ridwan kamil dalam pelukan ayah

4
Foto 01: Ridwan Kamil, Walikota Bandung Sumber: wikipedia.com M. Dirham Okta Raizal – I0212048 Kita semua telah mengenal sosok dari Ridwan Kamil. Sosok pria yang akrab disapa Kang Emil ini merupakan seorang realist yang mana pandangannya terhadap dunia benar – benar merupakan refleksi dari pengalaman hidupnya selama 43 tahun terakhir. Lahir pada 4 Oktober 1971 di Bandung Jawa Barat, Ridwan Kamil (Kang Emil) terlahir sebagai anak kedua dari lima bersaudara. Akibat nama marganya yang berbeda dari saudara – saudara kandungnya yang lain, Kang Emil seringkali merasa perhatian orangtua, terutama ayahnya, terhadap dirinya kurang. Frustasi ini disalurkannya lewat aksi keras seperti berantem dengan sebaya maupun kebandelan – kebandelan lainnya yang memang khas anak seusianya. Meskipun begitu, sang ibu yang merupakan seorang dosen jurusan ilmu farmasi, masih dapat meluangkan sedikit waktunya untuk meredam gejolak emosi yang dialami oleh putra keduanya itu. Namun seiring waktu, kedewasaan dalam pikiran pun muncul dalam batin Kang Emil yang membuatnya dapat menjauhkan pikirannya dari prasangka buruk mengenai perhatian orangtuanya. Ayahnya memang memiliki pribadi yang cukup keras. Namun tak pelak dipungkiri oleh Kang Emil, bahwa ayahnya pula yang memiliki andil cukup besar dalam penentuan jalan hidupnya di bidang arsitektur. Dr. Atje Misbach, S.H (Alm.) merupakan seorang sarjana hukum yang juga menjabat sebagai dosen pengajar di Universitas Padjajaran (UNPAD), Jawa Barat. Pria yang berdasarkan mulut ke mulut merupakan seorang pengajar yang cukup ketat dan keras inilah yang menjadi cambuk yang mengawali perjalanan hidup seorang Ridwan Kamil. Diakui oleh Kang Emil, bahwa sekalipun ayahnya selalu mendidiknya dengan cukup keras, ia pun mengagumi pribadi ayahnya melihat bahwa beliau seringkali ditugaskan ke luar Indonesia. Setiap kali pulang, ayahnya akan selalu memutarkan sebuah slide presentasi yang berisikan foto – foto dirinya yang sedang berada di kota asing kepada keluarganya sambil berceloteh mengenai perjalanannya saat itu. Kisah – kisah dan foto – foto kota asing yang diperlihatkan ayahnya ini memacu khayalan Ridwan Kamil muda untuk mulai menapaki jalur arsitektural. Sering ia, lewat foto – foto tersebut berkhayal mengenai kota – kota impian dimana para pahlawan super tinggal di dalamnya. Berawal dari kecintaannya terhadap media bacaan berupa komik dan hobi berkahayalnya, timbul keinginannya untuk menyaingi sang ayah, untuk melihat langsung keadaan kota – kota yang dikunjungi oleh ayahnya tersebut. Khayalan lah yang membuat kita semua kadang terheran – heran dengan karya – karya milik Kang Emil yang sangat inovatif dan terkadang tidak konservatif (mempertahankan apa yang sudah ada sejak dahulu).

Upload: dirham-okta-raizal

Post on 08-Dec-2015

226 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Ridwan Kamil dan sang ayah

TRANSCRIPT

Page 1: Ridwan Kamil Dalam Pelukan Ayah

Foto 01: Ridwan Kamil, Walikota Bandung

Sumber: wikipedia.com

M. Dirham Okta Raizal – I0212048

Kita semua telah mengenal sosok dari Ridwan

Kamil. Sosok pria yang akrab disapa Kang Emil ini

merupakan seorang realist yang mana pandangannya

terhadap dunia benar – benar merupakan refleksi dari

pengalaman hidupnya selama 43 tahun terakhir. Lahir

pada 4 Oktober 1971 di Bandung Jawa Barat, Ridwan

Kamil (Kang Emil) terlahir sebagai anak kedua dari lima

bersaudara. Akibat nama marganya yang berbeda dari

saudara – saudara kandungnya yang lain, Kang Emil

seringkali merasa perhatian orangtua, terutama

ayahnya, terhadap dirinya kurang. Frustasi ini

disalurkannya lewat aksi keras seperti berantem dengan

sebaya maupun kebandelan – kebandelan lainnya

yang memang khas anak seusianya. Meskipun begitu,

sang ibu yang merupakan seorang dosen jurusan ilmu

farmasi, masih dapat meluangkan sedikit waktunya

untuk meredam gejolak emosi yang dialami oleh putra

keduanya itu. Namun seiring waktu, kedewasaan dalam

pikiran pun muncul dalam batin Kang Emil yang

membuatnya dapat menjauhkan pikirannya dari prasangka buruk mengenai perhatian

orangtuanya. Ayahnya memang memiliki pribadi yang cukup keras. Namun tak pelak

dipungkiri oleh Kang Emil, bahwa ayahnya pula yang memiliki andil cukup besar dalam

penentuan jalan hidupnya di bidang arsitektur.

Dr. Atje Misbach, S.H (Alm.) merupakan seorang sarjana hukum yang juga menjabat

sebagai dosen pengajar di Universitas Padjajaran (UNPAD), Jawa Barat. Pria yang

berdasarkan mulut ke mulut merupakan seorang pengajar yang cukup ketat dan keras

inilah yang menjadi cambuk yang mengawali perjalanan hidup seorang Ridwan Kamil.

Diakui oleh Kang Emil, bahwa sekalipun ayahnya selalu mendidiknya dengan cukup keras, ia

pun mengagumi pribadi ayahnya melihat bahwa beliau seringkali ditugaskan ke luar

Indonesia. Setiap kali pulang, ayahnya akan selalu memutarkan sebuah slide presentasi

yang berisikan foto – foto dirinya yang sedang berada di kota asing kepada keluarganya

sambil berceloteh mengenai perjalanannya saat itu. Kisah – kisah dan foto – foto kota asing

yang diperlihatkan ayahnya ini memacu khayalan Ridwan Kamil muda untuk mulai

menapaki jalur arsitektural. Sering ia, lewat foto – foto tersebut berkhayal mengenai kota –

kota impian dimana para pahlawan super tinggal di dalamnya. Berawal dari kecintaannya

terhadap media bacaan berupa komik dan hobi berkahayalnya, timbul keinginannya untuk

menyaingi sang ayah, untuk melihat langsung keadaan kota – kota yang dikunjungi oleh

ayahnya tersebut. Khayalan lah yang membuat kita semua kadang terheran – heran

dengan karya – karya milik Kang Emil yang sangat inovatif dan terkadang tidak konservatif

(mempertahankan apa yang sudah ada sejak dahulu).

Page 2: Ridwan Kamil Dalam Pelukan Ayah

Setelah kepergian sang ayah yang merupakan figur terpenting dalam hidupnya,

Kang Emil semakin menguatkan dirinya dan terus memotivasi dirinya untuk melangkah maju

dan menyelesaikan studi kuliah S1nya di Institut Teknologi Bandung. Halangan kunjung

mendatangi kehidupan Ridwan Kamil. Sebuah keadaan yang bisa dibilang

ketidakberuntungan karena dilahirkan di dalam keluarga yang kurang berada, memaksa

Kang Emil untuk mencari penghasilan tambahan akibat kebutuhan seorang mahasiswa

jurusan arstek yang cukup mahal. Memanfaatkan kemampuan wirausaha yang telah

diasahnya sejak bangku sekolah dasar (berjualan es mambo hasil racikannya sendiri)

membuat Kang Emil bisa melewati masa perkuliahannya dengan cukup lancar.

Mengerjakan ilustrasi cat air untuk para dosen, membuat maket, dll semuanya beliau

kerjakan untuk mempertahankan posisinya sebagai mahasiswa. Jiwa kewirausahaannya ini

juga memicunya untuk menyelesaikan studi S1nya untuk kemudian membangkitkan

keberaniannya menantang belantara Amerika. Inilah saat semesta mempertemukan Kang

Emil dengan seorang wanita yang mengikat hidupnya, Atalia Praratya. Sebuah takdir cinta

tertulis yang akhirnya mengikat keduanya dalam sebuah ikatan pernikahan. Setelah

menikah, Kang Emil pun memboyong istrinya turut serta ke belantara Amerika. Namun untuk

kesekian kalinya, motivasinya itu sedikit dibanting oleh kenyataan bahwa dalam empat

bulan pertamanya bekerja, beliau dipecat akibat krisis moneter. Krisis moneter yang saat itu

melanda Indonesia menyebabkan klien Indonesianya tidak membayar hasil pekerjaannya

menyebabkan kepercayaan yang dibangun Kang Emil jatuh di mata atasannya. Namun

alih – alih jatuh, Kang Emil justru semakin nekat untuk bertahan hidup di sana, sebuah

keputusan yang lebih banyak disebabkan oleh rasa malu untuk pulang kembali ke rumah

padahal baru empat bulan beliau lewati di Amerika. Ketika gengsi telah mengalahkan akal

sehat, maka bulatlah tekad Kang Emil untuk memperkuat lagi “amunisi”nya dengan

melanjutkan studi S2 di California University, Berkeley hingga akhirnya lulus dan hijrah ke

Hong Kong untuk mengenyam pengalaman bekerja lebih banyak. Tutur Kang Emil, bahwa

dirinya terkenang akan masa – masa itu ketika demi bertahan hidup, dirinya rela hanya

mengisi perutnya sekali dalam sehari dengan menu yang sederhana demi membiayai

kuliahnya.

Setelah dirasa beliau pengalaman kerjanya sudah cukup, Kang Emil pun kembali ke

Indonesia. Kembalinya beliau ke Indonesia menjadi awal mula turning point dalam diri

Ridwan Kamil. Dengan amunisi yang lebih lengkap berupa ijazah kelulusan S2nya dari

Amerika, Kang Emil lalu mulai membangun bendera bisnis pribadinya. Bukan hal yang

mudah, tuturnya. Pasalnya, target yang ia buat pun memiliki lika – liku yang harus dilalui.

Dalam empat tahun pertamanya, Kang Emil menargetkan untuk membangun reputasi dari

sisi komersial. Membangun kota dengan cara menggerakan dulu roda – roda arogan yang

berdiri di puncak ekonomi saat itu. Empat tahun berikutnya akan digunakan untuk

membangun kalangan Masyarakat Miskin Kota. Lebih lanjut beliau mengatakan, bila orang

bertanya – tanya mengapa saya sangat memperhatikan masyarakat miskin sejujurnya

bukan atas dasar cari muka dsb. Ini karena beliau sangat mengingat perjuangan hidupnya

dulu yang juga luntang – lantung.

Kini Ridwan Kamil telah mengkokohkan posisi firma yang dibangunnya, yang

bernama Urbane, di Indonesia. Meraih banyak prestasi dalam kinerjanya, membuat

namanya semakin diakui. Bukan hanya di Indonesia, jejak – jejak tangan Urbane telah

mencapai berbagai negara di belahan dunia lain. Sebagai seorang yang tumbuh dari

keluarga yang sederhana, ini merupakan pencapaian yang luar biasa untuk pribadi Ridwan

Kamil. Sang ayah yang berpribadi tegas dan sang ibu yang penyayang selau menekankan

nilai – nilai moral dalam kesederhanaan kepada Kang Emil bersaudara. Nilai kesederhanaan

Page 3: Ridwan Kamil Dalam Pelukan Ayah

Sumber: urbane.co.id

Sumber: urbane.co.id

ini yang turut ambil andil dalam beberapa desain arsitektur yang dihasilkan oleh Kang Emil.

Tengok saja karya – karya beliau seperti Masjid Al-Irsyad di Parahyangan (Bandung Barat),

Paramount Lakes di Serpong, Hotel Santika Premiere Medan, Museum Taufik Hidayat di

Jakarta, Masjid Semarang, Masjid Gegarkalong Bandung, Museum Tsunami Aceh, Masjid

Bintaro Tangerang, hingga Rumah Botol milik Kang Emil pribadi.

Masjid masjid yang telah disebutkan di atas, dapat dikategorikan sebagai sederhana

secara massa. Bentuk bangunan dari masjid – masjid tersebut merupakan bentuk geometri

dasar yang biasa kita temui di tiap jenjang pendidikan. Pengolahan massanya pun sangat

sederhana. Pada masjid – masjid tersebut, di kulit bangunannya terdapat pengolahan

dengan menempatkan lafadz – lafadz qurani di permukaannya. Pada Masjid Al-Irsyad,

lafadz tersebut diolah menjadi bukaan ventilasi bangunan. Pada Masjid Semarang

digunakan sebagai medium untuk pengurangan massa sehingga terjadi bentuk massa yang

berlubang. Sedangkan pada Masjid Gegarkalong, lafadz digunakan sebagai ornamen.

Pada Masjid Bintaro kurang terlihat namun bentuk bangunannya jelas sederhana hanya

berupa balok yang tertumpuk.

Contoh bangunan lainnya pada paragraf sebelumnya juga mengalami

penyelesaian desain yang kurang lebih sama. Bentuk massa yang sederhana. Namun

sangat luar biasa bahwa kesederhanaan itulah yang membuat desain – desain tersebut

“bersinar” dan diterima oleh banyak pihak.

MASJID AL-IRSYAD MASJID SEMARANG

MASJID GEGARKALONG MASJID BINTARO

PARAMOUNT LAKE SERPONG MUSEUM TSUNAMI

MUSEUM TAUFIK HIDAYAT

MASJID AL-IRSYAD

HOTEL SANTIKA PREMIERE MEDAN

Page 4: Ridwan Kamil Dalam Pelukan Ayah

Foto 10, 11, 12, 13: Rumah Botol Sumber: google.com

Rumah pribadi milik Kang Emil yang akrab disebut dengan Rumah Botol ini juga

menganut nilai kesederhanaan. Dimulai dengan ingin menciptakan rumah yang ramah,

dan mengikuti pribadinya yang sederhana, Kang Emil mulai mendapat ide untuk

memanfaatkan sampah – sampah botol yang berserakan di lokasi pembangunan rumah

tersebut. Setelah memakan waktu selama 2 tahun, akhirnya rumah tersebut selesai. Sebuah

rumah tropis, yang mana bentuk peruangannya juga simple, sangat terbuka, dan

bersuasana asri.

Hadir dengan prestasi yang bertubi – tubi juga membuat diri Kang Emil dipercaya

masyarakat kota Bandung, kota kelahiranya, untuk memimpin mereka sebagai wali kotanya

didampingi Oded Muhammad Danial. Semua ini, tuturnya, menjadi mungkin karena

pengaruh ayahnya. Ayahnya yang mendidik diri Kang Emil untuk menjadi tegar

menghadapi setiap cobaan hidup. Ayahnya yang selalu berbagi pengalaman dan

pemandangan dari perjalanannya ke kota – kota asing. Sosok ayah yang kepergiannya

akan selalu diingat oleh anaknya.

Setangkai bunga tidak bisa memilih tempat dimana ia bisa tumbuh, sama akan

halnya dengan seorang anak yang tidak bisa memilih dari orangtua mana mereka akan

lahir. Yang bisa seorang anak lakukan adalah beradaptasi, berbakti, dan berusaha

menjalani perintah mereka (tentunya yang bersifat positif) dengan sebaik – baiknya.

Yakinlah bahwa tuhan tidak pernah menempatkan setangkai bunga dalam tanah yang

tidak cocok dengan bunga tersebut.