revisi ringkasan disertasi

36
RINGKASAN DISERTASI REKONSTRUKSI PERLINDUNGAN HUKUM ADVOKAT SEBAGAI PENEGAK HUKUM DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN BERBASIS HUKUM PROGRESIF I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penegak hukum merupakan profesi yang didengungkan sebagai profesi yang luhur (honorable profession). Penegakan hukum di Indonesia dewasa ini masih jauh dari konsep Negara hukum (rechsstaat) dimana idealnya hukum merupakan “panglima” (yang utama) diatas politik dan ekonomi namun kenyataanya maraknya judicial corruption dalam proses peradilan mengakibatkan hancurnya sistem hukum dan lembaga penegak hukum menjadi tercemar disebabkan keacuhan para penegak hukum akan penegakan hukum yang efektif, rendahnya kualitas sumber daya manusia baik secara intelektual maupun spiritual, birokrasi peradilan yang berjenjang, pengawasan internal yang lemah, dan rendahnya integritas pimpinan lembaga penegak hukum menjadi sebab terpuruknya penegakan hukum di Indonesia. Di Indonesia konsistensi penegakan hukum masih terdengar seperti wacana. 3 (tiga) tujuan hukum yang disampaikan oleh Gustav Radbuch yaitu keadilan, kepastian, kemanfaatan belum sepenuhnya terwujud. Penegak hukum disebut profesional karena kemampuan berpikir dan bertindak melampaui hukum tertulis tanpa menciderai nilai keadilan. Aparat penegak hukum yang melakukan pelanggaran profesi tidak pernah hilang; tetapi perkembangannya bisa dicegah. Keutamaan bersikap adil menjadi nyata tidak saja melalui perlakuan fair dalam menjalankan profesi terhadap kepentingan masyarakat, tetapi juga lewat keberanian menjadi whistleblower saat terjadi salah praktik profesi. Pedoman perilaku yang bagi pemegang profesi terangkum dalam Kode Etika yang di dalamnya mengandung muatan etika, baik etika deskriptif, normatif, dan meta-etika. Aparat penegak hukum memiliki kode etik dalam menjalankan profesinya. Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat tidak dapat seenaknya menjalankan tugas dan wewenang tanpa pedoman perilaku

Upload: evans-satria-abdi

Post on 25-Sep-2015

69 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

desertasi

TRANSCRIPT

RINGKASAN DISERTASI

REKONSTRUKSI PERLINDUNGAN HUKUM ADVOKAT SEBAGAI PENEGAK HUKUM DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN BERBASIS HUKUM PROGRESIF

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penegak hukum merupakan profesi yang didengungkan sebagai profesi yang luhur (honorable profession). Penegakan hukum di Indonesia dewasa ini masih jauh dari konsep Negara hukum (rechsstaat) dimana idealnya hukum merupakan panglima (yang utama) diatas politik dan ekonomi namun kenyataanya maraknya judicial corruption dalam proses peradilan mengakibatkan hancurnya sistem hukum dan lembaga penegak hukum menjadi tercemar disebabkan keacuhan para penegak hukum akan penegakan hukum yang efektif, rendahnya kualitas sumber daya manusia baik secara intelektual maupun spiritual, birokrasi peradilan yang berjenjang, pengawasan internal yang lemah, dan rendahnya integritas pimpinan lembaga penegak hukum menjadi sebab terpuruknya penegakan hukum di Indonesia. Di Indonesia konsistensi penegakan hukum masih terdengar seperti wacana. 3 (tiga) tujuan hukum yang disampaikan oleh Gustav Radbuch yaitu keadilan, kepastian, kemanfaatan belum sepenuhnya terwujud.

Penegak hukum disebut profesional karena kemampuan berpikir dan bertindak melampaui hukum tertulis tanpa menciderai nilai keadilan. Aparat penegak hukum yang melakukan pelanggaran profesi tidak pernah hilang; tetapi perkembangannya bisa dicegah. Keutamaan bersikap adil menjadi nyata tidak saja melalui perlakuan fair dalam menjalankan profesi terhadap kepentingan masyarakat, tetapi juga lewat keberanian menjadi whistleblower saat terjadi salah praktik profesi. Pedoman perilaku yang bagi pemegang profesi terangkum dalam Kode Etika yang di dalamnya mengandung muatan etika, baik etika deskriptif, normatif, dan meta-etika. Aparat penegak hukum memiliki kode etik dalam menjalankan profesinya. Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat tidak dapat seenaknya menjalankan tugas dan wewenang tanpa pedoman perilakuDalam praktiknya, masih banyak pelanggaran kode etik yang pada akhirnya mencerminkan ketidakprofesionalan seorang penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, singkatnya das sollen dan das sein sangat berbeda di dalam praktik sehari-hari. Penegak hukum dan penegak keadilan di dalam masyarakat, dalam kedudukannya sebagai profesi luhur, menuntut kejelasan dan kekuatan moral yang tinggi. Franz Magnis-Suseno dkk., menunjukkan ada tiga ciri kepribadian moral yang dituntut dari para penyandang atau pemegang profesi luhur ini, yaitu:a. Berani berbuat dengan tekad untuk memenuhi tuntutan profesi.

b. Sadar akan kewajiban yang harus dipenuhi selama menjalankan tugas profesionalnya.

c. Memiliki idealisme sebagai perwujudan makna mission statement masing-masing organisasi profesionalnya.

Moral para penegak sangat ditentukan oleh bagaimana para profesional hukum melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk memelihara kehidupan sosial. Tugas memelihara kehidupan sosial itu dirumuskan dalam sumpah para profesional penegak hukum, yakni to serve people. Melayani masyarakat bukan sekadar jargon para profesional penegak hukum, karena sumpah itu memiliki arti moral yang mendalam. Sumpah profesi yang diucapkan oleh para profesional hukum, di hadapan pemuka agama ketika dilantik di instansi-instansi hukum, seperti kehakiman, kejaksaan dan kepolisian, bukan sekadar simbol dan formalitas kosong. Sumpah itu merupakan kaul kesetiaan yang mengikat profesional penegak hukum, dengan masyarakat yang mempercayakan kebebasannya serta tujuan hidupnya untuk mencapai kesejahteraan. Kaul itu merupakan janji suci (covenant) untuk tunduk kepada Tuhan dan melayani masyarakat dengan penuh tanggung jawab. Makna moral dari kaul profesi adalah kesetiaan profesi pada kepercayaan masyarakat, untuk secara bertanggung jawab melaksanakan tugas untuk memelihara masyarakat dan tatanannya. Otoritas yang didapatkan oleh para penegak hukum merupakan titipan kepercayaan masyarakat yang tidak pernah boleh disalahgunakan demi alasan apa pun.

Sejak diundangkanya UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka kedudukan advokat itu setara dengan polisi, jaksa dan hakim, yakni sama-sama sebagai aparat penegak hukum. Sejak saat itu, terbentuknya Organisasi Advokat untuk mewadahi para advokat sebagai penegak hukum yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) pada tanggal 21 Desember 2014. Sejak dibentuknya Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) tidak terlepas dari segala tugas dan wewenangnya yang diberikan oleh Undang-Undang Advokat. Tugas dan wewenang Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) adalah menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat, mengadakan ujian profesi advokat, meregulasi pelaksanaan magang untuk calon advokat, melakukan pengangkatan advokat di seluruh Indonesia,melakukan penegakan kode etik advokat, mengawasi perilaku advokat.

Melihat kenyataan tersebut maka diperlukan pemberian kewenangan kepada advokat. Sementara UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat tidak mengatur tentang kewenangan Advokat di dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai aparat penegak hukum. Untuk menunjang eksistensi advokat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem penegakan hukum, maka diperlukan kewenangan yang harus diberikan kepada advokat.

Sebagai konsekuensi yang logis, advokat sebagai salah satu penegak hukum haruslah dijamin dengan suatu kaidah hukum yang kuat untuk menjamin prosesionalisme seorang advokat dalam menjalankan profesinya dalam mewujudkan keadilan di masayarakat. Kunci utama dalam memahami penegakan hukum yang baik (good law enforcement governance) untuk mewujudkan kedailan adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalam peraturan perundang undangan.

B. METODE PENELITIAN

1. Paradigma Penelitian

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme, karena penelitian ini dimaksudkan untuk menghasilkan suatu rekonstruksi pemikiran atau gagasan serta teori baru mengenai tugas, fungsi dan kewenangan advokat sebagai salah satu penegak hukum di Indonesia.Gagasan atau teori baru ini dibangun dari perspektif Hukum Progresif. Progresif berarti hukum yang bersifat maju.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini salah satu permsalahannya adalah tentang mengapa advokat sebagai penegak hukum dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai denga UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menggunakan pendekatan penelitian socio legal (socio legal research). Disamping itu, karena penelitian ini dimaksudkan juga untuk menghasilkan suatu rekonstruksi pemikiran atau gagasan serta teori baru tentang peraturan advokat mengenai tugas advokat sebagai penegak hukum dalam mewujudkan keadilan Indonesia dan tentang lahirnya beberapa organisasi advokat di Indonesia. Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Dimana salah satu jenis penelitian hukum dimaksud, adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum sebagai norma.

3. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, karena penelitian yang akan dilakukan ini ditujukan untuk mencari atau menemukan data-data yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan, yang kemudian akan dijabarkan atau dijelaskan atau dipaparkan untuk memberikan gambaran yang komprehensif dan holistik tentang jawaban atas permasalahan yang dibahas.

Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah pendekatan konseptual (conseptualical approach), pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandang dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan dokrtin-doktrin didalam ilmu hukum,peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirjkan pengertian-pengertian hukum,konsep-konsep hukum,dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Strategi untuk mendapatkan data atau informasi (aspek metodologis) ditempuh dengan logika induktif.

Permasalahan yang diangkat dalam rencana penelitian (proposal) ini antara lain bersifat socio legal, maka pendekatan utama yang dipakai adalah pendekatan socio legal (socio legal approach), dalam konteks ini institusi hukum tidak dipahami sebagai entitas normatif, melainkan akan dipandang sebagai bagian dari keseluruhan sistem sosial yang berada dalam kondisi saling terkait dengan variabel sosial yang lain, dengan demikian fokus penelitian ini adalah membuat deskripsi tentang realitas sosial dan hukum, serta berusaha memahami dan menjelaskan logika keterhubungan logis antara keduanya. Selain itu untuk mencapai tujuan yang diharapkan, penulis akan menggunakan juga pendekatan-pendekatan berikut secara terpadu, yaitu :

a. Pendekatan sejarah (historical approach);

b. Pendekatan Hukum Dogmatis (yuridis dogmatis approach);

c. Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach);

d. Pendekatan konseptual (conseptual approach);

e. Pendekatan filosofis (philosophical approach).

4. Metode Penentuan Sampel

Metode penentuan sampel dalam penelitian ini adalah dengan metode purposive non random sampling (tidak acak). Non Random Sampling merupakan cara pengambilan sampel secara tidak acak dimana masing-masing anggota tidak memiliki peluang yang sama untuk terpilih anggota sampel.

5. Sumber data

a. Data Primer

Data primer diperoleh dari praktek hukum/hukum empirik yang dilakukan dengan cara wawancara kepada : Beberapa penegak hukum yaitu catur wangsa (hakim, jaksa, kepolisian dan advokat) di Wilayah Jawa Tengah, para akademisi dan masyarakat. Pemilihan responden dengan metode purposive non random sampling (tidak acak). Maksudnya masing-masing anggota tidak memiliki peluang yang sama untuk terpilih menjadi anggota sampel. Pertimbangan Penulis, agar peneliti dapat menyesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan penelitiannya. Sehingga data yang diperoleh benar-benar sesuai dengan masalah penelitian yang diambil.b. Data sekunder

Bahan hukum yang diperlukan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier.

6. Metode Pengumpulan Data dan Bahan Hukum

Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara melakukan wawancara kepada beberapa responden. Sedang, Pengumpulan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan studi dokumentasi dan studi kepustakaan untuk melakukan penelusuran literatur hukum.

7. Metode Analisa Data dan Bahan Hukum

Data primer yang diperoleh dari lapangan akan dikumpulkan, diinventarisasi, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode analisa kualitatif induktif, untuk menggambarkan keadaan keseluruhan obyek penelitian secara umum, yang selanjutnya akan dipadukan dengan data sekunder berupa bahan-bahan hukum yang diperoleh dari hasil stusi pustaka.

II. KERANGKA TEORI

1. Grand theory (teori utama)

1.1. Teori Negara Hukum

1.2. Teori Keadilan

1.2.1. Teori Keadilan dalam Filsafat Hukum Islam

1.2.2. Teori Keadilan Pancasila

1.2.3. Teori Keadilan John Rawls

1.2.4. Teori Keadilan menurut Filosof Barat

2. Middle Teori

2.1 Teori Chambliss & Seidman

2.2 Teori Penegakan Hukum

2.3 Teori Lawrence Friedman2.4 Teori Sibernetika

3. Applied theory (teori aplikasi)

3.1. Teori Hukum Responsif

3.2. Teori Hukum Progresif

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Perlindungan Hukum Advokat Sebagai Penegak Hukum Sebagaimana Disebutkan di dalam UU No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat, Tidak Berjalan Sesuai Dengan Ketentuan Peraturan Perundangan Dalam Mewujudkan Keadilan

Berikut akan Penulis paparkan hasil penelitian lapangan tentang pelaksanaan tugas advokat yang tidak sesuai dengan peraturan. Latar belakang yang mempengaruhi tidak berjalannya tugas advokat sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat sebagai berikut:

1. Menurut hasil penelitian Penulis dari hakim Sumedi, bahwa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan tugas tidak sesuai dengan perundang-undangan adalah:

a. Belum adanya kesadaran organisasi advokat

b. Dalam proses persidangan seringkali ditemui advokat berkelahi dengan advokat lain. Hal ini akan menyebabkan klien yang mereka tangani terlantar. Apabila seorang advokat terbukti menelantarkan klien dapat dituntut secara perdata di Pengadilan Negeri.

2. Menurut M. Agus, bahwa pelaksanaan tugas dan fungsi advokat tidak berjalan sebagaimana mestinya karena dipengaruhi ketidakefektifan pengurus organisasi profesi advokat dalam menjalankan organisasinya, padahal UU telah memberikan kewenangan yang penuh kepada organisasi advokat. Selain itu, image yang ada di masyarakat berperkara dengan menggunakan advokat memerlukan biaya yang tinggi. Hal ini berakibat, fungsi advokat sebagai penegak hukum menjadi tidak optimal.

3. Berdasarkan hasil penelitian Penulis dengan beberapa advokat mengenai pelaksanaan tugas advokat adalah sebagai berikut:

Menurut advokat M. Ali Purnomo, sesuai tidaknya pelaksanaan tugas advokat dengan peraturan tergantung pada masing-masing orang. Tugas yang berkaitan dengan kewajiban dengan klien tergantung personality dari masing-masing pengemban profesi tersebut. Karena person yang menjalankan profesi berbeda-beda, secara otomatis motif dan kepentingan terhadap profesinya juga bervariasi. Secara garis besar tugas dan fungsi advokat tidak bisa berjalan karena yang menjalankan tidak memiliki integritas sebagai advokat. Fenomena munculnya beberapa organisasi advokat juga perlu untuk dikaji. Menurut M. Ali Purnomo, tidak ada masalah dengan fenomena ini tapi dengan catatan bahwa organisasi baru tersebut merupakan bagian dari organisasi yang tunduk pada ketentuan UU Advokat yang merujuk pada satu wadah tunggal (single bar association) yakni PERADI.

Menurut Advokat Sidharta Widiarto Nugroho, faktor yang mempengaruhi pelaksanaan tugas advokat sesuai atau tidaknya dengan peraturan yang ada adalah suri tauladan dari para advokat senior. Bahwa membela itu bukan karena faktor uang tapi karena hukum dan keadilan yang harus ditegakkan.

Menurut Advokat Soegiarto,tugas dan fungsi advokat sebagaimana yang diatur dalam UU Advokat tidak berjalan sesuai aturan karena isi UU No. 18 Tahun 2003 tersebut menimbulkan kekisruhan dalam organisasi-organisasi advokat. Hal ini mengakibatkan para advokat tidak mempunyai patokan kode etik yang pasti dalam menjalankan tugas profesi.

Menurut Advokat Sulistyowati, latar belakang yang mempengaruhi pelaksanaan tugas advokat tidak sesuai dengan peraturan yang ada adalah sebagai berikut:

a. kurangnya komitmen terhadap profesi advokat;

b. kurangnya menjunjung tinggi integritas moral;

c. kurangnya memahami tugas dan fungsi profesi advokat.

Hal tersebut akan berpengaruh pada ketidakpercayaan masyarakat. Padahal faktor kepercayaan dari masyarakat itu sangat penting. Tugas dan fungsi advokat tidak berjalan sesuai dengan peraturan yang ada sebenarnya karena kendala yang ada pada diri advokat itu sendiri dan juga ditambah dari aparat penegak hukum yang lain.

Berdasarkan penuturan Advokat Abdul Fickar Hadjar, Penyebab pelaksanaan tugas advokat tidak berjalan sesuai dengan UU Advokat adalah karena beralihnya fungsi profesi advokat dari dunia penegakan hukum bergeser nilai-nilainya dari ranah untuk mencari kebenaran menjadi ranah industri yang dipenuhi dengan hiruk pikuk para investor, produsen, konsumen yang memperdagangkan kebenaran.4. Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan salah satu masyarakat, munculnya beberapa organisasi advokat mempengaruhi standart pelayanan hukum karena adanya organisasi lain pasti akan timbul pula tataran maupun standart pelayanan yang berbeda, masalah inilah yang menurutnya akan mempengaruhi pelaksanaan tugas advokat tidak sesuai dengan aturan yang ada.

5. Berdasarkan penelitian Penulis, seorang advokat yang sedang menjalankan tugas profesinya dalam membela klien di suatu persidangan pengadilan idealnya dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Namun hal ini, tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan oleh advokat tersebut apa, apakah pelanggaran murni etika profesi, pelanggaran pidana/perdata yang dilakukan oleh seorang advokat bersamaan ketika yang bersangkutan menjalankan profesinya, oleh karena itu harus dilihat dari niat batin si advokat ketika yang bersangkutan dikatakan melakukan pelanggaran tersebut.

Menurut hemat Penulis, bahwa penegakan hukum di Indonesia sudah bergeser menjadi penegakan kepentingan, kepentingan bagi para pengusaha dan orang-orang kaya. Sebagian besar dari advokat menggunakan profesinya sebagai pekerjaan yang bersifat komersil. Hal ini menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap profesi advokat. Terlebih apabila ada advokat yang berkelahi dalam persidangan sebagaimana penuturan salah satu hakim di atas. Bukankah kode etik advokat Indonesia telah mengatur dengan jelas mengenai hubungan advokat dengan teman sejawat. Dalam Pasal 5 huruf a dan b.

Dari hasil penelitian dan indikasi yang ditemui di lapangan, nampaknya dunia penegakan hukum bergeser nilai-nilainya dari ranah untuk mencari kebenaran menjadi ranah industri dengan memperdagangkan kebenaran. Kebenaran sendiri hanya akan berpihak pada orang-orang yang berduit dan tidak berpihak pada orang-orang miskin. Penulis berpendapat, orang kaya akan semakin mendominasi pada peradilan khususnya peradilan pidana, manakala RUU versi 28 Februari 2013 disahkan. Apabila hal ini terjadi sudah jelas bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak akan mencerminkan perwujudan keadilan

Hal inilah yang menyebabkan pengemban hukum kita mengabaikan nilai kebenaran, kebaikan, keindahan dan keadilan yang merupakan nilai-nilai non material resource. Dengan demikian, sudah tentu keadilan yang diharapkan oleh setiap rakyat Indonesia tidak akan terwujud. Berbagai data yang menunjukkan seringnya uang pelicin dimintakan kepada advokat dapat dijadikan indikator terhadap dua perosalan. Pertama, adalah moralitas aparat penegak hukum Indonesia yang sangat buruk serta sistem yang masih belum menghasilkan peradilan yang bersih. Termasuk dalam persoalan ini adalah masih lemahnya penegakan kode etik profesi advokat. Kedua, yaitu bahwa advokat seringkali diidentikkan dengan kliennya. Sehingga aparat penegak hukum lainnya masih kerap terdorong untuk menganggap bahwa advokat merupakan perpanjangan tangan dari klien, termasuk dalam hal melancarkan perkara dengan berbagai cara.

Beberapa faktor yang menyebabkan memudarnya penegakan dan kewibawaan hukum, pertama, karena merosotnya keinsafan dan kesadaran terhadap peraturan yang berlaku, merupakan langkah mati dalam upaya membersihkan penyelewengan terhadap peraturan. Dengan kata lain kemajuan umat beragama dalam menjalankan ibadah belum mampu membonceng budaya lambat dalam melaksanakan hakekat ibadah dan ketaatan pada hukum. Kedua, keburukan dan label cacat terhadap aparatur negara dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, merupakan gejala kekakuan yang harus dicairkan sedini mungkin, sehingga kepercayaan masyarakat menjadi semakin berkurang. Ketiga, karena aspek pengawasan formal yang masih lemah dan belum optimal dalam menjalankan tugasnya.

Masalah pokok dalam penegakan hukum di Indonesia adalah sistem hukum dan sistem peradilan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Perilaku koruptif yang terjadi pada hampir semua penegak hukum penegak hukum bukan karena moral yang rendah saja namun sebagai akibat terjadinya demoralisasi dari para penegak hukum itu sendiri. Akibatnya, menerima uang secara tidak halal, menurut persepsi mereka, bukanlah suatu yang aneh lagi tetapi menjadi suatu keharusan untuk mereka lakukan. Lalu, apa sajakah penyebab dari perilaku koruptif dari para penegak hukum itu? Setidaknya ada empat catatan dan atau penyebab terjadinya perilaku koruptif:1. Kesejahteraan/Gaji Rendah tetapi life style yang tinggi;

2. Adanya ketidakpercayaan timbal balik diantara penegak hukum itu sendiri;

3. Perilaku koruptif akibat pola korupsi yang terjadi pada masa Orde Baru;

4. Tidak adanya standar profesi bagi advokat.

Tidak adanya standar profesi bagi advokat menjadi salah satu penyebab terjadinya perilaku koruptif. Adanya pengakuan pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengenai status Advokat sebagai penegak hukum memiliki pengaruh yang besar bagi advokat dalam penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan yang diharapkan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Sebelum lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, memang Advokat tidak memiliki suatu standar profesi sendiri sehingga tingkah laku dan perilaku mereka masih maju tak gentar membela yang bayar. Salah satu Standar Profesi profesi adalah kode etik. Standar profesi tidak hanya diperbaiki secara terus menerus, tetapi juga harus ditegakkan dan diimplementasikan. Menurut Penulis, Dewan kehormatan sebagai dewan pengawas pelaksanaan kode etik advokat harus dengan tegas mengadili pelanggaran. Pengaduan dan tuduhan yang ditujukan terhadap advokat dalam kapasitas profesinya harus diproses secara cepat dan fair sesuai dengan prosedur yang benar.

Selain itu pementasan penegakan hukum juga menampilkan gejala baru seperti industrialisasi hukum di Indonesia. Industrialisasi hukum adalah kecenderungan menempatkan hukum sebagai mesin-mesin industri yang dapat menentuka segala sesuatu dengan pasti. Kecenderungan industrialisasi hukum telah menghancurkan nilai-nilai fundamental hukum, diterjang oleh nafsu pertarungan komersial sebagaimana panggung pertarungan para gladiator untuk mencari pemenang dengan a win at all cost mentalithy. Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah mungkinkah membersihkan peradilan dari praktek korupsi? Sejujurnya, bukan perkara yang mudah membersihkan peradilan dari korupsi. Pengacara Johnson Panjaitan, mengatakan bahwa cara ampuh untuk membersihkan peradilan dari korupsi adalah dengan mengganti seluruh aparat peradilan seperti hakim, jaksa, panitera, dan polisi. Ibarat kanker ganas yang telah menggerogoti bagian tubuh cara ampuhnya dengan amputasi. Tetapi ide radikal ini tidak mudah untuk direalisasikan. Apalagi mafia peradilan bukan tanpa resistensi. Justru yang terjadi, untuk mempertahankan eksistensi praktek korupsi, terjadi korupsi politik di peradilan. Salah satu akibat terbesar dari korupsi peradilan adalah macetnya sistem peradilan pidana. Tujuan utama dari peradilan pidana adalah untuk menurunkan angka kejahatan sampai pada batas yang bisa ditoleransi, karena pada dasarnya kejahatan selalu ada di muka bumi ini. Tetapi karena korupsi, tidak pernah bisa dikurangi secara signifikan. Kemudian, apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi mafia peradilan? Mungkinkah menghilangkan korupsi sistematik di peradilan kita?

Adanya mafia peradilan inilah yang menjadikan pelaksanaan tugas advokat tidak berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan baik Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 dan Kode Etik advokat Indonesia. Karena produk mafia peradilan merupakan bad practices yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum. Ini menjadi intake yang membentuk struktur dimana advokat juga berada di dalamnya. Oleh karena itu, pemberantasan mafia peradilan harus didukung oleh seluruh elemen aparat penegak hukum.

Sebagaimana aparat penegak hukum lain, setelah lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat mendapatkan pengakuan sebagai salah satu aparat penegak hukum. Namun, sangat disayangkan sebagian dari mereka tidak memahami apa itu penegak hukum. Hal ini didukung dengan tidak adanya pengaturan secara tegas tentang kewenangan advokat. Aparat penegak hukum hakim, jaksa, polisi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak hukum diberikan kewenangan tetapi Advokat dalam menjalankan profesinya tidak diberikan kewenangan. Kewenangan dan kekuatan Advokat sebagai kuasa hukum dari klien hanya bergantung pada ada atau tidaknya surat kuasa yang dilimpahkan padanya.

Jika Advokat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya diberikan kewenangan dalam statusnya sebagai aparat penegak hukum maka kedudukannya sejajar dengan aparat penegak hukum yang lain. Dengan kesejajaran tersebut akan tercipta keseimbangan dalam rangka menciptakan sistem penegakan hukum yang lebih baik. Karena itulah, untuk menunjang eksistensi advokat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem penegakan hukum, maka diperlukan kewenangan yang harus diberikan kepada advokat. Kewenangan advokat tersebut diperlukan dalam rangka menghindari tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang lain (hakim, jaksa, polisi) dan juga dapat memberikan batasan kewenangan yang jelas terhadap advokat dalam menjalankan profesinya. Kewenangan tersebut diperlukan selain untuk menciptakan kesejajaran diantara aparat penegak hukum juga untuk menghindari adanya multi tafsir diantara aparat penegak hukum yang lain dan kalangan advokat itu sendiri terkait dengan kewenangan. Oleh karena itu, RUU Advokat sebaiknya direvisi. Selain di dalamnya mengatur, hak dan kewajiban advokat Pemerintah juga perlu mengatur kewenangan apa saja yang diberikan oleh advokat dalam sistem penegakan hukum di Indonesia.

Dalam penulisan ini, Penulis fokuskan pada salah satu penegak hukum yaitu advokat. Kewenangan Advokat yang belum diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. Ketidaktegasan ini dapat menimbulkan ketidakseragaman pelaksanaan kewenangan sehingga menimbulkan kesewenang-wenangan.

Revisi RUU Advokat versi 28 Februari 2013 agaknya memang harus dilakukan oleh Pemerintah. Dalam RUU Advokat tersebut ketentuan yang seharusnya ada malah justru dihapuskan, seperti: ketentuan tentang bantuan Cuma-Cuma untuk kaum miskin. Sedangkan, ketentuan yang seharusnya diatur malah tidak diatur, seperti: Ketentuan yang mengatur secara tegas tentang kewenangan-kewenangan advokat dalam menjalankan profesinya. Beberapa upaya ini, Penulis harapkan dapat membantu pelaksanaan tugas advokat sesuai dengan peraturan perundang-undangan maupun kode etik etik. Selain itu, agar pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia berjalan sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia, yakni mewujudkan keadilan.

2. Kelemahan-Kelemahan Dalam Pelaksanaan Perlindungan Hukum Advokat Sebagai Penegak Hukum Dalam Mewujudkan Keadilan

1) Dari hasil wawancara Penulis dengan salah satu Advokat di Kabupaten Ungaran bahwa kendala advokat dalam menjalankan profesinya karena adanya penilaian negatif masyarakat tentang advokat. Mereka menilai advokat sebagai profesi yang penuh tipu daya, licik dan liar oleh pihak lain karena mereka mengalami hal demikian dari oknum advokat. Hal ini disebabkan karena ada beberapa advokat yang kurang memiliki integritas moral dan komitmen untuk penegakan hukum karena mereka lebih mentitikberatkan kepada kepentingan materi. Menurutnya agar masyarakat tidak memandang negatif kepada advokat maka setiap advokat harus:

a. Mampu membuka tabir kebenaran;

b. Mampu Bersikap bijak kepada;

c. Mampu Menegakkan keadilan;

d. Mengendalikan diri dalam peran apapun.

2) Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan Advokat di Kota Semarang, advokat sebagai penegak hukum harus berusaha agar tersangka/korban tidak dipersulit (tidak menjadi bulan-bulanan) dalam menjalani proses hukum. Ada beberapa kendala advokat dalam melaksanakan tugas adalah: a. Minimnya penguasaan bahasa asing (misal bahasa inggris, bahasa mandarin dan lain-lain). Tidak menutup kemungkinan, seorang advokat dalam melaksanakan tugas profesinya akan dihadapkan dengan seorang klien atau pihak lawan yang berkewarganegaraan asing (WNA). Hal ini memang harus diperhatikan oleh setiap advokat.

b. Tidak adanya upaya paksa dalam memperoleh informasi, misalnya sulitnya mendapatkan berkas/dokumen dalam rangka pembelaan apabila pihak yang diminta tidak mau memberikannya secara sukarela.

3) Menurut pendapat salah satu advokat di Kota Semarang, advokat berperan dalam menegakkan hukum acara dengan visi access to justice dan membela hak-hak klien/pencari keadilan. Adapun kelemahan advokat dalam melaksanakan tugas adalah koordinasi dengan penegak hukum yang salah, yaitu dengan penegak hukum yang tidak memiliki mental penegak keadilan (corrupt). Apabila hal ini terjadi, maka semuanya kembali kepada personal masing-masing.

4) Hasil wawancara Penulis dengan salah satu aparat kepolisian, bahwa kelemahan advokat dalam menjalankan tugas profesinya. Apabila ditinjau dari persepktif penyidik, ada sebagian oknum advokat yang menempatkan dirinya seakan-akan sebagai tersangka/terdakwa, keberadaan advokat saat mendampingi tersangka/terdakwa berposisi subyektif dan berpendapat dengan pertimbangan subyketif pula. Padahal yang ideal, advokat dapat menempatkan dirinya dalam posisi yang subyketif (untuk kepentingan tersangka/terdakwa) tapi berpendapat dengan pertimbangan obyketif sesuai dengan fakta dan hukum.

5) Berdasarkan penelitian yang dilakukan Penulis dengan salah seorang hakim, bahwa peran dan fungsi advokat bagi pencari keadilan adalah menasehati, mendamaikan dan mencari kebenaran materiil. Namun kendala yang dihadapi oleh advokat adalah para penegak hukum lain, merasa advokat bukan pejabat negara sehingga profesi advokat kurang diberikan respon yang baik. Selain itu, kelemahan advokat dalam menjalankan tugasnya adalah advokat selalu berada pihak tersangka/terdakwa yang 95% terbukti bersalah sehingga tidak menutup kemungkinan melakukan lobby (KKN) dengan aparat penegak hukum lain.

6) Menurut pandangan salah satu masyarakat yang menjadi responden Penulis, bahwa advokat berperan penting bagi para pencari keadilan. Peran advokat bagi tersangka, jangan sampai ia dijatuhi hukuman yang lebih besar dari apa yang menjadi tanggung jawabnya. Sedang peran advokat bagi korban adalah agar si korban mendapatkan keadilan. Namun kendala advokat dalam menjalankan tugasnya adalah ada kalanya seorang klien menutup-nutupi sebagian fakta/kebenaran.

Hal serupa diungkapan oleh Advokat senior Adnan Buyung Nasution bahwa seiring perubahan zaman, kegiatan advokasi di Indonesia semakin berkembang, banyak sekali para advokat muda yang membanggakan. Namun sangat disayangkan, banyak pula yang melupakan sejarah mulia dari advokat itu sendiri. Mereka yang semula idealis berubah menjadi komersil.

Menurut hemat Penulis, dari hasil penelitian yang dilakukan kepada beberapa responden, bahwa profesi advokat yang merupakan profesi terhormat (officium nobile) saat ini justru lebih ditujukan kepada sesuatu yang bersifat komersil dan matrealistis. Banyak pula advokat yang menggunakan jalan pintas dan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan humanisme. Jalan pintas dilakukan dengan jalan mengatur dan menyelesaikan suatu perkara melalui lobby. Penulis akui, bahwa profesi Advokat sangat rentan sekali terlibat praktek suap-menyuap terutama dalam menangani kasus-kasus lainnya yang bernilai komersial tinggi. Pengaruh praktek suap-menyuap terhadap pelaksanaan tugas profesi advokat sebenarnya kembali lagi kepada masing-masing person. Oleh karena itu, pembenahan moral dan akhlak advokat sangat diperlukan. Moral yang tinggi akan mencegah dan menghindarkan advokat dari praktek-praktek yang tidak baik dan merendahkan martabat profesi advokat yang mulia. Beberapa kelemahan dalam pelaksanaan tugas profesi advokat sebagai penegak hukum adalah sebagai berikut:1. Adanya penyakit jalan pintas2. Profesi advokat sebagai broker perkara.3. Contempt of Court4. UU No. 18 Tahun 2003 yang masih menimbulkan polemik dan masalah Rancangan Undang-Undang Advokat yang tak kunjung usai. Permasalahan legalitas profesi advokat ini harus segera selesai, dengan membentuk UU Advokat Baru yang sesuai dengan kebutuhan advokat. Apabila UU Advokat yang baru tidak segera dibentuk dan disahkan, pelaksanaan tugas advokat akan menjadi pincang karena tidak ada peraturan yang sesuai untuk mengatur pelaksanaan tugas advokat.

5. Perkembangan masalah yang terjadi di tubuh organisasi advokat ini juga menjadi hambatan bagi pelaksanaan tugas advokat sebagai penegak hukum.Dalam kondisi sekarang ini sebenarnya sangat besar harapan yang ditujukan kepada profesi advokat untuk bangkit sebagai perlopor perbaikan. Advokat dalam menjalankan profesinya harus berpegang teguh pada peraturan perundang-undangan dan Kode Etik Profesi Advokat. Salah satu penghambat/kendala pelaksanaan tugas advokat dalam penegakan hukum terjadi karena kurangnya penegakan kode etik profesi advokat. Dalam interaksi dengan kliennya, komponen interaksi antara advokat dan klien terinci dalam hal-hal sebagai berikut:

1) Keterbukaan atau Kejujuran Klien dalam Menyampaikan Informasi Perkara sebagai Dasar Interaksi;

2) Interaksi dalam Memberikan Gambaran tentang Prospek Perkara;

3) Motivasi Interkasi antara Advokat dengan Klien;

4) Motivasi Tindak Lanjut sebuah Perkara;

5) Interaksi dalam Negosiasi Honorarium sebagai Bentuk Konkret Interkasi dan Sumbernya;

6) Interaksi dalam Menjaga Rahasia Klien;

7) Interaksi Advokat dengan Orang Miskin.

Menurut pendapat Penulis, Advokat sebagai pelaku penegak hukum harus menerima sepenuhnya, perkara yang subyeknya orang miskin. Bantuan hukum nonprofit-oriented ini telah diatur secara tugas dalam UUD 1945. Sistem hukum Indonesia dan UUD 1945 menjamin adanya persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Undang-Undang Dasar 1945 menjamin persamaan di hadapan hukum, di mana dalam Pasal 27 ayat (1) disebutkan, setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya. Adapun hak didampingi advokat diatur dalam Pasal 54 KUHAP, guna kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang ini.

Menurut Penulis adanya RUU Advokat versi 28 Februari 2013 yang meniadakan bantuan hukun Cuma-Cuma bertentangan dengan UUD 1945. Peniadaan bantuan hukum Cuma-Cuma juga bertentang dengan Kode Etik Advokat Indonesia. Peniadaan ini dapat mengakibatkan penegakan hukum dan keadilan terhambat karena para pencari keadilan tidak hanya dari kalangan masyarakat menengah ke atas, justru masyarakat kalangan menegah ke bawah-lah yang sering dilakukan tidak adil. Oleh karena itu RUU Advokat versi 28 Februari 2013 harus dirivisi.

Pelaksanakan tugas profesi hukum selain bersifat kepercayaan yang berupa habl min-annas (hubungan horizontal) juga harus disandarkan pada habl min-Allah (hubungan vertikal), yang mana habl min Allah akan terwujud dengan cinta kasih kepada-Nya tentunya akan terwujud apabila kita melaksanakan sepenuhnya atau mengabdi kepada perintah-Nya, dengan demikian otomatis akan melahirkan motivasi untuk mewujudkan etika profesi hukum sebagai realisasi sikap hidup dalam mengemban tugas (yang pada hakikatnya merupakan amanah) profesi hukum. Dengan demikian pastinya perwujudan keadilan akan tercapai sesuai dengan harapan seluruh masyarakat Indonesia. Bersikap adil merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim dan sudah seharusnya seorang muslim harus berpegang teguh pada ketentuan Allah dan Rasulullah.

3. Rekonstruksi Perlindungan Hukum Advokat Sebagai Penegak Hukum Dalam Mewujudkan Keadilan Berbasis Hukum Progresif

Berdasarkan hasil penelitian Penulis, ada beberapa aturan dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang perlu dirubah dan ditambah: Menurut Advokat M. Ali Purnomo selaku Advokat di Kota Semarang, advokat adalah seorang penegak hukum guna mencapai keadilan. Menurutnya, advokat memang sudah seharusnya lebih mengutamakan kepentingan hukum daripada kepentingan klien. Ia juga berpendapat bahwa UU Advokat yang mengatur tentang beberapa tugas dan fungsi advokat sudah proposional, hanya saja salam ketentuan tentang Hak Imunitas perlu diatur batasan tegas untuk itu. Berikut beberapa hal yang perlu ditambah dan dirubah dalam UU advokat, antara lain:1) Tentang hak imunitas

2) Tentang batasan umur untuk diangkat sebagai advokat

Selain berpendapat tentang perlunya perubahan UU Advokat, M. Ali Purnomo juga memberikan respon adanya pro kontra atas Rancangan Undang-Undanga Advokat akhir-akhir ini. Menurutnya, RUU Advokat memiliki politic will dan spirit untuk mengubah sistem single bar association menjadi multi bar association. Multi Bar Association memang memenuhi hasrat untuk menjadi advokat dengan mudah dan sebagian berpendapat multi bar merupakan perwujudan dari UUD 1945 (hak untuk bekerja). Di Indonesia, untuk sistem multi bar belum dapat diterapkan karena berbagai faktor yang menghambat, sedangkan single bar dipandang lebih ideal untuk Indonesia.Menurut Sidharta Widiarto Nugroho, selaku Advokat di Kota Semarang, advokat adalah penegak hukum. Antara kepentingan klien dan penegakan hukum harus disesuaikan dengan peraturan hukum yang ada, ojo neko-neko hanya demi uang. Advokat sebagai penegak hukum tugasnya tidak serta merta berhubungan dengan suatu pembelaan dalam persidangan. Namun, advokat juga perlu untuk melakukan kegiatan misalnya konsultasi hukum gratis dan lain sebagainya. Mengenai keberadaan UU Advokat, Sidharta Widiarto Nugroho memberikan rekomendasi kepada Penulis agar diadakan sosialisasi Pasal 17 yang berbunyi; Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selama ini dalam menjalankan tugasnya advokat kesulitan untuk memperoleh data informasi untuk kepentingan pembelaan. Menurutnya hal ini disebabkan karena kurangnya pengertian masyarakat maupun instansi pemerintah tentang hak advokat untuk memperoleh data informasi.Berdasarkan Penelitian yang Penulis lakukan, menurut Dwi Wahyono selaku aparat kepolisian di Kabupaten Demak:

1) Advokat sebagai penegak hukum. Idealnya advokat sebagai penegak hukum harus mampu berposisi subyektif dan berpendapat obyektif. Untuk itu kesadaran bahwa dirinya adalah penegak hukum harus dipahami oleh setiap advokat.

2) Mengenai perlu tidaknya perubahan UU Advokat menurut Dwi Wahyono, sepanjang sebagian masyarakat (advokat) menghendaki untuk direvisi atau dirubah maka UU Advokat perlu dirubah. Namun sebaliknya, jika sebagaian besar menghendaki untuk dipertahankan maka UU Advokat tersebut tidak perlu dilakukan perubahan.

3) Sejak lahirnya UU Advokat pengaturan advokat diserahkan sepenuhnya kepada organisasi advokat. Hal ini menimbulkan konsekuensi logis yang sangat berat. Oleh karena itu para anggota organisasi tersebut harus mempunyai visi dan misi yang progresif, konstruktif dan dilandasi dengan semangat kebersamaan pula.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Penulis di lapangan, pengakuan bahwa advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri serta di jamin oleh hukum dan perundang-undangan merupakan bentuk reformasi di bidang hukum khususnya untuk profesi advokat. Hal ini dikemukakan oleh hampir seluruh responden dalam penelitian ini.Pengakuan ini tentunya membawa angin segar bagi profesi advokat. Namun, yang menjadi pertanyaan sekarang ini, apakah advokat telah sungguh-sungguh menjalankan pengakuan ini dengan baik dan bertanggungjwab? Peran advokat dalam penegakan hukum menjadi sangat besar setelah lahirnya UU No. 18 Tahun 2003. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1):

Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

Untuk menjaga kemandiriannya, maka advokat juga mengatur dan mengurus sendiri profesinya dalam satu organisasi profesi advokat (self governing body), tanpa campur tangan atau kontrol dari kekuasaan pemerintah. Hal ini tercermin dari ketentuan bahwa organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dengan maksud dan tujuan meningkatkan kualitas profesi advokat (Pasal 28 ayat (1)). Ketentuan mengenai organisasi advokat itupun ditetapkan oleh para advokat sendiri dalam Anggaran Dasar dan Anggara Rumah Tangga (Pasal 28 ayat (2)).

Kemandirian ini juga nampak dari proses seleksi dan ujian advokat, pengangkatan advokat, pengawasan, penindakan sampai dengan pemberhentian advokat, semuanya diatur dan diurus sendiri oleh organisasi advokat (Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 3 ayat (1) huruf f jo. Pasal 12 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) jo. Pasal 9 ayat (1)). Bahkan dalam proses rekruitmen, organisasi advokat pula yang menetapkan kantor advokat yang diberi kewajiban menerima calon-calon advokat yang akan melakukan magang (Pasal 29 ayat (5), termasuk kewajiban memberikan bimbingan, pelatihan dan kesempatan praktek bagi calon advokat yang bersangkutan (Pasal 29 ayat (6)).

Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah mengatur secara jelas mengenai peran, fungsi, tugas, hak, kewajiban serta tanggung jawab profesi advokat. Sejatinya Undang-Undang ini dapat mengatur dirinya sendiri (self governance). Namun pada kenyataannya para advokat tidak mengindahkan aturan ini. Indikasi yang kita temui di lapangan, dunia penegakan hukum bergeser nilai-nilainya dari ranah kebenaran menjadi ranah industri. Meski dalam era modern ini para advokat berhak mencari penghasilan lebih dari profesinya tersebut. Namun hendaklah, dicamkan bahwa antara memperjuangkan nilai kemanusiaan dan mencari mata pencaharian haruslah benar-benar seimbang. Untuk itu rekonstruksi pelaksanaan tugas advokat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kode etik harus dilakukan.

Rekonstruksi memiliki arti peyusun kembali; peragaan (contoh-ulang menurut perilaku atau tindakan dulu); pengulangan kembali. Rekonstruksi pelaksanaan tugas advokat memiliki arti penyusunan kembali pelaksanaan tugas yang sesuai dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Tentunya pelaksanaan tugas yang dimaksud adalah pelaksanaan profesi advokat sebagai pelaku penegak hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Pengakuan advokat sebagai penegak hukum perlu dipahami oleh setiap advokat juga dari pihak-pihak terkait erat dengan pekerjaan advokat, seperti hakim, jaksa dan polisi juga sangat diperlukan. Selain itu, Hak Kekebalan (Hak Imunitas) advokat dalam melakukan tugas atau pekerjaannya juga patut dipahami tidak hanya oleh advokat, tetapi juga oleh pihak- pihak terkait erat dengan pekerjaan advokat. Tujuannya ialah agar semua pihak mengerti kedudukan advokat. Hal ini diperlukan karena beberapa advokat pernah dipanggil polisi untuk menjadi saksi, dengan istilah terlapor. Bahkan, polisi pernah memperlakukan advokat secara kasar di pengadilan.

Asas equality before the law berarti bahwa kesetaraan di hadapan hukum tetap dijunjung dan dipertahankan sebagai patokan umum dalam penegakan hukum (law enforcement). Namun perlu diperhatikan juga bahwa asas equality before the law tetap harus mengindahkan hak imunitas. Hak imunitas dan asas tersebut perlu mendapat perhatian, berkaitan dengan status advokat sebagai penegak hukum yang sejajar dengan hakim, jaksa, dan polisi, dengan tugas masing-masing pihak yang berbeda-beda sesuai dengan fungsi umum masing-masing. Tugas-tugas advokat dijabarkan dalam Undang-Undang Advokat. Namun kenyataannya, dapat terjadi bahwa perlakuan terhadap advokat terbukti tidak sesuai dengan undang-undang tersebut karena suatu masalah semata-mata dilihat dari hukum acara pidana. Hal ini bisa saja terjadi karena ketidaktahuan polisi dan arogansi status.

Pengaturan hak imunitas dapat disimak dan dipahami dengan lebih mendalam dari Pasal 14 hingga Pasal 19 UU No. 18 Tahun 2003, tepatnya pada Bab IV tentang hak dan kewajiban. Secara umum dapat dikatakan bahwa hak imunitas muncul dari hak (right) dan kewajiban (duty) advokat dalam melakukan pekerjaan atau tugas-tugasnya. Selengkapnya Pasal 16 UU Advokat berbunyi: Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.Dalam praktiknya, advokat dipanggil oleh polisi sebagai saksi atas perkara yang ditangani. Peristiwa seperti ini disebabkan beberapa faktor, antara lain:

a. Advokat sendiri tidak menyadari sepenuhnya bahwa dia mempunyai hak imunitas karena pelaksanaan hak imunitas belum ditegakkan dengan maksimal.

b. Penegak hukum lain (polisi, hakim dan jaksa) tidak mengetahui atau tidak peduli dengan hak imunitas dalam Undang-Undang Advokat maupun ketentuan mengenai sanksi terhadap advokat dalam KEAI;

c. Persatuan advokat kurang memadai sehingga penegak hukum lain kurang menaruh hormat terhadap advokat, yang dapat merugikan advokat;

d. Dalam Undang-Undang Advokat tidak diatur kemungkinan advokat dipanggil untuk memberikan keterangan sehubungan dengan pekerjaanya.

Penegakan hukum progresif merupakan suatu pekerjaan yang meliputi dimensi-dimensi yang melibatkan manusia dan penegak hukum yang terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi kepentingan dan kebutuhan bangsa. Berpikir progresif, menurut Satjipto Rahardjo berarti harus berani keluar dari mainstream pemikiran absolutisme hukum, kemudian menempatkan hukum dalam posisi relatif. Dalam hal ini hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusiaan. Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusia itu sendiri. Sebaliknya paradigma hukum positivis meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif berpikir bahwa justru hukum bolehlah dimarjinalkan untuk mendukung eksistensialitas kemanusiaan, kebenaran dan keadilan.

Memahami hukum progresif membawa advokat melakukan pembelaan atas kasus-kasus kaum marjinal, melakukan terobosan-terobosan hukum dalam pembelaan itu. Orang yang tidak mampu seharusnya tidak menerima hambatan; dan sebaliknya perlu difasilitasi advokat agar memperoleh sumberdaya hukum yang sama dengan orang kaya atau berkuasa.

Dalam menegakkan hukum progresif, advokat butuh dukungan dan salah satu ranahnya ketika advokat melihat ini ada sebuah pembelaan kepada masyarakat, masyarakatnya kita dorong. Pengorganisasian masyarakat itu penting dalam mengimplementasikan hukum progresif. Penting bagi aparat penegak hukum untuk berani melawan dan tidak takut terhadap intervensi modal, kekuasaan atau pakem positivistik. Lalu, bagaimana advokat menghadapi aparat penegak hukum lain yang positivistik?Argumentasi berdasarkan dokumen, referensi, dan teori yang kuat menjadi penting. Ada coaching juga kepada masyarakat dan pembela yang akan bersidang di pengadilan agar bisa menghadapi hakim.

Menanamkan gagasan itu harus dari awal. Ketika orang sudah lulus ujian dan waktu harus magang, bagaimana dorongan magangnya itu dalam konteks probono. Para calon advokat diedukasi dengan gagasan hukum progresif, dibawa praktek. Misalnya tidur dengan masyarakat miskin yang akan diadvokasi. Dengan begitu sense pembelaannya akan kuat. Organisasi advokat harus mendorong ke arah sana. Mendiskusikan, memasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Kepada para calon advokat diberikan contoh putusan, contoh kasus, lalu diajak untuk menyelesaikan kasus itu lewat pendekatan hukum progresif.

Pasca kelahiran UU No. 18 Tahun 2003 sejatinya advokat dapat mengatur sendiri segala urusan keprofesiannya. Undang-undang ini memberikan kekuasaan penuh kepada organisasi advokat dalam segala hal mulai dari pendidikan khusus profesi, pemagangan sampai dengan pengangkatan sebagai advokat. Sebagai konsekuensinya, maka UU ini mengakhiri keberagaman organisasi profesi advokat. Meski akan mematikan pluralisme organisasi (berlawanan dengan hakikat demokrasi) jika dimaksudkan untuk membangun kualitas profesi termasuk di dalamnya upaya standarisasi profesi dalam pola rekruitmen, serta pengawasan etika profesi advokat dalam kipeah operational profesi advokat, maka keuntungan dirasakan oleh profesi itu sendiri, masyakarat pengguna jasa profesi(konsumen/klien) tapi juga akan menguntungkan bagi upaya pembangunan serta penegakan hukum pada umumnya. Dengan kata lain manfaat lebih dirasakan dari pada mudharatnya.

Di dalam Putusan MK dalam perkara No. 014/PUU-IV/2006 tanggal 30 Nov 2006 disebutkan bahwa Organisasi PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi advokat. Namun legitimasi PERADI dipertanyakan, persoalan mengemuka setelah adanya surat terbuka dari Iur. Adnan Buyung Nasution tertanggal 28 Desember 2005, yang pada dasarnya mempertanyakan keabsahan pembentukan PERADI.

Lebih dari 17 (tujuh belas) kali keabsahan PERADI digugat namun tiada 1 pun gugatan itu mampu menggoyahkan kedudukan PERADI. Permasalahan organisasi advokat ini memang seharusnya segera diselesaikan. Organisasi Advokat merupakan organ yang sangat vital dan penting dalam meningkatkan kualitas profesi advokat. . Sistem multi bar belum dapat diterapkan karena berbagai faktor yang menghambat, sedangkan single bar ini dipandang lebih ideal dan sesuai dengan culture Indonesia. Menurut Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa unsur-unsur sistem hukum meliputi legal structure, legal substance, dan legal cultutal. Tiap-tiap negara memiliki karakteristik ideologis yang berbeda dan karakteristik inilah yang mewarnai corak hukum yang akan dibangun. Budaya hukum meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistem hukum yang berlaku dengan kata lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan. Tanpa budaya hukum ini, hukum tidak berdaya. Budaya hukum Indonesia dianggap lebih ideal untuk menerapkan sistem single bar association. Dengan sistem single bar ini dapat menjaga kemandirian profesi advokat karena sejatinya pasca kelahiran UU No. 18 Tahun 2003 advokat dapat mengatur sendiri segala urusan keprofesiannya. Untuk itu, konstruksi hukum sudah saatnya dikembalikan kepada bentuknya yang ideal dengan menempatkan keadilan dan kebenaran sebagai basis penegakan hukum. Keadilan dan kebenaran merupakan nilai-nilai universal yang otentik dan permanen sepanjang sejarah manusia. Watak alamiah kehidupan ini dibangun di atas prinsip-prinsip yang secara moral diikuti oleh manusia. Oleh karena itu, pengingkaran terhadap nila-nilai tersebut merupakan bentuk penghancuran terhadap kehidupan manusia itu sendiri.

Adapun Pasal-Pasal yang direkonstruksi adalah sebagai berikut:

1. Rekonstruksi Pasal 3 ayat (1) huruf d dan f UU No. 18 Tahun 2003:

Sebelum Rekonstruksi Pasal 3 ayat (1) huruf d dan fSesudah Rekonstruksi Pasal 3 ayat (1) huruf d dan f

Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. warga negara Republik Indonesia;

b. bertempat tinggal di Indonesia;

c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;

d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;

e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);

f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;

g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;

h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. idem;

b. idem;

c. idem;

d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun dan maksimal 35 (tiga puluh lima) tahun;

e. idem;

f. lulus ujian yang diadakan oleh PERADI;

g. idem;

h. idem;i. idem.

2. Rekonstruksi Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003:

Sebelum Rekonstruksi Pasal 5 ayat (1)Sesudah Rekonstruksi Pasal 5 ayat (1)

Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

Advokat berstatus sebagai penegak hukum yang sejajar dengan polisi, jaksa dan hakim dan mendapatkan perlindungan hukum dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum di pengadilan maupun di luar pengadilan.

3. Rekonstruksi Pasal 6 UU No. 18 Tahun 2003

Sebelum Rekonstruksi Pasal 6 Sesudah Rekonstruksi Pasal 6

Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan :

a. mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;

b. berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;

c. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;

d. berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;

e. melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela;

f. melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.

Advokat dalam menjalankan profesinya dapat dikenai tindakan oleh Dewan Kehormatan Peradi dengan alasan :

a. idem;

b. idem;

c. idem;

d. idem;

e. idem;

f. idem.

4. Rekonstruksi Pasal 14 UU No. 18 Tahun 2003

Sebelum Rekonstruksi Pasal 14Sesudah Rekonstruksi Pasal 14

Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

Advokat mendapatkan perlindungan hukum atau tidak dikriminalisasi dalam mengeluarkan pendapat dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan maupun di luar sidang pengadilan dengan berpegang pada kode etik profesi advokat.

5. Rekonstruksi Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2003

Sebelum Rekonstruksi Pasal 15 Sesudah Rekonstruksi Pasal 15

Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

Advokat mendapat perlindungan hukum atau tidak dikriminalisasi dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara baik di luar maupun di dalam sidang pengadilan yang menjadi tanggung jawabnya dengan berpegang teguh kepada kode etik profesi advokat.

6. Rekonstruksi Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003

Sebelum Rekonstruksi Pasal 16Sesudah Rekonstruksi Pasal 16

Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan maupun di luar sidang pengadilan.

7. Rekonstruksi Pasal 17 UU No. 18 Tahun 2003

Sebelum Rekonstruksi Pasal 17Sesudah Rekonstruksi Pasal 17

Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Dalam menjalankan profesinya, Advokat wajib memperoleh informasi, data, berita acara pemeriksaan dan dokumen lainnya, baik dari polisi, jaksa, hakim, instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

8. Rekonstruksi Pasal 18 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2003

Sebelum Rekonstruksi Pasal 18 ayat (2)Sesudah Rekonstruksi Pasal 18 ayat (2)

Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.

Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh polisi, jaksa, hakim, pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.

9. Rekonstruksi Pasal 19 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2003

Sebelum Rekonstruksi Pasal 19 ayat (2)Sesudah Rekonstruksi Pasal 19 ayat (2)

Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.

Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik baik penyadapan oleh KPK, polisi, jaksa, hakim dan/atau instansi pemerintah/negara lainnya.

10. Rekonstruksi Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003

Sebelum Rekonstruksi Pasal 31Sesudah Rekonstruksi Pasal 31

(1) Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah.

(1) Sudah dihapus melalui putusan MK No. 006/PUU-II/2004.- Pasal 31 sudah dibatalkan oleh MK melalui putusan No. 006/PUU-II/2004, namun pasal ini perlu untuk direkonstruksi kembali. Sebab, dengan ditiadakannya pasal ini akan membuka kesempatan yang sangat lebar untuk calo-calo lawyer yang tidak bertanggung jawab dan akan menghambat proses penegakan hukum dan keadilan yang berbasis hukum progresif.(2) Setiap orang atau badan hukum atau korporasi melanggar Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (2) sebagaimana diatur dalam UU ini, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 4 tahun dan membayar ganti kerugian sekurang-kurangnya Rp. 500.000.000 (lima ratus juta) rupiah.

IV. SIMPULAN DAN IMPLIKASIA. SIMPULAN1. Perlindungan Hukum Advokat Sebagai Penegak Hukum Tidak Berjalan Sesuai Dengan Ketentuan Peraturan Perundangan Dalam Mewujudkan Keadilan:

a. Beberapa faktor yang menyebabkan memudarnya penegakan dan kewibawaan hukum, pertama, karena merosotnya keinsafan dan kesadaran terhadap peraturan yang berlaku, merupakan langkah mati dalam upaya membersihkan penyelewengan terhadap peraturan. Dengan kata lain kemajuan umat beragama dalam menjalankan ibadah belum mampu membonceng budaya lambat dalam melaksanakan hakekat ibadah dan ketaatan pada hukum. Kedua, keburukan dan label cacat terhadap aparatur negara dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, merupakan gejala kekakuan yang harus dicairkan sedini mungkin, sehingga kepercayaan masyarakat menjadi semakin berkurang. Ketiga, karena aspek pengawasan formal yang masih lemah dan belum optimal dalam menjalankan tugasnya.b. Status penegak hukum yang diberikan kepada advokat (Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, tidak dipahami oleh setiap advokat. Hal ini didukung dengan tidak adanya pengaturan secara tegas tentang kewenangan advokat sebagaiamana aparat penegak hukum lainnya yang diberikan kewenangan. Melihat kenyataan tersebut maka diperlukan pemberian kewenangan kepada advokat. Kewenangan tersebut diperlukan untuk:1) Untuk menciptakan kesejajaran diantara aparat penegak hukum;2) Untuk menghindari adanya multi tafsir diantara aparat penegak hukum yang lain dan kalangan advokat itu sendiri terkait dengan kewenangan;

3) Kewenangan advokat tersebut diperlukan dalam rangka menghindari tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang lain (hakim, jaksa, polisi) dan;

4) Untuk memberikan batasan kewenangan yang jelas terhadap advokat dalam menjalankan profesinya.

2. Kelemahan-Kelemahan Dalam Pelaksanaan Perlindungan Hukum Advokat Sebagai Penegak Hukum Dalam Mewujudkan Keadilan:

a. Adanya penyakit jalan pintas

b. Profesi advokat sebagai broker perkara.

c. Contempt of Court

d. UU No. 18 Tahun 2003 yang merupakan pedoman pelaksanaan tugas advokat masih banyak mengandung polemik dan masalah.e. Perkembangan masalah yang terjadi di tubuh organisasi advokat ini juga menjadi hambatan bagi pelaksanaan tugas advokat sebagai penegak hukum.

3. Rekonstruksi Perlindungan Hukum Advokat Sebagai Penegak Hukum Dalam Mewujudkan Keadilan Berbasis Hukum Progresif

a. Mengacu pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat: Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut, Advokat sebagai pembela kliennya dituntut untuk lebih menghayati kedudukannya sebagai penegak hukum. Di lain pihak, hakim, jaksa dan polisi harus makin menyadari bahwa telah ada organ lain yang berkedudukan sebagai penegak hukum. Selain itu, Hak Kekebalan (Hak Imunitas) advokat dalam melakukan tugas atau pekerjaannya juga patut dipahami tidak hanya oleh advokat, tetapi juga oleh pihak- pihak terkait erat dengan pekerjaan advokat. Tujuannya ialah agar semua pihak mengerti kedudukan advokat.

b. Berikut Penulis uraikan substansi dari UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang perlu dirubah, antara lain Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (2), dan 31:No.Rekonstruksi UU No. 18 Th. 2003 Substansi Rekonstruksi

1.Pasal 3 ayat (1)

huruf d dan fUntuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. idem;

b. idem;

c. idem;

d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun dan maksimal 35 (tiga puluh lima) tahun;

e. idem;

f. lulus ujian yang diadakan oleh PERADI;

g. idem;

h. idem;i. idem.

2.Pasal 5 ayat (1)Advokat berstatus sebagai penegak hukum yang sejajar dengan polisi, jaksa dan hakim dan mendapatkan perlindungan hukum dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum di pengadilan maupun di luar pengadilan.

3. Pasal 6 Advokat dalam menjalankan profesinya dapat dikenai tindakan oleh Dewan Kehormatan Peradi dengan alasan :

a. idem;

b. idem;

c. idem;

d. idem;

e. idem;

f. idem.

4.Pasal 14Advokat mendapatkan perlindungan hukum atau tidak dikriminalisasi dalam mengeluarkan pendapat dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan maupun di luar sidang pengadilan dengan berpegang pada kode etik profesi advokat.

5.Pasal 15Advokat mendapat perlindungan hukum atau tidak dikriminalisasi dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara baik di luar maupun di dalam sidang pengadilan yang menjadi tanggung jawabnya dengan berpegang teguh kepada kode etik profesi advokat.

6.Pasal 16Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan maupun di luar sidang pengadilan.

7.Pasal 17Dalam menjalankan profesinya, Advokat wajib memperoleh informasi, data, berita acara pemeriksaan dan dokumen lainnya, baik dari polisi, jaksa, hakim, instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

8.Pasal 18 ayat (2)Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh polisi, jaksa, hakim, pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.

9.Pasal 19 ayat (2)Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik baik penyadapan oleh KPK, polisi, jaksa, hakim dan/atau instansi pemerintah/negara lainnya.

10.Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2)(1) Sudah dihapus melalu putusan MK No. 006/PUU-II/2004.

Pasal 31 sudah dibatalkan oleh MK melalui putusan No. 006/PUU-II/2004, namun pasal ini perlu untuk direkonstruksi kembali. Sebab, dengan ditiadakannya pasal ini akan membuka kesempatan yang sangat lebar untuk calo-calo lawyer yang tidak bertanggung jawab dan akan menghambat proses penegakan hukum dan keadilan yang berbasis hukum progresif.

(2) Setiap orang atau badan hukum atau korporasi melanggar Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (2) sebagaimana diatur dalam UU ini, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 4 tahun dan membayar ganti kerugian sekurang-kurangnya Rp. 500.000.000 (lima ratus juta) rupiah.

B. IMPLIKASI KAJIAN

1. Implikasi Paradigmatik

Hasil studi ini mempunyai implikasi yang bersifat paradigmatik, terutama berkaitan dengan pemikiran legal positivistic yang mempunyai konsep hukum, hukum adalah norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional. Dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa status advokat sebagai penegak hukum (Pasal 5 ayat (1)) belum memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat akan lembaga bantuan hukum. Sehingga diperlukan perubahan Paradigmatik dari para Advokat yang positivistik yaitu tidak hanya memandang statusnya sebagai penegak hukum saja namun ia harus menyadari bahwa ia juga merupakan penegak keadilan, maka diperlukan penguatan perlindungan hukum bagi advokat dalam menjalankan penegakan keadilan dan kebenaran setara dengan perlindungan hukum terhadap polisi, jaksa, dan hakim. Keadilan hakiki yang didambakan oleh setiap manusia adalah Keadilan menurut Islam yakni keadilan berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadist. Keadilan dapat dicapai dengan penegakan hukum yang berbasis hukum progresif. 2. Implikasi Praktis

Secara legal praktis keadilan adalah salah satu tujuan ditegakkannya hukum. Artinya keberhasilan penegakan hukum tergantung dari apa yang dirasakan oleh masyarakat. Apabila masyarakat merasakan adanya keadilan, berarti hukum telah berhasil ditegakkan. Untuk itu advokat bersama dengan penegak hukum lainnya harus paham dan menghayati betul apa sebenarnya tugas dan peran mereka yang secara praktis dapat digunakan untuk menjalankan profesinya secara professional.C. SARAN1. Berikut tugas-tugas yang seharusnya dilaksanakan dengan baik oleh para advokat:

1) Apabila didapati seorang klien yang tidak jujur, advokat harus bersikap tegas dan bila perlu advokat harus memutuskan kontraknya dengan kliennya;

2) Mengenai gambaran prospek suatu perkara, advokat tidak boleh menjanjikan suatu kemenangan kepada klien atas kasusnya;

3) Dalam menekuni profesinya advokat harus bermotivasi idealisme, untuk menegakkan hukum dan keadilan dan menomorduakan honorarium;

4) Klarifikasi atas suatu kasus sangat penting dilakukan oleh advokat kepada kliennya, agar klien paham betul akan kasusnya karena advokat hanyalah seorang penerima mandat. Seluruh tanggung jawab atas suatu kasus yang ditanganinya tetap ada pada klien;

5) Mengenai honorarium, advokat harus bisa memberikan toleransi dan keleluasaan tanpa mengesampingkan bantuan hukum non profit-orientied bagi rakyat tidak mampu sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945;

6) Sebagai seorang advokat yang mempunyai profesi yang bermartabat, advokat tidak boleh membuka rahasia klien, advokat wajib menjaga kerahasiaan klien.

2. Pemahaman yang sama terhadap suatu kontruksi hukum akan sangat mendukung keberhasilan proses penegakan hukum. Koordinasi dan penyamaan persepsi antara penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan advokat) harus dikembangkan sejak dini. Selain perlunya rekonstruksi UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Penulis juga menyarankan untuk rekonstruksi terhadap KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Hal ini dimaksudkan agar terjadi harmonisasi dalam peraturan perundang-undangan.

3. Perlunya pembenahan paling dini dapat dimulai dari sistem perekruitan yang ketat dan peningkatan standar mutu. Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut, diperlukan sistem sertifikasi nasional dan standarisasi, termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Advokat sebagai seorang protector, ia juga berkewajiban untuk menjadi seorang educator. Sebagai educator, upaya yang dapat dilakukan PERADI untuk menjadikan advokat antara lain seperti: (a) pembangunan dan pengelolaan sistem dan infra struktur informasi hukum yang berbasis teknologi informasi (information technology); (b) peningkatan Upaya Publikasi, Komunikasi dan Sosialisasi Hukum; (c) pengembangan pendidikan dan pelatihan hukum; dan (d) pemasyarakatan citra dan keteladanan-keteladanan di bidang hukum.4. Beberapa hal yang perlu diatur dalam UU Advokat yang baru adalah:a. Ketentuan pidana bagi orang yang mengaku advokat;b. Organisasi Advokat yang diakui UU harus disebutkan secara tegas;c. Batas usia maksimal untuk menjadi advokat.