revisi-p.70-02032011
DESCRIPTION
REVISI-P.70-02032011TRANSCRIPT
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIANOMOR : P. /Menhut-II/2010
TENTANG
PEDOMAN TEKNIS REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan telah ditetapkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan;
b. bahwa ketentuan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b perlu membentuk Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Pasal 24...
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4207) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4776);
5. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);
6. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814);
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan;
9. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 96);
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG TENTANG PEDOMAN TEKNIS REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN.
Pasal 1
Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan ini.
Pasal 2
Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan ini menjadi acuan teknis dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan.
Pasal 3
Unit kerja Eselon II dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Lingkup Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial, menyusun Rencana strategis (Renstra) 2010 – 2014 dengan mengacu pada Rencana Strategis Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial ini.
Pasal 4
(1) Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kehutanan ini, maka Kebun Bibit Rakyat (KBR) yang telah dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.24/Menhut-II/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.46/Menhut-II/2010 dinyatakan tetap berlaku dan selanjutnya disesuaikan dengan Peraturan ini.
(2) Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kehutanan ini, maka Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 5
Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Kehutanan ini diundangkan dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI KEHUTANANREPUBLIK INDONESIA,
ZULKIFLI HASANDiundangkan di Jakartapada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAMREPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANANNOMOR : P. /Menhut-II/2011TANGGAL :
PEDOMAN TEKNIS REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kerusakan fungsi hutan dan lahan yang diidentifikasi sebagai lahan
kritis di Indonesia berdasarkan hasil identifikasi dan inventarisasi
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial tahun
20091 adalah seluas 71.535.937 Ha yang terdiri dari 30.869.752 Ha
kategori Kritis s/d Sangat Kritis dan 40.666.185 Ha kategori Agak
Kritis.
Kerusakan hutan dan lahan sudah tersebar di semua fungsi
kawasan sehingga menjadi ancaman yang cukup serius bagi daya
dukung DAS baik fungsinya sebagai penyangga kehidupan maupun
peran hidro orologis DAS. Indikator adanya degradasi fungsi DAS
ditunjukkan dengan meningkatnya bencana alam banjir, longsor
dan kekeringan yang melanda di sebagian besar wilayah Indonesia
pada dekade ini.
Dalam upaya mengendalikan laju kerusakan hutan dan lahan
tersebut Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
yang mengatur penyelenggaraan rehabilitasi serta reklamasi hutan
pada semua fungsi hutan serta areal penggunaan lain. PP Nomor
76/Tahun 2008 ini telah mengatur pembagian kewenangan dan
kewajiban bagi pemerintah, pemerintah daerah serta pemegang ijin
kawasan untuk melakukan penyelenggaraan RHL yang mencakup
perencanaan, pelaksanaan maupun pengendalian.
Kewajiban melakukan RHL pada lahan kritis di semua fungsi
kawasan mengharuskan pemerintah, pemerintah daerah serta
pemegang ijin kawasan mengalokasikan kegiatan RHL dari berbagai
sumber anggaran dengan berpedoman pada ketentuan PP.76/2008
ini. Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan ini merupakan
amanat pasal 33 PP.76/2008 untuk petunjuk bagi para pihak agar
dapat melaksanakan kegiatan RHL di lapangan sehingga kegiatan
RHL dapat terlaksana dengan baik.
1 Hasil Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Daerah Aliran Sungai (DAS)
2. Maksud dan Tujuan
Pedoman teknis RHL ini dimaksudkan untuk memberikan acuan
kepada semua pihak dalam menyelenggarakan kegiatan RHL
sehingga pelaksanaan kegiatan RHL dapat terlaksana dengan baik.
Sedangkan tujuannya adalah pulihnya daya dukung DAS dan
meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
3. Ruang Lingkup Pedoman Teknis RHL
Ruang lingkup pedoman teknis RHL ini meliputi perencanaan,
penyediaan bibit, rehabilitasi hutan, rehabilitasi lahan, rehabilitasi
mangrove dan sempadan pantai, rehabilitasi rawa dan gambut,
teknik konservasi tanah, kegiatan pendukung, peran serta
masyarakat, pengendalian dan pengawasan. Pedoman ini
mencakup kegiatan vegetatif dan sipil teknis.
4. Pengertian
1. Areal Produksi Benih (APB) adalah sumber benih yang dibangun
khusus atau berasal dari tegakan benih terseleksi (TBS) yang
kemudian ditingkatkan kualitasnya dengan penebangan pohon-
pohon yang fenotipenya tidak bagus (inferior).
2. Bangunan pengendali jurang (gully plug) adalah bendungan kecil
yang lolos air yang dibuat pada parit-parit, melintang alur parit
dengan konstruksi batu, kayu atau bambu.
3. Bangunan terjunan air adalah bangunan terjunan yang dibuat
pada tiap jarak tertentu pada saluran pembuangan air
(tergantung kemiringan lahan) yang dibuat dari batu, kayu atau
bambu.
4. Bibit adalah bahan tanaman atau bagiannya yang digunakan
untuk memperbanyak dan atau mengembangkan tanaman yang
berasal dari bahan generatif atau bahan vegetatif.
5. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke
laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah
topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan
yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
6. Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas adalah DAS yang menjadi
sasaran prioritas untuk mendapat penanganan segera baik
melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan maupun upaya
lainnya.
7. Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kehutanan adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada
daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai
kebutuhan daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu
mendanai kegiatan khusus di bidang kehutanan yang merupakan
urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
8. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Dana Reboisasi
(DBH SDA Kehutanan DR) adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan
angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi yang berasal dari sumber
daya alam kehutanan.
9. Dam penahan adalah bendungan kecil yang lolos air dengan
konstruksi bronjong batu atau trucuk bambu/kayu yang dibuat
pada alur sungai / jurang dengan tinggi maksimal 4 meter yang
berfungsi untuk mengendalikan/mengendapkan
sedimentasi/erosi tanah dan aliran permukaan (run-off).
10. Dam pengendali adalah bendungan kecil semi permanen
yang dapat menampung air (tidak lolos air) dengan konstruksi
urugan tanah homogen, lapisan kedap air dari beton (tipe busur)
untuk mengendalikan erosi tanah, sedimentasi dan aliran
permukaan yang dibangun pada alur sungai/anak sungai dengan
tinggi bendungan maksimal 8 (delapan) meter.
11. Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas yang diserahi tugas
dan tanggung jawab di bidang kehutanan di daerah
Kabupaten/Kota.
12. Dinas Provinsi adalah Dinas yang diserahi tugas dan
tanggung jawab di bidang kehutanan di daerah Provinsi.
13. Embung air adalah bangunan penampung air berbentuk
kolam yang berfungsi untuk menampung air hujan/air limpasan
atau air rembesan pada lahan tadah hujan yang berguna sebagai
sumber air untuk memenuhi kebutuhan pada musim kemarau.
14. Gambut adalah material yang terbentuk dari bahan-bahan
organik (serasah), seperti dedaunan, batang dan cabang serta
akar tumbuhan yang terakumulasi dalam kondisi lingkungan
yang tergenang air, sedikit oksigen dan keasaman tinggi serta
terbentuk di suatu lokasi dalam jangka waktu yang lama.
15. Hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang
bertumbuhan pohon-pohonan yang kompak dan rapat di dalam
wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak,
yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang
berwenang.
16. Hutan mangrove adalah suatu formasi pohon-pohon yang
tumbuh pada tanah aluvial di daerah pantai dan sekitar muara
sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut dan dicirikan oleh
keberadaan jenis-jenis Avicennia spp (Api-api), Soneratia spp.
(Pedada), Rhizophora spp (Bakau), Bruguiera spp (Tanjang),
Lumnitzera excoecaria (Tarumtum), Xylocarpus spp (Nyirih),
Anisoptera dan Nypa fruticans (Nipah).
17. Hutan pantai adalah suatu formasi pohon-pohon yang
tumbuh di tepi pantai dan berada diatas garis pasang tertinggi,
antara lain : Casuarina equisetifolia (Cemara laut), Terminalia
catappa (Ketapang), Hibiscus filiaccus (Waru), Cocos nucifera
(Kelapa) dan Arthocarpus altilis (Cempedak).
18. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah
yang dibebani hak milik maupun hak lainnya di luar kawasan
hutan dengan ketentuan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk
tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50 %.
19. Hutan rawang adalah areal dalam kawasan hutan yang
tidak produktif yang ditandai dengan potensi pohon komersial
kurang dari 20 m³/ha.
20. Jenis kayu-kayuan adalah jenis-jenis tanaman hutan yang
menghasilkan kayu untuk konstruksi bangunan, meubel dan
peralatan rumah tangga.
21. Jenis tanaman endemik adalah jenis tanaman asli yang
tumbuh/pernah tumbuh pada suatu daerah.
22. Jenis tanaman serbaguna (multi purpose tree
species/MPTS) adalah jenis tanaman yang menghasilkan kayu
dan bukan kayu (buah- buahan, getah, kulit dll.)
23. Jenis tanaman unggulan lokal (TUL) adalah jenis-jenis
tanaman asli atau eksotik yang disukai masyarakat karena
mempunyai keunggulan tertentu berupa produk kayu, buah dan
getah yang produknya mempunyai nilai ekonomi tinggi.
24. Kebun Benih Semai (KBS) adalah sumber benih yang
dibangun dari bahan generatif yang berasal dari pohon plus pada
tegakan yang diberi perlakukan penjarangan berdasarkan hasil
uji keturunan.
25. Kebun Benih Klon (KBK) adalah sumber benih yang
dibangun dari bahan vegetatif yang berasal dari pohon plus pada
tegakan yang diberi perlakukan penjarangan berdasarkan hasil
uji keturunan.
26. Kebun Pangkas (KP) adalah sumber benih yang dibangun
dari bahan vegetatif yang berasal dari klon unggul berdasarkan
hasil uji klon.
27. Konservasi tanah adalah upaya penempatan setiap bidang
tanah pada penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah
tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat- syarat
yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah sehingga
dapat mendukung kehidupan secara lestari.
28. Lahan kritis adalah lahan yang berada di dalam dan di luar
kawasan hutan yang telah menurun fungsinya sebagai unsur
produksi dan media pengatur tata air DAS.
29. Land Mapping Unit (LMU) adalah unit pemetaan lahan
terkecil yang mempunyai kesamaan kondisi biofisik berupa
tingkat kerusakan/ kekritisan, fungsi kawasan dan morfologi
Daerah Aliran Sungai (DAS).
30. Lubang resapan biopori adalah lubang yang dibuat di
dalam tanah agar terjadi berbagai aktivitas organisme di
dalamnya, seperti cacing, perakaran tanaman, rayap dan fauna
tanah lainnya.
31. Normal Density Value Index (NDVI) yaitu suatu nilai hasil
pengolahan indeks vegetasi dari citra satelit kanal inframerah
dan kanal merah yang menunjukkan tingkat kerapatan vegetasi
setiap piksel secara relatif.
32. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk
meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat melalui
pemberian akses terhadap sumberdaya, pendidikan, pelatihan
dan pendampingan.
33. Pemeliharaan tanaman adalah perlakuan terhadap
tanaman dan lingkungannya agar tanaman tumbuh sehat dan
normal melalui pendangiran, penyiangan, penyulaman,
pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit.
34. Penghijauan adalah kegiatan tanam- menanam pohon di
luar kawasan hutan.
35. Penanaman pengkayaan reboisasi adalah penanaman di
kawasan hutan dalam rangka penambahan jumlah pohon untuk
meningkatkan produktivitas hutan.
36. Penanaman pengkayaan hutan rakyat adalah penanaman
di luar kawasan hutan dalam rangka penambahan jumlah pohon
untuk meningkatkan produktivitas lahan.
37. Penghijauan lingkungan adalah penanaman pohon di luar
kawasan hutan untuk meningkatkan kualitas lingkungan seperti
pada areal fasilitas sosial/umum, ruang terbuka hijau, jalur hijau,
pemukiman, taman dll.
38. Perlindungan kanan kiri / tebing sungai adalah teknik
konservasi tanah secara vegetatif dan/atau sipil teknis untuk
melindungi kanan kiri/tebing sungai.
39. Propagul adalah bahan tanaman mangrove yang sudah
terbentuk bakal batang tanamannya.
40. Reboisasi adalah kegiatan tanam- menanam pohon di
dalam kawasan hutan.
41. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah upaya untuk
memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan
dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya
dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
42. Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah
Aliran Sungai (RTk-RHL DAS) adalah rencana RHL 15 (lima belas)
tahunan yang memuat rencana pemulihan hutan dan lahan,
pengendalian erosi dan sedimentasi, pengembangan
sumberdaya air dan pengembangan kelembagaan.
43. Rencana Pengelolaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(RPRHL) adalah rencana RHL 5 (lima) tahunan yang disusun
berdasarkan RTkRHL-DAS memuat kebijakan dan strategi, lokasi,
jenis kegiatan, kelembagaan, pembiayaan dan tata waktu.
44. Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RTnRHL)
adalah rencana tahunan RHL yang disusun berdasarkan RP RHL
pada T-1.
45. Rancangan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RKRHL)
adalah rancangan teknis kegiatan RHL yang memuat jenis
kegiatan tertentu, detil lokasi, volume, kebutuhan biaya, tata
waktu, peta situasi, gambar desain kegiatan RHL, yang
dilengkapi dengan kegiatan pendukung.
46. Rorak adalah saluran buntu yang berfungsi sebagai
tampungan sementara air dari aliran permukaan untuk
diresapkan ke dalam tanah.
47. Saluran Pembuangan Air (SPA) adalah saluran air yang
dibuat memotong kontur dapat diperkuat dengan bangunan
terjunan air dan/atau gebalan rumput.
48. Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang
lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai
minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah daratan.
49. Sistem jalur adalah cara penanaman dengan pembersihan
lahan sepanjang jalur tanaman.
50. Sistem cemplongan adalah cara penanaman dengan
pembersihan lahan di sekitar lubang tanaman.
51. Sistem tumpangsari adalah pola penanaman yang
dilaksanakan dengan menanam tanaman semusim/setahun atau
tanaman sela diantara tanaman pokok (kayu-kayuan/MPTS).
52. Strip rumput (grass barrier) adalah cara penanaman
tanaman pokok di antara strip rumput secara berselang seling
yang dilakukan pada bidang yang memotong lereng.
53. Teras adalah bangunan konservasi tanah berupa bidang
olah, guludan dan saluran air searah dengan kontur lapangan.
54. Tegakan Benih Provenan adalah sumber benih yang
dibangun dari (Permenhut Perbenihan Tanaman Hutan
Terbaru..........)
55. Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT) adalah sumber benih
dengan kualitas tegakan rata-rata yang ditunjuk dari hutan alam
atau hutan tanaman yang lokasinya teridentifikasi dengan tepat.
56. Tegakan Benih Terseleksi (TBS) adalah sumber benih yang
berasal dari TBT dengan kualitas tegakan diatas rata-rata.
II. PERENCANAAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
A. Pola Umum, Kriteria dan Standar RHL dan Reklamasi Hutan
Pola Umum, Kriteria dan Standar RHL dan Reklamasi Hutan telah
ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 39/ Tahun
2010. Pola umum memberikan kerangka dasar dalam
penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan, serta reklamasi
hutan yang memuat prinsip dan pendekatan. Sedangkan kriteria
dan standar RHL dan reklamasi hutan merupakan ukuran sebagai
dasar dan acuan sebagai patokan dalam penyelenggaraan RHL dan
reklamasi hutan.
B. Hirarki Perencanaan RHL
Berdasarkan PP Nomor 76 Tahun 2008, hirarki perencanaan RHL
meliputi RTkRHL-DAS, RPRHL dan RTnRHL. Tata cara penyusunan
rencana RHL tersebut telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.32/2009, 37/2010 dan 38/2010.
1. Hal-hal penting dalam RTkRHL-DAS adalah sebagai berikut:
a. Penyusunan RTkRHL-DAS dimaksudkan untuk menyediakan
rencana RHL 15 tahunan dalam satuan DAS.
b. RTkRHL-DAS berisi rencana pemulihan hutan dan lahan,
pengendalian erosi dan sedimentasi, pengembangan
sumberdaya air serta pengembangan kelembagaan.
c. RTkRHL-DAS mencakup wilayah lahan kering (DAS bagian
hulu, tengah maupun hilir), ekosistem mangrove dan
sempadan pantai serta hutan rawa dan gambut.
d. RTkRHL-DAS disusun dan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan
dan menjadi dasar bagi penyusunan RPRHL.
e. Sasaran lokasi RHL dalam RTkRHL-DAS adalah lahan kritis di
dalam dan di luar kawasan hutan negara. Untuk
mempertajam analisis dalam penetapan sasaran kegiatan
RHL, peta lahan kritis kemudian ditampalkan (overlay) dengan
peta morfologi DAS, fungsi kawasan serta DAS Prioritas.
f. Lahan kritis sasaran RHL adalah lahan kritis di dalam dan di
luar kawasan hutan negara dalam DAS yang masuk dalam
kategori sangat kritis - kritis – agak kritis, yang dalam
RTkRHL-DAS disebut sebagai satuan peta lahan (land
mapping unit /LMU) terpilih. Untuk keperluan penetapan
prioritas sasaran kegiatan RHL, maka prioritas penanganan
lahan kritis diutamakan pada lahan kritis s/d sangat kritis
sebagai RHL Prioritas I. Sedangkan lahan kategori agak kritis
digolongkan sebagai RHL Prioritas II.
2. Hal-hal penting dalam RPRHL adalah sebagai berikut:
a. RPRHL adalah rencana RHL 5 (lima) tahunan pada satuan
wilayah administratif atau pemangkuan kawasan yang
bersifat operasional untuk perencanaan RHL 5 (lima) tahunan
dan disusun berdasarkan RTkRHL-DAS.
b. RPRHL disusun antara lain dengan mempertimbangkan
ketersediaan sumberdaya (finansial, SDM, sarana/prasarana)
yang ada serta kondisi sosial-ekonomi-budaya masyarakat.
c. RPRHL memuat kebijakan dan strategi, lokasi, jenis
kegiatan, kelembagaan, pembiayaan, dan tata waktu.
d. RPRHL dapat mencakup kawasan taman hutan raya (Tahura),
atau hutan lindung/hutan produksi/areal penggunaan lain
(kabupaten/kota) atau kawasan hutan konservasi selain
Tahura.
e. RPRHL untuk Tahura skala provinsi disusun oleh Kepala Dishut
provinsi, dinilai oleh Kepala BPDAS dan ditetapkan oleh
Gubernur.
f. RPRHL untuk Tahura/hutan lindung/hutan produksi/areal
penggunaan lain skala kabupaten/kota disusun oleh Kadishut
Kabupaten/Kota, dinilai oleh Kepala BPDAS dan ditetapkan
oleh Bupati/Walikota.
g. RPRHL di kawasan konservasi selain Tahura disusun oleh
Kepala Bidang Balai Besar/Kepala Seksi Wilayah Balai
KSDA/TN, dinilai oleh Kepala BPDAS dan ditetapkan oleh
Kepala Balai Besar/Balai KSDA/TN.
h. RPRHL menjadi dasar bagi penyusunan RTnRHL oleh
pemangku kawasan/pengguna lahan yang bersangkutan.
i. Wilayah penyusunan RPRHL dibagi habis kedalam unit-unit
mikro DAS (micro watershed) dengan luas + 200-500 hektar,
khusus unit mikro DAS yang kritis merupakan sasaran RHL
dikategorikan sebagai unit terkecil pengelolaan RHL (UTP
RHL).
j. Penetapan UTP RHL untuk evaluasi hasil (outcome) dan
dampak (impact) RHL terkait dengan perbaikan kondisi tata
air DAS termasuk pengendalian banjir, erosi tanah,
sedimentasi dan kekeringan.
3. Hal-hal penting dalam RTnRHL adalah sebagai berikut:
a. RTnRHL merupakan dokumen rencana tahunan RHL yang
disusun pada T-1 oleh Kadishut Provinsi/Kabupaten/Kota,
pemangku kawasan (Kepala Balai Besar/Balai KSDA/TN) dan
pemegang hak/izin (Pimpinan BUMN/BUMS/BUMD).
b. RTnRHL memuat rencana RHL tahunan pada tahun berjalan
dengan mencantumkan sumber anggaran.
4. Rancangan Kegiatan RHL (RK RHL)
RK RHL adalah desain teknis kegiatan RHL yang memuat
informasi detil jenis dan lokasi kegiatan, peta, rincian kebutuhan
bahan dan upah, gambar pola tanam dan/atau konstruksi.
Rancangan kegiatan RHL terdiri dari kegiatan vegetatif (tanam-
menanam) dan sipil teknik.
a. Komponen RK RHL, terdiri dari:
1) Informasi lokasi kegiatan.
a) Kampung/Blok, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi,
DAS, BPDAS.
b) Identitas (ID) Unit Terkecil Pengelolaan RHL (UTP RHL)
mengacu kepada RPRHL.
c) Identitas kelompok tani/masyarakat pelaksana kegiatan
RHL khususnya untuk kegiatan tanam menanam
(vegetatif) di luar kawasan hutan.
2) Peta Situasi dan Peta Lokasi.
a) Peta situasi dengan skala 1:25.000 atau 1:50.000
adalah peta yang menunjukkan posisi lokasi kegiatan
RHL terhadap wilayah administrasi sekitarnya.
b) Peta lokasi kegiatan vegetatif adalah peta poligon
tertutup lokasi tanaman yang diukur menggunakan GPS
atau theodolite atau alat-alat pemetaan lain dengan
skala 1:1000 s/d 1:5000, menggunakan peta dasar
Google Map atau peta citra satelit lainnya agar kondisi
aktual lokasi RHL dapat disajikan dengan lebih jelas.
c) Peta lokasi kegiatan sipil teknis adalah peta yang
menggambarkan letak bangunan sipil teknis yang
disajikan dalam peta/sket topografi skala 1:100 atau
1:1000.
d) Peta lokasi kegiatan RHL diplot kedalam peta UTP RHL
yang sudah ada dalam peta RP RHL.
3) Gambar Pola Tanam.
Pada rancangan kegiatan vegetatif dilengkapi gambar pola
tanam berupa sebaran/letak jenis dan jarak tanam,
termasuk untuk wanatani (agroforestry) agar
menggambarkan sebaran tanaman pokok dan tanaman
pengisi/sela/pinggir mencakup tanaman semusim/setahun
dan tanaman keras/tahunan.
4) Gambar Konstruksi.
Untuk bangunan konservasi tanah berupa bangunan sipil
teknis agar dilengkapi gambar konstruksi yang jelas
dengan skala numerik sehingga memudahkan perhitungan
kebutuhan bahan dan upah tenaga kerja.
5) Rincian kebutuhan bahan dan upah
Analisis kebutuhan bahan dilakukan berdasarkan kondisi
riil lapangan dengan menggunakan jenis-jenis lokal,
sedangkan kebutuhan tenaga kerja dihitung sesuai standar
setempat.
6) Lembar Pengesahan
Lembar pengesahan berisi tandatangan penyusun, penilai
dan pengesah buku RK RHL.
b. Mekanisme Penyusunan RK RHL
1) Pembentukan Tim Penyusun
Dibentuk oleh satuan kerja pelaksana RHL, jika diperlukan
tim penyusun dapat melibatkan unsur Balai Pengelolaan
DAS (BPDAS) atau Balai Pengelolaan Hutan Mangrove
(BPHM) dan/atau konsultan/perguruan tinggi.
2) Penyiapan bahan
Bahan-bahan berupa peta-peta RTk RHL DAS dan/atau RP
RHL, peta-peta pendukung lainnya termasuk citra satelit
atau google map (jika ada), tally sheet, serta peralataan
pemetaan di lapangan.
3) Identifikasi lokasi
Identifikasi lokasi RHL dilakukan dengan menggunakan
Peta RTk RHL DAS dan/atau RP RHL serta hasil orientasi
lapangan.
4) Survey lapangan dan pemetaan
Survey lapangan dilakukan dengan mengumpulkan data
biofisik dan sosial ekonomi, kelompok tani pelaksana,
ketersediaan bahan-bahan, dan data-data pendukung
lainnya.
Pemetaan lokasi dilakukan dengan menetapkan titik-titik
poligon terluar lokasi kegiatan penanaman dan
menentukan letak geografisnya.
Survey lapangan dan pemetaan kegiatan sipil teknis
adalah menentukan letak dan mengukur bangunan
konservasi tanah seperti badan bendung, saluran pelimpah
(spillway), saluran pengelak, letak serta ukuran embung
air, sumur resapan, biofori dll.
5) Pengolahan data
Data hasil survey lapangan dan pemetaan lokasi diolah
dan dianalisa untuk menghitung kebutuhan bahan dan
upah, menggambar pola tanam serta peta poligon tertutup
termasuk gambar konstruksi untuk bangunan sipil teknis.
6) Penyusunan naskah rancangan.
Naskah buku RK RHL berisi uraian narasi dan tabel serta
lampiran berisi gambar pola tanam, gambar konstruksi,
peta dan data yang disajikan lengkap dan urut sesuai
dengan manual yang tersedia.
III. PENYEDIAAN BIBIT
A. Kaidah Umum Pembibitan
1. Asal-Usul Bibit
Bibit berkualitas diperoleh dari benih berkualitas yang berasal
sumber benih bersertifikat. Pada saat ini terdapat 7 (tujuh) kelas
sumber benih sesuai dengan klasifikasinya yaitu:
a. Tegakan benih teridentifikasi;
b. Tegakan benih terseleksi;
c. Areal produksi benih;
d. Tegakan benih provenan;
e. Kebun benih semai;
f. Kebun benih Klon;
g. Kebun pangkas.
2. Proses Penyediaan Bibit
Penyediaan bibit untuk kegiatan RHL dapat dilakukan dengan
berbagai cara yaitu:
a. Pembuatan bibit melalui swakelola, Kebun Bibit Rakyat
atau Persemaian Permanen;
b. Pengadaan bibit melalui pengada dan/atau pengedar;
3. Kriteria dan Standar serta Sertifikasi Mutu Bibit
a. Kriteria dan Standar Mutu Bibit
Kriteria dan standar mutu bibit ditetapkan berdasarkan beberapa
faktor antara lain kualitas, penanganan/perlakuan benih, teknik
pembibitan dan tujuan penggunaannya. Untuk mencapai kriteria
dan standar tersebut dibutuhkan jangka waktu yang berbeda
untuk setiap jenis tanaman. Kriteria dan standar mutu bibit
adalah sbb :
Tabel 1 . Kriteria dan Standar Mutu Bibit
No Kelompok
Jenis
Tujuan
Penggunaan
Kriteria Standar
1. Kayu-kayuan Reboisasi/Hutan
Rakyat
1.
Pertumbuhan
2. Media
3. Tinggi
1. Pertumbuhan normal
(sehat, berbatang/
berkayu)
2. Kompak
3. Tinggi minimal 30
cm (kecuali jenis
pinus 15 cm dan
sudah ada ekor
bajing)
Tanaman turus
jalan, hutan
kota,
penghijauan
lingkungan
1.
Pertumbuhan
2. Media
3. Tinggi
1. Pertumbuhan normal
(sehat, berbatang/
berkayu)
2. Kompak
3. Tinggi minimal 1
meter
2. Tanaman
Mangrove
Reboisasi/RHL 1.
Pertumbuhan
2. Media
3. Tinggi
1. Pertumbuhan normal
- Non propagul:
sehat, berbatang
tunggal/berkayu
- Propagul: sehat,
jumlah daun
minimal 4 helai
2. Kompak
3. Tidak dipersyaratkan
kecuali non propagul
tinggi minimal 20 cm
3. Tanaman
Pantai
RHL 1.
Pertumbuhan
2. Media
3. Tinggi
1. Pertumbuhan normal
(sehat, berbatang/
berkayu)
2. Kompak
3. Tinggi minimal 30
cm
4. Tanaman
Serbaguna
(MPTS)
Hutan
Rakyat/Reboisa
si/ Penghijauan
Lingkungan
1.
Pertumbuhan
2. Media
3. Tinggi
1. Pertumbuhan normal
(sehat, berbatang/
berkayu)
2. Kompak
3. Tinggi minimal 50
cm kecuali bibit
okulasi 30 cm
dihitung dari
tempelan/sambunga
n.
b. Sertifikasi Mutu Bibit
Mutu bibit dinyatakan dalam bentuk sertifikat mutu bibit dan
surat keterangan mutu bibit. Bibit yang berasal dari sumber
benih bersertikat dan memenuhi persyaratan fisik fisiologis
dinyatakan dengan sertifikat mutu bibit. Sedangkan bibit yang
memenuhi persyaratan fisik fisiologis tetapi bukan berasal dari
sumber benih bersertifikat dinyatakan dengan surat keterangan
mutu bibit.
B. Pembangunan Kebun Bibit Rakyat
Kebun Bibit Rakyat yang selanjutnya disingkat KBR adalah kebun
bibit yang dikelola oleh kelompok masyarakat melalui pembuatan bibit
berbagai jenis tanaman hutan dan/atau tanaman serbaguna (MPTS)
yang pembiayaannya dapat bersumber dari dana pemerintah atau non
pemerintah.
1. Persyaratan Lokasi KBR
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk lokasi KBR:
a. Lokasi diutamakan berada pada sasaran areal RHL berdasarkan
RTk RHL DAS/RP RHL/RTn RHL pada 108 DAS Prioritas.
b. Topografi relatif datar (kemiringan 0-8%), bebas banjir dan tanah
longsor, cukup sinar matahari, tersedia sumber air sepanjang
tahun;
c. Diutamakan aksesibilitas baik atau mudah dijangkau;
d. Khusus untuk jenis mangrove, lokasi persemaian berada pada
wilayah dengan ciri terdapat pasang surut air laut.
2. Pengajuan usulan (proposal)
a. Proposal KBR memuat antara lain identitas nama kelompok
masyarakat, ketua dan nama-nama anggota kelompok
masyarakat (minimal 15 orang/kelompok), diskripsi lokasi/areal
KBR, rencana dan sketsa lokasi/areal penanaman (contoh usulan
pada lampiran......).
b. Proposal KBR ditandatangani oleh ketua dan seluruh anggota
kelompok masyarakat serta diketahui/disetujui oleh Kepala
Desa/Lurah, selanjutnya diajukan dengan surat pengantar dari
ketua kelompok masyarakat KBR kepada Kepala BPDAS dengan
tembusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota (contoh surat pengantar
pada lampiran.............).
3. Verifikasi usulan (proposal)
a. Sebelum dilakukan verifikasi, usulan yang masuk dicermati
kelengkapan administratif dan kesesuaian dengan persyaratan
lokasi, jika tidak lengkap/sesuai maka usulan tidak diterima;
b. Verifikasi calon lokasi dan kelompok masyarakat KBR dilakukan
oleh BPDAS dan dinas kehutanan kabupaten/kota;
c. Hasil verifikasi digunakan sebagai dasar penetapan lokasi dan
kelompok masyarakat KBR yang definitif oleh Kepala BPDAS;
d. Lokasi dan kelompok masyarakat KBR ditetapkan dengan surat
keputusan Kepala BPDAS dan disampaikan kepada para pihak
terkait.
4. Mekanisme Penyediaan Benih KBR
a. Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) menginventarisasi
kebutuhan benih KBR yang berasal dari sumber benih yang
bersertifikat khusus untuk jenis kayu-kayuan;
b. BPTH berkoordinasi dengan BPDAS dan dinas kehutanan
kabupaten/kota untuk menginformasikan ketersediaan dan
teknis penyaluran benih KBR yang bersertifikat kepada kelompok
masyarakat KBR;
c. BPDAS dan dinas kehutanan kabupaten/kota mengkoordinasikan
penyaluran benih KBR bersertifikat kepada kelompok masyarakat
KBR;
d. Untuk benih jenis tanaman serbaguna (MPTS) dan jenis kayu-
kayuan yang tidak berasal dari sumber benih bersertifikat namun
diminati oleh kelompok masyarakat KBR dan sesuai lahan serta
agroklimatnya, maka untuk memperoleh benih-benih tersebut
dapat dari pengada dan pengedar benih atau dari
instansi/lembaga yang berwenang (misal Balai Pengawasan dan
Sertifikasi Benih).
5. Penyusunan Rencana Usulan Kegiatan Kelompok (RUKK)
RUKK adalah rencana pembangunan KBR yang disusun oleh
kelompok masyarakat secara partisipatif yang memuat nama dan
alamat kelompok dan anggotanya, lokasi, jenis dan jumlah bibit,
asal bibit, bahan dan peralatan, komponen kegiatan, rencana biaya,
tata waktu dan rencana penanaman.
RUKK ditandatangani oleh ketua kelompok masyarakat KBR dan
disetujui oleh PPK pada dinas kehutanan kabupaten/kota atau
BPDAS (contoh RUKK pada lampiran..............).
6. Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS)
Ketua kelompok masyarakat KBR dan PPK menandatangani SPKS
(contoh SPKS pada lampiran..........). SPKS dan RUKK digunakan
sebagai syarat pencairan dana tahap I sebesar 40 % dari total
anggaran.
7. Pembuatan Sarana dan Prasarana
a. Papan Nama
Papan nama yang harus dibuat meliputi:
1) Papan nama kegiatan, yang mencantumkan nama kegiatan,
nama kelompok, lokasi, luas areal, tahun pembangunan
(contoh papan nama pada lampiran.........);
2) Tanda pengenal bedengan, mencantumkan jenis dan jumlah
bibit yang disemaikan dan tanggal penyemaian atau
penyapihannya.
b. Bedengan
1) Bedeng/bak tabur
Untuk tempat menyemaikan benih, dapat berupa bedengan
atau menggunakan kotak/bak yang terbuat dari papan kayu,
seng, atau plastik.
2) Bedeng Sapih
Bedeng sapih merupakan tempat yang digunakan untuk
meletakkan polybag berisi bibit yang telah disapih untuk
dipelihara sampai bibit siap tanam. Ukuran lebar bedeng
berkisar 1 meter dan panjang berkisar 5 meter.
c. Naungan
Naungan dibuat untuk menjaga tanaman muda yang baru
disapih ke polybag agar terjaga kelembabannya sehingga
tumbuh dengan baik. Naungan dapat dibuat dari daun rumbia
atau daun kelapa atau paranet/sharlon net. Untuk jenis
tertentu apabila diperlukan dapat dibuat sungkup.
Naungan dibuka untuk aklimatisasi pada saat bibit sudah siap
tanam. Aklimatisasi dimaksudkan agar bibit dapat beradaptasi
dengan lingkungan terbuka, sehingga menjadi kuat ketika
ditanam di lapangan.
d. Jalan Inspeksi
Jalan inspeksi dibuat di antara bedengan dengan ukuran
disesuaikan untuk memudahkan berjalan dan beraktivitas
dalam persemaian (menanam, menyiram, mengangkut bibit,
dll.)
e. Sarana Penyiraman
Sarana penyiraman dapat berupa pompa air, bak penampung
air, selang air, gembor, ember, dan gayung.
8. Pembuatan Bibit
Proses pembuatan bibit terdiri dari kegiatan:
a. Penyediaan benih/bahan tanaman
Benih/bahan tanaman jenis kayu-kayuan dan tanaman
serbaguna (MPTS) harus telah tersedia di lokasi KBR. Untuk
mempercepat pertumbuhan benih perlu dilakukan penanganan
benih sesuai dengan spesifikasi teknis masing-masing jenis
tanaman.
b. Penyiapan media tabur dan media sapih
1) Media Tabur.
Media tabur berupa campuran tanah dan pasir yang steril.
2) Media Sapih
Media sapih berupa campuran tanah/sabut
kelapa/gambut/sekam, pasir dan pupuk organik (pupuk
kandang/kompos/bokasi) dan/atau pupuk anorganik (N, P, K
dll) yang diisikan ke dalam polybag/kantong plastik/wadah
lainnya.
3) Untuk bahan tanaman dari perbanyakan vegetatif,
penyemaian dapat langsung dilakukan didalam
polybag/kantong plastik/wadah lainnya.
9. Pemeliharaan Bibit
Pemeliharaan bibit KBR dilakukan oleh kelompok masyarakat yang
bersangkutan sampai dengan bibit siap/layak ditanam yaitu
meliputi penyiraman, pemupukan, penyulaman, pembersihan
rumput dan penanggulangan hama dan penyakit.
C. Pembangunan Persemaian Permanen
Persemaian permanen adalah persemaian yang menetap pada satu
lokasi dengan organisasi dan personil pelaksana yang tetap, memiliki
sarana dan prasarana yang dilengkapi dengan teknologi tinggi untuk
memproduksi bibit tanaman hutan berupa kayu-kayuan dan tanaman
serba guna (MPTS) yang berkualitas dalam jumlah besar, cepat dan
berkelanjutan.
1. Studi Kelayakan
Studi kelayakan dilakukan untuk mengetahui tingkat kelayakan
lokasi pembangunan persemaian permanen ditinjau dari aspek
teknis, ekonomi dan sosial. Studi kelayakan ini dilaksanakan oleh
Balai Pengelolaan DAS/Balai Perbenihan Tanaman Hutan setempat.
Kriteria penilaian kelayakan lokasi persemaian permanen antara
lain:
a. Aksesibilitas yang baik;
b. Lokasi relatif datar dan tersedia sumber air sepanjang tahun;
c. Representatif terhadap sasaran lokasi penanaman;
d. Cukup tersedia tenaga kerja;
e. Kebutuhan terhadap bibit tanaman hutan tinggi;
f. Biaya produksi relatif rendah.
2. Penyediaan Lahan
Tersedianya areal dengan luas yang memadai untuk calon lokasi
persemaian permanen yang terletak di kawasan hutan negara atau
tanah negara lainnya dengan kondisi tidak bermasalah. Untuk yang
dialokasikan anggaran renovasi persemaian permanen dapat
memanfaatkan areal persemaian yang telah ada.
3. Rancangan Teknis
Rancangan teknis disusun sebagai acuan teknis dan biaya
pelaksanaan pembangunan/renovasi persemaian permanen, yang
memuat :
a. Kebutuhan sarana dan prasarana persemaian.
b. Tata letak (denah) masing-masing sarana dan
prasarana yang disesuaikan dengan arus proses produksi.
c. Spesifikasi teknis dan gambar masing-masing sarana dan
prasarana.
d. Analisis kegiatan dan biaya.
e. Tata waktu.
4. Pembangunan Sarana dan Prasarana
a) tempat penumpukan dan pengolahan media (media
emplacement);
b) rumah kaca untuk perkecambahan dan perakaran (germination
house/rooting area);
c) rumah kaca untuk sumber benih (mother plant);
d) ruang perbanyakan vegetatif dan generatif (propagation
house);
e) ruang produksi calon bibit (production house);
f) areal untuk aklimatisasi bibit (open area);
g) areal pemuatan bibit (loading emplacement);
h) sarana irigasi (pompa air, sprinkle/fogging/boom irrigation, dan
lain-lain);
i) pottrays/solidtube/polytube;
j) ruang panel kontrol (control panel room);
k) areal parkir;
l) kantor dan rumah jaga;
m) gudang;
n) genset.
5. Pengelolaan dan Organisasi Pelaksana
Pengelola unit persemaian permanen yang baru atau renovasi yang
telah ada adalah Balai Pengelolaan DAS/Balai Perbenihan Tanaman
Hutan setempat.
Organisasi pelaksana harus didukung oleh personil (SDM) yang
terlatih, mempunyai kemampuan teknis dan berpengalaman di
bidang persemaian. Organisasi pelaksana terdiri dari:
a. Pemimpin pelaksana;
b. Pelaksana Teknis Persemaian;
c. Pelaksana sarana dan prasarana;
d. Mandor Penyiapan Media, Mandor Penaburan dan Penyapihan,
Mandor Pemeliharaan Bibit, Mandor Seleksi dan Pengangkutan;
e. Regu kerja.
6. Produksi Bibit
Produksi bibit di persemaian permanen ditargetkan minimal 1 juta
batang per unit per tahun. tanaman hutan merupakan rangkaian
kegiatan yang dilakukan setelah pembangunan sarana prasarana
persemaian selesai dilaksanakan. Produksi bibit ini dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan bibit dalam rangka pelaksanaan RHL. Jumlah
produksi bibit disesuaikan dengan kapasitas persemaian permanen
yang dibangun.
IV. REHABILITASI HUTAN
A. Umum
1. Sasaran utama rehabilitasi hutan adalah kawasan hutan yang
kritis dan tidak berfungsi optimal sebagai media pengatur tata
air dan sebagai unsur produksi hasil hutan kayu, non kayu dan
jasa lingkungan guna memulihkan dan meningkatkan
produktivitas lahan, daya dukung wilayah dan peranannya dalam
menunjang sistem penyangga kehidupan.
2. Keberadaan hutan yang sebagian besar tersebar di morfologi
DAS bagian hulu dan tengah menyebabkan kawasan hutan
mempunyai peran hidrologis yang penting sebagai wilayah
resapan air (recharge area) bagi DAS tersebut. Oleh karena itu
rehabilitasi hutan di semua fungsi kawasan hutan menjadi
prioritas utama dalam pengelolaan DAS.
3. Rehabilitasi hutan dilakukan dengan reboisasi, pemeliharaan
tanaman, pengkayaan tanaman, atau penerapan teknik
konservasi tanah.
26
4. Pengkayaan tanaman dilakukan untuk menambah populasi
tegakan pada hutan rawang yang memiliki tegakan sisa
sebanyak 50 - 90% dari populasi per hektar yang seharusnya
ada, dapat berupa anakan, pancang, tiang/pohon.
5. Untuk hutan rawang dilakukan penanaman ekstensif
(reboisasi) jika tegakan sisanya kurang dari 50% dari populasi
per hektar yang seharusnya ada.
Untuk hutan rawang dengan tegakan sisa sebanyak lebih dari
400 batang/ha tidak dilakukan pengkayaan tanaman dan
reboisasi karena diharapkan dapat terjadi suksesi alami, oleh
karena itu hanya diperlukan pengamanan dan perlindungan
hutan.
6. Sasaran lokasi rehabilitasi hutan adalah kawasan hutan
konservasi, hutan lindung dan hutan produksi yang tidak
dibebani hak/ijin dan/atau tidak dalam proses pemberian
ijin/pencadangan areal untuk keperluan tertentu.
7. Dalam rehabilitasi hutan, penerapan teknik konservasi tanah
dengan metode teknik sipil seperti pembuatan saluran
pembuangan air (water way) yang dilengkapi bangunan
terjunan air (drop structure) untuk pembangunan jalan di
kawasan hutan dapat dilakukan untuk menambah efektivitas
reboisasi guna mengendalikan erosi, aliran permukaan (run-
off) dan tanah longsor. Kegiatan ini sejauh mungkin
menghindarkan terganggunya kelestarian flora dan fauna
serta ekosistemnya yang ada di kawasan hutan.
B. Rehabilitasi Hutan pada Hutan Konservasi
1. Tujuan
27
Memulihkan dan meningkatkan fungsi hutan sebagai sistem
penyangga kehidupan, habitat keanekaragaman hayati,
penghasil hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan.
2. Sasaran Lokasi
Lahan kritis pada Land Mapping Unit (LMU) terpilih pada RTk
RHL DAS, diutamakan pada lahan kategori RHL Prioritas I di
DAS bagian hulu dan tengah.
3. Jenis Tanaman
Tanaman berdaur panjang, perakaran dalam, evapotranspirasi
rendah, jenis tanaman kayu-kayuan dan tanaman serbaguna
(MPTS) endemik/asli setempat dengan komposisi mayoritas
jenis kayu-kayuan, termasuk yang berfungsi sebagai
penghasil pakan satwa setempat.
C. Rehabilitasi Hutan pada Hutan Lindung
1. Maksud dan Tujuan
Memulihkan dan meningkatkan fungsi utama kawasan hutan
sebagai pengendali tata air dan pemelihara kesuburan tanah.
2. Sasaran Lokasi
Lahan kritis pada Land Mapping Unit (LMU) terpilih pada RTk
RHL DAS, diutamakan pada lahan kategori RHL Prioritas I di
DAS bagian hulu dan tengah kecuali hutan lindung mangrove.
3. Jenis Tanaman
Tanaman yang berdaur panjang, perakaran dalam,
evapotranspirasi rendah dan penghasil hasil hutan bukan kayu
(getah/kulit/buah) melalui pengembangan aneka usaha
kehutanan.
Komposisi tanamamnya minimum 60 % kayu-kayuan,
maksimum 40 % tanaman serbaguna/ MPTS.
D. Hutan Produksi
1. Maksud dan Tujuan
28
Mengembalikan dan meningkatkan produktivitas kawasan
hutan produksi.
2. Sasaran Lokasi
Lahan kritis/LMU terpilih pada RTk RHL DAS, diutamakan pada
lahan kategori RHL Prioritas I, serta pada morfologi DAS
bagian hulu dan tengah.
3. Jenis Tanaman
Tanaman dengan pertumbuhannya cepat, nilai komersialnya
tinggi, teknik silvikulturnya telah dikuasai, mudah pengadaan
benih dan bibit yang berkualitas dan disesuaikan dengan
kebutuhan pasar.
Komposisi jumlah tanaman minimum 90 % kayu-kayuan,
maksimum 10 % MPTS (penghasil kayu/ getah/ buah/ kulit).
Dalam pemilihan jenis tanaman pada hutan produksi dapat
disesuaikan dengan jenis-jenis hutan tanaman industri yang
sekaligus dikaitkan dengan penyediaan bahan baku bagi
industri.
E. Teknik Pelaksanaan Penanaman dan Pemeliharaan
1. Persiapan
a. Penyiapan Kelembagaan
Kegiatan ini meliputi penyiapan organisasi pelaksana dan
koordinasi dengan pihak terkait untuk penyiapan lokasi,
bibit dan tenaga kerja yang akan melakukan penanaman.
b. Penyiapan Sarana dan Prasarana.
1) Penyiapan rancangan pembuatan tanaman untuk
dipedomani dalam pembuatan tanaman antara lain
kesesuaian lokasi/blok/ petak sasaran pembuatan
tanaman reboisasi.
29
2) Penyiapan dokumen-dokumen pekerjaan yang
diperlukan untuk pembuatan tanaman.
3) Penyiapan bahan dan alat (gubuk kerja, papan nama,
patok batas, ajir, GPS/alat ukur theodolit, kompas,
altimeter dan lain-lain) dan perlengkapan kerja.
Pembuatan gubuk kerja dan pemacangan papan nama
sesuai tempat yang strategis.
4) Penyiapan bibit tanaman.
2. Penyiapan areal
a. Pembagian blok / petak
Untuk memudahkan pelaksanaan, lokasi yang sudah
definitif selanjutnya dibagi menjadi blok dan petak. Dalam
mendisain blok dan petak disamping mempertimbangkan
kondisi fisik lapangan perlu juga mempertimbangkan
batas mikro DAS yang telah dirancang saat menyusun UTP
RHL.
Luas tiap blok ± 300 ha, dibagi kedalam petak-petak seluas
± 25 ha. Luasan ± 300 Ha merupakan luas efektif (netto),
tidak termasuk jalan pemeriksaan, yang dapat difungsikan
sebagai batas blok/petak. Untuk luasan yang kurang dari
300 Ha tetap dijadikan satu blok. Sedangkan untuk lokasi
dengan luasan yang relatif kecil (≤50 Ha) digabung dengan
lokasi yang terdekat sehingga menjadi blok.
Luas efektif setiap petak ± 25 ha, batas antar petak
dimungkinkan berupa batas alam. Apabila batas antar
petak berupa batas buatan, sekaligus difungsikan untuk
jalur rintisan.
Lokasi-lokasi tertentu seperti jurang, sungai dan
sebagainya tidak termasuk dalam perhitungan luas definitif
(dienclave).
30
b. Pembuatan jalan pemeriksaan
Jalan pemeriksaan dibuat di antara blok satu dengan
lainnya. Jalan pemeriksaan selain dimanfaatkan untuk
pemeriksaan juga sekaligus untuk jalan pengangkutan alat
dan bahan-bahan yang diperlukan.
Teknik pembuatannya mengikuti ketentuan pembuatan
jalan yang berlaku dengan ukuran menyesuaikan kondisi
lapangan.
3. Pelaksanaan penanaman
Komponen pekerjaan penanaman meliputi :
a) pembersihan lahan
b) pembuatan / pengadaan dan pemancangan patok batas
c) pembuatan jalur tanaman
d) pembuatan dan pemasangan ajir
e) pembuatan lubang tanaman
f) distribusi bibit ke lubang tanaman
g) penanaman
h) pemupukan (dasar dan lanjutan)
i) pembuatan gubuk kerja
j) pembuatan papan nama
k) pemeliharaan tahun berjalan yang meliputi penyiangan,
pendangiran dan penyulaman. Jumlah bibit untuk
penyulaman adalah ± 10 % dari jumlah yang ditanam.
4. Pemeliharaan I
Dilaksanakan pada tahun kedua, dengan komponen pekerjaan
penyiangan, pendangiran, pemberantasan hama / penyakit
dan penyulaman. Jumlah bibit untuk penyulaman pada
pemeliharaan I sebanyak 20 % dari jumlah yang ditanam
semula.
31
5. Pemeliharaan II
Dilaksanakan pada tahun ketiga, dengan komponen pekerjaan
penyiangan, pendangiran, dan pemberantasan hama /
penyakit.
6. Pemeliharaan lanjutan
Untuk jenis-jenis tanaman tertentu pemeliharaan dapat
dilanjutkan sampai dengan tahun kelima sepanjang dana
memungkinkan.
7. Perlindungan dan pengamanan
Perlindungan dan pengamanan tanaman meliputi kegiatan
pemberantasan hama dan penyakit serta pencegahan dari
bahaya kebakaran. Pencegahan bahaya kebakaran hutan
pada musim kemarau dengan cara pembuatan papan
peringatan bahaya kebakaran, patroli rutin dan membuat
menara pengawas api (sepanjang tersedia dana).
V. REHABILITASI LAHAN
A. Umum
1. Rehabilitasi lahan diselenggarakan melalui kegiatan
penghijauan, pemeliharaan tanaman, pengayaan tanaman
atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif
dan sipil teknis pada lahan kritis dan tidak produktif.
2. Penghijauan ditujukan untuk memulihkan dan
meningkatkan produktivitas lahan yang kondisinya rusak
agar dapat berfungsi secara optimal. Penghijauan dilakukan
dengan cara membangun hutan hak, hutan kota, atau
penghijauan lingkungan.
3. Pengayaan tanaman ditujukan untuk meningkatkan
produktivitas lahan dilakukan melalui pemanfaatan ruang
32
tumbuh secara optimal dengan memperbanyak jumlah dan
keragaman jenis tanaman.
4. Sasaran rehabilitasi lahan adalah lahan kritis / LMU Terpilih
diluar kawasan hutan negara (Areal Penggunaan Lain/APL)
menurut RTk RHL DAS.
5. Secara umum rehabilitasi lahan berada pada kawasan lindung
dan kawasan budidaya. Kaidah-kaidah umum rehabilitasi
lahan adalah sebagai berikut:
1. Kawasan Lindung
Rehabilitasi lahan pada kawasan lindung ditujukan untuk
menjaga dan meningkatkan fungsi perlindungan tata air
dan pencegahan bencana alam banjir dan longsor.
Rehabilitasi lahan pada kawasan lindung tetap
mengakomodir budaya usahatani masyarakat setempat.
Apabila budaya usahatani kurang sesuai dengan
kemampuan dan kesesuaian lahan sehingga diperlukan
upaya transformasi budaya usahatani maka harus
dilakukan secara bertahap.
Dalam mendukung rehabilitasi kawasan lindung, sesuai
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005
tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak maka
pemerintah dan pemerintah daerah harus berupaya
mengembangkan pola-pola insentif bagi masyarakat antara
lain berupa bantuan bibit, bantuan teknis, keringanan
pajak di kawasan hutan lindung.
2. Kawasan Budidaya
Rehabilitasi lahan pada kawasan budidaya dimaksudkan
untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas
33
lahan. Rehabilitasi lahan harus dikembangkan sesuai
dengan kelas kemampuan lahan (land capability) dan kelas
kesesuaian lahan (land suitability).
B. Hutan Rakyat
1. Maksud dan Tujuan
Maksud pembangunan hutan rakyat/pengkayaan adalah
terwujudnya tanaman hutan di luar kawasan hutan negara
(lahan milik rakyat) sebagai upaya rehabilitasi lahan tidak
produktif (lahan kosong/kritis) di DAS prioritas. Pembuatan
Hutan Rakyat ditujukan untuk memulihkan fungsi dan
meningkatkan produktifitas lahan dengan berbagai hasil
tanaman berupa kayu dan non kayu, memberikan peluang
kesempatan kerja dan berusaha, meningkatkan pendapatan
masyarakat, kemandirian kelompok tani, serta memperbaiki
kualitas lingkungan dan mengurangi tekanan penebangan liar
di dalam kawasan hutan negara (illegal logging).
2. Sasaran Lokasi
Sasaran kegiatan hutan rakyat adalah lahan kritis/ LMU
Terpilih pada kawasan lindung dan budidaya , diutamakan
pada kawasan lindung dan RHL Prioritas I serta morfologi DAS
hulu dan tengah. Disamping kriteria diatas, ketentuan teknis
lokasi hutan rakyat adalah sebagai berikut:
a. Tanah milik rakyat, yang menurut kesesuaian lahan dan
pertimbangan ekonomis lebih sesuai untuk hutan rakyat.
b. Tanah milik rakyat yang terlantar dan berada di bagian
hulu DAS.
c. Tanah desa, tanah marga/adat, tanah negara bebas serta
tanah lainnya yang terlantar dan bukan kawasan hutan
negara.
34
d. Tanah milik rakyat/tanah desa/tanah lainnya yang sudah
ada tanaman kayu-kayuan tetapi masih perlu dilakukan
pengkayaan tanaman.
e. Pembuatan hutan rakyat dapat dilaksanakan dengan
penanaman dan pengkayaan. Penanaman hutan rakyat
dikembangkan pada lahan terbuka dengan kerapatan
tanaman lebih dari 400 batang per hektar. Penanaman
pengkayaan hutan rakyat adalah penanaman pada lahan
tegalan/pekarangan dengan kerapatan maksimal 400
batang/Ha dalam rangka penambahan jumlah pohon untuk
meningkatkan produktivitas lahan.
f. Luas areal hutan rakyat/pengkayaan minimal seluas 0,25
Ha efektif.
3. Jenis Tanaman
Pemilihan jenis sesuai dengan rancangan yang telah disusun
dan didasarkan pada minat masyarakat, kesesuaian
agroklimat serta permintaan pasar.
Tanaman-tanaman yang dipilih diutamakan:
a. cepat tumbuh (fast growing species);
b. dapat menyuburkan tanah;
c. tanaman jenis pioner yang mudah tumbuh di lahan kritis;
d. jenis tanaman unggulan setempat;
e. mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.
4. Teknik Pelaksanaan Penanaman dan Pemeliharaan
Pembuatan tanaman hutan rakyat/pengkayaan meliputi
kegiatan-kegiatan persiapan, penanaman dan pemeliharaan
tanaman.
a. Persiapan
35
1) Penyiapan kelembagaan
Kelompok tani diarahkan untuk melaksanakan persiapan
pembuatan tanaman hutan rakyat antara lain :
a) Mengikuti sosialisasi penyuluhan dan pelatihan.
b) Menyusun rancangan kegiatan bersama-sama
Pendamping.
c) Menyiapkan lahan miliknya untuk lokasi kegiatan
pembuatan tanaman.
d) Menyelenggarakan pertemuan-pertemuan kelompok
tani.
e) Menyiapkan administrasi kelompok tani.
f) Menyusun perangkat aturan/kesepakatan internal
kelompok tani.
2) Penataan Areal Tanaman
Kegiatan penataan areal tanaman dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut :
a) Pemancangan tanda batas dan pengukuran
lapangan, untuk menentukan luas serta letak yang
pasti sehingga memudahkan perhitungan kebutuhan
bibit.
b) Penentuan arah larikan.
c) Penentuan tempat penampungan sementara bibit
yang akan ditanam.
3) Pembuatan Sarana dan Prasarana
a) Pembuatan gubuk kerja dan papan pengenal di
lapangan yang memuat keterangan tentang lokasi,
luas, jenis tanaman, nama kelompok tani dan jumlah
36
peserta serta tahun pembuatan tanaman hutan
rakyat dan sumber anggaran.
b) Pembuatan jalan inspeksi/setapak dan atau jembatan
di dalam lokasi tanaman hutan rakyat, jika
diperlukan.
b. Penanaman
Aspek-aspek dalam pembuatan tanaman meliputi teknik
penanaman, penanaman, pemeliharaan, perlindungan dan
pengamanan hutan.
1) Teknik Penanaman
Teknik penanaman dapat dikembangkan sesuai dengan
kondisi lahan dan mengacu pada Rancangan Kegiatan
RHL yang telah disusun. Adapun pola tersebut adalah
sebagai berikut :
a) Teknik penanaman di lahan terbuka meliputi :
(1)Baris dan larikan tanaman lurus
(2)Tanaman jalur dengan sistem tumpangsari
(3)Penanaman searah garis kontur
(4)Sistim pot pada lahan yang berbatu
b) Teknik penanaman di lahan tegalan dan pekarangan
meliputi penanaman pengkayaan pada batas
pemilikan dan pengkayaan penanaman/sisipan.
Penanaman pengkayaan dilakukan pada tempat-
tempat yang masih kosong di antara tanaman yang
sudah ada, dengan tetap memperhatikan silvikultur
tanaman yang bersangkutan.
2) Pelaksanaan Penanaman
Penanaman dilakukan pada awal musim hujan yang
meliputi kegiatan-kegiatan :
37
a) Pembersihan lapangan, pengolahan tanah dan
pembuatan lubang tanam;
b) Pembuatan dan pemasangan ajir;
c) Pemberian pupuk dasar (pupuk kandang/bokasi);
d) Distribusi bibit;
e) Penanaman bibit;
f) Pemeliharaan tahun berjalan yang meliputi
pemupukan lanjutan, penyulaman sejumlah 10% dari
bibit yang ditanam semula, penyiangan dan
pendangiran.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penanaman
hutan rakyat, yaitu:
a) Bibit yang akan ditanam terlebih dahulu dilepas
kantong plastiknya agar tidak mengganggu
pertumbuhan selanjutnya;
b) Bibit dimasukan dalam tanah (lubang tanaman)
sedalam leher akar;
c) Ujung akar tunggang supaya tetap lurus;
d) Tanah sekitar batang harus dipadatkan;
e) Permukaan tanah harus rata atau agak cembung
supaya tidak tergenang air.
Penanaman hutan rakyat dapat dilakukan dengan
2(dua) cara sebagai berikut :
a) Tumpangsari
Tumpangsari (interplanting, mixed planting)
merupakan suatu pola penanaman yang
38
dilaksanakan dengan menanam tanaman semusim
sebagai tanaman sela di antara larikan tanaman
pokok (kayu/MPTS). Pola ini biasanya dilaksanakan di
daerah yang pemilikan tanahnya sempit dan
berpenduduk padat, tanahnya masih cukup subur
dan topografi datar atau landai. Pengolahan tanah
dapat dilakukan secara intensif.
b) Tanaman Tunggal (monoculture)
Pola tanam ini merupakan pola tanaman sejenis,
yang mengutamakan produk tertentu, baik kayu
maupun non kayu.
Pola tanam dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi
lahan sebagai berikut :
a) Pola tanam di lahan terbuka
(1)Baris dan larikan tanaman lurus
Pola tanam ini sesuai untuk lahan dengan tingkat
kelerengan datar tetapi tanah peka terhadap
erosi. Larikan tanaman dibuat lurus dengan jarak
tanam teratur dan jumlah tanaman 400
Batang/Ha.
Contoh cara pengaturan tanaman pada pola ini adalah
seperti pada Gambar 1. berikut ini :
39
Keterangan: = tanaman kayu-kayuan dan MPTS
Gambar 1. Baris dan Larikan Tanaman Lurus
(2)Tanam jalur dengan pola tumpangsari.
Pola tanam ini sesuai untuk lahan dengan tingkat
kelerengan datar s/d landai dan tanah tidak peka
terhadap erosi. Larikan tanaman dibuat lurus
dengan jarak tanam teratur.
Karena menggunakan pola tanam tumpangsari,
maka jarak tanaman antar jalur perlu lebih lebar
dengan jumlah tanaman 400 batang/Ha. Diantara
tanaman pokok dapat dimanfaatkan untuk
tumpangsari tanaman semusim, dan atau
tanaman sela.
Cara pengaturan tanaman pada pola ini adalah seperti pada Gambar 2
berikut ini :
40
Keterangan :
- : Jalur tanaman pangan (tanaman tumpangsari)
- : Tanaman Kayu-kayuan /MPTS
Gambar 2. Contoh Tanam Jalur dengan Pola Tumpangsari
(3)Penanaman searah garis kontur.
Pola tanam ini sesuai untuk lahan dengan
kelerengan agak curam s/d curam.
Penanaman dilakukan dengan sistim cemplongan
dengan jumlah tanaman 400 Batang/Ha.
Cara pengaturan tanaman pada pola ini adalah
seperti pada Gambar 3 berikut ini :
Keterangan: = tanaman kayu-kayuan/MPTS
Gambar 3. Contoh Penanaman Searah Garis Kontur
b) Pola tanam di lahan tegalan
Pada umumnya di lahan tegalan sudah terdapat
tanaman kayu kayuan maupun tanaman MPTS.
Dalam rangka pengembangan hutan rakyat, pada
41
lahan tegalan yang jumlah pohon dan anakannya
lebih dari 200 batang/Ha dapat dilakukan
pengkayaan tanaman. Tanaman baru pengkayaan
pada lahan tegakan maksimum 200 batang/Ha.
Pola penanaman di lahan tegalan meliputi :
(1)Penanaman pengkayaan pada batas pemilikan
lahan
Cara pengaturan tanaman pada pola ini adalah
seperti pada Gambar 4 berikut ini :
Keterangan :
- : Tanaman kayu kayuan yang sudah ada.
- : Tanaman kayu kayuan pada batas pemilikan lahan (tanaman
baru)
42
Gambar 4. Contoh Pola Penanaman Pengkayaan Batas
Pemilikan di Lahan Tegalan
(2)Penanaman pengkayaan/sisipan
Cara pengaturan tanaman pada pola ini adalah
seperti pada Gambar 5.
Keterangan :
- : Tanaman kayu kayuan yang sudah ada
- : Tanaman pengkayaan kayu kayuan (tanaman baru)
Gambar 5. Contoh Pola Penanaman Pengkayaan/Sisipan di Lahan
Tegalan
43
Teknik penanaman dapat dilakukan melalui 3
sistem, yaitu:
(3)Sistim Cemplongan.
Sistim cemplongan adalah teknik penanaman
yang dilaksanakan dengan pembuatan lobang
tanam dan piringan tanaman. Pengolahan tanah
hanya dilaksanakan pada piringan disekitar lobang
tanaman. Sistem cemplongan dilaksanakan pada
lahan-lahan yang miring dan peka terhadap erosi.
(4)Sistim Jalur.
Teknik ini dilaksanakan dengan pembuatan lobang
tanam dalam jalur larikan, dengan pembersihan
lapangan sepanjang jalur tanaman. Teknik ini
dapat dipergunakan di lereng bukit dengan
tanaman sabuk gunung (countur planting).
(5)Sistim tugal (zero tillage)
Teknik ini dilaksanakan dengan tanpa olah tanah
(zero tillage). Lubang tanaman dibuat dengan
tugal (batang kayu yang diruncingi ujungnya).
Teknik ini cocok untuk pembuatan tanaman
dengan benih langsung terutama pada areal
dengan kemiringan lereng yang cukup tinggi,
namun tanahnya subur dan peka erosi.
c. Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman dilakukan sampai tahun ketiga,
yaitu pemeliharaan I pada tahun kedua dan pemeliharaan II
pada tahun ketiga.
Komponen pekerjaan pemeliharaan I meliputi :
44
1) Penyiangan
2) Pendangiran
3) Penyulaman
Jumlah bibit untuk penyulaman pada pemeliharaan I
sebanyak 20 % dari jumlah tanaman yang ditanam pada
tahun pertama.
4) Pemupukan : Dilakukan pemupukan dengan pupuk
kandang/ buatan sesuai takaran.
5) Penyiraman : Dilakukan pada musim kemarau
untuk menjaga tanaman dari kematian, hal ini terutama
pada pembuatan tanaman sistem pot.
6) Perlindungan dan Pengamanan Tanaman
Perlindungan tanaman meliputi kegiatan
pemberantasan hama dan penyakit serta pencegahan
dari bahaya kebakaran. Pengamanan dilakukan untuk
mencegah kerusakan hutan dari berbagai macam
gangguan.
Komponen pekerjaan pemeliharaan II meliputi :
(1). Penyiangan
(2). Pendangiran
(3). Perlindungan dan pengamanan tanaman
d. Hasil Kegiatan
Terwujudnya tanaman hutan rakyat yang sehat pada suatu
luasan tertentu dengan jumlah tanaman hutan rakyat,
pengkayaan hutan rakyat sesuai dengan rancangan.
Hasil kegiatan pembuatan tanaman tersebut setelah
pemeliharaan II diserahterimakan dari Kepala Dinas
45
Kabupaten/Kota kepada Bupati untuk pemeliharaan
tanaman berikutnya, yang kemudian diserahkan kepada
masyarakat dan diketahui oleh Kepala Desa/Lurah
setempat.
C. Hutan Rakyat Kemitraan
1. Maksud dan Tujuan
Hutan rakyat kemitraan adalah hutan rakyat yang dibangun
bersama antara masyarakat dan industri/penampung kayu
rakyat atas dasar kemitraan yang saling menguntungkan.
Dalam prosesnya, kemitraan hutan rakyat ini dapat dibangun
melalui fasilitasi pemerintah dalam bentuk model inti-plasma
atau di inisiasi oleh industri/penampung kayu rakyat.
Hutan rakyat kemitraan dikembangkan dengan maksud untuk
menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan
masyarakat, penyediaan bahan baku bagi industri, serta
membangun pengelolaan hutan rakyat yang lestari.
2. Sasaran Lokasi
Sasaran pembangunan hutan rakyat kemitraan adalah lahan
kritis/ LMU Terpilih baik pada RHL Prioritas I maupun II,
diutamakan pada kawasan budidaya.
3. Jenis Tanaman
Sebagaimana jenis tanaman hutan rakyat, hutan kemitraan
umumnya mengembangkan jenis-jenis tanaman sebagai
berikut: cepat tumbuh (fast growing species), dapat
menyuburkan tanah, tanaman jenis pioner yang mudah
tumbuh di lahan kritis, jenis tanaman unggulan setempat,
mempunyai nilai ekonomis yang tinggi serta sesuai dengan
kebutuhan industri.
4. Teknik Penanaman dan
Pemeliharaan
46
Teknik penanaman dan pemeliharaan hutan rakyat kemitraan
sama dengan yang diuraikan pada Bab V.B.4.
D. Hutan Kota
1. Maksud dan Tujuan
Pembangunan hutan kota dimaksudkan sebagai upaya untuk
perbaikan lingkungan perkotaan dengan tujuan untuk
mewujudkan lingkungan hidup wilayah perkotaan yang sehat,
rapi dan indah dalam suatu hamparan tertentu sehingga
mampu memperbaiki dan menjaga iklim mikro, estetika,
resapan air serta keseimbangan lingkungan perkotaan.
2. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi kegiatan adalah hamparan lahan kosong di
dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun
tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat
yang berwenang sesuai dengan persyaratan yang diatur
dalam PP Nomor 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota serta
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.71/Menhut-II/2009.
Hutan Kota ini sebagai bagian dari ruang terbuka hijau sesuai
peruntukan dalam RTRW perkotaan.
Luas minimal hutan kota adalah 0,25 ha dalam satu hamparan
yang kompak (menyatu).
3. Jenis Tanaman
Jenis tanaman hutan kota disesuaikan dengan tipe hutan kota
yang dibangun yaitu sebagai berikut:
Pemukiman;
Industri;
Rekreasi;
Plasma Nutfah;
Perlindungan;
47
Pengamanan.
Kriteria jenis tanaman yang sesuai dengan masing-masing
tipe hutan kota diatas telah diatur dalam pasal 16 s/d pasal 21
Permenhut P.71/Menhut-II/2009.
4. Teknik Pelaksanaan Penanaman dan Pemeliharaan
Teknik pelaksanaan penanaman dan pemeliharaan hutan kota
pada dasarnya sama dengan pelaksanaan penanaman dan
pemeliharaan hutan rakyat.
E. Penghijauan Lingkungan
1. Maksud dan Tujuan
Kegiatan penghijauan lingkungan dimaksudkan untuk
perbaikan lingkungan pada lahan-lahan fasilitas umum dan
fasilitas sosial, untuk meningkatkan kualitas iklim mikro dan
kenyamanan lingkungan hidup di sekitarnya serta wilayah-
wilayah perlindungan setempat.
2. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi penghijauan lingkungan adalah lahan kosong di
lokasi yang diperuntukan sebagai fasilitas umum dan fasilitas
sosial baik perkantoran, taman pemukiman dan pemakaman
umum, sekolah (umum, pesantren, kampus universitas),
halaman bangunan peribadatan (masjid, gereja, pura, vihara
dan lain-lain), ruang terbuka hijau, serta wilayah-wilayah
perlindungan setempat seperti sempadan sungai, tebing jalan,
dan lain sebagainya.
3. Jenis Tanaman
Jenis tanaman untuk penghijauan lingkungan disesuaikan
dengan peruntukannya, sesuai dengan agroklimatologi
setempat serta diminati masyarakat. Tanaman penghijauan
lingkungan dapat berupa tanaman kayu-kayuan dan tanaman
serbaguna/ MPTS.
4. Teknik Pelaksanaan Penanaman dan Pemeliharaan
48
Teknik pelaksanaan penanaman dan pemeliharaan umumnya
sama dengan pembangunan hutan rakyat yaitu meliputi
kegiatan-kegiatan persiapan, penanaman dan pemeliharaan
tanaman.
a. Persiapan
Persiapan penanaman bibit penghijauan lingkungan
meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
- Penetapan areal penanaman;
- Penyusunan rancangan penanaman;
- Pembuatan tanda batas/patok penanaman;
- Pembersihan lapangan;
- Pembuatan tempat penampungan bibit sementara,
serta
- Pemasangan papan nama kegiatan.
b. Penanaman
Penanaman bibit penghijauan lingkungan dilakukan secara
swadaya oleh komponen masyarakat, institusi pemerintah
atau swasta.
Kegiatan penanaman penghijauan di lapangan meliputi:
- Pemasangan ajir/tanda lobang tanaman;
- Pembuatan lobang tanam;
- Penanaman.
c. Pemeliharaan tanaman
Pemeliharaan tanaman dilakukan secara swadaya oleh
masyarakat dan atau institusi pemerintah/swasta dengan
melakukan pendangiran, pemupukan serta penyulaman
tanaman. Pemeliharaan dilakukan sampai dengan tahun
ke- 3(tiga).
VI. REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DAERAH PESISIR/PANTAI
49
A. Umum
Maksud dan tujuan rehabilitasi hutan dan lahan daerah
pesisir/pantai adalah mengembalikan keberadaan vegetasi
daerah pesisir/pantai sehingga mampu berfungsi sebagai wilayah
perlindungan pantai dari aberasi dan intrusi air laut serta
bencana alam tsunami. Secara umum kegiatan RHL di daerah
pesisir/pantai dibagi menjadi dua yaitu hutan mangrove dan
sempadan pantai.
B. Rehabilitasi Hutan Mangrove
1. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi hutan mangrove adalah
hutan dan lahan yang termasuk dalam ekosistem mangrove
berdasarkan hasil penyusunan RTk RHL DAS pada Ekosistem
Mangrove dan Sempadan Pantai yang diidentifikasi
mempunyai vegetasi mangrove dengan kerapatan kurang
(NDVI 1,00 s/d 1,42) dan wilayah yang berdasarkan peta land
system termasuk KJP, KHY, PGO, LWW, TWH, dan PTG yang
kondisi vegetasinya telah terbuka dan atau terdeforestasi.
2. Penyediaan Bibit
Penyediaan bibit untuk keperluan kegiatan rehabilitasi
mangrove dapat dilakukan dengan pembuatan atau melalui
pengadaan bibit.
Untuk menjamin agar pelaksanaan penyediaan bibit berjalan
efektif dan efisien, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a. Penentuan kebutuhan bibit sesuai rancangan meliputi
lokasi persemaian, jenis, jumlah dan persyaratan bibit, baik
50
untuk kegiatan penanaman, penyulaman tahun berjalan,
maupun untuk penyulaman pemeliharaan I.
b. Penyusunan tahapan dan jadwal kegiatan penyediaan bibit
dengan memperhatikan waktu tanam di lapangan.
c. Pelaksanaan penyediaan bibit dapat dilakukan melalui :
pembuatan bibit dan/atau pengadaan bibit oleh pihak
ketiga/ perusahaan pengada bibit.
d. Pembuatan bibit :
1) Penyiapan benih
a) Pengumpulan benih
b) Bahan yang diperlukan adalah buah atau benih yang
matang dan bermutu bagus.
c) Pengumpulan benih dengan cara mengambil buah
jatuhan atau memetik langsung dari pohon induknya
dan ekstraksi biji dari buah. Pengumpulan dilakukan
berulang dengan interval waktu tertentu.
d) Seleksi dan penanganan benih
e) Buah atau biji yang dipilih adalah berasal dari buah
yang matang, sehat, segar dan bebas hama. Ciri
kematangan buah dapat dilihat dari warna kotiledon,
warna hipokotil, berat buah atau ciri lainnya.
f) Penyimpanan benih
g) Penyimpanan benih tidak dapat dilakukan untuk
jangka yang panjang. Direkomendasikan bahwa
penyimpanan benih tidak lebih dari 10 hari, disimpan
di tempat yang teduh di dalam ember berisi air
payau. Harus dijaga agar akar tidak terlanjur tumbuh
sehingga terpaksa dipotong saat penyemaian.
2) Persemaian
51
a) Untuk memperoleh mutu bibit yang baik, dan
mengurangi resiko kerusakan bibit ke lokasi
penanaman, diperlukan persemaian dan tempat
pengumpulan sementara yang sesuai kriteria dan
standar mutu.
b) Benih Non propagul dari benih Sonneratia alba dapat
disemaikan secara langsung pada pot yang sudah
diatur di bedeng. Tetapi Avicennia marina dan
Xylocarpus granatum disemaikan di bedeng di darat
terlebih dahulu karena benihnya mudah hanyut oleh
pasang-surut air laut.
c) Benih yang telah disemai di pot-pot bedeng
persemaian dibiarkan terkena air laut pasang surut
satu kali agar basah.
d) Bibit di persemaian sebaiknya dinaungi dengan jaring
atau daun kelapa yang hanya memberikan
kemungkinan masuknya cahaya matahari sebesar
50-70 %. Lebih baik lagi bila naungan juga dipasang
sebagai dinding yang mengelilingi barisan-barisan
bedeng. Satu bulan sebelum bibit siap tanam di
lapangan, naungan tersebut harus dibuka untuk
pemantapan.
e) Penyiraman air dilakukan satu kali sehari di bedeng
pasang surut pada saat pasang surut rendah,
sedangkan di bedeng darat dilakukan penyiraman
dua kali sehari.
3. Pembuatan Tanaman
Pelaksanaan kegiatan pembuatan tanaman mengacu pada
RTn RHL dan rancangan teknis RHL.
52
Sebelum melakukan penanaman, harus diperhatikan
beberapa faktor fisik penunjang keberhasilan penanaman
yakni : pasang surut air laut, musim ombak dan kesesuaian
jenis dengan lingkungannya/zonasi serta keterlibatan
masyarakat setempat.
a. Persiapan
1) Penyiapan kelembagaan, prakondisi dilakukan terhadap
masyarakat pantai setempat yang akan terlibat dalam
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove berupa
penyuluhan, pembentukan kelompok tani dan
pendampingan.
2) Pengadaan sarana dan prasarana
3) Penyiapan bahan dan pembuatan gubuk kerja, papan
nama, patok batas, ajir dan penyiapan alat pengukuran
(GPS/alat ukur theodolit, kompas, altimeter dan lain-
lain) serta perlengkapan kerja lainnya.
4) Penataan areal tanaman
a) Berdasarkan rancangannya, dilakukan penataan
lahan untuk kesesuaian lokasi dan areal tanam.
b) Penyiapan areal tanam :
(1) Pengukuran ulang batas-batas areal,
pemancangan patok batas luar areal tanam;
(2) Pembuatan jalur tanaman dimulai dengan
penentuan arah larikan tanaman melintang
terhadap pasang surut sesuai pola tanam yang
telah dirancang pada lokasi dan areal tanam yang
bersangkutan;
(3) Pembersihan jalur tanam dari sampah, ranting
pohon, dan potongan kayu serta tumbuhan liar;
(4) Pemancangan ajir sesuai jarak tanam, dipasang
53
tegak lurus dan kuat pada areal tanam;
(5) Penyiapan titik bagi bibit (di masing-masing areal
penanaman).
b. Pemilihan jenis tanaman
1) Jenis tanaman dipilih yang sesuai dengan hasil analisis
tapak dan dituangkan dalam rancangan.
2) Jenis tanaman mangrove disesuaikan dengan zonasi
berbagai tanaman, yakni dengan memperhatikan
ketahanan terhadap pasang surut dan tingkat
ketinggian air, antara lain : zona Avicennia, zona
Rhizophora, zona Bruguiera, dan zona kering serta
nipah.
Secara alami zonasi dalam ekosistem mangrove
berdasarkan jenis tanaman yang tumbuh adalah
sebagaimana gambar 6 berikut :
Zonasi Hutan Mangrove. Dari kiri ke kanan: 1. Avicennia alba; 2. Rhizophora apiculata; 3. Bruguiera parviflora; 4. Bruguiera gymnorhiza; 5. Nypa fruticans; 6. Xylocarpus granatum; 7. Excoecaria agallocha; 8. Pandanus furentus; 9. Bruguiera cylindrica.
54
Gambar 6. Zonasi Alami Mangrove
Kesesuaian jenis tanaman mangrove dengan faktor
lingkungan dapat diperiksa pada tabel 5.
Tabel 2 Kesesuaian beberapa jenis tanaman mangrove dengan faktor lingkungan.
Jenis
Salinit
as
(o/oo)
Tolera
nsi thd
kekuat
an
ombak
&
angin
Tolera
nsi thd
kandu
ngan
pasir
Toler
ansi
thd
Lump
ur
Freque
nsi
pengge
nangan
1 2 3 4 5 6
Rhizophora
mucronata
(bakau)
10-30 S MD S 20
hr/bln
R. stylosa
(tongke besar)
10-30 MD S S 20
hr/bln
R. apiculata
(tinjang)
10-30 MD MD S 20
hr/bln
Bruguiera
parvilofa (bius)
10-30 TS MD S 10-19
hr/bln
B. sexangula
(tancang)
10-30 TS MD S 10-19
hr/bln
B.gymnorhiza 10-30 TS TS MD 10-19
55
(tancang merah) hr/bln
Sonneratia alba
(pedada bogem)
10-30 MD S S 20
hr/bln
S.caseolaris
(padada)
10-30 MD MD MD 20
hr/bln
Xylocarpus
granatum
(nyirih)
10-30 TS MD MD 9
hr/bln
Heritiera
littoralis (bayur
laut)
10-30 STS MD MD 9
hr/bln
Lumnitzera
racemora
(Tarumtum)
10-30 STS S MD Bebera
pa kali/
thn
Cerbera
manghas
(bintaro)
0-10 STS MD MD Tergen
ang
musim
an
Nypa fruticans
(nipah)
0-10 STS TS S 20
hr/bln
Avicenia spp.
(api-api)
10-30 MD TS S
Keterangan : S = Sesuai, MD = Moderat, TS = Tidak Sesuai, STS
= Sangat Tidak Sesuai
c. Penanaman
56
1) Pelaksanaan penanaman di dalam kawasan hutan dan
di luar kawasan hutan dilakukan dengan menerapkan
jenis tanaman dan pola tanam sebagaimana tertuang
dalam rancangan (dengan jumlah tanaman per hektar
minimum 1.100 batang dan maksimum 10.000 batang
sesuai kondisi lapangan).
2) Pelaksanaan penanaman sebaiknya dimulai pada musim
ombak tenang dan dari garis terdekat dengan darat
agar terhindar dari ombak besar.
3) Cara Penanaman :
a) Penanaman dengan benih
Penanaman dengan benih dapat dilakukan untuk
benih jenis propagul. Pada areal tanam berlumpur
lembek atau dalam, sekitar sepertiga dari panjang
benih/buah ditancapkan ke dalam lumpur secara
tegak dengan bakal kecambah menghadap keatas.
Pada areal tanam berlumpur keras, terlebih dahulu
dibuat lubang tanam. Untuk menjaga agar buah tidak
hanyut terbawa ombak, buah sebaiknya diikatkan
pada ajir.
Penanaman dengan buah yang baru dipetik atau
dipungut dan langsung ditanam umumnya
menghasilkan persentase tumbuh yang lebih tinggi
dibanding buah yang sudah disimpan lebih dari satu
hari.
b) Penanaman dengan bibit
Penanaman dengan bibit dapat dilakukan untuk
semua jenis tanaman mangrove dengan ketentuan
bibit tersebut layak dan siap tanam. Pada daerah
yang langsung dipengaruhi pasang surut,
57
penanaman dilakukan pada saat air laut surut. Dan
pada daerah bekas tambak dilakukan penutupan
pintu air ketika penanaman dan dibuka setelah
penanaman selesai.
Penanaman dengan bibit pada umumnya
menghasilkan persentase tumbuh yang tinggi
dibandingkan penanaman dengan buah secara
langsung.
1) Beberapa alternatif pola tanaman yang dapat
diterapkan sebagai berikut :
a) Pola tanam murni
(1) Penanaman murni meliputi penanaman
merata dan atau penanaman strip (jalur) pada
areal tanam yang telah disiapkan sesuai
rancangan. Sebaran tanaman dapat dilihat
sebagaimana pada gambar 7.
(2) Cara penanaman dapat secara langsung
dengan buah/benih atau menggunakan bibit yang
telah disiapkan.
(3) Untuk penanaman merata atau penanaman
strip (jalur) jarak tanam disesuaikan dengan
kondisi di lapangan. Penyulaman tahun berjalan
maksimal 10 persen;
(4) Pada tapak berombak besar disarankan
ditanami dengan jenis Rhizophora, sp dengan
pola selang seling, bibit diikat pada ajir. Dan pada
tapak berlumpur dalam sebaiknya menggunakan
jenis Rhizophora mucronata .x x x x x x x x x x x x x
x x x x x x x x x x x x x
x x x x x x x x x x x x x
x x x x x x x x x x x x x
x x x x x x x x x x x x x
- - - -- - - laut - - - - -- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- - - --
x x x x x x x
x x x x x x
x x x x x x x
x x x x x x
- - - -- - - laut - - - - -- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- - - --
Strip
Strip
a. Penanaman Merata b. Penanaman Strip (jalur )
Gambar 7. Alternatif Pola Tanam Murni
58
b) Pola tanam tumpangsari tambak (Sylvofishery/
wanamina)
(1) Penanaman tumpangsari tambak
dilaksanakan seperti halnya dengan penananam
murni, tetapi dikombinasikan dengan kegiatan
pertambakan. Penanaman selain pada tanggul
juga dilakukan di pelataran tambak sesuai dengan
rancangan;
(2) Cara penanaman dapat secara langsung
dengan buah/benih atau menggunakan bibit yang
telah disiapkan. Jarak tanam disesuaikan dengan
kondisi lapangan; penyulaman maksimal 10
persen;
(3) Pola tumpangsari tambak
(sylvofishery/wanamina) terdiri dari 4 (empat)
macam cara yaitu : empang parit tradisional,
komplangan, empang parit terbuka dan kao-kao.
Macam-macam kombinasi seperti pada gambar 8
berikut :
Parit Bibit
Gambar 8. Macam-macam Teknik Tumpangsari
59
c) Pola penanaman rumpun berjarak
(1) Pola penanaman rumpun berjarak
dimaksudkan untuk kekokohan, menjerat lumpur
atau hara dan sesuai dengan media pasir yang
labil akan ombak laut. Pola tanam ini lebih cocok
untuk ekosistem mangrove di pulau-pulau kecil.
(2) Penanaman rumpun berjarak dilaksanakan
seperti halnya dengan penanaman murni akan
tetapi anakan ditanam rapat membentuk rumpun-
rumpun. Jumlah dan jarak antar rumpun per
hektar dan jumlah anakan yang ditanam di tiap
rumpun disesuaikan dengan kondisi tapak.
(3) Penanaman dilakukan pada saat air laut
surut baik pada siang hari maupun malam hari. Di
pulau yang sama, pada musim barat ekstrim
penanaman dilakukan di daerah timur, sebaliknya
pada musim timur ekstrim penanaman dilakukan
di daerah barat.
(4) Pada saat menanam bibit, kantong plastik
(polybag) media tanam tidak perlu dilepas tetapi
Pulau
60
cukup dirobek atau dilubangi bagian dasarnya 3 –
5 lubang berdiameter sebesar pensil.
(5) Pada areal penanaman yang arus pasang
surutnya cukup kuat dan atau membawa sampah
yang cukup banyak dan berpotensi mengganggu
anakan mangrove, maka perlu dibuat pagar dari
bahan yang tahan air laut untuk waktu tertentu.
4. Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman dilakukan pada tahun berjalan (T+0),
tahun pertama (T+1) dan tahun kedua (T+2).
a. Penyiangan
Penyiangan dimaksudkan untuk membebaskan tanaman
pokok mangrove dari tanaman pengganggu. Pada areal
genangan atau daerah pasang surut umumnya tidak perlu
dilaksanakan penyiangan, akan tetapi pada areal yang
kering perlu dilakukan penyiangan sampai tanaman
Dst
Dst
Laut
Rumpun
anakan
Pantai pulau
Gambar 9. Cara penanaman rumpun berjarak
61
berumur 2 tahun (pemeliharaan tahun kedua).
b. Penyulaman
1) Penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman yang
mati/merana, diusahakan menggunakan bibit sejenis;
2) Pelaksanaan penyulaman pada pemeliharaan tanaman
tahun berjalan dilaksanakan 15 - 30 hari setelah
penanaman;
3) Pelaksanaan penyulaman dalam kawasan hutan negara
pada pemeliharaan tanaman tahun pertama
(pemeliharaan I) dengan biaya Pemerintah dilakukan
apabila persentase tumbuh tanaman tahun berjalan
setelah sulaman > 70 % dan pemeliharaan II dilakukan
apabila persentase tumbuh tanaman setelah
pemeliharaan tahun I > 90 %. Untuk luar kawasan
adalah 60 % tahun I dan 80 % tahun II.
4) Jumlah penyulaman pada pemeliharaan tahun berjalan
sebesar 20 %, sedangkan pada pemeliharaan tahun
pertama sebesar 10 %.
c. Pengendalian hama/gulma
Jenis hama tanaman yang sering ditemui dan menyerang
pada tanaman mangrove (jenis Rhizophora, spp), baik di
persemaian maupun setelah ditanam adalah
kepiting/ketam (Crustacea, sp.), ulat daun dan batang,
cendawan akar, tritip serta gulma (biasanya lumut).
Ada beberapa cara untuk mengendalikan hama/gulma.
Untuk mengatasi serangan kepiting : pertama, benih/bibit
mangrove ditanam lebih banyak atau lebih rapat di daerah
yang sering diganggu ketam/kepiting dengan harapan
sebagian benih/bibit akan lolos dari gangguan dan dapat
tumbuh. Kedua benih/bibit ditanam sekaligus dua dan
62
rapat dalam satu lubang, dengan demikian ketam tidak
dapat memanjat dan menggigit batang yang rapat ini.
Ketiga, membungkus benih/bibit dengan bambu atau botol
plastik. Sedangkan untuk mengatasi adanya serangan
hama ulat maupun cendawan adalah dengan penggunaan
insektisida secara hati-hati dan terbatas, cara lain adalah
pemusnahan tanaman yang terkena serangan hama. Dan
terhadap gulma dilakukan penyiangan secara teratur
sampai benih/bibit mangrove tumbuh dan cukup kuat
bersaing dengan gulma.
Pengendalian hama/gulma dapat dilakukan pada
pemeliharaan tanaman tahun berjalan, tahun pertama dan
atau tahun kedua.
B. Rehabilitasi Sempadan Pantai
1. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi sempadan pantai adalah
hutan dan lahan yang diidentifikasi terbuka/kritis menurut RTk
RHL DAS yang berada di sempadan pantai selebar minimal
100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat yang bukan
termasuk habitat/ekosistem mangrove. Rehabilitasi hutan dan
lahan sempadan pantai diutamakan pada sasaran RHL
Prioritas I, dimana wilayah ini mempunyai potensi kerusakan
yang lebih tinggi terhadap aberasi.
2. Penyediaan Bibit
Penyediaan bibit untuk keperluan kegiatan rehabilitasi hutan
pantai dapat dilakukan dengan pembuatan atau melalui
pengadaan bibit.
Untuk menjamin agar pelaksanaan penyediaan bibit berjalan
efektif dan efisien, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
63
a. Penentuan kebutuhan bibit sesuai rancangan meliputi
lokasi persemaian, jenis, jumlah dan persyaratan bibit, baik
untuk kegiatan penanaman, penyulaman tahun berjalan,
maupun untuk penyulaman pemeliharaan I.
b. Penyusunan tahapan dan jadwal kegiatan penyediaan bibit
dengan memperhatikan waktu tanam di lapangan.
c. Pelaksanaan penyediaan bibit dapat dilakukan melalui :
pembuatan bibit dan/atau pengadaan bibit oleh pihak
ketiga/ perusahaan pengada bibit.
d. Untuk memperoleh mutu bibit yang baik, dan mengurangi
resiko kerusakan bibit ke lokasi penanaman, diperlukan
persemaian dan tempat pengumpulan sementara yang
sesuai kriteria dan standar mutu.
3. Pembuatan Tanaman
Pelaksanaan kegiatan pembuatan tanaman mengacu pada
rancangan teknis RHL.
a. Persiapan
1) Penyiapan kelembagaan, prakondisi dilakukan terhadap
masyarakat pantai setempat yang akan terlibat dalam
kegiatan rehabilitasi hutan pantai berupa penyuluhan,
pembentukan kelompok tani dan pendampingan.
2) Pengadaan sarana dan prasarana
3) Penyiapan bahan dan pembuatan gubuk kerja, papan
nama, patok batas, ajir dan penyiapan alat pengukuran
(GPS/alat ukur theodolit, kompas, altimeter dan lain-
lain) serta perlengkapan kerja lainnya.
4) Penataan areal tanaman
64
a) Berdasarkan rancangannya, dilakukan penataan
lahan untuk kesesuaian lokasi dan areal tanam.
b) Penyiapan areal tanam :
(1)Pengukuran ulang batas-batas areal,
pemancangan patok batas luar areal tanam;
(2)Pembuatan jalur tanaman dimulai dengan
penentuan arah larikan tanaman sesuai pola
tanam yang telah dirancang pada lokasi dan areal
tanam yang bersangkutan;
(3)Pembersihan jalur tanam dari sampah, ranting
pohon, dan potongan kayu serta tumbuhan liar;
(4)Pemancangan ajir sesuai jarak tanam, dipasang
tegak lurus dan kuat pada areal tanam;
(5)Penyiapan titik bagi bibit sebagai tempat
pengumpulan sementara (di masing-masing areal
penanaman).
b. Pemilihan jenis tanaman
1) Sifat ekologis jenis pohon pantai adalah sebagai
berikut :
Tabel 3. Sifat ekologis jenis pohon pantai dan cara pembiakannya.
No. Jenis Jenis Tanah Habitat Pembiakan
1 Cemara Laut
(Casuarina
spp.)
Regosol/
entisol
Tanah liat berat,
di atas garis
pasang, tanah
miskin humus
Tunas akar
dan biji
2 Ketapang
(Terminalia
Regosol/ Tanah berpasir Biji, stek,
grafting,
65
catapa) entisol dan berbatu anakan alam
3 Waru
(Hibiscus
spp.)
Regosol/
entisol
Tanah tertier
yang periodik
kering
Stek dan Biji
4 Nangka
(Artocarpus
altilis)
Regosol/
entisol
Tanah liat
berpasir
Stek akar,
stek batang
5 Nyamplung
(Callophylum
innophylum)
Aluvial/
Regosol
Tanah liat
berpasir
Biji
6 Kelapa (Cocos
spp.)
Regosol/
entisol
Tanah liat
berpasir
Buah/Biji
2) Jenis tanaman dipilih yang paling cocok dan disesuaikan
dengan kondisi fisik lapangan, sosial ekonomi dan
budaya serta kesiapan masyarakat setempat
sebagaimana yang tertuang dalam rancangan.
c. Penanaman
Pelaksanaan pembuatan tanaman rehabilitasi hutan pantai
di luar kawasan hutan dan di dalam kawasan hutan
dilakukan dengan menerapkan pola tanam sebagaimana
tertuang dalam rancangan. Pola tanam yang diterapkan
dapat secara penanaman merata/green belt atau
penanaman jalur sepanjang pantai.
Komponen kegiatan penanaman meliputi :
1) Pembersihan piringan tanam di sekeliling ajir;
2) Pembuatan lubang tanam sesuai dengan keperluan
masing-masing jenis tanaman yang tertuang dalam
rancangan;
3) Penanaman bibit dengan memperhatikan antara lain
66
tanah urugan di sekitar batang harus dipadatkan,
hindari kerusakan akar, permukaaan timbunan harus
agak cembung supaya tidak tergenang air.
d. Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman dilakukan pada tahun berjalan
(T+0), tahun pertama (T+1) dan tahun kedua (T+2).
1) Penyiangan
Penyiangan dimaksudkan untuk membebaskan tanaman
pokok dari tanaman pengganggu, penyiangan
dilaksanakan sampai tanaman berumur 2 tahun
(pemeliharaan tahun kedua).
2) Penyulaman
a) Penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman yang
mati/merana, diusahakan menggunakan bibit sejenis;
b) Pelaksanaan penyulaman pada pemeliharaan tanaman
tahun berjalan dilaksanakan 15 - 30 hari setelah
penanaman;
c) Pelaksanaan penyulaman tanaman pada pemeliharaan
tanaman tahun pertama di dalam kawasan hutan
dilakukan apabila persentase tumbuh tanaman tahun
berjalan setelah sulaman > 70 % dan pemeliharaan
tahun II dilakukan setelah persentase tumbuh
tanaman tahun I > 90 %.
d) Pelaksanaan penyulaman tanaman pada pemeliharaan
tanaman tahun pertama di luar kawasan hutan
dilakukan apabila persentase tumbuh tanaman tahun
berjalan setelah sulaman > 60 % dan untuk
pemeliharaan tahun ke II dilakukan setelah persentase
tumbuh tanaman tahun I > 80 %.
e) Jumlah penyulaman pada pemeliharaan tahun berjalan
67
sebesar 20 %, sedangkan pada pemeliharaan tahun
pertama sebesar 10 %.
e. Pengendalian hama/gulma
Jenis hama tanaman yang sering ditemui dan menyerang
pada tanaman pantai adalah ulat daun dan batang,
Cendawan akar dan upas (Cryptococcus neoformans,
Phytopthora palmivora) serta gulma. Pengendalian
hama/gulma dapat dilakukan pada pemeliharaan tanaman
tahun berjalan, tahun pertama dan atau tahun kedua.
VII. REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN RAWA DAN GAMBUT
A. Umum
Ekosistem rawa gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa
tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum.
Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi yang
terhambat oleh kondisi anaerob dan di permukaan atasnya hidup
berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar. Ekosistem rawa gambut
sering dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau
daerah cekungan yang drainsenya buruk.
Ekosistem rawa gambut ditandai dengan adanya kubah gambut
di bagian tengah dan mendatar/rata di bagian pinggir serta
digenangi air bewarna coklat kehitaman seperti the atau kopi
sehingga sering disebut ekosistem air hitam. Vegetasi bergantian
tumbuh mulai dari pionir, sekunder, klimaks, mati dan tertimbun,
sehingga lama kelamaan timbunan bahan organic gambut
semakin tebal. Situasi ini mengarahkan keadaan lingkungan
eksositem rawa gambut semakin ekstrim asam, miskin hara dan
anaerob. Pada kubah gambut dengan kedalaman > 3 meter
pasokan hara semata-mata hanya dari air hujan. Di pusat kubah,
yang timbunan gambutnya paling tebal terdapat hutan yang
tersusun atas pohon-pohon kayu kecil dan jarang, pandan dan
68
semak-semak jarang.
B. Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Secara umum tahapan kegiatan rehabilitasi dapat dilihat pada
diagram alur berikut :
Persiapan Survei :
1. Persiapan Peta,
2. Persiapan alat, bahan dan material survei,
Survei Lapangan :
1. Tingkat kerusakan2. Kondisi vegetasi3. Potensi genangan4. Aspek sosial
Analisis Data
1. Penentuan Areal Penanaman2. Penentuan Jenis Tanaman yang tepat3. Skedul kegiatan, estimasi kebutuhan fisik dan
anggaran
Persiapan Rehabilitasi :
1. Persiapan sumberdaya manusia2. Persiapan bibit3. Persiapan lokasi tanam
Penyusunan RTk RHL DAS – Rawa Gambut
RPRH dan RPRL DAS dan RTn DAS– Rawa Gambut
Sasaran Lokasi
69
Gambar 10. Diagram Alir tahapan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan rawa gambut
1. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi rehabilitasi hutan dan lahan rawa gambut adalah
areal di wilayah hilir DAS atau wilayah pesisir di dalam kawasan
hutan pada hutan lindung yang terdeforestasi, hutan produksi
(yang tanahnya miskin/kritis dan tidak dibebani hak serta tidak
dicadangkan/proses perizinan untuk pembangunan hutan
tanaman-HTI/HTR), serta Taman Hutan Raya (Tahura) yang
dikelola oleh Kabupaten/Kota, dan wilayah hilir DAS atau wilayah
pesisir di luar kawasan hutan yang tegakan pantainya telah
mengalami degradasi/deforestasi sehingga terganggu fungsi
ekologis, sosial dan ekonominya.
Untuk konteks pelaksanaan kegiatan rehabilitasi maka pilihan
lokasi diprioritaskan pada unit lokasi yang terpilih dalam
Rencana Teknik RHL DAS yang telah disusun untuk tiap wilayah
provinsi/kabupaten/kota.
2. Penentuan Areal Penanaman
Kegiatan rehabilitasi diprioritaskan pada areal yang terbatas
kemampuannya untuk pulih secara alami dan areal yang secara
alami kulit dijangkau oleh penyebaran benih. Lahan yang
memiliki kemampuan untuk pulih secara alami tidak
diprioritaskan sebagai areal rehabiliatsi.
Alternatif pilihan lokasi rehabilitasi sebagai berikut :
Pelaksanaan Rehabilitasi :
1. Pengangkutan bibit2. Penanaman3. Pemeliharaan
70
Tabel 4. Pengambilan Keputusan Kegiatan RHL Rawa Gambut
No Karakteristik Lokasi Keterangan
1 Tingkat Kerusakan a. Sangat berat
b. Berat
c. Sedang
d. Ringan
2 Potensi Genangan a. Berat
b. Sedang
c. Ringan
3 Penutupan vegetasi a. Rapat
b. Sedang
c. Terbuka
4 Aksesibilitas a. Tinggi
b. Sedang
c. Rendah
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
1a,2a,3a,4
a
1a,2a,3b,4
a
1a,2a,3c,4
b
1a,2a,3c,4c
1b,2a,3b,4
a
Tidak direkomendasi untuk
rehabilitasi
Peluang gagal
sangat tinggi
1b,2b,3b,4
b
1b,2b,3b,4
c
1c,2b,3b,4
a
Rehabilitasi dengan jenis yang semi
toleran
Dengan gundukan
buatan
1c,2c,3b,4a Rehabilitasi dengan jenis yang semi Tanpa gundukan
71
toleran buatan
1c,2c,3c,4a Rehabilitasi dengan jenis yang
intoleran (suka cahaya)
Tanpa gundukan
buatan
1c,2b,3b,4
b
1c,2b,3b,4c
Pengkayaan dengan jenis toleran
(suka naungan)
Dengan gundukan
buatan
1d,2b,3b,4
a
1d,2b,3a,4
b
1d,2c,3a,4c
Dibiarkan
Regenerasi alami
masih
memungkinkan
3. Penentuan Jenis Tanaman
Jenis tanaman yang dipilih untuk rehabilitasi sebaiknya adalah
jenis lokal.
Proses pemilihan jenis dilakukan dengan memperhatikan :
keberadaan jenis dominan,
sifat dan karakteristik tiap jenis terutama respon terhadap
genangan dan cahaya,
kondisi areal (penutupan vegetasi, kondisi tanah dan kondisi
genangan).
Jenis tanaman yang umum dijumpai di ekosistem rawa-gambut
antara lain :
Tabel 5. Jenis Tanaman RHL Rawa gambut
No Nama Lokal Nama Latin
1 Durian hutan Durio carinatus
2 Jelutung rawa Dyera lowii
3 Kempas Koompassia malaccensis
4 Perepat Combretocarpus rotundatus
72
5 Belangiran Shorea belangeran
6 Perupuk Coccoceras borneense)
7 Pulai rawa Alstonia pneumatophora
8 Rengas manuk Mellanorhoea wallicihi
9 Terentang Campnosperma macrophylla
10 Meranti Shorea pauciflora
11 Ramin Gonystylus bancanus
12 Punak Tetramerista glabra
13 Medang Litsea calophyllantha
14 Balam Palaquium rostratum
15 Resak Vatica rssak
16 Temasam (Jambu-
jambu)
Syzygium cerinum
17 Gelam tikus Eugenia spicata
18 Keranji Dialium hydnocarpoides
19 Nyatoh Palaquium spp.
20 Rotan Calamus spp.
21 Gelam Melaleuca leucadendron
22 Sungkai Peronema canescens
Variasi kondisi areal dan alternatif jenis tanaman yang sesuai :
Tabel 6. Kondisi Areal dan Alternatif Jenis Tanaman RHL Rawa Gambut
No
.
Kondisi Lokasi Alternatif Jenis Tanaman
1 Areal yang :
Bekas terbakar ringan/sedang
Bekas tebang habis
Areal terbuka (vegetasi jarang)
Jelutung rawa ( Dyera lowii )
Perepat ( Combretocarpus
rotundatus )
Belangiran ( Shorea belangeran
)
Perupuk ( Coccoceras
borneense )
Pulai rawa ( Alstonia
73
pneumatophora )
Rengas manuk (Melanorhoea
wallicihi )
Terentang (Campnosperma
macrophylla )
2 Areal yang :
Bekas terbakar yang telah
mengalami suksesi
Bekas tebang selektif
Penutupan vegetasi sedang
Meranti ( Shorea pauciflora )
Perepat ( Combretocarpus
rotundatus )
Durian ( Durio carinatus )
Ramin ( Gonystylus bancanus )
Punak ( Tetramerista glabra )
Kempas ( Koompassia
malaccensis )
Resak (Vatica rassak )
Sungkai ( Peronema canescens
)
3 Areal yang :
Bekas tebang selektif
Masih banyak dijumpai pohon
Penutupan vegetasi masih tinggi
Telah kehilangan jenis tanaman
komersil (bernilai tinggi)
Meranti ( Shorea pauciflora )
Ramin ( Gonystylus bancanus )
Punak ( Tetramerista glabra )
Balam ( Palaquium rostratum )
Medang ( Litsea calophyllantha
)
Kempas ( Koompassia
malaccensis )
Rotan ( Calamus spp )
4. Jadwal kegiatan
Pengaturan jadwal kegiatan rehabilitasi perlu dilakukan secara
baik karena kegiatan rehabilitasi memiliki variasi waktu ideal
yang berlainan, misalnya penanaman pada musim hujan dan
pembuatan gundukan piringan tanam di musim kemarau.
5. Persiapan Sumber Daya Manusia
Sumberdaya Manusia memegang peranan yang sangat penting
dalam kegiatan rehabilitasi sehingga perlu diperisapkan.
Persiapan SDM tidak hanya pencarian tenaga kerja dalam jumlah
74
tertentu melainkan juga penyiapan keterampilan yang memadai
sehingga kegiatannya dapat berupa penyiapan kelembagaan
yaitu prakondisi terhadap masyarakat setempat yang akan
terlibat dalam kegiatan rehabilitasi berupa penyuluhan,
pembentukan kelompok tani dan pendampingan.
6. Persiapan bibit
Penyediaan bibit untuk keperluan rehabilitasi rawa gambut
dapat dilakukan dengan pembuatan atau melalui pengadaan
bibit.
Untuk menjamin agar pelaksanaan penyediaan bibit berjalan
efektif dan efisien, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
Penentuan kebutuhan bibit sesuai rancangan meliputi lokasi
persemaian, jenis, jumlah dan persyaratan bibit, baik untuk
kegiatan penanaman, penyulaman tahun berjalan, maupun
untuk penyulaman pemeliharaan I.
Penyusunan tahapan dan jadwal kegiatan penyediaan bibit
dengan memperhatikan waktu tanam di lapangan.
Pelaksanaan penyediaan bibit dapat dilakukan melalui :
pembuatan bibit dan/atau pengadaan bibit oleh pihak
ketiga/ perusahaan pengada bibit.
Untuk memperoleh mutu bibit yang baik dan mengurangi
resiko kerusakan bibit ke lokasi penanaman, diperlukan
tempat pengumpulan sementara di areal tanam yang sesuai
kriteria dan standar mutu.
7. Persiapan Areal tanam
Kegiatan persiapan areal tanam perlu dilakukan karena adanya
perilaku genangan air yang sulit diprediksi dan sering menjadi
permasalahan serius bagi tanaman muda/bibit yang baru
ditanam.
75
Pada persiapan areal tanam beberapa kegiatan yang dilakukan
meliputi :
a. Pembuatan batas areal penanaman.
Berdasarkan rancangannya, lokasi yang sudah definitif
selanjutnya dibagi menjadi blok dan petak. Luas tiap blok ±
300 ha, dibagi kedalam petak-petak seluas ± 25 ha. Luasan ±
300 Ha merupakan luas efektif (netto), tidak termasuk jalan
pemeriksaan, yang dapat difungsikan sebagai batas
blok/petak. Untuk luasan yang kurang dari 300 Ha tetap
dijadikan satu blok. Sedangkan untuk lokasi dengan luasan
yang relatif kecil (≤50 Ha) digabung dengan lokasi yang
terdekat sehingga menjadi blok.
Luas efektif setiap petak ± 25 ha, batas antar petak
dimungkinkan berupa batas alam. Apabila batas antar petak
berupa batas buatan, sekaligus difungsikan untuk jalur
rintisan.
Lokasi-lokasi tertentu seperti sungai dan sebagainya tidak
termasuk dalam perhitungan luas definitif (dienclave).
b. Pembuatan jalan pemeriksaan
Jalan pemeriksaan dibuat di antara blok satu dengan lainnya.
Jalan pemeriksaan selain dimanfaatkan untuk pemeriksaan
juga sekaligus untuk jalan pengangkutan alat dan bahan-
bahan yang diperlukan. Teknik pembuatannya mengikuti
ketentuan pembuatan jalan yang berlaku dengan ukuran
menyesuaikan kondisi lapangan.
c. Pembuatan jalur tanam
Pembuatan jalur tanaman dimulai dengan penentuan arah
larikan tanaman sesuai pola tanam yang telah dirancang pada
lokasi dan areal tanam yang bersangkutan.
76
Selanjutnya penentuan jarak tanam juga disesuaikan kondisi
areal. Jarak tanam yang dapat digunakan pada areal terbuka
(penanaman intensif) adalah 3 x 3m, 3 x 5 m atau 5 x 5 m.
Sedangkan pada areal yang penutupan vegetasinya masih
tinggi dapat digunakan sistem penanaman jalur dengan jarak
tanam 5 x 10 m atau penanaman pengkayaan.
d. Pemasangan ajir
Pemasangan ajir sesuai jarak tanam yang ditentukan,
dipasang tegak lurus dan kuat pada areal tanam.
e. Pembuatan gundukan
Pada areal tanam yang kondisi penggenangan ringan
pembuatan gundukan tidak merupakan keharusan. Namun
pada areal tanam yang kondisi penggenangannya sedang dan
berat maka perlu dibuat gundukan pada titik tanam.
Pembuatan gundukan sebaiknya dilakukan pada musim
kemarau/kering sehingga pengambilan material gambut
menjadi lebih mudah. Waktu yang ideal adalah T- 2 atau T – 3
bulan sebelum penanaman dengan maksud agar gundukan
dapat menjadi kompak dan kuat di musim penghujan.
Gundukan tidak boleh terlalu rendah sebab bibit dapat
tergenang air saat musim hujan dan jangan terlalu tinggi
sebab bibit dapat kekurangan air pada musim kemarau. Untuk
itu perlu dipelajari terlebih dahulu dipelajari fluktuasi dan rata-
rata tinggi muka air tanah di lokasi rehabilitasi. Selanjutnya
karena sifat tanah gambut yang remah maka disekeliling
gundukan perlu dibuat pembatas/penahan agar gundukan
tidak longsor atau terkikis saat terjadi banjir. Pembatas dapat
berupa potongan cabang, batang atau material lain yang
terdapat di areal tanam.
77
d. Penyiapan titik bagi bibit sebagai tempat pengumpulan
sementara sebelum bibit di tanam (di masing-masing areal
penanaman).
8. Pengangkutan Bibit
Alat pengangkutan bibit dapat berupa : truk, lori, perahu atau
alat transport lainnya. Persiapan yang matang akan mampu
menjamin ketersediaan alat angkut dalam jumlah yang cukup
sesuai kondisi jalan atau parit, titik bagi bibit dan jumlah bibit
yang akan diangkut.
9. Penanaman
Penaman dilakukan pada awal musim hujan. Sebaiknya bibit
ditanam pada pagi atau sore hari untuk mereduksi tingkat stres
bibit akibat sinar matahari.
Beberapa alternatif pola tanaman yang dapat diterapkan yakni :
a. penanaman intensif/merata pada areal yang terbuka,
b. penanaman jalur atau pengkayaan pada areal yang
penutupan vegetasinya sedang atau rapat.
Tahapan pekerjaan pada penanaman sebagai berikut.
a. Pembersihan piringan tanam atau gundukan dan pembuatan
lubang tanam.
Kegiatan pembersihan piringan tanam atau gundukan dan
pembuatan lubang tanam dilakukan pada saat akan menanam
bibit dimaksudkan untuk menghilangkan gulma pada
gundukan atau titik tanam. Sedangkan lubang tanam dibuat
disesuaikan dengan ukuran bibit yang akan ditanam.
b. Penyiraman lubang tanam.
Bibit akan mengalami stres bila akarnya langsung menyentuh
tanah yang panas. Karenanya apabila cukup tersedia air di
78
areal tanam maka dapat terlebih dahulu dilakukan
penyiraman air secukupnya ke lubang tanam.
c. Penanaman bibit.
Kegiatan ini dilakukan dengan cara memasukkan bibit ke
lubang tanam. Perhatikan agar batang bibit tidak terbenam
karena lubang tanam terlalu dalam atau terdapatnya bagian
akar yang tidak tertimbun karena lubang terlalu dangkal.
Lubang yang telah ditanami bibit kemudian ditutup material
tanah bekas galian, upayakan bibit tegak dan tidak goyang.
10. Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman dilakukan pada tahun berjalan (T+0), tahun
pertama (T+1) dan tahun kedua (T+2).
Pemeliharaan tanaman tahun pertama (pemeliharaan I) dilakukan
apabila persentase tumbuh tanaman tahun berjalan setelah
sulaman mencapai > 60 % sedangkan pemeliharaan tahun ke dua
(pemeliharaan II) dilakukan apabila persentase tumbuh tanaman
setelah pemeliharaan I mencapai > 80 %.
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi : penyiangan,
penyulaman dan pengendalian hama dan penyakit.
a. Penyiangan
Penyiangan dimaksudkan untuk membebaskan tanaman dari
gulma dan tumbuhan pengganggu. Penyiangan dilakukan pada
pemeliharaan tahun berjalan, tahun pertama dan tahun kedua.
b. Penyulaman
Penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman yang
mati/merana, diusahakan menggunakan bibit sejenis.
Penyulaman dilakukan pada pemeliharaan tahun berjalan dan
tahun pertama.
79
Pelaksanaan penyulaman sebesar 20 % pada pemeliharaan
tanaman tahun berjalan dilaksanakan 15 - 30 hari setelah
penanaman dan pelaksanaan penyulaman sebanyak 10 %
pada pemeliharaan tanaman tahun pertama (pemeliharaan I).
c. Pengendalian hama
Jenis hama yang sering ditemui di lahan dan hutan gambut
adalah : babi hutan dan rayap ( Macrotermes gilvus ). Untuk
mengatasi serangan babi hutan dapat dilakukan dengan cara
membersihkan semak belukar di sekitar areal lokasi tanam
yang merupakan habitatnya. Apabila serangan hama babi tidak
dapat dielakkan maka dilakukan upaya penyetruman,
peracunan atau perburuan masal.
Untuk mengantisipasi gangguan rayap disarankan untuk
melakukan pembuatan lubang tanam 2-3 hari sebelum bibit
ditanam dimaksudkan agar rayap yang terganggu karena
pembuatan lubang tanam akan mencari tempat baru bagi
koloninya. Pada kondisi gangguan yang ekstrim dapat
digunakan insektisida secara hati-hati dan terbatas.
Pengendalian hama dapat dilakukan pada pemeliharaan
tanaman tahun berjalan, tahun pertama dan atau tahun kedua.
VIII. TEKNIK KONSERVASI TANAH
A. Dam Pengendali
1. Maksud dan Tujuan
Tujuan dibangunnya dam pengendali yaitu :
Mengendalikan endapan/aliran air yang ada dipermukaan
tanah yang berasal dari daerah tangkapan air dibagian
hulunya.
Menaikkan permukaan air tanah sekitarnya.
80
Tempat persediaan air bagi masyarakat (rumah tangga,
irigasi, ternak dan lain-lain).
2. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi Dam Pengendali adalah hutan dan lahan yang
termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I
serta morfologi DAS bagian tengah. Secara teknis persyaratan
site lokasi Dam Pengendali adalah sebagai berikut:
Vegetasi pada daerah tangkapan belum efektif dalam
pengendalian erosi/sedimentasi;
Sedimentasi dan erosi sangat tinggi;
Struktur tanah stabil (badan bendung);
Luas DTA 100 -250 ha;
Tinggi badan bendung maksimal 8 meter;
Kemiringan rata-rata daerah tangkapan 15-35 %; dan
Prioritas Pengamanan bangunan vital.
3. Mekanisme Pelaksanaan
a. Persiapan
1) Penyiapan Kelembagaan
a) Pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam
rangka sosialisasi rencana pelaksanaan pembuatan
dam pengendali.
b) Pembentukan organisasi dan penyusunan program
kerja.
2) Pengadaan sarana dan prasarana
Pengadaan peralatan/sarpras diutamakan untuk jenis
peralatan dan bahan habis pakai. Sedang pembuatan
sarana dan prasarana dibuat dengan tujuan untuk
81
memperlancar pelaksanaan pekerjaan di lapangan yang
antara lain :
a) Pembuatan jalan masuk
b) Pembuatan gubuk kerja, gubuk material dan papan
nama
b. Penataan areal kerja
1)Pembersihan lapangan
2)Pengukuran kembali
3)Pemasangan patok batas
c. Pelaksanaan Pembuatan
1) Pembuatan profil bendungan
2) Pengupasan, penggalian dan pondasi bangunan
3) Pembuatan saluran pengelak
4) Pembuatan/pemadatan badan bendung
5) Pembuatan saluran pengambilan dan pintu air
6) Pembuatan bangunan pelimpah (spill way)
7) Pembuatan bangunan lain untuk sarana pengelolaan:
jalan inspeksi
8) Pemasangan gebalan rumput
d. Pemeliharaan
Pemeliharaan bangunan Dam Pengendali (DPi) meliputi :
1) Pemeliharaan badan bendung dan saluran pelimpah
serta saluran pembagi
2) Perbaikan gebalan rumput
e. Organisasi pelaksana
82
Sebagai pelaksana dalam pembuatan Dam Pengendali
adalah kelompok masyarakat atau pihak ketiga didampingi
Petugas Lapangan Kehutanan di bawah koordinasi Dinas
Kabupaten/Kota.
f. Jadwal Kegiatan
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal
pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan.
Gambar 11. Dam Pengendali
B. Dam Penahan
1. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan pembuatan Dam Penahan adalah
mengendalikan endapan/sedimentasi dan aliran air
permukaan dari daerah tangkapan air dibagian hulu.
2. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi Dam Penahan adalah hutan dan lahan yang
termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I
dan II serta morfologi DAS bagian hulu dan tengah. Secara
teknis kriteria site lokasi Dam Penahan adalah sebagai
berikut:
Sedimentasi dan erosi daerah tangkapannya sangat tinggi
Pengamanan sumber air/bangunan vital
Luas DTA 10-30 ha
83
Tinggi maksimal 4 meter,
Kemiringan alur 15-35%.
3. Mekanisme Pelaksanaan
a. Persiapan
1) Penyiapan Kelembagaan
a) Pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam
rangka sosialisasi.
b) Pembentukan organisasi dan penyusunan rencana
kerja.
2) Pengadaan Sarana dan Prasarana
Pengadaan sarana dan prasaranan (sarpras)
diutamakan untuk jenis peralatan dan bahan habis
pakai. Pelaksanaan pekerjaan di lapangan antara lain :
a) Pembuatan jalan masuk
b) Pembuatan gubuk kerja/gubuk material dan papan
nama
3) Penataan areal kerja
a) Pembersihan lapangan
b) Pengukuran kembali
c) Pemasangan patok batas
b. Pelaksanaan Pembuatan
1) Pemasangan profil bangunan
2) Penggalian pondasi bangunan
3) Penganyaman/pembuatan bronjong
4) Pemasangan bronjong
5) Pengisian bronjong
6) Pengikatan bronjong
a. Pemeliharaan
Pemeliharaan bangunan dam penahan meliputi :
84
1) Pembersihan seresah
2) Pemeliharaan bronjong
d. Organisasi pelaksana
Pelaksana dalam pembuatan dam penahan adalah
kelompok masyarakat atau pihak ketiga didampingi
Petugas Lapangan Kehutanan di bawah koordinasi Dinas
Kabupaten/Kota.
e. Jadwal Kegiatan
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal
pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan
Gambar 12. Dam Penahan dengan konstruksi kayu/bambu
Gambar 13. Dam Penahan dengan konstruksi anyaman ranting, kayu/bambu
85
Gambar 14. Dam Penahan dengan konstruksi bronjong kawat
C. Pengendali Jurang (gully plug)
1. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dibangunnya Pengendali Jurang (gully
plug) adalah memperbaiki lahan yang rusak berupa
jurang/parit akibat gerusan air guna mencegah terjadinya
jurang/parit yang semakin besar.
2. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi gully plug adalah hutan dan lahan yang
termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I
dan II serta morfologi DAS bagian hulu dan tengah. Secara
teknis kriteria site lokasi gully plug adalah sebagai berikut:
Kemiringan > 30 % dan terjadi erosi parit/alur;
Pengelolaan lahan sangat intensif atau lahan terbuka;
Sedimentasi tinggi;
Curah hujan tinggi;
Kemiringan alur maksimal 5%.
86
3. Mekanisme Pelaksanaan
a. Persiapan
1) Penyiapan Kelembagaan
a) Pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam
rangka sosialisasi
b) Pembentukan organisasi dan penyusunan rencana
kerja
2) Pengadaan sarana dan prasarana
Pengadaan peralatan/sapras diutamakan untuk jenis
peralatan dan bahan yang habis pakai. Sedang
pembuatan sarana dan prasarana untuk memperlancar
pelaksanaan pekerjaan di lapangan a.l. :
3) Pembuatan jalan masuk
4) Pembuatan gubuk kerja/gubuk material dan papan
nama
b. Penataan areal kerja
1) Pembersihan lapangan
2) Pengukuran kembali
3) Pemasangan patok
4) Pembuatan profil lapangan
c. Pembuatan
1) Stabilisasi ujung jurang dilakukan melalui :
a) Pembuatan teras-teras dan bangunan terjunan air
b) Pelandaian lereng
c) Pembuatan saluran diversi mengelilingi bagian atas
2) Stabilisasi tebing jurang dilakukan melalui :
a) Pelandaian lereng/tebing
b) Penguatan lereng/tebing
87
3) Stabilisasi dasar jurang terhadap bangunan pengendali
lolos air dan bangunan pengendali tidak lolos air
4) Pembuatan bangunan pengendali jurang
5) Pemeliharaan
d. Pemeliharaan bangunan pengendali jurang meliputi :
1) Pemeliharaan bangunan terjunan dan teras
2) Pemeliharaan saluran diversi
e. Organisasi pelaksana
Sebagai pelaksana pembuatan pengendali jurang adalah
kelompok masyarakat, yang didampingi penyuluh
kehutanan lapangan (PKL) dengan satuan kerja Dinas
Kabupaten/Kota.
f. Tahapan dan Jadwal Kegiatan
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal
pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan.
g. Hasil Kegiatan
Hasil kegiatan berupa bangunan Pengendali Jurang (gully
plug) yang telah dibangun sesuai rancangan, dan untuk
pemeliharaannya diserahkan kepada aparat desa.
88
Gambar 15. Pengendali Jurang (Gully Plug)
D. Embung Air
1. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dibangunnya embung air adalah :
a. Menampung dan mengalirkan air pada kolam penampung
b. Cadangan persediaan air untuk berbagai kebutuhan pada
musim kemarau
2. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi embung air adalah hutan dan lahan yang
termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I
dan II serta morfologi DAS bagian hulu dan tengah. Secara
teknis kriteria site lokasi embung air adalah sebagai berikut:
a) Daerah kritis dan kekurangan air (defisit)
b) Topografi bergelombang dengan kemiringan <30%
c) Air tanah sangat dalam
d) Tanah liat berlempung atau lempung berdebu
e) Pembangunan embung air diprioritaskan di dekat lokasi
pemukiman dan lahan pertanian/perkebunan dengan daya
tampung air 500 m3
f) Lokasi embung dapat dibangun pada hutan dan lahan yang
rawan kebakaran dan kekeringan.
Keputusan untuk menetapkan lokasi pembuatan embung
dengan memperhatikan alur proses sebagai berikut :
89
Dalam > 30 m Pompa air tanah dalam
Air tanah Dangkal < 30 m Pompa sumur pantek
Tekstur ringan Drum dan bak
Permeabel Penampung
Tidak ada
Tekstur liat/ Embung Air
Tidak permeabel
Gambar 16. Alur proses pengambilan keputusan untuk pembuatan
embung air
3. Mekanisme Pelaksanaan
a. Persiapan
1) Penyiapan acuan dan kelembagaan
a) Mempelajari rancangan embung yang telah disahkan,
b) Pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam
rangka sosialisasi
c) Pembentukan organisasi dan penyusunan program
kerja.
2) Pengadaan dan Pembuatan sarana dan prasarana
Pengadaan peralatan/sapras diutamakan untuk jenis
peralatan dan bahan yang habis pakai. Sedang
90
pembuatan sarana dan prasarana dibuat dengan tujuan
untuk memperlancar pelaksanaan pekerjaan di
lapangan yang antara lain :
a) Pembuatan jalan masuk
b) Pembuatan gubuk kerja/gubuk material
3) Penataan areal kerja
a) Pembersihan lapangan
b) Pengukuran kembali
c) Pemasangan patok /profil
b. Pelaksanaan Pembuatan
1) Penggalian tanah (kemiringan galian 100%, kedalaman
2,5 - 3 m).
2) Pembuatan saluran pelimpah dan saluran pembagi air
3) Pemadatan/pelapisan badan embung air dengan tanah
liat, batu kapur, plastik atau dengan pasangan batu
4) Pemasangan gebalan rumput
c. Pemeliharaan
1) Pemeliharaan gebalan rumput
2) Perbaikan/pemadatan dinding embung air
3) Pengerukan lumpur
d. Organisasi Pelaksana
Sebagai pelaksana pembuatan embung adalah kelompok
masyarakat setempat di bawah koordinasi Dinas
Kabupaten/Kota.
e. Jadwal Kegiatan
91
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal
pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan.
f. Hasil Kegiatan
Bangunan embung yang telah dibuat sesuai rancangan,
dan untuk pemeliharaan diserahkan kepada aparat
desa/kelompok tani.
Gambar 17. Embung Air
E. Sumur Resapan Air (SRA)
1. Maksud dan Tujuan
Tujuan dibangunnya Sumur Resapan Air untuk mengurangi
aliran permukaan dan meningkatkan air tanah sebagai upaya
untuk mengembalikan dan mengoptimalkan fungsi sistem tata
air Daerah Aliran Sungai (DAS) sesuai dengan kapasitasnya.
2. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi sumur resapan air adalah:
92
Daerah pemukiman padat penduduk dengan curah hujan
tinggi;
Neraca air defisit (kebutuhan > persediaan);
Aliran permukaan (run off) tinggi;
Vegetasi penutup tanah <30 % ;
Tanah porous.
3. Mekanisme Pelaksanaan
a. Persiapan
1) Penyiapan kelembagaan
a) Pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam
rangka sosialisasi
b) Pembentukan organisasi dan penyusunan program
kerja
2) Pembuatan sarana dan prasarana
Pengadaan peralataan/sapras diutamakan untuk jenis
peralatan dan bahan yang habis pakai.
3) Penataan areal kerja
a) Penentuan letak sumur
b) Pembersihan lokasi sumur
c) Pemasangan patok
b. Pelaksanaan Pembuatan
1) Penggalian tanah
2) Pemasangan dinding sumur
3) Pembuatan saluran air
4) Pembuatan bak kontrol
5) Pemasangan talang air
6) Pembuatan saluran pelimpasan
c. Pemeliharaan
93
Pemeliharaan bangunan sumur resapan air meliputi :
1) Pembersihan pipa saluran air/talang air, bak kontrol dan
saluran pelimpas
2) Pengerukan lumpur
d. Organisasi pelaksana
Pelaksana pembuatan sumur resapan air adalah kelompok
masyarakat setempat di bawah koordinasi Dinas
Kabupaten/Kota.
e. Jadwal Kegiatan
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal
pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan.
f. Hasil Kegiatan
Hasil kegiatan berupa bangunan sumur resapan yang
dibuat dengan jumlah dan ukuran sesuai dengan
rancangan, dan untuk pemeliharaannya diserahkan kepada
masyarakat/penduduk desa.
Gambar 18. Sumur Resapan Air
94
F. Rorak
1. Maksud dan Tujuan
Pembuatan rorak dimaksudkan sebagai upaya konservasi air
yaitu untuk menampung air dan meresapkannya ke dalam
tanah serta dimaksudkan untuk mengurangi aliran permukaan
dan menampung sedimen/endapan akibat proses erosi.
Dengan demikian tujuan pembuatan rorak adalah untuk :
a. Mengurangi aliran air permukaan.
b. Meningkatkan proses pengendapan sedimen agar tidak
terbawa aliran air permukaan ke daerah di bawahnya,
serta dapat digunakan untuk menghasilkan kompos bila
dikombinasikan dengan mulsa.
c. Meningkatkan air tanah.
2. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi rorak adalah lahan yang termasuk dalam LMU
Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I dan II serta morfologi
DAS bagian hulu dan tengah. Daerah / lokasi ini mempunyai
aliran permukaan dan tingkat sedimennya tinggi seperti lahan
pertanian, pekarangan, perkebunan, hutan, tepi jalan memiliki
kelerengan antara 8% - 25%.
3. Mekanisme Pelaksanaan
a. Persiapan Lapangan
1) Pengukuran kembali
2) Pematokan tanda letak rorak
3) Pengadaan bahan dan alat
b. Pembuatan Rorak
1) Rorak-rorak dibuat di antara tanaman pokok (tanaman
semusim/tahunan/keras).
95
2) Bentuk rorak dapat berupa lubang-lubang biasa
(dangkal atau dalam) atau berupa saluran buntu
(saluran memanjang tetapi tidak dihubungkan dengan
saluran lain atau saluran pembuangan air).
3) Ukuran rorak (lebar dan dalamnya) disesuaikan dengan
curah hujan, jenis tanaman dan keperluannya.
4) Rorak/saluran buntu yang sangat banyak berfungsi juga
seperti sumur peresapan.
c. Pemeliharaan
Memindahkan endapan pada rorak ke bidang olah.
d. Organisasi Pelaksana
Sebagai pelaksana pembuatan rorak adalah kelompok
masyarakat didampingi penyuluh kehutanan lapangan
(PKL) setempat dibawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.
e. Hasil Kegiatan
Rorak yang telah dibangun sesuai rancangan dan setelah
selesai masa pemeliharaan diserahkan kepada aparat desa
setempat dengan berita acara untuk dilakukan
pengelolaan/pemeliharaan lebih lanjut oleh kelompok tani.
Gambar 19. Rorak (saluran buntu)
96
G. Strip Rumput
1. Maksud dan Tujuan
Tujuan dilaksanakannya pola penanaman dengan strip rumput
(grass barrier) yaitu untuk memperlambat aliran permukaan
dan menahan tanah/endapan yang tererosi/terbawa aliran
sehingga mengurangi laju erosi, menyediakan pakan ternak
dari hasil pemangkasan rumput serta terbentuknya teras
alami karena tanah yang terhanyut ditahan oleh strip rumput
di bawahnya.
2. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi strip rumput adalah lahan yang termasuk
dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I dan II
serta morfologi DAS bagian tengah dan hilir dengan
kemiringan (15 – 40) %, kondisi tanah miskin unsur hara dan
lahan usaha yang secara intensif diusahakan oleh
masyarakat.
3. Mekanisme Pelaksanaan
a. Persiapan Lapangan
1) Penyiapan rancangan teknis
2) Pengukuran kembali
3) Pematokan tanda letak larikan rumput
4) Pengolahan/penggemburan tanah
5) Pengadaan bahan dan alat
b. Pembuatan strip rumput
1) Penanaman rumput searah kontur
2) Pembuatan selokan teras/saluran di bagian atas strip
rumput.
97
3) Penanaman tanaman pokok searah kontur
c. Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan berupa pemupukan, penyulaman
tanaman, penyemprotan hama dan penyakit serta
pembersihan saluran air.
Gambar 21. Strip rumput
d. Organisasi pelaksana
Sebagai pelaksana pembuatan strip rumput adalah
kelompok masyarakat didampingi penyuluh kehutanan
lapangan (PKL) dan atau LSM setempat dibawah koordinasi
Dinas Kabupaten/Kota.
e. Tahapan dan Jadwal Kegiatan
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal
pelaksanaan yang tertuang dalam rancangan
f. Hasil Kegiatan
Strip rumput yang telah dibangun sesuai rancangan dan
setelah selesai masa pemeliharaan diserahkan kepada
aparat desa setempat dengan berita acara untuk dilakukan
pengelolaan/pemeliharaan lebih lanjut oleh kelompok tani.
98
Tabel 7. Jenis Dan Manfaat Rumput-Rumputan Dalam Rangka Usaha Konservasi
Tanah
NO. JENIS
RUMPUT
FUNGSI
TANAMAN
CIRI DAN SYARAT
TUMBUH
1.
2.
3.
4.
Rumput
Gajah
(Pennisetum
purpureum)
Rumput
Benggala
(Pannincum
maximum)
Rumput
Mexico
(Euchlaena
maxicana)
Rumput Bede
(Brachiaria
decumbens)
- Sebagai
penutup tanah
- Rumput
potong.
- Sebagai
penutup tanah
- Rumput
potong
- Rumput
potong
- Sebagai
penutup tanah.
- Berumur panjang (6
th produktif)
- Tumbuh baik pada
daerah curah
hujan > 1000 mm
- Ditanam disela-sela
tanaman pokok.
- Penanaman
menggu- nakan stek
atau sobekan rumpun
tua.
- Bentuk mirip
tanaman padi
- Tumbuh baik di
dataran rendah
dengan curah hujan
100-875 mm.
- Berdaun lebar mirip
tanaman jagung.
- Tumbuh baik
didataran rendah.(0 –
1200 dpl) dengan curah
99
5.
6.
7.
8.
9.
Rumput
Lampung
(Setaria
sphacelata)
Rumput
Makari-kari
(Pannicum
coloratum)
Rumput
Sudan
(Sorghum
sudanense)
Rumput
vetiver/akar
wangi
- Rumput
potong
- Penggemb
alaan jika
dipertahankan
tetap pendek.
- Sebagai
penutup tanah
- Rumput
potong
- Penggemb
alaan
- Sebagai
penutup tanah
- Rumput
potong
- Penggemb
alaan
- Rumput
potong
- Bahan
silase
(pengawetan
hujan 2000
mm.
- Pertumbuhan
lambat jika curah hujan
rendah.
- Menjalar
membentuk stolon.
- Daya adaptasi
rendah
- Dapat hidup
didaerah berlereng terjal
dan tanah miskin serta
tahan injakan.
- Dapat ditanam ber
sama-sama legume
jarak tanam 40x40 cm.
- Berumpun, daun
lunak dan akar berbulu
- Tumbuh pd daerah
ketinggian 200- 3000 m
dgn curah hujan 760
mm atau lebih.
- Dapat ditanam
bersama dengan
Legume, Siratro,
Desmodium dan
lain-lain
- Berumpun tapi tak
selebat Setaria
100
10.
11.
12.
13.
(Vetiveria
zizanioides)
Rumput
Signal
(Brachiaria
brizantha)
Rumput Ruzi
(Brachiaria
ruziziensis)
Rumput Para
(Brachiaria
mutica)
Rumput
Australia
(Paspalum
dilatatum)
hijauan pakan
ternak) dan
hay (rumput
kering sebagai
pakan ternak)
- Penggemb
alaan
- Sebagai
penutup tanah
- Sebagai
pengendali
erosi/ penutup
tanah.
- Penggemb
alaan
- Rumput
potong untuk
bahan hay
(rumput kering
sebagai pakan
ternak)
- Penutup
tanah
- Penggemb
alaan ringan
sphacelata atau
Pannicum maximum
- Tumbuh pada tanah
struktur berat, tidak
tergenang, dgn curah
hujan 500-760 mm atau
lebih.
- Dapat ditanam
bersama dengan
Legume, Siratro,
Desmodium dan
lain-lain
- Berumur panjang,
membentuk rumpun.
- Daun lebat dan
kuat, halus dan bagian
tepi kasar.
- Tumbuh baik pada
ketinggian 0-1200m dpl.
- Tumbuh pada curah
hujan 500-900 mm
- Dapat ditanam
bersama leguminosa
- Mempunyai sistem
akar berserabut yang
kuat dan dalam.
- Akarnya beraroma
101
14.
15.
Rumput
Pangola
(Digitaria
decumbens)
Rumput
Rhodes
(Chloris
gayana)
African Star
grass
(Cynodon
plectostachyr
us)
(domba,
kambing)
- Sebagai
penutup tanah
- Penggemb
alaan
- Rumput
potong
- Penutup
tanah
- Penggemb
alaan
- Rumput
potong
- Penutup tanah
- Penggemb
alaan
- Rumput
potong untuk
bahan hay
(pakan ternak)
wangi
- Tahan terhadap
hama dan penyakit.
- Penanaman
menggunakan stek atau
sobekan rumpun yang
tua.
- Umur panjang ,
tumbuh cepat
- Batang dan daun
kaku serta kasar
- Tahan injak dan
tahan kering
- Responsive
terhadap pemupukan
nitrogen
- Hidup baik pada
ketinggian 0-1200m
dengan curah hujan
1500 mm
- Umur panjang,
tumbuh vertical dan
horizontal.
- Batang menjalar
dan setiap buku
stolon tumbuh akar.
- Daun lebar dan
halus
102
- Penutup
tanah.
- Penggemb
alaan
- Penutup
tanah
- Penggemb
alaan
- Penutup
tanah
- Tumbuh pada
ketinggian 0-1000 m
dan curah hujan 1000
mm.
- Tanaman tahunan,
tumbuh menjalar.
- Setiap buku stolon
tumbuh akar dan
cabang, batang dan
daun berbulu.
- Tahan genangan
air, tanah masam
dan tidak tahan tanah
asin.
- Tumbuh tegak,
tinggi 60-150 cm.
- Tahan diinjak,
disukai ternak, gizi
tinggi.
- Perakaran luas dan
dalam, tahan kering
- Tumbuh pada
ketinggian 0-2000 m
dengan curah hujan
900-1200 mm
- Dapat ditanam
bersama leguminosa
- Pertumbuhan cepat
dan merayap,
103
membentuk hamparan.
- Tumbuh ditempat
kering ataupun
tergenang
- Tumbuh pada ke
tinggian 200-1500 m
dan curah hujan 750–
1000 mm atau lebih
- Dapat ditanam
bersama
legumenosa.
- Umur panjang,
menjalar dan
berkembang dengan
stolon
- Tahan terhadap
penggembalaan berat
dan disukai ternak
- Tahan keringtapi
tak tahan naungan.
- Tumbuh pada
ketinggian 0-3000 m
dengan curah hujan 762
–1300 mm
- Dapat ditanam
bersama leguminosa
- Tumbuh tegak dan
menjalar membentuk
hamparan
104
- Stolon rapat pada
tanah dan tumbuh akar
yang kuat
- Tahan injak
- Tumbuh pada
dataran rendah dengan
curah hujan 500-800
mm
H. Perlindungan Kanan-Kiri Tebing Sungai
1. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan perlindungan kanan kiri/tebing sungai
antara lain :
a. Mencegah terjadinya longsor
b. Mencegah erosi masuk ke badan sungai
c. Menekan terjadinya banjir
d. Meningkatkan kualitas air sungai
e. Menekan terjadinya pendangkalan sungai
2. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi perlindungan kanan-kiri sungai adalah hutan
dan lahan yang termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan
pada RHL Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian hulu
dan tengah yang kanan kiri/tebing sungai nya mudah
longsor/erosi, bertebing curam, sempadan sungai yang gundul
dan curah hujan tinggi.
3. Mekanisme Pelaksanaan
a. Persiapan Lapangan
1) Penyiapan rancangan teknis
2) Pengukuran kembali
105
3) Pematokan tanda letak bangunan kanan kiri/tebing
sungai
4) Pengadaan bahan dan alat
5) Pembuatan bangunan perlindungan kanan kiri/tebing
sungai melalui beberapa alternatif atau kombinasi
alternatif berikut sesuai kondisi lapangan.
b. Penanaman rumput, perdu dan pohon; tanaman harus
memiliki perakaran yang dalam dan tajuk pohon yang
rimbun
c. Pemasangan trucuk bambu; dapat menggunakan potongan
batang bambu, maupun langsung menanami dengan
bambu
d. Pemeliharaan
1) Penyulaman tanaman baik rumput, perdu maupun
pohon yang tidak tumbuh
2) Perbaikan terhadap trucuk apabila mengalami
kerusakan
e. Organisasi Pelaksana
Sebagai pelaksana pembuatan perlindungan kanan/kiri
sungai adalah kelompok masyarakat didampingi penyuluh
kehutanan lapangan (PKL) dibawah koordinasi Dinas
Kabupaten/Kota.
f. Hasil Kegiatan
Bangunan perlindungan kanan kiri/tebing sungai yang telah
dibangun sesuai rancangan dan setelah selesai masa
pemeliharaan diserahkan kepada aparat desa setempat
dengan berita acara untuk dilakukan
pengelolaan/pemeliharaan lebih lanjut oleh kelompok tani.
106
Gambar 22. Bangunan Perlindungan Kanan Kiri/Tebing Sungai
I. Saluran Pembuangan Air dan Bangunan Terjunan Air
1. Maksud dan Tujuan
Maksud dibangunnya SPA adalah untuk mengarahkan aliran
air ke tempat yang aman dari erosi jurang sekaligus
meresapkan air ke dalam tanah. Sedangkan maksud
pembangunan bangunan terjunan air merupakan kelengkapan
SPA agar air yang jatuh pada SPA tidak menyebabkan erosi
dan menimbulkan longsor.
2. Sasaran Lokasi
107
Sasaran lokasi SPA dan bangunan terjunan air adalah lahan
yang termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL
Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian tengah dan hilir
dengan tingkat kelerengan cukup curam dan jenis tanah
mudah tererosi dan longsor.
3. Mekanisme Pelaksanaan
a. Persiapan Lapangan
1) Persiapan pembuatan SPA yang diperlukan adalah :
a) Penyiapan rancangan teknis
b) Pemancangan patok induk tegak lurus kontur yang
merupakan as/poros SPA. Jarak maksimum antara
dua patok 5 m.
c) Pemancangan patok pembantu di kanan/kiri patok
induk untuk menggambarkan lebar atas SPA.
2) Persiapan pembuatan bangunan terjunan yang
dilakukan adalah :
a) Pemancangan patok-patok disepanjang SPA untuk
menentukan letak terjunan, jarak antara dua patok
disesuaikan dengan lebar bidang olah teras.
b) Letak bangunan terjunan harus lebih ke dalam dari
pada talud teras dan pada tanah asli (bukan tanah
urugan).
c) Penggalian tanah menurut patok yang telah
dipancang dengan arah tegak lurus ke bawah
sedalam 0,5-1,5 m diukur dari bidang olah.
b. Pembuatan
1) Pembuatan bangunan SPA
a) Penggalian tanah sesuai profil yang terbentuk dari
patok-patok pembantu sedalam minimal 50 cm dari
108
bidang olah teras dan lebar dasar 50 cm sesuai
rancangan
b) Dasar SPA pada teras bangku dibuat dengan
kemiringan 0,1-0,5% ke arah luar sehingga
perbedaan tinggi dasar saluran yang berjarak 5 m
adalah 0,5-2,5 cm
c) Setiap jarak 1 m sepanjang SPA ditanami gebalan
rumput selebar 20 cm melintang SPA .
2) Pembuatan bangunan terjunan
a) Dua atau tiga potong bambu bulat ditanam ke dalam
tanah 0,5 m, sedang yang berada dipermukaan
saluran dipasang setinggi bangunan terjunan.
b) Bambu belah dipasang melintang terjunan, kulit
bagian luar bambu diletakan di bagian luar.
c) Pemasangan bambu disusun mulai dari bawah
dengan kedua ujungnya dimasukan ke dalam bagian
kanan kiri dinding SPA dan diikatkan pada bambu
bulat.
c. Pemeliharaan
1) Pembersihan saluran dari endapan
2) Perbaikan bambu apabila rusak baik karena sudah lapuk
atau karena akibat lain.
d. Organisasi Pelaksana
Sebagai pelaksana pembuatan saluran pembuangan air
dan terjunan adalah kelompok masyarakat didampingi
penyuluh kehutanan lapangan (PKL) dibawah koordinasi
Dinas Kabupaten/Kota.
e. Hasil Kegiatan
Saluran pembuangan air dan bangunan terjunan yang
telah dibangun sesuai rancangan dan setelah selesai masa
109
pemeliharaan diserahkan kepada aparat desa setempat
dengan berita acara untuk dilakukan
pengelolaan/pemeliharaan lebih lanjut oleh kelompok tani.
Gambar 23. SPA dan Bangunan Terjunan
J. Teras
1. Maksud dan Tujuan
Tujuan dibangunnya teras adalah memperkecil aliran
permukaan, menekan erosi, meningkatkan peresapan air ke
dalam tanah serta menampung dan mengendalikan aliran air
ke daerah yang lebih rendah secara aman.
2. Sasaran Lokasi
Secara umum, sasaran lokasi pembuatan teras adalah lahan
yang termasuk dalam LMU Terpilih, diutamakan pada RHL
Prioritas I dan II serta morfologi DAS bagian tengah dan hilir.
3. Jenis Teras
a. Jenis Teras
1) Teras datar
Teras datar adalah teknik konservasi tanah berupa
tanggul tanah sejajar kontur yang dilengkapi saluran di
atas dan di bawah tanggul, bidang olah tidak diubah
dari kelerengan permukaan.
110
a) Standar teknis
1) Kemiringan lereng < 5 %
2) Solum tanah dangkal < 30 cm
3) Drainase baik
4) Kemiringan tanah olahan tetap
5) Tanggul tanah ditanami vegetasi/rumput
b) Manfaat
Mengurangi aliran permukaan dan erosi
2) Teras Gulud
Teras gulud teknik konservasi tanah berupa guludan
tanah dan saluran air.
a) Standar teknis
Gambar 24. Teras Datar
111
(1)Kemiringan lereng 8-40 dan untuk tanaman
semusim < 15 %
(2)Guludan ditanami legum atau rumput dan
dipangkas secara reguler
(3)Guludan ditutup dengan mulsa hasil pangkasan
(4)Beda tinggi antar guludan ± 1.25 m
(5)Solum tanah dangkal dan berpasir
(6)Kemiringan bidang olahan diusahakan tetap
(7)Permeabilitas tanah cukup tinggi.
b) Manfaat
(1)Pengendalian erosi dan aliran permukaan
(2)Sumber pakan ternak
(3)Gangguan pada struktur tanah sedikit.
3) Teras Kredit
Teras kredit adalah teknik konservasi tanah berupa
guludan tanah atau batu sejajar kontur dan bidang olah
tidak diubah dari kelerengan permukaan.
a) Standar teknis
(1)Untuk tanah dangkal lereng 3 – 15 %
Gambar 25. Teras
Gulud
112
(2)Untuk tanah dalam lereng 3 – 40 %
(3)Guludan ditanami tanaman penguat (misal :
rumput, legum dan ditanam secara rapat).
(4)Jarak antar guludan 5 – 12 m
(5)Tidak cocok untuk tanaman peka longsor.
b) Manfaat
(1)pengendalian erosi tanah
(2)pengurangan aliran permukaan.
4) Teras individu
Teras individu adalah teknis konservasi tanah berupa
teras yang dibuat hanya pada tempat yang akan
ditanami tanaman pokok.
a) Standar teknis
(1)Ukuran teras 1 x 1 m (segi empat)
(2)Ukuran diameter 1 m (lingkaran)
(3)Hanya untuk tanaman berupa pohon
(4)Kemiringan lereng 30 – 50 %
Gambar 26 Teras Kredit
113
(5)Pada lokasi dengan curah hujan rendah
(6)Tanah di luar teras ditanami tanaman penutup
tanah
(7)Untuk lereng yang curam dapat dikombinasikan
dengan teknis konervasi tanah lainnya.
b) Manfaat
(1)Pengendalian erosi tanah
(2)Pengurangan aliran permukaan
(3)Peningkatan air infiltrasi
5) Teras Kebun
Teras kebun adalah teknik konservasi tanah berupa
teras yang hanya dibuat pada bidang tanah yang akan
ditanami dan searah kontur.
a) Standar teknis
(1)Kemiringan lereng 10-3- %
Gambar 27. Teras Individu
114
(2)Solum tanah > 30 cm
(3)Lebar teras ± 1.5 m
(4)Teras miring kedalam ± 1 %
(5)Di luar teras ditanami tanaman penutup teras
(6)Cocok untuk ditanami tanaman
perkebunan/tahunan
(7)Cocok untuk tanah dengan daya serap lambat.
b) Manfaat
(1)Pengendalian erosi tanah
(2)Peningkatan air infiltrasi
(3)Pengurangan aliran permukaan
Gambar 28. Teras Kebun
4. Mekanisme Pelaksanaan
a. Persiapan Lapangan
1) Penyiapan rancangan teknis
2) Pengukuran kembali
3) Pematokan tanda letak tanggul/guludan
b. Pembuatan teras
1) Pembuatan bangunan utama teras sejajar kontur
2) Penanaman tanaman penguat teras sepanjang kontur
115
3) Pembuatan bangunan pelengkap (saluran pembuangan
air, saluran pengelak, bangunan terjunan, dll)
c. Pemeliharaan
1) pengerukan tanah yang menimbun selokan kemudian
digunakan untuk memperbaiki guludan.
2) Perbaikan guludan sepanjang larikan tanaman.
3) Penyulaman dan pemangkasan tanaman penguat teras
dan tanaman gulud.
4) Pembersihan jalur teras dari tanaman pengganggu.
d. Organisasi pelaksana
Sebagai pelaksana pembuatan teras adalah kelompok
masyarakat didampingi penyuluh kehutanan lapangan
(PKL) di bawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.
e. Hasil Kegiatan
Hasil kegiatan adalah teras yang telah dibangun sesuai
rancangan. Setelah selesai masa pemeliharaan diserahkan
kepada aparat desa setempat dengan berita acara.
K. Biofori
1. Maksud dan Tujuan
Lubang Resapan Biopori merupakan teknologi tepat guna dan
ramah lingkungan untuk mengatasi banjir dengan cara
meningkatkan daya resapan air, mengubah sampah organik
menjadi kompos dan mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2
dan metan), dan memanfaatkan peran aktivitas guna tanah
dan akar tanaman dan mengatasi masalah yang ditimbulkan
oleh genangan air seperti penyakit demam berdarah dan
malaria.
2. Sasaran Lokasi
116
Sasaran lokasi lobang biofori adalah lahan di perkotaan
dengan perhitungan untuk setiap 100 m2 lahan idealnya
Lubang Resapan Biopori (LRB) dibuat sebanyak 30 titik
dengan jarak antara 0,5 - 1 m. Dengan kedalam 100 cm dan
diameter 10 cm setiap lubang bisa menampung 7,8 liter
sampah.
3. Mekanisme Pelaksanaaan
a. Pelaksanaan
1) Pembuatan lubang dengan bor, untuk memudahkan
pembuatan lubang bisa dibantu diberi air agar tanah
lebih gembur.
2) Alat bor dimasukkan dan setelah penuh tanah (kurang
lebih 10 cm kedalaman tanah) diangkat, untuk
dikeluarkan tanahnya, lalu kembali lagi memperdalam
lubang tersebut sampai sebelum muka air tanah (30 cm
sampai dengan 100 cm).
3) LRB dalam alur lurus berjarak 0,5 - 1 m, sementara
untuk LRB pohon cukup dibuat 3 lubang dengan posisi
segitiga sama sisi.
4) Pada bibir lubang dilakukan pengerasan dengan semen,
dan dapat digantikan dengan potongan pendek pralon.
Hal ini untuk mencegah terjadinya erosi tanah.
5) Kemudian di bagian atas diberi pengaman besi.
6) Masukkan sampah organik (sisa dapur, sampah
kebun/taman) ke dalam LRB. Jangan memasukkan
sampah anorganik (seperti besi, plastik, baterai, dll)
7) Bila sampah tidak banyak cukup diletakkan di mulut
lubang, tapi bila sampah cukup banyak bisa dibantu
dimasukkan dengan tongkat tumpul, tetapi tidak boleh
117
terlalu padat karena akan mengganggu proses
peresapan air.
b. Pemeliharaan
1) Lubang Resapan Biopori harus selalu terisi sampah
organik
2) Sampah organik dapur bisa diambil sebagai kompos
setelah dua minggu, sementara sampah kebun setelah
dua bulan. Lama pembuatan kompos juga tergantung
jenis tanah tempat pembuatan LRB, tanah lempung
agak lebih lama proses kehancurannya. Pengambilan
dilakukan dengan alat bor LRB.
3) Bila tidak diambil maka kompos akan terserap oleh
tanah, LRB harus tetap dipantau supaya terisi sampah
organik.
c. Organisasi Pelaksana
Sebagai pelaksana pembuatan Lubang Resapan Biopori
adalah kelompok masyarakat/perorangan.
d. Hasil Kegiatan
Lubang Resapan Biopori yang telah dibangun sesuai
rancangan pemeliharaan lebih lanjut oleh kelompok
masyarakat/perorangan.
118
Gambar 29. Lubang Resapan Biopori
IX. KEGIATAN PENDUKUNG
A. Pengembangan Perbenihan
Dalam rangka menunjang keberhasilan rehabilitasi hutan dan
lahan diperlukan bibit berkualitas dengan jumlah memadai. Bibit
berkualitas berasal dari benih berkualitas yang diperoleh dari
sumber benih bersertifikat. Sumber-sumber benih mempunyai
tingkat kualitas genetik yang berbeda tergantung pada
klasifikasinya. Klasifikasi sumber benih terdiri dari Tegakan Benih
Teridentifikasi (TBT), Tegakan Benih Terseleksi (TBS), Areal
Produksi Benih (APB), Tegakan Provenan (TP), Kebun Benih
Semai (KBS), Kebun Benih Klon (KBK), Kebun Pangkas (KP).
Sumber benih dapat diperoleh melalui dua cara, yaitu 1)
menjadikan tegakan (hutan alam atau tanaman) yang telah ada
menjadi sumber benih atau disebut juga penunjukan sumber
benih atau dengan cara 2) membangun sumber benih baru
dengan penanaman.
119
1. Pembangunan Sumber Benih melalui Penunjukan
Penunjukan sumber benih dilakukan terhadap tegakan (hutan
alam atau hutan buatan) yang memenuhi kriteria sebagai
sumber benih melalui proses sertifikasi sumber benih.
Klasifikasi sumber benih yang dilakukan melalui penunjukan
meliputi: TBT, TBS dan APB. Kelebihan dari menunjuk sumber
benih adalah dapat segera menghasilkan benih setelah
penunjukan. Kelebihan lainnya adalah lebih murah
mengidentifikasi yang ada, kemudian mengkonversi dan
mengelolanya sebagai sumber benih. Kekurangannya adalah
mutu genetik biasanya lebih rendah dibanding dengan yang
akan diperoleh jika membangun sumber benih. Kriteria
sumber benih yang ditunjuk harus memiliki indikator :
a. Aksesibilitas: akses baik untuk didatangi, dekat jalan dan
mudah untuk melakukan pengelolaan dan pemanenan
benih.
b. Jumlah Pohon : jumlah pohon induk minimal 25 pohon
untuk hutan alam dengan jarak 50 – 100 m sedangkan
pada hutan tanaman jumlah 25 pohon pertimbangan jarak
antar pohon tidak perlu.
c. Kualitas tegakan : Tegakan dipilih yang berkualitas baik,
tinggi bebas cabang dan tingkat kelurusan batang yang
baik.
d. Pembungaan dan pembuahan: tegakan harus pernah
berbunga dan berbuah untuk menyakinkan bahwa tegakan
tersebut nantinya akan menghasilkan buah atau produktif.
e. Keamanan : sumber benih hendaknya aman dan terlindung
dari penebangan liar, penyerobotan dan gangguan
kebakaran dan bencana alam lainnya.
120
f. Kesehatan: tegakan hendaknya relatif sehat dan tidak
terserang hama dan penyakit
g. Asal usul: asal usul pohon sebaiknya diketahui.
2. Pembangunan Sumber Benih melalui Penanaman
Sumber benih yang dibangun biasanya kualitas genetiknya
lebih tinggi dibandingkan dengan sumber benih yang ditunjuk,
karena dalam membangun sumber benih dapat dipersiapkan
materi genetik yang baik sesuai dengan kualitas yang
diinginkan.
Klasifikasi sumber benih yang dibangun :
Kebun Pangkas
Kebun Benih
Tegakan benih provenans
Areal Produksi Benih
Langkah-langkah yang diperlukan dalam membangun sumber
benih, yaitu :
a. Pemilihan tapak/lokasi
Dalam pemilihan tapak atau lokasi perlu dipertimbangkan
persyaratan berikut :
Jenis yang cocok, sesuai habitat.
Kepemilikan lahan tidak tumpang tindih dengan
kepentingan lain
Keamanan lokasi terjamin dalam jangka panjang atau
tidak terjadi sengketa
Akses lokasi sangat baik dalam rangka pengelolaan
sumber benih
b. Eksplorasi benih
121
Eksplorasi dimaksudkan untuk mencari materi genetik
yang akan digunakan sebagai bahan dalam membangun
sumber benih. Semakin tinggi kualitas sumber benih yang
akan dibangun semakin tinggi persyaratan materi genetik.
Materi genetik berasal dari pohon induk harus sesuai
dengan kriteria yang dipersyaratkan. Sebagai contoh
jumlah pohon induk untuk membangun kebun benih
minimal berasal dari 100 pohon induk.
c. Pembuatan bibit
Pembuatan bibit diperlukan untuk menyiapkan bahan
tanaman agar memenuhi persyaratan untuk tumbuh di
lapangan. Penyiapan bibit biasanya dilakukan di
persemaian.
d. Pembuatan disain
Disain disusun untuk memudahkan pelaksanaan
pembangunan sumber benih. Dalam penyusunan disain
yang perlu dipertimbangkan adalah :
Kelas sumber benih yang akan dibangun
Bentuk sumber benih: lebih baik membangun sumber
benih dengan bujur sangkar, tidak persegi karena
penyerbukan kurang optimal.
e. keterangan dalam masing-masing bibit atau blok.
Label Informasi ini penting untuk dijaga agar tidak rusak,
hal ini untuk menghindari bibit tidak tercampur dengan
bibit lain yang sangat mempengaruhi analisa lebih lanjut.
Penentuan jarak tanam
Jarak tanam yang digunakan seperti pada penanaman
pada umumnya dan jarak tanam tergantung juga pada
jenis tanamannya.
f. Penentuan luas
122
Luas sumber benih ditentukan oleh besarnya permintaan
benih dan produksi benih yang diharapkan. Sumber benih
yang lebih besar memerlukan tenaga dan biaya yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan sumber benih yang lebih
kecil.
g. Penanaman
Cara penanaman dalam pembangunan sumber benih
berbeda dengan penanaman pada umumnya. Biasanya
penanaman dalam pembangunan sumber benih
mempunyai label atau
h. Penyulaman
Penyulaman diperlukan untuk mengganti tanaman yang
mati atau merana. Penyulaman ini harus mengganti
dengan bibit yang berasal dari satu pohon induk atau bibit
yang memiliki label informasi yang sama. Ukuran bibit
relatif sama dengan bibit lainnya yang sudah ditanam.
i. Pembuatan jalur isolasi
Terdapat jalur isolasi untuk menghindari sumber benih dari
penyerbukan luar yang tidak diinginkan.
Pembangunan sumber benih dan pengelolaannya secara
lengkap dapat dilihat dalam Petunjuk Pelaksanaan Standar
Sumber Benih (Peraturan Dirjen RLPS No. P.05/V-SET/2010).
Sedangkan sertifikasi sumber benih dilaksanakan berdasarkan
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/Menhut-II/2009 tentang
Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan Jo. P.72/Menhut-
II/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan
No. P.01/Menhut-II/2009.
B. Teknologi Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi program RHL maka
123
dalam penyelenggaraan RHL perlu didukung dengan teknologi
RHL. Secara umum teknologi RHL yang perlu dikembangkan
meliputi teknologi perencanaan dan monitoring-evaluasi serta
pelaksanaan RHL.
1. Perencanaan dan Monitoring-Evaluasi RHL
a. Pengembangan Basis Teknologi Informasi dan Remote
Sensing
Sistem perencanaan RHL dikembangkan berbasis spasial
dimana parameter-parameter dianalisis menggunakan
analisis pemetaan digital. Analisis spasial ini memerlukan
Teknologi Informasi khususnya teknologi Sistem Informasi
Geografis (SIG).
Dalam menyusun rencana RHL dan monitoring evaluasi
maka akan digunakan informasi kondisi biofisik lapangan.
Untuk memperoleh informasi yang aktual dan dapat di
update secara periodik maka perlu dikembangkan
teknologi remote sensing .
Pengembangan teknologi informasi dan remote sensing ini
secara luas memerlukan proses dan waktu. Untuk itu
pengembangan teknologi ini dimulai dari institusi pusat
yaitu UPT Ditjen BPDAS dan PS yaitu Balai Pengelolaan
DAS. Secara bertahap pengembangan teknologi
perencanaan dan monev RHL ini dikembangkan ke seluruh
para pihak/ stakeholder terkait.
b. Pengembangan Sistem Monev hasil (outcome) dan dampak
(impact) RHL
Untuk kepentingan pengendalian program RHL perlu
dikembangkan sistem monev hasil (outcome) dan dampak
(impact) RHL. Sistem monev ini untuk melengkapi sistem
monev output yang saat ini sudah berjalan untuk
kepentingan pengendalian kegiatan di lapangan. Monev
hasil dan dampak RHL dikembangkan dengan
124
menggunakan UTP RHL sebagai basis analisis di lapangan.
c. Sistem Aplikasi Monitoring-Evaluasi RHL Berbasis Spasial
Untuk menunjang sistem pengendalian program RHL dan
agar program RHL dapat memenuhi standar sistem MRV
(measurable, reportable dan verifiable) seperti dalam
program mitigasi perubahan iklim maka perlu
dikembangkan sistem monitoring-evaluasi RHL yang
berbasis spasial. Sistem ini mengadopsi teknologi informasi
serta remote sensing.
Sistem Aplikasi Monitoring - Evaluasi Berbasis Spasial ini
dikembangkan secara bertahap sesuai dengan kesiapan
institusi di daerah. Sistem ini telah mulai dikembangkan di
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal BPDAS-PS.
2. Teknologi Pelaksanaan RHL
Pengembangan teknologi RHL harus terus dikembangkan
untuk mendapatkan teknologi RHL yang paling tepat di
wilayah Indonesia yang kondisi biofisik dan sosial-ekonomi
nya sangat beragam. Pengembangan teknologi RHL yang
sangat penting antara lain adalah:
RHL di wilayah arid/kering;
RHL pada berbagai tipe hutan dan iklim;
RHL di wilayah padat penduduk;
RHL di wilayah sentra sayuran;
RHL dengan pola wanatani; dan lain sebagainya.
C. Penyuluhan
Penyuluhan merupakan pendidikan non formal yang bertujuan
untuk merubah perilaku masyarakat menjadi pihak yang peduli
terhadap kelestarian fungsi hutan dan lahan. Penyuluhan harus
dilakukan secara berkesinambungan, karena perubahan perilaku
masyarakat tidak dapat serta merta terjadi. Perubahan perilaku
terjadi melalui tahapan adopsi yang prosesnya pada masing –
125
masing kelompok atau individu berbeda-beda. Secara umum
tahapan perubahan perilaku masyarakat terdiri dari proses
menjadi tahu, mau dan selanjutnya menjadi masyarakat yang
mampu melakukan rehabilitasi hutan dan lahan secara mandiri.
Sasaran penyuluhan adalah seluruh masyarakat yang hidup dan
kehidupannya terkait dengan pelestarian hutan dan lahan, baik
yang bersifat langsung maupun tidak langsung dalam
pelaksanaan RHL.
Penyuluhan dilaksanakan melalui berbagai pendekatan, antara
lain latihan; kunjungan lapangan; ceramah; pameran;
penyebaran brosur, leaflet dan majalah; kampanye; lomba;
demonstrasi; temu wicara; diskusi kelompok; karyawisata dan
sebagainya.
Pada dasarnya penyuluhan dapat dilaksanakan oleh semua pihak
yang terkait dengan kegiatan RHL. Namun demikian pihak yang
secara operasional bertanggungjawab terhadap pelaksanaan
kegiatan penyuluhan adalah para tenaga Penyuluh Kehutanan
Lapangan (PKL) dan atau Petugas Kehutanan lainnya.
D. Pelatihan
Pelatihan bertujuan untuk meningkatkan pemahaman
masyarakat terhadap masalah teknis, kelembagaan dan
adminitrasi kegiatan RHL. Dengan demikian terdapat 3 (tiga)
kelompok pelatihan, yaitu pelatihan teknis, kelembagaan dan
pelatihan administrasi. Pelatihan diberikan kepada semua pelaku
RHL, yaitu unsur masyarakat, unsur pendamping dan aparatur
pelaksana kegiatan. Pelatihan dapat diselenggarakan oleh
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten atau
Kota, LSM dan lembaga lain yang terkait.
a. Pelatihan teknis
126
Pelatihan teknis dimaksudkan untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat terhadap teknis RHL, yang meliputi
teknis perencanaan dan pelaksanaan RHL. Jenis–jenis
pelatihan teknis antara lain : pemetaan partisipatif,
perencanaan partisipatif, pembibitan, pembuatan dan
pemeliharaan tanaman, konservasi tanah, dan sebagainya.
b. Pelatihan Kelembagaan
Pelatihan kelembagaan dimaksudkan sebagai upaya untuk
meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap
pengembangan kapasitas kelompok RHL. Jenis - jenis
pelatihan kelembagaan antara lain : pembentukan organisasi
dan kepengurusannya, penyusunan aturan kelompok
(AD/ART), dsb.
c. Pelatihan administasi
Pelatihan administrasi dimaksudkan sebagai upaya untuk
meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan
administrasi kegiatan RHL. Jenis – jenis pelatihan administrasi
antara lain : Adminitrasi keuangan, administrasi kegiatan,
administrasi pelaporan, dan sebagainya.
E. Pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan
kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam mendapatkan
manfaat sumberdaya hutan dan lahan secara optimal dan adil
serta dalam melaksanakan kegiatan RHL melalui pengembangan
kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan
kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang
RHL juga dikembangkan dalam upaya memaksimalkan
keberhasilan serta menjamin kelangsungan pengelolaan hasil-
hasil RHL.
127
1. Pemberian Akses
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007
pasal 84 bahwa akses legal yang dapat diberikan kepada
masyarakat setempat dalam pengelolaan atau pemanfaatan
hutan secara lestari adalah dalam bentuk Hutan Desa, Hutan
Kemasyarakatan atau Kemitraan. Kegiatan tersebut
dimaksudkan sebagai upaya untuk mengembangkan
kapasitas masyarakat setempat dalam mengelola hutan
secara lestari, menjamin ketersediaan lapangan kerja serta
untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi
di masyarakat.
Penyelenggaraan Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan
diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.49/Menhut-II/2008 jo P.14/Menhut-II/2010 tentang Hutan
Desa serta Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-
II/2007 jo P.18/Menhut-II/2009 jo P.13/Menhut-II/2010 tentang
Hutan Kemasyarakatan. Ketentuan – ketentuan tersebut di
atas mengatur tentang pemberian kesempatan kepada
masyarakat untuk mendapatkan akses legal dalam mengelola
hutan secara lestari dalam bentuk Hutan Desa atau Hutan
Kemasyarakatan (HKm) sesuai dengan kondisi setempat.
Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang lokasinya secara
teknis memenuhi ketentuan bagi penyelenggaraan Hutan
Desa atau Hutan Kemasyarakatan, sebaiknya diberikan
fasilitasi untuk mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan Hutan
Desa atau Ijin Usaha Pemanfaatan HKm agar masyarakat
setempat mendapat kesempatan untuk meningkatkan
kesejahteraannya serta untuk mewujudkan kelestarian fungsi
hutan.
2. Pengembangan kesempatan berusaha
128
Kegiatan RHL dilaksanakan dengan prinsip memanfaatkan
kemampuan lokal seoptimal mungkin. Penggunaan bahan–
bahan semaksimal mungkin menggunakan bahan yang
tersedia di lokasi dengan ketentuan sesuai dengan
persyaratan teknis yang diperlukan.
Masyarakat setempat harus ditempatkan sebagai subyek dan
stakeholder utama dalam pelaksanaan RHL, sehingga dapat
menumbuhkan rasa memiliki dan tanggungjawab pada
kelompok masyarakat.
3. Pengembangan kerjasama antar sektor
Dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi produktif
dalam kegiatan RHL, Pemerintah diharapkan dapat
memberikan dukungan melalui peran instansi terkait dalam
program lintas sektor secara terintegrasi. Kegiatan ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok
masyarakat pelaksana RHL yang secara nyata telah
menunjukan keberhasilannya.
Kerjasama antar sektor dimasudkan sebagai upaya untuk
menggali potensi program pemberdayaan masyarakat yang
berada di masing –masing sektor untuk dioptimalkan dalam
pemberdayaan masyarakat peserta RHL.
Pengembangan kerjasama antar sektor dilakukan melalui
koordinasi kerjasama secara terintegrasi yang difasilitasi
pemerintah daerah. Dalam pelaksanaanya pemerintah daerah
dapat dibantu oleh lembaga lain yang berperan sebagai
fasilitator.
4. Pengembangan akses pasar
Akses pasar merupakan bagian yang sangat penting dari
rangkaian kegiatan RHL. Kegiatan RHL harus dilaksanakan
secara terpadu sejak dari pelaksanaan, pemeliharaan dan
pemasaran hasil. Seringkali pemasaran hasil tidak
129
direncanakan sehingga terjadi over supply atau tidak terdapat
akses pasar. Pengembangan akses pasar dapat dilakukan
melalui beberapa cara, antara lain :
a. Kegiatan promosi melalui berbagai media informasi
b. Kegiatan temu usaha antara petani dengan lembaga usaha
c. Membangun media informasi pasar
d. Melaksanakan kunjungan dagang antar daerah
e. Memfasilitasi kerjasama kemitraan.
5. Pengembangan kemitraan usaha
Pengembangan kemitraan usaha dalam kegiatan RHL adalah
suatu bentuk kerjasama antara kelompok tani RHL dengan
mitra usaha (perusahaan bidang kehutanan dan perusahaan
lain) yang membentuk suatu ikatan kerjasama atas dasar
kesepakatan dan rasa saling membutuhkan, saling
memperkuat dan saling menguntungkan.
Unsur mitra usaha adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Swasta
(BUMS) atau Koperasi. Kemitraan usaha ini sangat penting
untuk peningkatan kesejahteraan kelompok tani RHL, karena
kegiatan ini dapat memberikan kepastian usaha terhadap
hasil – hasil yang akan diperoleh dalam kegiatan RHL.
Untuk pengembangan kemitraan usaha ini diperlukan fasilitasi
oleh pemerintah daerah yang dalam pelaksanaannya dapat
bekerjasama dengan lembaga lain yang mempunyai
kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat.
6. Pendampingan
Pendampingan adalah upaya untuk meningkatkan
kemampuan kelompok pelaksana RHL dengan cara
pengembangan kelembagaan, pengembangan kemampuan
130
teknis dan administrasi, pengembangan usaha,
pengembangan teknologi, perluasan akses pasar, serta
pembinaan kelompok. Kegiatan pendampingan kelompok
antara lain terdiri dari pengembangan organisasi kelompok,
penyusunan rencana RHL, pelaksanaan kegiatan RHL,
penyelenggaraan administrasi kelompok dan administrasi
proyek dsb.
Kegiatan pendampingan bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan kelompok dalam hal :
a. Pengelolaan dan pengembangan kelembagaan kelompok
b. Penyusunan perencanaan RHL
c. Pelaksanaan RHL
d. Pengembangan usaha RHL
e. Pemecahan masalah
f. Pengembangan kerja sama dalam kelompok dan
membangun jejaring kerja antar kelompok tani serta
lembaga lain.
Pada dasarnya kegiatan pendampingan merupakan kewajiban
pemerintah yang dalam pelaksanaannya dapat bekerjasama
dengan pihak lain. Pelaksana pendampingan dilapangan
antara lain :
a. Petugas Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL) dan atau
petugas kehutanan lainnya.
b. Perguruan tinggi, lembaga pengabdian masyarakat,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau lembaga lain
yang mempunyai kapasitas dan kepedulian dalam
pemberdayaan kelompok RHL.
F. Pembinaan
131
Untuk menjamin tertibnya penyelenggaraan RHL, maka
dikembangkan mekanisme pembinaan RHL oleh pusat kepada
daerah. Menurut PP Nomor 76/Tahun 2008, pembinaan RHL
dimaksud meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan,
arahan, dan/atau supervisi.
Pelaksanaan pembinaan RHL oleh pusat kepada daerah
dilaksanakan antara lain dengan pembentukan Pembina Wilayah
oleh Kementerian Kehutanan dan penyerahan sebagian
kewenangan Pusat (dekonsentrasi) kepada Provinsi.
Adapun kegiatan pembinaan RHL adalah sebagai berikut:
a. Pembinan oleh Pusat;
1) Penyusunan Pedoman Teknis dan Pedoman
Penyelenggaraan RHL serta pedoman lainnya;
2) Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan RHL di tingkat
kabupaten/kota secara periodik oleh Pembina Wilayah
Kementerian Kehutanan;
3) Pendidikan dan latihan dalam bidang RHL dan administrasi
keuangan pelaksanaan RHL;
b. Pembinaan oleh Provinsi (dekonsentrasi)
1) Koordinasi perencanaan dan pelaksanaan melalui rapat
bulanan;
2) Supervisi penyelenggaraan kegiatan RHL di
kabupaten/kota.
X. PENGENDALIAN
A. Ruang Lingkup Pengendalian
Berdasarkan sasarannya, pengendalian RHL terdiri atas
pengendalian pelaksanaan kegiatan RHL dan pengendalian
132
program RHL. Sedangkan berdasarkan proses kegiatannya,
pengendalian RHL meliputi monitoring, evaluasi, pelaporan dan
tindak lanjut.
1. Monitoring
Monitoring adalah kegiatan yang dilakukan untuk
memperoleh data dan informasi mengenai kebijakan dan
pelaksanaan RHL. Kegiatan ini mengamati perkembangan
pelaksanaan kegiatan RHL, mengidentifikasi serta
mengantisipasi permasalahan yang timbul dan/atau akan
timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin.
2. Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk menilai keberhasilan
pelaksanaan RHL yang dilakukan secara periodik. Rangkaian
kegiatannya adalah membandingkan realisasi masukan
(input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap
rencana dan standar serta dampak (impact) kegiatan/program
RHL.
3. Pelaporan
Pelaporan merupakan proses pendistribusian informasi
perkembangan kegiatan RHL sesuai ketentuan yang ada.
Pelaporan dilakukan untuk menyelaraskan pencapaian
kinerja yang dikaitkan dengan proses pencapaian tujuan dan
sasaran.
4. Tindak Lanjut
Tindak lanjut merupakan langkah-langkah yang diambil
berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi guna
penyempurnaan kebijakan dan pelaksanaan rehabilitasi
hutan dan lahan.
B. Pelaksanaan Pengendalian Kegiatan RHL
133
1. Pengendalian Kegiatan Lapangan
a. Sasaran
Sasaran pengendalian kegiatan lapangan adalah proses
dan keluaran (Output) pelaksanaan kegiatan RHL di
lapangan yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan
kegiatan. Pada program RHL yang dibiayai pemerintah,
sasaran kegiatan pengendalian kegiatan lapangan adalah
seluruh pelaksanaan kegiatan RHL sesuai DIPA yang
dilakukan oleh satuan kerja.
b. Penanggung Jawab
Penanggung jawab pengendalian kegiatan lapangan adalah
satuan kerja/ pelaksana kegiatan RHL di lapangan. Dalam
pelaksanaan kegiatan RHL yang bersumber dari dana
pemerintah maka penanggung jawab pengendalian
kegiatan lapangan adalah Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) serta perangkat
lain terkait.
c. Mekanisme
1) Monitoring
Monitoring pelaksanaan kegiatan RHL di lapangan
dilaksanakan oleh petugas teknis yang ditunjuk oleh
KPA atau penanggung jawab pelaksanaan kegiatan RHL
di daerah yaitu petugas lapangan RHL dan atau
Penyuluh Kehutanan Lapangan. Indikator monitoring
pelaksanaan kegiatan RHL di lapangan antara lain
adalah meliputi perkembangan penyiapan bibit,
pelaksanaan penanaman/pemeliharaan tanaman serta
pengembangan kelembagaan kelompok tani. Untuk
kegiatan sipil teknis RHL, indikator monitoring adalah
perkembangan penyediaan bahan/sarana-prasarana
serta pelaksanaan pembuatan bangunan konservasi dan
pemeliharaannya.
134
2) Evaluasi
Evaluasi pelaksanaan kegiatan RHL di lapangan
dilaksanakan oleh Tim yang ditunjuk oleh KPA atau
penanggung jawab pelaksanaan kegiatan RHL di
daerah. Tim ini dapat terdiri dari petugas internal pada
satuan kerja di daerah yang bersangkutan dengan
melibatkan unsur instansi lain terkait dan atau tenaga
ahli/konsultan.
Indikator evaluasi untuk kegiatan vegetatif meliputi
indikator progres pelaksanaan kegiatan penanaman dan
pemeliharaan tanaman, pertumbuhan tanaman serta
keberhasilan tanaman.
3) Pelaporan
Mekanisme pelaporan hasil monitoring-evaluasi
pelaksanaan kegiatan RHL di lapangan diatur secara
periodik oleh KPA atau penanggung jawab kegiatan RHL
di daerah. Pelaporan dibuat oleh tim/petugas pelaksana
monitoring-evaluasi kepada KPA atau penanggung
jawab kegiatan RHL di daerah dengan menggunakan
format-format contoh terlampir....
4) Tindak Lanjut.
Tindak lanjut pelaporan hasil monitoring-evaluasi
kegiatan RHL adalah upaya manajemen untuk
melakukan langkah-langkah perbaikan/koreksi,
percepatan dan atau tindakan lainnya yang dianggap
perlu agar pelaksanaan kegiatan di lapangan tidak
menyimpang dari rencana.
Hasil evaluasi tanaman dapat digunakan sebagai alat
verifikasi oleh KPA atau penanggung jawab kegiatan
RHL di daerah untuk membuat keputusan dalam
pencairan dana.
135
2. Pengendalian Pelaksanaan Kegiatan RHL di Tingkat
Kabupaten/Kota
a. Sasaran
Sasaran pengendalian kegiatan pelaksanaan kegiatan RHL
di tingkat kabupaten/kota adalah proses penyelenggaraan
RHL di daerah yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan
kegiatan RHL. Pada program RHL yang dibiayai
pemerintah, sasaran kegiatan pengendalian RHL di Tingkat
Kabupaten/Kota adalah seluruh proses penyelenggaraan
kegiatan RHL yang dilakukan oleh satuan kerja yang
mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) Perencanaan
Meliputi proses penyusunan rencana RHL sesuai dengan
mekanisme dan herarkhi yang telah ditetapkan dengan
peraturan perundangan yang ada.
2) Pelaksanaan Administrasi Kegiatan
Meliputi proses pengurusan administrasi umum
pelaksanaan kegiatan RHL antara lain kelancaran proses
administrasi keuangan dan lain sebagainya.
3) Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat
Meliputi proses pelaksanaan pelibatan dan
pemberdayaan masyarakat dalam program RHL.
4) Pelaksanaan Pelaporan
Meliputi ketertiban penyusunan laporan yang dilakukan
oleh satuan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan yang ada.
5) Pelaksanaan Pembinaan, Pengendalian dan Pengawasan
Internal
Meliputi pelaksanaan pembinaan, pengendalian dan
pengawasan yang dilakukan secara internal oleh satuan
kerja yang bersangkutan.
b. Penanggung Jawab
136
Penanggung jawab kegiatan pengendalian pelaksanaan
kegiatan RHL di Tingkat Kabupaten/Kota adalah Tim
Pengendali RHL Tingkat Provinsi yang ditetapkan oleh
Gubernur yang beranggotakan satuan kerja pemerintah
daerah tingkat provinsi terkait.
c. Mekanisme
1) Monitoring
Monitoring pelaksanaan kegiatan RHL tingkat
kabupaten/kota dilakukan oleh Tim Pengendali RHL
Tingkat Provinsi melalui pelaporan rutin para satuan
kerja kabupaten/kota, pertemuan bulanan serta
kunjungan ke lapangan.
2) Evaluasi
Evaluasi kinerja pelaksanaan kegiatan RHL di Tingkat
Kabupaten/Kota dilakukan oleh Tim Pengendali RHL
Tingkat Provinsi secara periodik minimal dua kali dalam
satu tahun.
3) Pelaporan dan Tindak Lanjut
Hasil monitoring dan evaluasi Tim Pengendali RHL
Tingkat Provinsi dijadikan dasar bagi perbaikan
terhadap kelancaran serta ketertiban penyelenggaraan
RHL di tingkat kabupaten/kota. Pelaksanaan
penyampaian hasil monitoring-evaluasi dimaksud
disampaikan Tim kepada para satuan kerja
kabupaten/kota melalui forum pertemuan maupun
surat.
Pelaksanaan pengendalian yang dilakukan oleh Tim
Pengendali RHL Tingkat Provinsi di laporkan kepada
Menteri Kehutanan setiap tiga bulan.
C. Pelaksanaan Pengendalian Program
137
Pengendalian program dimaksudkan untuk menjamin sistem
penyelenggaraan RHL berjalan sesuai dengan arah kebijakan
yang telah direncanakan.
1. Sasaran
Sasaran pengendalian program meliputi pelaksanaan
kebijakan penyelenggaraan RHL dan hasil (Outcome) serta
dampak (Impact) kegiatan RHL.
a. Pelaksanaan Kebijakan Penyelenggaraan RHL
1) Kebijakan Penganggaran;
2) Kebijakan Perencanaan;
3) Kebijakan Pelaksanaan;
4) Kebijakan Pembinaan dan Pengendalian
b. Hasil (Outcome) dan Dampak (Impact) Kegiatan RHL
Sasaran pengendalian program mencakup juga
sejauhmana hasil-hasil kegiatan RHL serta dampaknya.
Indikator hasil kegiatan RHL antara lain adalah penurunan
erosi dan sedimentasi serta banjir di daerah tangkapan
(micro watershed) dimana kegiatan RHL dilaksanakan.
Sedangkan dampak kegiatan RHL adalah sejauhmana
kegiatan RHL memberi pengaruh fisik dan non fisik pada
wilayah sekitarnya.
2. Penanggung Jawab
Penanggung jawab pengendalian program RHL adalah
Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial
atas nama Menteri Kehutanan.
3. Mekanisme
a. Pelaksanaan Monitoring – Evaluasi Kebijakan
Penyelenggaraan RHL
Monitoring – Evaluasi pelaksanaan kebijakan
penyelenggaraan RHL dilakukan oleh Tim yang dibentuk
oleh Kementerian Kehutanan dengan melibatkan instansi
lain dan atau konsultan sesuai dengan kebutuhan.
138
b. Pelaksanaan Monev Hasil (Outcome) dan Dampak (Impact)
RHL
Monev hasil dan dampak kegiatan RHL dilakukan pada
lokasi-lokasi kegiatan RHL terpilih dengan basis Unit
Terkecil Pengelolaan RHL. Pelaksana monev adalah Tim
yang ditunjuk oleh satuan kerja pusat atau satuan kerja
Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Bina pengelolaan
DAS dan Perhutanan Sosial dengan atau tanpa melibatkan
pihak terkait.