review hasil-hasil penelitian keamanan pangan

Upload: w-gibson

Post on 22-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/24/2019 Review Hasil-hasil Penelitian Keamanan Pangan

    1/9

    Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan

    18

    REVIEW HASIL-HASIL PENELITIAN KEAMANAN PANGAN

    PRODUK PETERNAKAN

    RIDWAN THAHIR,S.JONI MUNARSO,danSRI USMIATI

    Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen PertanianJl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor

    PENDAHULUAN

    Umumnya bahan pangan asal ternak

    memiliki nilai gizi yang tinggi terutama

    kandungan protein, asam amino, lemak,

    laktosa, mineral dan vitamin. Akan tetapi

    bahan pangan tersebut tidak ada artinya bila

    tidak aman untuk kesehatan. Upayameningkatkan ketahanan pangan selain

    memperhatikan kuantitas bahan pangan, makakualitas bahan pangan perlu mendapat

    perhatian termasuk faktor keamanan produk

    (food safety), bebas dari cemaran

    mikrobiologis, bahan-bahan kimia, logamberat, antibiotika, dan racun (toksin).

    Keamanan pangan asal ternak merupakan

    interaksi antara status gizi, toksisitasmikrobiologis dan kimiawi yang saling

    berkaitan dan saling mempengaruhi.

    Kualitas bahan pangan asal ternak harus

    memperhatikan asas Aman, Sehat, Utuh dan

    Halal (ASUH), sehingga selain mengandungnilai gizi tinggi juga memberikan ketentraman

    bathin bagi konsumen. Untuk itu perludiperhatikan mata rantai produksi ternak, mulaidari industri hilir (di peternakan), industri hulu

    (industri pengolahan) hingga ke konsumen.

    Keamanan pangan asal ternak antara lain

    ditentukan ketika panen, pemotongan hewan,pemerahan susu, pengolahan, serta pada saat

    melalui rantai pemasaran (tata niaga). Jaminan

    mutu atas keamanan produk pangan secarakonvensional (hanya inspeksi produk akhir)

    tidak menjamin mutu dan keamanan pangan

    secara keseluruhan. Suatu konsep jaminan

    mutu yang khusus diterapkan untuk produk

    pangan dikenal dengan Hazard Analysis

    Critical Control Points(HACCP) yaitu sistempengawasan mutu industri pangan yangmenjamin keamanan pangan dan mengukur

    bahaya atau resiko yang mungkin timbul, serta

    menetapkan pengawasan tertentu dalam usaha

    pengendalian mutu pada seluruh rantai

    produksi pangan.

    Produk pertanian (termasuk peternakan)umumnya bersifat mudah rusak dan busuk

    selama penyimpanan terutama di daerah panas

    dan lembab karena mikroorganisme dapatberkembang biak dengan cepat. Dengan

    demikian penanganan, pengolahan,

    pengawetan dan penyimpanan bahan pangan

    yang kurang layak adalah faktor-faktor yang

    menimbulkan kerusakan terhadap kualitas,

    harga dan ketersediaan produk.Penelitian keamanan pangan produk

    peternakan telah dan sedang dilakukan, antara

    lain :1.Peningkatan Mutu dan Keamanan Produk

    Susu Sapi Perah pada tahun 2000 oleh Balai

    Penelitian Veteriner melalui anggaranProyek Pengkajian Teknologi Pertanian

    Partisipatif Pusat.

    2.Teknologi Penanganan dan PengamananProduk Segar dan Olahan Hasil Ternak pada

    tahun 2002 oleh Balai Besar Pengembangan

    Alat dan Mesin Pertanian melalui dana ABT

    2001 Bagian Proyek Perekayasaan dan

    Pengembangan Alsintan Serpong dan ProyekPengembangan Teknologi Agribisnis

    Jakarta.

    3.Penelitian Perbaikan Mutu dan KeamananPangan Susu di Tingkat Peternak dan

    Koperasi Susu oleh Balai Besar Penelitian

    dan Pengembangan Pertanian tahun 2004melalui anggaran Bagian Proyek Teknologi

    Pascapanen Pertanian Jakarta TA 2004, dan

    tahun 2005 masih dilanjutkan.

    KEAMANAN PANGAN PRODUK

    PETERNAKAN

    Keamanan produk dan bahan pangan asal

    ternak adalah masalah yang kompleks.Keamanan bahan pangan asal ternak

    dipengaruhi oleh segala proses yang terjadi

    dalam mata rantai produksi. Kontaminasi yang

    menyebabkan pangan tidak aman dapat terjadi

  • 7/24/2019 Review Hasil-hasil Penelitian Keamanan Pangan

    2/9

    Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan

    19

    pada setiap proses mulai dari peternakan, saat

    panen/pemotongan, pemerahan susu, industripengolahan, transportasi, pengecer, dan

    terakhir di konsumen sehingga diperlukan

    sistem pengawasan keamanan pangan sejak praproduksi, proses produksi, dan pascaproduksi

    hingga pemasaran dan terhidang di konsumen.

    Saat ini konsep HACCP sebagaipengawasan mutu yang berdasarkan prinsip

    pencegahan telah banyak diterapkan pada

    berbagai industri pangan. Konsep pengawasanmutu tersebut adalah sistem jaminan mutu

    yang berdasarkan atas kesadaran danpengertian bahwa bahaya akan timbul pada

    berbagai titik/tahapan produksi, namun melalui

    upaya pengendalian dapat dilakukan

    pengontrolan terhadap bahaya tersebut.Pemberdayaan para pelaku usaha yang

    terlibat dalam sistem keamanan pangan tidakmudah mengingat tingkat kesadaran dan

    pemahanan mereka yang relatif masih rendah.

    Umumnya mereka cenderung tidak

    memperhatikan keamanan produk terhadap

    kesehatan dan keselamatan konsumen. Secara

    langsung maupun tidak langsung konsumendirugikan. Kasus keracunan dan penyakit

    akibat pangan akhir-akhir ini banyak

    dilaporkan di berbagai wilayah di Indonesiaseperti salmonellosis, keracunan pangan

    kadaluarsa, serta terdeteksinya berbagai

    cemaran kimia beracun (pestisida, logam berat,

    antibiotik, toksin) dalam bahan pangan asal

    ternak. Keberadaan senyawa beracun tersebutmenimbulkan keracunan, imunosupresif dan

    karsinogenik yang berbahaya kepadakonsumen.

    Berbagai upaya telah dilakukan untuk

    membangkitkan kesadaran para pelaku usaha

    produk pangan asal ternak diantaranya adalah:(a) pemberlakuan Peraturan Pemerintah no.

    22/1983 tentang Kesehatan Masyarakat

    Veteriner yang merupakan kebijakanpemerintah dalam melindungi konsumen dari

    bahaya yang mengganggu kesehatan akibat

    mengkonsumsi bahan pangan asal ternak, dan

    (b) penetapan Undang-undang Pangan no.

    7/1996 yang memuat keamanan pangan dalamsatu bab tersendiri (ANONIM, 1999). Hal ini

    membuktikan betapa pentingnya faktor

    keamanan pangan.

    Selain mendefinisikan keamanan pangansebagai kondisi dan upaya untuk mencegah

    pangan dari kemungkinan cemaran biologis,

    kimia dan benda lain yang mengganggu,

    merugikan dan membahayakan kesehatanmanusia, juga terdapat pasal khusus yang

    menyatakan bahwa setiap orang yang

    memproduksi pangan untuk diperdagangkanwajib menyelenggarakan sistem jaminan mutu

    sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi.

    Melalui Badan Standarisasi Nasional (BSN)

    pemerintah Indonesia telah mengadaptasi

    konsep HACCP menjadi SNI 01-4852-1998

    disertai oleh pedoman penerapan untukdiaplikasikan pada berbagai industri pangan di

    Indonesia.Perkembangan pasar internasional yang

    menuntut keamanan pangan menjadi isu

    nasional. World Trade Organization (WTO)

    telah menetapkan standar, pedoman danrekomendasi masalah perdagangan produk

    pangan yang ditetapkan oleh Komisi GabunganFAO/WHO Codex Alimentarius sebagai tolokukur program pengawasan dan keamanan

    pangan oleh masyarakat internasional.

    Pengembangan program keamanan pangan

    nasional perlu didukung oleh penelitian dan

    teknologi dari berbagai bidang keilmuan dankebijakan mencakup medis/kesehatan,

    veteriner, pertanian/peternakan serta pangan

    dan pengolahannya.

    Susu dan produk susu

    Susu merupakan bahan pangan sekresikelenjar ambing, diperoleh dari prosespemerahan ternak sapi, kerbau, kuda, kambing

    dan hewan lainnya yang mengandungkomponen-komponen gizi penting terdiri atas

    lemak, protein, laktosa, mineral, vitamin dan

    enzim-enzim, serta beberapa mikroorganisme(LAMPERT, 1980). Kandungan gizi susu

    merupakan sumber gizi yang baik bagi

    manusia pada semua tingkatan umur, terutamabalita. Susu juga merupakan media

    pertumbuhan yang baik bagi mikroorganisme

    yang mengakibatkan kerusakan susu. Padatahun 2002 tercatat rata-rata konsumsi susu di

    Indonesia sangat rendah yaitu 5,50

    kg/kapita/tahun (DIREKTORAT JENDERAL

    PETERNAKAN, 2002).

    Produksi susu di Indonesia mencapai 479,9

    ribu ton dan pada tahun 2003 meningkatmenjadi 521,0 ribu ton dengan peningkatan

    konsumsi dari 1.225,6 ribu ton menjadi 1.249,5

  • 7/24/2019 Review Hasil-hasil Penelitian Keamanan Pangan

    3/9

    Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan

    20

    ribu ton pada tahun 2003, konsumsi susu ini

    sebagian besar masih didominasi oleh susuimpor (DITJEN PETERNAKAN, 2002). Saat ini

    konsumsi susu dalam bentuk susu bubuk (yang

    sebagian besar bahan dasarnya adalah susuimpor) lebih tinggi dibandingkan konsumsi

    susu murni yang dihasilkan oleh peternak

    dalam negeri. Hal ini disebabkan antara lain

    mutu dan keamanan pangan susu peternak

    Indonesia masih relatif rendah terutama nilai

    Total Plate Count (TPC) yang masih lebihbesar dari satu juta per ml susu sehingga

    industri pengolahan susu (IPS) membatasipembelian susu rakyat. Kondisi ini semakin

    sulit ketika SKB tiga menteri tahun 1982 yang

    dikukuhkan melalui Inpres No. 2/1985 tentang

    kebijakan rasio susu yang mengharuskan IPSuntuk menampung susu rakyat dari koperasi,

    dicabut oleh pemerintah melalui Inpres No. 4tahun 1998. Hal ini mengakibatkan peternaksapi perah tidak memiliki posisi tawar akibat

    adanya penolakan susu oleh IPS atau kebijakan

    pemberlakuan penalti atas rendahnya mutu dan

    keamanan susu rakyat.

    Untuk dapat dikonsumsi, susu harusmemenuhi persyaratan keamanan pangan

    karena susu adalah bahan pangan yang mudah

    terkontaminasi oleh cemaran-cemaran mikroba(bakteri, jamur, kapang, khamir) pathogen dari

    lingkungan (peralatan pemerahan, operator dan

    sapi), residu pestisida, logam berat, dan

    aflatoksin dari pakan, dan residu antibiotika

    saat pengobatan penyakit. Kandungan mikrobayang tinggi menyebabkan susu cepat rusak

    sehingga IPS memberikan harga penalti ataubahkan menolak (FARDIAZ, 1986), demikianpula jika susu mengandung residu antibiotika

    (INFOVET, 2001). Adanya residu antibiotika

    dalam susu telah dilaporkan olehSUDARWANTO(2001). Residu antibiotika dapat

    menyebabkan resistensi mikroba terhadap

    antibiotika (dalam kesehatan manusia)

    (TOLLEFSON dan MILLER, 2000).

    Pertumbuhan mikroba dalam susu dapatmerusak dan merubah mutu dan keamanan

    pangan susu ditandai oleh perubahan rasa,

    aroma, warna, dan penampakan (konsistensi).Oleh karena itu susu perlu mendapat

    penanganan yang cepat antara lain perlakuan

    pasteurisasi (pemanasan susu dengan suhu dan

    waktu tertentu untuk membunuh kumanpathogen), atau introduksi senyawa thiosianat

    dan hidrogen peroksida bila tidak tersedia

    pendingin susu untuk memaksimalkan kerja

    laktoperoksidase (enzim yang secara alamiahterdapat dalam susu dan bersifat

    bakteriostatik), namun demikian penggunaan

    senyawa tersebut masih dikaji terutamamengenai efektivitas dan kontrol residunya.

    Dengan adanya jaminan atas mutu

    termasuk keamanan pangan dan bahan pangan

    asal ternak, diharapkan akan meningkatkan

    minat konsumen untuk mengkonsumsi susu

    dan produk olahannya. Dalam bidangpersusuan pemerintah telah memiliki beberapa

    Standar Nasional Indonesia (SNI) antara lain:(i) Cooling UnitSNI 02-0280-1997; (ii) Tangki

    Susu SNI 02-0209-1987; (iii) Kamar Susu SNI

    02-0210-1987; dan (iv) Batas Maksimum

    Cemaran Mikroba dan Residu dalam MakananAsal Hewan (Susu) SNI 01-3141-1998 dan

    SNI 01-6366-2000.

    Daging dan produk daging

    Daging sapi yang selama ini dikenal olehhampir seluruh masyarakat Indonesia

    merupakan daging yang paling banyak

    dikonsumsi setelah daging ayam. Pada saat inimasyarakat cenderung menyukai produk yang

    cepat saji, dalam bentuk segar dan produk siap

    konsumsi. Apabila jenis makanan tersebut

    tidak diperhatikan kandungan mikrobanya akanmenimbulkan penyakit yang disebabkan karena

    mengkonsumsi daging yang terkontaminasimikroba. Daging juga merupakan media yangbaik bagi pertumbuhan mikroba karena

    mengandung kadar air dan kandungan gizi

    yang tinggi seperti protein, lemak, vitamin,

    karbohidrat dan pH yang baik untuk

    pertumbuhan mikroba. Kandungan mikrobayang melebihi ambang batas toleransi akan

    menimbulkan kondisi daging menjadi

    berlendir, ditumbuhi kapang, jamur dankhamir, bau dan rasa yang tidak enak serta

    menimbulkan gangguan kesehatan ketika

    dikonsumsi (SUDARWANTO, 2001).Jumlah mikroba pada daging dapat

    meningkat karena faktor kontaminasi

    lingkungan, sanitasi yang buruk dan adanya

    kontaminasi selama proses penanganan

    (HAYES, 1996). Beberapa jenis mikroba yang

    biasa mencemari daging dan bersifat pathogenadalah Eschericia coli, Salmonella dan

    Staphylococcus. Kandungan mikroba yang

  • 7/24/2019 Review Hasil-hasil Penelitian Keamanan Pangan

    4/9

    Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan

    21

    melebihi ambang batas akan berpengaruh

    terhadap daya simpan dan kualitas dagingseperti bau, rasa, warna dan konsistensi. Telah

    diketahui bahwa kandungan mikroba daging

    cukup tinggi terutama yang berasal dari rumahpotong hewan yang kotor, rumah potong

    hewan tradisional (MUKARTINI et al., 1995),

    selama transportasi yang tidak menggunakan

    pendingin, serta kontaminasi saat pemasaran di

    pengecer.

    Selama ini telah dilakukan upaya untukmemperpanjang masa simpan daging melalui

    pemanfaatan pengawet seperti khlorin, nitrat,nitrit dan trisodiumfosfat. Pemanfaatan bahan

    kimia pada daging dewasa ini kurang diminati

    konsumen karena dapat merubah bau dan

    aroma asli daging, serta residu yangberdampak negatif. Untuk itu pemanfaatan

    asam organik seperti asam laktat dan asamasetat sebagai bahan untuk menjaga kualitasdan memperpanjang masa simpan daging perlu

    dipertimbangkan. Menurut beberapa laporan,

    untuk memperpanjang masa simpan daging

    dapat dilakukan antara lain melalui

    pemanfaatan asam-asam organik danpenyimpanan dingin (RAHMAN, 1999). Untuk

    itu perlu dipelajari pengaruh pemberian asam

    organik (asam laktat, asam asetat dan asamjawa) pada berbagai konsentrasi terhadap

    jumlah mikroba dan masa simpan daging, serta

    mengetahui kualitasnya melalui uji

    organoleptik.

    HASIL-HASIL PENELITIAN

    Hasil penelitian mengenai keamanan

    produk peternakan yang dilaksanakan sejak

    tahun 2000 sampai dengan 2004 adalah sebagaiberikut:

    Peningkatan mutu dan keamanan produk

    susu sapi perah

    Penelitian dititikberatkan kepada

    identifikasi kemungkinan bahaya yang timbul

    dalam proses produksi susu pasteurisasi selamadalam rantai produksi. Penelitian telahdilakukan di Fajar Taurus (FT), Koperasi

    Produsen Susu (KPS) Bogor, Koperasi

    Produsen Bandung Selatan (KPBS) dan AlamMurni (AM) Bandung. Dalam rantai proses

    pasteurisasi, tiga industri pengolah susu (FT,

    KPBS dan AM) melaksanakan standar proses

    pasteurisasi yang relatif sama yaitu tahappasteurisasi dilakukan setelah proses

    pencampuran susu (mixing) dan homogenisasi

    sehingga bila terjadi pencemaran mikroba padaproses mixing dan homogenisasi maka

    mikroba dapat dieliminasi pada proses

    pasteurisasi.

    Ditinjau dari unit prosesing yang tersedia

    diketahui adanya keterkaitan fasilitas termasuk

    kemampuan personel pelaksana dengankeberadaan cemaran mikroba dalam susu sejak

    dari kedatangan susu dari peternak hinggaproduk akhir. Fajar Taurus dan Alam Murni

    keduanya memiliki fasilitas pendukung yang

    lebih memadai untuk menghasilkan susu

    pasteurisasi yang aman terhadap cemaranmikroba dibandingkan KPS dan KPBS.

    Laboratorium pengujian Fajar Taurus danAlam Murni berfungsi, ruang prosesing yangtertutup dan terpisah, terdapat kontrol terhadap

    kualitas bahan baku, suhu pasteurisasi,

    kemasan, produk akhir dan lalu lintas personel

    dalam ruang prosesing, kebersihan ruang

    prosesing, serta dukungan tingkat kesadaranhigienik pimpinan yang tinggi dengan tingkat

    pendidikan dan pengalaman yang sesuai.

    Berdasarkan gambaran kandungan mikrobabahan awal, susu yang diterima oleh FT dari

    tanki mobil peternakan mengandung nilai TPC

    sebesar 10.000 CFU/g susu dan setelah

    pasteurisasi menjadi 0; KPS Bogor sebesar 10

    juta CFU/g setelah pasteurisasi menjadi kurangdari 1000 CFU/g; KPBS sebesar 10 juta/g dan

    setelah pasteurisasi menjadi 1000/g, dan AMkandungan TPC setelah pasteurisasi menjadi

    10.000 CFU/g. Menurut SNI 01-6366-2000

    ambang batas cemaran mikroba yang

    diperbolehkan dalam susu adalah 30 ribuCFU/g, sehingga susu pasteurisasi yang

    dihasilkan oleh keempat industri pengolah susu

    tersebut dalam batas aman. Dengan demikianmelalui proses pasteurisasi jumlah TPC dapat

    diturunkan atau ditiadakan. Pasteurisasi yang

    umum digunakan adalah pemanasan pada suhu

    72oC selama 15 detik sehingga nilai nutrisi,

    konsistensi dan rasa susu tidak berubah.Hasil analisis residu antibiotika terhadap

    bahan baku susu sebelum proses pasteurisasi

    menunjukkan bahwa hanya susu segar yang

    diterima KPS yang mengandung residuantibiotika (penisilin 16,67 ppb). Residu

    antibiotika tersebut tidak dapat hilang selama

  • 7/24/2019 Review Hasil-hasil Penelitian Keamanan Pangan

    5/9

    Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan

    22

    proses pasteurisasi sehingga akan

    membahayakan kesehatan manusia,menimbulkan resistensi mikroba lain yang

    menyerang manusia.

    Ditinjau dari sistem jaminan mutu HACCP,beberapa titik kritis dapat diidentifikasi dalam

    proses pasteurisasi dan bahaya yang mungkin

    timbul disajikan dalam Tabel 1.Melalui penerapan sistem HACCP dalam

    proses pasteurisasi yaitu pengawasan bahan

    baku yang baik, penanganan yang baik, diolahserta didistribusikan secara baik maka akan

    menghasilkan produk akhir yang baik danaman dikonsumsi.

    Teknologi penanganan dan pengamanan

    produk segar dan olahan hasil ternak

    Penelitian penanganan dan pengamanan

    susu di lapangan

    Penelitian dilakukan pada sentra peternakansapi perah anggota Koperasi Unit Desa

    Cipanas Cianjur dan Koperasi Produsen Susu

    Bogor. Berdasarkan analisa terhadap

    kandungan mikroba susu di kedua lokasi,jumlah mikroba susu di Cipanas sebesar 100

    ribu CFU/ml lebih rendah dibandingkan di

    Bogor. Selama penelitian, terjadi penurunanjumlah mikroba (bakteri) pada minggu ketiga.

    Hal ini menunjukkan bahwa peternak

    melaksanakan pemerahan susu mengikuti sarandari tim peneliti yang meliputi kebersihan

    ambing sebelum dan sesudah pemerahan,

    memandikan sapi setelah pemerahan,kebersihan ember penampung susu,

    penyaringan susu, kebersihan kandang dantangan sebelum pemerahan, membuang air

    susu pertama yang keluar saat pemerahan, serta

    pendinginan susu di bawah suhu 10oC atau

    segera diproses pasteurisasi sesegera mungkin.Sumber pencemaran bakteri lainnya adalah

    sumber air untuk operasional pemerahan. Padakedua lokasi penelitian air yang dipergunakansemua berasal dari satu sumber dan dalam

    keadaan kurang bersih sehingga alat-alat

    operasional pemerahan menjadi tercemar.

    Tabel 1. Identifikasi bahaya dan cara pencegahan pada proses pembuatan susu pasteurisasi

    Sumber bahaya Jenis bahaya Pencegahan

    Bakteri pathogen Kesehatan sapi

    Kebersihan peternakan

    Sanitasi dalam pemerahanSusu cepat didinginkan

    Pasteurisasi pada suhu dan waktu yang tepatResidu antibiotika Sapi dalam pengobatan tidak diperah

    hingga waktu henti obat dilampaui

    Bahan baku susu sapi

    Residu pestisida, logam berat

    dan mikotoksin

    Pakan dan lingkungan peternakan tidak

    tercemar

    Mikroba pathogen Jaminan dari pemasok bahan (sertifikat)

    pemanasan sebelum dicampur

    Bahan tambahan (gula,

    flavoring agent dan lain-lain) Cemaran pestisida, logam

    dan bahan kimia lainnya

    Jaminan dari pemasok bahan (sertifikat)

    Pasteurisasi Bakteri pathogen Setelah pasteurisasi susu segera dikemas

    dan didinginkan

    Peralatan Tidak dapat dioperasikandengan tepat

    Maintenance alat secara regular, termasukkebersihan (rekaman pemeriksaan)

    Bakteri, jamur, cemaran

    kimia

    Pembatasan personal keluar masuk ruang

    prosesing

    Ruang prosesing

    Debu, kotoran Ruangan prosesing terpisah dan tertutupBakteri, jamur Jaminan dari pemasok bahan (sertifikat)Bahan pengemas (plastik,

    cup dan lain-lain)Debu, kotoran, cemaran

    pestisida dan bahan kimia

    lain

    Pencucian bahan kemasan

    Sterilisasi kemasan sebelum pengisian

    Penyimpanan Bakteri pathogen Susu segera disimpan pada suhupenyimpanan 4oC

  • 7/24/2019 Review Hasil-hasil Penelitian Keamanan Pangan

    6/9

    Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan

    23

    Hasil isolasi cemaran bakteri dari ember,

    saringan dan susu hasil pemerahanmenunjukkan terdapat bakteri golongan

    Coliform spp, Streptococcus spp, Bacillus spp

    danPseudomonas spp.Berdasarkan hasil analisa residu antibiotika

    golongan penisilin, seluruh sampel susu

    dinyatakan negatif, tidak terdapat residuantibiotika atau ada residu tetapi masih di

    bawah BMR (Batas Maksimal Residu).

    Teknologi pengawetan susu dan daging

    Penelitian pengawetan susu adalahpenggunaan LPS (Laktoperoksidasei Sistem)

    ke dalam susu. Susu dari Cipanas yang diberi

    LPS maupun kontrol (tanpa LPS) pada pagihari memiliki total mikroba yang sama

    dibandingkan dengan susu pagi hari dari Bogoryang memiliki total mikroba lebih tinggi tanpa

    LPS. Hal ini karena pengaruh suhu di Cipanasyang dingin dapat menekan pertumbuhan

    mikroba. Hasil analisis residu senyawa

    thiosianat dan hydrogen peroksida pada susuyang diberi LPS maupun kontrol menunjukkan

    nilai positif. Secara alamiah kedua senyawa

    tersebut ada dalam susu, kandungan kedua

    senyawa lebih tinggi pada susu yang diberi

    LPS. Penggunaan LPS pada suhu dingin (4oC)

    menunjukkan bahwa pertumbuhan mikroba

    dapat dihambat sampai dengan 6 jam

    sedangkan penambahan mikroba pada susu

    kontrol terus meningkat setiap jam.Penelitian teknologi pengawetan daging

    adalah melalui pencelupan daging ke dalamlarutan pengawet asam asetat, asam laktat,

    asam jawa dan STTP masing-masing pada

    konsentrasi 1,5 dan 3%. Dari hasil isolasisebelum diberi perlakuan pengawet dan setelah

    diberi pengawet ditemukan bakteri yang sama

    yaitu Staphylococcus sp danColiform (E. coli)

    dengan jumlah koloni lebih sedikit setelah

    diberi pengawet. Sekitar 70% daging sapi yang

    diperoleh dari rumah pemotongan hewantradisional dan modern positif mengandung E.

    coli (>10 organisme/cm2daging) (MUKARTINI

    et al.,1995). Hal ini disebabkan karena secaraalamiah E. coli ada dalam pencernaan sapi.

    Terdeteksinya Staphylococcus adalah

    bersumber dari lingkungan dan kontaminasiselama penanganan, selanjutnya

    memperbanyak diri tanpa menimbulkan

    perubahan warna, bau dan rasa daging.

    Selama waktu penyimpanan setelah

    pengawetan, jumlah bakteri dalam dagingsemakin meningkat pada kelompok kontrol,

    sedangkan yang diawetkan sampai dengan 4

    jam pertumbuhan bakteri menurun. Hal inikarena asam dapat merusak dinding sel bakteri.

    Pada daging sapi kontrol, pertumbuhan bakteri

    menimbulkan kebusukan mulai dari jam ke-12ditunjukkan oleh peningkatan jumlah bakteri,

    sedangkan daging yang diberi pengawet baru

    membusuk pada jam ke-24 penyimpanan disuhu ruang. Pembusukan daging yang

    mendapat perlakuan pengawetan belum terjadisampai dengan jam ke-24 pada suhu kamar.

    Pengolahan dan pengamanan susu

    pasteurisasi

    Penelitian dilakukan untuk melihatpengaruh masa simpan susu pasteurisasi pada

    suhu 4oC. Terdapat hubungan yang erat antara

    waktu penyimpanan pada suhu 4oC

    (refrigerator) dengan total mikroba susu

    pasteurisasi. Semakin lama susu disimpanmaka semakin tinggi jumlah bakteri yang dapat

    dihitung. Hal ini disebabkan karena pada

    kondisi yang sesuai mikroba mengalami

    pertumbuhan mengikuti deret ukur selama

    penyimpanan (SINGH etal., 1980). Prosespasteurisasi pada susu merupakan proses

    pemanasan susu yang sesuai untuk membunuh

    sebagian bakteri yang bersifat pathogen, oleh

    karena itu susu pasteurisasi masih mengandungbakteri (PURNOMOdan ADIONO, 1987).

    Penelitian perbaikan mutu dan keamanan

    pangan susu di tingkat peternak dan

    koperasi susu

    Penelitian dilaksanakan di peternak sapi

    perah anggota koperasi susu TandangsariSumedang dan Sarwamukti Bandung. Analisis

    sampel susu yang berhubungan dengan topik

    keamanan pangan meliputi nilai TPC, cemaranlogam berat, residu pestisida dan antibiotik,

    cemaran aflatoksin M1 dan cemaranmikrobiologi yang diambil dari peternak,

    pengumpul susu dan koperasi susu.

    Hasil analisis cemaran mikrobamenunjukkan bahwa susu dari peternak kedua

    koperasi mengandung cemaran mikroba

    5,53x107 CFU/ml lebih tinggi dibandingkan

  • 7/24/2019 Review Hasil-hasil Penelitian Keamanan Pangan

    7/9

    Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan

    24

    persyaratan SNI 01-6366-2000 (106 CFU/ml).

    Rata-rata nilai TPC susu peternak Sarwamuktilebih tinggi (>10

    7 CFU/ml) dibandingkan nilai

    TPC peternak anggota koperasi Tandangsari

    (kisaran 106CFU/ml). Selain itu susu peternakmasih positif tercemar bakteri E. coli dan S.

    agalactiae. Di tingkat pengumpul susu, nilai

    TPC masih terdeteksi tinggi seperti halnya

    cemaran kedua jenis mikroba tersebut. Hal ini

    mengakibatkan tingkat TPC di koperasi akan

    semakin tinggi mengingat koperasi merupakanmuara akhir hasil koleksi susu dari peternak

    dan pengumpul susu, semakin bertambahselama perjalanan menuju koperasi. Nilai TPC

    susu di tingkat koperasi rata-rata mencapai 8,8

    x 107 CFU/ml. Susu di tingkat koperasi juga

    mengalami kontaminasi bakteri yang samadengan di tingkat peternak dan pengumpul

    susu.Dari segi cemaran aflatoksin M1,

    kandungan aflatoksin M1 susu di tingkat

    peternak kedua koperasi rata-rata mencapai

    0,2275 ppb sedangkan menurut SNI 01-6366-

    2000 (0,001 ppm) sehingga nilai tersebut

    masih di bawah BMR dan dianggap masihaman dikonsumsi. Susu peternak juga

    terdeteksi mengandung antibiotik dengan

    berbagai variasi jenis dari golongan penisilin,tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin.

    Konsentrasi cemaran antibiotik lebih tinggi di

    susu peternak koperasi Sarwamukti namun

    nilainya masih di bawah BMR SNI 01-6366-

    2000. Konsentrasi cemaran aflatoksin M1 danantibiotik pada tingkat pengumpul susu dan

    koperasi semakin menurun bahkan beberapajenis menjadi tidak terdeteksi.

    Hasil analisa kandungan cemaran logam

    berat menunjukkan bahwa logam Cd dan Pb

    ditemukan dalam susu peternak di keduakoperasi. Logam Cd terdeteksi sebesar 0,0122

    ppm. Nilai cemaran logam Cd belum

    disyaratkan oleh SNI 01-6366-2000 namundibandingkan dengan kandungan Cd dalam air

    minum mineral yang diizinkan adalah sebesar

    0,003 ppm (RSNI 2004). Demikian halnya

    dengan cemaran Pb, walaupun terdeteksi dalam

    susu peternak di kedua koperasi (0,04 ppb dipeternak Tandangsari; 0,17 ppb di peternak

    Sarwamukti) nilainya masih di bawah BMR

    SNI 01-3141-1998 (0,3 ppm) dan semakinmenurun konsentrasinya pada susu di

    pengumpul dan koperasi.

    Hasil yang memiliki pola serupa adalah

    kandungan residu pestisida. Susu di tingkatpeternak kedua koperasi masih terdeteksi

    residu berbagai pestisida seperti lindane,

    heptaklor, klorpirifos, aldrin, andosulfan dandieldrin namun dalam konsentrasi yang masih

    di bawah BMR berkisar antara 0,0001-0,006

    ppb padahal menurut SNI 01-6366-2000 batas

    yang masih diperbolehkan berkisar 0,006-0,2

    ppm. Dengan demikian masih cukup aman,

    terutama setelah susu terkumpul di pengumpuldan koperasi konsentrasinya semakin menurun.

    Berdasarkan hasil penelitian tahun 2004tersebut, mandat Balai Besar Litbang

    Pascapanen Pertanian adalah peningkatan mutu

    dan keamanan susu dari segi milk handling,

    maka pada tahun 2005 dilakukan penelitianlanjutan dengan fokus untuk menurunkan nilai

    TPC susu yang masih relatif tinggi di peternak,pengumpul dan koperasi Sarwamukti. Hal inibila dikaitkan dengan pembinaan prilaku

    petugas dalam mata rantai produksi susu

    (peternak, petugas pengumpul dan koperasi),

    maka dalam rangka meningkatkan kesadaran

    higienik operasional pemerahan danpenanganan susu dilakukan melalui

    improvisasi Standard Operational Procedure

    (SOP), sosialisasi dan evaluasinya di lapangan.Perbaikan atau improve SOP dilakukan

    sebagai upaya menyesuaikan kondisi lapang

    yang berbeda antara koperasi Sarwamukti di

    Bandung dengan Tandangsari di Sumedang,

    dimana pengurus koperasi Tandangsari adalahjuga peternak yang dapat secara langsung

    memberikan pembinaan dan contoh carapenanganan susu segar yang baik dan benar

    sedangkan para pengurus koperasi Sarwamukti

    benar-benar hanya sebagai petugas struktural

    koperasi.

    KESIMPULAN HASIL-HASIL

    PENELITIAN

    1. Sistem manajemen keamanan pangan,meningkatkan kesadaran pentingnya

    higienik serta implementasi sistem jaminan

    mutu HACCP dalam produksi susupasteurisasi perlu dilakukan untuk

    mendapatkan produk yang bermutu dan

    aman dikonsumsi.

    2. Kontrol titik-titik kritis dalam proses

    pasteurisasi susu dilakukan mulai dari

  • 7/24/2019 Review Hasil-hasil Penelitian Keamanan Pangan

    8/9

    Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan

    25

    penerimaan bahan baku, penyimpanan

    dalam cooling unit, proses pasteurisasi,pengemasan, hingga penyimpanan pada

    suhu 4oC sebelum produk didistribusikan.

    3.

    Perbaikan sanitasi dan sumber air yangberkaitan dengan proses pemerahan susu

    dan transportasi dapat meningkatkan

    kualitas susu dari segi penurunan jumlah

    bakteri yang mencemari susu.

    4. Laktoperoksidase Sistem (LPS) efektif

    menekan pertumbuhan bakteri dalam susudengan dosis setengah dosis anjuran FAO

    (14 mg/liter susu) dalam penyimpanan padasuhu ruang.

    5. Lama waktu penyimpanan susu pasteurisasi

    pada suhu 4oC mempengaruhi peningkatan

    jumlah total bakteri produk.6. Larutan asam organik konsentrasi 1,5%

    efektif memperpanjang masa simpandaging.

    7. Susu di tingkat peternak Sarwamukti

    Bandung dan Tandangsari Sumedang masih

    terdeteksi aflatoksin M1, antibiotik, logam

    berat dan mikrobiologi dengan konsentrasi

    di bawah BMR SNI 01-6366-2000 dan nilaikonsentrasi tersebut makin menurun pada

    susu segar di tingkat pengumpul dan

    koperasi bahkan beberapa menjadi tidakterdeteksi.

    8.Nilai TPC, cemaran bakteri pathogen,

    logam berat, aflatoksin M1 dan residu

    pestisida susu peternak, pengumpul dan

    koperasi Sarwamukti Bandung lebih tinggidibandingkan dengan susu di peternak,

    pengumpul dan koperasi TandangsariSumedang.

    PENUTUP

    Kualitas bahan pangan asal ternak harus

    memperhatikan asas Aman, Sehat, Utuh danHalal (ASUH). Bahan pangan yang demikian

    selain mengandung nilai gizi tinggi juga dapat

    memberikan ketentraman bathin bagikonsumen. Untuk itu perlu diperhatikan mata

    rantai produksi ternak karena keamanan

    pangan asal ternak ditentukan pada saat-saatpanen, pemotongan hewan, pemerahan susu,

    pengolahan produk menjadi bahan pangan,

    serta ketika melalui rantai pemasaran.Dalam upaya meningkatkan ketahanan

    pangan selain memperhatikan kuantitas, maka

    kualitas bahan panganpun perlu mendapat

    perhatian bebas dari cemaran mikrobiologi,serta cemaran bahan kimia, logam berat,

    antibiotika, dan toksin. Keamanan pangan asal

    ternak adalah interaksi antara status gizi,toksisitas mikrobiologis dan kimiawi yang

    saling berkaitan erat dan saling mempengaruhi.

    Suatu konsep jaminan mutu yang khusus

    diterapkan untuk pangan dikenal dengan

    Hazard Analysis Critical Control Points

    (HACCP) yaitu sistem pengawasan mutuindustri pangan yang menjamin keamanan

    pangan dan mengukur bahaya atau resiko yangmungkin timbul, serta menetapkan pengawasan

    tertentu dalam usaha pengendalian mutu pada

    seluruh rantai produksi pangan.

    Penelitian keamanan pangan produkpeternakan telah dilakukan yaitu: (1)

    Peningkatan Mutu dan Keamanan Produk SusuSapi Perah pada tahun 2000; (2) TeknologiPenanganan dan Pengamanan Produk Segar

    dan Olahan Hasil Ternak pada tahun 2002; dan

    (3) Penelitian Perbaikan Mutu dan Keamanan

    Pangan Susu di Tingkat Peternak dan Koperasi

    Susu oleh Balai Besar Penelitian danPengembangan Pertanian tahun 2004, dan

    masih dilanjutkan pada tahun 2005 dengan

    fokus penelitian untuk meningkatkankesadaran higienik pada pelaku usaha

    peternakan sapi perah (peternak, petugas

    pengumpul susu dan petugas koperasi susu

    Sarwamukti) melalui improve (perbaikan)

    SOP.

    DAFTAR PUSTAKA

    ANONIMUS. 1999. Mempertanyakan dasar ilmiahpelarangan AGP. Infovet 063. Hal.: 30-32.

    BADAN STANDARISASI NASIONAL. 1998. SNI 01-

    2782-1998, Metoda pengujian susu segar.

    BEZOEN, A., W. VANHAREN, and J.C. HANEKAMP.1998. Emergence of debate AGPs and public

    health. Human health and antibiotic growth

    promoters (AGPs), reassessing the risk,

    Heidelberg Appeal Nederland Foundation.

    DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2002. BukuStatistik Peternakan. Ditjen Bina Produksi

    Peternakan. Departemen Pertanian.

    FARDIAZ,S. 1992. Mikrobiologi pengolahan pangan

    lanjut. Pusat Antar Universitas Pangan dan

    Gizi Institut Pertanian Bogor.

  • 7/24/2019 Review Hasil-hasil Penelitian Keamanan Pangan

    9/9

    Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan

    26

    HAYES,P.R. 1996. Food Microbiology and hygiene.

    Second Edition Chapman and Hall. London.

    LAMPERT, C.M. 1980. Modern dairy product. New

    York Publishing, Co. Inc.

    LEVIE, A. 1978. The meat hand book. The AVI

    Publishing Company Inc. Westport.

    Connecticut.

    MUKARTINI, S., C. JEHNE, B. SHAY, and C.M.L

    HARPER. 1995. Microbiological status of beef

    carcass meat in Indonesia. J. of Food Safety.Vol 15.pp 291-303. Food and Nutrition Press,

    Inc. Trumbull.

    MURDIATI. T. B., M. POELOENGAN, R. MARYAM, S.RACHAMAWATI,W.SUWITO,E.MASBULAN,S.M.NOOR dan ABUBAKAR. 2002. Teknologi

    penanganan dan pengamanan produk segar

    dan olahan hasil ternak. Laporan akhir 2002.

    Balai Besar Pengembangan Alsintan, Badan

    Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.

    MURDIATI, T. B., S. RACHMAWATI, A. PRIADI dan

    YUNINGSIH. 2000. Peningkatan mutu dan

    keamanan produk susu sapi perah. Laporan

    akhir 2000. Balai Penelitian Veteriner, BadanLitbang Pertanian, Departemen Pertanian.

    PURNOMOdan ADIONO, 1987. Ilmu pangan. Cetakan

    Pertama. UI Press Jakarta.

    RAHMAN, M.S. Handbook of food preservation.

    Macre Dekker. Inc. New York.

    ROSWITA, S., S.J. MUNARSO, ABUBAKAR, S.USMIATI, H. SETIYANTO, TRIYANTINI,MISGIYARTA,N.NURDJANNAH,N.RICHANA,I.MUHADJIR,P.LAKSMANAHARDJA,E.IMANUEL,SUGIARTO, KUSNINGSIH, G. ADOM, H.HERAWATI dan DEWI R. 2004. Penelitian

    perbaikan mutu dan keamanan pangan susu ditingkat peternak dan koperasi susu. Laporan

    akhir 2004. Balai Besar Litbang Pascapanen

    Pertanian. Badan Litbang Pertanian,

    Departemen Pertanian.

    RSNI-2-2004. Batasan cemaran logam pada produk

    pangan. Badan Standarisasi Nasional.

    SINGH,J.A.,KHANNAand H.CHANDER. 1980. Effect

    of incubatioan yemperature and heat treatmentof milk from cow and buffalo on acid and

    flavor production by S. thermophillus and L.bulgaricus. J. Food Protection 43: 3999-400.

    SUDARWANTO, M. 2001. Higiene makanan. Bahan

    kuliah Pascasarjana. Program Studi Kesehatan

    Masyarakat Veteriner. Program Pascasarjana

    Institut Pertanian Bogor.

    TOLLEFSON, L. and M.A. MILLER. 2000. Antibiotic

    use in food animals: Controlling the human

    health impact. J. of AOAC 83 (2): 245-254.