retinopati diabetik

16
RETINOPATI DIABETIK PENDAHULUAN Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering ditemukan pada usia dewasa antara 20-74 tahun. 1 Pasien diabetes melitus (diabetes) memiliki risiko 25 kali lebih mudah untuk mengalami retinopati dibanding nondiabetes. Risiko mengalami retinopati pada pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya menderita diabetes. Penyebab retinopati diabetik belum diketahui pasti, namun hiperglikemia yang berlangsung lama diduga merupakan faktor risiko utama. 2, 3 Oleh sebab itu kontrol glukosa darah sejak dini penting dalam mencegah timbulnya retinopati diabetik. Metode pengobatan retinopati diabetik dewasa ini juga mengalami kemajuan pesat sehingga risiko kebutaan banyak berkurang. 4, 5 Terapi fotokoagulasi dengan sinar laser, vitrektomi, vitreolisis, pengunaan obat-obatan seperti sorbinil, anti protein kinase C (PKC), anti vascular endothelial growth factor (VEGF), somatostatin dan anti inflamasi merupakan modalitas terapi yang dewasa ini digunakan untuk pengobatan maupun pencegahan retinpopati diabetik. Namun demikian retinopati diabetik tetap masih menjadi masalah global mengingat angka kejadian diabetes di seluruh dunia cenderung makin meningkat. DEFINISI Retinopati diabetik ialah suatu kelainan mata pada pasien diabetes yang disebabkan karena kerusakan kapiler retina dalam berbagai tingkatan, sehingga menimbulkan gangguan penglihatan mulai dari yang ringan sampai berat bahkan sampai terjadi kebutaan total dan permanen. 1, 2, 5 EPIDEMIOLOGI Prevalensi retinopati diabetik pada pasien diabetes tipe 1 setelah 10-15 tahun sejak diagnosis ditegaakkan berkisar antara 25-50%. Sesudah 15 tahun prevalensi meningkat menjadi 75- 95% dan setelah 30 tahun mencapai 100%. 4 Pasien diabetes tipe 2 ketika diagnosis diabetes ditegakkan seiktar 20% diantaranya sudah ditemukan retinopati diabetik. Setelah 15 tahun kemudian prevalensi meningkat menjadi lebih dari 60-85%. 5 Di Amerika Utara dilaporkan sekitar 12.000-24.000 pasien diabetes mengalami kebutaan setiap tahun. 5 Di Inggris dan Wales tercatat sekitar 1000 pasien diabetes

Upload: pramadio-bambang-nugroho

Post on 25-Dec-2015

146 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

RETINOPATI DIABETIK

TRANSCRIPT

Page 1: RETINOPATI DIABETIK

RETINOPATI DIABETIK

PENDAHULUAN

Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang

paling sering ditemukan pada usia dewasa antara 20-74

tahun.1 Pasien diabetes melitus (diabetes) memiliki risiko

25 kali lebih mudah untuk mengalami retinopati

dibanding nondiabetes. Risiko mengalami retinopati pada

pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya

menderita diabetes. Penyebab retinopati diabetik belum

diketahui pasti, namun hiperglikemia yang berlangsung

lama diduga merupakan faktor risiko utama.2, 3 Oleh

sebab itu kontrol glukosa darah sejak dini penting dalam

mencegah timbulnya retinopati diabetik. Metode

pengobatan retinopati diabetik dewasa ini juga

mengalami kemajuan pesat sehingga risiko kebutaan

banyak berkurang.4, 5 Terapi fotokoagulasi dengan sinar

laser, vitrektomi, vitreolisis, pengunaan obat-obatan

seperti sorbinil, anti protein kinase C (PKC), anti

vascular endothelial growth factor (VEGF), somatostatin

dan anti inflamasi merupakan modalitas terapi yang

dewasa ini digunakan untuk pengobatan maupun

pencegahan retinpopati diabetik. Namun demikian

retinopati diabetik tetap masih menjadi masalah global

mengingat angka kejadian diabetes di seluruh dunia

cenderung makin meningkat.

DEFINISI

Retinopati diabetik ialah suatu kelainan mata pada pasien

diabetes yang disebabkan karena kerusakan kapiler retina

dalam berbagai tingkatan, sehingga menimbulkan

gangguan penglihatan mulai dari yang ringan sampai

berat bahkan sampai terjadi kebutaan total dan

permanen.1, 2, 5

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi retinopati diabetik pada pasien diabetes tipe 1

setelah 10-15 tahun sejak diagnosis ditegaakkan berkisar

antara 25-50%. Sesudah 15 tahun prevalensi meningkat

menjadi 75-95% dan setelah 30 tahun mencapai 100%.4

Pasien diabetes tipe 2 ketika diagnosis diabetes

ditegakkan seiktar 20% diantaranya sudah ditemukan

retinopati diabetik. Setelah 15 tahun kemudian prevalensi

meningkat menjadi lebih dari 60-85%.5 Di Amerika Utara

dilaporkan sekitar 12.000-24.000 pasien diabetes

mengalami kebutaan setiap tahun.5 Di Inggris dan Wales

tercatat sekitar 1000 pasien diabetes setiap tahun

mengalami kebutaan sebagian sampai kebutaan total.2 Di

Indonesia belum ada data mengenai prevalensi retinopati

diabetik secara nasional. Namun apabila dilihat dari

jumlah pasien diabetes yang meningkat dari tahun ke

tahun, maka dapat diperkirakan bahwa prevalensi

retinopati diabetik di Indonesia juga cukup tinggi.

PATOFISIOLOGI

Retina merupakan suatu struktur berlapis ganda dari

fotoreseptor dan sel saraf. Kesehatan dan aktivitas

metabolisme retina sangat tergantung pada jaringan

kapiler retina. Kapiler retina membentuk jejaring yang

menyebar ke seluruh permukaan retina kecuali suatu

daerah yang disebut fivea.6 Kelainan dasar dari berbagai

bentuk retinopati diabetik terletak pada kapiler retina

tersebut. Dinding kapiler retina terdiri dari tiga lapisan

berturut-turut dari luar ke dalam yaitu sel perisit,

membrana basalis dan sel endotel. Sel perisit dan sel

endotel dihubungkan oleh pori ayng terdapt pada

membrana sel yang terletak di antara keduanya. Dalam

keadaan normal, perbandingan jumlah sel perisit dan sel

endotel kapiler retina adalah 1:1 sedangkan pada kapiler

perifer yang lain perbandingan tersebut mencapai 20:1.

Fungsi sel perisit antara lain ialah untuk

mempertahankan struktur kapiler, mengatur

kontraktilitas, membatnu mempertahankan fungsi barrier

dan transportasi kapiler serta mengendalikan proliferasi

sel endotel. Membrana basalis kapiler berfungsi sebagai

barrier untuk mempertahankan permeabilitas agar tidak

terjadi kebocoran. Sel endotel saling berikatan erat satu

sama lain dan bersama-sama dengan matriks ekstra sel

Page 2: RETINOPATI DIABETIK

dari membrana basalis membetuk pertahnan yang bersifat

selektif terhadap beberapa jenis protein dan molekul

kecil, termasuk bahan kontras fluoresein yang digunakan

untuk diagnosis penyakit kapiler retina. Perubahan

histopatologis kapiler retina pada retinopati diabetik

dimulai dari penebalan membrana basalis kemudian

disusul dengan hilangnya sel perisit dan meningkatnya

proliferasi sel endotel. Pada keadaan lanjut, sel perisit

tidak mampu lagi mengendalikan proliferasi sel endotel

sehingga perbandingan antara sel endotel dan sel perisit

kapiler retina meningkat sampai mencapai 10:1.7

Patofisiologi retinopati diabetik melibatkan

lima proses yang terjadi di tingkat kapiler yaitu: 1)

pembentukan mikroaneurisma, 2) peningkatan

permeabilitas. 3) penyumbatan, 4) proliferasi pembuluh

darah baru (neovascular) dan pembentukan jaringan

fibrosis, 5) kontraksi jaringan fibrosis kapiler dan

vitreus.8 Penyumbatan dan hambatan perfusi

(nonperfusion) menyebabkan iskemia retina sedangkan

kebocoran dapat terjadi pada semua komponen darah.6, 9

Kebutaan akibat retinopati diabetik dapat terjadi melalui

beberapa mekanisme, yaitu: 1) edema makula atau

nonperfusi kapiler, 2) pembentukan pembuluh darah baru

dan kontraksi jaringan fibrosis sehingga terjadi ablasio

retina (retinal detachment), 3) pembuluh darah baru yang

terbentuk menimbulkan perdarahan preretina dan vitreus,

4) terjadi glaukoma yang juga merupakan akibat dari

pembentukan pembuluh darah baru.5, 6 Perdarahan adalah

bagian dari stadium retinopati diabetik proliferatif dan

merupakan penyebab utama kebutaan permanen.5 Selain

itu, kontraksi dari jaringan fibrovaskular sehingga terjadi

ablasio retina (terlepasnya lapisan retina) juga merupakan

penyebab kebutaan yang terjadi pada retinopati diabetik

proliferatif.8

ETIO-PATOGENESIS

Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini

belum diketahui secara pasti, namun keadaan

hiperglikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai

faktor risiko utama.2, 3 Beberapa proses biokimiawi yagn

terjadi pada hiperglikemia dan diduga berkaitan dengan

timbulnya retinopati diabetik yaitu aktivasi jalur poliol,

glikasi nonenzimatik dan peningkatan diasilgliserol yang

menyebabkan aktivasi PKC.1, 3 Selain itu, hormon

pertumbuhan dan beberapa faktor pertumbuhan lain

seperti VEGF diduga juga berperan dalam progresifitas

retinopati diabetik.4, 5

Aktivasi Jalur Poliol

Hiperglikemia yang berlangsung lama menyebabkan

peningkatan aktivitas enzim aldose reduktase sehingga

produksi poliol yaitu suatu senyawa gula dan alkohol

meningkat dalam jaringan termasuk di lensa, pembuluh

darah dan saraf optik. Salah satu sifat senyawa poliol

ialah tidak dapat melewati membrana basalis sehingga

akan tertimbun dalam jumlah yang banyak di dalam

sel.1,10 Penimbunan senyawa poliol dalam sel tersebut

akan menyebabkan tekanan osmotik sehingga

menimbulkan gangguan morfologi dan fungsional sel.

Percobaan pada hewan yang diberi inhibitor enzim

aldose reduktase (aminoguanidin) ternyata dapat

mengurangi atau memeperlambat terjadinya retinopati

diabetik.11 Namun uji klinik pada pasien diabetes tipe 1

yang diberi aminoguanidin kemudian diamati selama 3- 4

tahun ternyata tidak memberi pengaruh terhadap

timbulnya maupun perlambatan progresifitas retinopati

diabetik. Sampai saat ini masih terus dilakukan penelitian

dengan menggunakan inhibitor enzim aldose reduktase

yang lebih kuat.1,2

Glikasi Nonenzimatik

Glikasi nonenzimatik terhadap protein dan asam

deoksiribonukleat (DNA) yang terjadi selama

hiperglikemia akan menghambat aktivitas enzim dan

keutuhan DNA. Protein yang terglikosilasi membentuk

radikal bebas dan akan menimbulkan perubahan fungsi

sel.2,3 Penggunaan aminoguanidin, yaitu suatu bahan

yang juga bekerja menghambat pembentukan advanced

glycation end product (AGE) pada tikus diabetes

dilaporkan dapat mengurangi pegnaruh diabetes terhadap

aliran darah di retina, permeabilitas kapiler dan

parameter mikrovaskuler yang lain. Aminoguanidin

terbukti juga dapat menghambat produksi senyawa

oksida nitrat yang merupakan vasokonstriktor kuat.6

Diasilgliserol dan Aktivasi Protein Kinase C

Protein kinase C diketahui memiliki pengaruh terhadap

permeabilitas vaskular, kontraktilitas, sintesis membrana

basalis dan proliferasi sel vaskular. Dalam kondisi

Page 3: RETINOPATI DIABETIK

hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel

meningkat akibat penginkatan sintesis de novo

diasilgliserol, yaitu suatu regulator PKC dari glukosa.3

Diasilgliserol terbukti diproduksi dalam jumlah banyak

di retina anjing dengan galaktosemia yang disertai

retinopati. Dewasa ini para ahli sedang melakukan uji

klinik penggunaan ruboxistaurin yaitu suatu penghambat

PKC β-isoform pada pasien retinopati diabetik.13

Beberapa hipotesis mengenai mekanisme patogenesis

retinopati diabetik yang kemungkinan dapat

dikembangkan menjadi target intervensi farmakologis

dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hipotesis Patogenesis Retinopati Diabetik

Mekanisme Cara Kerja Terapi

Aldose reduktase Meningkatkan produksi sorbitol, menyebabkan

kerusakan sel

Aldose reduktase inhibitor

Inflamasi Meningkatkan perlekatan leukosit pada endotel kapiler,

hipoksia, kebocoran, edema macula

Aspirin

Protein kinase C Diaktifkan oleh DAG, mengaktifkan VEGF Inhibitor PKC β-isoform

ROS Merusak enzim dan komponen sel yang peting Antioksidan

AGE Mengaktifkan enzim-enzim yang merusak Aminoguanidin

Nitrit oxide synthase Meningkatkan produksi radikal bebas dan VEGF Aminoguanidin

Menghambat ekspresi gen Menghambat jalur metabolisme sel Belum ada

Apoptosis sel perisit dan

endotel

Penurunan lairan darah ke retina, menyebabkan

hipoksia

Belum ada

VEGF Meningkat pada hipoksia retina, menimbulkan

kebocoran, edema makula, neovaskular

Fotokoagulasi, anti VEGF

PEDF Menghambat neovaskularisasi, menurun pada

hiperglikemia

Induksi produksi PEDF oleh

gen

GH dan IGF – 1 Merangsang neovaskularisasi Hipofisektomi, Gh-reseptor

blocker, octreotide

PKC = protein kinase C; VEGF = vascular endothelial growth factor;DAG = diacylglycerol; ROS = reactive oxygen

species; AGE = advanced glycation end-product; PEDF = pigment epithelium derived factor; GH = growth hormone; IGF –

1 = insulin-like growth factor 1.

DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI

Diagnosis retinopati diabetik didasarkan atas hasil

pemriksaan funduskopi. Pemeriksaan dengan fundal

fluorescein angiography (FFA) merupakan metode

pemeriksaan yang paling dipercaya. Namun dalam klinik

pemeriksaan dengna oftalmoskopi masih dapat

digunakan untuk pemeriksaan penyaring.1 Klasifikasi

retinopati diabetik umumnya didasarkan atas beratnya

perubahan yang terjadi pada mikrovaskular retina dan

ada atau tidakadanya pembetukan pembuluh darah baru.

Early Treatment Diabetic Retinopathy Research Study

Group (ETDRS)8 membagi retinopati diabetik atas dua

stadium yaitu nonproliferatif dan proliferatif. Retinopati

diabetik nonproliferatif (RDNP) hanya ditemukan

perubahan ringan pada mikrovaskular retina. Kelianan

fundus pada RDNP dapat berupa mikroaneurisma atau

kelainan intraretina yang disebut intra-retinal

microvaskular abnormalities (IRMA).6,9 Penyumbatan

kapiler retina akan menimbulkan hambatan perfusi yang

secara klinik ditandai dengan pendarahan, kelainan vena

dan IRMA. Iskemia retina yang terjadi akibat hambatan

perfusi akan merangsang proliferasi pembuluh darah baru

(neovaskular).2,6 Pembentukan pembuluh darah baru

Page 4: RETINOPATI DIABETIK

merupakan tanda khas dari retinopati diabetik proliferatif

(RDP).5,9

Retinopati Diabetik Nonproliferatif

Retinopati diabetik nonproliferatif merupakan bentuk

retinopati yang paling ringan dan sering tidak

memperlihatkan gejala. Stadium ini sulit dideteksi hanya

dengan pemeriksaan oftalmoskopi langsung maupun

tidak langsung. Cara pemeriksaan yang paling baik

adalah dengan menggunakan foto warna fundus atau

dengan FFA. Mikroaneurisma yang terjadi pada kapiler

retina merupakan tanda awal yang dapat ditemukan pada

RDNP. Dengan oftalmoskopi atau foto warna fundus,

mikroaneurisma tampak berupa bintik merah dan sering

kelihatan pada bagian posterior.2 Penyebab timbulnya

mikroaneurisma masih belum jelas. Diduga ada

hubungan dengan faktor vasoproliferatif yang dihasilkan

endotel, kelemahan dinding kapiler akibat berkurangnya

sel perisit, serta meningkatnya tekanan intra lumen

kapiler.2 Kelainan morfologi yang lain ialah penebalan

membrana basalis, pendarahan ringan, eksudat keras

yang tampak sebagai bercak warna kuning dan eksudat

lunak yang tampak sebagai bercak halus (cotton wool

spot). Pendarahan terjadi akibat kebocoran eritrosit,

eksudat terjadi akibat kebocoran dan deposisi lipoprotein

plasma.6 Retinopati diabetik nonproliferatif berat sering

juga disebut sebagai retinopati diabetik iskemik,

retinopati obstruktif atau retinopati preproliferatif.

Gambaran yang dapt ditemukan yaitu bentuk kapiler

yang berkelok tidak teratur akibat dilatasi yang tidak

beraturan dan cotton wool spot, yaitu suatu daerah retina

dengan gambaran bercak warna putih pucat dimana

kapiler megnalami sumbatan.2 Dalam waktu 1 – 3 tahun

RDNP berat (retinopati reproliferatif) sering berkembang

menjadi retinopati diabetik proliferatif, baik disertai

maupun tidak disertai dengan edema makula. Pasien

diabetes dengan keadaan tersebut merupakan calon untuk

mendapat terapi fotokoagulasi.

Retinopati Diabetik Proliferatif

Retinopati diabetik proliferatif ditandai dengan

pembentukan pembuluh darah baru. Dinding pembuluh

darh baru tersebut hanya terdiri dari satu lapis sel endotel

saja tanpa sel perisit dan membrana basalis sehingga

sangat rapuh dan mudah mengalami perdarahan.6

Pembentukan pembuluh darah baru tersebut sangat

berbahaya karena dapat tumbuh secara abnormal keluar

dari retina meluas sampai ke vitreus, menyebabkan

perdarahan di sana dan dapat menimbulkan kebutaan.6

Perdarahan dalam vitreus akan menghalangi transmisi

cahaya ke dalam mata dan pada lapangan penglihatan

memberi penampakan berupa bercak warna merah, abu –

abu atau hitam. Apabila perdarahan terus berulang, dapat

terbentuk jaringan fibrosis atau sikatriks pada retina.

Oleh karena retina hanya berupa lapisan tipis yang terdiri

dari beberapa lapis sel saja, maka sikatriks dan jaringan

fibrosis yang terbentuk dapat menarik retina sampai

terlepas sehingga terjadi ablasio retina (retinal

detachment). Pembuluhd arah baru dapat juga terbentuk

dalam stroma dari iris dan bersama-sama dengan jaringan

fibrosis dapat meluas sampai ke chamber anterior.

Keadaan tersebut dapat menghambat aliran keluar dari

aqueos humor sehingga menimbulkan glaukoma

neovaskular yang ditandai dengan meningkatnya tekanan

intraokular. Kebutaan dapat terjadi apabila ditemukan

pembuluh darah baru yang meliputi satu per empat

daerah diskus, adanya perdarahan preretina, pembuluh

darah baru yang terjadi dimana saja (neovascularization

elsewhere) yang disertai perdarahan, atau terdapat

perdarahan di lebih dari separuh pada daerah diskus atau

vitreus.2,6,8

Makulopati diabetik

Makulopati diabetik merupakan penyebab kebutaan

paling sering pada pasien diabetes. Makulopati diabetik

cenderung berhubungan dengan diabetes tipe 2 usia

lanjut, sedangkan retinopati diabetik proliferatif

cenderung ditemukan pada usia muda.6 Tergantung

perubahan utama yang terjadi pada kapiler retina,

makulopati diabetik dapat dibedakan dalam beberapa

bentuk yaitu makulopati iskemik, makulopati eksudatif

dan edema makula.6 Makulopati iskemik terjadi akibat

penyumbatan yang luas dari kapiler di daerah sentral

retina. Makulopati eksudatif terjadi karena kebocoran

setempat sehingga terbentuk eksudat keras seperti yang

ditemukan pada RDNP. Makulopati eksudatif perlu

segera dilakukan terapi fotokoagulasi untuk mencegah

hilangnya visus secara permanen. Edema makula terjadi

akibat kebocoran yang difus. Apbila keadaan tersebut

menetap, maka akan terbentuk kista berisi cairan yang

dikenal sebagai edema makula kistoid. Bila keadaan ini

Page 5: RETINOPATI DIABETIK

terjadi maka gangguan visus akan menetap dan sukar

diperbaiki. Dibanding dengan metode diagnostik lain,

optical coherence tomography (OCT) merupakan metode

yang paling baik untuk mendiagnosis makulopati

diabetik.5

Tabel 2. Klasifikasi Retinopati Diabetik Menurut ETDRS8

Retinopati diabetik nonproliferatif

1. Retinopati nonproliferatif minimal: terdapat satu atau lebih tanda berupa dilatasi vena, mikroaneurisma, perdarahan

intraretina yang kecil atau eksudat keras

2. Retinopati nonproliferatif ringan sampai sedang: terdapat satu atau lebih tanda berupa dilatasi vena derajat ringan,

perdarahan, eksudat keras, eksudat lunak atau IRMA.

3. Retinopati nonproliferatif berat: terdapat satu atau lebih tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma pada 4 kuadran

retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, atau IRMA ekstensif minimal pada 1 kuadran

4. Retinopati nonproliferatif sangat berat: ditemukan dua atau lebih tanda pada retinopati non-proliferatif berat.

Retinopati diabetik proliferatif

1. Retinopati proliferatif ringan (tanpa risiko tinggi): bila ditemukan minimal adanya neovaskular pada diskus (NVD) yang

mencakup lebih dari satu per empat daerah diskus tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus; atau neovaskular di

mana saja di retina (NVE) tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus

2. Retinopati proliferatif risiko tinggi: apabiladitemukan 3 atau 4 dari faktor risiko sebagai berikut, a) ditemukan pembuluh

darah baru di mana saja di retina, b)ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat diskus optikus, c) pembuluh darah

baru yang tergolong sedang atau berat yang mencakup lebih dari satu per empat daerah diskus, d) perdarahan vitreus.

Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada diskus optikus atau setiap adanya pembuluh darah baru yang disertai

perdarahan merupakan dua gambaran yang paling sering ditemukan pada retinopati proliferatif dengan risiko tinggi.

ETDRS = Early Treatment Diabetic Retinopathy Study; NVD = new vessels on disc; NVE = new vessels elsewhere

PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN

Pencegahan dan pengobatanretinopati diabetik

merupakan upaya yang harus dilakukan secara bersama

untuk mencegah atau menunda timbulnya retinopati dan

memperlambat proses perburukan. Tujuan utama

pengobatan retinopati diabetik ialah untuk mencegah

terjadinya kebutaan permanen. Pendekatan multidisiplin

dengan melibatkan ahli diabetes, perawat edukator, ahli

gizi, spesialis mata, optometris dan dokter umum akan

memberi harapan bagi pasien untuk mendapatkan

pengobatan optimal sehingga kebutaan dapat dicegah.

Kontrol glukosa darah yang baik merupakan dasar dalam

mencegah timbulnya retinopati diabetik atau

memburuknya retinopati diabetik yang sudah ada.14,15

Pencegahan dan pengobatan retinopati diabetik meliputi:

Kontrol glukosa darah

Kontrol tekanan darah

Kontrol profil lipid

Ablasi kelenjar hipofisis melalui pembedahan

atau radiasi (jarang dilakukan)

Fotokoagulasi dengan sinar laser:

o Fotokoagulasi panretinal untuk RDP atau

glaukoma neovaskular

o Fotokoagulasi fokal utuk edema makula

Vitrektomi/vitreolisis untuk pendarahan vitreus

atau ablasio retina

Intervensi farmakologi (umumnya masih dalam

tahap percobaan) seperti pemberian inhibitor

enzim aldose reduktase, inhibitor hormon

pertumbuhan, anti VEGF, inhibitor PKC dan

anti inflamasi.

Pasien diabetes dengan retina normal atau RDNP

minimal perlu diperiksa setiap tahun karena pasien yang

sebelumnya tanpa retinopati pada waktu diagnosis

diabetes ditegakkan, 5%-10% akan mengalami retinopati

setelah 1 tahun. Pasien RDNP derajat sedang dengan

mikroaneurisma, perdarahan jarang, atau ada eksudat

keras tetapi tidak disertai edema makula, perlu

pemeriksaan ulang setiap 6 – 12 bulan karena sering

progresif. Suatu penelitian terhadap pasien diabetes tipe 1

Page 6: RETINOPATI DIABETIK

ditemukan 16% dari RDNP derajat sedang yang hanya

ditandai eksudat keras dan mikroaneurisma, dapat

berkembang ke arah stadium proliferasi hanya dalam

waktu 4 tahun.1,5

Kontrol Glukosa Darah

Beberapa penelitian skala besar membuktikan bahwa

kontrol glukosa darah yang baik dapat mencegah

timbulnya dan memburuknya retinopati diabetik.

Diabetes Control and Complication Trial (DCCT)

melakukan penelitian pada 1441 pasien diabetes tipe 1

yang belum disertai retinopati dan yang sudah menderita

RDNP. Kelompok pasien yang belum disertai retinopati

dan mendapat terapi intensif dengan insulin selama 36

bulan mengalami penurunan risiko terjadi retinopati

sebesar 76%. Demikian juga pada kelompok yang sudah

menderita retinopati, terapi intensif mencegah risiko

perburukan retinopati sebesar 54%.16 Efek perlindungan

melalui mengendalikan glukosa darah juga terlihat dari

hasil penelitian United Kingdom Prospective Diabetes

Study (UKPDS) terhadap pasien diabetes tipe 2. Pasien

yang diterapi secara intensif, setiap penurunan 1%

HbA1c akan diikuti dengan penurunan risiko komplikasi

mikrovaskular sebesar 35%.1 Hasil penelitian DCCT dan

UKPDS tersebut memperlihatkan bahwa meskipun

kontrol glukosa darah secara intensif tidak dapat

mencegah terjadinya retinopati secara sempurna, namun

dapat mengurangi risiko timbulnya retinopati diabetik

dan memburuknya retinopati diabetik yang sudah ada.

Secara klinik, kontrol glukosa darah yang baik dapat

melindungi visus dan mengurangi risiko kemungkinan

menjalani terapi fotokoagulasi dengan sinar laser.1,16

Kontrol Tekanan Darah

Untuk mengetahui pengaruh hipertensi terhadap

retinopati diabetik, UKPDS melakukan penelitian

terhadap 1148 pasien hipertensi dengan diabetes tipe 2

yang dibagi atas dua kelompok yaitu kelompok yang

dilakukan kontrol tekanan darah tidak ketat

(<180/105mmHg) dan kelompok yang dilakukan kontrol

tekanan darah ketat (<150/85mmHg). Pasien mendapat

pengobatan dengan angiotensin concerting enzyme

inhibitor (ACE – inhibitor) atau β-blocker dan dilakukan

pengamatan rata-rata selama 8,4 tahun. Hasil penelitian

menunjukkan kelompok pasien dengan kontrol tekanan

darah ketat mengalami penurunan risiko progresifitas

retinopati sebanyak 34%.17 Apropriate Blood Control in

Diabetes (ABCD) Study melakukan penelitian terhadap

kelompok pasien diabetes yang juga menderita hipertensi

dan diterapi dengan target tekanan diastolik <75mmHg

dibanding denga kelompok yang diterapi dengan target

tekanan darah diastol antara 80-89mmHg. Sebanyak 470

pasien diberi terapi nisoldipin atau enalapril secara acak

kemudian dilakukan pengamatan rata-rata 5,3 tahun.

Tekanan darah rata-rata yang dicapai pada kelompok

pertama adalah 132/78 mmHg, sedangkan kelompok

kedua mencapai tekanan darah rata-rata 138/86 mmHg.

Meskipun kelompok terapi intensif mengalami

penurunan angka kematian yang cukup bermakna, namun

hasil analisis statistik ternyata antara kedua kelompok

tidak ditemukan perbdaan bermakna dalam mencegah

progresifitas retinopati. Saat ini tekanan darah pasien

diabetes dianjurkan kurang dari 130/85 mmHg.18

Ablasi Kelenjar Hipofisis

Dugaan adanya hubungan antara growth hormone dan

retinopati diabetik didasarkan atas laporan dari sarjana

Poulsen pada tahun 1953 mengenai kasus retinopati

diabetik pada seorang pasien diabetes wanita yang

mengalami infark bipofisis sewaktu melahirkan. Setelah

dilakukan hipofisektomi ternyata retinopati diabetik yang

sudah ada mengalami perbaikan. Sejak itu tinakan

hipofisektomi sering dilakukan pada pasien diabetes yang

disertai retinopati diabetik proliferatif. Peran growth

hormone terhadap timbulnya retinopati diabetik

didasarkan atas fakta bahwa retinopati diabetik

berkembang cepat sealma usia pubertas. Pada masa

tersebut kepekaan jaringan terhadap growth hormone

sangat tinggi. Bukti lain yang memperkuat hipotesis

tersebut yaitu pasien kerdil akibat defisiensi growth

hormone yang juga menderita diabetes ternyata tidak

pernah mengalami retinopati diabetik dan juga penyakit

mikrovaskular yang lain. Meskipun demikian,

hipofisektomi pada pasien diabetes dengan retinopati

diabetik saat ini sudah hampir tidak pernah dilakukan.

Fotokoagulasi

Suatu uji klinik berskala besar yang dilakukan National

Institutes of Health di Amerika Serikat jelas

menunjukkan bahwa pengobatan fotokoagulasi dengan

sinar laser apabila dilakukan tepat pada waktunya, sangat

efektif untuk pasien dengan retinopati diabetik

Page 7: RETINOPATI DIABETIK

proliferatif dan edema makula. Indikasi terapi

fotokoagulasi dengan sinar laser ialah retinopati diabetik

proliferatif, edema makula dan neovaskular yang terletak

pada sudut chamber anterior.2,19 Ada tiga metode terapi

fotokoagulasi dengan sinar laser, yaitu: 1) scatter

(panretinal) photocoagulation, dilakukan pada ksus

dengan kemunduran visus yang cepat dan untuk

menghilangkan noevaskular pada saraf optikus dan

permukaan retina atau pada sudut chamber anterior; 2)

focal photocoagulation, ditujukan pada mikroaneurisma

di fundus posterior yang mengalami kebocoran untuk

mengurangi atau menghilangkan edema makula; 3) grid

photocoagulation, suatu teknik penggunaan sinar laser

dimana pembakaran dengan bentuk kisi-kisi diarahkan

pada daerah edema.2,8,19 Terapi edema makula sering

dilakukan dengan menggunakan kombinasi focal dan

grid photocoagulation.

Vitrektomi

Viterktomi dini perlu dilakukan pada pasien yang

mengalami kekeruhan (opacity) vitreus, perdarahan dan

yang mengalami neovaskulasrisasi aktif. Vitrektomi

dapat juga membantu bagi pasien dengan

neovaskularisasi yang ekstensif atau yang mengalami

proliferasi fobrovaskular. Selin itu, vitrektomi juga

diindikasikan bagi pasien yang mengalami ablasio retina,

perdarahan vitreus setelah fotokoagulasi, RDP berat, dan

perdarahan vitreus yang tidak mengalami perbaikan.2,8

Selain vitrektomi, dapat juga dilakukan vitreolisis dengan

menggunakan enzim hialuronidase (Vitrase®), plasmin

atau mikroplasmin.20,21

Terapi Farmakologi

Proses biokimiawi dan hormonal yang terjadi pada

keadaan hiperglikemia diduga terkait dengan timbulnya

retinopati diabetik. Dewasa ini sedang dilakukan uji

klinik beberapa obat yang ditujukan pada proses tersebut

seperti misalnya inhibitor enzim aldose reduktase

(aminoguanidin, benfotiamin), inhibitor PKC

(ruboxistaurin), anti – VEGF intravitreal (pegaptanib,

bevacizumab, ranibizumab), anti inflamasi (aspirin,

kortikosteroid) dan analog somatostatin.15

Inhibitor aldose reduktase. Penggunaan aminoguanidin

(Sorbinil®) pada hewan percobaan terbukti dapat

menghambat timbulnya dan memburuknya retinopati

diabetik.10 Namun pada manusia penggunaan

aminoguanidin tersebut ternyata tidak memberikan hasil

yang memuaskan. Dewasa ini sedang dilakukan berbagai

penelitian pada hewan maupun manusia dengan

menggunakan inhibitor aldose reduktase yang lebih kuat

yaitu ARI-809.12

Inhibitor protein kinase C. Penelitian pada hewan

menunjukkan penggunaan ruboxistaurin mesilat yaitu

suatu inhibitor selektif dan kuat terhadap PKC – β

isoform, potensial mencegah timbulnya retinopati

diabetik. Suatu uji klinik fase III pemberian ruboxistaurin

32 mg sehari dengan kontrol plasebo yang dilakukan

pada 685 pasien diabetes di 70 senter selama 36 bulan,

menunjukkan angka kejadian hilangnya visus pada

kelompok yang mendapat terapi ruboxistaurin hanya

5,5%, sedangkan pada kelompok placebo 9,1%. Setelah

dilakukan pengamatan selama 3 tahun ternyata 40% dari

pasien dengan RDNP sedang, dapat dicegah

perkembangannya menjadi RDNP berat.22

Anti VEGF. Beberapa uji klinik membuktikan bahwa

VEGF berperan penting dalam timbulnya retinopati

diabetik. Efek biologis VEGF terjadi melalui ikatannya

terhadap reseptor permukaan sel yang spesifik. Suatu uji

klinik fase II menunjukkan pasien retinopati diabetik

yang mendapat suntikan anti VEGF pegaptanib setiap 6

minggu mengalami perbaikan visus sehingga tidak lagi

memerlukan terapi fotokoagulasi.23 Suntikan anti VEGF

bevacizumab intravitreal juga menyebabkan regresi

neovaskular pada RDP. Anti VEGF lain yang juga cukup

potensial ialah ranibizumab. Suntikan intra vitreal

ranibizumab 4 dosis selama 6 minggu pada 10 pasien

diabetes dengan penurunan visus menunjukkan 85%

diantaranya mengalami perbaikan visus secara

bermakna.24

Analog somatostatin. Hipofisektomi merupakan salh

satu cara yang dilakukan zaman dlu untuk pengobatan

RDP. Metode pengobatan tersebut sekarang

dikembangkan dengan menggunakan analog somatostatin

kerja panjang untuk mencegah RDP. Suatu uji klinik

terapi octreotide (suatu analog somatostatin kerja

panjang) berskala kecil pada 23 pasien diabetes dengan

RDNP berat atau RDP menunjukkan penurunan jumlah

pasien yang memerlukan terapi fotokoagulasi dibanding

Page 8: RETINOPATI DIABETIK

dengan yang mendapat terapi konvensional. Namun

dalam skala besar penggunaan terapi octreotide ternyata

pengaruhnya terhadap progresifitas retinopati tidak dapat

disimpulkan meskipun secara klinik terjadi perbaikan

visus.25 Sekarang sedang dicoba dengan menggunakan

analog somatostatin yang lebih selektif.

Anti inflamasi. Dua studi mengenai penggunaan aspirin

pada pasien retinopati diabetik yaitu Joint French-UK

Aspirin and Dipyridamole Trial dan ETDRS. Studi yang

pertama menggunakan aspirin 330mg tiga kali sehari

dengan atau tanpa kombinasi dipiridamol. Setelah 5

tahun dievaluasi ternyata hanya sedikit yang mengalami

pembentukan mikroaneurisma baru.26 Meskipun temuan

tersebut secara statistik bermakna, namun manfaatnya

hanya sedikit. Hasil penelitian dalam skala yang lebih

besar dari ETDRS menunjukkan penggunaan aspirin 650

mg sehari pada 3711 pasien dengan retinopati yang lebih

berat, tidak memberikan efek. Sejauh ini, penelitian-

penelitian yang dilakukan dengan menggunakan aspirin

dosis tinggi hanya bermanfaat untuk mencegah

timbulnya retinopati diabetik. Penggunaan kortikosteroid

seperti triamsinolon satonida intravitreal dilaporkan

cukup efektif untuk pengobatan retinopati diabetik

namun dapat menimbulkan komplikasi peningkatan

tekanan intraokuler dan infeksi.

PERJALANAN KLINIS DAN PROGNOSIS

Pasien RDNP minimal yang hanya ditandai

mikroanerisma yang jarang, memiliki prognosis baik

sehingga cukup dilakukan pemeriksaan ulang setiap 1

tahun.2 Pasien yang tergolong RDNP sedang tanpa

disertai edema makula, perlu dilakukan pemeriksaan

ulang setiap 6 – 12 bulan oleh karena sering bersifat

progresif.5 Pasien RDNP derajat ringan sampai sedang

dengan disertai edema makula yang secara klinik tidak

sginifikan, perlu diperiksa kembali dalam waktu 4 – 6

bulan oelh karena memiliki risiko besaruntuk

berkembang menjadi edema makula yang secara klinik

signifikan (CSME).5 Untuk pasien RDNP dengan CSME

harus dilakukan terapi fotokoagulasi. Pasien RDNP berat

memiliki risiko tinggi menjadi RDP. Separuh dari pasien

RDNP berat akan berkembang menjadi RDP dalam 1

tahun di mana 15% diantaranya tergolong RDP dengan

risiko tinggi. Pasien RDNP sangat berat, risiko menjadi

RDP dalam 1 tahun adalah 75% diamana 45%

diantaranya tergolong RDP risiko tinggi. Oleh sebab itu

pasien RDNP yang sangat berat perlu dilakukan

pemeriksaan ulang setiap 3 – 4 bulan.2 Pasien dengan

RDP risiko tinggi harus segera diterapi dengan

fotokoagulasi. Teknik yang dilakukan ialah dengan

scatter photocoagulation. Pasien RDP risiko tinggi yang

disertai CSME, terapi fotokoagulasi dimulai dengan

menggunakan metode fokal dan panretinal (scatter). Oleh

karena metode fotokoagulasi panretinal dapat

menimbulkan eksaserbasi dari edema makula, maka

untuk terapi dengan metode panretinal (scatter) perlu

dibagi dalm 2 tahap atau lebih.2,14

REFERENSI

1. Fong SD, Aiello L, Gardner, et al. Retinopathy in

diabetes. Diabetes Care 2004, 27: suppl. 64-87

2. Constable IJ. Diabetic retinopathy: pathogenesis,

clinical feature, and treatment. In: Turtle JL, et al,

editor. Diabetes in the New Millennium. Sydney:

University of Sydney, 1999. P.365-76

3. Brownlee M. The pathobilogy of diabetic

complications, a unifying mechanism. Diabetes

2005; 54: 1615-1625

4. Masharani U, German MS. Pancreatic hormones

and diabetes mellitus. In: Gardner DG, Shoback D,

editor. Basic & Clinical Endocrinology, 9th

edition. NewYork; McGrawHill, 2011: p. 573-644

5. Silva SP, Cavallerano JD, Aiello LM, et al. Ocular

complications. In: Lebovitz HE, editor. 5th edition.

Therapy for Diabetes Mellitus and Related

Disorders. Alexandria: American Diabetes

Association, 2009: p.458-473

6. Heaven CJ, Boase DL. Diabetic retinopathy. In:

Shaw KN, editor. Diabetic Complications. Baffin

Lane; John Wiley & Son, 1996: p.1-26

7. King GL, Banskota NK. Mechanism of diabetic

microvascular complications. In: Kahn CR, Weir

GC, editor. Joslin’s Diabetes Mellitus. 13th edition.

Philadelphia; Lea & Febiger, 1994: p.631-647

8. Chew EY. Pathophysiology of diabetic retinopathy.

In: LeRoith D et al, editor. Diabetes Mellitus a

Fundamental and Clinical Text, 2nd edition.

Page 9: RETINOPATI DIABETIK

Philadelphia; Lippincott William & Wilkins, 2000:

p.890-898

9. Frank RN. Diabetic retinopathy. N Eng J Med.

2004; 35:48-58

10. Cheung SS, Chung SK. Aldose reductase in

diabetes microvascular complications. Curr Drug

Targets 2005; 6 (4): 475-486

11. Oishi N, Kubo E, Takamura Y, et al. Correlation

between erythrocyte aldose reductase level and

human diabetic retinopathy. Br J Ophthalmol.

2002; 86: 1361-1366

12. Sun W, Oates DJ, Coutcher JB, et al. A selective

aldose reductase inhibitor of a new structural class

prevents or reverses early retinal abnormalities in

experimental diabetic retinopathy. Diabetes 2006;

55(10): 2575-2562

13. Lang GE, Treatment of diabetic retinopathy with

protein kinase C subtype β inhibitor. Dev

Ophthalmol. 2007; 39:157-165

14. Walkins PJ. ABC of diabetic retinopathy. BMJ

2003; 329: 924-926

15. Chalam KV, Lin S, Mostafa S. Management of

diabetes retinopathy in the twenty-first century.

Spring: Northeast Florida Medicine, 2005: p. 8-15

16. The Diabetes Control and Complications Trial

Research Group. The effect of intensive treatment

of diabetes on the development and progression of

long-term complications in insulin dependent

diabetes mellitus. N Eng J Med. 1993; 329: 977-

986

17. UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group.

Intensive blood glucose control with

sulphonylureas or insulin compared with

conventional treatment and risk of complications in

patients with type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet

1998; 352: 837-853

18. Estacio RO, Jeffers BW, Gifford N, et al. Effect of

blood pressure control on diabetic microvascular

complications in patients with hypertension and

type 2 diabetes. Diabetes Care 2000; 23 (suppl.2):

B54-B64

19. Neubauer AS, Ulbig MW. Laser treatment in

diabetic retinopathy. Ophthalmology 2007; 221 (2):

95-102

20. Kuppermann BD, Thomas EL, deSmet MD, et al.

Vitrase® for Vitreous Haemorrhage Study Groups.

Safety results of two phase III trails of an

intravitreous injection of highly purified ovine

hyaluronidase (Vitrase®) for the management of

vitreous haemorrhage. AM J Ophthalmol. 2005;

140 (4): 595-597

21. Sakuma T, Tanaka M, Mirota A, et al. Safety of in

vivo pharmacologic vitreolysis with recombinant

microplasmin in rabit eyes. Invest Ophthalmol Vis

Sci. 2005; 46 (9): 3295-3299

22. Aiello LP, Davis MD, Girach A, et al. Effect of

ruboxistaurin on visual loss in patients with

diabetic retinopathy. Ophthalmology 2006; 113

(12): 2221-2230

23. Adamis AP, Altaweel M, Bressler NM, et al.

Changes in retinal neovascularization after

pegaptanib (Macugen) therapy in diabetic

individuals. Ophthalmology 2006; 113 (1): 23-28

24. Averyl RL, Pieramici DJ, Rabena MD, et al.

Intravitreal bevacizumab (Avastin) for neovascular

age-retated macular degeneration. Ophthalmology

2006; 113 (3): 363-372

25. Boehm BO. Use of long-acting somatostatin

analogue treatment in diabetic retinopathy. Dev

Ophthalmol. 2007; 39: 111-121

26. Zheng L, Howell SJ, Hatala DA, et al. Salycilate-

based anti inflammatory drugs inhibit the early

lesion of diabetic retinopathy. Diabetes 2007;56 (2)

337-345