makalah inkar sunnah 1

40
GERAKAN INGKAR SUNNAH Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir pada mata kuliah: Studi al-Hadīth Disusun Oleh: Sofia Rosdanila Andri FO5212102 Dosen Pengampu: Dr. Abu Azam al-Hadi M.Ag PROGRAM PASCASARJANA JURUSAN TAFSIR HADITS IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA 1

Upload: sofia-rosdanila-adnan

Post on 26-Oct-2015

397 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Inkar Sunnah 1

GERAKAN INGKAR SUNNAH

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir pada mata kuliah:

Studi al-Hadīth

Disusun Oleh:

Sofia Rosdanila Andri

FO5212102

Dosen Pengampu:

Dr. Abu Azam al-Hadi M.Ag

PROGRAM PASCASARJANA

JURUSAN TAFSIR HADITS

IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA

1434 H/2012 M

GERAKAN INGKAR SUNNAH

1

Page 2: Makalah Inkar Sunnah 1

A. Pendahuluan

Wacana pembaharuan pemikiran dalam Islam selalu menarik untuk

dibicarakan. Banyak ulama dan cendekiawan muslim yang memberikan

pandangan atau pendapat mengenai reaksi pemahaman tentang Islam, reaksi

yang muncul beraneka ragam ada yang pro dan dan ada pula yang kontra,

terutama yang berhubungan dengan sumber hukum kedua Islam atau Sunnah.

Goresan sejarah mengungkapkan, bahwa ada sekelompok orang yang

mengaku beragama Islam namun menolak keberadaan sunnah, mengingkari

kedudukan sunnah, dan tidak mau menggunakan sunnah sebagai sumber

syariat setelah al-Qur`an. Mereka hanya mau mengakui al-Qur`an satu-satunya

sumber syariat. Secara terang-terangan mereka tidak mau menerima hadith-

hadith Nabi, baik yang mutawatir maupun yang ahad. Kata mereka; Sunnah

tidak dibutuhkan, al-Qur`an saja sudah cukup tanpa sunnah. Namun, di antara

mereka ada juga yang menggunakan hadith sebagai hujjah, meskipun hanya

sebagian dan pilih-pilih.

Hal ini ditandai dengan munculnya kritik dan pandangan yang

menolak eksistensi dan substansi sunnah baik secara absolut maupun dalam

bentuk pengingkaran sebagian hadith atau sunnah. Kelompok ini yang

akhirnya mengkristal menjadi golongan yang bernama Inkār al-Sunnah. “Di

kalangan ahli Islam di Barat dan segelintir kalangan sarjana muslim yang

terpelajar tidak mengakui dan menolak hadith tersebut sebagai suatu kerangka,

bukan saja keteladanan Nabi melainkan juga sikap-sikap dan perbuatan-

perbuatan keagamaan para sahabat”. Dari sinilah penulis mencoba

mengangkat tulisan ini dalam bentuk makalah dengan lebih jauh mengenali

kelompok ini serta argumentasi-argumentasi yang dikemukakannya.

B. Gerakan Ingkar Sunnah

1. Pengertian

Kata “ingkar sunnah” searti dengan inkār al-Sunnah, rafdl al-Sunnah,

radd al-Akhbār, dan lain-lain yang mempunyai arti pengingkaran sunnah.

Menurut bahasa, artinya “menolak atau mengingkari”, berasal dari kata kerja,

2

Page 3: Makalah Inkar Sunnah 1

ankara-yunkiru-inkāran.1 Dalam bahasa Indonesia, kata (ingkar) mempunyai

beberapa arti antara lain; menyangkal, tidak membenarkan, tidak mengetahui,

dan mungkir.2

Cukup banyak di antara para pakar hadith berbicara tentang ingkar

sunnah, tetapi tidak ditemukan banyak yang mengemukakan definisi ingkar

sunnah secara terminologis dan secara eksplisit. Ada beberapa definisi ingkar

sunnah di beberapa referensi berbahasa Indonesia yang sifatnya masih sangat

sederhana pembatasannya, yaitu:

a. “Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadith atau

sunnah sebagai sumber ajaran agama Islam kedua setelah al-Qur’an.”3

b. “Suatu pendapat yang timbul dari sebagian kaum muslimin yang menolak

sunnah sebagai dasar dan sumber hukum.4

c. “Orang-orang yang menolak sunnah (hadith) Rasulullah SAW sebagai

hujjah dan sumber kedua ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan.”5

d. “Golongan ingkar sunnah juga menamakan dirinya sebagai golongan

Qur’ani, sebab mereka hanya menggunakan al-Qur’an sebagai sumber

ajaran dan tidak memercayai hadith Nabi Muhammad SAW. Alasannya,

adalah bahwa tugas Rasul hanya menyampaikan bukan memberikan

perincian.6

Namun, definisi ingkar sunnah yang dimaksud disini adalah suatu

paham yang timbul pada suatu kaum minoritas umat Islam yang menolak

dasar hukum Islam dari sunnah shahih baik sunnah praktis ataupun yang

secara formal dikodifikasikan para ulama, baik secara totalitas mutawatir atau

1 Ibrahim Anis, et al. (Anis), al-Mu’jām al-Wasīṭ, (Mesir: Mu’jām Lughah al-‘Arabiyah, 1972), cet. Ke-2, juz. 1, 4456.

2 W.J.S Poerwadarminta (Poewadarminta), Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), cet. Ke-7, 382.

3 Tim Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), 428-429.

4 Husnan, Gerakan Inkar as-Sunnah dan Jawabannya, (T.t: T.tp, T.t), 5.

5 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid.2, 225.

6 Tim penyusun Pustaka Azet, Leksikon Islam, 221.3

Page 4: Makalah Inkar Sunnah 1

ahad atau sebagian saja, tanpa ada alasan yang dapat diterima oleh para

ulama.7

Menurut Dr. H. Abdul Majid Khon, ada tujuh poin yang perlu

mendapatkan penjelasan sebagai kriteria pengingkar sunnah, sebagai berikut:8

a. Suatu Paham

Ingkar sunnah adalah paham atau pendapat perorangan atau paham

sekelompok orang. Istilah ingkar sunnah, bukan nama sebuah sekte dalam

Islam, tetapi ia cenderung kepada sifat, sikap, pekerjaan, dan paham

individu atau sekelompok orang yang menolak kehujjahan sunnah. Kata

“paham” berarti menunjuk kepada keuniversalitasan definisi yang

mengantisipasi masa yang lewat dan yang akan datang, baik masa klasik

atau modern, yang pernah terorganisasi atau tidak. Seperti seseorang yang

pernah berdebat dengan Imam al-Syafi’i mengatasnamakan gerakan al-

Qur’āniyyūn atau Ahl al-Qur’ān di India dan Pakistan pada akhir abad ke-

19 atau awal abad ke-20 pimpinan Muhibb al-Haqq ‘Azhim Abadiy dan

Abdillah Jikralawiy.9

b. Sebagian minoritas umat Islam

Paham penolakan sunnah mungkin terjadi di kalangan umat Islam

sekalipun sangat minim karena kekurangan informasi tentang pentingnya

sunnah dalam agama atau sebab-sebab faktor lain. Adapun penolakan

sunnah di kalangan umat non-Islam sangat mungkin terjadi, karena

posisinya sangat jelas, yaitu mengingkari Nabi, al-Qur’an dan sunnah.

Meskipun diantara mereka ada yang telah mempelajari dan paham tentang

sunnah seperti penelitian yang dilakukan oleh sebagian orientalis dan

murtad. Penolakan sunnah yang terjadi pada umat Islam tidak digolongkan

ingkar sunnah, tetapi ingkar Islam.

c. Penolakan sunnah sebagai dasar hukum Islam

7 Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadith, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2011), 22.

8 Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadith, h. 22-24.

9 Khadim Husayn Ilahi Najsy, al-Qur’aniyyūn wa Syubūhatuhum Hawla al-Sunnah, (Thaif: Maktabah al-Shiddiq, 1989), cet. Ke-1, 19-22. Ada dugaan pendiri al-Qur’aniyyun di India dua orang tersebut yakni Muhib al-Haqq ‘Azhim Abadi di Bahar India Timur dan Abd. Allah Jikralawi Lahore. Keduanya mengambil pemikiran dari narasumber yang sama. Hanya tokoh pertama, mulanya tidak bertentangan dengan amaliah kaum muslimin, berbeda dengan tokoh kedua.

4

Page 5: Makalah Inkar Sunnah 1

Ada kemungkinan paham ini menerima dan mengakui sunnah selain

sebagai sumber hukum Islam, misalnya sebagai fakta sejarah, budaya, dan

tradisi. Memang pada umumnya mereka menganggap sunnah sebagai

sejarah atau tradisi saja. Bagi mereka tidak ada keharusan memperlakukan

sunnah sebagai hujjah dalam beragama dan tidak ada kewajiban

mengamalkannya. Sunnah boleh diamalkan dan boleh tidak diamalkan.

d. Sunnah praktis dan formalistik

Sunnah yang diingkari adalah sunnah yang shahih baik sunnah praktis

yakni pengamalan al-Qur’an (sunnah ‘amaliyah) maupun sunnah

formalistis, yakni sunnah yang dikodifikasikan para ulama dalam berbagai

buku induk hadith meliputi perbuatan, perkataan, persetujuan Nabi SAW.

Bisa jadi secara substansial mereka menerima sunnah praktis tetapi

menolak sunnah formalistis atau menolak keduanya.

e. Penolakan sunnah secara total atau sebagian saja

Paham ingkar sunnah bisa jadi menolak keseluruhan sunnah baik sunnah

mutawatirah10 dan ahad11 atau menolak yang ahad saja dan atau sebagian

daripadanya. Berarti kemungkinan mereka hanya menerima sunnah

sebagai praktik hidup Rasul SAW dalam melaksanakan al-Qur’an yang

disebut dengan sunnah amaliyah mutawātirah (arti sunnah pada awal

perkembangan Islam) dan tidak menerima sunnah yang diriwayatkan dan

dikodifikasikan para ulama pendahulunya.

f. Penolakan secara terang-terangan atau tidak

Para ulama membagi ingkar sunnah menjadi dua macam, yaitu Pertama,

adakalanya dengan ungkapan yang tegas (sharih) bahwa hanya al-Qur’an

yang dijadikan hujjah dalam Islam dan menolak kehujjahan sunnah.

10 Arti mutawair dari segi bahasa berarti (al-Tatābu’). Menurut istilah adalah sesuatu yang diriwayatkan oleh banyak orang dari sesamanya di seluruh tingkatan periwayatan (thabaqat) sampai akhir sanad, banyaknya menurut logika dan tradisi mustahil mereka sepakat bohong. Sebagian ulama mempersyaratkan berita yang diriwayatkan masalah inderawi. Lihat: al-Shalih, ‘Ulum al-Hadīth wa Musthalahahuh, h. 149-151, Mahmudh al-Thahān, Taysīr Musthalah al-Hadīth, (Beirut: Dār al-Tsaqafah al-Islāmiyah, 1985), cet. Ke-7, 20.

11Ahad jamak dari ahad artinya berita yang diriwayatkan oleh seorang atau sampai tiga orang lebih yang tidak mencapai mutawatir. Berita ahad memberi faedah zhanniy al-Wurūd dan ‘ilmu naẓari, artinya tidak mutlak (relatif) kebenaran berita, perlu pemikiran dan penelitian lebih lanjut. Lihat, al-ṣalih, ‘Ulum al-Hadīth wa Musthalahahuh, h. 149-151, Mahmudh al-Thahān, Taysir Musthalah al-Hadīth, 22.

5

Page 6: Makalah Inkar Sunnah 1

Kedua, kelompok yang ingin merobohkan paradigma sunnah dengan cara

mencerca cara periwayatannya secara diplomatis.12

g. Tidak ada dasar alasan yang diterima

Jika seseorang menolak sebagian sunnah dengan alasan yang dapat

diterima oleh syara’ atau akal yang sehat. Misalnya, seorang mujtahid

yang menemukan dalil yang lebih kuat daripada hadith yang ia dapatkan,

atau hadith itu tidak sampai kepadanya, atau karena kedhaifannya.

2. Sejarah Timbulnya Ingkar Sunnah

Dalam sejarah para sahabat tidak pernah ada yang skeptis sedikitpun

dalam mendengar, meriwayatkan, dan melaksanakan sunnah yang datang dari

Nabi SAW. Sejarah membuktikan bahwa di masa hidup beliau tidak ada di

antara mereka yang mendustakan Nabi, bahkan terhadap sesama sahabat yang

memandang satu sama lain saling mempercayai berita yang mereka sampaikan

dan tidak ada sikap yang skeptis atau permusuhan, kecuali yang datang dari

orang-orang munafik.13

Pengingkar sunnah pada masa Nabi SAW tidaklah terjadi, beliau hanya

pernah memberikan isyarat bahwa nanti akan timbul pengingkar sunnah yang

menyimpang dari jalan yang lurus:

د� م��� ه� ب�ن� م�ح� د� الل��� ل� و�ع�ب��� ن�ب��� د� ب�ن� ح� م��� د� ب�ن� م�ح� م��� د�ث�ن�ا أ�ح� ح���اال� ي�ل�ي� ق� ه� الن�ف� د� الل��� ر� ع�ن� ع�ب�ي��� ب�ي الن�ض���

� ي�ان� ع�ن� أ ف� د�ث�ن�ا س� ح�ب�ي��ه�

� اف�ع� ع�ن� أ ب�ي ر�� ل�م� ب�ن� أ ه� و�س��� ه� ع�ل�ي��� ل�ى الل��� ع�ن� الن�ب�ي, ص���

ر� م�ن� �م��� �ت�ي��ه� األ� ه� ي�أ ر�يك�ت���ا ع�ل�ى أ� ت�ك�ئ��3 د�ك�م� م� ي�ن� أ�ح��� �ل�ف� ال� ال� أ ق���

د�ن�ا ا و�ج� ول� ال� ن�د�ر�ي م� ي�ق� ي�ت� ع�ن�ه� ف� و� ن�ه�ت� ب�ه� أ� م�ر�

ا أ� م�ر�ي م�م� أ�

ف�ي ك�ت�اب� الل�ه� ات�ب�ع�ن�اه�”Diriwayatkan dari Abi Rāfi’ r.a dari Nabi SAW bersabda: “Sungguh

aku tidak bertemu dengan salah satu di antara kamu yang duduk bersandar di atas singgasananya, datang perkara dari padaku dari apa yang aku perintahkan atau aku larang. Maka ia menjawab: “Kami tidak tahu, apa yang kami dapati di dalam kitab Alah kami ikutinya.”14

12 Abū Zahrah, Tārikh al-Madhāhib al-Islāmiyah, (Beirut: Dār al-Fikr, tt), 451.

13 ‘Abd al-Qahir bin Muhammad al-Baghdādiy (w.1037 H), al-Farq bain al-Firāq, (Kairo: Maktabah Dār al-Turāth, t.th), 35 dan baca QS. Al-Fath/48:29 dan al-Hasyr/59:9.

14 Hadith diriwayatkan oleh Abu Dāwud, Kitab al-Sunnah, bāb Luzūm al-Sunnah: 13/356, al-Turmudzi, Kitāb al-‘Ilmi, bab Mā Nuhīy ‘anh an yuqāla: 7/424, Ibn Hibban, dalam mukaddimah, bāb al-I’tishām bi al-Sunnah: 1/190, dan al-Hakim: 1/108. Abu Isa: Hadith ini hadith hasan dan saḥīḥ, lihat: Muhammad bin Isa al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, juz. 4, h. 462.

6

Page 7: Makalah Inkar Sunnah 1

Hadith diatas memberikan isyarat bahwa ingkar sunnah datang dari

kalangan ekstremis yang bersenang-senang dalam kehidupan materi dan tidak

memerhatikan hukum syariat Islam, hadith ini juga sebagai dalil kemukjizatan

beliau15 yang telah memprediksikan suatu peristiwa yang belum terjadi dan

akan terjadi, sebagai dalil bahwa sunnah adalah wahyu Allah, dan

menunjukkan ke-ma’shum-an beliau.

Sejarah perkembangan umat Islam terbagi menjadi tiga, yaitu masa

klasik: 650-1250 M, masa pertengahan: 1250-1800 M, dan masa modern

1800-sekarang. Adapun sejarah perkembangan ingkar sunnah hanya terjadi

dua masa, yaitu masa klasik dan masa modern.16

a. Ingkar Sunnah Klasik

Pada masa sahabat memang pernah terjadi ada segelintir orang yang

ingin hanya belajar al-Qur’an, seperti periwayatan al-Hasan al-Bashriy

berkata:

Ketika Imran bin Husain mengajarkan hadith, ada seorang yang minta agar

tidak usah mengajarkan hadith, tetapi cukup al-Qur’an saja. Jawab Imran,

“Kamu dan sahabat-sahabatmu dapat membaca al-Qur’an, maukah kamu

mengajarkan shalat dan syarat-syaratnya kepadaku? Atau zakat dan syarat-

syaratnya. Kamu sering absen. Padahal Rasulullah telah mewajibkan zakat

begini begini.” “Terima kasih, saya baru sadar.” Jawab orang tadi, dan ia

di kemudian hari menjadi ahli fiqh.17

Hal serupa juga pernah tejadi pada masa Umayyah bin Khālid, dimana

ia mencoba mencari seluruh permasalahan dengan merujuk kepada al-

Qur’an saja. Akhirnya ia berkata pada ‘Abdullāh bin ‘Umar bahwa di

dalam al-Qur’an ia hanya menemukan masalah shalat di rumah dan pada

waktu perang saja (shalāt al-Khauf). Sedang masalah shalat dalam

perjalanan tidak ditemukan. ‘Abdullah bin ‘Umar menjawab, “Wahai

15 Abi al-‘Ula al-Mubarakfury,Tuhfah al-Ahwadzīy bi Syarh Jamī’ al-Turmudziy, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), juz. 7, 354.

16 Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadith, 55.

17 Abī ‘Abdillāh al-Hākim al-Naysabūri, al-Mustadrak ‘ala ṣaḥīḥayn, (Beirut: Dār al-Ma’ārif, t.th), juz 1, 109-110.

7

Page 8: Makalah Inkar Sunnah 1

kemenakanku, Allah telah mengutus Nabi Muhammad SAW dan kita tidak

tahu apa-apa, kita kerjakan saja apa yang Nabi kerjakan.18

Dari kisah-kisah diatas menunjukkan bahwa pada masa yang sangat

dini sudah muncul gejala-gejala ketidakpedulian terhadap hadith dimana

dalam perkembangan selanjutnya hal itu menjadi ‘cikal-bakal’ munculnya

paham yang menolak hadith sebagai salah satu sumber syari’at Islam, yang

kemudian lazim dikenal dengan ingkar sunnah.

Menurut M. Musthafā al-A’zhāmiy,19 sejarah ingkar sunnah klasik

terjadi pada masa Imam al-Syāfi’i (w.204 H) abad ke-2 H/7 M yang

menolak kehujjahan sunnah atau menolak sunnah sebagai sumber hukum

Islam baik mutawatir maupun ahad. Imam al-Syafi’i yang dikenal sebagai

Nashir al-Sunnah (pembela sunnah) pernah di datangi oleh seseorang yang

disebut sebagai ahli tentang mazhab teman-temannya yang menolak

kehujjahan sunnah, untuk berdiskusi dan berdebat secara panjang lebar

dengan berbagai argumentasi yang ia ajukan.20

Di antara argumentasi yang dikemukakan secara ringkas dapat

disimpulkan sebagai berkut:21

a. Al-Qur’an turun sebagai penerang atas segala sesuatu, bukan yang

diterangkan. Jadi, al-Qur’an tidak perlu keterangan dari sunnah.

b. Al-Qur’an bersifat qath’īy (absolut kebenarannya), sedang sunnah

bersifat ẓanniy (relatif kebenarannya), maka jika terjadi kontradiksi

antar keduanya, sunnah tidak dapat berdiri sendiri sebagai produk

hukum baru.

18 Al-Mustadrak ‘ala ṣaḥīḥayn, 258.

19 Muhammad Musthafā al-‘Aẓāmīy salah seorang guru besar hadith dan ilmu hadith Fakultas Tarbiyah Universitas King Imam Muhammad bin Saud Riyadh. Ia banyak membaca buku orientalis yang menyerang hadith dan berhasil menangkis pikiran mereka melalui penelitiannya yang diajukan ke Universitas Cmbridge sebagai disertasi untuk meraih gelar doktor dalam filsafat. Ia berhasil mengkritik pemikiran Joseph Schacht yang menolak keotentikan hadith dan hasil penelitiannya diakui oleh Prof. A.J Arberry, seoarang tokoh orientalis terkemuka di iniversitas ini pada 1967 M. Kemudian pada 1980 M/1400 H, al-‘Azhamiy mendapat hadiah King Faysal Internasional dalam Studi Islam. Lihat, Muhammad Musthafa al-‘Azhamiy, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikhi Tadwinih, (Beirut: al-Maktab al-Islamiy, 1992), juz. 1, h. Iv-7, dan Ali Musthafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), 25-27.

20 Al-Syāfi’i , al-Umm, (Beirut: al-Ma’rifah, 1983), cet. Ke. 2, 50-255.

21 Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadith, 56.8

Page 9: Makalah Inkar Sunnah 1

c. Jika sunnah diantara fungsinya sebagai penguat (ta’kid) terhadap

hukum dalam al-Qur’an, maka yang diikuti adalah al-Qur’an bukan

sunnah.

d. Jika sunnah memberikan perincian terhadap globalitas hukum yang

dikandung al-Qur’an, maka tidak mungkin terjadi al-Qur’an yang

bersifat qath’īy dan yang menjadi kafir pengingkarnya sekalipun satu

huruf daripadanya, diterangkan dengan sunnah yang bersifat zhanniy

dan tidak kafir pengingkarnya.

e. Sunnah mutawatirah tidak dapat memberikan arti kepastian (qath’īy ),

karena prosesnya melalui ahad. Boleh jadi, di dalamnya terdapat

kebohongan.

Secara garis besar, Abu Zahrah berkesimpulan bahwa ada tiga

kelompok pengingkar sunnah yang berhadapan dengan al-Syāfi’i , sebagai

berikut:

a. Menolak sunah secara keseluruhan, golongan ini hanya mengakui al-

Qur’an saja, golongan ini hanya mengakui al-Qur’an saja yang dapat

dijadikan hujjah.

b. Tidak menerima sunnah kecuali yang semakna dengan al-Qur’an.

c. Hanya menerima sunnah mutawatir saja dan menolak selain mutawatir

yakni ahad.22

b. Inkar Sunnah Modern

Prof. Dr. Ahmad Majid Khon di dalam bukunya yang berawal dari

karya ilmiah disertasinya Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan

Ilmu Hadith menjelaskan gerakan ingkar sunnah modern terjadi di

beberapa tempat. Muhammad Musthafa al-‘Azhamiy, sejarah ingkar

sunnah klasik terjadi pada masa Imam al-Syāfi’i pada abad ke-2 H/7 M

kemudian hilang dari peredarannya selama kurang lebih 11 abad.23

Kemudian pada abad modern, ingkar sunnah timbul kembali di India dan

Mesir dari abad ke-19 M/13 H hingga sekarang.

22 Al-Syāfi’i , al-Umm, h. 292, dan al-Risālah, Ed. Ahmad Muhammad Syakir, (Kairo: Dār a-Turāth, 1979), cet. Ke-2, 369-387. Bagi Imam al-Syāfi’i sunnah mutawatir disebut khabar ‘ammah dan sunnah selain mutawatir (ahad) disebut khabar khaṣ. Lihat. Abū Zahrah, Tārīkh al-Madhāhib al-Islāmiyah, 449450 dan al-Syāfi’i Hayātuh wa ‘Aṣruh Arā’uh wa Fiqhuh, (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabi, 1996), 193.

23 Muhammad Musthafa al-‘Aẓamīy, Dirāsat fi al-Hadīth al-Nabawi wa Tārīkhi Tadwīnih, 26.9

Page 10: Makalah Inkar Sunnah 1

a. Inkar Sunnah India

Dalam sejarah tercatat, ada dua gerakan penghancur Islam di India

pada abad ke-19 M ini, yakni al-Qaḍiniyah dan al-Qur’āniyah. Al-

Qaḍiniyah adalah kelompok Mirza Ghulam Ahmad al-Qadhihaniy (w.

1908 M) yang mengaku menjadi Nabi dan Rasul yang kemudian

disebut gerakan Ahmadiyah. Adapun Qur’aniyah, al-Qur’aniyūn atau

ingkar sunnah dipimpin pendirinya Ghulam Nabi yang dikenal

Abdullah Jakralevi (w. 1918 M) mengingkari seluruh sunnah.24

Diduga ada dua orang yang membidani lahirnya gerakan al-

Qur’āniyyūn di India pada akhir abad ke-19 yaitu Muhib al-Haqq

Adzim Abadi di Bihar India Timur dan Abdullah Jakralevi (w. 1918

M) di Lahore.25 Para tokoh ingkar sunnah yang lainnya di India adalah

Sayyid Ahmad Khan, Ciragh Ali, Maulevi Abdillah Jakralevi, Ahmad

al-Din Amratserri, Aslam Cirachburri, Ghulam Ahmad Parwez, dan

Abdul al-Khaliq Malwadah.26

Sebab utama timbulnya ingkar sunnah modern ini adalah akibat

pengaruh kolonialisme yang semakin dahsyat sejak awal abad 19 M di

dunia Islam, terutama di India setelah terjadinya pemberontakan

melawan kolonial Inggris pada tahun 1857 M. Berbagai usaha yang

dilakukan kolonial untuk pendangkalan ilmu agama dan umum,

penyimpangan akidah melalui pimpinan umat Islam, dan tergiurnya

mereka terhadap teori-teori Barat untuk memberikan interpretasi

hakikat Islam.27 Seperti yag dilakukan oleh Ciragh ‘Ali, Mirza Ghulam

Ahmad al-Qadiyani, dan para tokoh yang mengingkari hadith jihad

dengan pedang, dengan cara mencela-cela hadith.

24 Khadim Husayn Ilāhiy Najsy, al-Qur’āniyyūn wa Syubūhatuhum Hawla al-Sunnah, (Thaif: Maktabah al-Shiddiq, 1989), cet. Ke-3, 19.

25 Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadith, h. 60.

26 Al-Qur’āniyyūn wa Syubūhatuhum Hawla al-Sunnah, 57 dan 63.

27 Ibid, 21-24.10

Page 11: Makalah Inkar Sunnah 1

Pada masa modern ini, terdapat empat kelompok al-Qur’āniyyūn di

India yang mempunyai dua prinsip, yaitu: Pertama, berpedoman hanya

pada al-Qur’an baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Kedua,

hadith Nabi bukan sebagai hujjah dalam beragama. Empat kelompok

ini antara lain; Umat Muslim Ahl al-Dzikr wa al-Qur’an,28 Umat

Muslimah,29 Thulu’ Islam,30 dan Ta’mir Insaniyat.31

Dibawah ini akan penulis tampilkan pengingkar sunnah India

Ahmad Khan dan Ciragh Ali karena pemikiran keduanyalah yang

dijadikan refrensi dan diikuti gerakan al-Qur’āniyyūn berikutnya.

a. Ahmad Khan

Nama lengkapnya adalah Ahmad Khan bin Ahmad Mir al-Muntai

bin ‘Imad al-Husayniy, lahir di Delhi 17 Oktober 1817. Sejak kecil

ia belajar al-Qur’an kemudian belajar bahasa Arab dan Persia. Pada

28Kelompok ini dipimpin oleh Abdullāh Jakralevi, seorang syaikh dan penngerak atau pencetus Qur’āniyah. Diantara tulisannya Tarjamat al-Qur’ān bi āyat al-Furqān (al-Qur’an dijelaskan dengan ayat al-Qur’an juga). Kelompok ini mempunyai majalah yang disebut Balāgh al-Qur’ān yang berisikan pikiran mereka. Ia tinggal di Lahore, Pakistan, membawahi sekitar 100 orang pengikut yang memiliki beberapa markas di berbagai kota di Pakistan pusatnya di Dār al-Qur’an 110 Semanabad Lahore. Disini ada masjid yang tdak pakai mihrab yang emuat sekitar 100 orang shalatnya tiga kali dalam sehari semalam dan mengingkari salam ketika izin masuk rumah. Baginya tidak ada yang membatalkan wuduhu sperti menyentuh alat vital, mengeluarkan darah dan tidak ada adzan sebelum shalat, karena al-Qur’an tidak menjelaskannya, hadith yang menjelaskan ini bohong. Lihat, Al-Qur’āniyyūn wa Syubūhatuhum Hawla al-Sunnah, 57-58, dan 368.

29 Kelompok ini dipimpin oleh Ahmad al-Din Amratserri bin al-Khwajah Miyan Muhammad (1861-1933 H) di India. Pernah mempunya majalah al-Bayān dan Balāgh, tetapi belakangan tidak terbit karena kondisi ekonomi. Kelompok ini mempunyai banyak markas, pusatnya di Dār al-Qur’an 3 Lahore. Diantara pemikirannya shalat hanya dua waktu yakni shalat fajar dan Isya yang ketiga tidak wajib. Shalat boleh dikerjaan empat atau dua raka’at dan tidak harus menghadap kiblat ke Ka’bah. Namun belakangan shalat mereka lahirnya sama dengan muslim lain lima waktu dan puasa dalam bulan suci Ramadhan. Lihat, Al-Qur’āniyyūn wa Syubūhatuhum Hawla al-Sunnah, 59, dan 373-375.

30 Pendirinya adalah Ahmad Parwez bin Fadhal Din, lahir pada tahun 1903 di Punjab Timur India, kemudian ia pindak ke Pakistan setelah kemerdekaannya. Pelajaran yang dierikan pada kelomok ini adalah pelajaran tafsir al-Qur’an. Diantara pemikirannya adalah di dalam al-Qur’an tidak ada keterangan bahwa Nabi pernah shalat mengadap Bait al-Maqdis kemudian berubah ke Mekkah. Al-Qur’an juga tidak menjelaskan hadapan shalat ke Ka’bah yang ada menghadap ke Mekkah untuk menyatukan umat Islam. Pemerintah Qur’aiyah boleh mengubah dan mengganti bagian shalat yang tidak ditetapkan al-Qur’an. Lihat, Al-Qur’āniyyūn wa Syubūhatuhum Hawla al-Sunnah, h. 60-61, dan 377-378.

31 Kelompok ini dikomandoi oleh Adul Khaliq Malwadah, salah seorang pimpinan yang memiliki bakat peceramah ang dapat memikat pendengarnya, ia berpendidikan magister bahasa Arab tetapi juga menguasai bahasa Urdu dan Inggris. Diantara pemikirannya adalah tidak lebih dari apa yang diperintah Allah untuk mengikuti apa yang diturunkan-Nya dalam al-Qur’an. Lihat, Al-Qur’āniyyūn wa Syubūhatuhum Hawla al-Sunnah, 62-63.

11

Page 12: Makalah Inkar Sunnah 1

1838, ayahnya meninggal. Karirnya diawali menjadi juru tulis

tingkat rendahan di Serikat India Timur (EIC) Delhi.32

Pikirannya tidak mau terbelenggu oleh otoritas hadith dan fiqh.

Semua ini diukur dengan kritik rasional. Akibatnya, ia menolaj

semua hal yang bertentangan dengan logika dan hukum alam.

Pertama-tama ia hanya mau mengambil al-Qur’an sebagai yang

menentukan bagi Islam; sedang yang lainnya adalah membantu dan

kurang begitu penting. Ia menolak hadith yang berisi moralitas

sosial yang dihimpun oleh masyarakat Islam abad pertama atau

abad kedua. Ia mulai sama sekali dari al-Qur’an dan dibawa untuk

menguraikan tentang tentang relevansinya dengan masyarakat baru

pada zamannya33, dan disesuaikan dengan logikanya saja tanpa

melihat petunjuk lafaznya dan ijma’ para ulama. Maka, ia menolak

surga, neraka, malaikat, jin serta mencaci ulama fikih, ahli hadith

dan syair Islam.

Diantara pemikirannya yang lain yang dihimpun dalam

makalahnya adalah sebagai berikut:34

1. Al-Qur’an diturunkan kepada Rasul secara makna saja sedang

redaksinya dari Rasul sendiri.

2. Berita ghaib dan sunnah ia takwilkan dengan pendapat akalnya.

Misalnya, hadith tentang malaikat menulis ketentuan janin dala

kandungan sang ibu, tentang rezeki, dan ajal ditakwilkan

latihan perbuatan yang akan diperbuat anak stelah lahir, setan

ditakwilkan kekuatan musuh dan lain-lain.

3. Meragukan otentisitas sunnah karena ia hanya ditulis

berdasarkan ingat-ingatan periwayat saja dalam tempo waktu

yang lama dari masa Nabi, maka tidak lepas dari tambahan-

tambahan.

32 Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadith, h. 81.

33 Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1996), cet. Ke. 3, h. 20.

34 Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadith, h. 82-83.12

Page 13: Makalah Inkar Sunnah 1

4. Hadith yang tertulis dalam berbagai kitab sesungguhnya

ungkapan para periwayat, kita tidak tahu lafaz yang asli dari

Nabi SAW. Ungkapan ini adakalanya sesuai dengan ungkapan

Nabi dan adakalanya tidak, maka tidak heran jika sebagian

periwayat salah dalam memahami hadith.

5. Segala hukum prodik hadith tidak wajib diikuti umat Islam,

karena ia hanya produk ijtihad para ulama dan ada

kemungkinan bukan demikian yang dimaksudkan Nabi SAW.

6. Para periwayat hadith sekalipun yang paling agung seluruhnya

tidak ada yang dapat dipercaya karena mereka telah lama wafat

kemudian diadakan penelitian tentang diterima atau ditolaknya

suatu hadith. Jikalau hal ini mustahil, adalah sesuatu yang

sangat sulit.35

Uraian diatas menunjukkan bahwa Sayyid Ahmad Khan

menolak seluruh sunnah yang tidak sesuai dengan logika dan

meragukan validitasnya, sebab ia dihimpun para ulama abad

pertama atau kedua.

a. Ciragh Ali

Ciragh Ali bin Muhammad dilahirkan pada 1844 M. Studinya

hanya sampai pada tingkat Mutawassithah (SMA), tetapi

karena kesungguhan dan kecerdasannya ia mempunyai

kedudukan. Ia meninggal pada 15 Juni 1898 dan dimakamkan

di Bombay, India.36 Menurut Dr. Musthafa al-Siba’iy yang

dikutip oleh Khadim Husein Ilahiy Najsy, kaum imperialis

sadar bahwa umai Islam India tidak mungkin dapat dicegah

berperang dengan pedang, maka mereka berusaha mencaci

hadith tentang jihad. Ciragh Ali dan al-adiyani sebagaimana

Ahmad Khan dan lain-lain bergerak dalam hal ini. Diantara

pemikiran Ciragh Ali tentang sunnah, sebagai berikut:

1. Menolak hijab yang diperintahkan Islam seperti

ungkapannya, Nabi SAW tidak perintah dan tidak melarang

35 Al-Qur’āniyyūn wa Syubūhatuhum Hawla al-Sunnah, h. 102-105.

36 Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadith, h. 84.13

Page 14: Makalah Inkar Sunnah 1

istri-istrinya mengenakan hijab, tetapi memelihara tradisi

cara berpakaian sebagaimana juga fiqh Islam tidak perintah

menutup muka dan tangan.

2. Nabi melarang sistem perbudakan, tawanan peperangan

harus dibebaskan tanpa tebusan dan pembunuhan.

3. Periwayatan tentang penjualan Bani Quraidhah dan anak-

anak mereka tidak benar, apalagi ketundukan Nabi terhadap

keputusan Sa’ad, karena keputusan ini bertentangan dengan

hukum al-Qur’an.

4. Al-Qur’an adalah kitab yang sempurna dari berbagai segi

dan selalu relevan dengan perkembangan zaman jika

penafsirannya bagus dan pengikutnya akan mencapai

kemajuan. Tetapi jika al-Qur’an ditafsirkan sebagaimana

ahli tafsir yang ada dan mengikuti periwayatan hadith yang

bohong/maudhu’, maka umat menjadi mundur. Mayoritas

sunnah maudhu’ hanya sedikit yang shahih, ia tidak lebih

khayalan dan renungan para ulama atau dalil aalogi dan

ijma’i.37

Dapat disimpulkan pemikiran Ciragh Ali tentang sunnah bahwa

ia mengingkarinya sebagai dasar hukum Islam. Ia hanya

berpedoman pada al-Qur’an saja dalam beragama. Dari Ciragh

Ali dan Ahmad Khan dilanjutkan oleh Abdullah pendiri ahl al-

Dzikr wa al-Qur’an empat tahun setelah meninggalnya Ahmad

Khan dari sinilah disebarkan berbagai kerancuan dalam sunnah

tersebut.

b. Ingkar Sunnah di Mesir

Gejala timbulnya ingkar sunnah awal di Mesir modern beriringan

dengan dengan perkembangan modernisasi yang dipelopori oleh para

reformis seperti Syaikh Muhammad Abduh dan murid-muridnya

diantaranya Muhammad Rasyid Ridha yang membawa pengaruh besar

bagi perkembangan dunia Islam khususnya di Mesir dalam

37 Al-Qur’āniyyūn wa Syubūhatuhum Hawla al-Sunnah, h. 107-110.14

Page 15: Makalah Inkar Sunnah 1

perkembangan kebebasan berpikir dan berijtihad setelah mengalami

stagnasi sekian lama.38

Diantara tokoh ingkar sunnah Mesir antara lain:

a. Tawfiq Shidqy39

Isu ingkar sunnah awal di Mesir modern dikemukakan oleh

Tawfiq Shidqiy dalam artikel kontroversialnya yaitu “al-Islam

Huw al-Qur’an Wahdah”40 pada majalah al-Manar pimpinan

Muhammad Rasyid Ridha.41 Artikel ini mengundang reaksi

keras para ulama dan kritikus, sehingga ia harus melayani

jawaban selama kurang lebih 4 tahun yang memenuhi halaman

majalah ini.42

Setelah selesai menyelesaikan studi, ia banyak menulis artikel

ilmiah dan berwawasan di berbagai majalah dan Koran harian,

seperti di al-Manar, al-Mu’ayyad, al-Liwa’, al-Sya’ab, dan

al-‘Ilm. Diantara judul artikel yang kontroversia adalah al-

Islam Huw al-Qur’an Wahdah. Buah pikiran Tawfiq Shidqiy

dapat ditelaah dari artikel tersebut, diantaranya:

1. Hanyalah al-Qur’an yang diwahyukan Allah secara mutlak dan

tidak terjadi kesalahan, sedangkan sunnah tidak demikian.

2. Islam hanyalah al-Qur’an, tidak perlu tambahan lain, karena al-

Qur’an teah sempurna tidak perlu disempurnakan. Sunnah

bersifat kontemporer hanya berlaku pada masa Nabi saja dan 38Ijtihad mengalami stagnasi pada masa kemunduran (1250-1800 M). Pendapat yang itimbulakn zaman desintegrasi (1000-1250 M), bahwa ijtihad telah tertutup diterima secara umum pada masa ini. Antara mazhab empat terdapat suasana damai dan di madrasah diajarkan mazhab empat ini. Perhatian pada ilmu pengetahuan sedikit sekali. Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI-Press, 1985), cet. Ke-5, h. 83 dan Pembaruan dalam Islam Sejarah, Pemikiran, dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), cet. Ke-7, h. 62.

39Tawfiq Shidqiy adalah salah seorang dokter yang bertugas di salah satu Lembaga Kemasyarakatan di Kairo, Mesir. Ia dilahirkan pada 24 Syawwal 1298 H/1881 M. pada masa usia remaja masuk ke Maktab untuk mempelajari al-Qur’an dan menghafalnya, sejak itu ia telah tampak adanya kecenderungan pada masalah yang bersifat religius dan realisasinya dalam ilmu modern. Kemudian ia menamatkan sekolah dasar tahun 1896 M, sekolah menengah tahun 1900 M, sekolah kedokteran tahun 1904 M.

40Tawfiq Shidqiy, “al-Islām Huw al-Qur’an Wahdah (‘āra wa Afkār),”, dalam al-Manar, (Mesir: Mathba’ah al-Manār, 1906), jiz. 7, jilid. 9, 515-525.

41 Al-Islām Huw al-Qur’ān Wahdah, 906-925.

42 Muhammad Rasyid Ridha, “Tarjamah al-Thabīb Tawfiq Shidqiy,” dalam al-Manār, juz. 9, jilid. 21, 492-494.

15

Page 16: Makalah Inkar Sunnah 1

bagi bangsa Arab saja. Bagi umat yang hidup setelah masa

Nabi atau bagi bangsa non Arab boleh tidak pakai sunnah.

3. Nabi melarang penulisan sunnah. Seandainya sunnah menjadi

sumber hukum Islam pasti Nabi perintah menulis seperti al-

Qur’an.

4. Ia menolak seluruh sunnah baik mutawatir maupun ahad,

seperti tata cara shalat. Menurutya, tata cara shalat telah

disebutkan dalam berbagai ayat al-Qur’an secara terpisah

seperti berdiri, duduk, ruku’, sujud, tasbih, takbir, dan

membaca al-Qur’an. Sementara jumlah raka’at shalat qashr

dalam keadaan khawf (perang) yaitu dilaksanakan dua raka’at.

Jadi kewajiban minimal dalam shalat adalah dua raka’at dan

boleh ditambah sesuai dengan kondisinya dengan asas tidak

berlebihan.43

b. Mahmud al-Rayyah

Mahmud al-Rayyah adalah salah seorang penulis modern

berkebangsaan Mesir. Pada masa mudanya pernah belajar di al-

Azhar sampai ke tingkat Tsanawiyah (SMU), akan tetapi

mengalami kegagalan tidak luls lebih satu kali.44

Pada 1945, ia menulis sebuah artikel yang berjudul “Hadits

Muhammad” di al-Risalah yang memuat pikirannya tentang

hadith yang menyalahi kepercayaan para ulama a’-Azhar.

Maka, terjadilah polemik dengan mereka, diantaranya dengan

Abu Syahbah sendiri menolaknya bahkan menyarankan agar ia

meralat tulisannya, tetapi dengan pendiriannya, Mahmud al-

Rayyah menolaknya dengan artikel kedua yang tetap

mempertahankan pendiriannya.45

Diantara pemikiran Mahmud Abu Rayyah adalah sebagai

berikut:

43 Tawfiq Shidqiy, Al-Islām Huw al-Qur’ān Wahdah, 907, 911, dan 916, juz. 7, jildi. 9, 515, 517, 518.

44 ‘Imād al-Sayyid, al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Kiābat A’dā al-Islām, (Tesis di Fakultas Ushuluddin, Kairo, Mesir, 1999), 34-35.

45 Abū Syahbah, Difā’ al-Sunnah, (Kairo: Maktabah al-‘Ilm, 1995), cet. Ke. 1, 34-35.16

Page 17: Makalah Inkar Sunnah 1

1. Buku induk hadith tidak dapat dijadikan pedoman dalam

beragama untuk umum sebagaimana al-Qur’an, karena ia

merupakan hasil ijtihad para ulama belakangan.

2. Abu Rayyah dengan mengutip berbagai pendapat ulama

yang kontra berkesimpulan, bahwa secara keseluruhan

hadith hanya ahad yang berfaedah zhann (menduga-duga)

dan tercela menurut al-Qur’an, sedang hadith mutawatir

tidak mungkin terjadi karena kelangkaan persyaratan.46

c. Ingkar Sunnah di Indonesia

Penulis menambahkan sekilas dalam pembahasan

ingkar sunnah modern yang terjadi di Indonesia. Pemikiran

modern ingkar sunnah muncul di Indonesia secara terang-

terangan kira-kira pada tahun 1980-an. Persisnya sekitar tahun

1982-1983.47 Sekitar tahun 1980-an, paham pemikiran modern

ingkar sunnah di Indonesia bergerak di beberapa tempat pada

1983-1985 mencapai puncaknya sehingga menghebohkan

masyarakat Islam dan memenuhi halaman berbagai harian

koran dan majalah. Pusat pergerakan mereka di Jakarta yang

mendominasi jumlah pembawanya yang terbanyak, kemudian

di Bogor, Jawa Barat; Tegal, Jawa Tengah, dan Padang,

Sumatera Barat.48

Secara umum, pokok-pokok ajaran ingkar sunnah yang

tersebar di Indonesia antara lain:

1. Tidak mengakui dua kalimat syahadat.

2. Tidak mengakui shalat lima waktu dan azan iqamat setiap

waktu .

3. Menghilangkan shalat berjamaah setiap waktu.

4. Tidak ada kewajiban puasa Ramadhan, zakat fitrah dan

shalat Jum’at.

46 Mahmud Abu Rayyah, ‘Aḍwā’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, (Kairo: Dār al-Ma’ārif, t.th), cet. Ke. 6, . 19-22, 250-252, 380-381.

47 Zufran Rahman, Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum Islam (Jawaban Terhadap Ingkar Sunnah, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1995), cet. Ke-1, h. 162.

48 Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadith, h. 100.17

Page 18: Makalah Inkar Sunnah 1

5. Orang meninggal tidak boleh dimandikan, dikafankan, dan

dishalatkan.

6. Allah dan Rasul manunggal (dwi tunggal) mengikuti hadith

Nabi haram.

7. Tidak mengakui adanya shalat Idul Fitri, Idul Adha, dan

shalat Tarawih.

8. Nabi Muhammad tidak berhak menerangkan agama yang

membinasakan umat.49

3. Argumentasi Ingkar Sunnah

Sebuah statemen yang muncul tak ubahnya seperti bangunan, untuk

dapat berdiri kokoh harus didukung oleh beberapa komponen sebagai pilar

penyangga dan penopangnya. Demikian pula dengan kelompok Ingkar Sunnah

telah mengajukan berbagai argumentasi yang dikedepankan sebagai upaya

memberikan justifikasi terhadap statemen yang mereka landingkan. Ditilik

dari argumentasi yang mereka ajukan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

argumentasi dalam bentuk nas secara tekstual (naql) dan argumentasi

berdasarkan logika formal (‘aql).

1. Argumentasi berdasarkan nash secara tekstual

a. Sesuatu yang akan menjadi landasan agama haras bernilai pasti. Dan

yang secara jelas terbukti kepastiannya dalam segala segi hanya al-

Qur’an, sementara sunnah masih bernilai zhanni. Berdasarkan fiman

Allah SWT;

“Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”50

b. Pendapat lain mengatakan, secara kuantitas hadith mutawatir sangat

minim sekali jika dibandingkan dengan hadith yang secara kualitas

bernilai ahad, sementara yang ahad itu bersifat zhann. Agama tidak

bisa dilandaskan pada konspirasi antara al-Qur’an dengan hadith yang

49 M Amin Djamaluddin, Bahaya Ingkar Sunnah, (Jakarta: LPPI, 2000), cet. Ke-3, 48-69.

50 QS. Al-Baqarah, 2:2.18

Page 19: Makalah Inkar Sunnah 1

bernilai zhann, karena gabungan antara yang pasti dengan zhann akan

melahirkan bentuk zhann juga. Dasarnya firman Allah SWT;

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.”51

c. Al-Qur’an tidak memerlukan penjelasan karena al-Qur’an merupakan

penjelasan bagi segala hal. Dalam statemennya disebutkan, al-Qur’an

diturunkan secara rinci. Implikasinya semua ayat yang telah diturunkan

sudah jelas dan tidak memerlukan penjelasan lagi. Berdasarkan firman

Allah SWT;

“Padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci?”52

d. Konsekuensi dari pandangan diatas, bagi mereka yang tetap

berpendapat perlunya penjelasan bagi al-Qur’an, berarti secara tegas

telah mendustakan eksistensi dan substansi al-Qur’an sebagai penjelas

bagi segala hal secara tuntas tanpa ada yang luput dan teralfakan di

dalamnya. Berdasarkan firman Allah SWT;

“Tiadalah Kami alfakan sesuatupun dalam al-Kitab.”53

e. Hanya al-Qur’an yang memilki otoritas dan legitimasi menjadi sumber

hukum Islam. Untuk itu Allah telah menjamin kelestarian, keutuhan

dan keorisinilannya sampai hari kiamat. Sesuai dengan firman Allah

SWT;

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”54

51 QS. Al-Isra, 17:36.

52 QS. Al-An’am, 6: 114.

53 QS. Al-An’am, 6:38.

54 QS. Al-Hijr, 15:9.19

Page 20: Makalah Inkar Sunnah 1

Argumentasi ini dipegang Rasyid Ridha dan Tawfiq Shidqyi, Abu

Rayyah dan para pengingkar sunnah dari Pakistan.55 Sedangkan kelompok lain

berpendapat, hadith tidak dapat dikategorikan sebagai wahyu, karena bisa

dikatakan wahyu tentu akan ada jaminan atau garansi dari Allah SWT untuk

memelihara kelestarian dan keorisinalannya sampai hari Kiamat nanti.

Masih banyak lagi argumen-argumen lain yang dijadikan hujjah dan

pegangan untuk melegitimasi dan menjustifikasi pandangannya. Dalam

perjalanannya kelompok ini telah menemui rintangan dan kritikan baik yang

bernada keras maupun ringan, terutama dari kelompok yang mengklaim diri

sebagai kelompok pembela sunnah, dengan melakukan berbagai tindakan

preventif terhadap kemungkinan semakin meluasnya pengaruh dan akibat

yang ditimbulkan oleh kelompok ini. Juga sebagai pembelaan terhadap

eksistensi dan substansi sunnah dari upaya penggerogotan yang dilakukan oleh

mereka yang menentang sunnah Nabi sebagai sumber ajaran Islam.

2. Argumentasi berdasarkan dalil ‘aqli

Maksud dalil ‘aqli disini, yaitu dalil yang tidak secara langsung

disandarkan pada teks teks al-Qur’an, akan tetapi dengan cara analisis dan

elaborasi melalui penalaran akal secara logis-obyektif, walaupun sisi-sisi

argumentasi itu ada yang bersinggungan dengan sisi tertentu dari ayat al-

Qur’an maupun sunnah Nabi. Diantara argumentasi tersebut yang patut

dikedepankan adalah;

a. Al-Qur’an ditransformasikan Allah SWT dalam bahasa Arab, yang

notabene sebagai bahasa sehari-hari komunitas masyarakat muslim

dimana al-Qur’an itu diturunkan. Tentu bagi orang mampu memahami

bahasa Arab dari segi balaghah, uslub dan tata bahasa secara baik dan

benar, dalam memahami al-Qur’an tidak memerlukan perantara

termasuk dari hadits atau sunnah dalam menangkap pesan-pesan moral

al-Qur’an dengan pemaknaan yang benar dan lebih komprehensif.

b. Realitas sejarah menunjukkan umat Islam telah terpolarisasi menjadi

beberapa kelompok karena perbedaan paham dalam memahami realitas

agama yang menimbulkan konsekuensi kemunduran Islam dalam

55 ‘Aḍwā’ ‘alā al-Sunnah al-Muhammadiyah, 46-50.20

Page 21: Makalah Inkar Sunnah 1

peraturan dan persaingan internasional sampai saat ini. Salah satu

penyebabnya adalah perbedaan dalam penggunaan hadits sebagai

literatur mereka. Berdasarkan premi diatas dapat ditarik benang merah

bahwa hadits merupakan salah satu penyebab mundurnya umat Islam.56

c. Tawfiq Shidqiy menambahkan, tidak satupun hadith yang dicatat pada

masa Nabi. Dalam rentang waktu tersebut hadith sangat rentan

terhadap upaya memutarbalikkan fakta, dengan cara mempermainkan

dan merusak hadith sebagaimana yang telah terjadi.57

d. Signifikasi metode analisis-korektif yang berwawasan obyektif

terhadap hadith seperti kritik sanad, masih belum representatif dan

masih lemah dalam menentukan keshahihan (realibility) sebuah hadith,

karena dua alasan; pertama kritik sanad yang terdapat dalam ‘ilmu al-

jarh wa al-ta’dil58, baru muncul satu setengah abad setelah Nabi wafat.

Sehingga mata rantai pentransmisian pada masa sahabat Nabi tidak

dapat ditemui dan diteliti lagi. Kedua seluruh sahabat nabi sebagai

perawi pada tingkatan pertama, dinilai semua adil oleh para

muhaddithin abad III H atau awal abad IV H, dengan konsep ta’dil al-

Shahabah, sehingga mereka dikategorikan sebagai orang yang ma'sum

dari kesalahan dan kekeliruan dalam meriwayatkan hadith.

Inilah argumentasi-argumentasi dan dasar statemen mereka sebagai,

upaya justifikasi terhadap statemen yang digutirkannnya. Terlepas dari

benar dan salahnya kita dapat menjadikannya sebagai stimulus bagi

gerakan intelektual muslim, khususnya bagi kalangan muhaddithin dalam

mencari formulasi dan argumentasi yang independen dengan berwawasan

obyektif yang jauh dari kesan apologis, apalagi sikap apriori, tetapi dengan

berlandaskan logika formal merupakan solusi yang realistis.

4. Bantahan Ulama Terhadap Ingkar Sunnah

56 Kasim Ahmad, Hadits Satu Penilaian Semula, (Selangor : Media Intelek, 1986), 14-20.57 Tahir Hakim, Sunnah Dalam Tatanan Pengingkarnya, Alih Bahasa M. Ma’aruf Misbah,(Jakarta : Granada, tt), 14.

58‘Ilm Jarh wa al-Ta’dīl suatu ilmu dengan metode tertentu untuk menentukan cacat dan terpujinya para rawi hadith, yang sangat signifkan dalam menentukan diterima dan ditolaknya sebuah hadith.

21

Page 22: Makalah Inkar Sunnah 1

Menurut ‘Aẓāmīy, tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’an bersifat

konkrit dan pasti. Namun, kekonkritan dan kepastian itu adalah dari segi

keberadaannya (Qaṭ’iy al-Thubūt). Sementara dari segi pengertian yang

terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an itu, tidak selamanya hal itu bersifat

konkrit dan pasti. Ada ayat yang memberikan pengertian konkrit dan pasti,

qaṭ’iy al-Dalālah. Dan ada juga ayat yang memberikan pengertian tidak

konkrit dan pasti, ẓanni al-Dalālah.59

Dalam mengikuti ẓann antara al-Qur’an dan hadith tidak ada

perbedaan. Kita diwajibkan mengikuti al-Qur’an yang terkdang bersifat

dhann pengertiaanya, dan kita suda diwajibkan mengikuti hadith yang

bersifat ẓann keberadaanya.60

Tidak bisa disangkal lagi bahwa para pengingkar Sunnah cenderung

memilah-miilh ayat al-Qur’an, mana yang sesuai dengan gaya berpikir

mereka itulah yang mereka pakai. Namun, apabila ayat tersebut tidak bisa

memback up pemikiran serta argumen mereka maka mereka tidak akan

menggunakkan ayat tersebut sebagai legitimasi.

Memang al-Qur’an merupkan penjelas segala sesuatu seperti yang

telah disebut dalam surat al-An’ām ayat 38:

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.

dan al-Nahl ayat 89,

(dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat

seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami

59 Ali Musthafa Yaqub, Kritik Hadis, 54.

60 Ibid 22

Page 23: Makalah Inkar Sunnah 1

turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.

Namun, mereka enggan melihat ayat lain seperi surat an-Nahl ayat 44,

“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami

turunkan kepadamu al-Qurān, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan.”

C. Kesimpulan

Sejak masa lalu umat Islam sepakat untuk menerima hadith dan

menjadikannya sebagai sumber hukum Islam yang wajib dipatuhi. Pada masa

lalu juga sudah terdapat sejumlah orang atau kelompok yang menolak hadith,

tetapi hal itu lenyap pada akhir abad atau paling tidak pada akhir abad ketiga.

Penolakan hadith ini muncul kembali pada abad ketiga belas hijri yang lalu,

akibat pengaruh penjajahan Barat.

Substansi ingkar sunnah modern (abad ke-19-21 M) sebenarnya tidak

jauh berbeda dengan pemikiran ingkar sunnah klasik (masa Imam Syāfi’i)

yakni sama-sama menolak kehujjahan sunnah sebagai dasar beragama.

Keduanya memiliki tingkatan yang sama dalam penolakan sunnah yakni

adakalanya menolak seluruh sunnah, menolak sebagian sunnah yang tidak

semakna dengan al-Qur’an, dan menolak sunnah ahad saja.

Dalam rangka memperkuat persepsi tentang status sunnah sebagai

dasar hukum Islam, hendaknya kepada semua umat Islam mempelajari ilmu

hadith Dirāyah dan Riwāyah, sehingga mampu memahaminya secara

fungsional, mampu mendeteksi dan meneliti keshahihan periwayatan dalam

sanad dan matan, mampu mengetahui bagaimana perhatian para ulama dalam

periwayatan, penghimpunan, dan pengodifikasian sunnah dengan riset yang

ekstra ketat, teoretis, metodologis, dan seterusnya.

Para pengingkar sunnah modern, hendaknya kembali kepada

pemahaman induk semula yaitu mengikuti pendapat para ulama yang ahli

dalam bidangnya, kecuali jika mereka elah memenuhi kriteria sebagai

23

Page 24: Makalah Inkar Sunnah 1

reformer (mujaddid) dalam sunnah. Jika tidak, kekacauan pemahaman dan

persepsi salah akan terjadi, akibatnya akan meninggalkan mayoritas ajaran

agama Islam, berwawasan sempit, bersikap skeptis dalam kehidupan

beragama, dan menyesatkan umat.

DAFTAR PUSTAKA

Anis, Ibrahim, et al. Al-Mu’jām al-Wasīṭ, Mesir: Mu’jām Lughah al-‘Arabiyyah,

1972, cet. Ke-2, juz 1.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka,

1984, cet. Ke-7.

Tim Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.

Husnan. Gerakan Inkar as-Sunnah dan Jawabannya, T.t: T.tp, T.t.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid.2

Tim penyusun Pustaka Azet, Leksikon Islam.

Majid Khon, Abdul. Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadith,

Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2011.

Husayn Ilahi Najsy. Khadim, al-Qur’aniyūn wa Syubūhatuhum Hawla al-Sunnah,

(Thaif: Maktabah al-Shiddiq, 1989), cet. Ke-1.

24

Page 25: Makalah Inkar Sunnah 1

Shalih. ‘Ulūm al-Hadīth wa Musthalahahuh, Beirut: Dār al-Hadīth, 1989.

Thahān, Mahmud. Taysīr Musthalah al-Hadīth, Beirut: Dār al-Tsaqafah al-Islāmiyah,

1985, cet. Ke-7.

Zahrah, Abū. Tārīkh al-Madhāhib al-Islāmiyah, Beirut: Dār al-Fikr, tt.

Baghdādīy, ‘Abd al-Qāhir bin Muhammad. Al-Farq bain al-Firāq, Kairo: Maktabah

Dar al-Turāth, t.th.

Abū Dāwud, Kitāb al-Sunnah, bab Luzūm al-Sunnah.

Al-Turmudzi, Kitāb al-‘Ilmi, bab Ma Nuhīy ‘anh an Yuqāla.

Hibban, Ibn. Dalam mukaddimah, bāb al-I’tishām bi al-Sunnah.

Al-Mubarakfury, Al-‘Ula, Abi. Tuhfah al-Ahwadzīy bi Syarh Jamī’ al-Turmudziy,

Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.

Al-Hākim al-Naysabūri, Abi ‘Abdillāh. Al-Mustadrak ‘ala ṣaḥīḥayn, Beirut: Dār al-

Ma’ārif, t.th, juz 1.

Yaqub, Ali Musthafa. Kritik Hadis, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995.

Al-Syāfi’i . Al-Umm, Beirut: al-Ma’rifah, 1983, cet. Ke. 2.

Al-Risālah, Ed. Ahmad Muhammad Syakir, Kairo: Dār a-Turats, 1979, cet. Ke-2.

Al-Syāfi’i Haiātuh wa ‘Ashruh Arā’uh wa Fiqhuh, Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabi, 1996.

Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan,

1996, cet. Ke. 3.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI-Press, 1985, cet.

Ke-5.

Pembaruan dalam Islam Sejarah, Pemikiran, dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang,

1984), cet. Ke-7.

Shidqiy, Tawfiq. “Al-Islām Huw al-Qur’ān Wahdah (‘Arā wa Afkār),”, dalam al-

Manār, Mesir: Mathba’ah al-Manār, 1906, jiz. 7, jilid. 9.

25

Page 26: Makalah Inkar Sunnah 1

Ridha, Rasyid, Muhammad. “Tarjamah al-Thabīb Tawfiq Shidqiy,” dalam al-Manār,

juz. 9, jilid. 21.

Sayyid ‘Imād. Al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Kitābat A’dā al-Islām, Tesis di Fakultas

Ushuluddin, Kairo, Mesir, 1999.

Syahbah Abu, Dhifā’ al-Sunnah, Kairo: Maktabah al-‘Ilm, 1995, cet. Ke. 1.

Abu Rayyah, Mahmud. ‘Aḍwā’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, Kairo: Dār al-

Ma’ārif, t.th, cet. Ke. 6.

Zufran, Rahman. Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum Islam (Jawaban

Terhadap Ingkar Sunnah, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1995, cet. Ke-1.

Djamaluddin, M Amin. Bahaya Ingkar Sunnah, Jakarta: LPPI, 2000, cet. Ke-3.

Ahmad, Kasim. Hadits Satu Penilaian Semula, Selangor : Media Intelek, 1986.

Hakim, Tahir. Sunnah Dalam Tatanan Pengingkarnya, Alih Bahasa M. Ma’aruf

Misbah, Jakarta : Granada, tt.

26