rev 1  bahasa hukum dlm perjanjian

24
BAHASA HUKUM INDONESIA DALAM SURAT PERJANJIAN: (Suatu Perspektif Penulisan Bahasa Tulis Ilmiah) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Bahasa Indonesia pertama kali diikrarkan sebagai bahasa nasional dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928. Alasan yang mendukung pengikraran itu di antaranya adalah bahasa Indonesia telah dipakai sebagai lingua franca selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan Nusantara. Kedudukannya makin kuat manakala bahasa Indonesia dijadikan bahasa negara dan bahasa resmi negara Indonesia di dalam Pasal 36 UUD 1945 (Sugono 2009). Meskipun sudah menjadi bahasa negara, bagi hampir sebagian orang di Indonesia bahasa Indonesia bukan merupakan bahasa ibu, melainkan bahasa kedua yang hanya dipelajari di bangku sekolah. Dalam pemakaiannya di masyarakat, muncul berbagai ragam atau variasi bahasa Indonesia. Variasi bahasa 1 Penulisan makalah ini dilakukan Penulis adalah; dengan mengunduh dan menyempurnakan dengan menggunakan kaedah penulisan bahasa hukum Indonesia sebagai bahasa tulis ilmiah dari tulisan Sri Hapsari Wijayanti dengan judul: “Bahasa Hukum Indonesia Dalam Surat Perjanjian", http: www.atmajaya.ac.id /content.asp? f=23&id=5429 1

Upload: dirk-jamaludin

Post on 31-Jul-2015

74 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rev 1  Bahasa Hukum dlm Perjanjian

BAHASA HUKUM INDONESIA DALAM SURAT PERJANJIAN:

(Suatu Perspektif Penulisan Bahasa Tulis Ilmiah)1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Bahasa Indonesia pertama kali diikrarkan sebagai bahasa nasional

dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928.  Alasan yang mendukung

pengikraran itu di antaranya adalah bahasa Indonesia telah dipakai sebagai

lingua franca selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan

Nusantara. Kedudukannya makin kuat manakala bahasa Indonesia

dijadikan bahasa negara dan bahasa resmi negara Indonesia di dalam Pasal

36 UUD 1945 (Sugono 2009). Meskipun sudah menjadi  bahasa negara, bagi

hampir  sebagian orang di Indonesia bahasa Indonesia bukan merupakan

bahasa ibu, melainkan bahasa kedua yang hanya dipelajari di bangku

sekolah.

Dalam pemakaiannya di masyarakat, muncul berbagai ragam atau

variasi bahasa Indonesia. Variasi bahasa yang timbul menurut situasi dan

fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut dinamakan ragam

bahasa (Kridalaksana 1984 dalam Nasucha 2009:12). Ragam bahasa

dikelompokkan menjadi ragam bahasa formal/resmi dan tidak formal/tidak

resmi. Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap berprestise tinggi

dan  digunakan oleh kalangan terdidik disebut ragam bahasa baku/formal.

Sesuai dengan pokok persoalannya, ragam bahasa Indonesia yang

digunakan dalam bidang hukum disebut bahasa hukum Indonesia. Manurut

1 Penulisan makalah ini dilakukan Penulis adalah; dengan mengunduh dan menyempurnakan dengan menggunakan kaedah penulisan bahasa hukum Indonesia sebagai bahasa tulis ilmiah dari tulisan Sri Hapsari Wijayanti dengan judul: “Bahasa Hukum Indonesia Dalam Surat Perjanjian", http: www.atmajaya.ac.id /content.asp?f=23&id=5429

1

Page 2: Rev 1  Bahasa Hukum dlm Perjanjian

Mahadi (1983:215), bahasa hukum Indonesia adalah bahasa Indonesia yang

corak penggunaan bahasanya khas dalam dunia hukum. Perhatian yang

besar terhadap pemakaian bahasa hukum Indonesia sudah dimulai sejak

diadakan Kongres Bahasa Indonesia II tanggal 28 Oktober –2 November

1954 di Medan. Bahkan, dua puluh tahun kemudian, tahun 1974, Badan

Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyelenggarakan simposium bahasa

dan hukum di kota yang sama, Medan. Simposium tahun 1974 tersebut

menghasilkan empat konstatasi berikut (Mahadi dan Ahmad 1979 dalam

Sudjiman 1999).

1. Bahasa hukum Indonesia (BHI) adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai karakteristik tersendiri; oleh karena itu bahasa hukum Indonesia haruslah memenuhi syarat-syarat dan kadiah-kaidah bahasa Indonesia;

2. Karakteristik bahasa hukum terletak pada kekhususan istilah, komposisi, serta gayanya;

3. BHI sebagai bahasa Indonesia merupakan bahasa modern yang penggunaannya harus tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi syarat estetika.

4. Simposium melihat adanya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum yang sekarang dipergunakan, khususnya di dalam semantik kata, bentuk, dan komposisi kalimat.

Terungkapnya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum, seperti

terdapat dalam  konstatasi keempat di atas, yang  tercermin dalam

penulisan dokumen-dokumen hukum dapat ditelusuri dari sejarahnya.

Sejarah membuktikan bahwa bahasa hukum Indonesia, terutama bahasa

undang-undang, merupakan produk orang Belanda. Pakar hukum Indonesia

saat itu banyak belajar ke negeri Belanda karena hukum Indonesia mengacu

pada hukum Belanda. Para pakar banyak menerjemahkan langsung

pengetahuan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia tanpa

mengindahkan struktur bahasa Indonesia (Adiwidjaja dan Lilis Hartini

1999:1—2). Di samping itu,  ahli hukum pada masa itu lebih mengenal

bahasa Belanda daripada bahasa asing lainnya (Inggris, Perancis, atau

2

Page 3: Rev 1  Bahasa Hukum dlm Perjanjian

Jerman) karena bahasa Belanda wajib dipelajari, sedangkan bahasa

Indonesia tidak tercantum di dalam kurikulum sekolah (Sudjiman 1999).

Menurut Mahadi (1979:31), hukum mengandung aturan-aturan,

konsepsi-konsepsi, ukuran-ukuran yang telah ditetapkan oleh penguasa

pembuat hukum untuk (a) disampaikan kepada masyarakat (b)

dipahami/disadari maksudnya, dan (c) dipatuhi. Namun, kenyataannya

sebagai sarana komunikasi, bahasa Indonesia di dalam dokumen-dokumen

hukum sulit dipahami oleh masyarakat awam. Pemakaian bahasa Indonesia

dalam bidang hukum masih perlu disempurnakan (Mahadi 1979:39).

Banyak istilah asing (Belanda atau Inggris) yang kurang dipahami

maknanya dan belum konsisten, diksinya belum tepat, kalimatnya panjang

dan berbelit-belit (lihat Mahadi 1979).

Senada dengan Mahadi, Harkrisnowo (2007) menambahkan bahwa

kalangan hukum cenderung (a) merumuskan atau menguraikan sesuatu

dalam kalimat yang panjang dengan anak kalimat; (b) menggunakan istilah

khusus hukum tanpa penjelasan; (c) menggunakan istilah ganda atau

samar-samar; (d) menggunakan istilah asing karena sulit mencari

padanannya dalam bahasa Indonesia; (e) enggan bergeser dari format yang

ada (misalnya dalam akta notaris). Hal-hal tersebut menempatkannya

dalam dunia tersendiri seakan terlepas dari dunia bahasa Indonesia

umumnya. Tidak heran jika dokumen hukum, seperti peraturan perundang-

undangan, surat edaran lembaga, surat perjanjian, akta notaris, putusan

pengadilan, dan berita acara pemeriksaan, sulit dipahami masyarakat

awam. 

Akan tetapi, sebagian orang menganggap semua itu merupakan

karakteristik bahasa hukum dalam hal kekhususan istilah, kekhususan

komposisi, dan kekhususan gaya bahasa. Meskipun diakui bahasa hukum

Indonesia memiliki karakteristik tersendiri dalam hal istilah, komposisi,

dan gaya bahasanya, bukan berarti hanya dapat dimengerti oleh ahli hukum

3

Page 4: Rev 1  Bahasa Hukum dlm Perjanjian

atau orang-orang yang berkecimpung di dalam hukum (Natabaya

2000:301). Bahkan, sebetulnya di kalangan praktisi hukum sendiri masih

timbul perbedaan penafsiran terhadap bahasa hukum (lihat Murniah 2007).

Begitu penting peran bahasa dalam pembuatan dokumen hukum

ditekankan pula oleh Suryomurcito (2009). Ia mengatakan bahwa banyak

layanan produk hukum yang berbasis bahasa, seperti korespondensi

dengan klien atau dengan ditjen HKI, surat teguran/somasi, iklan

peringatan, laporan polisi, gugatan, permohonan pendaftaran (merek, hak

cipta, paten, dan sebagainya), dan penerjemahan jenis barang/jasa, draf

perjanjian.  

Jika bahasa hukum membingungkan masyarakat, tentu saja

masyarakat akan dirugikan padahal merekalah yang terikat dan terbebani

kewajiban untuk mematuhi dokumen hukum yang dihasilkan (Murniah

2007). Karena semua itu ditujukan untuk dimanfaatkan dan diinformasikan

kepada masyarakat umum, sudah selayaknya penulisannya dalam bahasa

Indonesia yang baik dan benar mendapat perhatian besar. Putusan

simposium 1974 waktu itu sudah tepat: memasukkan bahasa Indonesia

dalam kurikulum di fakultas hukum dan melibatkan ahli bahasa Indonesia

di dalam penyusunan rancangan peraturan-peraturan hukum. Dengan kata

lain, dibutuhkan penulis dokumen hukum yang  memahami ketentuan

perundang-undangan yang menjadi landasannya, tetapi juga yang memiliki

keterampilan dan pengetahuan menulis dalam bahasa Indonesia yang baik

dan benar.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakan permasalahan diatas yang dijadikan inti

permasalahan dalam makalah ini, adalah:

“Bagaimanakah penulisan perjanjian tertulis dalam konteks Bahasa

Hukum Indonesia dengan menerapkan Bahasa Tulis Ilmiah.”

4

Page 5: Rev 1  Bahasa Hukum dlm Perjanjian

BAB II

BAHASA HUKUM INDONESIA DALAM PENULISAN SURAT PERJANJIAN

A. Bahasa Hukum Indonesia sebagai Bahasa Tulis Ilmiah

Tidak berbeda dengan  bidang ilmu lainnya, bahasa hukum Indonesia

memiliki ciri-ciri bahasa keilmuan  (Moeliono 1974 dalam Natabaya 2000),

yakni:

1. lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan ketaksaan;

2. objektif dan menekan prasangka pribadi;

3. memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat, dan kategori

yang diselidiki untuk menghindari kesimpangsiuran;

4. tidak beremosi dan menjauhi tafsiran yang bersensasi;

5. membakukan makna kata-katanya, ungkapannya, dan gaya

paparannya berdasarkan konvensi;

6. bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan yang dipakai;

7. bentuk, makna, fungsi kata ilmiah lebih mantap dan stabil daripada

yang dimiliki kata biasa.

Bahasa hukum Indonesia dalam surat-menyurat khususnya, menurut

Suryomurcito (2009), perlu memperhatikan tata bahasa yang benar, istilah

yang tepat, kosakata yang beragam, kalimat yang singkat dan jelas, kalimat

yang mengandung satu pokok pikiran, dan tanda baca yang benar. Dengan

kata lain, supaya masyarakat lebih mudah memahaminya, disarankan untuk

menghindari kalimat yang bertele-tele, jangan mengulang-ulang, jangan

menggunakan istilah yang tidak sesuai dengan yang digunakan di dalam

undang-undang, jangan salah menggunakan tanda baca, dan jangan salah

ketik. Seperti hanya bahasa tulis ilmiah dalam bidang ilmu lainnya, dalam

dokumen hukum dibutuhkan penulisan bahasa Indonesia yang baik dan

benar yang menunjukkan intelektualitas penulisnya dalam menyampaikan

aturan hukum di dalam ejaan yang tepat dan benar serta rangkaian pesan

yang tersusun dalam kalimat yang efektif.

5

Page 6: Rev 1  Bahasa Hukum dlm Perjanjian

Kalimat efektif, menurut Alwi (2001:38), adalah kalimat yang

memperlihatkan bahwa proses penyampaian oleh penulis dan pembaca

berlangsung sempurna sehingga isi atau maksud yang disampaikan oleh

penulis tergambar lengkap dalam pikiran pembaca. Kalimat yang efektif

dapat dilihat dari ciri-ciri berikut: memiliki keutuhan atau keterkaitan

makna antarunsur di dalam kalimat; mempunyai kesejajaran struktur

klausa dan kesejajaran makna/informasi; memfokuskan unsur-unsur

dengan mengulang bagian-bagian yang ditekankan; menunjukkan

penghematan dalam kata. Tulisan ini akan menyajikan pemakaian bahasa

hukum di dalam surat perjanjian kredit (2003), surat perjanjian kerja

(2006), dan surat perjanjian pemberian pinjaman (2008). Dengan

menganalisisnya secara kualitatif, yaitu dengan memerikan gejala

pemakaian bahasa hukum, tulisan ini akan mengungkap penggunaan

bahasa hukum yang sebenarnya.

B. Surat Perjanjian

Surat perjanjian adalah surat yang dibuat oleh dua pihak yang telah

sepakat untuk suatu urusan. Jenis surat perjanjian ada bermacam-macam,

misalnya  perjanjian jual beli,  perjanjian sewa beli,  perjanjian sewa-

menyewa, perjanjian kerja, dan perjanjian pinjaman uang. Surat perjanjian

dibuat sebagai bukti autentik adanya ikatan kedua belah pihak dan untuk

menghindari persengketaan di kemudian hari. Anatomi surat perjanjian

dari 3 (tiga) contoh bentuk perjanjian dibawah ini adalah: Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu No. 001/KK-HRD/12/2006; Perjanjian Kredit No.:

52/2003; dan Perjanjian Pemberian Pinjaman No. 006/HT-P/HKM/I/2008,

terdiri dari (a) judul, (b) pembukaan, (c) komparisi, (d) premis/dasar

pertimbangan, (e) isi perjanjian, (f) penutup, dan (g) tanda tangan dan

lampiran (Widjaja 2004).

 

6

Page 7: Rev 1  Bahasa Hukum dlm Perjanjian

BAB III

TEMUAN DAN PEMBAHASAN:

Pemakaian Bahasa Hukum dalam Surat Perjanjian

Untuk mengungkap pemakaian bahasa hukum dalam ketiga surat

perjanjian, ditemukan beberapa pemakaian bahasa yang tidak benar, yang

meliputi pemakaian ejaan dan tanda baca, pemakaian bentuk jamak diikuti

pengulangan kata, pemakaian kata yang bersinonim, pengaruh unsur

bahasa Inggris, pemakaian kata yang bersinonim, pemakaian bahwa di

depan Subjek, pemakaian bentuk kata yang tidak sejajar, pemakaian kalimat

yang panjang, dan pemakaian Dalam Hal dan Maka.

1. Pemakaian Ejaan dan Tanda baca

Bahasa ilmiah hendaknya memperhatikan penulisan ejaan dan tanda

baca yang benar. Penulisan ejaan dan tanda baca yang benar menandakan

penulis memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan dan mampu

menggunakannya secara tepat untuk menyatakan maksudnya. Kadang kala

pemakaian tanda baca yang tidak tepat dapat mengakibatkan makna yang

disampaikan berubah. Salah satu tanda baca yang sering digunakan di

dalam bahasa hukum, khususnya di dalam surat perjanjian adalah titik

koma.Terlepas dari struktur kalimatnya, perhatikan contoh (1) berikut.

(1)   Bahwa Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut:

- Bahwa Pihak Pertama merupakan perusahaan yang bergerak dibidang asuransi jiwa;

Dalam kaidah bahasa Indonesia, tanda titik dua diganti titik satu pada

kalimat lengkap yang diikuti perincian berupa kalimat lengkap pula, dan

perincian diakhiri tanda titik (Utorodewo, Felicia N. dkk. 2004). Oleh karena

itu, pada kalimat pertama bukan titik dua yang mengakhiri kalimat,

melainkan titik satu karena perincian berikutnya, yaitu kalimat kedua,

7

Page 8: Rev 1  Bahasa Hukum dlm Perjanjian

merupakan kalimat yang sudah lengkap pula (mengandung unsur Subjek-

Predikat-Pelengkap).  

Di samping titik dua, penulisan di agaknya juga masih belum

diperhatikan oleh penulisnya. Di- ditulis menyambung jika kata yang

mengikutinya merupakan verba (kata kerja). Kata berimbuhan di- sebagai

awalan dapat diubah ke dalam bentuk kalimat aktif. Contoh: divonis-

memvonis. Jika tidak berdampingan dengan verba, di ditulis terpisah,

misalnya di pengadilan, di atas. Dengan demikian, kalimat kedua pada

contoh (1) dibidang diperbaiki menjadi  di bidang.

Contoh pemakaian tanda titik dua yang kurang tepat masih dapat dilihat

pada (2) berikut ini.

(2)  Tanpa persetujuan tertulis dari BANK, selama kredit belum lunas

DEBITUR tidak diperkenankan untuk:

a.      Menerima Kredit dari Bank lain,

b.      Mengikatkan diri sebagai penjamin (borg) terhadap pihak ketiga.

Tanda baca titik dua seharusnya tidak muncul pada unsur-unsur yang

masih merupakan bagian dari kalimat yang bukan memberi penjelasan.

Karena masih merupakan bagian dari kalimat, setelah titik dua tidak perlu

diawali dengan huruf kapital layaknya awal kalimat. Juga kata lain di dalam

kalimat yang bukan awal kalimat atau nama orang/tempat, tidak perlu

ditulis huruf kapital; begitu pula kata-kata dari bahasa asing sebaiknya

ditulis dengan huruf miring. Berikut perbaikan contoh (2).

(2a) Tanpa persetujuan tertulis dari bank, selama kredit belum lunas,

debitor tidak diperkenankan untuk

a.      menerima kredit dari bank lain,

b.      mengikatkan diri sebagai penjamin (borg) terhadap pihak ketiga.

8

Page 9: Rev 1  Bahasa Hukum dlm Perjanjian

2. Pemakaian bentuk jamak diikuti pengulangan kata

Tidak seperti dalam bahasa Inggris, untuk menyatakan bentuk jamak

di dalam bahasa Indonesia digunakan kata bermakna jamak, seperti

beberapa, para, semua, atau kata bilangan. Ketika bentuk jamak itu

digunakan, nomina yang yang menyertainya tidak lagi diulang katanya.

(3) a. Selalu mentaati dan melaksanakan semua peraturan perundang-

undangan yang berlaku, termasuk tetapi tidak terbatas kepada,

seluruh ketentuan-ketentuan yang berlaku serta sesuai standar

profesionalisme, etika kerja dan kode etik yang lazim sebagai Tenaga

Pemasaran di Indonesia.

(4) DEBITUR dengan ini berjanji dan mengikat diri untuk mensahkan semua tindakan-tindakan hukum…

Dalam contoh (3), selain kesalahan ejaan mentaati, yang seharusnya

menaati, ditemukan seluruh ketentuan-ketentuan dan contoh (4) semua

tindakan-tindakan. Supaya lebih hemat penggunaan katanya, diperbaiki

masing-masing menjadi seluruh ketentuan dan semua tindakan.

3. Pemakaian kata yang bersinonim

Dalam surat perjanjian kredit ditemukan pemakaian kata yang makna

dan fungsinya sama, seperti adalah merupakan, seperti terlihat pada contoh

berikut.

(5) Daftar pembayaran berikut perubahan-perubahannya adalah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit ini.

Sebaiknya, kalimat (5) diperbaiki dengan menggunakan salah satu di

antara kedua kata tersebut, yaitu  adalah atau merupakan.

4. Pengaruh unsur bahasa Inggris

Pengaruh bahasa Inggris dalam bahasa hukum marak ditemukan. Hal

tersebut dapat disebabkan penulisnya seorang dwi/multibahasawan.

9

Page 10: Rev 1  Bahasa Hukum dlm Perjanjian

Pengaruh bahasa Inggris tampak dalam penggunaan kata which dan where,

yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dimana, yang mana. Kedua

kata terjemahan tersebut bukan berperilaku konjungsi seperti halnya which

dan where. Untuk itu, kata-kata tersebut sebaiknya tidak digunakan atau

diganti dengan kata lain (lihat 6a) untuk (6) atau meniadakan kata mana

dalam (7) dan menambahkan tersebut (7a).

(6) Para Pihak sepakat bahwa untuk pelaksanaan Perjanjian ini, Pihak

Pertama akan membuka rekening khusus pada Bank yang disepakati

bersama oleh Para Pihak, yang mana rekening tersebut akan digunakan

oleh Para Pihak untuk mengelola dana masuk dan dana  keluar

sehubungan dengan pelaksanaan Perjanjian ini (“Rekening Khusus”).

(7) Apabila DEBITUR terlambat membayar angsuran (pokok dan/atau

bunga) sesuai jadwal yang ditetapkan diatas, maka DEBITUR dikenakan

denda sebesar 0,17% (nol koma tujuh belas persil) per hari atas jumlah

angsuran yang harus dibayar. Denda mana harus dibayar secara

sekaligus dan tunai bersamaan dengan angsuran yang tertunggak.

(6a) Para pihak sepakat bahwa untuk pelaksanaan perjanjian ini, Pihak

Pertama akan membuka rekening khusus pada bank yang disepakati

bersama oleh para pihak. Rekening tersebut akan digunakan oleh para

pihak untuk mengelola dana masuk dan dana keluar sehubungan

dengan pelaksanaan perjanjian ini (“Rekening Khusus”).

(7a) […] Denda tersebut harus dibayar secara sekaligus dan tunai

bersamaan dengan angsuran yang tertunggak.

5. Pemakaian bahwa di depan Subjek

Konjungsi bahwa (dari bahasa Inggris whereas) merupakan konjungsi

yang banyak digunakan sebagai awal dari pernyataan hukum. Akan tetapi,

perlu diperhatikan tidak semua awal pernyataan dapat diawali dengan

bahwa. Perhatikan contoh (8) berikut.

10

Page 11: Rev 1  Bahasa Hukum dlm Perjanjian

(8)  Bahwa Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut:

Di dalam kalimat pasif kata bahwa merupakan penanda bahwa unsur

yang menyertainya adalah anak kalimat pengisi subjek, seperti Bahwa dia

tidak bersalah//telah dibuktikan  (Sugono 2009:46-47). Kalimat itu dapat

dipermutasi menjadi Telah dibuktikan bahwa dia tidak bersalah. Bahwa juga

merupakan penanda subjek yang berupa anak kalimat pada kalimat yang

menggunakan adalah, merupakan, atau ialah, seperti Bahwa percobaan itu

gagal//merupakan risiko dia. Oleh karena itu, penggunaan bahwa pada (8)

sebaiknya ditiadakan  sehingga dengan tegas kalimat itu menampakkan

Subjek, yaitu Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana

tersebut di atas (lihat 8a).

(8a)  Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas// terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut.

6. Pemakaian bentuk kata yang tidak sejajar 

Kesejajaran bentuk mengacu pada kesejajaran unsur-unsur di dalam

kalimat sehingga memudahkan pemahaman pengungkapan pikiran (Alwi

2001). Bentuk kata yang sejajar lazim muncul pada kalimat yang

membutuhkan rincian/penjelasan; setiap rincian menggunakan  bentuk

atau pola kata yang sama. Perhatikan contoh (9).

(9) Perjanjian ini akan berakhir secara otomatis bilamana:

a.   Berakhirnya jangka waktu Perjanjian ini.

b. Para Pihak setuju dan sepakat bersama-sama untuk mengakhiri Perjanjian ini.

c. Pihak Pertama sudah tidak lagi beroperasi dan atau menjalankan kegiatan usaha utamanya, atau Pihak Pertama dinyatakan pailit/bangkrut oleh Pengadilan, atau Pihak Pertama dibubarkan oleh keputusan rapat pemegang saham Pihak Pertama.

11

Page 12: Rev 1  Bahasa Hukum dlm Perjanjian

Pada awal setiap rincian terlihat bentuk atau pola yang tidak sama.

Rincian a tidak diawali dengan Subjek seperti halnya b dan c yang

mempunyai unsur Subjek: Para Pihak dan Pihak Pertama. Oleh karena itu,

rincian dalam a perlu ditambahkan Subjek. Selain itu, jika masing-masing

rincian a—c sudah berbentuk kalimat, hal itu berarti kalimat pengantar ke

rincian, yaitu Perjanjian ini akan berakhir secara otomatis bilamana: juga

harus merupakan kalimat yang lengkap. Agar sempurna sebagai kalimat,

perbaikan yang sesuai, misalnya sebagai berikut.

(9a) Perjanjian ini akan berakhir secara otomatis bilamana terjadi kondisi-kondisi berikut.

a. Jangka waktu perjanjian ini// berakhir.b. Para Pihak// setuju dan sepakat bersama-sama untuk mengakhiri

perjanjian ini.c. Pihak Pertama// sudah tidak lagi beroperasi dan atau menjalankan

kegiatan usaha utamanya, atau Pihak Pertama dinyatakan pailit/bangkrut oleh pengadilan, atau Pihak Pertama dibubarkan oleh keputusan rapat pemegang saham Pihak Pertama.

7. Pemakaian kalimat yang panjang

Kalimat yang panjang sehingga sulit dipahami maknanya terjadi

karena ada  beberapa gagasan di dalam satu kalimat yang ditumpuk-

tumpuk, seperti tampak pada contoh berikut.

(10) . . .

1. Selama Kredit tersebut diatas belum lunas, maka barang jaminan tersebut harus dipertanggungkan oleh DEBITUR terhadap bahaya kebakaran, kerusakan, kecurian atau bahaya lainnya yang dianggap perlu oleh BANK pada maskapai asuransi yang disetujui oleh BANK, untuk jumlah dan dengan syarat-syarat yang dianggap baik oleh BANK, dengan ketentuan bahwa premi asuransi dan biaya lain yang berkenaan dengan penutupan asuransi tersebut dipikul oleh DEBITUR dan dalam polis asuransi BANK ditunjuk sebagai pihak yang berhak untuk menerima segala pembayaran berdasarkan asuransi itu (Banker’s Clause).

2. […]

12

Page 13: Rev 1  Bahasa Hukum dlm Perjanjian

3. Apabila perpanjangan asuransi sebagaimana dimaksud butir 2 di atas diurus oleh DEBITUR, maka DEBITUR wajib telah mengajukan permohonan perpanjangan asuransi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum tanggal jatuh tempo polis asuransi, dan polis perpanjangan asuransi harus telah diserahkan oleh DIBITUR kepada BANK selambat-lambatnya pada tanggal jatuh tempo polis asuransi yang diperpanjang, demikian dengan ketentuan bahwa apabila pada tanggal jatuh tempo polis asuransi tersebut, DEBITUR tidak/belum menyerahkan polis perpanjangan asuransi,  maka DEBITUR dengan ini memberi kuasa kepada BANK, tanpa BANK berkewajiban untuk melaksanakannya, untuk memperpanjang asuransi tersebut di atas biaya DEBITUR.

Kalimat 1. di atas berjumlah 80 kata. Ada beberapa gagasan yang dikemukakan di dalam kalimat itu, yaitu

- barang jaminan dipertanggungkan oleh debitor terhadap bahaya kebakaran, kerusakan, kecurian, atau bahaya lainnya pada maskapai asuransi yang disetujui oleh bank,

- ketentuan pertanggungan adalah premi asuransi dan biaya lain berkenaan dengan penutupan asuransi dipikul oleh debitor;

- di dalam polis asuransi terdapat klausul tentang hak bank untuk menerima segala pembayaran berdasarkan asuransi itu.

Seperti kalimat 1 yang cukup panjang, kalimat 3 di atas terdiri dari 91

kata. Dalam satu kalimat itu ada beberapa pokok pikiran yang ingin

disampaikan penulisnya, yaitu

(1) debitor wajib mengajukan permohonan perpanjangan asuransi paling lambat satu bulan sebelum jatuh tempo polis asuransi;

(2) polis perpanjangan asuransi harus diserahkan debitor kepada bank paling lambat pada tanggal jatuh tempo polis asuransi yang diperpanjang;

(3) apabila pada tanggal jatuh tempo, debitor belum/tidak menyerahkan polis perpanjangan asuransi, debitor memberi kuasa kepada bank untuk melakukan perpanjangan;

(4) bank diberi kuasa, tetapi tidak berkewajiban melaksanakannya;

(5) biaya perpanjang asuransi ditanggung oleh debitor.

13

Page 14: Rev 1  Bahasa Hukum dlm Perjanjian

Sebuah kalimat, kendatipun panjang jika kaitan antarkalimatnya jelas,

tidak akan menyulitkan untuk mencerna isinya. Kalimat 1 dan 3 pada

contoh (10) menunjukkan ada kecenderungan untuk menghubungkan

antargagasan dengan konjungsi dan, padahal tidak semestinya setiap

gagasan digabungkan dengan dan. Berikut perbaikan yang disarankan

untuk (10).

(10a) . . .

1. Selama kredit tersebut di atas belum lunas, barang jaminan tersebut harus dipertanggungkan oleh debitor terhadap bahaya kebakaran, kerusakan, kecurian, atau bahaya lainnya yang dianggap perlu oleh bank pada maskapai yang disetujui oleh bank. Biaya premi asuransi dan lainnya yang berkenaan dengan penutupan asuransi tersebut dibebankan pada debitor. Bank berhak menerima segala pembayaran berdasarkan asuransi itu (banker’s clause).

2. Apabila perpanjangan asuransi sebagaimana dimaksud butir 2 di atas diurus oleh debitor,  debitor wajib telah mengajukan perpanjangan asuransi selambat-lambatnya  1 (satu) bulan sebelum tanggal jatuh tempo polis asuransi. Polis perpanjangan asuransi harus telah diserahkan kepada bank selambat-lambatnya pada tanggal jatuh tempo polis asuransi yang diperpanjang. Apabila pada tanggal jatuh tempo polis asuransi tersebut debitor tidak/belum menyerahkan polis perpanjangan asuransi, debitor memberi kuasa kepada bank, tetapi bank tidak berkewajiban untuk melaksanakannya, untuk memperpanjang asuransi tersebut di atas dengan  biaya debitor.

8. Pemakaian Kata Dalam Hal dan Maka

Sugono (2009:215) mengatakan bahwa di dalam kenyataan

penggunaan bahasa, terdapat sejumlah kalimat yang cukup berhasil dalam

penyampaian informasi, tetapi dilihat dari segi kaidah, kalimat-kalimat itu

tidak memenuhi syarat kalimat yang benar. Kalimat yang dimaksud adalah

kalimat majemuk bertingkat yang tidak jelas unsur-unsurnya mana yang

merupakan inti kalimat (induk kalimat) dan mana yang anak kalimat

(penjelas induk kalimat). Anak kalimat lazim didahului oleh konjungsi dan

induk kalimat tidak didahului oleh konjungsi.

14

Page 15: Rev 1  Bahasa Hukum dlm Perjanjian

Dalam contoh (11) di bawah ini, dalam hal berperilaku sebagai

konjungsi, yang sebenarnya menyatakan suatu kondisi atau keadaan yang

belum tentu terjadi. Maknanya hampir mirip dengan jika, apabila. Adanya

konjungsi itu menandakan ada anak kalimat. Anak kalimat tersebut diikuti

dengan maka sesudah koma, yang juga sebagai anak kalimat karena diawali

konjungsi maka. Oleh karena itu, kalimat (11) tidak dapat disebut kalimat

majemuk bertingkat karena tidak ada informasi yang diutamakan sebagai

induk kalimat.

(11) Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara versi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, maka yang berlaku adalah bahasa Indonesia.

Perbaikan untuk (11) adalah dengan meniadakan salah satu

konjungsi, misalnya maka (11a).

(11a) Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara versi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, yang berlaku adalah bahasa Indonesia.

15

Page 16: Rev 1  Bahasa Hukum dlm Perjanjian

BAB IV

SIMPULAN

Dari dokumen surat-surat perjanjian yang diamati terbukti bahwa

penulis dokumen hukum belum menguasai kaidah bahasa Indonesia.

Bahasa hukum Indonesia di dalam surat perjanjian yang diamati masih

menunjukkan kesalahan yang klise, seperti ketidaktepatan dalam

penggunaan ejaan, tanda baca, dan kalimat. Karena bahasa hukum

merupakan produk yang diperuntukkan bagi masyarakat dari kalangan

mana pun, bukan hanya orang dari kalangan hukum, seharusnya penyusun

dokumen hukum lebih menyederhanakan penyampaian pesan atau maksud

dari aturan atau pernyataan di dalam pasal-pasalnya sehingga pembaca

lebih mudah dan cepat mencerna isinya. Penyampaian isi yang efektif perlu

didukung oleh kaidah ejaan bahasa Indonesia yang benar. Penulis

menyarankan agar ahli hukum adalah juga pemerhati bahasa Indonesia.

16

Page 17: Rev 1  Bahasa Hukum dlm Perjanjian

DAFTAR PUSTAKA

Adiwidjaya, Soelaeman B. dan Lilis Hartini. 1999. Bahasa Indonesia Hukum. Bandung: Pustaka.

Alwi, Hasan. 2001. Bahan Penyuluhan Bahasa Indonesia: Kalimat. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Harkrisnowo, Harkristuti. 2007. Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pengembangan Hukum Nasional. Http://www.legalitas.org/?q=node/67.

Mahadi dan Sabaruddin Ahmad. 1979. Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta: Binacipta.

___________, 1983. Bahasa Hukum Adat dalam Peta Bumi Bahasa-Hukum Nasional. Dalam Hukum dan Pembangunan No. 3 Tahun XIII Mei.

Murniah. 2007. Bahasa Hukum Rumit dan Membingungkan. Wawasan, 30 November.

Nasucha, Yakub, Muhammad Rohmadi, dan Agus Budi Wahyudi. 2009. Bahasa Indonesia untuk Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Surakarta: Media Perkasa.

Natabaya, H.A.S. 2000. Dalam Hasan Alwi, Dendy Sugono, Abdul Rozak Zaidan (Ed.). Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi:Pemantapan Peran Bahasa sebagai Sarana Pembangunan Bangsa. Jakarta: Depdiknas.

Sudjiman, Panuti. 1999. Ragam Bahasa Hukum Indonesia: Lahan Bahasa yang Belum Tergarap. Atma nan Jaya. Jakarta: Lembaga Penelitian Atma Jaya.

Sugono, Dendy. 2009. Mahir Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Suryomurcito, Gunawan. 2009. Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar? Capek Deh! Good English? Capek Banget Deh! Makalah dalam Seminar HKI, 15 April di Unika Atma Jaya.

Utorodewo, Felicia N., Lucy R. Montolalu, L. Pamela Kawira. 2004. Diktat Bahasa Indonesia Sebuah Pengantar  Penulisan Ilmiah. Depok. Program

17

Page 18: Rev 1  Bahasa Hukum dlm Perjanjian

PDPT Universitas Indonesia.

Widjaja, I.G. Rai. 2004. Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan Paktik. Bekasi: Megapoin.

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu No. 001/KK-HRD/12/2006.

Perjanjian Kredit No.: 52/2003.

Perjanjian Pemberian Pinjaman No. 006/HT-P/HKM/I/2008.

18