ringkasan-bagaimana berinteraksi dengan sunnah

Upload: sunu-wibirama

Post on 18-Oct-2015

243 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Ringkasan-Bagaimana Berinteraksi Dengan Sunnah

TRANSCRIPT

  • 1

    RINGKASAN

    BAGAIMANA BERINTERAKSI

    DENGAN SUNNAH

    Dr. YUSUF QARDHAWI

    The International Institute of Islamic Thought

  • 2

  • 3

  • 4

    Artikel Pendek Bagaimana Berinteraksi Dengan Sunnah

    Oleh : Dr. Daud Rasyid Sitorus, MA.

    I. Metode Penginformasian Hadits

    1. Takhdits : menginformasikan hadits dari satu generasi ke generasi yang ada di bawahnya. Biasanya dengan metode muanana dan mengawali hadits dengan kata-kata An.

    2. Kitabah : Metode dengan penulisan kitab, dimulai dari Imam Malik dengan kitab Al Muwatho.

    3. Ijazah : dengan mengijinkan murid / orang lain untuk menginformasikan hadits tertentu. Misal, seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk menginformasikan sebuah

    hadits.

    Sesuatu digolongkan menjadi tasyrii (digunakan dalam penentuan syariat) atau ghairu tasyrii tergantung dari apakah hadits itu menjadi penentu / sumber hukum. Derajat hadits tersebut

    biasanya adalah shahih atau hasan (terkait dengan ibadah mahdloh).

    II. Etika Salafush Sholih dalam Mengkritik Hadits

    Dalam Muqaddimmah Ibnu Shalah disebutkan sikap sangat berhati-hatinya Umar ra dalam

    menerima hadits, tapi ia tidak meragukan sahabat yang merawikannya melainkan berhati-hati

    terhadap hukum yang disampaikan oleh Nabi SAW, sebagai contoh ia mengatakan hal tersebut

    kepada sahabat abu Hurairah ra : Innani la atahammuka wa lakinnani uridu an anatsabbat (Saya

    tidak pernah meragukanmu, semua ini saya lakukan karena ingin menegaskan).

    Contoh yang lain, Abu Hurairah ra pernah menyatakan sebuah hadits : Innal mayyita

    layu'adzdziba bi buka'i ahli 'alaihi (Sesungguhnya mayyit itu diazab karena tangisan keluarganya

    atasnya), maka Ummul Mu'minin Aisyah ra mengkritik hadits tersebut tidak pada sanadnya,

    melainkan pada redaksinya. Dimulai dengan mendoakan abu Hurairah ra, ia berkata : Semoga

    Allah SWT merahmati abu Hurairah, aku tidak pernah mendengarnya dari Nabi SAW, tetapi aku

    mendengar Nabi SAW bersabda : Innallaha yazidul kafirina 'adzaba (Sesungguhnya Allah SWT

    akan menambah azab bagi orang-orang kafir). Lalu Aisyah ra berdalih bahwa hadits abu Hurairah

    tersebut bertentangan dengan ayat al-Qur'an : Wala taziru waziratan wizra ukhra (Dan

    sesungguhnya seseorang itu tidak akan memikul dosa org lain).

    Ternyata hadits abu Hurairah tersebut diperkuat oleh riwayat-riwayat yang lain dari Umar ra,

    Ibnu Abbas ra dan Ibnu Umar ra. Maka para muhaddits menyimpulkan bahwa dari segi sanad

    kedua hadits tersebut (hadits Aisyah maupun abu Hurairah) shahih, maka ditafsirkan makna

    sebenarnya dari layu'adzdziba artinya yata'allama (merasa sedih), artinya mayyit tersebut merasa

    sedih mengapa keluarganya tidak memahami hakikat hidup tersebut.

    III. Kaidah dalam Memahami Hadits

    1. Memahami as-Sunnah disesuaikan dengan al-Qur'an (Fahmu sunnah fi Dhau'il Qur'an). Artinya as-Sunnah merupakan penjelas (bayanu taudhih, tafsir) dan juga menambah apa

    yang tidak ada dalam al-Qur'an (bayanu tsabit), seperti al-Qur'an mengharamkan

    bangkai, tetapi hukum tersebut dihapuskan oleh as-Sunnah untuk bangkai ikan dalam

    hadits berbunyi : Thahuru ma'ahu wal hillu maytatahu (Laut/sungai itu suci airnya dan

    halal bangkainya/ikan).

  • 5

    2. Menggabungkan hadits dalam 1 pengertian (Jam'ul ahadits fi maudhu'in wahid). Jika melihat hadits bertentangan maka digabungkan sehingga didapat 1 pengertian yang

    benar. Seperti hadits isbalul izar (Kain yang melewati kedua mata kaki di neraka) yang

    bertentangan dengan dan hadits Abubakar ra yang menyatakan bahwa tidak apa-apa kata

    Nabi SAW kain Abubakar melewati mata kakinya, ternyata akan masuk neraka adalah

    jika dilakukan karena sombong, setelah digabung dengan hadits khuyala' (orang-orang

    yang masuk neraka karena melabuhkan kain karena sombong). Atau hadits yang

    menyatakan batalnya orang puasa yang berbekam, sementara hadits lainnya menyatakan

    tidak batal, ternyata setelah digabungkan ditemukan bahwa dalam hadits pertama org

    tersebut berbekam sambil mengghibbah dan berdusta sehingga batalnya karena hal

    tersebut dan bukan karena berbekamnya.

    3. Melihat hadits berdasarkan sebabnya (Fahmul hadits fi fi dhau'i asbab wal mulabisat). Seperti hadits antum a'lamu bi umuri dunyakum (kalian lebih mengetahui ttg urusan

    dunia kalian) hadits ini hrs ditafsirkan berdsrkn sebabnya, yaitu Nabi SAW melewati

    sekelompok kaum di Madinah yang sedang mengawinkan pucuk kurma lalu Nabi SAW

    mengucapkan kata-kata yang ditafsirkan salah oleh orang-orang tersebut sehingga tahun

    berikutnya mereka tidak lagi mengawinkan pucuk-pucuk tersebut yang berakibat gagal

    panen. Sehingga keluarlah sabda Nabi SAW : Kalian lebih mengetahui urusan dunia

    kalian, artinya masalah-masalah sarana dan teknologi bukan masalah2 dasar2 yang telah

    ada hukumnya dalam Islam, seperti politik, ekonomi, dsb.

    4. Menghukumi hadits-hadits yang bertentangan (Fahmu at-Ta'arudh fil ahadits): 1. Digabungkan (thariqatul jam'i) : Spt dalam suatu hadits disebutkan Nabi SAW

    meminta dijadikan orang miskin, sementara banyak hadits2 lain Nabi SAW

    meminta kekayaan. Maka digabungkan bahwa yang dimaksud miskin dalam

    hadits pertama adalah sikap org miskin yang tawadhu' (rendah hati dan tidak

    sombong).

    2. Dilihat sejarahnya (ta'arikh), jika tidak bisa digabungkan pengertiannya (tetap bertentangan), maka dilihat mana yang lebih dulu dan mana yang belakangan,

    sehingga yang belakangan adalah menghapus hukum yang duluan. Seperti hadits

    nikah Mut'ah yang banyak dipakai kaum syi'ah, memang benar Nabi SAW

    pernah membolehkannya dalam 1 peperangan tapi kemudian dihapus selama2nya

    oleh Nabi SAW setelah nampak bahaya dan dampaknya. Atau hadits yang

    melarang ziarah kubur, yang kemudian dihapus sendiri oleh Nabi SAW.

    3. Dipilih mana yang lebih kuat (tarjih), jika kedua hal di atas tidak bisa juga, maka barulah dicari mana yang lebih shahih dan dibuang yang kurang shahih (artinya

    bisa juga keduanya shahih tapi yang 1 lebih shahih dari yang lain, maka yang

    dipakai yang lebih shahih tersebut).

    5. Melihat pada isi hadits tersebut dan bukan pada sarananya (an Nazhru ilal ushul la lil wasa'il), contoh2 nya ;

    1. Hadits bahwa Nabi SAW memakai gamis, ternyata banyak hadits yang menyebutkan bahwa Nabi SAW juga memakai kain Yamani, baju

    Kisrawaniyyah, dll. Ternyata ushul dari hadits ttg pakaian tersebut adalah

    menutup auratnya dan bukan pada jenis pakaiannya.

    2. Hadits bahwa Nabi SAW memerintahkan belajar memanah, yang ushul nya adalah berlatih menggunakan senjata dan bukan pada panahnya. Demikian pula

    berkuda, yang ushul mengendarai kendaraannya dan bukan kudanya.

    3. Hadits bahwa pengobatan terbaik adalah menggunakan kai (besi dipanaskan), ternyata yang ushul adalah metode shock terapy nya spt dengan akupunktur,

    refleksi, dsb.

    6. Menegaskan apa yang ditunjukkan oleh lafazh hadits (Ta'akkud dilalatu alfazh al hadits). Seperti hadits : La'anallahal mushawwirin (Allah melaknat para pelukis), yang dilalah

  • 6

    nya adalah jika untuk diagungkan, dipuja, lukisan 3 dimensi (patung), karena ternyata

    gambar yang telah dipotong dan dijadikan bantal oleh Aisyah ra tidak dilarang oleh Nabi

    SAW.

    7. Membedakan antara hakikat dan majas. Jika hal ini tidak dipahami secara benar maka akan menimbulkan pemahaman yang keliru. Sebagai contoh, hadits Yang paling cepat bertemu denganku (nabi) adalah yang paling panjang tangannya. Panjang di sini diartikan : paling banyak amalnya.

    Referensi :

    [1] Buku ustadz Dr. Yusuf Qaradhawi, Kaifa Nataamalu Maa As Sunnah (Bagaimana Berinteraksi dengan Sunnah).

    [2] Artikel Dr. Daud Rasyid, M.A., Maalim Wa Dhawabith Fi Fahmi As Sunnah An Nabawiyyah (Rambu-rambu dan Kerangka dalam Memahami Sunnah Nabawiyyah)

  • 7

    BAB I

    PENDAHULUAN

    As Sunnah (hadits Nabi saw.) merupakan penafsiran al-Quran dalam praktik atau

    penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi

    saw. merupakan perwujudan dari al-Quran yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran

    Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.

    Akan tetapi, sejak pertengahan abad ke-19, definisi otoritas Rasulullah menjadi

    masalah penting bagi para pemikir Muslim. Karena abad ini merupakan periode ketika

    hegemoni barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama telah menciptakan

    dorongan kuat diadakannya reformasi.

    Sunnah Nabi yang suci ini telah menghadapi berbagai macam serangan dari para

    kaum orientalis dengan beragam aksi yang mereka lakukan untuk menghancurkan esensi

    hadits Nabi itu sendiri.

    Sejak saat itu juga, para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan terhadap

    gagasan Islam klasik tentang otoritas keagamaan (baca: hadits). Pergolakan di dunia

    Muslim telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum

    Islam karena orang Muslim telah berjuang untuk memelihara, menyesuaikan, atau

    mendefinisikan kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi

    yang berubah.

    Isu sentral dalam perjuangan yang terus berlangsung ini adalah masalah hakekat,

    status, dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif Nabi Muhammad saw.). karena

    status Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, perkataan dan perbuatannya diterima

    oleh sebagian besar Muslim sebagai sebuah sumber hukum kedua setelah al-Quran.

    Menurut al-Qardhawi as-Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan

    Nabi saw., di samping itu as-Sunnah juga merupakan sumber kedua dalam Islam di

    bidang tasyri dan dakwah (tuntunan) nya.

    Bersama al-Quran, hadits menjadi point yang sensitif dalam kesadaran spiritual

    maupun intelektual muslim. Tidak saja karena ia menjadi sumber pokok ajaran Islam,

    tetapi juga sebagai tambang informasi bagi pembentukan budaya Islam, terutama sekali

    historiografi Islam yang cukup banyak merujuk pada hadits-hadits. Hadits menjadi

  • 8

    semakin krusial ketika makin banyaknya masalah yang muncul, sementera Nabi dan

    sahabat telah banyak yang wafat. Ketika Nabi masih hidup persoalan dapat dipecahkan

    dengan otoritas al-Quran atau Nabi Muhammad sendiri. Demikian pula pada masa

    sahabat, masyarakat dapat melihat praktek nabi yang dijalankan para sahabat. Tetapi

    setelah itu berbagai informasi tentang nabi menjadi sangat penting bagi kaum muslim.

    Itu sebabnya belakangan sangat banyak sekali muncul literatur hadits dalam berbagai

    bentuk dan jenisnya dengan muatan hadits-hadits yang cukup beragam.

    Dengan demikian, hadits-hadits Nabi saw. haruslah dipahami secara benar dan

    tepat. Namun, karena banyaknya serangan-serangan yang dilakukan oleh orang-orang

    Barat, maka banyak dari kalangan Muslim yang mulai berbeda pendapat dalam

    memaknai dan memahami hadits-hadits itu sendiri.

    Dari uraian di atas, al-Qardhawi ingin membawa umat Islam untuk dapat

    memahami hadits secara benar dan tepat. Dalam makalah ini akan penulis jelaskan

    tentang cara-cara atau metode yang diberikan oleh al-Qardhawi dalam memahami

    hadits secara benar dan tepat.

  • 9

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A. Riwayat dan Latar Belakang Pendidikan Yusuf Qardhawi

    Nama lengkapnya adalah Yusuf Al-Qardhawi, Beliau dilahirkan di desa Shaft

    Turab di tengah Delta Sungai Nil, daerah Mahallah al-Kubra, Republik Arab Mesir,

    pada tanggal 9 September 1926. Ayahnya bernama Abdullah, Yusuf Qardhawi hanya

    dua tahun bersama ayahnya, karena ayahnya dipanggil oleh Allah.

    Pelajaran yang pertama kali ditekuninya adalah al-Quran. Pada usia sepuluh

    tahun, ia sudah hafal al-Quran dan dengan bacaan yang sangat baik. Dengan

    keahliannya itu ia dijadikan imam salat lima waktu di desa dan pada usia yang sangat

    muda.1

    Pendidikan formalnya ditempuh di al-Azhar Mesir, kecuali tingkat Aliyah, ia

    tempuh di Mahad al-Buhus wa la-Dirasah al-Arbiyat al-Aliyah, sehingga

    mendapatkan hijaza diploma tinggi dalam bidang bahasa dan sastra Arab. Namun,

    keahliannya yang menonjol adalah dalam bidang keushuluddinan (aqidah, tafsir, dan

    hadits). Hal itu didukung oleh pelajarannya di Fakultas Ushuluddin, yang diselesaikan

    pada tahun 1960.2

    B. Hadits Dalam Pandangan Yusuf Qardhawi

    Di antara para pemikir kontemporer, al-Qardhawi memberikan penjelasan yang

    luas tentang bagaimana pemikirannya tentang hadits yang dikembangkan menjadi

    metode sistematis untuk menilai otentisitas hadits. Menurut al-Qardhawi, sunnah nabi

    mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj

    mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga karakteristik ini akan

    mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadits.3

    1 Isam Talimah, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qardhawi (terj) Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,

    2001), hal. 3. 2 Ibid, hal, 4.

    3 Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1999), hal. 92.

  • 10

    Atas dasar inilah maka al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus

    dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum

    ekstrim; kedua, manipulasi orang-orang sesat, (intihal al-mubthilin), yaitu pemalsuan

    terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bidah yang jelas

    bertentangan dengan akidah dan syariah; ketiga, penafsiran orang-orang bodoh (tawil

    al-jahilin). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil

    sikap moderat (wasathiya), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok

    sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.

    Adapun prinsip-prinsip dalam berinteraksi dengan as-Sunnah, adalah sebagai

    berikut:

    1. Meneliti dengan seksama tentang ke-shahih-an hadits yang dimaksud

    sesuai dengan acuan ilmiah yang telah ditetapkan oleh para pakar hadits

    yang dipercaya. Yakni yang meliputi sanad dan matannya, baik yang

    berupa ucapan Nabi saw., perbuatannya, ataupun persetujuannya.

    2. Dapat memahami dengan benar nash-nash yang berasal dari Nabi saw.

    sesuai dengan pengertian bahasa (Arab) dan dalam rangka konteks hadits

    tersebut serta sebab wurud (diucapkannya) oleh beliau. Juga dalam

    kaitannya dengan nash-nash al-Quran dan Sunnah yang lain, dan dalam

    kerangka prinsip-prinsip umum serta tujuan-tujuan universal Islam. Semua

    itu, tanpa mengabaikan keharusan memilah antara hadits yang diucapkan

    demi penyampaian risalah (misi Nabi saw.), dan yang bukan untuk itu.

    Atau dengan kata lain, antara Sunnah yang dimaksudkan untuk tasyri

    (penetapan hukum agama) dan yang bukan untuk itu. Dan juga antara

    tasyri yang memiliki sifat umum dan permanent, dengan yang bersifat

    khusus atau sementara. Sebab,di antara penyakit terburuk dalam

    pemahaman sunnah, adalah pencampuradukan antara bagian yang satu

    dengan bagian yang lainnya.

    3. Memastikan bahwa nash tersebut tidak bertentangan dengan nash lainnya

    yang lebih kuat kedudukannya, baik yang berasal dari al-Quran, atau

    hadits-hadits lain yang lebih banyak jumlahnya, atau lebih shahih darinya,

    atau lebih sejalan dengan ushul. Dan juga tidak dianggap berlawanan

  • 11

    dengan nash yang lebih layak dengan hikmah tasyri, atau pelbagai tujuan

    umum syariat yang dinilai telah mencapai tingkat qathiy karena

    disimpulkan bukan hanya dari satu atau dua nash saja, tetapi dari

    sekumpulan nash yang setelah digabungkan satu sama lain mendatangkan

    keyakinan serta kepastian tentang tsubutnya (atau keberadaanynya sebagai

    nash).4

    As-Sunnah adalah sumber kedua dalam Islam di bidang tasyri dan dakwah

    (tuntunan) nya. Para ahli fiqh merujuk kepadanya untuk menyimpulkan hukum-hukum,

    sebagaimana para ahli dakwah dan tarbiyah merujuk kepadanya untuk menggali

    makna-makna yang mengilhami, nilai-nilai yang mengarahkan, serta hikmah-hikmah

    yang merasuk ke dalam sanubari manusia. Demikian pula untuk mencari cara-cara

    efektif dalam rangka menganjurkan perbuatan kebaikan dan mencegah kejahatan.

    Berbicara mengenai hadits sebagai sumber ajaran agama (hukum) berarti kita

    harus meletakkan hadits dalam kerangka diskursus ushul fiqh. Menurut ulama ushul

    fiqh hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik ucapan,

    perbuatan, maupun ketetapan yang dapat dijadikan dalil hukum shara. Dari sini dapat

    dilihat bahwa ulama ushul menempatkan Nabi Muhammad saw. sebagai musyarri.

    Oleh karena itu, produk hadits ditempatkan sebagai sumber hukum Islam setelah al-

    Quran. Penempatan hadits sebagai sumber hukum Islam tersebut, didasarkan pada

    beberapa dalil al-Quran, di antaranya terdapat dalam QS. al-Nisa: 59 berikut:

    Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul

    (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang

    4 Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits, hal. 26-27.

  • 12

    sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika

    kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih

    utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. Al-Nisa: 59)

    Dalil yang semakna juga dapat ditemukan dalam QS al-Nisa ayat 80, yaitu

    sebagai berikut:

    Artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati

    Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak

    mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. Al-Nisa: 80)

    Kedua ayat tersebut, setidaknya mengisyaratkan adanya perintah kepada orang-

    orang yang beriman, untuk taat kepada Allah dan Rasul yang berarti taat kepada al-

    Quran dan hadits.5 Seseorang dikatakan taat kepada Allah kalau dia juga taat kepada

    RasulNya, dan demikian pula sebaliknya.

    C. Metode Pemahaman Hadits Yusuf Qardhawi

    1. Memahami Hadits Sesuai dengan Petunjuk al-Quran

    Untuk memahami sunnah dengan baik, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan

    penakwilan yang keliru, kita harus memahaminya sesuai dengan petunjuk al-Quran,

    yaitu dalam bingkai tuntunan-tuntunan Illahi yang kebenaran dan keadilannya bersifat

    pasti, seperti yang dijelaskan di dalam surat al-Anaam ayat 115, yakni sebagai berikut:

    Dan telah sempurnalah kalimat Tuhanmu, dalam kebenaran dan keadilannya.

    Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-Nya dan Dia-lah Yang Maha

    Mendengar Lagi Maha Mengetahui (Al-Anam: 115).

    Al-Quran adalah roh eksistensi Islam dan asas bangunannya. Ia adalah konstitusi

    Illahi yang menjadi rujukan bagi setiap perundang-undangan dalam Islam. Adapun

    5 Abd al-Wahab Khallaf, Ushul al-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Dawah al-Islamiyah, 1990), hal. 21.

  • 13

    sunnha Nabi adalah penjelasan terinci bagi konstitusi tersebut, baik secara teoritis

    maupun praktis.

    Sedangkan As-Sunnah adalah penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut,

    baik dalam hal-hal yang bersifat teoritis ataupun penerapannya secara praktis. Itulah

    tugas Rasulullah saw., menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan kepada

    mereka.

    Tugas seorang Rasul adalah menjelaskan kepada manusia risalah yang diturunkan

    untuk mereka. Oleh karena itu, tidak mungkin sebuah penjelasan bertentangan

    dengan apa yang hendak dijelaskan atau sebuah cabang tidak mungkin

    bertentangan dengan pokok. Penjelasan Nabi senantiasa berkisar pada al-Quran dan

    tidak pernah melampauinya. Oleh sebab itu, tidak ada sunnah yang shahih yang

    bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran yang muhkamat keterangan-keterangannya

    yang jelas.6

    Jika sebagian orang menganggap adanya pertentangan, hal ini disebabkan karena

    haditsnya tidak shahih atau pemahaman kita yang tidak benar atau tidak sesuai dengan

    maksud hadits tersebut, dan pertentangan tersebut bersifat semu, bukan pertentangan

    yang hakiki. Ini berarti bahwa sunnah harus dipahami dalam konteks al-Quran.

    Seperti dalam haditst :

    Syaawiruu hunna wa khaliquu hunna (Bermusyawarahlah bersama mereka,

    tetapi janganlah mengikuti [hasil musyawarahnya]), hadits ini adalah merupakan hadits

    palsu, karena bertentangan dengan firman Allah tentang sikap kedua orangtua terhadap

    anaknya yang masih menyusu, yaitu sebagai berikut:

    6 Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 153

  • 14

    Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,

    Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi

    Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani

    melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita

    kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun

    berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan

    kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika

    kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila

    kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah

    dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

    Sudah dijelaskan di atas, bahwa apabila dalam menghadapi perbedaan

    pemahaman dalam menyimpulkan makna-makna hadits, maka kita harus dapat

    memahami dengan cara yang baik dan benar adalah dengan melihat makna hadits yang

    didukung oleh al-Quran, karena isi hadits (cabang) sebagai penjelas al-Quran tidak

    akan mengandung makna yang berbeda dengan al-Quran (pokok) sebagai sesuatu yang

    dijelaskan.

    2. Menghimpun Hadits-hadits yang Terjalin dalam Tema yang Sama

    Untuk memahami sunnah Nabi dengan baik, kita harus menghimpun hadits-hadits

    yang bertema sama. Hadits-hadits yang mutasyabih dikembalikan kepada yang

    muhkam, yang mutlaq dihubungkan dengan yang muqayyad, dan yang am ditafsirkan

    dengan yang khas. Dengan demikian, makna yang dimaksud akan semakin jelas dan

    satu sama lain tidak boleh dipertentangkan. 7

    Sebagaimana yang sudah disepakati, sunnah berfungsi sebagai penafsir dan

    penjelas al-Quran. Artinya, sunnah memerinci ayat-ayat yang global, menjelaskan yang

    7 Yusuf al-Qardhawi, Pengantar Studi.hal. 171

  • 15

    masih samar, mengkhususkan yang masih umum, dan membatasi yang mutlak. Dengan

    demikian, ketentuan-ketentuan tersebut harus diterapkan dalam memahami hadits yang

    satu dengan yang lainnya.

    Mencukupkan diri dengan pengertian lahiriah suatu hadits saja tanpa

    memperhatikan hadits-hadits lainnya, dan nas-nas lain yang berkaitan dengan topik

    tertentu seringkali menjerumuskan orang ke dalam kesalahan, dan menjauhkannya dari

    kebenaran mengenai maksud sebenarnya dari konteks hadits tersebut.8

    Sebagai misal, hadits-hadits yang berkenaan dengan larangan mengenakan

    sarung sampai di bawah mata kaki, yang mengandung ancaman cukup keras terhadap

    pelakunya. Yaitu hadits-hadits yang dijadikan sandaran oleh sejumlah pemuda yang

    amat bersemangat, untuk menunjukkan kritik yang tajam terhadap siapa-siapa yang

    tidak memendekkan tsaub (baju gamis)nya sehingga di atas mata kaki. Sedemikian

    bersemangatnya mereka, sehingga hampir-hampir menjadikan masalah memendekkan

    tsaub ini, sebagai syiar Islam terpenting, atau kewajibannya yang mahaagung. Dan

    apabila menyaksikan seorang alim atau dai Muslim yang tidak memendekkan tsaub

    nya, seperti yang mereka sendiri melakukannya, maka mereka akan mencibirnya, dalam

    hati, atau adakalanya menuduhnya secara terang-terangan sebagai seorang yang

    kurang beragama!

    Padahal, seandainya mereka mau mengkaji sejumlah hadits yang berkenaan

    dengan masalah ini, lalu menghimpun antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai

    dengan tuntutan agama Islam kepada para pengikutnya dalam soal-soal yang

    menyangkut kebiasaan hidup sehari-hari, niscaya mereka akan mengetahui apa

    sebenarnya yang dimaksud oleh hadits-hadits seperti itu. Dan sebagai akibatnya,

    mereka akan mengurangi ketegangan sikap mereka dan tidak menyimpang terlalu jauh

    dari kebenaran, serta tidak akan mempersempit sesuatu yang sebetulnya telah

    dilapangkan oleh Allah SWT bagi manusia.

    Dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim dari Abu Dzar r.a., bahwa Nabi

    saw . pernah bersabda: yang artinya tiga jenis manusia, yang kelak, pada hari Kiamat,

    tidak akan diajak bicara oleh Allah: (1) seorang mannan (pemberi) yang tidak

    8 Yusuf Al-Qardhawi, Kaifa Nataamal Maa al-Sunnah Al-Nabawiyah (USA, Virgina:al-Mahad al-

    Islami, 1990), hal. 113.

  • 16

    memberi sesuatu kecuali untuk diungkit-ungkit; (2) seorang pedagang yang berusaha

    melariskan barang dagangannya dengan mengucapkan sumpah-sumpah bohong; dan

    (3) seorang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai di bawah kedua mata

    kakinya.

    Dalam riwayat lainnya, juga dari Abu Dzar, yang artinya: Tiga jenis manusia,

    yang kelak pada hari Kiamat, tidak diajak bicara oleh Allah, tidak dipandang oleh

    Nya, tidak ditazkiah olehNya, dan bagi mereka tersedia azab yang pedih.

    (Rasulullah saw . mengulangi sabda beliau itu tiga kali, sehingga Abu Dzar berkata:

    Sungguh mereka itu adalah manusia-manusia gagal dan merugi! Siapa merreka itu, ya

    Rasulullah? Maka jawab beliau): Orang yang membiarkan sarungnya terjulur

    sampai ke bawah mata kaki; orang yang memberi sesuatu untuk kemudian diungkit-

    ungkit; dan pedagang yang melariskan dagangannya dengan bersumpah bohong.

    Hadits di atas juga didukung oleh hadits yang dirawikan dalam shahih Al-

    Bukhari, dari Abu Hurairah: Sarung yang di bawah mata kaki, akan berada di

    neraka.

    Yang dimaksud dengan sarung dalam hadits itu ialah kaki seseorang yang

    sarungnya terjulur sampai di bawah mata kakinya. Ia akan dimasukkan ke neraka,

    sebagai hukuman atas perbuatannya.9

    3. Penggabungan atau Pentarjihan antara Hadits-hadits yang (Tampaknya)

    Bertentangang (Kompromi atau Tarjih terhadap Hadits-Hadits yang

    Kontradiktif)

    Pada prinsipnya, nash-nash syariat yang benar tidak mungkin bertentangan.

    Sebab, kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Seandainya ada

    pertentangan, maka hal itu hanyalah merupakan keadaan luarnya saja, atau hanya

    kelihatan di luar saja bertentangan, tapi makna yang terkandung adalah sama. Dan

    kewajiban kita terhadap hal tersebut adalah menghilangkan pertentangan di dalamnya.

    9 Yusuf Al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi saw., (Bandung: Krisma, 1999), hal. 108

  • 17

    Apabila pertentangan tersebut dapat dihilangkan dengan cara menggabungkan

    atau menyesuaikan antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada

    sehingga keduanya dapat diamalkan.

    Salah satu hal yang penting untuk memahami sunnah dengan baik adalah

    menyesuaikan hadits-hadits shahih yang tampak bertentangan, yang kandungannya

    sepintas berbeda-beda, serta menggabungkan antara hadits yang satu dengan hadits

    yang lainnya. Kemudian meletakkan masing-masing hadits sesuai dengan tempatnya

    sehingga menjadi satu kesatuan dan tidak lagi kelihatan berbeda atau bertentangan

    karena keduanya saling melengkapi.

    Dalam hal ini, Yusuf Al-Qardhawi mengambil contoh hadits tentang ziarah kubur

    bagi wanita. Misalnya, hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. melaknat

    wanita yang sering menziarahi kuburan. (Diraawikan oleh Ahmad, Ibn Majah dan

    Tirmidzi yang berkata: Hadits ini hasan sahih, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn

    Hibban dalam shahihnya).10

    Hal itu dikuatkan pula oleh beberapa hadits yang mengandung larangan terhadap

    kaum wanita untuk mengikuti jenazah. Dari sana dapat disimpulkan pula larangan

    terhadap ziarah kubur bagi wanita.

    Walaupun demikian, ada hadits-hadits lainnya yang isinya berlawanan dengan

    hadits-hadits di atas. Yakni yang dapat dipahami darinya, bahwa kaum wanita diizinkan

    menziarahi kuburan, sama seperti kaum laki-laki. Di antaranya, sabda Nabi saw.

    ,

    Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, kini ziarahilah kini

    ziarahlah atau ziarahilah kuburan-kuburan, sebab itu akan mengingatkan kepada

    maut.11

    Selain hadits tersebut di atas, terdapat lagi hadits Nabi tentang diperbolehkannya

    wanita menziarahi kubur. Yaitu Ziarahilah kuburan-kuburan, sebab hal itu akan

    mengingatkan kepada maut.

    10

    Tirmidzi dalam bab Janaiz (1056), Ibn Majah (1576) dan Ahmad (2 / 337). Juga dirawikan oleh Al-

    Baihaqy dalam As-Sunan (4/ 78) 11

    Ahmad dan Al-Hakim dari Anas, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Jami Ash-Shaghir (4584)

  • 18

    Dalam hadits-hadits di atas, izin umum tersebut tentunya mencakup kaum wanita

    juga. Demikian pula hadits yang dirawikan oleh Muslim, An-Nasaiy dan Ahmad, dari

    Aisyah, katanya: Apa yang harus ku ucapkan kepada mereka, ya Rasulullah? (Yakni

    apabila menziarahi kuburan). Jawab beliau: Katakanlah: Salam sejahtera atas kaum

    Mukminin dan Muslimin, para penghuni rumah-rumah ini. Semoga Allah merahmati

    semua kita, yang telah mendahului maupun yang masih tertinggal. Kami, insyaAllah,

    akan menyusul kalian.

    Meskipun hadits-hadits ini, yang menunjukkan diizinkannya (kaum wanita

    menziarahi kuburan) lebih sahih dan lebih banyak, dibandingkan hadits-hadits yang

    melarang, namun menggabungkan semuanya dan berupaya menyesuaikan makna

    kandungannya, adalah masih mungkin. Yaitu dengan mengartikan kata melaknat

    yang tersebut dalam haditssebagaimana dinyatakan oleh Al-Qurthubiyyang

    ditujukan kepada para wanita yang amat sering melakukan ziarah. Hal itu sesuai dengan

    bentuk kata zawwarat, yang berkonotasi amat sering. Menurut Al-Qurthubiy,

    mungkin sebabnya ialah hal itu dapat mengakibatkan berkurangnya perhatian mereka

    kepada pemenuhan hak para suami, disamping kemungkinan membawa mereka kepada

    tabarruj serta meratapi orang-orang yang mati dengan suara keras, dan lain-lainnya

    lagi. Mungkin dapat dikatakan pula bahwa jika semua itu dapat dihindarkan, maka tak

    ada salahnya memberi izin kepada mereka. Sebab, soal mengingat mati adalah sesuatu

    yang diperlukan bagi kaum laki-laki maupun wanita.

    Berkata Asy-Syaukani: Pendapat itulah yang sepatutnya dijadikan andalan dalam

    upaya penggabungan antara hadits-hadits yang tampaknya saling bertentangan menurut

    zahirnya.12

    Dan apabila tidak mungkin menggabungkan antara dua hadits atau berbagai hadits

    yang pada zahirnya saling bertentangan, barulah diupayakan pentarjihan. Yaitu dengan

    mentarjihkan (atau memenangkan) salah satu darinya, dengan berbagi alasan pentarjih

    yang tentukan oleh para ulama.

    - Soal Naskh dalam Hadits

    12

    Yusuf Al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi saw., (Bandung: Karisma, 1999), hal.122.

  • 19

    Masalah yang berkaitan erat dengan kontradiksi dalam hadits adalah persoalan

    naskh (pengahapusan) atau yang biasa kita dengan istilah nasikh mansukh (yang

    menghapus dan yang dihapus) dalam hadits.

    Sebagian ahli hadits menggunakan naskh apabila mereka mengalami kesulitan di

    dalam menggabungkan dua hadits yang bertentangan dan kemudian di antara keduanya

    diketahui mana hadits yang muncul belakangan.

    Banyaknya hadits yang diasumsikan sebagai mansukh, membuat problematika

    dalam hadits lebih rumit dibandingkan dengan naskh di dalam al-Quran, karena al-

    Quran bersifat umum dan universal. Namun, setelah diadakan penelitian hadits yang

    dikatakan mansukh tidaklah demikian. Karena di antara hadits-hadits itu ada yang

    mengandung ketetapan (azimah), dan ada pula yang dimaksudkan sebagai keringanan

    (rukhshah). Dan di antara keduanya mempunyai hukum masing-masing sesuai dengan

    kedudukannya.

    4. Memahami Hadits dengan Mempertimbangkan Latar Belakangnya, Situasi

    dan Kondisinya Ketika Diucapkan, serta Tujuannya.

    Di antara cara-cara yang baik untuk memahami hadits Nabi saw. ialah dengan

    memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya statu hadits,

    atau kaitannya dengan suatu illah (alasan, sebab) tertentu, yang dinyatakan dalam

    hadits tersebut atau disimpulkan darinya, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang

    menyertainya.

    Ini berarti bahwa statu hukum yang dibawa oleh statu hadits, adakalanya tampak

    bersifat umum dan waktu tak terbatas, namun jika diperhatikan lebih lanjut, akan

    diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan dengan suatu illah tertentu, sehingga ia

    akan hilang dengan sendirinya jika hilang illahnya, dan tetap berlaku jika masih

    berlaku illahnya.

    Untuk dapat memahami hadits dengan pemahaman yang benar dan tepat, haruslah

    diketahui kondisi yang meliputinya serta di mana dan untuk tujuan apa ia diucapkan.

    Sehingga dengan demikian maksudnya benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari

  • 20

    pelbagai perkiraan yang menyimpang dan (terhindar dari) diterapkan dalam pengertian

    yang jauh dari tujuan sebenarnya.

    Kita mengetahui bahwa para ulama kita telah menyatakan bahwa untuk

    memahami al-Quran dengan benar, haruslah diketahui tentang asbab an-nuzul (sebab-

    sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat al-Quran). Agar kita tidak terjerumus

    ke dalam kesalahan seperti yang terjadi atas sebagaian kaum ekstrem dari kalangan

    Khawarij atau yang seperti mereka. Yaitu, yang mengambil ayat-ayat yang Turn

    berkenaan dengan kaum musyrik, lalu menerapkannya atas kaum muslim.

    Demikianlah, jika asbab an-nuzul perlu diketahui oleh siapa saja yang ingin

    memahami al-Quran atau menafsirkannya, maka asbab al-wurud (sebab atau peristiwa

    yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadits) lebih perlu lagi untuk diketahui.

    Hal tersebut mengingat bahwa al-Quran, sesuai dengan wataknya, adalah

    universal dan abadi. Karena itu, ia tidak berkepentingan untuk membicarakan hal-hal

    yang detil atau yang hanya berkaitan dengan waktu tertentu. Kecuali untuk

    menyimpulkan darinya prinsip-prinsip tertentu atau menunjukkan pelajaran (ibrah)

    apa yang kiranya dapat diambil darinya.

    Lain halnya dengan as-Sunnah, sebab ia memang menangani pelbagai problem

    yang bersifat local (maudhiiy), particular (juziy) dan temporal (aniy). Di dalamnya

    juga terdapat dalam al-Quran.

    Oleh sebab itu, haruslah dilakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan

    yang umum, yang sementara dan yang abadi, serta antara yang particular dan yang

    universal. Semua itu mempunyai hukumnya masing-masing. Dan dengan

    memperhatikan konteks, kondisi lingkungan serta asbab an-nuzul dan asbab al-wurud,

    pasti akan lebih mudah mencapai pemahaman yang tepat dan lurus, bagi siapa saja

    yang beroleh taufik Allah SWT.

    Dalam hal ini, penulis mengambil contoh tentang keharusan wanita disertai

    mahramnya ketika bepergian jauh. Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari

    Abdullah bin Abbas, secara marfu: Tidak dibolehkannya seorang perempuan

    bepergian jauh kecuali ada seorang mahram bersamanya.13

    13

    Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1999), hal. 71

  • 21

    Illah (alasan) di balik larangan ini ialah kekhawatiran akan keselamatan

    perempuan apabila ia bepergian jauh tanpa disertai suami atau mahram. Ini mengingat

    bahwa di masa itu, orang menggunakan kendaraan unta, baghal ataupun keledai dalam

    perjalanan mereka, seringkali mengarungi padang pasir yang luas atau daerah-daerah

    yang jauh dari hunian manusia. Dalam kondisi seperti itu, seorang perempuan yang

    bepergian tanpa disertai suazi ataupun mahramnya, tentunya dikhawatirkan

    keselamatan dirinya, ataupaling sedikitnama baiknya dapat tercemar.

    Akan tetapi, jika kondisi seperti itu telah berubah, seperti di masa kita Semarang,

    ketika perjalanan jauh ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang yang

    mengangkut seratus orang penumpang atau lebih; atau kereta api yang mengangkut

    ratusan musafir, maka tidak ada lagi alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan

    wanita bepergian sendiri. Karena itu, tidak ada salahnya, ditinjau dari segi syariat, jika

    ia melakukannya. Dan ini tidak dapat dianggap sebagai tindak pelanggaran terhadap

    hadits tersebut.

    5. Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap

    Di antara penyebab kekacauan dan kekeliruan dalam memahami as-Sunnah, ialah

    bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan atau sasaran yang hendak

    dicapai oleh as-Sunnah dengan prasarana temporer atau lokal yang kadangkala

    menunjang pencapaian tujuan. Mereka lebih mementingkan sarana ini, seolah-olah

    itulah yang menjadi tujuan sebenarnya. Padahal, siapa saja yang mendalami

    Setiap sarana dan prasana, mungkin saja berubah dari suatu masa ke masa lanilla,

    dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya; bahkan semua itu pasti mengalami

    perubahan. Oleh sebab itu, apabila suatu hadits menunjuk kepada sesuatu yang

    menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk menjelaskan

    tentang suatu fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengikat kita

    dengannya, ataupun membekukan diri kita disampingnya.

    Bahkan, sekiranya al-Quran sendiri menegaskan tentang suatu sarana atau

    prasarana yang cocok untuk suatu tempat atau masa tertentu, hal itu tidak berarti bahwa

  • 22

    kita harus berhenti padanya saja, dan tidak memikirkan tentang prasarana lainnya yang

    selalu berubah dengan berubahnya waktu dan tempat.

    Sebuah contoh yaitu hadits tentang siwak (sepotong kayu lunak dari pohon

    tertentu) untuk membersihkan gigi, tujuannya adalah kebersihan mulut sehingga

    mendatangkan keridhaan Allah, seperti disebutkan dalam hadits siwak menyebabkan

    kesucian mulut serta keridhaan Tuhan.

    Adakah penggunaan siwak itu merupakan suatu tujuan tersendiri? Ataukah ia

    hanya suatu alat yang cocok dan mudah diperoleh di jazirah Arab, sehingga Rasulullah

    saw. menganjurkan penggunaannya, demi memanfaatkan sesuatu yang mudah didapat

    oleh mereka?!

    Oleh sebab itu, tidak ada salahnya, bagi masyarakat-masyarakat lainnya yang

    tidak mudah memperoleh kayu siwak itu, menggantikannya dengan alat lainnya yang

    dapat diproduksi secara besar-besaran, cukup untuk digunakan oleh jutaan orang;

    seperti sikatgigi yang kita kenal sekarang. Begitulah yang telah dinyatakan oleh

    sejumlah fuqaha.

    Dengan ini, kita mengetahui bahwa sikat gigi dan pasta gigi (seperti yang

    digunakan sekarang) sepenuhnya dapat menggantikan kayu arak. Terutama di rumah,

    setelah makan, atau ketika hendak tidur.

    6. Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan

    Teks-teks hadits banyak sekali yang menggunakan majas atau metafora, karena

    rasulullah adalah orang Arab yang menguasai balaghah. Rasul menggunakan majas

    untuk mengemukakan maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan. Adapun

    yang termasuk majas adalah; majas lughawi, aqli, istiarah. Misalnya hadits tentang

    sifat-sifat Allah. Hadits semacam ini tidak bisa secara langsung dipahami, tapi harus

    perhatikan berbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun

    kontekstual.

    Sebagai misal, dalam surat al-Ahzab yang berbunyi:

  • 23

    Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi

    dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka

    khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.

    Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh. (Al-Ahzab: 72)

    Bahkan adakalanya pemahaman berdasarkan majaz itu, merupakan suatu

    keharusan. Atau, jika tidak, orang akan tergelincir dalam kekeliruan. Ketika Rasulullah

    saw. berkata kepada istri-istri beliau: Yang paling cepat menyusulku di antara kalian

    sepeninggalku adalah yang paling panjang tangannya, mereka mengira bahwa

    yang dimaksud oleh beliau, adalah yang benar-benar bertangan panjang. Karena itu,

    seperti dikatakan oleh Aisyah r.a.; mereka saling mengukur, siapa di antara mereka

    yang tangannya paling panjang.

    Bahkan, menurut beberapa riwayat, mereka mengambil sebatang bambu untuk

    mengukur tangan siapakah yang paling panjang?!

    Padahal Rasulullah tidak bermaksud seperti itu. Yang dimaksud oleh beliau

    dengan tangan yang paling panjang ialah yang paling banyak kebaikannya dan

    kedermawanannya.

    7. Membedakan antara Alam Gaib dan Alam Kasatmata (Nyata)

    Maksudnya membedakan antara yang gaib dan alam kasatmata (nyata), di sini

    adalah dalam hal memaknai teks hadits. Di antara kandungan As-Sunnah, ada beberapa

    hal yang berkaitan dengan alam gaib (alam al-ghaib), yang sebagiannya menyangkut

    makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat di alam kita ini. Misalnya, malaikat, mereka

    adalah jenis makhluk spiritual (halus), tercipta dari cahaya, nur, tak dapat ditangkap

    dengan indera dan tidak memiliki bentuk fisik. Makhluk-makhluk yang tidak bersifat

    fisik ini tidak makan, tidak minum, tidak kawin dan juga tidak berketurunan. Mereka

  • 24

    juga tidak mempunyai sifat kelamin, lelaki atau perempuan. Mereka memang

    diciptakan untuk taat saja kepada Allah SWT. Dari mereka terpancar dzikir, tasbih, dan

    ibadah, sebagaimana halnya nafas yang keluar dari seorang manusia. Mereka juga

    tidak dibebani kewajiban sebagaimana yang diberikan Allah kepada manusia.14

    Juga seperti jin, penghuni bumi yang dibebani pula kewajiban-kewajiban tertentu

    seperti kita (manusia) juga, yang mereka itu dapat melihat kita dan kita tidak dapat

    melihat mereka. Dan di antara mereka itu adalah setan-setan, tentara Iblis yang pernah

    bersumpah di hadapan Allah SWT untuk berupaya menyesatkan kita dan memperindah

    kebatilan dan kejahatan dalam pandangan kita. Sebagaimana disebutkan dalam al-

    Quran dijelaskan:

    Artinya: iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan

    mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka[Shad:

    82-83] (Yang dimaksud dengan mukhlis ialah orang-orang yang telah diberi taufiq

    untuk mentaati segala petunjuk dan perintah Allah s.w.t.)

    Dan sebagian lagi dari hal-hal gaib ini bersangkutan dengan kehidupan di alam

    barzakh; yakni kehidupan setelah mati dan sebelum kebangkitan di hari kiamat.

    Termasuk di dalamnya, pertanyaan-pertanyaan malaikat ketika manusia berada dalam

    kuburnya; demikian pula tentang kenikmatan ataupun siksaan di dalamnya. Dan

    sebagiannya lagi berkaitan dengan kehidupan akhirat; yakni kebangkitan dan

    pengumpulan manusia di padang mahsyar, peristiwa-peristiwa besar pada hari kiamat,

    syafaat (dari para nabi, khususnya dari Nabi Muhammad saw.), mizan (neraca amalan

    manusia), hisab, shirath, surga serta pelbagai kenikmatan di dalamnya; baik yang

    bersifat material maupun spiritual, dan tingkatan-tingkatan manusia di dalamnya; dan

    juga neraka serta pelbagai siksaan di dalamnya, baik yang inderawi maupun yang

    maknawi, dan tingkatan-tingkatan manusia di dalamnya. Begitu pula dengan arsh dan

    kursy yang tidak dapat disaksikan oleh indera penglihatan manusia.

    14

    Yusuf Al-Qardhawi, As-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,

    1999), hal. 117.

  • 25

    8. Memastikan Makna dan Konotasi Kata-kata dalam Hadits

    Dalam memahami suatu hadits haruslah dapat memastikan makna dan konotasi

    yang dimaksud dalam hadits. Sebab, penggunaan atau pemaknaan kata dan konotasi

    setiap masyarakat atau masing-masing orang itu berbeda-beda dalam memaknai suatu

    kata.

    Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk

    menunjuk kepada makna-makna tertentu pula. Dan tentunya tidak ada keberatan sama

    sekali dalam hal ini. Akan tetapi yang ditakutkan di sini adalah apabila mereka

    menafsirkan kata-kata tersebut yang digunakan dalam as-Sunnah (atau juga dalam al-

    Quran) sesuai dengan istilah mereka yang baru (atau yang hanya digunakan di kalangan

    mereka saja).

    D. Implementasi Pemahaman Yusuf Al-Qardhawi

    Dari pemikiran yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi ini mengindikasikan

    bahwa metode yang yang ditawarkan oleh al-Qardhawi telah menimbulkan dialog yang

    marak baik yang pro maupun yang kontra, yang pada akhirnya membuka peluang

    adanya upaya pengembangan dalam wawasan studi pemikiran hadits.

    Secara spesifik gagasan pemikiran Yusuf al-Qardhawi bukan sesuatu yang sama

    sekali baru. Beberapa kriteria yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi merupakan

    refleksi hasil dialog dan pembacaan yang dilakukan Yusuf al-Qardhawi dari realitas

    masyarakat dan berbagai konsep yang ditawarkan para ulama jauh hari sebelumnya.

    Selain itu, pentingnya memberikan corak baru dalam studi pemahaman hadits,

    mengingat jarak waktu yang memisahkan realitas sekarang ini dengan sejarah

    bagaimana sebuah hadits muncul.

    Jika dicermati beberapa prinsip pemahaman hadits nabi yang ditawarkan oleh

    Yusuf Al-Qardhawi sebenarnya sangat urgen untuk menggali nilai-nilai hadits yang

    relevan dengan kebutuhan historis sekarang ini. Hal ini penting mengingat pemahaman

    atas kedudukan hadits nabi harus relevan dengan dirinya dan pada saat yang sama

  • 26

    menjadi relevan dengan masyarakat sekarang ini. Relevan dengan dirinya sendiri

    berarti kandungan maknanya terbatas pada nilai-nilai yang dikandungnya, relevan

    dengan kondisi masyarakat sekarang ini berarti bahwa relevansi tersebut berlangsung

    pada pemahaman yang rasional.15

    Bagaimanapun juga berbagai macam temuan dan teknologi yang cukup pesat

    mengharuskan perlunya pengkajian terhadap pemahaman hadits nabi. Interaksi antara

    budaya yang berkembang dengan ajaran Islam yang bersumber dari teks, untuk

    selanjutnya dapat dipastikan akan berhadapan dengan kenyataan yang lebih berat dan

    kompleks. Oleh sebab itu, aspek budaya tidak dapat diabaikan dalam kajian hadits.16

    Munculnya pemahaman hadits perspektif Yusuf Qardhawi mengarah pada upaya

    pengembangan pemikiran hadits sebagai sesuatu yang positif untuk

    ditumbuhkembangkan. Beberapa kriteria yang ditawarkan Yusuf Qardhawi telah

    memberi manfaat dalam menggali nilai-nilai hadits yang relevan konteks historis saat

    ini. Namun disisi lain harus disadari, maraknya berbagai pemahaman terhadap hadits

    nabi membuka peluang semakin melebarnya perpecahan di kalangan umat Islam, jika

    perbedaan pandangan itu tidak disikapi secara bijak, dengan menganggap produk

    mereka sendiri yang paling benar dan pemikiran orang/kelompok lain yang

    berseberangan dengan mereka adalah salah.

    15

    Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern (Bandung: Mizan, 1996), hlm.18-19 16

    Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 35.

  • 27

    BAB III

    KESIMPULAN

    Seperti yang telah dijelaskan, bahwa as-Sunnah adalah sumber hukum kedua

    setelah a-Quran. Oleh sebab itu, kita sebagai umat Muhammad, haruslah bisa

    memahami dengan baik apa-apa saja yang terkandung di dalam al-Quran dan as-

    Sunnah, sebagai penjelas dari pada al-Quran.

    Dari sini Yusuf al-Qardhawi memberikan delapan metode dalam memahami

    hadits secara benar dan tepat, antara lain sebagai berikut:

    - Memahami Hadits Sesuai dengan Petunjuk al-Quran.

    - Menghimpun Hadits-Hadits yang Setema.

    - Kompromi atau Tarjih terhadap Hadits-Hadits yang Kontradiktif.

    - Memahami Hadits Sesuai dengan Latar Belakang, Situasi dan Kondisi serta

    Tujuannya.

    - Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap.

    - Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan

    - Membedakan antara yang Gaib dan yang Nyata.

    - Memastikan Makna Kata-kata dalam Hadits

    Poin yang selanjutnya dalam pembahasan di atas adalah mengenai Implementasi

    Pemahaman Yusuf Al-Qardhawi.Dari pemikiran yang ditawarkan oleh Yusuf al-

    Qardhawi ini mengindikasikan bahwa metode yang yang ditawarkan oleh al-Qardhawi

    telah menimbulkan dialog yang marak baik yang pro maupun yang kontra, yang pada

    akhirnya membuka peluang adanya upaya pengembangan dalam wawasan studi

    pemikiran hadits.

    Secara spesifik gagasan pemikiran Yusuf al-Qardhawi bukan sesuatu yang sama

    sekali baru. Beberapa kriteria yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi merupakan

    refleksi hasil dialog dan pembacaan yang dilakukan Yusuf al-Qardhawi dari realitas

    masyarakat dan berbagai konsep yang ditawarkan para ulama jauh hari sebelumnya.

    Selain itu, pentingnya memberikan corak baru dalam studi pemahaman hadits,

    mengingat jarak waktu yang memisahkan realitas sekarang ini dengan sejarah

    bagaimana sebuah hadits muncul.