diturunkan ke dalam pasal-pasal berikutnya
menghimpun hak anak ke dalam empat hak pokok yakni hak hidup (right to life),
hak tumbuh kembang (rights to development), hak atas perlindungan (protection
rights), dan hak berpartisipasi (participation rights).
Pola Pengasuhan Anak
Pengasuhan anak adalah sistem pemeliharaan, pendidikan, perlindungan anak
dan/atau harta bendanya hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri demi kepentingan
terbaik bagi anak sebagai upaya pemenuhan kebutuhan akan kasih saying, kelekatan,
keselamatan, kesejahteraan, dan permanensi.
Pada dasarnya, pola pengasuhan anak merupakan bentuk yang diterapkan oleh
orangtua dalam mengasuh anak, biasanya gaya pengasuhan dapat diturunkan dari
orang tua ke orang tua yang melekat pada sang pengasuh. Menurut Jhon W. Santrock isu
bawaan-pengasuhan adalah perdebatan yang menyangkut sejauh mana perkembangan
dipengaruhi oleh bawaan atau pengasuhan. Bawaan (nature) merujuk pada warisan
biologis organism: pengasuhan (nurture) merujuk kepada pengalaman lingkungan.
Dalam penelitian ini faktor terpenting dalam perkembangan anak adalah lingkungan.7
6 Ibid, hal 21. 7 John W. Santrock, Remaja Edisi 11 jilid 2 (Jakarta: Erlangga, 2007), hal 25.
6
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Denzin dan Lincoln, menyebutkan bahwa penelitian kualitatif ditujukan untuk
mendapatkan pemahaman yang mendalam melalui first-hand dari peneliti yang
langsung berproses dan melebur menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan dengan
subjek dan latar yang akan diteliti berupa laporan yang sebenar-benarnya, apa adanya,
dan catatan-catatan lapangan yang aktual. Pendekatan penelitian kualitatif
menekankan pada teknik pengumpulan data dengan cara wawancara, sehingga peneliti
harus terlibat langsung dalam melakukan dialog (wawancara mendalam) dengan
informan di lapangan
Dalam penelitian ini diperlukan informan-informan yang dianggap mampu dan
mempunyai kompetensi untuk memberikan informasi tentang masalah penelitian ini.
Sumber data lainnya yang diperoleh dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang diambil dari sumber data primer atau
sumber pertama di lapangan sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari
sumber kedua atau sumber sekunder.
Adapun teknik pemilihan informan ditentukan secara purposive sampling, teknik
ini digunakan pada penelitian-penelitian yang lebih mengutamakan tujuan penelitian
dari pada sifat populasi dalam menentukan sampel penelitian.8 Jadi yang akan diambil
sebagai anggota sampel berdasarkan pada pertimbangan yang sesuai dengan maksud
dan tujuan penelitian.
Pengumpulan data dilakukan mengutamakan pandangan informan (perspectif
emic), dan peneliti sendiri memerankan diri sebagai instrumen utama (key instrument)
yang terjun langsung ke lapangan untuk melakukan pengumpulan data dengan cara
wawancara mendalam. Selain teknik wawancara, pengumpulan data dilakukan juga
dengan cara Focus Group Discussion/FGD, yaitu teknik pengumpulan data dimana
sekelompok orang yang terkait dengan topik penelitian berdiskusi memperoleh
informasi yang mendalam tentang sesuatu topik yang sedang dipelajari atau diteliti.
Teknik Analisis Data
Analisis data menggunakan analisis kualitatif. Secara operasional analisis data
kualitatif adalah proses menyusun data (menggolongkannya dalam tema atau kategori)
agar dapat ditafsirkan atau diinterpretasikan. Pada prinsipnya analisis ini dilakukan
8 Burhan Bungin. Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University Press. 2001,
hal. 118.
7
setiap saat selama penelitian berlangsung.9 Kegiatan pengumpulan data dan analisis
data dalam penelitian ini tidak terpisah satu sama lain. Keduanya berlangsung secara
simultan dan prosesnya berbentuk siklus. Pengumpulan data merupakan bagian
integral dari kegiatan analisis data. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan analisis
data model interaktif melalui tiga alur kegiatan sebagaimana dikemukakan Miles dan
Huberman, yaitu: 1) reduksi data, 2) display data, dan 3) penarikan
kesimpulan/verifikasi, seperti digambarkan sebagai berikut:10
Keabsahan hasil penelitian ini diupayakan memenuhi kriteria atau standar
validitas dan reliabilitas sebagaimana dikemukakan Lincoln dan Guba (1985:12) yaitu:
credibility, dependability, confirmability, dan transferability
Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menggeneralisasikan. Transferability
penelitian ini tergantung pada pembaca dan pemakai hasil penelitian, yakni hingga
mana hasil penelitian ini dapat digunakan dalam konteks dan situasi lain. Hasil
penelitian kualitatif memiliki standar transferabilitas yang tinggi bilamana para
pembaca laporan penelitian memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas tentang
konteks dan fokus penelitian. Pencapaian kriteria ini dilakukan dengan cara
mendeskripsikan temuan penelitian seutuh dan serinci mungkin sehingga pembaca dan
pemakai memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas tentang konteks dan fokus
penelitian. Dengan memahami substansi penelitian ini, maka terbuka bagi pembaca dan
pemakai untuk menggunakannya pada konteks dan waktu lain yang mempunyai
permasalahan serupa dengan penelitian ini.
Simpulan Saran
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa Pemerintah Pusat dan Daerah telah
memberikan kemudahan ijin dengan seleksi ketat terhadap pendirian lembaga atau
yayasan yang bergerak dalam bidang pengasuhan anak. Dalam penelitian ini panti
asuhan yang diteliti memiliki program di dalam dan diluar panti yang melibatkan pihak
yayasan/lembaga juga masyarakat di lingkungan sekitar panti asuhan.
Karakteristik setiap panti memiliki kekhususan dalam memilih pola
pengasuhannya, seperti panti asuhan Yayasan Gayatri Widya Mandala adalah panti
asuhan Hindu Tabanan, pertama dan satu-satunya di Tabanan yang khusus mengasuh
9 Bogdan, R.C & Biklen, S.K. 1992. Qualitative Research for Education: An Introduction to
Theory and Methods. Boston: Allyn & Bacon. 1992, hal. 29. 10 Miles, M.B., & Huberman, A.M. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of new Methods.
2nd ed. California: Sage. 1994, hal. 23
8
dan membina anak - anak Hindu Bali, yatim, piatu, yatim piatu, terlantar (kurang
beruntung), mengutamakan pembentukan karakter, melestarikan kearifan budaya lokal
(Ajeg Bali), keterampilan, dan pendidikan, wirausaha. yang semuanya didasari atas
Dharma Yadnya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Untuk Yayasan SOS Desa Taruna, karena berada di beberapa wilayah di
Indonesia, khusus untuk di Bali anak yang diasuh dalam panti merupakan anak yang
beragama Hindu.
Kedua Lembaga Pengasuhan Sosial Anak ini dalam melakukan proses seleksi
penerimaan anak yang didahului oleh pengamatan terhadap latar belakang anak dan
keluarganya. Dan memastikan dengan benar bahwa anak perlu dan membutuhkan
pengasuhan alternatif, atau memang dapat memberikan bantuan dalam mendampingi
tumbuh kembang anak dalam keluarga inti mereka.
Dari kedua LPSA yang diteliti, diketahui bahwa pendiri lembaga-lembaga
tersebut adalah mereka yang tergerak hatinya, berkomitmen memberikan pengasuhan
terhadap anak yang kehilangan pengasuhan orang tuanya. Karena pengasuhan orang
tua adalah kebutuhan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak (keluarga dan
rumah juga kasih sayang).
Program pengasuhan utama yang dilakukan oleh SOS Desa Taruna sebagai
lembaga/yayasan nirlaba non-pemerintah adalah Family-Base Care dan Family
Strenghtening.
Pengasuhan berbasis keluarga ( Family Based Care ) adalah sebuah bentuk
pengasuhan alternatif untuk anak, yang kurang lebih bentuknya sama dengan keluarga
pada umumnya. Dalam hal ini, termasuk juga bentuk lain pengasuhan, seperti keluarga
asuh (foster care) yang dilakukan oleh SOS Children's Villages. SOS Children's Villages
meyakini bahwa Keluarga SOS (SOS Families) sebagai bentuk pengasuhan berbasis
keluarga bertujuan menciptakan lingkungan keluarga pengganti yang mampu
memberikan pengasuhan yang layak dan aman sehingga anak-anak bisa mendapatkan
kembali kehangatan keluarga yang penuh perhatian dan masa kanak-kanakan yang
membahagiakan.
Keluarga SOS tinggal dalam satu rumah yang berisi 8 sampai 10 anak dengan
seorang Ibu Asuh (Foster Mother). Saudara kandung tetap dipertahankan bersama
dalam satu rumah keluarga atas dasar prinsip yang terbaik untuk anak. Keluarga SOS
terdiri dari anak-anak yang berbeda usia dan jenis kelamin yang secara alami berlaku
9
sebagai adik-kakak seiring dengan tumbuhnya pertalian keluarga. Selain itu,
pengasuhan anak di dalam SOS Children's Village dilaksanakan atas dasar persamaan
agamanya, agar mereka sedini mungkin dapat memperoleh pendidikan agamanya di
bawah pimpinan seorang pengasuh yang seagama, yang menjadi pengganti ibunya.
Keluarga-keluarga SOS tinggal bersama, membentuk lingkungan desa yang
mendukung anak-anak menikmati kegembiraan masa kanak-kanak mereka. Mereka
juga hidup sebagai anggota yang berintegrasi dan memberikan kontribusi bagi
masyarakat setempat. Melalui keluarga, desa dan masyarakat, setiap anak belajar ambil
bagian secara aktif di dalam masyarakat. Disamping itu, akar budaya yang kuat dari
masyarakat sekeliling akan diintegrasikan dan dipertahankan dalam lingkungan SOS
Children's Villages, agar anak-anak tetap tumbuh dalam lingkungan dan akar budaya
yang sama.
Family Strengthening Programme, Tempat terbaik untuk tumbuh kembang
seorang anak adalah di dalam pengasuhan dan perlindungan keluarganya. Supaya
keluarga-keluarga mampu menyediakan lingkungan yang asah-asih-asuh, stabil, dan
aman, SOS Children's Villages memberikan pelayanan dasar langsung kepada anak dan
juga meningkatkan kapasitas orang tuanya. SOS Children's Villages juga memperkuat
dukungan sistem sosial di komunitas untuk memberdayakan & memperkuat kapasitas
keluarga agar mampu memberikan pengasuhan berkualitas untuk anak-anaknya yang
bertujuan pada kemandirian keluarga tersebut.
Kestabilan keluarga diciptakan dan hubungan orang tua dan dan anak diperkuat
melalui pelatihan parenting, hak-hak anak, resolusi konflik dan lain-lain. Berbagai
keterampilan seperti perencanaan keluarga, perencanaan keuangan keluarga dan
mencari pekerjaan juga diberikan. SOS Children's Villages Indonesia bekerja sama
dengan berbagai mitra dan lembaga masyarakat, memperkuat masyarakat atau
komunitas agar mampu membantu keluarga-keluarga dan memperkuat jaring
pengaman untuk anak-anak yang terlantar serta keluarganya di dalam sebuah
komunitas.
Penguatan keluarga bisa juga termasuk pelayanan lain untuk komunitas yang
lebih luas, seperti taman kanak-kanak, mobile play groups, day care untuk anak yang
ibunya bekerja, dukungan untuk remaja yang orang tuanya meninggal atau sakit,
penasehat hukum (misalnya, hak-hak berdasarkan hukum dan hak-hak memperoleh
pelayanan dari pemerintah).
10
Berbagai dukungan tersebut akan diberikan hingga mandiri dan mampu
memberikan pengasuhan yang layak kepada anak-anaknya. Ini berarti bahwa keluarga
tersebut telah mempunyai pengetahuan, keahlian, dan sumber daya yang cukup untuk
memberikan perlindungan kepada anak-anaknya serta telah mampu memenuhi
kebutuhan dasar anak-anaknya, termasuk kelangsungan hidup dan perkembangannya
saat ini dan seterusnya.
Tidah hanya SOS Desa Taruna, Yayasan Gayatri Widya Mandala juga melakukan
program pengasuh anak di dalam dan di luar lembaganya. Kedua lembaga ini
memberikan pelayanan pengasuhan anak dengan memberikan bantuan pengetahuan,
dan bantuan sekolah bagi anak yang benar-benar membutuhkannya dengan
pendampingan yang dilakuikan oleh pengurus masing-masing lembaga tersebut.
Dalam pengasuhan anak telah juga ada Standar Nasional Pengasuhan Anak
(SNPA) dalam PEMENSOS No. 30/HUK/2011. Lembaga Kerjahteraan Sosial Anal
memerlukan SNPA agar tercapainya pemenuhan hak anak, pengasuhan anak untuk
melindungi anak itu sendiri terpenuhi. Dimana perlakuan salah kepada anak atau
kejahatan terhadap anak dapat dihindari sedini mungkin, misalnya perlakuan salah
kepada anak, keterlantaran, kekerasan terhadap anak, ekploitasi anak, dan diskriminasi
kepada anak.
Tujuan standar itu sendiri antara lain, memperkuat pemenuhan hak anak untuk
mendapatkan pengasuhan dalam keluarganya, memberikan pedoman bagi LKSA dalam
melaksanakan perannya sebagai alternatif terakhir dalam pengasuhan anak,
mengembangkan pelayanan langsung untuk mendukung keluarga yang menghadapi
tantangan-tantangan dalam pengasuhan anak, mendukung pengasuhan alternatif
berbasis keluarga melalui orang tua asuh, perwalian, dan adopsi, dan memfasilitasi
instansi yang berwenang untuk mengembangkan Sistem pengelolaan LKSA yang sesuai
dengan kebutuhan anak dan keluarganya, termasuk dalam pengambilan keputusan
tentang pengasuhan, perijinan pendirian LKSA, monitoring dan evaluasi kinerja LKSA.
Beberapa prinsip Standar Nasional Pengasuhan anak di Indonesia adalah:
1. Hak anak memiliki keluarga
2. Pencegahan keterpisahahan keluarga
3. Tanggung jawab dan peran keluarga (orang tua)
4. Tanggung jawab negara
5. Dukungan keluarga (family support) untuk pengasuhan
11
6. Pengasuhan alternatif
7. Kepentingan terbaik anak
8. Keberlangsungan hidup dan perkembangan anak
9. Partisipasi anak dalam memutuskan pengasuhan
10. Non-diskriminasi
Dalam pengasuhan anak di alternatif pengasuhan selain keluarga inti, tentunya
ada kreterianya, seperti keluarga tidak memberikan pengasuhan, mengabaikan atau
melepaskan tanggung jawab terhadap anaknya., anak yang tidak memiliki keluarga atau
keberadaan keluarga atau kerabatnya tidak diketahui, anak yang menjadi korban
kekerasan, perlakuan salah, penelantaran atau eksploitasi, sehingga demi keselamatan
dan kesejahteraan diri mereka, pengasuhan dalam keluarga justru bertentangan dengan
kepentingan terbaik anak, dan Anak yang terpisah dari keluarga karena bencana baik
konflik sosial maupun bencana alam.
Pengasuhan berbasis Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak merupakan alternatif
terakhir dari pelayanan pengasuhan alternatif untuk anak-anak yang tidak bisa diasuh
di dalam keluarga inti, keluarga besar, kerabat, atau keluarga pengganti. Alasan anak
masuk atau dimasukkan dalam pengasuhan alternatif dikarenakan beberapa alasan,
antara lain Keluarga tidak memberi pengasuhan yang memadai, mengabaikan, lepas
tanggung jawab anak tidak memiliki keluarga, anak menjadi korban kekerasan,
perlakuan salah, eksploitasi, anak terpisah keluarga karena bencana.
Proses LKSA dalam menempatkan anak harus berdasarkan assasment secara
berkala dan teraturhal ini dimaksudkan agar anak cepat dikembalikan kepada keluarga
intinya, jika keberadaan keluarga tidak diketahui keberadaannya, lembaga perlu
mencarikan solusi pengasuhan alternatif berbasis keluarga pengganti, penempatan
anak di LKSA berdasarkan rujukan dari pihak lain. Pengasuhan yang diberikan oleh
LKSA melalui Dukungan langsung ke keluarga atau keluarga pengganti (family support),
pengasuhan sementara berbasis Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak dengan tujuan
menjamin keselamatan, kesejahteran diri, dan terpenuhinya kebutuhan permanensi
anak, fasilitasi dan dukungan pengasuhan alternatif berbasis keluarga pengganti.
Dalam pelayanannya terhadap anak, lembaga harus memiliki SOP yang meliputi,
penerimaan dalam panti, penerimaan anak dalam situasi darurat, anak tetap dalam
12
asuhan keluarga, penempatan anak dalam keluarga pengganti, rujukan, pelayanan anak
dalam panti, reunifikasi, dan terminasi layanan pengasuhan.
Selain itu pengasuhan memiliki indicator untuk mendorong pertumbuhan dan
perkembangan anak secara optimal, baik secara fisik, mental maupun sosial.
Pengasuhan adalah sebuah proses interaksi yang terus menerus antara orang tua dan
anak. Pengasuhan adalah proses sosialisasi, interaksi yang tidak bisa dilepaskan dari
sosial budaya dimana anak itu dibesarkan.
13
DAFTAR PUSTAKA
“Lembaga keagamaan.” http://www.kamusbesar.com/53945/lembaga-keagamaan. diakses tanggal 10 April 2018.
“Peran Lembaga Keagamaan dalam Meningkatkan Kualitas keberagamaan Siswa di Kota Padang.” http://tarbiyahiainib.ac.id/dekan/artikel/444-peran-lembaga-keagamaan-dalam-meningkatkan-kualitas-keberagamaan-siswa-di-kota-padang. Diakses Tanggal 10 April 2018
“Peran lembaga keagamaan terhadap Penanggulangan KDRT terhadap Perempuan di Yograkarta.” http://aamwibowo.wordpress.com/2011/11/19/peran-lembaga-keagamaan-terhadap-penanggulangan-kdrt-terhadap-perempuan-di-kota-yogyakarta/ diakses tanggal 10 April 2018
Beritasatu. “Kemsos verivikasi keberadaan panti dan yayasan sosial,” http://www.beritasatu.com/pendidikan/168081-kemsos-verifikasi-keberadaan-panti-dan-yayasan-sosial.html, diakses pada 10 April 2018.
Bogdan, R.C & Biklen, S.K. 1992. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn & Bacon. 1992.
Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University Press. 2001.
Hawari, Dadang. AlQuran: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 1996.
Huraerah, Abu. Kekerasan terhadap Anak. Bandung: Penerbit Nuansa. 2006.
Joni, Muhammad. Menelaah Undang-Undang Perlindungan Anak. Jakarta Komnas Perlindungan Anak. 2004.
Jus’at, Idrus dan Abas Basuni Jahari. (2000). Review Antropometri Secara Nasional dan Internasional. Bogor.
Miles, M.B., & Huberman, A.M. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of new Methods. 2nd ed. California: Sage. 1994.
Mulheir, G., Deinstitutionalisation – A Human Rights Priority for Children with Disabilities, Equal Rights Review, Volume 9, 2012.
Republika, “Waduh mayoritas anak di panti asuhan punya orang tua”, http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/12/15/152513-waduh-mayoritas-anak-di-panti-asuhan-punya-orang-tua, diakses pada 10 April 2018.
Santrock, John W. Remaja Edisi 11 jilid 2, Jakarta: Erlangga, 2007.
Slavin, Rorbert E. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Jakarta: PT Indeks. 2008.